Post on 20-May-2022
i
PERBEDAAN KUALITAS KOKON DAN SERAT SUTERA PADA
PEMBERIAN PAKAN MURBEI JENIS Morus multicaulis DAN Morus indica
DI BALAI PERHUTANAN SOSIAL DAN KEMITRAAN LINGKUNGAN
(BPSKL) WILAYAH SULAWESI
NUR HIDAYAH
105950062315
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
MAKASSAR
2020
ii
PERBEDAAN KUALITAS KOKON DAN SERAT SUTERA PADA
PEMBERIAN PAKAN MURBEI JENIS Morus multicaulis DAN Morus indica DI
BALAI PERHUTANAN SOSIAL DAN KEMITRAAN LINGKUNGAN (BPSKL)
WILAYAH SULAWESI
NUR HIDAYAH
105950062315
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana (S1)
Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian.
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
MAKASSAR
2020
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Judul : Perbedaan Kualitas Kokon Dan Serat Sutera Pada Pemberian
Pakan Murbei Jenis Morus Multicaulis Dan Morus Indica Di
Balai Perhutanan Sosial Dan Kemitraan Lingkungan (Bpskl)
Wilayah Sulawesi
Nama : Nur Hidayah
Nim : 105950062315
Program Studi : Kehutanan
Fakultas : Pertanian
Makassar, September 2020
Telah Diperiksa dan Disetujui oleh:
Dosen Pembimbing
Pembimbing I
Dr.Husnah Latifah,S.Hut,M.Si.,IPM
NIDN: 0011077101
Pembimbing II
Ir.Muh. Daud,S.Hut.,M.Si.IPM
NIDN: 0912097208
Diketahui oleh,
Dekan Fakultas Pertanian Ketua Program Studi
Dr. H. Burhanuddin, S.Pi.,M.P Dr.Ir.Hikmah,S.Hut,M.Si.,IPM
NIDN: 0912066901 NIDN: 0011077101
iv
HALAMAN KOMISI PENGUJI
Judul : Perbedaan Kualitas Kokon Dan Serat Sutera Pada Pemberian
Pakan Murbei Jenis Morus Multicaulis Dan Morus Indica Di
Balai Perhutanan Sosial Dan Kemitraan Lingkungan (Bpskl)
Wilayah Sulawesi
Nama : Nur Hidayah
Nim : 105950062315
Program Studi : Kehutanan
Fakultas : Pertanian
Susunan Tim Penguji
Dr. Husnah Latifah, S.Hut.,M.Si.,IPM (..............................)
( Pembimbing I)
Ir Muh. Daud, S.Hut.,M.Si.,IPM (..............................)
( Pembimbing II)
Dr. Ir. Hikmah, S.Hut., M.Si.,IPM (..............................)
( Penguji I )
Ir. Muhammad Tahnur, S.Hut.,M.Si.,IPM (..............................)
( Penguji II )
Tanggal lulus : 22 September 2020
v
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: “Perbedaan
Kualitas Kokon Dan Serat Sutera Pada Pemberian Pakan Murbei Jenis Morus
Multicaulis Dan Morus Indica Di Balai Perhutanan Sosial Dan Kemitraan
Lingkungan (Bpskl) Wilayah Sulawesi” adalah benar merupakan hasil karya
sendiri yang belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana
pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi.
Makassar, September 2020
Nur Hidayah
105950062315
vi
HAK CIPTA
@Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah
b. pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Unismuh
Makassar.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin Unismuh Makassar.
vii
ABSTRAK
Nur Hidayah , 105950062315.Perbedaan Kualitas Kokon Dan Serat Sutera Pada
Pemberian Pakan Murbei Jenis Morus multicaulis Dan Morus indica Di Balai
Perhutanan Sosial Dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Wilayah Sulawesi.
Dibawah bimbingan Husnah Latifah dan M. Daud.
Penelitian dilakukan untuk mengetahui perbedaan jenis tanaman murbei
Morus multicaulis dan Morus indica terhadap kualitas kokon dan serat sutera.
Penelitian ini di Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL)
Bili-Bili Kecamatan Bonto Marannu, Kabupaten Gowa yang berlangsung selama
dua bulan yaitu pada bulan November 2019 sampai dengan Januari 2020. Analisis
pengumpulan data dilakukan dengan beberapa parameter yakni kualitas ulat,
kualitas kokon, serta kualitas serat dan diuji dengan menggunakan uji t dengan
ulangan masing-masing sebanyak 5 kali. Dari hasil penelitian yang dilakukan di
Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Wilayah Sulawesi,
menunjukkan bahwa daya tetas telur ulat sutera yang diberi pakan Morus indica
berbeda sangat nyata dengan daya tetas ulat sutera yang diberi pakan Morus
multicaulis; mortalitas ulat kecil yang diberi pakan Morus indica berbeda tidak
nyata dengan mortalitas ulat kecil yang diberi pakan Morus multicaulis; mortalitas
ulat besar yang diberi pakan Morus indica berbeda tidak nyata dengan mortalitas
ulat besar yang diberi pakan Morus multicaulis; persentase ulat mengokon yang
diberi pakan Morus indica berbeda tidak nyata dengan persentase ulat mengokon
yang diberi pakan Morus multicaulis; persentase kokon normal yang diberi pakan
Morus indica berbeda tidak nyata dengan persentase kokon normal yang diberi
pakan Morus multicaulis dan persentase kulit kokon yang diberi pakan Morus
indica berbeda sangat nyata dengan persentase kulit kokon yang diberi pakan
Morus multicaulis.
Kata Kunci: Pakan Murbei,Kokon, Serat Sutera, Morus indica, Morus multicaulis
vi
viii
ABSTRACT
Nur Hidayah, 105950062315. Differences in the Quality of Cocoon and Silk
Fiber in the Feeding of Mulberry Types of Morus multicaulis and Morus indica at
the Center for Social Forestry and Environmental Partnerships (BPSKL) Sulawesi
Region. Under the guidance of Husnah Latifah and M. Daud.
The research was conducted to determine the differences in the types of
mulberry plants Morus multicaulis and Morus indica on the quality of cocoons
and silk fibers. This research was conducted at the Center for Social Forestry and
Environmental Partnership (BPSKL) Bili-Bili, Bonto Marannu District, Gowa
Regency which lasted for two months, from November 2019 to January 2020.
Data collection analysis was carried out with several parameters, namely
caterpillar quality, cocoon quality, and fiber quality and tested using the t test with
5 repetitions each. From the results of research conducted at the Center for Social
Forestry and Environmental Partnerships (BPSKL), Sulawesi Region, it was
shown that the hatchability of silkworm eggs fed Morus indica was very
significantly different from the hatchability of silkworms fed Morus multicaulis;
mortality of small caterpillars fed Morus indica was not significantly different
from mortality of small caterpillars fed Morus multicaulis; the mortality of large
caterpillars fed Morus indica was not significantly different from the mortality of
large caterpillars fed Morus multicaulis; the percentage of caterpillars fed Morus
indica was not significantly different from the percentage of caterpillars fed
Morus multicaulis; The percentage of normal cocoons fed with Morus indica was
not significantly different from the percentage of normal cocoons that were fed
with Morus multicaulis and the percentage of cocoon shells fed with Morus indica
was very significantly different from the percentage of cocoon shells fed with
Morus multicaulis.
Keywords: Mulberry feed, Cocoon, Silk Fiber, Morus indica, Morus multicaulis
vi
ix
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah subhanahu wata’ala atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan hasil penelitian
dengan judul “Pengaruh Murbei Terhadap Kualitas Kokon dan Serat Sutera di
Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Wilayah
Sulawesi.”.
Tak lupa pula kita kirimkan salam dan shalawat kepada junjungan kita
baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau yang menjadi surih
tauladan bagi kita semua. Penulis menyadari bahwasannya dalam penulisan
proposal ini masih banyak perbaikan dan kekeliruan yang disebabkan
keterbatasan penulis, sehingga penulis sangat mengharapkan masukan dan
kritikan yang bersifat membangun demi kesempurnaan hasil penelitian ini. Pada
kesempatan kali ini pula penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar –
besarnya kepada :
1. Kedua orang tua tercinta, tak henti – hentinya memanjatkan doa untuk
keberasilan dan keselamatan penulis dunia akhirat, kemudian dukungan moral
serta materi demi keberhasilan studi dari penulis.
2. Ayahanda Dr. H. Burhanuddin, S.Pi., M.P selaku Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Muhammadiyah Makassar.
3. Ibunda Dr. Ir. Hikmah, S.Hut., M.Si., IPM selaku Ketua Program Studi
Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Makassar.
4. Ibunda Dr. Ir. Husnah Latifah, S.Hut., M.Si, IPM selaku pembimbing I dan
Ayahanda Ir. Muhammad Daud, S.Hut., M.Si., IPM selaku pembimbing II,
vi
x
penulis mengucapkan banyak terimakasih atas segala motivasi dan
masukannya demi tersusunnya Skripsi ini dengan baik dan benar.
5. Ibunda Dr. Ir. Hikmah, S.Hut., M.Si., IPM selaku penguji I dan Ayahanda Ir.
Muhammad Tahnur, S.Hut., M.Hut., IPM selaku penguji II yang telah
memberikan masukan dan arahan sehingga penulis berhasil menyusun skripsi
ini dengan benar.
6. Ibunda Muthmainnah, S.Hut., M.Hut selaku penasehat akademik yang tak
henti-hentinya memberikan motivasi dan masukan selama penulis menempuh
perkuliahan hingga menyelesaikan masa studinya.
7. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian
Universitas Muhammadiyah Makassar, yang telah memberikan ilmu selama
mengikuti kegiatan perkuliahan hingga menyelesaikan tugas akhir ini.
8. Terkhusus kepada Tanriani M.Ds S.Hut, Sri Astuti S.Hut, Samsul Samrin,
S.Hut, Nurul Faisah, Irawati Kamal Weidhema, Muh.Dody Alfayed dan
semua teman-teman angkatan trembesi 2015 yang telah memberikan motivasi
serta bantuan yang sangat besar sehingga tugas akhir ini selesai.
9. Teman – teman dan semua pihak yang tak dapat disebutkan satu persatu yang
telah memberikan dorongan dan motivasi yang besar.
Semoga doa dan motivasi yang diberikan oleh semua pihak dibalas oleh
Allah subhanahu wata’ala. Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi kita
semua.
Makassar, September 2020
Nur Hidayah
xi
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Halaman
1. Kerangka Pikir ................................................................................................. 13
2. Stuktur Organsisasi Balai Persuteraan Alam ................................................... 21
3. Daya Tetas Telur Ulat Sutera Yang Diberi Pakan Murbei Jenis Morus indica dan Morus ............................................................................................. 33
4. Daya Mortalitas Ulat Kecil Yang Diberi Pakan Murbei Jenis Morus
indica dan Morus ............................................................................................. 34
5. Daya Mortalitas Ulat Besar Yang Diberi Pakan Murbei Jenis Morus
indica dan Morus ............................................................................................. 35
6. Daya Persentase Ulat Mengokon Yang Diberi Pakan Murbei Jenis Morus indica dan Morus .................................................................................. 36
7. Daya Persentase Kokon Normal Yang Diberi Pakan Murbei Jenis Morus indica dan Morus ............................................................................................. 37
8. Persentase Kulit Kokon Yang Diberi Pakan Murbei Jenis Morus indica dan Morus ........................................................................................................ 38
xii
DAFTAR TABEL
No. Teks Halaman
1. Data Luas Tanaman Murbei Per Kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan ...... 24
2. Data Luas Tanaman Murbei Per Propinsi di Luar Prop. Sulawesi Selatan ...... 25
3. Data Perkembangan Jumlah Petani di Prop. Sulawesi Selatan ........................ 26
4. Data Perkembangan Jumlah Petani di Luar Provinsi Sulawesi Selatan ........... 26
5. Data Perkembangan jumlah penyerapan telur di Provinsi Sulawesi Selatan 5
tahun terakhir .................................................................................................... 27
6. Data Perkembangan jumlah penyerapan telur di luar Prop. Sulawesi Selatan 5
tahun terakhir .................................................................................................... 28
7. Data Produksi Kokon dan Produksi Benang Sulawesi Selatan tahun 2005 –
2009 .................................................................................................................. 29
8. Data Produksi Kokon dan Produksi Benang di Propinsi luar Sulawesi Selatan
tahun 2005 – 2009 ............................................................................................ 30
9. Target Sasaran Pengembangan Produk Sutera Hulu (Nasional ) ..................... 31
10. Target Sasaran Pengembangan Produk Sutera Hilir ( Nasional ) ................... 31
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ....................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. ii
HALAMAN KOMISI PENGUJI ...................................................................... iii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vii
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ....................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................... 3
1.3. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 3
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hasil Hutan Bukan Kayu ......................................................................... 4
2.2. Murbei ..................................................................................................... 7
2.3. Ulat sutera................................................................................................ 8
2.4. Kualitas Kokon dan Serat Sutera ............................................................. 10
2.5. Kerangka Pikir ......................................................................................... 13
III. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat ................................................................................... 14
3.2. Alat dan Bahan ......................................................................................... 14
3.3. Metode Pengumpulan Data ...................................................................... 14
3.4. Langkah-Langkah Penelitian .................................................................... 14
3.5. Jenis Data ................................................................................................. 15
3.6. Analisis Data ............................................................................................. 15
3.7. Definisi Operasional .................................................................................. 16
xiv
IV.KEADAAN UMUM LOKASI
4.1 Gambaran Umum Balai Persuteraan Alam ................................................ 20
4.2 Perkembangan Kegiatan Persuteraan Alam Di Dalam Dan Di Luar Provinsi
Sulawesi Selatan ............................................................................................... 24
4.3 Rencana Pengembangan Persuteraan Alam Di Prov. Sulawesi Selatan ... 30
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
VI. PENUTUP
6.1. Kesimpulan ................................................................................................ 39
6.2. Saran .......................................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.35/Menhut/2007 tentang
Hasil Hutan Bukan Kayu, maka dalam rangka pengembangan budidaya maupun
pemanfaatannya HHBK dibedakan dalam HHBK nabati dan HHBK hewani.
HHBK nabati dan HHBK hewani meliputi semua hasil non kayu dan turunannya
yang salah satunya adalah ulat sutera.
Ulat sutera (Bombyx mori L.) merupakan salah satu jenis serangga dari
Ordo Lepidoptera yang mengalami siklus metamorfosis sempurna selama
hidupnya mulai dari telur, larva, pupa, dan imago. Nilai ekonomis dari ulat sutera
terdapat pada kokon yang menghasilkan serat sutera, dimana serat sutera dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku dalam industri tekstil, benang, parasut, dan
kosmetik (Wageansyah R, 2007). Seperti yang kita ketahui, pembudidayaan ulat
sutera ini tidak bisa dilepaskan dengan yang namanya tanaman murbei (Morus sp)
karna merupakan satu-satunya makanan bagi ulat sutera. Bagian tanaman murbei
yang dimanfaatkan sebagai pakan ulat sutera adalah daunnya. Murbei sendiri
merupakan tanaman perdu, daunnya mirip daun kembang sepatu, buahnya agak
masam, dapat dimakan atau dibuat bahan sirup, dan dapat pula dijadikan sebagai
tanaman obat (Andadari et al, 2017). Kualitas daun murbei tidak hanya
menentukan pertumbuhan dan kesehatan ulatnya tetapi juga berpengaruh terhadap
kualitas kokon yang dihasilkan s
ehingga secara langsung maupun tidak langsung akan memengaruhi
kualitas dan kuantitas benang sutera yang dihasilkan (Purwanti, R. 2007). Ada
beberapa jenis murbei yang banyak ditanam dan digunakan untuk pakan ulat
2
sutera diantaranya adalah Morus multicaulis, Morus indica, Morus alba, Morus
nigra, Morus cathayana, dan Morus macroura.
Morus multicaulis dan Morus indica ini adalah jenis murbei yang paling
banyak dibudidayakan di Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan
(BPSKL) Bili-Bili wilayah Sulawesi karena jenis ini merupakan jenis yang
produksi daunnya tinggi, daunnya tidak cepat layu dan memiliki kandungan
protein yang tinggi. Untuk jenis Morus multicaulis ini sendiri merupakan jenis
murbei yang paling subur dan daunnya besar.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Andadari et.al, (2017)
menyimpulkan bahwa kombinasi pakan dan jenis ulat tidak berpengaruh terhadap
rendemen pemeliharaan, bobot kokon, dan bobot kulit kokon tetapi berpengaruh
terhadap rasio kulit kokon. Begitu pula penelitian yang dilakukan oleh Rahma
et.al (2017) menunjukkan bahwa jenis pakan daun murbei yang berbeda tidak
berpengaruh nyata terhadap mortalitas ulat, rendemen pemeliharaan, dan
persentase kokon cacat.
Merujuk hal tersebut maka dilakukan penelitian untuk mengetahui
perbedaan jenis tanaman murbei Morus multicaulis dan Morus indica terhadap
kualitas kokon dan serat sutera di Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan
Lingkungan (BPSKL) Bili-Bili.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apa perbedaan kualitas
kokon dan serat sutera yang di beri pakan murbei jenis Morus multicaulis dan
Morus indica ?
3
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kualitas kokon dan
serat sutera yang di beri pakan murbei jenis Morus multicaulis dan Morus indica.
1.3. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai
pemberian murbei jenis Morus multicaulis dan Morus indica sebagai pakan ulat
sutera untuk membandingkan kualitas kokon dan serat sutera dari dua jenis
tanaman murbei yang berbeda.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
Menurut Peraturan Menteri No. P35/ Menhut-II/ 2007, Hasil Hutan Bukan
Kayu yang selanjutnya disingkat HHBK adalah hasil hutan hayati baik nabati
maupun hewani beserta produk turunan dan budidaya kecuali kayu (Menhut,
2007). Dalam upaya mengubah haluan pengelolaan hutan dari timber extraction
menuju sustainable forest management, Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) atau
Non Timber Forest Products (NTFP) memiliki nilai yang sangat strategis.Hasil
Hutan Bukan Kayu (HHBK) merupakan salah satu sumber daya hutan yang
memiliki keunggulan komparatif dan bersinggungan langsung dengan masyarakat
sekitar hutan.Sehingga, tidak dipungkiri lagi bahwa masyarakat di dalam maupun
di sekitar kawasan hutan berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan
hasil hutan bukan kayu (Sihombing, 2011).
Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu adalah kegiatan untuk memanfaatkan
dan mengusahakan hasil hutan berupa bukan kayu dengan tidak merusak
lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya. Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Bukan Kayu (IUPHHBK) yang tertuang pada Pasal 1 (13) dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 3 Tahun 2008 yang merupakan revisi dari
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 6 Tahun 2007, adalah izin usaha
yang diberikan untuk memanfaatkan hasil hutan bukan kayu dalam hutan alam
pada hutan produksi melalui kegiatan pemanenan atau penebangan, pengayaan,
pemeliharaan, dan pemasaran (Kemenhut, 2007).
Sumberdaya hutan juga bersifat multi guna dan memuat multi kepentingan
serta pemanfaatannya diarahkan untuk mewujudkan sebesar-besarnya
5
kemakmuran rakyat. Manfaat tersebut bukan hanya berasal dari Hasil Hutan Kayu
yang hanya memberikan sumbangan 20%, melainkan juga manfaat Hasil Hutan
Bukan Kayu (HHBK) dan jasa lingkungan, yang memberikan sumbangan terbesar
yakni 80 %, namun hingga saat ini potensi HHBK tersebut belum dapat
dimanfaatkan secara optimal. Paradigma ini makin menyadarkan kita bahwa
produk HHBK merupakan salah satu sumber daya hutan yang memiliki
keunggulan komparatif dan paling bersinggungan dengan masyarakat sekitar
hutan. HHBK terbukti dapat memberikan dampak pada peningkatan penghasilan
masyarakat sekitar hutan dan memberikan kontribusi yang berarti bagi
penambahan devisa Negara (Kemenhut, 2009).
Pemanfaatan hutan selama ini masih cenderung berorientasi pada
pengelolaan hutan sebagai penghasil kayu dalam kontek ekonomi. Kondisi ini
mendorong eksploitasi kayu secara intensif untuk memenuhi pasar dunia maupun
industri domestik tanpa memperhatikan nilai manfaat lain yang dapat diperoleh
dari hutan dan kelestarian ekosistem hutan. Oleh karena itu, paradigma tersebut
telah menyebabkan terjadinya penurunan luas, manfaat dan kualitas ekosistem
hutan. Padahal, di sisi lain, sumberdaya hutan (SDH) mempunyai potensi multi
fungsi yang dapat memberikan manfaat ekonomi, lingkungan dan sosial bagi
kesejahteraan ummat manusia.Manfaat tersebut bukan hanya berasal dari Hasil
Hutan Kayu (HHK) seperti yang terjadi saat ini, melainkan juga manfaat hasil
hutan bukan kayu (HHBK) dan jasa lingkungan (Kemenhut, 2009).
Paradigma baru sektor kehutanan memandang hutan sebagai sistem
sumberdaya yang bersifat multi fungsi, multi guna dan memuat multi kepentingan
serta pemanfaatannya diarahkan untuk mewujudkan sebesar-besarnya
6
kemakmuran rakyat. Paradigma ini makin menyadarkan kita bahwa produk
HHBK merupakan salah satu sumber daya hutan yang memiliki keunggulan
komparatif dan paling bersinggungan dengan masyarakat sekitar hutan. HHBK
terbukti dapat memberikan dampak pada peningkatan penghasilan masyarakat
sekitar hutan dan memberikan kontribusi yang berarti bagi penambahan devisa
negara. Ke depan pembangunan kehutanan diharapkan tidak lagi hanya
berorientasi pada hasil hutan kayu, tetapi sudah selayaknya menggali potensi
HHBK. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil hutan kayu dari ekosistem
hutan hanya sebesar 10% sedangkan sebagian besar (90%) hasil lain berupa hasil
hutan bukan kayu (HHBK) yang selama ini belum dikelola dan dimanfaatkan
secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Kemenhut, 2009).
Kawasan hutan Indonesia mencapai luas 125,956,142.71 ha (KLHK,
2017) memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi 30 sampai dengan 40
ribu jenis tumbuhan tersebar di hampir seluruh pulau yang berpotensi
menghasilkan HHBK yang cukup besar (Kemenhut, 2009). Beberapa jenis HHBK
memiliki nilai cukup tinggi baik di pasar domestik maupun di pasar global antara
lain rotan, bambu, gaharu, atsiri, dan jenis lain. Secara ekonomis HHBK memiliki
nilai ekonomi tinggi dan berpeluang untuk meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan masyarakat serta meningkatkan pendapatan negara. Walaupun
memiliki nilai ekonomi tinggi namun pengembangan usaha dan pemanfaatan
HHBK selama ini belum dilakukan secara intensif sehingga belum dapat
memberikan kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan perekonomian
masyarakat dan peningkatan devisa Negara (Kemenhut, 2009).
7
2.2. Murbei
Nama ilmiah tanaman murbei adalah Morus.sp merupakan genus dari
family Moraceae. Pada umumnya tanaman murbei dikaitkan dengan budidaya
ulat sutera untuk produksi sutera. Domestikasi murbei sudah dimulai ribuan tahun
yang lalu untuk memenuhi kebutuhan pakan pada pemeliharaan ulat sutera.
Namun hanya bagian daun yang muda yang dimanfaatkan untuk pakan ulat sutera,
sedangkan sisa produksi yang lain (hijauan dan kotoran ulat sutera) diberikan
pada ternak, namun belakangan ini ketertarikan pemanfaatan hijauan murbei
(batang muda dan daun) sebagai pakan ternak meningkat karena nilai nutrisinya
yang tinggi (Sanchez, 2002).
Menurut Sunanto (1997) klasifikasi ilmiah tanaman murbei (Morus spp)
adalah sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Sub-Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledenoleae
Ordo : Urticalis 4
Family : Moreceae
Genus : Morus
Spesies : Morus sp
Menurut Guntoro (1994) penyebaran tanaman murbei sangat luas mulai
dari daerah tropik sampai subtropik tanaman ini dapat tumbuh hamper disemua
jenis tanah namun akan tumbuh baik pada daerah dengan ketinggian leih dari 300
meter diatas permukaan laut dengan kondisi tanah yang gembur dan subur. Datta
(2002) menambahkan tanaman murbei dapat tumbuh pada daerah dengan
8
kelembapan berkisar 60-80% dan dapat ditanamn di ketinggian sampai 1000 m
diatas permukaan laut. Didaerah dengan curah hujan yang rendah,
pertumbuhannya terhambat karena kekurangan air. Didaerah beriklim tropis
murbei tumbuh dengan lama sinar matahri 9-13 jam/hari. Sinar matahari adalah
salah satu faktor yang mengintrol pertumbuhan dan kualitas daun. Produksi daun
murbei dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu varietas, curah hujan, jarak tanam,
pemupukan, tinggi pemotongan dan frekuensi pemanenan.
Produktifitas murbei tergantung pada jenis dan cara penanaman, produksi
daun murbei sangat dipengaruhi oleh umur panen. Tanaman yang tua mempunyai
produksi daun yang lebih sedikit disbanding tanaman muda. Produksi daun
murbei juga tergantung pada metode dan frekuensi pemotongan serta managemen
budidaya (Ye, 2002). (Benavides,2002 dalam Yulistiani,2012) melaporkan bahwa
produksi biomassa murbei adalah sangat beragam yaitu antara 10,1, sampai 40
ton/ha/tahun bahan kering, tergantung pada jarak tanam dan interval panen.
2.3. Ulat Sutera (Bombyx mori L.)
Ulat sutera memiliki sifat dalam siklus hidupnya, yaitu voltinisme (jumlah
generasi ulat sutera dalam satu tahun) dan moltinisme (jumlah pergantian kulit),
ulat sutera digolongkan menjadi monovolin (satu generasi dalam satu tahun),
bivoltin (dua generasi dalam satu tahun), polivolin (tiga atau lebih generasi dalam
satu tahun), serta ulat sutera dengan tiga, empat, atau lima kali pergantian kulit
(Samsijah dan Kusumputera, 1975). Sigh et al. (1989) melaporkan bahwa ulat
sutera dengan empat kali pergantian kulit merupakan penghasil sutera terbaik
sehingga banyak dibudidayakan.
9
Selain berdasarkan kedua sifat diatas, ulat sutera juga dibedakan
berdasarkan tempat terbentuknya, terdiri atas empat ras, yaikni ulat sutera ras
Eropa, ras Cina, ras Jepang, dan ras Tropika (JOCV, 1975). Berdasarkan jenis
pakan dan habitatnya, terdiri atas ulat sutera liar (wild silkworm) dan ulat sutera
komersial (Bombyx mori L.). Ulat sutera liar hidup bebas pada beebrapa jenis
pohon, sedangkan Bombyx mori L. adalah ulat sutera yang biasa dipelihara dalam
ruangan dan merupakan 95% penghasil utama sutera dunia (Krishnawami et al,
1973).
Klasifikasi ulat sutera (Bombyx mori L.) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Lepidoptera
Famili : Bombycidae
Genus : Bombyx
Spesies : B.mori
Sepanjang hidupnya, ulat sutera mengalami empat fase, yaitu fase telur,
larva, pupa, dan imago (Katsumata, 1964). Larva yang baru menetas memiliki
banyak seta di permukaan tubuhnya. Warna tubuh pada umumnya hitam. Panjang
ulat yang bary menetas sekitar 3mm, setelah satu hari panjang tubuh menjadi
7mm dan permukaan kulit mengkilap. Pada umur dua hari seta dipermukaan
tubuh menjadi kurang jelas, setelah itu ulat berhenti makan sekitar 24 jam. Pada
saat itu pula ulat menggantikan kulit lama dengan kulit baru. Peristiwa ini dikenal
dengan istilah ganti kulit atau ekdisi. Karena selama masa larva, ganti kulit ini
10
berlangsung empat kali, maka terdapat lima periode makan atau disebut instar
(Tajima, 1978).
Katsumata (1964) mengatakan bahwa fase larva terdiri dari lima instar,
yaitu instar I samapi dengan instar V. Pada tahap terakhir ini (instar V) ditandai
dengan tidak adanya selera makan dari ulat. Masa ganti kulit biasanya sama pada
berbagai galur, akan tetapi panjangnya masa makan berbeda tergantung dari instar
dan galur (Tazima, 1978).
2.4. Kualitas Kokon dan Serat Sutera
Penentuan kualitas kokon termasuk kedalam pengolahan kokon. Pengolahan
dan penanganan kokon dilakukan dengan cara pembersihan kokon, penyeleksian
kokon dan pengeringan kokon. Pembersihan kokon dengan cara membersihkan
serat-serat halus yang terdapat pada permukaan kokon. Seleksi kokon dengan cara
memisahkan kokon yang baik dengan yang cacat. Apabila dalam kumpulan kokon
terdapat kokon yang cacat, maka sebagai bahan baku benang permintaan benang
sutera hasil yang didaptkan tidak akan baik (Penebar Swadaya, 1992). Kokon
yang baik atau terpilih selanjutnya dimasak, setelah proses pemasakan kemudian
kokon dikeringkan. Pengeringan kokon bertujuan untuk mematikan pupa.
Pengeringan dilakukan apabila kokon tidak langsung dipintal atau akan
diperdagangkan. Langkah selanjutnya adalah pemintalan serat kokon, dalam
proses pemintalan ada dua kegiatan yang dilakukan yaitu pemintalan dan
pengepakan (Samsijah dan Andadari, 1995).
Ulat sutera memiliki sepasang kelenjar sutera (silk gland) yang berfungsi
menghasilkan serat sutera. Serat sutera merupakan serat double yang terdiri dari
fiborin dan serisin (Samsijah dan Andadari, 1995). Fiborin dan serisin merupakan
11
serangkaian asam-asam amino yang terdiri dari glisin, alanine, lisin, asam
aspartate, asam glutamar, serin, prolin, oksiprolin, tirosin dan fenilalanin (JOCV,
1975).
Hasil akhir dari proses pemeliharaan ulat sutera adalah kokon. Kokon inilah
yang akan diproses lebih lanjut untuk menjadi benang dan kain. Kualitas dari
produk tersebut ditentukan oleh beberapa faktor yang saling terkait dan yang
paling menentukan kualitas produk adalah kokon itu sendiri. Kokon yang
berkualitas baik ditentukan oleh beberapa faktor antara lain ulat sutera, tekhnik
pemeliharaan, temperatur, kelembapan dan proses pengokonan (Sampe, 1991).
Kriteria kokon berkualitas baik apabila memiliki penampakan seperti warna
kokon putih bersih, bentuk kokon normal (bulat telur), permukaan kulit tidak
cacat dan bagian dalam (pupa) tidak rusak dan hancur (ditandai apabila kokon
dikocok akan berbunyi) (Budisantoso, 1994).
Menurut Samsijah dan Andadari (1995), syarat kokon yang baik adalah
sehat (tidak cacat), bersih, bagian dalamnya (pupa) tidak rusak atau hancur,
bagian kulit kokon keras dan terbukti jika ditekan sedikit berat sedangkan kokon
yang berkualitas rendah adalah kokon rangkap, kokon berlubang, kokon kotor
dibagian dalam, kotor bagian luar, kulit kokon tipis, kokon berbentuk aneh, kokon
berbulu, kulit kokon berlapis dan kokon berlekuk.
2.5. Pemeliharaan Ulat Sutera
2.5.1. Pemeliharaan Ulat Kecil
1. Pemeliharaan ulat kecil didahului dengan kegiatan “Hakitate” yaitu
pekerjaan pemindahan ulat sutera yang baru menetas ke tempat
12
pemeliharaan disertai dengan pemberian makan pertama kali. Hakitate
sebaiknya dilakukan sekitar pukul 09.00 saat matahari belum panas
(Booklet budidaya persuteraan alam, 2015).
2. Ulat yang baru menetas didesinfeksi dengan bubuk campuran kapur dan
kaporit (95:5), lalu diberi daun murbei yang muda dan segar yang dipotong
kecil-kecil pada Instar I ulat sutera membutuhkan makan daun murbei
mudah pengambilan daun yaitu lembar ke 4 – 5 dari pucuk dan dirajang
0,5 – 1,0 cm (Booklet budidaya persuteraan alam, 2015).
3. Intar II ulat diberi makan murbei pengambilan daun yaitu lembar ke 6 - 7
dari pucuk dan di Rajang 1,5 – 2,0 cm (Booklet budidaya persuteraan
alam, 2015).
4. Instar III ulat sutera dimakan daun murbei pengambilan daun yaitu lembar
ke 8 – 11 dari pucuk dan di Rajang 3,0 – 5,0 cm (Booklet budidaya
persuteraan alam, 2015).
2.5.2. Pemeliharaan Ulat Besar.
Ulat besar memerlukan daun murbei yang berumur pangkas kurang lebih
2,5 – 3 bulan. Pemberian makan ulat besar 3 – 4 kali sehari, pemberian daun
dengan cabang sebaiknya diletakkan bolak balik agar distribusi daun merata,
perkiraan jumlah daun untuk 1 boks ulat sutera besar adalah untuk Instar IV 40 –
80 kg daun tanpa cabang setara + 800 kg daun dengan cabang sedangkan untuk
Instar V 350 – 500 kg daun tanpa cabang setara ± 1500 kg daun dengan cabang
(Booklet budidaya persuteraan alam, 2015).
13
Perkembangan ulat besar menentukan perluasan tempat pemeliharaan ulat,
perluasan tempat ulat dilakukan sebelum pemberian makan, apabila penyebaran
ulat tidak merata, ulat diratakan lebih dahulu sebelum pemberian makan. Luas
tempat pemeliharaan untuk Instar IV adalah kurang lebih 8 m². perluasan
dilaksanakan sore hari sebelum pemberian makan. Untuk Instar V hari kedua luas
tempat pemeliharaan kurang lebih 20 m², jika tempat pemeliharaannya sempit,
pemberian daun akan berkurang sehingga hasil kokonnya kecil dan sedikit
(Booklet budidaya persuteraan alam, 2015).
2.5.3. Pengolahan Pasca Panen Ulat Sutera
Arti penting dari kegiatan pasca panen dalam mempengaruhi kualitas
kokon ditemukan oleh Tomigawa (1984) yang menyatakan bahwa salah satu
penyebab rendahnya kualitas kokon adalah belum adanya seleksi kokon yang
memadai. Seleksi kokon yang bertujuan untuk memisahkan kokon yang baik dan
kokon cacat merupakan kegiatan pasca panen yang sangat penting dan harus
dilakukan sebelum kokon dijual dan sebelum kokon dipintal.
2.5.4. Mengokonkan Ulat
Pada instar V hari ke-6 atau ke-7 ulat biasanya akan mulai mengokon.
Pada suhu rendah ulat akan lebih lambat mengokon. Tanda-tanda ulat yang akan
mengokon adalah sebagai berikut :
a. Nafsu makan berkurang atau berhenti makan sama sekali.
b. tubuh ulat menjadi bening kekuning-kuningan.
14
c. Ulat cenderung berjalan ke pinggir.
d. Dari mulut ulat keluar serat sutera.
Ketika sudah ada tanda-tanda ulat yang akan mengokon maka kita akan
kumpulkan ulat dan masukkan ke dalam alat pengokonan yang telah disiapkan
dengan cara menaburkan secara merata. Alat pengokonan yang baik digunakan
adalah : Rotari. Seri frame, pengokonan bambu dan mukade (terbuat dari daun
kelapa atau jerami yang dipuntir membentuk sikat tabung).
2.5.5. Panen dan Penanganan Kokon
Panen dilakukan pada hari ke-5 atau ke-6 sejak ulat mulai membuat kokon.
Sebelum panen, ulat yang tidak mengokon atau yang mati diambil lalu dibuang
atau dibakar.
Selanjutnya dilakukan penanganan kokon yang meliputi kegiatan sebagai
berikut :
a. Pembersihan kokon, yaitu menghilangkan kotoran dan serat-serat pada
lapisan luar kokon.
b. Seleksi kokon, yaitu pemisahan kokon yang baik dan kokon yang
cacat/jelek.
c. Pengeringan kokon, yaitu penanganan terhadap kokon untuk mematikan
pupa serta mengurangi kadar air dan agar dapat disimpan dalam jangka
waktu tertentu.
d. Penyimpanan kokon, dilakukan apabila kokon tidak langsung
dipintal/dijual atau menunggu proses pemintalan.
15
Cara penyimpanan kokon adalah sebagai berikut :
1. Dimasukkan ke dalam kotak karton, kantong kain/kerta.
2. Ditempatkan pada ruangan yang kering atau tidak lembab.
3. Selama penyimpanan, sekali-sekali dijemur ulang di sinar matahari.
4. Lama penyimpanan kokon tergantung pada cara pengeringan, tingkat
kekeringan dan tempat penyimpanan.
2.6. Parameter Standarisasi Mutu Kokon
Berdasarkan data dab analisa, serta pengujian kokon di Indonesia, Balai
Penelitian Kehutanan Ujung Pandang (Harry Budi Santoso) mengusulkan standar
mutu kokon untuk Indonesia, untuk menilai mutu kokon baik atau tidak, perlu
dibuat suatu standar dengan parameter yang di uji dan mencerminkan kualitas
kokon baik secara visual, maupun dengan uji laboratorium (H. Soekiman
Atmosoedarjo, dkk. 2000).
Parameter yang perlu diuji adalah berikut :
a. Parameter uji visual :
1. Persentase kokon cacat.
2. Berat kokon perbutir.
3. Persentase kulit kokon
b. Perameter uji labora :
1. Daya gulung.
2. Panjang serat.
3. Rendemen serat.
16
Dalam uji visual diperlukan tiga parameter untuk menentukan kelas mutu
koko, yaitu : persentase kokon cacat, berat kokot dan persentase kulit kokon.
Berdasarkan data keadaan kokon yang ada di Sulawesi Selatan dan hasil
perperhitungan, maka dapat dibuat suatu klasifikasi mutu kokon. Dengan
parameter – parameter uji visual, seperti tersaji pada tabel – tabel berikut ini :
(H. Soekiman Atmosoedarjo, dkk. 2000).
Tabel 1. Klasifikasi kokon berdasarkan kokon cacat.
No Kokon cacat Kelas
1 < 1 A
2 1,1 – 4 B
3 4,1 – 8 C
4 = > 9 D
Dari tabel di atas Nampak, bahwa apabila pada jumlah kokon yang jumlah
kokon yang di uji terdapat kokon cacat kurang dari 1 %, maka dapat dikatakan :
kokon tersebut masuk kelas A, apabila persentase kokon cacatnya ada di antara
1,1 s/d 4 % maka masuk kelas B.
Gambar 1. Bentuk Kokon Cacat
17
Tabel 2. Klasifikasi kokon berdasarkan berat kokon.
No Berat kokon (gr) Kelas
1 > 2 A
2 1,5 – 1,9 B
3 1 – 1,4 C
4 < 0,9 D
Dari tabel di atas nampak, bahwa klasifikasi berat kokon berada di antara
0,9 s/d 2 gram, atau lebih, maka kokon yang di uji masuk kelas A.
Tabel 3. Klasifikasi kokon berdasarkan persentasi kulit kokon.
No Kulit Kokon Kelas
1 > 25 A
2 20 – 24,9 B
3 15 – 19,9 C
4 < 14,9 D
Seperti pada klasifikasi kokon cacat dan berat kokon, pada klasifikasi kulit
kokon di bagi menjadi menjadi empat kelas. Pada tabel di atas nampak, bahwa
kokon dengan kulit kokon kurang dari, atau sama dengan, 14,9 % masuk kelas D.
18
2.7. Kerangka Pikir
Gambar 2. Kerangka Pikir
HHBK
Murbei
Murbei Jenis
Morus indica
Murbei Jenis
Morus multicaulis
Ulat Sutera
(Bombyx mori)
Pengaruh Murbei Terhadap Kualiats Kokon dan
Serat Sutera di Balai Perhutanan Sosial dan
Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Wilayah
Sulawesi
Kualitas Kokon
dan Serat Sutra
Pakan
19
III. METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan
(BPSKL) Bili-Bili. Pelaksanaan penelitian pada bulan November 2019.- Januari
2020.
3.2. Alat dan Bahan
Adapun alat yang digunakan pada penelitian ini adalah :
1. Laptop
2. Alat tulis menulis
3. Kamera
4. Gunting tanaman
5. Sasak
6. Kertas minyak
7. Mesin reeling
8. Alat pemintal manual
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah : Tanaman murbei
1. Ulat sutera
2. Formalin
3. Kaporit
4. Kapur
5. Semiframe
20
3.3. Metode Pengumpulan Data
Populasi penelitian ini adalah ulat sutera dan murbei. Jumlah sampel yang
digunakan sebanyak 1 jenis ulat sutera
3.4. Langkah-Langkah Penelitian
1. Observasi
Observasi adalah salah satu metode pengumpulan data dengan mengamati
secara langsung di lokasi penelitian atau di lapangan.
2. Pengamatan
Proses pengamatan tanaman Murbei sebagai pakan ulat sutera ini
dilakukan untuk memenuhi syarat pengambilan data dilapangan.
3.5. Jenis Data
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh melalui observasi langsung di
lapangan.
2. Data Sekunder
Data sekunder berupa data yang diperoleh dari laporan-laporan kantor
desa dan kecamatan, serta instansi-instansi terkait dinas kehutanan dan
pusat statistik untuk memperoleh informasi.
3.6, Analisis Data
Analisis pengumpulan data dilakukan dengan beberapa parameter yaitu :
1. Kualitas Ulat
a.
x 100 %
21
2. Kualitas Kokon
a.
x 100 %
b. Bobot kokon : merupakan bobot rata-rata dari 20 butir kokon sampel
dan satuannya gram
c.
x 100 %
3. Kualitas Serat
a.
x 100 %
b.
x 100 %
c.
x 100 %
Perbedaan kualitas ulat, kokon, serat antara murbei Morus multicaulis dengan
murbei Morus indica diuji dengan menggunakan uji t dengan ulangan masing-
masing sebanyak 5 kali, rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :
H0 : µ 1 = µ 2
H1 : µ 1 ≠ µ 2
Uji statistik yang digunakan adalah statistik t :
Sebelum dilakukan uji t. Pertama uji dulu apakah ragam kedua populasi sama atau
berbeda dengan rumus :
2
2
2
1
S
SFh ; db = n1-1, n2-1
H0 : 1 = 2 = 0
22
H1 : 1 2
Fh ≥ Ftabel, maka tolak H0
1. Jika ragam kedua populasi sama digunakan statistik :
th
21
2 1
n
1
n
1
X X
Sp
; db = n1 + n2 – 2
2. Jika ragam kedua populasi tidak sama digunakan statistik :
th
)n/(S )n/(S
X X
2
2
21
2
1
2 1
Keterangan :
1X = rata-rata kualitas ulat, kokon, serat antara murbei Morus multicaulis
2X = rata-rata kualitas ulat, kokon, serat antara murbei Morus indica
S1 = Simpangan baku dari hasil pengamatan kualitas ulat, kokon, serat antara
murbei Morus multicaulis
S2 =Simpangan baku dari hasil pengamatan kualitas ulat, kokon, serat antara
murbei Morus indica
n1 = jumlah pengamatan kualitas ulat, kokon, serat antara murbei Morus
multicaulis
n2 = jumlah pengamatan kualitas ulat, kokon, serat antara murbei Morus indica
Kaidah keputusan yang digunalan untuk taraf nyata α adalah sebagai berikut:
Jika thitung ≥ ttabel maka tolak H0. Penolakan H0 berarti terdapat perbedaan nyata
kualitas ulat, kokon, serat antara murbei Morus multicaulis dengan murbei Morus
indica.
23
3.7. Definisi Operasional
Batasan-batasan operasional yang digunakan dalam penelitian ini mencakup
beberapa istilah :
1. Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) adalah hasil hutan hayati baik nabati
maupun hewani beserta produk turunan dan budidaya kecuali kayu.
2. Perbedaan adalah hal yang menunjukkan bahwa benda yang satu memiliki
sifat yang tidak sama dengan benda yang lainnya.
3. Kualitas adalah tingkat, taraf atau derajat baik buruknya sesuatu.
4. Kokon adalah materi yang terbuat dari lapisan filamen-filamen sutera dan
berisi pupa.
5. Serat sutera adalah serat protein alami dari serangga yaitu ulat sutera yang
dapat ditenun menjadi tekstil.
6. Pakan adalah makanan atau asupan yang diberikan kepada hewan ternak
sebagai sumber gizi dan materi bagi pertumbuhan dan kehidupan makhluk
hidup.
7. Murbei adalah tumbuhan perdu yang berasal dari cina dan merupakan pakan
untuk ulat sutera, daunnya mirip daun kembang sepatu, buahnya agak masam.
Dapat dimakan atau dibuat bahan sirup, dan dapat pula dijadikan sebagai
tanaman obat.
8. Morus multicaulis adalah jenis murbei yang unggul karena memiliki karakter
khusus, produksi daun tinggi, daunnya lebar dan tidak mudah layu.
9. Morus indica adalah jenis murbei berdaun kecil.
24
IV. KEADAAN UMUM LOKASI
4.1 Gambaran Umum Balai Persuteraan Alam
4.1.1 Kedudukan
Balai Persuteraan Alam merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT)
Direktorat Jenderal RLPS Departemen Kehutanan yang melaksanakan
kegiatan pembinaan persuteraan alam yang ditetapkan berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 664/Kpts-II/2002 tanggal 7 Maret
2002 dengan wilayah kerja meliputi Sulawesi dan sekitarnya.
4.1.2 Tugas Pokok Dan Fungsi
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 664/Kpts-
II/2002, Balai Persuteraan Alam mempunyai tugas pokok melaksanakan
penyusunan rencana pengembangan persuteraan alam, pemeliharaan bibit
induk ulat sutera, pengujian mutu, sertifikasi dan akreditasi lembaga
sertifikasi telur ulat sutera, serta pengelolaan sistem informasi persuteraan
alam.
Balai Persuteraan alam dalam melaksanakan tugas tersebut
menyelenggarakan fungsi :
a. penyusunan rencana pengembangan persuteraan alam
b. pemeliharaan bibit induk ulat sutera
c. pengujian mutu dan penerapan teknologi persuteraan alam
d. pemantauan produksi, peredaran dan distribusi bibit telur ulat sutera
e. pelaksanaan sertifikasi dan akreditasi lembaga sertifikasi ulat sutera
f. pengelolaan sistem informasi persuteraan alam
25
g. pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Balai
4.1.3 Organisasi
a. Struktur Organisasi
Gambar 3. Stuktur Organsisasi Balai Persuteraan Alam
b. Tugas Pokok dan Fungsi
Berdasarkan surat keputusan menteri kehutanan Nomor 664/Kpts-II/2002.
Balai Persuteraan alam mempunyai tugas pokok melaksanakan penyusunan
rencana pengembangan persuteraan alam, pemeliharaan bibit induk ulat sutera,
pengujian mutu, sertifikasi dan akreditasi lembanga sertifikasi telur ulat sutera,
serta pengelolaan system informasi persuteraan alam.
Dalam melaksanakan tugas tersebut, Balai persuteraan alam
menyelenggarakan fungsi:
1. Penyusunan rencana pengambangan pesuteraan alam.
2. Pengujian bibit induk ulat sutera.
KEPALA BALAI
Muchksin, S.Hut, M.Si
Kepala
Bagian Tata Usaha
Seksi
Kemitraan Lingkungan
Seksi
Tenurial dan Hutan Adat
Seksi
Penyiapan Kawasan Usaha
Pehutanan Sosiala
Kelompok Jabatan Nasional
26
3. Pengujian mutu dan penerapan teknologi persuteraan alam.
4. Pemantauan produksi, peredaran dan distribusi bibit telur ulat sutera.
5. Pelaksanaan sertifikasi dan akreditasi lembaga sertifikasi ulat sutera.
6. Pengololaan sistem informasi persuteraan alam.
7. Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga balai.
c. Sumber Daya Manusia
Dalam pelaksanaan tugasnya, Balai Persuteraan Alam hingga bulan
Mei 2009 mempunyai dengan pegawai sebanyak 105 orang yang terdiri dari
Pegawai Negeri Sipil sebanyak 100 orang dan tenaga honorer sebanyak 5
orang.
d. Sarana Prasarana
1) Bangunan kantor di Bili-Bili, Malino dan Pakatto (Kab. Gowa), Tajuncu
(Kab. Soppeng), Sabbangparu (Kab. Wajo), Datae (Kab. Sidrap) dan
Sudu (Kab. Enrekang)
2) Sarana pemeliharaan ulat sutera di Bili-Bili dan Malino (Kab. Gowa)
3) Kebun murbei untuk produksi daun dan penyediaan stek, di Bili-Bili,
Malino dan Pakatto (Kab. Gowa), Panjojo (Kab. Takalar), Tajuncu (Kab.
Soppeng), Sabbangparu (Kab. Wajo), Datae (Kab. Sidrap) dan
Tamangalle (Kab. Polman). Luas total kebun Murbei 48 Ha
4) Fasilitas refrigerator untuk penyimpanan telur ulat sutera dan kupu-kupu
5) Laboratorium hama penyakit, tanah dan pengawasan penyakit Pebrine
6) Fasilitas pengujian mutu kokon dan benang sutera
27
d. Wilayah Kerja
Balai Persuteraan Alam berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor :664/Kpts-II/2002 tanggal 7 Maret 2002 wilayah
kerjanya meliputi Sulawesi dan sekitarnya.
4.2 Perkembangan Kegiatan Persuteraan Alam Di Dalam Dan Di Luar Prov.
Sulawesi Selatan
4.2.1 Tanaman Murbei
Secara kumulatif luas tanaman murbei di Prop. Sulawesi Selatan s/d
Bulan Desember 2009 mencapai 2.386,80 Ha yang tersebar pada 11
kabupaten. Sementara itu jumlah tanaman di luar Prop. Sulawesi Selatan
Mencapai 1.397,3 Ha yang tersebar di 13 propinsi pengembangan. Jenis
tanaman murbei yang ditanam antara lain Morus nigra, Morus cathayana,
Morus alba, Morus multicaulis, Kanva, BNK 3 dan S.54. Sistem penanaman
masih dilakukan secara tradisional baik sebagai tanaman pekarangan,
tumpang sari maupun tanaman murni dan belum seluruhnya dikelola dengan
pola intensif.
Tabel 4. Data Luas Tanaman Murbei Per Kabupaten di Prop. Sulawesi
Selatan
No Kabupaten Luas Tanaman Murbei (Ha)
2005 2006 2007 2008 2009
1 Soppeng 405,00 426,00 520 610,75 610,75
2 Wajo 209,00 209,00 239,5 312,50 312,50
3 Sidrap 35,00 35,00 18,5 21,25 21,25
4 Barru 23,00 23,00 4,95 5,75 5,75
5 Bone 5,00 5,00
6 Enrekang 576,00 576,00 617,5 937,25 937,25
7 Tator 69,00 69,00 124,15 215,55 215,55
8 Polman 53,00 53,00 52 52 52
9 Luwu 0,00 0,00 2 27 27
10 Gowa 27,00 27,00 35,8 46,75 46,75
28
11 Sinjai 46,00 46,00 145 152 152
12 Bulukumba 0,00 0,00 4 4 4
13 Maros 13,00 13,00 2 2 2
JUMLAH 1.461,00 1.482,00 1.765,4 2.386,80 2.386,80
Sumber : Balai Perhutanan Sosial Dan Kemitraan Lingkungan
Tabel 5. Data Luas Tanaman Murbei Per Propinsi di Luar Prop. Sulawesi
Selatan
No Propinsi Luas Tanaman Murbei (Ha)
2005 2006 2007 2008 2009
1 Sulawesi Barat
52,00
2 Sulawesi Tenggara
4,75
3 Sulawesi Utara
246,00
4 Sulawesi Tengah
44,5
5 Jawa Barat 121 145 245 320,1 608,1
6 Jawa Tengah
273,00
7 DI Yogyakarta
19,00
8 NTT
95,5
9 Bali
10,4 10,4 32,45
10 NTB
8 8 8 12,00
11 Sumatera Barat
12 Sumatera Utara
10,00
13 Jawa Timur
Jumlah 121 153 255 320,1 1.397,3
Sumber : Balai Perhutanan Sosial Dan Kemitraan Lingkungan
4.2.2 Petani Budidaya Ulat Sutera
Jumlah petani yang terlibat dalam budidaya ulat sutera di Prop.
Sulawesi Selatan hingga bulan Desember 2009 sebanyak 3,558 KK yang
tersebar di 11 kabupaten. Sementara di luar Prop. Sulawesi Selatan, jumlah
petani mencapai 2.165 KK yang tersebar di 12 propinsi pengembangan.
Sistem pemeliharaan ulat sutera pada umumnya masih tradisional, kecuali
pada lokasi yang mendapat bantuan pemerintah. Pemeliharaan dilakukan
secara tradisional yaitu dengan memanfaatkan kolong rumah untuk ulat kecil,
29
bahkan tidak jarang dijumpai sistem pemeliharaan ulat kecil dan ulat besar
berdekatan, sehingga peluang terjadinya kontaminasi cukup besar.
Tabel 6. Data Perkembangan Jumlah Petani di Prop. Sulawesi Selatan
No Kabupaten Jumlah Petani (KK)
2005 2006 2007 2008 2009
1 Soppeng 625 625 758 758 758,00
2 Wajo 373 373 442 696 696,00
3 Sidrap 51 76 26 10 10,00
4 Barru 42 42 17 21 21,00
5 Bone 14 14 0
6 Enrekang 1.372 1.372 1.441 1.543 1.543
7 Tator 192 192 265 356 356,00
8 Polman 119 119 95
9 Luwu 0 0 2 32 32,00
10 Gowa 35 35 71 93 93,00
11 Sinjai 62 62 165 166 166,00
12 Bulukumba 0 0 25 25 25,00
13 Maros 26 26 2
JUMLAH 2.911 2.936 3.309 3.795 3.556
Sumber : Balai Perhutanan Sosial Dan Kemitraan Lingkungan
Tabel 7. Data Perkembangan Jumlah Petani di Luar Provinsi Sulawesi Selatan
No Propinsi Jumlah Petani (KK)
2005 2006 2007 2008 2009
1 Sulawesi Barat 119 119 95 120 120
2 Sulawesi Tenggara
12 10
3 Sulawesi Utara
22 22 22 22
4 Sulawesi Tengah
25 25
5 Jawa Barat
439 439 945 945
6 Jawa Tengah
390 390 588 588
7 DI Yogyakarta
60 60 134 134
8 NTT
129 129 170 170
9 Bali
0 77 98
10 NTB
0 0 15 15
11 Sumatera Barat
31
12 Sumatera Utara
22
Jumlah 119 1.159 1.135 2.108 2.165
Sumber : Balai Perhutanan Sosial Dan Kemitraan Lingkungan
30
4.2.3 Penyerapan Telur
Dalam mendukung budidaya ulat sutera petani di propinsi Sulawesi
Selatan pada umumnya telur ulat sutera disuplai dari KPSA Perum Perhutani
Soppeng, namun ada juga yang memesan ke PSA Candiroto. Sementara
untuk kebutuhan telur bagi petanidi luar Prop. Sulawesi Selatan sebagian
besar diambil dari PSA Candiroto. Dalam rangka mencegah serangan hama
dan penyakit, maka terhadap telur sebelum disalurkan ke masyarakat terlebih
dahulu dilakukan test Pebrine oleh Balai Persuteraan Alam.
Berdasarkan kapasitasnya, kedua produsen telur F1 belum dapat
mencapainya karena permintaan yang masih terbatas. Sebagai contoh, KPSA
Perum Perhutani Soppeng mampu menyiapkan telur sebanyak 60.000 boks
per tahun, namun kapasitas ini belum pernah dicapai karena terbatasnya
permintaan petani. Hingga bulan Desember 2009 penyerapan telur ke petani
kurang lebih 4.075 boks di 11 kabupaten di Prop. Sulawesi Selatan.
Tabel 8. Data Perkembangan jumlah penyerapan telur di Provinsi Sulawesi
Selatan 5 tahun terakhir
No Kabupaten Penyerapan Telur (Box)
2005 2006 2007 2008 2009
1 Soppeng 3.146 2.244 2.011,75 2.190 698,00
2 Wajo 2.446 2.044,75 1.196,25 1.321 502,25
3 Sidrap 77 34 19,5 1 8,00
4 Barru 48,5 13 12 2 3,50
5 Bone 5,5 0
6 Enrekang 8.098 6.741 9.125 4.546 2.641
7 Tator 481 254 378 217,5 148,5
8 Polman 72,5 82,50
9 Luwu 13 19 2
10 Gowa 86 70 1 2 0,75
11 Sinjai 19 18 20 20 9
12 Bulukumba 0 2
13 Maros 36,5 6 2
JUMLAH 14.442,5 11.424,75 12.849 8.401 4.075
Sumber : Balai Perhutanan Sosial Dan Kemitraan Lingkungan
31
Sementara data penyerapan telur untuk beberapa daerah/propinsi lain
di luar Prop. Sulawesi Selatan dapat dilihat pada Tabel 5. Selama tahun 2009
hingga bulan Desember 2009 penyerapan telur kurang lebih 2.260 boks untuk
12 propinsi pengembangan di luar Prop. Sulawesi Selatan.
Tabel 9. Data Perkembangan jumlah penyerapan telur di luar Prop. Sulawesi
Selatan 5 tahun terakhir
No Propinsi Jumlah Petani (KK)
2005 2006 2007 2008 2009
1 Sulawesi Barat 51,5 85,5 72,5 82,5 28,5
2 Sulawesi Tenggara
10
3 Sulawesi Utara
82
290 357
4 Sulawesi Tengah
16 4
5 Jawa Barat
412 833 431 818
6 Jawa Tengah
1.142 2.055 330 1.021
7 DI Yogyakarta
74 74 95 1
8 NTT
6 14 10
9 Bali
3 6 11,5
10 NTB
18 18
11 Sumatera Barat
13
12 Sumatera Utara
3
13 Jawa Timur
3
Jumlah 51,5 1.801,5 3.079,5 1.282,5 2.260
Sumber : Balai Perhutanan Sosial Dan Kemitraan Lingkungan
Selain bibit/telur ulat yang disiapkan oleh Perum Perhutani, saat ini
ada pula bibit yang disalurkan dari China yang belum mendapatkan legalitas
dari Pemerintah, sehingga untuk bibit ini tidak dilakukan uji sertifikasi oleh
Balai Persuteraan Alam.
4.2.4 Produksi Kokon Dan Benang Sutera
a. Produksi Kokon
1) Tingkat produksi kokon hasil pemeliharaan petani sutera dengan telur
F1 produksi Perum Perhutani masih sangat beragam, berkisar 25 – 33
kg per boks.
32
2) Produksi kokon sampai bulan Desember 2009 di Prop. Sulawesi Selatan
sebanyak 99.318,53 kg. Sementara di propinsi pengembangan yang lain
kurang lebih 67.800 boks.
b. Produksi Benang Sutera
Benang sutera (raw silk) yang dihasilkan terdiri dari hasil pintalan
rakyat/tradisional dan pintalan mesin/pabrik.
1) Kualitas benang sutera yang dihasilkan, khususnya pintalan rakyat,
masih relatif rendah dan harganya lebih rendah dibandingkan hasil
pintalan mesin.
2) Di Sulawesi Selatan belum tersedia pabrik pemintalan benang sutera
modern yang dapat menghasilkan benang sutera berkualitas tinggi.
3) Produksi benang sutera di Sulawesi Selatan sampai bulan Desember
2009 sebanyak 15.797,69 kg. Sementara di propinsi pengembangan
yang lain kurang lebih 8.271,94 kg.
Tabel 10. Data Produksi Kokon dan Produksi Benang Sulawesi Selatan tahun
2005 – 2009
No. Tahun Produksi Kokon (kg) Produksi Benang (kg)
1. 2005 418.276 58.949
2. 2006 305.657 43.507
3. 2007 372.063,37 54.923
4. 2008 241.007,54 31.969,99
5. 2009 99.318,53 15.797,69
Sumber : Balai Perhutanan Sosial Dan Kemitraan Lingkungan
Tabel 8. Data Produksi Kokon dan Produksi Benang di Propinsi luar Sulawesi
Selatan tahun 2005 – 2009
No. Tahun Produksi Kokon (kg) Produksi Benang (kg)
1. 2005 1.505 200
2. 2006 34.970,3 3.408,68
3. 2007 87.375 10.660,2
4. 2008 34.647,56 4.076,26
5. 2009 67.800 8.271,94
Sumber : Balai Perhutanan Sosial Dan Kemitraan Lingkungan
33
c. Perkembangan Harga
1) Harga telur ulat sutera F1 produksi KPSA Perum Perhutani Soppeng
saat ini adalah Rp. 80.000,- per boks (belum termasuk PPn 10 %),
sementara produksi PSA CandirotoRp. 40.000 dengan jumlah telur +
25.000 butir per boks.
2) Harga kokon masih berfluktuasi, saat ini berkisar Rp 20.000,- Rp
27.000,- per kilogram.
3) Harga benang sutera saat ini berkisar antara Rp 225.000,- Rp
250.000,- per kilogram.
4.3 Rencana Pengembangan Persuteraan Alam Di Prov. Sulawesi Selatan
Pada tahun 2008, Balai Persuteraan Alam telah menyusun Rencana
Pengembangan Persuteraan Alam di Prop. Sulawesi Selatan. Dalam Rencana
Pengembangan ini tercantum antara lain target sasaran pengembangan
persuteraan alam baik di sektor hulu maupun hilir pada tahun 2010.
Target pengembangan produk sutera hulu dan hilir dalam skala nasional
ditampilkan pada Tabel berikut :
Tabel 11. Target Sasaran Pengembangan Produk Sutera Hulu (Nasional )
No Uraian Tahun 2005 Tahun 2010
1 Petani (KK) 6.342 13.235
2 Tanaman Murbei (Ha) 4.695 12.250
3 Produksi Kokon (Ton) 491 5.000
4 Penyerapan Tenaga Kerja (orang) 18.780 49.000
Sumber : Balai Perhutanan Sosial Dan Kemitraan Lingkungan
34
Tabel 12. Target Sasaran Pengembangan Produk Sutera Hilir ( Nasional )
No Uraian Tahun 2005 Tahun 2010
1 Produksi Benang Sutera DN (Ton) 81,2 625
2 Kebutuhan Benang sutera (Ton) 700 900
3 Import Benang sutera (Ton) 618,8 275
4 Kain sutera (juta meter) 6,18 44
5 Tenaga Kerja (orang) 207.120 235.868
6 Eksport (US $.000) 8.555 15.087
Sumber : Balai Perhutanan Sosial Dan Kemitraan Lingkungan
Pencapaian target pengembangan baik di sektor hulu maupun hilir
dapat dilaksanakan dengan mempertimbangkan dan memanfaatkan berbagai
peluang dan potensi yang ada. Beberapa peluang pengembangan persuteraan
alam antara lain adalah:
a. Kebutuhan benang sutera secara Nasional masih banyak bergantung dari
produk benang sutera dari luar
b. Saat ini banyak negara maju yang mengalihkan usahanya ke Industri
termasuk China sehingga produsen kokon dan benang dari masyarakat
cenderung menurun
c. Padat karya dan membuka lapangan kerja, utamanya tenaga keluarga dan
kaum ibu
Sementara itu potensi pengembangan persuteraan alam di Indonesia
antara lain:
a. Kegiatan persuteraan alam telah membudaya di Sulawesi Selatan, Sulawesi
Barat dan beberapa tempat di Jawa Barat.
b. Pada saat ini berkembang kegiatan persuteraan alam di Jawa Tengah, Bali,
NTT, NTB, Sulut, Sultra, Sulteng, Sumbar, Sumut dan Lampung.
35
c. Tersedia 39 jenis induk sebagai induk inti dan yang layak dikembangkan
Ras Jepang (BN 18; BN 16) dan Ras China (BC 117; BC 107) yang
dicirikan berat kokon >1,6 gr, jumlah telur 450 – 500 butir, umur 21 – 23
hari dan persentase kulit 23 %
d. Terdapat jenis spesifik dengan warna kokon kuning yaitu lokal kuning dan
kuning muda jenis Daizo
e. Pada saat ini telah dilaunching jenis BS 07, 09 dan 10, namun hanya BS 09
yang segera dikembangkan
f. Permintaan bahan baku benang sutera cenderung meningkat baik di
Sulawesi Selatan maupun di Jawa dan Bali.
36
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Daya Tetas Telur
Hasil penelitian menunjukkan bahwa daya tetas telur ulat sutera yang
diberi pakan murbei jenis Morus indica sebesar 96.33% sedangkan yang diberi
pakan Morus multicaulis sebesar 98.20%. Untuk melihat perbedaan daya tetas
telur ulat sutera yang diberi pakan murbei jenis Morus indica dan Morus
multicaulis maka dilakukan uji t dan disajikan pada Tabel 11.
Tabel 13. Hasil Uji t Perbedaan Persentase Data Tetas Telur Ulat Sutera yang
diberi pakan Morus indica dan Morus multicaulis
Group Statistics
Perlakuan N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Daya tetas telur Morus indica 5 96.3340 0.91470 0.40907
Morus multicaulis 5 98.2000 0.69203 0.30948**
Ket: tn Tidak Nyata
*Nyata
**Sangat Nyata
Hasil uji seperti pada Tabel 11 diatas menunjukkan bahwa daya tetas telur
ulat sutera yang diberi pakan Morus indica berbeda sangat nyata dengan daya
tetas ulat sutera yang diberi pakan Morus multicaulis pada taraf nyata 5%. Hal ini
menunjukkan daya tetas telur ulat sutera yang diberi pakan Morus indica lebih
tinggi dibandingkan dengan daya tetas ulat sutera yang diberi pakan Morus
multicaulis. Daun murbei jenis Morus indica mengandung karbohidrat, lemak dan
protein yang tinggi dan sangat dibutuhkan untuk perkembangan ulat sutera, serta
sumber energi untuk pembentukan lipid dan asam amino dalam meningkatkan
daya tetas telur. (Hamamura, 2001).
37
Gambar 4. Daya Tetas Telur Ulat Sutera Yang Diberi Pakan Murbei Jenis Morus
indica dan Morus multicaulis
5.2 Mortalitas Ulat Kecil
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mortalitas ulat kecil yang diberi
pakan murbei jenis Morus indica sebesar 2.23% sedangkan yang diberi pakan
Morus multicaulis sebesar 2.58%. Untuk melihat perbedaan mortalitas ulat kecil
yang diberi pakan murbei jenis Morus indica dan Morus multicaulis maka
dilakukan uji t dan disajikan pada Tabel 12.
Tabel 14. Hasil Uji t Perbedaan Mortalitas Ulat Kecil dari Ulat Sutera yang diberi
pakan Morus indica dan Morus multicaulis
Group Statistics
Perlakuan N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Motalitas ulat kecil Morus indica 5 2.2260 0.37340 0.16699tn
Morus multicaulis 5 2.5760 0.29441 0.13167
Ket: tn Tidak Nyata
*Nyata
**Sangat Nyata
Hasil uji seperti pada Tabel 12 diatas menunjukkan bahwa mortalitas ulat
kecil yang diberi pakan Morus indica berbeda tidak nyata dengan mortalitas ulat
kecil yang diberi pakan Morus multicaulis pada taraf nyata 5%. Hal ini
96,33 98,20
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
90,00
100,00
Morus indica Morus multicaulis
Day
a T
etas
Tel
ur
(%)
Jenis Pakan Murbei
Daya Tetas Telur (%)
38
menunjukkan mortalitas ulat kecil yang diberi pakan Morus indica relatif sama
dibandingkan dengan mortalitas ulat kecil yang diberi pakan Morus multicaulis.
Gambar 5. Daya Mortalitas Ulat Kecil Yang Diberi Pakan Murbei Jenis Morus
indica dan Morus multicaulis
5.3 Mortalitas Ulat Besar
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mortalitas ulat besar yang diberi
pakan murbei jenis Morus indica sebesar 2.61% sedangkan yang diberi pakan
Morus multicaulis sebesar 2.16%. Untuk melihat perbedaan mortalitas ulat besar
yang diberi pakan murbei jenis Morus indica dan Morus multicaulis maka
dilakukan uji t dan disajikan pada Tabel 13.
Tabel 15. Hasil Uji t Perbedaan Mortalitas Ulat Besar dari Ulat Sutera yang diberi
pakan Morus indica dan Morus multicaulis
Group Statistics
Perlakuan N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Mortalitas ulat besar Morus indica 5 2.6140 0.41156 0.18405tn
Morus multicaulis 5 2.1560 0.29424 0.13159
Ket: tn Tidak Nyata
*Nyata
**Sangat Nyata
2,23 2,58
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
3,00
3,50
4,00
4,50
5,00
Morus indica Morus multicaulis
Day
a T
etas
Tel
ur
(%)
Jenis Pakan Murbei
Mortalitas Ulat Kecil (%)
39
Hasil uji seperti pada Tabel 13 diatas menunjukkan bahwa mortalitas ulat
besar yang diberi pakan Morus indica berbeda tidak nyata dengan mortalitas ulat
besar yang diberi pakan Morus multicaulis pada taraf nyata 5%. Hal ini
menunjukkan mortalitas ulat besar yang diberi pakan Morus indica relatif sama
dibandingkan dengan mortalitas ulat besar yang diberi pakan Morus multicaulis.
Kandungan gizi daun murbei secara umum meliputi unsur air, protein,
karbohidrat, dan kalsium. Morus Multicaulis merupakan jenis murbei yang
produksi gizinya tinggi. Dalam perkembangan ulat membutuhkan gizi yang tinggi
agar tingkat kematian menjadi rendah. (Andadari, 2013)
Gambar 6. Daya Mortalitas Ulat Besar Yang Diberi Pakan Murbei Jenis Morus
indica dan Morus Multicaulis
5.4 Persentase Ulat Mengokon
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase ulat mengokon yang
diberi pakan murbei jenis Morus indica sebesar 98.43% sedangkan yang diberi
pakan Morus multicaulis sebesar 98.25%. Untuk melihat perbedaan persentase
ulat mengokon yang diberi pakan murbei jenis Morus indica dan Morus
multicaulis maka dilakukan uji t dan disajikan pada Tabel 14.
2,61 2,16
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Morus indica Morus multicaulis
Day
a Te
tas
Telu
r (%
)
Jenis Pakan Murbei
Mortalitas Ulat Besar (%)
40
Tabel 16. Hasil Uji t Perbedaan Persentase Ulat Mengokon dari Ulat Sutera yang
diberi pakan Morus indica dan Morus multicaulis
Group Statistics
Perlakuan N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Persentase ulat mengokon Morus indica 5 98.4260 0.71863 0.32138tn
Morus multicaulis 5 98.2500 0.48332 0.21615
Ket: tn Tidak Nyata
*Nyata
**Sangat Nyata
Hasil uji seperti pada Tabel 14 diatas menunjukkan bahwa persentase ulat
mengokon yang diberi pakan Morus indica berbeda tidak nyata dengan persentase
ulat mengokon yang diberi pakan Morus multicaulis pada taraf nyata 5%. Hal ini
menunjukkan persentase ulat mengokon yang diberi pakan Morus indica relatif
sama dibandingkan dengan persentase ulat mengokon yang diberi pakan Morus
multicaulis.
Gambar 7. Daya Persentase Ulat Mengokon Yang Diberi Pakan Murbei Jenis
Morus indica dan Morus multicaulis
98,43 98,25
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
90,00
100,00
Morus indica Morus multicaulis
Day
a Te
tas
Telu
r (%
)
Jenis Pakan Murbei
Persentase Ulat mengokon (%)
41
5.5 Persentase Kokon Normal
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase kokon normal yang diberi
pakan murbei jenis Morus indica sebesar 97.80% sedangkan yang diberi pakan
Morus multicaulis sebesar 97.25%. Untuk melihat perbedaan persentase kokon
normal yang diberi pakan murbei jenis Morus indica dan Morus multicaulis maka
dilakukan uji t dan disajikan pada Tabel 15.
Tabel 17. Hasil Uji t Perbedaan Persentase Kokon Normal dari Ulat Sutera yang
diberi pakan Morus indica dan Morus multicaulis
Group Statistics
Perlakuan N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Persentase kokon normal Morus indica 5 97.7980 0.40326 0.18034tn
Morus multicaulis 5 97.2500 0.41292 0.18466
Ket: tn Tidak Nyata
*Nyata
**Sangat Nyata
Hasil uji seperti pada Tabel 15 menunjukkan bahwa persentase kokon
normal yang diberi pakan Morus indica berbeda tidak nyata dengan persentase
kokon normal yang diberi pakan Morus multicaulis pada taraf nyata 5%. Hal ini
menunjukkan persentase kokon normal yang diberi pakan Morus indica relatif
sama dibandingkan dengan persentase kokon normal yang diberi pakan Morus
multicaulis.
42
Gambar 8. Daya Persentase Kokon Normal Yang Diberi Pakan Murbei Jenis
Morus indica dan Morus multicaulis
5.6 Persentase Kulit Kokon
Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase kulit kokon yang diberi
pakan murbei jenis Morus indica sebesar 96.33% sedangkan yang diberi pakan
Morus multicaulis sebesar 98.20%. Untuk melihat perbedaan persentase kulit
kokon yang diberi pakan murbei jenis Morus indica dan Morus multicaulis maka
dilakukan uji t dan disajikan pada Tabel 16.
Tabel 18. Hasil Uji t Perbedaan Persentase Kulit Kokon dari Ulat Sutera yang
diberi pakan Morus indica dan Morus multicaulis
Group Statistics
Perlakuan N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Persentase kulit kokon Morus indica 5 44.1560 3.19315 1.42802
Morus multicaulis 5 48.5900 2.50819 1.12170**
Ket: tn Tidak Nyata
*Nyata
**Sangat Nyata
Hasil uji seperti pada Tabel 16 menunjukkan bahwa persentase kulit kokon
yang diberi pakan Morus indica berbeda sangat nyata dengan persentase kulit
kokon yang diberi pakan Morus multicaulis pada taraf nyata 5%. Hal ini
97,80 97,25
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
90,00
100,00
Morus indica Morus multicaulis
Day
a Te
tas
Telu
r (%
)
Jenis Pakan Murbei
Persentase Kokon Normal (%)
43
menunjukkan persentase kulit kokon yang diberi pakan Morus indica lebih tinggi
dibandingkan dengan persentase kulit kokon yang diberi pakan Morus multicaulis.
Gambar 9. Persentase Kulit Kokon Yang Diberi Pakan Murbei Jenis Morus
indica dan Morus multicaulis
44,16
48,59
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
30,00
35,00
40,00
45,00
50,00
Morus indica Morus multicaulis
Day
a Te
tas
Telu
r (%
)
Jenis Pakan Murbei
Persentase Kulit Kokon (%)
44
VI. PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Terdapat perbedaan kualitas kokon dan serat sutera yang diberi pakan
murbei jenis Morus multicaulis dan Morus indica di Balai Perhutanan Sosial dan
Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Wilayah Sulawesi. Pemberian pakan murbei
jenis Morus multicaulis menghasilkan daya tetas telur dan persentase kulit kokon
lebih tinggi dibandingkan dengan Morus indica, namun menghasilkan mortalitas
ulat kecil, mortalitas ulat besar, persentase ulat mengokon, persentase kokon
normal relatif sama.
6.2. Saran
Murbei jenis Morus multicaulis perlu dikembangkan dan dibudidayakan
sebagai pakan ulat sutera karena menghasilkan kualitas kokon dan serat sutera
yang lebih baik.
45
DAFTAR PUSTAKA
Andadari, L., Minarningsih, M., & Dewi, R. (2017). The Effect Of Mulberry
Types On The Productivity Of Cocoon Of Two Bombyx mori L Silkworm
Hybrids. Widyariset, 3(2), 119-130.
Andadari, L., 2013, Budidaya Murbei dan Ulat Sutera, Pusat Litbang Peningkatan
Produktivitas Hutan, Firda Fress.
(BPA) Balai Persuteraan Alam. 2015. Booklet Budidaya Alam : Bili-Bili Hal 11-
15.
(BPA) Balai Persuteraan Alam. 2015. Sejarah Balai Persuteraan Alam : Bili-Bili
Hal 13-20.
Budisantoso, H. S. 1994. Pengeringan dan Penyimpanan Kokon Sutera. Badan
Penelitian Kehutanan. Ujung Pandang. Departemen Kehutanan. Informasi
Teknis. No. 3.
Datta, R. K., A. Sarkar., P. Rama Mohan Mao and N. R. Singhvi. 2002. The
Forage Potential for Some Mulberry Clone in Brazil. In: Mulberry for
Animal Production (Ed. Sanchez, M.D). Animal Production and Halth
Paper No. 147. FAO, Rome, Italy. PP. 157-163.
Guntoro, S. 1994. Budidaya Ulat Sutera Kanisius. Yogyakarta.
H. Soekiman Atmosoedarjo, dkk. 2000. Sutera Alam Indonesia. Yayasan Wana
Jaya. CV. Indonesia Prima. Jakarta.
JOCV, 1975. Text Book of Tropical Sericulture. Japan Overseas Coorperation
Volunteers. Hiroo, Sibuya-ku, Tokyo.
Katsumata, F., 1964. Petunjuk Sederhana bagi Pemeliharaan Ulat Sutera. Tokyo.
Krisnawami, S., M. Narasimhana dan Suryanarayan, 1973. Silkworm rearing.
Manual on Sericulture. Agriculture Seri. Bull. 15:71-73.
Peraturan Menteri Kehutanan No. 35/Menhut-II/2007, Tentang Hasil Hutan
Bukan Kayu. Jakarta.
Peraturan Menteri Kehutanan No. P 46/Menhut-II/2009, Tentang Tata Cara
Pemberian Izin Pemungutan Hasil Hutan. Jakarta
Purwanti, R. 2007. Respon Pertumbuhan dan Kualitas Kokon Ulat Sutera
(Bombyx mori L.) dengan Rasio Pemberian Pakan yang Berbeda. Skripsi.
IPB. Bogor Hlm. 19-37.
Rahma, F. 2017. Pertumbuhan dan kualitas Kokon Ulat Sutera (Bombyx mori)
dengan Pemberian Pakan Daun Murbei (Morus Chatayana) dan Murbei
Hibrid Suli-01. Program Studi Biologi, FMIPA, Universitas
Pakuan.Bokon.
Samsijah dan L. Andadari, 1995. Petunjuk Teknis Budaya Ulat Sutera (Bombyx
mori L.). Dephut., badan Penelitian dan Pengembangan Hutan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
Samsijah dan S. Kusumaputera. 1975. Pemeliharaan Ulat Sutera (Bombyx mori
L.). Kertas Kerja pada Kongres biologi IV. Lembaga Penelitian Hutan.
Bogor
Sampe, B. 1991. Pengaruh Beberapa Macam Alat Pengokonan Terhadap Kualitas
Kokon. Buletin Penelitian Hutan. 541: 11-15.
Sanchez, M. D. 2002. World Distribution and Utilization of Mulberry and is
Potential for Animal Feeding. In : Mulberry for Animal Production (Ed.
46
Sanchez, M.D). Animal production and Health Paper No. 147. FAO.
Rome, Italy. Pp. 1-9.
Sigh R., J, Nagraju, and R. Vijayaraghavan. 1989. Studies on the Inheritance of
Trimoulters in the Silkworm, Bombyx mori. Curr. Sei., 58 : 324-326.
Sihombing, 2011. Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Oleh Masyarakat Desa
Sekitar Hutan di IUPHHK-HA PT Ratah Timber Samarindah
Kalimantan Timur. Skripsi Departemen Manajemen Hutan Fakultas
Kehutanan IPB. Bogor.
Sunanto, H. 1997. Budidaya Murbei Dan Persuteraan Alam. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Tazima, Y. 1978. A View Point on Tte Improvement of My Sure Breeds. Paper
Presented at Internasional Conggres for Tropical Sericulture, Bangalore,
India.
Undang – Undang tentang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999.
Wageansyah, R. 2007. Pengaruh Pemberian Berbagai Jenis Murbei (Morus spp.)
Terhadap Pertumbuhan Ulat Sutera (Bombyx mori L.) dan Kualitas
Kokon di Pusat Serikultur Sukamantri Bogor. Skripsi. IPB. Bogor. Hlm.
3-15.
Ye, Z. 2002. Factors Influencing Mulberry Leaf Yield. In: Mulberry for Animal
Production (Ed. Sanchez, M.D). Animal Production and Healt paper No.
147. FAO, Rome, Italy. Pp. 123-124.
Yulistiani,2012. Tanaman murbei sebagai Sumber Protein Hijauan Pakan Domba
dan Kambing. Balai Penelitian Ternak. Bogor.
47
LAMPIRAN
Lampiran 1. Data Pengamatan Ketahanan Tubuh Ulat, Data Pengamatan Hasil Panen
Kokon dan Persentase Kulit Kokon.
No Jenis Ulangan Jumlah
Telur
Telur
Menetas
Ulat
Kecil
Mortalitas
Ulat Kecil
(%)
Ulat
Besar
Mortalitas
Ulat
Besar (%)
Ulat Yang
Dikokonkan
Kokon
Yang
Dipanen
Presentase
Ulat
Mengokon
(%)
1
Indica
1 300 290 285 1,79 277 2,80 269 262 97,39
2 300 286 280 2,09 274 2,14 266 264 99,24
3 300 289 283 2,09 276 2,47 270 267 98,88
4 300 293 286 2,38 279 2,44 273 269 98,53
5 300 287 279 2,78 270 3,22 262 257 98,09
Jumlah 1500
1413 1376 1340 1319 492,13
Rata-rata 98,426
2
Multicaulis
1 300 296 288 2,70 281 2,43 275 271 98,54
2 300 293 285 2,73 278 2,45 273 268 98,16
3 300 295 287 2,71 282 1,74 277 273 98,55
4 300 292 286 2,05 280 2,09 274 267 97,44
5 300 297 289 2,69 283 2,07 278 274 98,56
Jumlah 1500 1473 1435 1404 1377 1353 491,25
Rata-rata 98,25
No Jenis Ulangan
Kokon
Normal
Kokon Cacat Jumlah
kokon
Persentase Kokon
Normal (%)
1
Indica
Dobel Tipis
1 255 4 3 262 97,32
2 258 2 4 264 97,72
3 261 3 3 267 97,75
4 263 4 2 269 97,76
5 253 1 3 257 98,44
Jumlah 1290 14 15 1319 488,99
Rata-rata 97,79
2
Multicaulis
1 263 5 3 271 97,04
2 261 3 4 268 97,38
3 264 4 5 273 96,7
4 255 2 5 262 97,32
5 268 3 3 274 97,81
Jumlah 1311 17 20 1348 486,25
Rata-rata 97,25
48
No Jenis Pakan Bobot
Kokon
Bobot Kulit
Kokon
Persentase Kulit
Kokon
1 Indica 0,682 0,337 49,41%
2 Indica 0,644 0,269 41,77%
3 Indica 0,787 0,352 44,72%
4 Indica 0,77 0,333 43,24%
5 Indica 0,634 0,264 41,64%
Rata-rata 44,16%
No Jenis Pakan Bobot
Kokon
Bobot Kulit
Kokon
Persentase Kulit
Kokon
1 Multicaulis 0,676 0,34 50,29%
2 Multicaulis 0,634 0,308 48,58%
3 Multicaulis 0,807 0,358 44,36%
4 Multicaulis 0,613 0,301 49,10%
5 Multicaulis 0,721 0,365 50,62%
Rata-rata 48,59%
Lampiran 2. Data Releeng
KODE SAMPEL
Indica C
NO PANJANG KOKON YANG KOKON SISA
DATA KOKON DAN
BENANG
BENANG
(m)
DIGUNAKAN
(butir) JENIS JUMLAH YANG DIAMATI
2931 53 UTUH Jumlah Kokon (butir) : 50
TEBAL 5
SEDANG 3 Berat Kokon (gr) : 30,933
TIPIS 1
Jumlah JUMLAH 9 Berat Benang (gr) : 4,414
PANJANG SERAT : 616,663 m RENDEMEN SERAT
: 30,110 %
DAYA GULUNG : 93,688 % BESAR SERAT : 1,4 d
BERAT SERAT : 0,099 gr GRADE :
49
KODE SAMPEL : Multicaulis C
NO PANJANG KOKON YANG KOKON SISA
DATA KOKON DAN
BENANG
BENANG
(m)
DIGUNAKAN
(butir) JENIS JUMLAH YANG DIAMATI
3030 53 UTUH Jumlah Kokon (butir) :
50 TEBAL 3
SEDANG 2 Berat Kokon (gr) :
33,069 TIPIS 3
Jumlah JUMLAH 8 Berat Benang (gr) :
4,547
PANJANG SERAT : 653,299 m RENDEMEN SERAT : 23,245 %
DAYA GULUNG : 93,925 % BESAR SERAT : 1,351 d
BERAT SERAT : 0,098 gr GRADE :
Lampiran 3. Data Pemintalan Serat
NO KODE Panjang
sebelum
(x1,125m)
PANJANG JUMLAH BERAT REELABILITY RENDEMEN BERAT
SAMPEL
SERAT
(m)
PUTUS
(kali)
SERAT
(gr) (%) SERAT (%)
KOKO
N (gr)
1 Indica A 890 1001,25 3 0,264 25 129965,547 0,685
2 Indica A 950 1068,75 7 0,279 13 356,094 0,64
3 Indica A 833 937,125 - 0,263 294,761 1,107
4 Indica A 828 931,5 - 0,277 605,807 0,706
5 Indica A 1101 1238,625 2 0,294 33,333 870,724 0,608
JUMLAH 5177 12 1,377 70,833 132092,933 3,746
RATA-RATA 1035,450 6 0,2754 14,167 26418,587 0,749
NO KODE Panjang
sebelum
(x1,125m)
PANJANG JUMLAH BERAT REELABILITY RENDEMEN BERAT
SAMPEL
SERAT
(m)
PUTUS
(kali)
SERAT
(gr) (%) SERAT (%) KOKON (gr)
1 Indica B 678 762,75 3 0,237 25 93292,572 0,727
2 Indica B 937 1054,125 2 0,245 33 411,172 0,546
3 Indica B 831 934,875 1 0,21 640,719 0,501
4 Indica B 691 777,375 1 0,192 777,737 0,539
5 Indica B 894 1005,75 2 0,198 33,333 993,881 0,523
JUMLAH 4535 9 1,082 91,667 96116,081 2,836
RATA-RATA 906,975 4,5 0,2164 18,333 19223,216 0,567
NO KODE Panjang
sebelum
(x1,125m)
PANJANG JUMLAH BERAT REELABILITY RENDEMEN BERAT
SAMPEL
SERAT
(m)
PUTUS
(kali)
SERAT
(gr) (%) SERAT (%)
KOKON
(gr)
1 Multicaulis A 924 1039,5 10 0,247 9 153274,793 0,603
2 Multicaulis A 955 1074,375 6 0,259 14 42,045 0,616
3 Multicaulis A 577 649,125 5 0,214 17 31,424 0,681
4 Multicaulis A 883 993,375 - 0,287 - 37,321 0,769
5 Multicaulis A 546 614,25 8 0,185 11 23,779 0,778
JUMLAH 3885 4371 29 1,192 51,154 153409,363 3,447
RATA-RATA 777 874,125 14,5 0,2384 10,231 30681,873 0,689
50
NO KODE Panjang
sebelum
(x1,125m)
PANJANG JUMLAH BERAT REELABILITY RENDEMEN BERAT
SAMPEL SERAT (m)
PUTUS
(kali)
SERAT
(gr) (%) SERAT (%) KOKON (gr)
1 Multicaulis B 744 837 2 0,257 33 103082,687 0,722
2 Multicaulis B 721 811,125 5 0,226 17 79781,637 0,904
3 Multicaulis B 915 1029,375 1 0,271 50 138887,860 0,659
4 Multicaulis B 883 993,375 2 0,290 33 122001,381 0,724
5 Multicaulis B 1025 1153,125 2 0,34 33 114563,128 0,895
JUMLAH 4288 4824 12 1,384 166,667 558316,694 3,904
RATA-RATA 857,6 964,800 6 0,2768 33,333 111663,339 0,781
Lampiran 4. Hasil Uji t Perbedaan Persentase Daya Tetas Telur Ulat Sutera yang
diberi pakan Morus indica dan Morus multicaulis
Group Statistics
Perlakuan N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Daya tetas telur Morus indica 5 96.3340 .91470 .40907
Morus multicaulis 5 98.2000 .69203 .30948
Lampiran 5. Uji t Perbedaan Mortalitas Ulat Kecil dari Ulat Sutera yang diberi
pakan Morus indica dan Morus multicaulis
Group Statistics
Perlakuan N Mean Std. Deviat ion Std. Error Mean
Mortalitas ulat kecil Morus indica 5 2.2260 .37340 .16699
Morus multicaulis 5 2.5760 .29441 .13167
51
Lampiran 6. Hasil Uji t Perbedaan Mortalitas Ulat Besar dari Ulat Sutera yang
diberi pakan Morus indica dan Morus multicaulis
Group Statistics
Perlakuan N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Mortalitas ulat besar Morus indica 5 2.6140 .41156 .18405
Morus multicaulis 5 2.1560 .29424 .13159
Lampiran 7. Hasil Uji t Perbedaan Persentase Ulat Mengokon dari Ulat Sutera
yang diberi pakan Morus indica dan Morus multicaulis
Group Statistics
Perlakuan N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Persentase ulat mengokon Morus indica 5 98.4260 .71863 .32138
Morus multicaulis 5 98.2500 .48332 .21615
Lampiran 8. Hasil Uji t Perbedaan Persentase Kokon Normal dari Ulat Sutera
yang diberi pakan Morus indica dan Morus multicaulis
Group Statistics
Perlakuan N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Persentase kokon normal Morus indica 5 97.7980 .40326 .18034
Morus multicaulis 5 97.2500 .41292 .18466
52
Lampiran 9. Hasil Uji t Perbedaan Persentase Kulit Kokon dari Ulat Sutera yang
diberi pakan Morus indica dan Morus multicaulis
Group Statistics
Perlakuan N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
Persentase kulit kokon Morus indica 5 44.1560 3.19315 1.42802
Morus multicaulis 5 48.5900 2.50819 1.12170
Lampiran 10. Dokumentasi Kegiatan
Telur dan Proses Inkubasi
53
Telur yang Telah Menetas dan Pemberian Pakan
Ulat Kecil dan Ulat Besar
54
Proses Pengokonan
Panen Kokon, Flossing dan Seleksi Kokon
55
Hasil Panen Kokon dan Proses Pemintalan
56
Lampiran 11. Surat Izin Penelitian
57
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Ujung Pandang 17 Desember 1996. Penulis
merupakan anak ke tiga dari tiga bersaudara dan
merupakan buah hati dari pasangan Ahmad Dg Mile dan
Fatmawati. Jenjang pendidikan penulis yang ditempuh
yaitu masuk ke SDN Paccinongang Unggulan tahun 2003
sampai 2009. Kemudian pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di
SMPN 3 Sungguminasa dan tamat pada tahun 2012. Kemudian pada tahun yang
sama penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 2 Sungguminasa (Sekarang
SMAN 3 Gowa) dan tamat pada tahun 2015. Kemudian pada tahun 2015 penulis
lulus pada Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah
Makassar program strata 1 (S1).