Post on 03-Feb-2018
1
Muammar Arafat Yusmad
PENATAKELOLAAN PERBANKAN SYARIAH NASIONAL DALAM
MEWUJUDKAN TUJUAN HUKUM ISLAM (AL MAQASHID AS
SYAR’IYAH)
ABSTRAK:
Perbankan adalah sebuah sebuah lembaga intermediasi yang mendukung
kegiatan perekonomian nasional. Sejak keberlakuan UURI No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, Indonesia telah menganut dual banking systems yaitu memberlakukan dua
sistem perbankan yakni sistem perbankan konvensional dan bank dengan prinsip bagi
hasil. Saat ini perbankan syariah di Indonesia telah memiliki payung hukum tersendiri
sejak berlakunya UURI No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Penata
kelolaan perbankan syariah perlu dilakukan dengan baik dan sistematis oleh otoritas
yang berwenang mengatur tentang regulasi perbankan. Besarnya ekspektasi
masyarakat akan sebuah lembaga perbankan syariah yang benar-benar bersih dari
praktik-praktik maisir, gharar dan riba harus direspon oleh Bank Indonesia sebagai
bank sentral dalam kapasitasnya selaku pembina dan pengawas bank syariah. Kini,
sejak berlakunya UURI No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa keuangan (OJK),
pengawasan terhadap bank syariah tidak lagi menjadi kewenangan Bank Indonesia,
dan beralih ke OJK terhitung sejak 31 Desember 2013.
Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan yaitu pendekatan historis,
pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Melalui
penulisan jurnal ini diharapkan penatakelolaan perbankan syariah melalui konstruksi
hukum terhadap regulasi-regulasi dalam berbagai tingkatan dapat mewujudkan tujuan-
tujuan hukum Islam sebagaimana yang terdapat dalam konsep al Maqashid as
Syar’iyah yaitu terpeliharanya agama, jiwa akal, keturunan dan harta benda.
Kata kunci: Tata kelola bank syariah
A. PENDAHULUAN
Perbankan hadir di tengah masyarakat sebagai pendukung kegiatan
perekonomian nasional. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan selanjutnya menyalurkan kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
2
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.1 Sebagai lembaga intermediasi,
peranan bank sangat besar bagi perekonomian nasional. Sejak keberlakuan
UURI No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Indonesia telah menganut dual
banking systems yaitu berlakunya dua sistem perbankan yakni bank
konvensional dan bank dengan prinsip bagi hasil. Kini bank syariah telah
memiliki dasar hukum tersendiri dengan berlakunya UURI No. 21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah. Bank syariah hadir di tengah-tengah masyarakat
tidak lain adalah sebagai tuntutan dari masyarakat Islam yang menginginkan
adanya sebuah sistem keuangan syariah khususnya perbankan yang benar-
benar menerapkan ajaran Islam. Islam melarang praktik-praktik muamalah
yang mengandung unsur-unsur perjudian (maisir), ketidakjelasan dan
manipulatif (gharar) dan praktik melipatgandakan keuntungan secara tidak
wajar (riba). Bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan
operasionalnya dengan sistem bagi hasil dan tanpa bunga sesuai dengan prinsip
dasar ajaran Islam.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disingkat UUD 1945) mengamanatkan bahwa tujuan
pembangunan nasional adalah terciptanya masyarakat adil dan makmur,
berdasarkan demokrasi ekonomi dengan mengembangkan sistem ekonomi
yang bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan. Guna mewujudkan
tujuan tersebut, pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional diarahkan pada
perekonomian yang berpihak pada ekonomi kerakyatan, merata, mandiri,
handal, berkeadilan, dan mampu bersaing di kancah perekonomian
internasional.2
Penyelenggaraan perekonomian nasional berdasarkan atas demokrasi
ekonomi sebagai amanat konstitusi tentu tidak dapat dilepaskan dari besarnya
peranan perbankan syariah sebagai salah satu unsur dalam sistem perbankan
nasional. Tatakelola bank syariah yang baik melalui konstruksi hukum
diperlukan agar eksistensi bank syariah tetap sejalan dengan konsep tujuan
hukum Islam sebagaimana yang dimaksudkan dalam al maqashid as Syar’iyah.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan beberapa pendekatan (approaches) dalam
pengumpulan bahan hukum dan analisis hukum. Beberapa pendekatan tersebut
adalah: Pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach),
pendekatan historis (historical approach), dan pendekatan konseptual
1Pasal 1 Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan. 2 Lihat Penjelasan atas UURI No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
3
(conseptual approach). Analisis hukum terhadap penelitian dilakukan dengan
menggunakan teori tujuan hukum Islam menurut Abu Ishaq Al Shatibi yang
dikenal dengan teori al Maqashid as Syar’iyah atau al maqashidissyar’iyah.
Pendapat-pendapat dari ahli hukum Islam lainnya juga digunakan sebagai
pendukung dari analisis teori tujuan hukum Islam.
C. PEMBAHASAN
Menurut ketentuan Pasal 50 UURI No. 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah disebutkan bahwa: “Pembinaan dan Pengawasan Bank
Syariah dan Unit Usaha Syariah dilakukan oleh Bank Indonesia”. Ketentuan
tersebut diatas berarti BI mempunyai dua tugas yang berat yaitu selaku
pembina bank syariah yang mengharuskan BI untuk melakukan pembinaan
terhadap bank syariah agar dapat menyesuaikan diri dengan sistem perbankan
syariah sekaligus menyejajarkan dirinya dengan eksistensi perbankan
konvensional yang telah lebih dulu ada. Di sisi lain, BI juga bertugas untuk
melakukan pengawasan terhadap bank syariah agar segala kegiatan
operasionalnya benar-benar sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Sejak
berlakunya UURI No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa keuangan (OJK),
maka tugas pengawasan bank syariah tidak lagi menjadi kewenangan BI tetapi
tershitung tanggal 31 Desember 2013 beralih ke OJK.
Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan Prinsip Syariah3. Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam
dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga
yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.4
Menurut sejarahnya, Bank Muamalat Indonesia (BMI) adalah bank Islam yang
pertama kali didirikan di Indonesia. Dana awal yang terkumpul pada saat akte
pendirian dibuat adalah sekitar 84 milyar rupiah. Selanjutnya tanggal 3
November 1991 berlangsung acara silaturrahiem antara sejumlah kalangan
perbankan, ulama dan tokoh masyarakat dengan Presiden Soeharto di Istana
Bogor, pada saat itu terkumpul sejumlah dana sebesar Rp. 106.126.382.000
(seratus enam milyar, seratus dua puluh enam juta tiga ratus delapan puluh
dua ribu rupiah). BMI resmi memulai kegiatan operasionalnya tanggal 1 Mei
1992.5 Semakin berkembangnya bank syariah nasional tentu harus diikuti
dengan penatakelolaan kegiatan operasional bank yang baik sebagai sebuah
perusahaan yang bergerak di bidang pengelolaan keuangan yang berbasis
syariah. Pertumbuhan perbankan syariah nasional terus berkembang pesat dan
3 Pasal 1 angka ‘6’ UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 4 Pasal 1 angka ‘12’ UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 5 Muh. Firdaus N.H.,et al. Konsep dan Implementasi Bank Syariah,
(Jakarta:P.T.Renaisan, 2005) , Hal. 24
4
saat ini menurut data BI jumlah bank syariah ada 11 (sebelas) buah dengan
jumlah kantor cabang (bransch office) sebanyak 308 kantor. Demikian pula
Unit Usaha Syariah (UUS) sebanyak 24 buah, Layanan syariah (office
channeling) 31 buah dan cabang pembantu dan kantor kas sebanyak 404
kantor.6
Tata kelola perbankan syariah yang baik dapat diwujudkan melalui
sebuah konstruksi hukum dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang perbankan syariah secara sistematis dan taat asas. Maksud ‘taat asas’ di
sini adalah peraturan perundang-undangan tersebut tidak boleh bertentangan
satu sama lain. Peraturan perundang-undangan yang berada pada level bawah
tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang ada di atasnya. Demikian pula
sebuah peraturan yang menjadi sebuah aturan khusus (lex specialis) juga tidak
boleh bertentangan dengan aturan yang sifatnya umum (lex generale).
Peraturan tertinggi yang menjadi pedoman dalam tata kelola perbankan
nasional adalah Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD 1945) sebagai konstitusi nasional. Selanjutnya yang menjadi dasar
hukum perbankan nasional adalah UURI No. 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas UURI No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Sebagai peraturan
khusus (lex specialis) adalah UURI N0. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah. Sebagai peraturan pelaksanaan adalah Peraturan Bank Indonesia (PBI)
yang mengatur tentang perbankan syariah.
Melalui sebuah tata kelola perbankan syariah nasional yang baik,
diharapkan akan terwujud tujuan-tujuan hukum Islam atau
maqashidissyar’iyah. Secara bahasa (lughawi), al maqashid al-syar’iyah
terdiri atas dua kata yaitu maqashid dan syar’iyah. Maqashid berarti
kesengajaan atau tujuan, syar’iyah secara bahasa berarti jalan menuju sumber
air yang dapat diartikan sebagai jalan menuju sumber pokok kehidupan.7
Mempelajari dengan seksama firman Allah swt dan sunnah Rasulullah
Muhammad saw melalui Al Qur’an dan hadith nabi dapat diketahui tentang
tujuan hukum Islam. Secara umum sering diumumkan bahwa tujuan hukum
Islam adalah kebahagian hidup manusia di dunia dan di akhirat kelak, dengan
jalan mengambil (segala) yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang
mudarat, yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan. 8
6 Data jumlah bank syariah dalam www.bi.go.id, tanggal akses 20 Desember 2013. 7 Aspari Jaya Bakri. Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi. (Jakarta:Raja
Grafindo Persada, 1996) hal. 63, selanjutnya dikutip oleh penulis dalam ringkasan disertasi
Dyah Ochtorina Susanti. Asas Keadilan Dalam Perjanjian Berdasar Akad Musyarakah Pada
Pembentukan Comanditer Venootschap. PDIH Universitas Brawijaya, 2011, hal. 27. 8 Mohammad Daud Ali. Hukum Islam. (Jakarta : P.T. Raja Grafindo Persada, 2004),
hal. 61
5
Abu Ishaq al Shatibi merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni
memelihara (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta, yang
(kemudian) disepakati oleh ilmuwan hukum Islam lainnya. Kelima tujuan
hukum Islam itu di dalam kepustakaan disebut al-maqasid al khamsah atau al-
maqasid al-shari’ah (baca:al-maqasidis syari’ah kadang-kadang disebut al
maqadis syar’iyah) (tujuan-tujuan hukum Islam)9.
Pemeliharaan (1) agama merupakan tujuan pertama hukum Islam.
Sebabnya adalah karena agama merupakan pedoman hidup manusia, dan di
dalam agama Islam selain komponen-komponen akidah yang merupakan
pegangan hidup setiap muslim serta ahlak yang merupakan sikap hidup seorang
muslim, terdapat juga syariah yang merupakan jalan hidup seorang muslim
yang baik dalam berhubungan dengan tuhannya maupun berhubungan dengan
manusia lain dan benda lain dalam masyarakat. Karena itulah maka hukum
Islam wajib melindungi agama yang dianut oleh seseorang dan menjamin
kemerdekaan setiap orang untuk beribadah menurut keyakinan (agama)nya.10
Pemeliharaan (2) jiwa adalah tujuan kedua hukum Islam. Karena itu
hukum Islam wajib memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan
kehidupannya. Praktik-praktik perbankan syariah yang harus sejalan dengan
prinsip syariah bertujuan untuk memelihara jiwa manusia agar tidak melakukan
kegiatan-kegiatan ekonomi dapat merugikan orang lain. Pemeliharaan (3) akal
sangat dipentingkan oleh hukum Islam, oleh karena dengan mempergunakan
akalnya, manusia dapat berpikir tentang Allah swt, alam semesta dan dirinya
sendiri. Dengan mempergunakan akalnya, manusia dapat mengembangkan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa akal, manusia tidak mungkin pula
menjadi pelaku dan pelaksana hukum Islam. Oleh karena itu, pemeliharaan
akal menjadi salah satu tujuan hukum Islam. Penggunaan akal itu harus
diarahkan pada hal-hal atau sesuatu yang bermanfaat bagi kepentingan hidup
manusia, tidak untuk hal-hal yang merugikan kehidupan. Guna memelihara
akal itulah maka hukum Islam melarang orang meminum setiap minuman yang
memabukkan yang disebut dengan istilah khamar (QS Al-Maidah (5): 90) dan
menghukum setiap perbuatan yang dapat merusak akal manusia.11
9 Abu Ishaq al Shatibi dalam Moh. Daud Ali, ibid. 10 Ibid, hal.63 11 Ibid, hal. 64
6
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan
keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.
Pemeliharaan (4) keturunan, agar kemurnian darah dapat dijaga dan
kelanjutan umat manusia dapat diteruskan, merupakan tujuan keempat hukum
Islam. Hal ini tercermin dalam hubungan darah yang menjadi syarat untuk
dapat saling mewarisi (QS An-Nisa’ (4): 11). Hukum kekeluargaan dan
kewarisan Islam adalah hukum-hukum yang secara khusus diciptakan Allah
swt untuk memelihara kemurnian darah dan kemaslahatan keturunan. 12
Artinya: Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk)
anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang
12 Ibid
7
anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi
mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang
saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-
masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi
oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu
mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui
siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa`atnya bagimu. Ini adalah
ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Pemeliharaan (5) harta adalah tujuan kelima hukum Islam. Menurut
ajaran Islam, harta adalah pemberian Tuhan kepada manusia, agar manusia
dapat mempertahankan hidup dan melangsungkan kehidupannya. Oleh karena
itu, hukum Islam melindungi hak manusia untuk memperoleh harta dengan
cara-cara yang halal dan sah serta melindungi kepentingan harta seseorang,
masyarakat dan negara, misalnya dari penipuan (QS. An-Nisa’ (4): 29),
penggelapan (QS An-Nisa’ (4): 58) dan kejahatan lain terhadap harta orang
lain. Peralihan harta seseorang setelah ia meninggal dunia pun diatur secara
rinci oleh hukum Islam agar peralihan itu dapat berlangsung dengan baik dan
adil berdasarkan fungsi dan tanggung jawab seseorang dalam kehidupan rumah
tangga dan masyarakat.13
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh
dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. An-Nisa’ (4):
29)
13 Ibid, hal. 65
8
Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi
pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. An-Nisa’ (4): 58)
Imam Ghazali juga memasukkan seluruh perkara yang dianggap
penting untuk dilindungi dan dipelihara yaitu keimanan, kehidupan, akal,
keturunan dan harta benda. Menurut Imam Ghazali yang dimaksud dengan
pemeliharaan agama adalah melindungi dan memperkaya keimanan dan yang
dimaksud dengan pemeliharaan jiwa adalah melindungi kehidupan manusia.
Secara bijaksana Imam Ghazali meletakkan keimanan pada urutan pertama
daftar maqashid. Menurut perspektif Islam, iman adalah isi yang sangat
penting bagi kehidupan manusia. Imanlah yang meletakkan hubungan-
hubungan kemanusiaan pada fondasi yang benar, memungkinkan umat
manusia berinteraksi satu sama lain dalam suatu pergaulan yang seimbang dan
saling menguntungkan dalam mencapai kebahagiaan bersama.14
Imam Ghazali juga memberikan suatu filter moral bagi alokasi dan
distribusi sumber-sumber daya menurut kehendak persaudaraan dan keadilan
sosial ekonomi, di samping menyediakan pula suatu sistem pendorong untuk
mencapai sasaran seperti pemenuhan kebutuhan dan distribusi pendapatan dan
kekayaan yang merata.15 Imam Ghazali meletakkan harta benda dalam urutan
terakhir maqashid oleh karena harta benda bukanlah tujuan itu sendiri. Ia
hanyalah suatu perantara (alat) meskipun sangat penting untuk merealisasikan
kebahagiaan manusia. Harta benda tidak dapat mengantar tujuan ini, kecuali
bila dialokasikan dan didistribusikan secara merata.16 Tiga tujuan yang berada
di tengah (kehidupan, akal, dan keturunan) berhubungan dengan manusia itu
14 Umer Chapra, Ikhwan Abidin basri (ed). Islam dan Tantangan Ekonomi.
(Jakarta:Gema Insani, 2000), hal. 7 15 Ibid, hal. 8 16 Ibid
9
sendiri, kebahagiaannya menjadi tujuan utama dari syariat. Pemenuhan
kebutuhan ini akan menjamin generasi sekarang dan yang akan datang dalam
kedamaian, kenyamanan, sehat, dan efisien serta, mampu memberikan
kontribusi secara baik bagi realisasi dan falah (kebahagiaan) dan hayatun
thayyibah (kehidupan yang baik).17
Hukum Islam mempunyai tujuan yang lebih tinggi dan lebih bersifat
abadi, yakni tidak terbatas dalam segi material semata-mata, tetapi jauh ke
depan memperhatikan segala segi, material, immaterial, individu, masyarakat
dan kemanusiaan pada umumnya. Hal ini dapat dilihat pada segi ibadat dan
muamalat, di samping itu dimaksudkan untuk membersihkan jiwa dan taqarrub
(mendekatkan diri) pada Tuhannya, juga untuk kepentingan jasmani serta
kebaikan individu masyarakat dan kemanusiaan pada umumnya, dan dunia dan
akhirat.18
Kelangsungan usaha perbankan syariah dengan pengawasan yang baik
oleh pihak yang berwenang akan menjadikan terpeliharanya agama, jiwa, akal,
harta dan keturunan sebagaimana yang dimaksud dalam al-maqasid al shari’ah
atau tujuan hukum Islam. Prinsip bank syariah yang anti terhadap praktik-
praktik maisir (untung-untungan), gharar (ketidakjelasan) dan riba
(melipatgandakan keuntungan) adalah untuk mewujudkan pemeliharaanan
agama, jiwa, akal, harta dan keturunan agar tetap terpelihara kemurniannya.
D. PENUTUP
Sebagai kesimpulan dari penelitian ini adalah penatakelolaan bank
syariah perlu dilakukan melalui sebuah konstruksi hukum yang sistematis oleh
pihak yang berwenang dalam menetapkan regulasi. Peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang eksistensi perbankan syariah nasional harus
taat asas dan tidak bertentangan dengan peraturan yang ada di atasnya. Tata
kelola bank syariah terkait dengan pembinaan dilakukan oleh BI dan untuk
pengawasan bank syariah dilakukan oleh OJK. Penatakelolaan bank syariah
tersebut diharapkan dapat mewujudkan tujuan-tujuan hukum Islam
sebagaimana dalam konsep al Maqashid as Syar’iyah oleh Abu Ishaq Al
Shatibi yaitu terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda
manusia.
17 Ibid, hal.9 18 A. Ma’mun Rauf. Asas-asas Hukum Islam (Hukum Islam I).(Ujung Pandang:LPP-
UMI 1991), hal 133.
10
11
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam. Rajawali Pers Jakarta. 2004
Ali, Zainuddin. Hukum Perbankan Syariah. Sinar Grafika Jakarta. 2008
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek. Gema
Insani Jakarta. 2001
Ascarya. Akad dan Produk Bank Bank Syariah. Rajawali Press Jakarta.
2011
Dewi, Gemala. Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian
Syariah di Indonesia. Kencana Prenada Media Group Jakarta. 2006
Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI. Himpunan Fatwa Dewan Syariah
Nasional MUI (Jilid 1 dan 2) Diterbitkan atas kerjasama Dewan
Syariah Nasional (DSN) MUI dan Bank Indonesia. 2010
Firdaus, Muhammad N.H. et al. Konsep dan Implementasi Bank Syariah.
Renaisan Jakarta. 2005.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Prenada Media Jakarta. 2005.
Muhammad. Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah. UII Press
Yogyakarta. 2005
Supriyono, Maryanto. Buku Pintar Perbankan. Andi Offset Yogyakarta.
2011
Usman, Rachmadi. Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Gramedia
Pustaka Utama Jakarta. 2001
12
Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia. Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah;
Republik Indonesia. Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia. Undang-undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa
Keuangan (OJK);
Republik Indonesia. Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang
Prinsip Mengenal Nasabah;
Republik Indonesia. Peraturan Bank Indonesia No. 9/19/PBI/2007 tentang
Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana
dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.
Republik Indonesia. Peraturan Bank Indonesia No. 10/32/PBI/2008 tentang
Komite Perbankan Syariah.
Republik Indonesia. Peraturan Bank Indonesia No. 11/3/PBI/2009 tentang
Bank Umum Syariah.