Presus

60
BAB I PENDAHULUAN Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, masa anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi 1,2,3 . Tonsilitis kronis merupakan peradangan kronik pada tonsil yang biasanya merupakan kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil.Pada tonsillitis kronis, ukuran tonsil dapat membesar sedemikian sehingga disebut tonsillitis kronis hipertrofi.Mengingat dampak yang ditimbulkan makatonsilitis kronis hipertrofi yang telah menyebabkan sumbatan jalan napas harus segera ditindak lanjuti dengan pendekatan operatif tonsilektomi 4,5 Tonsilektomi yang didefinisikan sebagai metode pengangkatan tonsil berasal dari bahasa latin tonsilia yang mempunyai arti tiang tempat menggantungkan sepatu serta dari bahasa yunani ectomy yang berarti eksisi. Beragam teknik tonsilektomi terus berkembang mulai dari abad 21 diantaranya diseksi tumpul, eksisi 1

description

urologi

Transcript of Presus

BAB I

PENDAHULUAN

Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan

meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan,

pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan

penanggulangan nyeri menahun.Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu

operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari

persiapan mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan

pada pada hari operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi,

masa anestesi dan pemeliharaan, tahap pemulihan serta perawatan pasca anestesi1,2,3.

Tonsilitis kronis merupakan peradangan kronik pada tonsil yang biasanya merupakan

kelanjutan dari infeksi akut berulang atau infeksi subklinis dari tonsil.Pada tonsillitis kronis,

ukuran tonsil dapat membesar sedemikian sehingga disebut tonsillitis kronis

hipertrofi.Mengingat dampak yang ditimbulkan makatonsilitis kronis hipertrofi yang telah

menyebabkan sumbatan jalan napas harus segera ditindak lanjuti dengan pendekatan operatif

tonsilektomi4,5 Tonsilektomi yang didefinisikan sebagai metode pengangkatan tonsil berasal

dari bahasa latin tonsilia yang mempunyai arti tiang tempat menggantungkan sepatu serta dari

bahasa yunani ectomy yang berarti eksisi. Beragam teknik tonsilektomi terus berkembang

mulai dari abad 21 diantaranya diseksi tumpul, eksisi guillotine, diatermi monopolar dan

bipolar, skapel harmonik, diseksi dengan laser dan terakhir diperkenalkan tonsilektomi

dengan coblation. Adapun teknik yang sering dilakukan adalah diseksi thermal menggunakan

elektrocauter.

Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi ditentukan berdasarkan usia pasien,

kondisi kesehatan dan keadaan umum, sarana prasarana serta keterampilan dokter bedah,

dokter anestesi dan perawat anestesi. Di Indonesia, tonsilektomi masih dilakukan di bawah

anestesi umum, teknik anestesi lokal tidak digunakan lagi kecuali di rumah sakit pendidikan

dengan tujuan untuk pendidikan.

Mengingat tonsilektomi merupakan tindakan bedah yang dilakukan dengan anestesi

umum maupun lokal, komplikasi yang ditimbulkannya merupakan gabungan komplikasi

tindakan bedah dan anestesi. Komplikasi terkait anestesi terjadi pada 1:10.000 pasien yang

menjalani tonsilektomi. Komplikasi ini terkait dengan keadaan status kesehatan pasien.

Adapun komplikasi yang dapat ditemukan berupa laringospasme, gelisah pasca operasi, mual,

1

2

muntah, kematian pada saat induksi pada pasien dengan hipovolemia, hipersensitif terhadap

obat anestesi serta hipotensi dan henti jantung terkait induksi intravena dengan pentotal5.

Tujuan penulisan dan pembahasan presentasi kasus ini agar dapat memahami

mengenai general anestesi pada tindakan tonsilektomi. Penting bagi seorang dokter untuk

dapat menentukan pemilihan anestesi yang tepat agar dapat memberikan kenyamanan pada

pasien saat operasi berlangsung.

3

BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : F

Jenis Kelamin : laki-laki

Usia : 20 tahun

Berat Badan : 70 kg

Agama : Islam

Alamat : Palembang

No. RM : 316879

Diagnosis : Tonsilitis Kronik

B. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 5 Oktober 2015 di RS Tk II

AK.Gani

a. Keluhan utama : Nyeri menelan

b. Riwayat penyakit sekarang :

Pada anamnesis didapatkan pasien mengeluh nyeri telan sejak 2 minggu

lalu.Nyeri telan dirasakan saat makan, minum ataupun menelan ludah. Menurut

pasien, sebelumnya sempat mengalami demam dan pilek. Nyeri telan tidak

disertai dengan ngorok saat tidur. Pasien sering mengalami demam, batuk, pilek

yang kumat-kumatan hampir tiap bulan.

1 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS) pasien periksa ke dokter umum

dengan keluhan yang sama dan dikatakan mengalami radang amandel. Dalam 1

bulan terakhir kambuh 2 kali. Bila kambuh pasien merasakan nyeri tenggorokan,

susah menelan, disertai demam dan batuk pilek. Keluhan terasa setelah

mengkonsumsi minuman dingin, jajan sembarangan dan berminyak.Saat ini

pasien mengalami pilek.Pasien tidak mengeluhkan demam.

c. Riwayat penyakit dahulu :

1) Riwayat asma disangkal

4

2) Riwayat alergi makanan dan obat disangkal

d. Riwayat penyakit keluarga:

Riwayat asma, alergi dan riwayat penyakit yang sama dengan pasien

disangkal.

e. Riwayat Kebiasaan

Pasien sering mengkonsumsi minuman dingin, Jajan sembarangan dan

mengkonsumsi makanan yang berminyak.

C. PEMERIKSAAN FISIK

Dilakukan pada 5 Oktober 2015

GCS : E4V5M6 = 15

Vital Sign : Tekanan darah : 120/80 mmHg

Nadi : 82 x/menit

Suhu : 36,8C

Pernafasan : 18 x/menit

Status Generalis

a. Kulit : Warna kulit sawo matang, tidak ikterik, tidak sianosis, turgor

kulit cukup, capilary refill kurang dari 2 detik dan teraba

hangat.

b. Kepala : Tampak tidak ada jejas, tidak ada bekas trauma, distribusi

merata dan tidak mudah dicabut.

c. Mata : Tidak terdapat konjungtiva anemis dan sklera ikterik

d. Pemeriksaan Leher

1) Inspeksi : Tidak terdapat jejas

2) Palpasi : Trakea teraba di tengah, tidak terdapat pembesaran kelenjar

tiroid. Teraba pembesaran limfonodi submandibula.

i. Pemeriksaan Thorax

1) Jantung

5

a) Inspeksi :Tampak ictus cordis 2cm dibawah papila mamae sinistra

b) Palpasi :Ictus cordis teraba kuat

c) Perkusi:

i. Batas atas kiri : ICS II garis parasternal sinsitra

ii. Batas atas kanan : ICS II garis parasternal dextra

iii. Batas bawah kiri : ICS V garis midclavikula sinistra

iv. Batas bawah kanan : ICS IV garis parasterna dextra

d) Auskultasi:S1 > S2 reguler, tidak ditemukan gallop dan murmur.

2) Paru

a) Inspeksi : Dinding dada simetris pada saat statis dandinamis serta

tidak ditemukan retraksi danketertinggalan gerak.

b) Palpasi : Simetris, vokal fremitus kanan sama dengan kiridan tidak

terdapat ketertinggalan gerak.

c) Perkusi : Sonor kedua lapang paru

d) Auskultasi: Tidak terdengar suara rhonkhi pada kedua pulmo. Tidak

terdengar suara wheezing

j. Pemeriksaan Abdomen

a) Inspeksi : Perut datar, simetris, tidak terdapat jejas dan massa

b) Auskultasi : Terdengar suara bising usus

c) Perkusi : Timpani

d) Palpasi : Supel, tidak terdapat nyeri tekan. Hepar dan lien tidak

teraba.

k. Pemeriksaan Ekstremitas :

Tidak terdapat jejas, bekas trauma, massa, dan sianosis

Turgor kulit cukup, akral hangat

Status Lokalis

Telinga :

Dekstra Sinistra

Auricula Bentuk normal, Nyeri tekan

(-), Massa (-)

Bentuk normal, Nyeri tekan

(-), Massa (-)

PreAuricula Tragus pain (-), Fistel (-), Tragus pain (-), Fistel (-),

6

abses (-) abses (-)

RetroAuricula Nyeri tekan (-), abses (-),

edema (-), Hiperemis (-)

Nyeri tekan (-), abses (-),

edema (-), Hiperemis (-)

Mastoid Nyeri tekan (-), edema (-)

Hiperemis (-)

Nyeri tekan (-), edema (-)

Hiperemis (-)

CAE Otoskop tidak dilakukan Otoskop tidak dilakukan

Membran timpani

Perforasi Otoskop tidak dilakukan Otoskop tidak dilakukan

Cone Of Light Otoskop tidak dilakukan Otoskop tidak dilakukan

Warna Otoskop tidak dilakukan Otoskop tidak dilakukan

Bentuk Otoskop tidak dilakukan Otoskop tidak dilakukan

Hidung

Dekstra Sinistra

Hidung luar Bentuk(Normal),

Hiperemi(-), Nyeri tekan

(-), Deformitas (-)

Bentuk(Normal),

Hiperemi(-), Nyeri tekan

(-), Deformitas (-)

Rinoskopi Anterior

Vestibulum Nasi Rinoskop tidak

dilakukan

Rinoskop tidak

dilakukan

Cavum Nasi Rinoskop tidak

dilakukan

Rinoskop tidak

dilakukan

Meatus Nasi Media Rinoskop tidak

dilakukan

Rinoskop tidak

dilakukan

Konka Nasi inferior Rinoskop tidak

dilakukan

Rinoskop tidak

dilakukan

Septum Nasi Rinoskop tidak

dilakukan

Rinoskop tidak

dilakukan

7

Pemeriksaan Tenggorokan

Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda, sudut

bibir normal.

Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda

Lidah Permukaan lidah putih, tampak seperti sisa

makanan, atrofi (-),

Geligi Jumlah normal, karies dentis (-), Gigi goyang (-)

Uvula Terlihat Tepat di tengah, deviasi (-), hiperemi(-),

edema(-)

Palatum Mole Terlihat, permukaan rata, bombans (-)

Faring Terlihat; permukaan rata, edema(-), hiperemi(-)

Tonsila palatin T3/T3, simetris, pseudomembran (-), kripte

melebar, permukaan rata, eritema (-)

Fossa tonsillaris dan

arkus faringus

Tidak terlihat

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Pemeriksaan 5 Oktober 2015 Nilai normal

Hematologi

Hemoglobin 11,6 11,5-15,5 g/Dl

Leukosit 9.90 4800-10800/L

Hematokrit 33,4 35-45%

Eritrosit 4,27x106 4,0-4,2x106/

Trombosit 232000 150000-450000/L

MCV 77,1 80,0-99,0 fl

MCH 27,2 27,0-31,0 pg

MCHC 34,9 33,0-37,0 %

RDW 14.5 11,5-14,5 %

8

MPV 7.4 7,2-14,1 fl

CT 2.00 1-3 menit

BT 2.00 1-6 menit

Gol. Darah A

Kimia Klinik

SGOT 17 <31 U/L

SGPT 8 <32 U/L

Ureum 16,9 10-50 mg/dL

Creatinin 0,63 0,60-0,90 mg/dL

GDS 79 ≤ 200 mg/dL

Seroimmunologi

HbsAg Negatif Negatif

Serum ASTO 320 <300

E. KESAN ANESTESI

Laki-laki 20 tahun menderita Tonsilitis Kronik dengan ASA I

F. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan yaitu :

a. Intravena fluid drip(IVFD) RL 20 tpm

b. Pro Tonsilektomi

c. Informed Consent Operasi

d. Konsul ke Bagian Anestesi

e. Informed Consent Pembiusan

Dilakukan operasi dengan anestesi umum dengan status ASA I

G. KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka :

Diagnosis pre operatif : Tonsilitis Kronis

Status Operatif : ASA 1

9

Jenis Operasi : Tonsilektomi

Jenis Anastesi : Anastesi umum

H. LAPORAN ANESTESI

1. Diagnosis Pra Bedah

Tonsilitis Kronik

2. Diagnosis Pasca Bedah

Tonsilitis Kronik

3. Penatalaksanaan Preoperasi

a Infus RL 500 cc

4. Penatalaksanaan Anestesi

a. Jenis Pembedahan : Tonsilektomi

b. Jenis Anestesi : Anestesi umum

c. Teknik Anestesi : Anastesi umum dengan teknik semi closed circuit

system dengan ETT no 7.5

d. Mulai Anestesi : 5 oktober 2015, pukul 09.30 WIB

e. Mulai Operasi : 5 oktober2015, pukul 09. 40 WIB

f. Premedikasi : Ondansentron 4 mgiv

g. Induksi : Fentanyl 100 mcg iv

Propofol 100 mg iv

h. Medikasi tambahan : Dexametason 20 mg iv

Paracetamol 1g drip

Asam tranexsamat 500 mg iv

i. Maintanance : O2 3 lt, N2O 3 lt ,sevoflurane 1.5 lt

j. Relaksasi : Atracurium 20 mg

Intubasi : Laringoskop blade no 2

Nasal Endotracheal Tube no 6.0 cuff (+)

k. Respirasi : pernapasan spontan

l. Posisi : Supine

m. Cairan Durante Operasi : RL 500 ml

n. Pemantauan Tekanan Darah dan HR

Terlampir

10

o. Reverse : Neostigmin 2 mg dan sulfas atropine 1,5mg

p. Selesai operasi : 10.15 WIB

I. POST OPERATIF

- Pasien masuk ruang pemulihan dan setelah itu dibawa ke ruang Cempaka

- Observasi tanda- tanda vital dalam batas normal

Kesadaran : Compos Mentis

TD : 110/75 mmHg

Nadi : 72x/min

Saturasi : 99 %

- Penilaian pemulihan kesadaran

Tabel . Variabel Skor Lockharte/Aldrete

Variabel Tem SkorSkor

Pasien

Aktivitas

Gerak ke-4 anggota gerak atas perintah

Gerak ke-2 anggota gerak atas perintah

Tidak respon

2

1

0

2

Respirasi

Dapat bernapas dalam dan batuk

Dispnea, hipoventilasi

Apnea

2

1

0

2

Sirkulasi

Perubahan < 20 % TD sistol preoperasi

Perubahan 20-50 % TD sistol preoperasi

Perubahan .> 50 % TD sistol preoperasi

2

1

0

2

Kesadaran Sadar penuh 2 1

11

Dapat dibangunkan

Tidak respon

1

0

Warna kulit

Merah

Pucat

Sianotik

2

1

0

2

Skor Total   9

≥ 9 : Pindah dari unit perawatan pasca anestesi

≥ 8 : Dipindahkan ke ruang perawatan bangsal

≥ 5 : dipindahkan ke ruang perawatan intensif (ICU)

Pada pasien ini didapatkan nilai aldrete skor 9, pasien dipindahkan ke ruang

perawatan bangsal untuk dilakukan observasi lebih lanjut.

12

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Dan Fisiologi Saluran Nafas Bagian Atas

Dalam melakukan tindakan intubasi endotrakheal terlebih dahulu kita harus memahami

anatomi dan fisiologi jalan napas bagian atas dimana intubasi itu dipasang.

Gambar 1. Anatomi Saluran Nafas Bagian Atas

( dikutip : www.pearsoned.co.uk )

1. Respirasi Internal dan Eksternal

Respirasi dibagi dalam dua fase. Fase pertama ekspirasi eksternal dalam pengertian

yang sama dengan bernafas. Ini merupakan kombinasi dari pergerakan otot dan skelet,

dimana udara untuk pertama kali didorong ke dalam paru dan selanjutnya

dikeluarkan.Peristiwa ini termasuk inspirasi dan ekspirasi. Fase yang lain adalah

respirasi internal yang meliputi perpindahan / pergerakan molekul-molekul dari gas-gas

pernafasan (oksigen dan karbondioksida) melalui membrana, perpindahan cairan, dan

sel-sel dari dalam tubuh sesuai keperluan9.

2. Organ-organ pernafasan

Traktus respiratorius ini meliputi: (a) rongga hidung (b) laring (c) trakea (d) bronkhus

(e) paru-paru dan (f) pleura. Faring mempunyai dua fungsi yaitu untuk sistem

pernafasan dan sistem pencernaan. Beberapa otot berperan dalam proses pernafasan.

Diafragma merupakan otot pernafasan yang paling penting disamping muskulus

intercostalis interna dan eksterna beberapa otot yang lainnya9.

13

Gambar 2. Sistem Respirasi

( dikutip : www.pearsoned.co.uk )

3. Faring

Udara masuk ke dalam rongga mulut atau hidung melalui faring dan masuk ke

dalam laring.Nasofaring terletak di bagian posterior rongga hidung yang

menghubungkannya melalui nares posterior.Udara masuk ke bagian faring ini turun

melewati dasar dari faring dan selanjutnya memasuki laring.

Kontrol membukanya faring, dengan pengecualian dari esofagus dan

membukanya tuba auditiva, semua pasase pembuka masuk ke dalam faring dapat

ditutup secara volunter. Kontrol ini sangat penting dalam pernafasan dan waktu makan,

selama membukanya saluran nafas maka jalannya pencernaan harus ditutup sewaktu

makan dan menelan atau makanan akan masuk ke dalam laring dan rongga hidung

posterior9.

4. Laring

Organ ini (kadang-kadang disebut sebagai Adam’s Apple) terletak di antara akar

lidah dan trakhea.Laring terdiri dari 9 kartilago melingkari bersama dengan ligamentum

dan sejumlah otot yang mengontrol pergerakannya.Kartilago yang kaku pada dinding

laring membentuk suatu lubang berongga yang dapat menjaga agar tidak mengalami

kolaps. Pita suara terletak di dalam laring, oleh karena itu ia sebagai organ pengeluaran

suara yang merupakan jalannya udara antara faring dan laring.Bagian laring sebelah atas

14

luas, sementara bagian bawah sempit dan berbentuk silinder9.Fungsilaring,yaitu

mengatur tingkat ketegangan dari pita suara yang selanjutnya mengatur suara.Laring

juga menerima udara dari faring diteruskan ke dalam trakhea dan mencegah makanan

dan air masuk ke dalam trakhea.Ketika terjadi pengaliran udara pada trakhea, glotis

hampir terbuka setiap saat dengan demikian udara masuk dan keluar melalui laring

namun akan menutup pada saat menelan. Epiglotis yang berada di atas glottis selain

berfungsi sebagai penutup laringjuga sangat berperan pada waktu memasang intubasi,

karena dapat dijadikan patokan untuk melihat pita suara yang berwarna putih yang

mengelilingi lubang9.

B. Tonsilitis Kronik

Tonsilitis kronis adalah peradangan kronis tonsila palatina lebih dari 3 bulan

setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis. Mikroabses

pada tonsilitis kronik menyebabkan tonsil dapat menjadi fokal infeksi bagi organ-organ

lain seperti sendi, ginjal, jantung dan lain-lain. Fokal infeksi adalah sumber

bakteri/kuman di dalam tubuh dimana kuman atau produk-produknya dapat menyebar

jauh ke tempat lain dalam tubuh itu dan dapat menimbulkan penyakit4,10.

Kelainan ini hanya menimbulkan gejala ringan atau bahkan tidak ada gejala sama

sekali, tetapi akan menyebabkan reaksi atau gangguan fungsi pada organ lain yang jauh

dari sumber infeksi. Tonsilitis terlihat membesar disertai dengan hiperemi ringan yang

mengenai pilar anterior dan apabila tonsil ditekan keluar detritus4.

1. Etiologi

Tonsilitis kronik yang terjadi pada anak mungkin disebabkan oleh karena sering

menderita infeksi saluran napas atas (ISPA) atau tonsilitis akut yang tidak diobati

dengan tepat atau dibiarkan saja. Tonsilitis kronik disebabkan oleh bakteri yang sama

terdapat pada tonsilitis akut, dan yang paling sering adalah bakteri gram positif.

Staphylococcus alfa merupakan penyebab tersering diikuti Staphylococcus aureus,

Streptococcus beta hemolyticus group A11.

2. Faktor predisposisi

Beberapa faktor timbulnya tonsilitis kronis, yaitu :

- Rangsangan kronis (rokok, makanan)

- Hygiene mulut yang buruk

- Pengaruh cuaca (udara dingin, lembab, suhu yang berubah-ubah)

15

- Alergi (iritasi kronis dari alergen)

- Keadaan umum ( kurang gizi, kelelahan fisik)

- Pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat

3. Patofisiologi

Fungsi tonsil adalah sebagai pertahanan terhadap masuknya kuman ke tubuh kita

baik melalui hidung atau mulut. Kuman yang masuk disitu akan dihancurkan oleh

makrofag yang merupakan sel-sel polimorfonuklear. Jika tonsil berulang kali terkena

infeksi akibat dari penjagaan hygiene mulut yang tidak memadai serta adanya faktor-

faktor lain,maka pada suatu waktu tonsil tidak bisa membunuh semua kuman

kumannya, akibatnya kuman yang yang bersarang di tonsil akan menimbulkan

peradangan tonsil yang kronik.pada keadaan inilah fungsi pertahanan tubuh dari tonsil

berubah menjadi sarang infeksi atau fokal infeksi5,11.

Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripte tonsil. Karena proses

radang berulang, maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis, sehingga pada

proses penyembuhan jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan parut. Jaringan ini akan

mengerut sehingga kripta akan melebar.

Secara klinis kripte ini akan diisi oleh detritus (akumulasi sel yang mati, sel

leukosit yang mati dan bakteri yang menutupi kripte berupa eksudat bewarna putih

kekuningan). Proses ini meluas sehingga menembus kapsul dan akhirnya timbul

perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Sewaktu-waktu kuman bisa

menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada keadaan imun yang menurun12.

4. Manifestasi klinis

Gejala tonsilits kronis dibagi menjadi 1) gejala lokal, yang bervariasi dari rasa

tidak enak di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit menelan; 2) gejala sistemis,

berupa rasa tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam subfebris, nyeri otot

dan persendian; 3) gejala klinis tonsil dengan debris di kriptenya (tonsilitis folikularis

kronis), udem atau hipertrofi tonsil (tonsilitis parenkimatosa kronis), tonsil fibrotik dan

kecil (tonsilitis fibrotik kronis), plika tonsilaris anterior hiperemis dan pembengkakan

kelenjar limfe regional5,11.

5. Terapi

a. Medikanmentosa

16

Terapi tonsilitis kronis dapat diatasi dengan menjaga higiene mulut yang baik,

obat kumur, dan obat.

Pengobatan tonsilitis kronis dengan menggunakan antibiotik oral perlu

diberikan selama sekurangnya 10 hari.Antibiotik yang dapat diberikan adalah

golongan penisilin atau sulfonamida, namun bila terdapat alergi penisilin dapat

diberikan eritromisis atau klindamisin4.

b. Operatif

Tonsilektomi merupakan prosedur yang paling sering dilakukan dalam sejarah

operasi.Indikasi tonsilektomi dulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat

perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi pada saat

ini.Dulu, tonsilektomi diindikasikan untuk terapi tonsilitis kronik dan berulang.

Saat ini, indikasi utama adalah obstruksi saluran nafas dan hipertrofi tonsil

17

ANESTESI UMUM

1.1 Definisi

Anestesi (pembiusan;berasaldari bahasaYunani an-"tidak,tanpa"dan aesthētos, "persepsi,

kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit

ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit

pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun

1846.

Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri sentral disertai hilangnya kesadaran

yang bersifat reversibel. Dengan anestesi umum akan diperoleh trias anestesia, yaitu:

Hipnotik (tidur)

Analgesia (bebas dari nyeri)

Relaksasi otot (mengurangi ketegangan tonus otot)

Hanya eter yang memiliki trias anestesia. Karena anestesi modern saat ini

menggunakan obat-obat selain eter, maka anestesi diperoleh dengan menggabungkan

berbagai macam obat.

1.2 Metode anestesi umum

I. Parenteral

Anestesia umum yang diberikan secara parenteral baik intravena maupun

intramuskular biasanya digunakan untuk tindakan yang singkat atau untuk induksi

anestesia.

II. Perektal

Metode ini sering digunakan pada anak, terutama untuk induksi anestesia maupun

tindakan singkat.

III. Perinhalasi

Yaitu menggunakan gas atau cairan anestetika yang mudah menguap (volatile

agent) dan diberikan dengan O2. Konsentrasi zat anestetika tersebut tergantung

dari tekanan parsialnya; zat anestetika disebut kuat apabila dengan tekanan parsial

yang rendah sudah mampu memberikan anestesia yang adekuat.

1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi umum

A. Faktor Respirasi

18

Hal-hal yang mempengaruhi tekanan parsial zat anestetika dalam alveolus

adalah:

1. Konsentrasi zat anestetika yang diinhalasi; semakin tinggi konsentrasi, semakin

cepat kenaikan tekanan parsial

2. Ventilasi alveolus; semakin tinggi ventilasi, semakin cepat kenaikan tekanan

parsial

B. Faktor Sirkulasi

Saat induksi, konsentrasi zat anestetika dalam darah arterial lebih besar

daripada darah vena. Faktor yang mempengaruhinya adalah:

Perubahan tekanan parsial zat anestetika yang jenuh dalam alveolus dan darah

vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestetika diserap jaringan dan sebagian

kembali melalui vena.

Koefisien partisi darah/gas yaitu rasio konsentrasi zat anestetika dalam darah

terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya dalam keadaan seimbang.

Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung.

C. Faktor Jaringan

Perbedaan tekanan parsial obat anestetika antara darah arteri dan jaringan

Koefisien partisi jaringan/darah

Aliran darah dalam masing-masing 4 kelompok jaringan (jaringan kaya pembuluh

darah/JKPD, kelompok intermediate, lemak, dan jaringan sedikit pembuluh

darah/JSPD)

D. Faktor Zat Anestetika

Potensi dari berbagai macam obat anestetika ditentukan oleh MAC (Minimal

Alveolus Concentration), yaitu konsentrasi terendah zat anestetika dalam udara

alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon) terhadap rangsang rasa

sakit. Semakin rendah nilai MAC, semakin poten zat anestetika tersebut.

E. Faktor Lain

Ventilasi, semakin besar ventilasi, semakin cepat pendalaman anestesi

Curah jantung, semakin tinggi curah jantung, semakin lambat induksi dan

pendalaman anestesia

Suhu, semakin turun suhu, semakin larut zat anestesia sehingga pendalaman

anestesia semakin cepat.

19

1.4 Keuntungan anestesi umum :

Mengurangi kesadaran pasien intraoperative

Memungkinkan relaksasi otot yang tepat untuk jangka waktu yang lama

Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi

Dapat digunakan dalam kasus sensitivitas terhadap agen anestesi lokal

Dapat disesuaikan dengan mudah untuk prosedur durasi tak terduga

Dapat diberikan dengan cepa

Dapat diberikan pada pasien dalam posisi terlentang

1.5 Kekurangan anestesi umum :

Memerlukan beberapa derajat persiapan pra operasi pasien

Terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual atau muntah, sakit

tenggorokan, sakit kepala, menggigil, dan memerlukan masa untuk fungsi mental

yang normal

Terkait dengan hipertermia di mana paparan beberapa (tetapi tidak semua) agen

anestesi umum menyebabkan kenaikan suhu akut dan berpotensi mematikan,

hiperkarbia, asidosis metabolik, dan hiperkalemia.

1.6 Indikasi anestesi umum :

Infant dan anak usia muda

Dewasa yang memilih anestesi umum

Pembedahan luas

Penderita sakit mental

Pembedahan lama

Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis atau tidak memuaskan

Riwayat penderita toksik/alergi obat anestesi lokal

Penderita dengan pengobatan antikoagulan

PROSEDUR ANESTESI UMUM

2.1 Persiapan pra anestesi umum

20

Pasien yang akan menjalani anestesi dan pembedahan baik elektif maupun darurat harus

dipersiapkan dengan baik karena keberhasilan anestesi dan pembedahan sangat dipengaruhi

oleh persiapan pra anestesi. Kunjungan pra anestesi pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-

2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat.

Tujuan kunjungan pra anestesi:

- Mempersiapkan mental dan fisik pasien secara optimal dengan melakukan anamnesis,

pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan lain.

- Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yang sesuai keadaan fisik

dan kehendak pasien. Dengan demikian, komplikasi yang mungkin terjadi dapat

ditekan seminimal mungkin.

- Menentukan klasifikasi yang sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik, dalam hal ini

dipakai klasifikasi ASA (American Society of Anesthesiology) sebagai gambaran

prognosis pasien secara umum.

2.2 Persiapan pasien

A. Anamnesis

Anamnesis dapat diperoleh dari pasien sendiri (autoanamnesis) atau melalui keluarga

pasien (alloanamnesis). Dengan cara ini kita dapat mengadakan pendekatan psikologis serta

berkenalan dengan pasien.

Yang harus diperhatikan pada anamnesis:

1. Identifikasi pasien, missal: nama, umur, alamat, pekerjaan, dll.

2. Riwayat penyakit yang pernah atau sedang diderita yang mungkin dapat menjadi

penyulit dalam anestesi, antara lain: penyakit alergi, diabetes mellitus, penyakit paru-

paru kronik (asma bronchial, pneumonia, bronchitis), penyakit jantung dan hipertensi

(infark miokard, angina pectoris, dekompensasi kordis), penyakit hati, dan penyakit

ginjal.

3. Riwayat obat-obat yang sedang atau telah digunakan dan mungkin menimbulkan

interaksi dengan obat-obat anestetik. Misalnya kortikosteroid, obat antihipertensi,

obat-obat antidiabetik, antibiotika golongan aminoglikosida, obat penyakit jantung

seperti digitalis, diuretika, obat anti alergi, tranquilizer, monoamino oxidase inhibitor,

bronkodilator.

21

4. Riwayat operasi dan anestesi yang pernah dialami diwaktu yang lalu, berapa kali, dan

selang waktunya. Apakah pasien mengalami komplikasi saat itu seperti kesulitan pulih

sadar, perawatan intensif pasca bedah.

5. Kebiasaan buruk sehari-hari yang mungkin dapat mempengaruhi jalannya anestesi

seperti: merokok dan alkohol.

B. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut,

lidah relative besar sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan

laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.

Pemeriksaan rutin lain secara sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan

seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.

C. Pemeriksaan laboratorium

Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit yang

sedang dicurigai. Banyak fasilitas kesehatan yang mengharuskan uji laboratorium secara rutin

walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb,

lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien di atas 50

tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks. Praktek-praktek semacam ini harus

dikaji ulang mengingat biaya yang harus dikeluarkan dan manfaat minimal uji-uji semacam

ini.

Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium, selanjutnya

dibuat rencana mengenai obat dan teknik anestesi yang akan digunakan. Misalnya pada

diabetes mellitus, induksi tidak menggunakan ketamin yang dapat menimbulkan

hiperglikemia. Pada penyakit paru kronik, mungkin operasi lebih baik dilakukan dengan

teknik analgesia regional daripada anestesi umum mengingat kemungkinan komplikasi paru

pasca bedah. Dengan perencanaan anestesi yang tepat, kemungkinan terjadinya komplikasi

sewaktu pembedahan dan pasca bedah dapat dihindari.

D. Kebugaran untuk anestesi

22

Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien dalam

keadaan bugar, sebaliknya pada operasi cito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.

E. Masukan oral

Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi lambung dan

kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang

menjalani anesthesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan

untuk operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama

periode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam,

anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam

sebelum induksi anesthesia. Minuman bening, air putih, the manis sampai 3 jam dan untuk

keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi

anesthesia.

F. Klasifikasi status fisik

23

Kela

s

Status fisik Contoh

I Pasien normal yang sehat Pasien bugar dengan

hernia inguinal

II Pasien dengan penyakit

sistemik ringan

Hipertensi esensial,

diabetes ringan

III Pasien dengan penyakit

sistemik berat yang tidak

melemahkan

(incapacitating)

Angina, insufisiensi

pulmoner sedang

sampai berat

IV Pasien dengan penyakit

sistemik yang melemahkan

dan merupakan ancaman

konstan terhadap kehidupan

Penyakit paru

stadium lanjut,

gagal jantung

V Pasien sekarat yang

diperkirakan tidak bertahan

selama 24 jam dengan atau

tanpa operasi

Ruptur aneurisma

aorta, emboli paru

massif

E Kasus-ksus emergensi

diberi tambahan hurup “E”

ke angka.

Tabel 1.Klasifikasi ASA dari status fisik

Skor Mallampati

Skor Mallampati adalah suatu perkiraan kasar dari ukuran relatif lidah terhadap

rongga mulut yang digunakan untuk memperkirakan tingkat kesulitan intubasi. Skor

Mallampati ditentukan dengan melihat anatomi dari rongga mulut, khususnya berdasarkan

visibilitas dari dasar uvula, arkus tonsilaris anterior dan posterior, dan palatum mole.

Semakin tinggi skor mallampati, semakin tinggi pula tingkat kesulitan untuk dilakukan

intubasi.

24

Kelas 1 tonsil, palatum mole, dan uvula terlihat jelas seluruhnya

Kelas 2palatum durum dan palatum mole masih terlihat, sedangkan tonsil

dan uvula hanya terlihat bagian atas

Kelas 3Hanya palatum mole dan palatum durum yang terlihat, sedangkan

dinding posterior faring dan uvula tertutup seluruhnya oleh lidah

Kelas 4Hanya palatum durum yang terlihat, sedangkan dinding posterior

faring, uvula, dan palatum mole tertutup seluruhnya oleh lidah

Tabel 2.Klasifikasi skor mallampati

25

G. Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan

untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia diantaranya :

-Meredakan kecemasan dan ketakutan

-Memperlancar induksi anesthesia

-Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus

-Meminimalkan jumlah obat anestetik

-Mengurangi mual muntah pasca bedah

-Menciptakan amnesia

-Mengurangi isi cairan lambung

-Mengurangi refleks yang membahayakan

Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada situasi yang tidak

pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat membangun kepercayaan dan

menenteramkan pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg

beberapa jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya, dapat

diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuskular.

Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam. Untuk

meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin misalnya oral

simetidin 600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi.

Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi suntikan

intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau ondansentron 2-4 mg (zofran, narfoz).

2.3 Persiapan peralatan anestesi

Tindakan anestesi yang aman tidak terlepas dari kelengkapan peralatan anestesi yang

baik. Baik tidak berarti harus canggih dan mahal, tetapi lebih berarti berfungsi, sesuai dengan

tujuan kita memberi anestesi yang lancar dan aman.

Mesin anestesi

Fungsi mesin anestesi (mesin gas) ialah menyalurkan gas atau campuran gas anestetik

yang aman ke rangkaian sirkuit anestetik yang kemudian dihisap oleh pasien dan membuang

sisa campuran gas dari pasien. Rangkaian mesin anestesi sangat banyak ragamnya, mulai dari

26

yang sangat sederhana sampai yang diatur oleh komputer. Mesin yang aman dan ideal ialah

mesin yang memenuhi persyaratan berikut:

1. Dapat menyalurkan gas anestetik dengan dosis tepat

2. Ruang rugi (dead space) minimal

3. Mengeluarkan CO2 dengan efisien

4. Bertekanan rendah

5. Kelembaban terjaga dengan baik

6. Penggunaannya sangat mudah dan aman

Komponen dasar mesin anestetik terdiri dari:

1. Sumber O2, N2O, dan udara tekan.

Dapat tersedia secara individual menjadi satu kesatuan mesin anestetik atau dari

sentral melalui pipa-pipa. Rumah sakit besar biasanya menyediakan O2, N2O, dan

udara tekan secara sentral untuk disalurkan ke kamar bedah sentral, kamar bedah

rawat jalan, ruang obstetrik, dll.

2. Alat pantau tekanan gas (pressure gauge)

Berfungsi untuk mengetahui tekanan gas pasok. Kalau tekanan gas O2 berkurang,

maka akan ada bunyi tanda bahaya (alarm)

3. Katup penurun tekanan gas (pressure reducing valve)

Berfungsi untuk menurunkan tekanan gas pasok yang masih tinggi, sesuai

karakteristik mesin anestesi.

4. Meter aliran gas (flowmeter)

Untuk mengatur aliran gas setiap menitnya.

5. Satu atau lebih penguap cairan anestetik (vaporizers)

Dapat tersedia satu, dua, tiga, sampai empat.

6. Lubang keluar campuran gas (common gas outlet)

7. Kendali O2 darurat (oxygen flush control)

Berfungsi untuk keadaan darurat yang dapat mengalirkan O2 murni sampai 35-37

liter/menit tanpa melalui meter aliran gas.

27

Tabung gas beserta alat tambahannya dan penguap diberi warna khusus untuk

menghindari kecelakaan yang mungkin timbul. Kode warna internasional yang telah

disepakati ialah:

Oksige

n

N2O Udara CO2 Halotan Enflura

n

Isofluran Desfluran Sevofluran

Putih Biru Putih-

hitam

kuning

Abu

-abu

Merah Jingga Ungu Biru kuning

Sirkuit anestesi

Sirkuit anestesi atau sistem penghantar gas atau sistem anestesi ialah alat yang bukan

saja menghantarkan gas atau uap anestetik dan oksigen dari mesin ke jalan napas atas pasien,

tetapi juga harus sanggup membuang CO2 dengan mendorongnya dengan aliran gas segar atau

dengan menghisapnya dengan kapur soda.

Sirkuit anestesi umumnya terdiri dari:

1. Sungkup muka, sungkup laring, atau pipa trakea

2. Katup ekspirasi dengan per atau pegas (expiratory loaded spring valve, pop-off valve,

APL, adjustable pressure limiting valve)

3. Pipa ombak, pipa cadang (corrugated tube, reservoir tube)

Bahan karet hitam (karbon) atau plastik transparent anti statik, anti tertekuk

4. Kantong cadang (reservoir bag)

5. Tempat masuk campuran gas anestetik dan O2 (fresh gas inlet).

Untuk mencegah terjadinya barotraumas akibat naiknya tekanan gas yang mendadak

tinggi, katup membatasi tekanan sampai 50 cm H2O

Sirkuit anestesi yang popular sampai saat ini ialah sirkuit lingkar (circle system),

sirkuit Magill, sirkuit Bain, dan system pipa T atau pipa Y dari Ayre.

Sungkup muka

28

Pemakaian sungkup muka berguna untuk menyalurkan oksigen atau gas anestesi ke

pasien. Terdapat beberapa jenis sungkup. Dengan sungkup trasparan berguna untuk obervasi

kelembapan udara yang diekshalasi dan mengetahui jika pasien muntah. Sungkup karet hitam

dapat digunakan untuk mengadaptasi struktur muka yang tidak biasa.

Ventilasi efektif memerlukan baik sungkup yang kedap udara dan jalan nafas yang

baik. Teknik sungkup muka yang salah dapat berakibat deflasi yang berkelanjutan pada

reservoir bag saat katup tekanan ditutup, biasanya mengindikasikan adanya kebocoran di

sekitar sungkup. Sebaliknya pembentukan tekanan pernapasan yang tinggi dengan gerakan

dada minimal dan suara pernafasan menandakan obstruksi jalan nafas.

Sungkup dipegang melawan muka dengan tekanan ke bawah pada badan sungkup

dilakukan dengan jempol kiri dan jari telunjuk. Jari tengah dan manis memegang mandibula

untuk membantu ekstensi sendi atlantooksipital. Jari kelingking diletakkan di bawah sudut

rahang dan digunakan untuk menahan dagu ke depan, maneuver paling penting untuk

ventilasi pasien.

Endotracheal tube (ETT)

ETT dapat digunakan untuk memberikan gas anestesi secara langsung ke trakea dan

memberikan ventilasi dan oksigenasi terkontrol. Bentuk dan kekerasan ETT dapat diubah

dengan stilet. Resistensi terhadap aliran udara tergantung pada diameter tabung, tetapi juga

dipengaruhi oleh panjang tabung dan kurvatura.

Ukuran ETT yang digunakan pada wanita dewasa diameter internal 7-7.5 mm dengan

panjang 24 cm. pada pria dewasa diameter internal 7.5-9 mm dengan panjang 24cm.

29

Sungkup laring (Laringeal mask airway = LMA)

LMA digunakan untuk menggantikan sungkup muka atau ETT saat pemberian

anestesi, untuk membantu ventilasi dan jalur untuk ETT pada pasien dengan jalan nafas sulit

dan membantu ventilasi saat bronkoskopi.

Pemakaian LMA memerlukan anestesi lebih kuat dibandingkan dengan insersi jalan

nafas oral. Kontraindikasi LMA pada pasien dengan patologi faring seperti abses, obstruksi

faring, perut penuh seperti hamil atau komplians paru rensah seperti penyakit jalan nafas

restriktif.

30

2.4 Induksi anestesi

Induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar,

sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Setelah pasien tidur akibat

induksi anestesi langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai tindakan

pembedahan selesai.

Sebelum memulai induksi anestesi selayaknya disiapkan peralatan dan obat-obatan

yang diperlukan, sehingga seandainya terjadi keadaan gawat dapat diatasi dengan lebih cepat

dan lebih baik. Untuk persiapan induksi anestesi, sebaiknya diingat kata STATICS:

S : Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringoskop pilih bilah

atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.

T : Tubes Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia< 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan usia > 5

tahun dengan balon (cuffed).

A : Airway Pipa mulut-faring (Guedel,orotracheal airway) dan pipa hidung-faring (naso-

tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya

lidah tidak menyumbat jalan napas.

T : Tape Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut

I : Introducer Mandrin atau stillet untuk memandu agar pipa trakea mudah dimasukkan

C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anesthesia

S : Suction Penyedot lender, ludah, dan lain-lainnya

31

2.5 Obat Anestesi umum

Umumnya obat anestesi umum diberikan secara inhalasi atau suntikan intravena.

1. Anestetik inhalasi

Nitrogen aksida yan stabil pada tekanan dan suhu kamar merupakan salah satu anestetik

gas yang banyak dipakai karena dapat digunakan dalam bentuk kombinasi dengan anestetik

lainnya. Halotan, enfluran, isofluran, desfluran dan metoksifluran merupakan zat cair yang

mudah menguap. Sevofluran merupakan anestesi in halasi terbaru tetapih belum diizinkan

beredar di USA. Anestesi inhalasi konvensional seperti eter, siklopropan, dan kloroform

pemakaiannya sudah dibatasi karena eter dan siklopropan mudah terbakar sedangkan

kloroform toksik terhadap hati.

2. Anestetik intravena

Beberapa obat anestetik diberikan secara intravena baik tersendiri maupun dalam bentuk

kombinasi dengan anestetik lainnya untuk mempercepat tercapainya stadium anestesi atau

pun sebagai obat penenang pada penderita gawat darurat yang mendapat pernafasan untuk

waktu yang lama, Yang termasuk :

a) Barbiturat (tiopental, metoheksital)

b) Benzodiazepine (midazolam, diazepam)

c) Opioid analgesik dan neuroleptik

d) Obat-obat lain (profopol, etomidat)

e) Ketamin, arilsikloheksilamin yang sering disebut disosiatif anestetik.

Induksi anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena, inhalasi, intramuscular, atau

rectal.

a. Induksi intravena

Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang

jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Induksi intravena hendaknya dikerjakan

dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut, dan terkendali. Obat induksi bolus

disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan

32

pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi

cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif.

Tiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dengan kepekatan 2,5% dan

dosis antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan nyeri. Pada anak dan manula

digunakan dosis rendah dan dewasa muda sehat dosis tinggi.

Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1% menggunakan dosis 2-3

mg/kgBB. Suntikan propofol intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga satu

menit sebelumnya sering diberikan lidokain 1 mg/kgBB secara intravena.

Ketamin (ketalar) intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca anestesi dengan

ketamin sering menimbulkan halusinasi, karena itu sebelumnya dianjurkan

menggunakan sedativa seperti midasolam (dormikum). Ketamin tidak dianjurkan pada

pasien dengan tekanan darah tinggi (tekanan darah > 160 mmHg). Ketamin

menyebabkan pasien tidak sadar, tetapi dengan mata terbuka.

b. Induksi intramuscular

Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara intramuscular

dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.

c. Induksi inhalasi

Obat yang digunakan adalah obat-obat yang memiliki sifat-sifat :

- tidak berbau menyengat / merangsang

- baunya enak

- cepat membuat pasien tertidur.

Sifat-sifat tadi ditemukan pada halotan dan sevofluran.

Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau sevofluran. Cara

induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau pada

dewasa yang takut disuntik.

Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi

dimulai dengan aliran O2> 4 liter/menit atau campuran N2O:O2=3:1 aliran > 4

liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol% sampai konsentrasi yang dibutuhkan.

Kalau pasien batuk konsentrasi halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah

tenang dinaikkan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.

33

Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk, walaupun

langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol%. seperti dengan halotan

konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.

Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran), atau desfluran jarang

dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.

d. Induksi per rectal

Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam.

Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu mata

disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata.

2.6 Tanda dan stadium anestesi umum

Secara tradisional, efek anestetik dapat dibagi 4 (emapat) stadium peningkatan dalamnya

depresi susunan saraf pusat, yaitu :

I. Stadium analgesi

Pada stadium awal ini, penderita mengalami analgesi tanpa disertai kehilangan

kesadaran. Pada akhir stadium 1, baru didapatkan amnesia dan analgesi

II. Stadium terangsang

Pada stadium ini, penderita tampak delirium dan gelisah, tetapih kehilangan

kesadaran. Volume dan kecepatan pernafasan tidak teratur, dapat terjadi mual.

Inkontinensia urin dan defekasi sering terjadi. Karena itu, harus diusahakan untuk

membatasi lama dan berat stadium ini, yang ditandai dengan kembalinya pernafasan

secara teratur.

III. Stadium operasi

Stadium ini ditandai dengan pernafasan yang teratur. Dan berlanjut sampai

berhentinya pernafasan secara total. Ada empat tujuan pada stadium III digambarkan

dengan perubahan pergerakkan mata, dan ukuran pupil, yang dalam keadaan tertentu

dapat merupakan tanda peningktan dalamnya anestesi.

IV. Stadium depresi medula oblongata

34

Bila pernafasan spontan berhenti, maka akan masuk kedalam stadium IV. Pada

stadium ini akan terjadi depresi berat pusat pernafasan dimedula oblongata dan pusat

vasomotor. Tampa bantuan respirator dan sirkulasi, penderita akan cepat meninggal.

Pada praktek anestesi modern, perbedaan tanda pada masing-masing stadium sering

tidak jelas. Hal ini karena mula kerja obat anestetik modern relatife lebih cepat

dibandingkan dengan dietil eter disamping peratan penunjang yang dapat mengontrol

ventilasi paru secara mekanis cukup tersedia. Selain itu, adanya obat yang diberikan

sebelum dan selama operasi dapat juga berpengaruh pada tanda-tanda anestesi. Atropin,

digunakan untuk mengurangi skresi, sekaligus mendilatasi pupil; obat-obatnya seperti

tubokurarin suksinilkolin yang dapat mempengaruhi tonus otot; serta obat analgetik

narkotik yang dapat menyebabkan efek depresan pada pernafasan.tanda yang paling dapat

diandalkan untuk mencapai stadium operasi adalah hilangnya refleks kelopak mata dan

adanya pernapasan yang dalam dan teratur.

2.7 Teknik anestesi

1. Teknik anestesi nafas spontan dengan sungkup muka

Indikasi : untuk tindakan yang singkat (0,5-1 jam) tanpa membuka rongga perut,

keadaan umum pasien cukup baik, lambung harus kosong.

Selesai dilakukan induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata hilang, sungkup

muka ditempatkan pada muka. Sebaiknya dagu ditahan atau sedikit ditarik kebelakang

(posisi kepala ekstensi) agar jalan napas bebas dan pernafasan lancer.

N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2 L/menit untuk memperdalam anestesi,

bersamaan dengan ini halotan dibuka sampai 1% dan sedikit demi sedikit dinaikkan

dengan 1% sampai 3 atau 4 % tergantung reaksi dan besar tubuh penderita

Kedalaman anestesi dinilai dari tanda-tanda mata (bola mata menetap), nadi tidak

cepat, dan terhadap rangsang operasi tidak banyak berubah. Kalau stadium anesthesia

sudah cukup dalam, rahang sudah lemas, masukan pipa orofaring (guedel). Halotan

kemudian dikurangi menjadi 1-1,5% tergantung respon terhadap rangsang operasi.

Halotan dikurangi dan dihentikan beberapa menit sebelum operasi selesai. Selesai

operasi, N2O dihentikan dan penderita diberi O2 100% beberapa menit untuk

mencegah hipoksi difusi.

35

2. Teknik anestesi nafas spontan dengan pipa endotrakea

Indikasi: operasi lama, kesulitan mempertahankan jalan nafas bebas pada anestesi

dengan sungkup muka.

Setelah induksi, dapat dilakukan intubasi. Balon pipa endotrakea dikembangkan

sampai tidak ada kebocoran pada waktu melakukan nafas buatan dengan balon nafas.

Harus yakin bahwa pipa endotrakea ada di dalam trakea dan tidak masuk terlalu dalam

yaitu di salah satu bronkus atau di eosofagus. Pipa endotrakea di fiksasi, lalu pasang

guedel di mulut supaya pipa endotrakea tidak tergigit. Lalu mata ditutup dengan

plester supaya tidak terbuka dan kornea tidak menjadi kering. Lalu pipa endotrakea

dihubungkan dengan konektor pada sirkuit nafas alat anestesi.

3. Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan nafas kendali

Teknik induksi anestesi dan intubasi sama seperti diatas.

Nafas dikendalikan secara manual atau dengan respirator. Bila menggunakan

respirator setiap inspirasi (volume tidal) diusahakan + 10 ml/kgBB dengan frekuensi

10/14 per menit. Apabila nafas dikendalikan secara manual, harus diperhatikan

pergerakan dada kanan dan kiri yang simetris. Menjelang akhir operasi setelah

menjahit lapisan otot selesai diusahakan nafas spontan dengan membantu usaha “nafas

sendiri” secara manual. Halotan dapat dihentikan sesudah lapisan fasi kulit terjahit.

N2O dihentikan kalau lapisan kulit mulai dijahit.

Ekstubasi dapat dilakukan setelah nafas spontan normal kembali dengan volume tidal

300 ml. O2 diberi terus 5-6 L selama 2-3 menit untuk mencegah hipoksia difusi.

4. Ekstubasi

Mengangkat keluar pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan tidak disertai batuk

dan kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas, hipoksia sianosis.

2.8 Rumatan anestesi (maintenance)

Rumatan anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena (anesthesia intravena total)

atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi biasanya

mengacu pada trias anestesi yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup,

diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang

cukup.

36

Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50

ug/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga

tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan

opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah

lama dengan anestesi total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot, dan ventilator.

Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.

Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah halotan

0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol%, atau isofluran 2-4 vol%, atau sevofluran 2-4 vol%

bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu (assisted), atau dikendalikan

(controlled).

2.9 Monitoring perianestesi

2.10 Pasca bedah

Pasien harus diobservasi terus (pernafasan, tekanan darah, dan nadi) sesudah operasi

dan anestesi selesai sewaktu masih dikamar bedah dan kamar pulih. Bila pasien gelisah, harus

diteliti apakah karena kesakitan atau karena hipoksia (tekanan darah menurun, nadi cepat)

misalnya karena hipovolemia (perdarahan di dalam perut atau kekurangan cairan).

Skor Aldrete

Skor aldrete adalah suatu kriteria untuk menilai keadaan pasien selama observasi di

ruang pemulihan (recovery room) yang digunakan untuk menentukan boleh tidaknya

pasien dikeluarkan dari ruang pemulihan. Kriteria yang digunakan dan umumnya yang

dinilai pada saat observasi di ruang pulih adalah warna kulit atau saturasi O2, kesadaran,

sirkulasi, pernafasan, dan aktivitas motorik. Idealnya, pasien baru boleh dikeluarkan bila

jumlah skor total adalah 10 (skor maksimal). Namun, bila skor total telah di atas 8 , pasien

boleh keluar dari ruang pemulihan.

Kriteria Skor

Kesadaran

Sadar penuh

Terangsang oleh stimulus verbal

2

1

37

Tidak terangsang oleh stimulus verbal 0

Respirasi

Dapat bernapas dalam dan batuk

Dispnea atau hanya dapat bernapas dangkal

Tidak dapat bernapas tanpa bantuan (apnea)

2

1

0

Tekanan Darah

Berbeda 20% dari tekanan darah sebelum operasi

Berbeda 20 – 50% dari tekanan darah sebelum operasi

Berbeda > 50% dari tekanan darah sebelum operasi

2

1

0

Oksigenasi

SpO2> 92% pada udara ruangan

Memerlukan O2 tambahan untuk mencapai SpO2> 90%

SpO2< 90% meskipun telah mendapat O2 tambahan

2

1

0

38

BAB VI

KESIMPULAN

Anestesi umum

Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri sentral disertai hilangnya kesadaran yang

bersifat reversibel. Dengan anestesi umum akan diperoleh trias anestesia, yaitu:

• Hipnotik (tidur)

• Analgesia (bebas dari nyeri)

• Relaksasi otot (mengurangi ketegangan tonus otot)

Hanya eter yang memiliki trias anestesia. Karena anestesi modern saat ini menggunakan obat-

obat selain eter, maka anestesi diperoleh dengan menggabungkan berbagai macam obat.

Stadium anestesi umum meliputi “analgesia, amnesia, hilangnya kesadaran”, terhambatnya

sensorik dan reflex otonom, dan relaksasi otot rangka. Untuk menimbulkan efek ini, setiap

obat anestesi mempunyai variasi tersendiri bergantung pada jenis obat, dosis yang diberikan,

dan keadaan secara klinis. Anestetik yang ideal akan bekerja secara tepat dan baik serta

mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan.

Jenis obat anestesi umum

Umumnya obat anestesi umum diberikan secara inhalasi atau suntikan intravena.

• Anestetik inhalasi

• Anestetik intravena

Tanda dan stadium anestesi

Gambaran tradisional tanda dan stadium anestesi (tanda guedel) berasal terutama dari

penilitian efek diatil eter, yang mempunyai mula kerja sentral yang lambat karena

kelarutannya yang tinggi didalam darah. Stadium dan tanda ini mungkin tidak mudah terlihat

pada pemakaian anestetik modern dan anestetik intravena yang bekerja cepat.

Secara tradisional, efek anestetik dapat dibagi 4 stadium peningkatan dalamnya depresi

susunan saraf pusat, yaitu :

• Stadium analgesi 

• Stadium terangsang

39

• Stadium operasi

• Stadium depresi medula oblongata

40

DAFTAR PUSTAKA

1. Baugh RF et al. Clinical Practice Guideline: Tonsillectomy in Children.

Otolaryngology Head and Neck Surgery 2011; 144 (15):1-30.

2. Muhardi, M, dkk. (1989). Anestesiologi, Bagian Anastesiologi dan Terapi Intensif,

FKUI. Jakarta: CV Infomedia.

3. Drake A. Tonsillectomy.

http://www.emedicine.com/ent/topic315.htm/emedtonsilektomi, diakses tanggal 23

Maret 2013.

4. Wirdjoatmodjo, K., 2000. Anestesiologi dan Reanimasi Modul Dasar untuk

Pendidikan S1 Kedokteran. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

5. Lab/SMFAnestesiologi & reanimasi.2010. Panduan Kepaniteraan Klinik

Anestesiologi.

6. Handoko, Tony. 1995. Anestetik Umum. Dalam :Farmakologi dan Terapi FKUI, edisi

ke- 4. Jakarta:Gaya baru.

7. Latief, S, dkk. 2002. Petunjuk Praktis Anestesiologi, edisi kedua. Jakarta : Balai

Penerbit FKUI

8. Mansjoer A, Suprohaita, dkk. 2002. Ilmu Anestesi. dalam: Kapita Selekta Kedokteran

FKUI. Jilid 2. edisi ketiga. Jakarta:Media Aesculapius

9. Sadina, 2009. Sistem Pernapasan Pada Manusia.

http://www.blogunila.ac.id/sadina/2009/10/01/sistem-pernapasan-pada-manusia/

diakses tanggal 24 April 2013.

10. Better Health Channel.2011. Tonsillitis Explaioverment of vixtoria, Australia. 

http :/ / betterhealth.vic.gov.au/bhcv2/bhcarticles. Diakses tanggal 23 Maret 2013

11. NHS.2010. Tonsillitis. 

http://www.nhs.uk/conditions/tonsillitis, diakses tanggal 23 Maret 2013

12. Lauro, Joseph.2011. Tonsillitis. Lautheran Emergency Medicine Medical Centre.

http:/ /www.emedicinehealth.com/tonsillitis/article_em.htm, diakses tanggal 23 Maret

2013