PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK...

124

Click here to load reader

Transcript of PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK...

Page 1: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS

ULAMA KLASIK HINGGA KONTEMPORER

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Ahmad Irfan Fauji

NIM: 1112034000049

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H/2018 M

Page 2: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS

ULAMA KLASIK HINGGA KONTEMPORER

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar

Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Ahmad Irfan Fauji

NIM: 1112034000049

Pembimbing:

Rifqi Muhammad Fatkhi, M.A

NIP. 19770120 200312 1 003

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’ĀN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H/2018 M

Page 3: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul Pergeseran Metode Pemahaman Hadis Ulama Klasik Hingga

Kontemporer telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta pada 10 Januari 2018. Skripsi ini telah diterima sebagai

salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu

Al-Qur’an dan Tafsir.

Jakarta, 10 Januari 2018

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekertaris Merankap Anggota,

Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. Dra. Banun Binaningrum, M. Pd.

NIP: 19711003 199903 2 001 NIP: 19680618 199903 2 001

Anggota,

Penguji I Penguji II

Dr. Atiyatul Ulya, MA. Dr. Ahmad Fudhaili, MA.

NIP: 19700112 199603 2 001 NIP: 19740510 200501 1 009

Pembimbing,

Rifqi Muhammad Fatkhi, MA

NIP: 19770120 200312 1 003

Page 4: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

i

LEMBAR PERNYATAAN

Yang Bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Ahmad Irfan Fauji

NIM : 1112034000049

Program Studi : Ilmu al-Qur’ān dan Tafsir

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar Strata satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Semua Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 19 Desember 2017

Ahmad Irfan Fauji

Page 5: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

ii

ABSTRAK

AHMAD IRFAN FAUJI

“Pergeseran Metode Pemahaman Hadis Ulama Klasik Hingga Kontemporer”

Gagasan mengenai metode pemahaman hadis Hadis Nabi Saw. merupakan

gagasan yang cukup rumit dan membingungkan, mengingat pentingnya metode atau

cara memahami hadis dapat menghasilkan pemahaman sesuai metode yang digunakan.

Dikatakan rumit karena umat Islam terfragmentasi ke dalam dua kelompok, yaitu

metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer. Sedangkan

membingungkannya terletak pada inventarisasi dan pengklasifikasian metode.

Bagaimana kita bisa membedakan metode satu dengan yang lain.

Berangkat dari kontektualitas pemahaman yang disajikan ulama modern-

kontemporer dalam perangkat metodenya, yang lebih menyesuaikan pemahaman agar

sesuai dengan kondisi sosial saat ini. Serta beberapa anggapan yang menilai

pemahaman klasik kurang relevan dengan kehidupan saat ini. Skripsi ini berusaha

menyelidiki keterkaitan metode pemahaman hadis berdasar analisis pergeseran metode

dari ulama klasik hingga modern.

Penelitian dilakukan dengan cara mengumpulkan, menjabarkan dan

membandingkan (komparatif) dengan metode pemahaman yang penulis nilai sebagai

bagian dalam karya ulama tertentu yang penulis tentukan. Penulis

mengklasifikasikannya berdasarkan kronologis tahun. Analisis terhadap kedua masa itu

dilakukan dengan menggunakan kaidah pemahaman matan yang telah disepakati.

Kesimpulan skripsi ini menunjukkan telah adanya pergeseran basis dan

karakteristik metode pemahaman hadis karena berkembangnya zaman, dan ini

menjadikan bukti pula bahwa perangkat metode pemahaman hadis tidak stagnan dan

mampu diperbaharui dengan pendekatan-pendekatan yang relevan dengan kehidupan

saat ini. Sehingga pemahaman yang dihasilkan pun mengarah kepada pemahaman yang

dapat diaplikasikan atau The Applicable Meaning, berbeda dengan pemahaman klasik

yang lebih mengutamakan pendekatan kebahasaan dan pencarian makna asli atau The

Original Meaning.

Kata kunci: Metode Pemahaman Hadis, Ulama Klasik, Ulama modern-kontemporer,

Applicable Meaning, Original Meaning.

Page 6: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

iii

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap Alḥamdulillāhi Rabbi al-‘ālamīn, Puji syukur saya panjatkan

kehadirat Allah Swt. Atas segala rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga pada

akhirnya saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam selalu

tercurah kepada Nabi Muhammad Saw. yang memberikan umat ini pelita pedoman

untuk kehidupan, dari yang negatif ke yang positif, Dari kegelapan pada cahaya, dari

yang tidak manusiawi pada yang manusiawi.

Dalam perjalanan penulisan skripsi ini tentu banyak hal dan keadaan suka, duka,

galau, bingung, lelah yang mewarnai, mulai dari kesulitan menemukan sumber rujukan

utama, minimnya pengetahuan saya tentang apa yang sedang dibahas di skripsi ini,

menganalisa data yang kebanyakan dalam bahasa Arab, kemalasan yang sering

menghinggap, keluarga yang terus berharap (agar cepat lulus), hingga teman-teman dan

adik kelas yang “nyap-nyap” setiap kali bertemu dengan melontarkan pertanyaan yang

berulang-ulang “bang, kapan wisuda?” dan hal ini pula yang memotivasi dan

menyemangati saya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang

berjudul “Pergeseran Metode Pemahaman Hadis Ulama Klasik hingga

Kontemporer.”

Skripsi ini tidak akan bisa tuntas tanpa bantuan, bimbingan, arahan, dukungan

dan kontribusi dari banyak pihak. Oleh karena itu, dengan segala ketulusan, kerendahan

hati dan keikhlasan, pada kesempatan ini saya ucapkan terima kasih dan penghargaan

yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A selaku Dekan Fakultas Ushuluddin UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 7: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

iv

3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum selaku ketua Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.

4. Ibu Banun Binaningrum, M.Pd selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan

Tafsir yang selalu melayani mahasiswa termasuk saya dalam pengurusan surat

menyurat, yang juga termasuk dosen bahasa inggris pada semester I.

5. Beasiswa Bidik Misi angkatan 2012 Kemenag-PTAIN. Bapak KH. Utob

Thobroni, Lc, MCL selaku Pembina Mahad Al-Jami’ah (Mahad ‘Aly) UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan para pembimbing (musyrif dan musyrifah)

dalam pembinaan di mahad, Serta staff pengurusan masalah beasiswa baik di

kemahasiswaan dan asrama mahad, Kak Amelilya Hidayat dan Kak Adrian

Mahardhani.

6. Bapak Rifqi Muhammad Fatkhi, M.A selaku dosen pembimbing yang telah

membimbing saya dalam menyelesaikan skripsi ini berdasarkan cara penulisan,

tujuan, dan manfaatnya serta nasehat-nasehat guna melengkapi dan

meminimalisir kekurangan dalam penelitian ini. Terlebih atas pengajaran dan

inspirasi beliau di kelas metode pemahaman hadis sehingga memotivasi saya

untuk lebih dalam membahas dan menggali metode pemahaman hadis. Saya

ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada beliau serta keluarga.

Jazākumullah khairan katsira.

7. Seluruh dosen pada program studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas

Ushuluddin, khususnya kepada dosen pembimbing akademik, Drs. Harun

Rasyid, MA. Atas segala motivasi, ilmu pengetahuan, bimbingan, wawasan, dan

pengalaman yang mendorong saya selama menempuh studi, serta seluruh staff

Fakultas Ushuluddin.

8. Orang tua tercinta, Ayah Satibi Muchtar dan Umi Junainah (yuyun) yang selalu

mendoakan dengan segala ketulusan hatinya, menasehati, memperhatikan

Page 8: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

v

kesehatan, dan terkadang mengomeli dan selalu mengingatkan saya. Juga

kepada kakak saya Zainal Arifin, S.E. “Aa Enang” dan kepada adik saya Nailul

Ihsan “ii” terima kasih atas segala bentuk perhatian dan pengertiannya serta

dukungannya baik berupa materil maupun moril. Kalian super sekali.

(Allāhumma irḥamhumā kamā rabbayānī saghīrā wa ṭawwil ‘umūrahumā fi

ṭā’atik).

9. Teman-Teman Bidik Misi Angkatan 2012. Terkhusus kepada Keluarga Cemara

The BackPacker (yang gak pernah jalan-jalan); Kiki Hilwah, Risris, Azizul,

Syauqi, Deenef, Ulfa, Putri, Nita, Osi, Sany. Dan untuk yang lainnya, yang tak

akan cukup kalau ditulis semua disini, pokoknya terima kasih semuanya seperti

di SK Rektor yang ada 150 orang itu :D. Dan Juga teruntuk teman-teman KKN

Hidrogen 2015 desa Tamiang yang anggotanya hampir sama dengan the

backpacker + Muslim, Dera, Yuni, Dhiba, Tahul, Icang, Mawardi, Imet.

10. Teman-teman Tafsir Hadis dan yang selanjutnya disebut Ilmu Al-Qur’an dan

Tafsir (IAT) angkatan 2012 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terkhusus teman-

teman kelas B yang selalu kompak dan seru; Liong, Ipeh, Falah, Tipung, Nuy,

Iin, Laila. Geng Bunin, Ardi, Ahya, Riswan, Ahya, Raihan, Sugih. Tempat

kuliah tambahan Metro Tim Cups, Badru, Isrof, Anang, Abil, kholis. Kelas A,

C, D, E; Afrizal, Lili, Hilda, Arifin, Ucup, Ustadz Kaafi, Khilda Fauziah, Nur

Ashlihah, Lia Sasmita, dan yang lainnya.

11. Teman-teman lintas angkatan, angkatan 2011; mulai dari bang Mizan Sya’roni

yang selalu ditumpangi kost-annya sebagai tempat singgah saya ketika

mengurusi skripsi ini, yang sudah saya anggap seperti abang sendiri. Angkatan

2013; kelompok Capcins: Nida, Kiki, Aini, Yuni, Evi, Aulia T.S, Arme, Ika.

Page 9: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

vi

Kelompok Rozali, Joni, Hasan, Fatah, Puput, Reza, Hizam dll. Angkatan 2014;

Laila, Fanny, Muawwanah, Mahda, dll.

12. Semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini yang tidak

dapat saya sebutkan namanya satu persatu.

Kemudian saya sadar bahwa keilmuan yang saya miliki masih sangat kurang

sehingga mohon maklum dan maaf apabila dalam penelitian dijumpai banyak

kesalahan.

Kepada Allah lah saya berharap ridha dan senantiasa bersyukur. Semoga tulisan ini

bisa menjadi manfaat kepada para pembaca agar selalu berpegang pada ajaran-ajaran

Rasulullah Saw. Āmīn

Wassalamualaikum Wr.Wb

Jakarta, 20 Januari 2017

Ahmad Irfan Fauji

Page 10: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Penelitian ini berpedoman pada model transliterasi “Romanisasi Standar Bahasa

Arab” (Romanization of Arabic) yang pertama kali diterbitkan tahun 1991 oleh

American Library Association (ALA) dan Library Congress (LC) yang juga digunakan

dalam Jurnal Ilmu Ushuluddin oleh Himpunan Peminat Ilmu-ilmu Ushuluddin

(HIPIUS) dengan akreditasi B. Berikut panduan dasar model transliterasi tersebut:

1. Konsonan

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

a a ا

b be ب

t te ت

th te dan ha ث

j je ج

ḥ h dengan titik di bawah ح

kh ka dan ha خ

d de د

dh de dan ha ذ

r er ر

z zet ز

s es dengan titik di bawah س

sh es dan ha ش

ṣ es dengan titik di bawah ص

ḍ de dengan titik di bawah ض

ṭ te dengan titik di bawah ط

ẓ zet dengan titik di bawah ظ

Page 11: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

viii

koma terbalik di atas hadap kanan (ayn) ‘ ع

gh ge dan ha غ

f ef ف

q ki ق

k ka ك

l el ل

m em م

n en ن

w we و

h ha ه

apostrof ` ء

y ye ي

2. Vokal Tunggal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal

tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih

aksaranya adalah sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

a Fatḥah

i Kasrah

u ḍammah و

Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ay a dan y ي

aw a dan w و

Page 12: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

ix

3. Vokal panjang

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ā a dengan garis di atas ا

ī i dengan daris di atas ي

ū u dengan garis di atas و

4. Kata Sandang

Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu

alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah

maupun qamariyyah. Contoh: al-shamsiyyah bukan ash-shamsiyyah, al-rijāl bukan

ar-rijāl.

5. Tasydīd

Huruf yang ber-tasydīd ditulis dengan dua huruf serupa secara berturut-turut,

seperti السنة = al-sunnah.

6. Ta marbūṯah

Jika ta marbūṯah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut

dialih-aksarakan menjadi huruf /h/, seperti أبو هريرة = Abū Hurairah.

7. Huruf Kapital

Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan

Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang, maka yang

ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal

atau kata sandangnya, seperti البخاري = al-Bukhāri.

Page 13: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

x

DAFTAR ISI

ABSTRAK................................................................................................................. ii

KATA PENGANTAR.............................................................................................. iii

PEDOMAN TRANSLITERASI.............................................................................. vii

DAFTAR ISI.............................................................................................................. x

DAFTAR TABEL…………………………………………………………………..xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah................................................................ 1

B. Permasalahan................................................................................. 9

C. Tujuan dan Manfaat....................................................................... 11

D. Kajian Pustaka............................................................................... 12

E. Metodologi penelitian................................................................... 15

F. Sistematika Penulisan.................................................................... 17

BAB II DISKURSUS METODOLOGI PEMAHAMAN HADIS

A. Definisi Sharḥ, Fiqh al-Hadis, Fahm al-Hadis............................... 20

B. Pengertian Metode Pemahaman Hadis.......................................... 26

C. Sejarah Metode Pemahaman Hadis............................................... 27

BAB III PERIODISASI METODE PEMAHAMAN HADIS

A. Garis Besar Metode Pemahaman Hadis ...................…………… 36

1. Klasik……………………………………………………...… 38

a. Klasifikasi Metode Pemahaman Hadis………………….. 38

b. Karakteristik Metode Pemahaman Hadis……………….. 65

2. Modern………………………………………………………. 67

a. Klasifikasi Metode Pemahaman Hadis…………………. 67

b. Karakteristik Metode Pemahaman Hadis………………. 97

B. Analisis Pergeseran Metode Pemahaman Hadis………………… 98

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan.................................................................................. 102

B. Saran............................................................................................ 103

DAFTAR PUSTAKA

Page 14: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

xi

DAFTAR TABEL DAN DIAGRAM

1. Tabel 2.1................................................................................................................24

2. Tabel 3.1................................................................................................................37

3. Tabel 3.2................................................................................................................62

4. Tabel 3.3................................................................................................................94

5. Tabel 3.4................................................................................................................98

1. Diagram 3.1...........................................................................................................71

Page 15: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kebutuhan umat Islam kepada sunnah Nabi atau belakangan disebut hadis, tak

ubahnya seperti kebutuhan manusia kepada air. Tanpa air, manusia akan binasa;

sebagaimana tanpa sunnah (hadis), kita tak akan memiliki syari’at.1 Dalam

perkembangan cabang ilmu hadis lebih jelasnya terdapat dua bentuk fokus kajian yang

perlu diketahui pengkaji hadis, yaitu Naqd al-Ḥadīth, dan Fiqh al-Ḥadīth. Studi yang

pertama lebih menekankan pada aspek otoritas dan validitas (keṣahīhan) hadis dilihat

dari sisi kritik hadis, baik sanad maupun matan-nya.2 Adapun studi yang kedua lebih

menekankan upaya metodologis terhadap pemahaman tekstual (ma’qūl al-naṣ) dan

kontekstual (mafhūm al-naṣ) hadis.3

Perkembangan Islam yang berhadapan langsung dengan budaya yang tentu

tidak sama dengan kondisi sosial saat Islam tumbuh yaitu di jazirah Arab, hal ini

mendorong berbagai usaha dalam mengadaptasi piranti-piranti keislaman yang

dalam hal ini memahami hadis sesuai situasi dan kondisi sehingga pemahaman hadis

merupakan proses merasionalkan teks yang tujuannya bergerak pada satu tujuan,

yakni ajaran yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan umat, atau dengan kata lain

agar hadis Nabi dapat berinteraksi dalam segala waktu dan zaman.4

1 Yūsuf al-Qaraḍāwī, Fī Rihāb al-Sunnah : Syarh Aḥādīth Nabawiyyah, 1926. Atau bisa dilihat

terj. Abu Aisyah Dkk. Dalam Pangkuan Sunnah (Jakarta : Al-Kautsar, 2013) h. vii 2 Dzikri Nirwana, Diskursus studi hadis dalam wacana Islam kontemporer ( jurnal al-Banjari,

vol. 13, No.2, Juli-desember 2014) h. 183, atau dapat dilihat pula dalam berbagai referensi kajian ini

misalnya Muḥammad Muṣṭafā al-A’ẓhamî, Manhaj al-Naqd ‘ind al-Muhaddithīn (Riyādh: Syirkah al-

Thibā’ah al-Su’ūdiyyah, 1982); Nūr ad-Dīn Itr, Manhaj al-Naqd fī ‘Ulūm al-Ḥadīth, (Damaskus: Dār al-

Fikr, 1997); Muḥammad Ṭāhir al-Jawābī, Juhūd al-Muḥaddithîn fī Naqd Matn al-Ḥadīts al-Nabawī al-

Syarīf (Tunisia: Mu’assasah, Abd al-Karīm ibn Abd Allah, t.th.); dan M. Syuhudi Ismail, Metodologi

Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992). 3 Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi: metode dan pendekatan (Yogyakarta: CESaD YPI al-

Rahmah, 2001) h. xii 4 M. Ridwan Hasbi, “Interaksi Rasionalitas Teknis dalam Pemikiran Hadis Kontemporer,”

(Jurnal Ushuluddin Vol. XIX No. 1, Januari 2013) h. 3

Page 16: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

2

Kehadiran teks dalam tradisi keagamaan telah membawa pengaruh dan dampak

yang besar bagi perkembangan intelektual, kebudayaan dan peradaban.5 Apabila

keberadaan teks adalah merupakan poros dari kebudayaan, maka upaya interpretasi –

yang merupakan wajah lain dari teks- menjadi salah satu mekanisme budaya dan

peradaban yang terpenting dalam memproduksi sebuah pengetahuan. Pada dasarnya

bukanlah teks sendiri yang membangun peradaban tetapi cara manusia berdialog

dengan teks di satu sisi, serta dialektikanya dengan realitas di sisi lainnya.6

Teks hadis Nabi Saw yang telah melewati masa sangat panjang tetap harus

dilakukan pemahaman yang sesuai dengan maksudnya. Mengingat Nabi Saw sudah

tiada, pemahaman dari satu teks hadis bisa bervariasi tergantung metode dan

pendekatan yang ditempuh. Oleh karena itu madhab-madhab pun muncul dalam Islam.

Meskipun demikian, ada sekelompok orang yang hanya meyakini bahwa kebenaran itu

harus satu macam dan tidak menerima pemahaman selain dari apa yang mereka

pahami.7 Pernyataan bahwa Islam adalah Ṣālih li kulli zamān wa makān, sebenarnya

telah menunjukan fleksibilitas dan elastisitas ajaran Islam dan bukan ortodoksi yang

ketat dan kaku.8

Hadis sebagai suatu tindakan Nabi Saw. dimaksudkan untuk membumikan

ajaran Islam dalam dunia nyata (raḥmah li al-‘ālamīn), maka hadis tidak bisa mengelak

dari dinamika sosial yang terjadi. Bahkan tidak jarang sebuah hadis menjadi ajang tarik

5 Lilik Ummi Kaltsum, Mendialogkan Realitas Dengan Teks, (Surabaya: CV. Putra Media

Nusantara, 2010), h. 25 6 Amin al-Khuli, Manāhij al-Tajdid fi al-Nahw wa al-Balāghah wa al-Tafsīr wa al-Adab,

(Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1961), h. 78. Lihat juga Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhūm al-Naṣ Dirasah fī

‘Ulūm al-Qur’ān, (Beirut : Markaz al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1994) h.9. 7 Naṣiruddin Albani, sifat Shalat Nabi (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2007), h. 16 atau dapat di cek

dalam kitab aslinya Aṣl Ṣifah Ṣolāh al-Nabī (Riyadh: Maktabah al-Ma’ārif, 2006) 8 M. Amin Abdullah, “Hadis dalam Khazanah Intelektual Muslim: al-Ghazali dan Ibnu

Taimiyyah”, dalam pengembangan pemikiran terhadap hadis, Ed. Yunahar Ilyas, (Yogyakarta: lembaga

pengkajian dan pengamalan Islam (LPPI), Universitas Muhammadiyyah Yogyakarta, 1996), h. 91

Page 17: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

3

menarik antara realitas sosial saat itu dan norma ideal, yang biasanya berakhir dengan

suatu kompromi ajaran tertentu, meskipun semuanya masih dalam bingkai wahyu.

Berbagai persoalan yang muncul dalam kehidupan Nabi Saw. terungkap dalam

hadis. Sepeninggal Nabi Saw. hadis tidak bertambah jumlahnya, sementara problem

yang dihadapi oleh umat Islam terus berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.

Itulah sebabnya, dalam memahami hadis diperlukan metode pemahaman yang tepat

melalui pendekatan komprehensif, baik tekstual (ma’qūl al-naṣ) maupun kontekstual

(mafhūm al-naṣ) dengan berbagai bentuknya.9

Kemajuan yang dicapai dalam studi hadis dari generasi ke generasi menunjukan

arah kemajuan yang sangat signifikan, baik itu dalam kajian tentang sanad maupun

matan, di samping perkembangan ulum al-Qur’ān yang ikut juga berkembang. Hadis,

yang selama ini dipahami sebagai ucapan, perbuatan, dan ketentuan Nabi saw. adalah

bagian yang tidak terpisahkan, -meminjam istilah Fazlur Rahman-, a living tradition

(tradisi yang hidup atau al-Sunnah) di era kenabian selama kurang lebih 23 tahun

berubah menjadi a literary tradition (tradisi tertulis) pada abad ke-2 dan ke-3 H. dalam

kitab-kitab kumpulan hadis. Tanpa disadari umat Islam, telah terjadi perubahan yang

mendasar dari tradisi “lisan” yang hidup, longgar, dan fleksibel menjadi tradisi

“tertulis”, beku, kaku atau baku.10 Maka dari itu, perlunya sebuah terobosan baru dalam

memberikan pencerahan baik metodologi, pendekatan, serta penghidupan sunnah

kembali di tengah masyarakat dengan disesuaikan keadaan zamannya.

9 Berbagai bentuknya merujuk kepada ragam pendekatan yang hadir dalam upaya

mereduksikan hadis sesuai konteks masa lalu ke pemahaman masa kini. Salah satu contohnya: Said

Agil Husein Munawwar, “Metode Pemahaman Hadis; Kemungkinan Pendekatan Historis dan

Antropologis” dalam Yunahar Ilyas dan M. Mas’udi (ed.), Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis,

(Yogyakarta: LPPI, 1996), h. 174. 10 Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History, (Pakistan: Islamic Research Institute,

1984).

Page 18: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

4

Berbagai metodologi dan pendekatan telah lama diupayakan dan ditawarkan

oleh para ahli hadis pada zaman klasik hingga sekarang dalam usahanya

mengeksplorasi dan menemukan makna yang dikandung dari hadis-hadis Nabi.11

Mereka itu antara lain; al-Shāfi’ī (w. 204 H / 820 M), Ibn Qutaibah (w. 276 H / 889 M),

Shihāb al-Dīn al-Qarāfī (w. 684 H / 1285 M), Syekh Wali Allah al-Dahlawi (w. 1176

H / 1762 M ), al-Nawawī (w. 676 H), Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī (w. 852 H / 1449 M),

Muḥammad al-Ghazāli (w. 1416 H / 1996 M), Yūsuf al-Qaraḍāwī (lahir 1926 M),

Fazlur Rahmān (w. 1988 M), M. Syuhudi Ismail (w. 1995 H), Ali Musthafa Ya’qub

(w. 2016), dan beberapa tokoh hadis kontemporer dalam kajian hadis khususnya di

Indonesia dengan karyanya masing-masing.

Pemahaman12 hadis adalah hal yang belakangan ini menjadi lahan pembahasan

yang dicoba untuk penerapan metode-metode dan pendekatan-pendekatan baru guna

mengaktualisasikan pemahaman konten (matan) hadis dengan keadaan zaman

(kontekstual), yang tidak jarang metode yang hendak digunakan awalnya metode yang

biasanya hanya diterapkan pada penelitian terhadap teks biasa, bukan seharusnya

diterapkan pada teks keagamaan semisal hadis. Namun, Di sisi lain tentu upaya yang

dilakukan merupakan usaha untuk mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu guna

mencari jalan alternatif dengan menyuguhkan metode yang baru atau dengan kata lain

mencoba melengkapi metode yang telah ada.

11 Abdul Mustaqim, dkk, Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami Hadis,

(Yogyakarta: Sukses Offset, 2008), h. v 12 Pemahaman adalah kata benda (noun) yang merujuk pada proses, cara, perbuatan memahami

atau memahamkan (KBBI). Kata ini merupakan serapan dari bahasa arab, yaitu kata al-Fahm (الفهم) yang

berarti mengenali suatu objek dengan hati (ma’rifatuka al-syai’a bi al-qalb) (Lisān al-‘Arab). Sementara

al-Jurjānī memberikan pengertian suatu pernyataan yang bersumber dari seorang pembicara (tasawwur

al-ma’na min lafz al-mukhatib) (al-Ta’rifat). Kata al-fahm semakna dengan beberapa kata dalam bahasa

inggris, misalnya kata understand, graps, comprehend, realize dan see yang berarti mengetahui (tahu),

menangkap sesuatu yang sulit dimengerti, mengenal secara sempurna, mengetahui situasi yang terkadang

terjadi secara tiba-tiba dan menemukan suatu pengertian. (Cambridge Advance Learner Dictionary).

Kamus Besar Bahasa Indonesia versi 1.3. Ibn Mandzur, Lisān al-‘Arab juz 10, (al-Qāhirah: Dār al-

taufiqiyyah li turats, 2009), h. 381. Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah,

2012) h. 185, Aplikasi Cambridge Advanced Laerner’s Dictionary (third edition).

Page 19: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

5

Merespon upaya tersebut, dalam masalah ini tentu mendorong usaha sebagian

ulama konservatif yang memang sangat berhati-hati terhadap metode baru dan

pemahaman hadis yang ditawarkan, untuk ditelaah kembali dan berusaha menolak

metode atau konsep yang dinilai kurang layak diterapkan pada pembahasan teks

keagamaan. Sedangkan sebagian ulama lainnya dan para sarjana muslim kontemporer-

progresif justru sebaliknya, yang sedang menggiatkan pertumbuh-kembangan metode-

metode ini dalam khazanah keislaman dan bahkan mencoba menerapkannya kepada

sumber pokok ajaran Islam, yakni al-Qur’ān dan Hadis. Dan disamping kedua respon

di atas juga ada pula sebagian kecil yang mengembangkannya dengan

mengkombinasikan kedua hal tersebut dengan mencoba mencari kelemahan dan

kelebihan masing-masing metode serta pendekatan lalu berupaya menjembatani untuk

mengintegrasikannya.

Pemahaman hadis yang menggunakan metode tentu memerlukan peranan

tokoh yang mengembangkan sebuah metode13 yang pada akhirnya dapat diterapkan

dalam memahami hadis. Perlu dipahami metode dengan pendekatan mempunyai

dimensi yang amat sangat berdekatan, karena mempunyai arti sama yaitu proses,

atau cara14, akan tetapi dalam hal penggunaannya, metode lebih runut langkah demi

langkah secara teratur untuk memperoleh sesuatu pencapaian dari objek penilitian

yang diinginkan, lain halnya dengan pendekatan yang merupakan proses atau cara

untuk mendekati objek penilitian yang sedang dikaji, yang merupakan cara

penerapannya langsung kepada objek penelitian atau berbaur dengan hal yang ingin

diteliti dan pendekatan berada lebih luas dibanding metode.

13 Metode merupakan kata benda (noun) yang merujuk pada pengertian cara teratur yang

digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja

yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. 14 Kamus Besar Bahasa Indonesia versi 1.3

Page 20: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

6

Metode dalam memahami hadis yang digunakan ulama terdahulu

(klasik/tradisional) memang secara implisit tidak berupa cara langkah demi langkah

(step by step), tetapi harus dianalisa terlebih dahulu sehingga didapatkan intisari

metode yang digunakannya. Hal ini dapat dilihat dalam kitab Ikhtilāf al-Hadīth15

Karya al-Shāfi’ī yang langkah-langkah metodenya bisa diketahui dengan

menganalisa keseluruhan bab demi bab dalam kitabnya, Namun, dalam kitabnya

pula Imam al-Shāfi’ī menunjukan bahwa kontradiksi hanya sebatas gejala

pemahaman yang menyimpang dari maksud hadis, dan membangun satuan

informasi yang berbeda-beda di atas asumsi-asumsi atau pendapat yang lemah.

Hampir serupa dengan al-Shāfi’ī, Ibn Qutaibah juga memberikan pola

pemahamannya dalam karyanya “Ta’wil Mukhtalif al-Hadīth” yang menawarkan

upaya penyelesaian pada hadis-hadis yang terlihat bertentangan. tentunya dari

metode yang mereka tawarkan masih bernuansa klasik yang dominan, yaitu seputar

memahami hadis melalui ilmu matan hadis dan riwayatnya, dan tidak terlihat sisi

kontekstual situasional secara mendalam dari pemahaman hadis itu sendiri, meski

jika terlihat kontekstual situasional pada waktu itu, maka perlu untuk memahaminya

dengan situasi dan realitas sekarang dan mewujudkan sesuatu yang seharusnya

menjadi A living tradition bukan A Literary tradition.

Lebih jauh lagi ke pertengahan abad ke-sembilan hijriyyah, Ibn Ḥajar al-

ʻAsqalānī menyusun sebuah kitab Sharḥ hadis yang berjudul Fatḥ al-Bārī,16 Sejauh

pembahasan metode yang ditawarkan Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, memang terlihat telah

mengalami perkembangan yang signifikan dengan hadirnya pemahaman hadis

15 Abū ‘Abd Allah Muḥammad bin Idrīs al-Shāfi’ī, Ikhtilāf al-hadīth, (Beirut: Dār al-Kutub al-

‘Ilmiyyah, 2008) cet. Ke-1 16 Ibn Ḥajar al-ʻAsqalānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, (Riyadh: Dār al-Taybah,

2005)

Page 21: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

7

melalui multi disiplin ilmu, namun tetap di rasa hanya berputar di sekitar riwayat

dan pendekatan kebahasaan, bukan pada aspek sosial dan humaniora.

Selanjutnya metode pemahaman hadis juga coba ditawarkan ulama atau

sarjana muslim modern-kontemporer yang mencoba menawarkan pemahaman yang

lebih dominan berpaku pada konstekstual semisal, Fazlur Rahman dengan teori

double movementnya, Arkoun dengan dekonstruksi pemahamannya, Nasr Ḥamid

Abu Zayd penelaahan kembali wacana dan naṣ dalam agama, dan Shahrūr dengan

teori limitasi dan evolusi konsep sunnahnya. Disamping itu ada juga yang tetap

mempertahankan tradisi pemahaman yang telah ada, semisal yusuf al-Qaradāwī

dengan Kaifa Nata’āmal ma’a al-Sunnah al-Nabawiyyah Ma’ālim wa Ḍawābit yang

menyebutkan dalam salah satu metodenya dengan memperhatikan sarana yang

berubah dan tujuan yang tetap, Muḥammad al-Ghazālī dengan al-Sunnah Baina Ahl

al-Fiqh wa Ahl al-Ḥadīth17 dengan menggelorakan kembali semangat kembali

kepada nilai-nilai qur’ani, M. Syuhudi Ismail dengan Hadis Nabi yang Tekstual dan

Kontekstual Telaah Ma’ani al-Hadīts tentang Ajaran Islam yang Universal,

Temporal dan Lokal18 yang menyajikan proporsi dalam memahami ajaran islam

dalam hadis, dan Cara Benar Memahami Hadis karya Ali Mustafa Ya’qub. Serta

beberapa sarjana hadis Universitas Islam Negeri yang meramaikan khazanah

wacana metode pemahaman hadis di Indonesia semisal Amin Abdullah, Sahiron

Syamsuddin, Suryadi, Alfatih Suryadilaga, hingga Abdul Mustaqim.

Dari beberapa metode baik pada masa klasik hingga kontemporer yang

dipaparkan di atas, tentu ada beberapa kesamaan poin dalam upaya memahami hadis

17 Muhammad al-Ghazali, al-Sunnah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadis, (Cairo:Dār al-

Surūq, 1989) dan untuk versi terjemahannya dengan judul Studi Kritis Atas Hadis Nabi, Antara

Pemahaman Tekstual dan Kontekstual (Bandung : Mizan, 1993) 18 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual Telaah Ma’ani al-Hadīth

tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal ; Metodologi Penelitian Hadis (Jakarta:

CV Bulan Bintang,1992)

Page 22: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

8

Nabi mulai dari periode klasik hingga kontemporer. Meskipun demikian ditemukan

kesamaan dalam beberapa poin tapi langkah menuju tahap rekonstruksi serta

pandangan dunia dan zaman yang ada pada masing-masing tokoh berbeda. Maka

sangat perlu untuk menyajikan metodologi yang lengkap secara tradisi pemahaman

ulama terdahulu serta mampu merangkul dengan hangat metode-metode, pendekatan-

pendekatan baru yang bersifat kekinian. Sebagaimana yang diungkapkan oleh

Mohammed Arkoun dengan sungguh pemikiran Islam yang naif jika tidak diperkaya

dengan usaha pembaharuan yang kritis dan membuka diri pada kemodernan yang

nantinya menghasilkan pengaktualisasian sejumlah makna yang diejawantahkan dalam

berbagai cara pemahaman, pencitraan, serta penalaran khas masyarakat tertentu serta

didukung berbagai faktor sosial, budaya psikis, politis, dll.19

Karenanya, pendekatan yang terlalu terpusat pada “teks” (tekstual) dalam

memahami hadis tidak lagi memadai dan perlu diperkaya dengan pendekatan

kontekstual dan kajian interdisipliner yang melibatkan seperangkat disiplin ilmu

lainnya, seperti ilmu pengetahuan alam dan sosial (sosiologi, antropologi) serta

hermeneutic dan semiotik. Dalam hal ini, peminjaman, modifikasi, maupun adaptasi

unsur informasi dan unsur metodologi oleh suatu disiplin ilmu dari disiplin ilmu yang

lain merupakan hal yang wajar. Memang suatu disiplin ilmu memiliki otonomi di

dalam dirinya. Namun, karena gejala yang dideskripsikan dan dijelaskan olehnya

merupakan satu kesatuan yang kompleks, serta tingkat perkembangan dan kemampuan

disiplin ilmu itu bervariasi, maka disiplin ilmu itu tidak dapat melepaskan diri dari

bantuan dan kerjasama dengan disiplin ilmu lainnya.

19 Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru,

(Jakarta: INIS, 1994), h. 6

Page 23: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

9

Berangkat dari problema di atas seputar metode-metode, pendekatan, yang

ditawarkan oleh beberapa ulama hadis baik klasik hingga kontemporer nampaknya

membutuhkan telaah kembali mengenai pola pergeseran, dan karakteristik, serta

integrasi antar metode yang dirumuskan oleh mereka. Oleh karena itu, penulis dalam

penelitian ini tertarik mengambil judul “Pergeseran Metode Pemahaman Hadis

Ulama Klasik hingga Kontemporer”

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang di atas adanya berbagai metodologi yang dikembangkan

oleh banyak sarjana muslim (ulama terdahulu hingga sekarang) membuat

pemahaman hadis menjadi terbatas hanya pada topik yang diinginkan, dengan

tampilnya pemahaman yang dilandaskan latar aliran serta melalui metode yang

masing-masing mereka tawarkan. Terlebih setelah menyadari bahwa ada

kelemahan-kelemahan metodologi terdahulu yang masih dijadikan pegangan oleh

sebagian umat Islam. Dari sinilah penulis mengidentifikasi beberapa masalah

sebagai berikut :

Pertama, sejarah mencatat setidaknya beberapa ulama (seperti yang penulis

sebutkan di latar belakang masalah) dalam kajian hadis menampilkan gagasannya

dalam metode memahami hadis, tentu perlu dipetakan kembali secara jelas mulai

darimana gagasan itu hadir. Sejak kapan metode untuk memahami hadis muncul

dalam pengkajian hadis?

Kedua, metode pemahaman hadis yang ditawarkan oleh ulama terdahulu

dinilai sudah tidak mampu menjawab dan tidak relevan lagi bagi kehidupan sosial

karena keadaan sosio-historis tradisi lama jauh berbeda dengan kehidupan masa

Page 24: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

10

kini, meliputi keadaan sosial, perangkat pengetahuan dan budaya, sehingga

penerapannya dipandang hanya akan kembali kepada zaman saat hadis itu tumbuh

dan berkembang semata, yaitu mengedepankan tekstualitas dan pendekataan

kebahasaan saja. Apakah ada pendekatan yang digunakan selain metode mukhtalif

al-Hadīth dan pendekatan kebahasaan pada zaman klasik?

Ketiga, ke arah mana konsentrasi dan fokus pembahasan metode pemahaman

hadis pada zaman sekarang (kontemporer)? Bagaimana pola pergeseran metode

serta karakteristik pemahaman hadis ulama klasik hingga kontemporer? Metode

pemahaman hadis tetap stagnan atau terus berkembang dari dulu hingga sekarang?

Keempat, pengkajian pemahaman hadis menemui puncaknya pada abad

modern, dengan hadirnya beberapa metode memahami hadis. Apakah hadirnya

metode ini disebabkan ketidakmampuan metode klasik-pertengahan menjawab

kemajuan zaman? apa motif yang melatarbelakangi metode-metode tersebut?

mengadaptasikan sejumlah ilmu pengetahuan untuk diterapkan dalam ilmu agama,

wacana Islamisasi ilmu serta pengintegrasian ilmu sosial-humaniora pada kajian

hadis. Dapatkah integrasi ilmu pengetahuan itu dilakukan? Bagaimana dengan

metode lama? Apakah ikut diintegrasikan? Apakah pengadaptasian pendekatan-

pendekatan mampu memberikan pengetahuan yang komprehensif?

2. Batasan Masalah

Dari identifikasi masalah di atas, maka pembahasan ditetapkan pada

persoalan ketiga, yakni memaparkan Fokus kaijai, karakteristik dan pola

pergeseran metode pemahaman hadis yang dimulai pada periode klasik hingga

periode kontemporer. Persoalan ini saya bahas karena metodologi pemahaman

hadis kontemporer yang memang lebih sesuai dengan keadaan sosial sekarang,

Page 25: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

11

berpotensi menggerus tradisi lama yakni dalam metodologi pemahaman hadis

yang dikemukan ulama klasik. Oleh karena itu, perlu untuk dipaparkan ada atau

tidaknya pergeseran dari klasik hingga ke kontemporer serta usaha untuk

mengkomparasikan dan mengintegrasikan berbagai metodologi pemahaman hadis

guna mencapai pemahaman yang kompherensif.

3. Rumusan Masalah

Untuk memperoleh pemahaman hadis yang kompherensif, tentu kajian

hadis secara tekstual dan kontekstual perlu untuk dipahami melalui metode-

metode baik lama maupun yang terbaru, lalu mengintegrasikan keduanya dalam

suatu pemahaman yang utuh dan tepat. Dari batasan masalah yang dikemukakan

di atas, penulis merumuskan permasalahan menjadi: Bagaimana pola pergeseran

metode pemahaman hadis ulama terdahulu hingga pengkaji hadis kontemporer?

Apakah stagnan atau dapat terus mengalami pembaharuan? Dan kemanakah

fokus kajian pada masa sekarang?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dari

penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui ragam metodologi pemahaman hadis klasik hingga

kontemporer.

b. Untuk mendapatkan pemahaman yang kompherensif dalam memahami sebuah

hadis melalui perspektif klasik hingga kontemporer.

Page 26: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

12

c. Untuk mengintegrasikan berbagai metode dan pendekatan yang telah dan akan

muncul dalam memahami hadis.

2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wacana keilmuan Islam

khususnya dalam metodologi pemahaman hadis yang cukup beragam, dan

memperkenalkan aspek pengintegrasian antar metodologi pemahaman secara

kompherensif.

D. Kajian Pustaka

Untuk mendukung penelaahan yang lebih integral dan kompherensif, maka

penulis berusaha melakukan tinjauan lebih awal terhadap pustaka (karya-karya)

yang mempunyai relevansi dengan tema yang diteliti. Tinjauan terhadap karya atau

tulisan yang memuat ataupun membahas tentang metodologi pemahaman hadis dari

zaman klasik hingga kontemporer dilakukan untuk mengetahui batas penelitian

yang penulis lakukan, sehingga penelitian ini bisa terhindar dari kemungkinan

adanya duplikasi.

Karya-karya yang membahas seputar metode pemahaman hadis dengan

menawarkan dan menyajikan berbagai pendekatan, seperti yang di tulis oleh Nizar

Ali dalam bukunya Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan)20 yang

mengklasifikasikan metode pemahaman hadis yang ulama gunakan menjadi tiga

bagian, yaitu Taḥlili, Ijmāli, dan Muqarīn. Serta mengajukan beberapa pendekatan

dalam memahami hadis, yaitu pendekatan kebahasaan, historis, sosiologis,

psikologis, sosio-historis, dan antropologi.

20 Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi: Metode dan Pendekatan (Yogyakarta: CESaD YPI al-

Rahmah, 2001), h. 28-108

Page 27: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

13

Masih dalam lingkup yang sama M. Alfatih Suryadilaga membahas dengan

judul Metodologi Syarah Hadis21 yang menyajikan kerangka sejarah dalam

metodologi syarah hadis dalam perkembangan Islam dan mengeksplorasi dari

beberapa kitab hadis klasik dan kontemporer dengan menganalisis konten

didalamnya dan memetakan berbagai pendektan yang dikandungnya. M. Syuhudi

Ismail22 dan Ali Mustafa Ya’qub23 juga ikut mengambil bagian dalam perumusan

metode memahamai hadis. karyanya masing-masing menawarkan basis yang

berbeda jika Syuhudi Ismail lebih menekankan posisi redaksional dan motif Nabi

dalam menyabdakan hadis yang pada kelanjutannya akan berdampak pada

keberlakuan hukum syariat atasnya.

Ali Mustafa Ya’qub menyajikan secara garis besar ada tiga, memahami hadis

dengan cara tekstual, kontekstual dan dengan cara tematis. Basis pemahamannya

pun tidak jauh menyebrang ke pemahaman yang ekstrim, akan tetapi, ia berusaha

tetap menjaga kemurnian dan ketepatan dalam memahami hadis.

Sebelumnya juga telah ada karya Muḥammad al-Ghazālī yakni, al-Sunnah

al-Nabawiyyah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadīth yang juga telah diterjemahkan

ke dalam bahasa Indonesia dengan Judul Studi Kritik atas Hadis Nabi Saw. antara

Pemahaman Tekstual dan Kontekstual24 yang membahas tentang autoritas religius.

Seperti hubungan antara al-Qur’an dan al-Sunnah, posisi otoritas Nabi Saw. sebagai

sumber hukum Islam, dan metode kritik hadis serta perangkat pemahaman hadis

menggunakan standarisasi al-Qur’an dan perbedaan metode dan pendekatan antara

para ahli fikih dan ahli hadis.

21 M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis (Yogyakarta : UIN Suka Press, 2012) 22 M. Syuhudi Ismail, Hadis yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Maani al-Hadis tentang

Ajaran Islam yang universal, temporal dan local (Jakarta: Bulan Bintang, 2009) 23 Ali Mustafa Ya’qub, Cara Benar Memahami Hadis (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2016) 24 Muhammad al-Ghazālī, Studi Kritis atas Hadis Nabi Saw. antara pemahaman Tekstual dan

Kontekstual (Bandung:Mizan, 1996)

Page 28: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

14

Berbeda halnya dengan kajian di atas yang menyajikan dan menawarkan

metode ada sejumlah tokoh yang mencoba membandingkan metode antar tokoh,

Suryadi dalam penelitiannya yang berjudul Metode Pemahaman Hadis Nabi: Telaah

atas Pemikiran Muḥammad al-Ghazālī dan Yūsuf al-Qaraḍāwī25 yang memaparkan

metode yang dipaparkan oleh kedua orang tersebut setelah di telaah persamaan dan

perbedaannya masing-masing metode. Penelitain lain yang juga membahas

perbandingan tokoh yaitu Siti Fatimah, yang membahas judul Metode Pemahaman

Hadis Nabi dengan Mempertimbangkan Asbābul Wurud: Studi Komparasi

Pemikiran Yūsuf al-Qaraḍāwī dan Syuhudi Ismail26 yang mencoba menyuguhkan

titik persamaan dan perbedaan mengenai metode Asbāb al-Wurūd dalam memahami

hadis pada kedua tokoh tsb. Selanjutnya juga ada Alamsyah dengan judul Sunnah

sebagai Sumber Hukum Islam dalam pemahaman Shahrūr dan al-Qaraḍāwī27 yang

menaparkan penggunaan sunnah sebagai dasar hukum mengambil pandangan dua

tokoh modern-kontemporer yakni Shahrūr dengan Yūsuf al-Qaraḍāwī.

Said Agil Munawwar dan Abdul Mustaqim dalam karyanya Asbāb al-

Wurūd: Studi kritis HadisNabi Pendekatan Sosio-Historis – kontekstual28

merupakan suntingan dari buku Asbāb al-Wurūd al-Ḥadīth aw al-Luma’ fī Asbāb

al-Ḥadīth karangan al-Ḥafīẓ Jalal al-Dīn al-Suyūṭī. Buku ini mencoba memerikan

penjelasan mengenai pengertian asbāb al-wurūd dan fungsinya, beserta

25 Suryadi, “Metode Pemahaman Hadis Nabi: Telaah atas Pemikiran Muhammad al-Ghazālī

dan Yūsuf al-Qaraḍāwī,” (Disertasi S3Program Studi Ilmu Agama, Program Pascasarjana UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta, 2004) 26 Siti Fatimah, “Metode Pemahaman Hadis Nabi dengan Mempertimbangkan Asbābul

Wurud: Studi Komparasi Pemikiran Yūsuf al-Qaraḍāwī dan Syuhudi Ismail,” (Skripsi jurusan Tafsir

Hadis, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, 2009) 27 Alamsyah, “Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam dalam pemahaman Shahrūr dan al-

Qaraḍāwī,” (Disertasi S3 Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,2004) 28 Said Agil Husin Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbāb al-Wurūd: Studi kritis HadisNabi

Pendekatan Sosio-Historis – kontekstual (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001)

Page 29: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

15

pemaparannya dalam memahami hadis yang ditinjau dari segi makna, fungsi dan

metodenya.

Upaya merekonstruksi pemahaman hadis juga disuarakan oleh beberapa

tokoh, misalnya Suryadi dengan karyanya Rekonstruksi Metodologi Pemahaman

Hadis Nabi29, M. Alfatih Suryadilaga dengan Metode Hermeneutik dalam

Pensyarahan Hadis: Ke Arah Pemahaman Hadis yang Ideal dan Komprehensif.30

Serta kajian jurnal yang ditulis M. Ridwan Hasbi, Interaksi Rasionalitas Teknis

dalam Pemikiran Hadis Kontemporer,31 Dzikri Nirwana, Diskursus Studi Hadis

dalam Wacana Islam Kontemporer,32 yang keduanya mencoba memberikan

gambaran dinamika rasional dalam mengkonstruksikan pemahaman hadis yang

fresh sesuai dengan keadaan sosial dan kemajuan zaman.

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Secara kategorikal, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif karena

penelitian ini bermaksud untuk memahami fenomena metode pemahaman hadis, dan

tentang yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik yang dideskripsikan

melalui kata-kata dan bahasa dalam konteks tertentu.33

Jenis penelitian ini pada dasarnya dapat dikategorikan ke dalam penelitian

kepustakaan (Library Research), karena objek penelitiannya adalah literatur-literatur

29 Suryadi, Rekonstruksi Metodologi Pemahaman Hadis Nabi dalam Wacana Hadis

Kontemporer (PT. Tirta Wacana, 2002) 30 M. Alfatih Suryadilaga, Metode Hermeneutik dalam Pensyarahan Hadis: Ke Arah

Pemahaman Hadis yang Ideal dan Komprehensif,” (Jurnal Studi Ilmu dan Agama. Vol. 1, No. 1,

Januari 2001) 31 M. Ridwan Hasbi, Interaksi Rasionalitas Teknis dalam Pemikiran Hadis Kontemporer (Jurnal

Ushuluddin Vol. XIX No. 1, Januari 2013) 32 Dzikri Nirwana, Diskursus Studi Hadis dalam Wacana Islam Kontemporer (Jurnal al-

Banjari, Vol. 13, No. 2, Juli-Desember 2014) 33 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, cet. ke-27 (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2010), h. 6

Page 30: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

16

kepustakaan yang membahas metode pemahaman hadis.34 Baik yang berasal dari

pokok-pokok pembahasan tentang metode, maupun dari karya-karya lainya yang terkait

dengan pembahasan dalam penelitian ini.

2. Sumber data

Pada penelitian ini merupakan penelitian pustaka karena objek penelitian

bersandar pada data-data yang tersebar dalam bentuk buku, artikel, laporan penelitian,

situs, dan lain sebagainya.35 Kemudian data-data tersebut dibagi ke dalam data primer

dan data sekunder.

Sumber primer pada penelitian ini adalah buku-buku dan kitab-kitab yang

mencoba menawarkan cara memahami hadis Nabi dari berbagai aspek serta kitab

syarah hadis yang menggunakan metode tersendiri, yaitu: Kitab Ikhtilāf al-Ḥadith

Karya Imam asy-Shāfi’ī, Kitab Fatḥ al-Bārī karya Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, Bagaimana

Memahami Hadis Nabi Saw karya Yusuf al-Qaraḍāwī, Hadis Nabi yang Tekstual dan

Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadīth tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal

dan Lokal karya M. Syuhudi Ismail, dan sebagainya. Selain data primer yang disebut

di atas juga diperlukan sumber sekunder, yaitu sumber data pendukung. Seperti yang

terdapat di dalam kitab-kitab Sharḥ al-hadīth, buku, jurnal, atau tulisan-tulisan yang

berhubungan atau mendukung penyusunan penelitian ini.

3. Pengumpulan data

Teknik pengumpulan data ini adalah dengan mengumpulkan berbagai metode

dalam memahami hadis, baik yang lahir dari tradisi keilmuan Islam yang ada mulai dari

fase klasik, yakni al-Shāfi’ī hingga fase modern kontemporer, yakni Yūsuf al-

Qaraḍāwī. Dan juga mengkomparasikan dengan berbagai metodologi memahami teks

34 Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah (Bandung: Tarsito, 1990), h.182. 35 Saifuddin Anwar, Metode Penelitian (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 17

Page 31: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

17

yang lahir pada tradisi kesarjanaan kontemporer yang bertujuan menghasilkan

pembaharuan yang kritis.

4. Analisis data

Setelah data yang diinginkan terkumpul, Maka akan dianalisis data tersebut

sehingga penelitian ini dapat terlaksana secara rasional, sistematis dan terarah dengan

menggunakan metode analisis-komparatif. Penelitian ini menggunakan langkah-

langkah sebagai berikut:

Pertama, melakukan analisis pada metode pemahaman hadis yang telah ada

guna mendapatkan gambaran awal lahirnya masing-masing metodologi dan juga

sekaligus memetakan berbagai metodologi dalam beberapa kategori/klasifikasi.

Kedua, menjajarkan berbagai pengertian tentang metode pemahaman hadis

serta sejarah terbentuknya metode pemahaman hadis secara ringkas.

Ketiga, menganalisa beberapa karangan ulama dalam metode pemahaman hadis

lalu di klasifikasikan pemahaman serta pergeseran metode pemahaman dari klasik

hingga ke kontemporer.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan pembahasan yang utuh maka diperlukan adanya

sistematika penulisan. Dalam sistematika penulisan ini, dibagi menjadi empat bab, dan

masing-masing bab memiliki sub pokok bahasan.

Bab pertama adalah pendahuluan. Bab ini terdiri dari latar belakang masalah,

identifikasi masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian yang digunakan dan sistematika

penelitian.

Page 32: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

18

Latar belakang masalah merupakan deskripsi tentang beberapa faktor yang

menjadi dasar timbulnya masalah yang akan diteliti. Setelah itu permasalahan

diintentifikasi dan diputuskan pembatasan serta rumusan masalahnya. Kemudian tujuan

penelitiannya disesuaikan dengan pokok masalah, sedangkan manfaatnya yaitu berupa

harapan tentang kemanfaatan hasil dari penelitian ini sendiri. Setelahnya dilakukan

telaah pustaka guna mencari litelatur-literatur yang memberikan penjelasan tentang

tema yang sedang dibahas, lebih dari itu litelatur ini juga kemudian berguan untuk

mencari tempat bagi penulis untuk melakukan penelitian yang belum pernah tersentuh

sebelumnya. Kemudian disusul dengan metodologi penelitian yang memberikan

penjelasan mengenai teknik dan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam

pengumpulan dan analisis data. Sub-bab terakhir dalam bab ini berupa sistematika

penulisan yang digunakan sebagai pedoman klasifasi data serta sistematika yang

ditetapkan pokok masalah yang akan diteliti.36 Bab ini merupakan kerangka dari

seluruh isi penelitian.

Bab kedua, penulis membahas pengertian terlebih dahulu yang akan menjadi

dasar penelitian ini. Dalam membantu memahami maksud metode pemahaman hadis

dalam pengertian bahasa Indonesia dan juga memberikan pemaparan yang jelas tentang

beberapa ungkapan yang disebut cara memamahi juga, lalu memberikan titik singgung

dari beberapa ungkapan tersebut dari berbagai aspek. Setelah itu dilanjutkan dengan

pemaparan sejarah perkembangan ilmu hadis dan sejarah pemahaman hadis.

Bab Ketiga, akan membahas kerangka analisis yakni mempetakan beberapa

ulama dalam kajian pemahaman hadis serta dalam mempolakan masing-masing

metodologi lalu dicari persamaan dan perbedaan, kekurangan dan kelebihan masing-

36 Buku Pedoman Akademik Program Strata 1 Tahun 2011/2012 UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Page 33: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

19

masing metode, dan mengumpulkan beberapa pendekatan yang selama ini tercecer dan

tidak rapih agar masuk dalam kajian untuk memahami teks hadis, dan merumuskan

metode yang layak untuk mewujudkan pemahaman yang lengkap dan dapat menjawab

persoalan pemahaman dalam umat sekarang.

Bab keempat, berisi penutup berupa kesimpulan dan saran. Didalamnya akan

berisi kesimpulan dari penelitian ini mulai dari bab pertama sampai bab terakhir. Atau

dalam hal kesimpulan ini berisi jawaban pokok terhadap masalah yang sedang diteliti,

kemudian saran yang berisi rekomendasi-rekomendasi dari penulis.

Page 34: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

20

BAB II

WAWASAN SEPUTAR METODOLOGI PEMAHAMAN HADIS

A. Pengertian Sharḥ al-Ḥadīth, Fiqh al-Ḥadīth, Fahm al-Ḥadīth dalam

Kerangka Metode Pemahaman Hadis

Istilah memahami hadis adalah upaya mengeksplorasi isi kandungan lafaz dan

makna hadis, melalui petunjuk yang terkandung dalam lafaz itu sendiri. Akan tetapi,

proses membedakan petunjuk lafaz yang berbeda antar lafaz dengan kemungkinan

makna yang berlainan dikarenakan adanya faktor eksternal yang memberikan kerangka

nyata tentang proses pemahaman dalam hal ini, sehingga perlu ditekankan kembali

pengertian yang spesifik tentang proses tersebut.

Kemunculan istilah Sharḥ (Syarah1) memberikan dampak yang cukup signifikan

dalam pengkajian pemahaman hadis, karena memang syarah (Sharḥ) merupakan istilah

yang telah dipakai sejak dahulu dan kitab-kitab hadis yang menjelaskan makna hadis

juga menggunakan istilah Syarah (Sharḥ) sebagai nama kitabnya. Penggunaan istilah

syarah (Syarḥ) banyak digunakan dalam upaya menafsirkan atau memberikan

pemahaman terhadap hadis baik dari segi sanad maupun matan, dan tidak jarang nama

kitabnya juga tercantum dengan menggunakan kata (Syarḥ) itu sendiri. Seperti : Fatḥ

al-Bārī bi Sharḥ al-Bukhārī karya Ibn Ḥajar al-Asqālānī, Irsyād al-Syārī li Sharḥ Ṣaḥīḥ

al-Bukhārī karya Abī al-Abbās Syihāb al-Dīn Aḥmad bin Muḥammad al-Qasyṭalānī,

al-Minhaj Sharḥ Ṣaḥīḥ Muslim bin al-Hajjāj, Kasf al-Ghiṭa fī Sharḥ Mukhaṣar al-

Muwaṭṭa’ karya Abu Muhammad bin Abi al-Qāsim al-Farhuni al-Ya’muri at-Tunisi,

Ibānah al-Ahkām bi Sharḥ Bulugh al-Marām karya Alwi Abbas al-Maliki wa Hasan

1 Penyebutan seperti di atas sering ditemukan dalam bahasa Indonesia, hal ini merujuk kepada

Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Page 35: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

21

Sulaiman al-Nawāwī. Serta dibanyak kitab lain yang menamai kitabnya dengan istilah

sharḥ.

Istilah yang hampir serupa juga hadir dalam perkembangan keilmuan yang melaju

semakin pesat, yakni, istilah Fiqh al-Ḥadīth dan Fahm al-Ḥadīth. Namun, dalam segi

pengertian secara bahasa makna yang digunakan dalam kalimat tersebut mengandung

maksud yang berbeda meski tujuannya sama yakni memahami hadis Nabi. Maka untuk

itu perlu dipaparkan pengertian masing-masing agar memperoleh pembatasan yang

spesifik tentang hal tersebut. untuk lebih jelasnya sebagai berikut:

1. Definisi Sharḥ (Syarah)

Kata Sharḥ berasal dari bahasa Arab sharaḥa – yashraḥu – sharḥan yang artinya

menerangkan, membukakan, dan melapangkan.2 Istilah Sharḥ biasanya digunakan

untuk menjelaskan, menerangkan, membuka makna hadis, sedangkan istilah Tafsir

untuk kajian al-Qur’ān. Secara substansial kedua istilah itu sama, yaitu, sama-sama

menjelaskan maksud, arti atau pesan. Tetapi secara istilah, keduanya berbeda. Istilah

Tafsir spesifik kepada al-Qur’ān saja dengan menjelaskan maksud, arti, kandungan,

atau pesan ayat al-Qur’ān, sedangkan istilah syarah (Sharḥ) ialah meliputi pembahasan

hadis dan juga disiplin ilmu lainnya.3

Sedangkan secara istilah definisi syarah hadis adalah sebagai berikut:

من حكم و حكمةعناصره شرح احلديث هو بيان معاين احلديث و استخراج

Syarah hadis adalah menjelaskan makna-makna hadis dan mengeluarkan

seluruh kandungannya, baik hukum maupun hikmah.4

2 Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab juz V, (al-Qāhirah: Dār al-Taufīqīyyah li turāth, 2009), h. 76. 3 Nizar Ali, (Ringkasan Desertasi) Kontribusi Imam Nawawi dalam Penulisan Syarh Hadis,

(Yogyakarta: , 2007), h. 4 4 Mujiono Nurkholis, Metodologi Syarah Hadist, (Bandung: Fasygil Grup, 2003), h. 3

Page 36: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

22

Definisi ini hanya menyangkut syarah terhadap matan hadis, sedangkan definisi

syarah yang mencakup semua komponen hadis itu, baik sanad maupun matannya,

adalah sebagai berikut:

ة وعلة وب يان معانيه و ناوسندا من صح ستخراج اشرح احلديث هو ب يان ماي ت علق بحلديث مت .احكامه وحكمه

Syarah hadis adalah menjelaskan keṣahīhan dan kecacatan sanad dan

matan hadis, menjelaskan makna-maknanya, dan mengeluarkan hukum

dan hikmahnya.5

Dari sudut terminologis, syarah (Sharḥ) berarti uraian terhadap materi-materi

tertentu, lengkap dengan unsur-unsur dan segala syarat yang berkaitan dengan objek

pembahasan.6 Dalam hal ini pengertian kata syarah sangat terkait dengan

perkembangan tradisi keilmuan Islam. Pada kenyataan kata syarah digunakan untuk

menunjukkan sebagai istilah untuk penjelasan atau uraian terhadap suatu ilmu yang

dijadikan objek studi di setiap cabang pengetahuan.7

2. Definisi Fiqh al-Ḥadīth

Fiqh menurut bahasa berasal dari kata faqiha – yafqahu - fiqhan yang artinya

adalah al-‘ilmu bi al-shay`i wa al-fahmu lahu (mengetahui sesuatu dan

memahaminya).8 Al-Fairuz Abadī mendefinisikan kata ini dengan al-‘ilmu bi al-shay`i

wa al-fahm lahu wa al-faṭanat wa ghalibu ‘alā al-dīn li sharifihi (mengetahui sesuatu

dan memahaminya, kecerdasan, dan memperlalukan agama karena kemuliannya).9

Sementara menurut al-Jurjānī, al-Fiqh adalah Memahami maksud orang yang

5 Mujiono Nurkholis, Metodologi Syarah Hadist, (Bandung: Fasygil Grup, 2003), h. 3 6 Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 951 7 E.J. Brill, First Encyclopaedia of Islam 1913-1936, Vol. VII, (Leiden: E.J. Brills, 1987), h.

320 8 Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab juz 10, (al-Qāhirah: Dâr al-Taufīqīyyah Li Turâts, 2009), h. 339 9 Majd al-Dīn Muḥammad ibn Ya’qub al-Fairuz Abadī, Al-Qamūs al-Muhīth, (Bairut: Dār al-

Jail, t.th), Juz 4, h. 291

Page 37: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

23

berbicara dalam perkataannya (fahm gharḍ al-mutakallim min kalamihi).10 Perlu

dipahami makna yang diungkapkan ini bukanlah makna fiqh yang dikenal oleh

kalangan fuqaha’ sebagai sebuah cabang ilmu, akan tetapi sebatas pengertian

etimologis yang diambil dari beberapa pembuka kitab fiqh dan uṣūl al-fiqh sebagai

pembanding untuk memperoleh pengertian yang lebih spesifik.11

Untuk pengertian secara terkait antara al-fiqh dan al-ḥadīth beberapa ulama

memberikan pengertianya masing-masing, kata fiqh al-Ḥadīth menurut Abū Yasir al-

Hasan al-Ilmī adalah:12

احلديث النبوي معناه فهم مراد النيب صلى هللا عليه و سلم من كالمه فقه .

Fiqh al-Ḥadīth al-Nabawī artinya adalah memahami maksud dari

perkataan Nabi Saw.

Sedangkan menurut pendapat lain adalah:13

.فقه احلديث هو فهم مراد النيب من كالمه واستخراج معناه

Fiqh al-Ḥadīth adalah memahami maksud dari perkataan Nabi Saw. dan

mengeluarkan maknanya.

Makna yang dikemukakan di atas mempunyai cakupan yang sama yaitu makna

yang mencakup semua sunnah Rasulullah saw. dengan menjelaskan serta menerangkan

maksud yang diungkapkan olehnya. Dan makna inilah yang kurang lebih juga

dimaksudkan oleh ulama-ulama hadis seperti al-Bukhārī, Muslim, Ahmad, Abū Daud,

dll.

10 ‘Alī Ibn Muḥammad al-Jurjānī, Kitâb al-Ta’rīfāt, (Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islâmîyah, t.t), h.

184 11 Pengertian tentang istilah al-fiqh banyak termuat dalam kitab fiqh dan uṣūl al-fiqh sebagai

pengenalan untuk memahami dasar kata terbentuknya serta pengertian istilah fiqh itu sendiri secara luas. 12 Abu Yasir al-Hasan al-‘Ilmy, Fiqh al-Sunnah al-Nabawiyah: Dirāyah wa Tanzīlan,

(Disertasi: t.tp, t.th), h.14 13 Muḥammad Ṭāhir al-Jawābī, Juhûd al-Muḥaddithīn fī Naqd Matn al-Ḥadīts al- Nabawī al-

Syarīf, (Tunisia: Mu’assasah, Abd al-Karīm ibn Abd Allāh, t.th.), h. 128

Page 38: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

24

3. Definisi Fahm al-Ḥadīts

Secara kerangka teori belum banyak para ahli yang mendeskripsikan dan

memberikan pembedaan tentang istilah pemahaman (al-fahm) secara jelas, lain halnya

dengan penggunaan istilah fiqh ataupun sharḥ yang telah mempunyai lahan etimologi

tersendiri dalam kajian matan hadis. Dalam kitab Lisān al-‘Arab dijelaskan bahwa kata

al-fahm berarti pengetahuanmu tentang sesuatu berdasarkan penilaian hati

(ma’rifatuka al-shay`i bi al-qalb).14 Pengertian yang hampir serupa juga diberikan oleh

al-jurjānī (w. 1413 M) yaitu, al-fahm adalah menggambarkan makna dari sesuatu yang

diungkapkan pihak kedua (lawan bicara) / mukhatab (taṣwir al-ma’na min lafẓ al-

mukhāṭabi).15 Sementara dalam bahasa inggris al-fahm semakna dengan kata

comprehension, understanding, dan conception.16 Yang berarti mengerti, menafsirkan,

dapat difahami, pemikiran, konsepsi. Meskipun mempunyai penekanan yang agak

berbeda, seluruh kata di atas memiliki kesamaan pengertian yaitu munculnya suatu

informasi atau pengertian dalam kesadaran manusia. Dan dalam upaya

memunculkannya suatu informasi itu dapat melalui suatu usaha yang cukup keras untuk

memperoleh pemahaman atau juga bisa dengan secara tiba-tiba tanpa diupayakan.17

Sehingga pengertian yang ditampilkan kata al-fahm dan al-fiqh memberikan

makna yang bersinggungan, ketika merujuk kata al-fiqh adalah upaya yang dilakukan

untuk memahami suatu objek secara langsung dengan meneliti aspek yang tersirat.

Berlainan jika merujuk kata al-fahm yang adalah upaya yang dilakukan untuk

14 Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab juz 10, (al-Qāhirah: Dār al-Taufīqīyyah Li Turāts, 2009), h. 381 15 ‘Alī Ibn Muḥammad al-Jurjānī, Kitâb al-Ta’rīfāt, (Jakarta: Dār al-Kutub al-Islāmīyah, t.t), h.

185 16 Sevans, Alan M, A Comprehensive Indonesian-English Dictionary, (Jakarta: Mizan, 2008),

h. 691. 17 Lina Shobrina, “Identitas Penampilan Muslim dalam Hadis: Pemahaman Hadis Memelihara

Jenggot dalam Konteks Kekinian”, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Jakarta,

2017), h. 17

Page 39: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

25

memahami dan menggambarkan sesuatu ungkapan dengan bantuan orang kedua

sebagai interpretan guna memudahkan penggambaran makna.

Tabel 2.1 Perbandingan pengertian Sharḥ, Fiqh, dan Fahm dalam hadis

Sharḥ Fiqh Fahm

Pen

ger

tian

Bahasa: Menerangkan,

membukakan, dan

melapangkan.

Istilah: menjelaskan

makna-makna dan

mengeluarkan seluruh

kandungannya.

Bahasa: Mengetahui

sesuatu dan

memahaminya.

Istilah: Memahami

maksud orang yang

berbicara dalam

perkataannya.

Bahasa: pengetahuanmu

tentang sesuatu

berdasarkan penilaian

hati.

Istilah: Menggambarkan

makna dari sesuatu

yang diungkapkan

pihak kedua (lawan

bicara).

Per

sam

aan

- Munculnya suatu informasi atau pengertian dalam kesadaran manusia.

- Menggali, mengungkap, membuka makna yang tertutup.

- Mempunyai informasi yang lebih jelas dan terang dari sumber

informasi itu sendiri.

Per

bed

aan

Merujuk kepada segala

sumber yang dapat

mendukung keterbukaan

makna dan kandungan,

baik teks, kondisi social,

baik secara langsung

atau bantuan penutur

makna lainnya.

Upaya yang dilakukan

untuk memahami suatu

objek secara “langsung”

dengan meneliti aspek

yang tersirat.

Upaya yang dilakukan

untuk memahami dan

menggambarkan sesuatu

ungkapan dengan

bantuan orang kedua

sebagai interpretan guna

memudahkan

penggambaran makna.

Sedangkan pengertian al-Ḥadīth secara etimologis (bahasa) adalah berlawanan

dengan yang tua/ lama,18 baru (al-jadīd), berita (al-khabar).19 Dan secara terminologis

(istilah) jumhur ulama hadis adalah sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad

Saw. Baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan (taqrir) dan yang sebagainya.20

Jadi, pengertian dari ketiga terma di atas mempunyai kesamaan pokok

pembahasan yakni berupaya menampakkan sisi yang lain dari makna suatu hadis,

18 Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab juz 3, (al-Qāhirah: Dâr al-Taufīqīyyah Li Turāts, 2009), h. 85. 19 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2012), h. 1. 20 Fatchur Rahman, IKhtisar Mushthalahul Hadis, (Bandung: PT Al-Ma’arif, 1974), h. 20.

Page 40: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

26

memberikan pemahaman yang jelas tentang makna tersirat dan tersurat suatu hadis

dengan memperhatikan segala aspek yang mungkin terkandung didalamnya dengan

bantuan logika, latar sejarah, serta situasional kondisional saat hadis itu disabdakan

baik yang berupa perkataan, perbuatan, pernyataan dan sebagainya lalu diupayakan

untuk diamalkan sesuai dengan kondisi kekinian.

B. Pengertian Metode Pemahaman Hadis

Metode berasal dari bahasa yunani methodos yang berarti cara atau jalan. Dalam

bahasa inggris, kata ini ditulis dengan method.21 Dan dalam bahasa Arab kata metode

ini diterjemahkan dengan kata ṭarīqah dan manhaj.22 Sementara pemahaman23

memberikan pengertian sebagaimana kata al-fahm yang telah dijabarkan sebelumnya.

Maka metode pemahaman hadis adalah suatu cara yang tersistematis dan teratur

untuk mencapai pemahaman yang benar tentang apa yang dimaksudkan Nabi

Muhammad saw. dalam hadisnya. Secara umum metode pemahaman hadis merupakan

kerangka dan langkah-langkah, tahapan-tahapan, cara-cara yang digunakan dalam

menafisrkan dan memahami hadis Nabi Muhammad saw. secara keseluruhan dari tahap

awal hingga akhir.24

21 Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia, 2014), h. 16. 22 Manhaj secara bahasa bermakna ṭarīqah yang berarti metode. Dan menurut istilah Manhaj

merupakan metode yang telah tersistematis dalam sebuah cabang ilmu. Dari dua kata di atas, kata yang

lebih tepat digunakan dalam mengartikan metode adalah kata manhaj. Shalah ‘Abd al-Fattah al-Khâlidi,

Ta’rif al-Dârisin bi Manāhij al-Mufassirîn, (Damaskus: Dār al-Qalam, 2002), h. 16 23 Pemahaman adalah kata benda (noun) yang merujuk pada proses, cara, perbuatan memahami

atau memahamkan (KBBI). Kata ini merupakan serapan dari bahasa arab, yaitu kata al-Fahm (الفهم) yang

berarti mengenali suatu objek dengan hati (ma’rifatuka al-syai’a bi al-qalb) (Lisan al-‘Arab). Sementara

al-Jurjani memberikan pengertian suatu pernyataan yang bersumber dari seorang pembicara (tasawwur

al-ma’na min lafz al-mukhatib) (al-Ta’rifat). Kata al-fahm semakna dengan beberapa kata dalam bahasa

inggris, misalnya kata understand, graps, comprehend, realize dan see yang berarti mengetahui (tahu),

menangkap sesuatu yang sulit dimengerti, mengenal secara sempurna, mengetahui situasi yang terkadang

terjadi secara tiba-tiba dan menemukan suatu pengertian. (Cambridge Advance Learner Dictionary).

Kamus Besar Bahasa Indonesia versi 1.3. Ibn Mandzur, Lisān al-‘Arab juz 10, (al-Qahirah: dar al-

taufiqiyyah li turats, 2009), h. 381. Al-Jurjani, Kitab al-Ta’rifat, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah,

2012) h. 185, Aplikasi Cambridge Advanced Laerner’s Dictionary (third edition). 24 Lina Shobrina, “Identifikasi Penampilan Muslim dalam Hadis.... h. 18

Page 41: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

27

Setidaknya dalam memahami hadis ada beberapa komponen yang harus

terpenuhi, pertama Subjek, yakni orang yang melakukan kegiatan/berupaya

memahamani hadis, kedua Objek, yakni hadis Nabi saw, ketiga metode atau langkah

kerja dalam kegiatan tersebut yang dapat mengantarkan pada makna hadis tersebut,

keempat yakni merupakan landasan dasar yaitu tujuan memahami hadis. Dalam

keempat komponen di atas, peranan metode menjadi sangat kompleks karena mampu

menentukan makna yang dimaksud dari kandungan hadis. Hal ini disebabkan metode

merupakan kerangka inti yang berperan aktif dalam menentukan kebenaran yang

terkandung dalam hadis. Hasil dari pemahaman hadis sangat ditentukan pada ketepatan

metode mana yang dipakai guna memperoleh makna yang tepat.

C. Sejarah Metode Pemahaman Hadis

Perkembangan studi hadis mempunyai dua mata pembahasan yang esensial

mencakup keadilan seorang pembawa berita (periwayat) serta apa yang diberitakan

(riwayat hadis), yang dalam istilah hadis dan ilmu hadis, hal ini dikenal dengan istilah

sanad dan matan. Sanad menjadi studi yang amat sangat populer pada masa

pembentukan awal hadis yang selanjutnya beralih kepada hadis dalam bentuk tertulis

yang berupaya mendokumentasikan segala perangkat yang terkait dengan keseharian

kehidupan Nabi sebagai seorang kepala Negara, pemimpin masyarakat, panglima

perang, hakim, dan pribadi beliau sebagai manusia.25 Dengan cara dijaganya

keteraturan penyampaian setiap masa dalam ṭabaqat serta pengkategorian pembawa

berita yang menjadikan faktor eksternal sebagai patokan dasar penilaian seorang

pembawa berita (periwayat) sehingga pembahasan mengenai sanad amat sangat

25 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual : Telaah Ma’ani al-Hadis

tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), h. 4

Page 42: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

28

kompleks guna menelaah kembali otentisitas dan validitas hadis yang dibawa dan

diperoleh oleh setiap pembawa berita (periwayat). Hal ini pula menjadi faktor

terhambatnya tersampaikannya maksud matan hadis, dikarenakan fokus pada fase awal

dalam bidang hadis terpusat pada kajian sanad. Maka sebagian ulama pada fase

selanjutnya berusaha memulai pengkajiannya terhadap makna hadis dengan

menelurkan kitab syarah, yang hingga sekarang menjadi rujukan dalam memahami

hadis Nabi.26

Sejarah perkembangan syarah (Sharḥ) hadis, tentu sangat mengikuti

perkembangan ilmu hadis. Artinya, perkembangan metode memahami muncul setelah

beberapa dekade berjalan, lalu berkembang sesuai dengan zamannya. Dengan dasar ini,

para ulama terkadang berbeda dalam menentukan lahirnya syarah hadis, terlebih yang

merujuk langsung tentang metode sistematis dalam memahami hadis. Maka perlu untuk

dipaparkan terlebih dahulu perkembangan ilmu hadis sebelum membahas

perkembangan syarah hadis.

Di antaranya Hasbi al-Shiddieqy dan Nūr al-Dīn ‘Itr yang memposisikan

perkembangan syarah hadis pada periode kelanjutan setelah perkembangan ilmu hadis,

hasbi menempatkannya pada periode terakhir, yakni abad ketujuh hijriyyah, sedangkan

‘Itr menempatkan pada pertengahan abad keempat hingga abad ketujuh hijriyyah dari

periodisasi sejarah perkembangan hadis dan ilmu hadis yang dibuatnya.

Berikut ini periodisasi ilmu hadis yang dirumuskan menurut Hasbi al-Shiddieqy

dan Nūr al-Dīn ‘Itr adalah sebagai berikut: 27

26 Kitab-kitab syarah klasik menjadi rujukan primer dalam kajian makna hadis, hal ini didasari

kebutuhan dalam memahami hadis. Diantaranya kitab-kitab tersebut adalah; Fatḥ al-Bāri Fī Syarḥ Ṣahih

Bukhāri karya ibnu Ḥajar al-Āsqalani, Ṣaḥiḥ Muslim ‘alā Syarḥ al-Nawāwi karya Imam

Nawāwi,’Umdah al-Qārī fī Syarḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī karya badruddin Abi Muhammad Mahmud bin

Ahmad al-Hanafi al-Aini , Irsyād al-Sārī fī Syarḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī karya shihabuddin al-Qasṭalani,

Ibānah al-Ahkām Syarḥ Bulūgh al-Marām karya Hasan Sulaiman al-Nuri & Alawi Abbas al-Maliki, dll. 27 Hasbi al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,

2009), h. 88-93. namun jika ditelisik lebih jauh berdaskan fakta yang ada kitab syarah sudah ditulis sejak

Page 43: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

29

1) Kelahiran hadis hingga Rasulullah wafat;

2) Pembatasan riwayat;

3) Perkembangan periwayatan dan perlawatan mencari hadis (kelahiran ilmu

hadis), sejak awal abad ke-1 H sampai akhir abad ke-1 H;

4) Pembukuan hadis, selama abad ke-2 H;

5) Penyaringan dan seleksi hadis, selama abad ke-3 H;

6) Penghimpunan hadis-hadis yang terlewatkan, penyusunan kitab induk ilmu

hadis sejak awal abad ke-4 H, sampai tahun 656 H;

7) Penulisan dan penyempurnaan kitab-kitab induk ilmu hadis, syarah, kitab-

kitab takhrij, dan sebagainya, sejak pertengahan abad ketujuh Hijriah.

8) Fase kebekuan dan kejumudan, sejak abad kesepuluh hingga awal abad

keempat belas hijriyyah.

9) Kebangkitan kedua, sejak abad keempat belas hingga seterusnya.

Selain periodisasi Hasbi al-Shiddieqy dan Nūr al-Dīn ‘Itr terdapat ulama lain

yang relatif objektif dalam memposisikan syarah hadis dalam periodisasi

perkembangan hadis dan ilmu hadis, yaitu Muhammad ‘Abd al-‘Aziz al-Khuli. Ia

membaginya menjadi lima periode, dan periode terakhir adalah sistematisasi,

penggabungan, dan penulisan kitab syarah sejak abad ke-4 Hijriah.28

Akan tetapi karena kegiatan mensyarah hadis sebenarnya secara praktis telah

terjadi pada saat kelahiran hadis itu sendiri, yaitu oleh Rasulullah secara lisan dan

dilanjutkan pada masa sahabat oleh para ulama mereka, maka periodisasi sejarah

perkembangan syarah hadis tampaknya perlu dibedakan dengan periodisasi sejarah

perkembangan hadis dan ilmu hadis. Banyak fakta yang menunjukkan bahwa syarah

abad ke-4 dengan tersusunnya kitab Ma’alim al-Sunan Syarah Sunan Abi Daud yang ditulis oleh Imam

Abū Sulaimān Ḥamd bin Muḥammad al-Khaththabi al-Busti (319-388 H). 28 Muḥammad ‘Abd al-‘Aziz al-Khulli, Tarikh Funūn al-Hadīth, (Jakarta: Dinamika Berkah

Utama, t.t), h. 12

Page 44: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

30

hadis secara lisan sering dilakukan Rasulullah Saw. dan para sahabat. Bila demikian,

periode sejarah perkembangan syarah hadis secara garis besar dapat dibagi menjadi

tiga, yaitu:

1) Syarah hadis pada masa kelahiran hadis (fī ‘aṣr al-risālah);

2) Syarah hadis pada masa periwayatan dan pembukuan hadis (fī ‘aṣr al-

riwāyah wa al-tadwīn);

3) Syarah hadis setelah pembukuan hadis (ba’da al-tadwīn).

1) Syarah Hadis pada Masa Kelahirannnya (Fi ‘Aṣr al-Risālah)

Masa kelahiran hadis sama dengan masa turunnya al-Qur’ān, atau selama Nabi

Muhammad mengemban risalah yaitu sejak diangkat menjadi Nabi dan rasul hingga

ia wafat. Segala ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi merupakan bayan kepada

umatnya. Akan tetapi tidak semua sahabat mampu memahami setiap ucapan Nabi

dengan baik, sehingga mereka menanyakan makna kata-kata tertentu secara

langsung kepada Nabi atau kepada sahabat yang lain. Hal ini menunjukkan syarah

hadis telah terjadi pada masa kelahiran hadis itu sendiri, dan pensyarahnya adalah

Rasulullah.29

2) Syarah Hadis pada Masa Periwayatan dan Pembukuan Hadis (Fi ‘Aṣr Al-

Riwāyah wa al-Tadwin)

Kegiatan yang dimaksud dengan hadis pada masa periwayatan dan pembukuan

hadis adalah kegiatan syarah hadis yang dilakukan secara lisan atau tulisan sejak

masa sahabat hingga memasuki masa penulisan kitab-kitab syarah, yaitu dari

dasawarsa kedua abad pertama Hijriah hingga akhir abad ketiga Hijriah. Periode ini

dinamai masa periwayatan dan pembukuan hadis karena kedua kegiatan tersebut

29 Mujiyo Nurkholis, Metode Syarah Hadis, (Bandung: Fasygil Grup, 2011) h. 35-36

Page 45: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

31

tidak pernah dapat dipisahkan, setidaknya selama batas waktu tersebut periwayatan

dan pembukuan hadis berjalan seiring, karena periwayatan hadis juga berlangsung

berdasarkan hafalan dan tulisan. Apabila periode ini diakhiri dengan munculnya

kitab syarah, maka diduga periode ini dapat berakhir pada akhir pertengahan abad

keempat Hijriah, yaitu dengan lahirnya kitab syarah Ṣahīh al-Bukhārī yang tertua

berjudul A’lam al-Sunan karya al-Khaṭṭabi (w. 388 H).30

3) Syarah Hadis Pasca Pembukuan Hadis (Ba’da al-Tadwin)

Sedangkan yang dimaksud dengan periode pasca pembukuan adalah

berakhirnya penulisan-penulisan kitab-kitab hadis yang termasuk kategori al-

Masadir al-Ashliyyah, yaitu kitab-kitab yang disusun berdasarkan hasil pencarian

dan penelusuran hadis oleh penulisnya dengan sanad-nya sendiri, bukan kumpulan

kutipan-kutipan hadis dari berbagai kitab, bukan himpunan di antara dua kitab atau

lebih, dan bukan pula ringkasan dari kitab-kitab yang lain. Dasar pemikiran dari

pembatasan awal periode ini adalah karena berakhirnya pembukuan hadis, maka

penulisan syarah terhadap hadis tidak lagi tercakup dan menyatu dengan matan

hadis seperti pada masa-masa sebelumnya. Oleh karena itu, apabila dilihat dari kitab

hadis yang terakhir disusun, maka diduga periode ini berawal pada pertengahan –

bahkan mungkin awal− abad kelima Hijriah, yaitu dengan disusunnya al-Sunan al-

Kubra karya al-Baihaqī (w. 458 H). Namun, apabila dilihat dari munculnya kitab

syarah, boleh jadi periode ini berawal sejak pertama kali munculnya kitab syarah

yang dikenal dengan sebagai kitab syarah tertua yaitu A’lam al-Sunan karya al-

30 Mujiyo Nurkholis, Metode Syarah Hadis, h. 40

Page 46: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

32

Khaṭṭabi (w. 388 H), yaitu syarah terhadap ṣahīh al-Bukhārī. Hal ini sesuai dengan

periodisasi menurut al-Khuli di atas.31

Penjelasan mengenai pembagian periode serta pembedaan dengan periodisasi

hadis dan ilmu hadis di atas merupakan upaya pengklasifikasian yang dilakukan para

pengkaji hadis kontemporer guna memperoleh garis besar yang utuh dari sejarah

terbentuknya sebuah karya syarah hadis, yang mengindikasikan proses tentang cara

memahami telah berkembang pesat dari abad ke abad dalam khazanah hadis dan ilmu

hadis.

Merujuk kepada sejarah yang menunjukan bahwa proses memberikan

penjelasan terhadap hadis Nabi –Sharḥ, fiqh, fahm- telah hadir dan mengisi posisi

kosong guna melengkapi kemegahan kajian hadis yang memang di dominasi kajian

sanad pada periode awal, hingga pertemuannya dengan periode dimulainya kajian

makna matan dalam hadis. hal ini yang mendorong sebagian ulama untuk membentuk

sebuah poros baru dalam kajian hadis yakni kajian yang konsen pada pemahaman hadis

dan bagaimana seharusnya memahami hadis Nabi dengan berpedoman metode yang

telah diperkenalkan dalam ilmu hadis dan oleh ulama hadis baik pada masa lalu hingga

sekarang. Ilmu ini pada masa kini disebut ilmu metode pemahaman hadis.

Pada dasarnya ilmu metode pemahaman hadis memang tidak berdiri sendiri

sebagi sebuah cabang ilmu-ilmu hadis, akan tetapi ilmu ini merupakan bentuk

pengaplikasian dari cabang ilmu hadis yang berkaitan, yakni cabang ilmu Mukhtalif al-

Ḥadīth. Cabang ilmu ini mengkaji tentang hadis-hadis makbul yang terlihat saling

kontradiktif tetapi hadis-hadis tersebut masih bisa dikompromikan.32

31 Mujiyo Nurkholis, Metode Syarah Hadis, h. 45 32 Mahmūd al-Ṭaḥhān, Taisīr Musṭalah al-Ḥadith, (Beirut, Dār al-Qur’ān al-Kārim, 1972), h.

56

Page 47: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

33

Dalam upaya menyelesaikan hadis-hadis yang kontradiktif perlu cara untuk

mengkompromikan dan memahaminya.Ulama hadis memberikan beberapa alternatif

cara memahami hadis-hadis yang kontradiktif, seperti al-jam’u wa al-taufīq

(kompromi), al-naskh (penghapusan), al-tarjīh (pengunggulan), dan al-tawaqquf

(penundaan). Oleh karena itu ilmu ini dinamakan ilmu mukhtalif al-ḥadīth.33 Dari

ilmu mukhtalif al-ḥadith maka hadir pula cabang-cabang ilmu lain yang saling

bertalian, seperti ilmu nāsikh mansūkh, ilmu ma’ani al-ḥadīth, dan ilmu gharīb al-

ḥadīth, dimana semuanya merupakan perangkat untuk memahami hadis.

Bila kita merunut dalam sejarah, praktik pemahaman hadis sudah muncul sejak

masa Nabi Muhammad saw. ketika Nabi menyampaikan sabdanya kepada para

sahabat. Hal ini dapat dilihat ketika Nabi Muhmmad saw. memerintahkan sejumlah

sahabatnya untuk pergi ke perkampungan Bani Quraizhah34 sebelum berangkat beliau

berpesan: “lā yuṣaliyyanna aḥadun al-‘aṣra illā fī Banī Quraiẓah” (Janganlah ada

seorang di antara kamu yang shalat ‘Aṣar, kecuali di perkampungan Bani

Quraizhah). Perjalanan ke perkampungan tersebut ternyata cukup panjang, sehingga

sebelum mereka tiba di tempat yang dituju waktu ‘Aṣar telah habis. Di sini mereka

merenungkan kembali apa maksud pesan Nabi saw. di atas. Ternyata sebagian

memahaminya sebagai perintah untuk bergegas dalam perjalanan agar dapat tiba di

33 Penjelasan tentang penyelesaian permasalahan ini termuat dalam semua kitab-kitab Ulūm al-

Ḥadith dengan bab khusus tentang kajian matan hadis yang bertentangan atau juga menggunakan istilah

Ilmu Mukhtalif al-Ḥadith, dikarenakan pembahasan ini memang menyasar pada hadis-hadis makbul yang

terlihat saling bertentangan. Lihat, Abdul Majid Khon, Takhrīj dan Metode Memahami Hadis (Jakarta:

Amzah, 2014), h. 197-209, Mahmūd al-Ṭaḥhān, Taisīr Musṭalah al-Ḥadith, (Beirut, Dār al-Qur’ān al-

Kārim, 1972), h. 56 34 Bani Quraizhah adalah merupakan salah satu suku Yahudi yang tinggal di Yastrib (Madinah).

Ketika umat Islam hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad Saw. membuat perjanjian dengan penduduk

Madinah termasuk di dalamnya umat Yahudi. Salah satu isi perjanjian tersebut adalah semua penduduk

Madinah saling bekerjasama untuk menjaga keamanan kota Madinah dari serangan musuh. Akan tetapi

Bani Quraizhah melanggar perjanjian tersebut pada waktu terjadinya perang Khandaq dengan cara

bersekutu dengan Kafir Quraisy. Maka setelah selesai perang Khandaq Nabi Muhammad Saw.

mendapatkan perintah dari Allah untuk mengepung Bani Quraizhah, sehingga berangkatlah pasukan

Muslim keperkampungan Bani Quraizhah untuk mengepung mereka. Lihat Mustafa Al-Sibā’i, Sirah

Nabawiyah (Jakarta: Intermedia, 2011), h.93.

Page 48: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

34

sana pada waktu masih ‘Aṣar. Jadi bukan seperti bunyi teksnya yang melarang shalat

‘Aṣar kecuali di sana. Dengan demikian, mereka boleh shalat ‘Aṣar walaupun belum

tiba ditempat yang dituju. Tetapi sebagian yang lain memahaminya secara tekstual.

Oleh karena itu mereka baru melakukan shalat ‘Aṣar setelah waktu ‘Aṣar berlalu,

karena mereka baru tiba di perkampungan Bani Quraizhah setelah waktu ‘Aṣar

berlalu.35

Dalam penjelasan peristiwa di atas kita mendapatkan dua cara memahami hadis

yang berbeda dilakukan pada masa sahabat yakni memahami hadis dengan secara

tekstual dan kontekstual. Dan setelah peristiwa di atas dua cara memahami terus

berlanjut pada masa setelah sahabat. Kelompok yang berpegang pada makna lahiriah

hadis disebut dengan Ahl al-Ḥadīth tekstualis.36 Sedangkan kelompok kontekstualis

dalam hal ini disebut dengan Ahl al-Ra’yi rasional.37

Pada masa selanjutnya, yaitu al-shāfi’ī (w. 204 H) metode pemahaman hadis

berkembang mengikuti perkembangan sejarah hadis itu sendiri. Sebagaimana dapat kita

lihat dari lahirnya metode-metode jam’u atau nasakh dalam kajian hukum, yakni fikih.

Dan sejumlah metode juga dapat ditemukan dalam kitab kumpulan hadis tematik

35 Al-Nawawī, Sharḥ al-Nawawī ‘alā Ṣaḥiḥ Muslim, Juz 12, (Beirut: Dār al-Iḥyā` al-Turāth al-

‘Arabī, 1392 H/ 1972 M), h. 98. Penjelasan ini juga dimuat dalam Kata pengantar M. Quraish Shihab

dalam buku Studi Kritis Atas Hadis Nabi Saw Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual,

(Jakarta: Mizan, 1996), h. 9. 36 Kelompok ini, yakni Ahl al-Ḥadith telah muncul sejak masa sahabat. Kelompok ini

mayoritas berisikan ulama Hijaz. Dalam wacana fiqh, istilah Ahl al-Ḥadith merujuk pada madhab

Hanbali. Kelompok ini berpegang pada arti lahiriah naṣ, memahami hadis berdasarkan yang tertulis

pada teks, tidak mau menggunakan qiyas dan tidak mau menggunakan ra’yu. Dalam pandangan

kelompok ini kebenaran al-Qur’ān bersifat mutlak, sedangkan kebenaran rasio bersifat nisbi. Sesuatu

yang nisbi tidak akan mungkin dapat menjelaskan sesuatu yang mutlak. Kelompok Ahl al-Hadīth ini

juga mengabaikan sebab-sebab terkait yang berada disekeliling naṣ. Lihat Abdul Majid Khon, Takhrīj

& Metode Memahami Hadis, (Jakarta: Amzah, 2014), h. 146. 37 Kelompok Ahl al-Ra’yi memahami persoalan secara rasional dengan tetap berpegang kepada

naṣ al-Qur’ān dan Hadis. Dalam ranah fiqh madhab Hanafi merupakan bagian dari kelompok ahl al-

Ra’yi, dan dalam khazanah kalam klasik istilah ahl al-Ra’yi diorientasikan pada Mu’tazilah. Mereka

memahami teks dengan memperhatikan sesuatu yang ada di sekitarannya karena ada indikasi makna-

makna lain selain makna tekstual. Kelompok ini mempertahankan akal dalam mengembangkan konsep-

konsep uṣul fiqh, seperti qiyas, mashlahah dan istihsan. Mereka melihat hukum-hukum yang universal

sehingga dapat dicapai tujuan umum al-Maqāsid al-Syari’ah). Lihat. Khon, Takhrīj & Metode

Memahami Hadis, h. 146.

Page 49: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

35

berdasarkan tema keilmuan yang tertentu, seperti dalam beberapa cabang ilmu hadis;

yakni ilmu mukhtalif al-ḥadīth, gharīb al-ḥadīth, asbāb al-wurūd dan nāsikh wa

mansūkh al-ḥadīth. Pada abad ketiga hijriyah terjadi kodifikasi hadis-hadis Nabi saw.

disertai dengan judul-judul bab yang klasifikasikan oleh para pengumpul hadis tertentu.

Kegiatan tersebut dapat dilihat dalam kitab-kitab primer dalam kajian hadis seperti;

Ṣahīh al-Bukhāri, Ṣahīh Muslim, Sunan Tirmīzi, Sunan Abū Dāud, dan kitab-kitab lain.

Jika merujuk kepada periodisasi syarah sebagaimana yang telah dipaparkan di

atas, maka ditemukan pertemuan yang jelas bahwa perkembangan pemahaman hadis

memang sudah memberikan geliat ke arah yang lebih mapan, karena penggunaan ilmu

mukhtalif al-ḥadīth, gharīb al-ḥadīth, asbāb al-wurūd dan nāsikh wa mansūkh al-

ḥadīth dalam beberapa karya ulama klasik semisal; Imam al-Shāfi’ī, Ibn Qutaibah. Dan

ini telah ada sejak pertengahan abad ke-2 dan awal abad ke-3. Sehingga

mengindikasikan bahwa metode memang lahir lebih dahulu daripada kitab-kitab

syarah, yang jika merujuk kepada periodisasi yang diperlihatkan oleh Hasbi al-

Shiddieqy bahwa syarah baru lahir pada abad ke-7 hijriyyah,38 menjadi bahan

pertimbangan tersendiri dalam meragukan pendapat ini mengingat ia memberikan

rentan waktu yang sangat lama. Berbeda dengan periodisasi yang dipaparkan oleh

Muhammad ‘Abd al-‘Aziz al-Khuli yang menyebut bahwa kegitan penulisan syarah

telah hadir sejak abad ke-4 hijriyyah, dan ini terbukti dengan fakta yang meyatakan

bahwa kitab syarah pertama memang lahir pada abad ke-4 hijriyyah.

38 Hasbi al-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,

2009), h. 88-93.

Page 50: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

36

BAB III

PERIODISASI PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS

A. Garis Besar Metode Pemahaman Hadis

Bila ditelusuri akar sejarahnya, kegiatan memahami hadis sudah muncul sejak

Nabi menyabdakannya kepada para sahabatnya. Demikian pula setelah sabda dikutip,

diriwayatkan, lalu dipahami dengan tujuan mengambil nilai-nilai yang terkandung di

dalamnya. Di sinilah awal mula timbul cara-cara atau proses memahami atau bisa

disebut metode memahami yang semakin lama semakin tertata, sistematis dan

kompleks. Tentu para sahabatlah yang diyakini sebagai kelompok generasi yang paling

baik dalam memahami sabda Nabi saw.1 Disamping perubahan yang terjadi dari zaman

ke zaman, yang menuntut cara serta metode pemahaman baru guna

mengaktualisasikannya dengan keadaan zaman.2

Periodisasi memang sejauh ini tidak secara tegas ditetapkan dalam pengkajian

metode pemahaman hadis, hal ini didasari ulama lebih mengklasifikasikan isi dan

penjelasan yang diberikan oleh ulama tertentu, apakah pemikirannya tersebut sejalan

dengan perangkat yang telah diwariskan oleh ulama terdahulu atau lebih memilih aspek

pendekatan yang fresh yang belum diterapkan agar diaplikasikan kedalam bentuk

pemahaman. Namun, Harun Nasution dalam bukunya Islam Rasional memberikan

perbandingan periodisasi sejarah perkembangan keilmuan antara Eropa dengan Islam,

sebagai berikut :3

1 M. Khoirul Huda, “Memahami Hadis Melalui Pemilahan Posisi Nabi saw,” (Skripsi S1

Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2013), h. 2 Nizar Ali, Memahami Hadis Nabi : Metode dan Pendekatannya, (Yogyakarta: IDEA Press,

2011), h. vi 3 Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. Ke-4 h. 8 dan h. 116-119.

Page 51: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

37

Tabel 3.1 Perbandingan perkembangan khazah keilmuan

Eropa Islam

Klasik

600 SM – 600 M

Belum lahir4

Pertengahan

601 M – 1550 M

Klasik

650 M – 1250 M

(-+ 29/30 H) – (-+ 647/648 H)

Renaisan

1350 M – 1550 M

Pertengahan

1251 M – 1800 M

(-+ 649/650 H) – (-+1214/1215 H)

Modern

1551 M –Seterusnya

Modern-Kontemporer

1801 M – Seterusnya

(-+ 1216/1217 H) - Seterusnya

Perkembangan kegiatan memahami berdasarkan sejarah telah turun-temurun

diwariskan dari generasi ke generasi, setidaknya hingga sekarang terbagi 4 periode

besar dalam perkembangan keilmuan Islam, termasuk kajian Hadis; yakni periode:

klasik, pertengahan, modern, serta kontemporer.5 Yang pada masing-masing periode

berisi ulama-ulama besar dalam upaya melestarikan khazanah keislaman terutama

dalam menawarkan metode pemahaman hadis.

Pada pembagian periode di atas, dalam pemaparan di bawah penulis

menyederhanakannya kepada dua periode saja, untuk mempermudah dalam

membandingkan pola pergeserannya, dengan rincian sebagai berikut; periode klasik

dan pertengahan, selanjutnya akan disebut dengan periode atau fase klasik. Periode

modern dan kontemporer, selanjutnya akan disebut periode atau fase kontemporer.

Pada bab sebelumnya dijelaskan ada tiga periode syarah hadis yaitu, masa

kelahiran hadis (fī ‘ashr al-risalah), syarah hadis pada masa periwayatan dan

pembukuan (fī ‘ashr al-riwayah wa al-tadwin), dan syarah setelah pembukuan hadis

4 Mengingat kelahiran Nabi Muḥammad Saw. adalah di tahun 570 M dan wafat di tahun 632

M, menerima wahyu pertama di tahun 610 M. Maka pembagian fase ini merujuk pada perkembangan

khazanah keilmuan Islam. 5 Harun Nasution, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1996), Cet. Ke-4 h. 8 dan h. 116-119.

Suadi Putro, Mohammed Arkoun tentang Islam dan Modernitas, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 43

Page 52: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

38

(ba’da tadwin). Maka untuk lebih memudahkan pembagian ketiga periode di atas

semuanya dimasukkan kedalam periode klasik merujuk kepada pembagian yang

penulis tentukan.

Istilah metode pemahaman sekarang memang menjadi istilah yang baku dalam

standarisasi untuk menganalisa maksud hadis, sejauh yang ditampilkan dalam

pemahaman tentu sangat berkaitan dengan pemikiran, metode siapa hal itu diadaptasi

atau diadopsi. Maka perlu ditampilkan setidaknya periode perintisan dan periode

keemasan proses memahami dalam khazanah perhadisan Islam untuk melihat sejauh

mana pandangan beberapa tokoh mempengaruhi tokoh-tokoh lain setelahnya.

1. Klasik

Periode ini adalah periode pembentukan wajah awal metode pemahaman hadis,

usaha ini merupakan rintisan yang dimulai dari lahirnya penilaian adanya pertentangan

(kontradiksi) satu hadis dengan hadis lain dan upaya pemecahan beberapa hadis yang

dipandang sulit untuk dipahami, maka dengan sebab itu lahirlah pada periode awal ini

beberapa kitab hadis, baik syarah ataupun upaya penjelasan makna secara ringkas

tentang hal itu.6 Berikut ini pembagiannya:

a. Klasifikasi Metode Pemahaman Hadis

Penggunaan metode pada periode ini memang tidak secara tersirat diungkapkan

secara khusus, akan tetapi usaha yang dilakukan ulama pada periode ini menunjukan

eksistensi cabang-cabang ilmu hadis; ilmu mukhtalif al-hadīth, ilmu gharib al-hadīth,

ilmu nasikh-mansukh, serta cabang ilmu yang berkonsentrasi pada pemberian

penjelasan pada matan.

6 Abdul Majid Khon, Takhrij dan metode memahami hadis, (Jakarta: Amzah, 2014), h. 137.

Lebih lanjut tentang alasan ini juga coba dijelaskan dalam pengantar buku Metodologi Syarah Hadis

karya Alfatih Suryadilaga, dan penelitian M. Khoirul Huda, “Memahami Hadis Melalui Pemilahan Posisi

Nabi saw,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2013), h. 46

Page 53: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

39

Perkembangan pada masa klasik ini pula didongkrak dengan adanya sejumlah

ulama yang berkontribusi menelurkan hasil pemikirannya dalam kajian pemahaman

hadis yang langsung diterapkan dalam kitabnya. Sehingga dari waktu ke waktu

akhirnya menjadi sebuah langkah-langkah yang dijadikan patokan dalam memamhami

hadis Nabi. Dalam perkembangan periode klasik ini, setidaknya didapati dan dipetakan

terdapat ulama-ulama besar dalam pengkajian pemahaman hadis:

1) Al-Shāfi’ī (w. 204 H / 820 M) dengan karyanya “Ikhtilāf al-Hadīth”.7 Dalam

karyanya ia mengembangkan pemahaman hadis berbasis aspek kontradiktif

dalam hadis.

2) Ibn Qutaibah (w. 276 H / 889 M) dengan karyanya “Ta’wīl Mukhtalaf al-

Hadīth.” Ia memaparkan penyelesaian dalam memahami hadis yang saling

bertentangan sehingga didapat pemahaman yang sesuai dengan kandungan

yang sebenernya dari pesan nabi.

3) Ibn Ḥibbān (w. 354 H / 965 M) dengan karyanya “al-musnad al-Ṣaḥiḥ ‘ala al-

Taqasim wa al-Anwa’ min Ghayr Wujud Qaṭ’ fī Sanadihā wa la Thubut Jarḥ

fī Naqilihā” atau yang lebih populer disebut “Ṣaḥīh Ibn Ḥibban”. Ia membagi

dalam kitabnya bentuk perintah, larangan dan beberapa petunjuk yang

diberikan nabi dalam merespon beberapa peristiwa.

4) Al-Nawawī (w. 676 H / 1277 M) dengan karyanya “al-Minhāj fī Sharḥ Ṣaḥīḥ

Muslim bin al-Hajjāj” atau yang lebih populer disebut “Ṣaḥīh Muslim bi Sharḥ

al-Nawawī”.

7 Muḥammad bin Idrīs al-Syāfi’i, Al-Umm Jilid 10, (t.k : Dār al-Wafā, 2001). Atau dapat juga

dilihat dalam kitab tersendiri yang dinamakan atas bab yang menjadi pembahasannya Ikhtilāf al-Hadīth,

(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Alamiyyah, 1986).

Page 54: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

40

5) Al-Qarāfī (w. 684 H / 1285 M) dengan karyanya “Kitab al-Furūq Anwār al-

Burūq fī Anwā al-Furūq” dan “al-Ahkām fī al-Fatāwā min al-Ahkām wa

Taṣarrufāt al-Qādhī wa al-Imām”.

6) Ibn Ḥajar al-Asqalānī (w. 852 H / 1449 M) dengan karyanya “Fatḥ al-Bārī bī

Sharah Ṣaḥīḥ al-Bukhārī”.

7) Badr al-Dīn al-Aynī (855 H / 1452 M) dengan karyanya “ ‘Umdah al-Qārī

Sharḥ Ṣaḥīh al-Bukhārī ”

Kriteria pemilihan tokoh dan alasan pembandingannya di atas berdasarkan; 1)

metode yang dikembangkan ulama tersebut, atau 2) kitab Sharḥ, atau 3) pembatasan

dan pembagian tertentu untuk memudahkan memahami hadis nabi, atau 4) basis

pemahaman yang dikembangkan. Dasar pengelompokkan di atas berdasarkan

kronologis tahun (lahir, wafat, karya, dll) sehingga ditemukan kesinambungan sejarah

dari awal hingga yang terakhir yang dijadikan sample.

Sementara alasan pemilihan tokoh di atas adalah; pemilihan al-Shāfi’ī dan Ibnu

Qutaibah didasarkan kepada basis pemahaman yang dikembangkan keduanya merujuk

kepada pemahaman berbasis mukhtalif al-Ḥadīth dan metode yang paling awal dalam

pemahaman hadis. Ibn Hibbān dipilih dikarenakan pembagian yang ia berikan kepada

hadis Nabi kepada lima pembagian. Sementara al-Qarāfī membaginya kepada sunnah

Tashri’ dan non-Tashri’. Al-Nawawī, al-Asqalānī dan al-Aynī dipilih karena

pembahasan yang cukup memadai dan komprehensif yang dilakukannya dalam

masing-masing kitab sharḥ-nya.

Kerangka berfikir yang ditanamkan ulama di atas menjadi sebuah alur yang

tersistematisasi dalam menguraikan permasalahan dalam suatu hadis dengan

didapatkan pemahaman yang tepat. Secara terurai kelompok ulama di atas mengusung

Page 55: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

41

konsen yang berbeda dalam memahami hadis, maka perlu dikaji secara mendalam

langkah dan metode yang digunakan dalam mencapai pemahaman yang tepat.

Pada fase ini dimulai dengan sebuah terobosan yang dilakukan Imam al-Shāfi’ī.

Dalam kitabnya Ikhtilāf al-Hadīth, Imam al-Shāfi’ī (w. 204 H) memberikan gambaran

dalam menyelesaikan hadis yang terlihat bertentangan dengan melalui beberapa cara,

dan cara yang ia tawarkan memang bukanlah wacana baru dalam tradisi keilmuan

islam. Beliau menggunakan 3 cara dalam meneliti hal ini, yaitu dengan menggunakan

metode al-Jam’u (kompromi), al-Tarjih (pengunggulan suatu dalil atas dalil lain), al-

Nasakh (penghapusan/pembatalan suatu dalil).

Melalui mekanisme yang dijelaskan oleh Imam al-Shāfi’ī secara terinci terdapat

kategori yang dispesifikasikan seperti: Ikhtilāf al-Hadīth min Jihat Ibāhah,8 Mujmal-

Mufassar, Tarjīh bi al-Munāsabah, Tarjīh al-Riwāyah. Analisis ini dijadikan patokan

bahwa memang telah hadir sebuah cara yang menuntun umat untuk lebih memahami

hadis yang terlihat secara lahiriyah bertentangan agar dikaji secara mendalam dan

penuh kehati-hatian dalam menentukan makna yang tepat dan tujuannya.

Pendekatan yang ia gunakan pula mencakup kebahasaan, dan asbāb al-wurūd.

Namun memang hadis-hadis yang dibahas dalam kitabnya hanya sebatas dalam

masalah hukum fikih saja, tidak menyangkut ranah pemahaman hadis lain. Semisal

permasalahan yang dibahasnya perihal masalah berwudhu yang ia paparkan dengan

jumlah bilangan yang berbeda masing-masing riwayat, hal ini bertujuan menempatkan

hadis yang saling bertentangan (Jam’u) secara zhahirnya.

8 Penjelasan mengenai masalah ini tertulis didalam kitabnya sebagai sub bab yang menerangkan

hadirnya hadis yang secara lahiriah bertentangan tentang suatu masalah, akan tetapi perbedaan bukan

terletak pada sendi yang fundamental seperti masalah halal-haram, perintah dan larangan, melainkan

hanya sebuah gejala mental yang menilai hadis-hadis tersebut bertentangan, padahal berisi tentang

kebolehan serta kebebasa untuk memilih mana yang memudahkan diantaranya sebagai suatu rukhṣah.

Muḥammad bin Idrīs al-Syāfi’ī , Ikhtilāf al-Hadīth, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Alamiyyah, 1986), h. 43

Page 56: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

42

Contoh penggunaan mekanisme Jam’u pada kitabnya yang membahas tentang

bilangan wuḍu:

ث نا الربيع، قال: أخب رن الشافعي، قال: أخب رن عبد العزيز بن ممد، عن زيد ، عن ب حد ن أول الل صى للا ل عطاء بن يسار، عن ابن عباس، أن ر ل ي ، لمسح ع ليدي ضأ لجه

مرة مرة .برأDari Ibn ‘Abbās bahwa Rasulullah saw. Mewuḍukan wajahnya, kedua tangan dan

mengusap (rambut) kepalanya masing-masing satu kali.9

، عن حران أخب رن الشافعي، قال: أ نة، عن هشام بن عرلة، عن أبي فيان بن عي ي مو خب رن ت وضأ ثلث ثلث ل ي .عثمان بن عفان، أن النب صى للا ع

Dari Humrān Mawlā ‘Uthmān bin ‘Affān bahwa Nabi saw. Berwuḍu masing-

masing tiga kali.10

ع ر ، أن س ، عن أبي ، قال: أخب رن مالك، عن عمرل بن يي المازني جل يسأل خب رن الشافعي ي عبد الل بن زيد: هل تستطيع أن ترين كيف كان ر ي ت وضأ؟ فدعا ول الل صى للا ع ل

، لغسل رج ، لمسح رأ مرت ي مرت ي ثلث، ليدي باء، ث ذكر أن غسل لجه .ي

Dari ‘Amr bin Yaḥyā al-Māzini dari ayahnya bahwa ia mendengar dari seorang

laki-laki bertanya kepada ‘Abdullah bin Zayd apakah anda bisa memperlihatkan

kepada ku cara Rasulullah saw. berwuḍu? Kemudian ‘Abdullah minta dibawakan

air wuḍu, lalu dia menyebutkan bahwa Nabi saw. membasuh wajahnya tiga kali,

kedua tangannya masing-masing dua kali dan mengusap kepala dan membasuh

kedua kakinya (masing-masing satu kali).11

Imam al-Shāfi’ī memberikan klarifikasi atas perbedaan yang hadir dengan

menyebut bahwa perbedaan yang hadir pada masalah ini bukanlah hal yang berbeda

secara mutlak, akan tetapi perbedaannya hanya dari pengerjaannya yang menunjukan

suatu kebolehan dan pilihan (berkaitan dengan spesifikasi metodenya ikhtilāf min jihat

al-ibāhah), bukan berbeda dalam masalah halal dan haram, perintah dan larangan, akan

9 Muḥammad bin Idrīs al-Syāfi’ī, Ikhtilāf al-Hadīth, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008),

cet. Ke-1, h. 478 10 Al-Syāfi’ī, Ikhtilāf al-Hadīth, h. 478 11 Al-Syāfi’ī, Ikhtilāf al-Hadīth, h. 478

Page 57: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

43

tetapi batas minimal sudah disebutkan didalam hadis tersebut yakni satu kali, dan jika

menginginkan yang lebih sempurna maka dengan tiga kali.12

Contoh penggunaan pengunggulan suatu dalil atas dalil lain (tarjih). Dapat dilihat

pada hadis tentang mengangkat tangan ketika ṣalat:

نة، عن الزهريي، فيان بن عي ي ث نا الربيع، قال: أخب رن الشافعي، قال: أخب رن ا بن ع حد ن قال: »عبد الل بن عمر، عن أبي ل ي رأيت النب صى للا ع إذا اف ت تح الصلة رفع يدي

من الركوع، لل ي رفع ب ، لإذا أراد أن ي ركع، لب عدما ي رفع رأ ي حت ياذي منكب ي«السجدت ي

Dari Sālim bin ‘Abdillah bin ‘Umar dari ayahnya yang berkata, “Aku melihat Nabi

saw. mengawali salatnya dengan mengangkat kedua tangannya sampai berhadapan

dengan pundaknya, dan ketika beliau hendak ruku’ dan setelah mengangkat kepala

dari ruku’, dan beliau tidak mengangkat tangan di antara dua sujud.13

ى، عن الب راء بن عازب قال: زيد بن رأيت النب صى »أب زيد، عن عبد الرحن بن أب لي إذا اف ت تح الصلة ي رفع يدي ل ي فيان: ث قدمت ا« . للا ع قيت يزيد قال لكوفة ف : ث ل ي عود ث بذا لزاد في يدي با، فسمعت

Dari ‘Abd al-Rahman bin Abī Layla dari al-Bara’ bin ‘Azib yang berkata, “Aku

melihat Nabi saw. ketika mengawali salat beliau mengangkat kedua tangannya.”

Sufyān berkata, “Kemudian aku datang ke kota kufah, lalu bertemu Yazīd di sana.

Aku mendengarnya meriwayatkan hadis dengan redaksi tersebut. Dia

menambahkan redaksi thumma lā ya'ūdu (’emudian Nabi saw. tidak mengulangi

mengangkat tangan lagi).14

Al-Shāfi’ī memilih hadis salim dari ayahnya karena lebih kuat daripada riwayat

al-Barā’ bin ‘Āzib. Al-Shāfi’ī menampilkan beberapa argument untuk menguatkan

riwayat Salim. Pertama, komentar sufyan yang berisi redaksi lā ya'ūdu merupakan

tambahan atau sisipan dari Yazid, dan bukanlah dari al-Bara’ sendiri. Sisipan itu

kemudian dianggap oleh rawi-rawi setelahnya sebagai bagian dari hadis, padahal

12 Muḥammad bin Idrīs al-Syāfi’ī, Ikhtilāf al-Hadīth, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Alamiyyah,

1986), h. 41 13 Al-Syāfi’ī, Ikhtilāf al-Hadīth, jil. 8 dari kitab al-Umm (Beirut: Dār al-Ma’rifat, 1990), h. 634

diakses melalui Maktabah al-Shāmila 14 Al-Syāfi’ī, Ikhtilāf al-Hadīth, jil. 8 dari kitab al-Umm (Beirut: Dār al-Ma’rifat, 1990), h. 635

diakses melalui Maktabah al-Shāmila

Page 58: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

44

bukan. Dengan demikian terdapat masalah dalam hafalan perawinya. Kedua, riwayat

Salim dari ayahnya memiliki penguat dari generasi sahabat sebanyak sebelas orang.

Hadis yang diriwayatkan sebelas orang harus lebih diutamakan daripada satu orang

karena otentisitasnya lebih terjaga. Dan untuk hal ini al-Shāfi’ī menggunakan metode

tarjih al-riwayah dalam menyelesaikan kontradiksi.

Sedangkan untuk penggunaan metode naskh ialah sebagai berikut:

ب أ ن ب يي ع ع م د ي الع ت د ه ش ال ق د ي ب ع ب عن أ ن إ ال احلطبة لق ل ب ق ة ل لص ب أ د ب ف ب ال ثلث. د ع ا ب ن ك س ن م و حل ن م ل ك ن ن أ ان ه للا صى للا عي ل : ن ل و ر

Dari Abū ‘Ubayd yang berkata, “Aku menghadiri salat ‘Id bersama ‘Ali bin Abī

Ṭalib. Beliau sesungguhnya mengawali dengan salat dan khutbah dan berkata ,

‘sesungguhnya Rasulullah saw. melarang kami memakan daging kurban kami

setelah tiga hari.15

ث نا الربيع، قال: أخب رن الشافعي، قال: أخب رن مالك، عن أب الزب ، عن جابر بن عبد ي حد ن هى عن أكل حلوم الضحاي ب عد ثلث، ث ق ل ي ول الل صى للا ع ، أن ر ل ب عد االل

وا، لت زلدلا، لادخرلا»ذلك: «ك

Dari Jābir dari Nabi saw. bahwa beliau melarang memakan daging kurban setelah

tiga hari. Kemudian beliau mengatakan, “makanlah, sisakan dan simpanlah”16

Kedua hadis di atas mempunyai pengertian yang bertentangan. Imam Muslim

menengahi pertentangan yang terjadi dengan menggunakan konsep nasakh. Keterangan

ini ia muat dalam hadis-hadis yang dicantumkannya dalam bab Bayān mā kāna min al-

nahy ‘an akli luhum al-aḍahi ba’da thalāthin fi awwal al-islām wa bayān nakhihi wa

ibāhatihi ilā matā Shā’a (bab keterangan larangan memakan daging kurban setelah tiga

hari pada masa awal islam dan keterangan penghapusannya dan kebolehannya sampai

kapan pun). Bahwa larangan itu ditetapkan lebih dahulu dan hadis yang

membolehkannya terjadi belakangan. Hal ini dibuktikan dengan perintah untuk

15 Muḥammad bin Idrīs al-Syāfi’ī, Ikhtilāf al-Hadīth, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah,

2008), cet. Ke-1, h. 523 16 Al-Syāfi’ī, Ikhtilāf al-Hadīth, jil. 8 dari kitab al-Umm (Beirut: Dār al-Ma’rifat, 1990), h.

643 diakses melalui Maktabah al-Shāmila

Page 59: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

45

mengambil bekal (tazawwadū) terjadi ketika Nabi saw. berhaji, yaitu tahun sepuluh

hijriah.

Langkah rintisan yang diupayakan Imam al-Shāfi’ī turut membentuk secara basis

metodologi fiqih Islam yang ia telah suguhkan dengan berisikan untaian hadis-hadis

dalam kitabnya yang berjudul al-Risālah17 yang menunjukan dan memperlihatkan

bahwa hadis merupakan tools (alat) yang harus dimiliki seluruh mujtahid dan fuqahā

dalam melakukan proses Ijtihad dan iftā.18 Terlebih dalam mengungkap makna yang

terkandung dalam hadis itu sendiri, yang tidak jarang menyangkut masalah hukum yang

hendak dibahas.

Hal yang hampir serupa dengan Imam al-Shāfi’ī juga dilakukan setelahnya, yang

memang pada waktu itu memfokuskan dengan hadis-hadis yang kontradiktif dan coba

untuk dipahami, serta diberikan penjelasannya oleh Ibn Qutaibah al-Dainūri19 (w. 276

H) melalui kitabnya “Ta’wīl Mukhtalaf al-Hadīth” secara kontekstual melalui

pendekatan bahasa, sejarah dan rasional.20 Pada bagian-bagian kebanyakan dalam kitab

ini juga merupakan sorotan Ibn Qutaibah kepada pola pikir dan metode kelompok-

kelompok aliran kalam (ahli kalam) dalam menguraikan, menafsirkan dan mena’wilkan

hadis-hadis, yang terkesan terlalu semberono dan serampangan. Dan untuk itulah

hadirnya kitab ini berusaha meluruskan penafsiran serta pemahaman agar tidak

17 Muḥammad bin Idrīs al-Syāfi’ī, al-Risālah, (Beirut: Dār al-Nafā’is, 2010) 18 Hilmy Firdausy, “Ragam Pembacaan Hadis: Memahami Hadis Melalui Tatapan

Postradisionalisme,” Religia Vol. 19 No. 2 (Oktober 2016): h. 54. 19 Pembacaan nama ia sering kali ditemukan berbeda, di dalam kitab yang penulis gunakan

terbaca dengan “Ibnu Qutaibah al-Dainūri”. Sementara al-jaziri menyebutnya dengan “al-Dinawari”

yakni dalam kitabnya al-Lubab fī Tahdhīb al-Ansāb, merujuk kepada Dinawar yaitu sebuah kota

pegunungan yang terletak di Wilayah Kurdistan dekat dengan kota Karmansyah, yang pernah dijadikan

pust pemerintahan Bani Hasnawaih al-Kurdiyah. 20 Penggunaan pendekatan yang ia gunakan dapat ditemukan pada pengantar dalam kitabnya.

Lih. Ibn Qutaibah, Ta’wīl Mukhtalaf al-Hadīth, (Beirut: Muasasah al-Kitab al-Thaqāfiyyah, 1988), h. 25

Page 60: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

46

terjerumus dalam kebingungan, kekeliruan atau bahkan kesalahan dan kesesatan dari

penafsiran dan pena’wilan para ahli kalam.21

Pembahasan yang dilakukan oleh Ibn Qutaibah tidak hanya berisikan hadis-hadis

hukum (fikih) sebagaimana yang dilakukan imam al-Shāfi’ī, tetapi juga menjelaskan

hadis-hadis tentang aqidah dan lainnya. Dalam pemahaman matan hadisnya, Ibn

Qutaibah menggunakan pemahaman logika bahasa yang mendalam untuk memahami

hadis,22 berbeda dengan ulama-ulama sebelumnya yang melakukan metode tarjih

dalam menyikapi hadis kontradiktif atas dasar status hadis, nasikh-mansukh dll. Ia

memilih untuk tidak terburu-buru melakukan metode tarjih dalam menyikapi hadis

kontradiktif, karena menurutnya, ungkapan hadis dapat dipahami dengan benar sesuai

dengan situasi dan kondisinya maka tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang lain.23

Dalam upaya menyelesaikan hadis-hadis yang kontradiktif, Ibn Qutaibah

merumuskan beberapa langkah:

a) Mengidentifikasi Hadis, identifikasi ini berupa status hadis, meski diakui

identifikasinya tidak mendetail, tidak menggunakan takhrij. Hanya

mengandalkan status hadis, semisal Ṣaḥih, Ḥasan atau ḍaif, ataupun menolak

karena bukan hadis.

b) Melihat asbāb al-wurūd, untuk meneliti hadis penting untuk mengetahui asbāb

al-wurūdnya sebelum memahami pesan-pesannya dan menggali kemungkinan

makna lain yang dirujuk dalam latar ketika hadis disabdakan.

21 Ibnu Qutaibah, Ta’wil Hadis-Hadis yang Dinilai Kontradiktif, terj. Team Foksa; Ed. Mukhlis

B. Mukti, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. xi 22 hal yang dilakukannya sejalan dengan pendapat yang digunakan oleh jumhur ulama yang

memandang aspek kebahasaan ini sebagai tolak ukur dalam melihat validitas hadis Nabi. M. Syuhudi

Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 127. Nizar ali, Memahami

Hadis Nabi: Metode dan Pendekatannya (Yogyakarta: IDEA Press, 2011), h. 5 23 Abdul Malik Ghazali, “Metodologi Pemahaman Kontekstual Hadis Ibn Qutaibah”, Kalam:

Jurnal Studi Islam dan Pemikiran Islam Vol. 8, No. 1, (Juni 2014): h. 128

Page 61: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

47

c) Melakukan ta’wil terhadap salah satu Ḥadīs yang bertentangan. ketika terdapat

dua Ḥadīs yang bertentangan, adakalanya ia hanya menta’wil salah satunya

agar pemahaman yang satu dapat sejalan dengan Ḥadīs yang lainnya.

d) Melakukan ta’wil terhadap dua Ḥadīs yang bertentangan. Adakalanya dalam

uapaya mendapatkan pemahaman yang tepat dari dua Ḥadīs yang

bertentangan, Ibn Qutaibah melakukan ta’wil keduanya.

e) Memperkuat ta’wilnya dengan ayat al-Qur’ān, Ḥadīs lain, bait syair, logika,

fakta sejarah, ilmu pengetahuan.

f) Bila tidak mungkin menta’wilkannya maka dilakukan nasikh-mansukh atau

melakukan tarjih. Dan hal ini dijadikan alternatif terakhir yang digunakannya,

berbeda dengan ulama-ulama sebelumnya yang lebih mendahulukan metode

jam’u-tarjih ini.

Dari langkah-langkah yang ditempuh Ibn Qutaibah menghasilkan penyelesaian

hadis-hadis yang dinilai kontradiktif, memang akan sedikit bersinggungan (ditemukan

kesamaan) dengan langkah yang dilakukan Imam al-Shāfi’ī mengingat pembahasannya

sama-sama berbasis kontradiktif hadis.

Kedua tokoh yang memaparkan permasalahan tentang hadis kontradiktif di atas

menjadi pemacu semangat ulama-ulama setelahnya dalam mengkaji makna hadis

bukan hanya dalam segi kontradiktifnya saja, akan tetapi pembahasan makna

mendalam tentang suatu hadis yang memang secara doktrinal tidak ada hadis yang

bertentangan dengan otoritas yang lebih tinggi darinya, yakni al-Qur’ān. Dan bahkan

di masa setelahnya penjelasan yang ditujukan untuk memahami hadis menjadi lebih

mendalam dan terstruktur.

Berdekatan dengan periode keduanya juga hadir pengklasifikasian hadis Nabi

yang dilakukan oleh al-Bukhāri (w. 256 H) dan Imam Muslim (w. 261 H) meskipun

Page 62: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

48

hanya menyajikan daftar hadis berikut sanadnya, namun penamaan atas beberapa judul

yang diberikan secara tidak langsung juga menunjukan kemampuan dari perangkat

ijtihad nan kokoh yang dimiliki keduanya layaknya para fuqahā’.24 Namun dalam

kajian pemahaman hadis posisi kedua tokoh ini hanya dijadikan sumber penukilan

hadis, serta objek penerapan syarah mengingat kedua karya kedua tokoh ini dinilai

menjadi sumber otoritatif dalam khazanah perhadisan dan menempati posisi yang

tinggi.25

Berselang beberapa tahun kemudian, muncullah Ibn Ḥibbān (w. 354 H) yang

termotivasi untuk membukukan sebuah kitab hadis dikarenakan telah mulai banyaknya

jalur periwayatan hadis sehingga perlu untuk mengetahui hadis-hadis yang ṣaḥiḥ atas

dasar kegelisahannya, serta para ulama sebelumnya yang menulis kitab-kitab hadis

adalah ahli fiqh dan agama yang tentunya mereka lebih memperhatikan aspek jalur

periwayatan dengan orientasi kebutuhan hafalan teks dan tidak memperhatikan kepada

kebutuhan orang yang ingin memahami dari sisi konteks hadis.26 Hal ini menunjukan

bahwa perhatiannya tidak hanya terfokus pada sanad saja, tetapi juga menjangkau

wilayah matan. Seorang periwayat hadis tentunya dituntut untuk memiliki kemampuan

dalam sanad sebagai wilayah yang banyak ditekuni para periwayat hadis, dan

kemampuan dalam memahami makna yang menjadi fokus perhatian para ulama fiqh.27

Dalam sistematika penulisan kitabnya, Ibn Ḥibbān membuat pengklasifikasian

sebagaimana yang lazim kita temukan dalam sistematika al-Qur’ān yang tersusun

berdasarkan Juz, Surat, dan ayat. Dan hal ini dapat diidentifikasi dengan pemilihan

24 Hilmy Firdausy, “Ragam Pembacaan Hadis: Memahami Hadis Melalui Tatapan Post-

tradisionalisme,” Religia Vol. 19 No. 2 (Oktober 2016): h. 54. 25 Badru al-din Abī Muḥammad Maḥmūd bin Aḥmad al-‘Aynī, ‘Umdah al-Qārī Sharḥ Ṣaḥīḥ

al-Bukhārī, (Beirut : Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001), h.4 26 Rifqi Muhammad Fatkhi, “Sahih Ibnu Hibban dalam al-Kutub al-Sittah: Sebuah Tawaran

Alternatif, (Tesis Konsentrasi Tafsir Hadis, Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2008), h. 46 27 Rifqi Muhammad Fatkhi, “Sahih Ibnu Hibban dalam al-Kutub al-Sittah,” h. 46

Page 63: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

49

nama kitab yang mengandung kata “al-Taqāsim dan al-Anwā’” yang menunjukkan ia

membagi menjadi beberapa bagian dan setiap bagian terdiri dari beberapa macam

(naw’), dan setiap naw’ berisi satu atau sejumlah hadis.28

Ibn Ḥibbān membagi isi kitabnya menjadi lima bagian, yaitu al-awamir al-latī

amara Allah ‘ibadahū bihā atau al-awamir (perintah-perintah), al-nawahī al-latī naha

Allah ‘ibadahū bihā atau al-nawāhi (larangan-larangan), ikhbar al-musṭāfa ‘amma

ihtīja ila ma’rifatihā atau al-ikhbar (informasi Rasulullah tentang hal-hal yang harus

diketahui), al-ibahāt al-latī ubihā irtikabuhā atau al-ikhbar (hal-hal yang boleh

dilakukan), dan af’āl al-Nabī al-latī infarada bihā atau ma infarada bih (perbuatan-

perbuatan yang Rasulullah lakukan sendiri).29 Pembagian dalam kitabnya

mengindikasikan bahwa ia terlebih dahulu memahami hadis Nabi lalu ia membaginya

agar lebih memudahkan dalam pemahaman ketimbang hanya sekedar memelihara lafaẓ

hadis, hal ini tidak terlepas dari kecermatan Ibn Ḥibbān dalam memahami hadis Nabi

Saw.30 dan karyanya dapat diperhitungkan pula dalam mengisi slot ke-6 pada kutub al-

Sittah.

Upaya penjelasan dengan berbetuk Sharḥ juga dilakukan oleh Imam al-Nawawī

pada pertengahan abad ke-7 hingga awal abad ke-8, yang melahirkan sebuah karya

monumental yakni “al-Minhāj fī Sharḥ Ṣaḥīḥ Muslim bin al-Hajjāj” atau yang lebih

populer disebut “Ṣaḥīh Muslim bi Sharḥ al-Nawawī”. Dari penelitian yang sebelumnya

dilakukan oleh Nizar ali31 menyimpulkan bahwa metode muqārin amat sangat dominan

dalam pemaparan yang dituangkan untuk menerangkan hadis dalam kitab Sharḥ ini,

terlebih pemaparan yang digunakan berbentuk Ma’thūr menunjukan bahwa pilar-pilar

28 Rifqi Muhammad Fatkhi, “Sahih Ibnu Hibban dalam al-Kutub al-Sittah,” h. 59 29 Rifqi Muhammad Fatkhi, “Sahih Ibnu Hibban dalam al-Kutub al-Sittah,” h.59-60 30 Rifqi Muhammad Fatkhi, “Sahih Ibnu Hibban dalam al-Kutub al-Sittah,” h.64 31 Nizar Ali, “Kontribusi Imam Nawawi dalam Penulisan Sharḥ Hadis : Kajian atas Kitab Ṣaḥīh

Muslim bi Sharḥ al-Nawawī,” (Disertasi S3 Ilmu Agama Islam, Program Pascasarjana UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta, 2007), h. 327

Page 64: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

50

bagunan islam saling melengkapi dengan dalil-dalil yang ada. Analisa yang dilakukan

juga berciri klasik yakni seputar masalah hukum atau disebut dengan corak fiqhi.32

Langkah pemahaman yang ditempuh oleh Imam al-Nawawī tidak jauh berbeda

dengan langkah yang biasanya ditempuh ulama sebelumnya, yakni; (a) mengumpulkan

matan hadis yang terkait dengan hadis yang sedang diteliti.33 (b) Mengelaborasi makna

kalimat (mabāhith lafẓiyyah), melalui metode muqārin yang dibangun Imam al-

Nawawī, pengelaborasian bukan hanya terbatas pada perbandingan analisis redaksional

saja, melainkan mencakup perbandingan penilaian periwayat, serta kandungan makna,

serta berbagai hal yang dibicarakan dari masing-masing hadis yang diperbandingkan.

(c) Penjelasan tentang rijāl al-ḥadith (periwayat hadis) jika memang diperlukan. Dan

(d) menghadirkan perbandingan pendapat dari ulama fikih yang dihasilkan dari

kandungan hukum yang terkandung dalam hadis.

Konsentarasi ulama yang memang beraliran klasik kerap kali diidentikan dengan

pembahasan masalah hukum (fikih) yang cukup panjang, sehingga upaya pemberian

pemahaman atau penjelasan yang bercorakkan fiqhi dinilai sebagai upaya pemurnian

pemahaman amalan praksis dalam kegiatan amaliah yang dilakukan.

Al-Qarāfī (w. 684 H) menunjukkan peranannya pula dalam upaya pemahaman

dalam matan hadis, diantara yang menjadi fokusnya ialah bagaimana pengklasifikasian

segala tindakan Nabi Saw.34 yang tidak terlepas dari role position yang sedang

diperankannya sebagi manusia biasa,35 rasul,36 mufti, hakim, imam masyarakat,

panglima perang, kepala negara dan pribadi.37

32 Nizar Ali, “Kontribusi Imam Nawawi dalam Penulisan Sharḥ Hadis,” h. xiii - xiv 33Dalam kajian tentang matan hadis hal ini dikenal dengan istilah al-Jam’u, yakni

mengumpulkan matan hadis yang setema. 34 Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalm Sunnah; Pendekatan Ilmu Hadis, (Jakarta:

Kencana, 2011), h. 196 35 Lih. Al-Qur’ān Surah Saba’ [34]: 28 36 Lih. Al-Qur’ān Surah Ali ‘Imrān [3]: 144 37 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual : Telaah Ma’ani al-Hadis

tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), h. 4

Page 65: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

51

Setidaknya dalam masalah pembagian ini ia mengelompokkannya dalam tiga

kategori yang meliputi kehakiman (al-Qaḍā’), keagamaan (al-fatwā) dan politik (al-

imāmah). Ketiga posisi yang dijelaskan olehnya mempunyai batasan otoritas yang

berbeda-beda.38 Ketentuan yang dibuatnya tentu memberikan pemahaman yang

menyasar keragaman peran Nabi Saw. dan menurutnya itu amat penting guna

mengetahui motif sabda Nabi. Motif itu secara lebih jelas berupa sifat-sifat (sifāt), dan

kondisi-kondisi. Untuk itulah berangkat dari hal ini pembacaan tentang pemilihan

posisi sangat diperlukan.39

Keterangan yang dijelaskan tentang pembagian peran dan motif Nabi yang

dilakukan al-Qarāfī secara tidak langsung membagi sunnah kepada tashrī’ dan non-

tashrī’, akan tetapi jika merujuk pendapat Fatḥī ‘Abd al-Karīm40 yang menolak bahwa

al-Qarāfī membagi kepada sunnah non-Tashrī’, hal ini menurutnya keliru karena ia

memandang al-Qarāfī berkesimpulan seluruh sunah itu tashrī’ tetapi adakalanya untuk

umum (tashrī umum) dan adakalanya untuk kalangan tertentu saja (tashrī’ khusus).41

Dan hal ini menjadi pembuka jalan bagi para pengkaji sunnah dalam segi posisi dan

motif Nabi ketika mensabdakan hadis. Semisal; Mahmud Syaltut (1893-1963 M), dan

Syah Wali Allah al- Dahlawi (w. 1176 H).

Merujuk riwayat yang menyebutkan jika pembagian hal ini juga terdapat dalam

riwayat Muslim, hal ini tentu menjadi lebih kuat karena didukung dengan pernyataan

Nabi sendiri dalam riwayat ini yang konteks pembicaraan ketika itu tentang

sekelompok orang yang mengawinkan kurma dengan menggunakan skema tersengaja,

38 M. Khoirul Huda, “Memahami Hadis Melalui Pemilahan Posisi Nabi saw,” (Skripsi S1

Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2013), h. 47 39 M. Khoirul Huda, “Memahami Hadis Melalui Pemilahan Posisi Nabi saw,” h. 51 40 Hal ini dijelaskan dalam kitabnya al- Sunnah Tasyri’ Lazim wa Daim, (Kairo: Maktabah

Wahbah, 1985) 41 Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern dalam Sunnah; Pendekatan Ilmu Hadis, (Jakarta:

Kencana, 2011), h. 197

Page 66: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

52

kemudian Nabi mengungkapkan pendapatnya sehingga kegiatan itu tidak lagi

dilakukan oleh kelompok tadi. Melihat akan hal itu Nabi memberikan pendapatnya lagi

mengenai proses perkawinan kurma, dengan memberikan anjuran untuk tidak

memegang teguh pendapatnya tentang masalah ini.42

Penjelasan mengenai hal ini terdapat pada tiga hadis yang terbingkai dalam satu

bab dalam kitab Ṣaḥīḥ Muslim yang berlatar belakang permasalahan tentang putik

kurma. Mengingat hal ini menegaskan adanya perbedaan sunnah dalam segi perintah

pengerjaan (Tashrī’) atau hanya sekedar pendapat dan dugaan dan bukan perintah

pengerjaan (Non-Tashrī’). Ini juga mengindikasikan bahwa Allah hanya menjamin

Nabi terpelihara dari kesalahan dalam hal-hal yang berkaitan dengan urusan Agama.

Pemahaman yang jauh lebih berkembang diperagakan Ibn Ḥajar al-‘‘Asqalānī (w.

852 H) dalam kitabnya Fatḥ al-Bārī bī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī yang jika dikaji secara

mendalam maka akan didapatkan garis besar metode pemahaman yang ia gunakan.

42 Hal ini dengan terang terdapat dalam Ṣaḥīḥ Muslim Jilid IV (Qāhirah : Dār al-Hadith, 2010),

h. 125-126. Atau dapat diakses melalui aplikasi Lidwa dengan nomor hadis 4356-4358 Dengan redaksi

yang berbeda penegasan tentang urusan dunia lebih diketahui oleh orang yang memang sudah

berpengalaman dan telah mencoba (eksperimen).

Redaksi yang pertama :

يصن عوه فإني إنا ظن نت ظنا فل ت ؤاخذلن بلظني للكن إذ ذلك ف فعه عن الل اإن كان ي ن ث تك حدى الل عز لجل فإني لن أكذب ع ئا فخذلا ب شي

“apabila proses itu bermanfaat bagi mereka, maka hendaklah mereka lakukan, karena

sesuangguhnya ketika itu hanya mengira saja. Sebab itu janganlah kalian mengambil

(memegang) teguh perkiraanku. Tetapi apabila aku menghadiskan sesuatu dari Allah

SWT maka ambillah (pegangilah) dengan teguh, karena aku tidak berdusta kepada

Allah yang Maha Mulia dan Maha Agung”

Redaksi yang kedua :

بشيء من رأي فإ لإذا أمرتك فخذلا ب بشيء من دينك ا أن بشر إذا أمرتك ا أن بشر ن إن “Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa, oleh karenanya apabila aku

memerintahkan sesuatu dari urusan dīn (agama) kalian, maka ambillah

(laksanakanlah) dan jika aku memerintahkan sesuatu kepada kalian berdasar

pendapatku semata, maka ketahuilah bahwa sungguh aku hanyalah manusia biasa. Redaksi yang ketiga :

بمر دن ياك أع أن ت “Kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian”

Page 67: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

53

Metode penjelasan yang ia gunakan dalam menganalisa hadis adalah tahlili43, yang

menggabungkan pemahaman hadisnya melalui riwayat yang jelas dan penalaran khas

ala ulama klasik yang juga bertumpu pada kriteria penguasaan multi cabang ilmu lain.

Sehingga jika dipaparkan metode pemahaman hadisnya secara berurutan diperoleh

langkah sebagai berikut:44

a) Memperhatikan aspek bahasa

Aspek kebahasaan sangat lazim digunakan dalam pengkajian pencarian

pemahaman makna, terlebih yang menjadi objek kajian dalam hal ini adalah hadis Nabi

sehingga perlu untuk diklarifikasi melalui pendekatan kebahasaan. Dan menyadari hal

itu, Ibn Ḥajar al-Asqalānī (w. 852 H) turut menjelaskan dalam karyanya seputar hal ini.

Mulai dari seputar kata dan penggunaannya, menjelaskan arti kata secara etimologis

dan terminologis, perdebatan seputar kata terminologis, menjelaskan arti kata

menggunakan rujukan ayat al-Qur’ān atau hadis, menjelaskan makna majazi dan

haqiqi.

Contoh menjelaskan kata Kitāb dalam sub bab pembahasan Kitāb al-Īmān dan

penggunaannya dalam bahasa:45

ميان( كتاب ال بس الل الرحن الرحي ت )ق ول دأ مذلف ت قديره هذا كتاب هو خب ر مب ميان لكتاب مصدر ي قال كتب ي يكتب كتابة لكتاب لمادة كتب د ال مع لالض الة عى ا

وا ذلك فيما يمع أشياء من الب واب لالفص ت عم ها الكتيبة لالكتابة ا امعة لمن ول ا

43 Kata Tahlili adalah bentuk masdar dari kata حلل (halala) yang berarti mengurai, menganalisis,

menjelaskan, menjelaskan bagian-bagiannya serta fungsinya masing-masing. Sedangkan secara

pengertian istilah adalah menjelaskan hadis-hadis dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di

dalam hadis tersebut serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya. Agil Husin al-

Munawwar dan Masykur Hakim, I’jaz al-Qur’ān dan Metodologi Tafsir, (Semarang: Dina Utama, 1994),

h. 36 44 Materi tentang Metode ini dipaparkan dalam perkuliahan pada semester enam mata kuliah

Metode Pemahaman Hadis, Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin. 45 Al-Ḥāfiẓ Ahmad bin ‘Alī bin Ḥajar al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz

I (Riyādh: Dār Ṭībah li Naṣri wa al-Tauzī’, 2005), h. 93

Page 68: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

54

بلنيسب في مسائل لالض المكتوب من احلرلف حقيقة لب ل المعان المرادة ة إ لنيسبة إها ماز من

Contoh menjelaskan arti kata secara etimologis dan terminologis :46

ميان لغة ول فيما جاء : لال عن ربي التصديق لشرعا تصديق الر ب

Setelah menjelaskan pengertian secara etimologi dan terminologi, maka

didatangkanlah perdebatan seputar kata tersebut, sebagai berikut:47

يسان ا هل يشت رط مع ذلك مزيد أمر من جهة إبداء هذا: ث لقع الختلف لتصديق بلوب أل من جهة العمل با صد ب إذ التصديق من أف عال الق من المعبي عما ف الق ق ب

يأت ذكره إن شاء الل ت هيات كما ميان فيما ت ذلك كفعل المأمورات لت رك المن لال عا نظر لت باين مدلول المن لالتصديق إل إن لوحظ مازي قيل مشتق من المن لفي مع في

يست فتح ال التكذيب ل أي أمن ق إذا صد صنيف بدء الوحي بكتاب لن م ف ي قال أمنرها لن ها ت نطوي عى ما ي ت عق غي مة ل تست فتح با يست فتح ب فت المقدي با ب عدها لاخت

ة عى كتاب أل تخيه الثان ا للكلي لج الريلايت ف ت قدمي البسم اللل ظاهر للج جعل الت رجة قائمة مقام تسمية السورة لالحاديث أكث ر الريلايت أن ي المذكورة ب عد لع

ة ة كاليت مست فتحة بلبسم البسم

Dan terkadang upaya penjelasan yang dilakukannya juga dilengkapi dengan ayat

al-Qur’ān atau hadis lain. Contohnya sebagai berikut:48

مقيد با ب ي ه لحكي الفتح لغة لهو عدد مب ا ق ول بضع بكسر ألل لتيسع الثلث إ القزاز يده ، كما جزم ب العشر : لقال بن تسعة من لاح : لقيل ، إ : لقيل ، د إ عشرة تسعة : لقيل ، من اث ن ي إ يل ، من أرب عة إ ح لي رجي ، السبع : البضع ، لعن ال

ت عا المفسيرلن ف ق ول ي القزاز ما ات فق ع ني ع ض بث ف السجن ب ف ’ ما قال ‘ف: مذي بسند صحيح أن ق ريشا قالوا ذلك لب بكر [،٢٤]يو لكذا ، لما رلاه التي خاص با دلن ال ، ي مرفوعارلاه الطب عشرة لبا دلن العشرين لن قل الصغان ف العباب أن

46 Al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz I, h. 93 47 Al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz I, h. 94 48 Al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz I, h. 104

Page 69: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

55

ل بضعة لعشرلن رجل ي قا : لأجازه أبو زيد ف قال : قال ، فإذا جالز العشرين امت نع ، التيس : لقال الفراء ، لعشرلن امرأة لبضع : لل ي قال ، عي لهو خاص بلعشرات إ

تليل بضع لمائة لل بضع لألف للقع ف ب عض الريلايت بضعة بتاء التأنيث لي .تاإ إ

Dan adakalanya dalam menerangkan kalimat merujuk kepada sebuah majaz maka

diperlukan penjelasan dan pembedaan mana yang bermakna majazi dan haqiqi.

Contohnya ketika mencoba menjelaskan tidak diterimanya shalat tanpa berwudhu

sebagai berikut:49

فاع (ل ت قبل ) : ق ول يس ي عى البناء لما المصنيف ، كذا ف رلايتنا بلض لأخرجحا ق بن نصر بل كل ،ف ت رك احليل عن إ مها عن عبد الرزا ق لأبو دالد عن أحد بن حن

فظ جزاء هنا ما ي رادف الصيحة له / لالمراد بلقبول "بل الل ل ي ق " : ب لحقيقة القبول ،و المة ت يان ،ثرة لقوع الطاعة مزئة رافعة لما ف الذي جزاء الذي للما كان ال ها مظنة ال بشرل

بلقبول مازا عب ر عن لأما القبول المنفي ف ،القبول ثرت ل ي ع صى الل مثل ق ول صلة " : ت قبل ل لي تخف القبول يصح العمل لن قد ؛ ف هو احلقيقي "من أتى عرافا

ف ي قول ،لمانع يع لن ت قبل ل صلة لاحدة أ : للذا كان ب عض الس حب إل من جن يا قال : قال .قال بن عمر .الد ا يت قبل للا" :لن الل ت عا " ]املائدة : من المتقي إن٤٢.]

b) Memperhatikan aspek sejarah

Dalam menjelaskan aspek kesejarahan hadis tentu diperlukan segala aspek yang

melatarbelakangi munculnya suatu hadis, dan ini dikenal dengan Asbāb al-Wurūd al-

Hadīth. Dan dalam metode yang digunakan Ibn Ḥajar hal ini ditemukan pula dalam

hadis-hadis yang mempunyai Asbāb al-Wurūd , disamping itu ia juga menjelaskan

biografi singkat periwayat dalam beberapa hadis yang dijelaskannya, dan terkadang

dalam beberapa hadis pula ditemukan ia mencoba menjelaskan nama seseorang yang

49 Al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz I, h. 407

Page 70: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

56

disebutkan dalam riwayat hadis dan menyebutkan referensinya. Hal ini dapat dilihat

sebagai berikut:50

)فائدة( : ا الرجل السائل : حكي، ذكره البيهقي.

Selain menggunakan beberapa penjelasan yang mendalam, sesekali ia pula

menjelaskan Laṭā’if al-Isnad. Sebagai berikut:51

فيان لأبو ي عى ف مسنديهما ع (قالوا) : ق ول لاحلسن بن عيد بن رلاه مس ن فظ ناده هذا ب عيد شيخ البخاريي ب نا"يي بن ل "،ق ريق حسي رلاه بن منده من

فظ عيد بن يي هذا ب ت "بن ممد الغساني أحد احلفاظ عن ف ت عي أن السائل أبو "،ق أراد ى لل تالف ب ي الريلايت لن ف هذه صرح لف رلاية مس من ن مو لمن مع فس

السائل ،الصحابة : يي لف رلاية البخار ،إذ الراضي بلسؤال ف حك ه لقد .أراد أن لإيأل هذا السؤال أيضا أبو ذر ر بن ق تادة ،رلاه بن حبان ، .لاه الطب ران ر ،لعمي

c) Merujuk pada sejumlah referensi

Dalam menguraikan makna hadis sejumlah referensi dipakai dalam menguatkan

penjelasan yang dibuatnya. Semisal ketika menjelaskan hadis tentang iman dengan

menggunakan atsar, hal ini terlihat dalam kitabnya sebagi berikut:52

ميان ك : لقال بن مسعود ق ول : ) (اليقي ال رف من أثر لص الطب ران هذا الت عيق ميان " ،بسند صحيح ر نصف ال لالصب أبو ن "،لبقي ت ف احل لأخرج هقي ف عي ية لالب ي

مرفوعا ،الزهد من حديث ف القتصار عى لجرى المصنيف عى ع ،لل ي ث بت رف ع ادتشارة ميان .زئة ف التج إذ لفظ النيصف صريح ،لحذف ما يدل بلصراحة ،ما يدل بل لف ال

ريق عبد للا بن عكي عن بن مسعود أن كان ي قول زدن إميان ليقينا " : لحد من الهناده صحيح "لفقها يذكره ال ،لهذا أصرح ف المقصود ،لإ مصنيف لما أ ل .شرت إلي

50 Al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz I, h. 100 51 Al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz I, h. 109 52 Al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz I, h. 98

Page 71: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

57

ق بذا الثر من ي قول ( :ت نبي ) ميان هو مرد الت : ت ع لأجيب بن مراد .صديق إن الميان ،بن مسعود أن اليقي هو أصل ال ب ان ب عثت ا قاء الل وارح ك فإذا أي قن الق ها ل

فيان الث وري ،بلعمال الصاحلة بغيلو أن اليقي لق : حت قال ب كما ي ن لطار ،ع ف القنة لهرب من النار ا .اشتياقا إ

Tidak hanya sampai disitu saja, pendapat ulama juga digunakan dalam

upayanya menjelaskan hadis dengan disertai referensi, memaparkan pendapat ulama

tentang makna hadis, serta menjelaskan persesuaian hadis dengan ayat. semisal

berikut:53

ل قد نقل ممد بن املرلزي / قدر ا"ف كتاب و عن ج "لصلة ت عظي ة اعة من الئمفيان الث و ،ذلك عن عبد الرزا ق ف مصنف ف صرح ب ريي لمالك بن لما نقل عن الس

هاء المص لهؤلء ف ق ،أنس لاللزاعيي لبن جريج لمعمر لغيه ،ار ف عصره لكذا ن قلكائي ف الل حا ق بن راهوية عن الشافعيي لأحد بن "كتاب السنة "أبو القا بل لإ حن

من الئمة لقيت أكث ر من :خاريي قال حيح عن الب لرلى بسنده الص ،لأب عب يد لغيهميان ق ول يتف ف أن ال ه ماء بلمصار فما رأيت أحدا من ،لعمل ألف رجل من الع

قص لكائي ف .ليزيد لي ن نب بن أب حات لالل انيد عن جع كثي من ، ن قل ذلك لأ بلجاع من الصحابة لالتابع ،الصحابة لالتابعي ال ي لحكاه فضيل بن ،ي لكلي من يدلر ع

ماعة .عياض للكيع عن أهل السنة لا ف مناقب الشافعيي لقال أخب :احلاك ث نا أبو العباس الص سعت :رن الربيع قال حد

ميان قول :الشافعي ي قول .يزيد لي ن قص لعمل،ال ف ت رجة الشافعيي من لأخرج أبو ن عي آخر عن الربيع لزاد احلية من قص بلمع :لج يزداد الذين ل " :ث تل ،صية يزيد بلطاعة لي ن صريحة ث شرع المصنيف يستدل لذلك بيت من القرآن م [،١٣]املدثر: الية "آمنوا اميان .ابل لن قصان ضرلرة فإن كل قابل لزييدة ق ،لبث بوتا ي ث بت المقابل ،بلزييدة

53 Al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz I, h. 95-96

Page 72: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

58

d) Menampilkan perdebatan akademik

Dalam kitabnya ia juga menghadirkan perdebatan teologis seputar hadis yang

sedang dijelaskan, semisal hal berikut:54

ق رار ف قط ميان هو ال ما عندن فال الحكام ف فمن أق ر ،أما بلنظر إ ي أجريت عن يا فعل يدل عى كفره كالس ،الد بكفر إل إن اق ت رن ب ي ع يك ص ل جود ل فإن ،ن

ميا -كالفسق –كان الفعل ل يدل عى الكفر ال ي ق ع إق راره فمن أ ،ن فبالنظر إ كمال ميان فبالنظر إ ال الكف ،لمن نفي عن ي ق ع أن ف عل فعل ر فبالنظر إ لمن أ

،الكافر حقيقت فبالنظر إ طة ف قالوالأث ب تت المع ،لمن ن فاه عن ق ل :تزلة الوا الفا .مؤمن لل كافر

Selain perdebatan teologis, perbedaan pendapat fikih juga dituangkan dalam

menjelaskan hadis baik pendapat perorangan ataupun kelompok (Madhhab). Hal ini

dituangkan dalam kitabnya sebagai berikut:55

ما أخرج بن أب شيبة أيضا عن ب ،إل .....(لأن يالزلا) :ق ول ن مسعود يشي إرمها .لث شيء ليس ب عد الث :قال حا ق لغي .وز الزييدة عى الثلثل ت :لقال أحد لإ

،د المت وضيئ عى ثلث ل أحب أن يزي :لقال الشافعي .ل آمن أن يث :لقال بن المبارك أكره :أي .فإن زاد ل أحب ي قتضي الكراهة ؛ أحريم لهذا الصح عند ،لن ق ول

عن ق وم أ .الشافعية أن مكرله كراهة ت نزي ه ن الزييدة عى الثلث لحكى الدارمي من د ،وء كالزييدة ف الصلة ت بطل الوض زم م .لهو قياس فا ن القول بتحرمي الزييدة عى لي

ل ق .الثلث أل كراهتها أن ل ي ندب تديد الوضوء عى ال الزييد لاختف عند الشافعية ف القيد حك ة عى الثلث فالصح إن الذي ميتنع من

ف رضا أل ن فل حت :لقيل ،الفرض ف قط :لقيل ،صى ب جدة التيللة لالشكر مث الوض :لقيل ،لمس المصحف ما ي قصد ل ا لقع الفصل بزمن يتمل إذ :لقيل ،وء لهو أع

ن قض الوضوء عادة .ف مث

54 Al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz I, h. 95 55 Al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz I, h. 406

Page 73: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

59

العتقاد فإن اعت قد أن الزييدة عى ال نة أخطأ لعند ب عض احلنفية أن راجع إ ثلث رها ل لوم لإل فل يشت رط لتحديد شيء بل لو زاد الرابعة لغ ،ل ف الوعيد لدخ لل ،ي

حديث الوارد القربة ل يما إذا قصد ب ت "،ر الوضوء عى الوضوء نو " لهو حديث :ق هذه الريلاية ،للعل المصنيف ضعيف يأت بسط ذل .أشار إ ك ف ألل ت فسي المائدة ل

ت عا أن بقي من العضو ش .إن شاء الل من ذلك ما لو ع الماء ف ليست ث يصب يء ف قط ا لئل ،رئ بعد الفراغ فل لأما مع الشك الطا ،لمرات أل ب عضها فإن ي غسل موضع

واس المذموم الو احلال إ .يؤلل ب

Selain menyajikan perdebatan teologis dan pandangan pengikut madhab

tertentu, ia juga memberikan sejumlah kritik terhadap pemahaman muḥaddith lain, hal

ini dapat dilihat dalam komentarnya berikut:56

ما لهو مشتغل() :ق ول ئل ع عى بب من نبي الت مص ي أما ،أدب العا لالمت ع من ت رك زجر السائل العا أل ل ، فما تضمن ت و ى ما كان بل أدب بلعراض عن حت ا لن من العراب له جفاة ،في ف رفق ب جواب ؤال ،ث رجع إ لفي العناية بواب

واب السائل للو يكن السؤال مت عيينا لل ا ، ي من أدب السائل لأما المت ع ن فما تضمم لهو مشتغل بغيه لن حق اللل مقد أخذ الدرلس ع ،أن ل يسأل العا ى لي ؤخذ من

،لكذلك الفتالى لاحلكومات لوها ،السبق مراجعة العا لفي ما ييب ب ي فه إذا ،حت ي تضح بن حبان "،كيف اضاعتها" :لقول ي إبحة إعفاء المسئول عن " :لب وب ع

"جابة عى الفور ال يا ق القصة يدل عى أن ذلك ليس عى ال إشارة ،ل ق للكن لفيؤال لجواب أن الع :لمن ث قيل ،إ .حسن السؤال نصف العرمها ف الطبة ف قالوالقد أخذ بظاهر هذه ا ل ن قطع الطبة :لقصة مالك لأحد لغي

ائل ،لسؤال مهور ب ي أن ي قع ذل ،بل إذا ف رغ ني ب ر لفصل ا ك ف أث ناء لاجباتا ف ي ؤخيواب ف ،لالل حينئذ الت فصيل ، الواجبات ف يجيب أل ف غي ،ا ب فإن كان ما ي هت

ين الط ،أمر الدي ث يت يما إن اختص بلسائل ف يستحب إجاب ت لكذا ب ي الطبة ،بة لل جب ما ي قتضي ت قدمي لكذا قد ي قع ف أث ناء الوا ،لإن كان بلف ذلك ف ي ؤخر ،لالصلة واب تأنف عى الصحي ،ا من اخ ،لكن إذا أجاب ا تلف الحاديث لي ؤخذ ذلك ك

56 Al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz I, h. 254

Page 74: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

60

ة ف ي ؤخر فإن كان السؤال من المور الت ليست معرف ت ها عى الف ،الواردة ف ذلك ور مهم ...كما ف هذا

e) Menggunakan multi disiplin ilmu

Menjelaskan hadis tentu membutuhkan integrasi antar ilmu pendukung untuk

memberikan pemahaman hadis yang menyeluruh, usaha ini pula yang digunakan al-

Hafiẓ Ibn Ḥajar dalam menerangkan hadis.

Menjelaskan perbedaan matan pada hadis,57 menjelaskan adanya nasikh

mansukh pada hadis tertentu,58 menjelaskan Wajḥ al-Istidlāl dengan ayat yang tersebut

dalam riwayat hadis,59 menjelaskan Asrār al-Taqdim wa al-Takhir dalam sabda Nabi,60

menunjukan Istidlal hadis terhadap sebuah hukum fikih.61

Pada perangkat yang digagas al-Ḥāfiẓ Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī menunjukan

variariasi yang membedakan ia dengan ulama-ulama klasik pada masanya dalam

berupaya memahami hadis Nabi, ia menyuguhkan penjelasan yang cukup lengkap

dengan disertai dalil naqli dan logika yang baik. Dan pemaparan seperti di dalam

kitabnya tidak kita temukan pada ulama-ulama sebelumnya.

Semasa dengan Ibn Ḥajar, hidup pula ahli hadis lain yang mensyarahi kitab Ṣaḥīḥ

al-Bukhārī yakni Badr al-Dīn al-‘Ainī (w. 855 H) yang menyusun kitab ‘Umdah al-

Qarī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī .62 Ia juga merupakan sahabat dekat Ibn Ḥajar, meski

57 Al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz I, h. 94 58 Al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz I, h. 99 59 Al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz I, h. 102 60 Al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz I, h. 115 61 Al-‘Asqālānī, Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-Bukhārī, Juz I, h. 407-408 62 Badru al-din Abī Muḥammad Maḥmūd bin Aḥmad al-‘Aynī, ‘Umdah al-Qārī Sharḥ Ṣaḥīḥ

al-Bukhārī, (Beirut : Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001)

Page 75: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

61

terbilang amat dekat tetapi keduanya tetap mengkritisi satu sama lain dan juga saling

menerima ilmu satu sama lain.63

Dalam kategori pemaparan isi kitabnya, jika dianalisa Badr al-dīn al-‘Ainī

menggunakan pemaparan yang berbentuk metode muqārin.64 Hal ini terlihat dari

adanya perbandingan antara berbagai riwayat yang setema maupun semakna, serta

perbandingan pendapat ulama. Upaya pendekatan yang teranalisa dalam kitab ini lebih

menonjol kepada pendekatan bahasa, ini dikarenakan Badr al-dīn al-‘Ainī menjelaskan

cukup detail mengenai hal ini, mencakup makna perkata dan perkalimat disertai kaidah

bahasa pula baik itu nahwu, sharaf, ilmu badī’, dll. Dalam sistematika penulisan

kitabnya berdasarkan bab pembahasan yang sama dalam kitab Ṣaḥīḥ al-Bukhārī.65

Dalam menguraikan dan memahami hadis sejumlah langkah diterapkan olehnya,

diantaranya: (a) Menjelaskan tema bab yang akan dibahas. (b) Menjelaskan sanad hadis

dengan penjelasan nama seluruh rijal al-hadīth nya. (c) Menjelaskan kaidah bahasa

dalam kata dan kalimat, dan balaghah. (d) Menjelaskan Ṣighat taḥammul wa al-Adā’

(metode periwayatan). (e) Terkadang juga menjelaskan cara baca rawi, menghindari

salah baca nama. (f) Serta membandingkan dan mengkorelasikan pendapat-pendapat

serta hal-hal yang dibicarakan dalam hadis itu, baik dengan al-Quran, Hadis, ulama

lain, dan menunjukan posisi pendapatnya pula.66

Secara khusus memang kurang al-‘Ainī memampakkan posisinya dalam

memberikan pemahaman dalam hadis, kecenderungannya merujuk kepada sejumlah

63 M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis, (Yogyakarta : UIN Suka Press, 2012), h.

181 64 M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis, h. 181 65 Hal ini dapat dilihat dari bab per bab yang mengikuti sistematika penyusunan yang dilakukan

al-Bukhārī. 66 M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis, h. 187-190.

Page 76: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

62

tokoh dan pendekatan yang ia gunakan berkisar dalam ranah kebahasaan saja.67 Dan

terkadang pula juga dilengkapi pendapat pribadinya pula.

Beberapa tawaran metode ditawarkan oleh para ulama klasik mulai dari al-Shāfi’ī

hingga pembahasan terakhir di atas yakni Badr al-Dīn al-Aynī, dapat disimpulkan

bahwa ulama klasik memang diidentikkan dengan sejumlah pembahasan dan

pemaparan masalah fikih yang cukup panjang, dominasi paradigm fikih pada masa itu

membentuk pemahaman bercorak fiqhi yang bukan hanya mempengaruhi pada segi

tafsir pada al-Qur’an bahkan hingga kodifikasi dan pemahaman atau Sharḥ pada hadis.

Tabel 3.2 Perbandingan Metode Pemahaman Periode Klasik

METODE PEMAHAMAN HADIS PERIODE KLASIK

Tokoh Metode Basis Orientasi

Al-Shāfi’ī

(w. 204 H/820 M)

Metode yang

dipaparkannya berkaitan

erat dengan metode

penafsiran al-Qur’an.

Metodenya masih sangat

sederhana menyajikan

data (al-Jam’u),

menggunggulkan salah

satu naṣ (al-Tarjīh), dan

penghapusan atau

pembatalan suatu dalil

(al-Nasakh).

Mukhtalif al-

Hadīth

Terlihat dalam

pembahasannya

keseluruhan

pertentangan terjadi

pada ranah fikih

(hukum) maka dapat

disimpulkan corak

yang dominan

adalah fiqhi.

Ibn Qutaibah

(w. 276 H/889 M)

Metode yang

dipaparkannya secara

tidak langsung seperti

mengembangkan apa

yang telah dilakukan al-

Shāfi’ī, tetapi ia lebih

memilih mendahulukan

al-Jam’u, kemudian ia

berikan ta’wil kepada

hadis yang bertentangan

baik satu atau keduanya

dengan memperkuat

ta’wilnya dengan al-

Qur’an, hadis lain, bait

Mukhtalif al-

Hadīth

Meski corak fiqhi

masih mendominasi

pada karyanya, akan

tetapi pembahasan

pada pokok bahasan

lain juga ada dalam

kitabnya, sehingga

bisa dikatakan

dominasi fikih agak

sedikit bergeser ke

ranah pembahasan

lain semisal

mengkritisi aqidah

Page 77: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

63

syair, logika, fakta

sejarah, ilmu

pengetahuan. Ketimbang

menggunakan al-Tarjih

dan al-Nasakh yang

dinilainya sebagai

alternatif terakhir jika

memang tidak

memungkinkan untuk

dita’wilkan.

Selain itu pembagian

sunnah kepada tiga

kategori juga menjadi

aspek tambahnya, sunnah

jibril, sunnah ibāhah dan

sunnah ta’dib.

pada beberapa aliran

kalam.

Ibn Ḥibbān

(w. 354 H/965 M)

Metode yang tidak biasa

ditemukan dalam karya

ulama ini, karena bentuk

kitabnya yang seperti

kitab induk hadis tetapi

pembagian yang

dilakukannya dengan

cara memetakan

kategorisasi perintah,

larangan, pilihan,

kebolehan,

Pengkategorian

sifat hadis Nabi

Fiqh Oriented dalam

pembagiannya yang

mayoritas membahas

tentang masalah

hukum, mulai dari

hadis yang

menunjukkan satu

hukum, hingga tiga

hukum dalam naw’

tertentu.

Al-Nawawī

(w. 676H/1277M)

Metode yang

digunakannya meliputi:

mengumpulkan matan

hadis yang terkait dengan

hadis yang sedang

dijelaskan,

mengelaborasi makna

kalimat melalui

perbandingan, dan bukan

hanya membandingkan

analisis redaksional saja,

tapi mencakup penilaian

periwayat, kandungan

hadis, serta berbagai hal

yang dibicarakan dalam

hadis. Penjelasan tentang

rijal al-hadīth jika

memang diperlukan,

serta menghadirkan

perbandingan dari ulama

fikih yang dihasilkan dari

kandungan hukum yang

terdapat dalam hadis.

Penelitian

perbandingan fikih

Penjelasannya yang

berkisar tentang

masalah fikih dan

perbandingan

pendapat baik fikih

atau lainnya.

Page 78: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

64

Al-Qarāfī

(w. 684H/1285M)

Metode yang ia gunakan

adalah membagi sunnah

nabi menjadi dua, Tasyri’

Umum dan Tasyri’

Khusus (Fathī ‘Abd al-

Karīm) sedangkan ulama

lain ada yang menyebut

dengan sunnah Tasyri’

dan non-Tasyri’.

Dan dalam hal ini ia

mengelompokkannya ke

dalam tiga kategori:

kehakiman (al-Qaḍā’),

keagamaan (al-Fatwā),

politik (al-Imāmah).

Pemilahan Posisi

Nabi

Mulai ada

pengelompokkan

mana sunnah yang

mengandung fikih

(hukum) dan yang

tidak.

Ibn Ḥajar Al-

‘Asqalānī

(w. 852H/1449M)

Metode yang cukup

lengkap disajikannya

dalam kitab sharḥ nya,

dengan meliputi:

Aspek bahasa mulai dari

etimologis dan

terminologis, istilah

tertentu, menerangkan

makna majaz dan haqiqi.

Memperhatikan aspek

sejarah, merujuk pada

sejumlah referensi,

menampilkan perdebatan

akademik baik teologis,

fikih, maupun ahli hadis

lain. Dan juga

memberikan penjelasan

dengan menautkan multi

disiplin ilmu yang

berkaitan.

Penelitian

Komprehensif

Orientasi mulai

berkembang, meski

masih didominasi

fikih akan tetapi

pembahasan

dilengkapi dengan

aspek diluar fikih

pula.

Badr al-Dīn al-

Aynī

(w. 855H/1452M)

Karya ini hadir dalam

satu kurun yang sama

dengan al-‘Asqalānī,

akan tetapi ada

perbedaan metode

pemaparan yang lebih

berciri muqarin dalam

karya al-Aynī ini.

Metode yang

digunakannya dalam

mensyarahkan hadis nya

meliputi: menjelaskan

teman yang dibahas,

memaparkan sanad dan

seluruh nama rijal al-

Penelitian

Komprehensif

(perbandingan)

Orientasi mulai

berkembang, meski

masih didominasi

fikih akan tetapi

pembahasan

dilengkapi dengan

aspek diluar fikih

pula.

Page 79: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

65

hadīth, menjelaskan

kaidah bahasa dalam kata

dan kalimat dilengkapi

balaghahnya,

menjelaskan ṣighat

taḥammul wa al-adā’,

menjelaskan cara baca

rawi, dan menjelaskan

dan membandingkan

pendapat-pendapat serta

hal-hal yang dibicarakan

dalam hadis baik dengan

al-Qur’an, hadis, ulama

lain, serta dilengkapi

pendapatnya pula.

b. Karakteristik Metode Pemahaman Hadis

Pemahaman pada masa klasik ini menunjukan kepada kita sebuah pola dan

ketaraturan pemikiran fase awal yang muncul dari kegelisahan adanya kontradiktif

antar hadis Nabi, serta penentuan posisi Nabi dalam menentukan role model mana dan

motif apa yang sedang dilakukan Nabi sehingga berimplikasi terhadap pemahaman

yang akan kita pahami.

Karakteristik pada masa klasik ini bisa dicirikan dengan kentalnya pemahaman

yang berdasarkan dalil-dalil naqli bercorak fiqhi meski tidak secara keseluruhan isi

pembahasan bercorak ini, tetapi agaknya hegemoni fikih dalam dunia hadis telah

mendominasi dari awal periwayatan dan pengkodifikasian yang menyebabkan awal

perumusan metode dan pendekatan masih berputar pada masalah hukum dan legitimasi

hukum.68

Pada masa ini upaya penjelasan yang dilakukan cenderung menyesuaikan kepada

tema-tema pada kitab induknya, hal ini dapat dilihat dari penjelasan atau pensyarahan

68 Rifqi Muhammad Fatkhi, “Dominasi Paradigma Fikih Dalam Periwayatan dan Kodifikasi

Hadis”, Jurnal Ahkam, Vol. 12, no. 2, (Juli 2012), h. 99-108

Page 80: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

66

terhadap kitab induk hadis, khususnya yakni Kutub al-Sittah,69 yang memang tidak jauh

berbeda dengan tema yang telah dirumuskan dalam kitabnya induknya, dan upaya

pemaparan yang dilakukan pula masih merujuk ke dalam bentuk asli (bentuk utuh) dari

tema yang disajikan kitab induknya sehingga dalam penentuan tema kurang menjadi

konsentrasi dalam pensyarahan pada fase klasik terhadap kitab induk. Bentuk

pensyarahan pada fase ini setidaknya merujuk pada tiga metode penjabaran, yakni

Taḥlili, Ijmāli, dan Muqārin.

Pendekatan yang digunakan pada fase ini pula masih menggunakan pendekatan

yang cukup sederhana, mengingat ilmu pengetahuan yang belum berkembang

sedemikian rupa sehingga pendekatan yang dominan pada ranah kebahasaan dan

historisitas sebuah hadis, meski ada beberapa tambahan pada penjelasan hadis dengan

menggunakan konsen yang berbeda sesuai latar belakang pensyarah.

Model pembacaan fase klasik pula bertujuan guna mencari dan menghasilkan The

Original meaning yang dimaksud dalam hadis, dan dalam pencarian meaning

pendekatan bahasa dan sejarah menjadi hal yang krusial karena pensyarahan agaknya

untuk mengkonfirmasi makna yang dimaksud oleh rasul dalam hadisnya, wacana ini

sering kali disebut paradigma positivisme70 sehingga dibutuhkan analisis yang

dikuatkan dengan dalil-dalil yang ada, mengingat pada fase ini kental akan penafsiran

bi al-Ma’thur dan sedikit dibumbui dengan penasiran bi al-Ra’yi juga.

Pemahaman sunnah yang di usung pada masa ini yang cenderung tekstual atau

bayāni71 memang telihat lebih praktis – untuk tidak mengatakan pragmatis- dan siap

pakai dalam menjawab problema sederhana sehari-hari, namun jika dipraktikkan secara

69 Suryadi, “Metode Pemahaman Hadis Nabi: Telaah atas Pemikiran Muhammad al-Ghazali dan

Yusuf al-Qaraḍāwi”, (Disertasi S3 Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004), h. 6 70 Paradigma Positivisme yaitu kecenderungan penafsiran yang sangat tergantung pada aspek

kebahasaan, semantic, gramatikal, dan problem-problem kebahasaan lainnya. 71 Dengan memberikan karakteristik Episteme Bayāni dan Burhāni. M. Alfatih Suryadilaga,

Metodologi Syarah Hadis (Yogyakarta : UIN Suka Press, 2012), h. xx

Page 81: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

67

perkembangan jangka panjang, pendekatan ini tentu sulit untuk merespon realitas sosial

dan umat Islam yang terus berubah dengan cepat dan berbagai persoalan baru yang

membutuhkan pemahaman yang lebih dinamis, kreatif dan inovatif.72

2. Modern

Keinginan umat Islam untuk selalu mendialogkan sunnah Nabi agar terus

berkembang pemahaman sesuai dengan aktualitas zaman yang berjalan mendorong

sebagian ulama dan sarjana muslim dalam menyajikan seperangkat pendekatan baru

dalam memahami hadis Nabi.

Fase modern-kontemporer ini dapat dikatakan sebagai periode keemasan dalam

metode pemahaman hadis. hal ini tentu tidak berlebihan, dikarenakan kekayaan

pemikiran ulama/pengkaji hadis yang memfokuskan dalam kajian penelitan makna yang

secara tidak langsung juga ikut andil dalam membantu mengungkap makna yang

terkandung dalam hadis dengan perangakat dan pendekatan yang mereka hadirkan,

khususnya yang memang memfokuskan dalam metode, perangkat, pendekatan dalam

pemahaman hadis.

a. Klasifikasi Metode Pemahaman Hadis

Penggunaan aspek metodologis jauh lebih beragam ketika fase menginjak ke

masa Modern, hal ini dibuktikan dengan beragamnya metode yang hadir dalam

pengkajian tentang makna.

Dan diantara ulama, sarjana Muslim dan pengkaji hadis pada periode modern ini

yang mempunyai pengaruh yang cukup signifikan terhadap terciptanya pembaruan

72 Alamsyah, “Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam dalam Pemahaman Syahrur dan Al-

Qaraḍāwi”, (Disertasi S3 Ilmu Agama Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004), h. 31

Page 82: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

68

pemikiran dalam islam –atau meminjam istilah Daniel w. Brown dengan basis kuat

kebangkitan islam73 dipetakan sebagai berikut:

1. Ibn ‘Āshūr (1296 H – 1393 H / 1879 M – 1973 M)

2. Fazlur Rahmān ( 1337 H – 1408 H / 1919 M - 1988 M )

3. Muḥammad al-Ghāzalī (1335 H – 1416 H / 1917 M – 1996 M)

4. Nasr Ḥamīd Abū Zayd (1362 H – 1431 H / 1943 M – 2010 M)

5. Muḥammad Syahrūr (1357 H / 1938 M)

6. Mohammed Arkoun (1346 H – 1431 H / 1928 M – 2010 M)

7. Yūsuf al-Qarḍawi ( 1345 H / 1926 M )

8. M. Syuhudi Ismail (w. 1996 M)

9. Ali Mustafa Yaqub (w. 2016)

Kerangka pemikiran modern-kontemporer yang tercipta dari keinginan

memahami sebuah teks dengan mengaktualisasi makna itu sendiri memberikan otoritas

kepada interpreter/penafsir/pemaham mengkaji makna lebih dalam, bukan hanya

sekedar melalui pendekatan kebahasaan. Akan tetapi jauh lebih luas dengan ikut

menarik pendekatan-pendekatan semisal bahasa, historis, sosiologi, sosio-historis,

antropologi, psikologi.

Pemikiran yang fresh hadir dalam upaya pemahaman konsep hadis dengan

mencari tujuan syari’ah nya (Maqāṣid al-Sharī’ah), hal ini seperti yang dilakukan Ibn

‘Āshūr yang tidak melepaskan diri dari kerangka fikir Uṣul Fikih yang masih berbau

klasik. Dan bahkan ia menggagas pandangan perlunya ada pemisahan antara Usul fikih

dan Maqāṣid al-Sharī’ah.74 Menurutnya Maqāṣid harus menjadi ilmu yang berdiri

sendiri,75 bersanding dengan ilmu-ilmu syari’ah lainnya.

73 Daniel W. Brown, Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2000), h. 74 M. Khoirul Huda, “Memahami Hadis Melalui Pemilahan Posisi Nabi saw, h.42 75 Muḥammad al-Ṭahir ibn ‘Asyūr, Maqāṣid al-Sharī’ah, h. 6

Page 83: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

69

Bukti kapasitas Ibn Ashūr dalam bidang hadis adalah ia menghasilkan dua buku

dalam kajian ini, yaitu, al-Naẓar al-Faṣīḥ ‘Inda Maḍāyiq al-Anẓar fī al-Jāmi al-Ṣaḥīḥ

(jalan keluar dari kerumitan al-Jāmi al-Ṣaḥīḥ) dan Kasyf al-Mughaṭṭā Min al-Ma’ānī

wa al-alfaẓ al-Wāqi’ah fī al-Muwaṭṭa’ (Pembuka Tirai Makna dan Lafaẓ Kitab

Muwaṭṭa’) serta karya-karya lain dalam bidang sastra, Tafsir dan maqasid, juga dapat

menjadi pembuktian kemapanan keilmuannya.76

Dalam pemahamannya dia juga merujuk model pemahaman dengan melihat

motif Nabi menyabdakan hadis agar dapat dibedakan mana yang mengandung syari’at

atau tidak. Semisal al-Qarāfī, Syah wali Allāh al-Dahlāwī dan Mahmūd Syaltut. Dia

pula mengeritik sebagian fukaha yang hanya mengandalkan analisis bahasa dan

mengesampingkan konteks serta motif pensyariatan.77 Konsep pemahaman maqāsidi

yang akrab dengan ia, berpadu dengan konsep pemilihan motif sabda Nabi saw. dan

keterkaitannya dalam penentuan motif merupakan jalan menemukan maqaṣid al-

sharī’ah, ia menjadi semacam alat bantu mendeteksi dan menjelaskan posisi tashrī dan

non-tashrī.78

Ibn Ashūr mengapresiasi gagasan yang dicetus al-Qarāfi tentang kajian pemilihan

motif sabda Nabi, dengan menyebutnya langsung dalam alinea kitabnya, serta

menjelaskan tiga garis besar yang digagas oleh al-Qarāfi sebagaimana penulis paparkan

pada bagian fase klasik.79

Dengan berpedoman kepada rumusan yang telah ada Ibn Asyūr

mengembangkannya menjadi dua belas kategori dalam menentukan motif Nabi,

kategori-kategori tersebut yakni; al-tashrī’ (pembentukan syari’at agama), al-fatwā

(pemikiran/opini agama), al-qaḍa (putusan hukum), al-imārah (keputusan politik), al-

76 M. Khoirul Huda, “Memahami Hadis Melalui Pemilahan Posisi Nabi saw, h. 46 77 M. Khoirul Huda, “Memahami Hadis Melalui Pemilahan Posisi Nabi saw, h. 46 78 M. Khoirul Huda, “Memahami Hadis Melalui Pemilahan Posisi Nabi saw, h. 47 79 Muḥammad al-Ṭahir ibn ‘Asyūr, Maqāṣid al-Syarī’ah ….. , h. 25

Page 84: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

70

hadyu (petunjuk), al-ṣulḥ (kontrak damai), ishārah ‘alā al-mustashīr (pertimbangan),

al-naṣīḥah (saran), takmīl al-nufūs (penguatan mental), ta’līm ḥaqā’iq al-‘āliyyah

(pengajaran nilai-nilai luhur), al-ta’dīb (pendidikan pekerti), al-tajarrud ‘an al-irshād

(pernyataan tanpa motif tertentu).80

Secara sederhana dapat kita kelompokan kepada tiga kelompok; keagamaan

(tashrī dan fatwa), sosiologis (imarāh, qaḍā, hadyu, ṣulḥ) dan masalah etis (muṣālaḥan,

ishārah, naṣīhah, takmil, ta’līm, ta’dīb, tajarrud). Hal ini menunjukkan bahwa tiga

tugas kehadiran para rasul dimuka bumi. Mereka diberi tanggung jawab untuk

meluruskan keyakinan teologis manusia, menyelesaikan problem-problem social umat

mereka, dan mengajarkan etika kepada mereka agar dapat menjalani kehidupan teologis

dan sosiologisnya secara sempurna.81

Pemahaman seperti ini di fase modern agaknya hanya mengembangkan sedikit

dari apa yang telah dirumuskan ulama pada masa klasik, yang jika ditelusuri upaya

pemahaman dan penafsiran dengan mengkonfirmasi keadaan awal dan makna awal

yang berorientasi retrospektif.82

Berlawanan dengan pemahaman berorientasi retrospektif yakni pemahaman

berorientasi prospektif.83 Dan hal ini ditemukan terhadap tokoh-tokoh setelah Ibn

80 Muḥammad al-Ṭahir ibn ‘Asyūr, Maqāṣid al-Syarī’ah ….. , h. 27 81 M. Khoirul Huda, “Memahami Hadis Melalui Pemilahan Posisi Nabi saw, h. 52 82 Orientasi Retrospektif ialah orientasi penafsiran/pemahaman yang cenderung bersifat mundur

kebelakang dan repetitive. Dan ada beberapa ciri khas orientasi retrospektif; pertama, hanya percaya

pada makna awal yang dipahami oleh audience awal di saat turunnya teks. Kedua, bahwa makna di masa

lalu seolah dapat melampaui seluruh konteks zaman yang terus dan selalu berkembang. Ketiga,

penafsiran/pemahamannya cenderung tekstualis, deduktif dan justifikatif. Keempat, cenderung

memaksakan makna suatu teks dalam konteks apapun, sehingga nyaris tidak ada dialektika antara teks

dan konteks. Kelima, cenderung menolak hermeneutic sebagai sebuah metodologi dan kritik terhadap

interpretasi. Abdul Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h.

23-24 83 Penafsiran/pemahaman berorientasi prospektik yaitu orientasi penafsiran/pemahaman yang

bersifat produktif dan progresif, yakni teks keagamaan harus selalu berdialog dengan realitas

perkembangan zaman (baca: konteks), tidak hanya ketika teks itu muncul di masa lalu, tetapi juga masa

sekarang. Ini memberikan arti bahwa seorang penafsir/interpreter dituntut selalu kreatif dan kritis melihat

konteks perubahan zaman, sehingga penafsiran/pemahaman selalu actual dan kontekstual. Abdul

Mustaqim, Pergeseran Epistemologi Tafsir, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 24-25

Page 85: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

71

Ashūr yang mengaktualkan pesan-pesan agama menjadi suatu yang coba diterapkan

dengan melihat situasi zaman terakhir si pembaca, contoh pemikiran seperti ini dapat

kita lihat pertama –meski bukan yang pertama kali- dalam pemikiran hemeneutikanya

Fazlur Rahmān (w. 1988 M) yang mengembangkan teori gerak ganda (Double

Movement) yang melibatkan setidaknya tiga aspek; Teks, Konteks, dan

Kontekstualisasi. Isu basis kuat kebangkitan Islam yang dikelompokkan oleh Daniel

W. Brown dimulai dalam sekitar abad ke-19 dan abad ke-20,84 menjadikan pemikiran

Rahmān dikumpulkan dengan sarjana lain yang juga pada zaman dan fase ini.

Gagasannya Rahmān menganai Isu kebangkitan dan pembaharuan nilai-nilai

islam tradisional, agar secara agama, budaya, politik dan etika, islam mampu

menghadapi modernitas yang hadir di dunia begitu cepatnya.85

Pemikiran yang diintroduksi oleh Rahmān di atas memang secara khusus metode

ini bukan diperuntukkan pengkajian pemahaman hadis, melainkan sebagai cara untuk

memahami teks.86

Teori yang ia gagas yakni teori gerak ganda (double Movement) merupakan teori

yang diyakini mampu mengikis jurang perbedaan dan dapat menjadi solusi yang tepat

atas kesenjangan yang terjadi antara Islam dan modernitas. Gerakan tersebut terdiri

dari: pertama, berangkat dari situasi masa kini menuju kondisi sosio-historis dimana

naṣ diturunkan/muncul untuk menemukan jawaban spesifik terhadap situasi yang

spesifik. Kedua, mengeneralisasikan jawaban-jawaban yang spesifik tersebut menjadi

prinsip umum untuk dihidupkan pada masa kini.87

84 Daniel W. Brown, Relevansi Sunnah dalam Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2000), h. 85 Ghufron A. Mas’adi, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 1997), h. 6 86 Teori ini dipaparkan Rahmān dalam karyanya Islam & Modernity: Tranformation of an

Intellectual Tradition, (Chicago-London: University of Chicago Press, 1992). 87 Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Tranformasi Intelektual, terj. Ahsin

Muhammad (Bandung: Pustaka, 1995), h. 7-8

Page 86: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

72

Diagram 3.1 Teori Double Movement Fazlur Rahman

Langkah gerak ganda yang harus ditempuh:

1) Gerakan pertama mencakup dua alur didalamnya, sebagai berikut:

a) Memahami arti atau makna suatu pernyataan naṣ dengan mengkaji situasi

atau problem historis dimana pernyataan naṣ tersebut merupakan

jawabannya dengan mengkaji situasi makro dalam batasan-batasan

masyarakat, agama, adat-istiadat, lembaga, bahkan keseluruhan

kehidupan masyarakat di jazirah Arab, untuk mengetahui situasi lahirnya

naṣ tersebut dan dalam sebab apa naṣ tersebut dikeluarkan.88

b) Menggeneralisasikan tujuan-tujuan yang bersifat khusus dan

menyatakannya sebagai ungkapan-ungkapan yang memiliki tujuan moral

social umum, atau dengan kata lain adalah “berfikir dari aturan-aturan

legal spesifik menuju pada moral social yang bersifat umum yang

terkandung didalamnya.89

2) Gerakan kedua dari teori ini adalah mengkontekstualisasikan pandangan-

pandangan umum (yaitu yang disistematisasikan melalui gerakan pertama)

menjadi pandangan-pandangan yang spesifik yang harus dirumuskan dan

direalisasikan pada masa sekarang ini. Artinya ajaran yang bersifat umum

88 Rahman, Islam dan Modernitas : Tentang Tranformasi Intelektual, h. 7 89 Rahman, Islam dan Modernitas : Tentang Tranformasi Intelektual, h.7

Masa Kini Sosio-

Historis

Naṣ

2

1

Page 87: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

73

tersebut harus dirumuskan dalam konteks sosio-historis yang kongkret pada

waktu sekarang.90

Sekilas penjelasan tentang metode double movement yang memberikan

pemahaman dengan menarik kenyataan pada zaman sekarang jauh lebih penting dalam

memahami pesan moral yang terkandung dalam hadis,91 terlepas dari aspek sakralitas

yang selalu dijunjung ulama konservatif.92 Sehingga relatifitas pemahaman akan selalu

terjadi seiring waktu yang terus berjalan dan zaman yang terus berkembang.93

Fokus kajian sempat terlihat kembali mundur sedikit, pematangan konsep

pemikiran pada kritisasi dan melemahkan matan yang terlihat janggal dan aneh dengan

berpatokan pada al-Qur’ān meski hadis-hadis itu dianggap sahih oleh para ulama hadis

dikemukakan oleh Muḥammad al-Ghazālī (w. 1996 M) dengan gagasan-gagasan

pemikiran berdasar petunjuk al-Qur’ān dalam kitabnya al-Sunnah al-Nabawiyyah

baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Ḥadīth.94 Dan gagasan ini dipuji karena upaya

kontekstualisasi metode pemahamannya tentang sunnah Nabi oleh pemikir Indonesia

M. Quraish Shihāb karena menyajikan penjelasan tetang sunnah Nabi terhadap

berbagai persoalan kekinian yang dibahas secara proporsional.95

90 Rahman, Islam dan Modernitas : Tentang Tranformasi Intelektual, h.8 91 Atau lebih sering ia menyebutnya sebagai “sunnah yang hidup”, “formalisasi sunnah” atau

“verbalisasi sunnah”, dan oleh karenanya harus bersifat dinamis. Hadis Nabi harus diTafsirkan secara

situasional dan diadaptasikan ke dalam situasi dewasa ini. Lih. Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad,

terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka, 1984), h. 38-131.; Taufiq Adnan Amal, Islam dan Tantangan

Modernitas (Bandung: Mizan, 1990), h. 165-168 92 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: PT. LKiS Printing

Cemerlang, 2012), h. vii. Atau pada beberapa kesempatan lain melabeli dengan kata Tradisional, klasik,

tekstualis. 93 Suryadi, “Metode Pemahaman Hadis Nabi: Telaah atas Pemikiran Muhammad al-Ghazali dan

Yusuf al-Qaraḍāwi”, (Disertasi S3 Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004), h. 7 94 Muhammad al-Ghazali, Studi Kritis atas Hadis antara Pemahaman Tekstual dan

Kontekstual, terj. M. al-Baqir (Bandung: Mizan, 1996) 95 M. Quraish Shihab, “Kata Pengantar” dalam Muhammad al-Ghozali, Studi Kritis atas Hadis

antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual, terj. M. al-Baqir (Bandung: Mizan, 1996), h. vii-xii.

Page 88: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

74

Terlepas dari beberapa pujian, banyak pula yang mengkritik dengan gagasan yang

ia lontarkan.96 Keberaniannya dalam menegakkan kembali otoritas al-Qur’ān atas hadis

dikarenakan pada dasarnya al-Qur’ān memang memiliki kedudukan yang lebih tinggi

daripada hadis, namun amat sangat disayangkan pada taraf praksisnya justru hadislah

yang lebih berkuasa. Setidaknya fenomena ini tercermin dalam pendapat al-Shāfi’ī

yang menyatakan bahwa sunnah tidak dapat dibatalkan oleh al-Qur’ān, sebab sunnah

membuat perintah-perintah al-Qur’ān yang bersifat umum menjadi lebih spesifik.97 Hal

ini tentu mengindikasikan bahwa betapapun sumber pertama (al-Qur’ān) tidak dapat

mengalahkan sumber kedua (hadis).

Tujuan utama yang hendak dicapai ialah untuk membawa kembali hadis kepada

tempatnya yakni dibawah pengayoman prinsip-prinsip al-Qur’ān. Al-Ghāzalī

menunjukkan teladan sahabat yang sangat kritis pada hadis berdasar prinsip al-Qur’ān,

hal ini tercermin dalam sanggahan ‘Aisyah melalui sikapnya pada riwayat bahwa orang

yang meninggal diazab atas tangisan keluarganya.98 Riwayat tersebut tentu kontradiksi

dengan ayat al-Qur’ān yang menyebukan bahwa seseorang tidak akan menanggung

dosa orang lain.99 Dengan ketegasan dan keberaniannya pula ‘Aisyah menolak

periwayatan suatu hadis yang bertentangan dengan al-Qur’ān.

96 Lumayan banyak karya yang membahas dan mengkritik metode pemahaman Muhammad al-

Ghazali, diantaranya: Abū Islām Musthafā Salāmah dengan bukunya Barā’ah Ahl al-Fiqh wa al-Hadīth

wa Auham Muḥammad al-Ghazali; ‘Abd al-Karīm bin Shāliḥ al-Ḥumaidī dengan I’anah al-Muta’āli li

radd al-Ghazālī; A’idh bin Abd Allāh al-Qarnī dengan bukunya al-Ghazāli fi Majlis al-Inṣāf; Salmān

bin Fahd al-‘Audah dengan bukunya Fī Ḥiwār Hādi’ ma’a Muḥammad al-Ghazālī; Rabi’ bin Hādī al-

Madkhalī dengan judul Kasyf Mauqif al-Ghazālī min al-Sunnah wa Ahlihā wa Naqd ba’dhi Arā’ihi; Lih.

Suryadi, “Metode Pemahaman Hadis Nabi: Telaah atas Pemikiran Muhammad al-Ghazali dan Yusuf al-

Qaraḍāwi”, ( Disertasi S3 Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004), h. 9 97 Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought, (Cambridge: Cambridge

University Press, 1996), h. 116 98 Redaksi hadisnya sebagai berikut:

ي ع إن المييت لي عذب ببكاء أه“Sesungguhnya mayit disiksa karena tangisan keluarganya” H.R. al-Bukhari no. hadis 1206,

1208, 3681. Muslim no. hadis 729-932. 99 Hal ini sebagaimana termaktub dalam al-Qur’ān surah al-an’am [6]: 164.

أخرى لزر لل تزر لازرة

Page 89: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

75

Berangkat dari polemik sedemikian rupa yang dihadirkan al-Ghāzalī dalam

karyanya, setidaknya contoh di atas menunjukkan bahwa periwayat terbaik (sahabat)

sekalipun melakukan kesalahan, dan sarana atau cara yang terbaik untuk memperbaiki

kesalahan itu adalah dengan mengkonfirmasikan matan tersebut dengan ajaran-ajaran

al-Qur’ān.100 Metode ini terlihat digunakan pada masa-masa awal oleh para sahabat

dan faqih yang berpedoman apabila suatu riwayat tersebut ditemukan bertentangan

dengan al-Qur’ān, maka riwayat tersebut akan kehilangan kesahihannya, meskipun

sanadnya kuat.101 Dan jika kita mengesampingkan prinsip yang dibangun oleh al-

Ghāzalī, maka seseorang itu akan tersesat. Karena pada dasarnya sebagaimana kita lihat

elemen air yang terdiri atas dua unsur yang saling melengkapi yakni Hidrogen dengan

Oksigen (H2O), begitupula otoritas hadis harus sejalan dengan al-Qur’ān.

Lanjut al-Ghāzalī bahwa al-Qur’ān adalah kerangka yang hanya dengan berada

dalam batasannya saja kita dapat mempraktekkan hadis, bukan melampauinya. Ia pun

mengecam bahwa barang siapa yang menganggap hadis lebih berwenang daripada al-

Qur’ān, atau bisa menghapus hukum-hukum didalamnya, maka ia adalah seorang yang

telah dimanipulasi/tertipu (maghrūr).102 Agaknya teguran keras yang dilancarkan oleh

al-ghāzali dapat memberikan sebuah pengertian bahwa memahami hadis mempunyai

indikator yang jelas, yakni harus sejalan dengan al-Qur’ān, dan penafsiran al-Qur’ān

sendiri mengalami eskalasi yang cukup signifikan pada masa modern-kontemporer

dengan mengadopsi berbagai perangkat pengetahuan baru sehingga pada akhirnya

upaya memahami yang digagas al-ghāzalī yang sangat berpedoman kepada petunjuk

Lih. Muḥammad al-Ghazali, Analisis Polemik Hadis, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), h. 4. Dan

juga beberapa ayat lain yang mengindikasikan hal yang sama, yaitu: al-isra’ [17]: 15; Fatir [35]: 18; al-

zumar[39]: 7; dan al-najm [53]: 38.

100 Muḥammad al-Ghazali, Analisis Polemik Hadis, h. 121 101 Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought, (Cambridge:

Cambridge University Press, 1996), h. 117 102 Muḥammad al-Ghazali, Analisis Polemik Hadis, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), h. 148

Page 90: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

76

al-Qur’ān menjadi sesuatu yang dinamis dan dapat diterapkan untuk setiap zaman

dikarenakan nilai-nilai universal yang fokus dikaji pada masa ini.

Nasr Hamid Abu Zayd (w. 2010 M) lebih jauh mengulas posisi teks yang

mengambil peranan yang cukup signifikan dalam peradaban Arab-Islam, akan tetapi

dia menegasikan pandangannya bahwa bukan berarti teks yang membentuk dan yang

menumbuh-kembangkan peradaban. Proses dialektika yang terjadi antara manusia dan

realitasnya lah (Jadal al-insān ma’a al-wāqi’i) yang amat sangat berperang penting

dalam melandasi dan menanamkan asas epistemologi dari suatu kebudayaan, dan hal

ini meliputi aspek sosial, ekonomi, politik dan budaya pada satu sisi, dan proses dialog

kreatif manusia yang terjalin dengan teks pada sisi yang lain (wa hiwāruhu ma’a al-

naṣ).103

Abu zayd pada dasarnya mencoba menggunakan analisa hermeneutika konstruktif

dalam berbagai kajian al-Qur’ān (teks keagamaan) yang dilakukannya.104 Dia

mengindentifikasi bahwa masalah mendasar dalam kajian islam adalah masalah seputar

penafsiran teks secara umum, teks historis maupun teks keagamaan, semisal al-Qur’ān

dan Hadis. dan dalam kajian ini abu zayd menganggap hermeneutika berkontribusi pada

peralihan perhatian penafsiran al-Qur’ān ke arah penafsir (mufassir).

Paling tidak ada tiga aliran utama dalam aliran hermeneutika, Pertama, Aliran

Obyektivis (hermeneutika romansis) yaitu aliran yang menekankan pada aspek

pencarian makna asal dari objek kajian (penafsiran/pemahaman), dan dalam aliran ini

juga menekankan pada pengamatan terhadap psikologi pengarang. Tokoh dalam aliran

ini misalnya F. Schleiermecher dan Dilthey. Kedua, Aliran Subyektivis yaitu aliran

yang menekankan pada peranan penafsir/pemaham untuk memberikan pemaknaan

103 Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’ān: Kritik terhadap Ulumul Qur’ān, (

Yogyakarta, IRCiSoD dan LkiS, 2016), h. 1, 5-8 104 Kusmana, “Hermeneutika Humanistik Nasr Hamid Abu Zayd : al-Qur’ān sebagai wacana”,

Kanz Philosophia, Vol. 2, no. 2 (Desember 2012), h. 267

Page 91: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

77

terhadap teks. Ketiga, Aliran Obyektivis cum Subyektivis, yaitu aliran yang

memadukan kedua aliran yang disebutkan sebelumnya. Aliran ini memberikan

keseimbangan antara pencarian makna asal dan peran pembaca atau penafsir.105 Tokoh

dalam aliran ini misalnya, H. G. Gadamer dan Gracia.106

Dengan melihat pengkategorian di atas, maka menurut penulis Nasr Hamid Abu

Zaid masuk kedalam aliran yang ketiga yaitu aliran obyektivis cum subyektivis. Hal ini

dapat diketahui penafsiran/pemahaman yang diberikannya tidak hanya berkutat pada

pencarian makna yang sesuai dengan maksud pengarang atau dengan kata lain meneliti

psikologi pengarang.107 Menurutnya perlu adanya suatu metode baru yang mampu

melihat aspek-aspek diluar teks itu sendiri dan pendektan kebahasaan/linguistik.108 Dan

pemikiran ini tentu tidak muncul sendirinya, akan tetapi dipengaruhi oleh gurunya yaitu

amin al-khuli.

Paradigma yang dilontarkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid bahwa “teks kebahasaan

dan realitas berperan membentuk teks itu.” Maka ditemukanlah gagasan yakni

mencoba merumuskan metodologi untuk mengungkap makna asli (meaning/ma’na)

teks keagamanan (al-Qur’ān dan Hadith), yang kemudian akan melahirkan makna baru

(significance/maghza). Ma’na merupakan dalalah yang dibangun atas dasar gramatikal

teks, sehingga makna yang dihasilkan adalah makna-makna gramatik atau singkatnya

yakni makna adalah apa yang direpresentasikan oleh teks, bersifat statis, dan digunakan

untuk melihat makna historis/makna awal. Sedangkan maghza menunjukkan pada

makna dalam konteks sosio-historis dan mengaitkan dengan peran antara makna dan

105 Nasr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif : Mengatasi Problamatika Bacaan dan Cara-

Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, terj. Muhammad mansur dkk, (Jakarta: ICIP, 2004), h.

3-63 106 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’ān, (Yogyakarta:

Nawasea Press, 2009), h. 26 107 Fikri Hamdani, “Nasr Hamid Abu Zayd dan Teori Interpretasinya”, Artikel jurnal tanpa

diterbitkan. Pasca sarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, h. 3 108 Sunarwoto dkk, Hermeneutika al-Qur’ān Madzhab Yogya, (Yogyakarta: Islamika, 2003), h.

107

Page 92: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

78

pembaca, bersifat dinamis dan sesuai dengan konteks yang mengitarinya, serta realitas

kekinian sebagai solusi atas permasalahan yang ada.109

Lebih lanjut ia menjelaskan teks keagamaan sebagai teks bahasa tidak cukup

hanya meneliti dan menganalisa bahasa secara inheren, bagaimanapun teks keagamaan

bukan hadir dalam masyarakat yang tidak memiliki budaya sama sekali, paling tidak

adanya asbāb al-nuzūl dan asbāb al-wurūd merupakan bukti bahwa teks keagamaan

merespon kondisi masyarakat pada saat itu.110 Oleh karena itu konteks budaya secara

luas yang saat itu berkembang merupakan persoalan yang sangat penting dan tidak bisa

ditinggalkan. Menurut Fazlur Rahman (w. 1988) perbedaan konteks dan dan metode

melahirkan pemahaman yang beragam seiring dengan perjalanan waktu. Oleh karena

itu pemahaman generasi muslim pertama terhadap pesan teks tidak dianggap sebagai

pemahaman yang final dan absolute. Karena bahasa selalu mengalami perkembangan

secara dinamis yang mengalami proses terus menerus. Hal ini berarti teks memiliki

makna yang berkembang menjadi signifikansi, atau dengan kata lain akan selalu terjadi

produksi makna. Dinamika makna teks tersebut membuat kemungkinan-kemungkinan

untuk menafsirkan teks secara terus menerus. Oleh karenanya, proses interpretasi tidak

akan pernah beraksi dan reinterpretasi selalu terjadi sepanjang masa.

109 Aksin wijaya, Arah Baru Studi Ulum al-Qur’ān; memburu pesan tuhan dibalik fenomena

budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009), h. 200. Penjelasan lebih lanjut Menurut Hirch yang dirujuk

oleh Nasr Hamid Abu Zaid bahwa bukanlah makna teks yang berubah, namun signifikansi (yang

berubah) bagi penulisnya. Perbedaan ini seringkali diabaikan. Makna adalah makna yang

direpresentasikan oleh sebuah teks; ia adalah apa yang dimaksud oleh penulis dengan penggunaannya

atas sebuah sekuensi tanda particular; ia adalah apa yang dipresentasikan oleh tanda-tanda. Signifikansi,

pada sisi lain , menamai sebuah hubungan antara makna itu dan seseorang, atau sebuah persepsi, situasi

atau sesuatu yang dapat dibayangkan.... Signifikansi selalu mengimplikasikan sebuah hubungan, dan satu

kutub konstan yang tak berubah dari hubungan itulah apa yang dimaksud oleh teks. Kegagalan untuk

mempertimbangkan pembedaan yang simple dan esensial ini telah menjadi sumber kekacauan yang luar

biasa dalam teori hermeneutika. Lih. Moch Nur Ichwan, Meretas kesarjanaan kritis; Teori Hermeneutika

Nasr Hamid Abu Zaid, (Jakarta: Teraju, 2003), h. 89. Atau Nasr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif

: Mengatasi Problamatika Bacaan dan Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, terj.

Muhammad mansur dkk, (Jakarta: ICIP, 2004), h. 61 110 Ali Imron dkk, Hermeneutika al-Qur’ān dan Hadis, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010), h. 125

Page 93: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

79

Dapat disederhanakan langkah-langkah yang digagas oleh Nasr Hamid Abu Zaid

sebagai berikut:

1) Menganalisa structur linguistic teks dan mencari fakta sejarah yang

mengelilinginya (asbāb al-nuzūl/ asbāb al-wurūd secara luas -makro-, asbāb

al-nuzul/ asbāb al-wurūd mikro).

2) Menentukan tingkatan makna teks.111

3) Menentukan makna asli teks (The Original Meaning).

4) Menentukan makna signifikansi (Significance)

5) Mengkontekstualisasikan makna historis dengan berpijak pada makna yang

tidak terkatakan.112

Gagasan Muḥammad Syahrūr (L.1938 M) yang cukup kontroversial mencuat

dalam karyanya al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirā’ah Muā’ṣirah, yang cukup menuai atensi

dikalangan internasional. Syahrūr mengistilahkan sunnah dengan tiga kriteria pokok,

Pertama, sunnah Nabi hanyalah bentukkan ijtihad Nabi dalam menerapkan hukum

tanpa keluar dari batas yang ditetapkan oleh Allah di dalam Umm al-Kitāb dan sangat

terikat dengan sifat lokal-temporal. Kedua, sunnah tidak bersifat mutlak dan tidak harus

diterapkan di semua zaman. Ketiga, sunnah sebagai usaha Nabi Saw dalam menerapkan

hukum-hukum Allah agar bisa dipraktekkan di zamannya menunjukkan bahwa kita

111 Menurut Nasr Hamid, ada tiga tingkatan makna yang perlu diperhatikan dalam teks-teks

keagamaan, tingkatan yang pertama adalah makna yang menuju pada fakta-fakta historis, yang tidak

dapat diinterpretasikan secara metaforis. Tingkatan yang kedua adalah suatu makna yang dapat

diinterpretasikan secara metaforis. Dan tingkatan yang ketiga adalah makna yang bisa diperluas

berdasarkan atas “signifikansi” yang dapat diungkap dari konteks sosio cultural dimana teks itu berada.

Moch Nur Ichwan, Meretas kesarjanaan kritis; Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zaid, (Jakarta:

Teraju, 2003), h. 89. Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: PT. LKiS

Printing Cemerlang, 2012), h. 77 112 Nasr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif : Mengatasi Problamatika Bacaan dan Cara-

Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, terj. Muhammad mansur dkk, (Jakarta: ICIP, 2004), h.

67

Page 94: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

80

juga bisa dan lebih berhak menghasilkan “sunnah” yang cocok untuk kondisi kikinian

kita.113

Klaim pembaharuan yang ia gagas nampaknya menuai pro dan kontra dari

berbagai pihak, yang mendukung pemikiranya memang sebagian besr akademisi barat

semisal; Wael B. Hallaq (L.1955), Charles Kurzman dan bahkan Eickleman yang

menjulukinya sebagai Immanuel Kant dari bangsa Arab. Disamping itu banyak pula

yang kontras dan mengkritisi pemikirannya, memang kelompok ini didominasi oleh

para ulama dari dunia Arab, seperti: Said Ramaḍān al-Butī, Yūsuf al-Shaidawī, dan

bahkan tokoh yang disandingkan dengannya dalam hal dekonstruksi pembacaan nas

Agama, yakni Nasr Hamid Abu Zaid.114

Kecenderungan yang amat mencolok yakni ketika Shahrūr memandang sunnah

sebagai bentukan realitas, 115 yang berarti sunnah hanyalah respon Nabi Muhammad

atas realitas ketika itu dalam rangka mengaplikasikan hukum-hukum Allah agar bisa di

praktekkan dengan mudah. Secara teori dapat diungkapkan, dengan sejumlah

pengertian di atas bahwa Shahrūr ingin meyakinkan bahwa setiap realitas akan

membentuk pemahaman baru dan sunnah yang baru. Dan lebih keras lagi, ia

menganggap jika sunnah bukanlah otoritas kedua setelah al-Qur’ān dan bahkan

menuduh bahwa pengkultusan sunnah dilakukan oleh imam-imam fikih saja.116

113 Qaem Aulassyahied, “Studi Kritis Sunnah Muhammad Syahrur”, Jurnal Kalimah, Vol. 13,

no. 1 (Maret 2015), h. 129. 114 Nasr Hamid Abu Zaid, Mengurai Benang Kusut Teori Qur’ān Kontemporer, (Yogyakarta:

L eLSAQ Press, 2007), h. 9. Dan ia menyebut jika gagasan yang dihadirkan oleh syahrur bukanlah

gagasan yang orisinal dan baru. 115 Hal ini kita dapat mencermati apa yang ia tampilkan dalam pemahamnnya tentang hadis,

dengan membaginya dengan istilah sunnah al-Rasuliyyah dan Sunnah al-Nabawiyyah, tentu hal ini

seperti mengulang apa yang coba ditawarkan oleh al-dihlawi dengan sunnah risalah dan ghairu al-

risalahnya. Azhari Andi Dkk, “Reinterpretasi Sunnah : Studi Pemikiran Muhammad Syahrur terhadap

Sunnah”, Jurnal Living Hadis, Vol. 1, No. 1, (Mei 2016), h. 90 116 Muḥammad Shahrūr, Al-Sunnah al-Rasūliyyah wa al-Sunnah al-Nabawiyyah Ru’yah

Jadidah, (Beirut: Dār as-Syaqi, Cet. I, 2012), h. 87

Page 95: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

81

Demi menguatkan dan mewujudkan klaim “pembaharuan” islamnya, Shahrūr

membangun metodologinya dengan berdasarkan prinsip-prinsip yang sangat berbeda

dengan epistemologi ilmuwan Islam tradisional.117 Hal ini mirip-mirip dengan apa yang

dilakukan oleh Fazlur Rahman dengan memahami realitas jauh lebih penting guna

mengkontekstualisasikan nilai dan mentransformasikannya ke bentuk yang lebih

relevan dengan keadaan sekarang.

Moḥammed Arkoun (w. 2010 M) dalam upaya memahami al-Qur’ān dan hadis

menawarkan metode yang berorientasi pada pemaknaan aktual terhadap al-Qur’ān dan

hadis.118 Arkoun dalam penelitiannya atas teks al-Qur’ān bertujuan mencari makna lain

yang tersembunyi, maka menurutnya untuk dapat merekonstruksi (konteks), harus ada

upaya dekonstruksi (teks).119 Dan ia termasuk intelektual muslim yang sangat berani

dalam menafsirkan al-Qur’ān bukan dari tradisi islam tetapi dengan menggunakan

metode yang di impor dari budaya barat.120

Ia menyuguhkan analisis semiotis sebagai suatu bentuk metode alternatif bagi

penafsiran al-Qur’ān, mengingat memang dalam karyanya bukan ditujukan untuk

memahami hadis, akan tetapi setidaknya sikap metodisnya dapat diterapkan kepada

sumber hukum lainnya yakni hadis.121 secara ringkas metode analisis semiotis dapat

dikemukakan sebgai berikut:

117 Dalam masalah ini pun dengan berani syahrūr mengakui bahwa tujuan dari karya-karyanya

adalah untuk melampaui metodologi Islam yang menurutnya sudah usang dan ketinggalan zaman. Ini

tentunya meniscayakan pembaharuan, terutama dengan melepas dan tidak mengikuti apa-apa yang telah

dirumuskan oleh ulama ushul fikih dan fikih selama ini. Muḥammad Shahrūr, al-Kitāb wa al-Qur’ān :

Qirā’ah Muā’ṣirah, (Damaskus: al-Ahali, 1990), h.31 118 Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru,

(Jakarta: INIS, 1994), h. 75 119 Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, h. 26 120 Hal ini setidaknya dapat ditemukan dalam kerangka berfikir yang ditetapkan dan cukup

berpengaruh atas analisis arkoun, tercatat ada beberapa tokoh barat yakni, Jacques Derrida, heidegger,

foucault, hingga ferdinand de saussure. Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan

dan Jalan Baru, h. 21-28 121 Dalam bukunya memang tidak secara konsen membahas tentang hadis dan pemahamannya

hanya upaya memberikan nalar dalam penafsiran al-Qur’ān, sejauh yang penulis temukan hanya

Page 96: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

82

1) Proses Linguistik

Pada tahap ini dilakukan analisis linguistik terhadap proses pengajaran dalam

teks al-Qur’ān, yang melitputi dan mencakup data-data linguistik, yakni tanda-

tanda bahasa, termasuk bentuk determinan (faktor yang menentukan), kata

ganti, kata kerja, kata benda, susunan sintaksis, persajakan dan lain-lain.122

Karena setiap bahasa mempunyai tanda-tanda bahasa yang ikut mempengaruhi

proses produksi makna. Analisis ini diantaranya bermaksud untuk mengetahui

aktan-aktan, yakni pelaku-pelaku yang melaksanakan suatu tindakan yang ada

dalam teks.123

2) Analisis Hubungan kritis Ujaran-ujaran dalam teks

Sebagaimana dikatakan bahwa al-Qur’ān juga sebagai korpus terbuka. Karena

itu teks al-Qur’ān mesti difahami sebagai sesuatu yang mengatakan sesuatu,

mengungkapkan suatu komunikasi dan memberikan sesuatu untuk dipikirkan.

Isi komunikasi inilah yang harus dicari terus menerus, dan ia tidak cukup kalau

hanya dicari lewat analisis linguistik (tahap 1), melainkan harus dilanjutkan

dengan tahap pembacaan hubungan kritis, dimana pembaca harus menggunakan

pengetahuannya tentang tanda untuk mencari hubungan-hubungan antar suatu

tanda dengan tanda lainnya berdasarkan “subjektifitas yang imanen dalam

karya”.124 Namun, untuk menghindari kesewenang-wenangan,

pembaca/penafsir harus melihat secara adil terhadap karya-karya terdahulu.

pengulasan tentang posisi sunnah dengan bantuan imam al-Shāfi’ī. Arkoun, Nalar Islami dan Nalar

Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, h. 135-142. 122 Nasrudin, “Manhaj Tafsir Mohammad Arkoun”, Maghza Vol. 1, no. 1 (Januari-Juni 2016),

h. 91 123 Dalam Semiotika, analisis aktansial mengembangkan fungsi-fungsi penyusunan kata dalam

kalimat dengan melihat antar aktan (pelaku) yang memiliki 3 poros, Pertama; Subjek-objek, yakni siapa

yang melakukan apa. Kedua, pengirim-penerima; siapa yang melakukan dan untuk siapa, dan Ketiga,

pelaku pendukung-penentang subjek. Nasrudin, “Manhaj Tafsir Mohammad Arkoun”, Maghza Vol. 1,

no. 1 (Januari-Juni 2016), h. 91 124 Nasrudin, “Manhaj Tafsir Mohammad Arkoun”, Maghza Vol. 1, no. 1 (Januari-Juni 2016),

h. 91

Page 97: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

83

3) Pembacaan Historis

Pembacaan pada tahap ini dimaksudkan untuk mengenali kode-kode (simbol-

simbol) linguistis, keagamaan, budaya, yang sepanjang ini telah digunakan

dalam pemaknaan dan penafsiran.125

4) Pembacaan Antropologis

Pembacaan antropologis digunakan untuk mengetahui asal-usul dan fungsi

bahasa keagamaan. Dengan cara ini maka akan bisa dekenali bagaimana bahasa

sesungguhnya berfungsi menguak cara berfikir dan cara merasa yang sangat

berperan dalam sejarah umat islam.126 Pada tahap ini, pembacaan dilakukan

dengan menanyakan apakah diluar batas kekhassan-khasan (kode-kode)

dogmatis, budaya dan lainnya, teks yang hendak kita Tafsirkan (baik parsial

maupun menyeluruh mengandung rujukan asal-muasal? Lalu apa

kaitannya/kekhassan-khasan sehubung dengan teks-teks al-Qur’ān tersebut?

Lewat eksplorasi antropologis ini arkoun memaksudkan untuk sampai pada

petanda trasendental, termasuk penggunaan mitos yang dapat memperlihatkan

bagaimana bahasa dipakai dalam berbagai simbol.127

Yusuf al-Qarḍawī menyajikan perangkat metode yang cukup komprehensif baik

secara ideal klasik dan modern progresif, bahkan sejumlah kalangan menyebutnya

dengan tokoh pemikir yang beraliran moderat-tradisional.128 Hal ini tentu tidak terlepas

dari usahanya untuk menengahi dan mengakomodasi perkembangan zaman dengan

125 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta: PT. LKiS Printing

Cemerlang, 2012), h. 75-76 126 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, h. 75 127 Nasrudin, “Manhaj Tafsir Mohammad Arkoun”, Maghza Vol. 1, no. 1 (Januari-Juni 2016),

h. 91 128 Suryadi, “Metode Pemahaman Hadis Nabi: Telaah atas Pemikiran Muhammad al-Ghazali

dan Yusuf al-Qaraḍāwi”, (Disertasi S3 Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004),

h. xii

Page 98: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

84

pemahaman yang akan diberikan kepada sebuah teks dalam hal ini hadis.129 disamping

itu pula karya yang ia tawarkan ini menjadi pelengkap –untuk tidak menyebut sebagai

sanggahan dan klarifikasi kekaburan yang dikhawatirkan dapat membiaskan misi dasar

yang dibawanya- atas karya pendahulunya di lembaga internasional untuk pemikiran

islam, yakni, Muḥammad al-Ghāzalī.

Yūsuf al-Qarḍāwi dalam bukunya Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw130,

beliau menawarkan kajian kritik matan hadis yang dapat memberikan cakrawala dan

wawasan dalam hubungannya dengan ilmu hadis. Dalam rangka memahami makna

hadis dan menemukan signifikansi kontekstualnya, beliau memberikan delapan prinsip

atau cara untuk memahami hadis Nabi Saw,131 yaitu:

1) Memahami al-sunnah dengan kerangka petunjuk al-Qur’ān

Wacana dan gagasan mengenai pentingnya (perlunya) memahami hadis

berdasarkam kerangka petunjuk yang telah ditunjukan dalam al-Qur’ān

memang bukan hanya gagasan yang baru dibentuk oleh al-Qaraḍāwī saja,

melainkan beberapa metode terdahulupun tidak berlepas dari pentingnya

mendahulukan petunjuk dalam al-Qur’ān. Dan dalam buku al-Sunnah al-

Nabawiyyah Bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadīth memaparkan hampir pada

keseluruhan babnya dalam pentingnya pemahaman terhadap hadis Nabi Saw

untuk mempertimbangkan petunjuk-petunjuk al-Qur’ān.132

129 Dari kedelapan metode yang dipaparkannya, pendekatan yang cukup akomodatif ini terlihat

pada poin kelima, yakni membedakan antara sarana yang berubah-ubah dan sasaran atau tujuan yang

tetap. Yūsuf al-Qarḍawī, Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, penerj. M. Al-Baqir, (Bandung:

Penerbit Karisma, 1993), h. 147 130 Yusuf al-Qaraḍāwī, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, terj. Muhammad al-Baqir

(Bandung: Kharisma, 1993) 131 Pada penerapannya masing-masing cara (baca:metode) mempunyai keterkaitan dengan cara

dan langkah lainnya, dan bukan berdiri sendiri dalam upaya memahami esensi pesan yang terkandung,

dalam hal ini adalah matan/isi hadis. 132 Muhammad al-Ghazali, Studi Kritik atas Hadis Nabi Saw. Antara pemahaman Tekstual dan

Kontekstual, Terj. Muhammad al-Baqir. (Bandung: Mizan, 1996), h. 11

Page 99: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

85

Al-Qur’ān menempati posisi utama dalam sumber-sumber hukum islam,

karena di dalamnya terdapat keseluruhan kerangka ajaran Islam. Sedangkan

hadis menempati posisi sebagai pemerinci dan penjelas atas segala prinsipil

yang ditunjukan al-Qur’ān, dengan kata lain penjelas hanya berupaya

menerangkan apa yang belum disebutkan dan tentunya tidak boleh ada

pertentangan dikarenakan kebakuan sifat al-Qur’ān. Maka dari itu, makna hadis

harus sejalan dengan apa yang ditunjukan al-Qur’ān dan segala petunjuknya.133

2) Mengumpulkan beberapa hadis yang menampilkan satu tema yang sama.

Untuk berhasil memahami as-sunnah secara benar, kita harus

menghimpun semua hadis ṣahīh yang berkaitan dengan suatu tema tertentu

menurut al-Qaraḍāwī. Lalu kembali memposisikan kandungannya yang

mutasyabih disesuaikan dengan hadis yang muhkam, mengaitkan yang mutlak

(terurai) dengan yang muqayyad (terbatas), dan menafsirkan yang ‘am dengan

yang khash. Dengan demikian barulah dapat dimengerti (dipahami) maksudnya

dengan lebih jelas dan tidak dipertentangkan antara hadis yang satu dengan yang

lainnya.134

Posisi as-sunnah yang telah ditetapkan sebagai sumber kedua dalam

Islam yang memberikan arti bahwa sunnah mempunyai otoritas dalam

menafsirkan al-Qur’ān dan menjelaskan makna-maknanya. Dalam artian secara

spesifik, sunnah merinci (mufassil) apa yang dinyatakan oleh al-Qur’ān secara

garis besrnya (mujmal), dan menafsirkan bagian-bagian yang kurang jelas.

Mengkhususkan apa yang disebutnya secara umum, dan membatasi (muqayyad)

apa yang disebutnya secara lepas (mutlaq). Maka hal ini, tentu harus diterapkan

133 Bustamin, M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2004), h. 90 134 Yusuf al-Qaraḍāwī, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, h.106.

Page 100: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

86

antara hadis satu dengan yang lainnya. Jika hanya menghabiskan waktu terfokus

pada satu topik hadis tertentu seringkali menjerumuskan ke dalam kesalahan,

dan malah menjauhkannya dari kebenaran mengenai maksud sebenarnya dari

konteks hadis tersebut maka perlu dihimpun sebagaimana ketentuan di atas .135

3) Penggabungan atau pentarjihan antara hadis-hadis yang (tampaknya)

bertentangan

Hal ini berdasar pada pandangan yang menganggap tidak adanya

kontradiksi dalam naṣ-naṣ syariat, sebab suatu kebenaran tidak akan

bertentangan dengan kebenaran. Tetapi, jika memang di pandang adanya

pertentangan, maka hal itu hanya sebatas tampak zhahirnya (luarnya) saja,

bukan dalam kenyataan yang hakiki dan realitas. Dan apabila terdapat seperti

masalah di atas , maka kita wajib menghilangkannya dengan cara sebagai

berikut:

a) Penggabungan didahulukan sebelum pentarjihan

Sesuatu hal yang penting memahami as-sunnah dengan baik, yaitu dengan

cara menyesuaikan antara berbagai hadis sahih yang redaksinya tampak

seolah-seolah saling bertentangan, begitu pula makna kandungannya, yang

sepintas lalu tampak berbeda. Kemudian semua hadis dikumpulkan dan

masing-masing dinilai secara proporsional, sehingga dapat dipersatukan

dan tidak saling berjauhan, saling menyempurnakan dan tidak saling

bertentangan. Pada point ini hanya mengkhususkan dan menekankan pada

135 al-Qaraḍāwī, Bagaimana Memahami.... h. 106. Lihat Juga Bustamin, M. Isa H.A. Salam,

Metodologi Kritik Hadis... h. 92

Page 101: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

87

hadis-hadis yang sahih saja, sedangkan hadis yang ḍaif tidak termasuk

karena kualitasnya lemah.136

b) Soal naskh dalam hadis

Pada hakikatnya, tuntutan tentang adanya naskh dalam hadis, tidak sebesar

yang dituntutkan dalam al-Qur’ān. Hal itu mengingat bahwa al-Qur’ān pada

dasarnya adalah pegangan hidup yang bersifat abadi. Sedangkan sunnah

adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi Saw. Jika ada dua

hadis dan dapat diamalkan kedua-duanya maka diamalkanlah, dan tidak

boleh salah satu dari keduanya diamalkannya yang lain.

Akan tetapi apabila tidak ada kemungkinan keduanya dapat dihindarkan

dari pertentangan, maka ada dua jalan untuk ditempuh yaitu: pertama, jika

diketahui salah satu dari keduanya merupakan nasikh dan lainnya mansukh,

maka yang diamalkan nasikh-nya saja. Kedua, apabila keduanya saling

bertentangan dan tidak ada petunjuk mana yang nasikh dan mansukh, maka

tidak boleh berpegangan pada salah satunya, kecuali berdasarkan suatu

alasan yang menunjukan bahwa hadis yang dijadikan pegangan lebih kuat

dari yang satunya.137

4) Memahami hadis dengan mempertimbangkan latar belakannya, situasi dan

kondisi ketika diucapkan, serta tujuannya

Salah satu cara untuk memahami sunnah nabawī yang baik adalah

dengan pendekatan sosio-historis, yaitu dengan mengetahui latar belakang

diucapkanya atau kaitannya dengan sebab atau alasan (‘illah) tertentu yang

dikemukakan dalam riwayat atau dari penelitan/pengkajian terhadap suatu

136 Yusuf al-Qaraḍāwī, Bagaimana Memahami.... h. 117-130 137 Yusuf al-Qaraḍāwī, Bagaimana Memahami.... h. 131

Page 102: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

88

hadis. Selain itu, untuk memahami hadis harus diketahui kondisi yang

meliputinya serta di mana dan untuk tujuan apa diucapkan. Dengan demikian,

maksud hadis benar-benar menjadi jelas dan terhindar dari perkiraan yang

menyimpang.138

Pendekatan ini berupaya mengetahui situasi Nabi Muhammad Saw dan

menelusuri segala peristiwa yang melingkupinya. Pendekatan ini telah

dilakukan oleh para ulama, yang mereka sebut dengan Asbāb al-Wurūd. Dengan

pendekatan ini maka akan diketahui mana hadis yang mempunyai sebab-sebab

khusus dan mana yang umum, mana yang bersifat temporal, kekal, parsial atau

yang total. Masing-masing mempunyai hukum dan pengertian sendiri, dengan

demikian maka tujuan atau kondisi yang ada dan sebab-sebab tertentu dapat

membantu memahami hadis dengan baik dan benar.139

5) Membedakan (memisahkan) antara sarana yang berubah-ubah dan tujuan yang

bersifat tetap dalam setiap hadis

Banyak orang yang keliru dalam memahami sunnah dari Nabi dengan

mencampuradukan antara tujuan atau alasan yang hendak ditujukan atau

dicapai, sunnah dengan prasarana temporer atau lokal dan kontestual yang

kadangkala menunjang ketercapaian sarana yang dituju. Mereka lebih terfokus

pada masalah prasarana ini, seolah-olah sarana itulah satu-satunya cara yang

ditunjukan dalam hadis. Padahal, siapapun yang hendak memahami sunnah

Nabi Saw serta hikamah dan rahasia-rahasia yang dikandungnya akan

mendapatkan kejelasan bahwa yang paling perlu menjadi perhatian adalah

tujuan yang hendak dicapai. Sedangkan prasarana itu adakalanya berubah-ubah

138 Bustamin, M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis... h. 97 139 Yusuf al-Qaraḍāwī, Bagaimana Memahami.... h. 132

Page 103: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

89

sesuai dengan perkembangan zaman, lingkungan, adat istiadat, dan segala hal

yang meliputinya.140

Suatu lingkungan yang ditunjukan dalam perkembangan sarana dan

prasarana yang ditunjukan dalam hadis dapat berubah dari satu masa ke masa,

satu lingkungan ke lingkungan lain, atau bahkan sarana dan prasarana yang

sebelumnya relevan menjadi tidak relevan untuk masa yang akan datang, dan

itu semua akan terus mengalami perubahan. Al-Qur’ān juga menjelaskan dan

menegaskan tentang sarana atau prasarana yang cocok dengan suatu tempat dan

masa tertentu tidak menjadi indikasi bahwa kita harus mengukuhkannya sebagai

hal yang tidak dapat diganggugugat dan tidak memikirkan tentang prasarana

alternatif lainnya yang selalu berubah dengan berubahnya waktu dan tempat.141

6) Membedakan antara ungkapan yang bermakna sebenarnya dan yang bersifat

majaz dalam memahami hadis

Menurut al-Qaraḍāwī ada hadis Nabi yang sangat jelas maknanya dan

sangat singkat bahasanya, sehingga si pembaca hadis tidak memerlukan

penafsiran dan ta’wilan dalam memahami makna dan tujuan Nabi. Selain itu,

ada juga redaksi Nabi yang menggunakan bahasa majazi, sehingga tidak mudah

dipahami dan tidak semua orang dapat mengetahui secara pasti tujuan Nabi.

Untuk kategori hadis yang kedua biasanya menggunakan ungkapan-ungkapan

yang sulit dipahami dan sarat dengan simbolisasi. Ungkapan-ungkapan

semacam itu sering sekali dipergunakan oleh Nabi, hal ini dikarenakan bangsa

Arab pada masa itu sudah terbiasa dengan menggunakan kiasan atau metafora

dan mempunyai cita rasa bahasa tinggi terhadap bahasa Arab.142

140 Yusuf al-Qaraḍāwī, Bagaimana Memahami.... h. 148 141 Yusuf al-Qaraḍāwī, Bagaimana Memahami.... h. 148 142 Bustamin, M. Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadis... h. 98

Page 104: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

90

Makna Majaz di sini meliputi: lughawiy, ‘aqliy, isti’arah, kinayah dan

berbagai macam ungkapan lainnya yang tidak menunjukan makna sebenarnya

secara langsung, tetapi hanya dapat dipahami dengan berbagai indikasi yang

menyertainya, baik yang bersifat tekstual maupun kontekstual.143

7) Membedakan antara yang ghaib dan yang nyata

Dalam kandungan kandungan hadis Nabi diantaranya mengandung hal-

hal yang berkenaan dengan alam ghaib yang sebagiannya menyangkut

makhluk-makhluk yang tidak dapat dilihat (kasat mata) di alam maya. Seperti:

malaikat yang diciptakan Allah SWT dengan tugas-tugas tertentu, begitu juga

jin dan setan yang diciptakan untuk menyesatkan manusia, kecuali mereka

hamba-hamba Allah yang berada dijalan-Nya.144

Sebaian besar hadis-hadis yang menerangkan tentang alam ghaib bernilai

dibawah kualitas Ṣahīh namun yang diriwayatkan secara ṣahīh juga banyak.

Oleh karena itu hadis hadis yang bernilai harus dipahami secara proporsional,

yakni diantara yang membicarakan alam kasat mata dengan yang membicarakan

tentang alam ghaib.

8) Memastikan makna peristilahan yang digunakan oleh hadis

Hal yang terpenting dalam memahami sunnah dengan benar adalah yaitu

memastikan makna dan konotasi yang tepat kata-kata tertentu yang digunakan

dalm susunan kalimat sunnah. Adakalanya konotasi kata-kata tertentu berubah

karena perubahan dan perbedaan lingkungan yang ada. Masalah ini sudah

barangtentu akan lebih jelas diketahui oleh mereka yang mempelajari

perkembangan bahasa serta pengaruh waktu dan tempat terhadapnya. Seingkali

143 Yusuf al-Qaraḍāwī, Bagaimana Memahami.... h. 167 144 Yusuf al-Qaraḍāwī, Bagaimana Memahami.... h. 189

Page 105: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

91

suatu kelompok manusia menggunakan kata-kata tertentu untuk menunjukan

makna tertentu pula.145

Sementara itu, tidak adanya batasan untuk menggunakan istilah atau kata-

kata tertentu. Akan tetapi yang dikhawatirkan disini adalah menafsiri lafaẓ-lafaẓ

yang tertentu dalam sunnah (termasuk pula dalam al-Qur’ān), dengan

menggunakan istilah modern. Dari sinilah seringkali nampak adanya

penyimpangan dan kekeliruan. Oleh karena itu penguasaan arti dan makna pada

dasarnya akan membantu memahami apa sesungguhnya yang dimaksudkan

oleh hadis secara proporsional.146

Perkembangan metode pemahaman hadis juga dihadirkan oleh beberapa ulama

hadis di Indonesia, hal ini dapat diidentifikasikan melalui karyanya yang memberikan

sejumlah tawaran metodologis. Diantaranya yakni ada Sosok M. Syuhudi Ismail dan Ali

Mustafa Ya’qub yang menghasilkan karyanya dalam bahasa Indonesia serta

memberikan beberapa contoh tentang metode yang sedang digunakannya.

M. Syuhudi Ismail (w. 1995) menjelaskan posisinya dalam kajian metode

pemahaman hadis dengan menempati pos sebagai pengkaji posisi Nabi,147 dan

pernyataan ini secara tidak langsung ditegaskan dalam karyanya.148 Metode yang

ditawarkannya pun rasanya telah banyak dijelaskan oleh sejumlah ulama sebelumnya

145 Yusuf al-Qaraḍāwī, Bagaimana Memahami.... h. 195 146 Yusuf al-Qaraḍāwī, Bagaimana Bersikap Terhadap Sunnah, (Solo: Pustakka Mantiq, 1993),

h. 236 147 Hal ini tentu dapat kita simpulkan dari beberapa pandangan ia yang mempertanyakan -lebih

jauh tentang persoalan hadis dalam segi ontologisnya sedang- kapasitas sebagai Nabi ketika

menyabdakan hadis, apakah ia memerankan sosok rasul atau sebagai selain rasulullah (baca: hakim,

kepala negara, panglima perang, atau pribadi). Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis

Nabi, (Jakarta: PT Intimedia, t.t), h. 13 148 M. Syuhudi Ismail, Hadis yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Maani al-Hadis tentang

Ajaran Islam yang universal, temporal dan local (Jakarta: Bulan Bintang, 2009), h. 4

Page 106: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

92

baik pada fase klasik maupun fase modern yakni, Shihāb al-Dīn al-Qarāfī, Mahmud

Syaltut dan al-Dihlāwī.

Dalam kajian matan hadis metode yang ia tawarkan dengan menganalisa hadis

dalam beberapa bentuk: a) mengungkap matan dan cakupan petunjuknya berkaitan pula

dengan meneliti secara bahasa dan logika bahasa yang digunakannya termasuk

ungkapan analogi, simbolik, bahasa percakapan, bahasa tamsil. b) Mengungkap matan

dengan menghubungkan fungsi Nabi dalam hadis tsb. c) Meneliti asbāb al-wurūd yang

berkaitan dengan hadis, baik yang mempunyai sebab secara khusus atau pun tidak, serta

yang berkaitan dengan keadaan yang sedang terjadi. d) Menyelesaikan hadis yang

nampaknya saling bertentangan.149

Dalam kerangka metode yang dibangun, beberapa langkah di atas tidak akan

berguna jika hadis yang dikajinya bukan pada derajat yang ṣahīh atau minimal tidak

termasuk berat kedaifannya. Hal ini mengindikasikan kualitas sanad juga sangat penting

dalam kajian tentang pemahaman hadis, dikarenakan tanpa adanya sanad maka suatu

matan tidak dapat dikatakan sebagai sesuatu yang berasal dari Rasulullah, atau matan

yang sanadnya sangat daif hasilnya pun tidak akan bermanfaat bagi kehujjahan hadis

yang bersangkutan.150

Kerangka metode lainnya juga ditawarkan oleh Ali Mustafa Ya’qub (w. 2016)

dengan merumuskan kajian tentang penelitian matan dan pemahaman hadis dengan

melihat berbagai aspeknya.151 Dan ia merumuskan pendekatan yang tekstual dan

kontekstual dalam memahamai hadis, hal ini bertujuan agar pesan yang dikandung oleh

hadis mampu tersampaikan secara utuh.

149 Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, (Jakarta: PT Intimedia, t.t), h.

189-287. 150 Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi (Jakarta: PT Intimedia, t.t), h.

170 151 Ali Mustafa Ya’qub, Cara Benar Memahami Hadis (Jakarta:Pustaka Firdaus, 2016), h. v-

viii

Page 107: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

93

Secara metode Ali Mustafa Ya’qub memberikan tiga garis besar dalam

memahami hadis, yakni; a) Memahami hadis secara tematis, dengan mengumpulkan

hadis yang sama hal ini bertujuan agar memahami secara jelas maksud hadis. b)

Memahami hadis dengan pendekatan tekstual, ia menawarkan pemahaman dengan

mengidentifikasi bentuk Majazi dan Haqiqi dalam hadis, ta’wil dalam hadis, dan illat

dalam hadis. c) Memahami hadis dengan pendekatan kontekstual, yakni dengan

memahami geografi dan budaya Arab, kondisi social dan sebab hadis disabdakan (asbāb

al-Wurūd) dalam hadis.152

Dan jika dianalisis lebih jauh tentang kedua tokoh di atas, metode yang coba

dipaparkan pada masing-masing karyanya memang bukan sebuah tawaran metode yang

baru hal ini dikarenakan proses yang dilakukannya memang tidak jauh berbeda dengan

rumusan metode yang ditawarkan pada fase klasik hingga modern, perbedaannya hanya

terletak pada besarnya pendekatan-pendekatan yang bersifat sosiologis ikut

mempengaruhi dalam pemahaman yang dibentuk.

Perkembangan pemahaman yang memasuki era millenial tentu memerlukan

pendekatan yang lebih mendalam terkait pemahaman apa yang akan ditimbulkan dari

sebuah teks, mengingat sosio-kultural pada masa modern-kontemporer sangat jauh

berbeda dengan keadaan pada saat sunnah itu diamalkan atau ketika hadis itu

dibukukan. Metode-metode dan pendekatan-pendekatan di atas merupakan buah karya

ulama dan pengkaji hadis yang cukup di pertimbangkan dalam hal pengolahan sebuah

makna untuk dibentuk kepada sebuah pemahaman yang relevan dengan keadaann

sekarang.

152 Ali Mustafa Ya’qub, Cara Benar Memahami Hadis, h. 3

Page 108: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

94

Tabel 3.3 Perbandingan Metode Pemahaman Periode Kontemporer

Metode Pemahaman Hadis Periode Kontemporer

Tokoh Metode Basis Orientasi

Ibn ‘Ashūr Kerangka metode yang

dipaparkan al-Qarāfī

yang awalnya hanya

tiga, dikembangkan

menjadi dua belas

kategori oleh Ibn

‘Ashūr.

kategori-kategori

tersebut yakni; al-tashrī’

(pembentukan syari’at

agama), al-fatwā

(pemikiran/opini

agama), al-qaḍa

(putusan hukum), al-

imārah (keputusan

politik), al-hadyu

(petunjuk), al-ṣulḥ

(kontrak damai), ishārah

‘alā al-mustashīr

(pertimbangan), al-

naṣīḥah (saran), takmīl

al-nufūs (penguatan

mental), ta’līm ḥaqā’iq

al-‘āliyyah (pengajaran

nilai-nilai luhur), al-

ta’dīb (pendidikan

pekerti), al-tajarrud ‘an

al-irshād (pernyataan

tanpa motif tertentu).

Pemilahan Posisi

Nabi

Pengembangan

hukum fikih

dengan

memperhatikan

posisi dan motif

Nabi.

Fazlur

Rahmān

Metode yang

ditawarkannya dikenal

dengan teori double

movement (teori gerak

ganda). Tiga aspek yang

terkait dalam teori ini

adalah: teks, konteks dan

kontekstualisasi. Dan

dalam pemikirannya,

amat jauh lebih penting

memahami pesan moral

dalam hadis.

Kontekstualisasi

Makna

Penyelarasan

nilai-nilai agama

kepada kehidupan

terkini.

Muḥammad

Syahrūr

Dalam kitabnya al-Kitab

wa al-Qur’ān: Qira’ah

Muā’ṣirah cenderung

Kontekstualisasi

Makna

Pemahaman yang

cocok untuk

kondisi kekinian.

Page 109: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

95

memandang sunnah

sebagai bentukan realitas

akan tetapi pada karya

lainnya yang khusus

membahas sunnah

dengan membanginya

kepada dua, yakni

sunnah Nabi dan Sunnah

Rasul, yang pada

akhirnya memberikan

pemahaman yang sesuai

dengan kondisi saat ini.

Muḥammad

al-Ghāzali

Pemahaman berdasarkan

petunjuk al-Qur’an dan

pemahaman harus

sejalan dengan indikator

yang disebutkan dalam

al-Qur’an.

Memperkuat

Otoritas Al-

Qur’an

Pemahaman

kekinian

berpedoman

kepada nilai-nilai

al-Qur’an.

Nasr Ḥamid

Abū Zayd

Pemahaman yang lahir

dari hermeneutika

konstruktif.

Dengan metode;

menganalisa struktur

linguistic teks dan

mencari fakta sejarah

yang mengelilinginya.

Menentukkan tingkatan

makna teks, menentukan

makna asli teks,

menentukan makna

signifikansi,

mengkontekstualisasikan

makna historis dengan

berpedoman dengan

makna yang tak

terkatakan.

Signifikansi

Makna (produksi

makna baru)

Pemahaman

kontekstual

Moḥammed

Arkoun

Pemahaman berdasarkan

analisis semiotik. Dan

metode pemahamannya

banyak yang berasal dari

tradisi pemahaman barat

dengan semiotiknya,

berikut ini metodenya;

analisis linguistic

meliputi tanda bahasa,

kata ganti, kata kerja,

susunan sintaksis,

persajakan dll.

Analisis hubungan kritis

ujaran-ujaran dalam teks.

Pencarian makna

lain yang

tersembunyi

(analisis semiotik)

Pemahaman

aktual

Page 110: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

96

Pembacaan historis. Dan

pembacaan antropologis.

Yūsuf al-

Qaraḍāwī

Metode yang

disajikannya menempati

delapan aspek, berikut

ini:

Memahami hadis dengan

petunjuk al-Qur’an,

mengumpulkan beberapa

hadis yang menampilkan

satu tema, melakukan

pentarjihan dan

penggabungan terhadap

hadis yang bertentangan,

memahami hadis dengan

mempertimbangkan latar

belakang dan kondisi,

membedakan sarana

yang berubah dan tujuan

yang tetap,membedakan

antara ungkapan haqiqi

dan majazi,

membedakan yang ghaib

dan nyata, serta

memastikan makna

istilah yang digunakan

dalam hadis.

Penelitian

Komprehensif

(tradisional-

modern)

Pemahaman

moderat tetapi

pada beberapa hal

menggunakan

kontekstual.

M. Syuhudi

Ismail

Metode yang

ditawarkannya sebagai

berikut: mengungkap

dan cakupan

petunjuknya (bahasa,

logika, analogi, symbol,

bahasa tamsil),

mengungkap matan yang

berkaitan dengan fungsi

nabi dalam hadis,

meneliti asbāb al-

Wurūd, menyelesaikan

hadis yang nampaknya

bertentangan.

Pemilahan fungsi

Nabi dalam Hadis

Pemahaman yang

tekstual dan

kontekstual

Ali Mustafa

Ya’qub

Metode yang

ditawarkannya memang

tidak jauh berbeda

dengan ulama

sebelumnya, berikut ini

metodenya: memahami

hadis secara tematis

bermaksud agar tema

dipahami secara

Memahami

dengan benar

hadis nabi.

Tekstual-

kontekstual.

Page 111: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

97

sempurna dan

maksudnya didapatkan,

memahami hadis dengan

pendekatan tekstual

(ta’wil, analisa majazi

haqiqi, illat hadis),

memahami hadis dengan

pendekatan kontekstual

(geografis budaya arab,

kondisi sosial, dan asbāb

al-wurūdnya).

b. Karakteristik Metode Pemahaman Hadis

Warna-warni pemahaman bertebaran pada fase modern-kontemporer ini, hal ini

dapat merujuk pada beberapa tokoh yang disebutkan di atas. Memang secara

keorisinalan tidak dapat di klaim secara sepihak saja itu buah dari pemikiran tokoh

dalam fase modern-kontemporer saja, tetapi gagasan yang digelorakan setidaknya

menjadi buah atas usaha mempromosikan suatu teori pemahaman.

Pemahaman pada fase ini mempunyai warna yang lebih kompleks dari pada fase

klasik-pertengahan dikarenakan pemaknaan terhadap makna menjadi lebih luas dan

menyangkut dalam segala aspek yang dikandungnya,153 sehingga pemahaman pada

masa ini menjadi tema yang kontekstual dan sesuai dengan kebutuhan dengan merujuk

kepada tema-tema tertentu yang sedang berkembang.

Bentuk penyusunan yang diberikan untuk sejumlah hadis juga tidak berbentuk

utuh sebagaimana kitab hadis paparkan, melainkan menggunakan bentuk per tema

sesuai kebutunan, dan bentuk metode penguraian pemahamannya menggunakan

153 Hal ini sebagaimana kita lihat dari presentasi sejumlah pemikiran pada fase ini yang memang

lebih menekankan penggalian makna dan keterkaitan makna lebih jauh, seperti pemikiran yang dilakukan

Fazlur Rahman, Syahrur, Arkoun, Nasr Hamid Abu Zaid, dsb. Dalam hal ini yang memfokuskan diri

terhadap sejumlah makna yang ikut terkait dengan model pemikiran barat, yakni hermenetik dan

semiotic. Nasr Hamid Abu Zaid, Hermeneutika Inklusif: Mengatasi Problematika Bacaan dengan Cara-

Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan. (Jakarta: ICIP, 2004).

Page 112: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

98

metode tematik-kontekstual yang memang bertujuan untuk memberikan pemahaman

yang fresh dan menyangkut persoalan-persoalan tertentu.

Hasil yang hendak dicapai dalam fase ini pun tidak jauh dari sebuah pengertian

yang apllicable meaning yakni makna yang dapat direpresentasikan dalam kehidupan,

terlebih pada zamannya. Dan hal ini pula menghasilkan paradigma yang cenderung

kritis, yang dalam hal ini dapat dipolakan sebagai paradigma kritik-partisipatoris-

solutif.154

Pendekatan yang digunakan dalam fase ini pun menyentuh berbagai macam

aspek, diantaranya; bahasa, historis, sosiologi, sosio-historis, antropologis,

psikologis.155 Serta berbagai cabang ilmu lain guna memperkuat pemahaman dan

padangan dalam pemikiran tertentu.

B. Analisis Metode Pemahaman Klasik – Kontemporer

Untuk menyajikan penganalisaan yang memadai maka perlu dibuatnya tabel/bagan

pendukung untuk memudahkan melihat perkembangan dari masa klasik ke

kontemporer. Berikut ini hasil perbandingan antara metode pemahaman hadis klasik

dan kontemporer:

Tabel 3.4 Perbandingan Antara Klasik dan Kontemporer

No Klasik Kontemporer

Tah

un /

Per

iode Mulai tahun 650 M (± 29/30 H) hingga

1800 M (±1214/1215 H).

Periodisasi ini dibuat dengan

menggabungkan dua fase dalam

periodisasi yang ditawarkan oleh Harun

Nasution yaitu klasik dan pertengahan.

Mulai tahun 1801 M (± 1216 H / 1217

H) hingga Seterusnya.

154 M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Syarah Hadis, (Yogyakarta : UIN Suka Press, 2012), h.

Xx. 155 Abdul Mustaqim, Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami Hadis Nabi,

(Yogyakarta: Sukses Offset, 2008), h. 2-21

Page 113: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

99

Met

ode

- Ikhtilāf al-Hadīth (kajian tentang

hadis-hadis yang bertentangan)

- Pemilahan Posisi (motif) Nabi saat

menyabdakan hadis

- Pengkategorisasian petunjuk nabi

- Penelitan komprehensif berbagai

aspek (Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī).

- Penelitian komprehensif

perbandingan (al-Aynī)

- Pemilahan posisi Nabi

(pengembangan).

- Kontekstualisasi Makna

- Penguatan otoritas al-Qur’an atas

sunnah.

- Signifikansi Makna (produksi

makna baru).

- Kontekstualisasi makna dan

pengelompokkan Sunnah.

- Pencarian makna lain yang

tersembunyi (analisis semiotik).

- Penelitian Komprehensif

(tradisional-modern)

Kar

akte

rist

ik

- Pembahasan menyesuaikan tema

pada kitab induk yang sedang

disharḥkan.

- Bentuk pemaparannya utuh sesuai

kitabnya pula.

- Metode pemaparan taḥlili, Ijmāl,

Muqārin.

- Pendekatan didominasi bahasa, dan

historis.

- Paradigma yang diusung pun

positivistik (pemahaman berdasar

analisis kebahasaan). Kerangka

episteme-nya pun berkisar antara

bayani, dan burhani.

- Hasil yang dicapai berusaha

memperoleh The original meaning.

- Pembahasan menyesuaikan tema

yang sedang berkembang atau

kontekstual.

- Bentuk pemaparannya tidak utuh

sesuai kitab tertentu, tetapi sesuai

tema menurut kebutuhan.

- Metode pemaparan pun merujuk

pada tematik-kontekstual.

- Pendekatan berkembang dengan

penggunaan psikologi, sosiologi,

antropologi, hermeneutik dan

fenomenologi.

- Paradigma yang disajikan kritik-

partisipatoris-sulotif. Kerangka

episteme-nya berkisar pada irfani.

- Hasil yang dicapai berusaha

memperoleh The applicable

meaning.

Tokoh

- Al-Shāfi’ī (w. 204 H / 820 M)

- Ibn Qutaibah (w. 276 H / 889 M)

- Ibn Ḥibbān (w. 354 H / 965 M)

- Al-Nawawī (w. 676 H / 1277 M)

- Al-Qarāfī (w. 684 H / 1285 M)

- Ibn Ḥajar al-Asqalānī (w. 852 H /

1449 M)

- Badr al-Dīn al-Aynī (855 H / 1452 M)

- Ibn ‘Āshūr (1296 H – 1393 H /

1879 M – 1973 M)

- Fazlur Rahmān ( 1337 H – 1408 H

/ 1919 M - 1988 M )

- Muḥammad al-Ghāzalī (1335 H –

1416 H / 1917 M – 1996 M)

- Nasr Ḥamīd Abū Zayd (1362 H –

1431 H / 1943 M – 2010 M)

- Muḥammad Syahrūr (1357 H /

1938 M)

- Moḥammed Arkoun (1346 H –

1431 H / 1928 M – 2010 M)

- Yūsuf al-Qaraḍāwī (1345 H / 1926

M)

- M. Syuhudi Ismail (w. 1995)

- Ali Mustafa Yaqub (w. 2016)

Page 114: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

100

Kar

ya

- Ikhtilāf al-Hadīth

- Ta’wīl Mukhtalaf al-Hadīth

- al-musnad al-Ṣaḥiḥ ‘ala al-Taqasim

wa al-Anwa’ min Ghayr Wujud Qaṭ’

fī Sanadihā wa la Thubut Jarḥ fī

Naqilihā atau “Ṣaḥīh Ibn Ḥibban”.

- al-Minhāj fī Sharḥ Ṣaḥīḥ Muslim bin

al-Hajjāj atau yang lebih populer

disebut “Ṣaḥīh Muslim bi Sharḥ al-

Nawawī”.

- Kitab al-Furūq Anwār al-Burūq fī

Anwā al-Furūq dan al-Ahkām fī al-

Fatāwā min al-Ahkām wa Taṣarrufāt

al-Qādhī wa al-Imām

- Fatḥ al-Bārī bī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-

Bukhārī

- ‘Umdah al-Qārī Sharḥ Ṣaḥīh al-

Bukhārī

- Al-Naẓar al-Faṣīḥ ‘Inda Maḍāyiq

al-Anẓar fī al-Jāmi al-Ṣaḥīḥ dan

Kasyf al-Mughaṭṭā min al-Ma’ānī

wa al-alfaẓ al-Wāqi’ah fī al-

Muwaṭṭa’

- Islam & Modernity:

Transformation of an intellectual

Tradition

- Al-Sunnah al-Nabawiyyah baina

Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadīth.

- Al-Sunnah al-Rasūliyyah wa al-

Sunnah al-Nabawiyyah Ru’yah

Jadidah.

- Nalar islami dan nalar modern

(Arkoun).

- Kaifa Nata’āmal ma’a al-Sunnah

al-Nabawiyyah Ma’ālim wa

Ḍawābiṭ

- Hadis Nabi yang Tekstual dan

Kontekstual Telaah Ma’anil

Hadits tentang ajaran yang

universal, temporal dan lokal.

- Al-Ṭuruq al-Ṣaḥīḥah fī Fahm al-

Sunnah al-Nabawiyyah.

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa pergeseran memang telah terjadi dalam

metode pemahaman hadis, dapat dilihat melalui metode dan karakteristik yang

terbangun di antara masing-masing fase dalam tabel di atas. Mulai dari basis metode

pemahaman yang lebih cenderung membahas persoalan tertentu semisal basis

pemahaman berdasar kontradiktif hadis (ikhtilāf al-Hadīth), atau pemilahan posisi dan

motif Nabi dalam menyabdakan hadis, dll yang berubah menjadi pemahaman yang

lebih kontektual dan penelitian komprehensif dengan bumbu kontekstualitas pula.

Pergeseran dan perkembangan semakin jelas terlihat dalam kolom karakteristik yang

disajikan, penyajian materi, tema, dan bentuk pemaparan juka telah mengalami

pergeseran. Pada masa klasik cenderung men-Sharḥ-i kitab tertentu dengan

menyesuaikan sistematika dan keutuhan pemaparannya, yang pada masa kontemporer

menjadi penyajian yang tidak terikat kepada sistematika kitab tertentu tetapi dengan

Page 115: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

101

tema kontekstual dan kebutuhan pembahasan yang dinginkan yakni tematik-

Kontekstual. Pendekatannya pun lebih diperkaya lagi pada masa kontemporer, tidak

melulu pada persoalan bahasa dan historis saja. Dan yang terpenting adalah hasil

pemahaman yang didapatkan membentuk pola tersendiri, yang pada masa klasik lebih

cenderung pencarian makna asal/asli (The Original Meaning) ke pencarian makna yang

dapat diaplikasikan (The Applicable Meaning) dalam kehidupan saat ini.

Page 116: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

102

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Metode pemahaman hadis sedianya memang muncul pada masa klasik, dengan

perubahan zaman metode yang awalnya hanya berisi kaidah yang sebagian besar

diadaptasi dari metode Tafsir dan metode pengambilan hukum, bergeser menjadi

pengkajian makna yang sangat kompleks dengan ikut memperhatikan sang pembaca

hadis. Karakteristik masing-masing fase pun amat sangat dominan dengan upaya

pencarian makna yang sesungguhnya (The Original Meaning) pada masa klasik

berbanding dengan makna yang mampu diterapkan (The Applicable Meaning) pada

fase kontemporer. Pola pergeseran dari fase ke fase pun tidak teratur dikarenakan

konsen yang memang berbeda, mulai dari posisi Nabi ketika menyabdakan hadis

hingga posisi pembaca hadis pada problema matan itu sendiri. Hal ini sekaligus

menunjukkan bahwa metode pemahaman hadis tidak selalu tetap (stagnan), mengingat

zaman yang berjalan dan ilmu pengetahuan yang terus berkembang.

Upaya penyesuaian metode pemahaman juga ikut mengambil bagian didalamnya,

setidaknya penulis menemukan metode klasik ikut mengisi pada beberapa metode

pemahaman hadis kontemporer. Secara tidak langsung hal ini menunjukkan integrasi

antar metode pemahaman hadis telah dilakukan dengan sangat baik, ataupun dengan

upaya mempertahankan metode yang sudah baik dan mentrasformsikannya dengan

pengkajian makna pada pendekatan kontemporer. Dengan cara melihat metode yang

sama pada dua fase yang berbeda lalu dicari kekurangan dan kelebihan masing-masing

metode agar pemahaman menjadi utuh.

Perbedaan pemahaman pada dua fase ini memang kerap kali menunjukkan

pemahaman yang berbeda, dikarenakan zaman, objek yang dituju serta bahasa yang

Page 117: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

103

terus mengalami pembaharuan menjadi hal yang sudah pasti ditemukan. Kelemahan

dan kelebihan pada masing-masing fase merupakan bukti bahwa pengkajian metode

pemahaman hadis memang belum mampu memberikan pemahmaan yang

komprehensif dalam pemahamannya meliputi zaman, mulai dari fase klasik hingga ke

kontemporer.

Pengkajian pemahaman hadis pada zaman kontemporer memang mengacu kepada

kritisi makna yang cukup kompleks, akan tetapi pendekatan dan metode terdahulu tetap

digunakan untuk menuntuk ke pemahaman yang lebih komprehensif.

B. Saran dan Rekomendasi

Pembahasan dalam skripsi ini masih sebatas deskripsi dan analisis atas metode

dan beberapa teori tokoh dalam kajian metode pemahaman hadis. Sehingga perlu

adanya upaya penelaahan lebih jauh tentang metode pemahaman hadis pada dua fase

inti ini.

Page 118: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

DAFTAR PUSTAKA

‘Itr, Nūr al-Dīn. Manhaj al-Naqd fī ‘Ulūm al-Ḥadīth. Damaskus: Dār al-Fikr, 1997.

Abdullah, M. Amin.“Hadis dalam Khazanah Intelektual Muslim: al-Ghazali dan Ibnu

Taimiyyah”, dalam pengembangan pemikiran terhadap hadis, Ed. Yunahar

Ilyas. Yogyakarta: lembaga pengkajian dan pengamalan Islam (LPPI),

Universitas Muhammadiyyah Yogyakarta, 1996.

Abu Zaid, Nasr Hamid. Hermeneutika Inklusif : Mengatasi Problamatika Bacaan dan

Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan, terj. Muhammad Mansur

dkk, Jakarta: ICIP, 2004

-----------------------------. Mafhūm al-Naṣ Dirasah fī ‘Ulūm al-Qur’ān. Beirut : Markaz

al-Tsaqafi al-‘Arabi, 1994.

-----------------------------. Mengurai Benang Kusut Teori Qur’ān Kontemporer,

Yogyakarta: L eLSAQ Press, 2007

-----------------------------. Tekstualitas Al-Qur’ān: Kritik terhadap Ulumul Qur’ān.

Yogyakarta: IRCiSoD dan LkiS, 2016.

Ahmad, Arifuddin. Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi, Jakarta: PT Intimedia, t.t

Al-‘Asqālānī, Al-Ḥāfiẓ Ahmad bin ‘Alī bin Ḥajar. Fatḥ al-Bārī bi Sharḥ Ṣaḥiḥ al-

Bukhārī, Juz I Riyādh: Dār Ṭībah li Naṣri wa al-Tauzī’, 2005.

al-‘Aynī, Badr al-din Abī Muḥammad Maḥmūd bin Aḥmad. ‘Umdah al-Qārī Sharḥ

Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Beirut : Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2001.

Al-‘Ilmy, Abu Yasir al-Hasan. Fiqh al-Sunnah al-Nabawiyah: Dirayah wa Tanzilan,

Disertasi: t.tp, t.th.

Al-A’ẓhamī, Muḥammad Musṭafā. Manhaj al-Naqd ‘ind al-Muhadditsîn. Riyādh:

Syirkah al- Thibā’ah al-Su’ūdiyyah, 1982.

Alamsyah, “Sunnah sebagai Sumber Hukum Islam dalam Pemahaman Shahrūr dan Al-

Qaraḍāwi”, Disertasi S3 Ilmu Agama Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta,

2004

Alan M, Sevans. A Comprehensive Indonesian-English Dictionary. Jakarta: Mizan,

2008.

Albani, Naṣiruddin. sifat Shalat Nabi. Jakarta : Pustaka Firdaus, 2007.

Al-Ghazali, Muhammad al-Ghazali, al-Sunnah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadis.

Dar al-Suruq, Kairo, 1989.

Page 119: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

-----------------------------.. Analisis Polemik Hadis, Surabaya: Dunia Ilmu, 1997.

-----------------------------. Studi Kritis atas Hadis antara Pemahaman Tekstual dan

Kontekstual, terj. M. al-Baqir. Bandung: Mizan, 1996.

Ali, Nizar. “Kontribusi Imam Nawawī dalam Penulisan Sharḥ Hadis : Kajian atas Kitab

Ṣaḥīh Muslim bi Sharḥ al-Nawawī,” Disertasi S3 Ilmu Agama Islam, Program

Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007

-------------. Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan). Yogyakarta: CeSAD

YPI al-Rahmah, 2011

Al-Jawābī, Muḥammad Ṭāhir. Juhūd al-Muḥaddithīn fī Naqd Matn al-Ḥadīts al-

Nabawī al-Syarīf. Tunisia: Mu’assasah, Abd al-Karīm ibn Abd Allāh, t.th.

Al-Jurjānī, Alī Ibn Muḥammad. Kitāb al-Ta’rifāt. Jakarta: Dār al-Kutub al-Islāmīyah,

t.th.

al-Karīm, Fatḥī ‘Abd. al- Sunnah Tasyri’ Lazim wa Daim. Kairo: Maktabah Wahbah,

1985.

Al-Khālidi, Shalah ‘Abd al-Fattah. Ta’rif al-Dārisin bi Manāhij al-Mufassirīn.

Damaskus: Dār al-Qalam, 2002.

Al-Khuli, Amin. Manahij al-Tajdid fi al-Nahw wa al-Balaghah wa al-Tafsīr wa al-

Adab. Beirut: Dār al-Ma’rifah, 1961.

Al-Khulli, Muḥammad ‘Abd al-‘Aziz. Tarikh Funūn al-Hadīth. Jakarta: Dinamika

Berkah Utama, t.t.

Al-Munawwar, Agil Husin. dan Hakim, Masykur. I’jaz al-Qur’ān dan Metodologi

Tafsir. Semarang: Dina Utama, 1994.

--------------------------------. Asbābul Wurud :Studi Kritik Hadis Nabi Pendekatan

Sosio-Historis-Kontekstual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Al-Qaraḍāwī, Yūsuf. terj. Abu Aisyah Dkk. Dalam Pangkuan Sunnah (terjemahan Fi

Rihab al-Sunnah: Sharḥ Ahādith Nabawiyyah. Jakarta: Al-Kautsar, 2013.

-------------------------. Bagaimana Memahami Hadis Nabi SAW, penerj. M. Al-Baqir,

Bandung: Penerbit Karisma, 1993

Al-Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadīth. Semarang: Pustaka Rizki

Putra, 2009.

Al-Sibā’i, Mustafa. Sirah Nabawiyah. Jakarta: Intermedia, 2011.

Al-Shāfi’ī, Muḥammad bin Idrīs. al-Risālah. Beirut: Dār al-Nafā’is, 2010.

---------------------------------------. Al-Umm Jilid 10. t.k : Dār al-Wafā, 2001.

Page 120: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

---------------------------------------. Ikhtilāf al-Hadīth. Beirut: Dār al-Kutub al-

‘Alamiyyah, 1986.

Amal, Taufiq Adnan. Islam dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan, 1990

Andi, Azhari. Dkk, “Reinterpretasi Sunnah : Studi Pemikiran Muhammad Shahrūr

terhadap Sunnah”, Jurnal Living Hadis, Vol. 1, No. 1, (Mei 2016)

Anwar, Saifuddin. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Arkoun, Mohammed. Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan

Baru, Jakarta: INIS, 1994.

Aulassyahied, Qaem. “Studi Kritis Sunnah Muhammad Shahrūr”, Jurnal Kalimah, Vol.

13, no. 1 (Maret 2015).

Azami, Muḥammad Mustafa. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: Pustaka Hidayah,

1992.

Baso, Ahmad Post Tradisionalisme Islam. Yogyakarta: LKIS, 2000.

Brown, Daniel W. Relevansi Sunnah dalam Islam Modern. Bandung: Mizan, 2000.

---------------------. Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought, Cambridge:

Cambridge University Press, 1996.

Buku Pedoman Akademik Program Strata 1 Tahun 2011/2012 UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Bustamin. Salam, M. Isa H.A. Metodologi Kritik Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2004.

Dosen Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Metodologi

Penelitian Living Qur’ān dan Hadis, Sahorin Syamsuddin(ed.). Yogyakarta:

Teras, 2007

E.J. Brill. First Encyclopaedia of Islam 1913-1936. Vol. VII. Leiden: E.J. Brills, 1987.

Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.

Fatimah, Siti. “Metode Pemahaman Hadis Nabi Dengan Mempertimbangkan Asbābul

Wurud Studi Komparasi Yusuf al-Qaradāwī dan Suhudi Ismail.” Skripsi S1

Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2009.

Fatkhi, Rifqi Muhammad. “Dominasi Paradigma Fikih Dalam Periwayatan dan

Kodifikasi Hadis”, Jurnal Ahkam, Vol. 12, no. 2, (Juli 2012)

--------------------------------. “Sahih Ibn Ḥibbān dalam al-Kutub al-Sittah: Sebuah

Tawaran Alternatif, (Tesis Konsentrasi Tafsir Hadis, Sekolah Pascasarjana

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008)

Page 121: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

Firdausy, Hilmy. “Ragam Pembacaan Hadis: Memahami Hadis Melalui Tatapan

Postradisionalisme,” Religia Vol. 19 No. 2 (Oktober 2016.

Ghazali, Abdul Malik. “Metodologi Pemahaman Kontekstual Hadis Ibn Qutaibah”,

Kalam: Jurnal Studi Islam dan Pemikiran Islam Vol. 8, No. 1, (Juni 2014)

Ghufron A. Mas’adi, Metodologi Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 1997.

Hasbi, M. Ridwan. Interaksi Rasionalitas Teknis dalam Pemikiran Hadis Kontemporer,

Jurnal Ushuluddin Vol. XIX No. 1, Januari 2013.

Hitti, Philip K. History of the Arabs. London: The Macmillan Press, 1974.

Huda, M. Khoirul. “Memahami Hadis Melalui Pemilahan Posisi Nabi saw,” Skripsi S1

Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2013

Ibn Qutaibah. Ta’wīl Mukhtalaf al-Hadīth, Beirut: Muasasah al-Kitab al-Thaqāfiyyah,

1988

-----------------. Ta’wil Hadis-Hadis yang Dinilai Kontradiktif, terj. Team Foksa; Ed.

Mukhlis B. Mukti, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008

Ichwan, Moch Nur. Meretas kesarjanaan kritis; Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abu

Zaid, Jakarta: Teraju, 2003

Ilyas, Yunahar. dan Mas’udi, M. (ed.), Pengembangan Pemikiran terhadap Hadis.

Yogyakarta: LPPI, 1996.

Imron, Ali. dkk, Hermeneutika al-Qur’ān dan Hadis. Yogyakarta: Elsaq Press, 2010.

Ismail, M. Syuhudi. Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 1992

-----------------------. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual : Telaah Ma’ani al-

Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, (Jakarta:

Bulan Bintang, 2009.

-----------------------. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. Jakarta: Bulan Bintang, 1992

Kaltsum, Lilik Ummi. Mendialogkan Realitas Dengan Teks. Surabaya: CV. Putra

Media Nusantara, 2010.

Khaeruman, Badri. “Otentisitas Hadis: Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer.

Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. 2004

Khon, Abdul Majid. Pemikiran Modern dalm Sunnah; Pendekatan Ilmu Hadis.

Jakarta: Kencana, 2011.

--------------------------. Takhrij dan metode memahami hadis, Jakarta: Amzah, 2014

--------------------------. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2012.

Page 122: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia, 2014

Kusmana, “Hermeneutika Humanistik Nasr Hamid Abu Zayd : al-Qur’ān sebagai

wacana”, Kanz Philosophia, Vol. 2, no. 2 (Desember 2012), h. 267

Lina Shobrina, “Identitas Penampilan Muslim dalam Hadis: Pemahaman Hadis

Memelihara Jenggot dalam Konteks Kekinian”, Skripsi S1 Fakultas

Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2017

Mahmūd al-Ṭaḥhān, Taisīr Musṭalah al-Ḥadith. Beirut, Dār al-Qur’ān al-Kārim, 1972.

Majd al-Dīn Muhammad ibn Ya’qub al-Fairuz Abadī, Al-Qamûs al-Muhîth Juz 4.

Bairut: Dâr al-Jail, t.th.

Mandzur, Ibn. Lisan al-Arab. Beirut: Dar al-Fikr, 1990.

Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif, cet. ke-27. (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2010.

Muslim. Ṣaḥīḥ Muslim Jilid IV. Qāhirah : Dār al-Hadith, 2010.

Mustaqim, Abdul. Dkk. Paradigma Integrasi-Interkoneksi dalam Memahami Hadis.

Yogyakarta: Sukses Offset, 2008.

----------------------. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: PT. LKiS Printing

Cemerlang, 2012.

----------------------. Pergeseran Epistemologi Tafsir. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2008.

Nasrudin, “Manhaj Tafsir Mohammad Arkoun”, Maghza Vol. 1, no. 1 (Januari-Juni

2016.

Nasution, Harun. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1996

Nirwana, Dzikri. Diskursus studi hadis dalam wacana Islam kontemporer, jurnal al-

Banjari, vol. 13, No.2, Juli-desember 2014

Nurkholis, Mujiono. Metodologi Syarah Hadist. Bandung: Fasygil Grup, 2003.

Putro, Suadi. Mohammed Arkoun tentang Islam dan Modernitas, Jakarta: Paramadina,

1998

Qaradāwī, Yusuf. Kaifa Nata’amalu Ma’a as-Sunnah an-Nabawiyah (Bagaimana

Memahami Hadis Nabi Saw). Diterj. Muḥammad al-Baqir. Bandung: Karisma,

1993

Rahman, Fatchur. IKhtisar Mushthalahul Hadis. Bandung: PT Al-Ma’arif, 1974.

Rahman, Fazlur. Dkk, Wacana Studi Hadis Kontemporer. Yogyakarta: PT Tiara

Wacana, 2002

Page 123: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

---------------------. Islam & Modernity: Tranformation of an Intellectual Tradition,

Chicago-London: University of Chicago Press, 1992.

---------------------. Islam dan Modernitas: Tentang Tranformasi Intelektual, terj. Ahsin

Muhammad. Bandung: Pustaka, 1995.

---------------------. Islamic Methodology in History. Pakistan: Islamic Research

Institute, 1984.

---------------------. Membuka Pintu Ijtihad, terj. Anas Mahyuddin, (Bandung: Pustaka,

1984.

Rudliyana, Muḥammad Dede. Perkembangan Pemikiran Ulumul Hadis dari Klasik

Sampai Modern. Bandung: Pustaka Setia.2004

Shahrūr, Muḥammad. al-Kitāb wa al-Qur’ān : Qirā’ah Muā’ṣirah, (Damaskus: al-

Ahali, 1990.

--------------------------. Al-Sunnah al-Rasūliyyah wa al-Sunnah al-Nabawiyyah Ru’yah

Jadidah, Beirut: Dār as-Syaqi, Cet. I, 2012.

Shihāb, M. Quraish. Membumikan al-Qur’ān: Fungsi dan Peran Wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Mizan, 1992.

Sunarwoto. dkk. Hermeneutika al-Qur’ān Madzhab Yogya, Yogyakarta: Islamika,

2003.

Surakhmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito, 1990.

Suryadi, “Metode Pemahaman Hadis Nabi: Telaah atas Pemikiran Muhammad al-

Ghazali dan Yusuf al-Qaraḍāwi”, (Disertasi S3 Program Pascasarjana UIN

Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004.

---------. Rekonstruksi Metodologis Pemahaman Hadis Nabi, dalam wacana studi hadis

kontemporer PT. Tiara Wacana, 2002.

----------. Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi Perspektif Muḥammad al-

Ghazālī dan Yusuf al-Qaradāwī. Yogyakarta: Teras, 2008.

Suryadilaga, M. Alfatih, “Metode Hermeneutik dalam Pensyarahan Hadis: Ke Arah

Pemahaman Hadis yang Ideal dan Komprehensip”, Jurnal Studi Ilmu al-

Qur’ān dan Hadis. Vol. 1, No. 1, Januari 2001.

-----------------------------. Metodologi Syarah Hadis, Yogyakarta : UIN Suka Press,

2012.

Syamsuddin, Sahiron. Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’ān. Yogyakarta:

Nawasea Press, 2009.

Page 124: PERGESERAN METODE PEMAHAMAN HADIS ULAMA KLASIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/38148/2/AHMAD... · metode yang di gagas ulama klasik dan ulama modern-kontemporer.

Wijaya, Aksin. Arah Baru Studi Ulum al-Qur’ān; memburu pesan tuhan dibalik

fenomena budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009.

Ya’qub, Ali Mustafa. Cara Benar Memahami Hadis. Jakarta:Pustaka Firdaus, 2016.

Zuhri, Muh. Telaah Matan Hadis (Sebuah Tawaran Metodologis). Yogyakarta:

LESFI,2003.

Aplikasi Cambridge Advanced Laerner’s Dictionary (third edition).

Aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia versi 1.3

Aplikasi Kamus Bahasa Arab v.3.0