Pergerakan Indonesia Muda

Post on 06-Jun-2015

874 views 2 download

Transcript of Pergerakan Indonesia Muda

Quoted from Kompas, 26th Oct. 2007

Pergerakan Indonesia Muda Oleh : Yudi Latief *)

Jika Karl Marx memercayakan perubahan pada perjuangan kelas dan Max Weber mengalamatkanya pada aliran kultural, adalah Ortega y Gasset yang memercayai kaum muda sebagai agen perubahan. Pandangan terkahir ini memperoleh perwujudan historisnya di Indonesia. Akhirnya, tulis Ben Anderson, saya percaya bahwa watak khas dan arah dari revolusi Indonesia pada permulaannya memang ditentukan oleh kesadaran pemuda ini. Mohammad Hatta sebagai pengamat yang terlibat, mengajukan pertanyaan retoris, Apa sebabnya pemuda-pemuda, mahasiswa Indonesia, secara aktif ikut berpolitik? Lantas ia jawab sendiri, Kalau mahasiswa Belanda, Perancis, dan Inggris menikmati sepenuhnya usia muda serba menggembirakan, pemuda Indonesia harus mempersiapkan diri untuk suatu tugas yang menuntut syarat-syarat lain. Tidak ada jalan lain yang sudah siap dirintis baginya; tidak ada lowongan pekerjaan yang sudah disiapkan baginya. Sebaliknya dia harus membangun mulai dari bawah, di tengahtengah suasana yang serba sukar, di tengah-tengah pertarungan yang penuh dendam dan kebencian. Perjuangan kemerdekaan yang berat membayang di depannya, membuat dia menjadi orang yang cepat tua dan serius untuk usianya. Bung Hatta menyodorkan alasan lain yang menggelitik. Fakta bahwa sebagina besar pemimpin kaum muda ini berasal dari kalangan pegawai tinggi dan kelas berada tidak meyurutkan mereka untuk berjuang. Sebaliknya, sikap orang tua mereka yang terpaksa oleh sistem kepegawaian colonial untuk berdiam diri, berbohong, dan berbicara yang enak-enak saja tentang masalah politik dan kolonial, memperlihatkan betapa Bapak mereka merupakan lambang ketidakjujuran dan ketidakberdayaan abadi. Maka, tak segan-segan mereka memberontak-menyempal, dari kaum kumpulannya terbuang. Katak dalam tempurung Generasi baru, yang terdidik secara baru, melahirkan kesadaran baru bahwa masa yang panjang Bumiputera hidup bagai katak dalam tempurung, dan tempurung itu dipercaya sebagai langit luas. Mereka melihat dengan mata sendiri kesengsaraan yang diderita massa rakyat dan menyadari sepenuhnya bahwa senjata lama dengan impian ratu adilnya tak lagi memadai sebagai sarana perjuangan. Kaum muda menjebol kelembaman dengan menemukan politik (the invention of politics). Bukan hanya hingga awal abad ke-20 bahasa Melayu-Indonesia tidak memiliki kata yang spesifik untuk politik, tetapi yang lebih penting lewat proses mimikri (penyesuaian) dari subyek-subyek colonial, mereka mulai merumuskan ideologi politik perjuangan. Politik dalam kesadaran mereka jauh dari bahasa teori pilihan rasional bahwa rasionalitas kepentingan individual harus dibayar oleh irasionalitas kehidupan kolektif. Politik dalam konsepsi mereka merupakan usaha resolusi atas problem-problem kolektif

dengan pemenuhan kebajikan kolektif. Mirip pemahaman Aristotelian, politik dipandang sebagai seni mulia untuk meraih harapan dan memelihara kemaslahatan umum, terutama kepentingan kaum terjajah, dengan jalan meyubsordinasikan aneka kepentingan partikular pada kepentingan (kaum terjajah) secara keseluruhan. Oleh karena itu, betapa pun konflik ideologis berulang kali terjadi, selalu ada usaha untuk mempertautkan berbagai kepentingan seksional ke dalam suatu kehendak kolektif yang disebut Antonio Gramsci sebagai historical blog. Salah satu monumen terpentingnya adalah Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928). Suatu babak penting dalam perjuangan kemerdekaan, ketika gugus-gugus pemuda yang terfragmentasi melebur dalam suatu citacita nasionalisme baru dengan rasionalitas dan otosentrisnya sendiri. Hal itu ditempuh dengan mengkonstruksikan komunitas impian baru (Indonesia), dengan cara keluar dari jebakan bahasa dan konstruksi kolonial. Dengan penemuan politik yang berkhidmat pada kemaslahatan bersama itulah, kemerdekaan Indonesia dicapai. Di sinilah letak khitah politik kaum muda. Manakala elemen-elemen kemapanan meyeru pada kemujudan dan ego sektoral, kaum muda menerobosnya dengan menawarkan ide-ide progresif dan semangat republikanisme. Panggilan sejarah Kini sejarah memanggil kembali peran politik kaum muda seperti itu, ketika politik sebagai seni mengelola republic demi kebajikan kolektif tersisihkan oleh apa yang disebut Machiavelli sebagai raison detat (reason of state) yang berorientasi parokhial. Jika politik sejati memiliki kepedulian untuk mempertahankan kepentingan kolektif melalui perbaikan otoritas publik, reason of state memprioritaskan kepentingan elit dan kelompok penguasa dengan mengatasnamakan kebajikan publik. Maka, reason of state adalah seni memerintah dengan menipu rakyat. Kaum muda harus menyelamatkan kepercayaan rakyat kepada Republik, ketika gelombang demokrastisasi yang mestinya berorientasi memberdayakan rakyat justru meninggalkan rakyat lalu ditinggalkan rakyat. Upaya memulihkan kepercayaan kepada insititusi-institusi publik terasa kian genting dihadapkan pada penetrasi neoliberalisme dan globalisasi. Neoliberlalisme dengan bantuan asumsi teori pilihan publik (public choice) menggangap irasional suatu kepercayaan terhadap institusi publik dan karena itu secara ketat membatasi peran Negara. Teoriteori globalisasi menganggap intervensi negara sebagai sesuatu yang anakronitis (sesuatu yang menyalahi jaman) di tengah gelombang pasar bebas. Alhasil, cita-cita republikanisme digempur dari dalam dan luar karena aneka kelemahan dalam praktik politik kita, yang menyimpang dari cita-cita penemuan politik oleh kaum muda. Pergerakan Indonesia muda kembali dinanti. Saatnya kaum muda mempimpin kembali bangsa dan negara keluar dari kepicikan katak dalam tempurung, mengembalikan politik pada fitrah luhurnya: memperjuangkan cita-cita dan kebajikan bersama! (bonum commune)

***** *) Pemikir Kenegaraan dan Keagamaan