Myasthenia Gravis

25
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Myastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi trasmisi neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah kesadaran seseorang (volunteer) . Karakteristik yang muncul berupa kelemahan yang berlebihan dan umumnya terjadi kelelahan pada otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial. Miastenia gravis lebih banyak terdapat pada wanita daripada pria (usia 40 tahun). Kalau penderita punya thymomas, justru mayoritas pada pria dengan 50-60 tahun. Pada pasien yang mengalami miastenia gravis akan rentan terhadap komplikasi-komplikasi yang sangat berbahaya bagi penderitanya, misalnya: krisis miastenia, krisis kolinergik, pneumonia dan sepsis. Miastenia gravis merupakan penyakit yang dapat mengangu mobilisasi penderitanya, oleh karena itu perlu adanya penanganan yang serius terhadap kasus ini. B. Permasalahan Permasalahan yang timbul sehingga disusunnya asuhan keperawatan ini adalah bagaimana seharusnya tindakan asuhan keperawatan pada sistem persarafan dengan kasus Myasthenia gravis? C. Tujuan Tujuan disusunnya asuhan keperawatan ini adalah: 1. Tujuan Umum Untuk mempelajari tentang asuhan keperawatan pada klien yang menderita Miastenia Gravis. 2. Tujuan Khusus a. Memperoleh gambaran mengenai Miastenia gravis.

description

Neuro

Transcript of Myasthenia Gravis

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Myastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi

trasmisi neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah

kesadaran seseorang (volunteer) . Karakteristik yang muncul berupa

kelemahan yang berlebihan dan umumnya terjadi kelelahan pada

otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial.

Miastenia gravis lebih banyak terdapat pada wanita daripada pria

(usia 40 tahun). Kalau penderita punya thymomas, justru mayoritas

pada pria dengan 50-60 tahun. Pada pasien yang mengalami

miastenia gravis akan rentan terhadap komplikasi-komplikasi yang

sangat berbahaya bagi penderitanya, misalnya: krisis miastenia,

krisis kolinergik, pneumonia dan sepsis. Miastenia gravis merupakan

penyakit yang dapat mengangu mobilisasi penderitanya, oleh karena

itu perlu adanya penanganan yang serius terhadap kasus ini.

B. Permasalahan

Permasalahan yang timbul sehingga disusunnya asuhan

keperawatan ini adalah bagaimana seharusnya tindakan asuhan

keperawatan pada sistem persarafan dengan kasus Myasthenia

gravis?

C. Tujuan

Tujuan disusunnya asuhan keperawatan ini adalah:

1. Tujuan Umum

Untuk mempelajari tentang asuhan keperawatan pada klien

yang menderita Miastenia Gravis.

2. Tujuan Khusus

a. Memperoleh gambaran mengenai Miastenia gravis.

b. Dapat memahami tentang konsep asuhan keperawatan pasien

dengan Miastenia gravis.

BAB II

KONSEP MEDIS

1. Pengertian

Myastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi

trasmisi neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah

kesadaran seseorang (volunter). Karakteristik yang muncul berupa

kelemahan yang berlebihan dan umumnya terjadi kelelahan pada

otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial.

Miastenia gravis adalah penyakit autoimun yang dimanifestasikan

adanya kelemahan dan kelelahan otot akibat dari menurunnya

jumlah dan efektifitas reseptor asetilkoline (ACh) pada

persambungan antar neuron (neuromuscular junction).

2. Klasifikasi

Menurut Osserman miastenia gravis dapat diklasifikasikan

menjadi 4 kelas, yaitu:

1. Kelas I (miastenia okular)

Hanya menyerang otot-otot okular sepeti ptosis, diplopia. Sifatnya

ringan dan tidak menimbulkan kematian.

2. Kelas II

a. Kelas II A (miastenia umum ringan)

Awitan lambat, biasanya pada mata kemudian menyebar ke otot

rangka, tidak gawat, respon terhadap obat baik, kematian rendah.

b. Kelas II B ( miastenia umum sedang)

Menyerang beberapa otot skeletal dan bulbar, kesulitan mengunyah,

menelan. Respon terhadap obat kurang, angka kematian rendah.

3. Kelas III (miastenia fulminan akut)

Perkembangan penyakit cepat, disertai krisis pernapasan, respon

terhadap obat buruk, terjadinya thyoma tinggi dan angka kkematian

tinggi.

4. Kelas IV (mistenia berat lanjut)

Berkembang selama 2 tahun dari kelas I ke kelas II. Dapat

berkembang secara perlahan atau tiba-tiba, respon terhadap

pengobatan kurang dan kematian tinggi.

3. Etiologi

Kelainan primer pada Miastenia gravis dihubungkan dengan

gangguan transmisi pada neuromuscular junction, yaitu penghubung

antara unsur saraf dan unsur otot. Pada ujung akson motor neuron

terdapat partikel -partikel globuler yang merupakan penimbunan

asetilkolin (ACh). Jika rangsangan motorik tiba pada ujung akson,

partikel globuler pecah dan ACh dibebaskan yang dapat

memindahkan gaya saraf yang kemudian bereaksi dengan ACh

Reseptor (AChR) pada membran postsinaptik. Reaksi ini membuka

saluran ion pada membran serat otot dan menyebabkan masuknya

kation, terutama Na, sehingga dengan demikian terjadilah kontraksi

otot.

Meskipun faktor presipitasi masih belum jelas, tetapi hasil

penelitian menunjukkan bahwa kelemahan pada miastenia gravis

diakibatkan dari sirkulasi antibodi dalam reseptor ACh. Menurut

hipotesa bahwa sel-sel myoid (sel-sel thymus yang menyerupai sel

otot skeletal) sebagai tempat yang paling awal terjangkit penyakit.

Virus bertanggung jawab terhadap sel-sel ini dimana menyebabkan

pembentukan antibodi.

Penyebab lain diperkirakan karena faktor keturunan, dimana

15 % dari bayi yang baru lahir dari ibu yang menderita miastenia

gravis memperlihatkan gejala-gejal miastenia gravis seperti

kelemahan pada muscular, ptosis, kesulitan menghisap dan sesak

napas. Setelah 7 sampai 14 hari bayi lahir, gejala-gejala ini akan

hilang seiring hilangnya antibodi. Hal ini memperkuat teori bahwa

antibodi berperan dalam penyakit ini.

Penyebab pasti gangguan transmisi neromuskuler pada

Miastenia gravis tidak diketahui. Dulu dikatakan, pada Miastenia

gravis terdapat kekurangan ACh atau kelebihan kolinesterase, tetapi

menurut teori terakhir, faktor imunologik yang berperanan.

4. Patofisiologi

Dasar ketidaknormalan pada miastenia gravis adalah adanya

kerusakan pada tranmisi impuls saraf menuju sel otot karena

kehilangan kemampuan atau hilangnya reseptor normal membrane

postsinaps pada sambungan neuromuscular. Penelitian

memperlihatkan adanya penurunan 70 % sampai 90 % reseptor

asetilkolin pada sambungan neuromuscular setiap individu. Miastenia

gravis dipertimbangkan sebagai penyakit autoimun yang bersikap

lansung melawan reseptor asetilkolin (AChR) yang merusak tranmisi

neuromuscular.

Pada myasthenia gravis, sistem kekebalan menghasilkan

antibodi yang menyerang salah satu jenis reseptor pada otot

samping pada simpul neuromukular-reseptor yang bereaksi terhadap

neurotransmiter acetycholine. Akibatnya, komunikasi antara sel

syaraf dan otot terganggu. Apa penyebab tubuh untuk menyerang

reseptor acetylcholine sendiri-reaksi autoimun-tidak diketahui.

Berdasarkan salah satu teori, kerusakan kelenjar thymus

kemungkinan terlibat. Pada kelenjar thymus, sel tertentu pada sistem

kekebalan belajar bagaimana membedakan antara tubuh dan zat

asing. Kelenjar thymus juga berisi sel otot (myocytes) dengan

reseptor acetylcholine. Untuk alasan yang tidak diketahui, kelenjar

thymus bisa memerintahkan sel sistem kekebalan untuk

menghasilkan antibodi yang menyerang acetylcholine. Orang bisa

mewarisi kecendrungan terhadap kelainan autoimun ini. sekitar 65%

orang yang mengalami myasthenia gravis mengalami pembesaran

kelenjar thymus, dan sekitar 10% memiliki tumor pada kelenjar

thymus (thymoma). Sekitar setengah thymoma adalah kanker

(malignant). Beberapa orang dengan gangguan tersebut tidak

memiliki antibodi untuk reseptor acetylcholine tetapi memiliki antibodi

terhadap enzim yang berhubungan dengan pembentukan

persimpangan neuromuskular sebagai pengganti. Orang ini bisa

memerlukan pengobatan berbeda.

5. Faktor Resiko

Faktor-faktor resiko yang mempengaruhi terjadinya miastenia

gravis diantaranya:

1. Pengobatan

a. Obatan-obatan antikolinesterase

b. Laksative atau enema

c. Tranq’uilizer atau sedatif

d. Potasium depleting diuretic

e. Antibiotik seperti aminoglikosid, tetrasiklin, polimiksin, antiaritmia,

prokainamide, quinine

f. Narkotik analgetik

g. diphenilhydramine

2. Alkohol

3. Perubahan hormonal

4. Stress

5. Infeksi

6. Perubahan suhu/temperatur

7. Panas

8. pembedahan

6. Manifestasi Klinik

Manifestasi klinik yang timbul pada kasus miastenia gravis

bervariasi dari masing-masing kelas, namun demikian pada pasien

miastenia gravis tanda dan gejala yang mungkin terjadi, yaitu:

1. gangguan pada mata seperti adanya diplopia (pandangan ganda),

ptosis (kelemahan kelopak mata).

2. Gangguan pada otot wajah seperti kesulitan mengunyah, menelan

dan bicara.

3. Gangguan pada kelemahan otot palatal dan faring sehingga pasien

tidak mampu menelan dan hal ini berisiko menimbulkan aspirasi.

4. Kelemahan otot leher sehingga kepala pasien sulit tegak.

5. Kelemahan pada otot-otot pernapasan seperti diafragma dan otot

intercosta mengakibatkan terganggunya pernapasan.

6. Terjadinya krisis miastenia, disebabkan karena kekurangan

asetilkolin, keadaan ini disebabkan karena perubahan atau

ketergantungan obat, emosi dan stress fisik, infeksi atau

pembedahan.

7. Terjadinya krisis kolinergik, disebabkan karena kelebihan dari

asetilkolin sebagai akibat overdosis pengoabatan/efek toksik dari

pemberian asetilkolin.

Tanda dan gejala krisis miastenia dan krisis kolinergik, yaitu:

Krisis miastenia Krisis kolinergik

1. Meningkatnya tekanan darah

2. Takikardia

3. Gelisah

4. Ketakutan

5. Meningkatnya sekresi bronkhial,

air mata dan keringat

1. Menurunnya tekanan darah

2. Bradikardia

3. Gelisah

4. Ketakutan

5. Meningkatnya sekresi bronkhial

,air mata dan keringat

6. Kelemahan otot umum

7. Kehilangan refleks batuk

8. Kesulitan bernafas, menelan

dan bicara

9. Penurunan output urine

6. Kelemahan otot umum

7. Kesultan bernapas, menelan

dan bicara

8. Mual, muntah

9. Diare

10. Kram abdomen.

7. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada pasien dengan

kasus miastenia gravis, adalah:

1. Rontgen dada dan CT scan dada : mengetahui kemungkinan

adanya thymoma serta dapat menunjukan hiperplasia timus yang

dianggap menyebabkan respon autoimun.

2. Tensilon test (edrofonium klorida) : dengan menyuntikkan 1-2 mg

tensilon intravena, jika tidak ada perkembangan suntikkan kembali 5-

8 tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan kekuatan

otot yang jelas (misalnya dalam 1 menit) ptosis hilang. Reaksi ini

tidak berlangsung lama dan akan kembali seperti semula. Injeksi IV

memeperbaiki respon motorik sementara dan menurunkan gejala

pada krisis miastenik untuk sementara waktu memperburuk gejala-

gejala pada krisis kolinergik.

3. Test Wertenberg : penderita diminta menatap benda di atas bidang

ke dua mata tanpa berkedip. Pada miastenia gravis maka kelopak

mata yang terkena akan ptosis.

4. Test Prostigmin : prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg

atrpon sulfas disuntikkan IM atau subkutan. Positif apabila ada

perbaikan kekuatan otot, atau gejala menghilang.

5. Electromyogram (EMG) : mengetahui kontraksi otot.

6. Test serum antibodi ami reseptor asetilkolin : terjadi peningkatan.

8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan medis yang dilakukan pada pasien dengan

kasus miastenia gravis, yaitu:

1. Penatalaksanaan umum

a. Pemenuhan kebutuhan nutrisi.

b. Aktivitas fisik dan pencegahan komplikasi

c. Pengunaan ventilator jika ada indikasi.

2. Pengobatan

a. Plasmaferesis: terapi penggantian plasma sebanyak 3-8 kali.

b. Antikolisterase seperti peridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam.

c. Steroid seperti prednison diberikan selang-seling sehari sekali untuk

menghindari efek samping.

d. Immunosupresan seperti azatioprin.

3. Pembedahan timektomi atau pengangkatan kelenjara thymus.

9. Komplikasi

Komplikasi yang kemungkinan muncul pada penderita

miastenia gravis (MG), yaitu:

1. Krisis miastenia

2. Krisis kolinergik

3. Pneumonia

4. Sepsis

5. Komplikasi akibat immobilisasi.

BAB III

KONSEP KEPERAWATAN

1. Pengkajian

1. Identitas klien : Meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status

2. Keluhan utama : Kelemahan otot

3. Riwayat kesehatan : Diagnosa miastenia didasarkan pada riwayat

dan pesentasi klinis. Riwayat kelemahan otot setelah aktivitas dan

pemulihan kekuatan pasial setelah istirahat sangatlah menunukkan

miastenia gravis, pasien mugkin mengeluh kelemahan setelah

melakukan pekerjaan fisik yang sederhana . riwayat adanya jatuhnya

kelopak mata pada pandangan atas dapat menjadi signifikan, juga

bukti tentang kelemahan otot.

4. Pemeriksaan B 6

a. B1 (Breathing)

Dispnea, resiko terjadi aspirasi dan gagal pernafasan akut.

b. B2 (Bleeding)

Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi.

c. B3 (Brain)

Kelemahan otot ektraokular yang menyebabkan palsi ocular,

jatuhnya kelopak mata atau dislopia intermien, bicara klien mungkin

disatrik.

d. B4 (Bladder)

Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi

saat berkemih.

e. B5 ( Bowel)

Kesulitan menelan-mengunyah, disfagia, kelemahan otot diafragma

dan peristaltic usus turun.

f. B6 (Bone)

Gangguan aktifitas/ mobilitas fisik, kelemahan otot yang

berlebihan.

5. Pemeriksaan Fisik

a. Otot mata: diplopia, ptosis, kelemahan otot bola mata.

b. Otot wajah: kelemahan otot wajah, kesulitan tersenyum, kesulitan

mengunyah, menelan, suara dari hidung hilang.

c. Otot leher: kesulitan mempertahankan posisi kepala.

d. Otot pernapasan: pernapasan lambat, kegagalan pernapasan

dengan penurunan tidal volume dan vital capacity, tidak efektifnya

batuk.

e. Otot lain: kelemahan otot rangka dan ekstremitas.

f. Status nutrisi: penurunan berat badan, tanda-tanda kekurangan

nutrisi.

6. Psikosoial

a. Pekerjaan

b. Peran dan tanggungjawab yang biasa dilakukan

c. Penerimaan terhadap kondisi

d. Koping yang biasa digunakan

e. Status ekonomi atau penghasilan.

7. Pengetahuan pasien dan keluarga

a. Pemahaman terhadap penyakit, komplikasi, prognosis, pengobatan

dan perawatan.

b. Kemampuan membaca dan belajar

2. Diagnosa

Diagnosa yang memungkinkan timbul pada pasien dengan

miastenia gravis, yaitu:

1. Tidak efektifnya pola napas berhubungan dengan kelemahan otot

pernapasan.

Ditandai dengan:

Data Subjektif (DS):

Pasien mengatakan kesulitan bernapas

Data Objektif (DO):

a. Menurunnya frekuensi pernapasan

b. Penggunaan otot-otot pernapasan tambahan

c. Pernapasan cuping hidung

d. Perubahan tingkat kesadaran

e. Perubahan nilai AGO: menurunnya PaCO2 dan meningktanya

PaCO2.

f. Sianosis

g. Akral dingin

h. Hasil laboratorium asetilkolin

i. Hasil EMG: adanya kelemahan otot.

2. Tidak efektifnya bersihan jalan napas berhubungan dengan

kelemahan otot, kehilangan refleks batuk dan menelan.

Ditandai dengan:

Data Subjektif (DS):

a. Pasien mengatakan sulit batuk

b. Pasien mengatakan banyak slem

Data Objektif (DO):

a. Refleks batuk dan gag menurun

b. Sekret/slem nampak banyak

c. Bunyi napas tidak normal

3. Aktivitas intoleran berhubungan dengan kelemahan otot

Ditandai dengan:

Data Subjektif (DS):

a. Pasien mengatakan cepat lelah setelah melakukan aktivitas

b. Pasien mengatakan mengalami kelemahan otot

Data Objektif (DO):

a. Pasien nampak kelelahan dan lesu

b. Pasien tidak mampu melakukan tindakan untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari

c. Nadi meningkat

d. Tekanan darah meningkat

e. Pernapasan meningkat

f. Kekuatan otot menurun

4. Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan

dengan kelemahan otot mengunyah dan menelan.

Ditandai dengan:

Data Subjektif (DS):

a. Pasien mengatakan tidak dapat makan karena sulit untuk menelan

b. Pasien mengatakan mual dan tidak nafsu makan

Data Objektif (DO):

a. Jumlah intake makanan kurang

b. Diet makanan

c. Refleks menelan dan mengunyah tidak ada

d. Penurunan berat badan

e. Pasien nampak kurus

f. Kelemahan otot

g. Tonus otot kurang

h. Konjungtiva anemis

i. Nilai Hb dan albumin menurun

5. Gangguan persepsi sensori (penglihatan) berhubungan dengan

kelemahan otot okuler

Ditandai dengan:

Data Subjektif (DS):

a. Pasien mengatakan pandangan ganda

b. Pasien mengatakan kesulitan menggerakkan bola mata

Data Objektif (DO):

a. Ptosis

b. Diplopia

6. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kelemahan otot

Ditandai dengan:

Data Subjektif (DS):

Pasien mengatakan kesulitan berbicara

Data Objektif (DO):

a. Pasien nampak kesulitan dalam ungkapan verbal

b. Perubahan perilaku tidak mau berkomunikasi

c. Penggunaan bahasa isyarat/tubuh.

7. Sindrome perawatan diri berhubungan dengan kelemahan otot

Ditandai dengan:

Data Subjektif (DS):

Pasien menagatakan mengalami kelemahan otot

Data Objektif (DO):

a. Pasien nampak lelah

b. Kelemahan otot

c. Tonus otot kurang

d. Pasien tidak mampu memenuhi kebutuhan nutrisi, eliminasi,

personal hygine secara mandiri.

3. Intervensi

Intervensi yang direncanakan untuk melakukan tindakan

keperawatan pada pasien miastenia gravis, yaitu:

1. Tidak efektifnya pola napas berhubungan dengan kelemahan otot

pernapasan.

Kriteria Hasil:

a. Pola napas normal

b. Pergerakan dada simetris

c. Bunyi napas normal

d. Analisa gas darah dalam rentang normal

e. Tidak terjadi sianosis

Intervensi:

a. Kaji jumlah pernapasan, irama, pola setiap 2 jam.

R/: Perubahan pola dan irama pernapasan kemungkinan tanda-tanda

krisis.

b. Kaji penggunaan otot tambahan pernapasan setiap 2 jam.

R/: Pengunaan otot-otot tambahan indikasi kelemahan otot

pernapasan.

c. Kaji bunyi napas setiap 2 jam.

R/: Abnormal bunyi napas indikasi tidak efektinya ventilasi.

d. Kaji warna kulit dan tingkat kesadaran setiap 2 jam.

R/: Sianosis dan penurunan kesadaran indikasi kekurangan oksigen.

e. Kaji vital capacity dan tidal volume.

R/: Mengetahui adanya kegagalan pernapasan.

f. Kaji AGO.

R/: Mengetahui adanya kegagalan pernapasan.

g. Berikan oksigen.

R/: Mempertahankan oksigenasi dan perfusi jaringan.

h. Lakukan suction jika perlu.

R/: Mempertahankan jalan napas.

i. Pertahankan posisi kepala 30-45o.

R/: Meningkatkan ekspansi paru.

j. Ajarkan napas dalam dan batuk efektif.

R/: Mencegah penumpukan sekret.

k. Catat adanya peningkatan kelemahan, kesulitan bernapas,

peningkatan PaCO2, penurunan PaOa, meneurunnya kapasitas vital

dan meningkatnya kesulitan mengunyah dan bicara.

R/: Mungkin adanya krisis miastenia atau kolinergik.

l. Kolaborasi dalam pemberian obat antikolinesterase.

R/: Meningkatkan jumlah asetikoline dalam neuromuskular junction.

m. Cek keadaan pernapasan, kapasitas vital dan tidal volume sebelum

dan sesudah pemberian obat.

R/: Mengetahui efek pemberian pengobatan.

2. Tidak efektifnya bersihan jalan napas berhubungan dengan

kelemahan otot, kehilangan refleks batuk dan menelan.

Kriteria Hasil:

a. Pola napas normal

b. Jalan napas paten

c. Pergerakan dada simetris

d. Bunyi napas normal

e. Analisa gas darah dalam rentang normal

f. Tidak terjadi sianosis

Intervensi:

a. Kaji frekuensi pernapasan dan pola, kepatenan jalan nafas, batuk

dan gag reflek, keadaan sekret setiap 2 jam.

R/: Mengetahui adanya kelemahan otot pernapasan, menelan dan

batuk.

b. Lakukan kebersihan mulut dan suction jika perlu.

R/: Menjaga kepatenan jalan napas.

c. Ajarkan batuk efektif.

R/: Mengurangi statis sekret.

d. Lakukan fisioterapi dada.

R/: Mengurangi statis sekret.

3. Aktivitas intoleran berhubungan dengan kelemahan otot.

Kriteria Hasil:

a. Kekuatan otot penuh

b. Atropi tidak terjadi

c. Tonus otot baik

d. Pasien dapat melakukan aktivitas secara bertahap

e. Tidak terjadi kelemahan otot.

Intervensi:

a. Kaji kekuatan otot, ptosis, diplopia, pergerakan bola mata,

kemampuan mengunyah, menelan, refleks batuk, bicara.

R/: Tingkat kelemahan otot mungkin berbeda pada bagian tubuh

yang lainnya.

b. Kaji kekuatan otot sebelum dan sesudah pemberian anti

kolinesterase.

R/: Mengetahui efek pemberian obat.

c. Lakukan jadwal istirahat, jaga lingkungan yang tenang.

R/: Periode setelah istirahat, kekuatan otot meningkat.

d. Menganjurkan berpartisipasi dalam perawatan.

R/: Melatih aktivitas secara bertahap.

4. Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan

dengan kelemahan otot mengunyah dan menelan.

Kriteria Hasil:

a. Berat badab stabil

b. Tidak ada tanda-tanda anemia

c. Intake makanan adekuat

Intervensi:

a. Kaji status nutrisi pasien.

R/: Informasi dasar status nutrisi.

b. Kaji kemampuan mengunyah dan menelan.

R/: Mencegah aspirasi.

c. Beriakan diet lunak.

R/: Memudahkan mengunyah dan menelan.

d. Berikan diet tinggi protein tinggi kalori.

R/: Pemenuhan kebutuhan nutrisi.

e. Lakukan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan.

R/: Meningkatkan nafsu makan pasien.

f. Berikan makanan melalui NGT sesuai program.

R/: Pemenuhan kebutuhan nutrisi.

g. Timbang berat badan setiap 3 hari.

R/: Berat badan indikasi perubahan kebutuhan nutrisi.

h. Auskultasi bising usus dan kaji adanya konstipasi dan diare.

R/: Mengetahui adanya peristaltik dan adekuatnya pencernaan.

i. Anjurkan pasien untuk minum cukup 1500-2000 cc jika tidak ada

kontraondikasi.

R/: Pemenuhan kebutuhan cairan dan mengurangi konstipasi.

j. Monitor hasil laboratorium, BUN, glukosa, elektrolit, serum albumin.

R/: Data indikasi status nutrisi.

k. Kolaborasi dengan tim gizi untuk menentukan diet yang tepat.

R/: Menentukan diet yang tepat.

5. Gangguan persepsi sensori (penglihatan) berhubungan dengan

kelemahan otot okuler.

Kriteria hasil:

a. Pasien dapat mengenali lingkungan sekitar.

b. Pasien bebas dari abrasi kornea, nyeri mata.

c. Tidak dapat ptosis, diplopia dan kelemahan otot mata.

Intervensi:

a. Kaji adanya ptosis, diplopia dan gerakan bola mata.

R/: Kelemahan okuler indikasi miastenia gravis.

b. Kaji fungsi saraf III, IV, VI, VII.

R/: Menentukan adekuatnya saraf kranial yang berhubungan dengan

kemampuan pergerakan mata.

c. Gunakan obat tetes mata dan pelindung.

R/: Memberikan lubrikan dan melindungi mata.

d. Orientasikan pasien pada lingkungan sekitar sebagaimana

kebutuhan.

R/: Mengenali lingkungan.

6. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kelemahan otot.

Kriteria Hasil:

Pasien mengekspresikan diri secara verbal atau non verbal.

Intervensi:

a. Kaji kemampuan pasien dalam bicara dengan pemeriksaan saraf

kranial V, VII, IX, X, XII.

R/: Mengatahui kemampuan bicara pasien.

b. Ajukan pertanyaan tertutup, ya atau tidak atau gerakan tubuh.

R/: Memudahkan pasien mudah menjawab.

c. Lakukan bicara dengan gerakan yang pelan.

R/: Dapat melihat gerakan bibir lawan bicara.

d. Gunakan gambar, kertas atau sarana lainnya.

R/: Menggunakan media memudahkan pasien mengekspresikan

keinginannya.

e. Informasikan kepada staf atau keluarga tentang keterbatasan pasien

dalam komunikasi.

R/: Pola komunikasi yang salah akan menambah frustasi pasien.

7. Sindrome perawatan diri berhubungan dengan kelemahan otot.

Kriteria Hasil:

a. Pasien dapat makan sendiri, memakai pakaian sendiri, mandi

sendiri.

b. Berpindah menuju, dari dan ke kamar mandi dengan bantuan

minimal.

Intervensi:

a. Kaji kemampuan pasien dalam aktivitas sehari-hari.

R/: Menetapkan kemampuan dan keterbatasan.

b. Berikan waktu istirahat antar aktivitas.

R/: Mencegah kelelahan.

c. Rencanakan untuk mengikuti aktivitas program-program

pengobatan.

R/: Memandirikan secara maksimal dan memfungsikan secara

optimal.

d. Bantu pasien secara minimal kebutuhan perawatan diri.

R/: Memenuhi kebutuhan perawatan diri.

e. Konsultasikan kepada occupational therapist dan fisioterapi.

R/: Pemilihan alat yang tepat untuk perawatan diri.

4. Implementasi

Implementasi atau tindakan keperawatan yang dilakukan

berdasarkan intervensi pada pasien miastenia gravis, yaitu:

1. Tidak efektifnya pola napas berhubungan dengan kelemahan otot

pernapasan.

Implementasi:

a. Mengkaji jumlah pernapasan, irama, pola setiap 2 jam.

b. Mengkaji penggunaan otot tambahan pernapasan setiap 2 jam.

c. Mengkaji bunyi napas setiap 2 jam.

d. Mengkaji warna kulit dan tingkat kesadaran setiap 2 jam.

e. Mengkaji vital capacity dan tidal volume.

f. Mengkaji AGO.

g. Memberikan oksigen.

h. Melakukan suction jika perlu.

i. Mempertahankan posisi kepala 30-45o.

j. Mengajarkan napas dalam dan batuk efektif.

k. Mencatat adanya peningkatan kelemahan, kesulitan bernapas,

peningkatan PaCO2, penurunan PaOa, meneurunnya kapasitas vital

dan meningkatnya kesulitan mengunyah dan bicara.

l. Mengkolaborasi dalam pemberian obat antikolinesterase.

m. Mengecek keadaan pernapasan, kapasitas vital dan tidal volume

sebelum dan sesudah pemberian obat.

2. Tidak efektifnya bersihan jalan napas berhubungan dengan

kelemahan otot, kehilangan refleks batuk dan menelan.

Implementasi:

a. Mengkaji frekuensi pernapasan dan pola, kepatenan jalan nafas,

batuk dan gag reflek, keadaan sekret setiap 2 jam.

b. Melakukan kebersihan mulut dan suction jika perlu.

c. Mengajarkan batuk efektif.

d. Melakukan fisioterapi dada.

3. Aktivitas intoleran berhubungan dengan kelemahan otot.

Implementasi:

a. Mengkaji kekuatan otot, ptosis, diplopia, pergerakan bola mata,

kemampuan mengunyah, menelan, refleks batuk, bicara.

b. Mengkaji kekuatan otot sebelum dan sesudah pemberian

antikolinesterase.

c. Melakukan jadwal istirahat, jaga lingkungan yang tenang.

d. Menganjurkan berpartisipasi dalam perawatan.

4. Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan

dengan kelemahan otot mengunyah dan menelan.

Implementasi:

a. Mengkaji status nutrisi pasien.

b. Mengkaji kemampuan mengunyah dan menelan.

c. Memberikan diet lunak.

d. Memberikan diet tinggi protein tinggi kalori.

e. Melakukan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan.

f. Memberikan makanan melalui NGT sesuai program.

g. Menimbang berat badan setiap 3 hari.

h. Mengauskultasi bising usus dan kaji adanya konstipasi dan diare.

i. Menganjurkan pasien untuk minum cukup 1500-2000 cc jika tidak

ada kontraondikasi.

j. Memonitor hasil laboratorium, BUN, glukosa, elektrolit, serum

albumin.

k. Mengkolaborasi dengan tim gizi untuk menentukan diet yang tepat.

5. Gangguan persepsi sensori (penglihatan) berhubungan dengan

kelemahan otot okuler.

Implementasi:

a. Mengkaji adanya ptosis, diplopia dan gerakan bola mata.

b. Mengkaji fungsi saraf III, IV, VI, VII.

c. Menggunakan obat tetes mata dan pelindung.

d. Mengorientasikan pasien pada lingkungan sekitar sebagaimana

kebutuhan.

6. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan kelemahan otot.

Implementasi:

a. Mengkaji kemampuan pasien dalam bicara dengan pemeriksaan

saraf kranial V, VII, IX, X, XII.

b. Mengajukan pertanyaan tertutup, ya atau tidak atau gerakan tubuh.

c. Melakukan bicara dengan gerakan yang pelan.

d. Menggunakan gambar, kertas atau sarana lainnya.

e. Menginformasikan kepada staf atau keluarga tentang keterbatasan

pasien dalam komunikasi.

7. Sindrome perawatan diri berhubungan dengan kelemahan otot.

Implementasi:

a. Mengkaji kemampuan pasien dalam aktivitas sehari-hari.

b. Memberikan waktu istirahat antar aktivitas.

c. Merencanakan untuk mengikuti aktivitas program-program

pengobatan.

d. Membantu pasien secara minimal kebutuhan perawatan diri.

e. Mengkonsultasikan kepada occupational therapist dan fisioterapi.

5. Evaluasi

Hasil evaluasi yang diharapkan setelah dilakukan

implementasi dari intervensi yang direncanakan, yaitu:

1. Mencapai fungsi pernapasan adekuat

a. Menunjukan frekuensi pernapasan dan kedalaman pernapasan

normal, dan kekuatan otot normal.

b. Mentaati jadwal medikasi yang ditetapkan.

c. Menyatakan bahwa tas resusitasi dan pengisapan fortabel untuk

digunakan dirumah.

d. Mengihindari situasi yang dapat mencetuskan flu dan infeksi, yang

dapat memperberat gejala.

2. Beradaptasi pada kerusakan mobilitas

a. Menetapkan program istirahat dan latihan yang seimbang.

b. Mengidentifikasi tindakan untuk menghemat energi.

c. Menggunakan alat-alat bantu

d. Menetapkan maantaati jadwal medikasi yang memaksimalkan

kekuatan otot.

3. Tidak mengalami aspirasi

a. Menunjukan bunyi napas normal

b. Makan dengan lambat dan memilih diet (lunak) yanag sesuai.

c. Menetapkan jadwal medikasi yang sesuai dengan waktu makan.

4. Mengalami pemulihan krisis miasteniak dan kolinergik

a. Menyebutkan tanda dan gejala.

b. Mentaati program medikasi

c. Menggunakan gelang waspada medik.

BAB IV

PENUTUP

1. Kesimpulan

Myastenia gravis merupakan gangguan yang mempengaruhi

trasmisi neuromuskuler pada otot tubuh yang kerjanya dibawah

kesadaran seseorang (volunteer) . Karakteristik yang muncul berupa

kelemahan yang berlebihan dan umumnya terjadi kelelahan pada

otot-otot volunter dan hal itu dipengaruhi oleh fungsi saraf cranial.

Miastenia gravis lebih banyak terdapat pada wanita daripada pria

(usia 40 tahun). Kalau penderita punya thymomas, justru mayoritas

pada pria dengan 50-60 tahun. Pada pasien yang mengalami

miastenia gravis akan rentan terhadap komplikasi-komplikasi yang

sangat berbahaya bagi penderitanya, misalnya: krisis miastenia,

krisis kolinergik, pneumonia dan sepsis. Miastenia gravis berakibat

pada kelemahan otot wajah, otot leher, otot mata, otot pernapasan,

otot rangka dan ekstremitas.

2. Saran

Myastenia gravis dapat menyebabkan perubahan status

kesehatan pada penderitanya serta dapat menimbulkan komplikasi

yang dapat memperparah kondisi prognosis pada klien dengan

kasus tersebut. Oleh karena itu perlu adanya penanganan yang

serius terhadap kasus ini.

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi Revisi. EGC:

Jakarta

Guyton. 1987. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit Edisi Revisi.

EGC: Jakarta.

Harsono. 1996. Buku Ajar Neurologi Klinis. Edisi I. Yogyakarta : Gajah

Mada University Press.

Jukarnain. 2011. Keperawatan Medikal – Bedah gangguan Sistem

Persarafan.

Long, Barbara C. 1996. Keperawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan

Proses Keperawatan. Bandung : yayasan Ikatan Alumni Pendidikan

Keperawatan.

Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-Proses

Penyakit Volume 1 Edisi 6. EGC: Jakarta.

http://syawir-uimkeperawatan.blogspot.com/2012/01/askep-myastenia-

gravis.html