Post on 11-Dec-2015
description
Neonatus Kurang Bulan, Kecil untuk Masa
Kehamilan dengan RDS
Sugandhi Junilando Limthin Putra
102012204
D7
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Terusan Arjuna No. 6, Jakarta 11510
2015
Pendahuluan
Bayi baru lahir atau neonatus merupakan periode kehidupan yang memerlukan perhatian
khusus dan perawatan khusus dikarenakan pada periode inilah terjadi perubahan fisiologis yang
dibutuhkan untuk keberlangsungan hidup di luar rahim. Selain melakukan identifikasi pada bayi
secara keseluruhan dengan memperhatikan keaktifan bayi, pola pergerakan bayi, denyut jantung
dan warna bayi, perlu juga mengidentifikasi bayi dari segi masa kehamilannya dan juga berat
badan bayi saat ketika dilahirkan, dengan demikian dapat diketahui bagaimana kondisi bayi
untuk menjalani periode kehidupan selanjutnya. Tingginya morbiditas dan mortalitas pada usia-
usia pertama kehidupan sangat ditentukan dengan bagaimana adaptasi bayi pada periode
neonatal ini. Adaptasi yang baik akan memastikan bayi terus tumbuh dan berkembang sesuai
dengan milestone perkembangan.
Anamnesis
Perlu dilakukan pada ibu hamil, tentu saja mencakup riwayat kehamilan ibu secara
keseluruhan:1,2
1. Riwayat kehamilan sekarang
1
Pada riwayat kehamilan sekarang, perlu ditanyakan kapan hari terakhir
menstruasi pada pasien dan berapa lama siklus mestruasinya berlangsung?
Sudah berapa bulan kehamilan dijalani? Pernahkah ada perdarahan,
diabetes, anemia, hipertensi, infeksi saluran kemih atau masalah selama
kehamilan? Gejala apa yang menyertai kehamilan pasien, misalnya seperti
mual, muntah, nyeri tekan pada payudara, dan frekuensi dalam berkemih?
2. Riwayat obstetrik dahulu
Pada anamnesis tahap ini, dapat ditanyakan mengenai riwayat lengkap
kehamilan sebelumnya meliputi riwayat paritas = jumlah persalinan bayi
yang berpotensial untuk lahir hidup beserta graviditas = jumlah kehamilan
yang pernah dijalani. Selain kedua hal di atas, perlu ditanyakan pula
mengenai cara persalinan sebelumnya, komplikasi yang terjadi pada ibu
atau bayi, kesulitan saat menyusui, berat lahir bayi yang pernah dilahirkan,
riwayat keguguran dan riwayat ginekologis terdahulu. Tanyakan juga
secara khusus mengenai penyakit jantung, murmur, diabetes, hipertensi,
anemia, epilepsi dan lakukan penilaian fungsi kardiorespiratorius pada ibu.
3. Riwayat bayi baru lahir
Riwayat bayi baru lahir mencakup informasi sebagai berikut,
identifikasi data bayi (nama, tanggal lahir, jenis kelamin, jenis
pemberian makanan),
riwayat keluarga (diabetes, kelainan kongenital, penyakit infeksi,
kelainan kardiopulmonal, kesehatan ayah, saudara kandung dan
anggota keluarga lain; kondisi medis atau sifat yang diturunkan
dari generasi ke generasi dalam keluarga, dan nenek moyang orang
tua,
data demografik orang tua (usia, pendidikan, pekerjaan, latar
belakang etnik dan ras),
riwayat ibu (graviditas, paritas, HPHT, taksiran partus, komplikasi
kehamilan sebelumnya, riwayat ginekologi dan riwayat
2
bedah/medis, riwayat antepartum seperti (1) penyalahgunaan zat
(2) diabetes gestasional (3) preeklampsia (4) perdarahan selama
kehamilan (5) ketidakukuran sesuai dengan usia kehamilan (6)
polihidramnion atau oligohidramnion, infeksi, obat-obatan yang
dikonsumsi),
hasil tes laboratorium ibu (golongan darah dan faktor Rh,
penapisan antibodi, titer rubela, serologi, panel hepatitis, nilai Hb
dan Hct, pemeriksaan TB),
persalinan dan pelahiran (tanggal dan waktu melahirkan, usia
gestasi saat melahirkan dengan menggunakan penanggalan dan
pemeriksaan USG, lama kala satu dan dua persalinan, gawat janin,
demam pada ibu, keberadaan mekonium, lama ketuban pecah,
presentasi, cara melahirkan, penggunaan alat bantu, analgesia dan
waktu, anestesi dan komplikasinya, ukuran plasenta, warna dan
bau plasenta, insersi tali pusat dan penampilan tali pusat termasuk
jumlah pembuluh darah dan ukurannya),
periode segera setelah lahir (nilai APGAR, resusitasi, tanda-tanda
vital, suhu, status vitamin K, kemampuan mengisap, menyusu,
keterjagaan, apakah sudah mengeluarkan air kemih atau
mekonium, apakah bayi melonjak-lonjak, mengeluarkan tangisan
yang tidak lazim),
hasil tes laborarium (kadar glukosa, golongan darah, faktor Rh, tes
Coomb, Hct.
Pemeriksaan fisik
Dapat dilakukan dengan urutan tertentu, bergantung pada status bayi. Pada pengkajian
penampilan umum neonatus, periksa hal-hal sebagai berikut:2
4. Tonus otot
Penilaian tonus otot secara umum dan posisi spontan. Opistotonus (leher
ekstensi) dapat menandai kerusakan otak, asfiksia kelahiran, atau kelainan
3
neurologis. Bayi yang prematur dapat terlihat seperti penampilan tungkai
kodok.
5. Gerakan spontan
Kurang gerak, asimetris, atau gemetar dapat mengindikasikan asfiksia
kelahiran kesulitan bernapas, disfungsi neurologis, atau prematuritas
6. Status atau tingkat keterjagaan
Bayi dapat tidur dangkal atau dalam, dapat terjaga dan melakukan gerakan
kecil atau aktif, atau dapat menangis. Perhatikan penurunan gerakan di
antara status terjaga.
7. Gerakan motorik keseluruhan
Bayi harus memperlihatkan gerakan yang sesuai di antara status terjaga.
Kakinya melakukan gerakan seperti mengayuh sepeda atau menendang
atau memukul-mukul konstan tanpa distimulasi; gerakan yang lemah atau
asimetris merupakan suatu kelainan, melonjak ketika sedang mengisap
dapat merupakan tanda ada masalah neurologis, hipokalsemia,
hipoglikemia, atau iritabilitas yang dikaitkan dengan penggunaan obat ibu,
sementara melonjak-lonjak yang berhenti saat mengisap ialah aktivitas
yang fisiologis yang normal.
8. Refleks Moro
Berlangsung paling lama 4 bulan
9. Menangis
Dapat diredakan? Lemah? Bernada tinggi? Tangisan disertai suara
melengking dihubungkan dengan peningkatan tekanan kranial atau
kecanduan obat. Tangisan nada rendah, tidak sering, kasar dapat
dihubungkan dengan hipotiroidisme. Suara cri du chat terdengar seperti
suara meong kucing dan dapat menjadi indikasi defek kromosom. Tidak
4
ada tangisan yang dapat memberi kesan untuk retardasi mental atau
penyakit berat.
10. Berat, panjang, nadi, pernapasan, suhu
Suhu normal per rektal adalah 37,6–37,8o C
11. Kondisi kulit
Bayi postmatur memiliki kulit yang lebih pucat, lebih tebal, yang dapat
mengelupas, sedangkan bayi prematur memiliki kulit tipis, rapuh, yang
cenderung berwarna merah gelap yang mudah berdarah serta mudah
memar. Kondisi kulit lain yang patut dilihat ialah akrosianosis (kondisi
kulit yang normal selama satu hari, ditandai dengan sianosis pada
ekstemitas), sianosis (kadang sulit dievaluasi karena polisitemia pada bayi
baru lahir, dapat dimunculkan dengan menekan-nekan kulit bayi seperti
saat memeriksa adanya ikterik), ikterik (dikaji dengan cara menekan-
nekan kulit sesaat, dan perlu dicatat kadarnya), palor (indikasi untuk
edema, asfiksia, syok, dimana kepala bayi, lengan kanan dan dada
berwarna merah muda, bagian tubuh lainnya pucat atau sianosis), lesi,
kelembaban dan lanugo (merupakan bukti trauma lahir dan pigmentasi)
12. Pemeriksaan kepala
Dinilai dari segi bentuk dan kesimetrisan, proporsi terhadap tubuh dan
wajah, lingkar kepala yang diukur di titik di atas telinga dimana lingkar ini
dapat berubah jika molase hilang. Lingkar kepala normal adalah 32-38 cm
pada rata-rata bayi cukup bulan. Kepala yang berukuran sangat besar
dapat mengindikasikan adanya hidrosefalus. Periksa juga apakah terdapat
molase yang merupakan tumpang tindih tulang oksipital dan tulang frontal
oleh tulang parietal. Pemeriksaan sutura dan fontanel anterior/posterior
penting untuk dievaluasi. Apakah terdapat pula sefalohematoma yang
merupakan kondisi yang didapat selama persalinan dan pelahiran,
perdarahan subperiosteum ini terbatas pad satu tulang, biasanya tulang
5
parietal dan tidak menindih sutura, berlangsung sekitar 8 minggu. Kaput
suksedaneum pada bayi merupakan pembengkakan kulit kepala, yang
terlihat melalui serviks, memar dapat terlihat dan menindih garis sutura.
13. Pemeriksaan wajah
Dinilai berdasarkan bentuk dan ekspresi wajah, bulu mata dan alis mata
serta simetris atau tidak saat istirahat dan selama menangis dan mengisap.
Ketidaksimetrisan dapat terjadi akibat hipoplasia atau palsi pada saraf
kranial tujuh.
14. Pemeriksaan mata
Asimetri pada ukuran mata merupakan gejala abnormal, ukuran salah satu
mata yang kecil atau salah satu besar.
15. Pemeriksaan hidung
Merupakan jalur udara utama jalan napas dan harus diperiksa apakah ada
tanda-tanda obstruksi.
16. Pemeriksaan mulut
Seorang bayi akan membuka mulutnya jika tekanan lembut ke arah bawah
dilakukan pada dagu. Palatum diperiksa apakah ada sumbing dan dipalpasi
apakah ada belahan submukosa. Rongga mulut harus diperiksa apakah ada
gigi, kista atau sariawan.
17. Pemeriksaan dada
Cek apakah bayi berwarna kemerahan dan tidak sesak napas
18. Pemeriksaan jantung
6
Teliti bagian dada dimana apeks dapat diraba dan detakan jantung terasa
kuat. Murmur jantung pada usia ini sangat sering terjadi dan terkait
dengan proses transisi dari pola sirkulasi janin ke pola sirkulasi dewas.
19. Pemeriksaan abdomen
Bagian tepi hati biasanya dapat dipalpasi 1-2 cm di bawah tepi kosta
kanan dan limpa dapat diraba dengan ujung jari pada sekitar 20% bayi
normal. Bagian tepi bawah dari kedua ginjal mungkin bisa dipalpasi.
20. Pemeriksaan sela paha
Pastikan bahwa pulsasi kedua arteri femoralis dapat teraba, bila pulsasi ini
tidak dapat menunjukkan gejala koarktasio aorta. Periksa apakah ada
hernia.
21. Pemeriksaan genitalia
Periksa dengan jelas apakah organ genitalia menunjukkan laki-laki atau
perempuan. Jika meragukan, jangan menuliskan jenis kelaminnya. Jika
laki-laki periksa apakah kedua testis berada di dalam skrotum dan meatus
uretra berada pada tempat yang seharusnya. Pada anak perempuan, periksa
genitalia dan ingat bahwa perdarahan kecil atau pengeluaran cairan
merupakan hal yang normal akibat pengaruh hormon maternal dan
plasental.
22. Pemeriksaan anus
Tanyakan apakah bayi telah mengeluarkan mekonium dan periksa apakah
anus ada dan berada pada tempat yang normal.
23. Pemeriksaan tulang belakang
Periksa bayi apakah ada skoliosis, seluruh garis tengah dorsal harus
diperiksa apakah ada pembengkakan atau gumpalan, nevi, sinus yang
dapat menunjukkan adanya kelainan medulla spinalis.
7
24. Pemeriksaan panggul
Sebaiknya dilakukan paling akhir karena bersifat tidak menyenangkan
bagi bayi.
25. Pemeriksaan SSP
Pemeriksaan neurologis secara menyeluruh akan sangat memakan waktu
dan menuntut keterampilan serta pengalaman tersendiri. Amati gerakan
spontan bayi sambil melakukan pemeriksaan, amati simetris atau tidak.
Tanyakan kebiasaan makan bayi. Penilaian tonus otot dilakukan dengan
mengangkat bayi dan memegangnya pada daerah ventral otot.
26. Pemeriksaan refleks primitif
Refleks primitif mencakup refleks menggenggam tangan dan kaki sejak
lahir hingga usia 4 bulan, refleks Moro/refleks kejut sejak lahir hingga
usia 4 bulan; diperiksa dengan mengangkat bayi dengan menyangga
kepala dan biarkan kepala terjatuh beberapa sentimeter, bayi akan tampak
terkejut, melemparkan tangan ke luar dan kemudian meletakkan kembali
di badannya, asymmetric tomic neck reflex (ATNR) sejak lahir hingga usia
7 bulan, dan refleks menghisap/rooting sejak lahir dimana saat menyentuh
sekitar wajah bayi, ia akan berputar, membuka mulutnya seolah-olah akan
menghisap jari. Refleks Moro dan ATNR yang persisten adalah abnormal
dan dapat menjadi indikasi adanya palsi serebral.2-3
27. APGAR Score
APGAR Score ialah metode evaluasi neonatus yang diperkenalkan oleh
dr.Virginia Apgar pada tahun 1953. Metode ini didasarkan pada 5 tanda
yang mudah untuk ditentukan, dengan penilaian dari 0,1 dan 2. Jumlah
skor 10 mengindikasikan bayi pada kondisi yang paling baik, sedangkan
skor kurang dari 3 menandakan adanya depresi kelahiran sedang-berat.
Saat ini, penilaian APGAR dilakukan pada 1, 5 dan 10 menit. Pada
prakteknya, aktivitas pernapasan, detak jantung dan warna ialah indikator
8
paling baik untuk kebutuhan resusitasi, bukanlah skor APGAR 1 menit.
Bradikardia pada neonatus ialah hal yang paling berkaitan dengan
aktivitas pernapasan yang inadekuat. Lebih jauh, perhatian harus
dipusatkan untuk memastikan keberadaan jalur pernapasan yang tetap dan
mendukung proses pernapasan bayi. Apabila sirkulasi diperbaiki dengan
meningkatkan detak jantung maka akan berakhir pada perubahan warna
bayi yang lebih baik. Sebagai tambahan, warna, tonus otot dan iritabilitas
refleks merupakan kondisi yang berkaitan dengan usia gestasi bayi dan
maturitas fisiologis bayi. Semakin preterm seorang bayi, maka semakin
berkurangnya pula tonus otot dan iritabilitas refleks yang berkurang pula.
APGAR sebaiknya dinilai seiringan dengan kegiatan resusitasi bayi, untuk
melengkapi riwayat penampilan fisik bayi.
28. Ballard Score untuk Menentukan Usia Kehamilan
Pada 1979, para peneliti menemukan dan mempresentasikan metode baru
yang disederhanakan untuk menentukan usia kehamilan/gestasi. Pada
kenyataannnya, kriteria yang digunakan pada metode Dubowitz tidak
sebaik itu untuk mengindikasikan usia kehamilan seperti yang lainnya.
Studi ini kemudian menjadi pemeriksaan dengan sistem skoring yang
terdiri atas skor atas 6 tanda neurologik dan 6 tanda fisik. Sistem ini
diketahui sebagai Ballard Score, dengan menggunakan skoring ini maka
usia kehamilan dapat ditentukan dari usia kehamilan 22 hingga 44
minggu. Sistem skoring Ballard merupakan sistem yang paling dapat
diandalkan ketika pemeriksaan diselesaikan sebelum 42 jam kehidupan,
dengan waktu ideal pemeriksaan antara 30 dan 42 jam setelah persalinan.
Dengan kategori yang lebih sedikit, sistem Ballard tidak menghabiskan
begitu banyak waktu dibandingkan dengan sistem Dubowitz.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang umumnya dilakukan dengan menggunakan USG pada minggu
ke-12. Akan tetapi penilaian ini juga diperlukan pada minggu ke-18 dan 20. Dalam melakukan
9
pemeriksaan USG ini dilakukan pengukuran diameter biparietalis, rasio lingkar kepala terhadap
abdoomen. Melalui pemeriksaan USG ini dapat diketahui pola retardasi pertumbuhan janin,
yaitu: 1. Pertumbuhan janin yang terus-menerus berada 2 simpang baku di bawah umur
kehamilan rata-rata. 2. Adanya kurva pertumbuhan janin yang normal pada suatu kehamilan
namin melambat secara mendadak atau mendatar. Melalui pemeriksaan USG dapat diketahui
kelainan-kelainan pertumbuhan janin.3
USG real time dapat mengidentifikasi kelainan plasenta dan anomali janin seperti hidrosefalus,
anensefalus, spina bifida, atresia duodenum, dan sebagainya. Selain dengan melakukan USG,
pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi kelainan pada janin adalah
dengan amniosentesis. Pengambilan cairan amnion dengan tujuan untuk mengetahui ada
tidaknya kelainan genetik dilakukan pada minggu ke-16 dan 18. Cairan-cairan amnion dapat
langsung digunakan untuk menganalisis asam amino, enzim, dan kelainan produk-produk
metabolik.
Melalui pemeriksaan rongten, paru-paru memiliki kekhasan tetapi tidak patognomonis
meliputi granularitas parenkim retikular halus dan bronkogram udara yang seing menonjol pada
awal di lobus bawah kiri karena penumpangan bayangan jantung. Pada pemeriksaan awal akan
didapatkan hasil yang normal. Gambaran khas akan didapatkan pada 6-12 jam.
Indeks kimia maturitas janin yang paling baik adalah dengan penentuan kreatinin dan
lesitin cairan amnion yang menggambarkan maturitas ginjal dan paru-paru janin. Lesitin
dihasilkan di paru-paru oleh alveolus tipe 2 dan akhirnya mencapai cairan amnion melalui aliran
keluar trakea. Pada pertengahan trimester ke-3 kadarnya hampir sama dengan kadar
spingomielin, dan sesudahnya spingomielin tetap konstan dalam cairan amnion sedangkan lesitin
naik. Pada rata-rata minggu ke-35 rasio antara lesitin dan spingomielin adalah 2:1 dan
menunjukkan bahwa paru-paru janin sudah matang. Maturitas paru yang lebih awal terjadi jika
ada pemisahan plasenta prematur yang berat, ketuban pecah prematur, ketagihan narkotik, atau
penyakit hipertensi dan vaskular ginjal pada ibu. Penundaan maturasi paru dapat menandakan
adanya hidrops fetalis atau diabetes yang tidak disertai penyakit vaskuler. Rasio lesitin dan
spingomielin 2:1 atau lebih dapat menurunkan insiden terjainya penyakit membran hialin. Pada
kehamilan yang berisiko tinggi, dapat dilakukan penentuan fosfatidilkolin jenuh, benda-benda
osmofilik, atau kadar fosfatidilgliserol dalam cairan amnion.
10
Amniosentesis memliki resiko untuk terjadinya cedera langsung pada janin berupa akibat
pungsi plasenta dan perdarahan denan cedera sekunder pada janin, akibat stimulasi kontraksi
uterus dan persalinan prematur, amnionitis, dan sensitasi darah janin oleh ibu. Jika amniosentesis
dilakukan pada awal kehamilan maka resiko terkena pada janin akan semakin besar.
Selain melakukan pemeriksaan-pemeriksaan tersebut, pemeriksaan laboratorium yang
dapat dilakukan meliputi pemeriksaan darah untuk hitung darah lengkap dengan hitung jenis,
elektrolit serum, dan glukosa. Nilai gas darah serta asam basa dapat membantu menegakkan
diagnosis klinis.
Hasil laboratorium akan menunjukkan adanya hipoksemia kemudian hipoksemia prograesif,
hiperkarbia, dan berbagai asidosis metabolik.4
.
a. Analisa gas darah (AGD):
Dilakukan untuk menentukan adanya gagal napas akut yang ditandai dengan
PaCo2 > 50 mm Hg, PaO2 < 60 mmHg, atau saturasi oksigen arterial < 90%.
Dilakukan pada BBL yang memerlukan suplementasi oksigen lebih dari 20
menit. Darah arterial lebih dipilih dianjurkan.
Diambil berdasarkan indikasi klinis dengan mengambil sampel darah dari
arteri umbilikalis atau pungsi arteri
Menggambarkan gambaran asidosis metabolik atau asidosis respiratorik dan
keadaan hipoksia
Asidosis respiratorik terjadi karena atelektasis alveolar dan/atau overdistensi
saluran napas bawah
Asidosis metabolik, biasanya diakibatkan asidosis laktat primer yang
merupakan hasil dari perfusi jaringan yang buruk dan metabolisme anaerobik.
Hipoksia terjadi akibat pirau dari kanan ke kiri melalui pembuluh darah
pulmonal, PDA dan/atau persisten foramen ovale
Pulse oxymeter digunakan sebagai cara non invasip untuk memantau saturasi
oksigen yang dipertahankan pada 90-95%.
b. Elektrolit
11
Kenaikan kadar serum bikarbonat mungkin karena kompensasi metabolik dari
hiperkapnea kronik
Kadar glukosa darah untuk menentukan adanya keadaan hipoglikemia
Kelainan elektrolit ini dapat juga diakibatkan oleh kondisi kehamilan tubuh;
hipokalemia, hipokalsemia dan hipofosfatemia dapat mengakibatkan
gangguan kontraksi otot
c. Pemeriksaan jumlah sel darah: polisetemia mungkin karena hipoksemia kronik.5,6
Diagnosa Kerja
Berdasarkan usia kehamilan neonatus baru lahir dapat dibedakan menjadi 3, yaitu: 1.
Cukup bulan. Dikatakan cukup bulan apabila masa kehamilan berlangsung selama 37-42
minggu. 2. Kurang bulan jika sebelum 37 minggu bayi sudah dilahirkan. Bayi kurang bulan
dapat disebabkan oleh berbagai macam hal 3. Lebih bulan jika usia kehamilan mencapai lebih
dari 42 minggu.
Berdasarkan berat badan dan usia kehamilan, neonatus dibedakan menjadi: 1. Neonatus cukup
bulan sesuai usia kehamilan. 2. Neotnatus cukup bulan kecil untuk masa kehamilan. 3. Neotanus
cukup bulan besar untuk usia kehamilan. 4. Neonatus kurang bulan sesuai masa kehamilan. 5.
Neonatus kurang bulan kecil untuk masa kehamilan. 6. Neonatus kurang bulan besar untuk masa
kehamilan. 7. Neonatus lebih bulan sesuai masa kehamilan. 8. Neonatus lebih bulan kecil masa
untuk masa kehamilan. 9. Neonatus lebih bulan besar untuk masa kehamilan. Klasifikasi
tersebut diukur berdasarkan kurva lub-chenko yang dapat dilihat pada gambar 1.
Berdasarkan kurva lub-chenko, neonatus kecil untuk masa kehamilan menandakan berat lahir
dibawah persentil 3 untuk jenis kelamin dan masa kehamilan. Neonatus besar untuk masa
kehamilan berarti berat lahir diatas persentil 97 untuk jenis kelamin dan masa kehamilan.
Sedangkan neonatus sesuai masa kehamilan menandakan berat lahir diantara persentil 3 dan 97
untuk jenis kelamin dan masa kehamilan.
Berdasarkan kurva lub-chenko bayi dengan usia kehamilan 33 minggu dan berat 1200 gram
merupakan keadaan dimana neonatus mengalami berat badan rendah dan kecil untuk usia
kehamilan 33 minggu. Pada umumnya bayi dengan berat badan lahir rendah merupakan bayi
yang terlahir secara prematur.
12
Kelahiran prematur merupakan keadaan dimana 1. Kehamilan lebih dari 20 minggu tapi kurang
dari 37 minggu. 2. Kontraksi uterus teratur dan nyeri yang terjadi paling sedikit dua kali setiap
sepuluh menit selama paling sedikit 30 menit. 3. Terjadi penipisan atau dilatasi serviks. 4.
Selaput ketuban utuh.
Gambar 1. Kurva Lub-Chenko. Dikutip dari Widjanarko Bambang. Perumbuhan janin. 31
Agustus 2009. Dikutip dari http://reproduksiumj.blogspot.com/2009/08/pertumbuhan-janin.html,
3 Juni 2015.
Bayi dengan kekurangan berat badan mempunyai resiko hipoglikemi. Selain itu, bayi yang lahir
secara prematur memiliki resiko terkena penyakit, diantaranya: 1. Sindrom disstress pernafasan
yang disebabkan oleh defisiensi surfaktan. 2. Apnu berulang. 3. Pengaturan suhu yang kurang
baik. 4. Masalah pada fungsi ginjal, keseimbangan cairan, dan elektrolit. 5. Nutrisi. 6. Paten
duktus arteriosus. 7. Perdarahan intraventrikel dan kerusakan sistem saraf pusat. 8. Anemia. 9.
Enterokolitis nekrotikans. 10. Ikterus.
Respiratory distress syndrome
13
Respiratory distress syndrome atau sindrom distres pernafasan dikenal juga sebagai
penyakit membran hialin. Merupakan penyakit yang paling sering menyertai bayi prematur dan
bersifat sangat serius. Pada paru-paru terdapat surfaktan yang dapat menurunkan tegangan
permukaan antara gas inspirasi dan cairan yang melalui saluran nafas. Jika tidak terdapat
surfaktan maka paru-paru tidak dapat berkembang dan cenderung mengempis. Belum matangnya
struktur paru dan dinding dada akan memberikan masalah yang lebih serius kepada bayi. Hal ini
akan mengakibatkan terjadinya ateletaksis yang mengganggu pertukaran udara. Penderita RDS
sering kali akan meningkatkan usaha bernafas yang jika tidak dapat dipertahankan akan
menyebabkan retensi karbon dioksida dan menimbulkan serangan paru. RDS akan mengalami
resolusi setelah 3-7 hari seiring dengan terbentuknya surfaktan.
Neonatus yang mengalami sindrom distress pernafasan, gejala yang ditimbulkan akan bertambah
berat jika kebutuhan oksigen meningkat. Hipotermi merupakan salah satu faktor yang
menyebabkan terjadinya peningkatan kebutuhan terhadap oksigen, sehingga neonatus prematur
yang mengalami hipotermi akan memperberat sindrom distress pernafasan.
Pada bayi prematur, fungsi ginjal relatif buruk. Jika ditambah dengan kehilangan cairan yang
besar tetapi tidak terasa melalui permukaan kulit yang permeabilitasnya tinggi maka akan
mengakibatkan dehidrasi dan gangguan elektrolit. Dinding ventrikel lateral bayi terdapat
pembuluh-pembuluh kapiler yang rentan sehingga mudah terjadi perdarahan selama hipoksia
atau Respiratory distress syndrome. Pendarahan yang terjadi bisa lokal ataupun meluas.
Gangguan distress pernafasan yang dialami oleh neonatus prematur memiliki kesamaan dengan
takipnea bayi baru lahir sementara yang disebut sebagai sindrom kegawatan pernapasan tipe 2.
Takipnea ini dapat dialami oleh bayi preterm atau bayi cukup bulan pasca-persalinan pervaginam
atau operasi sesar. Jika terjadi sangat dini pada umumnya akan disertai dengan retraksi atau
mendengkur saat ekspirasi dan kadang-kadang sianosis yang dapat disembuhkan dengan oksigen
minimal. Penderita umumnya sembuh dengan cepat dalam 3 hari meskipun terlihat menderita
sakit berat dan memiliki perjalanan yang lama. Paru-paru umumnya bersih tanpa ronki halus dan
rongten dada menunjukan corak vaskular paru yang jelas, garis-garis cairan dalam fisur, aerasi
berlebihan, diafragma datar dan kadang-kadang ada cairan pleura. Neonatus dengan takipnea
tidak ditemukan adanya hipoksemia, hiperkapnia, dan asidosis. Umumnya takipnea sulit
dibedakan dengan penyakit membran hialin.4, 7-9
14
Diagnosa Banding
Takipnea sementara bayi baru lahir (TSBBL)
Takipnea sementara bayi baru lahir (TSBBL) merupakan keadaan yang sembuh sendiri
yang ditandai dengan takipnea, retraksi ringan, dan kadang-kadang mendengkur, biasanya tanpa
tanda-tanda distress pernapasan berat. Bila ada sianosis, biasanya memerlukan O2 tidak lebih
dari 30-40%. TSBBL biasanya ditemukan pada bayi cukup bulan yang dilahirkan dengan seksio
sesaria tanpa proses persalinan sebelumnya. Bayi dari ibu diabetes dan bayi dnegan keinginan
napas buruk akibat obat-obatan analgesik yang melewati plasenta, juga berisiko. Roentgenogram
dada menunjukkan corak pembuluh darah sentral menonjol, adanya cairan dalam fissura paru,
aerasi berlebihan, dan kadang-kadang sedikit efusi pleura. Bronkogram udara dan pola
retikulogrnular tidak ditemukan pada TSBBL, dan jika ada memberi kesan paru lain seperti RDS
atau pneumonia. TSBBL dapat disebabkan oleh cairan paru yang tertahan atau penyerapan cairan
paru yang lambat.2
Asfiksia Neonatorum
Asfiksia neonatorum ialah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas secara
spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan
hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan, atau
segera setelah bayi lahir. Akibat-akibat asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi
tidak dilakukan secara sempurna. Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi bertujuan
mempertahankan kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut yang mungkin
timbul.
Faktor risiko
Faktor risiko yang dominan adalah
Prematuritas, karena surfaktan hanya dihasilkan pada akhir trimester kedua dan awal
timester ketiga
Faktor risiko lainnya adalah:
Diabetes melitus maternal
15
Sepsis
Hipoksemia dan asidemia
Hipotermia .10
Patofisiologi
Persalinan preterm dilakukan dengan melihat faktor resiko mayor dan minor. Faktor
resiko minor antara lain: 1. Penyakit yang disertai demam. 2. Perdarahan pervaginam pada
kehamilan lebih dari 12 minggu. 3. Riwayat pielonefritis. 4. Merokok lebih dari 10 batang
perhari. 5. Riwayat abortus pada trimester ke-2. 6. Riwayat abortus pada trimester 1 lebih dari 2
kali.
Faktor resiko mayor, antara lain: 1. Kehamilan multipel. 2. Hidramnion. 3. Anomali uterus. 4.
Serviks terbuka lebih dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu. 5. Serviks mendatar atau memendek
kurang dari 1 cm pada kehamilan 32 minggu. 6. Riwayat abortus pada trimester ke-2 lebih dari
satu kali. 7. Riwayat persalinan preterm sebelumnya. 8. Operasi abdominal pada kehamilan
preterm. 9. Riwayat operasi konisasi. 10. Iritabilitas uterus. Seseorang dikatakan mengalami
resiko tinggi jika dijumpai satu atau lebih faktor resiko mayor atau bila ada dua atau lebih faktor
resiko minor atau bila ditemukan keduanya.
Kegagalan mengembangkan kapasitas residu fungsional dan kecenderungan paru-paru terkena
atelektasis mempunyai korelasi dengan tegangan permukaan yang tinggi dan tidak adanya
surfaktan. Unsur utama surfaktan adalah dipalmitilfosfatidilkolin atau lesitin, fosfatidilgliserol,
apoprotein, dan kolesterol. Dengan bertambahnya umur kehamilan terjadi penambahan jumlah
fosfolipid yang disintesis, dan disimpan di dalam sel alveolar tipe 2. Adanya imaturitas, jumlah
yang dihasilkan atau dilepaskan mungkin tidak cukup memenuhi kebutuhan pasca-lahir. Kadar
surfaktan tertinggi dalam paru janin yang dihomogenasi pada umur kehamilan 20 minggu, tetapi
belum mencapai permukaan paru sampai saatnya tiba. Surfaktan tampak dalam cairan amnion
antara 28-32 minggu dan kadar surfaktan paru matur biasanya muncul sesudah 35 minggu.
Sintesis surfaktan sebagian bergantung pada pH, suhu, dan perfusi normal. Asfiksia, hipoksemia,
dan iskemia paru, terutama dalam hubungannya dengan hipovolemia, hipotensi, dan stres dingin,
dapat menekan sintesis surfaktan. Lapisan epitel paru dapat juga terkena jejas akibat kadar
oksigen yang tinggi dan pengaruh manajemen oleh operator respirasi, mengakibatkan
16
penurangan surfaktan yang lebih lanjut. Atelektasis alveolar, formasi membran hialin, dan edema
interstisial membuat paru-paru kurang lentur, memerlukan tekanan yang lebih besar untuk
mengembangkan alveolus kecil dan jalan nafas.
Pada bayi yang mengalami penyakit distress pernafasan, dada bawah tertarik ke dalam ketika
diafragma turun dan tekanan intratoraks menjadi negatif sehingga jumlah tekanan intratoraks
yang dihasilkan terbatas dan timbul kecenderungan ateletaksis. Dinding dada bayi preterm sangat
lemah memberikan lebih sedikit tekanan daripada dada bayi yang matur terhadap kecenderungan
alamiah paru untuk kolaps. Dengan demikian pada akhir ekspirasi, volume toraks dan paru
cenderung mendekati volume residu sehingga terjadi ateletaksis. Terjadinya ateletaksis
mengakibatkan adanya perfusi pada alveolus tapi tidak ada ventilasi dan menyebabkan hipoksia.
Pengurangan kelenturan paru, volume tidal yang kecil, kenaikan ruang mati fisiologis, kenaikan
kerja pernapasan dan ventilasi alveolar yang tidak cukup akhirnya mengakibatkan hiperkarbia.
Kombinasi hiperkarbia, hipoksia, dan asidosis menyebabkan vasokonstriksi arteri pulmonalis
dengan kenaikan shunt dari kanan ke kiri melalui foramen ovale, duktus arteriosus, dan dalam
paru-paru itu sendiri. Aliran darah paru berkurang, dan jejas iskemik pada sel menghasilkan
surfaktan dan terhadap bantalan vaskular mengakibatkan efusi dan proteinaseosa ke dalam ruang
alveolar. Proses ini dapat dilihat pada gambar 2. Jika neonatus terlahir dengan keadaan yang
gawat, membran hialin akan jarang terlihat lebih awal dari 6-8 jam setelah lahir.4
17
Gambar 2. Patofisiologi penyakit membran hialin. Dikutip dari Arvin Behrman Kliegman.
Nelson ilmu kesehatan anak. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. 2000: 593.
Etiologi
Bayi lahir prematur dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, diantaranya yaitu: 1.
Hipertensi. 2. Perkembangan janin terhambat. 3. Solutio plasenta. 4. Plasenta previa. 5. Kelainan
rhesus. 6. Diabetes. 7 . Kelainan kontraksi uterus. 8. Ketuban pecah dini. 9. Serviks inkompeten.
10. Kehamilan ganda.11
Epidemiologi
Angka kematian neonatus dengan berat lahir rendah sekitar 40 kali bayi dengan berat
badan normal yang lahir cukup bulan. Bayi kurang bulan yang mengalami serebral palsy 10 kali
lebih tinggi dan defisiensi mental 5 kali lebih tinggi dibanding cukup bulan.
Neonatus yang mengalami penyakit membran hialin terjadi 60%-80% terjadi pada bayi yang usia
kehamilannya kurang dari 28 minggu, 15%-30% pada bayi 32-36 minggu, dan sekitar 5% pada
bayi cukup bulan. Insiden tertinggi pada bayi preterm laki-laki atau kulit putih.9
Gejala Klinis
Gejala-gejala yang sering menyertai terjadinya persalinan antepartum, antara lain: 1.
Pendarahan pervaginam. 2. Peningkatan discharge vagina dan tekanan vagina. Bayi-bayi yang
dilahirkan pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu dapat mengalami gangguan pernafasan
dikarenakan paru-paru pada usia 24-25 minggu belum mengalami pematangan. Penderita
sindrom distress pernafasan memiliki beberapa gejala, antara lain: 1. Takipnu(>60 kali
permenit). 2. Retraksi interkostal. 3. Retraksi subkostal. 4. Grunting. 5. Nafas cuping hidung. 6.
Sianosis.
Neonatus yang mengalami penyakit distress pernafasan akan meterlihat dalam beberapa menit
kelahiran, meskipun tanda-tanda tersebut tidak dapat dikenals elama beberapa jam sampai
pernafasan menjadi lebih cepat, dangkal bertambah sampai 60/menit. Neonatus dapat mengalami
asfiksia intrapartum atau kegawatan pernapasan dini yang berat jika berat badan urang dari 1000
gram. Hal ini dapat menyebabkan neonatus memerlukan resusitasi.
18
Gejala khas yang sering ditemukan, antara lain: 1. Takipnea. 2. Mendengkur jelas. 3. Retraksi
interkostal dan subkostal. 4. Pelebaran dan kehitaman pada cuping hidung. 5. Penambahan
sianosis rrelatif sering tidak responsif dengan pemberian oksigen. 6. Suara bisa norma atau
berkurang dengan kualitas tubuler yang kasar. 7. Pada inspirasi dalam terdengar ronki halus
terutama pada dasar paru posterior.
Penderita penyakit membran hialin jika tidak diobati dengan adekuat maka tekanan darah dan
suhu tubuh dapat turun, terjadi kelelahan, sianosis, pucat bertambah, dengkuran berkurang atau
menghilang karena keadaan memburuk. Apnea dan pernapasan yang tidak teratur terjadi ketika
bayi menjadi lelah dan ada tanda-tanda tidak menyenangkan sehingga harus diintervensi segera.
Penderita juga dapat mengalami asidosis respiratorik-metabolik, edema, ileus, dan oliguria.
Dengan adanya apnea maka terlihat tanda-tanda asfiksia.
Pada kasus ringan, gejala-gejala yang ditimbulkan akan mencapai puncak dalam 3 hari kemudian
terjadi perbaikan perlahan-lahan yang ditunjukkan dengan diuresis spontan dan kemampuan
oksigenasi bayi dengan kadar oksigen inspirasi yang lebih rendah. Jika terjadi kematian
umumnya terjadi pada hari ke-2 dan ke-7 yang disertai kebocoran udara alveolar dan perdarahan
paru atau interventrikular. Jika kasus berat dan diventilasi secara mekanis, mortalitasnya bisa
tertunda selama beberapa minggu atau beberapa bulan jika berkembang displasia
bronkopulmonal. 4,7,9
Diagnosis berdasarkan anamnesis, tanda-tanda fisik, rontgen toraks yang khas, dan perjalanan
klinis. Rontgen dada (setelah usia 4 jam) pada RDS menunjukkan:
Tampilan paru yang granular uniformis dan difus (ground glass) akibat atelektasis
Bronkogram udara- garis batas jalan napas besar yang terisi udara pada paru yang opak
Berkurangnya volume paru
Batas jantung yang tidak tegas karena lapangan paru yang opak (white out)
Selang trakea terpasang.10
Komplikasi
19
Komplikasi yang terjadi pada neonatus dengan sindrom distress pernafasan umumnya
disebabkan karena proses terapi. Dalam memberikan terapi harus diperhatikan kadar gas darah
atau homeostasis. Jika pemberian oksigen yang terlalu rendah dapat merusak paru dan jika
diberikan dalam dosis yang tinggi dapat menyebabkan retinopati. Selain itu, kadar
karbondioksida yang berlebih dapat menyebabkan terjadinya perdarahan otak, dan jika kadarnya
terlalu rendah dapat menyebabkan terjadinya iskemi otak.
Neonatus yang mengalami sindrom distress pernafasan yang berat dan dilakukan ventilasi dapat
mengalami displasia bronkopulmonal. Displasia bronkopulmonal disebabkan karena konsentrasi
oksigen yang tinggi dan tekanan udara positif yang tinggi. Beberapa neonatus yang mengalami
displasia bronkopulmonal membutuhkan terapi oksigen dalam waktu yang lama. Adanya
alveolar shear stress, volutrauma, saponifikasi hipokapnea, atelektasis absorpsi, dan radang
dapat menyababkan displasia bronkopulmonum. Rongten dada digambarkan sebgai perubahan
perlahan-lahan dari gambaran yang hampir keruh total dengan bronkogram udara dan emfisema
interstisial sampai gambaran daerah lusen, kecil, bundar, berselang-seling dengan daerah yang
densitasnya tidak teratur menyerupai spon.
Neonatus prematur seringkali mengalami kegagalan menutupnya duktus arteriosus dan dapat
menyebabkan terjadinya gagal jantung. Paten duktus arteriosus dapat diatasi dengan pemberian
inhibitor prostaglandin sintesis tetapi terkadang membutuhkan pembedahan.
Komplikasi yang paling serius adalah intubasi trakea berupa asfiksia karena obstruksi
pipa, henti jantung selama intubasi atau pengisapan, dan perkembangan selanjutnya yaitu
stenosis subglotis. Komplikasi lain meliputi perdarah dari trauma selama intubasi,
pseudodivertikula faring posterior, ekstubasi sukar sehingga memerlukan trakeostomi, ulserasi
lubang hidung akibat tekanan pipa, penyempitan permanen pada lubang hidung karena cedera
jaringan dan parut akibat iritasi atau infeksi sekitar pipa, erosi palatum, penarikan plika vokalis,
ulkus laring, papiloma plika vokalis, dan serak persisten, stridor aau edema laring.
Penatalaksanaan
Pencegahan yang paling baik dilakukan adalah mencegah terjadinya kelahiran prematur.
Pemeriksaan lingkar kepala janin dengan USG dan penentuan kadar lesitin dapat mengurangi
kemungkinan persalinan prematur. Pemantauan intrauteri pada masa antenatal dan pemantauan
20
intrapartum serupa dapat menurunkan risiko asfiksia janin yang dihubungkan dengan
peningkatan insiden dan keparahan penyakit membran hialin. Pemberian deksametason atau pun
betametason secara intramuskular pada 48-72 jam sebelum persalinan dengan umur kehamilan
32 minggu atau kurang sangat mengurangi insiden dan mortalitas serta morbiditas penyakit
membran hialin. Terapi glukokortikoid pranatal mengurangi keparahan RDS dan mengurangi
insidens komplikasi prematuritas lainnya dikarenakan bekerja sinergis dengan terapi surfaktan
eksogen pasca lahir. Pemberian satu dosis surfaktan ke dalam trakea bayi prematur sefera
sesudah lahir atau selama umur 24 jam dapat mengurangi mortilitas RDS tapi tidak mengubak
insiden DBP.
Penderita sindrom distress pernafasan akan mengalami resolusi atau perbaikan setelah 3-7 hari,
oleh karena itu setelah bayi dilahirkan maka kehidupannya harus dipertahankan dan harus
dihindari dari cedera. Mengendalikan ventilasi udara adalah cara utama dalam menjaga
kehidupan neonatus.
Surfaktan yang belum terbentuk dapat diatasi dengan memberikan pengganti melalui lubang
endotrakeal segera setelah bayi lahir. Hal ini dapat menurunkan mortalitas, mengurangi resiko
pneumotoraks, dan mengurangi resiko kerusakan paru. Selain itu, pada neonatus dengan
Respiratory distress syndrome harus dilakukan monitoring dengan sangat ceramat.
Penggunaan inkubator dan penghangat radian pada bayi yang lahir secara prematur membuat
neonatus menggunakan sedikit energinya dalam mempertahankan suhu tubuhnya. Hal ini dapat
menurunkan resiki bertambah beratnya sindrom distress pernafasan.
Bayi yang terlahir secara prematur membutuhkan nutrisi yang adekuat sehingga pertumbuhan
bayi dapat menyamai keadaannya dengan bayi yang terlahir normal. Jika bayi dalam keadaan
sehat, maka dapat diberikan susu, sebaiknya diberikan ASI karena dapat ditoleransi dengan baik,
mendukung pematangan usus, dan mengurangi risiko enterokolitis nekrotikans. Bayi dengan
berat badan sangat rendah harus ditambahkan protein selain ASI sehingga pertumbuhan anak
dapat berkembang dengan baik.
Perawatan suportif awal bayi BBLR terutama pada pengobatan asidosis, hipoksia,
hipotensi, dan hipotermia tampaknya mengurangi keparahan penyakit membran hialin. Terapi
memerlukan pemantauan terhadap frekuensi jantung dan pernafasan, tekanan oksigen, tekanan
21
karbondioksida, pH, bikarbonat, elektrolit arteri, glukosa darah, hematorkit, tekanan darah, dan
suhu. Kateterisasi arteri umbilikalis seringkali diperlukan. Kalori dan cairan harus diberikan
secara intravena. Untuk 24 jam pertama, 10% glukosa dan air harus diinfuskan melalui vena
perifer dengan kecepatan 65-75 ml/kg/24 jam. Kemudian elektrolit harus ditambahkan dan
volume cairan ditambah sedikit demi sedikit sampai 120-150 ml/kg/24 jam. Cairan yang
berlebihan turut menyebabkan berkembangnya duktrus arteriosus paten.
Bayi dengan penyakit membran hialin berat atau yang memiliki komplikasi akibat apnea teru-
menerus memerlukan bantuan ventilasi mekanis. Indikasi yang sesuai untuk menggunakannya
adalah: 1. pH darah arteri kuran dari 7,20. 2. PCO2 darah arteri 60mmHg atau lebih. 3. PO2 darah
arteri 50mmHg atau kurang pada kadar oksigen 70-100%. 4. Apneu menetap. Bantuan ventilisasi
dengan tekanan atau respirator konvensional aliran terbatas melalui pipa endotrakea juga dapat
mencakip tekanan akhir respirasi positif. Ventilisasi mekanis bertujuan memperbaiki oksigen dan
mengeliminasi karbondioksida tanpa menyebabkan barotrauma paru yang berlebihan atau
toksisitas oksigen. Kisaran nilai gas darah yang dapat diterima yang menyeimbangkan risiko
hipoksia dan asidosis dengan risiko ventilasi mekanis adalah PaO2 55-70 mmHG, tekanan
karbondioksida 35-55 mmHg dan pH 7,25-7,45. Selama ventilisasi mekanis, oksigenasi
diperbaiki dengan menambah FIo2 atau tekanan rata-rata jalan napas. Eliminasi karbondioksida
dicapai dengan menambh tekanan puncak inspirasi atau frekuensi ventilator.
Kisaran frekuensi ventilator konvensional adalah 10-60 x/menit, ventilasi pancaran frekuensi
tinggi adalah 150-600/menit dan osilator adalah 300-1800/menit. Pemasukan surfaktan eksogen
multidosis ke dalam endotrakea bayi BBLR memerlukan 40% oksigen dan ventilasi mekanis
untuk pengobatan RDS telah memperbaiki ketahan hidup dan mengurangi insidens kebocoran
undara paru tetapi tidak menurunkan insiden displasia bronkopulmonum secara konsisten.
Perngaruh yang terjadi segera meliputi perbaikan perbedaan tekanan oksigen alveolar arteri,
berkurangnya tekanan rata-rata jalan napas oleh ventilator, kelenturan paru bertambah dan
perbaikan gambaran roentgen dada. Surfaktan eksogen yang digunakan adalah yang berasal dari
paru sapi yang dicincang halus dengan ekstraksi lipid dan diperkaya dengan fosfatidilkolin, asam
palmitat, dan trigliserida. Surfaktan tersebut disebut sebagai survanta. Surfaktan lain yang dapat
diguanakan adalah eksosurf yang merupakan surfaktan sintetis yang mengandung
22
dipalmitoilfosfatidilkolin, heksadekanol, dan tiloksapol. Heksadekanol dan tiloksapol dapat
memperbaiki penyebaran surfaktan sepanjang alveolus .
Pengobatan dimulai pada usia 24 jam pertama, dan diberikan melalui pipa endotrakea setiap 12
jam dengan total 4 dosis.4,7.
Prognosis
Penyediaan awal pengamatan intensif dan perawatan bayi baru lahir yang memiliki risiko
tinggi dapat secara bermakna mengurangi morbiditas dan mortalitas. Akan tetapi hasil yang baik
bergantung dengan fasilitas perawatan rumah sakit, dan tidak adanya komplikasi seperti asfiksia
janin atau asfiksia lhair berat, perdarahan intrakranium atau malformasi kongenital yang tidak
dapat diperbaiki. Terapi surfaktan dapat mengurangi mortalitas RDS hingga 40%. Secara jangka
panjang, penderita RDS yang dapat tercapai fungsi paru yang normal dapat bertahan hidup,
namun dapat mengalami gangguan paru dan perkembangan saraf.4
Kesimpulan
Surfaktan merupakan zat yang dibutuhkan untuk menjaga alveolus baru terbentuk ketika
usia kehamilan 35 minggu. Kehamilan preterm memiliki resiko untuk terkena berbagai macam
penyakit, yang paling sering adalah respiratory distress syndrome atau penyakit membran hialin
yang jika tidak ditangani akan menimbulkan dilatasi bronkopulmonal. Ibu hamil 33 minggu usia
30 tahun mengalami perdarahan pervagina karena placenta previa, bayi lahir 1200 gram SC
meringis, ekstremitas sedikit fleksi dan tampak biru, nafas ireguler dengan retraksi dada
memiliki skor APGAR 5 dan mengalami respiratory distress syndorme et causa neonatus kurang
bulan kecil masa kehamilan.
Daftar Pustaka
1. Gleadle Jonathan. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga. 2007:
90-1.
2. Behrman RE. Esensial pediatri nelson.Edisi 4. Jakarta: EGC, 2010.h. 223, 237
3. Matondang Corry S, Wahidiyat Iskandar, Sastroasmoro Sudigdo. Diagnosis fisik pada
anak. Edisi ke-2. Jakarta. Sagung Seto. 2007: 6-34.
23
4. Arvin Behrman Kliegman. Nelson ilmu kesehatan anak. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
2000: 561-600.
5. Syifa. Diagnosis criteria, scoring, and trias in pediatric. 29 November 2011. Dikutip dari
http://armendasyifa.wordpress.com/2011/11/29/criteria-diagnosis-scoring-and-trias-in-
pediatrics/, 4 Mei 2013.
6. Kosim MS. Buku ajar neonatologi: gangguan napas pada bayi baru lahir. Edisi 1. Jakarta:
badan penerbit IDAI, 2008.h.132-143
7. Meadow Roy, Newel Simon. Lecture notes pediatrika. Edisi ke-7. Jakarta: Erlangga.
2005: 69-74.
8. Widjanarko Bambang. Perumbuhan janin. 31 Agustus 2009. Dikutip dari
http://reproduksiumj.blogspot.com/2009/08/pertumbuhan-janin.html, 3 Juni 2013.
9. Benson Ralph C, Pernoll Martin L. Buku saku obstetri dan ginekologi. Edisi ke-9. Jakarta:
Buku Kedokteran EGC. 2009: 343-5.
10. Lisaauer T and Avroy F. At a glance: neonatologi. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008.h.68-
73
11. Editor. Kapita selekta kedokteran. Jilid 1. Edisi ke-3. Jakarta: Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran UI. 2001: 274-5
12. Alpers A. Buku ajar pediatri rudolph. Edisi 20. Jakarta: EGC, 2006.h.265-9, 274-7
24