Laporan Rumah Sutera

37
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sutera alam merupakan salah satu subsektor agro- industri yang memiliki potensi untuk dikembangkan karena memiliki berbagai keunggulan yaitu seluruh bahan baku tersedia dan berasal dari sumber daya alam lokal. Berdasarkan sistem agribisnis, sutera alam merupakan kegiatan dengan rangkaian usaha yang cukup panjang, menjadi bagian dari pengembangan di bidang pertanian dan kehutanan yang dikaitkan dengan kegiatan agroindustri. Kegiatan usaha sutera alam terbagi dalam dua segmen, yaitu produksi bahan mentah dalam hal ini kepompong ulat sutera (kokon) yang disebut industri hulu dan segmen produksi pengelolaan bahan mentah menjadi bahan baku industri dalam hal ini benang sutera dan pengelolaan bahan baku (benang sutera) menjadi hasil jadi kain sutera yang disebut industri hilir. Produk berbasis sutera alam memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Hal itu dikarenakan selain teknologi yang digunakan relatif sederhana, kegiatan sutera alam bersifat padat karya yaitu hasil dari keterampilan tangan dan dapat menjadi sumber pendapatan masyarakat, sehingga kegiatan ini merupakan salah satu alternatif untuk meningkatkan peranan sektor pertanian dan kehutanan dalam mendorong perekonomian masyarakat. Produk benang sutera merupakan komoditas ekspor yang menjadi bahan baku industri lain di dalam maupun luar negeri, sehingga dapat meningkatkan devisa, menyerap tenaga

Transcript of Laporan Rumah Sutera

Page 1: Laporan Rumah Sutera

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sutera alam merupakan salah satu subsektor agro-industri yang memiliki

potensi untuk dikembangkan karena memiliki berbagai keunggulan yaitu seluruh bahan

baku tersedia dan berasal dari sumber daya alam lokal. Berdasarkan sistem agribisnis,

sutera alam merupakan kegiatan dengan rangkaian usaha yang cukup panjang, menjadi

bagian dari pengembangan di bidang pertanian dan kehutanan yang dikaitkan dengan

kegiatan agroindustri. Kegiatan usaha sutera alam terbagi dalam dua segmen, yaitu

produksi bahan mentah dalam hal ini kepompong ulat sutera (kokon) yang disebut

industri hulu dan segmen produksi pengelolaan bahan mentah menjadi bahan baku

industri dalam hal ini benang sutera dan pengelolaan bahan baku (benang sutera) menjadi

hasil jadi kain sutera yang disebut industri hilir.

Produk berbasis sutera alam memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Hal itu

dikarenakan selain teknologi yang digunakan relatif sederhana, kegiatan sutera alam

bersifat padat karya yaitu hasil dari keterampilan tangan dan dapat menjadi sumber

pendapatan masyarakat, sehingga kegiatan ini merupakan salah satu alternatif untuk

meningkatkan peranan sektor pertanian dan kehutanan dalam mendorong perekonomian

masyarakat. Produk benang sutera merupakan komoditas ekspor yang menjadi bahan

baku industri lain di dalam maupun luar negeri, sehingga dapat meningkatkan devisa,

menyerap tenaga kerja, dan memiliki keterkaitan yang erat dengan sektor atau subsektor

lain diluar subsektor agroindustri.

Volume impor sutera alam dari berbagai negara produsen sutera seperti China,

India, Jepang, Korea dan Brazil lebih banyak pada hasil budidaya ulat sutera (produksi

kokon) dan benang sutera. Kenyataan ini sangat bertolak belakang dengan potensi

sumber daya alam yang menunjang bagi pengembangan budidaya murbei dan

pemeliharaan kokon di Indonesia. Dengan demikian pasar bagi pemenuhan kebutuhan

kokon dan benang dalam negeri masih terbuka.

Peningkatan permintaan produk sutera alam dunia merupakan peluang bagi

Indonesia untuk memproduksi sutera alam yang lebih optimal. Ekspor sutera alam

Indonesia saat ini telah mencakup berbagai negara, antara lain : Malaysia, Jepang, Turki,

Yunani, Jerman, Amerika dan Spanyol.

Page 2: Laporan Rumah Sutera

Ekspor yang berkembang positif karena adanya permintaan produk sutera yang

meningkat dan potensi pasar dunia yang cukup besar merupakan momentum dan peluang

bagi Indonesia untuk memacu peningkatan produktivitas sutera alam. Oleh karena itu

perlu diketahui dan dianalisis aspek produksi, pabrik dan aspek usaha dari produk kain

sutera. Salah satu perusahaan yang bergerak dalam produksi sutera alam adalah CV Batu

Gede Sutera Alam yang terletak di Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran umum CV Batu Gede Sutera Alam. Bagaimana Aspek produksi, Pabrik dan Aspek Usaha CV Batu Gede Sutera Alam.

1.3 Tujuan

Untuk mengetahui gambaran umum CV Batu Gede Sutera Alam. Untuk mengetahui Aspek produksi, Pabrik dan Aspek Usaha CV Batu Gede Sutera

Alam.

Page 3: Laporan Rumah Sutera

BAB II

KERANGKA TEORITIS

2.1 Kegiatan Persuteraan Alam Di Indonesia

Sutera alam adalah produk olahan dari ulat sutera Bombyx mori linn.

Persuteraan alam merupakan kegiatan agro industri yang meliputi pembibitan ulat sutera,

budidaya tanaman murbei, pemeliharaan ulat sutera, pemintalan, pertenunan, pembatikan

/ pencelupan / pencapan / penyempurnaan, garmen dan pembuatan benang jadi lainnya

termasuk pemasarannya (SKB Menteri Kehutanan, Menteri Petrindustrian dan Menteri

Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah). Berdasarkan Keputusan Menteri

Kehutanan, Nomor 50/Kpts-II/1997, tanggal 20 Januari 1997, yang dimaksud dengan

persuteraan alam adalah bagian kegiatan perhutanan sosial dengan hasil kokon atau

benang sutera yang terdiri dari kegiatan moriculture, sericulture, filature dan manufacture

8). Kegiatan moriculture adalah kegiatan budidaya atau memelihara tanaman murbei

untuk menghasilkan daun sebagai pakan ulat sutera. Sedangkan sericulture adalah

kegiatan pemeliharaan ulat sutera sampai menghasilkan kokon (kepompong) sebagai

bahan baku pembuatan benang sutera. Setelah itu adalah kegiatan filature, yaitu kegiatan

mengolah kokon menjadi benang sutera. Kegiatan akhir pada pesuteraan alam adalah

manufacture yaitu pertenunan dan pembuatan benang sutera menjadi kain sutera dan

produk barang jadi lainnya yang berbasis sutera serta meliputi pemasarannya.

Persuteraan alam diawali dengan kegiatan pemeliharaan tanaman murbei. Daun

tanaman murbei digunakan sebagai pakan ulat sutera. Untuk menghasilkan kualitas kain

sutera yang baik dibutuhkan kualitas ulat sutera yang baik, maka dari itu pakan yang

diberikan pada ulat sutera harus diperhatikan oleh petani-petani ulat sutera. Tanaman

murbei tahan terhadap perlakuan pemangkasan dan membutuhkan sinar matahari penuh.

Murbei yang dipangkas dan dipelihara dengan baik akan tumbuh tunas baru yang muda,

jumlahnya banyak dan tumbuh pesat serta dapat menghasilkan daun yang banyak

berwarna hijau segar. Daun inilah yang akan digunakan untuk pakan ulat sutera

(Nasaruddin & Nurcahyo 1992). Kuantitas dan kandungan gizi yang ada dalam daun

murbei sangat penting untuk pertumbuhan ulat sutera. Hal ini akan mempengaruhi

produksi kokon serta mutu kokon yang dihasilkan oleh ulat sutera, sehingga baik

langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi jumlah dan mutu benang sutera

yang dihasilkan (Santoso 1997).

Page 4: Laporan Rumah Sutera

2.2 Ulat Sutera Sebagai Penghasil Benang Sutera

Ulat sutera adalah serangga atau sejenis ngengat penghasil benang sutera. Ulat

sutera mempunyai metamorfosa sempurna dalam siklus hidupnya mulai dari telur, larva,

pupa sampai dengan kupu-kupu. Ulat sutera yang dikembangkan di Indonesia ialah

species Bombyx mori linn. Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), klasifikasi ulat sutera

adalah sebagai berikut : Phylum : Arthropoda Kelas : Insecta Ordo : Lepidoptera Famili :

Bombycidae Genus : Bombyx Species : Bombyx mori linn

Selain Bombyx mori linn ada pula jenis ulat atau serangga lain yang mampu

menghasilkan sutera, antara lain : Antheraca pernyi yang hidup di China, dan Antheraca

paphia di India. Ketiga jenis serangga tersebut merupakan anggota keluarga Saturmidae

yang juga berasal dari bangsa Lepideptera. Sutera sendiri sebetulnya berasal dari serat

yang dianyam oleh ulat menjadi kepompong (kokon). Kepompong itu berfungsi sebagai

pelindung saat ulat merubah diri menjadi bentuk pupa. Filamen sutera yang dikeluarkan

dari mulut ulat sutera tersebut, terdiri atas beberapa asam amino seperti alanin, fenil

alanin, asam asparat, asam glutamat, glisin, lisin oksiprolin, prolin ,serin dan kirosin.

Sebuah kepompong yang melingkari tubuh ulat itu bila dipintal menjadi filamen

mencapai 900 m bahkan 1800 m.

2.2.1.Persiapan pemeliharaan

Salah satu kegiatan yang dilakukan dalam mempersiapkan pemeliharaan ulat adalah

desinfeksi. Desinfeksi dilakukan sebelum dan sesudah pemeliharaan secara menyeluruh

dan intensif sebagai pencegahan berkembangnya bibit penyakit ulat sutera. Desinfeksi

dapat dilakukan dengan penyemprotan atau mencelupkan peralatan dalam larutan

formalin 2% atau kaporit untuk membasmi bibit virus, bakteri atau jamur. Untuk

desinfeksi bagian dalam ruangan pemeliharaan diperlukan kira-kira 3 liter larutan untuk

tiap 3,3 m2 luas lantai. Bila digunakan formalin maka semua jendela dan pintu perlu

ditutup rapat-rapat selama 15 jam sesudah perlakuan untuk menghindari keluarnya gas

beracun dari desinfektan (Mien Kaomini dkk, Sutera Alam Indonesia, 2000).

Bila desinfeksi dilakukan menggunakan larutan kaporit perlu diperhatikan

pencampurannya dengan air dan disemprotkan. Sesudah penyemprotan dibiarkan basah

selama 30 menit. Untuk desinfeksi sasag ulat, keranjang, dan peralatan yang akan

dipakai selama pemeliharaan, dilakukan dengan pencelupan pada larutan kaporit selama

30 menit, kemudian dikeringkan tanpa dibilas. Pencelupan menggunakan larutan

Page 5: Laporan Rumah Sutera

desinfektan dilakukan untuk membasmi bibit penyakit terutama hypha cendawan

Aspergilus yang dapat menembus sampai ke bagian dalam benda-benda yang terbuat dari

kayu (Mien Kaomini dkk, Sutera Alam Indonesia, 2000).

Pemeliharaan Ulat Kecil (Instar I-III)

Pemeliharaan ulat kecil ditandai dengan hakitate sekitar jam 9-10 pagi. Ulat yang

telah menetas setelah diinkubasi pada kotak penetasan dipindahkan pada rak

pemeliharaan. Sebelum hakitate ulat yang baru menetas permukaan tubuh ulat

didesinfeksi dengan menggunakan kapur kaporit (kapur 95 : kaporit 5) untuk

pemberantasan Aspergillus dan Muscardine. Kemudian digunakan masing-masing

sebanyak 1 gr, 2 gr, dan 3 gr per 0,1 m2 tempat pemeliharaan untuk instar I, II, dan III

(Ohtsuki, 1987 dalam Mien Kaomini dkk, Sutera Alam Indonesia, 2000).

Ulat kecil memerlukan suhu dan kelembaban yang sesuai dengan kebutuhan ulat

yaitu 27°-28°C dan kelembaban 90% untuk instar I, 26°- 27°C dan kelembaban 85%

untuk instar II, dan 25°C dengan kelembaban 80% untuk instar III. Akan tetapi pada saat

berganti kulit kelembaban nisbi tempat pemeliharaan diturunkan menjadi 70% untuk

mengeringkan tempat pemeliharaan (J.O.C.V., 1975 dalam Mien Kaomini dkk, Sutera

Alam Indonesia,2000). Kesehatan ulat tergantung pada pemberian pakan dengan daun

yang berkualitas baik dan sehat. Kecocokan daun murbei sebagai pakan ulat kecil

berdasarkan posisi tunasnya. Dengan mengambil daun terbesar yang mengkilap di dekat

pucuk tunas di antara semua daun yang mengkilap, maka sampai dua daun di bawahnya

baik untuk ulat instar I, sampai daun ketiga dan keempat daun acuan tadi, baik untuk

instar II dan samapai daun kelima dan keenam dibawahnya, baik untuk instar III

(J.O.C.V., 1975 dalam Mien Kaomini dkk, Sutera Alam Indonesia,2000). Pemetikan

pucuk dilakukan dari tunas muda sampai daun kelima dan keenam untuk instar I, sampai

daun ketujuh untuk instar II, dan sampai daun kedelapan untuk instar III. Panen daun

dilakukan pagi hari dan hasil panen daun disimpan pada tempat yang sejuk dan ditutup

dengan kain yang telah dibasahi. Jumlah daun yang diberikan pada ulat kecil sebanyak

48 kg daun. Ulat kecil aktif makan selama ± 12 hari dan mengalami 3 x masa tidur

(eksidis). Pemberian pakan dilakukan sebanyak 4x perhari dengan rajangan secara halus

dan ditaburkan secara merata pada tempat pemeliharaan. Ukuran rajangan daun antara

0,5-1 cm untuk instar I; 1,5-2 cm untuk instar II; dan 3-4 cm untuk instar III. Bila yang

diberikan potongan tunas maka seluruh tunas yang digunakan harus dipotong-potong

Page 6: Laporan Rumah Sutera

sepanjang 1cm untuk instar I, dan potongan sepanjang 2-4 cm untuk instar II dan III.

Menjelang pergantian kulit pakan yang diberikan dirajang lebih halus agar daun cepat

mongering (Sukarman, 1998, dalam Mien Kaomini dkk, Sutera Alam Indonesia,2000).

Pemeliharaan Ulat Besar (Instar IV-V)

Pemeliharaan ulat besar mencakup instar IV dan V. Ulat besar memerlukan suhu

yang ideal untuk pertumbuhannya yaitu 23°-24°C dan kelembaban 70-75% untuk instar

IV dan 22°-23° dan kelembaban 60-65% untuk instar V. Ulat besar aktif makan selama ±

14-16 hari sebelum akhirnya ulat mulai mengokon dan mengalami 1x eksidis. Jumlah

daun + ranting yang diberikan pada ulat besar ± 1,2 ton/boks. Pemberian pakan

dilaksanakan 4x sehari dengan mengindahkan kemungkinan layu daun, efisiensi produksi

kokon dan efisiensi pengelolaan tenaga kerja. Pemberian pakan untuk ulat besar salah

satunya dengan daun utuh. Daun yang diberikan tanpa dirajang terlebih dahulu.

Pemeliharaan ulat besar dilakukan dalam rak-rak ulat yang lebih besar dibanding dengan

rak ulat kecil. Kepadatan pemeliharaan yang baik adalah 200 ulat instar IV dan 100 ulat

instar V untuk 0,1 m2 tempat pemeliharaan karena ulat akan rakus makan. Penempatan

tempat pemeliharaan perlu diatur untuk memudahkan pemeliharaan maupun perlakuan

pada waktu ganti kulit. Perlakuan yang diberikan pada saat ulat tidur dan bangun sama

dengan ulat kecil hanya saja yang menjadi pembedanya adalah jumlah kapur yang

ditaburkan pada tubuh ulat (Mien Kaomini dkk, Sutera Alam Indonesia, 2000).

Berdasarkan penelitian Samsijah dan Kusumaputra (1976) dalam Mien Kaomini,

2000 mengenai pengaruh pemberian pakan pada ulat kecil dan ulat besar dengan jenis

daun yang berbeda (M. Multicaulis, M. Alba, dan M. Chatayana) terhadap pemeliharaan

daun dan mutu kokon, dipeoleh hasil bahwa M. Alba memiliki kadar protein tertinggi

pada daun muda (18,66%) dan tua (17,59%). Sedangkan daun yang memilki kandungan

karbohidrat tertinggi sebanyak 56,18% pada daun muda dan 63,14% pada daun tua

dimiliki oleh M.Chatayana. Pemberian pakan M.Alba pada ulat kecil dan M.Multicaulis

pada ulat besar, memberikan rendemen pemeliharaan tertinggi dan mutu kokon yang

cukup baik.

Pengokonan dan Panen Kokon

Pengokonan dan panen kokon merupakan langkah-langkah terakhir dalam

pemeliharaan ulat sutera. Bila hal ini tidak dilaksanakan dengan baik maka dapat

Page 7: Laporan Rumah Sutera

berpengaruh buruk pada kualitas filamen kokon. Ulat instar V akan mulai membentuk

kokon pada hari ke 6. Pada saat itu ukuran tubuh ulat mulai menyusut, kotoran menjadi

lunak, ulat berhenti makan, dan mulai berputar-putar dengan mengangkat kepala dan

sebagian badannya. Pada fase ini bagian badan mulai tampak agak transparan. Pada fase

ini ulat dikatakan matang dan siap untuk mengokon. Bila pengokonan dilakukan pada

ulat yang belum matang atau dilakukan terlambat setelah ulat matang maka daya pintal

ulat menjadi kurang dan panjang filamen yang didapat akan berkurang. Selain itu ulat

sutera yang kelewat dewasa cenderung membuat kokon yang dobel/rangkap. Proses

pengokonan dilakukan selama 2 hari penuh. Pada saat ulat mengeluarkan serat sutera

diusahakan tidak terganggu karena akan menyebabkan daya pintal yang menurun (Mien

Kaomini dkk, Sutera Alam Indonesia, 2000).

Kondisi iklim seperti suhu, kelembaban, arus udara selama pengokonan berpengaruh

terhadap kualitas filamen kokon terutama kepada kualitas pemintalan. Sebaiknya ulat

sutera yang sedang mengokon mendapat perlakuan suhu 23°-25°C, kelembaban 60-75%,

sirkulasi udara 0,2-1m/s dan cahaya remang-remang dengan intensitas 10-20 lux. Suhu,

kelembaban dan arus udara berpengaruh pada persentase daya pintal kokon secara timbal

balik. Bila ketiga syarat tersebut tidak terpenuhi, dapat menurunkan daya pintal ulat.

Sedangkan jika salah satu dari syarat tersebut dipenuhi dapat meningkatkan daya pintal

dari ulat secara drastic (Mien Kaomini dkk, Sutera Alam Indonesia, 2000).

Jenis dan struktur tempat pengokonan sangat berpengaruh pada kualitas kokon yang

dihasilkan. Oleh karena itu diperlukan persyaratan tempat pengokonan seperti kekuatan

dan sruktur yang cocok untuk mengokonkan, mampu mengontrol kelembaban, memberi

kemudahan untuk memperlakukan ulat pada waktu mengokon dan kemudahan pada saat

panen kokon. Menurut bentuk dan strukturnya tempat pengokonan diklasifikasikan

kedalam : tempat pengokonan yang berputar (rotary), yang berombak, bambu, spiral,

yang terbuat dari plastik. Berdasarkan hasil penelitian Budisantoso (1997) dalam Mien

Kaomini dkk, 2000 mengenai pengaruh alat pengokonan “Mukade” (daun kelapa

kering), bambu, “Seriframe” (plastik) dan “Rotary” (dari karton) dan teknik pemasakan

terhadap kualitas serat sutera. Kesimpulannya adalah bahwa alat pengokonan Rotary dan

Mukade memberi hasil yang baik untuk semua parameter kualitas serat sutera yang

diamati yaitu panjang serat, daya gulung, dan rendemen serat. Untuk alat pengokonan

rotary masing-masing ditemukan 940,96 m; 77,69% dan 19,36%. Sedangkan untuk alat

mukade masing-masing ditemukan 902,75 m; 75,73% dan 19,58% (Mien Kaomini dkk,

Sutera Alam Indonesia, 2000).

Page 8: Laporan Rumah Sutera

Ada beberapa metode yang dilakukan dalam mengokonkan ulat pada tempat

pengokonan seperti metode pemungutan dengan tangan, metode guncangan tunas, dan

metode mengokonkan alami. Akan tetapi kebanyakan petani menggunakan metode

pemungutan dengan tangan karena ulat mengokon secara bertahap. Pada metode ini ulat

yang telah matang dipungut dengan tangan. Kelebihan metode ini adalah hanya ulat yang

telah matang yang dipilh serta dikumpulkan untuk dimasukan pada tempat pengokonan.

Sedangkan kelemahannya adalah dibutuhkan pengalaman untuk dapat menentukan ulat

yang telah matang serta dibutuhkan 5-6 jam untuk memilih ulat daru populasi yang

berasal dari satu boks telur (Mien Kaomini dkk, Sutera Alam Indonesia, 2000).

Panen Kokon

Panen kokon dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban udara. Jika suhu lingkungan

berada diantara 24°-27°C maka panen kokon dapat dilakukan pada hari ke-6 dan 7

setelah mengokon dan telah memastikan bahwa pupa yang ada didalam kokon telah

menjadi coklat serta kulitnya cukup keras. Jika panen dilakukan sebelum pupa yang

terbentuk coklat dan keras maka akan menyebabkan kokon menjadi cacat pintal karena

dapat membuat kokon kotor dalam. Kokon yang telah dipanen diselimuti oleh serabut

serat sutera (floss) yang apabila dibiarkan akan menyebabkan absorbsi udara sehingga

dapat menurunkan mutu kokon. Selain itu serabut kokon bersifat menempel satu sama

lain sehingga dapat menyulitkan penanganan selanjutnya (pemintalan). Oleh karena itu

maka diadakan kegiatan pemebersihan serabut serat sutera yang lebih dikenal dengan

Flossing. Pembersihan serabut serat ini bisa dikerjakan secara manual maupun

menggunakan mesin (Mien Kaomini dkk, Sutera Alam Indonesia, 2000).

2.3 Pemintalan Benang Sutera

Pemintalan merupakan proses penyatuan filamen yang berasal dari kokon untuk

dipintal menjadi benang. Industri pemintalan sutera Indonesia tahun 2007 terdapat 4.463

unit usaha dengan daerah penghasil utama terdapat di daerah Sulawesi Selatan dan Jawa

Barat. Tenaga kerja yang terserap sebanyak 7.796 orang dengan nilai produksi sebesar

Rp. 19,5 milyar dan benang sutera yang dihasilkan sekitar 78 ton per tahun. Produksi ini

masih di bawah kapasitas produksi terpasang industri benang samping diekspor ke

Jepang, Italia, Perancis dan Amerika Serikat.

Page 9: Laporan Rumah Sutera

Satu set mesin pemintal serat sutra terdiri dari oven kokon dengan bahan bakar

minyak tanah, mesin pengupas serabut kolosom serta panci untuk memasak kokon agar

serat benang terurai dan siap untuk dipintal. Selain itu, terdapat bak pemilah kokon untuk

menyeleksi kokon, mesin relling untuk memintal kokon menjadi benang, mesin re-

relling untuk mengeringkan dan menggulung benang, serta mesin kelos besar untuk

persiapan penggabungan benang. Pada proses pemintalan selanjutnya menggunakan

mesin twist gintir untuk memilin dan merangkapkan benang dari dua benang tunggal

menjadi satu benang ganda. Setelah itu, digulung dengan menggunakan mesin kelos

kecil untuk persiapan proses tenun. (Ujang & Vitex 2005).

Menurut Atmosoedarjo et al. (2000), mesin utama dalam proses pengolahan

benang sutera, adalah mesin reeling. Spesifikasi terbaik mesin ini tergantung dari

beberapa faktor seperti : kapasitas produksi, kualitas kokon, sistem penyuapan atau

pengambilan ujung, sistem kecepatan pengambilan ujung dan penggulungan filamen

serta keterampilan operator. Mesin reeling yang digunakan dalam industri pemintalan

benang sutera terdiri dari; reeling tradisional yang dibuat oleh pengrajin setempat dan

menghasilkan benang kasar (nomor besar), reeling mekanis yang dibuat oleh pengusaha

industri kecil, dan reeling otomatis yang dapat diperoleh dari impor yaitu mesin dengan

teknologi maju yang berkecepatan tinggi guna mengolah kokon yang bermutu. Selain itu,

mesin dan perlengkapan lain yang diperlukan dalam pemintalan benang adalah mesin re-

reeling, mesin doubling/twisting, dryer dan sentrifuge/ekstraktor untuk pengeringan

benang, mesin kelos (winding) dan gudang penyimpan kokon dan benang serta

perlengkapan penunjangnya.

2.4 Pertenunan Sutera

Pertenunan merupakan tahap produksi setelah melakukan proses pemintalan,

kegiatan pertenunan ini merupakan proses membuat kain dari bahan baku benang dengan

menggunakan mesin atau alat tenun. Pertenunan sutera di Indonesia menggunakan dua

jenis alat tenun yaitu Alat Tenun Mesin (ATM) dan Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM).

Produktivitas ATM lebih tinggi dan kualitasnya pun lebih baik dibandingkan dengan

ATBM. Pertenunan yang menggunakan ATM, kerapatan anyaman pada kain sutera yang

dihasilkan akan merata dan sebaliknya bila menggunakan ATBM (Hafsah 2007).

Keluhan konsumen terhadap produk sutera dalam negeri adalah kenampakan

yang tidak rata, warna yang kurang mengkilau dan warna tidak tahan luntur.

Permasalahan tersebut terutama disebabkan proses pertenunan dengan ATBM. Untuk itu

Page 10: Laporan Rumah Sutera

perlu dilakukan penyempurnaan kualitas sutera alam dengan proses penenunan sebagai

berikut:

a. Proses Degumming

Filamen sutera mentah terdiri dari dua filamen fibroin yang terbungkus dalam

serisin. Komposisi serat sutera tersebut antara lain serisin 22 – 25 persen, fibroin 62 – 67

persen, air 10 – 11 persen dan garam mineral 1 – 1,5 persen. Serisin adalah protein

albumin yang tidak larut dalam air dingin, tetapi menjadi lemah didalam air panas, larut

didalam alkali lemah dan sabun. Proses degumming ini dilakukan melalui perebusan atau

pemasakan benang sutera yang sudah dipintal.

b. Proses Penghilangan Kanji

Sebelum proses pertenunan pada umumnya benang lungsi dikanji terlebih

dahulu untuk memperkuat benang supaya tidak mudah putus karena gesekan selama

proses pertenunan. Kanji yang ada pada kain perlu dihilangkan, karena kanji yang ada

akan menghalangi penyerapan zat warna atau zat-zat kimia lain pada bahan untuk proses

selanjutnya.

c. Proses Pengelantangan

Serat sutera mempunyai warna agak kekuning-kuningan atau kecokelat-

cokelatan. Untuk mendapatkan warna yang putih perlu proses pemutihan yang disebut

proses pengelantangan. Proses pengelantangan sutera dapat dilakukan dengan

menggunakan zat pengelantangan jenis Natrium Hidrosulfit atau oksidator Hidrogen

Peroksida pada pH, konsentrasi, suhu dan waktu tertentu.

d. Proses Pengikatan

Tenun sutera tradisional Indonesia umumnya ada dua macam, yaitu tenun ikat

dan jumputan (sasirangan). Tenun ikat yaitu benang sutera setelah melalui proses

degumming dan atau pengelantangan kemudian benang tersebut diikat sesuai dengan

motif yang diinginkan (ikat lungsi, ikat pakan atau keduanya) kemudian dicelup. Disini

bahan yang terikat tidak akan tercelup sehingga pada waktu bahan tersebut ditenun akan

memberikan motif. Jumputan (sasirangan), bahan-bahan diikat setelah proses

degumming,

Page 11: Laporan Rumah Sutera

e. Proses Pencelupan

Proses pencelupan adalah proses pemberian warna pada bahan secara merata. Di

Indonesia pencelupan bahan sutera banyak mempergunakan zat warna direk, asam,

kationik, naftol dan reaktif.

Walaupun Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) memiliki kekurangan

dibandingkan dengan Alat Tenun Mesin (ATM) namun ATBM juga memiliki beberapa

kelebihan. Menurut Muflikh (2003), kelebihan-kelebihan ATBM yaitu kekuatan kain

yang dihasilkan sangat tinggi, harga jual kain lebih tinggi dan kain tersesan lebih

eksklusif karena dikerjakan secara manual. Jenis-jenis kain tenun yang dihasilkan oleh

beberapa daerah di Indonesia melalui ATBM antara lain sarung mandar, sengkang,

samarinda dan songket

Page 12: Laporan Rumah Sutera

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Gambaran Umum Perusahaan

3.1.1 Lokasi

CV. Batu Gede Sutera Alam terletak di Jln. Raya Ciapus Rt. 02/10, Ds. Pasir Eurih,

Kec.Taman Sari, Kabupaten Bogor. CV.Batu Gede Sutera Alam juga dikenal dengan sebutan

Rumah Sutera Alam yang dapat dicapai dari Kota Bogor dengan mengambil arah ke Bogor

Barat ke kawasan Empang dan dilanjutkan ke kawasan Ciapus.CV. Batu Gede Sutera Alam

terletak pada kaki Gunung Salak ± 3 km dari wisata alam Gunung Salak. Oleh karena itu

keadaan lingkungan di daerah CV. Batu Gede Sutera Alam termasuk kawasan dingin.

3.1.2 Pendirian Perusahaan

CV.Batu Gede Sutera Alam (CV.BGSA) merupakan industri perorangan yang bergerak

dalam industri persuteraan alam dan lebih berorientasi pada kegiatan agrowisata. CV.Batu

Gede Sutera Alam berdiri sejak tahun 2000. Tujuan pertama industri ini didirikan adalah

untuk kebun percontohan di daerah Bogor yang bekerja sama dengan IPB. Satu tahun

didirikannya industri ini (tahun 2001) yaitu pada bulan Oktober dilakukan persiapan lahan

untuk penanaman tanaman murbei, sedangkan penanamannya dilakukan pada bulan

November dan Desember. Pada tahun 2002 telah diadakannya pemeliharaan tanaman

murbei,ditambah dengan pemeliharaan ulat besar untuk produksi kokon. Hasil panen kokon

dijual untuk PT. Indo Jado Sutera Pratama di daerah Sukabumi sebagai bahan baku

pemintalan benang.

Namun pada tahun 2003 tepatnya bulan Agustus PT. Indo Jado Sutera Pratama mengalami

kebangkrutan sehingga CV. Batu Gede Sutera Alam tidak dapat mengirim kembali hasil

panen. Yang pada akhirnya hasil produksi kokon diproses secara sendiri untuk dijadikan

benang sutera. Untuk melaksanakan kegiatan pemintalan maka pada tahun 2005 dibangun

pabrik pemintalan dan pembelian mesin-mesin pemintalan benang. Pada tahun 2005 hingga

sekarang kegiatan persuteraan alam mulai dari pemeliharaan kebun, pemeliharaan ulat dan

pemintalan benang terus berlangsung dan untuk memasarkan hasil pemintalan benang sutera

yang diproduksi saat ini sampai pada berbagai daerah seperti Garut, Jakarta, Bandung dan

Bali.

Page 13: Laporan Rumah Sutera

3.1.3 Organisasi Perusahaan

CV Batu Gede Bogor merupakan perusahaan yang bergerak dibidang agribisnis, agrowisata

serta pendidikan dan pelatihan persuteraan alam. Tipe organisasi bisnis CV Batu Gede Bogor

adalah perusahaan perseorangan. Perusahaan perseorangan dikelola dan dipimpin oleh

seseorang yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap semua risiko dari aktivitas usaha

yang dijalankan.

Struktur organisasi CV Batu Gede Bogor adalah struktur organisasi bentuk lini dan staf.

Bentuk ini secara umum digunakan oleh organisasi karena bentuknya sederhana sehingga

cepat dalam pengambilan keputusan. Struktur organisasi tersebut dapat memperlihatkan

hubungan antara tugas dan wewenang atasan secara horizontal dan vertikal, selain itu melalui

hubungan tersebut dapat memberikan data maupun informasi yang diperlukan oleh pihak

yang bersangkutan. Lebih jelasnya lihat gambar struktur organisasi:

3.1.4 Struktur dan Personalia Pelaksanaan Kelembagaan

Page 14: Laporan Rumah Sutera

CV. Batu Gede Sutera Alam merupakan industri perorangan yang dimiliki sekaligus

dikepalai oleh H. Tatang Ghazali Gandasasmita sebagai pimpinan dan pembinaan industri.

Sebagai pimpinan yang membawahi 3 bagian pokok yaitu Bagian Keuangan, Bagian

Administrasi/Umum dan Bagian Produksi Khusus untuk Bagian Produksi dikepalai oleh

supervisor untuk mengawasi setiap jalannya kegiatan yaitu pemeliharaan kebun murbei,

pemeliharaan ulat sutera, pemintalan benang dan pertenunan.

CV Batu Gede memiliki satu orang tenaga kerja administrasi yang menangani ketiga bidang

tersebut, satu orang supir, lima orang petani sutera sekaligus sebagai pendidik dan pelatih

persuteraan alam, serta sepuluh orang tenaga kerja langsung untuk produksi kain sutera yang

merupakan tenaga kerja borongan. Semua tenaga kerja pada CV Batu Gede berasal dari

lingkungan sekitar perusahaan yang sudah berpengalaman dan memahami mengenai

pesuteraan alam.

Hari kerja CV Batu Gede adalah enam hari seminggu dengan jumlah jam kerja selama tujuh jam

kerja dalam sehari, dimulai pukul 08.00 – 16.00 WIB (istirahat satu jam). Hari dan jam kerja

tersebut berlaku untuk tenaga kerja administrasi dan petani sutera. Sedangkan tenaga kerja

borongan untuk produksi kain sutera, jumlah hari dan jam kerja mereka disesuaikan dengan

produksi kain sutera perusahaan. Hari orang kerja (HOK) per periode (satu bulan) pada CV Batu

Gede adalah 24 – 26 HOK.

3.2 Aspek Produksi, Pabrik dan Aspek Usaha

3.2.1 Kapasitas Terpasang dan Kapasitas Aktual

Kapasitas terpasang yaitu kapasitas produksi maksimal yang dihasilkan oleh perusahaan

itu sendiri. Berdasarkan penelitian yang diperoleh kapasitas terpasang dalam Rumah

Sutera Alam per tahun adalah 600 Kg Kokon akan menghasilkan 60 Kg benang yang

dapat dijadikan 600 m kain sutera

Kapasitas aktual yaitu kemampuan ideal kapasitas produksi suatu perusahaan.

Berdasarkan penelitian yang diperoleh kapasitas aktual sesuai dengan kapasitas

terpasang yang ditargetkan oleh Rumah Sutera Alam per tahun yaitu 600 Kg Kokon akan

menghasilkan 60 Kg benang yang dapat dijadikan 600 m kain

3.2.2 Produksi Utama dan Produk Sampingan

CV Batu Gede dibidang agribisnis menghasilkan produk berbasis sutera alam melalui

kegiatan pengembangan kebun murbei, pemeliharaan ulat kecil, ulat besar dan kepompong /

Page 15: Laporan Rumah Sutera

kokon (cocoon), pemintalan benang sutera, serta penenunan kain sutera. Produk utama yang

dihasilkan oleh CV Batu Gede adalah benang sutera serta kain tenun sutera. Kain tenun

sutera ini mempunyai banyak jenis, yaitu tenun bermotif, tenun ikat, tenun organdi, serta

batik sutera. Selain itu, CV Batu Gede ini juga memiliki produk sampingan, yaitu berupa

aksesoris/souvenir buatan tangan yang berasal dari kokon rusak yang tidak bisa dijadikan

benang, teh murbei serta penyewaan lokasi (ekowisata atau penginapan)

3.2.3 Jenis dan Jumlah Bahan Baku & Bahan Penolong

Bahan Baku

Bahan baku untuk memproduksi kain sutera adalah benang sutera. Benang sutera yang

dibutuhkan adalah jenis pakan dan lungsi. Benang pakan merupakan benang sutera yang

dipasang secara horizontal pada Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM), sedangkan benang lungsi

adalah benang sutera yang dipasang secara vertikal pada ATBM. Proporsi penggunaan

benang pakan lebih besar untuk menghasilkan kain tenun sutera. Rasio perbandingan

penggunaan benang pakan dan benang lungsi untuk menghasilkan kain tenun sutera adalah

tiga berbanding satu (3:1). Setiap meter produksi kain sutera membutuhkan 0,075 kg benang

pakan dan 0,025 kg benang lungsi.

Pengadaan bahan baku untuk memproduksi kain sutera terdapat dua proses. Pertama, bahan

baku diperoleh diawali dengan proses budidaya murbei sebagai pakan ulat sutera dan

budidaya ulat sutera sebagai penghasil kokon. Kegiatan ini dilakukan oleh petani di lahan

perusahaan. Untuk pengadaan kokon, CV Batu Gede Rumah Sutera Alam biasanya memesan

15-20 boks (1 boks = 25.000 butir telur) telur ulat Sutera setiap bulannya di Ujung Pandang

atau Candi Roto Magelang. Dari 15-20 boks tersebut CV Batu Gede Rumah Sutera Alam

hanya menngunakan 1 boks untuk produksi, sisanya didistribusikan kebeberapa petani

disekitar daerah tersebut. Kokon yang dihasilkan akan diolah melalui proses perebusan dan

pemintalan sehingga menghasilkan benang sutera mentah (Raw Silk). Saat ini jumlah

produksi kokon CV Batu Gede Rumah Sutera Alam adalah rata-rata 40 kg per bulan. Jumlah

tersebut masih jauh untuk kebutuhan kokon sebagai penghasil benang sutera yang merupakan

bahan baku kain sutera pada CV Batu Gede Rumah Sutera Alam yaitu rata-rata 115 kg per

bulan. Sehingga perusahaan melakukan pengadaan bahan baku pada proses yang kedua, yaitu

melakukan kerjasama melalui pembelian benang sutera pada mitra tani perusahaan yang

berada di wilayah perkebunan murbei Karya Sari, Leuwiliang, Kabupaten Bogor.

Bahan Penolong

Page 16: Laporan Rumah Sutera

Bahan pembantu yang digunakan dalam proses produksi kain sutera pada CV Batu

Gede antara lain : soda as, zat pewarna (direk, asam, kationik, naftol dan reaktif), kazesol,

natrium silikat dan hidrogen peroksida. Bahan-bahan pembantu tersebut diperoleh

perusahaan dengan melakukan pembelian pada toko kimia yang berada di pasar Anyar

Bogor. Zat soda as digunakan untuk menghilangkan kotoran dan serisin pada benang sutera

sehingga tekstur benang menjadi halus Serisin adalah protein albumin yang terdapat pada

benang sutera mentah yang tidak larut dalam air dingin, tetapi menjadi lemah di dalam air

panas dan larut di dalam alkali lemah seperti zat soda as. Zat pewarna (direk, asam, kationik,

naftol dan reaktif) digunakan untuk memberikan warna pada serat benang sutera sehingga

menghasilkan kain tenun warna. Kazesol digunakan untuk menghaluskan tekstur benang

sutera dengan menghilangkan zat kanji pada benang sutera yang menyebabkan benang

menjadi kaku. Natrium silikat digunakan untuk memutihkan benang atau kain sutera dan

hidrogen peroksia sebagai zat oksidatornya.

3.2.4 Jumlah Tenaga Kerja Produksi

CV Batu Gede memiliki tenaga kerja tidak langsung dan tenaga kerja langsung. Tenaga kerja

tidak langsung merupakan tenaga kerja yang tidak melakukan rangkaian proses produksi kain

tenun sutera, yaitu staf adminsitrasi, supir dan petani sutera. Sedangkan tenaga kerja langsung

(TKL) merupakan tenaga kerja yang melakukan seluruh tahap proses produksi kain tenun

sutera. Tenaga kerja langsung pada CV Batu Gede merupakan tenaga kerja pemborong yang

melakukan semua kegiatan produksi kain tenun sutera. Artinya TKL tersebut bukan tenaga

kerja tetap perusahaan melainkan tenaga kerja yang digunakan perusahaan untuk

memproduksi kain tenun sutera berdasarkan order atau pesanan yang ada perusahaan. maka

dari itu sewaktu-waktu TKL ini dapat beralih ke perusahaan lain atau mengerjakan jenis

pekerjaan lain sesuai dengan keahlian mereka apabila perusahaan tidak melakukan produksi

lagi atau adanya penurunan produksi.

Pada CV Batu Gede Rumah Sutera Alam hanya memanfaatkan 20 tenaga kerja. CV Batu

Gede memiliki satu orang tenaga kerja administrasi yang menangani 3 bagian pokok yaitu

Bagian Keuangan, Bagian Administrasi/Umum dan Bagian Produksi Khusus, satu orang

supir, lima orang petani sutera sekaligus sebagai pendidik dan pelatih persuteraan alam, serta

tigabelas orang tenaga kerja langsung untuk produksi kain sutera yang merupakan tenaga

kerja borongan. Jumlah hari dan jam kerja mereka disesuaikan dengan produksi kain sutera

perusahaan. Hari orang kerja (HOK) per periode (satu bulan) pada CV Batu Gede adalah 24 –

26 HOK.

Page 17: Laporan Rumah Sutera

3.2.5 Jumlah Bahan Bakar

Penggunaan bahan bakar (diesel) tidak selalu digunakan pada proses produksi, Karena

Rumah Sutera Alam menggunakan listrik sebagai bahan penggerak mesin. Bahan bakar

digunakan apabila listrik padam

3.2.6 Jumlah KwH Listrik

Pada proses produksi, Rumah Sutera Alam menghabiskan biaya untul listrik rata-rata sebesar

Rp. 900.000. bulan atau Rp. 10.800.000/tahun (tanpa pemadaman listrik).

3.2.7 Pengolahan

Proses produksi kain sutera pada CV Batu Gede yaitu:

1. Pembersihan getah benang (degumming yarn)

Proses ini dilakukan melalui perebusan atau pemasakan benang sutera yang sudah dipintal

dengan menggunakan zat Soda As. Soda As digunakan untuk menghilangkan getah (serisin)

yang terdapat pada benang. Setelah perebusan atau pemasakan, pada benang lungsi dilakukan

pengkanjian atau pemberian zat kazesol dan hidrogen peroksida agar benang tidak keras dan

berbulu. Pengkanjian ini digunakan agar benang menjadi kuat, putih bersih dan lentur.

2. Pengelosan (twisting lungsi)

Pengelosan atau penggulungan adalah kegiatan menggulung benang lungsi pada gulungan

kelos. Gulungan kelos ini merupakan gulungan benang lungsi yang berdiameter dua cm.

Pengelosan dilakukan secara manual dengan tangan menggunakan alat kincir yang diputar.

3. Pemaletan (twisting pakan)

Sama halnya dengan pengelosan, pemaletan ini merupakan kegiatan menggulung benang

pakan pada gulungan palet dengan menggunakan alat kincir secara manual. Gulungan palet

adalah gulungan benang pakan yang berukuran lebih kecil dari gulungan kelos yaitu

berdiameter satu cm.

4. Pewarnaan atau pencelupan

Proses ini dilakukan untuk menghasilkan kain tenun warna. Sebelumnya benang sutera diikat

sesuai dengan motif yang diinginkan (ikat lungsi, ikat pakan atau keduanya) kemudian

dicelup. Benang yang terikat tidak akan tercelup sehingga pada waktu bahan tersebut ditenun

akan memberikan motif. Pencelupan dilakukan untuk memberikan warna secara merata.

Page 18: Laporan Rumah Sutera

Disini bahan yang terikat tidak akan tercelup sehingga pada waktu bahan tersebut ditenun

akan memberikan motif. Bahan sutera mempergunakan zat warna direk, asam, kationik,

naftol dan reaktif.

5. Penghanian

Penghanian merupakan kegiatan memasukkan dan mensejajarkan benang hasil gulungan

pada alat hani.

6. Pencucukan

Setelah benang dihani, maka selanjutnya dilakukan pencucukan yaitu benang pada alat hani

dimasukkan pada alat tenun bukan mesin (ATBM).

7. Penenunan

Penenunan merupakan kegiatan menenun benang sutera secara manual dengan tangan

menggunakan ATBM untuk menghasilkan kain tenun sutera. Proses penenunan ini, benang

pakan dipasang secara horizontal dan benang lungsi dipasang secara vertikal pada ATBM.

8. Pembersihan kain tenun (degumming cloth)

Proses ini dilakukan melalui perebusan kain tenun sutera dalam larutan soda as, setelah itu

dijemur agar kain tidak kotor dan tidak kaku.

3.2.8 Pemasaran

Kegiatan pemasaran kain sutera pada CV Batu Gede meliputi kegiatan penjualan, distribusi,

transaksi pembayaran dan promosi. Produk kain sutera yang dijual perusahaan adalah kain

tenun sutera putih polos (dobby) dan kain tenun sutera warna. Harga kedua jenis kain sutera

tersebut bervariatif, namun rata-rata harga produk yang paling banyak dipesan oleh

konsumen untuk kain dobby adalah Rp 110.000,00 per meter dan kain tenun warna adalah Rp

200.000,00 per meter.

Kegiatan penjualan kain sutera pada CV Batu Gede meliputi kegiatan penerimaan pesanan

dan penawaran melalui telepon atau negosiasi langsung dari konsumen. Konsumen yang

menjadi pelanggan perusahaan terdiri dari para pedagang kain, tailors, toko pakaian dan butik

yang berada di Bogor, Jakarta dan kota-kota lainnya di wilayah Jawa Barat. Konsumen baru

yang akan menjadi calon pelanggan dilakukan negosiasi dan supervisi terlebih dahulu oleh

pemilik perusahaan dan bagian administrasi perusahaan, yaitu dengan memberikan dafar kain

sutera yang dijual beserta daftar harganya. Kesepakatan akan ditentukan pada saat melakukan

kerjasama, seperti menentukan jenis kain sutera, waktu pengiriman atau pengambilan, waktu

dan bentuk pembayarannya. Sebagian besar konsumen biasanya mengambil pesanan kain

Page 19: Laporan Rumah Sutera

sutera secara datang langsung ke perusahaan sebelumnya pihak perusahaan memberitahukan

selesainya pesanan via telepon.

Kegiatan distribusi dilakukan apabila konsumen menginginkan perusahaan mengantarkan

pesanannya ke lokasi konsumen. Kegiatan ini dilakukan oleh supir dan bagian administrasi

perusahaan. Saluran distribusi perusahaan merupakan saluran distribusi tidak langsung karena

produk kain sutera yang dijual perusahaan tidak berhubungan langsung dengan konsumen

akhir melainkan melalui perantara (distributor) terlebih dahulu seperti pemborong (jobber),

pedagang, toko-toko atau butik. Lamanya proses pemesanan tergantung pada jenis dan

jumlah produk yang dipesan. Biaya pengiriman produk ditanggung oleh konsumen atau

perusahaan berdasarkan dengan permintaan konsumen. Kegiatan pembayaran dari konsumen

ditangani langsung oleh pemilik perusahaan. Sistem pembayaran dapat dilakukan secara tunai

atau tidak tunai dengan pemberian uang muka sebesar 30 persen dari total pembelian dan

pelunasannya dilakukan apabila semua pesanan produk telah diterima konsumen. Kegiatan

promosi dilakukan untuk menyampaikan informasi mengenai profil, kegiatan dan produk

perusahaan kepada konsumen yaitu melalui katalog dan website. Website perusahaan yang

dapat dikunjungi konsumen adalah www.rumahsuteraalam.com.

Page 20: Laporan Rumah Sutera

BAB IV

KESIMPULAN & SARAN

4.1 KESIMPULAN

1. CV Batu Gede Bogor merupakan perusahaan yang bergerak dibidang agribisnis,

agrowisata serta pendidikan dan pelatihan persuteraan alam. Tipe organisasi bisnis CV

Batu Gede Bogor adalah perusahaan perseorangan.

2. Rumah Sutera Alam bisa memproduksi 600 Kg Kokon akan menghasilkan 60 Kg

benang yang dapat dijadikan 600 m kain sutera pertahun.

3. Produk utama yang dihasilkan oleh CV Batu Gede adalah benang sutera serta kain tenun sutera dan produk sampingan, yaitu berupa aksesoris/souvenir buatan tangan yang berasal dari kokon rusak yang tidak bisa dijadikan benang, teh murbei serta penyewaan lokasi (ekowisata atau penginapan).

4. Proses produksi kain sutera pada cv batu gede yaitu pembersihan getah benang (degumming yarn), pengelosan (twisting lungsi), pemaletan (twisting pakan), pewarnaan atau pencelupan, penghanian, pencucukan, penenunan, pembersihan kain tenun (degumming cloth).

4.2 SARAN

Rumah Ulat sutera sebaiknya menambah alat produksi agar dapat meningkatkan jumlah

produksi dan menambah tenaga kerja sehingga mengurangi dapat pengangguran.

Page 21: Laporan Rumah Sutera

LAMPIRAN

Daun Murbei yang digunakan untuk pakan ulat sutera

Luas lahan tanaman murbei ini 2 hektar

Ulat sutera dewasa yang akan segera menjadi kokon

Ulat sutera yang sudan mengkokon

Ulat sutera dewasa yang akan segera menjadi kokon

Page 22: Laporan Rumah Sutera

Perebusan kokon untuk pembersihan getah benang

Kokon yang sudah dilepas getah benangnya

Penggulungan/pemintalan benang dari kokon

Penggulungan/pemintalan benang dari kokon

Benang sutera yang sudah jadi

Page 23: Laporan Rumah Sutera
Page 24: Laporan Rumah Sutera

LAPORAN PRAKTIKUM

MANAJEMEN AGRIBISNIS

Alat penggulung benang sutera

Proses penenunan benang menjadi kain sutera

Proses penenunan benang menjadi kain sutera

Hasil kain sutera yang sudah jadi

Page 25: Laporan Rumah Sutera

Aspek Produksi, Pabrik dan Aspek UsahaCV BATU GEDE RUMAH SUTERA ALAM

Oleh:

Citralia Anggriyani (E1D0090)

Eko Priyanto (E1D0090)

Juraida (E1D0090)

Indra Aresta (E1D0090)

Novicia Dewi Maharani (E1D009067)

Roland Aritonang (E1D0090)

(E1D0090)

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS BENGKULU

2012