Post on 03-Dec-2015
description
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan
meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan,
pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan
penanggulangan nyeri menahun.Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu
operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari
persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan
pada pada hari operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi,
masa anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi1,2,3.
Tonsilitis kronis merupakan peradangan kronik pada tonsil yang biasanya merupakan
kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil.Pada tonsillitis kronis,
ukuran tonsil dapat membesar sedemikian sehingga disebut tonsillitis kronis
hipertrofi.Mengingat dampak yang ditimbulkan makatonsilitis kronis hipertrofi yang telah
menyebabkan sumbatan jalan napas harus segera ditindak lanjuti dengan pendekatan operatif
tonsilektomi4,5 Tonsilektomi yang didefinisikan sebagai metode pengangkatan tonsil berasal
dari bahasa latin tonsilia yang mempunyai arti tiang tempat menggantungkan sepatu serta dari
bahasa yunani ectomy yang berarti eksisi. Beragam teknik tonsilektomi terus berkembang
mulai dari abad 21 diantaranya diseksi tumpul, eksisi guillotine, diatermi monopolar dan
bipolar, skapel harmonik, diseksi dengan laser dan terakhir diperkenalkan tonsilektomi
dengan coblation. Adapun teknik yang sering dilakukan adalah diseksi thermal menggunakan
elektrocauter.
Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan berdasarkan usia pasien,
kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan dokter bedah,
dokter anestesi dan perawat anestesi. Di Indonesia, tonsilektomi masih dilakukan di bawah
anestesi umum, teknik anestesi lokal tidak digunakan lagi kecuali di rumah sakit pendidikan
dengan tujuan untuk pendidikan.
Mengingat tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi
umum maupun lokal, komplikasi yang ditimbulkannya merupakan gabungan komplikasi
tindakan bedah dan anestesi. Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang
menjalani tonsilektomi. Komplikasi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien.
Adapun komplikasi yang dapat ditemukan berupa laringospasme, gelisah pasca operasi, mual,
1
2
muntah, kematian pada saat induksi pada pasien dengan hipovolemia, hipersensitif terhadap
obat anestesi serta hipotensi dan henti jantung terkait induksi intravena dengan pentotal5.
Tujuan penulisan dan pembahasan presentasi kasus ini agar dapat memahami
mengenai general anestesi pada tindakan tonsilektomi. Penting bagi seorang dokter untuk
dapat menentukan pemilihan anestesi yang tepat agar dapat memberikan kenyamanan pada
pasien saat operasi berlangsung.
3
BAB II
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : F
Jenis Kelamin : laki-laki
Usia : 20 tahun
Berat Badan : 70 kg
Agama : Islam
Alamat : Palembang
No. RM : 316879
Diagnosis : Tonsilitis Kronik
B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 5 Oktober 2015 di RS Tk II
AK.Gani
a. Keluhan utama : Nyeri menelan
b. Riwayat penyakit sekarang :
Pada anamnesis didapatkan pasien mengeluh nyeri telan sejak 2 minggu
lalu.Nyeri telan dirasakan saat makan, minum ataupun menelan ludah. Menurut
pasien, sebelumnya sempat mengalami demam dan pilek. Nyeri telan tidak
disertai dengan ngorok saat tidur. Pasien sering mengalami demam, batuk, pilek
yang kumat-kumatan hampir tiap bulan.
1 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS) pasien periksa ke dokter umum
dengan keluhan yang sama dan dikatakan mengalami radang amandel. Dalam 1
bulan terakhir kambuh 2 kali. Bila kambuh pasien merasakan nyeri tenggorokan,
susah menelan, disertai demam dan batuk pilek. Keluhan terasa setelah
mengkonsumsi minuman dingin, jajan sembarangan dan berminyak.Saat ini
pasien mengalami pilek.Pasien tidak mengeluhkan demam.
c. Riwayat penyakit dahulu :
1) Riwayat asma disangkal
4
2) Riwayat alergi makanan dan obat disangkal
d. Riwayat penyakit keluarga:
Riwayat asma, alergi dan riwayat penyakit yang sama dengan pasien
disangkal.
e. Riwayat Kebiasaan
Pasien sering mengkonsumsi minuman dingin, Jajan sembarangan dan
mengkonsumsi makanan yang berminyak.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada 5 Oktober 2015
GCS : E4V5M6 = 15
Vital Sign : Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 82 x/menit
Suhu : 36,8C
Pernafasan : 18 x/menit
Status Generalis
a. Kulit : Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor
kulit cukup, capilary refill kurang dari 2 detik dan teraba
hangat.
b. Kepala : Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma, distribusi
merata dan tidak mudah dicabut.
c. Mata : Tidak terdapat konjungtiva anemis dan sklera ikterik
d. Pemeriksaan Leher
1) Inspeksi : Tidak terdapat jejas
2) Palpasi : Trakea teraba di tengah, tidak terdapat pembesaran kelenjar
tiroid. Teraba pembesaran limfonodi submandibula.
i. Pemeriksaan Thorax
1) Jantung
5
a) Inspeksi :Tampak ictus cordis 2cm dibawah papila mamae sinistra
b) Palpasi :Ictus cordis teraba kuat
c) Perkusi:
i. Batas atas kiri : ICS II garis parasternal sinsitra
ii. Batas atas kanan : ICS II garis parasternal dextra
iii. Batas bawah kiri : ICS V garis midclavikula sinistra
iv. Batas bawah kanan : ICS IV garis parasterna dextra
d) Auskultasi:S1 > S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan murmur.
2) Paru
a) Inspeksi : Dinding dada simetris pada saat statis dandinamis serta
tidak ditemukan retraksi danketertinggalan gerak.
b) Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiridan tidak
terdapat ketertinggalan gerak.
c) Perkusi : Sonor kedua lapang paru
d) Auskultasi: Tidak terdengar suara rhonkhi pada kedua pulmo. Tidak
terdengar suara wheezing
j. Pemeriksaan Abdomen
a) Inspeksi : Perut datar, simetris, tidak terdapat jejas dan massa
b) Auskultasi : Terdengar suara bising usus
c) Perkusi : Timpani
d) Palpasi : Supel, tidak terdapat nyeri tekan. Hepar dan lien tidak
teraba.
k. Pemeriksaan Ekstremitas :
Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis
Turgor kulit cukup, akral hangat
Status Lokalis
Telinga :
Dekstra Sinistra
Auricula Bentuk normal, Nyeri tekan
(-), Massa (-)
Bentuk normal, Nyeri tekan
(-), Massa (-)
PreAuricula Tragus pain (-), Fistel (-), Tragus pain (-), Fistel (-),
6
abses (-) abses (-)
RetroAuricula Nyeri tekan (-), abses (-),
edema (-), Hiperemis (-)
Nyeri tekan (-), abses (-),
edema (-), Hiperemis (-)
Mastoid Nyeri tekan (-), edema (-)
Hiperemis (-)
Nyeri tekan (-), edema (-)
Hiperemis (-)
CAE Otoskop tidak dilakukan Otoskop tidak dilakukan
Membran timpani
Perforasi Otoskop tidak dilakukan Otoskop tidak dilakukan
Cone Of Light Otoskop tidak dilakukan Otoskop tidak dilakukan
Warna Otoskop tidak dilakukan Otoskop tidak dilakukan
Bentuk Otoskop tidak dilakukan Otoskop tidak dilakukan
Hidung
Dekstra Sinistra
Hidung luar Bentuk(Normal),
Hiperemi(-), Nyeri tekan
(-), Deformitas (-)
Bentuk(Normal),
Hiperemi(-), Nyeri tekan
(-), Deformitas (-)
Rinoskopi Anterior
Vestibulum Nasi Rinoskop tidak
dilakukan
Rinoskop tidak
dilakukan
Cavum Nasi Rinoskop tidak
dilakukan
Rinoskop tidak
dilakukan
Meatus Nasi Media Rinoskop tidak
dilakukan
Rinoskop tidak
dilakukan
Konka Nasi inferior Rinoskop tidak
dilakukan
Rinoskop tidak
dilakukan
Septum Nasi Rinoskop tidak
dilakukan
Rinoskop tidak
dilakukan
7
Pemeriksaan Tenggorokan
Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda, sudut
bibir normal.
Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda
Lidah Permukaan lidah putih, tampak seperti sisa
makanan, atrofi (-),
Geligi Jumlah normal, karies dentis (-), Gigi goyang (-)
Uvula Terlihat Tepat di tengah, deviasi (-), hiperemi(-),
edema(-)
Palatum Mole Terlihat, permukaan rata, bombans (-)
Faring Terlihat; permukaan rata, edema(-), hiperemi(-)
Tonsila palatin T3/T3, simetris, pseudomembran (-), kripte
melebar, permukaan rata, eritema (-)
Fossa tonsillaris dan
arkus faringus
Tidak terlihat
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Pemeriksaan 5 Oktober 2015 Nilai normal
Hematologi
Hemoglobin 11,6 11,5-15,5 g/Dl
Leukosit 9.90 4800-10800/L
Hematokrit 33,4 35-45%
Eritrosit 4,27x106 4,0-4,2x106/
Trombosit 232000 150000-450000/L
MCV 77,1 80,0-99,0 fl
MCH 27,2 27,0-31,0 pg
MCHC 34,9 33,0-37,0 %
RDW 14.5 11,5-14,5 %
8
MPV 7.4 7,2-14,1 fl
CT 2.00 1-3 menit
BT 2.00 1-6 menit
Gol. Darah A
Kimia Klinik
SGOT 17 <31 U/L
SGPT 8 <32 U/L
Ureum 16,9 10-50 mg/dL
Creatinin 0,63 0,60-0,90 mg/dL
GDS 79 ≤ 200 mg/dL
Seroimmunologi
HbsAg Negatif Negatif
Serum ASTO 320 <300
E. KESAN ANESTESI
Laki-laki 20 tahun menderita Tonsilitis Kronik dengan ASA I
F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yaitu :
a. Intravena fluid drip(IVFD) RL 20 tpm
b. Pro Tonsilektomi
c. Informed Consent Operasi
d. Konsul ke Bagian Anestesi
e. Informed Consent Pembiusan
Dilakukan operasi dengan anestesi umum dengan status ASA I
G. KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka :
Diagnosis pre operatif : Tonsilitis Kronis
Status Operatif : ASA 1
9
Jenis Operasi : Tonsilektomi
Jenis Anastesi : Anastesi umum
H. LAPORAN ANESTESI
1. Diagnosis Pra Bedah
Tonsilitis Kronik
2. Diagnosis Pasca Bedah
Tonsilitis Kronik
3. Penatalaksanaan Preoperasi
a Infus RL 500 cc
4. Penatalaksanaan Anestesi
a. Jenis Pembedahan : Tonsilektomi
b. Jenis Anestesi : Anestesi umum
c. Teknik Anestesi : Anastesi umum dengan teknik semi closed circuit
system dengan ETT no 7.5
d. Mulai Anestesi : 5 oktober 2015, pukul 09.30 WIB
e. Mulai Operasi : 5 oktober2015, pukul 09. 40 WIB
f. Premedikasi : Ondansentron 4 mgiv
g. Induksi : Fentanyl 100 mcg iv
Propofol 100 mg iv
h. Medikasi tambahan : Dexametason 20 mg iv
Paracetamol 1g drip
Asam tranexsamat 500 mg iv
i. Maintanance : O2 3 lt, N2O 3 lt ,sevoflurane 1.5 lt
j. Relaksasi : Atracurium 20 mg
Intubasi : Laringoskop blade no 2
Nasal Endotracheal Tube no 6.0 cuff (+)
k. Respirasi : pernapasan spontan
l. Posisi : Supine
m. Cairan Durante Operasi : RL 500 ml
n. Pemantauan Tekanan Darah dan HR
Terlampir
10
o. Reverse : Neostigmin 2 mg dan sulfas atropine 1,5mg
p. Selesai operasi : 10.15 WIB
I. POST OPERATIF
- Pasien masuk ruang pemulihan dan setelah itu dibawa ke ruang Cempaka
- Observasi tanda- tanda vital dalam batas normal
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 110/75 mmHg
Nadi : 72x/min
Saturasi : 99 %
- Penilaian pemulihan kesadaran
Tabel . Variabel Skor Lockharte/Aldrete
Variabel Tem SkorSkor
Pasien
Aktivitas
Gerak ke-4 anggota gerak atas perintah
Gerak ke-2 anggota gerak atas perintah
Tidak respon
2
1
0
2
Respirasi
Dapat bernapas dalam dan batuk
Dispnea, hipoventilasi
Apnea
2
1
0
2
Sirkulasi
Perubahan < 20 % TD sistol preoperasi
Perubahan 20-50 % TD sistol preoperasi
Perubahan .> 50 % TD sistol preoperasi
2
1
0
2
Kesadaran Sadar penuh 2 1
11
Dapat dibangunkan
Tidak respon
1
0
Warna kulit
Merah
Pucat
Sianotik
2
1
0
2
Skor Total 9
≥ 9 : Pindah dari unit perawatan pasca anestesi
≥ 8 : Dipindahkan ke ruang perawatan bangsal
≥ 5 : dipindahkan ke ruang perawatan intensif (ICU)
Pada pasien ini didapatkan nilai aldrete skor 9, pasien dipindahkan ke ruang
perawatan bangsal untuk dilakukan observasi lebih lanjut.
12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Dan Fisiologi Saluran Nafas Bagian Atas
Dalam melakukan tindakan intubasi endotrakheal terlebih dahulu kita harus memahami
anatomi dan fisiologi jalan napas bagian atas dimana intubasi itu dipasang.
Gambar 1. Anatomi Saluran Nafas Bagian Atas
( dikutip : www.pearsoned.co.uk )
1. Respirasi Internal dan Eksternal
Respirasi dibagi dalam dua fase. Fase pertama ekspirasi eksternal dalam pengertian
yang sama dengan bernafas. Ini merupakan kombinasi dari pergerakan otot dan skelet,
dimana udara untuk pertama kali didorong ke dalam paru dan selanjutnya
dikeluarkan.Peristiwa ini termasuk inspirasi dan ekspirasi. Fase yang lain adalah
respirasi internal yang meliputi perpindahan / pergerakan molekul-molekul dari gas-gas
pernafasan (oksigen dan karbondioksida) melalui membrana, perpindahan cairan, dan
sel-sel dari dalam tubuh sesuai keperluan9.
2. Organ-organ pernafasan
Traktus respiratorius ini meliputi: (a) rongga hidung (b) laring (c) trakea (d) bronkhus
(e) paru-paru dan (f) pleura. Faring mempunyai dua fungsi yaitu untuk sistem
pernafasan dan sistem pencernaan. Beberapa otot berperan dalam proses pernafasan.
Diafragma merupakan otot pernafasan yang paling penting disamping muskulus
intercostalis interna dan eksterna beberapa otot yang lainnya9.
13
Gambar 2. Sistem Respirasi
( dikutip : www.pearsoned.co.uk )
3. Faring
Udara masuk ke dalam rongga mulut atau hidung melalui faring dan masuk ke
dalam laring.Nasofaring terletak di bagian posterior rongga hidung yang
menghubungkannya melalui nares posterior.Udara masuk ke bagian faring ini turun
melewati dasar dari faring dan selanjutnya memasuki laring.
Kontrol membukanya faring, dengan pengecualian dari esofagus dan
membukanya tuba auditiva, semua pasase pembuka masuk ke dalam faring dapat
ditutup secara volunter. Kontrol ini sangat penting dalam pernafasan dan waktu makan,
selama membukanya saluran nafas maka jalannya pencernaan harus ditutup sewaktu
makan dan menelan atau makanan akan masuk ke dalam laring dan rongga hidung
posterior9.
4. Laring
Organ ini (kadang-kadang disebut sebagai Adam’s Apple) terletak di antara akar
lidah dan trakhea.Laring terdiri dari 9 kartilago melingkari bersama dengan ligamentum
dan sejumlah otot yang mengontrol pergerakannya.Kartilago yang kaku pada dinding
laring membentuk suatu lubang berongga yang dapat menjaga agar tidak mengalami
kolaps. Pita suara terletak di dalam laring, oleh karena itu ia sebagai organ pengeluaran
suara yang merupakan jalannya udara antara faring dan laring.Bagian laring sebelah atas
14
luas, sementara bagian bawah sempit dan berbentuk silinder9.Fungsilaring,yaitu
mengatur tingkat ketegangan dari pita suara yang selanjutnya mengatur suara.Laring
juga menerima udara dari faring diteruskan ke dalam trakhea dan mencegah makanan
dan air masuk ke dalam trakhea.Ketika terjadi pengaliran udara pada trakhea, glotis
hampir terbuka setiap saat dengan demikian udara masuk dan keluar melalui laring
namun akan menutup pada saat menelan. Epiglotis yang berada di atas glottis selain
berfungsi sebagai penutup laringjuga sangat berperan pada waktu memasang intubasi,
karena dapat dijadikan patokan untuk melihat pita suara yang berwarna putih yang
mengelilingi lubang9.
B. Tonsilitis Kronik
Tonsilitis kronis adalah peradangan kronis tonsila palatina lebih dari 3 bulan
setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Mikroabses
pada tonsilitis kronik menyebabkan tonsil dapat menjadi fokal infeksi bagi organ-organ
lain seperti sendi, ginjal, jantung dan lain-lain. Fokal infeksi adalah sumber
bakteri/kuman di dalam tubuh dimana kuman atau produk-produknya dapat menyebar
jauh ke tempat lain dalam tubuh itu dan dapat menimbulkan penyakit4,10.
Kelainan ini hanya menimbulkan gejala ringan atau bahkan tidak ada gejala sama
sekali, tetapi akan menyebabkan reaksi atau gangguan fungsi pada organ lain yang jauh
dari sumber infeksi. Tonsilitis terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang
mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus4.
1. Etiologi
Tonsilitis kronik yang terjadi pada anak mungkin disebabkan oleh karena sering
menderita infeksi saluran napas atas (ISPA) atau tonsilitis akut yang tidak diobati
dengan tepat atau dibiarkan saja. Tonsilitis kronik disebabkan oleh bakteri yang sama
terdapat pada tonsilitis akut, dan yang paling sering adalah bakteri gram positif.
Staphylococcus alfa merupakan penyebab tersering diikuti Staphylococcus aureus,
Streptococcus beta hemolyticus group A11.
2. Faktor predisposisi
Beberapa faktor timbulnya tonsilitis kronis, yaitu :
- Rangsangan kronis (rokok, makanan)
- Hygiene mulut yang buruk
- Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah)
15
- Alergi (iritasi kronis dari alergen)
- Keadaan umum ( kurang gizi, kelelahan fisik)
- Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat
3. Patofisiologi
Fungsi tonsil adalah sebagai pertahanan terhadap masuknya kuman ke tubuh kita
baik melalui hidung atau mulut. Kuman yang masuk disitu akan dihancurkan oleh
makrofag yang merupakan sel-sel polimorfonuklear. Jika tonsil berulang kali terkena
infeksi akibat dari penjagaan hygiene mulut yang tidak memadai serta adanya faktor-
faktor lain,maka pada suatu waktu tonsil tidak bisa membunuh semua kuman
kumannya, akibatnya kuman yang yang bersarang di tonsil akan menimbulkan
peradangan tonsil yang kronik.pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil
berubah menjadi sarang infeksi atau fokal infeksi5,11.
Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripte tonsil. Karena proses
radang berulang, maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada
proses penyembuhan jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini akan
mengerut sehingga kripta akan melebar.
Secara klinis kripte ini akan diisi oleh detritus (akumulasi sel yang mati, sel
leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripte berupa eksudat bewarna putih
kekuningan). Proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul
perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Sewaktu-waktu kuman bisa
menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada keadaan imun yang menurun12.
4. Manifestasi klinis
Gejala tonsilits kronis dibagi menjadi 1) gejala lokal, yang bervariasi dari rasa
tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit menelan; 2) gejala sistemis,
berupa rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam subfebris, nyeri otot
dan persendian; 3) gejala klinis tonsil dengan debris di kriptenya (tonsilitis folikularis
kronis), udem atau hipertrofi tonsil (tonsilitis parenkimatosa kronis), tonsil fibrotik dan
kecil (tonsilitis fibrotik kronis), plika tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan
kelenjar limfe regional5,11.
5. Terapi
a. Medikanmentosa
16
Terapi tonsilitis kronis dapat diatasi dengan menjaga higiene mulut yang baik,
obat kumur, dan obat.
Pengobatan tonsilitis kronis dengan menggunakan antibiotik oral perlu
diberikan selama sekurangnya 10 hari.Antibiotik yang dapat diberikan adalah
golongan penisilin atau sulfonamida, namun bila terdapat alergi penisilin dapat
diberikan eritromisis atau klindamisin4.
b. Operatif
Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling sering dilakukan dalam sejarah
operasi.Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat
perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat
ini.Dulu, tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang.
Saat ini, indikasi utama adalah obstruksi saluran nafas dan hipertrofi tonsil
17
ANESTESI UMUM
1.1 Definisi
Anestesi (pembiusan;berasaldari bahasaYunani an-"tidak,tanpa"dan aesthētos, "persepsi,
kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit
ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit
pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun
1846.
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri sentral disertai hilangnya kesadaran
yang bersifat reversibel. Dengan anestesi umum akan diperoleh trias anestesia, yaitu:
Hipnotik (tidur)
Analgesia (bebas dari nyeri)
Relaksasi otot (mengurangi ketegangan tonus otot)
Hanya eter yang memiliki trias anestesia. Karena anestesi modern saat ini
menggunakan obat-obat selain eter, maka anestesi diperoleh dengan menggabungkan
berbagai macam obat.
1.2 Metode anestesi umum
I. Parenteral
Anestesia umum yang diberikan secara parenteral baik intravena maupun
intramuskular biasanya digunakan untuk tindakan yang singkat atau untuk induksi
anestesia.
II. Perektal
Metode ini sering digunakan pada anak, terutama untuk induksi anestesia maupun
tindakan singkat.
III. Perinhalasi
Yaitu menggunakan gas atau cairan anestetika yang mudah menguap (volatile
agent) dan diberikan dengan O2. Konsentrasi zat anestetika tersebut tergantung
dari tekanan parsialnya; zat anestetika disebut kuat apabila dengan tekanan parsial
yang rendah sudah mampu memberikan anestesia yang adekuat.
1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi umum
A. Faktor Respirasi
18
Hal-hal yang mempengaruhi tekanan parsial zat anestetika dalam alveolus
adalah:
1. Konsentrasi zat anestetika yang diinhalasi; semakin tinggi konsentrasi, semakin
cepat kenaikan tekanan parsial
2. Ventilasi alveolus; semakin tinggi ventilasi, semakin cepat kenaikan tekanan
parsial
B. Faktor Sirkulasi
Saat induksi, konsentrasi zat anestetika dalam darah arterial lebih besar
daripada darah vena. Faktor yang mempengaruhinya adalah:
Perubahan tekanan parsial zat anestetika yang jenuh dalam alveolus dan darah
vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestetika diserap jaringan dan sebagian
kembali melalui vena.
Koefisien partisi darah/gas yaitu rasio konsentrasi zat anestetika dalam darah
terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan seimbang.
Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung.
C. Faktor Jaringan
Perbedaan tekanan parsial obat anestetika antara darah arteri dan jaringan
Koefisien partisi jaringan/darah
Aliran darah dalam masing-masing 4 kelompok jaringan (jaringan kaya pembuluh
darah/JKPD, kelompok intermediate, lemak, dan jaringan sedikit pembuluh
darah/JSPD)
D. Faktor Zat Anestetika
Potensi dari berbagai macam obat anestetika ditentukan oleh MAC (Minimal
Alveolus Concentration), yaitu konsentrasi terendah zat anestetika dalam udara
alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang rasa
sakit. Semakin rendah nilai MAC, semakin poten zat anestetika tersebut.
E. Faktor Lain
Ventilasi, semakin besar ventilasi, semakin cepat pendalaman anestesi
Curah jantung, semakin tinggi curah jantung, semakin lambat induksi dan
pendalaman anestesia
Suhu, semakin turun suhu, semakin larut zat anestesia sehingga pendalaman
anestesia semakin cepat.
19
1.4 Keuntungan anestesi umum :
Mengurangi kesadaran pasien intraoperative
Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang lama
Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi
Dapat digunakan dalam kasus sensitivitas terhadap agen anestesi lokal
Dapat disesuaikan dengan mudah untuk prosedur durasi tak terduga
Dapat diberikan dengan cepa
Dapat diberikan pada pasien dalam posisi terlentang
1.5 Kekurangan anestesi umum :
Memerlukan beberapa derajat persiapan pra operasi pasien
Terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual atau muntah, sakit
tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan memerlukan masa untuk fungsi mental
yang normal
Terkait dengan hipertermia di mana paparan beberapa (tetapi tidak semua) agen
anestesi umum menyebabkan kenaikan suhu akut dan berpotensi mematikan,
hiperkarbia, asidosis metabolik, dan hiperkalemia.
1.6 Indikasi anestesi umum :
Infant dan anak usia muda
Dewasa yang memilih anestesi umum
Pembedahan luas
Penderita sakit mental
Pembedahan lama
Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis atau tidak memuaskan
Riwayat penderita toksik/alergi obat anestesi lokal
Penderita dengan pengobatan antikoagulan
PROSEDUR ANESTESI UMUM
2.1 Persiapan pra anestesi umum
20
Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun darurat harus
dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan pembedahan sangat dipengaruhi
oleh persiapan pra anestesi. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-
2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat.
Tujuan kunjungan pra anestesi:
- Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan lain.
- Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai keadaan fisik
dan kehendak pasien. Dengan demikian, komplikasi yang mungkin terjadi dapat
ditekan seminimal mungkin.
- Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal ini
dipakai klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology) sebagai gambaran
prognosis pasien secara umum.
2.2 Persiapan pasien
A. Anamnesis
Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau melalui keluarga
pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan pendekatan psikologis serta
berkenalan dengan pasien.
Yang harus diperhatikan pada anamnesis:
1. Identifikasi pasien, missal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.
2. Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi
penyulit dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit paru-
paru kronik (asma bronchial, pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan hipertensi
(infark miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis), penyakit hati, dan penyakit
ginjal.
3. Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan
interaksi dengan obat-obat anestetik. Misalnya kortikosteroid, obat antihipertensi,
obat-obat antidiabetik, antibiotika golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung
seperti digitalis, diuretika, obat anti alergi, tranquilizer, monoamino oxidase inhibitor,
bronkodilator.
21
4. Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa kali, dan
selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih
sadar, perawatan intensif pasca bedah.
5. Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi
seperti: merokok dan alkohol.
B. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut,
lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.
Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan
seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
C. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang
sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium secara rutin
walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb,
lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas 50
tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks. Praktek-praktek semacam ini harus
dikaji ulang mengingat biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji semacam
ini.
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium, selanjutnya
dibuat rencana mengenai obat dan teknik anestesi yang akan digunakan. Misalnya pada
diabetes mellitus, induksi tidak menggunakan ketamin yang dapat menimbulkan
hiperglikemia. Pada penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan dengan
teknik analgesia regional daripada anestesi umum mengingat kemungkinan komplikasi paru
pasca bedah. Dengan perencanaan anestesi yang tepat, kemungkinan terjadinya komplikasi
sewaktu pembedahan dan pasca bedah dapat dihindari.
D. Kebugaran untuk anestesi
22
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien dalam
keadaan bugar, sebaliknya pada operasi cito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.
E. Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi lambung dan
kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang
menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan
untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama
periode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam,
anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebelum induksi anesthesia. Minuman bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi
anesthesia.
F. Klasifikasi status fisik
23
Kela
s
Status fisik Contoh
I Pasien normal yang sehat Pasien bugar dengan
hernia inguinal
II Pasien dengan penyakit
sistemik ringan
Hipertensi esensial,
diabetes ringan
III Pasien dengan penyakit
sistemik berat yang tidak
melemahkan
(incapacitating)
Angina, insufisiensi
pulmoner sedang
sampai berat
IV Pasien dengan penyakit
sistemik yang melemahkan
dan merupakan ancaman
konstan terhadap kehidupan
Penyakit paru
stadium lanjut,
gagal jantung
V Pasien sekarat yang
diperkirakan tidak bertahan
selama 24 jam dengan atau
tanpa operasi
Ruptur aneurisma
aorta, emboli paru
massif
E Kasus-ksus emergensi
diberi tambahan hurup “E”
ke angka.
Tabel 1.Klasifikasi ASA dari status fisik
Skor Mallampati
Skor Mallampati adalah suatu perkiraan kasar dari ukuran relatif lidah terhadap
rongga mulut yang digunakan untuk memperkirakan tingkat kesulitan intubasi. Skor
Mallampati ditentukan dengan melihat anatomi dari rongga mulut, khususnya berdasarkan
visibilitas dari dasar uvula, arkus tonsilaris anterior dan posterior, dan palatum mole.
Semakin tinggi skor mallampati, semakin tinggi pula tingkat kesulitan untuk dilakukan
intubasi.
24
Kelas 1 tonsil, palatum mole, dan uvula terlihat jelas seluruhnya
Kelas 2palatum durum dan palatum mole masih terlihat, sedangkan tonsil
dan uvula hanya terlihat bagian atas
Kelas 3Hanya palatum mole dan palatum durum yang terlihat, sedangkan
dinding posterior faring dan uvula tertutup seluruhnya oleh lidah
Kelas 4Hanya palatum durum yang terlihat, sedangkan dinding posterior
faring, uvula, dan palatum mole tertutup seluruhnya oleh lidah
Tabel 2.Klasifikasi skor mallampati
25
G. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya :
-Meredakan kecemasan dan ketakutan
-Memperlancar induksi anesthesia
-Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
-Meminimalkan jumlah obat anestetik
-Mengurangi mual muntah pasca bedah
-Menciptakan amnesia
-Mengurangi isi cairan lambung
-Mengurangi refleks yang membahayakan
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi yang tidak
pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan dan
menenteramkan pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg
beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya, dapat
diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular.
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam. Untuk
meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin misalnya oral
simetidin 600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi.
Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi suntikan
intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau ondansentron 2-4 mg (zofran, narfoz).
2.3 Persiapan peralatan anestesi
Tindakan anestesi yang aman tidak terlepas dari kelengkapan peralatan anestesi yang
baik. Baik tidak berarti harus canggih dan mahal, tetapi lebih berarti berfungsi, sesuai dengan
tujuan kita memberi anestesi yang lancar dan aman.
Mesin anestesi
Fungsi mesin anestesi (mesin gas) ialah menyalurkan gas atau campuran gas anestetik
yang aman ke rangkaian sirkuit anestetik yang kemudian dihisap oleh pasien dan membuang
sisa campuran gas dari pasien. Rangkaian mesin anestesi sangat banyak ragamnya, mulai dari
26
yang sangat sederhana sampai yang diatur oleh komputer. Mesin yang aman dan ideal ialah
mesin yang memenuhi persyaratan berikut:
1. Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis tepat
2. Ruang rugi (dead space) minimal
3. Mengeluarkan CO2 dengan efisien
4. Bertekanan rendah
5. Kelembaban terjaga dengan baik
6. Penggunaannya sangat mudah dan aman
Komponen dasar mesin anestetik terdiri dari:
1. Sumber O2, N2O, dan udara tekan.
Dapat tersedia secara individual menjadi satu kesatuan mesin anestetik atau dari
sentral melalui pipa-pipa. Rumah sakit besar biasanya menyediakan O2, N2O, dan
udara tekan secara sentral untuk disalurkan ke kamar bedah sentral, kamar bedah
rawat jalan, ruang obstetrik, dll.
2. Alat pantau tekanan gas (pressure gauge)
Berfungsi untuk mengetahui tekanan gas pasok. Kalau tekanan gas O2 berkurang,
maka akan ada bunyi tanda bahaya (alarm)
3. Katup penurun tekanan gas (pressure reducing valve)
Berfungsi untuk menurunkan tekanan gas pasok yang masih tinggi, sesuai
karakteristik mesin anestesi.
4. Meter aliran gas (flowmeter)
Untuk mengatur aliran gas setiap menitnya.
5. Satu atau lebih penguap cairan anestetik (vaporizers)
Dapat tersedia satu, dua, tiga, sampai empat.
6. Lubang keluar campuran gas (common gas outlet)
7. Kendali O2 darurat (oxygen flush control)
Berfungsi untuk keadaan darurat yang dapat mengalirkan O2 murni sampai 35-37
liter/menit tanpa melalui meter aliran gas.
27
Tabung gas beserta alat tambahannya dan penguap diberi warna khusus untuk
menghindari kecelakaan yang mungkin timbul. Kode warna internasional yang telah
disepakati ialah:
Oksige
n
N2O Udara CO2 Halotan Enflura
n
Isofluran Desfluran Sevofluran
Putih Biru Putih-
hitam
kuning
Abu
-abu
Merah Jingga Ungu Biru kuning
Sirkuit anestesi
Sirkuit anestesi atau sistem penghantar gas atau sistem anestesi ialah alat yang bukan
saja menghantarkan gas atau uap anestetik dan oksigen dari mesin ke jalan napas atas pasien,
tetapi juga harus sanggup membuang CO2 dengan mendorongnya dengan aliran gas segar atau
dengan menghisapnya dengan kapur soda.
Sirkuit anestesi umumnya terdiri dari:
1. Sungkup muka, sungkup laring, atau pipa trakea
2. Katup ekspirasi dengan per atau pegas (expiratory loaded spring valve, pop-off valve,
APL, adjustable pressure limiting valve)
3. Pipa ombak, pipa cadang (corrugated tube, reservoir tube)
Bahan karet hitam (karbon) atau plastik transparent anti statik, anti tertekuk
4. Kantong cadang (reservoir bag)
5. Tempat masuk campuran gas anestetik dan O2 (fresh gas inlet).
Untuk mencegah terjadinya barotraumas akibat naiknya tekanan gas yang mendadak
tinggi, katup membatasi tekanan sampai 50 cm H2O
Sirkuit anestesi yang popular sampai saat ini ialah sirkuit lingkar (circle system),
sirkuit Magill, sirkuit Bain, dan system pipa T atau pipa Y dari Ayre.
Sungkup muka
28
Pemakaian sungkup muka berguna untuk menyalurkan oksigen atau gas anestesi ke
pasien. Terdapat beberapa jenis sungkup. Dengan sungkup trasparan berguna untuk obervasi
kelembapan udara yang diekshalasi dan mengetahui jika pasien muntah. Sungkup karet hitam
dapat digunakan untuk mengadaptasi struktur muka yang tidak biasa.
Ventilasi efektif memerlukan baik sungkup yang kedap udara dan jalan nafas yang
baik. Teknik sungkup muka yang salah dapat berakibat deflasi yang berkelanjutan pada
reservoir bag saat katup tekanan ditutup, biasanya mengindikasikan adanya kebocoran di
sekitar sungkup. Sebaliknya pembentukan tekanan pernapasan yang tinggi dengan gerakan
dada minimal dan suara pernafasan menandakan obstruksi jalan nafas.
Sungkup dipegang melawan muka dengan tekanan ke bawah pada badan sungkup
dilakukan dengan jempol kiri dan jari telunjuk. Jari tengah dan manis memegang mandibula
untuk membantu ekstensi sendi atlantooksipital. Jari kelingking diletakkan di bawah sudut
rahang dan digunakan untuk menahan dagu ke depan, maneuver paling penting untuk
ventilasi pasien.
Endotracheal tube (ETT)
ETT dapat digunakan untuk memberikan gas anestesi secara langsung ke trakea dan
memberikan ventilasi dan oksigenasi terkontrol. Bentuk dan kekerasan ETT dapat diubah
dengan stilet. Resistensi terhadap aliran udara tergantung pada diameter tabung, tetapi juga
dipengaruhi oleh panjang tabung dan kurvatura.
Ukuran ETT yang digunakan pada wanita dewasa diameter internal 7-7.5 mm dengan
panjang 24 cm. pada pria dewasa diameter internal 7.5-9 mm dengan panjang 24cm.
29
Sungkup laring (Laringeal mask airway = LMA)
LMA digunakan untuk menggantikan sungkup muka atau ETT saat pemberian
anestesi, untuk membantu ventilasi dan jalur untuk ETT pada pasien dengan jalan nafas sulit
dan membantu ventilasi saat bronkoskopi.
Pemakaian LMA memerlukan anestesi lebih kuat dibandingkan dengan insersi jalan
nafas oral. Kontraindikasi LMA pada pasien dengan patologi faring seperti abses, obstruksi
faring, perut penuh seperti hamil atau komplians paru rensah seperti penyakit jalan nafas
restriktif.
30
2.4 Induksi anestesi
Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar,
sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Setelah pasien tidur akibat
induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai tindakan
pembedahan selesai.
Sebelum memulai induksi anestesi selayaknya disiapkan peralatan dan obat-obatan
yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat
dan lebih baik. Untuk persiapan induksi anestesi, sebaiknya diingat kata STATICS:
S : Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop pilih bilah
atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
T : Tubes Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia< 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan usia > 5
tahun dengan balon (cuffed).
A : Airway Pipa mulut-faring (Guedel,orotracheal airway) dan pipa hidung-faring (naso-
tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya
lidah tidak menyumbat jalan napas.
T : Tape Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut
I : Introducer Mandrin atau stillet untuk memandu agar pipa trakea mudah dimasukkan
C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia
S : Suction Penyedot lender, ludah, dan lain-lainnya
31
2.5 Obat Anestesi umum
Umumnya obat anestesi umum diberikan secara inhalasi atau suntikan intravena.
1. Anestetik inhalasi
Nitrogen aksida yan stabil pada tekanan dan suhu kamar merupakan salah satu anestetik
gas yang banyak dipakai karena dapat digunakan dalam bentuk kombinasi dengan anestetik
lainnya. Halotan, enfluran, isofluran, desfluran dan metoksifluran merupakan zat cair yang
mudah menguap. Sevofluran merupakan anestesi in halasi terbaru tetapih belum diizinkan
beredar di USA. Anestesi inhalasi konvensional seperti eter, siklopropan, dan kloroform
pemakaiannya sudah dibatasi karena eter dan siklopropan mudah terbakar sedangkan
kloroform toksik terhadap hati.
2. Anestetik intravena
Beberapa obat anestetik diberikan secara intravena baik tersendiri maupun dalam bentuk
kombinasi dengan anestetik lainnya untuk mempercepat tercapainya stadium anestesi atau
pun sebagai obat penenang pada penderita gawat darurat yang mendapat pernafasan untuk
waktu yang lama, Yang termasuk :
a) Barbiturat (tiopental, metoheksital)
b) Benzodiazepine (midazolam, diazepam)
c) Opioid analgesik dan neuroleptik
d) Obat-obat lain (profopol, etomidat)
e) Ketamin, arilsikloheksilamin yang sering disebut disosiatif anestetik.
Induksi anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi, intramuscular, atau
rectal.
a. Induksi intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang
jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya dikerjakan
dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut, dan terkendali. Obat induksi bolus
disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan
32
pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi
cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
Tiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dengan kepekatan 2,5% dan
dosis antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan nyeri. Pada anak dan manula
digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis tinggi.
Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1% menggunakan dosis 2-3
mg/kgBB. Suntikan propofol intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga satu
menit sebelumnya sering diberikan lidokain 1 mg/kgBB secara intravena.
Ketamin (ketalar) intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anestesi dengan
ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan
menggunakan sedativa seperti midasolam (dormikum). Ketamin tidak dianjurkan pada
pasien dengan tekanan darah tinggi (tekanan darah > 160 mmHg). Ketamin
menyebabkan pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka.
b. Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara intramuscular
dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
c. Induksi inhalasi
Obat yang digunakan adalah obat-obat yang memiliki sifat-sifat :
- tidak berbau menyengat / merangsang
- baunya enak
- cepat membuat pasien tertidur.
Sifat-sifat tadi ditemukan pada halotan dan sevofluran.
Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau sevofluran. Cara
induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau pada
dewasa yang takut disuntik.
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi
dimulai dengan aliran O2> 4 liter/menit atau campuran N2O:O2=3:1 aliran > 4
liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol% sampai konsentrasi yang dibutuhkan.
Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah
tenang dinaikkan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.
33
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk, walaupun
langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%. seperti dengan halotan
konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.
Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran), atau desfluran jarang
dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.
d. Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam.
Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu mata
disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata.
2.6 Tanda dan stadium anestesi umum
Secara tradisional, efek anestetik dapat dibagi 4 (emapat) stadium peningkatan dalamnya
depresi susunan saraf pusat, yaitu :
I. Stadium analgesi
Pada stadium awal ini, penderita mengalami analgesi tanpa disertai kehilangan
kesadaran. Pada akhir stadium 1, baru didapatkan amnesia dan analgesi
II. Stadium terangsang
Pada stadium ini, penderita tampak delirium dan gelisah, tetapih kehilangan
kesadaran. Volume dan kecepatan pernafasan tidak teratur, dapat terjadi mual.
Inkontinensia urin dan defekasi sering terjadi. Karena itu, harus diusahakan untuk
membatasi lama dan berat stadium ini, yang ditandai dengan kembalinya pernafasan
secara teratur.
III. Stadium operasi
Stadium ini ditandai dengan pernafasan yang teratur. Dan berlanjut sampai
berhentinya pernafasan secara total. Ada empat tujuan pada stadium III digambarkan
dengan perubahan pergerakkan mata, dan ukuran pupil, yang dalam keadaan tertentu
dapat merupakan tanda peningktan dalamnya anestesi.
IV. Stadium depresi medula oblongata
34
Bila pernafasan spontan berhenti, maka akan masuk kedalam stadium IV. Pada
stadium ini akan terjadi depresi berat pusat pernafasan dimedula oblongata dan pusat
vasomotor. Tampa bantuan respirator dan sirkulasi, penderita akan cepat meninggal.
Pada praktek anestesi modern, perbedaan tanda pada masing-masing stadium sering
tidak jelas. Hal ini karena mula kerja obat anestetik modern relatife lebih cepat
dibandingkan dengan dietil eter disamping peratan penunjang yang dapat mengontrol
ventilasi paru secara mekanis cukup tersedia. Selain itu, adanya obat yang diberikan
sebelum dan selama operasi dapat juga berpengaruh pada tanda-tanda anestesi. Atropin,
digunakan untuk mengurangi skresi, sekaligus mendilatasi pupil; obat-obatnya seperti
tubokurarin suksinilkolin yang dapat mempengaruhi tonus otot; serta obat analgetik
narkotik yang dapat menyebabkan efek depresan pada pernafasan.tanda yang paling dapat
diandalkan untuk mencapai stadium operasi adalah hilangnya refleks kelopak mata dan
adanya pernapasan yang dalam dan teratur.
2.7 Teknik anestesi
1. Teknik anestesi nafas spontan dengan sungkup muka
Indikasi : untuk tindakan yang singkat (0,5-1 jam) tanpa membuka rongga perut,
keadaan umum pasien cukup baik, lambung harus kosong.
Selesai dilakukan induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata hilang, sungkup
muka ditempatkan pada muka. Sebaiknya dagu ditahan atau sedikit ditarik kebelakang
(posisi kepala ekstensi) agar jalan napas bebas dan pernafasan lancer.
N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2 L/menit untuk memperdalam anestesi,
bersamaan dengan ini halotan dibuka sampai 1% dan sedikit demi sedikit dinaikkan
dengan 1% sampai 3 atau 4 % tergantung reaksi dan besar tubuh penderita
Kedalaman anestesi dinilai dari tanda-tanda mata (bola mata menetap), nadi tidak
cepat, dan terhadap rangsang operasi tidak banyak berubah. Kalau stadium anesthesia
sudah cukup dalam, rahang sudah lemas, masukan pipa orofaring (guedel). Halotan
kemudian dikurangi menjadi 1-1,5% tergantung respon terhadap rangsang operasi.
Halotan dikurangi dan dihentikan beberapa menit sebelum operasi selesai. Selesai
operasi, N2O dihentikan dan penderita diberi O2 100% beberapa menit untuk
mencegah hipoksi difusi.
35
2. Teknik anestesi nafas spontan dengan pipa endotrakea
Indikasi: operasi lama, kesulitan mempertahankan jalan nafas bebas pada anestesi
dengan sungkup muka.
Setelah induksi, dapat dilakukan intubasi. Balon pipa endotrakea dikembangkan
sampai tidak ada kebocoran pada waktu melakukan nafas buatan dengan balon nafas.
Harus yakin bahwa pipa endotrakea ada di dalam trakea dan tidak masuk terlalu dalam
yaitu di salah satu bronkus atau di eosofagus. Pipa endotrakea di fiksasi, lalu pasang
guedel di mulut supaya pipa endotrakea tidak tergigit. Lalu mata ditutup dengan
plester supaya tidak terbuka dan kornea tidak menjadi kering. Lalu pipa endotrakea
dihubungkan dengan konektor pada sirkuit nafas alat anestesi.
3. Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan nafas kendali
Teknik induksi anestesi dan intubasi sama seperti diatas.
Nafas dikendalikan secara manual atau dengan respirator. Bila menggunakan
respirator setiap inspirasi (volume tidal) diusahakan + 10 ml/kgBB dengan frekuensi
10/14 per menit. Apabila nafas dikendalikan secara manual, harus diperhatikan
pergerakan dada kanan dan kiri yang simetris. Menjelang akhir operasi setelah
menjahit lapisan otot selesai diusahakan nafas spontan dengan membantu usaha “nafas
sendiri” secara manual. Halotan dapat dihentikan sesudah lapisan fasi kulit terjahit.
N2O dihentikan kalau lapisan kulit mulai dijahit.
Ekstubasi dapat dilakukan setelah nafas spontan normal kembali dengan volume tidal
300 ml. O2 diberi terus 5-6 L selama 2-3 menit untuk mencegah hipoksia difusi.
4. Ekstubasi
Mengangkat keluar pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan tidak disertai batuk
dan kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas, hipoksia sianosis.
2.8 Rumatan anestesi (maintenance)
Rumatan anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena (anesthesia intravena total)
atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi biasanya
mengacu pada trias anestesi yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup,
diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang
cukup.
36
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50
ug/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga
tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan
opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah
lama dengan anestesi total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot, dan ventilator.
Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah halotan
0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol%, atau isofluran 2-4 vol%, atau sevofluran 2-4 vol%
bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu (assisted), atau dikendalikan
(controlled).
2.9 Monitoring perianestesi
2.10 Pasca bedah
Pasien harus diobservasi terus (pernafasan, tekanan darah, dan nadi) sesudah operasi
dan anestesi selesai sewaktu masih dikamar bedah dan kamar pulih. Bila pasien gelisah, harus
diteliti apakah karena kesakitan atau karena hipoksia (tekanan darah menurun, nadi cepat)
misalnya karena hipovolemia (perdarahan di dalam perut atau kekurangan cairan).
Skor Aldrete
Skor aldrete adalah suatu kriteria untuk menilai keadaan pasien selama observasi di
ruang pemulihan (recovery room) yang digunakan untuk menentukan boleh tidaknya
pasien dikeluarkan dari ruang pemulihan. Kriteria yang digunakan dan umumnya yang
dinilai pada saat observasi di ruang pulih adalah warna kulit atau saturasi O2, kesadaran,
sirkulasi, pernafasan, dan aktivitas motorik. Idealnya, pasien baru boleh dikeluarkan bila
jumlah skor total adalah 10 (skor maksimal). Namun, bila skor total telah di atas 8 , pasien
boleh keluar dari ruang pemulihan.
Kriteria Skor
Kesadaran
Sadar penuh
Terangsang oleh stimulus verbal
2
1
37
Tidak terangsang oleh stimulus verbal 0
Respirasi
Dapat bernapas dalam dan batuk
Dispnea atau hanya dapat bernapas dangkal
Tidak dapat bernapas tanpa bantuan (apnea)
2
1
0
Tekanan Darah
Berbeda 20% dari tekanan darah sebelum operasi
Berbeda 20 – 50% dari tekanan darah sebelum operasi
Berbeda > 50% dari tekanan darah sebelum operasi
2
1
0
Oksigenasi
SpO2> 92% pada udara ruangan
Memerlukan O2 tambahan untuk mencapai SpO2> 90%
SpO2< 90% meskipun telah mendapat O2 tambahan
2
1
0
38
BAB VI
KESIMPULAN
Anestesi umum
Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri sentral disertai hilangnya kesadaran yang
bersifat reversibel. Dengan anestesi umum akan diperoleh trias anestesia, yaitu:
• Hipnotik (tidur)
• Analgesia (bebas dari nyeri)
• Relaksasi otot (mengurangi ketegangan tonus otot)
Hanya eter yang memiliki trias anestesia. Karena anestesi modern saat ini menggunakan obat-
obat selain eter, maka anestesi diperoleh dengan menggabungkan berbagai macam obat.
Stadium anestesi umum meliputi “analgesia, amnesia, hilangnya kesadaran”, terhambatnya
sensorik dan reflex otonom, dan relaksasi otot rangka. Untuk menimbulkan efek ini, setiap
obat anestesi mempunyai variasi tersendiri bergantung pada jenis obat, dosis yang diberikan,
dan keadaan secara klinis. Anestetik yang ideal akan bekerja secara tepat dan baik serta
mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan.
Jenis obat anestesi umum
Umumnya obat anestesi umum diberikan secara inhalasi atau suntikan intravena.
• Anestetik inhalasi
• Anestetik intravena
Tanda dan stadium anestesi
Gambaran tradisional tanda dan stadium anestesi (tanda guedel) berasal terutama dari
penilitian efek diatil eter, yang mempunyai mula kerja sentral yang lambat karena
kelarutannya yang tinggi didalam darah. Stadium dan tanda ini mungkin tidak mudah terlihat
pada pemakaian anestetik modern dan anestetik intravena yang bekerja cepat.
Secara tradisional, efek anestetik dapat dibagi 4 stadium peningkatan dalamnya depresi
susunan saraf pusat, yaitu :
• Stadium analgesi
• Stadium terangsang
40
DAFTAR PUSTAKA
1. Baugh RF et al. Clinical Practice Guideline: Tonsillectomy in Children.
Otolaryngology Head and Neck Surgery 2011; 144 (15):1-30.
2. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif,
FKUI. Jakarta: CV Infomedia.
3. Drake A. Tonsillectomy.
http://www.emedicine.com/ent/topic315.htm/emedtonsilektomi, diakses tanggal 23
Maret 2013.
4. Wirdjoatmodjo, K., 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar untuk
Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
5. Lab/SMFAnestesiologi & reanimasi.2010. Panduan Kepaniteraan Klinik
Anestesiologi.
6. Handoko, Tony. 1995. Anestetik Umum. Dalam :Farmakologi dan Terapi FKUI, edisi
ke- 4. Jakarta:Gaya baru.
7. Latief, S, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi kedua. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI
8. Mansjoer A, Suprohaita, dkk. 2002. Ilmu Anestesi. dalam: Kapita Selekta Kedokteran
FKUI. Jilid 2. edisi ketiga. Jakarta:Media Aesculapius
9. Sadina, 2009. Sistem Pernapasan Pada Manusia.
http://www.blogunila.ac.id/sadina/2009/10/01/sistem-pernapasan-pada-manusia/
diakses tanggal 24 April 2013.
10. Better Health Channel.2011. Tonsillitis Explaioverment of vixtoria, Australia.
http :/ / betterhealth.vic.gov.au/bhcv2/bhcarticles. Diakses tanggal 23 Maret 2013
11. NHS.2010. Tonsillitis.
http://www.nhs.uk/conditions/tonsillitis, diakses tanggal 23 Maret 2013
12. Lauro, Joseph.2011. Tonsillitis. Lautheran Emergency Medicine Medical Centre.
http:/ /www.emedicinehealth.com/tonsillitis/article_em.htm, diakses tanggal 23 Maret
2013