Post on 19-Feb-2016
description
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Konsep pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) merupakan
pelayanan yang dibutuhkan dan diterima pasien untuk menjamin keamanan
dan penggunaan obat yang rasional, baik sebelum, selama, maupun sesudah
penggunaan obat. Keinginan yang kuat untuk mengembalikan peran seorang
farmasis di dunia kesehatan membuat pelayanan kefarmasian berkembang
menjadi farmasis klinik (clinical pharmacist). Clinical pharmacist merupakan
istilah untuk farmasis yang menjalankan praktik kefarmasian di klinik atau di
rumah sakit.
Ruang lingkup dalam pelayanan farmasi harus dilaksanakan dalam
kerangka sistem pelayanan kesehatan yang berorientasi pada pasien.
Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan salah satu kegiatan di rumah sakit
yang menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu. Hal tersebut di
perjelaskan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333 / Menkes / SK/
XII/ 1999 tentang Standar Pelayanan Rumah Sakit, yang menyebutkan bahwa
pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
system pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan
pasien, penyedian obat yang bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik,
yang tejangkau bagi semua lapisan masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana drug interaction?
b. Bagaimana pelayanan informasi obat (PIO) ?
c. Bagaimana Monitoring Efek Samping Obat (MESO) ?
d. Bagaimana Therapeutic Drug Monitoring (TDM) ?
e. Apa Itu Total Parenteral Nutrition (TPN)?
f. Apa itu hadling sitostatika?
1
1.2. Tujuan
a. untuk mengetahui bagaimana cara drug interaction
b. untuk mengetahui bagaimana cara pelayanan informasi obat (PIO)
c. untuk mengetahui bagaimana cara Monitoring Efek Samping Obat
(MESO)
d. untuk mengetahui bagaimana cara Therapeutic Drug Monitoring (TDM)
e. untuk menegetahui Total Parenteral Nutrition (TPN)
f. untuk mengetahui apa itu hadling sitostatik
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. DRUG INTERACTION atau INTERAKSI OBAT
2.1.1. Defenisi Interaksi Obat
Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat
(drug-related problem) yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan
terapi obat yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien. Sebuah
interaksi obat terjadi ketika farmakokinetika atau farmakodinamika obat
dalam tubuh diubah oleh kehadiran satu atau lebih zat yang berinteraksi.
Dua atau lebih obat yang diberikan pada waktu yang sama dapat berubah
efeknya secara tidak langsung atau dapat berinteraksi. Interaksi bisa bersifat
potensiasi atau antagonis efek satu obat oleh obat lainnya, atau adakalanya
beberapa efek lainnya (BNF 58, 2009).
Suatu interaksi terjadi ketika efek suatu obat diubah oleh kehadiran obat
lain, obat herbal, makanan, minuman atau agen kimia lainnya dalam
lingkungannya. Definisi yang lebih relevan kepada pasien adalah ketika
obat bersaing satu dengan yang lainnya, atau apa yang terjadi ketika obat
hadir bersama satu dengan yang lainnya (Stockley, 2008).
Interaksi obat dianggap penting secara klinik bila berakibat meningkatkan
toksisitas dan atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi terutama
bila menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit (indeks terapi
yang rendah), misalnya glikosida jantung, antikoagulan, dan obat-obat
sitostatik (Setiawati, 2007).
2.1.2. Mekanisme Interaksi Obat
Pemberian suatu obat (A) dapat mempengaruhi aksi obat lainnya
(B) dengan satu dari dua mekanisme berikut:
3
1. Modifikasi efek farmakologi obat B tanpa mempengaruhi
konsentrasinya di cairan jaringan (interaksi farmakodinamik).
2. Mempengaruhi konsentrasi obat B yang mencapai situs aksinya
(interaksi farmakokinetik).
a. Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena indeks terapi
obat B sempit (misalnya, pengurangan sedikit saja efek akan
menyebabkan kehilangan efikasi dan atau peningkatan sedikit
saja efek akan menyebabkan toksisitas).
b. Interaksi ini penting secara klinis mungkin karena kurva dosis-
respon curam (sehingga perubahan sedikit saja konsentrasi
plasma akan menyebabkan perubahan efek secara substansial).
c. Untuk kebanyakan obat, kondisi ini tidak ditemui, peningkatan
yang sedikit besar konsentrasi plasma obat-obat yang relatif
tidak toksik seperti penisilin hampir tidak menyebabkan
peningkatan masalah klinis karena batas keamanannya lebar.
d. Sejumlah obat memiliki hubungan dosis-respon yang curam
dan batas terapi yang sempit, interaksi obat dapat menyebabkan
masalah utama, sebagai contohnya obat antitrombotik,
antidisritmik, antiepilepsi, litium, sejumlah antineoplastik dan
obat-obat imunosupresan (Hashem, 2005).
Secara umum, ada dua mekanisme interaksi obat :
1. Interaksi Farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik terjadi ketika suatu obat mempengaruhi
absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lainnya
sehingga meningkatkan atau mengurangi jumlah obat yang tersedia
untuk menghasilkan efek farmakologisnya (BNF 58, 2009).
Interaksi farmakokinetik terdiri dari beberapa tipe :
a) Interaksi pada absorbsi obat
i. Efek perubahan pH gastrointestinal
4
Obat melintasi membran mukosa dengan difusi pasif
tergantung pada apakah obat terdapat dalam bentuk terlarut lemak
yang tidak terionkan. Absorpsi ditentukan oleh nilai pKa obat,
kelarutannya dalam lemak, pH isi usus dan sejumlah parameter
yang terkait dengan formulasi obat. Sebagai contoh adalah absorpsi
asam salisilat oleh lambung lebih besar terjadi pada pH rendah
daripada pada pH tinggi (Stockley, 2008).
ii.Adsorpsi, khelasi, dan mekanisme pembentukan komplek
Arang aktif dimaksudkan bertindak sebagai agen penyerap di
dalam usus untuk pengobatan overdosis obat atau untuk
menghilangkan bahan beracun lainnya, tetapi dapat mempengaruhi
penyerapan obat yang diberikan dalam dosis terapetik. Antasida
juga dapat menyerap sejumlah besar obat-obatan. Sebagai contoh,
antibakteri tetrasiklin dapat membentuk khelat dengan sejumlah
ion logam divalen dan trivalen, seperti kalsium, bismut aluminium,
dan besi, membentuk kompleks yang kurang diserap dan
mengurangi efek antibakteri (Stockley, 2008).
iii. Perubahan motilitas gastrointestinal
Karena kebanyakan obat sebagian besar diserap di bagian
atas usus kecil, obat-obatan yang mengubah laju pengosongan
lambung dapat mempengaruhi absorpsi. Propantelin misalnya,
menghambat pengosongan lambung dan mengurangi penyerapan
parasetamol (asetaminofen), sedangkan metoklopramid memiliki
efek sebaliknya (Stockley, 2008).
iv. Induksi atau inhibisi protein transporter obat
Ketersediaan hayati beberapa obat dibatasi oleh aksi protein
transporter obat. Saat ini, transporter obat yang terkarakteristik
paling baik adalah P-glikoprotein. Digoksin adalah substrat P-
glikoprotein, dan obat-obatan yang menginduksi protein ini, seperti
5
rifampisin, dapat mengurangi ketersediaan hayati digoksin
(Stockley, 2008).
v. Malabsorbsi dikarenakan obat
Neomisin menyebabkan sindrom malabsorpsi dan dapat
mengganggu penyerapan sejumlah obat-obatan termasuk digoksin
dan metotreksat (Stockley, 2008).
b) Interaksi pada distribusi obat
i. Interaksi ikatan protein
Setelah absorpsi, obat dengan cepat didistribusikan ke
seluruh tubuh oleh sirkulasi. Beberapa obat secara total terlarut
dalam cairan plasma, banyak yang lainnya diangkut oleh beberapa
proporsi molekul dalam larutan dan sisanya terikat dengan protein
plasma, terutama albumin. Ikatan obat dengan protein plasma
bersifat reversibel, kesetimbangan dibentuk antara molekul-
molekul yang terikat dan yang tidak. Hanya molekul tidak terikat
yang tetap bebas dan aktif secara farmakologi (Stockley, 2008).
ii. Induksi dan inhibisi protein transport obat
Distribusi obat ke otak, dan beberapa organ lain seperti
testis, dibatasi oleh aksi protein transporter obat seperti P-
glikoprotein. Protein ini secara aktif membawa obat keluar dari sel-
sel ketika obat berdifusi secara pasif. Obat yang termasuk inhibitor
transporter dapat meningkatkan penyerapan substrat obat ke dalam
otak, yang dapat meningkatkan efek samping CNS (Stockley,
2008).
c) Interaksi pada metabolisme obat
i. Perubahan pada metabolisme fase pertama
ii. Induksi Enzim
iii. Inhibisi enzim
iv. Faktor genetik dalam metabolisme obat
6
v. Interaksi isoenzim sitokrom P450
d) Interaksi pada ekskresi obat
i. Perubahan pH urin
ii. Perubahan ekskresi aktif tubular renal
iii.Perubahan aliran darah renal
2. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara
obat yang memiliki efek farmakologis, antagonis atau efek
samping yang hampir sama. Interaksi ini dapat terjadi karena
kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obat-obat yang bekerja
pada sistem fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat
diprediksi dari pengetahuan tentang farmakologi obat-obat yang
berinteraksi (BNF 58, 2009).
Interaksi farmakodinamik meliputi :
a) Interaksi aditif atau sinergis
Jika dua obat yang memiliki efek farmakologis yang sama
diberikan bersamaan efeknya bisa bersifat aditif. Sebagai
contoh, alkohol menekan SSP, jika diberikan dalam jumlah
sedang dosis terapi normal sejumlah besar obat (misalnya
ansiolitik, hipnotik, dan lain-lain), dapat menyebabkan
mengantuk berlebihan. Kadang-kadang efek aditif menyebabkan
toksik (misalnya aditif ototoksisitas, nefrotoksisitas, depresi
sumsum tulang dan perpanjangan interval QT) (Stockley, 2008).
b) Interaksi antagonis atau berlawanan
Berbeda dengan interaksi aditif, ada beberapa pasang obat
dengan kegiatan yang bertentangan satu sama lain. Misalnya
kumarin dapat memperpanjang waktu pembekuan darah yang
secara kompetitif menghambat efek vitamin K. Jika asupan
vitamin K bertambah, efek dari antikoagulan oral dihambat dan
7
waktu protrombin dapat kembali normal, sehingga
menggagalkan manfaat terapi pengobatan antikoagulan
(Stockley, 2008).
2.1.3. Tingkat Keparahan Interaksi Obat
Keparahan interaksi diberi tingkatan dan dapat diklasifikasikan ke
dalam tiga level : minor, moderate, atau major.
1. Keparahan minor
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika interaksi
mungkin terjadi tetapi dipertimbangkan signifikan potensial
berbahaya terhadap pasien jika terjadi kelalaian. Contohnya adalah
penurunan absorbsi ciprofloxacin oleh antasida ketika dosis
diberikan kurang dari dua jam setelahnya (Bailie, 2004).
2. Keparahan moderate
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate jika satu
dari bahaya potensial mungkin terjadi pada pasien, dan beberapa
tipe intervensi/monitor sering diperlukan. Efek interaksi moderate
mungkin menyebabkan perubahan status klinis pasien,
menyebabkan perawatan tambahan, perawatan di rumah sakit dan
atau perpanjangan lama tinggal di rumah sakit. Contohnya adalah
dalam kombinasi vankomisin dan gentamisin perlu dilakukan
monitoring nefrotoksisitas (Bailie, 2004).
3. Keparahan major
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika terdapat
probabilitas yang tinggi kejadian yang membahayakan pasien
termasuk kejadian yang menyangkut nyawa pasien dan terjadinya
kerusakan permanen (Bailie, 2004). Contohnya adalah
perkembangan aritmia yang terjadi karena pemberian eritromisin
dan terfenadin (Piscitelii, 2005).
8
2.1.4. Prevalensi Interaksi Obat
Insidens interaksi obat yang penting dalam klinik sukar
diperkirakan karena (1) dokumentasinya masih sangat jarang; (2)
seringkali lolos dari pengamatan karena kurangnya pengetahuan pada
dokter akan mekanisme dan kemungkinan terjadinya interaksi obat
sehingga interaksi obat berupa peningkatan toksisitas seringkali
dianggap sebagai reaksi idiosinkrasi terhadap salah satu obat
sedangkan interaksi berupa penurunan efektivitas seringkali diduga
akibat bertambahnya keparahan penyakit; selain itu terlalu banyak
obat yang saling berinteraksi sehingga sulit untuk diingat; dan (3)
kejadian atau keparahan interaksi dipengaruhi oleh variasi individual
(populasi tertentu lebih peka misalnya penderita lanjut usia atau yang
berpenyakit parah, adanya perbedaan kapasitas metabolisme antar
individu), penyakit tertentu (terutama gagal ginjal atau penyakit hati
yang parah), dan faktor-faktor lain (dosis besar, obat ditelan bersama-
sama, pemberian kronik) (Setiawati, 2007).
Pengobatan dengan beberapa obat sekaligus (polifarmasi) yang
menjadi kebiasaan para dokter memudahkan terjadinya interaksi obat.
Suatu survai yang dilaporkan pada tahun 1977 mengenai polifarmasi
pada penderita yang dirawat di rumah sakit menunjukkan bahwa
insiden efek samping pada penderita yang 1980-an dalam range 2,2 –
70,3 % untuk pasien rawat jalan, rawat inap, ataupasien yang
mendapat perawatan di rumah. Secara keseluruhan, insidensi
interaksiobat potensial yang berbahaya secara umum rendah, tetapi
pada populasi sepertiorang tua, orang-orang dengan kemampuan
metabolisme lama atau lambat, orang-orang dengan disfungsi hati dan
ginjal, dan orang-orang yang mendapatkan banyak obat, khususnya
penggunaan obat off-label lebih berisiko. Data yang dikumpulkan
pada tahun 1995-1997 menunjukkan bahwa interaksi obat potensial
sebesar 75% pada populasi pasien HIV, dengan insidensi interaksi
9
yang signifikansi klinisnya aktual sebesar 25% (Piscitelli, 2005). Di
Indonesia, sebuah hasil penelitian yang dilakukan di rumah saki
pendidikan Dr. Sardjito Jogjakarta menunjukkan bahwa interaksi obat
terjadi pada 59% pasien rawat inap dan 69% pasien rawat jalan
(Rahmawati, 2006).
2.1.5. Faktor-faktor Penyebab Interaksi Obat
Sekarang ini, potensi efek yang tidak terduga sebagai akibat dari
interaksi antara obat dan obat lain atau makanan telah ditetapkan.
Risiko interaksi obat akan meningkat seiring dengan peningkatan
jumlah obat yang digunakan oleh individu. Hal ini juga menyiratkan
risiko yang lebih besar pada orang tua dan mengalami penyakit kronis,
karena mereka akan menggunakan obat-obatan lebih banyak daripada
populasi umum. Risiko juga meningkat bila rejimen pasien berasal
dari beberapa resep. Peresepan dari satu apotek saja mungkin dapat
menurunkan risiko interaksi yang tidak terdeteksi (McCabe, et.al.,
2003).
Interaksi obat potensial seringkali terjadi pada pasien rawat inap
yang diresepkan banyak pengobatan. Prevalensi interaksi obat
meningkat secara linear seiring dengan peningkatan jumlah obat yang
diresepkan, jumlah kelas obat dalam terapi, jenis kelamin dan usia
pasien (Mara and Carlos, 2006).
2.2. PELAYANAN INFORMASI OBAT (PIO)PIO (Pelayanan Informasi Obat) didefinisikan sebagai kegiatan
penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen,
akurat, komprehensif, terkini oleh apoteker kepada pasien, masyarakat
maupun pihak yang memerlukan. Unit ini dituntut untuk dapat menjadi
sumber terpercaya bagi para pengelola dan pengguna obat, sehingga mereka
dapat mengambil keputusan dengan lebih mantap (Juliantini dan Widayanti,
1996).
10
2.2.1. Tujuan pelayanan informasi obat :
a. Menunjang ketersediaan dan penggunaan obat yang rasional,
berorientasi pada pasien, tenaga kesehatan, dan pihak lain.
b. Menyediakan dan memberikan informasi obat kepada pasien, tenaga
kesehatan, dan pihak lain.
c. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang
berhubungan dengan obat terutama bagi PFT/KFT (Panitia/Komite
Farmasi dan Terapi) (Anonim, 2006).
2.2.2. Sasaran informasi obat :
a. Pasien dan atau keluarga pasien.
b. Tenaga kesehatan : dokter, dokter gigi, apoteker, perawat, bidan,
asisten apoteker, dan lain-lain.
c. Pihak lain : manajemen, tim/kepanitiaan klinik, dan lain-lain
2.2.3. Kegiatan PIO
Kegiatan PIO berupa penyediaan dan pemberian informasi obat yang
bersifat aktif atau pasif. Pelayanan bersifat aktif apabila apoteker pelayanan
informasi obat memberika informasi obat dengan tidak menunggu pertanyaan
melainkan secara aktif memberikan informasi obat, misalnya penerbitan buletin,
brosur, leaflet, seminar dan sebagainya. Pelayanan bersifat pasif apabila apoteker
pelayanan informasi obat memberikan informasi obat sebagai jawaban atas
pertanyaan yang diterima.
Menjawab pertanyaan mengenai obat dan penggunaannya merupakan
kegiatan rutin suatu pelayanan informasi obat. Pertanyaan yang masuk dapat
disampaikan secara verbal (melalui telepon, tatap muka) atau tertulis (surat
melalui pos atau e-mail). Pertanyaan mengenai obat dapat bervariasi dari yang
sederhana sampai yang bersifat urgen dan kompleks yang membutuhkan
penelusuran literatur serta evaluai secara seksama (Anonim, 2006).
11
Alur menjawab Pertanyaan Dalam PIO (Anonim, 2006)
2.2.4. Prosedur penanganan pertanyaan
1) Menerima pertanyaan
2) Identifikasi penanya
3) Identifikasi masalah
4) Menerima permintaan informasi
5) Informasi latar belakang penanya
6) Tujuan permintaan informasi
7) Penelusuran pustaka dan memformulasikan jawaban
8) Menyampaikan informasi kepada pihak lain
9) Manfaatkan informasi
10) Publikasi
11) Mendukung Panitia Komite Farmasi dan Terapi (Anonim, 2006).
2.2.5. Sumber informasi obat
1) Sumber daya, meliputi :
a. Tenaga kesehatan
Dokter, apoteker, dokter gigi, perawat, tenaga kesehatan lain.
12
b. Pustaka
Terdiri dari majalah ilmiah, buku teks, laporan penelitian dan
Farmakope.
c. Sarana
Fasilitas ruangan, peralatan, komputer, internet, dan perpustakaan.
d. Prasarana
Industri farmasi, Badan POM, Pusat informasi obat, Pendidikan
tinggi farmasi, Organisasi profesi seperti dokter, apoteker, dan lain-
lain.
2) Pustaka sebagai sumber informasi obat, digolongkan dalam 3 (tiga)
kategori :
a. Pustaka primer
Artikel asli yang dipublikasikan penulis atau peneliti, informasi yang
terdapat didalamnya berupa hasil penelitian yang diterbitkan dalam
jurnal ilmiah. Contoh pustaka primer : Laporan hasil penelitian,
Laporan kasus, Studi evaluative, Laporan deskriptif
b. Pustaka sekunder
Berupa sistem indeks yang umumnya berisi kumpulan abstrak dari
berbagai kumpulan artikel jurnal. Sumber informasi sekunder sangat
membantu dalam proses pencarian informasi yang terdapat dalam
sumber informasi primer. Sumber informasi ini dibuat dalam
berbagai data base, contoh : medline yang berisi abstrak-abstrak
tentang terapi obat, International Pharmaceutikal Abstract yang
berisi abstrak penelitian kefarmasian.
c. Pustaka tersier
Berupa buku teks atau data base, kajian artikel, kompendia dan
pedoman praktis. Pustaka tersier umumnya berupa buku referensi
yang berisi materi yang umum, lengkap dan mudah dipahami.
13
2.2.6. Dokumentasi
Setelah terjadi interaksi antara penanya dan pemberi jawaban, maka
kegiatan tersebut harus didokumentasikan. Manfaat dokumentasi adalah :
1) Mengingatkan apoteker tentang informasi pendukung yang diperlukan
dalam menjawab pertanyaan dengan lengkap.
2) Sumber informasi apabila ada pertanyaan serupa
3) Catatan yang mungkin akan diperlukan kembali oleh penanya.
4) Media pelatihan tenaga farmasi
5) Basis data penelitian, analisis, evaluasi, dan perencanaan layanan.
6) Bahan audit dalam melaksanakan Quality Assurance dari pelayanan
informasi obat (Anonim, 2006).
2.2.7. Evaluasi kegiatan
Evaluasi ini digunakan untuk menilai atau mengukur keberhasilan
pelayanan informasi obat itu sendiri dengan cara membandingkan tingkat
keberhasilan sebelum dan sesudah dilaksanakan pelayanan informasi obat .
Untuk mengukur tingkat keberhasilan penerapan pelayanan informasi obat,
indikator yang dapat digunakan antara lain :
1) Meningkatkan jumlah pertanyaan yang diajukan.
2) Menurunnya jumlah pertanyaan yang tidak dapat dijawab.
3) Meningkatnya kualitas kinerja pelayanan.
4) Meningkatnya jumlah produk yang dihasilkan (leflet, buletin,
ceramah).
5) Meningkatnya pertanyaan berdasarkan jenis pertanyaan dan tingkat
kesulitan.
6) Menurunnya keluhan atas pelayanan.
2.3. MONITORING EFEK SAMPING OBAT (MESO)
2.3.1. Definisi MESO
MESO didefinisikan sebagai cara pelaporan (reporting), pencatatan
14
(recording) dan evaluasi (evaluating) secara sistematik mengenai kejadian ESO
baik melalui resep atupun tanpa resep. Tujuan dari MESO ini adalah :
a. Mengidentifikasi ESO sedini mungkin
b. Menentukan frekuensi serta insidensi ESO
c. Mengidentifikasi semua factor yang mungkin menjadi penyebab ataupun
mempengaruhi perkembangan ESO
Ada beberapa jenis MESO, yaitu :
1. Spontaneous Monitoring
2. Voluntary Monitoring
3. Intensive Hospital Monitoring
4. Mandatory or Compulsary Monitoring
5. Record Linkage
6. Limited Monitored Release
2.3.2. Kelebihan dan Kekurangan Meso
Jenis-jenis MESO tersebut memiliki kelebihan ataupun kekurangan yang dapat
dilihat pada table dibawah ini :
Cara MESO Kelebihan Kekurangan
Spontaneous
Monitoring
Sederhana, murah,
populasi besar, dan
dapat menemukan
ESO yang jarang dan
lambat
Laporan tidak
lengkap, dan
frekuensi ESO tidak
dapat di evaluasi
Voluntary
Monitoring
Relative murah,
populasi besar, semua
obat, dan dapat
didapat early warning
sehingga mudah
disebarluaskan
Kebenaran dari early
warning sukar
dipastikan, partisipasi
dari profesi kesehatan
kurang
Intensive Hospital
Monitoring
Dapat mengetahui
insidensi dan factor
Biayanya biasanya
besar, populasi
15
resiko terbatas, ESO yang
lambat tak diketahui
Mandatory
Monitoring
Laporan pasti ada
( peraturan ), dan
ideal untuk Rumah
Sakit
Kebenaran laporan
diragukan
Record Linkage Dapat menemukan
ESO kronis,
congenital serta suatu
keganasan
Data berlebihan,
ungkapan istilah tidak
seragam, dan laporan
yang ada biasanya
tidak lengkap
Limited Monitored
Release
Dapat mengetahui
frekuensi ESO
Terbatas pada obat
dan waktu tertentu
(farmakologi klinik Herri S. sastramihardja)
Kegiatan pemantauan dan pelaporan
a. Mendeteksi adanya kejadian ESO atau ROTD
b. Mengidentifikasi obat dan pasien yang mempunyai risiko tinggi
mengalami ESO atau ROTD
c. Mengevaluasi laporan ESO dengan algoritme Naranjo
d. Mendiskusikan dan mendokumentasikan ESO atau ROTD di
Komiie/Sub Komite Farmasi dan
e. Terapi.
f. Melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional.
Faktor yang perlu diperhatikan :
a. Kerjasama dengan Komite Farmasi dan Terapi dan tenaga kesehatan di
ruang rawat/bangsal
b. Ketersediaan formulir Monitoring Efek Samping Obat
MESO oleh tenaga kesehatan di Indonesia masih bersifat sukarela
(voluntary reporting) dengan menggunakan formulir pelaporan ESO berwarna
16
kuning, yang dikenal sebagai Form Kuning (Lampiran 1). Monitoring tersebut
dilakukan terhadap seluruh obat beredar dan digunakan dalam pelayanan
kesehatan di Indonesia.
Aktifitas monitoring ESO dan juga pelaporannya oleh sejawat tenaga
kesehatan sebagai healthcare provider merupakan suatu tool yang dapat
digunakan untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya ESO yang serius dan
jarang terjadi (rare).
I. Siapa yang melaporkan?
Tenaga Kesehatan, Dapat Meliputi:
a. Dokter,
b. Dokter Spesialis,
c. Dokter Gigi,
d. Apoteker,
e. Bidan,
f. Perawat, Dan Tenaga Kesehatan Lain
II. Apa yang perlu dilaporkan?
Setiap kejadian yang dicurigai sebagai efek samping obat
perlu dilaporkan, baik efek samping yang belum diketahui
hubungan kausalnya (KTD/AE) maupun yang sudah pasti
merupakan suatu ESO (ADR).
III. Bagaimana cara melapor dan informasi apa saja yang harus
dilaporkan?
Informasi KTD atau ESO yang hendak dilaporkan diisikan
ke dalam formulir pelaporan ESO/ formulir kuning yang tersedia.
Dalam penyiapan pelaporan KTD atau ESO, sejawat tenaga
kesehatan dapat menggali informasi dari pasien atau keluarga
pasien. Untuk melengkapi informasi lain yang dibutuhkan dalam
pelaporan dapat diperoleh dari catatan medis pasien.
Informasi yang diperlukan dalam pelaporan suatu KTD
17
atau ESO dengan menggunakan formulir kuning, adalah sebagai
berikut:
a. Kode sumber data Diisi oleh Badan POM
b. Informasi tentang penderita
Nama (singkatan) Diisi inisial atau singkatan nama pasien, untuk
menjaga kerahasiaan identitas pasien
Umur Diisi angka dari tahun sesuai umur pasien.
Untuk pasien bayi di bawah 1 (satu) tahun, diisi
angka dari minggu (MGG) atau bulan (BL) sesuai
umur bayi, dengan diikuti penulisan huruf MGG
atau BL, misal 7 BL.
Suku Diisi informasi nama suku dari pasien, misal suku
Jawa, Batak, dan sebagainya.
Berat Badan Diisi angka dari berat badan pasien,
dinyatakan dalam kilogram (kg).
Pekerjaan Diisi apabila jenis pekerjaanpasien
mengarah kepada kemungkinan adanya
hubungan antara jenis pekerjaan dengan gejala
atau manifestasi KTD atau ESO. Contoh:
buruh pabrik kimia, pekerja bangunan, pegawai
kantor, dan lain-lain.
Kelamin Agar diberikan tanda (X) sesuai pilihan jenis
kelamin yang tercantum dalam formulir kuning.
Apabila pasien berjenis kelamin wanita, agar
diberi keterangan dengan memberikan tanda
(X) pada pilihan kondisi berikut: hamil, tidak
hamil, atau tidak tahu.
18
Penyakit Utama Diisikan informasi diagnosa penyakit yang
diderita pasien sehingga pasien harus
menggunakan obat yang dicurigai menimbulkan
KTD atau ESO.Kesudahan
penyakit utama
Diisi informasi kesudahan /outcome dari
penyakit utama, pada saat pasien mengeluhkan
atau berkonsultasi tentang KTD atau ESO yang
dialaminya. Terdapat pilihan yang tercantum
dalam formulir kuning, agar diberikan tanda
(X) sesuai dengan informasi yang diperoleh.
Kesudahan penyakit utama dapat berupa: sembuh,
meninggal, sembuh dengan gejala sisa, belum
sembuh, atau tidak tahu.
Penyakit/ kondisi
lain yang menyertai
Diisi informasi tentang penyakit/kondisi lain di
luar penyakit utama yang sedang dialami pasien
bersamaan dengan waktu mula menggunakan obat
dan kejadian KTD atau ESO. Terdapat pilihan
yang tercantum dalam formulir kuning, agar
diberikan tanda (X) sesuai informasi yang
diperoleh, yang dapat berupa: gangguan ginjal,
gangguan hati, alergi, kondisi medis lainnya, dan
lain-lain sebutkan jika di luar yang tercantum.
Informasi ini bermanfaat untuk proses evaluasi
hubungan kausal, untuk memverifikasi
kemungkinan adanya faktor penyebab lain dari
terjadinya KTD atau ESO.
c. Informasi tentang KTD atau ESO
19
Bentuk/
manifestasi
KTDatau ESO
Diisi informasi tentang diagnosa KTD atau ESO
yang dikeluhkan atau dialami pasien setelah
menggunakan obat yang dicurigai.
Bentuk/manifestasi KTD atau ESO dapat
dinyatakan dengan istilah diagnosa KTD atau
ESO secara ilmiah atau deskripsi secara harfiah,
misal bintik kemerahan di sekujur tubuh,
bengkak pada kelopak mata, dan lain- lain.
Saat /tanggal mula
terjadi
Diisi tanggal awal terjadinya KTD atau ESO,
dan juga jarak interval waktu antara pertama kali
obat diberikansampai terjadinya KTD atau ESO.
Kesudahan KTD
Atau ESO
Diisi informasi kesudahan /outcome dari
KTD/ESO yang dialami oleh pasien, pada saat
laporan ini dibuat. Terdapat pilihan yang
tercantum dalam formulir kuning, agar diberikan
tanda (X) sesuai dengan informasi yang
diperoleh.Riwayat ESO
yang pernah
dialami
Diisi informasi tentang riwayat atau
pengalaman ESO yang pernah terjadi pada pasien
di masa lalu, tidak terbatas terkait dengan obat
yang saat ini dicurigai
menimbulkan KTD/ESO yang dikeluhkan, namun
juga obat lainnya.d. Obat
Nama Obat Ditulis semua nama obat yang digunakan oleh
pasien, baik yang diberikan dengan resep
maupun yang digunakan atas inisiatif sendiri,
termasuk suplemen, obat tradisional yang
digunakan dalam waktu yang bersamaan. Nama
obat dapat ditulis dengan nama generik atau
nama dagang
20
Apabila ditulis nama generik, apabila diketahui
nama pabrik atau industri farmasi dapat
ditambahkan. Apabila ditulis nama dagang, tidak
perlu ditulis nama pabrik atau industri farmasi.
Bentuk
Sediaan
Ditulis bentuk sediaan dari obat yang
digunakan pasien. Contoh: tablet, kapsul,
sirup, suspensi, injeksi, dan lain-lain.
Beri tanda (X)
untuk obat yang
dicurigai
Sejawat Tenaga Kesehatan dapat membubuhkan
tanda (X) pada kolom obat yang dicurigai
menimbulkan KTD/ESO yang dilaporkan,
sesuai informasi produk atau pengetahuan dan
pengalaman sejawat tenaga kesehatan terkait
hal tersebut.Cara
Pemberian
Ditulis cara pemberian atau penggunaan obat
oleh pasien. Contoh: oral, rektal, topikal, i.v, i.m,
semprot, dan lain- lain.
Dosis/Waktu Dosis: Ditulis dosis obat yang digunakan oleh
pasien, dinyatakan dalam satuan berat atau
volume.
Waktu: Ditulis waktu penggunaan obat oleh pasien,
dinyatakan dalam satuan waktu, seperti jam, hari
dan lain-lain.
Tanggal mula Ditulis tanggal dari pertama kali pasien
menggunakan obat yang dilaporkan, lengkap
dengan bulan dan tahun (Tgl/Bln/Thn)
Tanggal akhir Ditulis tanggal dari kali terakhir pasien
menggunakan obat yang dilaporkan atau tanggal
penghentian penggunaan obat, lengkap dengan
bulan dan tahun (Tgl/Bln/Thn)
21
Indikasi
penggunaan
Ditulis jenis penyakit atau gejala penyakit
untuk maksud penggunaan masing- masing
obat.
Keterangan
Tambahan
Ditulis semua keterangan tambahan yang
kemungkinan ada kaitannya secara langsung
atau tidak langsung dengan gejala KTD/ESO
yang dilaporkan,misal kecepatan timbulnya
ESO, reaksi setelah obat dihentikan,
pengobatan yang diberikan untuk
mengatasi ESO.Data
Laboratorium
(bila ada)
Ditulis hasil uji laboratorium dinyatakan dalam
parameter yang diuji dan hasilnya, apabila
tersedia.Informai
Pelapor
Cukup Jelas. Informasi pelapor diperlukan
untuk klarifikasi lebih lanjut dan follow up,
apabila diperlukan.
2.4 Drug Therapy Monitoring (DTM)
Theraphy Drug Monitoring (TDM) merupakan sarana pemantauan tingkat
obat dalam darah. Theraphy Drug Monitoring (TDM) digunakan untuk mengukur
tingkat obat darah sehingga dosis yang paling efektif dapat ditentukan, dan
toksisitas dapat dicegah. TDM juga digunakan untuk mengidentifikasi kepatuhan
pasien (pasien dengan alasan apa pun tidak dapat atau tidak akan mematuhi dosis
obat yang diresepkan oleh dokter).
Karena begitu banyak faktor yang berbeda mempengaruhi tingkat obat
dalam darah, hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam TDM :
a. Usia dan berat badan pasien
b. Rute pemberian obat
c. Tingkat penyerapan obat
d. Laju ekskresi obat
e. Tingkat pelepasan obat, dan dosis
f. Obat lain yang pasien miliki atau pengobatan lain yang sedang dijalani
22
g. Penyakit lain yang pasien rasakan atau yang diderita
h. Kepatuhan pasien mengenai regimen pengobatan obat
i. Metode laboratorium yang digunakan untuk menguji obat.
Theraphy Drug Monitoring (TDM) adalah suatu metode yang dapat
membantu dokter memberikan terapi obat yang efektif dan aman pada pasien yang
memerlukan pengobatan. Pemantauan dapat digunakan untuk mengkonfirmasi
tingkat konsentrasi obat darah yang berada di atas atau di bawah kisaran efek
terapeutik, atau jika efek terapi yang diinginkan dari obat ini tidak seperti yang
diharapkan. Jika hal ini terjadi , dan dosis melebihi normal maka harus diulang,
TDM dapat meminimalkan waktu yang telah terlewati.
TDM sangat penting bagi pasien yang memiliki penyakit lain yang dapat
mempengaruhi kadar obat dalam darah, atau pasien yang menggunakan obat-
obatan lain secara bersamaan yang dapat mempengaruhi kadar obat dalam
darah,yang dapat mempengaruhi kadar obat karena berinteraksi dengan obat
tersebut. Sebagai contoh, tanpa pemantauan obat dokter tidak bisa memastikan
apakah ada kurangnya respon terhadap antibiotik mencerminkan resistensi bakteri
pada pasien, atau merupakan hasil dari ketidakmampuan untuk mencapai kisaran
efek terapeutik yang tepat dari konsentrasi antibiotik dalam darah. Pada kasus
infeksi yang fatal, terapi antibiotik yang efektif sangat penting mempunyai
keberhasilan yang tinggi. Sama pentingnya untuk menghindari toksisitas pada
pasien yang mempunyai penyakit yang parah. Oleh karena itu, jika gejala toksik
muncul dengan dosis standar, TDM dapat digunakan untuk menentukan
perubahan dosis.
Pengambilan darah sering digunakan TDM sebagai sampel, karena
menunjukkan kerja obat dalam tubuh pada tiap waktu tertentu, sedangkan
ketersediaan hayati obat yang diperiksa melalui sampel urin mencerminkan
adanya obat selama beberapa hari (tergantung pada laju ekskresi). Oleh karena itu,
tes dengan sampel darah adalah prosedur yang diperlukan unutk mengetahui data
pasti yang diperlukan. Namun, untuk penyerapan yang memadai dan tingkat
23
terapeutik akurat, penting untuk memungkinkan waktu yang cukup untuk lulus
antara pemberian obat dan koleksi sampel darah.
Namun, untuk penyerapan yang cukup dan tingkat terapeutik akurat, sangat
penting untuk memperkirakan waktu yang cukup antara pemberian obat dan
pengumpulan sampel darah.
Spesimen darah yang digunakan untuk therapy drug monitoring dapat
diambil di dua waktu yang berbeda :
1. Dimana konsentrasi obat dalam keadaan mempunyai efek terapeutik yang
tinggi (peak levels) atau rendah (through levelss). Kadang-kadang disebut
tingkat residu, tingkat endapan menunjukkan tingkat terapi yang cukup
2. Jika pada peak levels menunjukkan keracunan
(toksisitas). Peak dan through harus diturunkan dalam kisaran terapeutik.
Dalam mempersiapkan metode ini, ada beberapa pedoman yang harus
diperhatikan seperti :
Tergantung obat apa yang akan dilakukan untuk pengujian, dokter harus
memutuskan apakah pasien harus berpuasa terlebih dahulu (tidak makan
atau minum untuk jangka waktu tertentu) sebelum dilakukannya pengujian
a. Diperkirakan waktu yang tepat untuk pengambilan spesimen darah,
jika pasien diduga mengalami gejala toksisitas
b. Jika terdapat keraguan apakah sebuah dosis dapat mencapai peak
levels, setidaknya menghasilkan through levels (konsentrasi obat
terkecil)
c. Peak levels (konsentrasi tertinggi) biasanya diperoleh pada satu
sampai dua jam setelah pemberian secara oral, sekitar satu jam pada
pemberian intra-muskular (IM), dan sekitar 30 menit pada pemberian
intravena (IV). Tingkat residu atau through levels biasanya diperoleh
dalam 15 menit dari dosis yang dijadwalkan pemakaian berikutnya.
Resiko dari metode pengujian ini sebenarnya minimal (sedikit), tetapi
dapat menyebabkan sedkiti pendarahan dari tempat pengambilan spesimen darah,
24
lemas atau merasakan pusing setelah spesimen darah diambil, atau terjadinya
akumulasi darah pada tempat tusukan (hematoma).
2.4.1. Ruang Lingkup Dan Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Therapeutic
Drugs Monitoring (TDM)
1.Ruang lingkup
Sebenarnya Drugs Therapeutic Monitoring atau pengawasan terhadap
terapi obat erat kaitannya dengan ilmu farmakokinetik, sebab seperti yang telah
kita ketahui pengertian dari farmakokinetika itu sendiri adalah segala proses yang
dilakukan tubuh terhadap obat berupa absorpsi, distribusi, Metabolisme,
(biotransformasi), dan eksresi. dimana Tubuh kita dapat dianggap sebagai suatu
ruangan besar yang terdiri dari beberapa kompartemen yang terpisah oleh
membran - membran sel. Sedangkan proses absorpsi distribusi dan eksresi obat
dari dalam tubuh pada hakekatnya berlangsung dengan mekanisme yang sama,
karena proses ini tergantung pada lintasan obat melalui membran tersebut.
Membran sel terdiri dari suatu lapisan lipoprotein ( lemak dan protein )
yang mengandung banyak pori - pori kecil, terisi dengan air. Membran dapat
ditembus dengan mudah oleh zat - zat tertentu, sukar dilalui zat - zat lain, maka
disebut semi permeable. Zat - zat lipofil (suka lemak) yang mudah larut dalam
lemak tanpa muatan listrik umumnya lebih lancar melintasinya dibandingkan
dengan zat - zat hidrofil dengan muatan ( ion). Adapun mekanisme pengangkutan
obat untuk melintasi membran sel ada dua cara yaitu:
a. Secara pasif , artinya tanpa menggunakan energi
- Filtrasi , melalui pori - pori kecil dari membran misalnya air dan zat - zat
hidrofil
- Difusi, zat melarut dalam lapisan lemak dari membran sel contoh ion
organi
b. Secara aktif, artinya menggunakan energi.Pengangkutan dilakukan dengan
mengikat zat hidrofil (makromolekul atau ion) pada enzim pengangkut
spesifik. Setelah melalui membran, obat dilepaskan lagi. Cepatnya
25
penerusan tidak tergantung pada konsentrasi obat, Contohnya : Glukosa,
asam amino, asam lemak, garam garam, besi, vitamin b1 , b2 , b12.
2.Faktor faktor yang mempengaruhi Therapeutic Drugs Monitoring
A. Absorpsi
Proses absorpsi sangat penting dalam menentukan efek obat. Pada
umumnya obat yang tidak diabsorpsi maka tidak akan menimbulkan efek, Kecuali
antasida dan obat yang bekerja lokal. Proses absorpsi terjadi di berbagai tempat
pemberian obat, misalnya melalui alat cerna, otot rangka, kulit dan
sebagainya. Absorpsi juga dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut:
1. Kelarutan obat.
2. Kemampuan difusi melintasi sel membran.
3. Konsentrasi obat.
4. Sirkulasi pada letak absorpsi.
5. Luas permukaan kontak obat.
6. Bentuk sediaan obat.
7. Cara pemakaian obat.
B. Distribusi
Obat setelah diabsorpsi oleh tubuh maka selanjutnya akan tersebar melalui
sirkulasi darah ke seluruh badan dan harus melalui membran sel agar tercapai
tepat pada efek aksi. Molekul obat yang mudah melintasi membran sel akan
mencapai semua cairan tubuh baik inta maupun ekstra sel. sedangkan obat yang
sulit menembus membran sel maka penyebarannya umumnya terbatas pada cairan
ekstra sel.kadang - ikadang beberapa obat mengalami kumulatif selektif pada
beberapa jaringan tertentu, karena adanya proses transpor aktif, pengikatan
dengan zat tertentu atau daya larut yang lebih besar dalam lemak. Kumulasi ini
digunakan sebagai gudang obat (yaitu protein plasma, umumnya albumin,
jaringan ikat dan jaringan lemak). selain itu ada beberapa tempat lain misalnya
tulang, organ tertentu, dan cairan transel yang dapat berfungsi sebagai gudang
untuk beberapa obat tertentu. Distribusi obat kesusunan saraf pusat dan janin
26
harus menembus sawar khusus yaitu sawar darah otak dan sawar uri. Obat yang
mudah larut dalam lemak pada umumnya mudah menembusnya.
C. Metabolisme ( biotransformasi)
Tujuan biotransformasi obat adalah mengubahnya dengan cara sedemikian
rupa sehingga menjadi bentuk yang mudah dieksresi oleh ginjal, dalam hal ini
menjadikannya lebih hidrofil. Pada umumnya obat dimetabolisme oleh enzim
mikrosom dan retikulum endoplasma sel hati. Pada proses metabiolisme molekul
obat dapat berubah sifat antara lain menjadi lebih polar, Metabolit yang lebih
polar ini menjadi mudah dieksresi melalui ginjal. Metabolit obat dapat lebih aktif
dari obat asal (bioaktivasi), tidak atau berkurang aktif (detoksifikasi atau
bioinaktivasi) atau sama aktifitasnya.Proses metabolisme ini memegang peranan
penting dalam mengakhiri efek obat. Hal –hal yang dapat mempengaruhi
metabolisme adalah sebagai berikut :
1. Fungsi hati, metabolisme dapat berlangsung lebih cepat atau lebih
lambat, sehingga
2. efek obat menjadi lebih lemah atau lebih kuat dari yang kita harapka
3. Usia, pada bayi proses metabolisme akan berjalan lebih lambat
4. Faktor genetik (turunan), ada orang yang memiliki faktor genetik tertentu
yang dapat menimbulkan perbedaan khasiat obat pada pasien.
5. Adanya pemakaian obat lain secara bersamaan, hal tersebut dapat
mempercepat metabolisme (inhibisi enzim).
D. Eksresi
Pengeluaran obat maupun metabolitnya dari tubuh terutama dilakukan oleh ginjal
melalui air seni dan dikeluarkan dalam bentuk metabolit maupun bentuk asalnya.
disamping itu ada pula cara lain yaitu :
a. Kulit, bersama keringat. Misal : paraldehid
b. Paru - paru, dengan pernafasan keluar, terutama berperan pada anestesi umum,
anestesi gas atau anestesi terbang.
c. Hati, melalui saluran empedu, terutama obat untuk infeksi saluran empedu.
27
d. Air susu ibu, Misalnya alkohol, obat tidur, nikotin dari rokok dan alkaloida
lain. Harus dioerhatikan karena dapatmenimbulkan efek farmakologi atau
toksik pada bayi.
e. Usus. misalnya sulfa dan preparat besi.
Selain dipengaruhi oleh proses Absorpsi, Distribusi, Metabolisme, dan
Eksresi (ADME) pencapaian efek - efek obat didalam tubuh juga dipengaruhi oleh
Mekanisme Kerja dari obat tersebut, adapun Mekanisme kerja obat itu sendiri
terbagi dalam beberapa golongan sebagai berikut
1. Secara fisika, Contohnya anestetik terbang, laksansia dan diuretik osmotis.
2. Secara Kimia, misalnya antasida lambung dan zat - zat khelasi ( zat - zat yang
dapat mengikat logam berat)
3. Proses metabolisme, misalnya antibiotika mengganggu pembentukan dinding
sel kuman, sintesis protein, dan metabolisme asam nucleat.
4. Secara kompetisi atau saingan, dalam hal ini dapat dibedakan menjadi dua
macam kompetisi yaitu untuk reseptor spesifik dan enzym - enzym.
2.5. TOTAL PARENTERAL NUTRITION
2.5.1. Defenisi Total Parenteral Nutrition (TPN)
Nutrisi adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan
fungsinya, yaitu energi, membangun dan memelihara jaringan, serta mengatur
proses-proses kehidupan (Soenarjo, 2000). Menurut Rock CL (2004), nutrisi
adalah proses dimana tubuh manusia menggunakan makanan untuk membentuk
energi, mempertahankan kesehatan, pertumbuhan dan untuk berlangsungnya
fungsi normal setiap organ baik antara asupan nutrisi dengan kebutuhan nutrisi.
Sedangkan menurut Supariasa (2001), nutrisi adalah suatu proses organisme
menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses degesti,
absorbsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang
tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan, dan fungsi
normal dari organ-organ, serta menghasilkan energi.
28
Sediaan Parenteral secara luas adalah bentuk sediaan dimana rute
pemberiannya tidak melalui saluran cerna. Parenteral berasal dari kata para
enteren (Yunani) yang berarti “menghindari usus”. Tetapi para praktisi
kedokteran dan farmasi membatasi obat secara parenteral hanya meliputi cara
pemberian langsung kedalam jaringan, rongga jaringan atau kompartemen-
kompartemen tubuh secara suntikan atau infus (Lukas, 2006).
Rute pemberian secara parenteral diindikasikan untuk mendapatkan efek
obat yang tidak mungkin dicapai melalui rute lain yang mungkin disebabkan obat
tidak diabsorpsi atau rusak jika diberikan secara oral atau rute lainnya (Lukas,
2006). Selain itu sediaan parenteral digunakan untuk pemberian obat bagi
penderita yang tidak sadarkan diri serta untuk mendapatkan efek lokal yang
diinginkan.
Nutrisi Lengkap Parenteral atau Total Parenteral Nutrition (TPN) adalah
sediaan yang mengandung nutrient lengkap diberikan secara intravena untuk
mengembalikan berat badan dan keadaan anabolik, jika rute oral dan enteral tidak
memungkinkan karena saluran cerna tidak berfungsi (Wesly, 1990)
2.5.2. Indikasi dan Kontra Indikasi
TPN diindikasikan bila asupan enteral tidak dapat dipenuhi dengan baik.
Terdapat kecenderungan untuk memberikan nutrisi enteral walaupun parsial dan
tidak adekuat dengan suplemen nutrisi parenteral. Pemberian nutrisi parenteral
pada setiap pasien dilakukan dengan tujuan untuk dapat beralih ke nutrisi enteral
secepat mungkin. Pada pasien yang diberikan TPN, kebutuhan dalam sehari
diberikan lewat infuse secara kontinyu dalam 24 jam. Monitoring terhadap faktor
biokimia dan klinis harus dilakukan secara ketat. Hal yang paling ditakutkan pada
pemberian nutrisi parenteral total (TPN) melalui vena sentral adalah infeksi (Ery
Leksana, 2000)
TPN diberikan untuk penderita yang mengalami gangguan absorbsi,
penyakit kanker, ankreatis sedang sampai berat, malnutrisi berat, penyakit kritis,
luka bakar dan sepsis (Wesly, 1990).
29
Indikasi Nutrisi Parenteral :
a. Gangguan absorbs makanan seperti pada fistula enterokunateus, atresia
intestinal, colitis infeksiosa, obstruksi usus halus.
b. Kondisi dimana usus harus diistirahatkan seperti pada pancreatitis berat, status
pre operatif dengan malnutrisi berat, angina intestinal, diare berulang.
c. Gangguan motilitas usus seperti pada ileus yang berkepanjangan
d. Makan, muntah terus menerus, gangguan hemodinamik, hiperemisis
gravidarum (Wiryana, 2007).
TPN kontra indikasi dengan pasien syok hemodinamik, seperti syok atau
dehidrasi yang belum diatasi. Dalam kondisi tersebut kadar hormone dalam tubuh
masih tinggi, sel resisten terhadap insulin, dan kadar gula meningkat sehingga
pemberian TPN dapat mengakibatkan hipermetabolisme (Wesly, 1990).
2.5.3. Komponen
Secara umum komponen TPN adalah :
a. Makronutrient
Karbohidrat sebagai sumber energy. Protein sebagai sintesis jaringan dan
fungsi sel serta bisa juga sebagai sumber energi. Miroemulsi parenteral sebagai
sumber energy dan asam lemak esensial seperti asam linoleat.
b. Mikronutrient
Vitamin, elektrolit-elektrolit dan unsure-unsur mineral yang mendukung
aktivitas metabolisme seluler, reaksi enzimatik, kesetimbangan asam basa serta
cairan elektrolit.
2.5.4. Formulasi Sediaan Total Parenteral Nutrition (TPN)
Formulasi dalam sediaan TPN berbeda komposisinya tergantung pada usia dari
target pasien. Untuk dewasa, formula standar untuk TPN mengandung asam
amino 4,25%, karbohidrat 15% dan emulsi lemak 20% ditambah dengan elektrolit
dan vitramin. Sumber kalori berasal dari protein 20%, karbohidrat 60% dan lemak
20% (Wesly, 1990).
30
Komposisi TPN pada anak-anak berusia dibawah 10 tahun mengandung asam
amino 3% dan emulsi lemak 20%, sedangkan penggunaan karbohidrat dihitung
dari berat badan pasien. Apabila berat badan pasien kurang dari 10 kg, karbohidrat
yang digunakan sebanyak 7,5% (Wesly, 1990).
2.5.5. Rute Pemberian
a. Rute Pemberian Periferal
Pemberian TPN melalui pembuluh darah peripheral memiliki keterbatasan
karena sifat dari pembuluh darah itu sendiri. Sediaan yang diberikan melalui rute
ini biasanya berupa larutan asam amino, dextrose dan mikronutrient. Sedangkan
pemberian emulsi lemak melalui rute ini dihindari karena dapat menyebabkan
embolik pembuluh darah (Dipiro, 1997).
Keuntungan penggunaan rute peripheral mencakup rendahnya resiko
infeksi dari luar, dan kesulitan-kesulitan metabolism bila dibandingkan pemberian
lewat sentral. Kesulitan dalam penggunaan rute ini terjadi pada pasien malnutrisi,
pengobatan khemoterapi dan pada pasien usia lanjut dimana pemberian nutrisi
melalui pembuluha darah peripheral terbatas. Selain itu pada pemberian melalui
rute ini harus diperhatikan tonisitas dari sediaan yang dibuat, yaitu isotonis,
sediaan yang hipertonis dapat menyebabkan tromboflebitis (Dipiro, 1997).
Penggunaan rute ini relative aman dan mudah dibandingkan rute sentral
pada pasien yang sesuai. Pasien yang dipilih haruslah pasien yang tidak memiliki
keterbatasan pada cairan tubuh, tidak memerlukan nutrisi dalam jumlah besar dan
fungsi saluran pencernaan diperkirakan akan membaik setelah 7-10 hari (Dipiro,
1997).
b. Rute Pemberian Sentral
Pemberian nutrisi melalui rute sentral biasanya berupa larutan
berkonsentrasi tinggi (hipertonis) sehingga harus diberikan melalui pembuluh
darah sentral. Pembuluh vena sentral memiliki kecepatan aliran (blood flow rate)
lebih tinggi dibandingkan pembuluh darah peripheral sehingga dapat
31
mengencerkan larutan yang hipertonis dengan cepat. Pemberian rute sentral
biasanya menggunakan kateter yang diinjeksikan pada pembuluh darah vena cava
superior (Dipiro, 1997).
Rute sentral diberikan pada pasien yang menggunakan TPN lebih dari 10
hari, kebutuhan nutrisi yang besar, akses nutrisi melalui pembuluh peripheral yang
buruk dan kebutuhan cairan tubuh yang bervariasi pada pasien sehabis operasi,
trauma, luka bakar parah, kegagalan multi organ dan penderita tumor (Dipiro,
1997).
2.5.6. Pencampuran Komponen
Secara umum ada dua jenis pencampuran komponen TPN yang digunakan :
a. All-in-one admixture
All-in-one admixture merupakan sediaan TPN yang dibuat dengan
mencampurkan larutan dekstrosa- asam amino dengan emulsi lemak secara
bersamaan. Keuntungan dari sediaan seperti ini adalah penggunaan peralatan
seperti pompa infuse, tube dan lain-lainnya lebih sedikit dibandingkan
pencampuran TPN terpisah, waktu pembuatan dan pemberian yang lebih
singkat dan penyiapan V lebih mudah karena membutuhkan satu kantong
plastic steril.
Sedangkan kerugian yang diberikan dengan metoda pembuatan ini adalah
peningkatan resiko infeksi bakteri dan stabilitas serta ketidaktercampuran
komponen dalam sediaan TPN.
b. TPN terpisah
TPN terpisah merupakan sediaan yang nutrisi dimana larutan dekstrosa-
asam amino terpisah wadahnya dari emulsi lemak. Keuntungan dari sediaan
bentuk ini adalah stabilitas dari masing-masing komponen akan lebih lama
dibandingkan all-in-one admixture mencapai 24 bulan setelah pembuatan).
Sedangkan krugian dalam pembuatan sediaan metoda ini adalah penggunaan
32
peralatan seperti pompa infuse, tube dan lain-lainnya lebih banyak
dibandingkan all-in-one admixture.
2.5.7. Wadah dan Penyimpanan
Sediaan TPN dikemas dalam botol kaca steril atau botol plastic steril infuse
intravena dengan ukuran yang sesuai. Botol plastic untuk sdiaan TPN terbuat dari
etil vinil asetat (EVA) yang tidak mengandung pemlastik atau pengenyal dan
sesuai dengan sediaan yang mengandung lemak.
Cairan TPN harus segera digunakan begitu selesai dibuat. Jika tidak, harus
disimpan pada suhu 4oC. hal ini bertujuan untuk mengurangi kecepatan degradasi
kimia komponen nutrisi dan meminimalkan kesempatan terjadinya kontaminasi
mikroorganisme.
2.6. SITOSTATIKA
2.6.1.Definisi Sitostatika
Sitostatika adalah suatu pengobatan untuk mematikan sel-sel secara
fraksional (fraksi tertentu mati), sehingga 90 % berhasil daan 10 % tidak berhasil
(Hanifa Wignjosastro, 1997).
Bahan Sitostatika adalah zat/obat yang merusak dan membunuh sel normal
dan sel kanker, serta digunakan untuk menghambat pertumbuhan tumor malignan.
Istilah sitostatika biasa digunakan untuk setiap zat yang mungkin genotoksik,
mutagenik, onkogenik, teratogenik, dan sifat berbahaya lainnya. Sitostatika
tergolong obat beresiko tinggi karena mempunyai efek toksik yang tinggi terhadap
sel, terutama dalam reproduksi sel sehingga dapat menyebabkan karsinogenik,
mutagenik dan tertogenik. Oleh karena itu, penggunaan obat sitstatika
membutuhkan penanganan khusus untuk menjamin keamanan, keselamatan
penderita, perawat, profesional kesehatan, dan orang lain yang tidak menderita
sakit. Tujuan penanganan bahan sitostatika adalah untuk menjamin
penanganannya yang tepat dan aman di rumah sakit.
33
Pajanan obat sitotoksik dan limbah yang terkait dapat terjadi di mana
kontrol tindakan gagal atau tidak di tempat . Paparan dapat terjadi melalui kontak
kulit , kulit penyerapan, menghirup aerosol dan partikel obat , konsumsi dan luka
benda tajam.
Paparan dapat terjadi ketika :
mempersiapkan obat
memberikan obat-obatan
mengangkut obat
penanganan limbah pasien
mengangkut dan membuang limbah
membersihkan tumpahan
Mereka yang paling mungkin terlibat dalam kegiatan ini meliputi :
Perawat dan petugas medis
Apoteker
Staf laboratorium
Pembersihan, pemeliharaan dan limbah staf pembuangan
Penjaga
Staf kesehatan hewan
Petugas ambulans dan driver
Semua bahan sitotoksik universal diidentifikasi oleh symbol ungu yang
menggambarkan sel di akhir telofase seperti gambar berikut :
34
2.6.2. Cara Menghitung Dosis Sitostatika
Pemberian obat sitostatik memiliki cara perhitungan yang tersendiri yang
didasarkan pada luas permukaan tubuh pasien, maka rumus yang digunakan
adalah :
Dosis=LPT x Dosis Lazim
Dimana LPT dapat dihitung dengan rumus :
LPT =√ Tinggi Badan x Berat Badan3600
2.6.3. Tujuan Handling Sitostatika
Selain untuk melindungi petugas dan lingkungan dari keterpaparan obat
kanker, preparasi obat sitostatika secara aseptis diperlukan untuk 3 tujuan :
a. Produk harus terlindung dari kontaminasi microba dengan teknik aseptis
b. Personal yang terlibat harus terlindung dari exposure bahan berbahaya
c. Lingkungan harus terhindar dari paparan bahan berbahaya
Terpaparnya obat sitostatika ke dalam tubuh dapat melalui inhalasi, absorpsi,
atau ingestion. Adapun tujuan Handling Cytotoxic yaitu :
a. Mencegah kontak langsung atau keterpaparan petugas kesehatan terhadap
sitostatika pada waktu pencampuran, pengoplosan ,dan pemberian kepada
pasien.
b. Menjamin sterilitas produk akhir sitostatika setelah dicampur / dioplos
c. Menjamin keamanan buangan sisasitostatika dan material yang dipakai
yang telah terkontaminasi dengan sitostatika
2.6.4. Hal yang harus diperhatikan dalam penanganan sediaan sitostatika
a. Teknik aseptic
- Petugas harus menggunakan APD (Alat Pelindung Diri) sesuai SOP
- Masukkan semua bahan melalui Pass Box sesuai SOP
- Petugas melepas APD (Alat Pelindung Diri) setelah selesai kegiatan
sesuai SOP
35
b. Pemberian dalam biological safety cabinet
Alat ini digunakan untuk pencampuran sitostatika yang berfungsi
untuk melindungi petugas, materi yang dikerjakan dan lingkungan sekitar.
Prinsip kerja dari alat ini adalah : tekanan udara di dalam lebih negatif dari
dari tekanan udara diluar sehingga aliran udara bergerak dari luar ke dalam
BSC. Didalam BSC udara bergerak vertikal membentuk barier sehingga
jika ada peracikan obat sitostatika tidak terkena petugas. Untuk validasi
alat ini harus dikalibrasi setiap 6 bulan (Depkes, 2009).
Penanganan obat berbahaya tidak boleh menggunakan laminar air
flow type horisontal, mengapa demikian Pemakaian alat Biological Safety
Cabinet mempunyai dua fungsi, yaitu :
Melindungi petugas dari exposure (kontak) obat berbahaya.
Menjaga sterihtas sediaan
Terdapat dua type alat Biological Safety Cabinet, yaitu :
Type A, dimana 30 % udara kembali keruangan.
Type B, dimana semua udara keluar area. Type B ini lebihaman
digunakan untuk petugas
c. Petugas yang bekerja harus terlindungi
d. Jaminan mutu produk
e. Dilaksanakan oleh petugas yang terlatih
Personal yang akan terlibat dalam preparasi obat sitostatika harus
mendapatkan pelatihan yang memadai tentang teknik aseptic dan
penanganan obat sitostatika.
Petugas wanita yang sedang hamil atau merencanakan untuk hamil
tidak dianjurkan untuk terlibat dalam rekonstitusi obat sitostatika.
Petugas wanita yang sedang menyusui tidak dianjurkan terlibat
dalam rekonstitusi obat sitostatika
Petugas yang sedang sakit atau mengalami infeksi pada kulit harus
diistirahatkan dari tugas ini
f. Adanya Prosedur Tetap.
2.6.5.Teknik Penanganan Sitostatika
36
a. Penyiapan
Proses penyiapan sediaan sitostatika sama dengan proses penyiapan
pencampuran obat suntik.
1) Bagian I Semua prosedur yang terlibat dalam penyiapan obat
sitotoksik harus dilakukan di Kelas 11, Tipe A atau tipe B LAF
biological safety cabinet. Kabinet pembuangan harus di luar
ruangan untuk mengeliminasi paparan personil dari obat yang
dapat menguap setelah penyimpanan pada LAF. Kabinet pilihan
adalah Type Kelas 11, Type B yang kabinet pembuangan di luar
ruangan dengan filter bag-in/bag-out untuk melindungi personil
dan untuk memfasilitasi pembuangan.
2) Untuk keamanan di permukaan kabinet kerja harus ditutupi dengan
plastik yang dilapisi kertas penyerap. Ini akan mengurangi potensi
dispersi tetesan dan tumpahan dan memfasilitasi pembersihan.
Kertas harus diganti setelah ada tumpahan dan pada akhir setiap
shift kerja.
3) Personil mempersiapkan obat harus memakai :
- Sarung tangan lateks dan baju bedah sekali pakai dengan
manset elastis.
- Sarung tangan harus diganti secara teratur dan segera jika
robek atau bocor.
- Pakaian pelindung tidak boleh dipakai di luar wilayah
persiapan obat
37
b. Protap melaksanakan persiapan pencampuran sediaan sitostatika
1) Petugas tidak menggunakan perhiasan
2) Mencuci tangan dengan anti septic kemudian membersihkan kuku
dengan sikat di ruang cuci tangan.
3) Petugas menggunakan kelengkapan untuk pencampuran sitostatika di
ruang transisi (baju, topi, masker, sepatu, hanschoen)
4) Petugas masuk ke dalam clean room
5) Menyiapkan biological Safety Cabinet (BSC) membersihkan semua
permukaan BSC dengan alkohol 70 % dari bagian atas ke bawah.
6) Menunggu lima menit untuk menghilangkan residu
7) Memberi alas sitostatika pada meja kerja
8) Meletakkan kantong limbah disamping meja kerja (BSC).
c. PencampuranSediaan Sitostatika
1. Memakai APD (Alat Pelindung Diri) sesuai PROSEDUR TETAP
Baju Pelindung
Baju Pelindung ini sebaiknya terbuat dari bahan yang impermeable
(tidak tembus cairan), tidak melepaskan serat kain, dengan lengan
panjang, bermanset dan tertutup di bagian depan.
Sarung tangan
Sarung tangan yang dipilih harus memiliki permeabilitas yang
minimal sehingga dapat memaksimalkan perlindungan bagi petugas
38
dan cukup panjang untuk menutup pergelangan tangan. Sarung
tangan terbuat dari latex dan tidak berbedak (powder free). Khusus
untuk penanganan sediaan sitostatika harus menggunakan dua
lapis.
Kacamata pelindung
Hanya digunakan pada saat penanganan sediaan sitostatika.
Masker disposible
Prosedur tetap berganti pakaian
Memasuki ruangan steril harus melalui ruangan-ruangan ganti
pakaian dimana pakaian biasa diganti dengan pakaian pelindung
khusus untuk mengurangi pencemaran jasad renik dan partikel.
Pakaian steril hendaklah disimpan dan ditangani sedemikian rupa
setelah dicuci dan disterilkan untuk mengurangi rekontaminasi jasad
renik dan debu.
Ruangan Ganti Pakaian Pertama
a) Mula-mula pakain biasa dilepaskan diruang ganti pakaian
pertama. Arloji dan perhiasan dilepaskan dan disimpan atau
diserahkan kepada petugas yang ditunjuk.
b) Pakaian dan sepatu hendaklah dilepas dan disimpan pada tempat
yang telah disediakan.
Ruangan Ganti Pakaian Kedua
a) Petugas hendaklah mencuci tangan dan lengan hingga siku
tangan dengan larutan desinfektan (yang setiap minggu diganti).
Kaki hendaklah dicuci dengan sabun dan air dan kemudian
dibasuh dengan larutan desinfektan.
b) Tangan dan lengan dikeringkan dengan pengering tangan listrik
otomatis. Sepasang pakaian steril diambil dari bungkusan dan
dipakai dengan cara berikut.
c) Penutup kepala hendaklah menutupi seluruh rambut dan
diselipkan ke dalam leher baju terusan. Penutup mulut
39
hendaklah juga menutupi janggut. Penutup kaki hendaklah
menyelubungi seluruh kaki dan ujung kaki.
d) Celana atau baju terusan (overall) diselipkan ke dalam penutup
kaki. Penutup kaki diikat sehingga tidak turun waktu bekerja.
Ujung lengan baju hendaklah diselipkan ke dalam sarung
tangan. Kaca mata pelindung dipakai pada tahap akhir ganti
pakaian.
e) Sarung tangan dibasahi dengan alkohol 70 % atau larutan
desinfektan.
f) Membuka pintu untuk memasuki ruang penyangga udara dan
ruang steril hendaklah dengan menggunakan siku tangan dan
mendorongnya.
g) Setiap selesai bekerja dan meninggalkan ruangan steril petugas
melepaskan sarung tangan dan meletakkannya pada wadah yang
ditentukan untuk itu dan mengganti pakaian sebelum keluar
dengan urutan yang berlawanan ketika memasuki ruangan steril.
2. Mencuci tangan sesuai PROSEDUR TETAP
Petugas harus mencuci tangan sesuai standar operasional sebagai
berikut :
Basahi tangan dengan air bersih
Ambil sabun antiseptik
Gosok kedua telapak tangan bagian atas dan bawah serta
diantara jari-jari dan kuku selama 20 detik
Bilas tangan dengan air mengalir dan bersih selama 10 detik
Tutup kran dengan beralaskan lap bersih atau bila
memungkinkan dengan siku
Keringkan tangan dengan lap bersih atau pengering listrik
40
Gambarprosedurmemcucitangan
3. Menghidupkan biological safety cabinet (BSC) 5 menit sebelum
digunakan.
Laminar Air flow (LAF) mempunyai sistem penyaringan ganda yang
memiliki efisiensi tingkat tinggi, sehingga dapat berfungsi sebagai :
Penyaring bakteri dan bahan-bahan eksogen di udara.
Menjaga aliran udara yang konstan diluar lingkungan.
Mencegah masuknya kontaminan ke dalam LAF.
Terdapat dua tipe LAF yang digunakan pada pencampuran sediaan
steril :
Aliran Udara Horizontal (Horizontal Air Flow).
Aliran udara langsung menuju ke depan, sehingga petugas
tidak terlindungi dari partikel ataupun uap yang berasal dari
ampul atau vial. Alat ini digunakan untuk pencampuran obat
steril non sitostatika.
Aliran Udara Vertikal (Vertical Air Flow).
41
Aliran udara langsung mengalir kebawah dan jauh dari petugas
sehingga memberikan lingkungan kerja yang lebih aman.
Untuk penanganan sediaan sitostatika menggunakan LAF
vertikal Biological Safety Cabinet (BSC) kelas II dengan syarat
tekanan udara di dalam BSC harus lebih negatif dari pada
tekanan udara di ruangan.
Prosedur tetap penggunaan laminar air flow (laf)
Hubungkan LAF dengan sumber listrik yang sesuai (220
volt)
Nyalakan blower dan lampu UV minimal 15 menit sebelum
digunakan
Matikan lampu UV
Buka pintu penutup LAF dan letakkan secara horisontal di
atas meja
Bersihkan permukaan LAF dengan Iso Propol Alkohol (IPA)
atau alkohol 70% menggunakan lap yang tidak berserat :
a. Dinding : dari atas ke bawah dengan gerakan satu
arah
b. Lantai : dari belakang ke depan dengan gerakan satu
arah
Catatan: jangan menyemprotkan alkohol langsung ke
arah HEPA filter
Seka semua bahan dan alat yang akan dimasukkan ke dalam
LAF dengan alkohol 70%
Letakkan bahan dan alat di dalam LAF sesuai tata letak
Biarkan 5 menit untuk menghilangkan turbulensi udara
42
Gambar LAF
4. Melakukan dekontaminasi dan desinfeksi BSC sesuai PROSEDUR
TETAP
Mempersiapkan bahan yang terdiridari :
- Alcohol swab
- Alcohol 70% dalambotol spray
- Mengdesinfeksikan bagian luar kemasan bahan obat sitostatika dan
pelarut dengan menyemprotkan alcohol 70%
Mempersiapkan alat yang terdiri dari :
- Mensterilkan alas untuk sitostatika
- Mensterilkan bahan untuk sealing (paraffin)
- Mensterilkan sarung tangan, masker, baju, topi, sarung kaki
- Spuit injeksi ukuran 2 x vol yang dibutuhkan
- Jarum
- Mendesifeksi etiket, label, klip plastic, kantong plastic untuk
diposal dengan menyemprotkan alcohol 70%
5. Menyiapkan meja BSC dengan memberi alas sediaan sitostatika.
6. Menyiapkan tempat buangan sampah khusus bekas sediaan sitostatika.
Obat sitotoksik dikategorikan sebagai limbah diatur karenanya, harus
dibuang sesuai dengan persyaratan.
43
tempat pembuangan limbah zat sitostatiki tempat pembuangan limbah
7. Melakukan desinfeksi sarung tangan dengan menyemprot alkohol
70%.
8. Mengambil alat kesehatan dan bahan obat dari pass box.
Pass box adalah tempat masuk dan keluarnya alat kesehatan dan bahan
oba sebelum dan sesudah dilakukan pencampuran. Pass box ini terletak
di antara ruang persiapan dan ruang steril.
Gambar pass box
Prosedur tetap penggunaan pass box
a) Untuk pass box yang dilengkapi dengan UV
Hubungkan passbox dengan sumber listrik yang sesuai (jika
pass boxnya automatik).
Nyalakan passbox dengan menekan tombol ON pada switch,
lampu indikator akan menyala.
Jika lampu hijau menyala, pintu passbox dalam keadaan tidak
terkunci, dan siap dibuka.
Masukkan alat dan bahan ke dalam passbox.
Tutup kembali pintu passbox.
Buka pintu passbox dari dalam ruangan steril
Keluarkan alat dan bahan dari dalam passox dengan hati-hati.
b) Untuk passbox yang manual
Bersihkan pass box sesuai dengan prosedur tetap pembersihan
passbox.
Buka pintu passbox (pastikan pintu passbox yang berada
dalam ruang steril dalam keadaan tertutup)
44
Masukkan alat dan bahan ke dalam passbox
Tutup kembali pintu passbox
Buka pintu passbox dari dalam ruangan steril (pastikan pintu
passbox yang satu tetap tertutup)
Keluarkan alat dan bahan dari dalam passbox dengan hati-hati
9. Meletakkan alat kesehatan dan bahan obat yang akan dilarutkan di atas
meja BSC.
10. Melakukan pencampuran sediaan sitostatika secara aseptis.
Personil mempersiapkan obat harus memakai :
- Sarung tangan lateks dan baju bedah sekali pakai dengan
manset elastis.
- Sarung tangan harus diganti secara teratur dan segera jika
robek atau bocor.
- Pakaian pelindung tidak boleh dipakai di luar wilayah
persiapan obat.
Obat di dalam vial yang perlu dilarutkan harus dikeluarkan untuk
mengurangi tekanan internal menggunakan fiter mikron hidrofobik
0,22 atau filter lainnya yang sesuai, seperti pin dispensing
kemoterapi. Hal ini mengurangi kemungkinan penyemprotan dan
tumpahan.
Jika dispensing kemoterapi tidak menggunakan jarum, pad alkohol
steril harus ditempatkan hati-hati di sekitar bagian atas jarum dan
botol selama penarikan dari septum.
45
Permukaan eksternal terkontaminasi obat harus dibersihkan dengan
pad alkohol sebelum ditransfer atau transportasi.
Ketika membuka ampul kaca, bungkus dgn pad alkohol kemudian
selipkan di break point untuk mengurangi kemungkinan cedera dan
aerosol yang dihasilkan. Gunakan jarum Filter 5 mikron saat
mengambil larutan obat.
Setelah proses persiapan obat selesai, untuk keamanan usap bagian
bawah dalam kabinet dengan air (untuk injeksi atau irigasi) diikuti
oleh alkohol 70% dengan menggunakan handuk sekali pakai.
Limbah dianggap terkontaminasi dan harus dibuang dengan benar.
46
11. Memberi label yang sesuai pada setiap infuse dan spuit yang sudah
berisi sediaan sitostatika
Jarum suntik dan botol berisi obat sitotoksik I.V. harus diberi label dan
tanggal. Sebelum barang-barang meninggalkan daerah preparasi,baca
label kembali, " Perhatian-kemoterapi, Buanglah dengan benar ".
12. Membungkus dengan kantong hitam atau aluminium foil untuk obat-
obat yang harus terlindung cahaya.
13. Membuang semua bekas pencampuran obat ke dalam wadah
pembuangan khusus.
Jarum suntik, I.V. tubing klip butterfly, dll, yang terkontaminasi
harus dibuang utuh untuk mencegah adanya aerosol dan cedera. Do not
recap needles. Tempatkan barang-barang dalam wadah tahan tusukan
bersama dengan botol yang terkontaminasi, botol, sarung tangan, paper
penyerap, baju sekali pakai, kain kasa dan limbah lainnya. Wadah
kemudian harus ditempatkan dalam kotak berlabel, "Cytotoxic waste
only," disegel dan dibuang sesuai persyaratan. Linen terkontaminasi
dengan obat-obatan, kotoran pasien atau cairan tubuh harus ditangani
secara terpisah.
47
14. Memasukan infuse untuk spuit yang telah berisi sediaan sitostatika ke
dalam wadah untuk pengiriman.
15. Mengeluarkan wadah untuk pengiriman yang telah berisi sediaan jadi
melalui pass box.
16. Menanggalkan APD sesuai prosedur tetap
Prosedur Tetap Menanggalkan APD :
Menanggalkan sarung tangan luar
- Tempatkan jari-jari sarung tangan pada bagian luar manset.
- Angkat bagian sarung tangan luar dengan menariknya kearah
telapak tangan. Jari jari sarung tangan luar tidak boleh
menyentuh sarung tangan dalam atau pun kulit.
- Ulangi prosedur dengan tangan lainnya.
- Angkat sarung tangan luar sehingga ujung-ujung jari berada di
bagian dalam sarung tangan.
- Pegang sarung tangan yang diangkat dari dalam sampai
seluruhnya terangkat.
- Buang sarung tangan tersebut kedalam kantong tertutup.
Menanggalkan baju pelindung
- Buka ikatan baju pelindung.
- Tarik keluar dari bahu dan lipat sehingga bagian luar terletak di
dalam.
- Tempatkan dalam kantong tertutup.
Tanggalkan tutup kepala dan buang dalam kantong tertutup.
Tanggalkan sarung tangan dalam, bagian luar sarung tangan tidak
boleh menyentuh kulit. Buang dalam kantong tertutup.
Tempatkan kantong tersebut dalam wadah buangan sisa.
Cuci tangan.
2.6.6. Cara Pemberian
Cara pemberiaan sediaan sitostatika sama dengan cara pemberiaan obat
suntik kecuali intramuskular
48
2.6.7. Penanganan Tumpahan dan Kecelakan Kerja
a) Penanganan tumpahan
Membersihkan tumpahan dalam ruangan steril dapat dilakukan petugas
tersebut atau meminta pertolongan orang lain dengan menggunakan
chemotherapy spill kit yang terdiri dari :
1) Membersihkan tumpahan di luar BSC dalam ruang steril
a) Meminta pertolongan, jangan tinggalkan area sebelum
diizinkan.
b) Beri tanda peringatan di sekitar area.
c) Petugas penolong menggunakan Alat Pelindung Diri
(APD)
d) Angkat partikel kaca dan pecahan-pecahan dengan
menggunakan alat seperti sendok dan tempatkan dalam
kantong buangan.
e) Serap tumpahan cair dengan kassa penyerap dan buang
dalam kantong tersebut.
f) Serap tumpahan serbuk dengan handuk basah dan buang
dalam kantong tersebut.
g) Cuci seluruh area dengan larutan detergent.
h) Bilas dengan aquadest.
i) Ulangi pencucian dan pembilasan sampai seluruh obat
terangkat.
j) Tanggalkan glove luar dan tutup kaki, tempatkan dalam
kantong pertama.
k) Tutup kantong dan tempatkan pada kantong kedua.
l) Tanggalkan pakaian pelindung lainnya dan sarung
tangan dalam, tempatkan dalam kantong kedua.
m) Ikat kantong secara aman dan masukan dalam tempat
penampung khusus untuk dimusnahkan dengan
incenerator.
n) Cuci tangan.
49
2) Membersihkan tumpahan di dalam BSC
a. Serap tumpahan dengan kassa untuk tumpahan cair atau
handuk basah untuk tumpahan serbuk.
b. Tanggalkan sarung tangan dan buang, lalu pakai 2 pasang
sarung tangan baru.
c. Angkat hati-hati pecahan tajam dan serpihan kaca sekaligus
dengan alas kerja/meja/penyerap dan tempatkan dalam
wadah buangan.
d. Cuci permukaan, dinding bagian dalam BSC dengan
detergent,bilas dengan aquadestilata menggunakan kassa.
Buang kassa dalam wadah pada buangan.
e. Ulangi pencucian 3 x.
f. Keringkan dengan kassa baru, buang dalam wadah
buangan.
g. Tutup wadah dan buang dalam wadah buangan akhir.
h. Tanggalkan APD dan buang sarung tangan, masker, dalam
wadah buangan akhir untuk dimusnahkan dengan
inscenerator.
i. Cuci tangan.
b) Penanganan Kecelakaan Kerja
a) Dekontaminasi akibat kontak dengan bagian tubuh:
I. Kontak dengan kulit:
a. Tanggalkan sarung tangan.
b. Bilas kulit dengan air hangat.
c. Cuci dengan sabun, bilas dengan air hangat.
d. Jika kulit tidak sobek, seka area dengan kassa yang
dibasahi dengan larutan Chlorin 5 % dan bilas dengan air
hangat.
e. Jika kulit sobek pakai H2O2 3 %.
f. Catat jenis obatnya dan siapkan antidot khusus.
50
g. Tanggalkan seluruh pakaian alat pelindung diri (APD)
h. Laporkan ke supervisor.
i. Lengkapi format kecelakaan.
II. Kontak dengan mata
a. Minta pertolongan.
b. Tanggalkan sarung tangan.
c. Bilas mata dengan air mengalir dan rendam dengan air
hangat selama 5 menit.
d. Letakkan tangan di sekitar mata dan cuci mata terbuka
dengan larutan NaCl 0,9%.
e. Aliri mata dengan larutan pencuci mata.
f. Tanggalkan seluruh pakaian pelindung.
g. Catat jenis obat yang tumpah.
h. Laporkan ke supervisor.
i. Lengkapi format kecelakaan kerja.
III. Tertusuk jarum
a. Jangan segera mengangkat jarum. Tarik kembali plunge
untuk menghisap obat yang mungkin terinjeksi.
b. Angkat jarum dari kulit dan tutup jarum, kemudian buang.
c. Jika perlu gunakan spuit baru dan jarum bersih untuk
mengambil obat dalam jaringan yang tertusuk.
d. Tanggalkan sarung tangan, bilas bagian yang tertusuk
dengan air hangat.
e. Cuci bersih dengan sabun, bilas dengan air hangat.
f. Tanggalkan semua APD.
g. Catat jenis obat dan perkirakan berapa banyak yang
terinjeksi.
h. Laporkan ke supervisor.
i. Lengkapi format kecelakaan kerja.
j. Segera konsultasikan ke dokter.
51
2.6.8.Packaging Sediaan Sitotoksik
Penanganan potensial dari agen sitotoksik dapat menjadi resiko yang
potensial. Walaupun kejadiannya tidak pasti, namun perlu dilakukan proses untuk
meminimalisasi paparan yang tidak tentu dengan mengimplementasikan beberapa
konsep dasar dan mengikuti aturan umum seperti:
a)Penggunaan vertical laminar flow-hoods (atau sarung tangan bakteriologik)
untuk penyiapan dan rekonstitusi dari obat sitostatik.
b)Personil yang melakukan rekonstitusi obat ini harus menggunakan sarung
tangan dan masker.
c)Sitostatika harus ditangani secara terpusat. Limbahnya harus ditangani
secara special dengan alat penampung yang didesain khusus serta
insenerasi.
d)Personil yang terlibat dalam penanganan campuran sitostatika harus
diperiksa darahnya secara berkala.
e)Personil yang menangani sitostatika harus diberi tahu bahwa dapat terjadi
masalah yang potensial
f) Pelabelan spesial dari wadah harus diperhatikan untuk menjamin
penanganan yang tepat ( Turco, 1994 )
Proses packaging ini dapat dibagi menjadi:
1) Packaging dan Transport dari obat sitotoksik di dalam industri
Prosedur untuk packaging dan transport yang aman dari preparasi
obat sitotoksik dalam industri harus dikembangkan dan ditetapkan.
Penyegelan, wadah yang tahan dan kaku, packaging yang tepat untuk
mencegah kebocoran, serta labeling harus digunakan untuk transport
preparasi obat sitotoksik cair untuk bangsal, klinik, diantara unit kesehatan
dan pelayanan, ruang perawat dalam komunitas. Packaging ini juga harus
selalu menawarkan perlindungan dari cahaya. Packaging luar harus menjamin
terhadap kerusakan yang menyebabkan tumpahan. Luer-lock syringes harus
ditutup dengan penutup standar untuk mencegah tumpahnya sediaan selama
52
transport. Kemasan harus diberi label yang jelas sebagai obat sitotoksik.
Metode transport yang menghasilkan goncangan mekanik pada isi seperti
pneumatic tubes tidak baik digunakan untuk transport obat sitotoksik.
Personil yang dilibatkan pada proses tansport obat sitotoksik harus diberikan
perhatian dan pelatihan.
2) Packaging dan transport ke fasilitas lainnya
Untuk transport di antara fasilitas, esensial diperlukan standar
packaging yang relevan. Obat sitotoksik harus dipackaging sedemikian rupa
untuk mencegah kerusakan kemasan, dan masuknya kontaminan yang hadir
saat kerusakan terjadi selama penanganan dan transportasi. Pengendara dari
kendaraan pengangkut harus diberi informasi dari bahaya potensial yang
berasosiasi dengan penanganan dari obat sitotoksik dan limbah yang terkait
(Anonim, 1997 ).
Wadah yang akan digunakan disesuaikan dengan sifat fisika
kimia dari sediaan. Sebagai contoh: Amsacrine dikatakan bereaksi dengan
plastik tertentu, Asparaginase dikatakan inkompatibilitas dengan karet dan
Bicalutamide harus disimpan dalam wadah kedap udara (Sweetman,
2009).Penyegelan dan wadah yang tahan harus digunakan untuk mengemas
sediaan sitostatik cair. Wadah ini harus mampu melindungi isi dari cahaya.
Dan khusus untuk penyiapan sediaan intratekal, harus dikemas secara
terpisah.
Obat sitostatik harus dikemas dan didistribusikan, jadi perlu untuk
menjamin proteksi kima dan fisika yang tepat untuk obat serta perlindungan
terhadap individu yang menangani bila tumpah. Obat sitostatik harus dikemas
dalam leak-proof container dengan segel dan label, serta bila mungkin dengan
kantong luar yang heat-sealed, untuk menjamin bahwa wadah:
a) Memberikan perlindungan dari cahaya bila diperlukan.
b) Melindungi obat dari kerusakan saat pengangkutan
c) Melindungi dari kebocoran
d) Mempunyai childproof lid (jika penggunaannya sesuai)
53
2.6.9.Labelling
Etiket pada wadah produk parenteral harus mencantumkan: (1) nama
sediaan; (2) untuk sediaan cair, perbandingan kadar obat atau jumlah obat yang
ada dalam volume yang ditentukan, atau untuk sediaan obat kering, jumlah zat
aktif yang ada dan volume cairan yang harus ditambahkan ke sediaan kering
untuk membentuk larutan atau suspensi; (3) cara pemberian; (4) pernyataan
kondisi penyimpanan dan kadaluarsa; (5) nama pabrik atau penyalur; (6) nomor
lot (batch) pembuatan di mana bila diminta untuk menyatakan semua proses
pembuatan sediaan tersebut.
Obat suntik untuk penggunaan pada hewan dinyatakan/ditulis untuk efek
tersebut. Sediaan yang ditujukan untuk kegunaan sebagai larutan dialisis,
hemofiltrasi atau irigasi harus memenuhi syarat-syarat untuk obat suntik, kecuali
yang berhubungan dengan volume yang terdapat pada wadah, dan harus memuat
pernyataan yang menunjukkan bahwa larutan bukan dimaksudkan untuk
disuntikkan. Seluruh wadah sesuai dengan label, harus masih ada di tempat, bagi
wadah yang tidak ditutupi label harus cukup besar bagi memanjang maupun
melingkar agar memungkinkan pengamatan isi wadah. Bila ada obat suntik yang
secara pengamatan mata menampakkan partikel-partikel lain, selain dari zat
suspensi yang normal harus ada, obat tersebut harus disingkirkan (Ansel, 2005).
Penyiapan sediaan sitostatik oleh farmasis akan mengikuti guideline labeling
berikut:
a. Instruksi dosis yang jelas (hindari penggunaan dari ‘as directed’ sebagai
sebuah arahan menyeluruh).
b. Jika total dosis dibuat dari dua kekuatan yang berbeda, pada label harus
dicantumkan jumlah tablet dari masing-masing dosis maupun sebagai
dosis total.
c. Periode yang dimaksudkan dari pengobatan (seperti jumlah harinya).
d. Tanggal memulai dan menghentikan untuk penggunaan singkat atau terapi
intermittent.
54
e. Dosis dari sitostatika yang dimaksudkan untuk digunakan dalam seminggu
harus spesifik disebutkan“sekali dalam seminggu” dan hari pada saat dosis
tersebut digunakan.
f. Semua wadah harus diberikan label.
g. Label perhatian dan saran (termasuk syarat penyimpanan spesifik secara
detail) harus ditambahkan.
h. Ada stiker peringatan bahwa obat tersebut adalah sitostatika seperti
misalnya ‘cytotoxic, handle with care’, pada masing-masing wadah
Semua penyiapan sitostatika harus diberi label secara jelas dengan informasi
yang detail, akurat, dan tentunya terbaca. Label harus secara spesifik didesain dan
harus dikatakan bahwa ada substansi sitostatik dalam sediaan tersebut. Label
spesial lainnya juga harus dilampirkan, di tempat yang tepat, untuk
menyampaikan informasi tambahan atau saran Semua label harus diaplikasikan
pada baik immediate container dan packaging luarnya (seperti kantong yang berisi
syringenya). Preparasi obat sitotoksik yang akan diangkut ke rumah sakit lain
harus diberi label menurut persyaratan dari NZS 5433:1988 Transport of
hazardous substances on land.
Sumber lain juga menyebutkan hal yang sama dimana pengecekan harus
selalu menjadi bagian integral dari prosedur penanganan sitostatika ini dan label
harus menyampaikan:
Terdapatnya sunbstansi sitostatika dalam sediaan
Jumlah total dari obat dan total volume dari sediaan
Waktu dan tanggal saat sediaan tidak boleh digunakan lagi
Rekomendasi penyimpanan (Collett and Aulton, 1996).
Label yang disertakan harus menonjol. Umunya sitostatika diidentifikasi
dengan sebuah symbol ungu yang mewakili sebuah sel yang sedang berada pada
telofase akhir dan diletakkan pada kemasan luar.
Khusus untuk sediaan intratekal, label harus diletakkan pada syringe dan juga
pada kemasan luar yang berbunyi “for intrathecal use only”. Perusahaan harus
55
menerapkan prosedur yang ketat untuk menjamin produk ini mudah diidentifikasi
dan ditempatkan tersendiri dari produk lainnya.
Untuk pengangkutan, liquid-proof, shatterproof, dan easy-to-clean
containers (seperti box plastik) harus digunakan. Prosedur lokal sebaiknya juga
harus dikembangkan untuk menjamin keamanan transportasi dari sitostatika.
Wadah yang didesain secara spesial dapat digunakan. Jika diperlukan, suatu
ketentuan juga harus dibuat untuk infuse untuk melindungi dari cahaya selama
administrasi (Collett and Aulton, 1996).
2.6.10. Penyimpanan Sediaan Sitostatika
a. Obat sitotoksik harus dikemas dalam label, disegel, wadah anti bocor
dengan kantong luar panas yang disegel secara tepat.
b. Obat sitotoksik harus disimpan dalam ruangan berdinding keras dan
wadah yang kuat, tertutup rapat dan diberi label dengan peringatan
sitotoksik.
c. Dinginkan obat seperlunya (jika akan digunakan).
2.6.11. Transportasi Sediaan Sitostatika
a. Obat sitotoksik harus diangkut dalam wadah kedap disegel tahan terhadap
kerusakan
b. Wadah harus diberi label dengan label ungu peringatan sitotoksik dan
digunakan untuk tujuan-tujuan lain
c. Wadah harus dikembalikan ke apotek setelah digunakan
d. Untuk transportasi antar rumah sakit atau transportasi kerumah pasien,
nomor telepon kontak (Onkologi Farmasi) dan instruksi dalam hal
tumpahan harus dimasukkan .
2.6.12. Pengelolaan Limbah Sitostatika
Pengelolaan limbah dari sisa buangan pencampuran sediaan sitoatatika
(seperti: bekas ampul,vial, spuit, needle,dll) harus dilakukan sedemikian rupa
hingga tidak menimbulkan bahaya pencemaran terhadap lingkungan. Langkah –
langkah yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:
56
a. Gunakan Alat Pelindung Diri (APD).
b. Tempatkan limbah pada wadah buangan tertutup. Untuk benda-bendatajam
seperti spuit vial, ampul, tempatkan di dalam wadahyang tidak tembus
benda tajam, untuk limbah lain tempatkan dalam kantong berwarna (standar
internasional warna ungu) dan berlogo sitostatika.
c. Beri label peringatan pada bagian luar wadah.
d. Bawa limbah ke tempat pembuangan menggunakan troli tertutup.
e. Musnahkan limbah dengan incenerator 1000ºC.
f. Cuci tangan.
57
BAB IIIPENUTUP
3.1. Kesimpulan1. Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah
terkait obat (drug-related problem) yang diidentifikasi sebagai
kejadian atau keadaan terapi obat yang dapat mempengaruhi
outcome klinis pasien.Secara umum, ada dua mekanisme
interaksi obat yaitu interaksi farmakokinetik dan interaksi
farmakodinamika
2. Pelayanan Informasi Obat didefinisikan sebagai kegiatan
penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi obat yang
independen, akurat, komprehensif, terkini oleh apoteker kepada
pasien, masyarakat maupun pihak yang memerlukan.
3. MESO didefinisikan sebagai cara pelaporan (reporting),
pencatatan (recording) dan evaluasi (evaluating) secara
sistematik mengenai kejadian ESO baik melalui resep atupun
tanpa resep. Tujuan dari MESO ini adalah :
a. Mengidentifikasi ESO sedini mungkin
b. Menentukan frekuensi serta insidensi ESO
c. Mengidentifikasi semua factor yang mungkin menjadi
penyebab ataupun mempengaruhi perkembangan ESO
4. hal-hal yang harus dipertimbangkan dalam TDM :
a. Usia dan berat badan pasien
b. Rute pemberian obat
c. Tingkat penyerapan obat
d. Laju ekskresi obat
e. Tingkat pelepasan obat, dan dosis
f. Obat lain yang pasien miliki atau pengobatan lain yang
sedang dijalani
g. Penyakit lain yang pasien rasakan atau yang diderita
58
h. Kepatuhan pasien mengenai regimen pengobatan obat
i. Metode laboratorium yang digunakan untuk menguji obat.
5. Nutrisi adalah ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk
melakukan fungsinya, yaitu energi, membangun dan memelihara
jaringan, serta mengatur proses-proses kehidupan.
6. Sitostatika adalah suatu pengobatan untuk mematikan sel-sel
secara fraksional (fraksi tertentu mati), sehingga 90 % berhasil
Tujuan penanganan bahan sitostatika adalah untuk menjamin
penanganannya yang tepat dan aman di rumah sakit.
III.2 SaranSaran kami dalam makalah ini semoga para pembaca bisa lebih
mengetahui isi dari makalah ini dan dapat lebih memahami serta dapat
membandingkan dengan referensi lainnya.
59