Post on 09-Mar-2019
PEMBERIAN HAK ASUH ANAK KEPADA SUAMI YANG NON MUSLIM
(Analisis Putusan Nomor:1429/Pdt.G/2013/PA.Tng.)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Diajukan Oleh:
Ahmad Syairopi
NIM. 1111044200010
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2016 M
iv
ABSTRAK
AHMAD SYAIROPI, NIM 1111044200010. PEMBERIAN HAK ASUH
ANAK KEPADA SUAMI NON MUSLIM (AnalisisPutusanPengadilan Agama
TangerangNomor 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng.).Program Studi Hukum Keluarga Islam
Konsentrasi Adminstrasi Keperdataan Islam, Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2016 M. x +70
halaman dan lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui putusan hakim tentang Hak Asuh
Anak yang diberikan kepada Suami non Muslim dan pertimbangan hakim dalam
mengeluarkan putusan tersebut.
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif yang menekankan kualitas
sesuai dengan pemaparan deskriftif. Penelitian ini berupa analisis terhadap kasus
yang berkenaan dengan pemberian hak asuh anak kepada Suami yang non Muslim,
yang terjadi di Pengadilan Agama Tangerang,
Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberian hak asuh anak kepada Suami
yang non Muslim dikarenakan Ibu anak tersebut tidak amanah, sibuk bekerja, dan
tidak mempunyai itikad baik dalam mengurus anak.
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim,
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat, hidayah serta pertolongan-Nya, bahwa penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini yang merupakan suatu persyaratan untuk
menyelesaikan masa kuliah di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW, sebagai Nabi terakhir yang membawa Syari’at Islam
sampai akhir masa, dan telah membawa banyak kemaslahatan kepada
seluruh umat manusia.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih
banyak atas segala bantuan, dorongan serta bimbingan yang diberikan
pada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Untuk itu, patut kiranya Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya
perlu penulis sampaikan kepada :
1. Dr. H. Asep Saefudin Jahar, MA.
2. Dr. Abdul Halim, M.Ag, Ketua jurusan Hukum Keluarga.
3. Arip Furqon, SH, MH, Selaku sekretaris jurusan Hukum Keluarga.
vi
4. Hj. Hotnidah Nasution, MA, Selaku pembimbing yang sudah
meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan pengajaran
kepada saya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
5. Dr. H. Ahmad Tholabi Karlie, MA, Selaku dosen pembimbing
akademis program studi Administrasi Keperdataan Islam.
6. Kedua orang tua penulis beseta keluarga besar, yang memberikan
semangat dan dukungan baik moril maupun materil.
7. Seluruh dosen Jurusan Administrasi Keperdataan Islam dn sekarang
menjadi Hukum Keluarga yang telah mengajarkan saya pada saat
bangku kuliah.
8. Drs. Haryadi Hasan, MH, beserta Staff yang telah membantu saya
dalam penelitian skripsi di Pengadilan Agama Tangerang.
9. Teman-teman Administrasi Keperdataan Islam tahun 2011 yang saling
membantu dalam perkuliahan.
Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi instansi
dan pihak-pihak yang memerlukannya. Semoga Allah SWT meridhoi dan
memberkahi usaha penulis dalam menyusun skripsi ini, penulis juga
berharap semoga Allah SWT memberikan imbalan baik kepada pihak-
pihak yang telah membantu saya dalam menyusun skripsi ini.
Jakarta, 21 Oktober 2016
Penyusun
Ahmad Syairopi
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ............................................................................................... vi
DAFTAR ISI .............................................................................................................. vii
BAB I : PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................................. 5
C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 6
D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 6
E. Review Studi Terdahulu ...................................................................... 7
F. Metode Penelitian ................................................................................ 8
G. Tekhnik Penulisan ............................................................................... 10
BAB II : KONSEP HAK ASUH ANAK DAN PROSEDUR
PENYELESAIANNYA .......................................................................... 12
A. Pengertian Hak Asuh Anak dan Dasar Hukumnya ............................. 12
B. Hak Asuh Anak dalam Perspektif Fiqh ............................................... 17
C. Hak Asuh Anak dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia .......... 21
D. Tata Cara Penyelesaian Perkara Hak Asuh Anak ................................ 32
BAB III : PENYELESAIAN PERKARA HAK ASUH ANAK DI
PENGADILAN AGAMA TANGERANG ........................................... 34
A. Sejarah Pengadilan Agama Tangerang ................................................ 34
B. Kewenangan Pengadilan Agama Tangerang ....................................... 39
C. Perkara Hak Asuh Anak di Peradilan Agama Tangerang ................... 45
1. Cara Pengajuan Hak Asuh anak ...................................................... 45
2. Cara Penyelesaian Hak Asuh Anak ................................................ 48
3. Produk Hukum dari Penyelesaian Hak Asuh Anak ........................ 49
ix
BAB IV: SUAMI NON MUSLIM SEBAGAI PEMEGANG HADHANAH
DALAM PUTUSAN No. 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng ............................ 50
A. Deskripsi Putusan Nomor 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng .......................... 50
1. Posisi Kasus .................................................................................... 50
2. Duduknya Perkara .......................................................................... 51
3. Pertimbangan Hukum ..................................................................... 52
4. Amar Putusan .................................................................................. 55
B. Alasan Hakim Menetapkan Pertimbangan Hukum seperti yang
tertera dalam Putusan No. 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng ......................... 56
C. Putusan No. 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng. yang Memberikan Hak
Asuh Anak pada Suami non Muslim ditinjau dari Perspektif Fiqh ..... 57
D. Pandangan Hukum Positif Pada Putusan No. 1429/Pdt.G/2013/PA.
Tng ....................................................................................................... 60
BAB V : PENUTUP ............................................................................................... 64
A. Kesimpulan .......................................................................................... 64
B. Saran .................................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada
semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan.
Ia adalah suatu cara yang dipilih Allah SWT, sebagai jalan baik makhluk-Nya
untuk berkembang biak, dan melestarikan hidupnya.1
Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang
perempuan untuk waktu yang lama. Undang-undang memandang perkawinan
hanya dari hubungan keperdataan, demikian pasal 26 Burgelijk Wetboek.2
Allah tidak menjanjikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup
bebas mengikuti nalurinya dalam berhubungan secara bebas tanpa aturan.
Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah
mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga hubungan antara
laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan rasa saling
suka, dengan ucapan ijab qabul sebagai lambang adanya rasa saling suka dan
dengan dihadiri oleh para saksi yang menyaksikan bahwa pasangan laki-laki
dan perempuan tersebut telah terikat secara sah menurut syariat agama Islam.
Ada beberapa definisi nikah dikemukakan para ahli fiikih, namun pada
prinsipnya tidak ada perbedaan yang berarti kecuali pada redaksinya saja.
Yakni :
1 Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqh Munakahat, (Jakarta : pustaka setia, 1997), h.39.
2 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa, 2003), h. 23.
2
1. Menurut ulama Hanafiyah: Nikah adalah akad yang disengaja dengan
tujuan mendapatkan kesenangan.
2. Menurut ulama Syafi’iyah: Nikah adalah akad yang mengandung maksud
untuk memiliki kesenangan (wathi’) disertai lafadz nikah, kawin atau yang
semakna.
3. Menurut ulama Malikiyah: Nikah adalah akad yang semata-mata untuk
mendapatkan kesenangan dengan sesama manusia.
4. Menurut ulama Hanabilah: Nikah adalah akad dengan lafadz nikah atau
kawin untuk mendapatkan manfaat bersenang-senang.3
Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dilakukan pria dan
wanita yang sama akidah, akhlak dan tujuannya, di samping cinta dan
ketulusan hati. Dibawah naungan keterpaduan itu, kehidupan suami istri akan
tentram, penuh cinta dan kasih sayang. Keluarga akan bahagia dan anak-anak
akan sejahtera.
Dalam pandangan Islam, kehidupan keluarga seperti itu tidak terwujud
secara sempurna kecuali jika suami istri berpegang kepada agama yang sama.
Jika agama keduanya berbeda akan timbul berbagai laksana ajaran Islam. Jika
agama keduanya berbeda akan timbul berbagai kesulitan di lingkungan
keluarga, dalam pelaksanaan ibadat, pendidikan anak, pengaturan makanan,
pembinaan tradisi keagamaan, dan lain-lain.
Islam dengan tegas melarang wanita Islam kawin dengan pria non-
Muslim, baik musyrik maupun ahlul kitab. Pria Islam secara pasti dilarang
3 Abd ar-Rahman Al-Jaziri, Kitab al-Fiqih „ala al-Mazahib al-„arba‟ah, (Beirut: Dar al-
Fikr, 2002), Cet. I. h. 3.
3
nikah dengan wanita musyrik. Kedua bentuk perkawinan tersebut mutlak
diharamkan.
Yang menjadi persoalan dari zaman Sahabat sampai abad modern ini
adalah perkawinan antara pria Islam dengan wanita Ahlul Kitab atau
Kitabiyah. Berdasar zahir ayat 221 surat Al-Baqarah, menurut pandangan
Ulama pada umumnya, pernikahan seorang Muslim dengan Kitabiyah
dibolehkan. Sebagian Ulama mengharamkannya atas dasar sikap musyrik
Kitabiyah. Dan banyak sekali Ulama yang melarangnya karena fitnah atau
mafsadah dari bentuk perkawinan tersebut mudah sekali timbul.4
Islam adalah agama Nizham (aturan) hidup paripurna, universal, dan
integral. Tidak ada dimensi kehidupan yang tidak tersentuh nilai-nilai
kebenarannya. Islam merupakan solusi atas problematika kehidupan, ia
bahkan hanya satu-satunya solusi yang ada. Tidak ada aturan yang lebih baik
dari aturan Islam untuk memperbaiki permasalahan umat satu ini.
Sebagai pedoman hidup, ruang lingkup Islam bersifat menyeluruh. Ia
tidak dibatasi hanya pada persoalan hukum sipil, tetapi juga termasuk hukum
privat, dan salah satunya adalah tentang perkawinan.
Ketertarikan kedua pasangan lawan jenis untuk kemudian dilanjutkan
melalui sebuah ikatan perkawinan agar hubungan keduanya menjadi leluasa
dan sah. Ajaran Islam sangat menganjurkan pernikahan adanya kehidupan
membujang (ruhbaniyah).
4 Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary AZ,Problematika Hukum Islam
Kontemporer, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008), h. 9.
4
Muderis Zaini berpendapat bahwa keluarga mempunyai peranan
penting dalam kehidupan manusia sebagai manusia sosial dan merupakan
masyarakat kecil yang terdiri dari seorang ayah, ibu dan anak.5Perceraian
memang berpangkal pada perselisihan antara suami dan istri. Salah satu pihak
menghendaki perceraian, oleh karena pihak yang lain berbuat sesuatu yang
membuat perceraian.6 Perceraian menyebabkan putusnya ikatan nikah tetapi
tidak menyebabkan putusnya hubungan orang tua dengan anak yang
dilahirkan dari pernikahan tersebut.
Menurut Kompilasi Hukum Islam 105 (a): pemeliharaan anak yang
belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, (b)
pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaan.
Akan tetapi, dikatakan juga bahwa non musim tidak berhak atas hak
pemeliharaan anak. Dalam kasus perceraian pada putusan Pengadilan Agama
Tangerang Nomor: 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng. bahwa hak pemeliharaan
anaknya yang sudah mumayyiz ditetapkan kepada bapak yang non Muslim.
Berdasarkan uraian diatas, penulis mencoba meninjau lebih dalam
mengenai hadhanah seorang anak kepada bapaknya yang berpindah agama
setelah perceraian orang tuanya, dalam bentuk skripsi dengan judul
“Pemberian Hak Asuh Anak Kepada Bapak Yang Non Muslim (Analisis
Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor: 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng.)”.
5 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Segi Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar
Grafika, 1992), h. 7. 6 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Asis Sarioedin, Hukum Orang Dan Keluarga, (Bandung:
Penerbit Alumni, 1986), h. 109.
5
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan dalam penelitian ini terfokus, maka masalah dalam
penelitian ini dibatasi pada apa yang menjadi dasar pertimbangan hakim
dalam menetapkan hak asuh anak pada suami yang non muslim pada putusan
nomor 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng.
2. Perumusan Masalah
Dalam fiqih syarat pemelihara atau pengasuh anak adalah :
1. Sudah dewasa, orang yang belum dewasa tidak mampu melakukan tugas
yang berat itu, oleh karenanya belum dikenai kewajiban dan tindakan
yang dilakukan itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan.
2. Berfikiran sehat, orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak akan
mampu berbuat untuk dirinya sendiri dan dengan keadaannya itu tidak
akan mampu berbuat untuk orang lain.
3. Beragama islam, ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama,
karena tugas pengasuh itu termasuk tugas pendidikan yang akan
mengarahkan agama yang diasuh. Kalau oleh orang bukan agama Islam
dikhawatirkan anak yang diasuh akan jauh dari agamanya.
4. Adil dalam arti menjalankan agama secara baik, dengan meninggalkan
dosa besar menjauhkan dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini
disebut fasiq, yaitu tidak konsisten dalam beragama, orang yang
komitmen agamanya rendah tidak dapat diharapkan untuk mengasuh anak
yang masih kecil.
6
Pasal 105 (b) pemeliharaan anak yang sah sudah mumayyiz diserahkan
kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaan. Akan tetapi dalam putusan nomor 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng.
hakim menetapkan hak hadhanah pada suami yang non Muslim.
Karena itu bentuk pertanyaan penelitiannya adalah:
a. Bagaimana pandangan ulama fiqih dan Perundang-undangan tentang
penetapan hak asuh anak pada suami yang non Muslim?
b. Bagaimana dasar hakim menetapkan pertimbangan hukum yang tertuang
dalam putusan nomor 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng. yang memberikan
hadhanah pada suami yang non Muslim?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui para pihak yang berhak menurut hukum atas
pemeliharaan anak sebagai akibat terjadinya perceraian dari kedua orang
tuanya.
2. Untuk mengetahui dasar hakim menetapkan pertimbangan hukum yang
tertuang dalam putusan nomor 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng. yang
memberikan hadhanah pada suami yang non Muslim.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
a. Diharapkan memberikan manfaat bagi pihak terkait, yang dalam hal ini
para pihak khususnya yang konsen mengkaji hukum perkawinan.
7
b. Untuk menambah serta memperdalam ilmu pengetahuan penulis akan
hal perihal hak asuh anak.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat memberikan wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat luas
mengenai pelimpahan hak asuh anak baik menurut hukum Islam
ataupun hukum konvensional.
b. Dapat memberikan penjelasan lebih jelas perihal pemberian hak asuh
anak.
E. Review Studi Terdahulu
Melakukan studi pendahuluan terlebih dahulu sebelum melakukan judul
proposal, di antaranya adalah sebagai berikut.
Penulis : Roro Tunjung Sari
Prodi : Akhwal Al-Syakhshiyah
Fakultas : Syariah Dan Hukum
Tahun : 2009
Judul : PENETAPAN HAK ASUH ANAK AKIBATPERCERAIAN
ISTRI NON MUSLIM
Perbedaan skripsi yang ditulis oleh Roro Tunjung Sari adalah di
penetapan hak asuh anak akibat perceraian istri non muslim. Dalam perkara
ini hakim memutuskan hak asuh anak di bawah umur (mumayyiz) jatuh
kepada istri (ibu) yang non Muslm. Berbeda dengan penelitian saya yang
jatuh pada bapak non Muslim.
Skripsi selanjutnya adalah skripsi yang ditulis sebagai berikut.
8
Penulis : Diana Yulita Sari
Prodi : Perbandingan Mazhab Hukum
Fakultas : Syariah dan Hukum
Tahun : 2010
Judul : HAK ASUH ANAK DIBAWAH UMUR AKIBAT
PERCERAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 23
TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (Analisis
Putusan Perkara Mahkamah Agung Nomor 349 K/AG/2006)
Perbedaan skripsi yang di tulis oleh Diana Yulita Sari adalah lebih
menjelaskan mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak hanya mengatur kuasa asuh dan hal tersebut dapat dicabut
bila diketahui orang tua melantarkan anak-anak atau tidak dapat menjamin
tumbuh kembang si anak. Hakim telah menetapkan hak asuh anaknya yang
jatuh kepada bapak non Muslim. Oleh karenanya orang tua disini
bertanggung jawab atas hak asuhnya.
F. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah
penelitian kualitatif.
2. Pendekatan studi
Pendekatan yang penyusun gunakan adalah pendekatan normatif
yuridis, pendekatan dengan melihat persoalan yang dikaji apakah sesuai
9
dengan norma kebutuhan masayarakat yang didasarkan hukum Islam dan
perundang-undangan di Indonesia.
3. Sumber data
a. Data primer (hasil wawancara dengan hakim yang memutus perkara
nomor 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng.)
b. Data skunder
Buku-buku (textbooks) yang ditulis (para ahli hukum yang
berpengaruh (de herseendeleer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para
sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan salinan putusan
perkara gugatan dengan nomor 1429/Pdt.G/2013/PA Tng.
4. Tekhnik pengumpulan data
a. Studi kepustakaan
Pengumpulan data yang dilakukan dengan merujuk kepada buku –
buku, jurnal, artikel, dan sumber tertulis lain yang terkait dengan
penelitian ini.
b. Studi dokumenter
Pengumpulan data yang dilakukan dengan melakukan dokumentasi
secara langsung di tempat penelitian dalam hal ini adalah pengadilan
agama Tangerang.
c. Wawancara
Pengumpulan data yang dilakukan dengan melakukan wawancara
secara langsung terhadap ketua majelis hakim yang memutus perkara
10
nomor 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng. dan juga kepada panitera Pengadilan
Agama Tangerang.
5. Analisis data
Analisis dilakukan secara deduktif-analitik yakni menarik kesimpulan
dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkrit
yang dihadapi.
G. Tekhnik Penulisan
Skripsi ini disusun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab.
Masing-masing bab terdiri atas beberapa sub-sub guna lebih memperjelas
ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan
tata letak masing-masing bab serta pokok pembahasannya adalah sebagai
berikut.
Bab pertama diawali dengan Latar Belakang Masalah, Batasan dan
Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Review Studi
Terdahulu, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
Bab kedua menjelaskan tentang Konsep Hak Asuh Anak dan Prosedur
Penyelesaiannya. Meliputi Pengertian Hak Asuh Anak dan Dasar Hukumnya,
Hak Asuh Anak dalam Perspektif Fiqh, Hak Asuh Anak dalam Perspektif
Hukum Positif di Indonesia, dan Tata Cara Penyelesaian Perkara Hak Asuh
Anak.
Bab ketiga menjelaskan tentang Penyelesaian Perkara Hak Asuh Anak
di Pengadilan Agama Tangerang. MeliputiSejarah Pengadilan Agama
11
Tangerang, Kewenangan Pengadilan Agama Tangerang, Perkara Hak Asuh
Anak di Peradilan Agama Tangerang.
Bab keempat yaitu membahas tentang Suami non Muslim sebagai
Pemegang Hadhanah dalam Putusan Nomor 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng.
Meliputi Deskripsi Putusan Nomor 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng, Alasan Hakim
Menetapkan Pertimbangan Hukum seperti yang tertera dalam Putusan Nomor
1429/Pdt.G/2013/PA.Tng., Putusan Nomor 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng.yang
memberikan Hak Asuh Anak pada Suami non Muslim ditinjau dari Perspektif
Fiqh, dan Pandangan Hukum Positif pada Putusan Nomor
1429/Pdt.G/2013/PA.Tng.
Bab Kelima yaitu berisi mengenai Penutup. Meliputi Kesimpulan dan
Saran.
12
BAB II
KONSEP HAK ASUH ANAK DAN PROSEDUR PENYELESAIANNYA
A. Pengertian Hak Asuh Anak dan Dasar Hukumnya
1. Pengertian Hak Asuh Anak
Hadhanah berasal dari kata ن عح berarti memeluk, mendekap,
mendidik, mengasuh, mengerami. Di samping itu, kata berarti pengakuan حد
dan dada. ت ت berarti perawatan dan pengasuhan, sementara حعب berarti حعب
pendidikan, penguasaan, nasihat. Kalimat انبئط ت berarti pengeraman حعب
telur.7
Menurut Wahbah al-Zuhaili, hadhanah secara bahasa terambil dari
kata ب yang berartiانحع sisi, pinggang, pinggul, lambung, rusuk; yaitu ;انج
mengumpulkan dekat ke samping. Mengepit antara ketiak sampai pusar
(pinggul), bentuk jamaknya احخعب,احعبmaknanya membawa sesuatu dan
mengepitnya di ketiak seperti wanita yang mengepit anaknya dan
membawanya dengan salah satu punggungnya, seperti burung yang
mengeram/mengepit telur yang dikumpulkan di bawah sayapnya.8
Sedangkan menurut Imam Taqiyudin hadhanah ialah ibarat
menjalankan untuk menjaga orang (anak) yang belum mumayyiz atau tidak
berakal dan mengajarkannya akan kebaikan serta menjaganya dari sesuatu
yang sangat membahayakan.9
7 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Mudhlar, Kamus Kontemporer Arab Indonesia,
(Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak, 1996), cet-1, h. 775-6. 8 Al-Imam Abu Zakaria Muhyiddin ibn Syarf al-Nawawi, al-Majmu „Syarh al-Mazhab,
Dar al-Fikr, tt. j-18, h. 322-3. 9 Imam Taqiyudin Abi Bakr Ibn Muhammad al Huasini, Kifayah a-Akhyar (Beirut Dar al-
Fikr, 1994), h. 49.
13
Secara keseluruhan hadhanah merupakan hak bersama antara kedua
orang tua serta anak-anak, sehingga apabila nantinya timbul permasalahan
dalam hadhanah, maka yang diutamakan adalah hak anak.10
Rumah tangga
merupakan bangunan kokoh yang tidak akan pernah sempurna kecuali dengan
kepastian nasab anak kepada bapaknya supaya tidak kehilangan silsilah
keturunan, penyusunan yang merupakan awal tegaknya kehidupan,
pemeliharaan pada fase-fase lemah dan masa kanak-kanak yang sangat
memerlukan perlindungan, perwalian atas diri dan harta mereka, kebutuhan
pada orang yang mengurusi mereka dalam perawatan dan pengajaran,
menjaga harta dan penghasilannya. Sehingga anak memiliki macam hak, hak
penyusuan, hak hadhanah, hak perwalian dan hak nafkah.
Hadhanah juga berarti hak perwalian dan penguasaan anak, kaum
perempuan lebih berhak menerima hak hadhanah karena mereka lebih lembut
dalam hak belas kasih, perhatian dalam perawatan dan kesabaran serta selalu
bersamanya. Selanjutnya, bila anak sampai pada usia tertentu, maka hak
perawatannya pindah ke kaum laki-laki karena lebih mampu untuk menjaga
dan melindungi anak. Hukum menjalankan hadhanah wajib karena jika
dilalaikan akan merusak anak sehingga wajib menjaga dari kehancuran,
begitu juga wajib menafkahi dan menghindarkannya dari hal-hal yang dapat
mencelakakannya.
Sabda Nabi:
10
Wahbah Al Zuhaili, Al Fiqh Al Islam Wa adillatuhu Juz VII, (Damaskus: Daar Fikr,
1984), h. 279.
14
زأبيظعابعببض:أأضبعببدةاألصبزدخمعهانبصه
ظهى،فقبل:بزظلاهللا،إنبث،أبأدععهببنث، احدععهاانهعهى
ثانسظبانصبت، فئبانبسكتفانببث،فقم:بابظبعدة،ايالثعدانعت،،
هللاعهزشقاألزض،عهثقهانشدة،عد
“Riwayat Musa dari Ibn Abbas, bahwa Aus ibn „Ubadah al-Anshari
menemui Nabi dan berkata wahai Rasulullah sesungguhnya aku mempunyai
beberapa putri dan aku mendoakan supaya mereka mati saja, maka Nabi
bersabda wahai Ibna Saidah jangan mendoakan kejelekan mereka karena
sesungguhnya berkah ada pada anak-anak perempuan, mereka penghias
keindahan nikmat, penolong ketika musibah, dan pelipur ketika kesulitan,
tanggunglah mereka di dunia dan beri mereka nafkah rezeki demi Allah.”
(HR Muslim dan Abu Daud dari Jabir ibn Abdullah).11
Di dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan pengertian hadhanah
sebagai pemeliharaan anak atau hadhanah adalah kegiatan mengasuh,
memelihara, dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri.
Hadhanah adalah ungkapan kata yang artinya memelihara, anak yang
belum mumayyiz dan belum mampu mengurus dirinya sendiri, serta mendidik
anak tersebut dengan pendidikan yang bermanfaat untuknya, dan menjaganya
dari hal-hal yang dapat menyakiti.12
Ditinjau dari segi kebutuhan anak yang masih kecil dan belum
mandiri, hadhanah adalah suatu perbuatan yang wajib dilaksanakan oleh
orang tuanya, karena tanpa hadhanah akan mengakibatkan anak akan menjadi
terlantar dan tersia-sia hidupnya. Oleh karena itu, hakim yang memeriksa dan
mengadili perkara hadhanah itu haruslah bersikap hati-hati, harus
mempertimbangkan dari para pihak yang berperkara dapat terpenuhi. Jika
putusan tentang hadhanah telah diucapkan dan pihak yang menguasai anak
11
Imam Bukhari Muslim, Syarah Hadis Imam Bukhari (Libanon: Dar el-Beirut, 1998), h.
401. 12
Imam Taqiyyudin Abu Bakar Al-Huasini, Kifayatul Akhyar, (Beirut: Daar Al-
Fikr,1994), h. 49.
15
tidak bersedia menyerahkan anak-anaknya sesuai dengan putusan hakim
tersebut maka hendaklah ditempuh jalan persuasif, sehingga putusan ini dapat
dilaksanakan secara sukarela. Apabila pihak yang menguasai anak itu tetap
tidak bersedia menyerahkan anak-anaknya sesuai dengan putusan hakim
tersebut, maka para yang mempunyai hak dalam putusan hakim itu
mengajukan perkara tersebut agar amar putusan hakim itu supaya
dilaksanakan secara paksa.
Dari beberapa definisi diatas penulis dapat disimpulkan bahwa
hadhanah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak kecil
maupun yang kurang akal, baik itu berupa jasmani maupun rohani dalam
rangka mempersiapkan diri mereka agar mampu berdiri sendiri menjalani
kehidupan yang sempurna dan dapat bertanggung jawab.
2. Dasar Hukum Hadhanah
Para ulama sepakat bahwa pemeliharaan anak itu adalah wajib,
sebagaimana wajib memelihara selama dalam pernikahan, adapun dasar
hukum dari hadhanah atau pengasuh anak adalah pada (Q.S. At-Tahrim (66) :
6) : 13
فعك آياقاأ بانر يالئكتغالظشدادبأ انحجبزةعه قدبانبض هكىبزا أ ى
العص يبؤيس فعه يبأيسى هللا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka
dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
13
Slamet Abidin, dkk, Fiqh Munakahat II, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), h. 171.
16
Yang dimaksud dengan memelihara keluarga pada ayat di atas yakni
mengasuh dan mendidik mereka sehingga menjadi seorang muslim yang
berguna bagi agama.14
Kewajiban pemeliharaan anak yang masih kecil bukan hanya berlaku
selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga
berlanjut setelah terjadinya perceraian. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga
anak agar tetap terjamin kebutuhan, terjaga dari hal-hal yang dapat
membahayakan anak.15
Dasar hukum hadhanah lainnya adalah sebagaimana firman Allah
pada (Q.S. Al-Baqarah (2) : 233):16
ند عهان ظبعت انس خى أزادأ ن كبيه ن ح الد أ انداثسظع ان ن
ن الي ندب اندةب ظعبالحعبز عسفالحكهففطإال ببن ح كع دزشق
زفالجبح حشب ب حساضي أزادافصبالع ازديثمذنكفئ عهان ند نب
الدكى خعخسظعاأ أزدحىأ إ ب عسعه خىببن خىيبآح كىإذاظه ففالجبحعه
بصس ه بحع ب هللا اأ اعه احقاهللا Artinya: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara
yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan waris pun
berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua
tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada
dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain,
maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran
menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah
Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah (2) : 233).
Maksud dalil diatas adalah bahwasannya orang tua berkewajiban
untuk menyiapkan pertumbuhan dan perkembangan anak-anak serta
14
Syaikh Hasan Ayuub, Fiqh Keluarga, Cet. IV, h. 391. 15
Syarifuddin, Hukum Hadhanah(Jakarta: 2006), h. 328. 16
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2000), h. 149.
17
kesehatan baik secara fisik maupun psikis, karena masa-masa itulah sangat
mempengaruhi anak dari segi perawatan, asuhan dan pendidikan yang harus
diberikan dan diperhatikan oleh kedua orangtuanya. Hal tersebut merupakan
upaya mewujudkan manusia yang berkualitas dan berakhlak tinggi.17
Pada ayat ini orang tua diperintahkan Allah SWT untuk memelihara
keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota
keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-
larangan Allah, termasuk anggota keluarga dalam ayat ini adalah anak.18
Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib, sebab mengabaikan
berarti menghadapkan anak-anak yang masih kecil kepada bahaya
kebinasaan. Hadhanah merupakan hak bagi anak-anak yang masih kecil,
karena ia membutuhkan pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusannya, dua
orang yang mendidiknya. Pendidikan yang lebih penting adalah pendidikan
anak dalam pengakuan ibu bapaknya, karena adanya pengawasan dan
perlakuan akan dapat menumbuhkan jasmani dan akalnya, membersihkan
jiwanya, serta mempersiapkan diri anak dalam menghadapi kehidupannya di
masa yang akan datang.19
B. Hak Asuh Anak dalam Perspektif Fiqh
Konsep pemeliharaan dan perlindungan anak dalam hukum Islam
(fiqh) lebih dikenal dengan hadhanah yang merupakan salah satu dari hak
anak yang wajib dipenuhi. Menurut Muhammad Mugniyah, pemeliharaan dan
17
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2000), h.150. 18
Abdul Rahman Ghazali, Fikih Munakahat, (Jakarta Kencana, 2006), h. 177. 19
Slamet Abidin, Fikih Munakahat 2, (Bandung Pustaka Setia, 1999), h. 172.
18
pengawasan harta itu bukan hanya anak yatim saja tetapi juga berlaku untuk
orang gila, anak yang masih kecil, safih dan bangkrut.20
Masalah yang paling pokok dalam pemeliharaan anak adalah syarat-
syarat orang yang menjadi Hadhin. Karena sifat seorang pengasuh akan
berpengaruh kuat terhadapat anak yang menjadi asuhannya, seorang hadhinah
(ibu asuh) yang menangani dan menyelenggarakan kepentingan anak kecil
yang di asuhnya, yaitu adanya kecukupan dan kecakapan. Kecukupan dan
kecakapan yang memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat tertentu
ini tidak terpenuhi satu saja maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan
hadhanahnya.21
Melaksanakan tugas hadhanah bukanlah suatu tugas yang mudah
karena bukan saja memelihara dengan memenuhi kebutuhan jasmani anak
saja akan tetapi pendidikan atau moral anak pun menjadi tanggung jawab
pelaksana hadhanah itu sendiri. Karena itu tidak sembarangan orang yang
dapat melaksanakan hadhanah. Ada kriteria atau syarat-syarat ini tidak
terpenuhi satu saja maka gugurlah kebolehan menyelenggerakan
hadhanahnya.22
Persyaratannya yang diajukan Imam Taqiyuddin, bahwa
pemelihara atau pengasuh harus:
)االظالو(،االقبيت23 ج،اند ش ،انعقت،االيبت،انحهقي انعقم،انحس
Artinya: “Berakal sehat, merdeka, memiliki kasih sayang dapat
dipercaya, tidakbersuami, beragama Islam, dan bertempat tinggal.”
20
Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h.166. 21
Satria Effendi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta:
Kencana, 2004), h. 172. 22
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 179 23
Imam Taqiyuddin Abi Bakr, Khifayah Al-Ahyar, (Surabaya: Al-Hidayah, t.th), Juz. 2,
h. 152
19
Persyaratan yang dikemukakan tentang pemeliharaan anak memang
hanya berkisar pada hal tersebut di atas, karena hal tersebut merupakan hal
pokok, misalnya seperti seorang pengasuh harus berakal sehat. Jelas bagi
orang yang tidak berakal sehat atau gila tentunya tidak akan mampu mendidik
anak karena mereka saja tidak dapat mengurus keperluan dirinya sendiri, oleh
karena itu berakal sehat merupakan syarat utama.
Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku dua unsur yang
menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang disebut hadhin dan
anak yang diasuh atau disebut madhun atau hadinah. Baik masih dalam ikatan
perkawinan atau setelah perceraian, kedua orang tua berkewajiban untuk
memelihara anaknya dengan baik. Adapun syarat-syarat hadhin adalah sebagai
berikut:24
1. Sudah dewasa, orang yang belum dewasa tidak akan mampu melakukan
tugas yang berat itu, oleh karenanya belum dikenai kewajiban dan
tindakan yang dilakukan itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan.
2. Berpikiran sehat, orang yang kurang akalnya seperti idiot tidak akan
mampu berbuat untuk dirinya sendiri dan dengan keadaannya itu tidak
akan mampu berbuat untuk orang lain.
3. Beragama Islam, ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama,
karena tugas pengasuh itu termasuk tugas pendidikan yang akan
24
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan
UU Perkawinan. h. 328.
20
mengarahkan agama yang diasuh. Kalau oleh orang yang bukan agama
Islam dikhawatirkan anak yang diasuh akan jauh dari agamanya.
4. Adil dalam arti menjalankan agama secara baik, dengan meninggalkan
dosa besar menjauhi dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut
fasiq, yaitu tidak konsisten dalam beragama, orang yang komitmen
agamanya rendah tidak dapat diharapkan untuk mengasuh anak yang
masih kecil.
Sayyid sabiq dalam Kitab Fiqh Sunnah memberikan persyaratan untuk
hadhinah sebagai berikut:25
1. Berakal sehat, jadi bagi orang yang kurang akal dan gila, keduanya tidak
boleh menangani hadhanah.
2. Dewasa, sebab anak kecil sekalipun mumayyiz, tetapi ia tetap
membutuhkan orang lain yang mengurusi urusannya dan mengasuhnya.
3. Mampu mendidik, karena tidak boleh menjadi pengasuh orang yang buta
atau rabun, sakit menular atau sakit yang melemahkan jasmaninya untuk
mengurus kepentingan anak kecil, tidak berusia lanjut, yang bahkan ia
sendiri perlu diurus.
4. Amanah dan berbudi, sebab orang yang curang tidak aman bagi anak
masih kecil dan tidak dipercaya akan dapat menunaikan kewajibannya
dengan baik.
5. Islam, anak kecil tidak boleh diasuh oleh pengasuh yang bukan muslim.
Sebab, hadhanah merupakan masalah perwalian, sedangkan Allah tidak
25
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid II, h. 289.
21
membolehkan orang Mukmin dibawah perwalian orang kafir, sesuai yang
tersirat dalam firman Allah SWT. Surat An-Nisa’ Ayat 141:26
6. Ibunya belum kawin lagi.
7. Merdeka
Para ulama sepakat bahwa, dalam mengasuh anak disyaratkan bahwa
orang yang mengasuh berakal sehat, bisa dipercaya, suci diri, bukan pelaku
maksiat, bukan penari, bukan peminum khamr, serta tidak mengabaikan anak
yang diasuhnya. Tujuannya dari keharusan dari adanya sifat-sifat tersebut
diatas adalah untuk memelihara dan menjamin kesehatan anak dan
pertumbuhan moralnya.27
C. Hak Asuh Anak dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia
1. Perspektif Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Hak asuh anak dalam UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 Pasal-pasal
yang mengatur mengenai hak asuh anak yang tercantum dalam UU No.1
Tahun 1974 terdapat pada pasal 41. Pasal 41 UU No.1 Tahun 1974 tentang
akibat putusnya perkawinan karena perceraian menerangkan kewajiban kedua
belah pihak orang tua menjaga kepentingan anak yang meliputi penghidupan
dan pendidikan dan biaya pemeliharaan dan pendidikan anak ditanggung oleh
pihak ayah, yang berbunyi akibat putusnya perkawinan karena perceraian
ialah:
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
26
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid II, h. 290. 27
M. Jawab Mugniyah, Fikih Lima Mazhab, Cet. 17, (Jakarta: Lentera, 2006), h. 416.
22
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi
keputusan.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak tidak dapat memberi
kewajiban tersebut pengadilan dapat menentukan bahwa ikut memikul
biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas
istri.
Dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan Pasal 41, dapat dipahami bahwa ada perbedaan antara tanggung
jawab pemeliharaan yang bersifat material dengan tanggung jawab
pengasuhan. Pasal 41 ini lebih memfokuskan kepada kewajiban dan tanggung
jawab material yang menjadi beban suami atau bekas suami jika ia mampu,
dan sekiranya tidak mampu Pengadilan Agama dapat menentukan lain sesuai
dengan keyakinannya.28
Dalam PP. No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No.1 Tahun
1974 pembahasan mengenai hak asuh anak tidak diatur. Akan tetapi, dalam
pasal 24 ayat 2 berbunyi: Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas
permohonan penggugat atau tergugat, pengadilan dapat:
1) Menentukan nafkah yang harus ditanggung suami.
28
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Islam, Cet. V, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 149.
23
2) Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan
pendidikan anak.
3) Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-
barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang
menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri.
Hal tersebut menerangkan bahwa, pengadilan dapat menentukan hal-
hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya anak, walaupun masih dalam
proses persidangan. Sehingga dapat menjamin kesejahteraan dan
terpeliharanya anak, meskipun kedua orang tuanya sedang menjalani proses
sidang perceraian. Tidak bisa dipungkiri bahwa, perceraian merupakan
sesuatu yang tidak diinginkan oleh anak, maka keadaan jiwa seorang anak
pastilah terganggu dengan perceraian kedua orang tuanya, sudah barang tentu
di antara kedua orang tua wajib menjaga keadaan jiwa maupun raga anak
dalam rangka terpeliharanya si anak.
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah
disebutkan tentang pengusaan anak secara tegas yang merupakan rangakaian
dari hukum perkawinan di Indonesia, akan tetapi hukum penguasaan anak itu
belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 secara luas
dan rinci. Oleh karena itu, masalah penguasaan anak (hadhanah) ini belum
dapat diberlakukan secara efektif sehingga pada hakim di lingkungan
Peradilan Agama waktu itu masih mempergunakan hukum hadhanah yang
tersebut dalam Kitab-kitab fikih ketika memutus perkara yang berhubungan
dengan hadhanah itu. Setelah diberlakukan Undang-undang Nomor 7 Tahun
24
1989 tentang Peradilan Agama, dan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, masalah hadhanah menjadi hukum
positif di Indonesia dan Peradilan Agama di beri wewenang untuk
menyelesaikannya.29
Dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal
42-45 dijelaskan bahwa orang tua wajib nmemelihara dan mendidik anaknya
yang belum mencapai umur 18 tahun dengan cara yang baik sampai anak itu
kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku terus menerus
meskipun perkawinan antara orang tua si anak putus karena perceraian atau
kematian. Kekuasaan orang tua juga dapat meliputi untuk mewakili anak
tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan luar Pengadilan.
Kewajiban orang tua memelihara anak meliputi pengawasan (menjaga
keselamatan jasmani dan rohani), pelayanan (memberi dan menanamkan
kasih sayang) dan pembelajaran dalam arti luas yaitu kebutuhan primer dan
skunder sesuai dengan konsep hadhanah dalam hukum Islam, dimana
dikemukakakn bahwa orang tua berkewajiban memelihara anak-anaknya,
semaksimal mungkin dengan sebaik-baiknya.30
Pada pasal 45 bab X mengenai hak dan kewajiban antara Orang tua
dan anak Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menyatakan pada ayat 1 bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan
mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Pada ayat 2 menyatakan
29
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana, 2008), h. 429. 30
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, h.
429.
25
kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini berlaku sampai
anak itu menikah atau dapat berdiri sendiri, kewajiban tersebut berlaku
selamanya meskipun antara kedua orang tua putus.31
Selanjutnya dijelaskan
pula pada pasal 47 ayat 1 bab X mengenai Hak dan Kewajiban antara Orang
Tua dan Anak Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
bahwa anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama
mereka tidak dari kekuasaannya. Pada ayat 2, orang tua mewakili anak
tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
2. Perspektif KHI (Kompilasi Hukum Islam)
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 1 huruf g dikatakan bahwa:
“Hadhanah atau memelihara anak adalah kegiatan mengasuh, memelihara
dan mendidik anak hingga dewasa atau berdiri sendiri”.
Dalam kaitan ini, Kompilasi Hukum Islam Pasal 105 menjelaskan
secara rinci dalam hal suami istri terjadi perceraian yaitu (1) pemeliharaan
anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
(2) pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk
memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya;
(3) biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.32
Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 98 menyatakan:
31
Undang-undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus untuk
Anggota ABRI, POLRI, Pegawai Kejaksaan dan Pegawai Negeri Sipil, (Jakarta: Sinar Grafika,
2006), h.138. 32
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademia Pressindo,
2007), h. 138.
26
a. Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun,
sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik atau mental atau belum pernah
melangsungkan perkawinan.
b. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai perbuatan segala
perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan.
Selanjutnya dalam pasal 156 Kompilasi Hukum Islam menyatakan
bahwa akibat dari putusnya perkawinan karena perceraian adalah:33
a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya,
kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya
digantikan oleh wanita dalam garis lurus keatas dari ibu, ayah, wanita
dalam garis lurus ayah, saudara perempuan dari anak tersebut, wanita dari
kerabat sedarah menurut garis samping ayah.
b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan
hadhanah dari ayah atau ibu.
c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan
jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah
dicukupi, maka atas permintaan yang bersangkutan Pengadilan Agama
dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai
hak hadhanah pula.
d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah
menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut
dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
33
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademia Pressindo,
2007), h. 138.
27
e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak,
Pengadilan Agama memberikan putusnya berdasarkan huruf (a), (b), (c),
dan (d).
Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak
yang tidak turut padanya.34
Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukan hanya berlaku
selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga
berlanjut setelah terjadinya perceraian.35
Jika orang tua dalam melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau
tidak mampu melaksanakan kewajibannya memelihara dan mendidik anak-
anaknya, maka kekuasaan orang tua dicabut dengan putusan Pengadilan
Agama. Adapun alasan pencabutan tersebut karena: (1) orang tua sangat
melalaikan kewajiban terhadap anaknya; (2) orang tua berkelakuan buruk
sekali, M. Yahya Harahap menjelaskan bahwa orang tua yang melalaikan
kewajiban terhadap anaknya yaitu meliputi ketidakmampuan orang tua atau
sama sekali tidak mungkin melaksanakannya sama sekali, boleh jadi
disebabkan karena dijatuhi hukuman penjara yang memerlukan waktu lama,
sakit uzur atau gila dan berpergian dalam suatu jangka waktu yang tidak
diketahui kembalinya. Sedangkan berkelakuan buruk meliputi segala tingkah
34
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, h. 138. 35
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
UU Perkawinan, h.328.
28
laku yang tidak senonoh sebagai pengasuh dan pendidik yang seharusnya
memberikan contoh yang baik.36
Akibat pencabutan kekuasaan dari orang tua sebagaimana tersebut
diatas maka terhentinya kekuasaan orang tua itu untuk melakukan penguasaan
kepada anaknya. Jika yang dicabut kekuasaan terhadap anaknya hanya
ayahnya saja, maka ia tidak berhak lagi mewakili anak di dalam dan di luar
pengadilan. Dengan demikian, ibunyalah yang berhak melakukan pengasuh
terhadap anak tersebut.
Akan tetapi didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 104 semua
biaya penyusuan anak dipertanggung jawabkan kepada ayahnya. Apabila
ayahnya telah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada
orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.37
Oleh karena itu walaupun ulama sepakat bahwa ibu yang lebih kuat
dalam melaksanakan hadhanah, namun dalam kenyataannya sang ibu tersebut
memiliki perilaku atau akhlak yang baik atau jika sang ibu mempunyai
keyakinan yang berbeda yaitu seorang yang bukan beragama Islam maka
demi kemaslahatan anak, bahkan sang ibu pergi meninggalkan rumah dan
tidak diketahui keberadaannya walaupun telah dilakukan upaya pencarian
namun tidak juga diketahui. Maka hadhanah digantikan oleh ayahnya, jika
sang ayah telah memenuhi syarat-syarat untuk melaksanakan hadhanah.
3. Perspektif Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak yang di ubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014
36
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana, 2008), h. 431. 37
Kompilasi Hukum Islam, pasal 104 ayat a.
29
Perwujudan adanya UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak merupakan usaha negara dalam melindungi anak untuk menjamin
terpenuhinya hak-hak anak untuk hidup. Anak merupakan karunia dari Tuhan
Yang Maha Esa dimana di dalamnya terdapat potensi sebagai generasi muda
bangsa yang memiliki peran yang sangat penting untuk mewujudkan cita-cita
bangsa Indonesia, seperti yang diperjuangkan para pahlawan terdahulu.
Dalam UU No. 23 Tahun 2002 disebutkan dalam pasal 26 mengenai
begitu pentingnya peran orang tua terhadap kesejahteraan anak. Hal tersebut
tercantum dalam pasal 26 dan pasal 30. Disebutkan dalam pasal 26,pada
prinsipnya orang tua adalah sebagai subjek penting dalam pencapaian tumbuh
kembang yang baik bagi anak. Sedangkan dalam pasal 30 mengenai kuasa
hak asuh orang tua terhadap anak dapat dicabut kuasa asuhnya, jika sebagai
orang tua melalaikan tanggung jawabnya terhadap kesejahteraan anak
sebagaimana yang dimaksud pasal 26. Akan tetapi hal tersebut tidak
menghapuskan hubungan darah antara anak dan orang tua serta tidak
menghapuskan kewajiban orang tua untuk membiayai penghidupan anak
sesuai dengan kemampuannya sebagaimana yang disebut dalam pasal 32.
Mengenai Hak dan Kewajiban Anak, diatur dalam Undang-Undang
Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 pasal 4 sampai dengan pasal 18
dimana semua pasal itu menerangkan hak-hak yang harus diterima sebagai
anak. Diantara hak-hak anak itu antara lain adalah :
a. Dalam pasal 4 disebutkan bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup,
tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan
30
harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.
b. Dalam pasal 6 disebutkan bahwa setiap anak berhak beribadah menurut
agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasannya
dan usianya, dalam bimbingan orang tua.
c. Dalam pasal 8 disebutkan bahwa setiap anak berhak memperoleh
pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik,
mental, spiritual, dan sosial.
d. Dalam pasal 9 ayat 1 disebutkan bahwa setiap anak berhak memperoleh
pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan
tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.
e. Dalam pasal 10 disebutkan bahwa setiap anak berhak menyatakan dan
didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi
sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan
dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
f. Dalam pasal 13 disebutkan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan
orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas
pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi,
eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman,
kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya.
Mengenai Perlindungan Agama anak, diatur dalam Pasal 42 dan pasal
43 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal 42 (1) berbunyi
bahwa setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut
31
agamanya. Sedangkan dalam Pasal 42 (2) menyebutkan bahwa sebelum anak
dapat menentukan pilihannya maka agama anak tersebut ikut orang tuanya.
Sedangkan UU No. 23 Tahun 2002 pasal 43 (1) menyebutkan
Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali dan lembaga sosial
menjamin perlindungan anak dalam menjalankan agamanya. Pasal (2)
menyebutkan perlindungan anak dalam memeluk agamanya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) meliputi pembinaan, pembimbingan, dan
pengamalan ajaran agama bagi anak.
Dalam lingkungan keluarga semua ini tidak akan dapat terwujud tanpa
perlindungan ayah dan ibu sebagai orang tua. Syariat islam telah menjadikan
orang tua bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup dan
perkembangan anak, dengan dasar anak adalah titipan yang dipercayakan
tuhan untuk dipelihara dan harus dipertanggung jawabkan di hadapan
Tuhan.38
4. Perspektif Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia
Mengenai pentingnya hak asuh anak guna mencapai tujuan yang
diinginkan yaitu perkembangan anak yang baik, maka UU No. 39 Tahun
1999 yang diatur dalam pasal 51 (2) menyebutkan bahwa setelah putusnya
perkawinan seorang wanita mempunyai hak dan tanggungjawab yang sama
dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak-
anaknya dengan memperhatikan kepentingan terbaik anak.
38
Muhammad Alwi Al-Maliki, Etika Islam Tentang Sistem Keluarga, Penejemah Faruk
K Timur, cet. 1, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995), h. 32.
32
Hal di atas begitu pentingnya peran orang tua dalam pengasuhan
sebagai usaha untuk menumbuh kembangkan anak. Sehingga peran orang tua
dalam hal ini tidak boleh dikesampingkan.
D. Tata Cara Penyelesaian Perkara Hak Asuh Anak
Perkara hak asuh anak adalah Perkara Contentius karena pada perkara
ini ada sengketa antara orang tua dalam memperebutkan antara orang tua
dalam memperebutkan hak asuh anak.
Prosedur perkara hak asuh anak di awali dengan mengajukan surat
gugatan ke Pengadilan Agama selanjutnya hakim memeriksa dan mengadili
perkara hadhanah itu dengan hati-hati. Jika putusan tentang hadhanah telah
diucapkan dan pihak yang menguasai anak tidak bersedia menyerahkan anak-
anaknya sesuai dengan putusan hakim tersebut maka hendaklah ditempuh
jalan persuasif, sehingga putusan ini dapat dilaksanakan secara sukarela.
Apabila pihak yang menguasai anak itu tetap tidak bersedia menyerahkan
anak-anaknya sesuai dengan putusan hakim tersebut, maka para yang
mempunyai hak dalam putusan hakim itu mengajukan perkara tersebut agar
amar putusan hakim itu supaya dilaksanakan secara paksa.
Apabila dilihat dari perspektif gender bisa disimpulkan bahwa pasal
105 dan 156 di atas ternyata tidak menunjukkan ketidakadilan gender
terhadap laki-laki. Secara implisit, kedua pada istri jika terjadi perceraian.
Agaknya, alasan yang dipakai oleh KHI ini tidak akan jauh berbeda dengan
alasan yang dipakai oleh fuqaha, bahwa istri lebih mempunyai jiwa keibuan
dibanding suami.
33
Dalam bentuk praktis, ketentuan pasal ini umumnya dijadikan
pedoman oleh Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara perselisihan
tentang pengasuh anak. Bahkan, dalam banyak kasus, ketika perceraian
didasarkan atas istri, pengadilan masih sering memberikan hak pengasuh
kepada pihak istri, pengadilan masih sering memberikan hak pengasuhan
dikhawatirkan suatu saat nanti anaknya akan meniru tingkah laki ibunya yang
nakal misalnya.
34
BAB III
PENYELESAIAN PERKARA HAK ASUH ANAK DI PENGADILAN
AGAMA TANGERANG
A. SEJARAH PENGADILAN AGAMA TANGERANG
Kota Tangerang dinyatakan sebagai wilayah Kotamadya (Kota) pada
tanggal 31 Juli 1993. Status kota yang saat itu berada di bawah provinsi Jawa
Barat merupakan upaya pengembangan wilayah daerah tingkat 2 (dua) yang
sebelumnya dipusatkan pada satu wilayah kabupaten Tangerang. Berdasarkan
undang-undang nomor 2 tahun 1993 kota tangerang diberikan otoritas daerah
tersendiri di samping kabupaten kota tangerang yang berpusat di Tigaraksa.
Selanjutnya, setelah provinsi Banten dibentuk Kota Tangerang pun beralih
menjadi wilayah Kota yang berada di bawah provinsi Banten.39
Penelusuran pembentuk Pengadilan Agama Tangerang secara
histories pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan pembentukan Pengadilan
Agama-Pengadilan Agama lainnya yang ada di wilayah negara RI. Fase
sebelum kemerdekaan dimana indonesia mengalami beberapa kali masa
penjajahan oleh bangsa lain seperti Belanda, Jepang dan lain-lain mewarnai
tumbuh kembang dan terbentuknya ilustrasi Peradilan Agama di Indonesia.
39
Pengadilan Agama Tangerang, artikel diakses pada 18 April 2016 dari
http://www.patangerangkota.go.id
35
Pengadilan Agama Tangerang sudah beberapa kali melakukan
pergantian ketua sejak pertama kali berdiri hingga sekarang, adapun nama-
nama ketua Pengadilan Agama Tangerang sebagai berikut :40
Tabel III.1 Nama-nama Ketua Pengadilan Agama Tangerang
No. NAMA GOL PEND TAHUN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7
8.
9.
10.
KH. Djunaedi
KH. Mhd. Sirodj
KH. Mursan
KH. Abdullah Mu’min
KH. Sa’ban Salim
KH. Yusuf Mustafa Harahap
KH. Sumarna
H. Halimi, BA
Drs. Humaidi ZA,ZA
Drs.H.Satibi Abdul Hadi
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Sarmud
S1
1942-1949
1949-1954
1955-1960
1960-1965
1965-1972
1972-1974
-
1974-1978
1978-1979
1979-1980
40
Pengadilan Agama Tangerang, artikeldiaksespada 18 April 2016 dari
http://www.patangerangkota.go.id
36
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
Drs.H.Yusuf Effendi
H. Abdullah Juki, SH
Drs. H. Muhammad Hasyim
Drs. H.Abdurrahman Abror
Drs. H. Zurrihan Ahmad, SH, M.Hum
Drs.HM. Nadjmi, SH. M.Hum
Drs.H.A.H.Chairuddin Ridwan, SH
Drs.H.Ahmad Fathoni, SH, M.Hum
Drs. Tata Sutayuga, SH.
Drs. H. Ambo Asse., SH.,MH.
Drs. H. Chazim Maksalina., MH.
Drs. Nasirudin, M.H.
Drs. Muhayah, S.H.,M.H.
-
-
-
-
-
-
-
IV/b
IV/b
IV/c
IV/c
IV/c
IV/c
S1
S1
S1
S1
S1
S2
S1
S2
S1
S2
S2
S2
S2
1980-1984
1984-1987
1987-1989
1989-1994
1994-1999
1999-2002
2002-2004
2004-2007
2007-2010
2010-2012
2012-2013
2013-2015
2015 s/d
sekarang
37
Pengadilan Agama Tangerang yang bertempat di Jalan Perintis
Kemerdekaan II, Komplek Perkantoran Cikokol Kota Tangerang adalah
merupakan Pengadilan Kelas IB yang berada di wilayah hukum Pengadilan
Tinggi Agama Banten.
Pengadilan Agama Tangerang dibangun di atas tanah seluas ± 2.020
m2 dengan status tanah hak pakai berdasarkan sertifikat yang diterbitkan
Badan Pertanahan Nasional Tangerang Nomor 28 dan 29 tanggal 21
September 1984 dan telah dibalik atas nama Pemerintah Republik Indonesia
Mahkamah Agung RI.41
Adapun bangunan gedung Pengadilan Agama Tangerang Seluas ±
1858 m2 lantai yang telah dibangun pada tahun 2009.
Letak geografis kota Tangerang antara 6’ 6’Lintang Selatan sampai
dengan 6’ 13’ Lintang Selatan dan 106 36’ Bujur Timur. Batas wilayahnya;
1. Sebelah utara, berbatasan dengan Kecamatan Teluknaga dan Kecamatan
Sepatan Kabupaten Tangerang.
2. Sebelah selatan, berbatasan dengan Kecamatan Curug (Kabupaten
Tangerang) dan Kecamatan Serpong, Kecamatan Pondok Aren
(Tangerang Selatan).
41
Pengadilan Agama Tangerang, artikeldiaksespada 18 April 2016 dari
http://www.patangerangkota.go.id
38
3. Sebelah Timur, berbatasan dengan DKI Jakarta.
4. Sebelah Barat, berbatasan dengan Kecamatan Cikupa Kabupaten
Tangerang.42
Wilayah Hukum/Yuridiksi Pengadilan Agama Tangerang meliputi
seluruh wilayah Daerah Tingkat II Kota Tangerang yang terdiri dari 13 (tiga
belas) Kecamatan dan 104 (seratus empat) Kelurahan.
Peta wilayah hukum pengadilan agama tangerang secara astronomis,
Kota tangerang terletak di antara: 6’ 6’- 6’ 13’ LS, 106’ 42’ BT. Kota
tangerang ini meliputi areal seluas 164,539 KM² secara geografis dengan
batas sebagai berikut:
a. Sebelah Barat : Wilayah Kabupaten Serang
b. Sebalah Utara : Laut Jawa
c. Sebelah Timur : Wilayah Kabupaten Tangerang
d. Sebelah Selatan : Wilayah Kabupaten Lebak
Pembagian wilayah hukum kota tangerang adalah 1,231 Ha, memiliki
wilayah 13 kecamatan 104 kelurahan. Kecamatan-kecamatan tersebut adalah
sebagai berikut:
(1) Kecamatan Ciledug
42
Pengadilan Agama Tangerang, artikel diakses pada 15 April 2016 dari
http://www.patangerangkota.go.id
39
(2) Kecamatan Larangan
(3) Kecamatan Karang Tengah
(4) Kecamatan Cipondoh
(5) Kecamatan Binong
(6) Kecamatan Tangerang
(7) Kecamatan Karawaci
(8) Kecamatan Jatiwurung
(9) Kecamatan Jatiwurung
(10) Kecamatan Priuk
(11) Kecamatan Neglasari
(12) Kecamatan Batu Ceper
(13) Kecamatan Benda43
B. KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA TANGERANG
Sebagai pengadilan tingkat pertama atau badan pemeriksa kehakiman
adalah memeriksa, menerima dan memutus perkara perselisihan hukum
antara orang-orang Islam mengenai bidang hukum perdata tertentu yang harus
diputus berdasarkan syari’at Islam. Perkara-perkara yang menjadi weweang
absolut peradilan agama dapat dilihat dalam pasal 2a Statblaad 1937 No. 116
43
Pengadilan Agama Tangerang, artikel diakses pada 18 April 2016 dari
http://www.patangerangkota.go.id
40
yang isinya sama dengan pasal 3 Staatblaad 1937 No. 638 dan berlaku bagi
peradilan agama di Jawa. Madura dan sebagian Kalimantan Selatan. Perkara-
perkara tersebut adalah:
1. Perselisihan antara suami istri yang beragama Islam.
2. Perkara NTR (nikah, talak, rujuk dan perceraian).
3. Memberi putusan perceraian.
4. Menyatukan bahwa syarat jatuhnya talak digunakan (ta’lik talak) sudah
ada.
5. Mahar (termasuk Mut’ah).
6. Perkara tentang kehidupan istri yang wajib diadakan suami (nafkah).44
Dengan keluarnya Undang-undang Perkawinan No.1 tahun 1974
maka kekuasaan pengadilan agama selain yang tersebut dalam pasal 2a ayat
(1) Staatblaad 1882 No. 152 jo Statblaad 1937 No. 638 untuk Kalimantan
Selatan, dan pasal 4 ayat (1) undang-undang Perkawinan, maka pengadilan
agama yang diberi tugas pula memeriksa dan menyelesaikan perkara-
perkara:45
44
Abdul Majid, Putusnya perkawinan berdasarkan gugatan yang diakibatkan oleh
pelanggaran ta‟lik talak (Studi kasus Putusan nomor: 266/Pdt.G/2006/PA.Tng.), h.31-34. 45
Undang-undang Perkawinan di Indonesia dan Kompilasi Hukum Islam, Surabaya:
Arkola, 2000, h. 179.
41
a. Izin seorang suami untuk beristri lebih dari seorang (pasal 4 ayat (1)
UUP).
b. Izin kawin sebagai dimaksud (pasal 6 ayat (5) UUP).
c. Dispensasi kawin (pasal 7 ayat (2) UUP).
d. Pencegahan perkawinan (pasal 17 ayat (1) UUP).
e. Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatatan perkawinan (pasal 21
ayat (3) UUP).
f. Pembatalan perkawinan (pasal 25 UUP)
g. Gugatan suami dan istri atas kelalain pihak lain dalam menunaikan
kewajibannya masing-masing.
h. Penyaksian talak (pasal 39 UUP).
i. Gugatan perceraian (pasal 40 ayat (1) UUP).
j. Penentuan kekuasaan anak-anak (hadhanah) (pasal 41 sub a UUP).
k. Penentuan penghidupan bagi bekas istri (pasal 41 sub b UUP).
l. Penentuan pemeliharaan dan pendidikan anak (pasal 41 sub c UUP).
m. Penentuan tentang sah/tidak sahnya anak dasar tuduan zina oleh suami
terhadap istri (pasal 11 ayat (2) UUP).
42
n. Memberikan pelayanan kebutuhan rohaniawan Islam untuk pelaksaan
penyumpahan pegawai/pejabat yang beragama Islam. (Permenag. No.
1/1989).
o. Melaksanakan hisab rukyat hilal.
p. Menyelesaikan permohonan pertolongan harta peninggalan di luar
sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam (pasal 107 ayat 92) UU No. 7/1989).46
Kewenangan dan kekuasaan pengadilan agama dicantumkan pula
dalam bab III Undang-undang No. 7 tahun 1989 yang meliputi pasal: 49
sampai dengan pasal 53. Pasal 49 adalah yang menentukan wewenang
peradilan agama secara mutlak, yang berarti bidang-bidang hukum
(Kompetensi Absolut) dari peradilan agama. Bidang-bidang hukum perdata
tersebut adalah:
a. Perkawinan
b. Wasiat
c. Wakaf, hibah dan shadaqah.
Kalau kita lihat bidang-bidang tertentu dan hukum ini, maka yang
dapat kita katakan, bahwa kompetensi absolut peradilan agama adalah bidang
46
Undang-undang Perkawinan di Indonesia dan Kompilasi Hukum Islam, h. 212.
43
hukum keluarga dari orang-orang yang beragama islam, seperti juga terdapat
di beberapa negara lain.47
Yang dimaksud bidang perkawinan, yaitu yang diatur dalam undang-
udang Perkawinan No. 1 tahun 1974 seperti yang disebutkan diatas.
Kewenangan Pengadilan Agama Tangerang setelah UU No 3 Tahun
2006.Pengaturan tentang kewenangan ini sebelumnya diatur dalam Pasal 49
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 dimana disebutkan bahwa Pengadilan
Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
di bidang:
a. perkawinan;
b. kewarisan, wasiat, dan hibah;
c. wakaf dan shadaqah.
Dari pasal tersebut dengan jelas kita ketahui bahwasanya Pengadilan
Agama hanya mempunyai kewenangan mengadili di tiga bidang saja.
Apabila kita lihat pada Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 ternyata
kewenangan Pengadilan Agama di perluas menjadi sembilan bidang dimana
disebutkan Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:
47
M. Yahya Harahap, Kedudukan dan Kewenangan Peradilan Agama, h. 92.
44
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah;
i. ekonomi syari’ah.
Kewenangan Peradilan Agama tersebut dimaksudkan untuk
memberikan dasar hukum kepada pengadilan agama dalam menyelesaikan
perkara tertentu itu. hal ini sesuai dengan perkembangan hukum dan
kebutuhan hukum masyarakat,khususnya masyarakat muslim Perluasan
tersebut antara lain meliputi ekonomi syari'ah. Penyelesaian sengketa
mengenai ekonomi syariah tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari'ah,
melainkan juga di bidang ekonomi syari'ah lainnya kemudian yang dimaksud
dengan "antara orang-orang yang beragama Islam" adalah termasuk orang
atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan
sukarela kepada hukum Islam mengenai halhal yang menjadi kewenangan
Peradilan Agama.
45
Dalam kasus sengketa perkawinan, kalau salah satu atau kedua belah
pihak berpindah agama, maka secara teoritis dapat diambil dua hal untuk
menentukan pengadilan yang berwenang (Pengadilan Negeri atau Pengadilan
Agama) yaitu azas personalitas, yaitu hukum yang menguasai hubungan
kedua belah pihak sebelum pindah agama. Mahkamah Agung dengan
beberapa putusannya mengambil ukuran kedua. Dengan demikian kasus
sengketa perkawinan itu dilakukan menurut hukum Islam, maka tetaplah
pengadilan agama berwenang walaupun salah satu pihak atau kedua belah
pihak telah berpindah agama.48
Demikian pula sebaliknya, kalau perkawinan dilakukan secara non
Islam, maka tetaplah pengadilan negeri yang berwenang walaupun salah satu
atau kedua belah pihak telah beralih agama masuk Islam. Dalam soal
kewarisan, maka yang menentukan hukum waris.49
C. PERKARA HAK ASUH ANAK DI PENGADILAN AGAMA
TANGERANG
1. Cara pengajuan hak asuh anak di Pengadilan Agama Tangerang
48
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Cet Ke-1, h. 14-16. 49
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Cet Ke-1, h. 19.
46
Pengajuan perkara hak asuh anak di pengadilan agama Tangerang,
dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan pengajuan secara kumulatif
maupun dengan diajukan dengan tersendiri.
Adapun yang dimaksud dengan pengajuan secara kumulatif adalah
dengan menggabungkan pengajuan hak asuh anak dengan permintaan
cerai.Sementara yang dimaksdud dengan pengajuan secara tersendri yakni
pengajuan hak asuh anak yang dilakukan kemudian setelah terjadi perceraian.
Perihal pengajuan permohonan hak asuh anak secara kumulatif, maka
langkah – langkahnya adalah sebagai berikut :
1.
a.
Mengajukan gugatan secara tertulis atau lisan
kepada Pengadilan Agama Tangerang (Pasal 118
HIR, 142 R.Bg jo Pasal 73 UU No. 7 Tahun 1989);
b.
Penggugat dianjurkan untuk meminta petunjuk
kepada Pengadilan Agama Tangerang tentang tata
cara membuat surat gugatan (Pasal 118 HIR, 142
R.Bg jo. Pasal 58 UU No. 7 Tahun 1989);
c.
Surat gugatan dapat dirubah sepanjang tidak
merubah posita dan petitum. Jika Tergugat telah
menjawab surat gugatan ternyata ada perubahan,
maka perubahan tersebut harus atas persetujuan
Tergugat.
2.
a. Gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan
Agama Tangerang
b.
Bila Penggugat meninggalkan tempat kediaman
yang telah disepakati bersama tanpa izin Tergugat,
maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama
Tangerang yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman Tergugat (Pasal 73 ayat (1) UU No. 7
Tahun 1989 jo Pasal 32 ayat (2) UU No. 1 Tahun
1974);
47
c.
Bila Penggugat bertempat kediaman di luar negeri,
maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Agama
Tangerang yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman Tergugat (Pasal 73 ayat (2) UU No.7
Tahun 1989);
d.
Bila Penggugat dan Tergugat bertempat kediaman
di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada
Pengadilan Agama Tangerang yang daerah
hukumnya meliputi tempat perkawinan
dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama
Jakarta Pusat (Pasal 73 ayat (3) UU No.7 Tahun
1989).
3.
Permohonan tersebut memuat :
a. Nama, umur, pekerjaan, agama dan tempat
kediaman Pemohon dan Termohon;
b. Posita (fakta kejadian dan fakta hukum);
c.
Petitum (hal-hal yang dituntut berdasarkan
posita),Dalam hal ini menyangkut cerai dan hak
asuh anak.
4.
Gugatan soal penguasan anak, nafkah anak, nafkah
istri dan harta bersama dapat diajukan bersama-
sama dengan gugatan perceraian atau sesudah
putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum
tetap (Pasal 86 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989).
5.
Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR,
145 ayat (4) R.Bg. Jo Pasal 89 UU No. 7 Tahun
1989), bagi yang tidak mampu dapat berperkara
secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273
R.Bg).
6.
Penggugat dan Tergugat atau kuasanya menghadiri
persidangan berdasarkan panggilan Pengadilan
Agama Tangerang (Pasal 121, 124, dan 125 HIR,
145 R.Bg).
Adapun pengajuan hak asuh anak secata tersendiri dapat dilakukan
dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama Tangerang dengan
48
melampirkan fotocopi kutipan akta nikah/akta cerai, fotocopi akta kelahiran anak,
biaya perkara.:
1. Mengajukan gugatan hak asuh anak secara tertulis atau lisan kepada
Pengadilan Agama Tangerang (Pasal 118 HIR, 142 R.Bg)
2.
Gugatan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama Tangerang :
a. Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat ;
b.
Bila tempat kediaman tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan
kepada Pengadilan Agama Tangerang yang daerah hukumnya meliputi
tempat kediaman Penggugat;
3.
Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4) HIR, 145 ayat (4) R.Bg. jo
Pasal 89 UU No. 7 Tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat berperkara
secara cuma-cuma (prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 R.Bg).
4.
Penggugat dan Tergugat atau kuasanya menghadiri sidang pemeriksaan
berdasarkan panggilan Pengadilan Agama Tangerang (Pasal 121, 124, dan
125 HIR, 145 R.Bg).
2. Cara penyelesaian gugatan hak asuh anak di Pengadilan Agama
Tangerang
Perihal penyelesaian gugatan hak asuh anak dilakukan lewat
serangkaian sidang sebagai berikut:
a. Sidang pertama, hakim berusaha mendamaikan kedua pihak
b. Jika tidak berhasil, selanjutnya melakukan mediasi
c. Jika mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan gugatan dilanjutkan
dengan membacakan surat gugatan.
d. Dilanjutkan jawab – menjawab (replik – duplik).
e. Pembuktian
49
f. Musyawarah para pihak
3. Produk hukum dari penyelesaian hak asuh anak di Peradilan Agama
Tangerang
Setelah Pengadilan Agama memeriksa perkara, maka ia harus
mengadilinya atau memberikan putusan dan mengeluarkan produknya.
Produk-produk hukum di lingkungan peradilan agama pada prinsipnya
dengan produk-produk di lingkungan peradilan umum, yang pada umumnya
sesuai dengan pembagian menurut ketentuan perundang-undangan yang
mengaturnya. Dalam hal hadhanah ini sendiri, produk hukum yang
dikeluarkan adalah berupa putusan hak asuh anak. Apabila pengajuannya
dilakukan secara kumulatif, maka putusan hak asuh anak akan diletakkan
sebagai putusan subsidair atas putusan primernya yakni perceraian. Tetapi,
apabila pengajuannya secara tersendiri, maka putusannya pun akan hanya
berisi tentang hak asuh anak saja.
50
BAB IV
SUAMI NON MUSLIM SEBAGAI PEMEGANG HADHANAH DALAM
PUTUSAN No. 1429/Pdt.G/2013/PA. Tng.
A. DESKRIPSI PUTUSAN NOMOR 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng.
1. Posisi Kasus
Pokok persoalan pada posisi kasus yang terjadi dapat diuraikan bahwa
terjadi perceraian antara sepasang suami istri dimana suami beragama Kristen
dan istri beragama Islam.
Setelah diputus bercerai, hak hadhanah menjadi permasalahan
berikutnya dimana pada dasarnya hak hadhanah diberikan kepada istri.
Namun pada perkara ini hak hadhanah diberikan kepada suami, terlebih lagi
suami tersebut beragama Kristen.
Pengadilan Agama Tangerang yang memeriksa dan mengadili
perkara-perkara tertentu pada tingkat pertama dalam persidangan Majelis,
telah menjatuhkan putusan sebagai berikut di bawah ini dalam perkara yang
diajukan oleh:
Pemohon, umur 45 tahun, Agama Kristen, pekerjaan Wiraswasta,
tempat tinggal di kota Tangerang, dalam hal ini berdasarkan surat kuasa
khusus yang telah memberikan Kuasa berdasarkan Kuasa Khusus kepada
Irchamni Chabiburrahman, SH. MH, dan Ahmad Munir Amal Tomagalo, SH.
Advokat/Pengacara dan Penasehat Hukum pada kantor Law Firm Irchamni &
Tomagola, beralamat di Jl. Veteran, No.B.11, Kelurahan Sukasari, Kota
Tangerang, yang bersangkutan adalah sebagai Pemohon.
51
Sedangkan Termohon, umur 32 tahun, Agama Islam, pekerjaan Ibu
rumah tangga, semula bertempat tinggal di Kota Tangerang, sekarang tidak
diketahui lagi alamatnya dengan jelas dan pasti di wilayah Republik
Indonesia (Ghoib), yang bersangkutan adalah sebagai Termohon.
2. Duduknya Perkara
Duduk perkara ini sesuai yang didaftarkan pada kepaniteraan yang
tertera pada nomor 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng. adalah tentang Andy sebagai
pemohon mengajukan gugatan di Pengadilan Agama Tangerang terhadap
Santy sebagai termohon. Menikah pada tanggal 05 Juni 1979 di hadapan
Kantor Urusan Agama Kecamatan Bawang, Kabupaten Bajarnegara, Jawa
Tengah Nomor 0062/010/VI/2000, tertanggal 05 Juni 2000.
Pada awalnya perkawinan antara pemohon dan termohon berjalan
dengan baik, hidup rukun dan bahagia akan tetapi seiring dengan perjalanan
waktu terjadi percekcokan dan perbedaan prinsip yang mendalam sehingga
sering terjadi pertengkaran, perselisihan semakin parah yang akhirnya
penggugat mengajukan permohonan cerai talak di Pengadilan Agama
Tangerang.
Dari perkawinan antara pemohon dengan termohon telah dikaruniai
dua orang anak; yang lahir pada tanggal 07 Juli 2001, dan yang lahir pada
tanggal 10 Februari 2003.50
Pemohon mulai September 2004 bekerja di Amerika hingga tahun
2013. di Amerika.Selama Pemohon bekerja di Amerika, Termohon selalu
50
Putusan Pengadilan Agama Tangerang Perkara Nomor 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng.
52
mengeluh dan marah karena hanya mendapatkan nafkah lahir tetapi tidak
mendapatkan nafkah batin. Termohon juga sering cemburu dan menganggap
Pemohontelah menikah lagi di Amerika.51
Selama Pemohonbekerja di Amerika, Termohon juga bekerja di
Bandara Soetta.Termohon sering pulang malam, bahkan pagi dini hari dengan
alasan lembur dan diantar oleh seorang laki – laki.
Setelah diusut, Termohon melakukan perselingkuhan dan membawa
anak laki-laki Pemohondengan cara meninggalkan rumah. Dengan kejadian
tersebut, Pemohonmerasa sudah tidak bisa lagi mempertahankan rumah
tangga dan memutuskan unntuk mengajukan perceraian.
3. Pertimbangan Hukum
Acuan utama dalam membuat pertimbangan hukum adalah apa yang
terjadi dalam proses persidangan serta ketentuan hukum yang berlaku di
lingkungan peradilan. Putusan-putusan hakim pada dasarnya tidak boleh
melewati apa yang dimohon atau digugat.
Salah satu celah yang dapat memanfaatkan untuk memaksimalkan
tuntutan, misalnya melalui permintaan memberikan kelonggaran bagi hakim
untuk menggali hukum seluas-luasnya demi menegakkan keadilan.
Majelis Hakim dalam memutuskan perkara dituntut suatu keadilan
dan untuk itu hakim melakukan penilaian terhadap peristiwa dan fakta-fakta
yang ada apakah benar-benar terjadi. Hal ini hanya bisa dilihat dari
51
Putusan Pengadilan Agama Tangerang Perkara Nomor 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng.
53
pembuktian, menanyakan kembali kepada pihak lawan mengenai keterangan
saksi-saksi dan fakta-fakta yang ada.52
Adapun pertimbangan hukum dalam memutuskan perkara Nomor:
1429/Pdt.G/2013/PA.Tng. adalah bahwa: Majelis Hakim telah berupaya
mendamaikan permohonan agar bersabar dahulu akan tetapi tidak berhasil.
Majelis Hakim juga mempertimbangkan hal lainnya yaitu, bahwa
gugatan penggugat dapat dibuktikan dengan mengajukan alat bukti berupa
fotocopy salinan Akta Nikah dari Kantor Urusan Agama dengan Nomor:
0062/010/VI/2000. Dan fotocopy akta kelahiran kedua anaknya. Selain bukti
surat, pemohon juga mengahdirkan dua orang saksi yang menerangkan
mengenai dalil gugatan pemohon yang pada intinya menguatkan dalil-dalil
permohonan Pemohon dan telah berusaha merukunkan akan tetapi tidak
berhasil kini rumah tangga Pemohon pisah tempat tinggal sejak tahun 2006.
Berdasarkan hasil penelitian dari gugatan penggugat, Putusan Nomor:
1429/Pdt.G/2013/PA.Tng. maka pertimbangan hukum majelis hakim yang
mencakup hal-hal pokok tersebut, diantaranya adalah:
1. Menimbang, bahwa berdasarkan pernyataan pemohon yang dikuatkan
dengan adanya bukti P.1 kepada Pengadilan Agama Tangerang yaitu
bahwa pemohon dan termohon terikat dalam perkawinan yang sah.
2. Menimbang, bahwa yang menjadi permasalahan pemohon mengajukan
permohonannya adalah karena rumah tangga pemohon dan termohon tidak
harmonis, sering berselisih, dan tidak menghargai satu sama lain. Antara
52
Putusan Pengadilan Agama Tangerang Perkara Nomor 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng.
54
pemohon dan termohon sudah bermusyawarah akan tetapi tidak berhasil
untuk itu pemohon mengajukan dan mengikrarkan talak kepada pemohon.
3. Menimbang, bahwa saksi-saksi keluarga dari pemohon di dalam
persidangan telah menerangkan yang pada intinya menguatkan dalil-dalil
permohonan pemohon. Hal ini diperkuat oleh saksi dari pihak pemohon
bahwa rumah tangga pemohon telah pisah tempat tingal sejak tahun 2006.
4. Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Jo. Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam bahwa tujuan perkawinan adalah
untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal namun
yang terjadi dalam rumah tangga pemohon adalah sebaliknya yaitu suatu
tumah tangga yang dibarengi dengan perselisihan dan pertengkaran dan
pihak pemohon telah mengahirkan saksi-saki keluarga yang keterangannya
menguatkan dalil-dalil pemohon sementara termohon telah dikaruniai dua
orang anak, dipanggil secara patut tidak hadir di persidangan, untuk itu
Majelis Hakim berkesimpulan bahwa termohon mengetaui adanya
persidangan dan demikian alasan pemohon patut untuk dinyatakan
terbukti.
5. Menimbang, bahwa selama perkawinan antara pemohon dan termohon
telah dikaruniai dua orang anak yaitu: Robby, dan Seila Rafika.
Berdasarkan ketentuan Pasal 41 putusnya perkawinan baik ibu maupum
bapak tetap berkewajiban dalam memelihara dan mendididk anak-anaknya
berdasarkan tuntutan pemohon tersebut. Majelis Hakim mengabulkan
55
permohonan dengan menetapkan bahwa anak pemohon dan termohon
ditetapkan pengasuh dan pemeliharaannya kepada pemohon yaitu bapak.
4. Amar Putusan
Setelah mengamati kasus antara penggugat dan tergugat seperti yang
diuraikan di atas ada hal yang menarik perhatian penulis untuk disoroti yaitu
jatuhnya hadhanah atau pemeliharaan anak yang sudah mumyyiz jatuh
kepada bapak.
Dalam hal ini penulis melihat pertimbang hukum yang diberikan
Majelis Hakim dapat dilihat untuk kepentingan anak atau kemaslahatan anak,
dalam perkara tersebut yang telah diptuskan hak pemeliharaan dan pengasuh
anak (hadhanah) diserahkan kepada penggugat yaitu bapak kandung sendiri
yang amarya menyatakan:53
1. Menyatakan Termohon yang telah dipanggil secara sah dan patut di
persidangan tidak hadir.
2. Mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya dengan verstek.
3. Menyatakan perkawinan Pemohon dengan Termohon putus karena fasakh.
4. Menetapkan seorang anak Pemohon dan Termohon bernama Anak ke 1,
lahir 07 Juli 2001, diasuh dan dipelihara oleh Pemohon selaku Ayah
kandungnya, dengan tetap memberikan hak kepada Termohon untuk
bertemu dan berkomunikasi dengan anak tersebut.
5. Memerintahkan kepada Panitera/Sekretaris Pengadilan Agama Tangerang
untuk mengirimkan Salinan putusan perkara ini kepada Kantor Urusan
53
Putusan Pengadilan Agama Tangerang Perkara Nomor 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng.
56
Agama (KUA) Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara, Jawa
Tengah, untuk dicatat dalam register yang disediakan untuk itu.
6. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar seluruh biaya perkara
yang hingga kini dihitung sebesar Rp.351.000,- (Tiga ratus lima puluh satu
ribu rupiah).
B. Alasan Hakim Menetapkan Pertimbangan Hukum Seperti Yang Tertera
Dalam Putusan Nomor 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng.
Setelah saya melakukan wawancara kepada Majelis Hakim pada
tanggal 11 Januari 2016, ditemukan bahwa alasan hakim memutuskan bahwa
hak hadhanah jatuh kepada ayah non muslim adalah karena beberapa alasan.
Yang pertama, kelakuan istri yang tidak baik. Kendatipun ia masih
berstatus muslimah tapi dia telah mengabaikan hak asuhnya, lebih-lebih dia
telah melakukan perselingkuhan dengan pria lain dimana hal ini merupakan
hal yang tidak terhormat untuk dilakukan seorang muslimah.
Alasan kedua, dari pendekatan materi fiqih, didalam materi hukum
islam itu sendiri terjadi perbedaan pendapat, antara pada imam mazhab
tentang syarat muslim ataukah tidak dalam pengasuhan hak asuh anak
tersebut.
Hal ini merupakan sumber permasalahan yang telah diperdebatkan
ulama sejak zaman dahulu. Dan pada intinya perdebatan ini dapat
dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama, yakni kelompok yang
melarang menjadikan non muslim sebagai pemelihara anak muslim.
Kelompok ini didukung oleh Mazhab Syafiiyah dan Hambali.
57
Sementara itu, kelompok kedua adalah kelompok yang membolehkan
non muslim untuk menjadi pengasuh selama kriterianya terpenuhi. Pendapat
ini diikuti oleh mazhab Hanafiah dan Malikiah.
Alasan hakim yang ketiga, bahwa selama terjadinya perpisahan antara
pemohon dan termohon anak diasuh oleh pemohon sebagai ayah kandungnya
dengan baik dan anak tersebut secara fisik maupun psikis tumbuh secara
wajar dan normal seperti anak-anak pada umumnya. Melihat kondisi ini pun
dapat diketahui bahwa sang ayah mampu memelihara anak dengan baik dan
bertanggung jawab
Yang keempat, bahwa hak pengasuhan anak itu lebih difokuskan -
kepada dan untuk kepentingan kemaslahatan anak itu sendiri. Dibandingkan
dengan apabila diberikan kepada sang ibu, maka lebih baik bila diberikan
kepada sang ayah. Hal ini juga untuk menghindari kekhawatiran akan
perkembangan sikap anak bila tinggal dengan ibu yang sifatnya tidak baik.
C. Putusan No. 1429/Pdt.G/2013/PA. Tng. yang Memberikan Hak Asuh
Anak pada Suami non Muslim ditinjau dari Perspektif Fiqh.
Dalam kutipan wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama (11
Januari 2016), dalam menetapkan hak asuh anak karena suami non muslim,
Hakim Pengadilan Agama merujuk pada madzhab Hanafi.
Ulama’ berbeda pendapat mengenai syarat Islam bagi pemegang hak
asuh anak (hadanah). Ulama’ Syafi’iyah mensyaratkan Islam sebagai syarat
bagi pengasuh atas anak Islam. Ulama’ Hanabilah juga mensyaratkan Islam
sebagai syarat mutlak bagi pemegang hak asuh (hadanah) atas anak
58
muslim.Dikarenakan barangkali mengakibatkan fitnah atas agama anak
tersebut. Dalam Kitab “Iqna‟ fi Fiqh Al-Imam Ahmad bin Hanbal” Juz ا II
karya Imam Musa Al-Hijawi disebutkan :
"Maka tidak berhak hak asuh (hadanah) bagi orang kafir atas anak muslim
karena tidak ada wilayah bagi orang kafir atas anak muslim dan karena
dimungkinkan mengakibatkan fitnah atas agama anak”
Namun, Ulama’ Hanafiyah tidak mensyaratkan Islam bagi pemegang
hak asuh (hadanah) bagi anak muslim. Dalam Kitab “Al-Ikhtiyar li Ta‟lil Al
Mukhtar” Juz IV dalam “Fasl fil Hadanah” karya Mahmud bin Mawdud Al-
Musilli disebutkan :
“Kafir dzimmi lebih berhak atas anaknya muslim selama tidak ditakutkan
kekafiran anaknya”
Ulama Hanafiah dan Malikiah juga menyebutkan bahwa dalam hak
hadhanah, tidak mensyaratkan harus dijatuhkan kepada si muslimah, karena
ada beberapa kasus pada masa Rasul yang mana hak hadhanah diberikan
kepada sang ayah.
Akan tetapi dalam hal ini Imam Hanafi mensyaratkan bahwa yang
dimaksudkan bukanlah kafir murtad.Dalam hal penentuan hak asuh anak
mengenai dasar hukumnya yang diambil oleh Pengadilan Agama Tangerang
adalah kutipan dari Mazhab Al-Zahiri bahwa unsur utamanya bukan karena
murtad, karena Pemohon tersebut tidak diketahui benar-benar murtad atau
islam.
59
Hakim memberikan putusan Hak Asuh Anak pada Suami non Muslim
dari Mazhab Ghoirul Mukhtabaroh:
1. Berakal sehat,
2. Amanah (berkelakuan baik),
3. Memiliki perhatian lebih
Ulama Hanafi berpendapat bahwa agama bukan jadi patokan utama
dalam menentukan hak asuh anak. Akan tetapi Majlis Hakim juga
memberikan keterangan terkait dengan putusan ini menurut kitab Al-Fiqhul
Islam Waadilatuh karangan Dr.Wahbah Zuhaili adalah:
1. Madzhab Syafi’i dan Hambali mengatakan harus Muslim/Muslimah.
2. Kalau tidak ada Islam, menurut madzhab Hambali boleh kepada Kafir
Dzimmi.
3. Menurut Madzhab Hanafi dan Maliky: “Tidak mensyaratkan harus
Muslimah, berdasarkan hadis riwayat Abu Daud. Saat anak memiliki
ibunya yang musryikal, Nabi membiarkan dan hanya berdoa “ya Allah,
tunjuki anak itu, condongkan hatinya kepada ayahnya”.
Ulama’ Malikiyah tetap memberikan hak asuh (hadanah) anak kepada
ibu yang kafir. Akan Tetapi, jika hal tersebut dikhawatirkan akan
menimbulkan dampak negatif terhadap anak, maka disyaratkan untuk
pengasuh (hadin) tinggal bersama orang muslim dan satu orang muslim
cukup untuk mengawasinya agar tidak mengajarkan hal-hal yang buruk bagi
anak(mahdun). Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa dalam
permasalahan hadhanah ibu yang lebih berhak mendapatkan hadhanah ketika
60
seseorang anak yang masih dibawah umur dan selama ibu belum menikah.
Rasulullah SAW berkata dalam haditsnya:
عب بطن براكب إ لهللا قهج:بزظ ايسأة أ س ع ب عبداهللا جد نع ب ثد ء،
أببغهق، إ اء، نح ثدبحجس لهللاصهظقبء، ،فقبلنبزظ صعي خ أزادأ
.)زاأبداد(. كح يبنىح جأحقب ظهىا هللاعه
Artinya : “Seseorang perempuan berkata kepada Rasulullah: Wahai
Rasul, anakku ini aku yang mengandung, air susuku yang diminumnya dan
dipangkuanku tempat kumpulnya. Ayahnya telah menceraikanku dan ingin
memisahkannya dariku. Rasulullah besabda: kamulah yang berhak
memeliharanya sealam kau tidak menikah lagi”. (HR. Abi Daud)54
Namun, meski pada dasarnya hak asuh jatuh kepada ibu, tapi tidak serta
merta hal itu akan selalu terjadi, terdapat 4 hal yang menghalangi hak asuh
jatuh kepada ibu, yaitu :
1. Perempuan yang berstatus budak;
2. Fasiq;
3. Kafir;
4. Perempuan yang telah menikah lagi dengan lelaki lain.55
D. Pandangan Hukum Positif Pada Putusan No. 1429/Pdt.G/2013/PA. Tng.
Dalam pasal 38 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan jo pasal 113 KHI disebutkan bahwa, perkawinan putus karena
kematian, perceraian, atau atas putusan pengadilan.56
54
Abi Daud Sulaiman bin al-Asy’asy as-Sajastani al-Azdiy, Sunan Abi Daud, (Qahirah:
Daar al-Hadits, 1988), juz II, h. 292. 55
-Majmu al- Fatawa,( Beirut: Daar el-Hikmah. 2000), h. 401 56
Sulaiikin Lubis, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta,
Kencana, 2005), h.119a.
61
Dalam kasus ini memberikan keputusan mengenai pemberian hak
asuh anak yang di berikan kepada pemohon (ayah kandung) dengan
berdasarkan Pasal 41 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi:57
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:
1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberi
keputusannya.
2. Bapak yang bertanggung jawab atas biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu, bilamana dalam kenyataan tidak dapat
memenuhi kewajiban tersebut. Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu
ikut memikul biaya tersebut.
3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan
biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri.
Dalam pasal 14 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 anak berhak
diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali ada hal yang menentukan yang
lain.58
Kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Inpres No. 1 tahun
1991 pada Pasal 105 huruf (a) menyatakan bahwa apabila terjadi perceraian,
maka pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun
adalah hak ibunya.59
Hal ini dikarenakan ibu mempunyai kasih sayang serta
kesabaran yang lebih tinggi, selain itu seorang ibu lebih lembut ketika
57
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, h. 549-550. 58
Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2009), h. 209. 59
Budi Durachman, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokusmedia, 2007), Cet, Ke-2 h.
35.
62
menjaga dan mendidik anaknya terlebih bagi anak yang masih dalam usia
menyusui, ibu memiliki sesuatu yang tidak dimiliki semua orang.
Salah satu hal penting yang mungkin kurang dipertimbangkan oleh
kedua orang tua ketika terjadi perceraian adalah tanggung jawab kedua orang
tua, baik ketika orang tuanya masih hidup rukun dalam ikatan perkawinan
maupun ketika mereka gagal karena terjadi perceraian. Pemeliharaan ini
meliputi berbagai hal, diantaranya masalah ekonomi, pendidikan dan
masalah-masalah lain yang menjadi kebutuhan pokok anak.
Selain itu dalam kasus di atas bahwa ibu tidak memberikan kebutuhan
anak cenderung mengurangi asupan gizi, ibu juga ikut perkumpulan
pengajian dan mengajak berdemo, dan ibu membiarkan anak tidur dilantai
rumah sendirian sehingga dikhawatirkan tidak bisa menjalankan tugasnya
sebagai seorang istri serta ibu bag anak-anaknya di masa depan nanti.
Selain itu anak merupakan makhluk sosial seperti layaknya orang
dewasa. Anak membutuhkan orang lain (orang tua) untuk membantu
mengembangkan kemampuannya, karena anak lahir dengan segala
kelemahannya sehingga tanpa bantuan orang dewasa anak tidak mungkin
dapat mencapai taraf kemanusiaan yang normal.
Kalau kita melihat kembali hak asuh anak di atas, penggugat ada hal
yang tidak selayaknya tidak memberikan kebutuhan anak cenderung
mengurangi asupan gizi, ibu juga ikut perkumpulan pengajian dan mengajak
berdemo, dan ibu membiarkan anak tidur dilantai rumah sendirian. Melihat
63
dari tingkah laku tersebut pemohon sudah tidak layak untuk mendapatkan hak
asuh anaknya.60
Dalam hal ini terjadinya perceraian orang tua, biasanya anaklah yang
menjadi korban. Orang tua beranggapan dalam perceraian diselesaikan.
Padahal tidak demikian adanya dan tidak demkian sederahananya, bahwa
penyelesaian terbaik bagi anak akan dapat dengan mudah dicapai. Dalam
kondisi apapun harus tetap diingat bahwa sebagaimana halnya juga individu
yang mempunyai hak-hak dasar yang diakui sebagaimana halnya orang
dewasa. Oleh karena itu, dalam kasus perceraian di atas anak merupakan
salah satu subjek. Dan kepentingan anak tetap harus menjadi prioritas utama.
60
Putusan Pengadilan Agama Tangerang Perkara Nomor 1429/Pdt.G/2013/PA.Tng.
64
BAB V
A. Kesimpulan
1. Dalam perkara putusan Pengadilan Agama Tangerang
No.1429/Pdt.G/2013/PA.Tng Majelis Hakim Pengadilan Agama
Tangerang memberikan hak asuh anaknya kepada bapak yang non Muslim
yang bernama Caroline anak dari hasil Pernikahan Pemohon dan
Termohon, yang masing-masing adanya Putusan Pengadilan Agama
Tangerang Hak Asuhnya diberikan kepada Bapak yang non Muslim
(pemohon) dikarenakan Ibu dari anak tersebut tidak amanah atau tidak
cakap dalam mengurus anak, hakim merujuk pada kaedah hukum fiqh
yaitu dengan Madzhab az-zahiri bahwa kalau ibunya berkelakuan seperti
ini maka ayah yang dapat mengasuh anak. Pendapat ini dikuatkan oleh
pendapat ulama Maliki dan juga Hanafi. Perihal pendapat ulama, ulama
Syafi’iyah dan Hanabali mengungkapkan bahwa non muslim tidak boleh
mendapatkan hak asuh anak. Sementara itu, ulama Malikiyah dan
Hanafiyah membolehkan hak asuh anak jatuh kepada non muslim. Dari
hukum positif sendiri pada dasarnya tidak mengatur perihal hadhanah
kepada non muslim, yang ditegaskan hanyalah hak prioritas ibu dalam
hadhanah dibandingkan ayah.
2. Yang menjadi dasar pertimbangan hakim adalah merujuk pada fakta
persidangan, hakim merujuk pada aturan ada dan yang berlaku. Dan juga
budaya masyarakat yang hidup atau yang disebut dengan nama living law.
65
Dikarenakan ada beberpa faktor dasar hakim memberikan hak asuhnya
kepada bapak yang non Muslim, yaitu:
a. Yang pertama, kelakuan istri kendatipun ia masih berstatus muslimah
tapi dia telah membangkan terhadap asuhannya lebih lebih dia telah
melakukan perselingkuhan dengan pria lain.
b. Yang kedua, didalam materi hukum islam itu sendiri terjadi perbedaan
pendapat, antara pada imam mazhab tentangmuslim sebagai syarat
dalam hak asuh anak.
c. Yang ketiga, bahwa selama terjadinya perpisahan antara pemohon dan
termohon anak diasuh oleh pemohon sebagai ayah kandungnya dengan
baik dan anak tersebut secara fisik maupun psikis tumbuh secara wajar
dan normal seperti anak-anak pada umumnya.
d. Yang keempat, bahwa hak pengasuhan anak itu lebih difokuskan -
kepada dan untuk kepentingan kemaslahatan anak itu sendiri.
B. Saran
Sebagai bahan akhir penulisan skripsi ini izinkanlah penulis
memberikan beberapa saran, baik kepada penulis kaum kerabat dan pada para
pembaca sekalian pada umumnya.
Pertama: Apabila terjadi perceraian maka sebaiknya selain
menggunakan hukum yang telah di tetapkan tidak hanya melalui agama tetapi
juga berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak demi pengurusan anak yang
efektif seperti pemberian nafkah materiil dan in materiil bagi keberlangsungan
hidup anak.
66
Kedua: Hendaknya setiap hakim harus teliti dalam memutuskan
mengenai hak asuh anak. Alasan-alasan yang dikemukakan oleh Hakim dalam
membuat keputusan harus melihat kemaslahatan sang anak.
Ketiga: Pembuktian merupakan sarana untuk menemukan kebenaran.
Dalam memeriksa bukti harus ada ketelitian Hakim. Oleh karena itu, perlu
adanya sikap yang bijak dalam memeriksa bukti-bukti yang diajukan oleh
kedua belah pihak yang berkaitan mengenai sengketa hak asuh anak
(hadhanah). Juru sita selaku pihak yang berwenang untuk melakukan eksekusi
juga harus bersikap arif agar pelaksanaak eksekusi terhadap anak berjalan
dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul Karim
Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Akademia
Pressindo, 2007.
Abidin, Slamet, dkk. Fiqh Munakahat II. Bandung: CV. Pustaka Setia,
1999.
Afifi, Fauzi Abbas. Metodologi Penelitian. Jakarta: Adelina Offset, 2010.
Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Mudhlar. Kamus Kontemporer Arab
Indonesia. Cet-1. Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantren Krapyak,
1996.
Ali, Zainuddin. Hukum Perdata Islam. Jakarta: Sinar Grafindo, 2006.
Ayuub, Hasan. Fiqh Keluarga. Cet. IV. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005.
Bintania, Aris. Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-
Qadha. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012.
Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedia Hukum Islam. Jilid II. Jakarta: PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999.
Djubaedah, Neng. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. Jakarta: PT.
Hecca Utama, 2005.
Al-Fauzan, Saleh. Fiqh Sehari-hari. Depok: Gema Insani, 2000.
Ghazali, Abdul Rahman. Fikih Munakahat. Jakarta Kencana, 2006.
Al-Husaini, Taqiyudin Abi Bakr Ibn Muhammad. Kifayah Al-Akhyar.
Beirut Dar: al-Fikr, 1994.
Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2000), h. 149.
Al-Jaziri, Abd ar-Rahman. Kitab al-Fiqih ‘ala al-Mazahib al-‘arba’ah.
Cet. I. Beirut: Dar al-Fikr, 2002.
Johnny, Ibrahim. Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif.
Malang: Bayumedia Publishing, 2008.
Al-Kahlani, Muhammad Ibn Ismail al-Shan’ani. Subul al-Salam. Juz. III.
Bandung: Maktabah Dahlan, t.th.
Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan
Peradilan Agama. Jakarta: Kencana, 2008.
Mugniyah, M. Jawab. Fikih Lima Mazhab. Cet. XVII. Jakarta: Lentera,
2006.
Al-Nawawi, Abu Zakaria Muhyiddin ibn Syarf. al-Majmu ‘Syarh al-
Mazhab. Jilid XVIII. t.tp: Dar al-Fikr, t.th.
Peter, Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. 2011.
Prawirohamidjojo, R. Soetojo dan Asis Saroedin. Hukum Orang dan
Keluarga. Bandung: Penerbit Alumni, 1986.
Satria Effendi, M. Zein. Problematika Hukum Keluarga Islam
Kontemporer. Jakarta: Prenada Media, 2004.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Jilid II. Cet. IV. Beirut: Daar al-Fikr,
1983.
___________. Fiqh Sunnah. Jilid 3. Cet. I. Jakarta: Pena Pundi Aksara,
2006.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2003.
Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta : Intermasa. 2003.
Soimin, Soedharyo. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta: Sinar
Grafika, 2007.
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Islam. Cet. V. Jakarta: UI Press,
1986.
Undang-undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan
Khusus untuk Anggota ABRI, POLRI, Pegawai Kejaksaan dan Pegawai Negeri
Sipil. Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Zaini, Muderis. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Segi Tiga Sistem Hukum.
Jakarta: Sinar Grafika, 1992.
Al-Zuhaili, Wahbah. Al Fiqh Al Islam Wa adillatuhu. Jilid IV. Damaskus:
Daar Fikr, 1984.
Putusan Pengadilan Agama Tangrang Nomor: 1429/Pdt.G/2013/PAT.ng
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
PUTUSAN
Nomor 1674/Pdt.G/2012/PA JT.
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
Pengadilan Agama Jakarta Timur yang memeriksa dan mengadili perkara
tertentu pada tingkat pertama telah menjatuhkan putusan dalam perkara Cerai
Gugat yang diajukan oleh :
Penggugat, umur 27 tahun, agama Islam, pekerjaan Karyawati,
beralamat di Rawamangun, Jakarta Timur, dalam hal ini memberikan
kuasa kepada Mangantar M. Napitupulu, S.H., Ferry Panggabean,
S.H. dan Rando Purba, S.H., para Advokat dari Kantor Hukum Mark
Napitupulu & Partners, beralamat di Ruko Cempaka Mas, Blok P No.
18, Jalan Letjen Suprapto, Kemayoran, Jakarta Pusat, berdasarkan Surat
Kuasa Khusus tanggal 21 Juni 2012.
Selanjutnya disebut Penggugat.
M e l a w a n
Tergugat, umur 28 tahun, agama Islam, pekerjaan Karyawan Swasta,
beralamat di Kelurahan Cipinang Besar Selatan, Kecamatan Jatinegara,
Kota Jakarta Timur. Selanjutnya disebut Tergugat.
Pengadilan Agama tersebut.
Telah mempelajari berkas perkara.
Telah mendengar Penggugat dan saksi-saksi di persidangan.
TENTANG DUDUK PERKARANYA
Menimbang, bahwa Penggugat telah mengajukan gugatannya tertanggal
06 Juli 2012. Yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta
Timur dalam register perkara Nomor 1674/Pdt.G/2012/PA JT, tanggal 09 Juli
2012 yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
Hal. 1 dari 18 hal. Put. No. 1674/Pdt. G/2011/PAJT.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
I. Hubungan Hukum Antara Penggugat Dan Tergugat
1. Penggugat dan Tergugat adalah pasangan suami istri yang sah berdasarkan
ketentuan undang-undang yang berlaku. Penggugat dan Tergugat
melangsungkan akad nikah secara agama Islam pada tanggal 25 Maret
2007 (6 Rabi'ul Awal 1428 H) yang tercatat di Kantor Urusan Agama
Kecamatan Jatinegara, Jalan I Gusti Ngurah Rai-Cipinang Muara, Jakarta
Timur dengan Akta Perkawinan Nomor xxxx tanggal 26 Maret 2007 dan
duplikat Kutipan Akta Nikah Nomor Xxxx .
2. Sebelum menikah dengan Tergugat, status kepercayaan Penggugat dalam
Kartu Tanda Penduduk (KTP) adalah pemeluk agama Kristen Protestan
sedangkan Tergugat adalah pemeluk agama Islam. Karena Penggugat dan
Tergugat memiliki perbedaan keyakinan maka Penggugat menuruti
permintaan Tergugat untuk melangsungkan perkawinan secara agama Islam
dan merubah status kepercayaan Penggugat di dalam KTP menjadi pemeluk
agama Islam. Hal ini karena Tergugat tidak ingin menikah secara agama
Kristen Protestan dan merubah status keyakinan Tergugat menjadi pemeluk
agama Kristen Protestan.
3. Penggugat dan Tergugat telah dikaruniai 2 (dua) anak dalam perkawinan ini,
yaitu:
i) Anak ke I, perempuan, lahir di Jakarta pada tanggal 25 Maret 2007
dengan Akta Kelahiran No. xxxx tanggal 4 Juni 2007; dan
ii) Anak ke II, Laki-laki, lahir di Jakarta pada tanggal 29 Januari 2009
dengan Akta Kelahiran No. xxxx tanggal 29 April 2009.
II. Perkawinan Penggugat dan Tergugat Tidak Sesuai Dengan Tujuan
Perkawinan Yang Diatur Dalam UU Perkawinan Karena Penggugat
Sudah Tidak Mendapatkan Kebahagiaan Lahir Dan Batin Dalam
Perkawinan Ini
1. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita
sebagai pasangan suami istri yang bertujuan untuk membentuk keluarga
yang bahagia. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 Undang-undang No. 1
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Tahun 1974 tentang Perkawinan ("UU Perkawinan") yang kami kutip
sebagai berikut:
"Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa."
2. Berdasarkan ketentuan di atas, hubungan rumah tangga Penggugat dan
Tergugat seharusnya memberikan kebahagian bagi Penggugat dan
Tergugat. Namun demikian, sejak 1,5 tahun terakhir, Penggugat tidak
mendapatkan kebahagian dalam perkawinan ini sehingga perkawinan
Penggugat dan Tergugat sudah tidak sesuai dengan tujuan pernikahan
yang diatur dalam UU Perkawinan.
3. Hilangnya kebahagiaan dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat
berawal sejak awal tahun 2011 karena sejak saat itu Tergugat telah
melanggar hak azasi Penggugat, yaitu hak kebebasan untuk beribadah
menurut keyakinan hati Penggugat. Pada awalnya Penggugat dengan
itikad baik meminta ijin kepada Tergugat untuk kembali beribadah sesuai
dengan agama semula Penggugat (Kristen Protestan). Keinginan
Penggugat ini didasarkan karena Penggugat mengalami perasaan batin
yang tidak damai sejahtera setelah sekian lama tidak beribadah.
4. Namun demikian, Tergugat tidak menyetujui permintaan Penggugat.
Penggugat bersikap sabar atas penolakan Tergugat dan beberapa waktu
kemudian Penggugat kembali mencoba meminta ijin kepada Tergugat
beberapa kali, namun Tergugat selalu menolak permintaan Penggugat.
Di sisi lain, perasaan batin Penggugat semakin gelisah dan tidak tenang
sehingga Penggugat beribadah dengan inisiatif sendiri. Akibatnya,
Tergugat secara terus menerus memarahi Penggugat meskipun
Penggugat berusaha menjelaskan perasaan batin yang dialaminya.
5. Beberapa waktu kemudian, Penggugat dengan itikad baik kembali
mencoba meminta ijin beribadah kepada Tergugat agar menghindari
pertengkaran dengan Tergugat. Namun, Tergugat kembali menolak
permintaan Penggugat. Hal ini ternyata menyebabkan pertengkaran yang
cukup sengit antara Penggugat dan Tergugat dan mulai membuat
Hal. 3 dari 18 hal. Put. No. 1674/Pdt. G/2011/PAJT.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
suasana rumah tangga Penggugat dan Tergugat menjadi tidak harmonis
dan tidak kondusif.
6. Pada hari-hari selanjutnya Penggugat dan Tergugat semakin sering
bertengkar. Pertengkaran tersebut bahkan tidak lagi hanya disebabkan
oleh hal di atas. Suasana rumah tangga pun semakin tidak kondusif
hingga akhirnya Tergugat berkali-kali telah melakukan pemukulan
terhadap Penggugat. Bahkan, Tergugat pernah memukul Penggugat
dihadapan salah satu anak mereka (Anak ke I).
7. Karena Penggugat dan Tergugat tidak mampu menyelesaikan
permasalahan ini maka Penggugat mencoba untuk melibatkan masing-
masing anggota keluarga untuk membantu penyelesaian masalah
tersebut. Pertemuan keluarga telah dilakukan beberapa kali dan dalam
salah satu pertemuan, Penggugat dan Tergugat telah membuat
kesepakatan bersama yang pada pokoknya menyepakati bahwa
Tergugat setuju untuk memberikan kebebasan beribadah kepada
Penggugat sesuai dengan keyakinan Penggugat.
8. Namun demikian, faktanya kesepakatan bersama tidak menyelesaikan
masalah karena Tergugat sama sekali tidak memenuhi kewajibannya
berdasarkan kesepakatan bersama. Tidak lama kemudian Tergugat
kembali menghalangi-halangi Penggugat untuk beribadah. Bahkan, sikap
Tergugat semakin keras terhadap Penggugat.
9. Tergugat mulai mencoba membatasi ruang gerak Penggugat dengan
selalu mengontrol keberadaan Penggugat ketika di luar rumah dengan
cara menelepon Penggugat secara terus-menerus, mengirim short
message service (SMS) atau blackberry messanger. Apabila Penggugat
terlambat memberikan respon, Tergugat selalu memarahi Penggugat
ketika tiba di rumah. Tergugat selalu mencurigai Penggugat sehingga
Tergugat melarang Penggugat untuk keluar dari rumah dengan berbagai
alasan yang tidak masuk akal meskipun pada hari-hari kerja. Hal ini
menyebabkan pertengkaran yang terus menerus antara Penggugat dan
Tergugat.
10. Lebih lanjut, Tergugat mengancam untuk menghancurkan kehidupan
Penggugat apabila Penggugat tidak menuruti kemauan Tergugat.
Tergugat juga menakuti-nakuti Penggugat dengan mengatakan bahwa
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Penggugat tidak berhak atas hak asuh anak. Penggugat hanya bisa
pasrah dan bersabar dengan keadaan yang dialami oleh Penggugat.
Penggugat sangat terkekang, mengalami depresi dan tidak menemukan
kedamaian dalam menjalani hidup sehari-hari.
11. Kejadian di atas telah terjadi terus menerus selama 1,5 tahun terakhir
dan telah menyebabkan suasana rumah tangga menjadi tidak harmonis
dan tidak kondusif. Bahkan, dalam beberapa bulan terakhir kuantitas
pertengkaran semakin sering sehingga akan menimbulkan kerugian yang
jauh lebih besar dibandingkan jika Penggugat dan Tergugat bercerai. Hal
ini menunjukkan bahwa tidak ada harapan hubungan rumah tangga
Penggugat dan Tergugat dapat rukun kembali karena Penggugat dan
Tergugat sudah tidak saling menyayangi, tidak perduli satu sama lain dan
sudah tidak menjalin komunikasi lagi. Bahkan, Penggugat dan Tergugat
telah berpisah rumah sejak tanggal 2 Juni 2012.
12.Perceraian akibat pertengkaran yang terus menerus yang disebabkan
oleh keinginan salah satu pihak untuk kembali menganut agama semula
(sebelum pernikahan dilangsungkan) merupakan salah satu alasan
perceraian. Hal ini sesuai dengan Pasal 116 huruf (k) Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang menyatakan:
" Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
…
k. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan
terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga."
13.Ketentuan di atas secara konsisten telah diterapkan dalam berbagai
Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung, antara lain sebagai berikut:
✓ Putusan Mahkamah Agung RI No. 3827/Pdt.G/2009/PA.Sby tanggal 28 Januari 2010 yang menyatakan
"Majelis Hakim berpendapat bahwa rumah tangga Pemohon dengan
Termohon sudah pecah sedemikian rupa, tidak ada keharmonisan
dan amat sulit dipertahankan untuk mencapai tujuan perkawinan
sebagaimana mestinya, dikarenakan Termohon murtad/kembali
kepada keyakinannya yaitu Kristen,... sehingga telah cukup
Hal. 5 dari 18 hal. Put. No. 1674/Pdt. G/2011/PAJT.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
alasan dan tidak melawan hak bagi Pemohon untuk bercerai
berdasarkan Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun
1975 Jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam (vide:
Yurisprudensi MARI No. 38. K/AG/1990)
• Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 068/Pdt.G/2012/PA.Srg
tanggal 22 Februari 2012 yang menyatakan:
"Majelis hakim berkeyakinan bahwa Tergugat telah terbukti murtad
kembali ke agama semula (Katolik) yang perbuatan murtad
tersebut telah mengakibatkan rumah tangga penggugat dan
Tergugat tidak rukun, keduanya telah berpisah rumah dan tidak lagi
saling peduli sebagai suami istri... maka sesuai dengan ketentuan
pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 jo. Pasal 116
huruf h Kompilasi Hukum Islam, gugatan cerai Penggugat dalam
petitumnya angka 2 dapat dikabulkan sebagamimana tersebut
dalam amar putusan ini;"
• Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2233 /Pdt.G/2011/PA.Sby
tanggal 07 November 2011 yang menyatakan:
"Menimbang, bahwa gugatan Penggugat didasarkan pada dalil/
alasan yang pada pokoknya adalah bahwa sejak 2006 antara
Penggugat dengan Tergugat mulai sering terjadi perselisihan dan
pertengkaran disebabkan Tergugat meninggalkan agama Islam
(murtad) untuk kembali ke keyakinan sebelumnya yaitu katholik
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, gugatan Penggugat
telah mempunyai cukup alasan dan telah terbukti serta memenuhi
pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Jo. Pasal
19 huruf (f) Peraturan Pemerintah 9 Tahun 1975 Jo. Pasal 116
huruf (f) Kompilasi Hukum Islam"
14.Lebih lanjut, suatu perselisihan yang sudah tidak dapat diselesaikan dan
tidak ada harapan untuk dipulihkan juga merupakan salah satu alasan
untuk mengakhiri suatu perkawinan. Hal ini sesuai dengan Pasal 19 huruf
(f) UU Perkawinan yang menyatakan:
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
"Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga."
15.Ketentuan di atas secara konsisten juga telah diterapkan dalam berbagai
Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung, antara lain sebagai berikut:
• Putusan Mahkamah Agung RI No. 38K/AG/1990 tanggal 05
Oktober 1991 yang menyatakan:
"Bahwa alasan perceraian seperti dimaksud pasal 19 huruf (f) Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1975, tidak lagi mencari siapa yang menjadi
penyebabnya, melainkan ditekankan pada keadaan perkawinan itu
apakah telah pecah / retak dan sulit dipertahankan, sebab mencari
penyebab kesalahan dapat berakibat buruk pada anak dan masa
depannya."
• Putusan Mahmakah Agung RI No. 534K/Pdt /1996 tanggal 18 Juni
1996 yang menyatakan:
"Dalam hal perceraian tidak dilihat dari siapa penyebab percekcokkan
atau salah satu pihak telah meninggal kan pihak lain , tetapi yang perlu
dilihat adalah perkawinan itu sendih, apakah perkawinan itu masih dapat
dipertahankan atau tidak'
16.Berdasarkan ketentuan dan yurisprudensi di atas, gugatan Penggugat
yang didasari atas pertengkaran yang terus menerus akibat keinginan
Penggugat untuk kembali menjadi penganut agama semula Penggugat
sudah sepatutnya dikabulkan.
III. Tergugat Telah Sepakat Untuk Bercerai Dengan Penggugat
Berdasarkan Kesepakatan Bersama Untuk Bercerai Yang
Ditandatangani Oleh Penggugat Dan Tergugat Tanggal 2 Juni 2012
1. Setelah menjalani hubungan rumah tangga yang tidak harmonis dalam
waktu yang cukup lama, pada tanggal 2 Juni 2012 Tergugat dan
Penggugat sepakat untuk bercerai dengan membuat dan
menandatangani Kesepakatan Bersama Untuk Bercerai (selanjutnya
disebut "Kesepakatan Bersama").
Hal. 7 dari 18 hal. Put. No. 1674/Pdt. G/2011/PAJT.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
2. Penandatanganan Kesepakatan Bersama ini dilakukan di hadapan Kokoh
Henry, Notaris yang berkedudukan di Jakarta dan Kesepakatan Bersama
tersebut telah dilegalisasi dengan Nomor 05/Legalisasi/2012 tanggal 2
Juni 2012.
3. Pasal 1 alinea keempat Kesepakatan Bersama menyatakan:
"Para Pihak sepakat bahwa hubungan rumah tangga Para Pihak tidak
mungkin dilanjutkan lagi dan sudah sepatutnya diakhiri karena
perkawinan Para Pihak sudah tidak sesuai dengan tujuan perkawinan
yang diatur dalam undang-undang."
4. Dengan demikian, terbukti bahwa Tergugat telah sepakat untuk bercerai
dengan Penggugat.
5. Kesepakatan bersama ini ditandatangani atas kemauan bersama dan
tanpa adanya unsur paksaan dari siapapun. Hal ini sesuai dengan Pasal
1 Kesepakatan Bersama yang menyatakan:
"Para Pihak dengan itikad baik dan atas kemauan bersama (tanpa unsur
paksaan dari pihak manapun) sepakat menandatangani Kesepakatan
Bersama"
6. Perjanjian berlaku secara sah dan mengikat para pihak sebagai undang-
undang dan harus dilaksanakan dengan penuh itikad baik. Hal ini sesuai
dengan Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan:
"Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan
itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah
pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik."
7. Dengan demikian, Kesepakatan Bersama mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat bagi Penggugat dan Tergugat yang telah sepakat untuk
mengakhiri perkawinannya.
8. Kami mohon perhatian Majelis Hakim Yang Terhormat bahwa Penggugat
telah berpisah dengan Tergugat sejak Kesepakatan Bersama ini
ditandatangani. Hal ini untuk memenuhi kesepakatan bersama
Penggugat dan Tergugat yang secara bulat telah menginginkan untuk
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
bercerai sekaligus untuk menghindari perselisihan yang semakin besar.
Dengan demikian, hubungan rumah tangga Penggugat dan Tergugat
tidak dapat diharapkan untuk rukun kembali.
9. Lebih lanjut, Penggugat dan Tergugat dalam Kesepakatan Bersama
tersebut telah sepakat untuk melanjutkan kesepakatan bersama untuk
bercerai ini ke pengadilan yang berwenang untuk memutuskan
perkawinan Tergugat dan Tergugat. Hal ini merupakan dasar bagi
Penggugat untuk mengajukan gugatan aquo sehingga gugatan
Penggugat sudah sepatutnya dikabulkan.
IV. Hak Asuh Atas Anak
10.Pasal 105 KHI menyatakan:
"Dalam hal terjadinya perceraian:
a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum
berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada
anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak
pemeliharaanya;
c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya."
11.Berdasarkan ketentuan di atas, Penggugat berhak atas hak asuh anak-
anak Penggugat dan Tergugat sampai anak-anak tersebut berumur 12
(dua belas) tahun. Karena kedua anak Penggugat dan Tergugat belum
berumur 12 (dua belas) tahun maka Penggugat berhak atas hak asuh
anak tersebut.
12. Untuk memenuhi ketentuan di atas, Penggugat secara terus menerus
telah memperjuangkan hak asuh anak kepada Tergugat. Bahkan,
sebelum menandatangani Kesepakatan Bersama dengan Tergugat,
Penggugat di hadapan Notaris Kokoh Hendry kembali membujuk
Tergugat untuk memberikan hak asuh anak hingga anak-anak tersebut
berumur 12 (dua belas) tahun. Namun demikian, Tergugat bersikeras
menolak permintaan Penggugat.
13. Untuk menghindari konflik yang semakin rumit dan berkepanjangan,
Penggugat dengan itikad baik menuruti keinginan Tergugat. Namun
Hal. 9 dari 18 hal. Put. No. 1674/Pdt. G/2011/PAJT.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
demikian, sebagai bentuk komitmen atas hak atas anak tersebut,
Tergugat sepakat untuk memenuhi seluruh kebutuhan anak-anak
tersebut dan melepaskan Penggugat dari seluruh kewajiban yang
berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan anak-anak tersebut. Hal ini
sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) dan (3) Kesepakatan Bersama yang kami
kutip sebagai berikut:
2) Untuk menghindari konflik yang semakin rumit dan
berkepanjangan, Pihak Kedua dengan itikad baik menuruti
keinginan Pihak Pertama untuk memperoleh hak asuh anak"
3) Sebagai bentuk komitmen Pihak Pertama atas hak asuh anak,
Pihak Pertama sepakat untuk membesarkan dan memenuhi
seluruh kebutuhan anak-anak tersebut. Dalam hal ini Pihak
Pertama sepakat untuk membebaskan Pihak Kedua dari
seluruh kewajiban yang timbul terkait anak-anak tersebut”
14.Sebagai bentuk kepedulian Penggugat terhadap anak-anak Penggugat
dan Tergugat, Penggugat telah meminta Tergugat untuk memberikan
kebebasan kepada anak-anak untuk memilih diasuh oleh Penggugat atau
Tergugat setelah mereka berumur 12 (dua belas( tahun). Hal ini sesuai
dengan Pasal 105 huruf (b) KHI. Hal ini juga terdapat dalam Pasal 2 ayat
(5) Kesepakatan Bersama, yang kami kutip sebagai berikut:
"Para pihak sepakat bahwa Pihak Pertama akan tetap menjadi
pemegang hak asuh anak (dan tidak dapat dituntut oleh Pihak Kedua)
kecuali apabila di kemudian hari anak-anak memilih untuk diasuh oleh
Pihak Kedua, maka Pihak Kedua akan menjadi pemegang hak asuh
anak."
15.Lebih lanjut, Tergugat juga telah sepakat bahwa Penggugat berhak untuk
menemui anak-anak di setiap waktu dan tempat tanpa adanya halangan
dalam bentuk apapun dari Tergugat maupun pihak-pihak lainnya sejak
tanggal penandatanganan Kesepakatan Bersama. Hal ini sesuai dengan
Pasal 2 ayat (4) Kesepakatan Bersama yang kami kutip sebagai berikut:
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
"Pihak Pertama sepakat bahwa Pihak Kedua berhak untuk menemui
anak-anak di setiap waktu dan tempat tanpa adanya halangan dalam
bentuk apapun dari Pihak Pertama dan/atau pihak lainnya."
16.Berdasarkan ketentuan di atas, Tergugat mempunyai kewajiban untuk
memberikan kesempatan kepada Penggugat untuk bertemu dengan
anak-anak di setiap waktu dan tempat yang tidak dapat dibatasi oleh
Tergugat.
Berdasarkan dalil-dalil Penggugat di atas, kami mohon kepada Majelis Hakim
Yang Terhormat untuk memutuskan hal-hal sebagai berikut:
1. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
2. Menyatakan putusnya ikatan perkawinan Penggugat dan Tergugat
karena perceraian.
3. Menyatakan bahwa Tergugat wajib mengijinkan Penggugat untuk
bertemu dengan anak-anak Penggugat dan Tergugat dimanapun dan
kapanpun.
ATAU, apabila Majelis Hakim Yang Terhormat berpendapat lain, kami mohon
putusan yang seadil-adilnya (ex aquo et bono).
Menimbang, bahwa pada hari dan tanggal yang telah ditetapkan,
Penggugat beserta kuasanya datang menghadap dipersidangan sedangkan
Tergugat tidak hadir dipersidangan dan tidak menyuruh orang lain untuk hadir
sebagai wakil / kuasanya, meskipun Tergugat telah dipanggil dengan resmi dan
patut dan tidak datangnya itu tidak terdapat suatu alasan yang sah menurut
hukum, karena itu pemeriksaan terhadap perkaranya tetap diteruskan tanpa
hadirnya Tergugat.
Menimbang, bahwa upaya Mediasi tidak dapat dilaksanakan, namun
majelis telah berusaha memberikan nasehat kepada Penggugat agar rukun
kembali dengan Tergugat, namun usaha tersebut tidak berhasil.
Menimbang, bahwa kemudian dibacakanlah gugatan Penggugat yang
isinya tetap dipertahankan oleh Penggugat.
Menimbang, bahwa Tergugat tidak hadir di persidangan, oleh karenanya
jawaban Tergugat tidak dapat didengar.
Hal. 11 dari 18 hal. Put. No. 1674/Pdt. G/2011/PAJT.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil-dalil gugatan Penggugat,
maka di persidangan Penggugat telah mengajukan bukti-bukti sebagai berikut:
Bukti surat :
1. Fotokopi Kutipan Akta Nikah dari Kantor Urusan Agama Kecamatan
Jatinegara Kota Jakarta Timur Nomor : Xxxx Tanggal 26 Maret 2007 ,
(Kode P.1);
2. b. Fotokopi Kartu Keluarga dari Kelurahan Cipinang Besar Selatan
Nomor : xxxxx tanggal 12 Mei 2009(Kode P.2)
3. Fotokopi Akta Kelahiran dari Kantor Catatan Sipil Kotamadya Jakarta
Timur Nomor : xxxx tanggal 04 Juni 2007 (Kode P.3)
4. Fotokopi Akta Kelahiran dari Kantor Catatan Sipil Kota Administrasi
Jakarta Timur Nomor : xxxx tanggal 29 April 2009 (Kode P.4)
5. Fotokopi Duplikat Kutipan Akta Nikah (Kode P.5).
6. Fotokopi Akta Kelahiran Nova Sriyunita Togatorop (Penggugat) (Kode
P.6).
7. Fotokopi Akta Kelahiran Eko Kemal Julianshah (Tergugat) (Kode P.7).
8. Fotokopi Kesepakatan Bersama Untuk Bercerai dari Kantor Notaris
Kokoh Henry, SH., M.Kn. tanggal 02 Juni 2012; (Kode P.8)
Bukti Saksi
1. Saksi I, umur 24 tahun, agama Kristen Protestan, pekerjaan Swasta,
tempat kediaman di Kelurahan Sidikalang, Kecamatan Sidikalang,
Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, menerangkan dibawah sumpahnya
sebagai berikut :
• Bahwa saksi adalah adik kandung Penggugat, sedangkan
Tergugat adalah suami Penggugat.
• Bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat telah dikaruniai
anak 2 (dua) orang.
• Bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat sering cekcok
lantaran Penggugat sering keluar rumah sehingga Tergugat
marah, disamping itu juga masalah beda Agama Tergugat setelah
menikah tetap dengan agamanya semula yaitu Kristen.
• Bahwa Penggugat dan Tergugat telah berpisah tempat tinggal
sejak bulan Juni 2012.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
• Bahwa anak Penggugat dan Tergugat sekarang berada pada
Tergugat.
• Bahwa Penggugat dan Tergugat tidak bisa diperbaiki lagi.
• Bahwa atas pertanyaan Ketua Kuasa Penggugat, saksi
menjelaskan bahwa dari anak Penggugat pernah didengar bahwa
pernah terjadi KDRT terhadap Penggugat dan saksi mengetahui
ada kesepakatan tertulis antara Penggugat dan Tergugat, saksi
mengetik kesepakatan tersebut yang isinya Tergugat member izin
kepada Penggugat untk beribadah dan melihat anak.
2. Saksi II, umur 22 tahun, agama Kristen Protestan, pekerjaan Mahasiswa,
tempat kediaman di Kelurahan Rawamangun, Kecamatan Pulogadung,
Kota Jakarta Timur (teman dari Penggugat).
• Bahwa saksi adalah teman Penggugat sejak kecil, sedangkan
Tergugat adalah suami Penggugat.
• Bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat telah dikaruniai
anak 2 (dua) orang.
• Bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat saat ini sudah tidak
harmonis dan sering terjadi pertengkaran terus menerus sejak 1,5
tahun yang lalu, sebabnya karena Penggugat suka pergi ke Gereja
kemudian Tergugat marah.
• Bahwa Penggugat dan Tergugat telah berpisah tempat tinggal
sejak bulan Juni 2012.
• Bahwa saksi selaku keluarga dekat telah berusaha memberikan
nasehat agar Penggugat dan Tergugat rukun kembali, namun
Penggugat tetap dengan pendiriannya sehingga saksi tidak
sanggup lagi mengusahakannya.
Menimbang, bahwa pada tahap kesimpulan Penggugat menyampaikan
tetap dengan gugatannya dan mohon putusan.
Menimbang, bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,
maka majelis cukup menunjuk berita acara persidangan ini sebagai hal yang tak
dapat dipisahkan dengan putusan ini.
Hal. 13 dari 18 hal. Put. No. 1674/Pdt. G/2011/PAJT.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
TENTANG HUKUMNYA
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat adalah
sebagaimana telah diuraikan di atas;
Menimbang, bahwa Penggugat hadir menghadap ke persidangan,
sedangkan Tergugat telah dipanggil dengan resmi dan patut sebagaimana
ketentuan pasal 26 PP Nomor 9 Tahun 1975, namun tidak hadir dan tidak
ternyata tidak hadirnya Tergugat tersebut disebabkan oleh alasan yang sah
menurut hukum. Oleh karena itu harus dinyatakan bahwa Tergugat yang telah
dipanggil dengan resmi dan patut tidak datang menghadap ke persidangan tidak
hadir, maka sesuai dengan pasal 125 HIR perkara ini dapat diperiksa dan
diputus dengan verstek;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim pada tiap persidangan telah berusaha
memberikan nasehat agar Penggugat bersabar dan rukun kembali dengan
Tergugat sebagai suami isteri sesuai dengan maksud pasal 82 ayat (1) dan (4)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975 jo pasal 143 Kompilasi Hukum Islam, namun usaha tersebut tidak
berhasil;
Menimbang, bahwa Penggugat mendalilkan Penggugat telah menikah
dengan Tergugat pada tanggal 25 Maret 2007 tercatat pada Kantor Urusan
Agama Kecamatan Jatinegara, Kota Jakarta Utara, dengan Duplikat Kutipan
Akta Nikah Nomor: Xxxx , tanggal 26 Maret 2007.
Menimbang, bahwa alasan Penggugat mengajukan gugatan cerai adalah
rumah tangganya dengan Tergugat tidak rukun lagi karena sering terjadi
perselisihan dan pertengkaran disebabkan Tergugat tidak menyetujui
permintaan Penggugat untuk kembali beribadah sesuai dengan agama
Penggugat semula Kristen Protestan yang mengakibatkan Penggugat semakin
gelisah dan tidak tenang karena tidak dapat beribadah dan melaksanakan
ibadah secara diam-diam yang sampai diketahui Tergugat dan menyebabkan
Tergugat marah kepada Penggugat, sehingga antara Penggugat dan Tergugat
tidak ada kecocokan lagi dalam membina rumah tangga, akibatnya Penggugat
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
dan Tergugat telah berpisah tempat tinggal semenjak tanggal 2 Juni 2012 yang
lalu.
Menimbang, bahwa untuk meneguhkan dalil-dalil gugatannya, Penggugat
telah mengajukan alat bukti surat bertanda P, menurut Majelis alat bukti tersebut
telah merupakan akta otentik sehingga memenuhi syarat formil dan materil
sesuai maksud Pasal 165 HIR oleh karena itu dapat dipertimbangkan;
Menimbang, bahwa dari bukti P. tersebut ditemui fakta bahwa benar
Penggugat telah menikah dengan Tergugat pada tanggal 26 Maret 2007;
Menimbang, bahwa bukti P.1, menjelaskan tentang Perkawinan
Penggugat dan Tergugat, bukti P.2, menjelaskan bahwa Penggugat dan
Tergugat adalah WNI yang dibuktikan dengan adanya Kartu Keluarga, bukti P.3
dan P.4 adalah fotokopi tentang Akta Kelahiran anak Penggugat dan Tergugat,
fotokopi mana tidak diperlihatkan yang aslinya karena yang aslinya berada pada
Tergugat, sedangkan bukti P.5, P.6 dan P.7 tentang Duplikat Akta Kelahiran
Anak dan bukti mengenai Penggugat dan anak-anak Penggugat dan Tergugat
memiliki Kewarganegaraan Indonesia, hal mana terhadap bukti P.5, P.6 dan P.7
dicabut oleh Penggugat dan bukti P.8 menjelaskan antara Penggugat dan
Tergugat telah terjadi Kesepakatan untuk mengakhiri perkawinan dan
pengaturan tentang hak asuh anak.
Menimbang, bahwa Penggugat mengajukan bukti P.8 tentang
Kesepakatan yang isinya tentang Kesepakatan untuk mengakhiri perkawinan,
pengaturan tentang hak asuh anak dan memberikan kebebasan untuk
Penggugat melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinannya, terhadap
Kesepakatan tersebut Majelis Hakim tidak akan mempertimbangkannya karena
Kesepakatan terjadi sebelum perkara diajukan ke Pengadilan, Majelis hanya
mengingatkan bahwa Kesepakatan yang dibuat tersebut adalah merupakan
Undang-Undang yang mengikat kedua belah pihak, karenanya kedua belah
pihak harus melaksanakan ke isi Kesepakatan tersebut.
Menimbang, bahwa di samping bukti surat tersebut, Penggugat juga
mengajukan dua orang saksi, masing-masing bernama Saksi I dan Saksi II
kedua saksi tersebut telah memberikan keterangan dibawah sumpah yang
menerangkan bahwa rumah tangga Penggugat dengan Tergugat tidak rukun
Hal. 15 dari 18 hal. Put. No. 1674/Pdt. G/2011/PAJT.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
lagi keterangan saksi-saksi tersebut telah bersesuaian dengan dalil gugatan
penggugat. Menurut Majelis bukti–bukti tersebut telah memenuhi syarat formil
dan materil pembuktian;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P.1 s/d P.8 dan keterangan dua
orang saksi yang tidak dibantah oleh Penggugat ditemukan fakta sebagai
berikut :
• Bahwa Penggugat dan Tergugat sebagai suami isteri yang menikah dan
telah dikaruniai 2 (dua) orang anak;
• Bahwa awalnya rumah tangga Penggugat dengan Tergugat rukun,
namun sejak tahun 2011 tidak rukun lagi sering terjadi perselisihan dan
pertengkaran lantaran Tergugat sering keluar malam dan lantaran beda
agama dan Tergugat telah sering beribadah ke Gereja, yang akhirnya
keduanya berpisah tempat tinggal sejak tanggal 2 Juni 2012 yang lalu;
• Bahwa keluarga Penggugat telah mendamaikan, namun tidak berhasil;
Menimbang, bahwa berdasarkan kejadian-kejadian diatas yang
mengakibatkan rumah tangga Penggugat dengan Tergugat menjadi “pecah” dan
tidak bisa lagi untuk disatukan, sehingga tujuan perkawinan untuk membentuk
keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah serta bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana maksud pasal 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 serta sebagaimana yang diisyaratkan
oleh al-Quran surat al-Rum ayat 21 tidak mungkin lagi untuk diwujudkan;
Menimbang, bahwa melanjutkan hubungan perkawinan dalam rumah
tangga yang sudah pecah akan menimbulkan penderitaan yang
berkepanjangan, sehingga melanjutkan rumah tangga yang seperti ini akan
menimbulkan mudharat yang lebih besar dari pada mashlahatnya;
Menimbang, bahwa berdasarkan kepada pertimbangan tersebut diatas,
Majelis berpendapat bahwa alasan Penggugat untuk bercerai dengan Tergugat
telah beralasan hukum yaitu sesuai dengan maksud pasal 19 huruf (f) Peraturan
Pemerintah Tahun 1975 jo pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, maka
berdasarkan pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal
22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan pasal 134
Kompilasi Hukum Islam gugatan Penggugat dapat dikabulkan;
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Menimbang, bahwa sesuai dengan pasal 84 ayat 1 dan 2 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diperbaharui dengan Undang Nomor 3
Tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, kepada Panitera
Pengadilan Agama Padang diperintahkan untuk menyampaikan salinan putusan
yang telah berkekuatan hukum tetap kepada Pegawai Pencatat Nikah tempat
Penggugat dan Tergugat tinggal dan tempat pernikahan Penggugat dan
Tergugat dilangsungkan;
Menimbang, bahwa karena perkara ini bidang perkawinan, sesuai
dengan ketentuan pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang
telah diperbaharui oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-
Undang Nomor 50 Tahun 2009, maka biaya perkara dibebankan kepada
Penggugat.
Mengingat akan semua peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan hukum Syara’ yang berkaitan dengan perkara ini.
M E N G A D I L I
1. Menyatakan Tergugat yang telah dipanggil secara resmi dan patut untuk
datang menghadap di persidangan, tidak hadir;
2. Mengabulkan gugatan Penggugat dengan Verstek;
3. Menjatuhkan talak satu bain sughra Tergugat (Tergugat) terhadap
Penggugat (Penggugat);
4. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Jakarta Timur untuk
mengirimkan salinan putusan ini setelah berkekuatan hukum tetap
kepada Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan
Jatinegara, Kota Jakarta Timur dan Pegawai Pencatat Nikah Kantor
Urusan Agama Kecamatan Pulogadung Kota Jakarta Timur untuk dicatat
dalam daftar yang disediakan untuk itu;
5. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara ini
sebesar Rp.666.000,- (enam ratus enam puluh enam ribu rupiah).
Hal. 17 dari 18 hal. Put. No. 1674/Pdt. G/2011/PAJT.
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Demikianlah diputuskan dalam sidang musyawarah Majelis Pengadilan
Agama Jakarta Timur pada hari Kamis tanggal 25 Oktober 2012 Masehi.
bertepatan dengan tanggal 09 Dzulhijjah 1433 Hijriyah, oleh kami
Dra. Orba Susilawati, M.HI sebagai Ketua Majelis Drs. Sultoni, M.H. dan Elvin
Nailana, S.H., M.H., masing-masing sebagai Hakim Anggota, putusan mana
diucapkan pada hari itu juga dalam sidang terbuka untuk umum dengan dihadiri
oleh Rita Syuriyah, S.H., sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri oleh Kuasa
Penggugat tanpa hadirnya Tergugat.
Ketua Majelis,t.t.d
Dra. Orba Susilawati, MHIHakim Anggota, Hakim Anggota,t.t.d t.t.d Drs. Sultoni, MH. Elvin Nailana, SH, MH.
Panitera Penggantit.t.dRita Syuriyah, S.H.
Perincian Biaya Perkara:
1. Pendaftaran HHK
: Rp 30.000,-
2. Biaya Panggilan
: Rp 500.000,-
3. Redaksi : Rp 5.000,-4. Materai : Rp 6.000,-5. ATK Proses : Rp 75.000,-Jumlah Rp 666.000,-(enam ratus enam puluh enam ribu rupiah)
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : kepaniteraan@mahkamahagung.go.idTelp : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18
1. Apa alasan hakim menetapkan pertimbangan hukum dalam putusan Nomor
1429/Pdt.G/2013/PA.Tng?
Yang pertama, kelakuan istri kendatipun ia masih berstatus muslimah tapi dia telah
membangkan terhadap asuhannya lebih lebih dia telah melakukan perselingkuhan dengan
pria lain.
Yang kedua, didalam materi hukum islam itu sendiri terjadi perbedaan pendapat, antara pada
imam mazhab tentang syarat muslim ataukah tidak dalam pengasuhan hak asuh anak.
Yang ketiga, bahwa selama terjadinya perpisahan antara pemohon dan termohon anak diasuh
oleh pemohon sebagai ayah kandungnya dengan baik dan anak tersebut secara fisik maupun
psikis tumbuh secara wajar dan normal seperti anak-anak pada umumnya.
Yang keempat, bahwa hak pengasuhan anak itu lebih difokuskan -kepada dan untuk
kepentingan kemaslahatan anak itu sendiri.
2. Apa yang menjadi dasar petimbangan Majelis Hakim dalam memutus hak asuh anak
yang jatuh kepada bapak non muslim?
Fakta persidangan, kita merujuk pada aturan ada dan yang berlaku. Dan juga budaya
masyarakat yang hidup atau yang disebut dengan nama living law
3. Selain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam (KHI), apakah ada Undang-Undang lain untuk Hakim gunakan dalam
memutuskan suatu perkara hak asuh anak tersebut?
Ya saya merujuk pada pasal, tetapi dalam hal-hal tersebut saya menggunakan seperti hak
asuh anak seperti KHI, tetapi saya juga memperhatikan fakta persidangan yang terjadi.
Artinya pada mana kala UU tersebut bertentangan dengan kondisi fakta yang ada bisa aja
saya mengesampingkan pasal, tetapi dalam keadaan tertentu karena perilaku ibunya menurut
kaedah hukum materil yang ada (misalnya dia bandel atau yg lain-lain) bisa saja pasal itu di
kesampingkan. Inilah yang menjadi patokan hakim, saya memperhatikan yang pertama yaitu
karena faktor/binaan masyarakat fakta didalam persidangan dan yang kedua kepentingan
anak itu sendiri. Jadi bisa itu pasal dikesampingkan dengan mengatakan anak dibawah 12
tahun jatuh kepada ibunya. Tetapi pada kenyataan tertentu karena fakta di persidangan ibunya
walaupun diterima seorang yang jarang berada dirumah, tidak patuh pada suami, dan bahkan
berselingkuh karena lelaki lain, berarti saya anggap ibu itu tidak cakap/amanah walaupun
islam tetapi gak amanah. Nah kalau ketika orang tidak amanah tapi dihadapkan dengan orang
kristen (suami) tadi lebih baik mana, kalau secara logika karena kita orang islam mungkin
biarin bandel padahal itu ibunya kan, tetapi kan kita tidak begitu. Kenapa bapak menentukan
kaya, karena selama ini pertama anaknya nyaman di sisi suami yang keluar negeri. Yang
kedua mengenai status atau kedudukan agama seseorang itu pada imam mazhab berselisih
pendapat ada yang mengatakan itu salah satu syarat pengasuh ada yang tidak dan itulah
kenapa hakim memutuskan perkara ini.
Mazhab azahiry, kalau ini ada di tafsir al-kasyaf.
Termasuk itu UUPA, UU KDRT, UU HAM tahun 1999 dan lainnya.
4. Hambatan apa bagi majlis hakim dalam memutuskan perkara hadhanah tersebut?
Hambatan itu salah satunya kita harus memberikan anak yang sudah berusia 12 tahun, karena
pada saat itu hakim harus memeriksa dan menghadirkan anak tersebut di persidangan.
Hambatan yang dikhawatirkan manakala hakim kurang cerdas dalam menanyakan kepada
anak tersebut mengemukakan tentang persoalan orang tuanya itu ada kekhawatiran akan
mengganggu psikis anak atau kejiwaan anak.
5. Kasus hal apa saja yang menyebabkan gugurnya putusan hadhanah kepada ibu?
Istri berperilaku tidak amanah, istri nyeleweng atau segala macem, atau istri secara faktual
tidak dapat mengasuh anak karena perilaku ibunya, istri sering juga berada diluar rumah. Dan
banyak hal-hal itu dikesampingkan dalam hak asuh anak.
6. Bagaimana proses pengambilan putusan yang terkait masalah hadhanah kepada bapak
yang non muslim?
Kita menyeleksi dulu fakta-fakta dipersidangan atau mengkonstantir, kemudian kita
merujuk aturan yang ada. Sehingga muncul keyakinan hakim untuk menentukan siapa
yang paling berhak dalam mengasuh anak.
7. Bagaimana majelis hakim dalam memutuskan perkara hadhanah?
Saksi dan bukti surat, caranya memilih lebih cenderung ke ibu atau ke ayah.
8. Kewenangan apa yang membuat Majlis Hakim menjatuhkan hak asuh anak kepada
bapak non muslim?
Kewenangannya adalah bahwa mengenai persengketaan hak asuh anak itu adalah wewenang
peradilan agama, sesuai pasal 105 KHI.
Bahwa pada hakekatnya anak dibawah umur 12 tahun atau belum mumayyiz itu hak asuhnya
pada ibu. Namun apabila ditemukan fakta adanya halangan syari maka bisa saja hak asuh
anak yang belum mumayiz tersebut jatuh kepada ayah.
Absolut berkenaan dengan bidang yang dimiliki
Relatif berkenaan dengan lokasi atau domisili
Absolut contohnya seperti perceraian bagi orang islam atau warisan itu murni absolut
kewenangan peradilan agama tapi masalah perdata umum atau pidana yaitu kewenangan
absolut kewenangan peradilan negeri.
Sementara contoh relatif, misalnya istri alamat di kabupaten itu mengajukannya di tigaraksa.
Berkaitan dengan domisilinya juga.
9. Dapatkah dijelaskan mengenai dasar?
Bisa memungkinkan bisa, ada putusan saya tetapi di tigaraksa kita membagi atau
mengalokasikan waktu juga. Jadi misalnya, hari sekolah senin sampai jumat ke ibunya, sabtu
minggu ke ayahnya. Dengan pertimbangan orang tua sama-sama menghendaki pengasuhan
anak, orang tua sama-sama menyayangi anak, orang tua sama-sama dekat dengan anak dan
itulah yang bapak bagi. Dan anak sendiri itu nyaman kepada orang tua. Fakta hukum pada
ketiga penjelasan orang tersebut.
Fakta persidangan itu kemudian untuk kepentingan anak, UU perlindungan anak jelas sekali
mengatakan pasal 38 bahwa untuk hak pengasuhan anak itu yang terpenting adalah
memperhatikan kenyamanan atau kepentingan anak.