Post on 12-Jun-2015
Sumber : http://74.125.153.132/search?
q=cache:QwF_4ec_keEJ:www.komnasfbpi.go.id/files/
naskahpidato_GuruBesarUGM__Widya_Asmara_.pdf+hospes+flu+burung&cd=1&hl=id
&ct=clnk&gl=id&client=firefox-a
PERAN BIOLOGI MOLEKULER DALAM
PENGENDALIAN AVIAN INFLUENZA DAN FLU BURUNG
*Widya Asmara*
I. Pendahuluan
Berbicara mengenai wabah avian influenza (AI) di Indonesia, kita terpaksa
melihat kilas balik sekitar 4 tahun yang lalu. Kasus AI pada ayam di Indonesia diyakini
muncul pertama kali sekitar bulan Agustus tahun 2003 di beberapa peternakan ayam ras
komersial di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Kasus tersebut cepat meluas ke berbagai
daerah di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY),
Lampung, Bali, serta beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan. Pada tahun 2003,
wilayah yang terjangkit penyakit tersebut mencakup 9 provinsi, yang terdiri dari 51
kabupaten/kota dan jumlah ayam/unggas yang mati mencapai 4,13 juta ekor (Data Dirjen
Peternakan RI, 2004). Jenis unggas yang terserang meliputi ayam ras petelur, pedaging,
ayam bibit, ayam buras, ayam arab, itik, entog, burung puyuh, burung merpati, burung
perkutut, dan burung merak. Pada akhir tahun 2003 dari beberapa sampel ayam dan itik
di Jawa Tengah dan Lampung telah terdeteksi adanya virus AI subti pe H5 (Asmara dkk,
2005). Setelah melewati perdebatan yang sengit di antara para ahli mengenai penyebab
kematian unggas–unggas tersebut, hasil kajian lapangan, klinik, patologik, dan
laboratorik sesuai dengan uji standar yang telah ditetapkan oleh Office International des
Epizooties (OIE), yaitu Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan membuktikan bahwa
penyebab kematian ayam ras/unggas peliharaan lain di Indonesia sejak bulan Agustus
2003 tersebut adalah virus influenza tipe A, subtipe H5N1 yang tergolong virus highly
pathogenic avian influenza (HPAI). Jumlah kematian unggas akibat serangan virus AI
sejak bulan Agustus 2003 sampai dengan November 2005 diperkirakan telah mencapai
10,45 juta ekor. Jumlah kematian unggas pada tahun 2005 cenderung menurun drastis
dibandingkan dengan tahun 2003 maupun tahun 2004, walaupun daerah yang terserang
cenderung lebih luas. Di tengah menurunnya kasus AI di peternakan unggas, kita
dikejutkan dengan kejadian flu burung pada orang di Indonesia. Pada bulan Juli 2005,
kasus flu burung (pada manusia) pertama di Indonesia dilaporkan * Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta 12 Maret 2007 di Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten walaupun sumber
penularan tidak diketahui secara pasti. Meskipun demikian, jumlah kematian pada
manusia yang berhubungan dengan kasus flu burung terus bertambah dan sampai dengan
bulan Februari 2007 tercatat 83 orang terkonfirmasi menderita flu burung di Indonesia
dan 63 orang diantaranya telah meninggal dunia. Masalah penting yang dikhawatirkan
oleh para ahli di dunia pada saat ini adalah kemungkinan munculnya subtipe baru virus
influenza yang mampu untuk menular dari manusia ke manusia oleh karena saat ini virus
H5N1 diduga telah mampu untuk menular dari unggas ke manusia. Kemungkinan ini
dapat terjadi apabila muncul adanya virus subtipe baru yang terbentuk akibat mutasi
adaptif atau reasorsi virus AI asal unggas dan virus human influenza. Di dalam
perkembangannya, subtipe virus AI mutan ini mungkin terus mengalami mutasi yang
dapat berakibat pada shift dan/atau drift antigenik yang dapat meningkatkan kemampuan
virus tersebut untuk menginfeksi sel–sel dalam tubuh manusia, sehingga dapat terjadi
penularan antar manusia yang merupakan awal dari pandemi global flu burung, seperti
yang pernah terjadi pada tahun 1918–1919 (Spanish Flu), tahun 1957–1958 (Asian Flu),
dan tahun 1967–1968 (Hongkong Flu).
Avian influenza adalah penyakit viral pada unggas, termasuk ayam dan unggas
liar yang disebabkan oleh virus influenza tipe A. Penyakit ini dikenal juga dengan nama
avian flu dan dapat menimbulkan penyakit dengan derajat keparahan yang bervariasi,
mulai dari infeksi yang bersifat asimptomatik sampai penyakit yang fatal dan bersifat
multisistemik (Swayne, 2000). Masyarakat luas lebih mengenal AI dengan nama flu
burung (bird flu) yang sebetulnya merupakan penyakit influenza viral pada manusia yang
ada hubungannya dengan infeksi virus influenza asal unggas.
Hospes alami dan reservoir virus AI adalah unggas air liar. Jenis unggas tersebut
biasanya menunjukkan infeksi pencernaan asimptomatik, tetapi dapat membebaskan
virus AI dalam jumlah yang besar melalui feses. Virus AI yang ganas jarang ditemukan
pada reservoir unggas liar, tetapi sumber infeksi virus tersebut dapat ditemukan pada
unggas peliharaan. Sejak akhir 2003 virus AI subtipe H5N1 telah menyebar di peternakan
unggas beberapa negara Asia termasuk China, Vietnam, Thailand, Kamboja, Korea,
Jepang, dan Indonesia, bahkan akhir–akhir ini virus tersebut telah menginfeksi populasi
unggas di beberapa negara di Eropa dan Afrika (Steven et al., 2006). Selain pada unggas,
VAI dapat pula menyerang mamalia, termasuk manusia. Tidak kurang dari 191 orang
telah dilaporkan terinfeksi dengan virus AI H5N1 dan 108 diantaranya meninggal. Di
Indonesia sendiri sampai dengan Februari 2007 tercatat 83 orang terinfeksi dengan virus
flu burung dan 63 orang diantaranya meninggal. Mamalia seperti anjing, kucing, dan
manusia sebenarnya bukanlah hospes alami bagi virus AI, sehingga masuknya virus
tersebut ke mamalia dapat dianggap sebagai melintas batas spesies. Untuk memahami
mekanisme yang terjadi sehingga virus AI dapat melintasi batas spesies perlu analisis
pada aras molekuler. Pemahaman yang benar akan berperan besar dalam pengendalian
wabah dan pencegahan terjadinya pandemi influenza.
Biologi Molekuler Virus Influenza
Virus Avian Influenza termasuk dalam virus influenza tipe A. Dua tipe lainnya
adalah virus influenza tipe B dan virus influenza tipe C. Ketiga tipe virus ini termasuk
dalam famili Orthomyxoviridae yang dapat dibedakan berdasarkan perbedaan sifat
antigenik yang terdapat pada nukleoprotein (NP) dan matriks (M) (Horimoto &
Kawaoka, 2001; Whittaker, 2001).
Virus influenza tipe A dapat menyebabkan epidemik dan pandemik pada unggas
dan mamalia, termasuk manusia (Clavijo et al, 2001; Donateli et al,2001; Hoffmann et al,
2000).
Virus influenza tipe B dan C terutama dapat diisolasi dari manusia dan umumnya
bersifat kurang patogen dibandingkan dengan virus influenza tipe A. Berdasarkan analisis
filogenetik, virus influenza tipe A dan tipe B mempunyai hubungan yang lebih dekat
dibandingkan dengan virus influenza tipe C (Suzuki & Nei, 2002).
Genom virus influenza tipe A berupa RNA untai tunggal, sense negatif, sepanjang
kurang lebih 13.588 nukleotida yang tersusun dalam 8 segmen yang menyandi 10 macam
protein. Kedelapan segmen tersebut adalah PB2, PB1, PA, HA, NP, NA, M (M1 dan M2)
serta NS (NS1 dan NS2) (Horimoto & Kawaoka, 2001; Whittaker, 2001).
Virus ini mempunyai amplop dengan lipid bilayer yang berasal dari hospes dan
ditutupi dengan sekitar 500 tonjolan glikoprotein yang mempunyai aktivitas
hemaglutinasi dan neuraminidase. Aktivitas ini diperankan oleh 2 glikoprotein utama
pada permukaan virus yaitu hemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA) yang berada
dalam bentuk homotrimer dan homotetramer. Analisis serologik dan genetik pada VAI
dapat diketahui adanya 16 macam HA dan 9 macam NA (Donateli et al, 2001; Dybing et
al, 2000; Hoffmann et al, 2000; Swayne, 2004).
Diantara VAI yang sering menimbulkan penyakit serius pada unggas terutama
adalah yang mempunyai hemaglutinin H5, H7, dan kadang–kadang H9. Susunan asam
amino protein HA, NA, serta protein NS dan PB2 ikut berperan dalam sifat antigenik,
virulensi, dan spesifitas virus terhadap hospes. Kemampuan VAI untuk melakukan
mutasi dan reasorsi genetik memungkinkan virus untuk berubah sifat antigeniknya,
patogenisitasnya, serta spesifitas hospesnya (Asmara, 2005).
Variasi antigenik pada virus AI dapat ditemukan dengan frekuensi tinggi dan
terjadi melalui 2 cara, yaitu shift dan drift. Shift antigenik dapat timbul akibat gene
reassortment (pertukaran atau pencampuran gen) yang terjadi pada 2 atau lebih virus
influenza tipe A sehingga terjadi penyusunan kembali suatu galur virus baru yang
bermanifestasi sebagai subtipe virus AI baru. Shift antigenik terjadi oleh adanya
perubahan struktur antigenik yang bersifat dominan pada antigen permukaan H dan/atau
N. Drift antigenik dapat terjadi oleh adanya perubahan struktur antigenik yang bersifat
minor pada antigen permukaan H dan/atau N dan dapat ditemukan pada virus influenza
tipe A dan B. Drift antigenik berlangsung lambat, tetapi progresif dan cenderung
menimbulkan penyakit yang terbatas pada suatu kawasan. Mutasi pada materi genetik
dapat menimbulkan perubahan polipeptida virus, yaitu sekitar 2–3 kali substitusi asam
amino per tahun (Capua et al., 2000; Tumpey et al., 2002; Swayne and Suarez, 2003).
Virus influenza pada unggas dilaporkan lebih jarang mengalami drift antigenik
dibandingkan dengan virus pada mamalia. Hasil penelitian Tim AI FKH–UGM yang
dianalisis melalui multiple alignment juga menunjukkan bahwa belum banyak perbedaan
sekuen gen HA virus AI isolat DIY–Jateng tahun 2003–2005 (homologi sekitar 98%).
Pengaturan kembali struktur genetik dari virus influenza pada unggas dan mamalia
diperkirakan merupakan mekanisme timbulnya strain “baru” virus influenza pada
manusia yang bersifat pandemik (Swayne and Suarez, 2003).
Siapa saja yang dapat terserang flu burung?
Di muka telah disampaikan bahwa unggas air merupakan reservoir alami virus AI,
meskipun demikian virus AI dapat pula menginfeksi ayam dan unggas lain seperti puyuh
dan beberapa unggas kesayangan. Dalam surveilen aktif Tim KKR3 KOMNAS FBPI
wilayah DIY–Jateng, telah mengidentifikasi adanya virus AI subtipe H5N1 pada burung
kutilang, merpati, dan penthet di daerah dimana terjadi wabah AI pada ternak ayam dan
kejadian kematian anak akibat flu burung bulan Januari 2007. Tim juga mengidentifikasi
adanya virus AI pada 2 ekor kucing dan anjing. Penemuan virus AI pada anjing dan
kucing juga telah dilaporkan oleh Tim Peneliti AI dari Universitas Udayana Bali. Dari
kejadian ini muncul pertanyaan kemungkinan penularan flu burung antar kucing dan dari
kucing ke manusia. Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada baiknya kita lihat kembali
kejadian infeksi virus AI pada carnivora. Pada bulan Desember 2003, 2 ekor harimau dan
2 ekor macan tutul kebun binatang di Thailand mati karena virus AI. Wabah di kebun
binatang ini mencapai puncaknya pada bulan Oktober 2004 ketika 147 dari 441 ekor
harimau kebun binatang di Thailand dimusnahkan karena menderita flu burung. Dari
anamnesa dan analisis genotipe virus dapat diketahui bahwa harimau–harimau tersebut
mendapat infeksi virus AI karena diberi makan ayam yang terinfeksi dengan virus AI
(Anonim, 2006).
Pada bulan Oktober 2004 seekor anjing umur 1 tahun di Suphanburi Thailand
mati karena flu burung setelah makan itik yang mengandung virus AI (Songserm et al.,
2006). Infeksi virus AI pada kucing karena makan unggas tertular antara lain terjadi di
Thailand pada 20 Februari 2004, di Jerman pada 28 Februari 2006 dan 8 Maret 2006.
Secara laboratorik kucing memang dapat mati akibat virus AI yang diinfeksikan melalui
trakhea maupun lewat makanan yang tercemar. Dari kucing–kucing tersebut terbukti
dapat mensekresikan virus AI baik lewat lendir hidung, urine maupun feses, dan dapat
menularkan virus ke kucing sehat yang dikandangkan bersama (Kuiken et al., 2005;
Rimmelzwaan et al., 2006).
Dari data tersebut dapat terlihat bahwa anjing dan kucing dapat terinfeksi virus AI
akibat mengkonsumsi daging unggas tercemar virus dan berpotensi dapat menularkan
virus ke kucing di dekatnya. Meskipun demikian wabah avian influenza di antara
populasi anjing dan kucing belum pernah dilaporkan. Oleh karena itu disarankan bagi
para penyayang anjing dan kucing agar lebih menyayangi anjing dan kucingnya dengan
tidak membiarkan mereka berkeliaran yang memungkinkan kontak dengan virus AI di
lapangan. Kecuali itu juga disarankan agar secara rutin memeriksakan kesehatan anjing
dan kucingnya pada dokter hewan yang kompeten (Asmara, 2006b).
Gejala Klinik Avian Influenza
Masa inkubasi avian influenza pada unggas berkisar antara beberapa jam sampai
3 hari; masa inkubasi tersebut tergantung pada dosis virus, rute kontak, dan spesies
unggas yang terserang. Avian influenza dapat ditemukan dalam 2 bentuk, yaitu bentuk
akut (HPAI) dan bentuk ringan. Bentuk akut ditandai oleh adanya proses penyakit yang
cepat disertai mortalitas tinggi; gangguan pernafasan; lakrimasi yang berlebihan;
sinusitis; edema di daerah kepala dan muka; perdarahan jaringan subkutan yang diikuti
oleh sianosis pada kulit, terutama di daerah muka, jengger, pial, dada, tungkai, dan
telapak kaki; diare; gangguan produksi telur; dan gangguan saraf. Pada HPAI bentuk
yang sangat akut, dapat terjadi kematian mendadak tanpa adanya gejala tertentu (Tabbu,
2000).
Avian influenza bentuk ringan yang tidak diikuti oleh infeksi sekunder, akan
terlihat adanya gangguan pernapasan, anoreksia, depresi, sinusitis, gangguan produksi,
dan mortalitas yang rendah tetapi gradual. Jika terdapat infeksi sekunder oleh bakteri atau
ayam dalam keadaan stres akibat lingkungan, gejala klinik dapat menjadi parah. Pada
HPAI, maka morbiditas dan mortalitas dapat mencapai 100%. Gejala flu burung pada
manusia pada dasarnya mirip dengan flu biasa, hanya cenderung lebih cepat menjadi
parah. Masa inkubasi antara 2–4 hari atau dapat lebih panjang, yang diikuti dengan
demam, sakit kepala, nyeri otot dan sendi, sakit tenggorok, batuk, dan kesulitan bernafas.
Apabila terlambat dapat berkembang menjadi multiorgan failure dan berakhir dengan
kematian. Pada gambaran darah dapat terlihat limfopenia dan trobositopenia (Kaye and
Pringle, 2005; Pandhi et al., 2004).
Patogenesis infeksi influenza A H5N1 mungkin berbeda dengan influenza biasa
(H1N1, H3N2), yaitu adanya hiperinduksi sitokin proinflamasi sehingga menimbulkan
hipersitokinemia (sitokines storm). Dengan teknologi reverse genetic dapat diketahui
bahwa gen NS ikut berperan dalam hiperinduksi sitokin ini. NS1 akan berikatan langsung
ke p85β, yaitu subunit regulator phosphatidylinositol–3–kinase (PI3K). Virus H5N1 dan
H1N1 tidak berbeda dalam aktivasi NF–κB atau degradasi IκB–α. Perbedaannya adalah
H5N1 mengaktivasi secara kuat mitogen activated protein kinase (MAPK), termasuk p38
MAPK dan extracellular signal regulated kinases 1 dan 2 (ERK1/2). Overekspresi HA,
NP, atau Matrix protein virus di dalam sel yang terinfeksi akan mentriger NF–κB
signaling pathway melalui aktivasi IκB kinase (IKK). Pemahaman patogenesis molekuler
virus influenza ini memberi peluang para ahli untuk menemukan obat yang dapat
menghambat sitokines storm melalui signaling intervention. Hal ini sangat penting karena
hipersitokinemia yang tidak terkendali dapat berakibat fatal bagi penderita (Lee et al.,
2005).
Kefatalan dapat dihindarkan apabila pasien segera mendapatkan perawatan dan
pengobatan yang benar. Oleh karena itu diagnosa tepat dan cepat merupakan salah satu
kunci dalam penanganan pasien penderita flu burung. Selain melalui teknik kultur virus
sebagai standar emas, deteksi pada tingkat molekuler dengan teknik RT–PCR maupun
real–time RT–PCR dapat dipergunakan untuk meneguhkan diagnosa kasus flu burung
pada sampel pasien. Dewasa ini teknik tersebut telah dapat dilakukan di laboratorium
virologi FKH– UGM, laboratorium PS–Bioteknologi UGM dan dalam waktu dekat juga
di RS.Dr.Sardjito Yogyakarta. Meskipun demikian, secara kelembagaan konfirmasi akhir
tetap dilakukan oleh LITBANGKES di Jakarta.
Mengapa orang dapat terserang flu burung?
Peran hemaglutinin, Salah satu faktor yang berperan dalam infeksi VAI ini adalah
adanya kecocokan antara virus dengan reseptor pada permukaan sel hospes. Untuk
terjadinya infeksi VAI ini berikatan dengan glikoprotein atau glikolipid permukaan sel
yang mengandung gugus terminal sialyl–galactosyl [Neu5Ac(α2–3)Gal] atau
[Neu5Ac(α2–6)Gal]. Virus AI isolat asal ayam cenderung berikatan dengan
[Neu5Ac(α2–3)Gal], sedangkan virus isolat asal manusia mempunyai spesifitas terhadap
[Neu5Ac(α2–6)Gal]. Kondisi ikatan ini ikut berperanan dalam spesifitas virus dengan
hospes (Matrosovich, 2004). Bagian protein HA yang berikatan dengan reseptor hospes
(Receptor Binding Site/RBS) mempunyai susunan asam amino yang khas. Pada RBS
virus influenza subtipe H3 isolat asal ayam dengan asam amino posisi 226 Gln dan posisi
228 Gly akan lebih mengenal [Neu5Ac(α2–3)Gal], sedangkan virus isolat asal manusia
dengan asam amino 226 Leu dan 228 Ser akan lebih mengenal [Neu5Ac(α2–6)Gal]
(Thomson et al., 2006).
Pada sel epitel permukaan saluran respirasi manusia terutama mengandung
[Neu5Ac(α2–6)Gal], sedangkan pada ayam mayoritas adalah [Neu5Ac(α2–3)Gal].
Dengan kondisi seperti ini, maka VAI isolat asal ayam tidak dapat dengan mudah
menginfeksi manusia. Perubahan spesifitas hospes dapat dimungkinkan akibat perubahan
asam amino pada RBS melalui peristiwa mutasi genetik. Pada permukaan trakhea babi
dapat ditemukan kedua jenis reseptor tersebut, sehingga babi dapat dengan mudah
terinfeksi virus influenza baik isolat asal ayam maupun asal manusia. Kondisi ini yang
menimbulkan hipotesis bahwa babi berpotensi bertindak sebagai tempat reasorsi genetik
(mixing vesel) virus influenza asal unggas dan asal manusia. Tetapi sampai dengan saat
ini hal tersebut belum pernah terjadi. Munculnya 4 kejadian pandemi yaitu 1918(H1N1),
1957(H2N2), 1968(H3N2), dan 1977(H1N1) bukan akibat reasorsi genetik pada babi
(Asmara, 2006a).
Hemaglutinin virus yang menyebabkan pandemi influenza tahun 1918
mempunyai perbedaan spesifisitas reseptor antar strain. Isolat A/South Carolina/1/18
cenderung berikatan dengan reseptor –2,6–sialic acid, sedangkan isolat A/New York/1/18
dapat berikatan baik dengan reseptor α–2,6–sialic acid maupun α–2,3–sialic acid. Apabila
dibandingkan dengan virus H1 avian pada umumnya, isolat A/New York/1/18 hanya
berbeda pada asam amino posisi 190. Mutasi hemaglutinin isolat A/New York/1/18 pada
posisi ini dari Asp ke Glu mengurangi kemampuan virus berikatan dengan reseptor α–
2,6–sialic acid dan meningkatkan preferensi ke reseptor avian (Glaser et al., 2005).
Dalam 2 kasus tersebut di atas, baik pada virus influenza H3 maupun H1 terlihat
perbedaan sekuen hemaglutinin diantara virus avian dengan human. Virus AI sub tipe
H5N1 penyebab wabah di Asia tahun 2003– 2004 tidak menunjukkan hal yang demikian.
Sebagian besar virus H5N1 yang diisolasi dari Vietnam, Thailand maupun Hong Kong,
baik yang berasal dari human maupun avian menunjukkan kesamaan sekuen asam amino
di daerah RBS dan mempunyai preferensi untuk berikatan dengan reseptor avian -2,3-
sialic acid (Gambaryan et al, 2006;Neumann and Kawaoka, 2006; Puthavathana et al,
2005; Stevens et al, 2006).
Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana virus–virus tersebut dapat
menginfeksi manusia dan menimbulkan kematian? Penelitian pada aras molekuler
menunjukkan bahwa selain reseptor α–2,6–sialic acid yang merupakan mayoritas, pada
jaringan trakheobronkhial orang juga terdapat sel bersilia yang mengandung reseptor
dengan gugus ikatan –2,6–sialic acid dan α–2,3–sialic acid dalam proporsi yang rendah.
Reseptor α–2,3–sialic acid juga dapat ditemukan pada pneumosit di saluran respirasi
orang bagian bawah (Thompson et al, 2006; van Riel et al, 2006).
Keberadaan reseptor ini besar kemungkinan yang berperan utama masuknya virus
avian ke manusia. Kalau dicermati beberapa kasus kematian manusia akibat flu burung
baik kasus Tangerang, Karo, maupun beberapa kasus yang lain, kluster cenderung terjadi
di antara keluarga. Data ini memberikan indikasi bahwa secara genetik beberapa orang
lebih peka terhadap infeksi flu burung karena proporsi reseptor yang mendukung
(Asmara, 2006a).
Untuk membuktikan hal ini diperlukan penelitian yang lebih rinci pada aras
molekuler. Seperti halnya pada manusia, ternyata faham bahwa ayam hanya mempunyai
reseptor bergugus -2,3-sialic acid tidaklah 100% benar Dengan menggunakan analisis
flow cytometric Kim et al (2005) menemukan reseptor dengan gusus -2,6-sialic acid pada
paru-paru (minor) maupun sel colon (mayor) ayam. Hal serupa tidak ditemukan pada itik.
Dengan teknik kultur sel juga terlihat bahwa virus influenza avian maupun human dapat
bereplikasi di dalamnya. Penemuan ini seolah mengungkap kenyataan yang ada bahwa
virus AI asal ayam dapat langsung menginfeksi orang tanpa harus adaptasi di mamalia
lain.
Mungkinkah evolusi terjadi di dalam tubuh ayam sendiri?
Meskipun di muka telah disebutkan bahwa beberapa peneliti melihat adanya
kesamaan sekuen RBS virus AI H5N1 dari beberapa isolat orang dan ayam di Asia, tetapi
melalui analisis struktur kristal hemaglutinin virus AI dengan resolusi 2,9 Angstrom,
Stevens dkk menemukan adanya kemiripan H5 asal orang Vietnam dengan beberapa H1
asal orang termasuk H1 pandemi 1918 yang lebih tinggi apabila dibandingkan
kemiripannya dengan H5 asal itik tahun 1997 (Stevens et al, 2006).
Gambaryan dkk juga menemukan adanya 2 isolat H5 asal Hong Kong Februari
2003 yang menunjukkan adanya peningkatan afinitas terhadap reseptor –2,6–sialic acid.
Analisis sekuen menunjukkan adanya mutasi Ser227Asn (Gambarayan et al, 2006).
Data ini mengindikasikan adanya potensi ayam sebagai tempat berevolusinya
virus AI yang menyebabkan virus dapat menginfeksi manusia. Setelah berikatan dengan
reseptor sel hospes, maka virus akan masuk melalui fusi amplop virus dengan membran
endosomal sel hospes. Proses ini memerlukan bantuan protease sel hospes untuk
mengaktivasi prekursor hemaglutinin (HAo) menjadi fragmen1 (HA1) dan fragmen2
(HA2) yang akan memungkinkan virus melepaskan ribonukleoproteinnya, yang
selanjutnya akan terjadi replikasi virus di dalam sel hospes. Oleh karena itu aktivasi
proteolitik protein HA merupakan faktor penting untuk infektivitas dan penyebaran virus
ke seluruh tubuh. Perbedaan kepekaan protein HA virus AI terhadap protease hospes
akan berhubungan dengan tingkat virulensi. Virus yang termasuk dalam kelompok
HPAIV mempunyai hemaglutinin yang sangat peka terhadap protease endogen/seluler
hospes, sedangkan pemotongan hemaglutinin pada LPAIV membutuhkan protease ekstra
seluler aktif spesifik seperti tripsin (Alexander, 2000; Spackman et al.,2002; Swayne &
Suarez, 2000).
Analisis molekuler menunjukkan adanya perbedaan susunan asam amino pada
hemagglutinin cleavage site. Pada HPAIV akan ditemukan adanya polybasic amino acid
region. Ciri tersebut terlihat pula pada virus AI asal unggas dari beberapa daerah di
Jateng dan DIY. Sekuen tersebut mengandung 5 arginin dan 2 lisin
(PQRERRRKKRGLF), sama dengan sekuen yang terdapat pada isolat –
A/chicken/HongKong/258/97 (H5N1). Peran Neuraminidase Virus Neuraminidase
dianggap ikut berperan dalam spesifisitas VAI terhadap hospes. Neuraminidase berperan
untuk menghidrolisis ikatan antara galaktosa dan N–acetylneraminic pada rantai ujung
oligosakharida–glikoprotein. Fungsi NA ini harus berada dalam keseimbangan dengan
HA. Hal ini agar aktivitas enzimatik dalam melepaskan asam sialat dari sel yang
terinfeksi tidak menyebabkan penurunan efisiensi infeksi sel berikutnya.
Sialiloligosakharid yang terdapat pada mukus di saluran respirasi mempunyai peran pada
pembatasan hospes terhadap VAI. Neuraminidase VAI isolat asal ayam tidak dapat
memecah 4–O–asetyl SA, sehingga oligoskharida ini dapat beperan sebagai inhibitor
analog reseptor dalam saluran respirasi manusia. Oleh karena itu VAI isolat asal ayam
tidak dapat dengan mudah menginfeksi saluran respirasi manusia. Fungsi lain dari NA
adalah untuk melepaskan partikel virus yang sudah selesai replikasi dalam sel, mencegah
virion yang sudah terbentuk tersebut menempel kembali pada reseptor asam sialat
melalui tonjolan HA. Oleh karena itu efisiensi replikasi VAI sangat tergantung pada
kerjasama protein HA dan NA dari virus (Suzuki et al, 2000).
Apabila 2 atau lebih strain VAI menginfeksi suatu sel secara bersama– sama,
maka sangat dimungkinkan terjadinya pengacakan segmen genom virus (genetic
reassortment), termasuk gen penyandi NA dan HA, yang akan berakibat munculnya
strain virus baru dengan kombinasi genom yang baru dan spesifitas hospes yang berbeda
dengan virus asalnya.
Peran Protein Non Struktural Virus,
Pada dasarnya ada 2 sistem pertahanan tubuh dalam mencegah infeksi virus yaitu
innate immune system dan adaptive immune response. Di antara komponen innate
immune response akibat infeksi virus pada manusia adalah IFN– / . Efek utama induksi
IFN– / setelah berikatan dengan reseptor adalah signal STAT1 dan STAT2 yang akan
berakibat pada aktivasi 2–5(A) synthetase/Rnase L dan p68 kinase, yang akan
menimbulkan blocking replikasi virus. Protein non struktural dapat berperan dalam
resistensi terhadap anti viral tersebut. Resistensi ini diduga ditentukan oleh asam amino
92 protein NS. Apabila posisi asam amino 92 protein NS berupa glutamat akan
menyebabkan VAI tersebut resisten terhadap IFN dan TNF . Sedangkan apabila posisi 92
berupa asam aspartat, VAI menjadi sensitif terhadap IFN dan TNF . Hipotesa ini
didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Seo et al.,(2002) terhadap VAI H5N1/97
yang menginfeksi unggas dan manusia di HongKong. Peran protein NS VAI sebagai
antagonis terhadap aktivitas IFN. Analisis protein NS dari beberapa isolat VAI di
Indonesia menunjukkan adanya asam amino glutamat pada posisi 92 (Nidom, 2005).
Data ini memberikan indikasi adanya potensi virus yang perlu diwaspadai,
meskipun faktor virulensi VAI tidak hanya ditentukan oleh protein NS semata. Peran
Protein Matriks Gen matriks VAI menyandi 2 macam protein yaitu protein M1 dan
protein M2. Protein matriks mempunyai peran dalam penyusunan virion VAI. Bersama
dengan protein HA dan NA protein M2 menyusun struktur amplop virus dan berperan
sebagai saluran ion. Protein M1 tidak hanya sebagai komponen struktural virus, tetapi
juga berperan pada awal infeksi dalam pemisahan protein M1 dari RNP untuk masuk ke
dalam sitoplasma sel tropisma. Pemisahan ini dipicu pemindahan ion hidrogen melewati
membran virus oleh protein M2. Pada protein M1 diketemukan paling tidak ada 2 domain
yang conserved yaitu antara asam amino 148 sampai 162 yang membentuk struktur zinc
finger motif dan residu palindromik pada posisi 101 sampai 105. Protein M2 ini juga
menjadi target kerja amantadin (Reid et al., 2002). Zhou et al (1999) melaporkan bahwa
ada perbedaan beberapa asam amino protein M antara virus avian influenza H5N1
dengan human influenza H5N1. Pada kasus di Hong Kong, protein M isolat asal manusia
mempunyai asam amino glycin, valin, dan fenilalanin berturut–turut pada posisi 16, 28
dan 55. Penelitian pada protein M isolat Indonesia juga ditemukan susunan asam amino
yang conserved untuk membentuk zinc finger motif dan palindromic sequence. Meskipun
demikian, posisi asam amino 16, 28 dan 55 berturut–turut diisi dengan prolin, leucin, dan
leucin yang berbeda dengan susunan asam amino protein M isolat asal manusia di Hong
Kong (Nidom, 2005). Berdasarkan data ini VAI isolat asal ayam di Indonesia kecil
potensinya untuk menimbulkan kefatalan pada manusia.
Peran Polymerase Basic
Seperti telah disampaikan didepan bahwa gen Polymerase Basic (PB) menyandi
transcriptase, yang berperan diantaranya dalam cap– binding dan elongation. Dalam suatu
penelitian dengan reverse genetic terhadap virus H5N1 asal orang Hong Kong 1997 dapat
diketahui bahwa mutasi pada PB2 pada codon 667 menjadi lysin (667K) menyebabkan
virus favorabel untuk replikasi pada suhu sekitar 36°C (Neumann and Kawaoka, 2006).
Kondisi ini sangat memungkinkan bagi virus avian influenza untuk dapat
berplikasi dalam tubuh manusia, atau dengan kata lain mempunyai kapabilitas untuk
menginfeksi manusia.
Dapatkah flu burung dicegah dan diobati?
Di depan telah disebutkan bahwa apabila penegakan diagnosa dapat dilakukan
dengan tepat dan cepat maka penderita flu burung dapat disembuhkan dengan pemberian
obat anti viral yang tepat. Dewasa ini preparat oseltamivir masih dianggap cukup efektif
untuk menyembuhkan penderita flu burung melalui penghambatan replikasi virus H5N1.
Dalam industri perunggasan, vaksinasi terhadap avian influenza terbukti cukup efektif di
dalam menangkal terjadinya wabah. Idealnya vaksinasi dilakukan dengan vaksin in aktif
yang mengandung suspensi virus dengan homologi yang tinggi dengan virus penyebab
wabah. Vaksinansi dengan strain virus homolog telah terbukti menurunkan angka
kematian dan memperpendek viral shedding. Homologi utamanya ditujukan pada gen H
yang menyandi antigen yang menginduksi pembentukan antibodi netralisasi. Vaksinasi
dengan VAI yang berbeda subtipe hemaglutininnya tidak menghasilkan aktivitas
netralisasi. Meskipun demikian dalam penelitiannya Seo dkk (2002) membuktikan
adanya cross-reactive protective immunity pada mencit dan ayam yang diimunisasi
dengan VAI H9N2 dan ditantang dengan H5N1, yang keduanya mempunyai gen–gen
internal serupa. Perlindungan ini tidak diperantarai oleh antibodi netralisasi akan tetapi
diperantarai oleh sel T (CD8+) dan TCR α/β. Di dalam imunitas protektif ini subset TCR
α/β (Vβ1) T cells memegang peran dominan. Meskipun vaksin dengan heterolog subtipe
ini melindungi ayam dari kematian, tetapi tidak mampu meniadakan virus dalam jaringan
maupun shedding virus. Oleh karena itu vaksinasi dengan subtipe virus yang jauh
berbeda perlu dipertimbangkan dengan seksama, karena dapat menimbulkan fenomena
masking effect (Asmara, 2006c).
Salah satu kendala dalam penggunaan strain homolog virus wabah dalam
pembuatan vaksin ideal adalah sifat virus yang HPAI. Dengan kemajuan di bidang
biologi molekuler, memungkinkan kita untuk merubah HPAIV menjadi LPAIV melalui
site–directed mutagenesis dan merekonstruksi strain virus vaksin dengan teknik reverse
genetic. Pada manusia untuk kesiapsiagaan pandemi influenza mungkin juga perlu
disiapkan vaksin inaktif yang idealnya mengandung virus galur pandemi. Meskipun
demikian, vaksinasi masal pada orang, dewasa ini belum diperlukan. Vaksin influenza
inaktif biasanya hanya melindungi sekitar 60–80% terhadap galur yang homolog. Oleh
karena itu selain penyediaan vaksin dan obat anti viral, perlu dipikirkan alternatif yang
lebih baik. Teknik biologi molekuler telah mengidentifikasi adanya RNA interference
yang dapat menghambat replikasi virus di luar jalur IFN. Tomkins et al (2004) telah
membuktikan pemberian siRNA spesifik (siNP & siPA) dapat mencegah kematian
mencit yang diinfeksi dengan virus influenza. Penemuan ini mempunyai prospek untuk
dikembangkan dalam pencegahan kefatalan flu burung pada manusia (Tomkins et al.,
2004).
Kekerabatan Genetik Diantara VAI Isolat Indonesia
Berdasarkan sekuen asam nukleat gena penyandi HA sebanyak 435 bp dari 14 sampel
isolat virus AI yang dikerjakan oleh Tim AI di FKH–UGM, dibandingkan dengan isolat
Indonesia yang telah lebih dulu ada di gene bank didapatkan bahwa secara umum isolat
AI Indonesia masih dalam satu klaster isolat Indonesia dan tidak menunjukkan perbedaan
kekerabatan yang nyata dengan isolat terdahulu. Terlihat bahwa isolat ayam broiler dan
petelur isolat lama 2003–2004 juga memberikan gambaran kedekatan dengan isolat pada
tahun yang sama dari isolat Indonesia yang lain yang sudah terdaftar di gene bank.
Sedangkan isolat–isolat terbaru tahun 2005 membentuk satu kelompok tersendiri
dengan perbedaan kekerabatan yang sangat tipis (kurang dari 0,001%) dengan isolat
lama, sehingga dapat dikatakan bahwa isolat AI tahun 2005 masih tidak menunjukkan
peerbedaan yang signifikan dengan isolat yang lalu (lihat Lampiran 1).
Hasil analisis ini memberikan indikasi adanya dinamika genetik isolat virus AI di
Indonesia sejak tahun 2003 sampai dengan 2005, meskipun mutasi yang terjadi
kemungkinan besar masih berupa antigenic drift.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa virus avian influenza telah
menimbulkan korban baik pada ternak ayam maupun pada manusia di Indonesia. Ada
potensi penularan virus avian influenza dari unggas ke manusia, meskipun tidak semua
isolat VAI dapat dengan mudah menginfeksi dan menimbulkan sakit pada setiap orang.
Sejauh yang teridentifikasi sampai saat ini belum ada indikasi adanya isolat VAI
Indonesia yang mempunyai potensi menular dari orang ke orang. Diduga secara genetik
orang-orang tertentu mempunyai kepekaan yang lebih terhadap VAI. Secara keseluruhan
patogenisitas VAI dipengaruhi oleh multifaktor antara lain susunan gen virus, latar
belakang genetik, kondisi imunitas hospes dan dosis infeksi. Penderita flu burung dapat
disembuhkan dengan pengobatan yang tepat. Diagnosa dini sangat diperlukan untuk
penanganan pasien dengan cepat dan tepat. Teknologi berbasis biologi molekuler sangat
diperlukan dalam penegakan diagnosa, analisis genetik virus dan epidemiologi molekuler
flu burung, serta penyusunan vaksin ideal. Kondisi kesehatan umum serta status imunitas
hewan dan manusia sangat penting dalam menangkal infeksi VAI. Pola hidup yang sehat
dan pola beternak yang benar merupakan kunci dalam pencegahan terjadinya pandemi
influenza.
Kita semua tahu bahwa wabah AI berakibat pada menurunnya pendapatan
nasional karena terganggunya kegiatan ekonomi di sektor peternakan dan perdagangan
unggas beserta produknya, bertambahnya pengangguran serta tidak mustahil akan juga
mengganggu sektor pariwisata. Akan tetapi kita tidak boleh hanya menyesali. Marilah
kita jadikan momentum ini untuk membangun sistem kesehatan dan kesehatan hewan
yang lebih baik dan bersinergi, untuk kesejahteraan masyarakat dalam arti yang luas. Kita
harus dapat membuktikan bahwa dengan teknologi, pengetahuan, dan sumber daya yang
ada, kita mampu mengendalikan avian influenza dan flu burung dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2006.H5N1 avian influenza timeline.World Health Organization. Alexander, D. J., 2000. A review of avian influenza in different bird species.
Vet.Microbiol. 74 : 3–13. Asmara, W. 2005. Mutasi dan reasorsi genetic, shift dan drift antigen virus AI
serta pengaruhnya pada patogenisitas dan spesifisitas hospes. Prosiding Seminar dan Diskusi Interaktif Flu Burung, 21-28. Medika Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
Asmara, W. 2006a. Genetic diversity of avian influenza virus in Indonesia. Annual Scientific Seminar, Indonesian Society of Microbiology, Surakarta, August 2006.
Asmara, W. 2006b. Potensi anjing dan kucing sebagai adaptor virus flu burung. Seminar Nasional ADHPHKI, Bandung 26 November 2006.
Asmara, W. 2006c. The used of avian influenza vaccine containing AIV of homolog/heterolog subtypes. Avian Influenza Workshop, WHO- DEPTAN, Jakarta, December 2006.
Asmara, W., Wibowo, M.H., and Tabbu, C.R. 2005. Hemagglutinin subtype identification of avian influenza virus isolated from various species of birds using RT PCR. J.Sain.Vet. 23(1) : 42–6.
Banks, J., and Plowright, L., 2003. Additional glycosylation at the receptor binding site of the hemagglutinin (HA) for H5 and H7 viruses may be an adaptation to poultry hosts, but does it influence pathogenicity? Avian Dis. 47 : 942-950.
Clavigo, A., Riva, J.,and Copps, J., 2001. Assessment of the pathogenicity of an emu-origin influenza A H5 virus in ostriches (Struthio camelus). Avian Pathol. 30 : 83– 89.
Donateli, I., Campitelli, L., and Trani, L. 2001. Characterization of H5N2 influenza viruses from Italian poultry. J. Gen. Virol. 82 : 623–630.
Dybing, J.K., Schultz–Cherry, S., Swayne, D.E., Suarez, D.L., and Perdue, M.L., 2000. Distinct pathogenesis of Hong Kong origin H5N1 viruses in mice compared to that of other highly pathogenic H5 avian influenza viruses. J. Virol. 74 (3) : 1443–1450. Gambaryan, A., Tuzikov, A., Paxynina, G., Bovin, N., Balish, A., and Klimov, A. 2006. Evolution of the receptor binding phenotype of influenza A (H5) viruses. Virol. 344: 432–38.
Glaser, L., Stevens, J., Zamarin, D., Wilson, I.A., Sastre, A.G., Tumpey, T.M., Basler, C.F., Taubenger, J.K. and Palese, P. 2005. A single amino acid substitution in 1918 influenza virus hemagglutinin changes receptor binding specificity. J.Virol., 79(17) : 11533 –36.
Hoffmann, E., Stech, J., Leneva, I., Krauss, S., Scholtissek, C., Chin, P.S., Peiris, M., Shortridge, K.F., and Webster, R.G., 2000. Characterization of the influenza A virus gene pool in avian species in Southern China: Was H6N1 a derivative or a precursor of H5N1? J. Virol. 74 (14) : 6309–6315.
Horimoto, T., and Kawaoka, Y. 2001. Pandemic Threat Posed By Avian Influenza A Viruses. Clin. Microbiol. Rev. 14:129–149.
Kaye, D. and Pringle, C.R., 2005. Avian influenza viruses and their implication for human health. Clinical Infectious Disease, 40:106–12.
Lee, D.C.W., Cheung, C.Y., Law, A.H.Y., Mok, C.K.P., Peiris, M. and Lau, A.S.Y. 2005. p38 mitogen-activated protein kinase–dependent hyperinduction of TNFα expression in response to avian influenza virus H5N1. J.Virol.79(16): 10147 –54.
Matrosovich, M.N., Matrosovich, T.Y., Gray, T., Roberts, N.A., and Klenk, H-D., 2004. Human and avian influenza viruses target different cell types in cultures of human airway epithelium. PNAS. 101 (13) : 4620–4624.
Neumann, G., and Kawaoka, Y. 2006. Host range restriction and pathogenicity in the contex of influenza pandemic. Emerging Infectious Diseases 12(6); 881–86.
Nidom, C.A. 2005. Analisis molekuler genoma virus avian influenza H5N1 di Indonesia. Disertasi. UNAIR.
Pandhi, S., Panigrahi, P.K., Mahapatra, A. and Mahapatra, S. 2004. Avian influenza (H5N1): A Preliminary Review. Indian J.Med.Microbiol. 22(3):143–46.
Puthavathana, P., Aurewarakul, P., Charoenying, P.C., Sangsiriwut, K.,Pooruk, P., Boonak, K., Khanyok, R., Thawachsupa, P., Kijphati,R., and Sawanpanyalert, P. 2005. Molecular characterization of the complete genome of human influenza H5N1 virus isolated from Thailand. J.Gen.Virol. 86: 423–33.
Reid, A.H., Fanning, T.G., Janczewski, T.A. McCall, S., and Taubenberger, J.K. 2002. Characterization of The 1918 Spanish influenza virus matrix gene segment. J.Virol. 76:10717–10723.
Rimmelzwaan, G.F., vanRiel, D., Barrs, M., Bestebroer, T.M., van Amerongen, G., Fouchier, R.A.M., Osterhaus, A.D.M.E., and Kuiken, T. 2006. Influenza A Virus (H5N1) Infection in Cats Causes Systemic Disease with Potential Novel Routes of Virus Spread within and between Hosts. Am.J.Pathol.168(1):176–183.
Songserm, T., Amonsin, A., Jam-on, R., Sae-Heng, N., Pariyothorn, N.,Payungporn, S., Theamboonlers, A., Chutinimitkul, S.,Thanawongnuwech, R., and Poovorawan, Y. 2006. Fatal Avian Influenza H5N1 in a Dog. Emer.Infect.Dis. 12(11):1744–1747.
Stevens, J., Blixt, O., Tumpey, T.M., Taunberger, J.K., Paulson, J.C. and Wilson, I.A.2006. Structure and receptor specificity of hemagglutinin from an H5N1 influenza virus. Science, 312 : 404–
Suzuki, Y., and Nei, M. 2002. Origin and evolution of influenza hemagglutinin genes. Mol.Biol.Evol. 19 : 501-509.
Suzuki, Y., Ito, T., Suzuki, T., Holland, R.E., Chambers, T.M., Kiso, M.,Ishida, H. and Kawaoka, Y. 2000. Sialic acid species as a determinant of host range of influenza A viruses. J.Virol. 74 :11825–11831.
Swayne, D.E. 2004. Avian influenza, vaccine and control. Poultry Sci.83 : 79–81. Swayne, D.E., and Suarez, D.L. 2003. Biology of avian influenza especially the
change of low pathogenicity virus to high pathogenicity. Proc. Latin American Poultry Congress. Oct.7,2003.
Tabbu, C. R. 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya. Penyakit Bakterial, Mikal, dan Viral. Vol. 1. Hal. 232–244. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Tabbu, C. R., 2005. Prospek penanggulangan avian influenza (AI) di Indonesia. Seminar ASOHI: Pengendalian Flu Burung Pada Hewan dan Manusia.
Thompson, C.I., Barclay, W.S., Zambon, M.C. and Pickles, R.J. 2006.Infection of human airway epithelium by human and avian strains of influenza A virus. J.Virol. 80(16) : 8060–68.
Tumpey, T.M., Suarez, D.L., Perkin, L.E.L., Senne, D.A., Lee, J.G., Lee,Y.J., Mo, I.P., Sung, H.W., and Swayne, D.E., 2002.Characterization of a highly pathogenic H5N1 avian influenza A virus isolated from duck meat. J. Virol. 76 (12) : 6344–6355.
Whittaker, G.R. 2001. Intercellular trafficking of influenza virus : clinical implication for molecular medicine.Cambridge University Press. Pp: 1–13.
Zhou, N.N., Shortridge, K.F. Claas, E.C.J., Krauss, S.L., and Webster,R.G. 1999. Rapid evolution of H5N1 influenza viruses in chicken in Hong Kong. J.Virol. 73:3366–74