Post on 28-Nov-2015
description
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Myastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi
trasmisi neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah
kesadaran seseorang (volunteer) . Karakteristik yang muncul berupa
kelemahan yang berlebihan dan umumnya terjadi kelelahan pada
otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial.
Miastenia gravis lebih banyak terdapat pada wanita daripada pria
(usia 40 tahun). Kalau penderita punya thymomas, justru mayoritas
pada pria dengan 50-60 tahun. Pada pasien yang mengalami
miastenia gravis akan rentan terhadap komplikasi-komplikasi yang
sangat berbahaya bagi penderitanya, misalnya: krisis miastenia,
krisis kolinergik, pneumonia dan sepsis. Miastenia gravis merupakan
penyakit yang dapat mengangu mobilisasi penderitanya, oleh karena
itu perlu adanya penanganan yang serius terhadap kasus ini.
B. Permasalahan
Permasalahan yang timbul sehingga disusunnya asuhan
keperawatan ini adalah bagaimana seharusnya tindakan asuhan
keperawatan pada sistem persarafan dengan kasus Myasthenia
gravis?
C. Tujuan
Tujuan disusunnya asuhan keperawatan ini adalah:
1. Tujuan Umum
Untuk mempelajari tentang asuhan keperawatan pada klien
yang menderita Miastenia Gravis.
2. Tujuan Khusus
a. Memperoleh gambaran mengenai Miastenia gravis.
BAB II
KONSEP MEDIS
1. Pengertian
Myastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi
trasmisi neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah
kesadaran seseorang (volunter). Karakteristik yang muncul berupa
kelemahan yang berlebihan dan umumnya terjadi kelelahan pada
otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial.
Miastenia gravis adalah penyakit autoimun yang dimanifestasikan
adanya kelemahan dan kelelahan otot akibat dari menurunnya
jumlah dan efektifitas reseptor asetilkoline (ACh) pada
persambungan antar neuron (neuromuscular junction).
2. Klasifikasi
Menurut Osserman miastenia gravis dapat diklasifikasikan
menjadi 4 kelas, yaitu:
1. Kelas I (miastenia okular)
Hanya menyerang otot-otot okular sepeti ptosis, diplopia. Sifatnya
ringan dan tidak menimbulkan kematian.
2. Kelas II
a. Kelas II A (miastenia umum ringan)
Awitan lambat, biasanya pada mata kemudian menyebar ke otot
rangka, tidak gawat, respon terhadap obat baik, kematian rendah.
b. Kelas II B ( miastenia umum sedang)
Menyerang beberapa otot skeletal dan bulbar, kesulitan mengunyah,
menelan. Respon terhadap obat kurang, angka kematian rendah.
3. Kelas III (miastenia fulminan akut)
Perkembangan penyakit cepat, disertai krisis pernapasan, respon
terhadap obat buruk, terjadinya thyoma tinggi dan angka kkematian
tinggi.
4. Kelas IV (mistenia berat lanjut)
Berkembang selama 2 tahun dari kelas I ke kelas II. Dapat
berkembang secara perlahan atau tiba-tiba, respon terhadap
pengobatan kurang dan kematian tinggi.
3. Etiologi
Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan
gangguan transmisi pada neuromuscular junction, yaitu penghubung
antara unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung akson motor neuron
terdapat partikel -partikel globuler yang merupakan penimbunan
asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson,
partikel globuler pecah dan ACh dibebaskan yang dapat
memindahkan gaya saraf yang kemudian bereaksi dengan ACh
Reseptor (AChR) pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka
saluran ion pada membran serat otot dan menyebabkan masuknya
kation, terutama Na, sehingga dengan demikian terjadilah kontraksi
otot.
Meskipun faktor presipitasi masih belum jelas, tetapi hasil
penelitian menunjukkan bahwa kelemahan pada miastenia gravis
diakibatkan dari sirkulasi antibodi dalam reseptor ACh. Menurut
hipotesa bahwa sel-sel myoid (sel-sel thymus yang menyerupai sel
otot skeletal) sebagai tempat yang paling awal terjangkit penyakit.
Virus bertanggung jawab terhadap sel-sel ini dimana menyebabkan
pembentukan antibodi.
Penyebab lain diperkirakan karena faktor keturunan, dimana
15 % dari bayi yang baru lahir dari ibu yang menderita miastenia
gravis memperlihatkan gejala-gejal miastenia gravis seperti
kelemahan pada muscular, ptosis, kesulitan menghisap dan sesak
napas. Setelah 7 sampai 14 hari bayi lahir, gejala-gejala ini akan
hilang seiring hilangnya antibodi. Hal ini memperkuat teori bahwa
antibodi berperan dalam penyakit ini.
Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada
Miastenia gravis tidak diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia
gravis terdapat kekurangan ACh atau kelebihan kolinesterase, tetapi
menurut teori terakhir, faktor imunologik yang berperanan.
4. Patofisiologi
Dasar ketidaknormalan pada miastenia gravis adalah adanya
kerusakan pada tranmisi impuls saraf menuju sel otot karena
kehilangan kemampuan atau hilangnya reseptor normal membrane
postsinaps pada sambungan neuromuscular. Penelitian
memperlihatkan adanya penurunan 70 % sampai 90 % reseptor
asetilkolin pada sambungan neuromuscular setiap individu. Miastenia
gravis dipertimbangkan sebagai penyakit autoimun yang bersikap
lansung melawan reseptor asetilkolin (AChR) yang merusak tranmisi
neuromuscular.
Pada myasthenia gravis, sistem kekebalan menghasilkan
antibodi yang menyerang salah satu jenis reseptor pada otot
samping pada simpul neuromukular-reseptor yang bereaksi terhadap
neurotransmiter acetycholine. Akibatnya, komunikasi antara sel
syaraf dan otot terganggu. Apa penyebab tubuh untuk menyerang
reseptor acetylcholine sendiri-reaksi autoimun-tidak diketahui.
Berdasarkan salah satu teori, kerusakan kelenjar thymus
kemungkinan terlibat. Pada kelenjar thymus, sel tertentu pada sistem
kekebalan belajar bagaimana membedakan antara tubuh dan zat
asing. Kelenjar thymus juga berisi sel otot (myocytes) dengan
reseptor acetylcholine. Untuk alasan yang tidak diketahui, kelenjar
thymus bisa memerintahkan sel sistem kekebalan untuk
menghasilkan antibodi yang menyerang acetylcholine. Orang bisa
mewarisi kecendrungan terhadap kelainan autoimun ini. sekitar 65%
orang yang mengalami myasthenia gravis mengalami pembesaran
kelenjar thymus, dan sekitar 10% memiliki tumor pada kelenjar
thymus (thymoma). Sekitar setengah thymoma adalah kanker
(malignant). Beberapa orang dengan gangguan tersebut tidak
memiliki antibodi untuk reseptor acetylcholine tetapi memiliki antibodi
terhadap enzim yang berhubungan dengan pembentukan
persimpangan neuromuskular sebagai pengganti. Orang ini bisa
memerlukan pengobatan berbeda.
5. Faktor Resiko
Faktor-faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya miastenia
gravis diantaranya:
1. Pengobatan
a. Obatan-obatan antikolinesterase
b. Laksative atau enema
c. Tranq’uilizer atau sedatif
d. Potasium depleting diuretic
e. Antibiotik seperti aminoglikosid, tetrasiklin, polimiksin, antiaritmia,
prokainamide, quinine
f. Narkotik analgetik
g. diphenilhydramine
2. Alkohol
3. Perubahan hormonal
4. Stress
5. Infeksi
6. Perubahan suhu/temperatur
7. Panas
8. pembedahan
6. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik yang timbul pada kasus miastenia gravis
bervariasi dari masing-masing kelas, namun demikian pada pasien
miastenia gravis tanda dan gejala yang mungkin terjadi, yaitu:
1. gangguan pada mata seperti adanya diplopia (pandangan ganda),
ptosis (kelemahan kelopak mata).
2. Gangguan pada otot wajah seperti kesulitan mengunyah, menelan
dan bicara.
3. Gangguan pada kelemahan otot palatal dan faring sehingga pasien
tidak mampu menelan dan hal ini berisiko menimbulkan aspirasi.
4. Kelemahan otot leher sehingga kepala pasien sulit tegak.
5. Kelemahan pada otot-otot pernapasan seperti diafragma dan otot
intercosta mengakibatkan terganggunya pernapasan.
6. Terjadinya krisis miastenia, disebabkan karena kekurangan
asetilkolin, keadaan ini disebabkan karena perubahan atau
ketergantungan obat, emosi dan stress fisik, infeksi atau
pembedahan.
7. Terjadinya krisis kolinergik, disebabkan karena kelebihan dari
asetilkolin sebagai akibat overdosis pengoabatan/efek toksik dari
pemberian asetilkolin.
Tanda dan gejala krisis miastenia dan krisis kolinergik, yaitu:
Krisis miastenia Krisis kolinergik
1. Meningkatnya tekanan darah
2. Takikardia
3. Gelisah
4. Ketakutan
5. Meningkatnya sekresi bronkhial,
air mata dan keringat
1. Menurunnya tekanan darah
2. Bradikardia
3. Gelisah
4. Ketakutan
5. Meningkatnya sekresi bronkhial
,air mata dan keringat
6. Kelemahan otot umum
7. Kehilangan refleks batuk
8. Kesulitan bernafas, menelan
dan bicara
9. Penurunan output urine
6. Kelemahan otot umum
7. Kesultan bernapas, menelan
dan bicara
8. Mual, muntah
9. Diare
10. Kram abdomen.
7. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada pasien dengan
kasus miastenia gravis, adalah:
1. Rontgen dada dan CT scan dada : mengetahui kemungkinan
adanya thymoma serta dapat menunjukan hiperplasia timus yang
dianggap menyebabkan respon autoimun.
2. Tensilon test (edrofonium klorida) : dengan menyuntikkan 1-2 mg
tensilon intravena, jika tidak ada perkembangan suntikkan kembali 5-
8 tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan
otot yang jelas (misalnya dalam 1 menit) ptosis hilang. Reaksi ini
tidak berlangsung lama dan akan kembali seperti semula. Injeksi IV
memeperbaiki respon motorik sementara dan menurunkan gejala
pada krisis miastenik untuk sementara waktu memperburuk gejala-
gejala pada krisis kolinergik.
3. Test Wertenberg : penderita diminta menatap benda di atas bidang
ke dua mata tanpa berkedip. Pada miastenia gravis maka kelopak
mata yang terkena akan ptosis.
4. Test Prostigmin : prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg
atrpon sulfas disuntikkan IM atau subkutan. Positif apabila ada
perbaikan kekuatan otot, atau gejala menghilang.
5. Electromyogram (EMG) : mengetahui kontraksi otot.
6. Test serum antibodi ami reseptor asetilkolin : terjadi peningkatan.
8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis yang dilakukan pada pasien dengan
kasus miastenia gravis, yaitu:
1. Penatalaksanaan umum
a. Pemenuhan kebutuhan nutrisi.
b. Aktivitas fisik dan pencegahan komplikasi
c. Pengunaan ventilator jika ada indikasi.
2. Pengobatan
a. Plasmaferesis: terapi penggantian plasma sebanyak 3-8 kali.
b. Antikolisterase seperti peridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam.
c. Steroid seperti prednison diberikan selang-seling sehari sekali untuk
menghindari efek samping.
d. Immunosupresan seperti azatioprin.
3. Pembedahan timektomi atau pengangkatan kelenjara thymus.
9. Komplikasi
Komplikasi yang kemungkinan muncul pada penderita
miastenia gravis (MG), yaitu:
1. Krisis miastenia
2. Krisis kolinergik
3. Pneumonia
4. Sepsis
5. Komplikasi akibat immobilisasi.
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
1. Identitas klien : Meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status
2. Keluhan utama : Kelemahan otot
3. Riwayat kesehatan : Diagnosa miastenia didasarkan pada riwayat
dan pesentasi klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan
pemulihan kekuatan pasial setelah istirahat sangatlah menunukkan
miastenia gravis, pasien mugkin mengeluh kelemahan setelah
melakukan pekerjaan fisik yang sederhana . riwayat adanya jatuhnya
kelopak mata pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga
bukti tentang kelemahan otot.
4. Pemeriksaan B 6
a. B1 (Breathing)
Dispnea, resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut.
b. B2 (Bleeding)
Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi.
c. B3 (Brain)
Kelemahan otot ektraokular yang menyebabkan palsi ocular,
jatuhnya kelopak mata atau dislopia intermien, bicara klien mungkin
disatrik.
d. B4 (Bladder)
Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi
saat berkemih.
e. B5 ( Bowel)
Kesulitan menelan-mengunyah, disfagia, kelemahan otot diafragma
dan peristaltic usus turun.
f. B6 (Bone)
Gangguan aktifitas/ mobilitas fisik, kelemahan otot yang
berlebihan.
5. Pemeriksaan Fisik
a. Otot mata: diplopia, ptosis, kelemahan otot bola mata.
b. Otot wajah: kelemahan otot wajah, kesulitan tersenyum, kesulitan
mengunyah, menelan, suara dari hidung hilang.
c. Otot leher: kesulitan mempertahankan posisi kepala.
d. Otot pernapasan: pernapasan lambat, kegagalan pernapasan
dengan penurunan tidal volume dan vital capacity, tidak efektifnya
batuk.
e. Otot lain: kelemahan otot rangka dan ekstremitas.
f. Status nutrisi: penurunan berat badan, tanda-tanda kekurangan
nutrisi.
6. Psikosoial
a. Pekerjaan
b. Peran dan tanggungjawab yang biasa dilakukan
c. Penerimaan terhadap kondisi
d. Koping yang biasa digunakan
e. Status ekonomi atau penghasilan.
7. Pengetahuan pasien dan keluarga
a. Pemahaman terhadap penyakit, komplikasi, prognosis, pengobatan
dan perawatan.
b. Kemampuan membaca dan belajar
2. Diagnosa
Diagnosa yang memungkinkan timbul pada pasien dengan
miastenia gravis, yaitu:
1. Tidak efektifnya pola napas berhubungan dengan kelemahan otot
pernapasan.
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
Pasien mengatakan kesulitan bernapas
Data Objektif (DO):
a. Menurunnya frekuensi pernapasan
b. Penggunaan otot-otot pernapasan tambahan
c. Pernapasan cuping hidung
d. Perubahan tingkat kesadaran
e. Perubahan nilai AGO: menurunnya PaCO2 dan meningktanya
PaCO2.
f. Sianosis
g. Akral dingin
h. Hasil laboratorium asetilkolin
i. Hasil EMG: adanya kelemahan otot.
2. Tidak efektifnya bersihan jalan napas berhubungan dengan
kelemahan otot, kehilangan refleks batuk dan menelan.
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
a. Pasien mengatakan sulit batuk
b. Pasien mengatakan banyak slem
Data Objektif (DO):
a. Refleks batuk dan gag menurun
b. Sekret/slem nampak banyak
c. Bunyi napas tidak normal
3. Aktivitas intoleran berhubungan dengan kelemahan otot
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
a. Pasien mengatakan cepat lelah setelah melakukan aktivitas
b. Pasien mengatakan mengalami kelemahan otot
Data Objektif (DO):
a. Pasien nampak kelelahan dan lesu
b. Pasien tidak mampu melakukan tindakan untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari
c. Nadi meningkat
d. Tekanan darah meningkat
e. Pernapasan meningkat
f. Kekuatan otot menurun
4. Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan kelemahan otot mengunyah dan menelan.
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
a. Pasien mengatakan tidak dapat makan karena sulit untuk menelan
b. Pasien mengatakan mual dan tidak nafsu makan
Data Objektif (DO):
a. Jumlah intake makanan kurang
b. Diet makanan
c. Refleks menelan dan mengunyah tidak ada
d. Penurunan berat badan
e. Pasien nampak kurus
f. Kelemahan otot
g. Tonus otot kurang
h. Konjungtiva anemis
i. Nilai Hb dan albumin menurun
5. Gangguan persepsi sensori (penglihatan) berhubungan dengan
kelemahan otot okuler
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
a. Pasien mengatakan pandangan ganda
b. Pasien mengatakan kesulitan menggerakkan bola mata
Data Objektif (DO):
a. Ptosis
b. Diplopia
6. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kelemahan otot
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
Pasien mengatakan kesulitan berbicara
Data Objektif (DO):
a. Pasien nampak kesulitan dalam ungkapan verbal
b. Perubahan perilaku tidak mau berkomunikasi
c. Penggunaan bahasa isyarat/tubuh.
7. Sindrome perawatan diri berhubungan dengan kelemahan otot
Ditandai dengan:
Data Subjektif (DS):
Pasien menagatakan mengalami kelemahan otot
Data Objektif (DO):
a. Pasien nampak lelah
b. Kelemahan otot
c. Tonus otot kurang
d. Pasien tidak mampu memenuhi kebutuhan nutrisi, eliminasi,
personal hygine secara mandiri.
3. Intervensi
Intervensi yang direncanakan untuk melakukan tindakan
keperawatan pada pasien miastenia gravis, yaitu:
1. Tidak efektifnya pola napas berhubungan dengan kelemahan otot
pernapasan.
Kriteria Hasil:
a. Pola napas normal
b. Pergerakan dada simetris
c. Bunyi napas normal
d. Analisa gas darah dalam rentang normal
e. Tidak terjadi sianosis
Intervensi:
a. Kaji jumlah pernapasan, irama, pola setiap 2 jam.
R/: Perubahan pola dan irama pernapasan kemungkinan tanda-tanda
krisis.
b. Kaji penggunaan otot tambahan pernapasan setiap 2 jam.
R/: Pengunaan otot-otot tambahan indikasi kelemahan otot
pernapasan.
c. Kaji bunyi napas setiap 2 jam.
R/: Abnormal bunyi napas indikasi tidak efektinya ventilasi.
d. Kaji warna kulit dan tingkat kesadaran setiap 2 jam.
R/: Sianosis dan penurunan kesadaran indikasi kekurangan oksigen.
e. Kaji vital capacity dan tidal volume.
R/: Mengetahui adanya kegagalan pernapasan.
f. Kaji AGO.
R/: Mengetahui adanya kegagalan pernapasan.
g. Berikan oksigen.
R/: Mempertahankan oksigenasi dan perfusi jaringan.
h. Lakukan suction jika perlu.
R/: Mempertahankan jalan napas.
i. Pertahankan posisi kepala 30-45o.
R/: Meningkatkan ekspansi paru.
j. Ajarkan napas dalam dan batuk efektif.
R/: Mencegah penumpukan sekret.
k. Catat adanya peningkatan kelemahan, kesulitan bernapas,
peningkatan PaCO2, penurunan PaOa, meneurunnya kapasitas vital
dan meningkatnya kesulitan mengunyah dan bicara.
R/: Mungkin adanya krisis miastenia atau kolinergik.
l. Kolaborasi dalam pemberian obat antikolinesterase.
R/: Meningkatkan jumlah asetikoline dalam neuromuskular junction.
m. Cek keadaan pernapasan, kapasitas vital dan tidal volume sebelum
dan sesudah pemberian obat.
R/: Mengetahui efek pemberian pengobatan.
2. Tidak efektifnya bersihan jalan napas berhubungan dengan
kelemahan otot, kehilangan refleks batuk dan menelan.
Kriteria Hasil:
a. Pola napas normal
b. Jalan napas paten
c. Pergerakan dada simetris
d. Bunyi napas normal
e. Analisa gas darah dalam rentang normal
f. Tidak terjadi sianosis
Intervensi:
a. Kaji frekuensi pernapasan dan pola, kepatenan jalan nafas, batuk
dan gag reflek, keadaan sekret setiap 2 jam.
R/: Mengetahui adanya kelemahan otot pernapasan, menelan dan
batuk.
b. Lakukan kebersihan mulut dan suction jika perlu.
R/: Menjaga kepatenan jalan napas.
c. Ajarkan batuk efektif.
R/: Mengurangi statis sekret.
d. Lakukan fisioterapi dada.
R/: Mengurangi statis sekret.
3. Aktivitas intoleran berhubungan dengan kelemahan otot.
Kriteria Hasil:
a. Kekuatan otot penuh
b. Atropi tidak terjadi
c. Tonus otot baik
d. Pasien dapat melakukan aktivitas secara bertahap
e. Tidak terjadi kelemahan otot.
Intervensi:
a. Kaji kekuatan otot, ptosis, diplopia, pergerakan bola mata,
kemampuan mengunyah, menelan, refleks batuk, bicara.
R/: Tingkat kelemahan otot mungkin berbeda pada bagian tubuh
yang lainnya.
b. Kaji kekuatan otot sebelum dan sesudah pemberian anti
kolinesterase.
R/: Mengetahui efek pemberian obat.
c. Lakukan jadwal istirahat, jaga lingkungan yang tenang.
R/: Periode setelah istirahat, kekuatan otot meningkat.
d. Menganjurkan berpartisipasi dalam perawatan.
R/: Melatih aktivitas secara bertahap.
4. Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan kelemahan otot mengunyah dan menelan.
Kriteria Hasil:
a. Berat badab stabil
b. Tidak ada tanda-tanda anemia
c. Intake makanan adekuat
Intervensi:
a. Kaji status nutrisi pasien.
R/: Informasi dasar status nutrisi.
b. Kaji kemampuan mengunyah dan menelan.
R/: Mencegah aspirasi.
c. Beriakan diet lunak.
R/: Memudahkan mengunyah dan menelan.
d. Berikan diet tinggi protein tinggi kalori.
R/: Pemenuhan kebutuhan nutrisi.
e. Lakukan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan.
R/: Meningkatkan nafsu makan pasien.
f. Berikan makanan melalui NGT sesuai program.
R/: Pemenuhan kebutuhan nutrisi.
g. Timbang berat badan setiap 3 hari.
R/: Berat badan indikasi perubahan kebutuhan nutrisi.
h. Auskultasi bising usus dan kaji adanya konstipasi dan diare.
R/: Mengetahui adanya peristaltik dan adekuatnya pencernaan.
i. Anjurkan pasien untuk minum cukup 1500-2000 cc jika tidak ada
kontraondikasi.
R/: Pemenuhan kebutuhan cairan dan mengurangi konstipasi.
j. Monitor hasil laboratorium, BUN, glukosa, elektrolit, serum albumin.
R/: Data indikasi status nutrisi.
k. Kolaborasi dengan tim gizi untuk menentukan diet yang tepat.
R/: Menentukan diet yang tepat.
5. Gangguan persepsi sensori (penglihatan) berhubungan dengan
kelemahan otot okuler.
Kriteria hasil:
a. Pasien dapat mengenali lingkungan sekitar.
b. Pasien bebas dari abrasi kornea, nyeri mata.
c. Tidak dapat ptosis, diplopia dan kelemahan otot mata.
Intervensi:
a. Kaji adanya ptosis, diplopia dan gerakan bola mata.
R/: Kelemahan okuler indikasi miastenia gravis.
b. Kaji fungsi saraf III, IV, VI, VII.
R/: Menentukan adekuatnya saraf kranial yang berhubungan dengan
kemampuan pergerakan mata.
c. Gunakan obat tetes mata dan pelindung.
R/: Memberikan lubrikan dan melindungi mata.
d. Orientasikan pasien pada lingkungan sekitar sebagaimana
kebutuhan.
R/: Mengenali lingkungan.
6. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kelemahan otot.
Kriteria Hasil:
Pasien mengekspresikan diri secara verbal atau non verbal.
Intervensi:
a. Kaji kemampuan pasien dalam bicara dengan pemeriksaan saraf
kranial V, VII, IX, X, XII.
R/: Mengatahui kemampuan bicara pasien.
b. Ajukan pertanyaan tertutup, ya atau tidak atau gerakan tubuh.
R/: Memudahkan pasien mudah menjawab.
c. Lakukan bicara dengan gerakan yang pelan.
R/: Dapat melihat gerakan bibir lawan bicara.
d. Gunakan gambar, kertas atau sarana lainnya.
R/: Menggunakan media memudahkan pasien mengekspresikan
keinginannya.
e. Informasikan kepada staf atau keluarga tentang keterbatasan pasien
dalam komunikasi.
R/: Pola komunikasi yang salah akan menambah frustasi pasien.
7. Sindrome perawatan diri berhubungan dengan kelemahan otot.
Kriteria Hasil:
a. Pasien dapat makan sendiri, memakai pakaian sendiri, mandi
sendiri.
b. Berpindah menuju, dari dan ke kamar mandi dengan bantuan
minimal.
Intervensi:
a. Kaji kemampuan pasien dalam aktivitas sehari-hari.
R/: Menetapkan kemampuan dan keterbatasan.
b. Berikan waktu istirahat antar aktivitas.
R/: Mencegah kelelahan.
c. Rencanakan untuk mengikuti aktivitas program-program
pengobatan.
R/: Memandirikan secara maksimal dan memfungsikan secara
optimal.
d. Bantu pasien secara minimal kebutuhan perawatan diri.
R/: Memenuhi kebutuhan perawatan diri.
e. Konsultasikan kepada occupational therapist dan fisioterapi.
R/: Pemilihan alat yang tepat untuk perawatan diri.
4. Implementasi
Implementasi atau tindakan keperawatan yang dilakukan
berdasarkan intervensi pada pasien miastenia gravis, yaitu:
1. Tidak efektifnya pola napas berhubungan dengan kelemahan otot
pernapasan.
Implementasi:
a. Mengkaji jumlah pernapasan, irama, pola setiap 2 jam.
b. Mengkaji penggunaan otot tambahan pernapasan setiap 2 jam.
c. Mengkaji bunyi napas setiap 2 jam.
d. Mengkaji warna kulit dan tingkat kesadaran setiap 2 jam.
e. Mengkaji vital capacity dan tidal volume.
f. Mengkaji AGO.
g. Memberikan oksigen.
h. Melakukan suction jika perlu.
i. Mempertahankan posisi kepala 30-45o.
j. Mengajarkan napas dalam dan batuk efektif.
k. Mencatat adanya peningkatan kelemahan, kesulitan bernapas,
peningkatan PaCO2, penurunan PaOa, meneurunnya kapasitas vital
dan meningkatnya kesulitan mengunyah dan bicara.
l. Mengkolaborasi dalam pemberian obat antikolinesterase.
m. Mengecek keadaan pernapasan, kapasitas vital dan tidal volume
sebelum dan sesudah pemberian obat.
2. Tidak efektifnya bersihan jalan napas berhubungan dengan
kelemahan otot, kehilangan refleks batuk dan menelan.
Implementasi:
a. Mengkaji frekuensi pernapasan dan pola, kepatenan jalan nafas,
batuk dan gag reflek, keadaan sekret setiap 2 jam.
b. Melakukan kebersihan mulut dan suction jika perlu.
c. Mengajarkan batuk efektif.
d. Melakukan fisioterapi dada.
3. Aktivitas intoleran berhubungan dengan kelemahan otot.
Implementasi:
a. Mengkaji kekuatan otot, ptosis, diplopia, pergerakan bola mata,
kemampuan mengunyah, menelan, refleks batuk, bicara.
b. Mengkaji kekuatan otot sebelum dan sesudah pemberian
antikolinesterase.
c. Melakukan jadwal istirahat, jaga lingkungan yang tenang.
d. Menganjurkan berpartisipasi dalam perawatan.
4. Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan kelemahan otot mengunyah dan menelan.
Implementasi:
a. Mengkaji status nutrisi pasien.
b. Mengkaji kemampuan mengunyah dan menelan.
c. Memberikan diet lunak.
d. Memberikan diet tinggi protein tinggi kalori.
e. Melakukan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan.
f. Memberikan makanan melalui NGT sesuai program.
g. Menimbang berat badan setiap 3 hari.
h. Mengauskultasi bising usus dan kaji adanya konstipasi dan diare.
i. Menganjurkan pasien untuk minum cukup 1500-2000 cc jika tidak
ada kontraondikasi.
j. Memonitor hasil laboratorium, BUN, glukosa, elektrolit, serum
albumin.
k. Mengkolaborasi dengan tim gizi untuk menentukan diet yang tepat.
5. Gangguan persepsi sensori (penglihatan) berhubungan dengan
kelemahan otot okuler.
Implementasi:
a. Mengkaji adanya ptosis, diplopia dan gerakan bola mata.
b. Mengkaji fungsi saraf III, IV, VI, VII.
c. Menggunakan obat tetes mata dan pelindung.
d. Mengorientasikan pasien pada lingkungan sekitar sebagaimana
kebutuhan.
6. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kelemahan otot.
Implementasi:
a. Mengkaji kemampuan pasien dalam bicara dengan pemeriksaan
saraf kranial V, VII, IX, X, XII.
b. Mengajukan pertanyaan tertutup, ya atau tidak atau gerakan tubuh.
c. Melakukan bicara dengan gerakan yang pelan.
d. Menggunakan gambar, kertas atau sarana lainnya.
e. Menginformasikan kepada staf atau keluarga tentang keterbatasan
pasien dalam komunikasi.
7. Sindrome perawatan diri berhubungan dengan kelemahan otot.
Implementasi:
a. Mengkaji kemampuan pasien dalam aktivitas sehari-hari.
b. Memberikan waktu istirahat antar aktivitas.
c. Merencanakan untuk mengikuti aktivitas program-program
pengobatan.
d. Membantu pasien secara minimal kebutuhan perawatan diri.
e. Mengkonsultasikan kepada occupational therapist dan fisioterapi.
5. Evaluasi
Hasil evaluasi yang diharapkan setelah dilakukan
implementasi dari intervensi yang direncanakan, yaitu:
1. Mencapai fungsi pernapasan adekuat
a. Menunjukan frekuensi pernapasan dan kedalaman pernapasan
normal, dan kekuatan otot normal.
b. Mentaati jadwal medikasi yang ditetapkan.
c. Menyatakan bahwa tas resusitasi dan pengisapan fortabel untuk
digunakan dirumah.
d. Mengihindari situasi yang dapat mencetuskan flu dan infeksi, yang
dapat memperberat gejala.
2. Beradaptasi pada kerusakan mobilitas
a. Menetapkan program istirahat dan latihan yang seimbang.
b. Mengidentifikasi tindakan untuk menghemat energi.
c. Menggunakan alat-alat bantu
d. Menetapkan maantaati jadwal medikasi yang memaksimalkan
kekuatan otot.
3. Tidak mengalami aspirasi
a. Menunjukan bunyi napas normal
b. Makan dengan lambat dan memilih diet (lunak) yanag sesuai.
c. Menetapkan jadwal medikasi yang sesuai dengan waktu makan.
4. Mengalami pemulihan krisis miasteniak dan kolinergik
a. Menyebutkan tanda dan gejala.
b. Mentaati program medikasi
c. Menggunakan gelang waspada medik.
BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
Myastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi
trasmisi neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah
kesadaran seseorang (volunteer) . Karakteristik yang muncul berupa
kelemahan yang berlebihan dan umumnya terjadi kelelahan pada
otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial.
Miastenia gravis lebih banyak terdapat pada wanita daripada pria
(usia 40 tahun). Kalau penderita punya thymomas, justru mayoritas
pada pria dengan 50-60 tahun. Pada pasien yang mengalami
miastenia gravis akan rentan terhadap komplikasi-komplikasi yang
sangat berbahaya bagi penderitanya, misalnya: krisis miastenia,
krisis kolinergik, pneumonia dan sepsis. Miastenia gravis berakibat
pada kelemahan otot wajah, otot leher, otot mata, otot pernapasan,
otot rangka dan ekstremitas.
2. Saran
Myastenia gravis dapat menyebabkan perubahan status
kesehatan pada penderitanya serta dapat menimbulkan komplikasi
yang dapat memperparah kondisi prognosis pada klien dengan
kasus tersebut. Oleh karena itu perlu adanya penanganan yang
serius terhadap kasus ini.
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi Revisi. EGC:
Jakarta
Guyton. 1987. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit Edisi Revisi.
EGC: Jakarta.
Harsono. 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis. Edisi I. Yogyakarta : Gajah
Mada University Press.
Jukarnain. 2011. Keperawatan Medikal – Bedah gangguan Sistem
Persarafan.
Long, Barbara C. 1996. Keperawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan
Proses Keperawatan. Bandung : yayasan Ikatan Alumni Pendidikan
Keperawatan.
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-Proses
Penyakit Volume 1 Edisi 6. EGC: Jakarta.
http://syawir-uimkeperawatan.blogspot.com/2012/01/askep-myastenia-
gravis.html