Post on 31-Mar-2019
PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS
ULAMA KLASIK HINGGA KONTEMPORER
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Ahmad Irfan Fauji
NIM: 1112034000049
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS
ULAMA KLASIK HINGGA KONTEMPORER
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Ahmad Irfan Fauji
NIM: 1112034000049
Pembimbing:
Rifqi Muhammad Fatkhi, M.A
NIP. 19770120 200312 1 003
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’ĀN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul Pergeseran Metode Pemahaman Hadis Ulama Klasik Hingga
Kontemporer telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta pada 10 Januari 2018. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu
Al-Qur’an dan Tafsir.
Jakarta, 10 Januari 2018
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekertaris Merankap Anggota,
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. Dra. Banun Binaningrum, M. Pd.
NIP: 19711003 199903 2 001 NIP: 19680618 199903 2 001
Anggota,
Penguji I Penguji II
Dr. Atiyatul Ulya, MA. Dr. Ahmad Fudhaili, MA.
NIP: 19700112 199603 2 001 NIP: 19740510 200501 1 009
Pembimbing,
Rifqi Muhammad Fatkhi, MA
NIP: 19770120 200312 1 003
i
LEMBAR PERNYATAAN
Yang Bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Ahmad Irfan Fauji
NIM : 1112034000049
Program Studi : Ilmu al-Qur’ān dan Tafsir
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Strata satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 19 Desember 2017
Ahmad Irfan Fauji
ii
ABSTRAK
AHMAD IRFAN FAUJI
“Pergeseran Metode Pemahaman Hadis Ulama Klasik Hingga Kontemporer”
Gagasan mengenai metode pemahaman hadis Hadis Nabi Saw. merupakan
gagasan yang cukup rumit dan membingungkan, mengingat pentingnya metode atau
cara memahami hadis dapat menghasilkan pemahaman sesuai metode yang digunakan.
Dikatakan rumit karena umat Islam terfragmentasi ke dalam dua kelompok, yaitu
metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer. Sedangkan
membingungkannya terletak pada inventarisasi dan pengklasifikasian metode.
Bagaimana kita bisa membedakan metode satu dengan yang lain.
Berangkat dari kontektualitas pemahaman yang disajikan ulama modern-
kontemporer dalam perangkat metodenya, yang lebih menyesuaikan pemahaman agar
sesuai dengan kondisi sosial saat ini. Serta beberapa anggapan yang menilai
pemahaman klasik kurang relevan dengan kehidupan saat ini. Skripsi ini berusaha
menyelidiki keterkaitan metode pemahaman hadis berdasar analisis pergeseran metode
dari ulama klasik hingga modern.
Penelitian dilakukan dengan cara mengumpulkan, menjabarkan dan
membandingkan (komparatif) dengan metode pemahaman yang penulis nilai sebagai
bagian dalam karya ulama tertentu yang penulis tentukan. Penulis
mengklasifikasikannya berdasarkan kronologis tahun. Analisis terhadap kedua masa itu
dilakukan dengan menggunakan kaidah pemahaman matan yang telah disepakati.
Kesimpulan skripsi ini menunjukkan telah adanya pergeseran basis dan
karakteristik metode pemahaman hadis karena berkembangnya zaman, dan ini
menjadikan bukti pula bahwa perangkat metode pemahaman hadis tidak stagnan dan
mampu diperbaharui dengan pendekatan-pendekatan yang relevan dengan kehidupan
saat ini. Sehingga pemahaman yang dihasilkan pun mengarah kepada pemahaman yang
dapat diaplikasikan atau The Applicable Meaning, berbeda dengan pemahaman klasik
yang lebih mengutamakan pendekatan kebahasaan dan pencarian makna asli atau The
Original Meaning.
Kata kunci: Metode Pemahaman Hadis, Ulama Klasik, Ulama modern-kontemporer,
Applicable Meaning, Original Meaning.
iii
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap Alḥamdulillāhi Rabbi al-‘ālamīn, Puji syukur saya panjatkan
kehadirat Allah Swt. Atas segala rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga pada
akhirnya saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam selalu
tercurah kepada Nabi Muhammad Saw. yang memberikan umat ini pelita pedoman
untuk kehidupan, dari yang negatif ke yang positif, Dari kegelapan pada cahaya, dari
yang tidak manusiawi pada yang manusiawi.
Dalam perjalanan penulisan skripsi ini tentu banyak hal dan keadaan suka, duka,
galau, bingung, lelah yang mewarnai, mulai dari kesulitan menemukan sumber rujukan
utama, minimnya pengetahuan saya tentang apa yang sedang dibahas di skripsi ini,
menganalisa data yang kebanyakan dalam bahasa Arab, kemalasan yang sering
menghinggap, keluarga yang terus berharap (agar cepat lulus), hingga teman-teman dan
adik kelas yang “nyap-nyap” setiap kali bertemu dengan melontarkan pertanyaan yang
berulang-ulang “bang, kapan wisuda?” dan hal ini pula yang memotivasi dan
menyemangati saya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang
berjudul “Pergeseran Metode Pemahaman Hadis Ulama Klasik hingga
Kontemporer.”
Skripsi ini tidak akan bisa tuntas tanpa bantuan, bimbingan, arahan, dukungan
dan kontribusi dari banyak pihak. Oleh karena itu, dengan segala ketulusan, kerendahan
hati dan keikhlasan, pada kesempatan ini saya ucapkan terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
iv
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum selaku ketua Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
4. Ibu Banun Binaningrum, M.Pd selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir yang selalu melayani mahasiswa termasuk saya dalam pengurusan surat
menyurat, yang juga termasuk dosen bahasa inggris pada semester I.
5. Beasiswa Bidik Misi angkatan 2012 Kemenag-PTAIN. Bapak KH. Utob
Thobroni, Lc, MCL selaku Pembina Mahad Al-Jami’ah (Mahad ‘Aly) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan para pembimbing (musyrif dan musyrifah)
dalam pembinaan di mahad, Serta staff pengurusan masalah beasiswa baik di
kemahasiswaan dan asrama mahad, Kak Amelilya Hidayat dan Kak Adrian
Mahardhani.
6. Bapak Rifqi Muhammad Fatkhi, M.A selaku dosen pembimbing yang telah
membimbing saya dalam menyelesaikan skripsi ini berdasarkan cara penulisan,
tujuan, dan manfaatnya serta nasehat-nasehat guna melengkapi dan
meminimalisir kekurangan dalam penelitian ini. Terlebih atas pengajaran dan
inspirasi beliau di kelas metode pemahaman hadis sehingga memotivasi saya
untuk lebih dalam membahas dan menggali metode pemahaman hadis. Saya
ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada beliau serta keluarga.
Jazākumullah khairan katsira.
7. Seluruh dosen pada program studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas
Ushuluddin, khususnya kepada dosen pembimbing akademik, Drs. Harun
Rasyid, MA. Atas segala motivasi, ilmu pengetahuan, bimbingan, wawasan, dan
pengalaman yang mendorong saya selama menempuh studi, serta seluruh staff
Fakultas Ushuluddin.
8. Orang tua tercinta, Ayah Satibi Muchtar dan Umi Junainah (yuyun) yang selalu
mendoakan dengan segala ketulusan hatinya, menasehati, memperhatikan
v
kesehatan, dan terkadang mengomeli dan selalu mengingatkan saya. Juga
kepada kakak saya Zainal Arifin, S.E. “Aa Enang” dan kepada adik saya Nailul
Ihsan “ii” terima kasih atas segala bentuk perhatian dan pengertiannya serta
dukungannya baik berupa materil maupun moril. Kalian super sekali.
(Allāhumma irḥamhumā kamā rabbayānī saghīrā wa ṭawwil ‘umūrahumā fi
ṭā’atik).
9. Teman-Teman Bidik Misi Angkatan 2012. Terkhusus kepada Keluarga Cemara
The BackPacker (yang gak pernah jalan-jalan); Kiki Hilwah, Risris, Azizul,
Syauqi, Deenef, Ulfa, Putri, Nita, Osi, Sany. Dan untuk yang lainnya, yang tak
akan cukup kalau ditulis semua disini, pokoknya terima kasih semuanya seperti
di SK Rektor yang ada 150 orang itu :D. Dan Juga teruntuk teman-teman KKN
Hidrogen 2015 desa Tamiang yang anggotanya hampir sama dengan the
backpacker + Muslim, Dera, Yuni, Dhiba, Tahul, Icang, Mawardi, Imet.
10. Teman-teman Tafsir Hadis dan yang selanjutnya disebut Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir (IAT) angkatan 2012 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terkhusus teman-
teman kelas B yang selalu kompak dan seru; Liong, Ipeh, Falah, Tipung, Nuy,
Iin, Laila. Geng Bunin, Ardi, Ahya, Riswan, Ahya, Raihan, Sugih. Tempat
kuliah tambahan Metro Tim Cups, Badru, Isrof, Anang, Abil, kholis. Kelas A,
C, D, E; Afrizal, Lili, Hilda, Arifin, Ucup, Ustadz Kaafi, Khilda Fauziah, Nur
Ashlihah, Lia Sasmita, dan yang lainnya.
11. Teman-teman lintas angkatan, angkatan 2011; mulai dari bang Mizan Sya’roni
yang selalu ditumpangi kost-annya sebagai tempat singgah saya ketika
mengurusi skripsi ini, yang sudah saya anggap seperti abang sendiri. Angkatan
2013; kelompok Capcins: Nida, Kiki, Aini, Yuni, Evi, Aulia T.S, Arme, Ika.
vi
Kelompok Rozali, Joni, Hasan, Fatah, Puput, Reza, Hizam dll. Angkatan 2014;
Laila, Fanny, Muawwanah, Mahda, dll.
12. Semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini yang tidak
dapat saya sebutkan namanya satu persatu.
Kemudian saya sadar bahwa keilmuan yang saya miliki masih sangat kurang
sehingga mohon maklum dan maaf apabila dalam penelitian dijumpai banyak
kesalahan.
Kepada Allah lah saya berharap ridha dan senantiasa bersyukur. Semoga tulisan ini
bisa menjadi manfaat kepada para pembaca agar selalu berpegang pada ajaran-ajaran
Rasulullah Saw. Āmīn
Wassalamualaikum Wr.Wb
Jakarta, 20 Januari 2017
Ahmad Irfan Fauji
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Penelitian ini berpedoman pada model transliterasi “Romanisasi Standar Bahasa
Arab” (Romanization of Arabic) yang pertama kali diterbitkan tahun 1991 oleh
American Library Association (ALA) dan Library Congress (LC) yang juga digunakan
dalam Jurnal Ilmu Ushuluddin oleh Himpunan Peminat Ilmu-ilmu Ushuluddin
(HIPIUS) dengan akreditasi B. Berikut panduan dasar model transliterasi tersebut:
1. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
a a ا
b be ب
t te ت
th te dan ha ث
j je ج
ḥ h dengan titik di bawah ح
kh ka dan ha خ
d de د
dh de dan ha ذ
r er ر
z zet ز
s es dengan titik di bawah س
sh es dan ha ش
ṣ es dengan titik di bawah ص
ḍ de dengan titik di bawah ض
ṭ te dengan titik di bawah ط
ẓ zet dengan titik di bawah ظ
viii
koma terbalik di atas hadap kanan (ayn) ‘ ع
gh ge dan ha غ
f ef ف
q ki ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h ha ه
apostrof ` ء
y ye ي
2. Vokal Tunggal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih
aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
a Fatḥah
i Kasrah
u ḍammah و
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ay a dan y ي
aw a dan w و
ix
3. Vokal panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ā a dengan garis di atas ا
ī i dengan daris di atas ي
ū u dengan garis di atas و
4. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu
alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah
maupun qamariyyah. Contoh: al-shamsiyyah bukan ash-shamsiyyah, al-rijāl bukan
ar-rijāl.
5. Tasydīd
Huruf yang ber-tasydīd ditulis dengan dua huruf serupa secara berturut-turut,
seperti السنة = al-sunnah.
6. Ta marbūṯah
Jika ta marbūṯah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut
dialih-aksarakan menjadi huruf /h/, seperti أبو هريرة = Abū Hurairah.
7. Huruf Kapital
Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan
Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal
atau kata sandangnya, seperti البخاري = al-Bukhāri.
x
DAFTAR ISI
ABSTRAK................................................................................................................. ii
KATA PENGANTAR.............................................................................................. iii
PEDOMAN TRANSLITERASI.............................................................................. vii
DAFTAR ISI.............................................................................................................. x
DAFTAR TABEL…………………………………………………………………..xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................................ 1
B. Permasalahan................................................................................. 9
C. Tujuan dan Manfaat....................................................................... 11
D. Kajian Pustaka............................................................................... 12
E. Metodologi penelitian................................................................... 15
F. Sistematika Penulisan.................................................................... 17
BAB II DISKURSUS METODOLOGI PEMAHAMAN HADIS
A. Definisi Sharḥ, Fiqh al-Hadis, Fahm al-Hadis............................... 20
B. Pengertian Metode Pemahaman Hadis.......................................... 26
C. Sejarah Metode Pemahaman Hadis............................................... 27
BAB III PERIODISASI METODE PEMAHAMAN HADIS
A. Garis Besar Metode Pemahaman Hadis ...................…………… 36
1. Klasik……………………………………………………...… 38
a. Klasifikasi Metode Pemahaman Hadis………………….. 38
b. Karakteristik Metode Pemahaman Hadis……………….. 65
2. Modern………………………………………………………. 67
a. Klasifikasi Metode Pemahaman Hadis…………………. 67
b. Karakteristik Metode Pemahaman Hadis………………. 97
B. Analisis Pergeseran Metode Pemahaman Hadis………………… 98
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan.................................................................................. 102
B. Saran............................................................................................ 103
DAFTAR PUSTAKA
xi
DAFTAR TABEL DAN DIAGRAM
1. Tabel 2.1................................................................................................................24
2. Tabel 3.1................................................................................................................37
3. Tabel 3.2................................................................................................................62
4. Tabel 3.3................................................................................................................94
5. Tabel 3.4................................................................................................................98
1. Diagram 3.1...........................................................................................................71
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kebutuhan umat Islam kepada sunnah Nabi atau belakangan disebut hadis, tak
ubahnya seperti kebutuhan manusia kepada air. Tanpa air, manusia akan binasa;
sebagaimana tanpa sunnah (hadis), kita tak akan memiliki syari’at.1 Dalam
perkembangan cabang ilmu hadis lebih jelasnya terdapat dua bentuk fokus kajian yang
perlu diketahui pengkaji hadis, yaitu Naqd al-Ḥadīth, dan Fiqh al-Ḥadīth. Studi yang
pertama lebih menekankan pada aspek otoritas dan validitas (keṣahīhan) hadis dilihat
dari sisi kritik hadis, baik sanad maupun matan-nya.2 Adapun studi yang kedua lebih
menekankan upaya metodologis terhadap pemahaman tekstual (ma’qūl al-naṣ) dan
kontekstual (mafhūm al-naṣ) hadis.3
Perkembangan Islam yang berhadapan langsung dengan budaya yang tentu
tidak sama dengan kondisi sosial saat Islam tumbuh yaitu di jazirah Arab, hal ini
mendorong berbagai usaha dalam mengadaptasi piranti-piranti keislaman yang
dalam hal ini memahami hadis sesuai situasi dan kondisi sehingga pemahaman hadis
merupakan proses merasionalkan teks yang tujuannya bergerak pada satu tujuan,
yakni ajaran yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan umat, atau dengan kata lain
agar hadis Nabi dapat berinteraksi dalam segala waktu dan zaman.4
1 Yūsuf al-Qaraḍāwī, Fī Rihāb al-Sunnah : Syarh Aḥādīth Nabawiyyah, 1926. Atau bisa dilihat
terj. Abu Aisyah Dkk. Dalam Pangkuan Sunnah (Jakarta : Al-Kautsar, 2013) h. vii 2 Dzikri Nirwana, Diskursus studi hadis dalam wacana Islam kontemporer ( jurnal al-Banjari,
vol. 13, No.2, Juli-desember 2014) h. 183, atau dapat dilihat pula dalam berbagai referensi kajian ini
misalnya Muḥammad Muṣṭafā al-A’ẓhamî, Manhaj al-Naqd ‘ind al-Muhaddithīn (Riyādh: Syirkah al-
Thibā’ah al-Su’ūdiyyah, 1982); Nūr ad-Dīn Itr, Manhaj al-Naqd fī ‘Ulūm al-Ḥadīth, (Damaskus: Dār al-
Fikr, 1997); Muḥammad Ṭāhir al-Jawābī, Juhūd al-Muḥaddithîn fī Naqd Matn al-Ḥadīts al-Nabawī al-
Syarīf (Tunisia: Mu’assasah, Abd al-Karīm ibn Abd Allah, t.th.); dan M. Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992). 3 Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi: metode dan pendekatan (Yogyakarta: CESaD YPI al-
Rahmah, 2001) h. xii 4 M. Ridwan Hasbi, “Interaksi Rasionalitas Teknis dalam Pemikiran Hadis Kontemporer,”
(Jurnal Ushuluddin Vol. XIX No. 1, Januari 2013) h. 3
2
Kehadiran teks dalam tradisi keagamaan telah membawa pengaruh dan dampak
yang besar bagi perkembangan intelektual, kebudayaan dan peradaban.5 Apabila
keberadaan teks adalah merupakan poros dari kebudayaan, maka upaya interpretasi –
yang merupakan wajah lain dari teks- menjadi salah satu mekanisme budaya dan
peradaban yang terpenting dalam memproduksi sebuah pengetahuan. Pada dasarnya
bukanlah teks sendiri yang membangun peradaban tetapi cara manusia berdialog
dengan teks di satu sisi, serta dialektikanya dengan realitas di sisi lainnya.6
Teks hadis Nabi Saw yang telah melewati masa sangat panjang tetap harus
dilakukan pemahaman yang sesuai dengan maksudnya. Mengingat Nabi Saw sudah
tiada, pemahaman dari satu teks hadis bisa bervariasi tergantung metode dan
pendekatan yang ditempuh. Oleh karena itu madhab-madhab pun muncul dalam Islam.
Meskipun demikian, ada sekelompok orang yang hanya meyakini bahwa kebenaran itu
harus satu macam dan tidak menerima pemahaman selain dari apa yang mereka
pahami.7 Pernyataan bahwa Islam adalah Ṣālih li kulli zamān wa makān, sebenarnya
telah menunjukan fleksibilitas dan elastisitas ajaran Islam dan bukan ortodoksi yang
ketat dan kaku.8
Hadis sebagai suatu tindakan Nabi Saw. dimaksudkan untuk membumikan
ajaran Islam dalam dunia nyata (raḥmah li al-‘ālamīn), maka hadis tidak bisa mengelak
dari dinamika sosial yang terjadi. Bahkan tidak jarang sebuah hadis menjadi ajang tarik
5 Lilik Ummi Kaltsum, Mendialogkan Realitas Dengan Teks, (Surabaya: CV. Putra Media
Nusantara, 2010), h. 25 6 Amin al-Khuli, Manāhij al-Tajdid fi al-Nahw wa al-Balāghah wa al-Tafsīr wa al-Adab,
(Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1961), h. 78. Lihat juga Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhūm al-Naṣ Dirasah fī
‘Ulūm al-Qur’ān, (Beirut : Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1994) h.9. 7 Naṣiruddin Albani, sifat Shalat Nabi (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2007), h. 16 atau dapat di cek
dalam kitab aslinya Aṣl Ṣifah Ṣolāh al-Nabī (Riyadh: Maktabah al-Ma’ārif, 2006) 8 M. Amin Abdullah, “Hadis dalam Khazanah Intelektual Muslim: al-Ghazali dan Ibnu
Taimiyyah”, dalam pengembangan pemikiran terhadap hadis, Ed. Yunahar Ilyas, (Yogyakarta: lembaga
pengkajian dan pengamalan Islam (LPPI), Universitas Muhammadiyyah Yogyakarta, 1996), h. 91
3
menarik antara realitas sosial saat itu dan norma ideal, yang biasanya berakhir dengan
suatu kompromi ajaran tertentu, meskipun semuanya masih dalam bingkai wahyu.
Berbagai persoalan yang muncul dalam kehidupan Nabi Saw. terungkap dalam
hadis. Sepeninggal Nabi Saw. hadis tidak bertambah jumlahnya, sementara problem
yang dihadapi oleh umat Islam terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.
Itulah sebabnya, dalam memahami hadis diperlukan metode pemahaman yang tepat
melalui pendekatan komprehensif, baik tekstual (ma’qūl al-naṣ) maupun kontekstual
(mafhūm al-naṣ) dengan berbagai bentuknya.9
Kemajuan yang dicapai dalam studi hadis dari generasi ke generasi menunjukan
arah kemajuan yang sangat signifikan, baik itu dalam kajian tentang sanad maupun
matan, di samping perkembangan ulum al-Qur’ān yang ikut juga berkembang. Hadis,
yang selama ini dipahami sebagai ucapan, perbuatan, dan ketentuan Nabi saw. adalah
bagian yang tidak terpisahkan, -meminjam istilah Fazlur Rahman-, a living tradition
(tradisi yang hidup atau al-Sunnah) di era kenabian selama kurang lebih 23 tahun
berubah menjadi a literary tradition (tradisi tertulis) pada abad ke-2 dan ke-3 H. dalam
kitab-kitab kumpulan hadis. Tanpa disadari umat Islam, telah terjadi perubahan yang
mendasar dari tradisi “lisan” yang hidup, longgar, dan fleksibel menjadi tradisi
“tertulis”, beku, kaku atau baku.10 Maka dari itu, perlunya sebuah terobosan baru dalam
memberikan pencerahan baik metodologi, pendekatan, serta penghidupan sunnah
kembali di tengah masyarakat dengan disesuaikan keadaan zamannya.
9 Berbagai bentuknya merujuk kepada ragam pendekatan yang hadir dalam upaya
mereduksikan hadis sesuai konteks masa lalu ke pemahaman masa kini. Salah satu contohnya: Said
Agil Husein Munawwar, “Metode Pemahaman Hadis; Kemungkinan Pendekatan Historis dan
Antropologis” dalam Yunahar Ilyas dan M. Mas’udi (ed.), Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis,
(Yogyakarta: LPPI, 1996), h. 174. 10 Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, (Pakistan: Islamic Research Institute,
1984).
4
Berbagai metodologi dan pendekatan telah lama diupayakan dan ditawarkan
oleh para ahli hadis pada zaman klasik hingga sekarang dalam usahanya
mengeksplorasi dan menemukan makna yang dikandung dari hadis-hadis Nabi.11
Mereka itu antara lain; al-Shāfi’ī (w. 204 H / 820 M), Ibn Qutaibah (w. 276 H / 889 M),
Shihāb al-Dīn al-Qarāfī (w. 684 H / 1285 M), Syekh Wali Allah al-Dahlawi (w. 1176
H / 1762 M ), al-Nawawī (w. 676 H), Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī (w. 852 H / 1449 M),
Muḥammad al-Ghazāli (w. 1416 H / 1996 M), Yūsuf al-Qaraḍāwī (lahir 1926 M),
Fazlur Rahmān (w. 1988 M), M. Syuhudi Ismail (w. 1995 H), Ali Musthafa Ya’qub
(w. 2016), dan beberapa tokoh hadis kontemporer dalam kajian hadis khususnya di
Indonesia dengan karyanya masing-masing.
Pemahaman12 hadis adalah hal yang belakangan ini menjadi lahan pembahasan
yang dicoba untuk penerapan metode-metode dan pendekatan-pendekatan baru guna
mengaktualisasikan pemahaman konten (matan) hadis dengan keadaan zaman
(kontekstual), yang tidak jarang metode yang hendak digunakan awalnya metode yang
biasanya hanya diterapkan pada penelitian terhadap teks biasa, bukan seharusnya
diterapkan pada teks keagamaan semisal hadis. Namun, Di sisi lain tentu upaya yang
dilakukan merupakan usaha untuk mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu guna
mencari jalan alternatif dengan menyuguhkan metode yang baru atau dengan kata lain
mencoba melengkapi metode yang telah ada.
11 Abdul Mustaqim, dkk, Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami Hadis,
(Yogyakarta: Sukses Offset, 2008), h. v 12 Pemahaman adalah kata benda (noun) yang merujuk pada proses, cara, perbuatan memahami
atau memahamkan (KBBI). Kata ini merupakan serapan dari bahasa arab, yaitu kata al-Fahm (الفهم) yang
berarti mengenali suatu objek dengan hati (ma’rifatuka al-syai’a bi al-qalb) (Lisān al-‘Arab). Sementara
al-Jurjānī memberikan pengertian suatu pernyataan yang bersumber dari seorang pembicara (tasawwur
al-ma’na min lafz al-mukhatib) (al-Ta’rifat). Kata al-fahm semakna dengan beberapa kata dalam bahasa
inggris, misalnya kata understand, graps, comprehend, realize dan see yang berarti mengetahui (tahu),
menangkap sesuatu yang sulit dimengerti, mengenal secara sempurna, mengetahui situasi yang terkadang
terjadi secara tiba-tiba dan menemukan suatu pengertian. (Cambridge Advance Learner Dictionary).
Kamus Besar Bahasa Indonesia versi 1.3. Ibn Mandzur, Lisān al-‘Arab juz 10, (al-Qāhirah: Dār al-
taufiqiyyah li turats, 2009), h. 381. Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah,
2012) h. 185, Aplikasi Cambridge Advanced Laerner’s Dictionary (third edition).
5
Merespon upaya tersebut, dalam masalah ini tentu mendorong usaha sebagian
ulama konservatif yang memang sangat berhati-hati terhadap metode baru dan
pemahaman hadis yang ditawarkan, untuk ditelaah kembali dan berusaha menolak
metode atau konsep yang dinilai kurang layak diterapkan pada pembahasan teks
keagamaan. Sedangkan sebagian ulama lainnya dan para sarjana muslim kontemporer-
progresif justru sebaliknya, yang sedang menggiatkan pertumbuh-kembangan metode-
metode ini dalam khazanah keislaman dan bahkan mencoba menerapkannya kepada
sumber pokok ajaran Islam, yakni al-Qur’ān dan Hadis. Dan disamping kedua respon
di atas juga ada pula sebagian kecil yang mengembangkannya dengan
mengkombinasikan kedua hal tersebut dengan mencoba mencari kelemahan dan
kelebihan masing-masing metode serta pendekatan lalu berupaya menjembatani untuk
mengintegrasikannya.
Pemahaman hadis yang menggunakan metode tentu memerlukan peranan
tokoh yang mengembangkan sebuah metode13 yang pada akhirnya dapat diterapkan
dalam memahami hadis. Perlu dipahami metode dengan pendekatan mempunyai
dimensi yang amat sangat berdekatan, karena mempunyai arti sama yaitu proses,
atau cara14, akan tetapi dalam hal penggunaannya, metode lebih runut langkah demi
langkah secara teratur untuk memperoleh sesuatu pencapaian dari objek penilitian
yang diinginkan, lain halnya dengan pendekatan yang merupakan proses atau cara
untuk mendekati objek penilitian yang sedang dikaji, yang merupakan cara
penerapannya langsung kepada objek penelitian atau berbaur dengan hal yang ingin
diteliti dan pendekatan berada lebih luas dibanding metode.
13 Metode merupakan kata benda (noun) yang merujuk pada pengertian cara teratur yang
digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja
yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. 14 Kamus Besar Bahasa Indonesia versi 1.3
6
Metode dalam memahami hadis yang digunakan ulama terdahulu
(klasik/tradisional) memang secara implisit tidak berupa cara langkah demi langkah
(step by step), tetapi harus dianalisa terlebih dahulu sehingga didapatkan intisari
metode yang digunakannya. Hal ini dapat dilihat dalam kitab Ikhtilāf al-Hadīth15
Karya al-Shāfi’ī yang langkah-langkah metodenya bisa diketahui dengan
menganalisa keseluruhan bab demi bab dalam kitabnya, Namun, dalam kitabnya
pula Imam al-Shāfi’ī menunjukan bahwa kontradiksi hanya sebatas gejala
pemahaman yang menyimpang dari maksud hadis, dan membangun satuan
informasi yang berbeda-beda di atas asumsi-asumsi atau pendapat yang lemah.
Hampir serupa dengan al-Shāfi’ī, Ibn Qutaibah juga memberikan pola
pemahamannya dalam karyanya “Ta’wil Mukhtalif al-Hadīth” yang menawarkan
upaya penyelesaian pada hadis-hadis yang terlihat bertentangan. tentunya dari
metode yang mereka tawarkan masih bernuansa klasik yang dominan, yaitu seputar
memahami hadis melalui ilmu matan hadis dan riwayatnya, dan tidak terlihat sisi
kontekstual situasional secara mendalam dari pemahaman hadis itu sendiri, meski
jika terlihat kontekstual situasional pada waktu itu, maka perlu untuk memahaminya
dengan situasi dan realitas sekarang dan mewujudkan sesuatu yang seharusnya
menjadi A living tradition bukan A Literary tradition.
Lebih jauh lagi ke pertengahan abad ke-sembilan hijriyyah, Ibn Ḥajar al-
ʻAsqalānī menyusun sebuah kitab Sharḥ hadis yang berjudul Fatḥ al-Bārī,16 Sejauh
pembahasan metode yang ditawarkan Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, memang terlihat telah
mengalami perkembangan yang signifikan dengan hadirnya pemahaman hadis
15 Abū ‘Abd Allah Muḥammad bin Idrīs al-Shāfi’ī, Ikhtilāf al-hadīth, (Beirut: Dār al-Kutub al-
‘Ilmiyyah, 2008) cet. Ke-1 16 Ibn Ḥajar al-ʻAsqalānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, (Riyadh: Dār al-Taybah,
2005)
7
melalui multi disiplin ilmu, namun tetap di rasa hanya berputar di sekitar riwayat
dan pendekatan kebahasaan, bukan pada aspek sosial dan humaniora.
Selanjutnya metode pemahaman hadis juga coba ditawarkan ulama atau
sarjana muslim modern-kontemporer yang mencoba menawarkan pemahaman yang
lebih dominan berpaku pada konstekstual semisal, Fazlur Rahman dengan teori
double movementnya, Arkoun dengan dekonstruksi pemahamannya, Nasr Ḥamid
Abu Zayd penelaahan kembali wacana dan naṣ dalam agama, dan Shahrūr dengan
teori limitasi dan evolusi konsep sunnahnya. Disamping itu ada juga yang tetap
mempertahankan tradisi pemahaman yang telah ada, semisal yusuf al-Qaradāwī
dengan Kaifa Nata’āmal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah Ma’ālim wa Ḍawābit yang
menyebutkan dalam salah satu metodenya dengan memperhatikan sarana yang
berubah dan tujuan yang tetap, Muḥammad al-Ghazālī dengan al-Sunnah Baina Ahl
al-Fiqh wa Ahl al-Ḥadīth17 dengan menggelorakan kembali semangat kembali
kepada nilai-nilai qur’ani, M. Syuhudi Ismail dengan Hadis Nabi yang Tekstual dan
Kontekstual Telaah Ma’ani al-Hadīts tentang Ajaran Islam yang Universal,
Temporal dan Lokal18 yang menyajikan proporsi dalam memahami ajaran islam
dalam hadis, dan Cara Benar Memahami Hadis karya Ali Mustafa Ya’qub. Serta
beberapa sarjana hadis Universitas Islam Negeri yang meramaikan khazanah
wacana metode pemahaman hadis di Indonesia semisal Amin Abdullah, Sahiron
Syamsuddin, Suryadi, Alfatih Suryadilaga, hingga Abdul Mustaqim.
Dari beberapa metode baik pada masa klasik hingga kontemporer yang
dipaparkan di atas, tentu ada beberapa kesamaan poin dalam upaya memahami hadis
17 Muhammad al-Ghazali, al-Sunnah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadis, (Cairo:Dār al-
Surūq, 1989) dan untuk versi terjemahannya dengan judul Studi Kritis Atas Hadis Nabi, Antara
Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (Bandung : Mizan, 1993) 18 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’ani al-Hadīth
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal ; Metodologi Penelitian Hadis (Jakarta:
CV Bulan Bintang,1992)
8
Nabi mulai dari periode klasik hingga kontemporer. Meskipun demikian ditemukan
kesamaan dalam beberapa poin tapi langkah menuju tahap rekonstruksi serta
pandangan dunia dan zaman yang ada pada masing-masing tokoh berbeda. Maka
sangat perlu untuk menyajikan metodologi yang lengkap secara tradisi pemahaman
ulama terdahulu serta mampu merangkul dengan hangat metode-metode, pendekatan-
pendekatan baru yang bersifat kekinian. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
Mohammed Arkoun dengan sungguh pemikiran Islam yang naif jika tidak diperkaya
dengan usaha pembaharuan yang kritis dan membuka diri pada kemodernan yang
nantinya menghasilkan pengaktualisasian sejumlah makna yang diejawantahkan dalam
berbagai cara pemahaman, pencitraan, serta penalaran khas masyarakat tertentu serta
didukung berbagai faktor sosial, budaya psikis, politis, dll.19
Karenanya, pendekatan yang terlalu terpusat pada “teks” (tekstual) dalam
memahami hadis tidak lagi memadai dan perlu diperkaya dengan pendekatan
kontekstual dan kajian interdisipliner yang melibatkan seperangkat disiplin ilmu
lainnya, seperti ilmu pengetahuan alam dan sosial (sosiologi, antropologi) serta
hermeneutic dan semiotik. Dalam hal ini, peminjaman, modifikasi, maupun adaptasi
unsur informasi dan unsur metodologi oleh suatu disiplin ilmu dari disiplin ilmu yang
lain merupakan hal yang wajar. Memang suatu disiplin ilmu memiliki otonomi di
dalam dirinya. Namun, karena gejala yang dideskripsikan dan dijelaskan olehnya
merupakan satu kesatuan yang kompleks, serta tingkat perkembangan dan kemampuan
disiplin ilmu itu bervariasi, maka disiplin ilmu itu tidak dapat melepaskan diri dari
bantuan dan kerjasama dengan disiplin ilmu lainnya.
19 Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru,
(Jakarta: INIS, 1994), h. 6
9
Berangkat dari problema di atas seputar metode-metode, pendekatan, yang
ditawarkan oleh beberapa ulama hadis baik klasik hingga kontemporer nampaknya
membutuhkan telaah kembali mengenai pola pergeseran, dan karakteristik, serta
integrasi antar metode yang dirumuskan oleh mereka. Oleh karena itu, penulis dalam
penelitian ini tertarik mengambil judul “Pergeseran Metode Pemahaman Hadis
Ulama Klasik hingga Kontemporer”
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas adanya berbagai metodologi yang dikembangkan
oleh banyak sarjana muslim (ulama terdahulu hingga sekarang) membuat
pemahaman hadis menjadi terbatas hanya pada topik yang diinginkan, dengan
tampilnya pemahaman yang dilandaskan latar aliran serta melalui metode yang
masing-masing mereka tawarkan. Terlebih setelah menyadari bahwa ada
kelemahan-kelemahan metodologi terdahulu yang masih dijadikan pegangan oleh
sebagian umat Islam. Dari sinilah penulis mengidentifikasi beberapa masalah
sebagai berikut :
Pertama, sejarah mencatat setidaknya beberapa ulama (seperti yang penulis
sebutkan di latar belakang masalah) dalam kajian hadis menampilkan gagasannya
dalam metode memahami hadis, tentu perlu dipetakan kembali secara jelas mulai
darimana gagasan itu hadir. Sejak kapan metode untuk memahami hadis muncul
dalam pengkajian hadis?
Kedua, metode pemahaman hadis yang ditawarkan oleh ulama terdahulu
dinilai sudah tidak mampu menjawab dan tidak relevan lagi bagi kehidupan sosial
karena keadaan sosio-historis tradisi lama jauh berbeda dengan kehidupan masa
10
kini, meliputi keadaan sosial, perangkat pengetahuan dan budaya, sehingga
penerapannya dipandang hanya akan kembali kepada zaman saat hadis itu tumbuh
dan berkembang semata, yaitu mengedepankan tekstualitas dan pendekataan
kebahasaan saja. Apakah ada pendekatan yang digunakan selain metode mukhtalif
al-Hadīth dan pendekatan kebahasaan pada zaman klasik?
Ketiga, ke arah mana konsentrasi dan fokus pembahasan metode pemahaman
hadis pada zaman sekarang (kontemporer)? Bagaimana pola pergeseran metode
serta karakteristik pemahaman hadis ulama klasik hingga kontemporer? Metode
pemahaman hadis tetap stagnan atau terus berkembang dari dulu hingga sekarang?
Keempat, pengkajian pemahaman hadis menemui puncaknya pada abad
modern, dengan hadirnya beberapa metode memahami hadis. Apakah hadirnya
metode ini disebabkan ketidakmampuan metode klasik-pertengahan menjawab
kemajuan zaman? apa motif yang melatarbelakangi metode-metode tersebut?
mengadaptasikan sejumlah ilmu pengetahuan untuk diterapkan dalam ilmu agama,
wacana Islamisasi ilmu serta pengintegrasian ilmu sosial-humaniora pada kajian
hadis. Dapatkah integrasi ilmu pengetahuan itu dilakukan? Bagaimana dengan
metode lama? Apakah ikut diintegrasikan? Apakah pengadaptasian pendekatan-
pendekatan mampu memberikan pengetahuan yang komprehensif?
2. Batasan Masalah
Dari identifikasi masalah di atas, maka pembahasan ditetapkan pada
persoalan ketiga, yakni memaparkan Fokus kaijai, karakteristik dan pola
pergeseran metode pemahaman hadis yang dimulai pada periode klasik hingga
periode kontemporer. Persoalan ini saya bahas karena metodologi pemahaman
hadis kontemporer yang memang lebih sesuai dengan keadaan sosial sekarang,
11
berpotensi menggerus tradisi lama yakni dalam metodologi pemahaman hadis
yang dikemukan ulama klasik. Oleh karena itu, perlu untuk dipaparkan ada atau
tidaknya pergeseran dari klasik hingga ke kontemporer serta usaha untuk
mengkomparasikan dan mengintegrasikan berbagai metodologi pemahaman hadis
guna mencapai pemahaman yang kompherensif.
3. Rumusan Masalah
Untuk memperoleh pemahaman hadis yang kompherensif, tentu kajian
hadis secara tekstual dan kontekstual perlu untuk dipahami melalui metode-
metode baik lama maupun yang terbaru, lalu mengintegrasikan keduanya dalam
suatu pemahaman yang utuh dan tepat. Dari batasan masalah yang dikemukakan
di atas, penulis merumuskan permasalahan menjadi: Bagaimana pola pergeseran
metode pemahaman hadis ulama terdahulu hingga pengkaji hadis kontemporer?
Apakah stagnan atau dapat terus mengalami pembaharuan? Dan kemanakah
fokus kajian pada masa sekarang?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dari
penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui ragam metodologi pemahaman hadis klasik hingga
kontemporer.
b. Untuk mendapatkan pemahaman yang kompherensif dalam memahami sebuah
hadis melalui perspektif klasik hingga kontemporer.
12
c. Untuk mengintegrasikan berbagai metode dan pendekatan yang telah dan akan
muncul dalam memahami hadis.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wacana keilmuan Islam
khususnya dalam metodologi pemahaman hadis yang cukup beragam, dan
memperkenalkan aspek pengintegrasian antar metodologi pemahaman secara
kompherensif.
D. Kajian Pustaka
Untuk mendukung penelaahan yang lebih integral dan kompherensif, maka
penulis berusaha melakukan tinjauan lebih awal terhadap pustaka (karya-karya)
yang mempunyai relevansi dengan tema yang diteliti. Tinjauan terhadap karya atau
tulisan yang memuat ataupun membahas tentang metodologi pemahaman hadis dari
zaman klasik hingga kontemporer dilakukan untuk mengetahui batas penelitian
yang penulis lakukan, sehingga penelitian ini bisa terhindar dari kemungkinan
adanya duplikasi.
Karya-karya yang membahas seputar metode pemahaman hadis dengan
menawarkan dan menyajikan berbagai pendekatan, seperti yang di tulis oleh Nizar
Ali dalam bukunya Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan)20 yang
mengklasifikasikan metode pemahaman hadis yang ulama gunakan menjadi tiga
bagian, yaitu Taḥlili, Ijmāli, dan Muqarīn. Serta mengajukan beberapa pendekatan
dalam memahami hadis, yaitu pendekatan kebahasaan, historis, sosiologis,
psikologis, sosio-historis, dan antropologi.
20 Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi: Metode dan Pendekatan (Yogyakarta: CESaD YPI al-
Rahmah, 2001), h. 28-108
13
Masih dalam lingkup yang sama M. Alfatih Suryadilaga membahas dengan
judul Metodologi Syarah Hadis21 yang menyajikan kerangka sejarah dalam
metodologi syarah hadis dalam perkembangan Islam dan mengeksplorasi dari
beberapa kitab hadis klasik dan kontemporer dengan menganalisis konten
didalamnya dan memetakan berbagai pendektan yang dikandungnya. M. Syuhudi
Ismail22 dan Ali Mustafa Ya’qub23 juga ikut mengambil bagian dalam perumusan
metode memahamai hadis. karyanya masing-masing menawarkan basis yang
berbeda jika Syuhudi Ismail lebih menekankan posisi redaksional dan motif Nabi
dalam menyabdakan hadis yang pada kelanjutannya akan berdampak pada
keberlakuan hukum syariat atasnya.
Ali Mustafa Ya’qub menyajikan secara garis besar ada tiga, memahami hadis
dengan cara tekstual, kontekstual dan dengan cara tematis. Basis pemahamannya
pun tidak jauh menyebrang ke pemahaman yang ekstrim, akan tetapi, ia berusaha
tetap menjaga kemurnian dan ketepatan dalam memahami hadis.
Sebelumnya juga telah ada karya Muḥammad al-Ghazālī yakni, al-Sunnah
al-Nabawiyyah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadīth yang juga telah diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia dengan Judul Studi Kritik atas Hadis Nabi Saw. antara
Pemahaman Tekstual dan Kontekstual24 yang membahas tentang autoritas religius.
Seperti hubungan antara al-Qur’an dan al-Sunnah, posisi otoritas Nabi Saw. sebagai
sumber hukum Islam, dan metode kritik hadis serta perangkat pemahaman hadis
menggunakan standarisasi al-Qur’an dan perbedaan metode dan pendekatan antara
para ahli fikih dan ahli hadis.
21 M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis (Yogyakarta : UIN Suka Press, 2012) 22 M. Syuhudi Ismail, Hadis yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Maani al-Hadis tentang
Ajaran Islam yang universal, temporal dan local (Jakarta: Bulan Bintang, 2009) 23 Ali Mustafa Ya’qub, Cara Benar Memahami Hadis (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2016) 24 Muhammad al-Ghazālī, Studi Kritis atas Hadis Nabi Saw. antara pemahaman Tekstual dan
Kontekstual (Bandung:Mizan, 1996)
14
Berbeda halnya dengan kajian di atas yang menyajikan dan menawarkan
metode ada sejumlah tokoh yang mencoba membandingkan metode antar tokoh,
Suryadi dalam penelitiannya yang berjudul Metode Pemahaman Hadis Nabi: Telaah
atas Pemikiran Muḥammad al-Ghazālī dan Yūsuf al-Qaraḍāwī25 yang memaparkan
metode yang dipaparkan oleh kedua orang tersebut setelah di telaah persamaan dan
perbedaannya masing-masing metode. Penelitain lain yang juga membahas
perbandingan tokoh yaitu Siti Fatimah, yang membahas judul Metode Pemahaman
Hadis Nabi dengan Mempertimbangkan Asbābul Wurud: Studi Komparasi
Pemikiran Yūsuf al-Qaraḍāwī dan Syuhudi Ismail26 yang mencoba menyuguhkan
titik persamaan dan perbedaan mengenai metode Asbāb al-Wurūd dalam memahami
hadis pada kedua tokoh tsb. Selanjutnya juga ada Alamsyah dengan judul Sunnah
sebagai Sumber Hukum Islam dalam pemahaman Shahrūr dan al-Qaraḍāwī27 yang
menaparkan penggunaan sunnah sebagai dasar hukum mengambil pandangan dua
tokoh modern-kontemporer yakni Shahrūr dengan Yūsuf al-Qaraḍāwī.
Said Agil Munawwar dan Abdul Mustaqim dalam karyanya Asbāb al-
Wurūd: Studi kritis HadisNabi Pendekatan Sosio-Historis – kontekstual28
merupakan suntingan dari buku Asbāb al-Wurūd al-Ḥadīth aw al-Luma’ fī Asbāb
al-Ḥadīth karangan al-Ḥafīẓ Jalal al-Dīn al-Suyūṭī. Buku ini mencoba memerikan
penjelasan mengenai pengertian asbāb al-wurūd dan fungsinya, beserta
25 Suryadi, “Metode Pemahaman Hadis Nabi: Telaah atas Pemikiran Muhammad al-Ghazālī
dan Yūsuf al-Qaraḍāwī,” (Disertasi S3Program Studi Ilmu Agama, Program Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2004) 26 Siti Fatimah, “Metode Pemahaman Hadis Nabi dengan Mempertimbangkan Asbābul
Wurud: Studi Komparasi Pemikiran Yūsuf al-Qaraḍāwī dan Syuhudi Ismail,” (Skripsi jurusan Tafsir
Hadis, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2009) 27 Alamsyah, “Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam dalam pemahaman Shahrūr dan al-
Qaraḍāwī,” (Disertasi S3 Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,2004) 28 Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbāb al-Wurūd: Studi kritis HadisNabi
Pendekatan Sosio-Historis – kontekstual (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001)
15
pemaparannya dalam memahami hadis yang ditinjau dari segi makna, fungsi dan
metodenya.
Upaya merekonstruksi pemahaman hadis juga disuarakan oleh beberapa
tokoh, misalnya Suryadi dengan karyanya Rekonstruksi Metodologi Pemahaman
Hadis Nabi29, M. Alfatih Suryadilaga dengan Metode Hermeneutik dalam
Pensyarahan Hadis: Ke Arah Pemahaman Hadis yang Ideal dan Komprehensif.30
Serta kajian jurnal yang ditulis M. Ridwan Hasbi, Interaksi Rasionalitas Teknis
dalam Pemikiran Hadis Kontemporer,31 Dzikri Nirwana, Diskursus Studi Hadis
dalam Wacana Islam Kontemporer,32 yang keduanya mencoba memberikan
gambaran dinamika rasional dalam mengkonstruksikan pemahaman hadis yang
fresh sesuai dengan keadaan sosial dan kemajuan zaman.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Secara kategorikal, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif karena
penelitian ini bermaksud untuk memahami fenomena metode pemahaman hadis, dan
tentang yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik yang dideskripsikan
melalui kata-kata dan bahasa dalam konteks tertentu.33
Jenis penelitian ini pada dasarnya dapat dikategorikan ke dalam penelitian
kepustakaan (Library Research), karena objek penelitiannya adalah literatur-literatur
29 Suryadi, Rekonstruksi Metodologi Pemahaman Hadis Nabi dalam Wacana Hadis
Kontemporer (PT. Tirta Wacana, 2002) 30 M. Alfatih Suryadilaga, Metode Hermeneutik dalam Pensyarahan Hadis: Ke Arah
Pemahaman Hadis yang Ideal dan Komprehensif,” (Jurnal Studi Ilmu dan Agama. Vol. 1, No. 1,
Januari 2001) 31 M. Ridwan Hasbi, Interaksi Rasionalitas Teknis dalam Pemikiran Hadis Kontemporer (Jurnal
Ushuluddin Vol. XIX No. 1, Januari 2013) 32 Dzikri Nirwana, Diskursus Studi Hadis dalam Wacana Islam Kontemporer (Jurnal al-
Banjari, Vol. 13, No. 2, Juli-Desember 2014) 33 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, cet. ke-27 (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2010), h. 6
16
kepustakaan yang membahas metode pemahaman hadis.34 Baik yang berasal dari
pokok-pokok pembahasan tentang metode, maupun dari karya-karya lainya yang terkait
dengan pembahasan dalam penelitian ini.
2. Sumber data
Pada penelitian ini merupakan penelitian pustaka karena objek penelitian
bersandar pada data-data yang tersebar dalam bentuk buku, artikel, laporan penelitian,
situs, dan lain sebagainya.35 Kemudian data-data tersebut dibagi ke dalam data primer
dan data sekunder.
Sumber primer pada penelitian ini adalah buku-buku dan kitab-kitab yang
mencoba menawarkan cara memahami hadis Nabi dari berbagai aspek serta kitab
syarah hadis yang menggunakan metode tersendiri, yaitu: Kitab Ikhtilāf al-Ḥadith
Karya Imam asy-Shāfi’ī, Kitab Fatḥ al-Bārī karya Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, Bagaimana
Memahami Hadis Nabi Saw karya Yusuf al-Qaraḍāwī, Hadis Nabi yang Tekstual dan
Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadīth tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal
dan Lokal karya M. Syuhudi Ismail, dan sebagainya. Selain data primer yang disebut
di atas juga diperlukan sumber sekunder, yaitu sumber data pendukung. Seperti yang
terdapat di dalam kitab-kitab Sharḥ al-hadīth, buku, jurnal, atau tulisan-tulisan yang
berhubungan atau mendukung penyusunan penelitian ini.
3. Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data ini adalah dengan mengumpulkan berbagai metode
dalam memahami hadis, baik yang lahir dari tradisi keilmuan Islam yang ada mulai dari
fase klasik, yakni al-Shāfi’ī hingga fase modern kontemporer, yakni Yūsuf al-
Qaraḍāwī. Dan juga mengkomparasikan dengan berbagai metodologi memahami teks
34 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung: Tarsito, 1990), h.182. 35 Saifuddin Anwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 17
17
yang lahir pada tradisi kesarjanaan kontemporer yang bertujuan menghasilkan
pembaharuan yang kritis.
4. Analisis data
Setelah data yang diinginkan terkumpul, Maka akan dianalisis data tersebut
sehingga penelitian ini dapat terlaksana secara rasional, sistematis dan terarah dengan
menggunakan metode analisis-komparatif. Penelitian ini menggunakan langkah-
langkah sebagai berikut:
Pertama, melakukan analisis pada metode pemahaman hadis yang telah ada
guna mendapatkan gambaran awal lahirnya masing-masing metodologi dan juga
sekaligus memetakan berbagai metodologi dalam beberapa kategori/klasifikasi.
Kedua, menjajarkan berbagai pengertian tentang metode pemahaman hadis
serta sejarah terbentuknya metode pemahaman hadis secara ringkas.
Ketiga, menganalisa beberapa karangan ulama dalam metode pemahaman hadis
lalu di klasifikasikan pemahaman serta pergeseran metode pemahaman dari klasik
hingga ke kontemporer.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan pembahasan yang utuh maka diperlukan adanya
sistematika penulisan. Dalam sistematika penulisan ini, dibagi menjadi empat bab, dan
masing-masing bab memiliki sub pokok bahasan.
Bab pertama adalah pendahuluan. Bab ini terdiri dari latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian yang digunakan dan sistematika
penelitian.
18
Latar belakang masalah merupakan deskripsi tentang beberapa faktor yang
menjadi dasar timbulnya masalah yang akan diteliti. Setelah itu permasalahan
diintentifikasi dan diputuskan pembatasan serta rumusan masalahnya. Kemudian tujuan
penelitiannya disesuaikan dengan pokok masalah, sedangkan manfaatnya yaitu berupa
harapan tentang kemanfaatan hasil dari penelitian ini sendiri. Setelahnya dilakukan
telaah pustaka guna mencari litelatur-literatur yang memberikan penjelasan tentang
tema yang sedang dibahas, lebih dari itu litelatur ini juga kemudian berguan untuk
mencari tempat bagi penulis untuk melakukan penelitian yang belum pernah tersentuh
sebelumnya. Kemudian disusul dengan metodologi penelitian yang memberikan
penjelasan mengenai teknik dan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam
pengumpulan dan analisis data. Sub-bab terakhir dalam bab ini berupa sistematika
penulisan yang digunakan sebagai pedoman klasifasi data serta sistematika yang
ditetapkan pokok masalah yang akan diteliti.36 Bab ini merupakan kerangka dari
seluruh isi penelitian.
Bab kedua, penulis membahas pengertian terlebih dahulu yang akan menjadi
dasar penelitian ini. Dalam membantu memahami maksud metode pemahaman hadis
dalam pengertian bahasa Indonesia dan juga memberikan pemaparan yang jelas tentang
beberapa ungkapan yang disebut cara memamahi juga, lalu memberikan titik singgung
dari beberapa ungkapan tersebut dari berbagai aspek. Setelah itu dilanjutkan dengan
pemaparan sejarah perkembangan ilmu hadis dan sejarah pemahaman hadis.
Bab Ketiga, akan membahas kerangka analisis yakni mempetakan beberapa
ulama dalam kajian pemahaman hadis serta dalam mempolakan masing-masing
metodologi lalu dicari persamaan dan perbedaan, kekurangan dan kelebihan masing-
36 Buku Pedoman Akademik Program Strata 1 Tahun 2011/2012 UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
19
masing metode, dan mengumpulkan beberapa pendekatan yang selama ini tercecer dan
tidak rapih agar masuk dalam kajian untuk memahami teks hadis, dan merumuskan
metode yang layak untuk mewujudkan pemahaman yang lengkap dan dapat menjawab
persoalan pemahaman dalam umat sekarang.
Bab keempat, berisi penutup berupa kesimpulan dan saran. Didalamnya akan
berisi kesimpulan dari penelitian ini mulai dari bab pertama sampai bab terakhir. Atau
dalam hal kesimpulan ini berisi jawaban pokok terhadap masalah yang sedang diteliti,
kemudian saran yang berisi rekomendasi-rekomendasi dari penulis.
20
BAB II
WAWASAN SEPUTAR METODOLOGI PEMAHAMAN HADIS
A. Pengertian Sharḥ al-Ḥadīth, Fiqh al-Ḥadīth, Fahm al-Ḥadīth dalam
Kerangka Metode Pemahaman Hadis
Istilah memahami hadis adalah upaya mengeksplorasi isi kandungan lafaz dan
makna hadis, melalui petunjuk yang terkandung dalam lafaz itu sendiri. Akan tetapi,
proses membedakan petunjuk lafaz yang berbeda antar lafaz dengan kemungkinan
makna yang berlainan dikarenakan adanya faktor eksternal yang memberikan kerangka
nyata tentang proses pemahaman dalam hal ini, sehingga perlu ditekankan kembali
pengertian yang spesifik tentang proses tersebut.
Kemunculan istilah Sharḥ (Syarah1) memberikan dampak yang cukup signifikan
dalam pengkajian pemahaman hadis, karena memang syarah (Sharḥ) merupakan istilah
yang telah dipakai sejak dahulu dan kitab-kitab hadis yang menjelaskan makna hadis
juga menggunakan istilah Syarah (Sharḥ) sebagai nama kitabnya. Penggunaan istilah
syarah (Syarḥ) banyak digunakan dalam upaya menafsirkan atau memberikan
pemahaman terhadap hadis baik dari segi sanad maupun matan, dan tidak jarang nama
kitabnya juga tercantum dengan menggunakan kata (Syarḥ) itu sendiri. Seperti : Fatḥ
al-Bārī bi Sharḥ al-Bukhārī karya Ibn Ḥajar al-Asqālānī, Irsyād al-Syārī li Sharḥ Ṣaḥīḥ
al-Bukhārī karya Abī al-Abbās Syihāb al-Dīn Aḥmad bin Muḥammad al-Qasyṭalānī,
al-Minhaj Sharḥ Ṣaḥīḥ Muslim bin al-Hajjāj, Kasf al-Ghiṭa fī Sharḥ Mukhaṣar al-
Muwaṭṭa’ karya Abu Muhammad bin Abi al-Qāsim al-Farhuni al-Ya’muri at-Tunisi,
Ibānah al-Ahkām bi Sharḥ Bulugh al-Marām karya Alwi Abbas al-Maliki wa Hasan
1 Penyebutan seperti di atas sering ditemukan dalam bahasa Indonesia, hal ini merujuk kepada
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
21
Sulaiman al-Nawāwī. Serta dibanyak kitab lain yang menamai kitabnya dengan istilah
sharḥ.
Istilah yang hampir serupa juga hadir dalam perkembangan keilmuan yang melaju
semakin pesat, yakni, istilah Fiqh al-Ḥadīth dan Fahm al-Ḥadīth. Namun, dalam segi
pengertian secara bahasa makna yang digunakan dalam kalimat tersebut mengandung
maksud yang berbeda meski tujuannya sama yakni memahami hadis Nabi. Maka untuk
itu perlu dipaparkan pengertian masing-masing agar memperoleh pembatasan yang
spesifik tentang hal tersebut. untuk lebih jelasnya sebagai berikut:
1. Definisi Sharḥ (Syarah)
Kata Sharḥ berasal dari bahasa Arab sharaḥa – yashraḥu – sharḥan yang artinya
menerangkan, membukakan, dan melapangkan.2 Istilah Sharḥ biasanya digunakan
untuk menjelaskan, menerangkan, membuka makna hadis, sedangkan istilah Tafsir
untuk kajian al-Qur’ān. Secara substansial kedua istilah itu sama, yaitu, sama-sama
menjelaskan maksud, arti atau pesan. Tetapi secara istilah, keduanya berbeda. Istilah
Tafsir spesifik kepada al-Qur’ān saja dengan menjelaskan maksud, arti, kandungan,
atau pesan ayat al-Qur’ān, sedangkan istilah syarah (Sharḥ) ialah meliputi pembahasan
hadis dan juga disiplin ilmu lainnya.3
Sedangkan secara istilah definisi syarah hadis adalah sebagai berikut:
من حكم و حكمةعناصره شرح احلديث هو بيان معاين احلديث و استخراج
Syarah hadis adalah menjelaskan makna-makna hadis dan mengeluarkan
seluruh kandungannya, baik hukum maupun hikmah.4
2 Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab juz V, (al-Qāhirah: Dār al-Taufīqīyyah li turāth, 2009), h. 76. 3 Nizar Ali, (Ringkasan Desertasi) Kontribusi Imam Nawawi dalam Penulisan Syarh Hadis,
(Yogyakarta: , 2007), h. 4 4 Mujiono Nurkholis, Metodologi Syarah Hadist, (Bandung: Fasygil Grup, 2003), h. 3
22
Definisi ini hanya menyangkut syarah terhadap matan hadis, sedangkan definisi
syarah yang mencakup semua komponen hadis itu, baik sanad maupun matannya,
adalah sebagai berikut:
ة وعلة وب يان معانيه و ناوسندا من صح ستخراج اشرح احلديث هو ب يان ماي ت علق بحلديث مت .احكامه وحكمه
Syarah hadis adalah menjelaskan keṣahīhan dan kecacatan sanad dan
matan hadis, menjelaskan makna-maknanya, dan mengeluarkan hukum
dan hikmahnya.5
Dari sudut terminologis, syarah (Sharḥ) berarti uraian terhadap materi-materi
tertentu, lengkap dengan unsur-unsur dan segala syarat yang berkaitan dengan objek
pembahasan.6 Dalam hal ini pengertian kata syarah sangat terkait dengan
perkembangan tradisi keilmuan Islam. Pada kenyataan kata syarah digunakan untuk
menunjukkan sebagai istilah untuk penjelasan atau uraian terhadap suatu ilmu yang
dijadikan objek studi di setiap cabang pengetahuan.7
2. Definisi Fiqh al-Ḥadīth
Fiqh menurut bahasa berasal dari kata faqiha – yafqahu - fiqhan yang artinya
adalah al-‘ilmu bi al-shay`i wa al-fahmu lahu (mengetahui sesuatu dan
memahaminya).8 Al-Fairuz Abadī mendefinisikan kata ini dengan al-‘ilmu bi al-shay`i
wa al-fahm lahu wa al-faṭanat wa ghalibu ‘alā al-dīn li sharifihi (mengetahui sesuatu
dan memahaminya, kecerdasan, dan memperlalukan agama karena kemuliannya).9
Sementara menurut al-Jurjānī, al-Fiqh adalah Memahami maksud orang yang
5 Mujiono Nurkholis, Metodologi Syarah Hadist, (Bandung: Fasygil Grup, 2003), h. 3 6 Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 951 7 E.J. Brill, First Encyclopaedia of Islam 1913-1936, Vol. VII, (Leiden: E.J. Brills, 1987), h.
320 8 Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab juz 10, (al-Qāhirah: Dâr al-Taufīqīyyah Li Turâts, 2009), h. 339 9 Majd al-Dīn Muḥammad ibn Ya’qub al-Fairuz Abadī, Al-Qamūs al-Muhīth, (Bairut: Dār al-
Jail, t.th), Juz 4, h. 291
23
berbicara dalam perkataannya (fahm gharḍ al-mutakallim min kalamihi).10 Perlu
dipahami makna yang diungkapkan ini bukanlah makna fiqh yang dikenal oleh
kalangan fuqaha’ sebagai sebuah cabang ilmu, akan tetapi sebatas pengertian
etimologis yang diambil dari beberapa pembuka kitab fiqh dan uṣūl al-fiqh sebagai
pembanding untuk memperoleh pengertian yang lebih spesifik.11
Untuk pengertian secara terkait antara al-fiqh dan al-ḥadīth beberapa ulama
memberikan pengertianya masing-masing, kata fiqh al-Ḥadīth menurut Abū Yasir al-
Hasan al-Ilmī adalah:12
احلديث النبوي معناه فهم مراد النيب صلى هللا عليه و سلم من كالمه فقه .
Fiqh al-Ḥadīth al-Nabawī artinya adalah memahami maksud dari
perkataan Nabi Saw.
Sedangkan menurut pendapat lain adalah:13
.فقه احلديث هو فهم مراد النيب من كالمه واستخراج معناه
Fiqh al-Ḥadīth adalah memahami maksud dari perkataan Nabi Saw. dan
mengeluarkan maknanya.
Makna yang dikemukakan di atas mempunyai cakupan yang sama yaitu makna
yang mencakup semua sunnah Rasulullah saw. dengan menjelaskan serta menerangkan
maksud yang diungkapkan olehnya. Dan makna inilah yang kurang lebih juga
dimaksudkan oleh ulama-ulama hadis seperti al-Bukhārī, Muslim, Ahmad, Abū Daud,
dll.
10 ‘Alī Ibn Muḥammad al-Jurjānī, Kitâb al-Ta’rīfāt, (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmîyah, t.t), h.
184 11 Pengertian tentang istilah al-fiqh banyak termuat dalam kitab fiqh dan uṣūl al-fiqh sebagai
pengenalan untuk memahami dasar kata terbentuknya serta pengertian istilah fiqh itu sendiri secara luas. 12 Abu Yasir al-Hasan al-‘Ilmy, Fiqh al-Sunnah al-Nabawiyah: Dirāyah wa Tanzīlan,
(Disertasi: t.tp, t.th), h.14 13 Muḥammad Ṭāhir al-Jawābī, Juhûd al-Muḥaddithīn fī Naqd Matn al-Ḥadīts al- Nabawī al-
Syarīf, (Tunisia: Mu’assasah, Abd al-Karīm ibn Abd Allāh, t.th.), h. 128
24
3. Definisi Fahm al-Ḥadīts
Secara kerangka teori belum banyak para ahli yang mendeskripsikan dan
memberikan pembedaan tentang istilah pemahaman (al-fahm) secara jelas, lain halnya
dengan penggunaan istilah fiqh ataupun sharḥ yang telah mempunyai lahan etimologi
tersendiri dalam kajian matan hadis. Dalam kitab Lisān al-‘Arab dijelaskan bahwa kata
al-fahm berarti pengetahuanmu tentang sesuatu berdasarkan penilaian hati
(ma’rifatuka al-shay`i bi al-qalb).14 Pengertian yang hampir serupa juga diberikan oleh
al-jurjānī (w. 1413 M) yaitu, al-fahm adalah menggambarkan makna dari sesuatu yang
diungkapkan pihak kedua (lawan bicara) / mukhatab (taṣwir al-ma’na min lafẓ al-
mukhāṭabi).15 Sementara dalam bahasa inggris al-fahm semakna dengan kata
comprehension, understanding, dan conception.16 Yang berarti mengerti, menafsirkan,
dapat difahami, pemikiran, konsepsi. Meskipun mempunyai penekanan yang agak
berbeda, seluruh kata di atas memiliki kesamaan pengertian yaitu munculnya suatu
informasi atau pengertian dalam kesadaran manusia. Dan dalam upaya
memunculkannya suatu informasi itu dapat melalui suatu usaha yang cukup keras untuk
memperoleh pemahaman atau juga bisa dengan secara tiba-tiba tanpa diupayakan.17
Sehingga pengertian yang ditampilkan kata al-fahm dan al-fiqh memberikan
makna yang bersinggungan, ketika merujuk kata al-fiqh adalah upaya yang dilakukan
untuk memahami suatu objek secara langsung dengan meneliti aspek yang tersirat.
Berlainan jika merujuk kata al-fahm yang adalah upaya yang dilakukan untuk
14 Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab juz 10, (al-Qāhirah: Dār al-Taufīqīyyah Li Turāts, 2009), h. 381 15 ‘Alī Ibn Muḥammad al-Jurjānī, Kitâb al-Ta’rīfāt, (Jakarta: Dār al-Kutub al-Islāmīyah, t.t), h.
185 16 Sevans, Alan M, A Comprehensive Indonesian-English Dictionary, (Jakarta: Mizan, 2008),
h. 691. 17 Lina Shobrina, “Identitas Penampilan Muslim dalam Hadis: Pemahaman Hadis Memelihara
Jenggot dalam Konteks Kekinian”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Jakarta,
2017), h. 17
25
memahami dan menggambarkan sesuatu ungkapan dengan bantuan orang kedua
sebagai interpretan guna memudahkan penggambaran makna.
Tabel 2.1 Perbandingan pengertian Sharḥ, Fiqh, dan Fahm dalam hadis
Sharḥ Fiqh Fahm
Pen
ger
tian
Bahasa: Menerangkan,
membukakan, dan
melapangkan.
Istilah: menjelaskan
makna-makna dan
mengeluarkan seluruh
kandungannya.
Bahasa: Mengetahui
sesuatu dan
memahaminya.
Istilah: Memahami
maksud orang yang
berbicara dalam
perkataannya.
Bahasa: pengetahuanmu
tentang sesuatu
berdasarkan penilaian
hati.
Istilah: Menggambarkan
makna dari sesuatu
yang diungkapkan
pihak kedua (lawan
bicara).
Per
sam
aan
- Munculnya suatu informasi atau pengertian dalam kesadaran manusia.
- Menggali, mengungkap, membuka makna yang tertutup.
- Mempunyai informasi yang lebih jelas dan terang dari sumber
informasi itu sendiri.
Per
bed
aan
Merujuk kepada segala
sumber yang dapat
mendukung keterbukaan
makna dan kandungan,
baik teks, kondisi social,
baik secara langsung
atau bantuan penutur
makna lainnya.
Upaya yang dilakukan
untuk memahami suatu
objek secara “langsung”
dengan meneliti aspek
yang tersirat.
Upaya yang dilakukan
untuk memahami dan
menggambarkan sesuatu
ungkapan dengan
bantuan orang kedua
sebagai interpretan guna
memudahkan
penggambaran makna.
Sedangkan pengertian al-Ḥadīth secara etimologis (bahasa) adalah berlawanan
dengan yang tua/ lama,18 baru (al-jadīd), berita (al-khabar).19 Dan secara terminologis
(istilah) jumhur ulama hadis adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad
Saw. Baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan yang sebagainya.20
Jadi, pengertian dari ketiga terma di atas mempunyai kesamaan pokok
pembahasan yakni berupaya menampakkan sisi yang lain dari makna suatu hadis,
18 Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab juz 3, (al-Qāhirah: Dâr al-Taufīqīyyah Li Turāts, 2009), h. 85. 19 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 1. 20 Fatchur Rahman, IKhtisar Mushthalahul Hadis, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1974), h. 20.
26
memberikan pemahaman yang jelas tentang makna tersirat dan tersurat suatu hadis
dengan memperhatikan segala aspek yang mungkin terkandung didalamnya dengan
bantuan logika, latar sejarah, serta situasional kondisional saat hadis itu disabdakan
baik yang berupa perkataan, perbuatan, pernyataan dan sebagainya lalu diupayakan
untuk diamalkan sesuai dengan kondisi kekinian.
B. Pengertian Metode Pemahaman Hadis
Metode berasal dari bahasa yunani methodos yang berarti cara atau jalan. Dalam
bahasa inggris, kata ini ditulis dengan method.21 Dan dalam bahasa Arab kata metode
ini diterjemahkan dengan kata ṭarīqah dan manhaj.22 Sementara pemahaman23
memberikan pengertian sebagaimana kata al-fahm yang telah dijabarkan sebelumnya.
Maka metode pemahaman hadis adalah suatu cara yang tersistematis dan teratur
untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Nabi
Muhammad saw. dalam hadisnya. Secara umum metode pemahaman hadis merupakan
kerangka dan langkah-langkah, tahapan-tahapan, cara-cara yang digunakan dalam
menafisrkan dan memahami hadis Nabi Muhammad saw. secara keseluruhan dari tahap
awal hingga akhir.24
21 Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 2014), h. 16. 22 Manhaj secara bahasa bermakna ṭarīqah yang berarti metode. Dan menurut istilah Manhaj
merupakan metode yang telah tersistematis dalam sebuah cabang ilmu. Dari dua kata di atas, kata yang
lebih tepat digunakan dalam mengartikan metode adalah kata manhaj. Shalah ‘Abd al-Fattah al-Khâlidi,
Ta’rif al-Dârisin bi Manāhij al-Mufassirîn, (Damaskus: Dār al-Qalam, 2002), h. 16 23 Pemahaman adalah kata benda (noun) yang merujuk pada proses, cara, perbuatan memahami
atau memahamkan (KBBI). Kata ini merupakan serapan dari bahasa arab, yaitu kata al-Fahm (الفهم) yang
berarti mengenali suatu objek dengan hati (ma’rifatuka al-syai’a bi al-qalb) (Lisan al-‘Arab). Sementara
al-Jurjani memberikan pengertian suatu pernyataan yang bersumber dari seorang pembicara (tasawwur
al-ma’na min lafz al-mukhatib) (al-Ta’rifat). Kata al-fahm semakna dengan beberapa kata dalam bahasa
inggris, misalnya kata understand, graps, comprehend, realize dan see yang berarti mengetahui (tahu),
menangkap sesuatu yang sulit dimengerti, mengenal secara sempurna, mengetahui situasi yang terkadang
terjadi secara tiba-tiba dan menemukan suatu pengertian. (Cambridge Advance Learner Dictionary).
Kamus Besar Bahasa Indonesia versi 1.3. Ibn Mandzur, Lisān al-‘Arab juz 10, (al-Qahirah: dar al-
taufiqiyyah li turats, 2009), h. 381. Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah,
2012) h. 185, Aplikasi Cambridge Advanced Laerner’s Dictionary (third edition). 24 Lina Shobrina, “Identifikasi Penampilan Muslim dalam Hadis.... h. 18
27
Setidaknya dalam memahami hadis ada beberapa komponen yang harus
terpenuhi, pertama Subjek, yakni orang yang melakukan kegiatan/berupaya
memahamani hadis, kedua Objek, yakni hadis Nabi saw, ketiga metode atau langkah
kerja dalam kegiatan tersebut yang dapat mengantarkan pada makna hadis tersebut,
keempat yakni merupakan landasan dasar yaitu tujuan memahami hadis. Dalam
keempat komponen di atas, peranan metode menjadi sangat kompleks karena mampu
menentukan makna yang dimaksud dari kandungan hadis. Hal ini disebabkan metode
merupakan kerangka inti yang berperan aktif dalam menentukan kebenaran yang
terkandung dalam hadis. Hasil dari pemahaman hadis sangat ditentukan pada ketepatan
metode mana yang dipakai guna memperoleh makna yang tepat.
C. Sejarah Metode Pemahaman Hadis
Perkembangan studi hadis mempunyai dua mata pembahasan yang esensial
mencakup keadilan seorang pembawa berita (periwayat) serta apa yang diberitakan
(riwayat hadis), yang dalam istilah hadis dan ilmu hadis, hal ini dikenal dengan istilah
sanad dan matan. Sanad menjadi studi yang amat sangat populer pada masa
pembentukan awal hadis yang selanjutnya beralih kepada hadis dalam bentuk tertulis
yang berupaya mendokumentasikan segala perangkat yang terkait dengan keseharian
kehidupan Nabi sebagai seorang kepala Negara, pemimpin masyarakat, panglima
perang, hakim, dan pribadi beliau sebagai manusia.25 Dengan cara dijaganya
keteraturan penyampaian setiap masa dalam ṭabaqat serta pengkategorian pembawa
berita yang menjadikan faktor eksternal sebagai patokan dasar penilaian seorang
pembawa berita (periwayat) sehingga pembahasan mengenai sanad amat sangat
25 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual : Telaah Ma’ani al-Hadis
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), h. 4
28
kompleks guna menelaah kembali otentisitas dan validitas hadis yang dibawa dan
diperoleh oleh setiap pembawa berita (periwayat). Hal ini pula menjadi faktor
terhambatnya tersampaikannya maksud matan hadis, dikarenakan fokus pada fase awal
dalam bidang hadis terpusat pada kajian sanad. Maka sebagian ulama pada fase
selanjutnya berusaha memulai pengkajiannya terhadap makna hadis dengan
menelurkan kitab syarah, yang hingga sekarang menjadi rujukan dalam memahami
hadis Nabi.26
Sejarah perkembangan syarah (Sharḥ) hadis, tentu sangat mengikuti
perkembangan ilmu hadis. Artinya, perkembangan metode memahami muncul setelah
beberapa dekade berjalan, lalu berkembang sesuai dengan zamannya. Dengan dasar ini,
para ulama terkadang berbeda dalam menentukan lahirnya syarah hadis, terlebih yang
merujuk langsung tentang metode sistematis dalam memahami hadis. Maka perlu untuk
dipaparkan terlebih dahulu perkembangan ilmu hadis sebelum membahas
perkembangan syarah hadis.
Di antaranya Hasbi al-Shiddieqy dan Nūr al-Dīn ‘Itr yang memposisikan
perkembangan syarah hadis pada periode kelanjutan setelah perkembangan ilmu hadis,
hasbi menempatkannya pada periode terakhir, yakni abad ketujuh hijriyyah, sedangkan
‘Itr menempatkan pada pertengahan abad keempat hingga abad ketujuh hijriyyah dari
periodisasi sejarah perkembangan hadis dan ilmu hadis yang dibuatnya.
Berikut ini periodisasi ilmu hadis yang dirumuskan menurut Hasbi al-Shiddieqy
dan Nūr al-Dīn ‘Itr adalah sebagai berikut: 27
26 Kitab-kitab syarah klasik menjadi rujukan primer dalam kajian makna hadis, hal ini didasari
kebutuhan dalam memahami hadis. Diantaranya kitab-kitab tersebut adalah; Fatḥ al-Bāri Fī Syarḥ Ṣahih
Bukhāri karya ibnu Ḥajar al-Āsqalani, Ṣaḥiḥ Muslim ‘alā Syarḥ al-Nawāwi karya Imam
Nawāwi,’Umdah al-Qārī fī Syarḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī karya badruddin Abi Muhammad Mahmud bin
Ahmad al-Hanafi al-Aini , Irsyād al-Sārī fī Syarḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī karya shihabuddin al-Qasṭalani,
Ibānah al-Ahkām Syarḥ Bulūgh al-Marām karya Hasan Sulaiman al-Nuri & Alawi Abbas al-Maliki, dll. 27 Hasbi al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2009), h. 88-93. namun jika ditelisik lebih jauh berdaskan fakta yang ada kitab syarah sudah ditulis sejak
29
1) Kelahiran hadis hingga Rasulullah wafat;
2) Pembatasan riwayat;
3) Perkembangan periwayatan dan perlawatan mencari hadis (kelahiran ilmu
hadis), sejak awal abad ke-1 H sampai akhir abad ke-1 H;
4) Pembukuan hadis, selama abad ke-2 H;
5) Penyaringan dan seleksi hadis, selama abad ke-3 H;
6) Penghimpunan hadis-hadis yang terlewatkan, penyusunan kitab induk ilmu
hadis sejak awal abad ke-4 H, sampai tahun 656 H;
7) Penulisan dan penyempurnaan kitab-kitab induk ilmu hadis, syarah, kitab-
kitab takhrij, dan sebagainya, sejak pertengahan abad ketujuh Hijriah.
8) Fase kebekuan dan kejumudan, sejak abad kesepuluh hingga awal abad
keempat belas hijriyyah.
9) Kebangkitan kedua, sejak abad keempat belas hingga seterusnya.
Selain periodisasi Hasbi al-Shiddieqy dan Nūr al-Dīn ‘Itr terdapat ulama lain
yang relatif objektif dalam memposisikan syarah hadis dalam periodisasi
perkembangan hadis dan ilmu hadis, yaitu Muhammad ‘Abd al-‘Aziz al-Khuli. Ia
membaginya menjadi lima periode, dan periode terakhir adalah sistematisasi,
penggabungan, dan penulisan kitab syarah sejak abad ke-4 Hijriah.28
Akan tetapi karena kegiatan mensyarah hadis sebenarnya secara praktis telah
terjadi pada saat kelahiran hadis itu sendiri, yaitu oleh Rasulullah secara lisan dan
dilanjutkan pada masa sahabat oleh para ulama mereka, maka periodisasi sejarah
perkembangan syarah hadis tampaknya perlu dibedakan dengan periodisasi sejarah
perkembangan hadis dan ilmu hadis. Banyak fakta yang menunjukkan bahwa syarah
abad ke-4 dengan tersusunnya kitab Ma’alim al-Sunan Syarah Sunan Abi Daud yang ditulis oleh Imam
Abū Sulaimān Ḥamd bin Muḥammad al-Khaththabi al-Busti (319-388 H). 28 Muḥammad ‘Abd al-‘Aziz al-Khulli, Tarikh Funūn al-Hadīth, (Jakarta: Dinamika Berkah
Utama, t.t), h. 12
30
hadis secara lisan sering dilakukan Rasulullah Saw. dan para sahabat. Bila demikian,
periode sejarah perkembangan syarah hadis secara garis besar dapat dibagi menjadi
tiga, yaitu:
1) Syarah hadis pada masa kelahiran hadis (fī ‘aṣr al-risālah);
2) Syarah hadis pada masa periwayatan dan pembukuan hadis (fī ‘aṣr al-
riwāyah wa al-tadwīn);
3) Syarah hadis setelah pembukuan hadis (ba’da al-tadwīn).
1) Syarah Hadis pada Masa Kelahirannnya (Fi ‘Aṣr al-Risālah)
Masa kelahiran hadis sama dengan masa turunnya al-Qur’ān, atau selama Nabi
Muhammad mengemban risalah yaitu sejak diangkat menjadi Nabi dan rasul hingga
ia wafat. Segala ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi merupakan bayan kepada
umatnya. Akan tetapi tidak semua sahabat mampu memahami setiap ucapan Nabi
dengan baik, sehingga mereka menanyakan makna kata-kata tertentu secara
langsung kepada Nabi atau kepada sahabat yang lain. Hal ini menunjukkan syarah
hadis telah terjadi pada masa kelahiran hadis itu sendiri, dan pensyarahnya adalah
Rasulullah.29
2) Syarah Hadis pada Masa Periwayatan dan Pembukuan Hadis (Fi ‘Aṣr Al-
Riwāyah wa al-Tadwin)
Kegiatan yang dimaksud dengan hadis pada masa periwayatan dan pembukuan
hadis adalah kegiatan syarah hadis yang dilakukan secara lisan atau tulisan sejak
masa sahabat hingga memasuki masa penulisan kitab-kitab syarah, yaitu dari
dasawarsa kedua abad pertama Hijriah hingga akhir abad ketiga Hijriah. Periode ini
dinamai masa periwayatan dan pembukuan hadis karena kedua kegiatan tersebut
29 Mujiyo Nurkholis, Metode Syarah Hadis, (Bandung: Fasygil Grup, 2011) h. 35-36
31
tidak pernah dapat dipisahkan, setidaknya selama batas waktu tersebut periwayatan
dan pembukuan hadis berjalan seiring, karena periwayatan hadis juga berlangsung
berdasarkan hafalan dan tulisan. Apabila periode ini diakhiri dengan munculnya
kitab syarah, maka diduga periode ini dapat berakhir pada akhir pertengahan abad
keempat Hijriah, yaitu dengan lahirnya kitab syarah Ṣahīh al-Bukhārī yang tertua
berjudul A’lam al-Sunan karya al-Khaṭṭabi (w. 388 H).30
3) Syarah Hadis Pasca Pembukuan Hadis (Ba’da al-Tadwin)
Sedangkan yang dimaksud dengan periode pasca pembukuan adalah
berakhirnya penulisan-penulisan kitab-kitab hadis yang termasuk kategori al-
Masadir al-Ashliyyah, yaitu kitab-kitab yang disusun berdasarkan hasil pencarian
dan penelusuran hadis oleh penulisnya dengan sanad-nya sendiri, bukan kumpulan
kutipan-kutipan hadis dari berbagai kitab, bukan himpunan di antara dua kitab atau
lebih, dan bukan pula ringkasan dari kitab-kitab yang lain. Dasar pemikiran dari
pembatasan awal periode ini adalah karena berakhirnya pembukuan hadis, maka
penulisan syarah terhadap hadis tidak lagi tercakup dan menyatu dengan matan
hadis seperti pada masa-masa sebelumnya. Oleh karena itu, apabila dilihat dari kitab
hadis yang terakhir disusun, maka diduga periode ini berawal pada pertengahan –
bahkan mungkin awal− abad kelima Hijriah, yaitu dengan disusunnya al-Sunan al-
Kubra karya al-Baihaqī (w. 458 H). Namun, apabila dilihat dari munculnya kitab
syarah, boleh jadi periode ini berawal sejak pertama kali munculnya kitab syarah
yang dikenal dengan sebagai kitab syarah tertua yaitu A’lam al-Sunan karya al-
30 Mujiyo Nurkholis, Metode Syarah Hadis, h. 40
32
Khaṭṭabi (w. 388 H), yaitu syarah terhadap ṣahīh al-Bukhārī. Hal ini sesuai dengan
periodisasi menurut al-Khuli di atas.31
Penjelasan mengenai pembagian periode serta pembedaan dengan periodisasi
hadis dan ilmu hadis di atas merupakan upaya pengklasifikasian yang dilakukan para
pengkaji hadis kontemporer guna memperoleh garis besar yang utuh dari sejarah
terbentuknya sebuah karya syarah hadis, yang mengindikasikan proses tentang cara
memahami telah berkembang pesat dari abad ke abad dalam khazanah hadis dan ilmu
hadis.
Merujuk kepada sejarah yang menunjukan bahwa proses memberikan
penjelasan terhadap hadis Nabi –Sharḥ, fiqh, fahm- telah hadir dan mengisi posisi
kosong guna melengkapi kemegahan kajian hadis yang memang di dominasi kajian
sanad pada periode awal, hingga pertemuannya dengan periode dimulainya kajian
makna matan dalam hadis. hal ini yang mendorong sebagian ulama untuk membentuk
sebuah poros baru dalam kajian hadis yakni kajian yang konsen pada pemahaman hadis
dan bagaimana seharusnya memahami hadis Nabi dengan berpedoman metode yang
telah diperkenalkan dalam ilmu hadis dan oleh ulama hadis baik pada masa lalu hingga
sekarang. Ilmu ini pada masa kini disebut ilmu metode pemahaman hadis.
Pada dasarnya ilmu metode pemahaman hadis memang tidak berdiri sendiri
sebagi sebuah cabang ilmu-ilmu hadis, akan tetapi ilmu ini merupakan bentuk
pengaplikasian dari cabang ilmu hadis yang berkaitan, yakni cabang ilmu Mukhtalif al-
Ḥadīth. Cabang ilmu ini mengkaji tentang hadis-hadis makbul yang terlihat saling
kontradiktif tetapi hadis-hadis tersebut masih bisa dikompromikan.32
31 Mujiyo Nurkholis, Metode Syarah Hadis, h. 45 32 Mahmūd al-Ṭaḥhān, Taisīr Musṭalah al-Ḥadith, (Beirut, Dār al-Qur’ān al-Kārim, 1972), h.
56
33
Dalam upaya menyelesaikan hadis-hadis yang kontradiktif perlu cara untuk
mengkompromikan dan memahaminya.Ulama hadis memberikan beberapa alternatif
cara memahami hadis-hadis yang kontradiktif, seperti al-jam’u wa al-taufīq
(kompromi), al-naskh (penghapusan), al-tarjīh (pengunggulan), dan al-tawaqquf
(penundaan). Oleh karena itu ilmu ini dinamakan ilmu mukhtalif al-ḥadīth.33 Dari
ilmu mukhtalif al-ḥadith maka hadir pula cabang-cabang ilmu lain yang saling
bertalian, seperti ilmu nāsikh mansūkh, ilmu ma’ani al-ḥadīth, dan ilmu gharīb al-
ḥadīth, dimana semuanya merupakan perangkat untuk memahami hadis.
Bila kita merunut dalam sejarah, praktik pemahaman hadis sudah muncul sejak
masa Nabi Muhammad saw. ketika Nabi menyampaikan sabdanya kepada para
sahabat. Hal ini dapat dilihat ketika Nabi Muhmmad saw. memerintahkan sejumlah
sahabatnya untuk pergi ke perkampungan Bani Quraizhah34 sebelum berangkat beliau
berpesan: “lā yuṣaliyyanna aḥadun al-‘aṣra illā fī Banī Quraiẓah” (Janganlah ada
seorang di antara kamu yang shalat ‘Aṣar, kecuali di perkampungan Bani
Quraizhah). Perjalanan ke perkampungan tersebut ternyata cukup panjang, sehingga
sebelum mereka tiba di tempat yang dituju waktu ‘Aṣar telah habis. Di sini mereka
merenungkan kembali apa maksud pesan Nabi saw. di atas. Ternyata sebagian
memahaminya sebagai perintah untuk bergegas dalam perjalanan agar dapat tiba di
33 Penjelasan tentang penyelesaian permasalahan ini termuat dalam semua kitab-kitab Ulūm al-
Ḥadith dengan bab khusus tentang kajian matan hadis yang bertentangan atau juga menggunakan istilah
Ilmu Mukhtalif al-Ḥadith, dikarenakan pembahasan ini memang menyasar pada hadis-hadis makbul yang
terlihat saling bertentangan. Lihat, Abdul Majid Khon, Takhrīj dan Metode Memahami Hadis (Jakarta:
Amzah, 2014), h. 197-209, Mahmūd al-Ṭaḥhān, Taisīr Musṭalah al-Ḥadith, (Beirut, Dār al-Qur’ān al-
Kārim, 1972), h. 56 34 Bani Quraizhah adalah merupakan salah satu suku Yahudi yang tinggal di Yastrib (Madinah).
Ketika umat Islam hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad Saw. membuat perjanjian dengan penduduk
Madinah termasuk di dalamnya umat Yahudi. Salah satu isi perjanjian tersebut adalah semua penduduk
Madinah saling bekerjasama untuk menjaga keamanan kota Madinah dari serangan musuh. Akan tetapi
Bani Quraizhah melanggar perjanjian tersebut pada waktu terjadinya perang Khandaq dengan cara
bersekutu dengan Kafir Quraisy. Maka setelah selesai perang Khandaq Nabi Muhammad Saw.
mendapatkan perintah dari Allah untuk mengepung Bani Quraizhah, sehingga berangkatlah pasukan
Muslim keperkampungan Bani Quraizhah untuk mengepung mereka. Lihat Mustafa Al-Sibā’i, Sirah
Nabawiyah (Jakarta: Intermedia, 2011), h.93.
34
sana pada waktu masih ‘Aṣar. Jadi bukan seperti bunyi teksnya yang melarang shalat
‘Aṣar kecuali di sana. Dengan demikian, mereka boleh shalat ‘Aṣar walaupun belum
tiba ditempat yang dituju. Tetapi sebagian yang lain memahaminya secara tekstual.
Oleh karena itu mereka baru melakukan shalat ‘Aṣar setelah waktu ‘Aṣar berlalu,
karena mereka baru tiba di perkampungan Bani Quraizhah setelah waktu ‘Aṣar
berlalu.35
Dalam penjelasan peristiwa di atas kita mendapatkan dua cara memahami hadis
yang berbeda dilakukan pada masa sahabat yakni memahami hadis dengan secara
tekstual dan kontekstual. Dan setelah peristiwa di atas dua cara memahami terus
berlanjut pada masa setelah sahabat. Kelompok yang berpegang pada makna lahiriah
hadis disebut dengan Ahl al-Ḥadīth tekstualis.36 Sedangkan kelompok kontekstualis
dalam hal ini disebut dengan Ahl al-Ra’yi rasional.37
Pada masa selanjutnya, yaitu al-shāfi’ī (w. 204 H) metode pemahaman hadis
berkembang mengikuti perkembangan sejarah hadis itu sendiri. Sebagaimana dapat kita
lihat dari lahirnya metode-metode jam’u atau nasakh dalam kajian hukum, yakni fikih.
Dan sejumlah metode juga dapat ditemukan dalam kitab kumpulan hadis tematik
35 Al-Nawawī, Sharḥ al-Nawawī ‘alā Ṣaḥiḥ Muslim, Juz 12, (Beirut: Dār al-Iḥyā` al-Turāth al-
‘Arabī, 1392 H/ 1972 M), h. 98. Penjelasan ini juga dimuat dalam Kata pengantar M. Quraish Shihab
dalam buku Studi Kritis Atas Hadis Nabi Saw Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual,
(Jakarta: Mizan, 1996), h. 9. 36 Kelompok ini, yakni Ahl al-Ḥadith telah muncul sejak masa sahabat. Kelompok ini
mayoritas berisikan ulama Hijaz. Dalam wacana fiqh, istilah Ahl al-Ḥadith merujuk pada madhab
Hanbali. Kelompok ini berpegang pada arti lahiriah naṣ, memahami hadis berdasarkan yang tertulis
pada teks, tidak mau menggunakan qiyas dan tidak mau menggunakan ra’yu. Dalam pandangan
kelompok ini kebenaran al-Qur’ān bersifat mutlak, sedangkan kebenaran rasio bersifat nisbi. Sesuatu
yang nisbi tidak akan mungkin dapat menjelaskan sesuatu yang mutlak. Kelompok Ahl al-Hadīth ini
juga mengabaikan sebab-sebab terkait yang berada disekeliling naṣ. Lihat Abdul Majid Khon, Takhrīj
& Metode Memahami Hadis, (Jakarta: Amzah, 2014), h. 146. 37 Kelompok Ahl al-Ra’yi memahami persoalan secara rasional dengan tetap berpegang kepada
naṣ al-Qur’ān dan Hadis. Dalam ranah fiqh madhab Hanafi merupakan bagian dari kelompok ahl al-
Ra’yi, dan dalam khazanah kalam klasik istilah ahl al-Ra’yi diorientasikan pada Mu’tazilah. Mereka
memahami teks dengan memperhatikan sesuatu yang ada di sekitarannya karena ada indikasi makna-
makna lain selain makna tekstual. Kelompok ini mempertahankan akal dalam mengembangkan konsep-
konsep uṣul fiqh, seperti qiyas, mashlahah dan istihsan. Mereka melihat hukum-hukum yang universal
sehingga dapat dicapai tujuan umum al-Maqāsid al-Syari’ah). Lihat. Khon, Takhrīj & Metode
Memahami Hadis, h. 146.
35
berdasarkan tema keilmuan yang tertentu, seperti dalam beberapa cabang ilmu hadis;
yakni ilmu mukhtalif al-ḥadīth, gharīb al-ḥadīth, asbāb al-wurūd dan nāsikh wa
mansūkh al-ḥadīth. Pada abad ketiga hijriyah terjadi kodifikasi hadis-hadis Nabi saw.
disertai dengan judul-judul bab yang klasifikasikan oleh para pengumpul hadis tertentu.
Kegiatan tersebut dapat dilihat dalam kitab-kitab primer dalam kajian hadis seperti;
Ṣahīh al-Bukhāri, Ṣahīh Muslim, Sunan Tirmīzi, Sunan Abū Dāud, dan kitab-kitab lain.
Jika merujuk kepada periodisasi syarah sebagaimana yang telah dipaparkan di
atas, maka ditemukan pertemuan yang jelas bahwa perkembangan pemahaman hadis
memang sudah memberikan geliat ke arah yang lebih mapan, karena penggunaan ilmu
mukhtalif al-ḥadīth, gharīb al-ḥadīth, asbāb al-wurūd dan nāsikh wa mansūkh al-
ḥadīth dalam beberapa karya ulama klasik semisal; Imam al-Shāfi’ī, Ibn Qutaibah. Dan
ini telah ada sejak pertengahan abad ke-2 dan awal abad ke-3. Sehingga
mengindikasikan bahwa metode memang lahir lebih dahulu daripada kitab-kitab
syarah, yang jika merujuk kepada periodisasi yang diperlihatkan oleh Hasbi al-
Shiddieqy bahwa syarah baru lahir pada abad ke-7 hijriyyah,38 menjadi bahan
pertimbangan tersendiri dalam meragukan pendapat ini mengingat ia memberikan
rentan waktu yang sangat lama. Berbeda dengan periodisasi yang dipaparkan oleh
Muhammad ‘Abd al-‘Aziz al-Khuli yang menyebut bahwa kegitan penulisan syarah
telah hadir sejak abad ke-4 hijriyyah, dan ini terbukti dengan fakta yang meyatakan
bahwa kitab syarah pertama memang lahir pada abad ke-4 hijriyyah.
38 Hasbi al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2009), h. 88-93.
36
BAB III
PERIODISASI PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS
A. Garis Besar Metode Pemahaman Hadis
Bila ditelusuri akar sejarahnya, kegiatan memahami hadis sudah muncul sejak
Nabi menyabdakannya kepada para sahabatnya. Demikian pula setelah sabda dikutip,
diriwayatkan, lalu dipahami dengan tujuan mengambil nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya. Di sinilah awal mula timbul cara-cara atau proses memahami atau bisa
disebut metode memahami yang semakin lama semakin tertata, sistematis dan
kompleks. Tentu para sahabatlah yang diyakini sebagai kelompok generasi yang paling
baik dalam memahami sabda Nabi saw.1 Disamping perubahan yang terjadi dari zaman
ke zaman, yang menuntut cara serta metode pemahaman baru guna
mengaktualisasikannya dengan keadaan zaman.2
Periodisasi memang sejauh ini tidak secara tegas ditetapkan dalam pengkajian
metode pemahaman hadis, hal ini didasari ulama lebih mengklasifikasikan isi dan
penjelasan yang diberikan oleh ulama tertentu, apakah pemikirannya tersebut sejalan
dengan perangkat yang telah diwariskan oleh ulama terdahulu atau lebih memilih aspek
pendekatan yang fresh yang belum diterapkan agar diaplikasikan kedalam bentuk
pemahaman. Namun, Harun Nasution dalam bukunya Islam Rasional memberikan
perbandingan periodisasi sejarah perkembangan keilmuan antara Eropa dengan Islam,
sebagai berikut :3
1 M. Khoirul Huda, “Memahami Hadis Melalui Pemilahan Posisi Nabi saw,” (Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2013), h. 2 Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi : Metode dan Pendekatannya, (Yogyakarta: IDEA Press,
2011), h. vi 3 Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. Ke-4 h. 8 dan h. 116-119.
37
Tabel 3.1 Perbandingan perkembangan khazah keilmuan
Eropa Islam
Klasik
600 SM – 600 M
Belum lahir4
Pertengahan
601 M – 1550 M
Klasik
650 M – 1250 M
(-+ 29/30 H) – (-+ 647/648 H)
Renaisan
1350 M – 1550 M
Pertengahan
1251 M – 1800 M
(-+ 649/650 H) – (-+1214/1215 H)
Modern
1551 M –Seterusnya
Modern-Kontemporer
1801 M – Seterusnya
(-+ 1216/1217 H) - Seterusnya
Perkembangan kegiatan memahami berdasarkan sejarah telah turun-temurun
diwariskan dari generasi ke generasi, setidaknya hingga sekarang terbagi 4 periode
besar dalam perkembangan keilmuan Islam, termasuk kajian Hadis; yakni periode:
klasik, pertengahan, modern, serta kontemporer.5 Yang pada masing-masing periode
berisi ulama-ulama besar dalam upaya melestarikan khazanah keislaman terutama
dalam menawarkan metode pemahaman hadis.
Pada pembagian periode di atas, dalam pemaparan di bawah penulis
menyederhanakannya kepada dua periode saja, untuk mempermudah dalam
membandingkan pola pergeserannya, dengan rincian sebagai berikut; periode klasik
dan pertengahan, selanjutnya akan disebut dengan periode atau fase klasik. Periode
modern dan kontemporer, selanjutnya akan disebut periode atau fase kontemporer.
Pada bab sebelumnya dijelaskan ada tiga periode syarah hadis yaitu, masa
kelahiran hadis (fī ‘ashr al-risalah), syarah hadis pada masa periwayatan dan
pembukuan (fī ‘ashr al-riwayah wa al-tadwin), dan syarah setelah pembukuan hadis
4 Mengingat kelahiran Nabi Muḥammad Saw. adalah di tahun 570 M dan wafat di tahun 632
M, menerima wahyu pertama di tahun 610 M. Maka pembagian fase ini merujuk pada perkembangan
khazanah keilmuan Islam. 5 Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. Ke-4 h. 8 dan h. 116-119.
Suadi Putro, Mohammed Arkoun tentang Islam dan Modernitas, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 43
38
(ba’da tadwin). Maka untuk lebih memudahkan pembagian ketiga periode di atas
semuanya dimasukkan kedalam periode klasik merujuk kepada pembagian yang
penulis tentukan.
Istilah metode pemahaman sekarang memang menjadi istilah yang baku dalam
standarisasi untuk menganalisa maksud hadis, sejauh yang ditampilkan dalam
pemahaman tentu sangat berkaitan dengan pemikiran, metode siapa hal itu diadaptasi
atau diadopsi. Maka perlu ditampilkan setidaknya periode perintisan dan periode
keemasan proses memahami dalam khazanah perhadisan Islam untuk melihat sejauh
mana pandangan beberapa tokoh mempengaruhi tokoh-tokoh lain setelahnya.
1. Klasik
Periode ini adalah periode pembentukan wajah awal metode pemahaman hadis,
usaha ini merupakan rintisan yang dimulai dari lahirnya penilaian adanya pertentangan
(kontradiksi) satu hadis dengan hadis lain dan upaya pemecahan beberapa hadis yang
dipandang sulit untuk dipahami, maka dengan sebab itu lahirlah pada periode awal ini
beberapa kitab hadis, baik syarah ataupun upaya penjelasan makna secara ringkas
tentang hal itu.6 Berikut ini pembagiannya:
a. Klasifikasi Metode Pemahaman Hadis
Penggunaan metode pada periode ini memang tidak secara tersirat diungkapkan
secara khusus, akan tetapi usaha yang dilakukan ulama pada periode ini menunjukan
eksistensi cabang-cabang ilmu hadis; ilmu mukhtalif al-hadīth, ilmu gharib al-hadīth,
ilmu nasikh-mansukh, serta cabang ilmu yang berkonsentrasi pada pemberian
penjelasan pada matan.
6 Abdul Majid Khon, Takhrij dan metode memahami hadis, (Jakarta: Amzah, 2014), h. 137.
Lebih lanjut tentang alasan ini juga coba dijelaskan dalam pengantar buku Metodologi Syarah Hadis
karya Alfatih Suryadilaga, dan penelitian M. Khoirul Huda, “Memahami Hadis Melalui Pemilahan Posisi
Nabi saw,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2013), h. 46
39
Perkembangan pada masa klasik ini pula didongkrak dengan adanya sejumlah
ulama yang berkontribusi menelurkan hasil pemikirannya dalam kajian pemahaman
hadis yang langsung diterapkan dalam kitabnya. Sehingga dari waktu ke waktu
akhirnya menjadi sebuah langkah-langkah yang dijadikan patokan dalam memamhami
hadis Nabi. Dalam perkembangan periode klasik ini, setidaknya didapati dan dipetakan
terdapat ulama-ulama besar dalam pengkajian pemahaman hadis:
1) Al-Shāfi’ī (w. 204 H / 820 M) dengan karyanya “Ikhtilāf al-Hadīth”.7 Dalam
karyanya ia mengembangkan pemahaman hadis berbasis aspek kontradiktif
dalam hadis.
2) Ibn Qutaibah (w. 276 H / 889 M) dengan karyanya “Ta’wīl Mukhtalaf al-
Hadīth.” Ia memaparkan penyelesaian dalam memahami hadis yang saling
bertentangan sehingga didapat pemahaman yang sesuai dengan kandungan
yang sebenernya dari pesan nabi.
3) Ibn Ḥibbān (w. 354 H / 965 M) dengan karyanya “al-musnad al-Ṣaḥiḥ ‘ala al-
Taqasim wa al-Anwa’ min Ghayr Wujud Qaṭ’ fī Sanadihā wa la Thubut Jarḥ
fī Naqilihā” atau yang lebih populer disebut “Ṣaḥīh Ibn Ḥibban”. Ia membagi
dalam kitabnya bentuk perintah, larangan dan beberapa petunjuk yang
diberikan nabi dalam merespon beberapa peristiwa.
4) Al-Nawawī (w. 676 H / 1277 M) dengan karyanya “al-Minhāj fī Sharḥ Ṣaḥīḥ
Muslim bin al-Hajjāj” atau yang lebih populer disebut “Ṣaḥīh Muslim bi Sharḥ
al-Nawawī”.
7 Muḥammad bin Idrīs al-Syāfi’i, Al-Umm Jilid 10, (t.k : Dār al-Wafā, 2001). Atau dapat juga
dilihat dalam kitab tersendiri yang dinamakan atas bab yang menjadi pembahasannya Ikhtilāf al-Hadīth,
(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Alamiyyah, 1986).
40
5) Al-Qarāfī (w. 684 H / 1285 M) dengan karyanya “Kitab al-Furūq Anwār al-
Burūq fī Anwā al-Furūq” dan “al-Ahkām fī al-Fatāwā min al-Ahkām wa
Taṣarrufāt al-Qādhī wa al-Imām”.
6) Ibn Ḥajar al-Asqalānī (w. 852 H / 1449 M) dengan karyanya “Fatḥ al-Bārī bī
Sharah Ṣaḥīḥ al-Bukhārī”.
7) Badr al-Dīn al-Aynī (855 H / 1452 M) dengan karyanya “ ‘Umdah al-Qārī
Sharḥ Ṣaḥīh al-Bukhārī ”
Kriteria pemilihan tokoh dan alasan pembandingannya di atas berdasarkan; 1)
metode yang dikembangkan ulama tersebut, atau 2) kitab Sharḥ, atau 3) pembatasan
dan pembagian tertentu untuk memudahkan memahami hadis nabi, atau 4) basis
pemahaman yang dikembangkan. Dasar pengelompokkan di atas berdasarkan
kronologis tahun (lahir, wafat, karya, dll) sehingga ditemukan kesinambungan sejarah
dari awal hingga yang terakhir yang dijadikan sample.
Sementara alasan pemilihan tokoh di atas adalah; pemilihan al-Shāfi’ī dan Ibnu
Qutaibah didasarkan kepada basis pemahaman yang dikembangkan keduanya merujuk
kepada pemahaman berbasis mukhtalif al-Ḥadīth dan metode yang paling awal dalam
pemahaman hadis. Ibn Hibbān dipilih dikarenakan pembagian yang ia berikan kepada
hadis Nabi kepada lima pembagian. Sementara al-Qarāfī membaginya kepada sunnah
Tashri’ dan non-Tashri’. Al-Nawawī, al-Asqalānī dan al-Aynī dipilih karena
pembahasan yang cukup memadai dan komprehensif yang dilakukannya dalam
masing-masing kitab sharḥ-nya.
Kerangka berfikir yang ditanamkan ulama di atas menjadi sebuah alur yang
tersistematisasi dalam menguraikan permasalahan dalam suatu hadis dengan
didapatkan pemahaman yang tepat. Secara terurai kelompok ulama di atas mengusung
41
konsen yang berbeda dalam memahami hadis, maka perlu dikaji secara mendalam
langkah dan metode yang digunakan dalam mencapai pemahaman yang tepat.
Pada fase ini dimulai dengan sebuah terobosan yang dilakukan Imam al-Shāfi’ī.
Dalam kitabnya Ikhtilāf al-Hadīth, Imam al-Shāfi’ī (w. 204 H) memberikan gambaran
dalam menyelesaikan hadis yang terlihat bertentangan dengan melalui beberapa cara,
dan cara yang ia tawarkan memang bukanlah wacana baru dalam tradisi keilmuan
islam. Beliau menggunakan 3 cara dalam meneliti hal ini, yaitu dengan menggunakan
metode al-Jam’u (kompromi), al-Tarjih (pengunggulan suatu dalil atas dalil lain), al-
Nasakh (penghapusan/pembatalan suatu dalil).
Melalui mekanisme yang dijelaskan oleh Imam al-Shāfi’ī secara terinci terdapat
kategori yang dispesifikasikan seperti: Ikhtilāf al-Hadīth min Jihat Ibāhah,8 Mujmal-
Mufassar, Tarjīh bi al-Munāsabah, Tarjīh al-Riwāyah. Analisis ini dijadikan patokan
bahwa memang telah hadir sebuah cara yang menuntun umat untuk lebih memahami
hadis yang terlihat secara lahiriyah bertentangan agar dikaji secara mendalam dan
penuh kehati-hatian dalam menentukan makna yang tepat dan tujuannya.
Pendekatan yang ia gunakan pula mencakup kebahasaan, dan asbāb al-wurūd.
Namun memang hadis-hadis yang dibahas dalam kitabnya hanya sebatas dalam
masalah hukum fikih saja, tidak menyangkut ranah pemahaman hadis lain. Semisal
permasalahan yang dibahasnya perihal masalah berwudhu yang ia paparkan dengan
jumlah bilangan yang berbeda masing-masing riwayat, hal ini bertujuan menempatkan
hadis yang saling bertentangan (Jam’u) secara zhahirnya.
8 Penjelasan mengenai masalah ini tertulis didalam kitabnya sebagai sub bab yang menerangkan
hadirnya hadis yang secara lahiriah bertentangan tentang suatu masalah, akan tetapi perbedaan bukan
terletak pada sendi yang fundamental seperti masalah halal-haram, perintah dan larangan, melainkan
hanya sebuah gejala mental yang menilai hadis-hadis tersebut bertentangan, padahal berisi tentang
kebolehan serta kebebasa untuk memilih mana yang memudahkan diantaranya sebagai suatu rukhṣah.
Muḥammad bin Idrīs al-Syāfi’ī , Ikhtilāf al-Hadīth, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Alamiyyah, 1986), h. 43
42
Contoh penggunaan mekanisme Jam’u pada kitabnya yang membahas tentang
bilangan wuḍu:
ث نا الربيع، قال: أخب رن الشافعي، قال: أخب رن عبد العزيز بن ممد، عن زيد ، عن ب حد ن أول الل صى للا ل عطاء بن يسار، عن ابن عباس، أن ر ل ي ، لمسح ع ليدي ضأ لجه
مرة مرة .برأDari Ibn ‘Abbās bahwa Rasulullah saw. Mewuḍukan wajahnya, kedua tangan dan
mengusap (rambut) kepalanya masing-masing satu kali.9
، عن حران أخب رن الشافعي، قال: أ نة، عن هشام بن عرلة، عن أبي فيان بن عي ي مو خب رن ت وضأ ثلث ثلث ل ي .عثمان بن عفان، أن النب صى للا ع
Dari Humrān Mawlā ‘Uthmān bin ‘Affān bahwa Nabi saw. Berwuḍu masing-
masing tiga kali.10
ع ر ، أن س ، عن أبي ، قال: أخب رن مالك، عن عمرل بن يي المازني جل يسأل خب رن الشافعي ي عبد الل بن زيد: هل تستطيع أن ترين كيف كان ر ي ت وضأ؟ فدعا ول الل صى للا ع ل
، لغسل رج ، لمسح رأ مرت ي مرت ي ثلث، ليدي باء، ث ذكر أن غسل لجه .ي
Dari ‘Amr bin Yaḥyā al-Māzini dari ayahnya bahwa ia mendengar dari seorang
laki-laki bertanya kepada ‘Abdullah bin Zayd apakah anda bisa memperlihatkan
kepada ku cara Rasulullah saw. berwuḍu? Kemudian ‘Abdullah minta dibawakan
air wuḍu, lalu dia menyebutkan bahwa Nabi saw. membasuh wajahnya tiga kali,
kedua tangannya masing-masing dua kali dan mengusap kepala dan membasuh
kedua kakinya (masing-masing satu kali).11
Imam al-Shāfi’ī memberikan klarifikasi atas perbedaan yang hadir dengan
menyebut bahwa perbedaan yang hadir pada masalah ini bukanlah hal yang berbeda
secara mutlak, akan tetapi perbedaannya hanya dari pengerjaannya yang menunjukan
suatu kebolehan dan pilihan (berkaitan dengan spesifikasi metodenya ikhtilāf min jihat
al-ibāhah), bukan berbeda dalam masalah halal dan haram, perintah dan larangan, akan
9 Muḥammad bin Idrīs al-Syāfi’ī, Ikhtilāf al-Hadīth, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008),
cet. Ke-1, h. 478 10 Al-Syāfi’ī, Ikhtilāf al-Hadīth, h. 478 11 Al-Syāfi’ī, Ikhtilāf al-Hadīth, h. 478
43
tetapi batas minimal sudah disebutkan didalam hadis tersebut yakni satu kali, dan jika
menginginkan yang lebih sempurna maka dengan tiga kali.12
Contoh penggunaan pengunggulan suatu dalil atas dalil lain (tarjih). Dapat dilihat
pada hadis tentang mengangkat tangan ketika ṣalat:
نة، عن الزهريي، فيان بن عي ي ث نا الربيع، قال: أخب رن الشافعي، قال: أخب رن ا بن ع حد ن قال: »عبد الل بن عمر، عن أبي ل ي رأيت النب صى للا ع إذا اف ت تح الصلة رفع يدي
من الركوع، لل ي رفع ب ، لإذا أراد أن ي ركع، لب عدما ي رفع رأ ي حت ياذي منكب ي«السجدت ي
Dari Sālim bin ‘Abdillah bin ‘Umar dari ayahnya yang berkata, “Aku melihat Nabi
saw. mengawali salatnya dengan mengangkat kedua tangannya sampai berhadapan
dengan pundaknya, dan ketika beliau hendak ruku’ dan setelah mengangkat kepala
dari ruku’, dan beliau tidak mengangkat tangan di antara dua sujud.13
ى، عن الب راء بن عازب قال: زيد بن رأيت النب صى »أب زيد، عن عبد الرحن بن أب لي إذا اف ت تح الصلة ي رفع يدي ل ي فيان: ث قدمت ا« . للا ع قيت يزيد قال لكوفة ف : ث ل ي عود ث بذا لزاد في يدي با، فسمعت
Dari ‘Abd al-Rahman bin Abī Layla dari al-Bara’ bin ‘Azib yang berkata, “Aku
melihat Nabi saw. ketika mengawali salat beliau mengangkat kedua tangannya.”
Sufyān berkata, “Kemudian aku datang ke kota kufah, lalu bertemu Yazīd di sana.
Aku mendengarnya meriwayatkan hadis dengan redaksi tersebut. Dia
menambahkan redaksi thumma lā ya'ūdu (’emudian Nabi saw. tidak mengulangi
mengangkat tangan lagi).14
Al-Shāfi’ī memilih hadis salim dari ayahnya karena lebih kuat daripada riwayat
al-Barā’ bin ‘Āzib. Al-Shāfi’ī menampilkan beberapa argument untuk menguatkan
riwayat Salim. Pertama, komentar sufyan yang berisi redaksi lā ya'ūdu merupakan
tambahan atau sisipan dari Yazid, dan bukanlah dari al-Bara’ sendiri. Sisipan itu
kemudian dianggap oleh rawi-rawi setelahnya sebagai bagian dari hadis, padahal
12 Muḥammad bin Idrīs al-Syāfi’ī, Ikhtilāf al-Hadīth, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Alamiyyah,
1986), h. 41 13 Al-Syāfi’ī, Ikhtilāf al-Hadīth, jil. 8 dari kitab al-Umm (Beirut: Dār al-Ma’rifat, 1990), h. 634
diakses melalui Maktabah al-Shāmila 14 Al-Syāfi’ī, Ikhtilāf al-Hadīth, jil. 8 dari kitab al-Umm (Beirut: Dār al-Ma’rifat, 1990), h. 635
diakses melalui Maktabah al-Shāmila
44
bukan. Dengan demikian terdapat masalah dalam hafalan perawinya. Kedua, riwayat
Salim dari ayahnya memiliki penguat dari generasi sahabat sebanyak sebelas orang.
Hadis yang diriwayatkan sebelas orang harus lebih diutamakan daripada satu orang
karena otentisitasnya lebih terjaga. Dan untuk hal ini al-Shāfi’ī menggunakan metode
tarjih al-riwayah dalam menyelesaikan kontradiksi.
Sedangkan untuk penggunaan metode naskh ialah sebagai berikut:
ب أ ن ب يي ع ع م د ي الع ت د ه ش ال ق د ي ب ع ب عن أ ن إ ال احلطبة لق ل ب ق ة ل لص ب أ د ب ف ب ال ثلث. د ع ا ب ن ك س ن م و حل ن م ل ك ن ن أ ان ه للا صى للا عي ل : ن ل و ر
Dari Abū ‘Ubayd yang berkata, “Aku menghadiri salat ‘Id bersama ‘Ali bin Abī
Ṭalib. Beliau sesungguhnya mengawali dengan salat dan khutbah dan berkata ,
‘sesungguhnya Rasulullah saw. melarang kami memakan daging kurban kami
setelah tiga hari.15
ث نا الربيع، قال: أخب رن الشافعي، قال: أخب رن مالك، عن أب الزب ، عن جابر بن عبد ي حد ن هى عن أكل حلوم الضحاي ب عد ثلث، ث ق ل ي ول الل صى للا ع ، أن ر ل ب عد االل
وا، لت زلدلا، لادخرلا»ذلك: «ك
Dari Jābir dari Nabi saw. bahwa beliau melarang memakan daging kurban setelah
tiga hari. Kemudian beliau mengatakan, “makanlah, sisakan dan simpanlah”16
Kedua hadis di atas mempunyai pengertian yang bertentangan. Imam Muslim
menengahi pertentangan yang terjadi dengan menggunakan konsep nasakh. Keterangan
ini ia muat dalam hadis-hadis yang dicantumkannya dalam bab Bayān mā kāna min al-
nahy ‘an akli luhum al-aḍahi ba’da thalāthin fi awwal al-islām wa bayān nakhihi wa
ibāhatihi ilā matā Shā’a (bab keterangan larangan memakan daging kurban setelah tiga
hari pada masa awal islam dan keterangan penghapusannya dan kebolehannya sampai
kapan pun). Bahwa larangan itu ditetapkan lebih dahulu dan hadis yang
membolehkannya terjadi belakangan. Hal ini dibuktikan dengan perintah untuk
15 Muḥammad bin Idrīs al-Syāfi’ī, Ikhtilāf al-Hadīth, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
2008), cet. Ke-1, h. 523 16 Al-Syāfi’ī, Ikhtilāf al-Hadīth, jil. 8 dari kitab al-Umm (Beirut: Dār al-Ma’rifat, 1990), h.
643 diakses melalui Maktabah al-Shāmila
45
mengambil bekal (tazawwadū) terjadi ketika Nabi saw. berhaji, yaitu tahun sepuluh
hijriah.
Langkah rintisan yang diupayakan Imam al-Shāfi’ī turut membentuk secara basis
metodologi fiqih Islam yang ia telah suguhkan dengan berisikan untaian hadis-hadis
dalam kitabnya yang berjudul al-Risālah17 yang menunjukan dan memperlihatkan
bahwa hadis merupakan tools (alat) yang harus dimiliki seluruh mujtahid dan fuqahā
dalam melakukan proses Ijtihad dan iftā.18 Terlebih dalam mengungkap makna yang
terkandung dalam hadis itu sendiri, yang tidak jarang menyangkut masalah hukum yang
hendak dibahas.
Hal yang hampir serupa dengan Imam al-Shāfi’ī juga dilakukan setelahnya, yang
memang pada waktu itu memfokuskan dengan hadis-hadis yang kontradiktif dan coba
untuk dipahami, serta diberikan penjelasannya oleh Ibn Qutaibah al-Dainūri19 (w. 276
H) melalui kitabnya “Ta’wīl Mukhtalaf al-Hadīth” secara kontekstual melalui
pendekatan bahasa, sejarah dan rasional.20 Pada bagian-bagian kebanyakan dalam kitab
ini juga merupakan sorotan Ibn Qutaibah kepada pola pikir dan metode kelompok-
kelompok aliran kalam (ahli kalam) dalam menguraikan, menafsirkan dan mena’wilkan
hadis-hadis, yang terkesan terlalu semberono dan serampangan. Dan untuk itulah
hadirnya kitab ini berusaha meluruskan penafsiran serta pemahaman agar tidak
17 Muḥammad bin Idrīs al-Syāfi’ī, al-Risālah, (Beirut: Dār al-Nafā’is, 2010) 18 Hilmy Firdausy, “Ragam Pembacaan Hadis: Memahami Hadis Melalui Tatapan
Postradisionalisme,” Religia Vol. 19 No. 2 (Oktober 2016): h. 54. 19 Pembacaan nama ia sering kali ditemukan berbeda, di dalam kitab yang penulis gunakan
terbaca dengan “Ibnu Qutaibah al-Dainūri”. Sementara al-jaziri menyebutnya dengan “al-Dinawari”
yakni dalam kitabnya al-Lubab fī Tahdhīb al-Ansāb, merujuk kepada Dinawar yaitu sebuah kota
pegunungan yang terletak di Wilayah Kurdistan dekat dengan kota Karmansyah, yang pernah dijadikan
pust pemerintahan Bani Hasnawaih al-Kurdiyah. 20 Penggunaan pendekatan yang ia gunakan dapat ditemukan pada pengantar dalam kitabnya.
Lih. Ibn Qutaibah, Ta’wīl Mukhtalaf al-Hadīth, (Beirut: Muasasah al-Kitab al-Thaqāfiyyah, 1988), h. 25
46
terjerumus dalam kebingungan, kekeliruan atau bahkan kesalahan dan kesesatan dari
penafsiran dan pena’wilan para ahli kalam.21
Pembahasan yang dilakukan oleh Ibn Qutaibah tidak hanya berisikan hadis-hadis
hukum (fikih) sebagaimana yang dilakukan imam al-Shāfi’ī, tetapi juga menjelaskan
hadis-hadis tentang aqidah dan lainnya. Dalam pemahaman matan hadisnya, Ibn
Qutaibah menggunakan pemahaman logika bahasa yang mendalam untuk memahami
hadis,22 berbeda dengan ulama-ulama sebelumnya yang melakukan metode tarjih
dalam menyikapi hadis kontradiktif atas dasar status hadis, nasikh-mansukh dll. Ia
memilih untuk tidak terburu-buru melakukan metode tarjih dalam menyikapi hadis
kontradiktif, karena menurutnya, ungkapan hadis dapat dipahami dengan benar sesuai
dengan situasi dan kondisinya maka tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang lain.23
Dalam upaya menyelesaikan hadis-hadis yang kontradiktif, Ibn Qutaibah
merumuskan beberapa langkah:
a) Mengidentifikasi Hadis, identifikasi ini berupa status hadis, meski diakui
identifikasinya tidak mendetail, tidak menggunakan takhrij. Hanya
mengandalkan status hadis, semisal Ṣaḥih, Ḥasan atau ḍaif, ataupun menolak
karena bukan hadis.
b) Melihat asbāb al-wurūd, untuk meneliti hadis penting untuk mengetahui asbāb
al-wurūdnya sebelum memahami pesan-pesannya dan menggali kemungkinan
makna lain yang dirujuk dalam latar ketika hadis disabdakan.
21 Ibnu Qutaibah, Ta’wil Hadis-Hadis yang Dinilai Kontradiktif, terj. Team Foksa; Ed. Mukhlis
B. Mukti, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. xi 22 hal yang dilakukannya sejalan dengan pendapat yang digunakan oleh jumhur ulama yang
memandang aspek kebahasaan ini sebagai tolak ukur dalam melihat validitas hadis Nabi. M. Syuhudi
Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 127. Nizar ali, Memahami
Hadis Nabi: Metode dan Pendekatannya (Yogyakarta: IDEA Press, 2011), h. 5 23 Abdul Malik Ghazali, “Metodologi Pemahaman Kontekstual Hadis Ibn Qutaibah”, Kalam:
Jurnal Studi Islam dan Pemikiran Islam Vol. 8, No. 1, (Juni 2014): h. 128
47
c) Melakukan ta’wil terhadap salah satu Ḥadīs yang bertentangan. ketika terdapat
dua Ḥadīs yang bertentangan, adakalanya ia hanya menta’wil salah satunya
agar pemahaman yang satu dapat sejalan dengan Ḥadīs yang lainnya.
d) Melakukan ta’wil terhadap dua Ḥadīs yang bertentangan. Adakalanya dalam
uapaya mendapatkan pemahaman yang tepat dari dua Ḥadīs yang
bertentangan, Ibn Qutaibah melakukan ta’wil keduanya.
e) Memperkuat ta’wilnya dengan ayat al-Qur’ān, Ḥadīs lain, bait syair, logika,
fakta sejarah, ilmu pengetahuan.
f) Bila tidak mungkin menta’wilkannya maka dilakukan nasikh-mansukh atau
melakukan tarjih. Dan hal ini dijadikan alternatif terakhir yang digunakannya,
berbeda dengan ulama-ulama sebelumnya yang lebih mendahulukan metode
jam’u-tarjih ini.
Dari langkah-langkah yang ditempuh Ibn Qutaibah menghasilkan penyelesaian
hadis-hadis yang dinilai kontradiktif, memang akan sedikit bersinggungan (ditemukan
kesamaan) dengan langkah yang dilakukan Imam al-Shāfi’ī mengingat pembahasannya
sama-sama berbasis kontradiktif hadis.
Kedua tokoh yang memaparkan permasalahan tentang hadis kontradiktif di atas
menjadi pemacu semangat ulama-ulama setelahnya dalam mengkaji makna hadis
bukan hanya dalam segi kontradiktifnya saja, akan tetapi pembahasan makna
mendalam tentang suatu hadis yang memang secara doktrinal tidak ada hadis yang
bertentangan dengan otoritas yang lebih tinggi darinya, yakni al-Qur’ān. Dan bahkan
di masa setelahnya penjelasan yang ditujukan untuk memahami hadis menjadi lebih
mendalam dan terstruktur.
Berdekatan dengan periode keduanya juga hadir pengklasifikasian hadis Nabi
yang dilakukan oleh al-Bukhāri (w. 256 H) dan Imam Muslim (w. 261 H) meskipun
48
hanya menyajikan daftar hadis berikut sanadnya, namun penamaan atas beberapa judul
yang diberikan secara tidak langsung juga menunjukan kemampuan dari perangkat
ijtihad nan kokoh yang dimiliki keduanya layaknya para fuqahā’.24 Namun dalam
kajian pemahaman hadis posisi kedua tokoh ini hanya dijadikan sumber penukilan
hadis, serta objek penerapan syarah mengingat kedua karya kedua tokoh ini dinilai
menjadi sumber otoritatif dalam khazanah perhadisan dan menempati posisi yang
tinggi.25
Berselang beberapa tahun kemudian, muncullah Ibn Ḥibbān (w. 354 H) yang
termotivasi untuk membukukan sebuah kitab hadis dikarenakan telah mulai banyaknya
jalur periwayatan hadis sehingga perlu untuk mengetahui hadis-hadis yang ṣaḥiḥ atas
dasar kegelisahannya, serta para ulama sebelumnya yang menulis kitab-kitab hadis
adalah ahli fiqh dan agama yang tentunya mereka lebih memperhatikan aspek jalur
periwayatan dengan orientasi kebutuhan hafalan teks dan tidak memperhatikan kepada
kebutuhan orang yang ingin memahami dari sisi konteks hadis.26 Hal ini menunjukan
bahwa perhatiannya tidak hanya terfokus pada sanad saja, tetapi juga menjangkau
wilayah matan. Seorang periwayat hadis tentunya dituntut untuk memiliki kemampuan
dalam sanad sebagai wilayah yang banyak ditekuni para periwayat hadis, dan
kemampuan dalam memahami makna yang menjadi fokus perhatian para ulama fiqh.27
Dalam sistematika penulisan kitabnya, Ibn Ḥibbān membuat pengklasifikasian
sebagaimana yang lazim kita temukan dalam sistematika al-Qur’ān yang tersusun
berdasarkan Juz, Surat, dan ayat. Dan hal ini dapat diidentifikasi dengan pemilihan
24 Hilmy Firdausy, “Ragam Pembacaan Hadis: Memahami Hadis Melalui Tatapan Post-
tradisionalisme,” Religia Vol. 19 No. 2 (Oktober 2016): h. 54. 25 Badru al-din Abī Muḥammad Maḥmūd bin Aḥmad al-‘Aynī, ‘Umdah al-Qārī Sharḥ Ṣaḥīḥ
al-Bukhārī, (Beirut : Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001), h.4 26 Rifqi Muhammad Fatkhi, “Sahih Ibnu Hibban dalam al-Kutub al-Sittah: Sebuah Tawaran
Alternatif, (Tesis Konsentrasi Tafsir Hadis, Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 46 27 Rifqi Muhammad Fatkhi, “Sahih Ibnu Hibban dalam al-Kutub al-Sittah,” h. 46
49
nama kitab yang mengandung kata “al-Taqāsim dan al-Anwā’” yang menunjukkan ia
membagi menjadi beberapa bagian dan setiap bagian terdiri dari beberapa macam
(naw’), dan setiap naw’ berisi satu atau sejumlah hadis.28
Ibn Ḥibbān membagi isi kitabnya menjadi lima bagian, yaitu al-awamir al-latī
amara Allah ‘ibadahū bihā atau al-awamir (perintah-perintah), al-nawahī al-latī naha
Allah ‘ibadahū bihā atau al-nawāhi (larangan-larangan), ikhbar al-musṭāfa ‘amma
ihtīja ila ma’rifatihā atau al-ikhbar (informasi Rasulullah tentang hal-hal yang harus
diketahui), al-ibahāt al-latī ubihā irtikabuhā atau al-ikhbar (hal-hal yang boleh
dilakukan), dan af’āl al-Nabī al-latī infarada bihā atau ma infarada bih (perbuatan-
perbuatan yang Rasulullah lakukan sendiri).29 Pembagian dalam kitabnya
mengindikasikan bahwa ia terlebih dahulu memahami hadis Nabi lalu ia membaginya
agar lebih memudahkan dalam pemahaman ketimbang hanya sekedar memelihara lafaẓ
hadis, hal ini tidak terlepas dari kecermatan Ibn Ḥibbān dalam memahami hadis Nabi
Saw.30 dan karyanya dapat diperhitungkan pula dalam mengisi slot ke-6 pada kutub al-
Sittah.
Upaya penjelasan dengan berbetuk Sharḥ juga dilakukan oleh Imam al-Nawawī
pada pertengahan abad ke-7 hingga awal abad ke-8, yang melahirkan sebuah karya
monumental yakni “al-Minhāj fī Sharḥ Ṣaḥīḥ Muslim bin al-Hajjāj” atau yang lebih
populer disebut “Ṣaḥīh Muslim bi Sharḥ al-Nawawī”. Dari penelitian yang sebelumnya
dilakukan oleh Nizar ali31 menyimpulkan bahwa metode muqārin amat sangat dominan
dalam pemaparan yang dituangkan untuk menerangkan hadis dalam kitab Sharḥ ini,
terlebih pemaparan yang digunakan berbentuk Ma’thūr menunjukan bahwa pilar-pilar
28 Rifqi Muhammad Fatkhi, “Sahih Ibnu Hibban dalam al-Kutub al-Sittah,” h. 59 29 Rifqi Muhammad Fatkhi, “Sahih Ibnu Hibban dalam al-Kutub al-Sittah,” h.59-60 30 Rifqi Muhammad Fatkhi, “Sahih Ibnu Hibban dalam al-Kutub al-Sittah,” h.64 31 Nizar Ali, “Kontribusi Imam Nawawi dalam Penulisan Sharḥ Hadis : Kajian atas Kitab Ṣaḥīh
Muslim bi Sharḥ al-Nawawī,” (Disertasi S3 Ilmu Agama Islam, Program Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2007), h. 327
50
bagunan islam saling melengkapi dengan dalil-dalil yang ada. Analisa yang dilakukan
juga berciri klasik yakni seputar masalah hukum atau disebut dengan corak fiqhi.32
Langkah pemahaman yang ditempuh oleh Imam al-Nawawī tidak jauh berbeda
dengan langkah yang biasanya ditempuh ulama sebelumnya, yakni; (a) mengumpulkan
matan hadis yang terkait dengan hadis yang sedang diteliti.33 (b) Mengelaborasi makna
kalimat (mabāhith lafẓiyyah), melalui metode muqārin yang dibangun Imam al-
Nawawī, pengelaborasian bukan hanya terbatas pada perbandingan analisis redaksional
saja, melainkan mencakup perbandingan penilaian periwayat, serta kandungan makna,
serta berbagai hal yang dibicarakan dari masing-masing hadis yang diperbandingkan.
(c) Penjelasan tentang rijāl al-ḥadith (periwayat hadis) jika memang diperlukan. Dan
(d) menghadirkan perbandingan pendapat dari ulama fikih yang dihasilkan dari
kandungan hukum yang terkandung dalam hadis.
Konsentarasi ulama yang memang beraliran klasik kerap kali diidentikan dengan
pembahasan masalah hukum (fikih) yang cukup panjang, sehingga upaya pemberian
pemahaman atau penjelasan yang bercorakkan fiqhi dinilai sebagai upaya pemurnian
pemahaman amalan praksis dalam kegiatan amaliah yang dilakukan.
Al-Qarāfī (w. 684 H) menunjukkan peranannya pula dalam upaya pemahaman
dalam matan hadis, diantara yang menjadi fokusnya ialah bagaimana pengklasifikasian
segala tindakan Nabi Saw.34 yang tidak terlepas dari role position yang sedang
diperankannya sebagi manusia biasa,35 rasul,36 mufti, hakim, imam masyarakat,
panglima perang, kepala negara dan pribadi.37
32 Nizar Ali, “Kontribusi Imam Nawawi dalam Penulisan Sharḥ Hadis,” h. xiii - xiv 33Dalam kajian tentang matan hadis hal ini dikenal dengan istilah al-Jam’u, yakni
mengumpulkan matan hadis yang setema. 34 Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalm Sunnah; Pendekatan Ilmu Hadis, (Jakarta:
Kencana, 2011), h. 196 35 Lih. Al-Qur’ān Surah Saba’ [34]: 28 36 Lih. Al-Qur’ān Surah Ali ‘Imrān [3]: 144 37 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual : Telaah Ma’ani al-Hadis
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), h. 4
51
Setidaknya dalam masalah pembagian ini ia mengelompokkannya dalam tiga
kategori yang meliputi kehakiman (al-Qaḍā’), keagamaan (al-fatwā) dan politik (al-
imāmah). Ketiga posisi yang dijelaskan olehnya mempunyai batasan otoritas yang
berbeda-beda.38 Ketentuan yang dibuatnya tentu memberikan pemahaman yang
menyasar keragaman peran Nabi Saw. dan menurutnya itu amat penting guna
mengetahui motif sabda Nabi. Motif itu secara lebih jelas berupa sifat-sifat (sifāt), dan
kondisi-kondisi. Untuk itulah berangkat dari hal ini pembacaan tentang pemilihan
posisi sangat diperlukan.39
Keterangan yang dijelaskan tentang pembagian peran dan motif Nabi yang
dilakukan al-Qarāfī secara tidak langsung membagi sunnah kepada tashrī’ dan non-
tashrī’, akan tetapi jika merujuk pendapat Fatḥī ‘Abd al-Karīm40 yang menolak bahwa
al-Qarāfī membagi kepada sunnah non-Tashrī’, hal ini menurutnya keliru karena ia
memandang al-Qarāfī berkesimpulan seluruh sunah itu tashrī’ tetapi adakalanya untuk
umum (tashrī umum) dan adakalanya untuk kalangan tertentu saja (tashrī’ khusus).41
Dan hal ini menjadi pembuka jalan bagi para pengkaji sunnah dalam segi posisi dan
motif Nabi ketika mensabdakan hadis. Semisal; Mahmud Syaltut (1893-1963 M), dan
Syah Wali Allah al- Dahlawi (w. 1176 H).
Merujuk riwayat yang menyebutkan jika pembagian hal ini juga terdapat dalam
riwayat Muslim, hal ini tentu menjadi lebih kuat karena didukung dengan pernyataan
Nabi sendiri dalam riwayat ini yang konteks pembicaraan ketika itu tentang
sekelompok orang yang mengawinkan kurma dengan menggunakan skema tersengaja,
38 M. Khoirul Huda, “Memahami Hadis Melalui Pemilahan Posisi Nabi saw,” (Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2013), h. 47 39 M. Khoirul Huda, “Memahami Hadis Melalui Pemilahan Posisi Nabi saw,” h. 51 40 Hal ini dijelaskan dalam kitabnya al- Sunnah Tasyri’ Lazim wa Daim, (Kairo: Maktabah
Wahbah, 1985) 41 Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah; Pendekatan Ilmu Hadis, (Jakarta:
Kencana, 2011), h. 197
52
kemudian Nabi mengungkapkan pendapatnya sehingga kegiatan itu tidak lagi
dilakukan oleh kelompok tadi. Melihat akan hal itu Nabi memberikan pendapatnya lagi
mengenai proses perkawinan kurma, dengan memberikan anjuran untuk tidak
memegang teguh pendapatnya tentang masalah ini.42
Penjelasan mengenai hal ini terdapat pada tiga hadis yang terbingkai dalam satu
bab dalam kitab Ṣaḥīḥ Muslim yang berlatar belakang permasalahan tentang putik
kurma. Mengingat hal ini menegaskan adanya perbedaan sunnah dalam segi perintah
pengerjaan (Tashrī’) atau hanya sekedar pendapat dan dugaan dan bukan perintah
pengerjaan (Non-Tashrī’). Ini juga mengindikasikan bahwa Allah hanya menjamin
Nabi terpelihara dari kesalahan dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan Agama.
Pemahaman yang jauh lebih berkembang diperagakan Ibn Ḥajar al-‘‘Asqalānī (w.
852 H) dalam kitabnya Fatḥ al-Bārī bī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī yang jika dikaji secara
mendalam maka akan didapatkan garis besar metode pemahaman yang ia gunakan.
42 Hal ini dengan terang terdapat dalam Ṣaḥīḥ Muslim Jilid IV (Qāhirah : Dār al-Hadith, 2010),
h. 125-126. Atau dapat diakses melalui aplikasi Lidwa dengan nomor hadis 4356-4358 Dengan redaksi
yang berbeda penegasan tentang urusan dunia lebih diketahui oleh orang yang memang sudah
berpengalaman dan telah mencoba (eksperimen).
Redaksi yang pertama :
يصن عوه فإني إنا ظن نت ظنا فل ت ؤاخذلن بلظني للكن إذ ذلك ف فعه عن الل اإن كان ي ن ث تك حدى الل عز لجل فإني لن أكذب ع ئا فخذلا ب شي
“apabila proses itu bermanfaat bagi mereka, maka hendaklah mereka lakukan, karena
sesuangguhnya ketika itu hanya mengira saja. Sebab itu janganlah kalian mengambil
(memegang) teguh perkiraanku. Tetapi apabila aku menghadiskan sesuatu dari Allah
SWT maka ambillah (pegangilah) dengan teguh, karena aku tidak berdusta kepada
Allah yang Maha Mulia dan Maha Agung”
Redaksi yang kedua :
بشيء من رأي فإ لإذا أمرتك فخذلا ب بشيء من دينك ا أن بشر إذا أمرتك ا أن بشر ن إن “Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa, oleh karenanya apabila aku
memerintahkan sesuatu dari urusan dīn (agama) kalian, maka ambillah
(laksanakanlah) dan jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian berdasar
pendapatku semata, maka ketahuilah bahwa sungguh aku hanyalah manusia biasa. Redaksi yang ketiga :
بمر دن ياك أع أن ت “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian”
53
Metode penjelasan yang ia gunakan dalam menganalisa hadis adalah tahlili43, yang
menggabungkan pemahaman hadisnya melalui riwayat yang jelas dan penalaran khas
ala ulama klasik yang juga bertumpu pada kriteria penguasaan multi cabang ilmu lain.
Sehingga jika dipaparkan metode pemahaman hadisnya secara berurutan diperoleh
langkah sebagai berikut:44
a) Memperhatikan aspek bahasa
Aspek kebahasaan sangat lazim digunakan dalam pengkajian pencarian
pemahaman makna, terlebih yang menjadi objek kajian dalam hal ini adalah hadis Nabi
sehingga perlu untuk diklarifikasi melalui pendekatan kebahasaan. Dan menyadari hal
itu, Ibn Ḥajar al-Asqalānī (w. 852 H) turut menjelaskan dalam karyanya seputar hal ini.
Mulai dari seputar kata dan penggunaannya, menjelaskan arti kata secara etimologis
dan terminologis, perdebatan seputar kata terminologis, menjelaskan arti kata
menggunakan rujukan ayat al-Qur’ān atau hadis, menjelaskan makna majazi dan
haqiqi.
Contoh menjelaskan kata Kitāb dalam sub bab pembahasan Kitāb al-Īmān dan
penggunaannya dalam bahasa:45
ميان( كتاب ال بس الل الرحن الرحي ت )ق ول دأ مذلف ت قديره هذا كتاب هو خب ر مب ميان لكتاب مصدر ي قال كتب ي يكتب كتابة لكتاب لمادة كتب د ال مع لالض الة عى ا
وا ذلك فيما يمع أشياء من الب واب لالفص ت عم ها الكتيبة لالكتابة ا امعة لمن ول ا
43 Kata Tahlili adalah bentuk masdar dari kata حلل (halala) yang berarti mengurai, menganalisis,
menjelaskan, menjelaskan bagian-bagiannya serta fungsinya masing-masing. Sedangkan secara
pengertian istilah adalah menjelaskan hadis-hadis dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di
dalam hadis tersebut serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya. Agil Husin al-
Munawwar dan Masykur Hakim, I’jaz al-Qur’ān dan Metodologi Tafsir, (Semarang: Dina Utama, 1994),
h. 36 44 Materi tentang Metode ini dipaparkan dalam perkuliahan pada semester enam mata kuliah
Metode Pemahaman Hadis, Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin. 45 Al-Ḥāfiẓ Ahmad bin ‘Alī bin Ḥajar al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz
I (Riyādh: Dār Ṭībah li Naṣri wa al-Tauzī’, 2005), h. 93
54
بلنيسب في مسائل لالض المكتوب من احلرلف حقيقة لب ل المعان المرادة ة إ لنيسبة إها ماز من
Contoh menjelaskan arti kata secara etimologis dan terminologis :46
ميان لغة ول فيما جاء : لال عن ربي التصديق لشرعا تصديق الر ب
Setelah menjelaskan pengertian secara etimologi dan terminologi, maka
didatangkanlah perdebatan seputar kata tersebut, sebagai berikut:47
يسان ا هل يشت رط مع ذلك مزيد أمر من جهة إبداء هذا: ث لقع الختلف لتصديق بلوب أل من جهة العمل با صد ب إذ التصديق من أف عال الق من المعبي عما ف الق ق ب
يأت ذكره إن شاء الل ت هيات كما ميان فيما ت ذلك كفعل المأمورات لت رك المن لال عا نظر لت باين مدلول المن لالتصديق إل إن لوحظ مازي قيل مشتق من المن لفي مع في
يست فتح ال التكذيب ل أي أمن ق إذا صد صنيف بدء الوحي بكتاب لن م ف ي قال أمنرها لن ها ت نطوي عى ما ي ت عق غي مة ل تست فتح با يست فتح ب فت المقدي با ب عدها لاخت
ة عى كتاب أل تخيه الثان ا للكلي لج الريلايت ف ت قدمي البسم اللل ظاهر للج جعل الت رجة قائمة مقام تسمية السورة لالحاديث أكث ر الريلايت أن ي المذكورة ب عد لع
ة ة كاليت مست فتحة بلبسم البسم
Dan terkadang upaya penjelasan yang dilakukannya juga dilengkapi dengan ayat
al-Qur’ān atau hadis lain. Contohnya sebagai berikut:48
مقيد با ب ي ه لحكي الفتح لغة لهو عدد مب ا ق ول بضع بكسر ألل لتيسع الثلث إ القزاز يده ، كما جزم ب العشر : لقال بن تسعة من لاح : لقيل ، إ : لقيل ، د إ عشرة تسعة : لقيل ، من اث ن ي إ يل ، من أرب عة إ ح لي رجي ، السبع : البضع ، لعن ال
ت عا المفسيرلن ف ق ول ي القزاز ما ات فق ع ني ع ض بث ف السجن ب ف ’ ما قال ‘ف: مذي بسند صحيح أن ق ريشا قالوا ذلك لب بكر [،٢٤]يو لكذا ، لما رلاه التي خاص با دلن ال ، ي مرفوعارلاه الطب عشرة لبا دلن العشرين لن قل الصغان ف العباب أن
46 Al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz I, h. 93 47 Al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz I, h. 94 48 Al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz I, h. 104
55
ل بضعة لعشرلن رجل ي قا : لأجازه أبو زيد ف قال : قال ، فإذا جالز العشرين امت نع ، التيس : لقال الفراء ، لعشرلن امرأة لبضع : لل ي قال ، عي لهو خاص بلعشرات إ
تليل بضع لمائة لل بضع لألف للقع ف ب عض الريلايت بضعة بتاء التأنيث لي .تاإ إ
Dan adakalanya dalam menerangkan kalimat merujuk kepada sebuah majaz maka
diperlukan penjelasan dan pembedaan mana yang bermakna majazi dan haqiqi.
Contohnya ketika mencoba menjelaskan tidak diterimanya shalat tanpa berwudhu
sebagai berikut:49
فاع (ل ت قبل ) : ق ول يس ي عى البناء لما المصنيف ، كذا ف رلايتنا بلض لأخرجحا ق بن نصر بل كل ،ف ت رك احليل عن إ مها عن عبد الرزا ق لأبو دالد عن أحد بن حن
فظ جزاء هنا ما ي رادف الصيحة له / لالمراد بلقبول "بل الل ل ي ق " : ب لحقيقة القبول ،و المة ت يان ،ثرة لقوع الطاعة مزئة رافعة لما ف الذي جزاء الذي للما كان ال ها مظنة ال بشرل
بلقبول مازا عب ر عن لأما القبول المنفي ف ،القبول ثرت ل ي ع صى الل مثل ق ول صلة " : ت قبل ل لي تخف القبول يصح العمل لن قد ؛ ف هو احلقيقي "من أتى عرافا
ف ي قول ،لمانع يع لن ت قبل ل صلة لاحدة أ : للذا كان ب عض الس حب إل من جن يا قال : قال .قال بن عمر .الد ا يت قبل للا" :لن الل ت عا " ]املائدة : من المتقي إن٤٢.]
b) Memperhatikan aspek sejarah
Dalam menjelaskan aspek kesejarahan hadis tentu diperlukan segala aspek yang
melatarbelakangi munculnya suatu hadis, dan ini dikenal dengan Asbāb al-Wurūd al-
Hadīth. Dan dalam metode yang digunakan Ibn Ḥajar hal ini ditemukan pula dalam
hadis-hadis yang mempunyai Asbāb al-Wurūd , disamping itu ia juga menjelaskan
biografi singkat periwayat dalam beberapa hadis yang dijelaskannya, dan terkadang
dalam beberapa hadis pula ditemukan ia mencoba menjelaskan nama seseorang yang
49 Al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz I, h. 407
56
disebutkan dalam riwayat hadis dan menyebutkan referensinya. Hal ini dapat dilihat
sebagai berikut:50
)فائدة( : ا الرجل السائل : حكي، ذكره البيهقي.
Selain menggunakan beberapa penjelasan yang mendalam, sesekali ia pula
menjelaskan Laṭā’if al-Isnad. Sebagai berikut:51
فيان لأبو ي عى ف مسنديهما ع (قالوا) : ق ول لاحلسن بن عيد بن رلاه مس ن فظ ناده هذا ب عيد شيخ البخاريي ب نا"يي بن ل "،ق ريق حسي رلاه بن منده من
فظ عيد بن يي هذا ب ت "بن ممد الغساني أحد احلفاظ عن ف ت عي أن السائل أبو "،ق أراد ى لل تالف ب ي الريلايت لن ف هذه صرح لف رلاية مس من ن مو لمن مع فس
السائل ،الصحابة : يي لف رلاية البخار ،إذ الراضي بلسؤال ف حك ه لقد .أراد أن لإيأل هذا السؤال أيضا أبو ذر ر بن ق تادة ،رلاه بن حبان ، .لاه الطب ران ر ،لعمي
c) Merujuk pada sejumlah referensi
Dalam menguraikan makna hadis sejumlah referensi dipakai dalam menguatkan
penjelasan yang dibuatnya. Semisal ketika menjelaskan hadis tentang iman dengan
menggunakan atsar, hal ini terlihat dalam kitabnya sebagi berikut:52
ميان ك : لقال بن مسعود ق ول : ) (اليقي ال رف من أثر لص الطب ران هذا الت عيق ميان " ،بسند صحيح ر نصف ال لالصب أبو ن "،لبقي ت ف احل لأخرج هقي ف عي ية لالب ي
مرفوعا ،الزهد من حديث ف القتصار عى لجرى المصنيف عى ع ،لل ي ث بت رف ع ادتشارة ميان .زئة ف التج إذ لفظ النيصف صريح ،لحذف ما يدل بلصراحة ،ما يدل بل لف ال
ريق عبد للا بن عكي عن بن مسعود أن كان ي قول زدن إميان ليقينا " : لحد من الهناده صحيح "لفقها يذكره ال ،لهذا أصرح ف المقصود ،لإ مصنيف لما أ ل .شرت إلي
50 Al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz I, h. 100 51 Al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz I, h. 109 52 Al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz I, h. 98
57
ق بذا الثر من ي قول ( :ت نبي ) ميان هو مرد الت : ت ع لأجيب بن مراد .صديق إن الميان ،بن مسعود أن اليقي هو أصل ال ب ان ب عثت ا قاء الل وارح ك فإذا أي قن الق ها ل
فيان الث وري ،بلعمال الصاحلة بغيلو أن اليقي لق : حت قال ب كما ي ن لطار ،ع ف القنة لهرب من النار ا .اشتياقا إ
Tidak hanya sampai disitu saja, pendapat ulama juga digunakan dalam
upayanya menjelaskan hadis dengan disertai referensi, memaparkan pendapat ulama
tentang makna hadis, serta menjelaskan persesuaian hadis dengan ayat. semisal
berikut:53
ل قد نقل ممد بن املرلزي / قدر ا"ف كتاب و عن ج "لصلة ت عظي ة اعة من الئمفيان الث و ،ذلك عن عبد الرزا ق ف مصنف ف صرح ب ريي لمالك بن لما نقل عن الس
هاء المص لهؤلء ف ق ،أنس لاللزاعيي لبن جريج لمعمر لغيه ،ار ف عصره لكذا ن قلكائي ف الل حا ق بن راهوية عن الشافعيي لأحد بن "كتاب السنة "أبو القا بل لإ حن
من الئمة لقيت أكث ر من :خاريي قال حيح عن الب لرلى بسنده الص ،لأب عب يد لغيهميان ق ول يتف ف أن ال ه ماء بلمصار فما رأيت أحدا من ،لعمل ألف رجل من الع
قص لكائي ف .ليزيد لي ن نب بن أب حات لالل انيد عن جع كثي من ، ن قل ذلك لأ بلجاع من الصحابة لالتابع ،الصحابة لالتابعي ال ي لحكاه فضيل بن ،ي لكلي من يدلر ع
ماعة .عياض للكيع عن أهل السنة لا ف مناقب الشافعيي لقال أخب :احلاك ث نا أبو العباس الص سعت :رن الربيع قال حد
ميان قول :الشافعي ي قول .يزيد لي ن قص لعمل،ال ف ت رجة الشافعيي من لأخرج أبو ن عي آخر عن الربيع لزاد احلية من قص بلمع :لج يزداد الذين ل " :ث تل ،صية يزيد بلطاعة لي ن صريحة ث شرع المصنيف يستدل لذلك بيت من القرآن م [،١٣]املدثر: الية "آمنوا اميان .ابل لن قصان ضرلرة فإن كل قابل لزييدة ق ،لبث بوتا ي ث بت المقابل ،بلزييدة
53 Al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz I, h. 95-96
58
d) Menampilkan perdebatan akademik
Dalam kitabnya ia juga menghadirkan perdebatan teologis seputar hadis yang
sedang dijelaskan, semisal hal berikut:54
ق رار ف قط ميان هو ال ما عندن فال الحكام ف فمن أق ر ،أما بلنظر إ ي أجريت عن يا فعل يدل عى كفره كالس ،الد بكفر إل إن اق ت رن ب ي ع يك ص ل جود ل فإن ،ن
ميا -كالفسق –كان الفعل ل يدل عى الكفر ال ي ق ع إق راره فمن أ ،ن فبالنظر إ كمال ميان فبالنظر إ ال الكف ،لمن نفي عن ي ق ع أن ف عل فعل ر فبالنظر إ لمن أ
،الكافر حقيقت فبالنظر إ طة ف قالوالأث ب تت المع ،لمن ن فاه عن ق ل :تزلة الوا الفا .مؤمن لل كافر
Selain perdebatan teologis, perbedaan pendapat fikih juga dituangkan dalam
menjelaskan hadis baik pendapat perorangan ataupun kelompok (Madhhab). Hal ini
dituangkan dalam kitabnya sebagai berikut:55
ما أخرج بن أب شيبة أيضا عن ب ،إل .....(لأن يالزلا) :ق ول ن مسعود يشي إرمها .لث شيء ليس ب عد الث :قال حا ق لغي .وز الزييدة عى الثلثل ت :لقال أحد لإ
،د المت وضيئ عى ثلث ل أحب أن يزي :لقال الشافعي .ل آمن أن يث :لقال بن المبارك أكره :أي .فإن زاد ل أحب ي قتضي الكراهة ؛ أحريم لهذا الصح عند ،لن ق ول
عن ق وم أ .الشافعية أن مكرله كراهة ت نزي ه ن الزييدة عى الثلث لحكى الدارمي من د ،وء كالزييدة ف الصلة ت بطل الوض زم م .لهو قياس فا ن القول بتحرمي الزييدة عى لي
ل ق .الثلث أل كراهتها أن ل ي ندب تديد الوضوء عى ال الزييد لاختف عند الشافعية ف القيد حك ة عى الثلث فالصح إن الذي ميتنع من
ف رضا أل ن فل حت :لقيل ،الفرض ف قط :لقيل ،صى ب جدة التيللة لالشكر مث الوض :لقيل ،لمس المصحف ما ي قصد ل ا لقع الفصل بزمن يتمل إذ :لقيل ،وء لهو أع
ن قض الوضوء عادة .ف مث
54 Al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz I, h. 95 55 Al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz I, h. 406
59
العتقاد فإن اعت قد أن الزييدة عى ال نة أخطأ لعند ب عض احلنفية أن راجع إ ثلث رها ل لوم لإل فل يشت رط لتحديد شيء بل لو زاد الرابعة لغ ،ل ف الوعيد لدخ لل ،ي
حديث الوارد القربة ل يما إذا قصد ب ت "،ر الوضوء عى الوضوء نو " لهو حديث :ق هذه الريلاية ،للعل المصنيف ضعيف يأت بسط ذل .أشار إ ك ف ألل ت فسي المائدة ل
ت عا أن بقي من العضو ش .إن شاء الل من ذلك ما لو ع الماء ف ليست ث يصب يء ف قط ا لئل ،رئ بعد الفراغ فل لأما مع الشك الطا ،لمرات أل ب عضها فإن ي غسل موضع
واس المذموم الو احلال إ .يؤلل ب
Selain menyajikan perdebatan teologis dan pandangan pengikut madhab
tertentu, ia juga memberikan sejumlah kritik terhadap pemahaman muḥaddith lain, hal
ini dapat dilihat dalam komentarnya berikut:56
ما لهو مشتغل() :ق ول ئل ع عى بب من نبي الت مص ي أما ،أدب العا لالمت ع من ت رك زجر السائل العا أل ل ، فما تضمن ت و ى ما كان بل أدب بلعراض عن حت ا لن من العراب له جفاة ،في ف رفق ب جواب ؤال ،ث رجع إ لفي العناية بواب
واب السائل للو يكن السؤال مت عيينا لل ا ، ي من أدب السائل لأما المت ع ن فما تضمم لهو مشتغل بغيه لن حق اللل مقد أخذ الدرلس ع ،أن ل يسأل العا ى لي ؤخذ من
،لكذلك الفتالى لاحلكومات لوها ،السبق مراجعة العا لفي ما ييب ب ي فه إذا ،حت ي تضح بن حبان "،كيف اضاعتها" :لقول ي إبحة إعفاء المسئول عن " :لب وب ع
"جابة عى الفور ال يا ق القصة يدل عى أن ذلك ليس عى ال إشارة ،ل ق للكن لفيؤال لجواب أن الع :لمن ث قيل ،إ .حسن السؤال نصف العرمها ف الطبة ف قالوالقد أخذ بظاهر هذه ا ل ن قطع الطبة :لقصة مالك لأحد لغي
ائل ،لسؤال مهور ب ي أن ي قع ذل ،بل إذا ف رغ ني ب ر لفصل ا ك ف أث ناء لاجباتا ف ي ؤخيواب ف ،لالل حينئذ الت فصيل ، الواجبات ف يجيب أل ف غي ،ا ب فإن كان ما ي هت
ين الط ،أمر الدي ث يت يما إن اختص بلسائل ف يستحب إجاب ت لكذا ب ي الطبة ،بة لل جب ما ي قتضي ت قدمي لكذا قد ي قع ف أث ناء الوا ،لإن كان بلف ذلك ف ي ؤخر ،لالصلة واب تأنف عى الصحي ،ا من اخ ،لكن إذا أجاب ا تلف الحاديث لي ؤخذ ذلك ك
56 Al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz I, h. 254
60
ة ف ي ؤخر فإن كان السؤال من المور الت ليست معرف ت ها عى الف ،الواردة ف ذلك ور مهم ...كما ف هذا
e) Menggunakan multi disiplin ilmu
Menjelaskan hadis tentu membutuhkan integrasi antar ilmu pendukung untuk
memberikan pemahaman hadis yang menyeluruh, usaha ini pula yang digunakan al-
Hafiẓ Ibn Ḥajar dalam menerangkan hadis.
Menjelaskan perbedaan matan pada hadis,57 menjelaskan adanya nasikh
mansukh pada hadis tertentu,58 menjelaskan Wajḥ al-Istidlāl dengan ayat yang tersebut
dalam riwayat hadis,59 menjelaskan Asrār al-Taqdim wa al-Takhir dalam sabda Nabi,60
menunjukan Istidlal hadis terhadap sebuah hukum fikih.61
Pada perangkat yang digagas al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī menunjukan
variariasi yang membedakan ia dengan ulama-ulama klasik pada masanya dalam
berupaya memahami hadis Nabi, ia menyuguhkan penjelasan yang cukup lengkap
dengan disertai dalil naqli dan logika yang baik. Dan pemaparan seperti di dalam
kitabnya tidak kita temukan pada ulama-ulama sebelumnya.
Semasa dengan Ibn Ḥajar, hidup pula ahli hadis lain yang mensyarahi kitab Ṣaḥīḥ
al-Bukhārī yakni Badr al-Dīn al-‘Ainī (w. 855 H) yang menyusun kitab ‘Umdah al-
Qarī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī .62 Ia juga merupakan sahabat dekat Ibn Ḥajar, meski
57 Al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz I, h. 94 58 Al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz I, h. 99 59 Al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz I, h. 102 60 Al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz I, h. 115 61 Al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz I, h. 407-408 62 Badru al-din Abī Muḥammad Maḥmūd bin Aḥmad al-‘Aynī, ‘Umdah al-Qārī Sharḥ Ṣaḥīḥ
al-Bukhārī, (Beirut : Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001)
61
terbilang amat dekat tetapi keduanya tetap mengkritisi satu sama lain dan juga saling
menerima ilmu satu sama lain.63
Dalam kategori pemaparan isi kitabnya, jika dianalisa Badr al-dīn al-‘Ainī
menggunakan pemaparan yang berbentuk metode muqārin.64 Hal ini terlihat dari
adanya perbandingan antara berbagai riwayat yang setema maupun semakna, serta
perbandingan pendapat ulama. Upaya pendekatan yang teranalisa dalam kitab ini lebih
menonjol kepada pendekatan bahasa, ini dikarenakan Badr al-dīn al-‘Ainī menjelaskan
cukup detail mengenai hal ini, mencakup makna perkata dan perkalimat disertai kaidah
bahasa pula baik itu nahwu, sharaf, ilmu badī’, dll. Dalam sistematika penulisan
kitabnya berdasarkan bab pembahasan yang sama dalam kitab Ṣaḥīḥ al-Bukhārī.65
Dalam menguraikan dan memahami hadis sejumlah langkah diterapkan olehnya,
diantaranya: (a) Menjelaskan tema bab yang akan dibahas. (b) Menjelaskan sanad hadis
dengan penjelasan nama seluruh rijal al-hadīth nya. (c) Menjelaskan kaidah bahasa
dalam kata dan kalimat, dan balaghah. (d) Menjelaskan Ṣighat taḥammul wa al-Adā’
(metode periwayatan). (e) Terkadang juga menjelaskan cara baca rawi, menghindari
salah baca nama. (f) Serta membandingkan dan mengkorelasikan pendapat-pendapat
serta hal-hal yang dibicarakan dalam hadis itu, baik dengan al-Quran, Hadis, ulama
lain, dan menunjukan posisi pendapatnya pula.66
Secara khusus memang kurang al-‘Ainī memampakkan posisinya dalam
memberikan pemahaman dalam hadis, kecenderungannya merujuk kepada sejumlah
63 M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis, (Yogyakarta : UIN Suka Press, 2012), h.
181 64 M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis, h. 181 65 Hal ini dapat dilihat dari bab per bab yang mengikuti sistematika penyusunan yang dilakukan
al-Bukhārī. 66 M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis, h. 187-190.
62
tokoh dan pendekatan yang ia gunakan berkisar dalam ranah kebahasaan saja.67 Dan
terkadang pula juga dilengkapi pendapat pribadinya pula.
Beberapa tawaran metode ditawarkan oleh para ulama klasik mulai dari al-Shāfi’ī
hingga pembahasan terakhir di atas yakni Badr al-Dīn al-Aynī, dapat disimpulkan
bahwa ulama klasik memang diidentikkan dengan sejumlah pembahasan dan
pemaparan masalah fikih yang cukup panjang, dominasi paradigm fikih pada masa itu
membentuk pemahaman bercorak fiqhi yang bukan hanya mempengaruhi pada segi
tafsir pada al-Qur’an bahkan hingga kodifikasi dan pemahaman atau Sharḥ pada hadis.
Tabel 3.2 Perbandingan Metode Pemahaman Periode Klasik
METODE PEMAHAMAN HADIS PERIODE KLASIK
Tokoh Metode Basis Orientasi
Al-Shāfi’ī
(w. 204 H/820 M)
Metode yang
dipaparkannya berkaitan
erat dengan metode
penafsiran al-Qur’an.
Metodenya masih sangat
sederhana menyajikan
data (al-Jam’u),
menggunggulkan salah
satu naṣ (al-Tarjīh), dan
penghapusan atau
pembatalan suatu dalil
(al-Nasakh).
Mukhtalif al-
Hadīth
Terlihat dalam
pembahasannya
keseluruhan
pertentangan terjadi
pada ranah fikih
(hukum) maka dapat
disimpulkan corak
yang dominan
adalah fiqhi.
Ibn Qutaibah
(w. 276 H/889 M)
Metode yang
dipaparkannya secara
tidak langsung seperti
mengembangkan apa
yang telah dilakukan al-
Shāfi’ī, tetapi ia lebih
memilih mendahulukan
al-Jam’u, kemudian ia
berikan ta’wil kepada
hadis yang bertentangan
baik satu atau keduanya
dengan memperkuat
ta’wilnya dengan al-
Qur’an, hadis lain, bait
Mukhtalif al-
Hadīth
Meski corak fiqhi
masih mendominasi
pada karyanya, akan
tetapi pembahasan
pada pokok bahasan
lain juga ada dalam
kitabnya, sehingga
bisa dikatakan
dominasi fikih agak
sedikit bergeser ke
ranah pembahasan
lain semisal
mengkritisi aqidah
63
syair, logika, fakta
sejarah, ilmu
pengetahuan. Ketimbang
menggunakan al-Tarjih
dan al-Nasakh yang
dinilainya sebagai
alternatif terakhir jika
memang tidak
memungkinkan untuk
dita’wilkan.
Selain itu pembagian
sunnah kepada tiga
kategori juga menjadi
aspek tambahnya, sunnah
jibril, sunnah ibāhah dan
sunnah ta’dib.
pada beberapa aliran
kalam.
Ibn Ḥibbān
(w. 354 H/965 M)
Metode yang tidak biasa
ditemukan dalam karya
ulama ini, karena bentuk
kitabnya yang seperti
kitab induk hadis tetapi
pembagian yang
dilakukannya dengan
cara memetakan
kategorisasi perintah,
larangan, pilihan,
kebolehan,
Pengkategorian
sifat hadis Nabi
Fiqh Oriented dalam
pembagiannya yang
mayoritas membahas
tentang masalah
hukum, mulai dari
hadis yang
menunjukkan satu
hukum, hingga tiga
hukum dalam naw’
tertentu.
Al-Nawawī
(w. 676H/1277M)
Metode yang
digunakannya meliputi:
mengumpulkan matan
hadis yang terkait dengan
hadis yang sedang
dijelaskan,
mengelaborasi makna
kalimat melalui
perbandingan, dan bukan
hanya membandingkan
analisis redaksional saja,
tapi mencakup penilaian
periwayat, kandungan
hadis, serta berbagai hal
yang dibicarakan dalam
hadis. Penjelasan tentang
rijal al-hadīth jika
memang diperlukan,
serta menghadirkan
perbandingan dari ulama
fikih yang dihasilkan dari
kandungan hukum yang
terdapat dalam hadis.
Penelitian
perbandingan fikih
Penjelasannya yang
berkisar tentang
masalah fikih dan
perbandingan
pendapat baik fikih
atau lainnya.
64
Al-Qarāfī
(w. 684H/1285M)
Metode yang ia gunakan
adalah membagi sunnah
nabi menjadi dua, Tasyri’
Umum dan Tasyri’
Khusus (Fathī ‘Abd al-
Karīm) sedangkan ulama
lain ada yang menyebut
dengan sunnah Tasyri’
dan non-Tasyri’.
Dan dalam hal ini ia
mengelompokkannya ke
dalam tiga kategori:
kehakiman (al-Qaḍā’),
keagamaan (al-Fatwā),
politik (al-Imāmah).
Pemilahan Posisi
Nabi
Mulai ada
pengelompokkan
mana sunnah yang
mengandung fikih
(hukum) dan yang
tidak.
Ibn Ḥajar Al-
‘Asqalānī
(w. 852H/1449M)
Metode yang cukup
lengkap disajikannya
dalam kitab sharḥ nya,
dengan meliputi:
Aspek bahasa mulai dari
etimologis dan
terminologis, istilah
tertentu, menerangkan
makna majaz dan haqiqi.
Memperhatikan aspek
sejarah, merujuk pada
sejumlah referensi,
menampilkan perdebatan
akademik baik teologis,
fikih, maupun ahli hadis
lain. Dan juga
memberikan penjelasan
dengan menautkan multi
disiplin ilmu yang
berkaitan.
Penelitian
Komprehensif
Orientasi mulai
berkembang, meski
masih didominasi
fikih akan tetapi
pembahasan
dilengkapi dengan
aspek diluar fikih
pula.
Badr al-Dīn al-
Aynī
(w. 855H/1452M)
Karya ini hadir dalam
satu kurun yang sama
dengan al-‘Asqalānī,
akan tetapi ada
perbedaan metode
pemaparan yang lebih
berciri muqarin dalam
karya al-Aynī ini.
Metode yang
digunakannya dalam
mensyarahkan hadis nya
meliputi: menjelaskan
teman yang dibahas,
memaparkan sanad dan
seluruh nama rijal al-
Penelitian
Komprehensif
(perbandingan)
Orientasi mulai
berkembang, meski
masih didominasi
fikih akan tetapi
pembahasan
dilengkapi dengan
aspek diluar fikih
pula.
65
hadīth, menjelaskan
kaidah bahasa dalam kata
dan kalimat dilengkapi
balaghahnya,
menjelaskan ṣighat
taḥammul wa al-adā’,
menjelaskan cara baca
rawi, dan menjelaskan
dan membandingkan
pendapat-pendapat serta
hal-hal yang dibicarakan
dalam hadis baik dengan
al-Qur’an, hadis, ulama
lain, serta dilengkapi
pendapatnya pula.
b. Karakteristik Metode Pemahaman Hadis
Pemahaman pada masa klasik ini menunjukan kepada kita sebuah pola dan
ketaraturan pemikiran fase awal yang muncul dari kegelisahan adanya kontradiktif
antar hadis Nabi, serta penentuan posisi Nabi dalam menentukan role model mana dan
motif apa yang sedang dilakukan Nabi sehingga berimplikasi terhadap pemahaman
yang akan kita pahami.
Karakteristik pada masa klasik ini bisa dicirikan dengan kentalnya pemahaman
yang berdasarkan dalil-dalil naqli bercorak fiqhi meski tidak secara keseluruhan isi
pembahasan bercorak ini, tetapi agaknya hegemoni fikih dalam dunia hadis telah
mendominasi dari awal periwayatan dan pengkodifikasian yang menyebabkan awal
perumusan metode dan pendekatan masih berputar pada masalah hukum dan legitimasi
hukum.68
Pada masa ini upaya penjelasan yang dilakukan cenderung menyesuaikan kepada
tema-tema pada kitab induknya, hal ini dapat dilihat dari penjelasan atau pensyarahan
68 Rifqi Muhammad Fatkhi, “Dominasi Paradigma Fikih Dalam Periwayatan dan Kodifikasi
Hadis”, Jurnal Ahkam, Vol. 12, no. 2, (Juli 2012), h. 99-108
66
terhadap kitab induk hadis, khususnya yakni Kutub al-Sittah,69 yang memang tidak jauh
berbeda dengan tema yang telah dirumuskan dalam kitabnya induknya, dan upaya
pemaparan yang dilakukan pula masih merujuk ke dalam bentuk asli (bentuk utuh) dari
tema yang disajikan kitab induknya sehingga dalam penentuan tema kurang menjadi
konsentrasi dalam pensyarahan pada fase klasik terhadap kitab induk. Bentuk
pensyarahan pada fase ini setidaknya merujuk pada tiga metode penjabaran, yakni
Taḥlili, Ijmāli, dan Muqārin.
Pendekatan yang digunakan pada fase ini pula masih menggunakan pendekatan
yang cukup sederhana, mengingat ilmu pengetahuan yang belum berkembang
sedemikian rupa sehingga pendekatan yang dominan pada ranah kebahasaan dan
historisitas sebuah hadis, meski ada beberapa tambahan pada penjelasan hadis dengan
menggunakan konsen yang berbeda sesuai latar belakang pensyarah.
Model pembacaan fase klasik pula bertujuan guna mencari dan menghasilkan The
Original meaning yang dimaksud dalam hadis, dan dalam pencarian meaning
pendekatan bahasa dan sejarah menjadi hal yang krusial karena pensyarahan agaknya
untuk mengkonfirmasi makna yang dimaksud oleh rasul dalam hadisnya, wacana ini
sering kali disebut paradigma positivisme70 sehingga dibutuhkan analisis yang
dikuatkan dengan dalil-dalil yang ada, mengingat pada fase ini kental akan penafsiran
bi al-Ma’thur dan sedikit dibumbui dengan penasiran bi al-Ra’yi juga.
Pemahaman sunnah yang di usung pada masa ini yang cenderung tekstual atau
bayāni71 memang telihat lebih praktis – untuk tidak mengatakan pragmatis- dan siap
pakai dalam menjawab problema sederhana sehari-hari, namun jika dipraktikkan secara
69 Suryadi, “Metode Pemahaman Hadis Nabi: Telaah atas Pemikiran Muhammad al-Ghazali dan
Yusuf al-Qaraḍāwi”, (Disertasi S3 Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004), h. 6 70 Paradigma Positivisme yaitu kecenderungan penafsiran yang sangat tergantung pada aspek
kebahasaan, semantic, gramatikal, dan problem-problem kebahasaan lainnya. 71 Dengan memberikan karakteristik Episteme Bayāni dan Burhāni. M. Alfatih Suryadilaga,
Metodologi Syarah Hadis (Yogyakarta : UIN Suka Press, 2012), h. xx
67
perkembangan jangka panjang, pendekatan ini tentu sulit untuk merespon realitas sosial
dan umat Islam yang terus berubah dengan cepat dan berbagai persoalan baru yang
membutuhkan pemahaman yang lebih dinamis, kreatif dan inovatif.72
2. Modern
Keinginan umat Islam untuk selalu mendialogkan sunnah Nabi agar terus
berkembang pemahaman sesuai dengan aktualitas zaman yang berjalan mendorong
sebagian ulama dan sarjana muslim dalam menyajikan seperangkat pendekatan baru
dalam memahami hadis Nabi.
Fase modern-kontemporer ini dapat dikatakan sebagai periode keemasan dalam
metode pemahaman hadis. hal ini tentu tidak berlebihan, dikarenakan kekayaan
pemikiran ulama/pengkaji hadis yang memfokuskan dalam kajian penelitan makna yang
secara tidak langsung juga ikut andil dalam membantu mengungkap makna yang
terkandung dalam hadis dengan perangakat dan pendekatan yang mereka hadirkan,
khususnya yang memang memfokuskan dalam metode, perangkat, pendekatan dalam
pemahaman hadis.
a. Klasifikasi Metode Pemahaman Hadis
Penggunaan aspek metodologis jauh lebih beragam ketika fase menginjak ke
masa Modern, hal ini dibuktikan dengan beragamnya metode yang hadir dalam
pengkajian tentang makna.
Dan diantara ulama, sarjana Muslim dan pengkaji hadis pada periode modern ini
yang mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap terciptanya pembaruan
72 Alamsyah, “Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam dalam Pemahaman Syahrur dan Al-
Qaraḍāwi”, (Disertasi S3 Ilmu Agama Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004), h. 31
68
pemikiran dalam islam –atau meminjam istilah Daniel w. Brown dengan basis kuat
kebangkitan islam73 dipetakan sebagai berikut:
1. Ibn ‘Āshūr (1296 H – 1393 H / 1879 M – 1973 M)
2. Fazlur Rahmān ( 1337 H – 1408 H / 1919 M - 1988 M )
3. Muḥammad al-Ghāzalī (1335 H – 1416 H / 1917 M – 1996 M)
4. Nasr Ḥamīd Abū Zayd (1362 H – 1431 H / 1943 M – 2010 M)
5. Muḥammad Syahrūr (1357 H / 1938 M)
6. Mohammed Arkoun (1346 H – 1431 H / 1928 M – 2010 M)
7. Yūsuf al-Qarḍawi ( 1345 H / 1926 M )
8. M. Syuhudi Ismail (w. 1996 M)
9. Ali Mustafa Yaqub (w. 2016)
Kerangka pemikiran modern-kontemporer yang tercipta dari keinginan
memahami sebuah teks dengan mengaktualisasi makna itu sendiri memberikan otoritas
kepada interpreter/penafsir/pemaham mengkaji makna lebih dalam, bukan hanya
sekedar melalui pendekatan kebahasaan. Akan tetapi jauh lebih luas dengan ikut
menarik pendekatan-pendekatan semisal bahasa, historis, sosiologi, sosio-historis,
antropologi, psikologi.
Pemikiran yang fresh hadir dalam upaya pemahaman konsep hadis dengan
mencari tujuan syari’ah nya (Maqāṣid al-Sharī’ah), hal ini seperti yang dilakukan Ibn
‘Āshūr yang tidak melepaskan diri dari kerangka fikir Uṣul Fikih yang masih berbau
klasik. Dan bahkan ia menggagas pandangan perlunya ada pemisahan antara Usul fikih
dan Maqāṣid al-Sharī’ah.74 Menurutnya Maqāṣid harus menjadi ilmu yang berdiri
sendiri,75 bersanding dengan ilmu-ilmu syari’ah lainnya.
73 Daniel W. Brown, Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2000), h. 74 M. Khoirul Huda, “Memahami Hadis Melalui Pemilahan Posisi Nabi saw, h.42 75 Muḥammad al-Ṭahir ibn ‘Asyūr, Maqāṣid al-Sharī’ah, h. 6
69
Bukti kapasitas Ibn Ashūr dalam bidang hadis adalah ia menghasilkan dua buku
dalam kajian ini, yaitu, al-Naẓar al-Faṣīḥ ‘Inda Maḍāyiq al-Anẓar fī al-Jāmi al-Ṣaḥīḥ
(jalan keluar dari kerumitan al-Jāmi al-Ṣaḥīḥ) dan Kasyf al-Mughaṭṭā Min al-Ma’ānī
wa al-alfaẓ al-Wāqi’ah fī al-Muwaṭṭa’ (Pembuka Tirai Makna dan Lafaẓ Kitab
Muwaṭṭa’) serta karya-karya lain dalam bidang sastra, Tafsir dan maqasid, juga dapat
menjadi pembuktian kemapanan keilmuannya.76
Dalam pemahamannya dia juga merujuk model pemahaman dengan melihat
motif Nabi menyabdakan hadis agar dapat dibedakan mana yang mengandung syari’at
atau tidak. Semisal al-Qarāfī, Syah wali Allāh al-Dahlāwī dan Mahmūd Syaltut. Dia
pula mengeritik sebagian fukaha yang hanya mengandalkan analisis bahasa dan
mengesampingkan konteks serta motif pensyariatan.77 Konsep pemahaman maqāsidi
yang akrab dengan ia, berpadu dengan konsep pemilihan motif sabda Nabi saw. dan
keterkaitannya dalam penentuan motif merupakan jalan menemukan maqaṣid al-
sharī’ah, ia menjadi semacam alat bantu mendeteksi dan menjelaskan posisi tashrī dan
non-tashrī.78
Ibn Ashūr mengapresiasi gagasan yang dicetus al-Qarāfi tentang kajian pemilihan
motif sabda Nabi, dengan menyebutnya langsung dalam alinea kitabnya, serta
menjelaskan tiga garis besar yang digagas oleh al-Qarāfi sebagaimana penulis paparkan
pada bagian fase klasik.79
Dengan berpedoman kepada rumusan yang telah ada Ibn Asyūr
mengembangkannya menjadi dua belas kategori dalam menentukan motif Nabi,
kategori-kategori tersebut yakni; al-tashrī’ (pembentukan syari’at agama), al-fatwā
(pemikiran/opini agama), al-qaḍa (putusan hukum), al-imārah (keputusan politik), al-
76 M. Khoirul Huda, “Memahami Hadis Melalui Pemilahan Posisi Nabi saw, h. 46 77 M. Khoirul Huda, “Memahami Hadis Melalui Pemilahan Posisi Nabi saw, h. 46 78 M. Khoirul Huda, “Memahami Hadis Melalui Pemilahan Posisi Nabi saw, h. 47 79 Muḥammad al-Ṭahir ibn ‘Asyūr, Maqāṣid al-Syarī’ah ….. , h. 25
70
hadyu (petunjuk), al-ṣulḥ (kontrak damai), ishārah ‘alā al-mustashīr (pertimbangan),
al-naṣīḥah (saran), takmīl al-nufūs (penguatan mental), ta’līm ḥaqā’iq al-‘āliyyah
(pengajaran nilai-nilai luhur), al-ta’dīb (pendidikan pekerti), al-tajarrud ‘an al-irshād
(pernyataan tanpa motif tertentu).80
Secara sederhana dapat kita kelompokan kepada tiga kelompok; keagamaan
(tashrī dan fatwa), sosiologis (imarāh, qaḍā, hadyu, ṣulḥ) dan masalah etis (muṣālaḥan,
ishārah, naṣīhah, takmil, ta’līm, ta’dīb, tajarrud). Hal ini menunjukkan bahwa tiga
tugas kehadiran para rasul dimuka bumi. Mereka diberi tanggung jawab untuk
meluruskan keyakinan teologis manusia, menyelesaikan problem-problem social umat
mereka, dan mengajarkan etika kepada mereka agar dapat menjalani kehidupan teologis
dan sosiologisnya secara sempurna.81
Pemahaman seperti ini di fase modern agaknya hanya mengembangkan sedikit
dari apa yang telah dirumuskan ulama pada masa klasik, yang jika ditelusuri upaya
pemahaman dan penafsiran dengan mengkonfirmasi keadaan awal dan makna awal
yang berorientasi retrospektif.82
Berlawanan dengan pemahaman berorientasi retrospektif yakni pemahaman
berorientasi prospektif.83 Dan hal ini ditemukan terhadap tokoh-tokoh setelah Ibn
80 Muḥammad al-Ṭahir ibn ‘Asyūr, Maqāṣid al-Syarī’ah ….. , h. 27 81 M. Khoirul Huda, “Memahami Hadis Melalui Pemilahan Posisi Nabi saw, h. 52 82 Orientasi Retrospektif ialah orientasi penafsiran/pemahaman yang cenderung bersifat mundur
kebelakang dan repetitive. Dan ada beberapa ciri khas orientasi retrospektif; pertama, hanya percaya
pada makna awal yang dipahami oleh audience awal di saat turunnya teks. Kedua, bahwa makna di masa
lalu seolah dapat melampaui seluruh konteks zaman yang terus dan selalu berkembang. Ketiga,
penafsiran/pemahamannya cenderung tekstualis, deduktif dan justifikatif. Keempat, cenderung
memaksakan makna suatu teks dalam konteks apapun, sehingga nyaris tidak ada dialektika antara teks
dan konteks. Kelima, cenderung menolak hermeneutic sebagai sebuah metodologi dan kritik terhadap
interpretasi. Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h.
23-24 83 Penafsiran/pemahaman berorientasi prospektik yaitu orientasi penafsiran/pemahaman yang
bersifat produktif dan progresif, yakni teks keagamaan harus selalu berdialog dengan realitas
perkembangan zaman (baca: konteks), tidak hanya ketika teks itu muncul di masa lalu, tetapi juga masa
sekarang. Ini memberikan arti bahwa seorang penafsir/interpreter dituntut selalu kreatif dan kritis melihat
konteks perubahan zaman, sehingga penafsiran/pemahaman selalu actual dan kontekstual. Abdul
Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 24-25
71
Ashūr yang mengaktualkan pesan-pesan agama menjadi suatu yang coba diterapkan
dengan melihat situasi zaman terakhir si pembaca, contoh pemikiran seperti ini dapat
kita lihat pertama –meski bukan yang pertama kali- dalam pemikiran hemeneutikanya
Fazlur Rahmān (w. 1988 M) yang mengembangkan teori gerak ganda (Double
Movement) yang melibatkan setidaknya tiga aspek; Teks, Konteks, dan
Kontekstualisasi. Isu basis kuat kebangkitan Islam yang dikelompokkan oleh Daniel
W. Brown dimulai dalam sekitar abad ke-19 dan abad ke-20,84 menjadikan pemikiran
Rahmān dikumpulkan dengan sarjana lain yang juga pada zaman dan fase ini.
Gagasannya Rahmān menganai Isu kebangkitan dan pembaharuan nilai-nilai
islam tradisional, agar secara agama, budaya, politik dan etika, islam mampu
menghadapi modernitas yang hadir di dunia begitu cepatnya.85
Pemikiran yang diintroduksi oleh Rahmān di atas memang secara khusus metode
ini bukan diperuntukkan pengkajian pemahaman hadis, melainkan sebagai cara untuk
memahami teks.86
Teori yang ia gagas yakni teori gerak ganda (double Movement) merupakan teori
yang diyakini mampu mengikis jurang perbedaan dan dapat menjadi solusi yang tepat
atas kesenjangan yang terjadi antara Islam dan modernitas. Gerakan tersebut terdiri
dari: pertama, berangkat dari situasi masa kini menuju kondisi sosio-historis dimana
naṣ diturunkan/muncul untuk menemukan jawaban spesifik terhadap situasi yang
spesifik. Kedua, mengeneralisasikan jawaban-jawaban yang spesifik tersebut menjadi
prinsip umum untuk dihidupkan pada masa kini.87
84 Daniel W. Brown, Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2000), h. 85 Ghufron A. Mas’adi, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1997), h. 6 86 Teori ini dipaparkan Rahmān dalam karyanya Islam & Modernity: Tranformation of an
Intellectual Tradition, (Chicago-London: University of Chicago Press, 1992). 87 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Tranformasi Intelektual, terj. Ahsin
Muhammad (Bandung: Pustaka, 1995), h. 7-8
72
Diagram 3.1 Teori Double Movement Fazlur Rahman
Langkah gerak ganda yang harus ditempuh:
1) Gerakan pertama mencakup dua alur didalamnya, sebagai berikut:
a) Memahami arti atau makna suatu pernyataan naṣ dengan mengkaji situasi
atau problem historis dimana pernyataan naṣ tersebut merupakan
jawabannya dengan mengkaji situasi makro dalam batasan-batasan
masyarakat, agama, adat-istiadat, lembaga, bahkan keseluruhan
kehidupan masyarakat di jazirah Arab, untuk mengetahui situasi lahirnya
naṣ tersebut dan dalam sebab apa naṣ tersebut dikeluarkan.88
b) Menggeneralisasikan tujuan-tujuan yang bersifat khusus dan
menyatakannya sebagai ungkapan-ungkapan yang memiliki tujuan moral
social umum, atau dengan kata lain adalah “berfikir dari aturan-aturan
legal spesifik menuju pada moral social yang bersifat umum yang
terkandung didalamnya.89
2) Gerakan kedua dari teori ini adalah mengkontekstualisasikan pandangan-
pandangan umum (yaitu yang disistematisasikan melalui gerakan pertama)
menjadi pandangan-pandangan yang spesifik yang harus dirumuskan dan
direalisasikan pada masa sekarang ini. Artinya ajaran yang bersifat umum
88 Rahman, Islam dan Modernitas : Tentang Tranformasi Intelektual, h. 7 89 Rahman, Islam dan Modernitas : Tentang Tranformasi Intelektual, h.7
Masa Kini Sosio-
Historis
Naṣ
2
1
73
tersebut harus dirumuskan dalam konteks sosio-historis yang kongkret pada
waktu sekarang.90
Sekilas penjelasan tentang metode double movement yang memberikan
pemahaman dengan menarik kenyataan pada zaman sekarang jauh lebih penting dalam
memahami pesan moral yang terkandung dalam hadis,91 terlepas dari aspek sakralitas
yang selalu dijunjung ulama konservatif.92 Sehingga relatifitas pemahaman akan selalu
terjadi seiring waktu yang terus berjalan dan zaman yang terus berkembang.93
Fokus kajian sempat terlihat kembali mundur sedikit, pematangan konsep
pemikiran pada kritisasi dan melemahkan matan yang terlihat janggal dan aneh dengan
berpatokan pada al-Qur’ān meski hadis-hadis itu dianggap sahih oleh para ulama hadis
dikemukakan oleh Muḥammad al-Ghazālī (w. 1996 M) dengan gagasan-gagasan
pemikiran berdasar petunjuk al-Qur’ān dalam kitabnya al-Sunnah al-Nabawiyyah
baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Ḥadīth.94 Dan gagasan ini dipuji karena upaya
kontekstualisasi metode pemahamannya tentang sunnah Nabi oleh pemikir Indonesia
M. Quraish Shihāb karena menyajikan penjelasan tetang sunnah Nabi terhadap
berbagai persoalan kekinian yang dibahas secara proporsional.95
90 Rahman, Islam dan Modernitas : Tentang Tranformasi Intelektual, h.8 91 Atau lebih sering ia menyebutnya sebagai “sunnah yang hidup”, “formalisasi sunnah” atau
“verbalisasi sunnah”, dan oleh karenanya harus bersifat dinamis. Hadis Nabi harus diTafsirkan secara
situasional dan diadaptasikan ke dalam situasi dewasa ini. Lih. Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad,
terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1984), h. 38-131.; Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan
Modernitas (Bandung: Mizan, 1990), h. 165-168 92 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: PT. LKiS Printing
Cemerlang, 2012), h. vii. Atau pada beberapa kesempatan lain melabeli dengan kata Tradisional, klasik,
tekstualis. 93 Suryadi, “Metode Pemahaman Hadis Nabi: Telaah atas Pemikiran Muhammad al-Ghazali dan
Yusuf al-Qaraḍāwi”, (Disertasi S3 Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004), h. 7 94 Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis atas Hadis antara Pemahaman Tekstual dan
Kontekstual, terj. M. al-Baqir (Bandung: Mizan, 1996) 95 M. Quraish Shihab, “Kata Pengantar” dalam Muhammad al-Ghozali, Studi Kritis atas Hadis
antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, terj. M. al-Baqir (Bandung: Mizan, 1996), h. vii-xii.
74
Terlepas dari beberapa pujian, banyak pula yang mengkritik dengan gagasan yang
ia lontarkan.96 Keberaniannya dalam menegakkan kembali otoritas al-Qur’ān atas hadis
dikarenakan pada dasarnya al-Qur’ān memang memiliki kedudukan yang lebih tinggi
daripada hadis, namun amat sangat disayangkan pada taraf praksisnya justru hadislah
yang lebih berkuasa. Setidaknya fenomena ini tercermin dalam pendapat al-Shāfi’ī
yang menyatakan bahwa sunnah tidak dapat dibatalkan oleh al-Qur’ān, sebab sunnah
membuat perintah-perintah al-Qur’ān yang bersifat umum menjadi lebih spesifik.97 Hal
ini tentu mengindikasikan bahwa betapapun sumber pertama (al-Qur’ān) tidak dapat
mengalahkan sumber kedua (hadis).
Tujuan utama yang hendak dicapai ialah untuk membawa kembali hadis kepada
tempatnya yakni dibawah pengayoman prinsip-prinsip al-Qur’ān. Al-Ghāzalī
menunjukkan teladan sahabat yang sangat kritis pada hadis berdasar prinsip al-Qur’ān,
hal ini tercermin dalam sanggahan ‘Aisyah melalui sikapnya pada riwayat bahwa orang
yang meninggal diazab atas tangisan keluarganya.98 Riwayat tersebut tentu kontradiksi
dengan ayat al-Qur’ān yang menyebukan bahwa seseorang tidak akan menanggung
dosa orang lain.99 Dengan ketegasan dan keberaniannya pula ‘Aisyah menolak
periwayatan suatu hadis yang bertentangan dengan al-Qur’ān.
96 Lumayan banyak karya yang membahas dan mengkritik metode pemahaman Muhammad al-
Ghazali, diantaranya: Abū Islām Musthafā Salāmah dengan bukunya Barā’ah Ahl al-Fiqh wa al-Hadīth
wa Auham Muḥammad al-Ghazali; ‘Abd al-Karīm bin Shāliḥ al-Ḥumaidī dengan I’anah al-Muta’āli li
radd al-Ghazālī; A’idh bin Abd Allāh al-Qarnī dengan bukunya al-Ghazāli fi Majlis al-Inṣāf; Salmān
bin Fahd al-‘Audah dengan bukunya Fī Ḥiwār Hādi’ ma’a Muḥammad al-Ghazālī; Rabi’ bin Hādī al-
Madkhalī dengan judul Kasyf Mauqif al-Ghazālī min al-Sunnah wa Ahlihā wa Naqd ba’dhi Arā’ihi; Lih.
Suryadi, “Metode Pemahaman Hadis Nabi: Telaah atas Pemikiran Muhammad al-Ghazali dan Yusuf al-
Qaraḍāwi”, ( Disertasi S3 Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004), h. 9 97 Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought, (Cambridge: Cambridge
University Press, 1996), h. 116 98 Redaksi hadisnya sebagai berikut:
ي ع إن المييت لي عذب ببكاء أه“Sesungguhnya mayit disiksa karena tangisan keluarganya” H.R. al-Bukhari no. hadis 1206,
1208, 3681. Muslim no. hadis 729-932. 99 Hal ini sebagaimana termaktub dalam al-Qur’ān surah al-an’am [6]: 164.
أخرى لزر لل تزر لازرة
75
Berangkat dari polemik sedemikian rupa yang dihadirkan al-Ghāzalī dalam
karyanya, setidaknya contoh di atas menunjukkan bahwa periwayat terbaik (sahabat)
sekalipun melakukan kesalahan, dan sarana atau cara yang terbaik untuk memperbaiki
kesalahan itu adalah dengan mengkonfirmasikan matan tersebut dengan ajaran-ajaran
al-Qur’ān.100 Metode ini terlihat digunakan pada masa-masa awal oleh para sahabat
dan faqih yang berpedoman apabila suatu riwayat tersebut ditemukan bertentangan
dengan al-Qur’ān, maka riwayat tersebut akan kehilangan kesahihannya, meskipun
sanadnya kuat.101 Dan jika kita mengesampingkan prinsip yang dibangun oleh al-
Ghāzalī, maka seseorang itu akan tersesat. Karena pada dasarnya sebagaimana kita lihat
elemen air yang terdiri atas dua unsur yang saling melengkapi yakni Hidrogen dengan
Oksigen (H2O), begitupula otoritas hadis harus sejalan dengan al-Qur’ān.
Lanjut al-Ghāzalī bahwa al-Qur’ān adalah kerangka yang hanya dengan berada
dalam batasannya saja kita dapat mempraktekkan hadis, bukan melampauinya. Ia pun
mengecam bahwa barang siapa yang menganggap hadis lebih berwenang daripada al-
Qur’ān, atau bisa menghapus hukum-hukum didalamnya, maka ia adalah seorang yang
telah dimanipulasi/tertipu (maghrūr).102 Agaknya teguran keras yang dilancarkan oleh
al-ghāzali dapat memberikan sebuah pengertian bahwa memahami hadis mempunyai
indikator yang jelas, yakni harus sejalan dengan al-Qur’ān, dan penafsiran al-Qur’ān
sendiri mengalami eskalasi yang cukup signifikan pada masa modern-kontemporer
dengan mengadopsi berbagai perangkat pengetahuan baru sehingga pada akhirnya
upaya memahami yang digagas al-ghāzalī yang sangat berpedoman kepada petunjuk
Lih. Muḥammad al-Ghazali, Analisis Polemik Hadis, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), h. 4. Dan
juga beberapa ayat lain yang mengindikasikan hal yang sama, yaitu: al-isra’ [17]: 15; Fatir [35]: 18; al-
zumar[39]: 7; dan al-najm [53]: 38.
100 Muḥammad al-Ghazali, Analisis Polemik Hadis, h. 121 101 Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought, (Cambridge:
Cambridge University Press, 1996), h. 117 102 Muḥammad al-Ghazali, Analisis Polemik Hadis, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), h. 148
76
al-Qur’ān menjadi sesuatu yang dinamis dan dapat diterapkan untuk setiap zaman
dikarenakan nilai-nilai universal yang fokus dikaji pada masa ini.
Nasr Hamid Abu Zayd (w. 2010 M) lebih jauh mengulas posisi teks yang
mengambil peranan yang cukup signifikan dalam peradaban Arab-Islam, akan tetapi
dia menegasikan pandangannya bahwa bukan berarti teks yang membentuk dan yang
menumbuh-kembangkan peradaban. Proses dialektika yang terjadi antara manusia dan
realitasnya lah (Jadal al-insān ma’a al-wāqi’i) yang amat sangat berperang penting
dalam melandasi dan menanamkan asas epistemologi dari suatu kebudayaan, dan hal
ini meliputi aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya pada satu sisi, dan proses dialog
kreatif manusia yang terjalin dengan teks pada sisi yang lain (wa hiwāruhu ma’a al-
naṣ).103
Abu zayd pada dasarnya mencoba menggunakan analisa hermeneutika konstruktif
dalam berbagai kajian al-Qur’ān (teks keagamaan) yang dilakukannya.104 Dia
mengindentifikasi bahwa masalah mendasar dalam kajian islam adalah masalah seputar
penafsiran teks secara umum, teks historis maupun teks keagamaan, semisal al-Qur’ān
dan Hadis. dan dalam kajian ini abu zayd menganggap hermeneutika berkontribusi pada
peralihan perhatian penafsiran al-Qur’ān ke arah penafsir (mufassir).
Paling tidak ada tiga aliran utama dalam aliran hermeneutika, Pertama, Aliran
Obyektivis (hermeneutika romansis) yaitu aliran yang menekankan pada aspek
pencarian makna asal dari objek kajian (penafsiran/pemahaman), dan dalam aliran ini
juga menekankan pada pengamatan terhadap psikologi pengarang. Tokoh dalam aliran
ini misalnya F. Schleiermecher dan Dilthey. Kedua, Aliran Subyektivis yaitu aliran
yang menekankan pada peranan penafsir/pemaham untuk memberikan pemaknaan
103 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’ān: Kritik terhadap Ulumul Qur’ān, (
Yogyakarta, IRCiSoD dan LkiS, 2016), h. 1, 5-8 104 Kusmana, “Hermeneutika Humanistik Nasr Hamid Abu Zayd : al-Qur’ān sebagai wacana”,
Kanz Philosophia, Vol. 2, no. 2 (Desember 2012), h. 267
77
terhadap teks. Ketiga, Aliran Obyektivis cum Subyektivis, yaitu aliran yang
memadukan kedua aliran yang disebutkan sebelumnya. Aliran ini memberikan
keseimbangan antara pencarian makna asal dan peran pembaca atau penafsir.105 Tokoh
dalam aliran ini misalnya, H. G. Gadamer dan Gracia.106
Dengan melihat pengkategorian di atas, maka menurut penulis Nasr Hamid Abu
Zaid masuk kedalam aliran yang ketiga yaitu aliran obyektivis cum subyektivis. Hal ini
dapat diketahui penafsiran/pemahaman yang diberikannya tidak hanya berkutat pada
pencarian makna yang sesuai dengan maksud pengarang atau dengan kata lain meneliti
psikologi pengarang.107 Menurutnya perlu adanya suatu metode baru yang mampu
melihat aspek-aspek diluar teks itu sendiri dan pendektan kebahasaan/linguistik.108 Dan
pemikiran ini tentu tidak muncul sendirinya, akan tetapi dipengaruhi oleh gurunya yaitu
amin al-khuli.
Paradigma yang dilontarkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid bahwa “teks kebahasaan
dan realitas berperan membentuk teks itu.” Maka ditemukanlah gagasan yakni
mencoba merumuskan metodologi untuk mengungkap makna asli (meaning/ma’na)
teks keagamanan (al-Qur’ān dan Hadith), yang kemudian akan melahirkan makna baru
(significance/maghza). Ma’na merupakan dalalah yang dibangun atas dasar gramatikal
teks, sehingga makna yang dihasilkan adalah makna-makna gramatik atau singkatnya
yakni makna adalah apa yang direpresentasikan oleh teks, bersifat statis, dan digunakan
untuk melihat makna historis/makna awal. Sedangkan maghza menunjukkan pada
makna dalam konteks sosio-historis dan mengaitkan dengan peran antara makna dan
105 Nasr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif : Mengatasi Problamatika Bacaan dan Cara-
Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, terj. Muhammad mansur dkk, (Jakarta: ICIP, 2004), h.
3-63 106 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’ān, (Yogyakarta:
Nawasea Press, 2009), h. 26 107 Fikri Hamdani, “Nasr Hamid Abu Zayd dan Teori Interpretasinya”, Artikel jurnal tanpa
diterbitkan. Pasca sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, h. 3 108 Sunarwoto dkk, Hermeneutika al-Qur’ān Madzhab Yogya, (Yogyakarta: Islamika, 2003), h.
107
78
pembaca, bersifat dinamis dan sesuai dengan konteks yang mengitarinya, serta realitas
kekinian sebagai solusi atas permasalahan yang ada.109
Lebih lanjut ia menjelaskan teks keagamaan sebagai teks bahasa tidak cukup
hanya meneliti dan menganalisa bahasa secara inheren, bagaimanapun teks keagamaan
bukan hadir dalam masyarakat yang tidak memiliki budaya sama sekali, paling tidak
adanya asbāb al-nuzūl dan asbāb al-wurūd merupakan bukti bahwa teks keagamaan
merespon kondisi masyarakat pada saat itu.110 Oleh karena itu konteks budaya secara
luas yang saat itu berkembang merupakan persoalan yang sangat penting dan tidak bisa
ditinggalkan. Menurut Fazlur Rahman (w. 1988) perbedaan konteks dan dan metode
melahirkan pemahaman yang beragam seiring dengan perjalanan waktu. Oleh karena
itu pemahaman generasi muslim pertama terhadap pesan teks tidak dianggap sebagai
pemahaman yang final dan absolute. Karena bahasa selalu mengalami perkembangan
secara dinamis yang mengalami proses terus menerus. Hal ini berarti teks memiliki
makna yang berkembang menjadi signifikansi, atau dengan kata lain akan selalu terjadi
produksi makna. Dinamika makna teks tersebut membuat kemungkinan-kemungkinan
untuk menafsirkan teks secara terus menerus. Oleh karenanya, proses interpretasi tidak
akan pernah beraksi dan reinterpretasi selalu terjadi sepanjang masa.
109 Aksin wijaya, Arah Baru Studi Ulum al-Qur’ān; memburu pesan tuhan dibalik fenomena
budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009), h. 200. Penjelasan lebih lanjut Menurut Hirch yang dirujuk
oleh Nasr Hamid Abu Zaid bahwa bukanlah makna teks yang berubah, namun signifikansi (yang
berubah) bagi penulisnya. Perbedaan ini seringkali diabaikan. Makna adalah makna yang
direpresentasikan oleh sebuah teks; ia adalah apa yang dimaksud oleh penulis dengan penggunaannya
atas sebuah sekuensi tanda particular; ia adalah apa yang dipresentasikan oleh tanda-tanda. Signifikansi,
pada sisi lain , menamai sebuah hubungan antara makna itu dan seseorang, atau sebuah persepsi, situasi
atau sesuatu yang dapat dibayangkan.... Signifikansi selalu mengimplikasikan sebuah hubungan, dan satu
kutub konstan yang tak berubah dari hubungan itulah apa yang dimaksud oleh teks. Kegagalan untuk
mempertimbangkan pembedaan yang simple dan esensial ini telah menjadi sumber kekacauan yang luar
biasa dalam teori hermeneutika. Lih. Moch Nur Ichwan, Meretas kesarjanaan kritis; Teori Hermeneutika
Nasr Hamid Abu Zaid, (Jakarta: Teraju, 2003), h. 89. Atau Nasr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif
: Mengatasi Problamatika Bacaan dan Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, terj.
Muhammad mansur dkk, (Jakarta: ICIP, 2004), h. 61 110 Ali Imron dkk, Hermeneutika al-Qur’ān dan Hadis, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), h. 125
79
Dapat disederhanakan langkah-langkah yang digagas oleh Nasr Hamid Abu Zaid
sebagai berikut:
1) Menganalisa structur linguistic teks dan mencari fakta sejarah yang
mengelilinginya (asbāb al-nuzūl/ asbāb al-wurūd secara luas -makro-, asbāb
al-nuzul/ asbāb al-wurūd mikro).
2) Menentukan tingkatan makna teks.111
3) Menentukan makna asli teks (The Original Meaning).
4) Menentukan makna signifikansi (Significance)
5) Mengkontekstualisasikan makna historis dengan berpijak pada makna yang
tidak terkatakan.112
Gagasan Muḥammad Syahrūr (L.1938 M) yang cukup kontroversial mencuat
dalam karyanya al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirā’ah Muā’ṣirah, yang cukup menuai atensi
dikalangan internasional. Syahrūr mengistilahkan sunnah dengan tiga kriteria pokok,
Pertama, sunnah Nabi hanyalah bentukkan ijtihad Nabi dalam menerapkan hukum
tanpa keluar dari batas yang ditetapkan oleh Allah di dalam Umm al-Kitāb dan sangat
terikat dengan sifat lokal-temporal. Kedua, sunnah tidak bersifat mutlak dan tidak harus
diterapkan di semua zaman. Ketiga, sunnah sebagai usaha Nabi Saw dalam menerapkan
hukum-hukum Allah agar bisa dipraktekkan di zamannya menunjukkan bahwa kita
111 Menurut Nasr Hamid, ada tiga tingkatan makna yang perlu diperhatikan dalam teks-teks
keagamaan, tingkatan yang pertama adalah makna yang menuju pada fakta-fakta historis, yang tidak
dapat diinterpretasikan secara metaforis. Tingkatan yang kedua adalah suatu makna yang dapat
diinterpretasikan secara metaforis. Dan tingkatan yang ketiga adalah makna yang bisa diperluas
berdasarkan atas “signifikansi” yang dapat diungkap dari konteks sosio cultural dimana teks itu berada.
Moch Nur Ichwan, Meretas kesarjanaan kritis; Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid, (Jakarta:
Teraju, 2003), h. 89. Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: PT. LKiS
Printing Cemerlang, 2012), h. 77 112 Nasr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif : Mengatasi Problamatika Bacaan dan Cara-
Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, terj. Muhammad mansur dkk, (Jakarta: ICIP, 2004), h.
67
80
juga bisa dan lebih berhak menghasilkan “sunnah” yang cocok untuk kondisi kikinian
kita.113
Klaim pembaharuan yang ia gagas nampaknya menuai pro dan kontra dari
berbagai pihak, yang mendukung pemikiranya memang sebagian besr akademisi barat
semisal; Wael B. Hallaq (L.1955), Charles Kurzman dan bahkan Eickleman yang
menjulukinya sebagai Immanuel Kant dari bangsa Arab. Disamping itu banyak pula
yang kontras dan mengkritisi pemikirannya, memang kelompok ini didominasi oleh
para ulama dari dunia Arab, seperti: Said Ramaḍān al-Butī, Yūsuf al-Shaidawī, dan
bahkan tokoh yang disandingkan dengannya dalam hal dekonstruksi pembacaan nas
Agama, yakni Nasr Hamid Abu Zaid.114
Kecenderungan yang amat mencolok yakni ketika Shahrūr memandang sunnah
sebagai bentukan realitas, 115 yang berarti sunnah hanyalah respon Nabi Muhammad
atas realitas ketika itu dalam rangka mengaplikasikan hukum-hukum Allah agar bisa di
praktekkan dengan mudah. Secara teori dapat diungkapkan, dengan sejumlah
pengertian di atas bahwa Shahrūr ingin meyakinkan bahwa setiap realitas akan
membentuk pemahaman baru dan sunnah yang baru. Dan lebih keras lagi, ia
menganggap jika sunnah bukanlah otoritas kedua setelah al-Qur’ān dan bahkan
menuduh bahwa pengkultusan sunnah dilakukan oleh imam-imam fikih saja.116
113 Qaem Aulassyahied, “Studi Kritis Sunnah Muhammad Syahrur”, Jurnal Kalimah, Vol. 13,
no. 1 (Maret 2015), h. 129. 114 Nasr Hamid Abu Zaid, Mengurai Benang Kusut Teori Qur’ān Kontemporer, (Yogyakarta:
L eLSAQ Press, 2007), h. 9. Dan ia menyebut jika gagasan yang dihadirkan oleh syahrur bukanlah
gagasan yang orisinal dan baru. 115 Hal ini kita dapat mencermati apa yang ia tampilkan dalam pemahamnnya tentang hadis,
dengan membaginya dengan istilah sunnah al-Rasuliyyah dan Sunnah al-Nabawiyyah, tentu hal ini
seperti mengulang apa yang coba ditawarkan oleh al-dihlawi dengan sunnah risalah dan ghairu al-
risalahnya. Azhari Andi Dkk, “Reinterpretasi Sunnah : Studi Pemikiran Muhammad Syahrur terhadap
Sunnah”, Jurnal Living Hadis, Vol. 1, No. 1, (Mei 2016), h. 90 116 Muḥammad Shahrūr, Al-Sunnah al-Rasūliyyah wa al-Sunnah al-Nabawiyyah Ru’yah
Jadidah, (Beirut: Dār as-Syaqi, Cet. I, 2012), h. 87
81
Demi menguatkan dan mewujudkan klaim “pembaharuan” islamnya, Shahrūr
membangun metodologinya dengan berdasarkan prinsip-prinsip yang sangat berbeda
dengan epistemologi ilmuwan Islam tradisional.117 Hal ini mirip-mirip dengan apa yang
dilakukan oleh Fazlur Rahman dengan memahami realitas jauh lebih penting guna
mengkontekstualisasikan nilai dan mentransformasikannya ke bentuk yang lebih
relevan dengan keadaan sekarang.
Moḥammed Arkoun (w. 2010 M) dalam upaya memahami al-Qur’ān dan hadis
menawarkan metode yang berorientasi pada pemaknaan aktual terhadap al-Qur’ān dan
hadis.118 Arkoun dalam penelitiannya atas teks al-Qur’ān bertujuan mencari makna lain
yang tersembunyi, maka menurutnya untuk dapat merekonstruksi (konteks), harus ada
upaya dekonstruksi (teks).119 Dan ia termasuk intelektual muslim yang sangat berani
dalam menafsirkan al-Qur’ān bukan dari tradisi islam tetapi dengan menggunakan
metode yang di impor dari budaya barat.120
Ia menyuguhkan analisis semiotis sebagai suatu bentuk metode alternatif bagi
penafsiran al-Qur’ān, mengingat memang dalam karyanya bukan ditujukan untuk
memahami hadis, akan tetapi setidaknya sikap metodisnya dapat diterapkan kepada
sumber hukum lainnya yakni hadis.121 secara ringkas metode analisis semiotis dapat
dikemukakan sebgai berikut:
117 Dalam masalah ini pun dengan berani syahrūr mengakui bahwa tujuan dari karya-karyanya
adalah untuk melampaui metodologi Islam yang menurutnya sudah usang dan ketinggalan zaman. Ini
tentunya meniscayakan pembaharuan, terutama dengan melepas dan tidak mengikuti apa-apa yang telah
dirumuskan oleh ulama ushul fikih dan fikih selama ini. Muḥammad Shahrūr, al-Kitāb wa al-Qur’ān :
Qirā’ah Muā’ṣirah, (Damaskus: al-Ahali, 1990), h.31 118 Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru,
(Jakarta: INIS, 1994), h. 75 119 Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, h. 26 120 Hal ini setidaknya dapat ditemukan dalam kerangka berfikir yang ditetapkan dan cukup
berpengaruh atas analisis arkoun, tercatat ada beberapa tokoh barat yakni, Jacques Derrida, heidegger,
foucault, hingga ferdinand de saussure. Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan
dan Jalan Baru, h. 21-28 121 Dalam bukunya memang tidak secara konsen membahas tentang hadis dan pemahamannya
hanya upaya memberikan nalar dalam penafsiran al-Qur’ān, sejauh yang penulis temukan hanya
82
1) Proses Linguistik
Pada tahap ini dilakukan analisis linguistik terhadap proses pengajaran dalam
teks al-Qur’ān, yang melitputi dan mencakup data-data linguistik, yakni tanda-
tanda bahasa, termasuk bentuk determinan (faktor yang menentukan), kata
ganti, kata kerja, kata benda, susunan sintaksis, persajakan dan lain-lain.122
Karena setiap bahasa mempunyai tanda-tanda bahasa yang ikut mempengaruhi
proses produksi makna. Analisis ini diantaranya bermaksud untuk mengetahui
aktan-aktan, yakni pelaku-pelaku yang melaksanakan suatu tindakan yang ada
dalam teks.123
2) Analisis Hubungan kritis Ujaran-ujaran dalam teks
Sebagaimana dikatakan bahwa al-Qur’ān juga sebagai korpus terbuka. Karena
itu teks al-Qur’ān mesti difahami sebagai sesuatu yang mengatakan sesuatu,
mengungkapkan suatu komunikasi dan memberikan sesuatu untuk dipikirkan.
Isi komunikasi inilah yang harus dicari terus menerus, dan ia tidak cukup kalau
hanya dicari lewat analisis linguistik (tahap 1), melainkan harus dilanjutkan
dengan tahap pembacaan hubungan kritis, dimana pembaca harus menggunakan
pengetahuannya tentang tanda untuk mencari hubungan-hubungan antar suatu
tanda dengan tanda lainnya berdasarkan “subjektifitas yang imanen dalam
karya”.124 Namun, untuk menghindari kesewenang-wenangan,
pembaca/penafsir harus melihat secara adil terhadap karya-karya terdahulu.
pengulasan tentang posisi sunnah dengan bantuan imam al-Shāfi’ī. Arkoun, Nalar Islami dan Nalar
Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, h. 135-142. 122 Nasrudin, “Manhaj Tafsir Mohammad Arkoun”, Maghza Vol. 1, no. 1 (Januari-Juni 2016),
h. 91 123 Dalam Semiotika, analisis aktansial mengembangkan fungsi-fungsi penyusunan kata dalam
kalimat dengan melihat antar aktan (pelaku) yang memiliki 3 poros, Pertama; Subjek-objek, yakni siapa
yang melakukan apa. Kedua, pengirim-penerima; siapa yang melakukan dan untuk siapa, dan Ketiga,
pelaku pendukung-penentang subjek. Nasrudin, “Manhaj Tafsir Mohammad Arkoun”, Maghza Vol. 1,
no. 1 (Januari-Juni 2016), h. 91 124 Nasrudin, “Manhaj Tafsir Mohammad Arkoun”, Maghza Vol. 1, no. 1 (Januari-Juni 2016),
h. 91
83
3) Pembacaan Historis
Pembacaan pada tahap ini dimaksudkan untuk mengenali kode-kode (simbol-
simbol) linguistis, keagamaan, budaya, yang sepanjang ini telah digunakan
dalam pemaknaan dan penafsiran.125
4) Pembacaan Antropologis
Pembacaan antropologis digunakan untuk mengetahui asal-usul dan fungsi
bahasa keagamaan. Dengan cara ini maka akan bisa dekenali bagaimana bahasa
sesungguhnya berfungsi menguak cara berfikir dan cara merasa yang sangat
berperan dalam sejarah umat islam.126 Pada tahap ini, pembacaan dilakukan
dengan menanyakan apakah diluar batas kekhassan-khasan (kode-kode)
dogmatis, budaya dan lainnya, teks yang hendak kita Tafsirkan (baik parsial
maupun menyeluruh mengandung rujukan asal-muasal? Lalu apa
kaitannya/kekhassan-khasan sehubung dengan teks-teks al-Qur’ān tersebut?
Lewat eksplorasi antropologis ini arkoun memaksudkan untuk sampai pada
petanda trasendental, termasuk penggunaan mitos yang dapat memperlihatkan
bagaimana bahasa dipakai dalam berbagai simbol.127
Yusuf al-Qarḍawī menyajikan perangkat metode yang cukup komprehensif baik
secara ideal klasik dan modern progresif, bahkan sejumlah kalangan menyebutnya
dengan tokoh pemikir yang beraliran moderat-tradisional.128 Hal ini tentu tidak terlepas
dari usahanya untuk menengahi dan mengakomodasi perkembangan zaman dengan
125 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: PT. LKiS Printing
Cemerlang, 2012), h. 75-76 126 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 75 127 Nasrudin, “Manhaj Tafsir Mohammad Arkoun”, Maghza Vol. 1, no. 1 (Januari-Juni 2016),
h. 91 128 Suryadi, “Metode Pemahaman Hadis Nabi: Telaah atas Pemikiran Muhammad al-Ghazali
dan Yusuf al-Qaraḍāwi”, (Disertasi S3 Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004),
h. xii
84
pemahaman yang akan diberikan kepada sebuah teks dalam hal ini hadis.129 disamping
itu pula karya yang ia tawarkan ini menjadi pelengkap –untuk tidak menyebut sebagai
sanggahan dan klarifikasi kekaburan yang dikhawatirkan dapat membiaskan misi dasar
yang dibawanya- atas karya pendahulunya di lembaga internasional untuk pemikiran
islam, yakni, Muḥammad al-Ghāzalī.
Yūsuf al-Qarḍāwi dalam bukunya Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw130,
beliau menawarkan kajian kritik matan hadis yang dapat memberikan cakrawala dan
wawasan dalam hubungannya dengan ilmu hadis. Dalam rangka memahami makna
hadis dan menemukan signifikansi kontekstualnya, beliau memberikan delapan prinsip
atau cara untuk memahami hadis Nabi Saw,131 yaitu:
1) Memahami al-sunnah dengan kerangka petunjuk al-Qur’ān
Wacana dan gagasan mengenai pentingnya (perlunya) memahami hadis
berdasarkam kerangka petunjuk yang telah ditunjukan dalam al-Qur’ān
memang bukan hanya gagasan yang baru dibentuk oleh al-Qaraḍāwī saja,
melainkan beberapa metode terdahulupun tidak berlepas dari pentingnya
mendahulukan petunjuk dalam al-Qur’ān. Dan dalam buku al-Sunnah al-
Nabawiyyah Bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadīth memaparkan hampir pada
keseluruhan babnya dalam pentingnya pemahaman terhadap hadis Nabi Saw
untuk mempertimbangkan petunjuk-petunjuk al-Qur’ān.132
129 Dari kedelapan metode yang dipaparkannya, pendekatan yang cukup akomodatif ini terlihat
pada poin kelima, yakni membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan sasaran atau tujuan yang
tetap. Yūsuf al-Qarḍawī, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, penerj. M. Al-Baqir, (Bandung:
Penerbit Karisma, 1993), h. 147 130 Yusuf al-Qaraḍāwī, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, terj. Muhammad al-Baqir
(Bandung: Kharisma, 1993) 131 Pada penerapannya masing-masing cara (baca:metode) mempunyai keterkaitan dengan cara
dan langkah lainnya, dan bukan berdiri sendiri dalam upaya memahami esensi pesan yang terkandung,
dalam hal ini adalah matan/isi hadis. 132 Muhammad al-Ghazali, Studi Kritik atas Hadis Nabi Saw. Antara pemahaman Tekstual dan
Kontekstual, Terj. Muhammad al-Baqir. (Bandung: Mizan, 1996), h. 11
85
Al-Qur’ān menempati posisi utama dalam sumber-sumber hukum islam,
karena di dalamnya terdapat keseluruhan kerangka ajaran Islam. Sedangkan
hadis menempati posisi sebagai pemerinci dan penjelas atas segala prinsipil
yang ditunjukan al-Qur’ān, dengan kata lain penjelas hanya berupaya
menerangkan apa yang belum disebutkan dan tentunya tidak boleh ada
pertentangan dikarenakan kebakuan sifat al-Qur’ān. Maka dari itu, makna hadis
harus sejalan dengan apa yang ditunjukan al-Qur’ān dan segala petunjuknya.133
2) Mengumpulkan beberapa hadis yang menampilkan satu tema yang sama.
Untuk berhasil memahami as-sunnah secara benar, kita harus
menghimpun semua hadis ṣahīh yang berkaitan dengan suatu tema tertentu
menurut al-Qaraḍāwī. Lalu kembali memposisikan kandungannya yang
mutasyabih disesuaikan dengan hadis yang muhkam, mengaitkan yang mutlak
(terurai) dengan yang muqayyad (terbatas), dan menafsirkan yang ‘am dengan
yang khash. Dengan demikian barulah dapat dimengerti (dipahami) maksudnya
dengan lebih jelas dan tidak dipertentangkan antara hadis yang satu dengan yang
lainnya.134
Posisi as-sunnah yang telah ditetapkan sebagai sumber kedua dalam
Islam yang memberikan arti bahwa sunnah mempunyai otoritas dalam
menafsirkan al-Qur’ān dan menjelaskan makna-maknanya. Dalam artian secara
spesifik, sunnah merinci (mufassil) apa yang dinyatakan oleh al-Qur’ān secara
garis besrnya (mujmal), dan menafsirkan bagian-bagian yang kurang jelas.
Mengkhususkan apa yang disebutnya secara umum, dan membatasi (muqayyad)
apa yang disebutnya secara lepas (mutlaq). Maka hal ini, tentu harus diterapkan
133 Bustamin, M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2004), h. 90 134 Yusuf al-Qaraḍāwī, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, h.106.
86
antara hadis satu dengan yang lainnya. Jika hanya menghabiskan waktu terfokus
pada satu topik hadis tertentu seringkali menjerumuskan ke dalam kesalahan,
dan malah menjauhkannya dari kebenaran mengenai maksud sebenarnya dari
konteks hadis tersebut maka perlu dihimpun sebagaimana ketentuan di atas .135
3) Penggabungan atau pentarjihan antara hadis-hadis yang (tampaknya)
bertentangan
Hal ini berdasar pada pandangan yang menganggap tidak adanya
kontradiksi dalam naṣ-naṣ syariat, sebab suatu kebenaran tidak akan
bertentangan dengan kebenaran. Tetapi, jika memang di pandang adanya
pertentangan, maka hal itu hanya sebatas tampak zhahirnya (luarnya) saja,
bukan dalam kenyataan yang hakiki dan realitas. Dan apabila terdapat seperti
masalah di atas , maka kita wajib menghilangkannya dengan cara sebagai
berikut:
a) Penggabungan didahulukan sebelum pentarjihan
Sesuatu hal yang penting memahami as-sunnah dengan baik, yaitu dengan
cara menyesuaikan antara berbagai hadis sahih yang redaksinya tampak
seolah-seolah saling bertentangan, begitu pula makna kandungannya, yang
sepintas lalu tampak berbeda. Kemudian semua hadis dikumpulkan dan
masing-masing dinilai secara proporsional, sehingga dapat dipersatukan
dan tidak saling berjauhan, saling menyempurnakan dan tidak saling
bertentangan. Pada point ini hanya mengkhususkan dan menekankan pada
135 al-Qaraḍāwī, Bagaimana Memahami.... h. 106. Lihat Juga Bustamin, M. Isa H.A. Salam,
Metodologi Kritik Hadis... h. 92
87
hadis-hadis yang sahih saja, sedangkan hadis yang ḍaif tidak termasuk
karena kualitasnya lemah.136
b) Soal naskh dalam hadis
Pada hakikatnya, tuntutan tentang adanya naskh dalam hadis, tidak sebesar
yang dituntutkan dalam al-Qur’ān. Hal itu mengingat bahwa al-Qur’ān pada
dasarnya adalah pegangan hidup yang bersifat abadi. Sedangkan sunnah
adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi Saw. Jika ada dua
hadis dan dapat diamalkan kedua-duanya maka diamalkanlah, dan tidak
boleh salah satu dari keduanya diamalkannya yang lain.
Akan tetapi apabila tidak ada kemungkinan keduanya dapat dihindarkan
dari pertentangan, maka ada dua jalan untuk ditempuh yaitu: pertama, jika
diketahui salah satu dari keduanya merupakan nasikh dan lainnya mansukh,
maka yang diamalkan nasikh-nya saja. Kedua, apabila keduanya saling
bertentangan dan tidak ada petunjuk mana yang nasikh dan mansukh, maka
tidak boleh berpegangan pada salah satunya, kecuali berdasarkan suatu
alasan yang menunjukan bahwa hadis yang dijadikan pegangan lebih kuat
dari yang satunya.137
4) Memahami hadis dengan mempertimbangkan latar belakannya, situasi dan
kondisi ketika diucapkan, serta tujuannya
Salah satu cara untuk memahami sunnah nabawī yang baik adalah
dengan pendekatan sosio-historis, yaitu dengan mengetahui latar belakang
diucapkanya atau kaitannya dengan sebab atau alasan (‘illah) tertentu yang
dikemukakan dalam riwayat atau dari penelitan/pengkajian terhadap suatu
136 Yusuf al-Qaraḍāwī, Bagaimana Memahami.... h. 117-130 137 Yusuf al-Qaraḍāwī, Bagaimana Memahami.... h. 131
88
hadis. Selain itu, untuk memahami hadis harus diketahui kondisi yang
meliputinya serta di mana dan untuk tujuan apa diucapkan. Dengan demikian,
maksud hadis benar-benar menjadi jelas dan terhindar dari perkiraan yang
menyimpang.138
Pendekatan ini berupaya mengetahui situasi Nabi Muhammad Saw dan
menelusuri segala peristiwa yang melingkupinya. Pendekatan ini telah
dilakukan oleh para ulama, yang mereka sebut dengan Asbāb al-Wurūd. Dengan
pendekatan ini maka akan diketahui mana hadis yang mempunyai sebab-sebab
khusus dan mana yang umum, mana yang bersifat temporal, kekal, parsial atau
yang total. Masing-masing mempunyai hukum dan pengertian sendiri, dengan
demikian maka tujuan atau kondisi yang ada dan sebab-sebab tertentu dapat
membantu memahami hadis dengan baik dan benar.139
5) Membedakan (memisahkan) antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang
bersifat tetap dalam setiap hadis
Banyak orang yang keliru dalam memahami sunnah dari Nabi dengan
mencampuradukan antara tujuan atau alasan yang hendak ditujukan atau
dicapai, sunnah dengan prasarana temporer atau lokal dan kontestual yang
kadangkala menunjang ketercapaian sarana yang dituju. Mereka lebih terfokus
pada masalah prasarana ini, seolah-olah sarana itulah satu-satunya cara yang
ditunjukan dalam hadis. Padahal, siapapun yang hendak memahami sunnah
Nabi Saw serta hikamah dan rahasia-rahasia yang dikandungnya akan
mendapatkan kejelasan bahwa yang paling perlu menjadi perhatian adalah
tujuan yang hendak dicapai. Sedangkan prasarana itu adakalanya berubah-ubah
138 Bustamin, M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis... h. 97 139 Yusuf al-Qaraḍāwī, Bagaimana Memahami.... h. 132
89
sesuai dengan perkembangan zaman, lingkungan, adat istiadat, dan segala hal
yang meliputinya.140
Suatu lingkungan yang ditunjukan dalam perkembangan sarana dan
prasarana yang ditunjukan dalam hadis dapat berubah dari satu masa ke masa,
satu lingkungan ke lingkungan lain, atau bahkan sarana dan prasarana yang
sebelumnya relevan menjadi tidak relevan untuk masa yang akan datang, dan
itu semua akan terus mengalami perubahan. Al-Qur’ān juga menjelaskan dan
menegaskan tentang sarana atau prasarana yang cocok dengan suatu tempat dan
masa tertentu tidak menjadi indikasi bahwa kita harus mengukuhkannya sebagai
hal yang tidak dapat diganggugugat dan tidak memikirkan tentang prasarana
alternatif lainnya yang selalu berubah dengan berubahnya waktu dan tempat.141
6) Membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan yang bersifat
majaz dalam memahami hadis
Menurut al-Qaraḍāwī ada hadis Nabi yang sangat jelas maknanya dan
sangat singkat bahasanya, sehingga si pembaca hadis tidak memerlukan
penafsiran dan ta’wilan dalam memahami makna dan tujuan Nabi. Selain itu,
ada juga redaksi Nabi yang menggunakan bahasa majazi, sehingga tidak mudah
dipahami dan tidak semua orang dapat mengetahui secara pasti tujuan Nabi.
Untuk kategori hadis yang kedua biasanya menggunakan ungkapan-ungkapan
yang sulit dipahami dan sarat dengan simbolisasi. Ungkapan-ungkapan
semacam itu sering sekali dipergunakan oleh Nabi, hal ini dikarenakan bangsa
Arab pada masa itu sudah terbiasa dengan menggunakan kiasan atau metafora
dan mempunyai cita rasa bahasa tinggi terhadap bahasa Arab.142
140 Yusuf al-Qaraḍāwī, Bagaimana Memahami.... h. 148 141 Yusuf al-Qaraḍāwī, Bagaimana Memahami.... h. 148 142 Bustamin, M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis... h. 98
90
Makna Majaz di sini meliputi: lughawiy, ‘aqliy, isti’arah, kinayah dan
berbagai macam ungkapan lainnya yang tidak menunjukan makna sebenarnya
secara langsung, tetapi hanya dapat dipahami dengan berbagai indikasi yang
menyertainya, baik yang bersifat tekstual maupun kontekstual.143
7) Membedakan antara yang ghaib dan yang nyata
Dalam kandungan kandungan hadis Nabi diantaranya mengandung hal-
hal yang berkenaan dengan alam ghaib yang sebagiannya menyangkut
makhluk-makhluk yang tidak dapat dilihat (kasat mata) di alam maya. Seperti:
malaikat yang diciptakan Allah SWT dengan tugas-tugas tertentu, begitu juga
jin dan setan yang diciptakan untuk menyesatkan manusia, kecuali mereka
hamba-hamba Allah yang berada dijalan-Nya.144
Sebaian besar hadis-hadis yang menerangkan tentang alam ghaib bernilai
dibawah kualitas Ṣahīh namun yang diriwayatkan secara ṣahīh juga banyak.
Oleh karena itu hadis hadis yang bernilai harus dipahami secara proporsional,
yakni diantara yang membicarakan alam kasat mata dengan yang membicarakan
tentang alam ghaib.
8) Memastikan makna peristilahan yang digunakan oleh hadis
Hal yang terpenting dalam memahami sunnah dengan benar adalah yaitu
memastikan makna dan konotasi yang tepat kata-kata tertentu yang digunakan
dalm susunan kalimat sunnah. Adakalanya konotasi kata-kata tertentu berubah
karena perubahan dan perbedaan lingkungan yang ada. Masalah ini sudah
barangtentu akan lebih jelas diketahui oleh mereka yang mempelajari
perkembangan bahasa serta pengaruh waktu dan tempat terhadapnya. Seingkali
143 Yusuf al-Qaraḍāwī, Bagaimana Memahami.... h. 167 144 Yusuf al-Qaraḍāwī, Bagaimana Memahami.... h. 189
91
suatu kelompok manusia menggunakan kata-kata tertentu untuk menunjukan
makna tertentu pula.145
Sementara itu, tidak adanya batasan untuk menggunakan istilah atau kata-
kata tertentu. Akan tetapi yang dikhawatirkan disini adalah menafsiri lafaẓ-lafaẓ
yang tertentu dalam sunnah (termasuk pula dalam al-Qur’ān), dengan
menggunakan istilah modern. Dari sinilah seringkali nampak adanya
penyimpangan dan kekeliruan. Oleh karena itu penguasaan arti dan makna pada
dasarnya akan membantu memahami apa sesungguhnya yang dimaksudkan
oleh hadis secara proporsional.146
Perkembangan metode pemahaman hadis juga dihadirkan oleh beberapa ulama
hadis di Indonesia, hal ini dapat diidentifikasikan melalui karyanya yang memberikan
sejumlah tawaran metodologis. Diantaranya yakni ada Sosok M. Syuhudi Ismail dan Ali
Mustafa Ya’qub yang menghasilkan karyanya dalam bahasa Indonesia serta
memberikan beberapa contoh tentang metode yang sedang digunakannya.
M. Syuhudi Ismail (w. 1995) menjelaskan posisinya dalam kajian metode
pemahaman hadis dengan menempati pos sebagai pengkaji posisi Nabi,147 dan
pernyataan ini secara tidak langsung ditegaskan dalam karyanya.148 Metode yang
ditawarkannya pun rasanya telah banyak dijelaskan oleh sejumlah ulama sebelumnya
145 Yusuf al-Qaraḍāwī, Bagaimana Memahami.... h. 195 146 Yusuf al-Qaraḍāwī, Bagaimana Bersikap Terhadap Sunnah, (Solo: Pustakka Mantiq, 1993),
h. 236 147 Hal ini tentu dapat kita simpulkan dari beberapa pandangan ia yang mempertanyakan -lebih
jauh tentang persoalan hadis dalam segi ontologisnya sedang- kapasitas sebagai Nabi ketika
menyabdakan hadis, apakah ia memerankan sosok rasul atau sebagai selain rasulullah (baca: hakim,
kepala negara, panglima perang, atau pribadi). Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis
Nabi, (Jakarta: PT Intimedia, t.t), h. 13 148 M. Syuhudi Ismail, Hadis yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Maani al-Hadis tentang
Ajaran Islam yang universal, temporal dan local (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), h. 4
92
baik pada fase klasik maupun fase modern yakni, Shihāb al-Dīn al-Qarāfī, Mahmud
Syaltut dan al-Dihlāwī.
Dalam kajian matan hadis metode yang ia tawarkan dengan menganalisa hadis
dalam beberapa bentuk: a) mengungkap matan dan cakupan petunjuknya berkaitan pula
dengan meneliti secara bahasa dan logika bahasa yang digunakannya termasuk
ungkapan analogi, simbolik, bahasa percakapan, bahasa tamsil. b) Mengungkap matan
dengan menghubungkan fungsi Nabi dalam hadis tsb. c) Meneliti asbāb al-wurūd yang
berkaitan dengan hadis, baik yang mempunyai sebab secara khusus atau pun tidak, serta
yang berkaitan dengan keadaan yang sedang terjadi. d) Menyelesaikan hadis yang
nampaknya saling bertentangan.149
Dalam kerangka metode yang dibangun, beberapa langkah di atas tidak akan
berguna jika hadis yang dikajinya bukan pada derajat yang ṣahīh atau minimal tidak
termasuk berat kedaifannya. Hal ini mengindikasikan kualitas sanad juga sangat penting
dalam kajian tentang pemahaman hadis, dikarenakan tanpa adanya sanad maka suatu
matan tidak dapat dikatakan sebagai sesuatu yang berasal dari Rasulullah, atau matan
yang sanadnya sangat daif hasilnya pun tidak akan bermanfaat bagi kehujjahan hadis
yang bersangkutan.150
Kerangka metode lainnya juga ditawarkan oleh Ali Mustafa Ya’qub (w. 2016)
dengan merumuskan kajian tentang penelitian matan dan pemahaman hadis dengan
melihat berbagai aspeknya.151 Dan ia merumuskan pendekatan yang tekstual dan
kontekstual dalam memahamai hadis, hal ini bertujuan agar pesan yang dikandung oleh
hadis mampu tersampaikan secara utuh.
149 Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, (Jakarta: PT Intimedia, t.t), h.
189-287. 150 Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi (Jakarta: PT Intimedia, t.t), h.
170 151 Ali Mustafa Ya’qub, Cara Benar Memahami Hadis (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2016), h. v-
viii
93
Secara metode Ali Mustafa Ya’qub memberikan tiga garis besar dalam
memahami hadis, yakni; a) Memahami hadis secara tematis, dengan mengumpulkan
hadis yang sama hal ini bertujuan agar memahami secara jelas maksud hadis. b)
Memahami hadis dengan pendekatan tekstual, ia menawarkan pemahaman dengan
mengidentifikasi bentuk Majazi dan Haqiqi dalam hadis, ta’wil dalam hadis, dan illat
dalam hadis. c) Memahami hadis dengan pendekatan kontekstual, yakni dengan
memahami geografi dan budaya Arab, kondisi social dan sebab hadis disabdakan (asbāb
al-Wurūd) dalam hadis.152
Dan jika dianalisis lebih jauh tentang kedua tokoh di atas, metode yang coba
dipaparkan pada masing-masing karyanya memang bukan sebuah tawaran metode yang
baru hal ini dikarenakan proses yang dilakukannya memang tidak jauh berbeda dengan
rumusan metode yang ditawarkan pada fase klasik hingga modern, perbedaannya hanya
terletak pada besarnya pendekatan-pendekatan yang bersifat sosiologis ikut
mempengaruhi dalam pemahaman yang dibentuk.
Perkembangan pemahaman yang memasuki era millenial tentu memerlukan
pendekatan yang lebih mendalam terkait pemahaman apa yang akan ditimbulkan dari
sebuah teks, mengingat sosio-kultural pada masa modern-kontemporer sangat jauh
berbeda dengan keadaan pada saat sunnah itu diamalkan atau ketika hadis itu
dibukukan. Metode-metode dan pendekatan-pendekatan di atas merupakan buah karya
ulama dan pengkaji hadis yang cukup di pertimbangkan dalam hal pengolahan sebuah
makna untuk dibentuk kepada sebuah pemahaman yang relevan dengan keadaann
sekarang.
152 Ali Mustafa Ya’qub, Cara Benar Memahami Hadis, h. 3
94
Tabel 3.3 Perbandingan Metode Pemahaman Periode Kontemporer
Metode Pemahaman Hadis Periode Kontemporer
Tokoh Metode Basis Orientasi
Ibn ‘Ashūr Kerangka metode yang
dipaparkan al-Qarāfī
yang awalnya hanya
tiga, dikembangkan
menjadi dua belas
kategori oleh Ibn
‘Ashūr.
kategori-kategori
tersebut yakni; al-tashrī’
(pembentukan syari’at
agama), al-fatwā
(pemikiran/opini
agama), al-qaḍa
(putusan hukum), al-
imārah (keputusan
politik), al-hadyu
(petunjuk), al-ṣulḥ
(kontrak damai), ishārah
‘alā al-mustashīr
(pertimbangan), al-
naṣīḥah (saran), takmīl
al-nufūs (penguatan
mental), ta’līm ḥaqā’iq
al-‘āliyyah (pengajaran
nilai-nilai luhur), al-
ta’dīb (pendidikan
pekerti), al-tajarrud ‘an
al-irshād (pernyataan
tanpa motif tertentu).
Pemilahan Posisi
Nabi
Pengembangan
hukum fikih
dengan
memperhatikan
posisi dan motif
Nabi.
Fazlur
Rahmān
Metode yang
ditawarkannya dikenal
dengan teori double
movement (teori gerak
ganda). Tiga aspek yang
terkait dalam teori ini
adalah: teks, konteks dan
kontekstualisasi. Dan
dalam pemikirannya,
amat jauh lebih penting
memahami pesan moral
dalam hadis.
Kontekstualisasi
Makna
Penyelarasan
nilai-nilai agama
kepada kehidupan
terkini.
Muḥammad
Syahrūr
Dalam kitabnya al-Kitab
wa al-Qur’ān: Qira’ah
Muā’ṣirah cenderung
Kontekstualisasi
Makna
Pemahaman yang
cocok untuk
kondisi kekinian.
95
memandang sunnah
sebagai bentukan realitas
akan tetapi pada karya
lainnya yang khusus
membahas sunnah
dengan membanginya
kepada dua, yakni
sunnah Nabi dan Sunnah
Rasul, yang pada
akhirnya memberikan
pemahaman yang sesuai
dengan kondisi saat ini.
Muḥammad
al-Ghāzali
Pemahaman berdasarkan
petunjuk al-Qur’an dan
pemahaman harus
sejalan dengan indikator
yang disebutkan dalam
al-Qur’an.
Memperkuat
Otoritas Al-
Qur’an
Pemahaman
kekinian
berpedoman
kepada nilai-nilai
al-Qur’an.
Nasr Ḥamid
Abū Zayd
Pemahaman yang lahir
dari hermeneutika
konstruktif.
Dengan metode;
menganalisa struktur
linguistic teks dan
mencari fakta sejarah
yang mengelilinginya.
Menentukkan tingkatan
makna teks, menentukan
makna asli teks,
menentukan makna
signifikansi,
mengkontekstualisasikan
makna historis dengan
berpedoman dengan
makna yang tak
terkatakan.
Signifikansi
Makna (produksi
makna baru)
Pemahaman
kontekstual
Moḥammed
Arkoun
Pemahaman berdasarkan
analisis semiotik. Dan
metode pemahamannya
banyak yang berasal dari
tradisi pemahaman barat
dengan semiotiknya,
berikut ini metodenya;
analisis linguistic
meliputi tanda bahasa,
kata ganti, kata kerja,
susunan sintaksis,
persajakan dll.
Analisis hubungan kritis
ujaran-ujaran dalam teks.
Pencarian makna
lain yang
tersembunyi
(analisis semiotik)
Pemahaman
aktual
96
Pembacaan historis. Dan
pembacaan antropologis.
Yūsuf al-
Qaraḍāwī
Metode yang
disajikannya menempati
delapan aspek, berikut
ini:
Memahami hadis dengan
petunjuk al-Qur’an,
mengumpulkan beberapa
hadis yang menampilkan
satu tema, melakukan
pentarjihan dan
penggabungan terhadap
hadis yang bertentangan,
memahami hadis dengan
mempertimbangkan latar
belakang dan kondisi,
membedakan sarana
yang berubah dan tujuan
yang tetap,membedakan
antara ungkapan haqiqi
dan majazi,
membedakan yang ghaib
dan nyata, serta
memastikan makna
istilah yang digunakan
dalam hadis.
Penelitian
Komprehensif
(tradisional-
modern)
Pemahaman
moderat tetapi
pada beberapa hal
menggunakan
kontekstual.
M. Syuhudi
Ismail
Metode yang
ditawarkannya sebagai
berikut: mengungkap
dan cakupan
petunjuknya (bahasa,
logika, analogi, symbol,
bahasa tamsil),
mengungkap matan yang
berkaitan dengan fungsi
nabi dalam hadis,
meneliti asbāb al-
Wurūd, menyelesaikan
hadis yang nampaknya
bertentangan.
Pemilahan fungsi
Nabi dalam Hadis
Pemahaman yang
tekstual dan
kontekstual
Ali Mustafa
Ya’qub
Metode yang
ditawarkannya memang
tidak jauh berbeda
dengan ulama
sebelumnya, berikut ini
metodenya: memahami
hadis secara tematis
bermaksud agar tema
dipahami secara
Memahami
dengan benar
hadis nabi.
Tekstual-
kontekstual.
97
sempurna dan
maksudnya didapatkan,
memahami hadis dengan
pendekatan tekstual
(ta’wil, analisa majazi
haqiqi, illat hadis),
memahami hadis dengan
pendekatan kontekstual
(geografis budaya arab,
kondisi sosial, dan asbāb
al-wurūdnya).
b. Karakteristik Metode Pemahaman Hadis
Warna-warni pemahaman bertebaran pada fase modern-kontemporer ini, hal ini
dapat merujuk pada beberapa tokoh yang disebutkan di atas. Memang secara
keorisinalan tidak dapat di klaim secara sepihak saja itu buah dari pemikiran tokoh
dalam fase modern-kontemporer saja, tetapi gagasan yang digelorakan setidaknya
menjadi buah atas usaha mempromosikan suatu teori pemahaman.
Pemahaman pada fase ini mempunyai warna yang lebih kompleks dari pada fase
klasik-pertengahan dikarenakan pemaknaan terhadap makna menjadi lebih luas dan
menyangkut dalam segala aspek yang dikandungnya,153 sehingga pemahaman pada
masa ini menjadi tema yang kontekstual dan sesuai dengan kebutuhan dengan merujuk
kepada tema-tema tertentu yang sedang berkembang.
Bentuk penyusunan yang diberikan untuk sejumlah hadis juga tidak berbentuk
utuh sebagaimana kitab hadis paparkan, melainkan menggunakan bentuk per tema
sesuai kebutunan, dan bentuk metode penguraian pemahamannya menggunakan
153 Hal ini sebagaimana kita lihat dari presentasi sejumlah pemikiran pada fase ini yang memang
lebih menekankan penggalian makna dan keterkaitan makna lebih jauh, seperti pemikiran yang dilakukan
Fazlur Rahman, Syahrur, Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, dsb. Dalam hal ini yang memfokuskan diri
terhadap sejumlah makna yang ikut terkait dengan model pemikiran barat, yakni hermenetik dan
semiotic. Nasr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif: Mengatasi Problematika Bacaan dengan Cara-
Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan. (Jakarta: ICIP, 2004).
98
metode tematik-kontekstual yang memang bertujuan untuk memberikan pemahaman
yang fresh dan menyangkut persoalan-persoalan tertentu.
Hasil yang hendak dicapai dalam fase ini pun tidak jauh dari sebuah pengertian
yang apllicable meaning yakni makna yang dapat direpresentasikan dalam kehidupan,
terlebih pada zamannya. Dan hal ini pula menghasilkan paradigma yang cenderung
kritis, yang dalam hal ini dapat dipolakan sebagai paradigma kritik-partisipatoris-
solutif.154
Pendekatan yang digunakan dalam fase ini pun menyentuh berbagai macam
aspek, diantaranya; bahasa, historis, sosiologi, sosio-historis, antropologis,
psikologis.155 Serta berbagai cabang ilmu lain guna memperkuat pemahaman dan
padangan dalam pemikiran tertentu.
B. Analisis Metode Pemahaman Klasik – Kontemporer
Untuk menyajikan penganalisaan yang memadai maka perlu dibuatnya tabel/bagan
pendukung untuk memudahkan melihat perkembangan dari masa klasik ke
kontemporer. Berikut ini hasil perbandingan antara metode pemahaman hadis klasik
dan kontemporer:
Tabel 3.4 Perbandingan Antara Klasik dan Kontemporer
No Klasik Kontemporer
Tah
un /
Per
iode Mulai tahun 650 M (± 29/30 H) hingga
1800 M (±1214/1215 H).
Periodisasi ini dibuat dengan
menggabungkan dua fase dalam
periodisasi yang ditawarkan oleh Harun
Nasution yaitu klasik dan pertengahan.
Mulai tahun 1801 M (± 1216 H / 1217
H) hingga Seterusnya.
154 M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis, (Yogyakarta : UIN Suka Press, 2012), h.
Xx. 155 Abdul Mustaqim, Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami Hadis Nabi,
(Yogyakarta: Sukses Offset, 2008), h. 2-21
99
Met
ode
- Ikhtilāf al-Hadīth (kajian tentang
hadis-hadis yang bertentangan)
- Pemilahan Posisi (motif) Nabi saat
menyabdakan hadis
- Pengkategorisasian petunjuk nabi
- Penelitan komprehensif berbagai
aspek (Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī).
- Penelitian komprehensif
perbandingan (al-Aynī)
- Pemilahan posisi Nabi
(pengembangan).
- Kontekstualisasi Makna
- Penguatan otoritas al-Qur’an atas
sunnah.
- Signifikansi Makna (produksi
makna baru).
- Kontekstualisasi makna dan
pengelompokkan Sunnah.
- Pencarian makna lain yang
tersembunyi (analisis semiotik).
- Penelitian Komprehensif
(tradisional-modern)
Kar
akte
rist
ik
- Pembahasan menyesuaikan tema
pada kitab induk yang sedang
disharḥkan.
- Bentuk pemaparannya utuh sesuai
kitabnya pula.
- Metode pemaparan taḥlili, Ijmāl,
Muqārin.
- Pendekatan didominasi bahasa, dan
historis.
- Paradigma yang diusung pun
positivistik (pemahaman berdasar
analisis kebahasaan). Kerangka
episteme-nya pun berkisar antara
bayani, dan burhani.
- Hasil yang dicapai berusaha
memperoleh The original meaning.
- Pembahasan menyesuaikan tema
yang sedang berkembang atau
kontekstual.
- Bentuk pemaparannya tidak utuh
sesuai kitab tertentu, tetapi sesuai
tema menurut kebutuhan.
- Metode pemaparan pun merujuk
pada tematik-kontekstual.
- Pendekatan berkembang dengan
penggunaan psikologi, sosiologi,
antropologi, hermeneutik dan
fenomenologi.
- Paradigma yang disajikan kritik-
partisipatoris-sulotif. Kerangka
episteme-nya berkisar pada irfani.
- Hasil yang dicapai berusaha
memperoleh The applicable
meaning.
Tokoh
- Al-Shāfi’ī (w. 204 H / 820 M)
- Ibn Qutaibah (w. 276 H / 889 M)
- Ibn Ḥibbān (w. 354 H / 965 M)
- Al-Nawawī (w. 676 H / 1277 M)
- Al-Qarāfī (w. 684 H / 1285 M)
- Ibn Ḥajar al-Asqalānī (w. 852 H /
1449 M)
- Badr al-Dīn al-Aynī (855 H / 1452 M)
- Ibn ‘Āshūr (1296 H – 1393 H /
1879 M – 1973 M)
- Fazlur Rahmān ( 1337 H – 1408 H
/ 1919 M - 1988 M )
- Muḥammad al-Ghāzalī (1335 H –
1416 H / 1917 M – 1996 M)
- Nasr Ḥamīd Abū Zayd (1362 H –
1431 H / 1943 M – 2010 M)
- Muḥammad Syahrūr (1357 H /
1938 M)
- Moḥammed Arkoun (1346 H –
1431 H / 1928 M – 2010 M)
- Yūsuf al-Qaraḍāwī (1345 H / 1926
M)
- M. Syuhudi Ismail (w. 1995)
- Ali Mustafa Yaqub (w. 2016)
100
Kar
ya
- Ikhtilāf al-Hadīth
- Ta’wīl Mukhtalaf al-Hadīth
- al-musnad al-Ṣaḥiḥ ‘ala al-Taqasim
wa al-Anwa’ min Ghayr Wujud Qaṭ’
fī Sanadihā wa la Thubut Jarḥ fī
Naqilihā atau “Ṣaḥīh Ibn Ḥibban”.
- al-Minhāj fī Sharḥ Ṣaḥīḥ Muslim bin
al-Hajjāj atau yang lebih populer
disebut “Ṣaḥīh Muslim bi Sharḥ al-
Nawawī”.
- Kitab al-Furūq Anwār al-Burūq fī
Anwā al-Furūq dan al-Ahkām fī al-
Fatāwā min al-Ahkām wa Taṣarrufāt
al-Qādhī wa al-Imām
- Fatḥ al-Bārī bī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-
Bukhārī
- ‘Umdah al-Qārī Sharḥ Ṣaḥīh al-
Bukhārī
- Al-Naẓar al-Faṣīḥ ‘Inda Maḍāyiq
al-Anẓar fī al-Jāmi al-Ṣaḥīḥ dan
Kasyf al-Mughaṭṭā min al-Ma’ānī
wa al-alfaẓ al-Wāqi’ah fī al-
Muwaṭṭa’
- Islam & Modernity:
Transformation of an intellectual
Tradition
- Al-Sunnah al-Nabawiyyah baina
Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadīth.
- Al-Sunnah al-Rasūliyyah wa al-
Sunnah al-Nabawiyyah Ru’yah
Jadidah.
- Nalar islami dan nalar modern
(Arkoun).
- Kaifa Nata’āmal ma’a al-Sunnah
al-Nabawiyyah Ma’ālim wa
Ḍawābiṭ
- Hadis Nabi yang Tekstual dan
Kontekstual Telaah Ma’anil
Hadits tentang ajaran yang
universal, temporal dan lokal.
- Al-Ṭuruq al-Ṣaḥīḥah fī Fahm al-
Sunnah al-Nabawiyyah.
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa pergeseran memang telah terjadi dalam
metode pemahaman hadis, dapat dilihat melalui metode dan karakteristik yang
terbangun di antara masing-masing fase dalam tabel di atas. Mulai dari basis metode
pemahaman yang lebih cenderung membahas persoalan tertentu semisal basis
pemahaman berdasar kontradiktif hadis (ikhtilāf al-Hadīth), atau pemilahan posisi dan
motif Nabi dalam menyabdakan hadis, dll yang berubah menjadi pemahaman yang
lebih kontektual dan penelitian komprehensif dengan bumbu kontekstualitas pula.
Pergeseran dan perkembangan semakin jelas terlihat dalam kolom karakteristik yang
disajikan, penyajian materi, tema, dan bentuk pemaparan juka telah mengalami
pergeseran. Pada masa klasik cenderung men-Sharḥ-i kitab tertentu dengan
menyesuaikan sistematika dan keutuhan pemaparannya, yang pada masa kontemporer
menjadi penyajian yang tidak terikat kepada sistematika kitab tertentu tetapi dengan
101
tema kontekstual dan kebutuhan pembahasan yang dinginkan yakni tematik-
Kontekstual. Pendekatannya pun lebih diperkaya lagi pada masa kontemporer, tidak
melulu pada persoalan bahasa dan historis saja. Dan yang terpenting adalah hasil
pemahaman yang didapatkan membentuk pola tersendiri, yang pada masa klasik lebih
cenderung pencarian makna asal/asli (The Original Meaning) ke pencarian makna yang
dapat diaplikasikan (The Applicable Meaning) dalam kehidupan saat ini.
102
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Metode pemahaman hadis sedianya memang muncul pada masa klasik, dengan
perubahan zaman metode yang awalnya hanya berisi kaidah yang sebagian besar
diadaptasi dari metode Tafsir dan metode pengambilan hukum, bergeser menjadi
pengkajian makna yang sangat kompleks dengan ikut memperhatikan sang pembaca
hadis. Karakteristik masing-masing fase pun amat sangat dominan dengan upaya
pencarian makna yang sesungguhnya (The Original Meaning) pada masa klasik
berbanding dengan makna yang mampu diterapkan (The Applicable Meaning) pada
fase kontemporer. Pola pergeseran dari fase ke fase pun tidak teratur dikarenakan
konsen yang memang berbeda, mulai dari posisi Nabi ketika menyabdakan hadis
hingga posisi pembaca hadis pada problema matan itu sendiri. Hal ini sekaligus
menunjukkan bahwa metode pemahaman hadis tidak selalu tetap (stagnan), mengingat
zaman yang berjalan dan ilmu pengetahuan yang terus berkembang.
Upaya penyesuaian metode pemahaman juga ikut mengambil bagian didalamnya,
setidaknya penulis menemukan metode klasik ikut mengisi pada beberapa metode
pemahaman hadis kontemporer. Secara tidak langsung hal ini menunjukkan integrasi
antar metode pemahaman hadis telah dilakukan dengan sangat baik, ataupun dengan
upaya mempertahankan metode yang sudah baik dan mentrasformsikannya dengan
pengkajian makna pada pendekatan kontemporer. Dengan cara melihat metode yang
sama pada dua fase yang berbeda lalu dicari kekurangan dan kelebihan masing-masing
metode agar pemahaman menjadi utuh.
Perbedaan pemahaman pada dua fase ini memang kerap kali menunjukkan
pemahaman yang berbeda, dikarenakan zaman, objek yang dituju serta bahasa yang
103
terus mengalami pembaharuan menjadi hal yang sudah pasti ditemukan. Kelemahan
dan kelebihan pada masing-masing fase merupakan bukti bahwa pengkajian metode
pemahaman hadis memang belum mampu memberikan pemahmaan yang
komprehensif dalam pemahamannya meliputi zaman, mulai dari fase klasik hingga ke
kontemporer.
Pengkajian pemahaman hadis pada zaman kontemporer memang mengacu kepada
kritisi makna yang cukup kompleks, akan tetapi pendekatan dan metode terdahulu tetap
digunakan untuk menuntuk ke pemahaman yang lebih komprehensif.
B. Saran dan Rekomendasi
Pembahasan dalam skripsi ini masih sebatas deskripsi dan analisis atas metode
dan beberapa teori tokoh dalam kajian metode pemahaman hadis. Sehingga perlu
adanya upaya penelaahan lebih jauh tentang metode pemahaman hadis pada dua fase
inti ini.
DAFTAR PUSTAKA
‘Itr, Nūr al-Dīn. Manhaj al-Naqd fī ‘Ulūm al-Ḥadīth. Damaskus: Dār al-Fikr, 1997.
Abdullah, M. Amin.“Hadis dalam Khazanah Intelektual Muslim: al-Ghazali dan Ibnu
Taimiyyah”, dalam pengembangan pemikiran terhadap hadis, Ed. Yunahar
Ilyas. Yogyakarta: lembaga pengkajian dan pengamalan Islam (LPPI),
Universitas Muhammadiyyah Yogyakarta, 1996.
Abu Zaid, Nasr Hamid. Hermeneutika Inklusif : Mengatasi Problamatika Bacaan dan
Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, terj. Muhammad Mansur
dkk, Jakarta: ICIP, 2004
-----------------------------. Mafhūm al-Naṣ Dirasah fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut : Markaz
al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1994.
-----------------------------. Mengurai Benang Kusut Teori Qur’ān Kontemporer,
Yogyakarta: L eLSAQ Press, 2007
-----------------------------. Tekstualitas Al-Qur’ān: Kritik terhadap Ulumul Qur’ān.
Yogyakarta: IRCiSoD dan LkiS, 2016.
Ahmad, Arifuddin. Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, Jakarta: PT Intimedia, t.t
Al-‘Asqālānī, Al-Ḥāfiẓ Ahmad bin ‘Alī bin Ḥajar. Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-
Bukhārī, Juz I Riyādh: Dār Ṭībah li Naṣri wa al-Tauzī’, 2005.
al-‘Aynī, Badr al-din Abī Muḥammad Maḥmūd bin Aḥmad. ‘Umdah al-Qārī Sharḥ
Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Beirut : Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001.
Al-‘Ilmy, Abu Yasir al-Hasan. Fiqh al-Sunnah al-Nabawiyah: Dirayah wa Tanzilan,
Disertasi: t.tp, t.th.
Al-A’ẓhamī, Muḥammad Musṭafā. Manhaj al-Naqd ‘ind al-Muhadditsîn. Riyādh:
Syirkah al- Thibā’ah al-Su’ūdiyyah, 1982.
Alamsyah, “Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam dalam Pemahaman Shahrūr dan Al-
Qaraḍāwi”, Disertasi S3 Ilmu Agama Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,
2004
Alan M, Sevans. A Comprehensive Indonesian-English Dictionary. Jakarta: Mizan,
2008.
Albani, Naṣiruddin. sifat Shalat Nabi. Jakarta : Pustaka Firdaus, 2007.
Al-Ghazali, Muhammad al-Ghazali, al-Sunnah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadis.
Dar al-Suruq, Kairo, 1989.
-----------------------------.. Analisis Polemik Hadis, Surabaya: Dunia Ilmu, 1997.
-----------------------------. Studi Kritis atas Hadis antara Pemahaman Tekstual dan
Kontekstual, terj. M. al-Baqir. Bandung: Mizan, 1996.
Ali, Nizar. “Kontribusi Imam Nawawī dalam Penulisan Sharḥ Hadis : Kajian atas Kitab
Ṣaḥīh Muslim bi Sharḥ al-Nawawī,” Disertasi S3 Ilmu Agama Islam, Program
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007
-------------. Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan). Yogyakarta: CeSAD
YPI al-Rahmah, 2011
Al-Jawābī, Muḥammad Ṭāhir. Juhūd al-Muḥaddithīn fī Naqd Matn al-Ḥadīts al-
Nabawī al-Syarīf. Tunisia: Mu’assasah, Abd al-Karīm ibn Abd Allāh, t.th.
Al-Jurjānī, Alī Ibn Muḥammad. Kitāb al-Ta’rifāt. Jakarta: Dār al-Kutub al-Islāmīyah,
t.th.
al-Karīm, Fatḥī ‘Abd. al- Sunnah Tasyri’ Lazim wa Daim. Kairo: Maktabah Wahbah,
1985.
Al-Khālidi, Shalah ‘Abd al-Fattah. Ta’rif al-Dārisin bi Manāhij al-Mufassirīn.
Damaskus: Dār al-Qalam, 2002.
Al-Khuli, Amin. Manahij al-Tajdid fi al-Nahw wa al-Balaghah wa al-Tafsīr wa al-
Adab. Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1961.
Al-Khulli, Muḥammad ‘Abd al-‘Aziz. Tarikh Funūn al-Hadīth. Jakarta: Dinamika
Berkah Utama, t.t.
Al-Munawwar, Agil Husin. dan Hakim, Masykur. I’jaz al-Qur’ān dan Metodologi
Tafsir. Semarang: Dina Utama, 1994.
--------------------------------. Asbābul Wurud :Studi Kritik Hadis Nabi Pendekatan
Sosio-Historis-Kontekstual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Al-Qaraḍāwī, Yūsuf. terj. Abu Aisyah Dkk. Dalam Pangkuan Sunnah (terjemahan Fi
Rihab al-Sunnah: Sharḥ Ahādith Nabawiyyah. Jakarta: Al-Kautsar, 2013.
-------------------------. Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, penerj. M. Al-Baqir,
Bandung: Penerbit Karisma, 1993
Al-Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadīth. Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2009.
Al-Sibā’i, Mustafa. Sirah Nabawiyah. Jakarta: Intermedia, 2011.
Al-Shāfi’ī, Muḥammad bin Idrīs. al-Risālah. Beirut: Dār al-Nafā’is, 2010.
---------------------------------------. Al-Umm Jilid 10. t.k : Dār al-Wafā, 2001.
---------------------------------------. Ikhtilāf al-Hadīth. Beirut: Dār al-Kutub al-
‘Alamiyyah, 1986.
Amal, Taufiq Adnan. Islam dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan, 1990
Andi, Azhari. Dkk, “Reinterpretasi Sunnah : Studi Pemikiran Muhammad Shahrūr
terhadap Sunnah”, Jurnal Living Hadis, Vol. 1, No. 1, (Mei 2016)
Anwar, Saifuddin. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Arkoun, Mohammed. Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan
Baru, Jakarta: INIS, 1994.
Aulassyahied, Qaem. “Studi Kritis Sunnah Muhammad Shahrūr”, Jurnal Kalimah, Vol.
13, no. 1 (Maret 2015).
Azami, Muḥammad Mustafa. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Hidayah,
1992.
Baso, Ahmad Post Tradisionalisme Islam. Yogyakarta: LKIS, 2000.
Brown, Daniel W. Relevansi Sunnah dalam Islam Modern. Bandung: Mizan, 2000.
---------------------. Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought, Cambridge:
Cambridge University Press, 1996.
Buku Pedoman Akademik Program Strata 1 Tahun 2011/2012 UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Bustamin. Salam, M. Isa H.A. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004.
Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Metodologi
Penelitian Living Qur’ān dan Hadis, Sahorin Syamsuddin(ed.). Yogyakarta:
Teras, 2007
E.J. Brill. First Encyclopaedia of Islam 1913-1936. Vol. VII. Leiden: E.J. Brills, 1987.
Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.
Fatimah, Siti. “Metode Pemahaman Hadis Nabi Dengan Mempertimbangkan Asbābul
Wurud Studi Komparasi Yusuf al-Qaradāwī dan Suhudi Ismail.” Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009.
Fatkhi, Rifqi Muhammad. “Dominasi Paradigma Fikih Dalam Periwayatan dan
Kodifikasi Hadis”, Jurnal Ahkam, Vol. 12, no. 2, (Juli 2012)
--------------------------------. “Sahih Ibn Ḥibbān dalam al-Kutub al-Sittah: Sebuah
Tawaran Alternatif, (Tesis Konsentrasi Tafsir Hadis, Sekolah Pascasarjana
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008)
Firdausy, Hilmy. “Ragam Pembacaan Hadis: Memahami Hadis Melalui Tatapan
Postradisionalisme,” Religia Vol. 19 No. 2 (Oktober 2016.
Ghazali, Abdul Malik. “Metodologi Pemahaman Kontekstual Hadis Ibn Qutaibah”,
Kalam: Jurnal Studi Islam dan Pemikiran Islam Vol. 8, No. 1, (Juni 2014)
Ghufron A. Mas’adi, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1997.
Hasbi, M. Ridwan. Interaksi Rasionalitas Teknis dalam Pemikiran Hadis Kontemporer,
Jurnal Ushuluddin Vol. XIX No. 1, Januari 2013.
Hitti, Philip K. History of the Arabs. London: The Macmillan Press, 1974.
Huda, M. Khoirul. “Memahami Hadis Melalui Pemilahan Posisi Nabi saw,” Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2013
Ibn Qutaibah. Ta’wīl Mukhtalaf al-Hadīth, Beirut: Muasasah al-Kitab al-Thaqāfiyyah,
1988
-----------------. Ta’wil Hadis-Hadis yang Dinilai Kontradiktif, terj. Team Foksa; Ed.
Mukhlis B. Mukti, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008
Ichwan, Moch Nur. Meretas kesarjanaan kritis; Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu
Zaid, Jakarta: Teraju, 2003
Ilyas, Yunahar. dan Mas’udi, M. (ed.), Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis.
Yogyakarta: LPPI, 1996.
Imron, Ali. dkk, Hermeneutika al-Qur’ān dan Hadis. Yogyakarta: Elsaq Press, 2010.
Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992
-----------------------. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual : Telaah Ma’ani al-
Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, (Jakarta:
Bulan Bintang, 2009.
-----------------------. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992
Kaltsum, Lilik Ummi. Mendialogkan Realitas Dengan Teks. Surabaya: CV. Putra
Media Nusantara, 2010.
Khaeruman, Badri. “Otentisitas Hadis: Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. 2004
Khon, Abdul Majid. Pemikiran Modern dalm Sunnah; Pendekatan Ilmu Hadis.
Jakarta: Kencana, 2011.
--------------------------. Takhrij dan metode memahami hadis, Jakarta: Amzah, 2014
--------------------------. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2012.
Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia, 2014
Kusmana, “Hermeneutika Humanistik Nasr Hamid Abu Zayd : al-Qur’ān sebagai
wacana”, Kanz Philosophia, Vol. 2, no. 2 (Desember 2012), h. 267
Lina Shobrina, “Identitas Penampilan Muslim dalam Hadis: Pemahaman Hadis
Memelihara Jenggot dalam Konteks Kekinian”, Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2017
Mahmūd al-Ṭaḥhān, Taisīr Musṭalah al-Ḥadith. Beirut, Dār al-Qur’ān al-Kārim, 1972.
Majd al-Dīn Muhammad ibn Ya’qub al-Fairuz Abadī, Al-Qamûs al-Muhîth Juz 4.
Bairut: Dâr al-Jail, t.th.
Mandzur, Ibn. Lisan al-Arab. Beirut: Dar al-Fikr, 1990.
Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif, cet. ke-27. (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2010.
Muslim. Ṣaḥīḥ Muslim Jilid IV. Qāhirah : Dār al-Hadith, 2010.
Mustaqim, Abdul. Dkk. Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami Hadis.
Yogyakarta: Sukses Offset, 2008.
----------------------. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: PT. LKiS Printing
Cemerlang, 2012.
----------------------. Pergeseran Epistemologi Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008.
Nasrudin, “Manhaj Tafsir Mohammad Arkoun”, Maghza Vol. 1, no. 1 (Januari-Juni
2016.
Nasution, Harun. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1996
Nirwana, Dzikri. Diskursus studi hadis dalam wacana Islam kontemporer, jurnal al-
Banjari, vol. 13, No.2, Juli-desember 2014
Nurkholis, Mujiono. Metodologi Syarah Hadist. Bandung: Fasygil Grup, 2003.
Putro, Suadi. Mohammed Arkoun tentang Islam dan Modernitas, Jakarta: Paramadina,
1998
Qaradāwī, Yusuf. Kaifa Nata’amalu Ma’a as-Sunnah an-Nabawiyah (Bagaimana
Memahami Hadis Nabi Saw). Diterj. Muḥammad al-Baqir. Bandung: Karisma,
1993
Rahman, Fatchur. IKhtisar Mushthalahul Hadis. Bandung: PT Al-Ma’arif, 1974.
Rahman, Fazlur. Dkk, Wacana Studi Hadis Kontemporer. Yogyakarta: PT Tiara
Wacana, 2002
---------------------. Islam & Modernity: Tranformation of an Intellectual Tradition,
Chicago-London: University of Chicago Press, 1992.
---------------------. Islam dan Modernitas: Tentang Tranformasi Intelektual, terj. Ahsin
Muhammad. Bandung: Pustaka, 1995.
---------------------. Islamic Methodology in History. Pakistan: Islamic Research
Institute, 1984.
---------------------. Membuka Pintu Ijtihad, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka,
1984.
Rudliyana, Muḥammad Dede. Perkembangan Pemikiran Ulumul Hadis dari Klasik
Sampai Modern. Bandung: Pustaka Setia.2004
Shahrūr, Muḥammad. al-Kitāb wa al-Qur’ān : Qirā’ah Muā’ṣirah, (Damaskus: al-
Ahali, 1990.
--------------------------. Al-Sunnah al-Rasūliyyah wa al-Sunnah al-Nabawiyyah Ru’yah
Jadidah, Beirut: Dār as-Syaqi, Cet. I, 2012.
Shihāb, M. Quraish. Membumikan al-Qur’ān: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Mizan, 1992.
Sunarwoto. dkk. Hermeneutika al-Qur’ān Madzhab Yogya, Yogyakarta: Islamika,
2003.
Surakhmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito, 1990.
Suryadi, “Metode Pemahaman Hadis Nabi: Telaah atas Pemikiran Muhammad al-
Ghazali dan Yusuf al-Qaraḍāwi”, (Disertasi S3 Program Pascasarjana UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004.
---------. Rekonstruksi Metodologis Pemahaman Hadis Nabi, dalam wacana studi hadis
kontemporer PT. Tiara Wacana, 2002.
----------. Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif Muḥammad al-
Ghazālī dan Yusuf al-Qaradāwī. Yogyakarta: Teras, 2008.
Suryadilaga, M. Alfatih, “Metode Hermeneutik dalam Pensyarahan Hadis: Ke Arah
Pemahaman Hadis yang Ideal dan Komprehensip”, Jurnal Studi Ilmu al-
Qur’ān dan Hadis. Vol. 1, No. 1, Januari 2001.
-----------------------------. Metodologi Syarah Hadis, Yogyakarta : UIN Suka Press,
2012.
Syamsuddin, Sahiron. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’ān. Yogyakarta:
Nawasea Press, 2009.
Wijaya, Aksin. Arah Baru Studi Ulum al-Qur’ān; memburu pesan tuhan dibalik
fenomena budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009.
Ya’qub, Ali Mustafa. Cara Benar Memahami Hadis. Jakarta:Pustaka Firdaus, 2016.
Zuhri, Muh. Telaah Matan Hadis (Sebuah Tawaran Metodologis). Yogyakarta:
LESFI,2003.
Aplikasi Cambridge Advanced Laerner’s Dictionary (third edition).
Aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia versi 1.3
Aplikasi Kamus Bahasa Arab v.3.0