Mistenia Gravis
-
Upload
angga-mahayasa -
Category
Documents
-
view
26 -
download
11
description
Transcript of Mistenia Gravis
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Myasthenia gravis (MG) adalah kelainan autoimun yang ditandai dengan
kelemahan dan kelelahan otot-otot rangka yang disebabkan oleh adanya
autoantibodi terhadap reseptor acetylcholine (ACh) nikotinik pada
neuromuscular junction (NMJ).(1)
Puncak insidensi penyakit ini dijumpai pada usia 20 tahun hingga 40
tahun yang didominasi oleh wanita, dan pada usia 60 tahun hingga 80 tahun
yang sama antara wanita dan pria. Myasthenia gravis merupakan penyakit
yang jarang, namun prevelansi telah meningkat seiring dengan berjalannya
waktu dengan estimasi terbaru mencapai 20 per 100.000 orang di Amerika.
Menurut laporan RISKESDAS 2010, insidensi myasthenia gravis di Indonesia
diperkirakan 1 kasus dari 100.000. Data yang didapatkan di Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo, Jakarta terdapat 94 kasus dengan diagnosa myasthenia
gravis pada periode tahun 2010-2011.(2)
Karakteristik klinis dari Myasthenia Gravis berupa kelemahan otot yang
berfluktuasi dan dapat melibatkan kelompok otot tertentu. Kelemahan otot
mata berupa ptosis (90%) unilateral/bilateral merupakan presentasi awal yang
paling khas. Setelah beberapa minggu atau bulan, dilengkapi dengan diplopia
(paralisis ocular) dan suara sengau (paralisis palatum molle). Kelumpuhan ini
timbul tiap siang hari menjelang sore atau malam. Pada pagi hari orang sakit
tidak dingganggu oleh kelumpuhan apapun. Tetapi lama kelamaan
kelumpuhan bulbar dapat bangkit juga pada pagi hari sehingga boleh
dikatakan sepanjang hari orang sakit tidak bebas dari kesulitan penglihatan
(karena diplopia/ptosis) dan menelan atau mengunyah. Kelemahan otot-otot
non bulbar umumnya dijumpai pada tahap yang sudah lanjut sekali. Yang
pertama terkena ialah otot-otot leher, sehingga kepala harus ditegakkan
dengan tangan. Kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal.
Atrofi otot ringan dapat ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak
lebih memburuk lagi.(3)
Penyebabnya dari myasthenia gravis diduga karena serangan
autoimun terhadap reseptor asetilkolin pada neuro-muscular junction.
Antibodi terhadap reseptor asetilkolin atau receptor-decamethonium complex
(anti-AchR) ditemukan dalam serum dari tigaperempat penderita myasthenia
gravis (MG).(2,4)
Abnormalitas thymus juga ditemukan pada sebagian besar penderita
myasthenia gravis, sekitar 75% dengan hiperplasia folikel kelenjar dan 10-
15% dengan tumor thymic jenis lymphoblastic atau epithelial. Tindakan
thymectomy menyebabkan remisi dan perbaikan pada masing-masing 35%
dan 50% penderita sehingga diduga MG berhubungan dengan serangan
autoimun terhadap antigen pada thymus dan motor endplate atau abnormal
clone dari sel-sel imun di thymus.(2)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai oleh
suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan
secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas. Penyakit
ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada
neuromuscular junction. Dimana bila penderita beristirahat, maka tidak lama
kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.(5)pii85225)
2.2 Etiologi
Penyebab penyakit Mysthenia Gravis belum diketahui secara pasti,
namun nampak berkaitan dengan penyakit autoimun. Gangguan tersebut
kemungkinan dipicu oleh infeksi, operasi, atau penggunaan obat-obatan
tertentu seperti nifedipine atau verapamil, quinine, dan procainamide.(6)
Didapati juga bahwa glandula timus mempunyai kaitan yang erat dengan
kejadia Myasthenia Gravis. 80% dari penderita didapati glandula timus yang
abnormal. 10% memperlihatkan sruktur timoma dan pada penderita lainnya
terdapat infiltrat limfositer pada pusat germinativa glandula timus tanpa
perubahan di jaringan timus lainnya.(7)
2.3 Epidemiologi (DI INDONESIA)
Puncak usia awitan adalah 20 tahun, dengan rasio perbandingan antara
perempuan dan laki-laki adalah 3:1. Puncak kedua walaupun lebih rendah
daripada yang pertama, terjadi pada laki-laki usia tua dalam dekade tujuh
puluhan atau delapan puluhan. Kematian umumnya disebabkan oleh
insufisiensi pernapasan. Remisi spontan dapat timbul pada 10% hingga 20%
pasien dan dapat disebabkan oleh timektomi elektif pada pasien tertentu.
2.4 Patofisiologi(GANTI DARI PRICE WILSON/TAMBAH GAMBAR)
Mistenia gravis merupakan sindroma klinis akibat kegagalan transmisi
neuromuskuler yang disebabkan oleh hambatan dan destruksi resptor
asetilkolin oleh autoantibodi. Sehingga dalam hal ini, mistenia gravis
merupakan penyakit autoimun yang spesifik organ. Antibodi reseptor
asetilkolin terdapat di dalam serum pada hampir disemua pasien. Antibodi ini
merupakan antibodi igG dan dapat melewati plasenta pada kehamilan. Pada
orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromusculer, maka
membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga
asetilkolin akan dilepaskan dalam celaqh sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui
celah sinaps dan bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran
postsinaps. Penggabungan ini menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap
natrium dan kalium yang tiba-tiba menyebabkan depolarisasi lempeng akhir
dikenal sebagai potensial lempeng akhir( EPP). Jika EPP mencapai ambang
akan terbentuk potensial aksi dalam membran otot yang tidak berhubungan
dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang sarkolema. Potensialo aksi ini
memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan kontraksi seraqbut otot.
Sesudah transmisi melewati hubungan neuromuskuler melewati hubungan
neuromuscular terjadi, asetilkolin akan dihancurkan oleh enzim
asetikolinesterase. Pada Mistenis gravis, konduksi neuromuscular terganggu.
Abnormalitas pada penyakit Mistenia gravis terjadi pada End-plate motorik
dan bukan pada membran presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat
reaksi imunologik. Karena kerusakn itu, maka jarak antara membran presinaps
dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih banyak asetilkolin dalam
perjalanannya ke arah motor End-Plate dapat dipecahkan oleh kolinesterase.
Selain itu, jumlah asetilkolinyang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan
membran post sinaps motor end-plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor
tersebut, maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung lama.
2.5 Diagnosis
Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan
diagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul menghinggapi
bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua anggota gerak kanan dan
kiri. Walaupun dalam berbagai derajat yang berbeda, biasanya refleks tendon
masih ada dalam batas normal.(5)
Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya myasthenic
sneer dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal dan miastenia gravis
biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot wajah. Pada
pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang menyebabkan
suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta
regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain
itu, penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah
serta menelan makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang
menyebabkan penderita batuk dan tersedak saat minum.(5,7)
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia
gravis. Ditandai dengan kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis
yang menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu
penderita harus terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami
kelemahan, sehingga terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari
leher.(5)
Otot-otot anggota tubuh atas lebih sering mengalami kelemahan
dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah. Musculus deltoid serta fungsi
ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan sering kali
mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan otot
bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan melakukan
dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan melakukan plantarfleksi jari-
jari kaki dan saat melakukan fleksi panggul. Hal yang paling membahayakan
adalah kelemahan otot-otot pernapasan yang dapat menyebabkan gagal napas
akut, dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan
intubasi cepat sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot faring dapat
menyebabkan kolapsnya saluran napas atas dan kelemahan otot-otot
interkostal serta diafragma dapat menyebabkan retensi karbondioksida
sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi. Sehingga pengawasan yang
ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia gravis fase akut sangat
diperlukan. Kelemahan sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot
ekstraokular, dan tidak hanya terbatas pada otot yang diinervasi oleh satu
nervus kranialis. Serta biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi
secara asimetris. Hal ini merupakan tanda yang sangat penting untuk
mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus
lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear
ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah
satu mata yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi. Untuk
penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan dengan
cara penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama
kelamaan akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi
kurang terang. Penderita menjadi anartris dan afonis. Setelah itu, penderita
ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus dan lama
kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau
tampak ada ptosis, maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak
bahwa suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi. Untuk
memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes antara
lain:
Uji Tensilon (edrophonium chloride)(SUSUN BERDASARKAN ALAT,
BAHAN, CARA MELAKUKAN DAN INTERPRETASI)
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak
terdapat reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena.
Segera setelah tensilon disuntikkan kita harus memperhatikan otot-otot yang
lemah seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan adanya ptosis.
Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu
akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus diperhatikan
dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat singkat.(1,5)
Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala
seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian
akan lenyap.(5)
Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinina masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3
tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Untuk uji ini, sebaiknya
disiapkan juga injeksi prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak
bertambah berat.Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis,
maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-lain akan bertambah berat.(5)
Laboratorium
Antistriated muscle (anti-SM) antibody Tes ini menunjukkan hasil positif
pada sekitar 84% pasien yang menderita timoma dalam usia kurang dari
40 tahun.Sehingga merupakan salah satu tes yang pentingpada penderita
miastenia gravis. Pada pasien tanpa timomaanti-SM Antibodi dapat
menunjukkan hasil positif pada pasien dengan usia lebih dari 40 tahun.(5)
Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-
AChR Ab negative (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil
yang positif untuk anti-MuSK Ab.(5)
Antistriational antibodies
Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan
ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien
timomadengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya
titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya
timoma pada pasien muda dengan miastenia gravis.Hal ini disebabkan
dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan
adanya antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot
rangka dan otot jantung penderita.(5)
Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu
miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien.
80% dari penderita miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita
dengan miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin
reseptor antibodi yang positif. Pada pasien timoma tanpa miastenia
gravis sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody. (5)
2.6 Diagnosa Banding
Diagnosa banding meliputi keseluruhan penyakit dengan gangguan
neuromuscular junction seperti Lambert Eaton syndrome, botulism, congenital
myasthenic syndromes, dan tick paralysis. Selain itu, acute inflammatory
demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP) dan varian dari AIDP yang
mempengaruhi otot cranial seperti Miller-Fisher dan cervical- brachial-pharyngeal
menimbulkan manifestasi gejala yang menyerupai MG, walaupun tipe kelemahan
yang ditimbulkan berbeda.
Mitochondrial neuromuscular disorders, terutama yang menimbulkan external
ophthalmoplegia dan ptosis, juga dapat menyerupai MG. Namun onset dari
gejalanya bertahap, dan kelemahan yang timbul tidak berfluktuasi. Motor
neurondisease yang menimbulkan kelemahan oropharyngeal memiliki gejala
menyerupai yang MG, namun dapat dibedakan melalui kondisi corticobulbar dan
adanya peningkatan densitas serat pada pengukuran dengan SFEMG. Iskemik
pada batang otak juga dapat menunjukkan gejala menyerupai MG, dan dapat
dibedakan melalui kondisi kesadaran, keseimbangan, koordinasi dan fungsi
sensorik yang terganggu.(8)
2.7 Klasifikasi Mistenia Gravis
Klasifikasi klinis Mistenia gravis dapat dibagi menjadi:(9,10)
1. Kelompok I : Myasthenia okular
Hanya menyerang otot-otot okular, disertai ptosis dan diplopia. Sangat
ringan dan tidak ada kasus kematian.
2. Kelompok IIA : Miastenia umum ringan
Awitan lambat, biasanya pada mata, lambat laun menyebar ke otot-otot
rangka dan bulbar. Sistem pernapasan tidak terkena. Respon terhadap
terapi obat baik. Angka kematian rendah.
3. Kelompokm IIIB : Miastenia umum sedang
Awitan bertahap dan sering disertai gejala-gejala okuler, lalu berlanjut
semakin berat dengan terserangnya seluruh otot-otot rangka dan bulbar.
Disartria, disfagia, dan sukar mengunyah lebih nyata dibandingkan dengan
mistenia gravis umum ringan. Otot-otot pernapasan tidak terkena. Respon
terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktifitas pasien terbatas, tetapi
angka kematian rendah.
4. Kelompok III: Miastenia berat akut
Awitan yang cepat dengan kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang
berat disertai mulai terserangnya otot-otot pernapasan. Biasanya penyakit
berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Respon terhadap obat buruk.
Insiden krisis mistenik, kolinergik, maupun krisis gabungan keduanya
tinggi. Tingkat kematian tinggi.
5. Kelompok IV: Miastenia berat lanjut
Mistenia gravis berat lanjut timbul paling sedikit 2 tahun sesudah awitan
gejala-gejala kelompok I atau II. Mistenia gravis berkembang secara
perlahan-lahan atau secara tiba-tiba. Respon terhadap obat dan prognosis
buruk.
2.6 Tanda dan Gejala (tambah Gambar)
Gejala-gejala yang paling sering terjadi yaitu :
1. Kelemahan otot mata yang menyebabkan ptosis (turunnya kelopak mata)
2. Kelemahan otot wajah, leher dan tenggorokan yang menyebabkan
kesulitan makan dan menelan
3. Penyebaran kelemahan otot yang berkelanjutan. Pada awalnya terjadi
keletihan ringan dan pemulihan kekuatan setelah beristirahat. Namun pada
akhirnya kekuatan tidak pulih lagi setelah melakukan istirahat.
4. Pada sistem pernapasan, terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari
adanya batuk yang lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan
pasien tidak lagi mampu membersihkan lendir dari trakea dan cabang-
cabangnya.
5. Gangguan emosi atau stres. Kebanyakan pasien mengalami kelemahan
otot apabila mereka berada pada keadaan tegang.
2.7 Penatalaksanaan (Bagi BerDASARKAN NON FARMAKO DAN
FARMAKO-URUTKAN BERDASARKAN PRIORITAS TAMBAH
DOSIS JUGA)
Secara garis besar, pengobatan Mistenia gravis yaitu :
1. Mempengaruhi transmisi neuromuscular
a. Istirahat
Dengan istirahat, banyaknya Ach dengan rangsangan saraf akan
bertambah sehingga serat-serat otot yang kekurangan AchR di bawah
ambang rangsangan dapat berkontraksi.
b. Memblokir pemecahan Ach
Dengan anti kolinesterase, neostigmin menon-aktifkan atau merusak
kolinesterase sehingga asetilkolin tidak cepat rusak. Efeknya adalah
pemulihan aktifitas otot mendekati normal, paling tidak 80% hingga
90% dari kekuatan atau daya tahan otot sebelumnya. Selain neostigmin
(prostigmin), piridostigmin (Mestinon), ambenonium (Mytelase),
digunakan juga analog sintetik lain dari obat awal yang digunakan
yaitu fisostigmin (Eserine). Efek samping dari traktus gastrointestinal
yang tidak disenangi (kejang perut, diare) disebut efek samping
muskarinik. Pasien harus menyadari bahwa gejala-gejala ini
menandakan sudah terlalu banyak obat yang diminum setiap hari,
sehingga dosis selanjutnya harus diturunkan untuk mencegah
terjadinya krisis kolinergik.
2. Mempengaruhi proses imunologik
a. Plasma exchange(taruh pertama
Plasma Exchange paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi
jangka pendek yang menguntungkan menjadi prioritas. Dasar terapi
adalah pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon dari terapi
ini adalah menurunnya titer antibodi. Dimana pasien yang mendapat
tindakan berupa hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama
serta trakeostomi, dapat diminimalisasikan karena efek dramatis dari
terapi ini.
b. Timektomi
Tujuan neurologi utama dari thymectomi adalah tercapainya perbaikan
signifikan dari kelemahan pasien, mengurangi dosis obat yang harus
dikonsumsi pasien, serta idealnya kesembuhan yang permanen dari
pasien. Timektomi dianjurkan pada Miastenia Gravis tanpa timoma
yang telah berlangsung 3-5 tahun. Sekitar 15% penderita Miastenia
Gravis memiliki tumor atau hyperplasia kelenjar timus yang disebut
timoma. Sekitar 30% penderita Miastenia Gravis tanpa timoma yang
menjalani timektomi pada akhirnya mengalami remisi bebas
pengobatan. 50% lainnya mengalami perbaikan nyata.
c. Imunosupresif
Menggunakan azathioperine, cyclophosphamide(CPM), cycloporine.
Namun biasanya digunakan azathioprine (imuran) dengan dosis 21/2
mg/kg BB. Azathyoprine merupakan obat yang secara relatif dapat
ditoleransi dengan baik oleh tubuh dan secara umum memiliki efek
samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan obat imunosupresif
lainnya. Perbaikan lambat sesudah 3-12 bulan. Kombinasi azathiprine
dan kortikosteroid lebih efektif yang dianjurkan terutama pada kasus-
kasus berat.
d. Kortikosteroid(tERAKHIR
Terapi kortikosteroid memberikan perbaikan klinis pada banyak
pasien, walaupun banyak efek samping serius yang terjadi akibat
penggunaan jangka panjang. Beberapa pasien berespon secara baik
pada kombinasi kortikosteroid dan piridogstimin. Kerja kortikosteroid
untuk mencegah kerusakan jaringan oleh pengaruh imunologik atau
bekerja langsung pada transmisi neuromuskuler.
2.8 Prognosis
Kebanyakan pasien mengalami gejala awal berupa kelemahan otot
ekstraokular dengan ptosis asimetri dan diplopia. Perjalanan penyakitnya
sangat bervariasi, khususnya dalam tahun pertama penyakit. Hampir 85%
pasien dengan gejala awal okular berkembang menjadi kelemahan bulbar dan
ekstremitas dalam tiga tahun pertama. Keparahan penyakit maksimum tercapai
dalam tahun pertama pada hampir dua-pertiga dari pasien. Di awal perjalanan
MG, gejala dapat berfluktuasi dan sesekali mengalami remisi, meskipun remisi
tersebut jarang permanen. Terdapat tiga tahap utama MG. Tahap yang aktif
ditandai dengan kambuh dan remisi yang berlangsung sekitar tujuh tahun
diikuti oleh tahap tidak aktif berlangsung sekitar 10 tahun. Tahap tidak aktif
ditandai dengan kurangnya kekambuhan penyakit, meskipun pasien mungkin
mengalami eksaserbasi yang berhubungan dengan penyakit lain, kehamilan,
atau paparan terhadap obat yang mengganggu transmisi neuromuskular. Pada
tahap akhir dari penyakit., kelemahan yang tidak diterapi dapat menetap dan
berhubungan dengan atrofi otot. Sebelum meluasnya penggunaan
imunomodulator, prognosis untuk pasien dengan MG cukup buruk dengan
angka kematian sekitar 30% Seiring dengan kemajuan dalam ventilasi
mekanik dan perawatan intensif, imunoterapi telah menjadi salah satu dari
faktor utama yang berkontribusi terhadap hasil yang lebih baik di MG, dan
mortalitasnya kurang dari 5%. (1)
DAFTAR PUSTAKA
1. Fitri FI. Myasthenia Gravis. Universitas Sumatera Utara; 2011.
2. Shanmugalingam S. Myasthenia Gravis. [Medan]: Universitas Sumatera Utara; 2013.
3. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Jakarta: Dian Rakyat; 1985.
4. Cares JB, Hunt CH, Batish SD. Anti-MuSK Myasthenia Gravis Presenting With Purely Ocular Findings. Arch Neurol. Vol 62(No 6).
5. Arie AAGAA, Adyana MO, Widyadharma IPE. Diagnosis dan Tatalaksana Miastenia Gravis. Universitas Udayana;
6. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses-Proses Penyakit. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2006.
7. Mardjono M, Sidharta P. Neurology Klinis Dasar. 15th ed. Jakarta: Dian Rakyat; 2012.
8. Juel VC, Massey JM. Myasthenia Gravis. Orphanet J Rare Dis. 2007;2(44).
9. Muttaqin A. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sitem persarafan. 1st ed. Jakarta: Salemba Medika; 2008.
10. American Academy of Neurology. Myasthenia Gravis: Recommendations for Clinical Research Standards. Neurology. 2000;Vol.55.