Post on 09-May-2021
POLISOMNOGRAFI
Tidur merupakan suatu keadaan yang kompleks yang bersifat reversibel yang ditandai oleh suatu
perilaku dorman, hilangnya respons terhadap rangsangan luar. Suatu tahapan tidur dihasilkan dan
dipertahankan oleh mekanisme jaringan Sistem Saraf Pusat (SSP) menggunakan
neurotransmitter yang spesifik dan berlokasi pada area tertentu di otak.1
DEFINISI DAN ALAT
Polisomnografi adalah rekaman pengamatan tidur seseorang yang terus menerus dan
secara simultan merekam beberapa variabel fisiologis selama tidur. Variabel yang direkam dalam
polisomnografi adalah elektroensefalografi (EEG), elektro-okulografi (EOG), electromiography
(EMG), elektrokardiografi (EKG), aliran udara, mendengkur, pergerakan rongga toraks dan
abdomen dan saturasi oksigen. Sensor lain yang juga dapat digunakan pada polisomnografi
adalah monitor tekanan esophagus, mengukur karbondioksida end-tidal (PetCO2),
karbondioksida transkutan, tingginya tekanan positif dalam saluran napas, tambahan saluran
EEG untuk merekam kejadian kejang malam hari, video monitoring dan sensor pH esofagus.1
Indikator keberhasilan pada pengamatan tidur adalah persiapan yang baik dan teknik perekaman
yang didahului oleh evaluasi klinis menyeluruh terhadap pasien.2
Studi diagnostik tidur diklasifikasikan menjadi 4 tipe berdasarkan jumlah saluran
rekaman yaitu:1,3
Tipe 1.Full Polysomnography (polisomnografi penuh).Polisomnografi penuh merupakan standar
baku emas dari pemeriksaan tidur karena pada studi ini ,tidur pasien diobservasi secara penuh
oleh seorang teknisi ahli dalam bidangnya di laboratorium tidur.Tipe ini menggunakan minimal
7 elektroda sebagai parameter yaitu EEG, EOG, EMG dagu, aliran udara, usaha napas, saturasi
oksigen (SpO2), dan EKG.
Tipe 2.Unattended full polysomnography atau polisomnografi portabel komprehensif. Tipe ini
menggunakan minimal 7 elektroda sebagai parameter yaitu EEG, EOG, EMG dagu, aliran udara,
usaha napas, saturasi oksigen, dan EKG, namun pada tipe ini tidak didampingi oleh seorang
teknisi ahli di laboratorium tidur.
Tipe 3.Cardiorespiratory sleep study terdiri dari paling kurang 4 bioparameter seperti merekam
aliran udara, SpO2, usaha napas, EKG, dan posisi tubuh. Tipe ini dapat didampingi maupun tidak
didampingi oleh seorang teknisi ahli pada saat perekaman.
Tipe 4.Rekaman satu atau dua bioparameter, umumnya SpO2 dan aliran udara.
TEKNIK PEMERIKSAAN
1. Elektroensefalografi
Perekaman EEG merupakan dasar pemeriksaan yang mengidentifikasi waktu tidur
dan tahap tidur REM vs NREM. Elektroda EEG dipasang pada kulit kepala menurut
sistem internasional 10-20.4,5 Setiap elektroda dilengkapi dengan sebuah huruf yang
merupakan representasi dari regio otak dan sebuah subscript numerik, seperti frontal (F),
central (C), oksipital (O) dan mastoid (M).1 Pada umumnya, yang dilakukan adalah
strategi pemetaan kepala dengan dasar 4 titik poin yang tediri atas nasion, inion dan
berasal dari ke-2 processus mastoideus. Elektroda kemudian dipasang pada bidang
sirkuler 10% superior tehadap titik-titik poin awal tersebut dan 20% superior terhadap
bidang awal, diikuti dengan 20% bidang sentral.4Elektroda-elektroda pada bagian kanan
kulit kepala merupakan angka genap dan sebaliknya pada bagian kiri kulit kepala
merupakan angka ganjil, sedangkan “z” umumnya digunakan sebagai elektrode gaaris
tengah.1.Berdasarkan American Academy of Sleep Medicine (AASM), elektrode yang
direkomendasikan untuk ditempatkan adalah F4-M1, C4-M1, dan O2-M1.6 Elektrode
tambahan dapat dipasang jika akan mengevaluasi aktivitas kejang.7
Pada elektroda ini, frontal kanan (F4), sentral kanan (C4) dan oksipital kanan
(O2) diletakkan pada telinga kiri dengan “M1” yang berarti processus mastoideus.
Elektroda tersebut melacak aktivitas gelombang region frontalis, sentralis dan
oksipitalis.8
Elektroda cadangan diletakkan pada frontal kiri, sentral kiri dan oksipital kiri
dengan penamaan (F3-M2, C3-M2, dan O1-M2).Elektroda tersebut digunakan jika
terdapat malfungsi elektroda utama saat perekaman. M2 menunjukkan referensi terhadap
processus mastoideus telinga kanan.8
Elektroda alternatif yang masih dapat diterima Fz-Cz, Cz-Oz, C4-M1.Elektroda
cadangan diletakan pada Fpz, C3, O1, dan M2. Elektroda Fpz menggantikan Fz, C3 untuk
Cz atau C4, O1 untuk O2, dan M2 untuk M1 jika elektroda bermasalah saat perekaman.8
Gambar 1 Penempatan elektroda untuk pemeriksaan EEG
Gambar 2 Skema pemasangan elektroda EEG
Sistem EEG digital mengubah data gelombang (waveform) dari rekaman menjadi
sebuah rangkaian nilai numerik dengan pengambilan sampel rutin (regular sampling);
kecepatan hal tersebut terjadi disebut kecepatan sampling (sampling rate). Manual
AASM merekomendasikan kecepatan pengambilan sampel 500 H dengan minimal 200
Hz.Saringan (filter) digunakan untuk mengeliminasi frekuensi yang tidak dibutuhkan
dalam proses perekaman. Frekuensi tersebut dapat berasal dari peralatan elektris yang
digunakan saat perekaman. Penyaringan yang direkomendasikan adalah gelombang
frekuensi rendah 0.3 Hz dan gelombang frekuensi tinggi 35 Hz dari EEG dan EOG.9
Pengaturan penyaringan dan sensitivitas alat untuk studi polisomnografi
Penyaring digunakan untuk menyingkirkan frekuensi tinggi dan rendah sehingga biopotensial
berada dalam kisaran yang dapat terekam dengan jelas tanpa distorsi. Penyaringan frekuensi
rendah digunakan untuk menguatkan amplitudo bentuk gelombang frekuensi rendah sedangkan
penyaringan frekuensi tinggi digunakan untuk menguatkan amplitudo bentuk gelombang
frekuensi tinggi. Tabel 1 di bawah ini menunjukkan pengaturan penyaringan dan sensitivitas alat
untuk studi polisomnografi.10
Tabel 1 Pengaturan penyaringan frekuensi dan sensitivitas alat untuk studi polisomnografi
EEG EOG EMG EKG aliran udara dan
usaha napas
filter frekuensi tinggi
(Hz)
70 atau 35 70 atau 35 90 15 15
Waktu konstan(
detik)
0.4 0.4 0.04 0.12 1
filter frekuensi
rendah (Hz)
0.3 0.3 5.0 1.0 0.1
Sensitivitas 5-7 µV/mm 5-7 µV/mm 2-3 µV/mm 1 mV/cm saat
mulai; sesuaikan
5-7 µV/mm;
sesuaikan
Impedansi elektroda menunjukkan resistensi yang dimiliki oleh elektroda terhadap aliran
arus dan dapat sangat memengaruhi kualitas perekaman.Semakin tinggi impedansi elektroda,
semakin besar gangguan pada kualitas perekaman yang baik.Pada manual AASM, batas atas
impedansi adalah <5000 ohms.Rekaman voltage dari elektrode EEG dihasilkan dari penjumlahan
aktivitas potensial dari neuron-neuron kortikal dan gelombang resultant dapat diklasifikasikan
berdasarkan frekuensi seperti gelombang delta (< 4 Hz), theta (4-7 Hz), (8-13 Hz) dan (>13
Hz). Gelombang Delta memiliki amplitudo yang tinggi dengan ketinggian dari puncak ke puncak
sebesar >75 mikrovolt (V), disisi lain, amplitudo gelombang umumnya < 50 V pada orang
dewasa. Gelombang alfa dapat dideteksi saat seseorang relaksasi, mengantuk dan mata terpejam.
Mata yang terbuka akan mensupresi aktivitas gelombang alfa. Gelombang alfa terbanyak pada
lead oksipital. Gelombang beta terdapat dalam keadaan sadar penuh.a1
2. Eletrookulografi
Elektrookulografi merekam pergerakan bola mata dengan merekam perbedaan
posisi antara retina dan kornea, relatif terhadap electroda EOG.Kornea memiliki muatan
positif relatif terhadap retina. Elektroda yang direkomendasikan:8,9
a. E1-M2 : elektroda diletakkan 1 cm dibawah bagian kiri luar canthus mata dan
direferensikan terhdadap telinga kanan (atau terhadap mastoid M2)
b. E2-M2 : elektroda diletakkan 1 cm diatas bagian kanan luar canthus mata dan
direferensikan terhdadap telinga kanan (atau terhadap mastoid M2)
Terdapat 2 pola pergerakan bola mata yang dinamakan pergerakan memutar lambat bola
mata (slow rolling eye movement) terjadi selama seseorang mengantuk dalam keadaan
mata tertutup, stage N1 saat tidur, atau saat terbangun singkat; sedangkan pergerakan
memutar cepat bola mata (rapid rolling eye movement) dapat terlihat saat seseorang
bangun dengan mata terbuka (berkedip) atau selama fase tidur REM.
Elektroda alternatif:
a. E1-FPz= E1 diletakkan 1 cm dibawah dan 1 cm lateral terhadap sisi luar mata
kiri.
b. E2-FPz= E2 diletakkan 1 cm dibawah dan 1 cm lateral terhadap sisi luar mata
kanan.
Gambar 3 Posisi peletakan elektoda untuk pemeriksaan EOG
3. Elektromiografi
Tiga elektroda harus diletakkan untuk merekam EMG dagu: 4
▪ Pada garis tengah 1 cm diatas tepi inferior mandibula
▪ 2 cm dibawah tepi anterior mandibula dan 2 cm ke kanan terhadap garis tengah
▪ 2 cm dibawah tepi anterior mandibula dan 2 cm ke kiri terhadap garis tengah
Elekromiografi permukaan pada tungkai digunakan untuk menganalisis masalah
pergerakan dan gerakan arousal selama tidur.Seringkali hanya otot tibialis anterior pada kedua
tungkai yang dipelajari. Namun pergerakan otot lengan (muskulus ekstensor digitorum) dapat
juga direkam.5Dua elektroda permukaan diletakkan pada otot anterior tibialis pada kedua kaki
dengan sistem bipolar. Penyaring frekuensi tinggi yang disarankan setidaknya 129 Hz. Kalibrasi
biologis EMG permukaan dilakukan saat pasien bangun dengan cara 30o dorsifleksi dan
plantarflexi ibu jari kaki tanpa resistensi. Kemudian, aktivitas selama tidur di bandingkan dengan
kalibrasi biologis tersebut. 5
Gambar 4 Peletakan elektroda pemeriksaan EMG a) pada dagu b) pada tungkai bawah.
4. Monitor aliran udara
Pengamatan terhadap respirasi dapat dilakukan melalui beberapa hal. Laju udara
(airflow) dapat dideteksi dengan thermistors, sensor CO2, atau monitor tekanan aliran
udara hidung. Thermistor merupakan resistor dengan resistensi yang bergantung terhadap
suhu.Resistensi berubah saat udara panas yang diekspirasi berganti dengan udara dingin
yang di inspirasi.Perubahan tersebut kemudian direkam dan disebut sebagai aliran udara
(airflow). Sensor karbondioksida menggunakan sensor inframerah untuk mengukur
perbedaan konsentrasi CO2 antara udara yang diinspirasi dan ekspirasi.4
5. Mikrofon untuk merekam suara saat tidur.
Sebuah mikrofon juga digunakan untuk merekam dengkuran pasien yang dapat
mengarah pada fragmentasi tidur.
6. Parameter usaha napas : sabuk pengukur lingkar dada dan abdomen
Pengukur regangan tersebut berisi sebuah konduktor listrik dengan resistensi yang
bergantung kepada panjangnya.Sebuah sabuk pengukur yang dilingkarkan pada dinding
toraks dan pengukur lainnya diletakkan pada abdomen. Perubahan dari lingkar kavum
tubuh seiring dengan proses pernapasan menghasilkan perubahan konduktansi dan arus,
yang kemudian ditranslasikan menjadi sebuah perubahan sinyal pada polisomnogram.4
Alat yang digunakan adalah Respiratory inductive plethysmography (RIP) belts. Cara lain
untuk memonitor perubahan gerak kavum thoraks dan abdomen saat polisomnografi,
adalah menggunakan piezoelectric (PE) crystal transducers. Prinsip dasarnya adalah
b a
perubahan mekanis dapat menghasilkan muatan listrik.Pedoman polisomnografi AASM
merekomendasikan penggunaan metode RIP daripada PE. 11
7. Pengukuran Saturasi oksigen dengan pulseoximeter
Saturasi O2 darah saat tidur diukur menggunakan pulseoximetri dengan prinsip
spectrofotometri. Saturasi O2 berhubungan dengan transmisi panjang gelombang yang
akan diterima oleh alat. Pulseoximetri diletakkan pada telinga atau sebuah jari.
8. Posisi tubuh
Posisi tubuh dapat diamati dengan perekamanan video gambar dan dilihat jika
terdapat kecurigaan pada hasil perekaman.Digunakan sebagai konfirmasi posisi data
tidur.
9. Elektrokardiogram
Elektrokardiogram yang direkomendasikan berupa lead tunggal (Lead II).
Elektroda EKG ditempatkan di bawah klavikula kanan dekat sternum dan elektroda
lainnya di atas dinding dada lateral kiri.12
Setelah persiapan pasien telah selesai (pasien, pengecekan alat-bahan, dan biokalibrasi),
perekaman tidur dapat dimulai.Rekaman gambar (video) dapat membantu inspeksi secara
langsung kebiasaan sebelum dan saat pasien tertidur.Video yang direkam harus disesuaikan
dengan data PSG dan memiliki akurasi setidaknya 1 video frame perdetik. Resolusi layar digital
minimal 1600x1200 untuk menunjukkan dan menilai data PSG mentah.Perhatian terhadap
jalannya perekaman dan masalah, penting untuk menghasilkan kualitas rekaman yang
baik.Perhatikan perubahan EKG yang dapat menujukkan aritmia karena sleep apnea juga dapat
menyebabkanan artimia yang berbahaya saat hilangnya impuls simpatetik ketika terminasi
apnea.Kasus desaturasi oksigen sangat jelas behubungan dengan kejadian obstruksi respirasi,
dilakukan protokol untuk memulai pemasangan CPAP dan mengubah PSG menjadi “split night
study”. Sebagian besar PSG dilakukan minimal 6 jam perekaman.4
PERSIAPAN
Tahap ini merupakan tahap yang penting dalam interpretasi hasil studi, sehingga dianggap
sebagai bagian dari studi itu sendiri. Polisomnografi digunakan sebagai alat untuk
mengkonfirmasi diagnosis, bukan merupakan suatu evaluasi. Persiapan data yang perlu di
kumpulkan oleh klinisi sebelum polisomnografi dilakukan adalah: 4
1.Anamnesis mendalam tentang
a. keluhan yang berhubungan dengan tidur
b) Durasi keluhan (akut, subakut, kronik, atau sepanjang hidup)
c) Berhubungan dengan kesulitan memulai tidur atau mempertahankan kondisi tidur
d) Faktor yang dapat memudahkan tidur atau memperparah, misalnya: bising lingkungan,
pengobatan: stimultan, sedatif, analgesik
2. Anamnesis kebiasan tidur pasien dan higene tidur
3. Riwayat dari orang yang tidur bersama pasien
a) Kebiasaan mendengkur
b) Henti napas sementara
c) Tendangan tungkai
d) Observasi tentang gangguan terhadap kepulasan tidur pasien.
4. Riwayat pengobatan dan operasi
5. Lingkungan sosial
6. Riwayat penyakit psikiatrik, terutama depresi, mania, dan kelainan bipolar harus dievaluasi
terutama pada pasien yang mengeluh insomnia
7. Pemeriksaan fisik:
a) Habitus tubuh
b) Lingkar leher
c) Pembesaran tonsil
d) Makroglosia
e) Dysmorfisme craniofacial (sangat relevan pada pasien yang mengidap sleep apnea)
f) Neuropati perifer (restlessness legs syndrome )
8. Kuesioner dapat digunakan sebelum evaluasi klinis agar pemeriksaan dapat dilakukan
dengan lebih efisien. Kuesioner yang dapat digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan
gejala ngantuk berlebih di siang hari adalah Stanford Sleepiness Scale dan Epworth
Sleepiness Scale.
9. Beberapa minggu sebelum dilakukannya evaluasi tidur, dapat dilakukan pencatatan buku
harian tidur. Terdapat format yang baku dan mudah diisi serta menyajikan banyak informasi.
INDIKASI KLINIS POLISOMNOGRAFI
Berikut ini adalah indikasi dilakukan pemeriksaan polisomnografi.13
1. Diagnosis kelainan pernapasan selama tidur (Sleep-related Breathing Disorder/SRBD)
a) Sebuah PSG lengkap yang dilakukan selama satu malam (full night PSG)
direkomendasikan. Polisomnografi kedua diperlukan apabila belum dapat ditemukan
kesimpulan hasil pemeriksaan pertama pada pasien dengan kecurigaan klinis tinggi
terhadap SRBD.
b) Kajian tidur kardiorespirasi yang didampingi (tipe 3) dapat diterima sebagai alternatif
pemeriksaan PSG malam- lengkap (full night PSG) untuk pasien dengan kemungkinan
tinggi memiliki SRBD, apabila dengan pemeriksaan PSG lengkap hasil yang ditemukan
berulang negatif pada pasien yang sebenarnya simptomatik.
2. Titrasi Continuous Positive Airway Pressure
a) Sebuah PSG malam-lengkap dengan terapi CPAP direkomendasikan pada pasien SRBD
pada pasien dengan:
i) Indeks gangguan respirasi (IGR) ≥15 /jam tanpa pertimbangan gejalanya; atau
ii) IGR≥5/jam dan kantuk berlebih di siang hari.
b) Kajian tidur kardiorespirasi yang didampingi (tipe 3) tanpa hasil tahapan tidur tidak
direkomendasikan untuk titrasi CPAP
c) PSG malam-terpisah (split night) dengan diagnosis awal diikuti dengn titrasi CPAP pada
malam yang sama dapat digunakan sebagai alternatif PSG malam-lengkap dengan terapi
tekanan udara positif, pada pasien dengan:
i) Apnea-Hypopnea Index (AHI)≥40 selama minimal 2 jam PSG diagnostik
ii) Apnea-Hypopnea Index 20-40 berdasarkan penilaian klinis terdapat obstruksi
berkepanjangan berulang atau desaturasi oksigen bermakna.
iii) Durasi titrasi CPAP >3 jam
iv) CPAP mengeliminasi atau hampir mengeliminasi kejadian respirasi selama tidur,
termasuk saat REM dan posisi supine.
v) Polisomnografi malam-lengkap kedua dengan titrasi CPAP direkomendasikan jika
durasi titasi CPAP < 3 jam atau jika CPAP gagal untuk mengeliminasi kejadian
respirasi selama 2 fase yaitu NREM dan REM.
3. Evaluasi klinis pre-operasi. Contohnya pada pasien yang akan melakukan operasi saluran
pernapasan atas (uvulopalatopharyngoplasty) untuk mengevaluasi sleep apnea obstruktif.
Kajian tidur kardiorespirasi yang didampingi (tipe 3) juga dapat digunakan
4. Pemeriksaan gejala malam yang mengarah kepada SRBD, atau gejala yang menetap meski
telah mendapat terapi medis optimal pada pasien dengan gagal jantung.
5. Evaluasi tanda dan gejala yang mengarah pada SRBD pada pasien dengan:
a) Penyakit arteri koroner
b) Takiaritmia atau bradiaritmia signifikan
c) Riwayat stroke atau serangan iskemik sesaat (optional)
6. Evaluasi gejala yang berhubungan dengan tidur pada pasien dengan kelainan neuromuscular
dan belum didiagnosis dengan cukup dengan metode lain.
7. Evaluasi gejala kantuk berlebih di siang hari yang dicurigai berasal dari narcolepsy atau
hipersomnia idiopatik.
8. Evaluasi kecurigaan kelainan periodic limb movement.
9. Evaluasi kecurigaan parasomnia
10. Evaluasi kasus persisten insomnia
Indikasi untuk PSG follow-up:
1. Penilaian hasil terapi setelah respon klinis yang baik terhadap peralatan oral, atau setelah
terapi operasi pada pasien dengan OSA sedang-berat, evaluasi terhadap pasien OSA yang
menggunakan peralatan dental. Kajian tidur kardiorespirasi tipe 3 juga dapat digunakan.
2. Penilaian terhadap hasil terapi pasien OSA yang mengalami penambahan atau penurunan
berat badan untuk menentukan keperluan penggantian tekanan CPAP, respon klinis yang
cukup atau dengan kekambuhan gejala setelah keberhasilan awal dengan terapi CPAP pada
OSA untuk menentukan apakah terdapat gangguan tidur lainnya
Follow-up polisomnografi tipe 3 tidak rutin diindikasikan untuk pasien yang bebas gejala dengan
terapi CPAP.
Polisomnografi yang digunakan untuk evaluasi SRBD harus mencakup rekaman EEG, EOG,
EMG dagu, EKG, aliran udara, upaya pernapasan, dan saturasi oksigen.Tibialis anterior EMG
mungkin ditambahkan untuk mendeteksi gerakan tungkai periodik.
Kajian tidur kardiorespirasi ( tipe 3) harus mencakup rekaman EKG (atau denyut jantung), aliran
udara, upaya pernapasan, dan saturasi oksigen. Pendamping harus hadir terus menerus dari orang
yang terlatih untuk memantau baik pasien dan rekaman poligraf.
Oksimetri bukan merupakan alternatif yang dapat diterima untuk PSG atau kajian tidur
kardiorespirasi (tipe 3) untuk mendiagnosis SRBD.Penggunaan rutin polisomnografi tanpa
pengawasan atau studi tidur kardiorespirasi tidak direkomendasikan.
Kontraindikasi
Tidak ada kontraindikasi absolut untuk PSG.Namun, rasio resiko dan keuntungan harus
dinilai pada pasien yang tidak stabil secara klinis saat pemindahan dari bangsal perawatan ke
ruang pemeriksaan PSG.Semua peralatan resusitasi harus tersedia pada ruangan.8
TUJUAN POLISOMNOGRAFI
Tujuan polisomnografi adalah seperti tercantum dalam tabel di bawah ini:14
Tabel 2 Tujuan pemeriksaan dalam Polisomnografi
Aktivitas Tujuan
EEG frontal, central dan oksipital
( F3-M1, F4-M2, C3-A2, C4-M1,
O1-M2, O2-M1)
aktivitas otak untuk mengklasifikasikan tahapan tidur, untuk
menemukan permulaan tidur, dan
mengidentifikasi aktivasi sistem saraf pusat.
elektro-okulogram kiri dan kanan
(LOC-M1, ROC-M2)
pergerakan mata untuk mengklasifikasikan tahapan tidur dan
permulaan tidur
EMG submentalis (dagu) tonus otos
rangka
untuk mengklasifikasikan tahapan tidur dan
mengidentifikasi aktivitas SSP pada masa
REM.
single channel EKG ritme jantung untuk skrining aritmia
termister nasal-oral dan
transduser tekanan nasal
aliran udara untuk mengidentifikasi sleep apnea, hipopnea,
dan respiratory-effort related arousal events
pulseoksimetri (waktu rerata <=3
detik)
oksigenasi mengidentifikasi desaturasi oksihemoglobin
dan meninal kejaadian hipopnea
EMG tungkai bawah pergerakan
tungkai
mengidentifikasi aktivitas yang berhubungan
dengan restless legs syndrome dan Periodic
Limb Movement Disorder
Beberapa parameter yang tercantum dalam polisomnografi dapat dilihat pada tabel 3 di
bawah ini.15
Tabel 3 Parameter yang dinilai pada pemeriksaan polisomnografi
Istilah Definisi
apnea index (AI) Jumlah apnea per jam tidur
apnea-hypopnea index
(AHI)
Jumlah apnea ditambah hypopneas per jam tidur
normal : 0-5 /jam
Ringan : 5-15 /jam
Sedang: 15-30 /jam
Berat: >30/jam
arousal
• perubahan EEG mendadak dan singkat (3-14 detik) dari tidur ke bangun, atau dari tahap "lebih dalam"
(tahap 3, dan 4) ke tahap lebih ringan "ringan" (tahap 1, dan 2) tidur NREM. Mungkin disertai dengan
peningkatan aktivitas EMG, gerakan tubuh, atau detak jantung.
• Biasanya teridentifikasi selama tidur NREM dengan perubahan mendadak dalam EEG frekuensi
setidaknya dalam durasi 3 detik, termasuk aktivitas gelombang alpha, theta, atau kegiatan beta (tapi
tidak ada gelombang spindle atau delta), kemudian tidur berlanjut setidaknya 10 detik.
• Arousal dari tidur NREM tidak perlu disertai dengan perubahan EMG dagu. Arousal dari tidur REM,
perubahan EEG disertai dengan perubahan EMG dagu (peningkatan amplitudo).
• Peningkatan amplitudo EMG dagu saja tidak berhubungan dengan sebuah arousal.
• "Movement arousal" adalah gerakan tubuh berhubungan dengan EEG arousal (Peningkatan aktivitas
gelombang alfa, penurunan amplitudo gelombang, atau pembentukan gelombang highvoltage
paroksismal), dan peningkatan aktivitas EMG.
• Arousal index (ArI)= jumlah arousal per jam tidur, menandakan adanya fragmentasi tidur (N: <10-25)
15
Awakening Terjadinnya keadaan terjaga (aktivitas EEG gelombang alpha dan beta, dan peningkatan tonus EMG dagu)
dari tahapan tidur apapun.
bedtime Waktu ketika seseorang masuk ke tempat tidur, dan berupaya untuk tertidur
drowsiness Periode terjaga yang sering mendahului onset tidur, ditandai dengan aktivitas gelombang EEG menyebar
dengan mata tertutup
final wake-up waktu ketika seseorang terbangun di akhir periode
lights out (jam:menit) waktu ketika perekaman tidur mulai
lights on (jam:menit) waktu ketika perekaman tidur berakhir
movement time • Epoch dimana tahapan tidur tidak dapat dinilai akibat >50% epoch oleh artifak pergerakan (jika terjadi
diantara 2 epoch tidur)
• epoch dinilai sebagai tahap terjaga jika memenuhi kriteria untuk movement time namun diantara 2
epoch bangun.
leg movement aktivitas otot tibialis anterior dengan durasi 0.5-5 detik dan dengan amplitude minimal 25% dari pergerakan
kalibrasi.
Periodic Limb movement
(PLM)
≥4 pergerakan tungkai bawah yang dipisahkan waktu 5-90 detik. Penilaian dilakukan dalam keadaan bangun
dan tidur. PLM selama periode bangun mengarah ke Restless Legs Syndrome dan berkorelasi dengan PLM
selama tidur
periodic limb movement
index (PLMI)
jumlah periodic limb movement per jam tidur.
normal: <15 pada dewasa
REM sleep latency waktu dalam menit dari mulai tidur sampai epoch pertama tidur REM; pada dewasa sehat nilai normal
sekitar 60-120 menit
Respiratory-disturbance
index
jumlah apnea +hipopnea +usaha respirasi yang berkaitan dengan terbangung per jam tidur
sleep efficiency Rasio Total Sleep Time (TST) terhadap Time in Bed (TIM) atau Total Recording time. N>90%
sleep latency (SL; menit) waktu dari lights out hingga onset tidur (epoch pertama dari tahap tidur apapun)
normal: <15-30 menit; sleep latency lebih panjang (>30 menit) karakteristik sleep-initiation insomnia
Stage R Latency (menit) waktu dari onset tidur hingga epoch pertama dari tahap R
time in bed Durasi pengamatan antara lights out ke lights on
total recording time (menit) Waktu dari onset tidur sampai bangun akhir (TST + periode bangun setelah onset tidur + waktu pergerakan)
(jarak light out hingga lights in)
total sleep episode Waktu yang tersedia untuk tidur selama studi TST + ditambah bangun setelah onset tidur) Juga dikenal
sebagai total sleep period atau sleep period time
total sleep time (TST;
menit)
Jumlah seluruh tahapan tidur (NREM tahap 1-4 tidur ditambah tidur REM) dalam menit; Jumlah episode
tidur waktu dikurangi bangun setelah onset tidur
wake time after sleep onset
(WASO; menit)
Waktu yang diperlukan untuk terjaga dari onset tidur sampai final awakening. N:<20 menit
Penilaian Fase dan Tahapan tidur.
Data polisomnografi dibagi menjadi periode tiap 30 detik atau s. Penggunaan kecepatan
kertas yang baku adalah 10 mm/detik atau 30 cm halaman epoch. Setiap tahapan tidur
dicerminkan dalam setiap epoch.17
Pada tahap bangun , lebih dari 50% epoch memiliki gelombang alfa pada regio oksipital
dengan mata terpejam. Pada subjek normal sebuah siklus tidur berlangsung rata-rata 90 menit,
terdiri atas fase Non-Rapid Eye Movement (NREM) dan fase Rapid Eye Movements
(REM).Penilaian dilihat berdasarkan karakteristik perubahan gerak bola mata sewaktu
tidur.Kedua fase yang berbeda ini, terjadi pada pola 3-5 siklus ritmis sepanjang periode tidur.
Tidur fase NREM mencakup 75% dari total tidur dan dibagi menjadi 3 tahap: tahap N1(5%),
tahap N2 (50%), dan tahap N3(20%). Tidur fase REM mencakup 25% dan biasanya disebut
sebagai tahap R.18
Latensi REM didefinisikan sebagai mulainya fase REM (normal : 80-100 menit). Pemendekan
abnormal latensi REM dapat ditemukan pada kurang tidur, narkolepsi, dan kelainan depresi
mayor (major depresive disorder).Latensi tidur merupakan interval waktu dari periode lampu
padam pada awal mulai tes sampai epoch pertama tidur.Periode latensi tidur normal adalah 10-20
menit, kurang dari 8 menit paling sering terlihat pada kurang tidur dan narkolepsi. Efisiensi tidur
mengarah kepada waktu tidur total (Total Sleep Time/TST) dibagi dengan waktu total yang
direkam pada tempat tidur dikali 100%. Nilai normal ≤90% pada dewasa dan ≤85% pada
lansia.19
Interpretasi perekaman tidur dimulai dengan membagi rekaman sesuai fase tidur.Rekaman paling
penting untuk dapat menentukan fase tidur adalah EEG.Gelomobang pada rekaman EEG
dianalisis berdasarkan frekuensinya (Hz) dan amplitudo gelombangnya (mV).Gelombang
tersebut dapat dilihat pada tabel 4 di bawah ini.18
Tabel 4 .Frekuensi dan Karakteristik Gelombang pada EEG
Tipe
gelombang Frekuensi atau Durasi Karakteristik
Aktifitas otak
maksimal
Delta 0.5-4 Hz Definitif dari tahap N3 Frontalis
Theta 3-7 Hz Indikasi tidur Centralis
LAMF Didominasi 4-7 Hz selama
tidur N1
Terjaga, N1, REM, dan latarbelakang N2 Didominasi
Theta
Alpha 8-13 Hz Indikasi Wakefulness Oksipitalis
Beta 13+ Hz Indikasi Wakefulness
Tidak sering terlihat pada EEG tidur
kecuali menyela kedalam pola LVMF
Saat terlihat berderetan dalam tidur= efek
pengobatan benzodiazepin dan bariturat
Frontalis
Kompleks K Durasi >0.5 detik Definitif dari tahap N2 Frontalis
Sleep spindle Urutan 11-16Hz (paling
sering 12-14 Hz) dengan
durasi >0.5 detik
Definitif dari tahap N2 Sentralis
Gelombang
Vertex
(Gelombang
V)
Durasi <0.5 detik Dapat terlihat pada akhir tahap N1 Sentralis
Sawtooth 2-6 Hz Dapat terlihat pada tahap R sentralis
Pemeriksaan tidur terdiri atas beberapa jam waktu perekaman, sehingga pemeriksaan
dibagi menjadi segmen-segmen yang dapat diinspeksi secara visual dan dibagi pertahapan.
Segmen-segmen tersebut disebut dengan epoch.Tahapan epoch sepanjang 30 detik dalam
pemeriksaan klinis, masing-masing epoch kemudian ditetapkan menjadi sebuah tahap.17
Tahap W (Wakefulness) : saat terjaga dan relax dengan mama tertutup, EEG akan
menunjukkan aktivitas gelombang alfa, terutama pada bagian oksipital. Aktivitas tersebut akan
berkurang saat individu diminta untuk berkonsentrasi atau membuka mata, hal ini disebut
sebagai alfa reaktif. Apabila gelombang alfa tidak ditemukan maka terbangunnya seseorang
dapat dilihat dari terdapatnya kedipan mata vertikal yang terkonjugasi, membaca pergerakan bola
mata yang dimulai dari pergerakan lambat bola mata yang diikuti oleh pergerakan cepat bola
mata pada arah yang berlawanan atau terdapatnya pergerakan bola mata terbuka secara cepat
(voluntary rapid eye movement) .12 Ritme EEG dasar menunjukkan tegangan rendah-sedang,
dengan pola frekuensi beragam. Rapid eye movements dan kedipan mata terlihat pada EOG
dengan mata terbuka. Elektromiografi dagu menunjukkakn aktivitas tonik5
Tahap N1 (NREM 1/stage 1)
Pola EEG ditandai dengan voltage rendah dan frekuensi gelombang yang beragam. Gelombang
alfa yang ditemukan pada tahap W melemah dan digantikan oleh gelombang voltase rendah dan
frekuensi gelombang yang beragam pada >50% epoch. Manual AASM merekomendasikan
bahwa pada subjek yang tidak menghasilkan gelombang bukan alfa, tahapan N1 dapat dinilai
aktivvitasnya pada 4-7 Hz18 (≥1 Hz lebih lambat jika dibandingkan dengan tahap W), gelombang
tajam pada vertex, atau pergerakan bola mata yang lambat. Pada kasus demikian, penemuan
salah satu dari ketiga tanda tersebut menandakan tahap tidur N1. Gelombang vertex yang tajam
umum pada tahap N1 tidur dan disebut demikian karena bentuknya yang berupa tonjolan-
tonjolan tajam pada durasi singkat <0.5 s. Gelombang tersebut nampak pada vertex tengkorak
terutama pada lead EEG sentral.Gerakan perlahan perputaran bola mata menandakan transisi dari
tahap W ke tahap N1.Tonus EMG dagu tetap bertahan atau hanya sedikit berkurang pada akhir
tahapan ini.17
Tahap N2 (NREM 2/stage 2)
Elektroensefalogram pada tahap ini juga memiliki gelombang voltase rendah, dengan pola
frekuensi yang beragam. Pada tahap ini, terdapat 2 tanda yang dapat membedakan dari tahap N1.
Tanda tersebut adalah “sleep spindle” dan kompleks K. Sleep spindle terdapat pada frekuensi
berkisar antara 11-16 Hz, biasanya terdapat pada 12-14 Hz, gelombang berdurasi singkat (≤0.5
d) terjadi 3-8 kali permenit pada dewasa normal. Kompleks K adalah gelombang negatif atau
defleksi keatas (upward) gelombang tajam, yang diikuti oleh sebuah gelombang positif atau
defleksi kebawah (downward).Gelombang K harus bertahan setidaknya 0.5 detik dan mungkin
dapat ditumpangi oleh gelombang K. Rekomendasi saat ini untuk menilai tahap N2 adalah
terdapat lebih dari 1 kompleks K yang tidak berhubungan dengan kesadaran pada periode ½ awal
sebuah epoch atau ½ selanjutnya dari epoch sebelumnya. Apabila terdapat lebih dari 1 sleep
spindle pada periode ini juga menunjukkan tahap N2 tidur. Terminasi tahap N2 ditandai dengan
transisi ke tahap W, tahap N3 atau tahap R.Perubahan tahap N2 menjadi N1, berupa pergerakan
tubuh mayor diikuti dengan pergerakan lambat mata dan gelombang beramplitudo rendah,
frekuensi beragam pada EEG namun tidak disertai dengan sleep spindle. 17
Tahap N3 (NREM 3/stage 3 dan 4/slow wave sleep or Delta Sleep)
Elektroensefalogram menunjukkan gelombang lambat bervoltase tinggi (>75 ≤V
amplitudo peak to peak) dengan frekuensi 0.5-2 Hz yang muncul pada ≤20% epoch.
Elektromiografi dagu aktif secara tonik, namun tidak seaktif tahap N1 dan N2. EOG
merekfleksikan gelombang delta. Sleep spindle mungkin terdapat pada tahap ini. 17
Tahap R (REM)
Gelombang EEG pada REM seringkali disebut sebagai gelombang EEG yang tidak
tersinkronasi (desynchonized). Gelombang-gelombang yang ditunjukkan pada EEG tidak saling
berhubungan pada saluran EEG yang berbeda.Aktivitas EEG dasar adalah gelombang voltase
rendah dengan pola frekuensi yang beragam. Dua tanda yang membedakan REM dari tahap N1,
EEG menunjukkan gelombang gigi gergaji (sawtooth) dan aktivitas gelombang 2-6 Hz dengan
tampilan menonjol, paling baik dilihat pada daerah vertex.Rentetan pergerakan mata cepat
(phasic REM) terlihat atau tidak ada perubahan pada EOG (tonic REM). EMG submentalis
menunjukkan level terlemah pada seluruh PSG.5 Gambar 6 di bawah ini menunjukkan contoh-
contoh gelombang pada tiap tahapan tidur.19
Gambar 5 Rekaman gelombang pada tiap tahapan tidur
Elektromiogram (EMG)
EMG mengukur kontraksi otot, pada PSG digunakan untuk membedakan tahapan tidur
berdasarkan perubahan aktivitas EMG selama tidur. Tonus otot paling tinggi terdapat pada fase
Wakefullness, kemudian cenderung untuk berkurang selama tidur NREM, menetap pada tidur
REM.20
Elektro-Okulogram
Terdapat berbagai pergerakan bola mata yang terekam selama PSG:
a. Waking Eye Movements (WEM)
Saat bangun kedua mata berkedip dan pergerakan bola mata saccadic
b. Slow Eye Movements (SEM)
Pada tahap 1 tidur SEM terekam secara konsisten pada axis horizontal. SEM akan
menghilang pada tahap yang lebih dalam pada tidur REM.
c. Rapid Eye Movements (REM)
Muncul pada tahap REM, dengan karakteristik pergerakan ke segala arah (horizontal,
oblik, dan vertikal), namun terlihat paling jelas pada axis horizontal.REM terjadi secara
cepat.
Selain ketiga gerakan bola mata tersebut Santamaria dan Chiappa, menggunakan
transduser pergerakan sensitif merekam gerakan bola mata kecil, cepat dan irregular pada 60%
subjek normal pada awal drowsiness sebelum munculnya SEM. Mereka juga melihat gerakan
kecil, cepat dan ritmik yang berhubungan dengan SEM tradisional pada 30% subjek normal.10
INTERPRETASI POLISOMNOGRAFI
Interpretasi data polisomnografi membutuhkan analisis independen dari masing-masing
komponen yang di ukur dan penggabungan beberapa komponen tersebut menjadi saling
berinteraksi satu dengan yang lain. Interpretasi PSG berhubungan dengan konteks klinis pasien
yang diperoleh dengan menggabungkan latar belakang medis pasien dan pertanyaan yang telah
diajukan terhadap data PSG yang diperoleh. Diagnosis untuk beberapa kelainan spesifik dapat
dilihat pada tabel.5.2
Tabel 5. Interpretasi data pemeriksaan polisomnografi
Kelainan Kriteria klinis Kriteria Polisomnografi syarat lain tanda lain
Central Sleep Apnea
Primary central
sleep apnea
memiliki gejala 1 dari 3:
- Kantuk berlebih
siang hari
- Sering terbangun
dan terjaga saat
tidur atau keluhan
insomnia
- Terbangun dengan
sesak napas
≥5 central apnea per jam
tidur
Kelainan tidak dapat
dijelaskan oleh kelainan
tidur lain, kelainan medis
atau neurologis, dan
pemakaian obat atau zat
lainnya.
- PaCO2<40 selama
terjaga
- desaturasi O2 ringan
- fragmentasi tidur
Pola pernapasan
Cheynes Stokes
pasien umumnya
mengeluhkan gejala
gangguan tidur, insomnia,
kantuk berlebih siang hari
atau terbangun dengan
sesak napas
- minimal 10 central
apnea dan hipopnea per
jam tidur. Hipopnea
memiliki pola kresendo-
decresenso dari volume
tidak diikuti dengan
keadaan sering
terbangun dari tidur
- perubahan arsitektur
tidur.
kelainan berhubungan
dengan penyakit serius
lainnya: gagal jantung,
stroke, atau gagal ginjal.
Kelainan tidak dapat
dijelaskan oleh kelainan
tidur lain, kelainan medis
atau neurologis, dan
pemakaian obat atau zat
lainnya.
- Desaturasi oksigen yang
tidak kurang dari 80%
- Dapat dibedakan
dengan sindroma
hipoventilasi dengan
PaCO2<45
- Fragmentasi tidur
- Arousal berhubungan
dngan pernapasan
kresendo
- Dipicu oleh tidur REM
Central apnea
terkait penggunaan
zat
pasien menggunakan long-
acting opioid setidaknya 2
bulan.
≥5 central apnea atau
pernapasan periodik (≥10
central apnea atau
hipopnea per jam tidur
dengan pola kresendo-
decresenso dan arousal)
Kelainan tidak dapat
dijelaskan oleh kelainan
tidur lain atau kelainan
medis atau neurologis.
dapat menjadi penyulit
kelainan pernapasan saat
tidur yang lain.
Obstructive Sleep Apnea
Obstructive sleep
apnea
memiliki 1 dari 3 gejala:
- Episode tidur yang
tidak disadari saat
terjaga, kantuk
berlebih siang hari,
tetap merasa lelash
saat bengun tidur,
atau insomnia
- Pasien terbangun
dengan menahan
napas, terengah-
engah, atau
tersedak.
- Istri, saudara,
teman tidur
melaporkan
dengkuran keras,
gangguan
pernapasan, atau
keuanya saat
pasien tidur
dengan kriteria klinis,
terlihat:
- ≥5 apnea, hipopnea
atau RERA per
jam tidur dengan
bukti usaha napas
pada setiap
kejadian.
tanpa kriteria klinis:
- ≥15 apnea apnea,
hipopnea atau
RERA per jam
tidur dengan bukti
usaha napas pada
setiap kejadian.
kelainan berhubungan
dengan penyakit serius
lainnya: gagal jantung,
stroke, atau gagal ginjal.
Kelainan tidak dapat
dijelaskan oleh kelainan
tidur lain, kelainan medis
atau neurologis, dan
pemakaian obat atau zat
lainnya.
Kriteria yang telah disetuji
oleh Medicare untuk
menentukan terapi dengan
CPAP pasien OSA berbeda
dengan kriteria diagnosis
dari International
Classificaion of Sleep
Disorders. Medicare tidak
menghitung RERA.
Hypopnea (medicare):
- ≥4% desaturasi
- ≥30% penurunan
usaha respirasi atau
aliran udara.
pasien disarankan terapi
CPAP jika:
- AHI ≥15 atau
- AHI ≥5 dan ≤14
disertai dengan
gejala kantuk
berlebihan siang
hari, gangguan
kognitif, kelainan
mood, atau
insomnia; atau
riwayat hipertensi,
penyakit jantung
iskemik atau
riwayat stroke.
LAMPIRAN CONTOH HASIL PEMERIKSAAN POLISOMNOGRAFI
Gambar 6 Hasil perekaman OSA: pada akhir terjadi sentakan kaki kanan pasien
Gambar 7 Hasil Rekaman OSA
Gambar 8 OSA terjadi saat tidur fase REM
DAFTAR PUSTAKA
1. Zee PC. Sleep and wake neuroscience. In : Board review, editor. Sleep medicine. 1st ed.
Northbrook:American College of Chest physician;2009.p.153-62.
2. Vaughn BV, Giallanza P. Technical review of polysomnography. Chest2008; 134(6): 1310-
9
3. Flemons WW, Littner MR, Rowley JA, Gay P, Anderson WM, Hudgel DW, et al. Home
diagnosis of sleep apnea: a systematic review of the literature. An evidence review
cosponsored by the American Academy of Sleep Medicine, the American College of Chest
Physicians, and the American Thoracic Society. Chest. 2003;124(4):1543-79.
4. Barkoukis TJ EH, Giglio P. Best of PCCU - Pulmonary 2nd Edition: American College of
Chest Physicians
5. Blum AS, Rutkove SB. The clinical neurophysiology primer. Totowa, N.J.: Humana Press;
2007. x, 526 p. p.
6. Guilleminault C. Clinical neurophysiology of sleep disorders. Edinburgh ; New York:
Elsevier; 2005. xiv, 363 p. p.
7. Tripathi M. Technical notes for digital polysomnography recording in sleep medicine
practice. Annals of Indian Academy of Neurology. 2008;11(2):129-38.
8. Spriggs WH. Essentials of polysomnography : a training guide and reference for sleep
technicians. 1st ed. Sudbury, Mass.: Jones and Bartlett; 2014. 615 p. p.
9. Iber C A-IS, Chesson AL Jr, et al. The AASM manual for the scoring of sleep and
associated events: rules, terminology and technical specifications. Westchester, IL:
American Academy of Sleep Medicine; 2007.
10. Chokroverty S, Thomas RJ, Bhatt M. Atlas of sleep medicine. 1st ed. Philadelphia, PA:
Elsevier; 2005. viii, 362 p. p.
11. Vaughn CM, Clemmons P. Piezoelectric belts as a method for measuring chest and
abdominal movement for obstructive sleep apnea diagnosis. The Neurodiagnostic journal.
2012;52(3):275-80.
12. Lee-Chiong TL.Why we sleep: structure, function, and sleep deprivation. In: Board review,
editor. Sleep Medicine. 1st ed.Northbrook:American College of Chest Physician;2009.p.1-9
13. Kushida CA, Littner MR, Morgenthaler T, Alessi CA, Bailey D, Coleman J, Jr., et al.
Practice parameters for the indications for polysomnography and related procedures: an
update for 2005. Sleep. 2005;28(4):499-521.
14. Teri J. Barkoukis JKM, Richard Ferber, Karl Doghramji. Theraphy in Sleep Medicine.
United States of America: Elsevier Inc.; 2012.
15. Lee-Chiong TL. Sleep medicine essentials. Hoboken, N.J.: Wiley-Blackwell; 2009. xi, 280
p.
16. Billings ME. Interpreting Sleep Studies Reports: A Primer for Pulmonary Fellows August
18, 2014 [1/12/16]. Available from:
https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=6&ved=0ahUKEwi
vqLTZutHQAhUILI8KHT02C7EQFgg9MAU&url=https%3A%2F%2Fwww.thoracic.org%
2Fprofessionals%2Fclinical-resources%2Fsleep%2Fsleep-
modules%2Fresources%2Finterpreting-sleep-studies-
primer.pdf&usg=AFQjCNGZFCiNEJkrleBYb1_p7AtYbrGfHQ&sig2=elfZmPDghZCTcFE
wNUykEA&cad=rja.
17. Bonnie Robertson AAHA CRT RPSGT BMMC-SRR, Margaret-Ann Carno PhD MBA
CPNP D ABSM FNAP. Polysomnography for the Sleep Technologist: Instrumentation,
Monitoring, and Related Procedures: Mosby; 2013.
18. U. K. Misra J. Kalita Clinical Electroencephalography. India:Elsevier;2005.p.62
19. Chokroverty S. Sleep disorders medicine. 1st ed. Philadelphia: Saunders/Elsevier; 2009.
20. Avidan AY, Zee PC. Handbook of sleep medicine. 2nd ed. Philadelphia: Wolters Kluwer
Health/Lippincott Williams & Wilkins; 2011. xxii, 490 p. p.
21. Medicine AAoS. The International Classification of Sleep Disorders: Diagnostic & Coding
Manual. Available from: www.esst.org/adds/ICSD.pdf.