Post on 21-Oct-2021
MENJAGA KEBERSAMAAN DI TENGAH
KEBERAGAMAN
(Telaah Konsep Toleransi dalam Al-Qur’an)
Abdul Matin Bin Salman
Institut Agama Islam Negeri Surakarta
Email: abdulmatin693@yahoo.com
Abstrak
Radikalisme dan terorisme telah menjadi isu keamanan
internasional. Pasalnya, keduanya memberikan ancaman
serius terhadap ketentraman dan kenyamanan global. Hal
ini ditandai dengan adanya beberapa konferensi
internasional yang menjadikan isu radikalisme dan
terorisme sebagai isu utama dalam pembahasan. Seperti
yang diselenggarakan Maret 2013 lalu di Singapore dan
salah satu isu yang diangkat adalah pencegahan
radikalisme yang berujung pada aksi terorisme. Atau yang
baru saja terselenggara di Lombok, NTB yaitu konferensi
ulama internasional tentang kontra terorisme dan
sektarianisme. Kedua konferensi tersebut cukup untuk
menjadi bukti bahwa radikalisme dan terorisme patut untuk
diberikan perhatian penuh menyangkut keamanan global.
Keywords: toleransi, al-Qur’an, keberagaman
A. Pendahuluan
Sejatinya, aksi pencegahan radikalism dan terorism adalah
sebuah tindakan yang patut untuk didukung. Namun bila kemudian,
tuduhan radikalisme dan terorisme hanya ditujukan pada satu agama,
itu yang menjadi problem. Masalahnya adalah, penganut agama
tersebut akan menjadi korban diskriminasi yang luar biasa. Seperti yang
30 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, April 2018
terjadi di Amerika misalnya. Setelah kejadian serangan 11 September
2001 silam, umat muslim Amerika bisa dibilang sangat sulit
mendapatkan perlakuan yang layak sebagaimana warga yang lain.
Kemudian munculnya Islamophobia di berbagai belahan dunia muncul
hingga Geert Wilder meluncurkan film “Fitna” sebagai gambaran
Islam. Tentu ini menjadi tindakan yang kurang bijak mengingat Islam
adalah agama yang tidak mengajarkan aksi brutal yang berujung pada
terorisme.1
Di Indonesia pun gejolak Islamophobia juga semarak. Sepeti
yang ditulis oleh Etin Anwar, bahwa sejalan dengan isu ‘War on
Terror’ Amerika telah memastikan beberapa pesantren, organisasi
masyarakat dan tokoh sebagai dalang dari segala aksi teror. Nama-nama
seperti FPI, Majelis Mujahidin, Abu Bakar Ba’asyir masuk dalam daftar
teroris yang dibuat Amerika. Labelisasi ini pun kemudian mengundang
amarah terhadap Amerika beserta kebijakannya yang akhirnya
memunculkan wacana anti-Amerika yang tergambar pada ragam aksi
unjuk rasa di beberapa kota seperti Jakarta, Makasar, Medan dan Solo.2
Pasalnya, setiap aksi teror yang membawa isu keagamaan pasti
langsung dituduhkan kepada umat Islam. Tentu ini mengundang reaksi
dari masyarakt Islam.
Reaksi masyarakat tersebut ingin menegaskan bahwa Islam
bukanlah seperti yang digambarkan. Islam adalah agama yang sangat
1 Nurcholis Madjid, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, (Jakarta, Paramadina, 1995),
hal. 270 2 Lihat: Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militancy, and The Quest for
Indentity in Post-New Order Indonesia, Ithaca, N. Y: Southest Asia Program
Publicaations, Southest Asia Program, Cornell University, 2006), hal. 20
Menjaga Kebersamaan Di Tengah Keberagaman| 31
Abdul Matin bin Salman
menjunjung tinggi arti kebersamaan dan keharmonisan hidup bersama.
Sehingga tidak ada ajaran kekerasan dalam Islam hanya untuk
memaksakan ideologinya kepada mereka yang tidak meyakini.
Kesalahan pemahaman masyarakat ini perlu untuk diluruskan agar
dikemudian hari, wacana Islamophobia bisa direduksi, dan aksi
radikalisme bisa ditanggulangi bersama tanpa harus menyudutkan satu
pihak.
B. Problem Istilah
Di Indonesia, isu radikalisme dan terorisme seringkali dicari
akarnya pada pemberontakan DI TII Kartosuwirjo pasca kemerdekaan.
Hal tersebut juga berlaku pada pemberontakan PKI pada tahun
selanjutnya. Setelah itu, masa pasca reformasi, dengan turunnya rezim
orde baru, wacana radikalisme mendapatkan momentumnya seiring
dengan jatuhnya rezim orde baru yang otoritarian. Radikalisme pada
masa ini tidak hanya pada isu keagamaan namun berkembang menjadi
anti kemapanan, dan anti otoritas. Seperti yang beberpa kali pernah
terjadi, yaitu penyerangan kepada kantor kepolisian hingga
menghasilkan korban tewas dari pihak kepolisian. Perisrtiwa-peristiwa
ini menunjukkan bahwa istilah radikalisme bukan hanya bernuansa
keagamaan melainkan juga berkonotasi pada aspek sosial politik
bahkan kesenjangan ekonomi.
Terminus radikal yang membentuk istilah radikalisme berasal
dari bahasa Latin, radix yang berarti akar. Dengan demikian, berpikir
secara radikal sama artinya dengan berpikir hingga ke akar-akarnya, hal
tersebutlah yang kemudian besar kemungkinan bakal menimbulkan
32 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, April 2018
sikap-sikap anti kemapanan. Pasalnya, mereka yang melancarkan aksi
radikalisme adalah golongan masyarakat yang merasa termajinalkan
oleh kondisi sosial yang dibentuk oleh para elite penguasa yang
menurut mereka bertindak tidak adil.3 Pengertian ini juga disampaikan
Simon Tormey dalam International Enyclopedia of Social Sciences,
radikalisme merupakan sebuah konsep yang bersifat kontekstual dan
posisional, dalam hal ini kehadirannya merupakan antitesis dari
ortodoks atau arus utama (mainstream), baik bersifat sosial, sekuler,
saintifik, maupun keagamaan.
Dalam penggunannya, radikalisme seringkali diidentikkan
dengan terorisme. Meski tidak selalu demikian, memang bisa dikatakan
bahwa radikalisme merupakan akar atau pondasi awal munculnya aksi
terorisme. Dalam pengertian di atas, radikalisme memiliki dimensi
kekerasan dalam membangun sebuah perubahan secara radikal.
Memang tidak selalu demikian, namun dimensi kekerasan seringkali
digunakan untuk mewujudkan perubahan tersebut. Dengan demikian,
radikalisme dan terorisme seringkali berjalan beriringan. Dengan kata
lain, terorisme tak akan muncul bila tidak didahului dengan
radikalisme. Sehingga bila terorisme ingin ditanggulangi, maka setiap
bibit radikalisme perlu untuk ditangani terlebih dahulu. Inilah logika
yang sekarang sedang berjalan.
Masalahnya kemudian adalah, apakah pengertian radikalisme
sebagai sebuah wacana yang menyatakan perubahan secara mendalam
3 Lihat: Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, Melacak Akar Radikalisme Islam
di Indonesia, di: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, vol. 14, Nomor 2, November
2010, hal. 172
Menjaga Kebersamaan Di Tengah Keberagaman| 33
Abdul Matin bin Salman
hingga ke akarnya dan berfikir secara mendalam adalah selalu
dikategorikan negatif? Artinya bahwa setiap orang yang berfikir radikal
atau berkeyakinan secara radikal adalah hal yang perlu diwaspadai?
Pengertian ini perlu dipertanyakan mengingat bahwa secara ilmiah,
proses kerja ilmiah selalu menekankan cara berfikir secara radikal dan
mendalam untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif.4 Dalam
hidup beragama pun, keyakinan secara menyeluruh selalu dianjurkan
untuk dilakukan oleh setiap penganut agama. Lantas apakah kemudian
bisa dikatakan bahwa orang yang beriman secara penuh disebut dengan
orang yang radikal? Bila memang demikian, berarti setiap orang yang
beriman secara penuh harus diwaspadai karena berpotensi melakukan
tindak teror dan mengancam keamanan masyarakat. Bila demikian,
maka hal ini akan mendorong pada pilihan bahwa setiap orang tidak
perlu beragama karena cenderung akan membawa pada sikap yang
radikal. Inilah problem yang perlu didiskusikan terlebih dahulu, karena
istilah radikal sendiri masih bermasalah.
Istilah radikalisme merupakan istilah yang berasal dari Barat.
Karena istilah ini sampai sekarang belum ditemukan terjemahannya
dalam bahasa Arab. Oleh karena itu, ketika istilah radikalisme
disandingkan dengan agama, seringkali pelakunya disebut
fundamentalis. Dalam tradisi Barat, istilah fundamentalis seringkali
disamakan dengan istilah ekstrimis, radikalis, revivalis, seperti Islam
4 Dalam hal ini, pengertian dari filsafat sendiri adalah berfikir secara radikal
hingga sampai pada motif dari sesuatu. Lihat: Harun Nasution, Filsafat Agama,
(Jakarta, Bulan Bintang, 1973), hal. 3
34 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, April 2018
fundamentalis, atau Islam ekstrimis, Islam radikal dsb.5 Bagi Esposito,
istilah ini tidak tepat digunakan bila menyangkut dengan Islam. Hal
tersebut karena istilah ini tidak ada dalam kamus bahasa Islam dan
merupakan istilah yang lahir dengan nuansa peradaban Barat, sehingga
ia tidak bisa disandingkan dengan kata Islam. Ia lebih memilih dengan
Islam Revivalis karena lebih menekankan kaitannya dengan tradisi
dalam Islam.6
Penunjukkan Islam sebagai ikon fundamentalis atau radikalisme
bisa dicari asalnya dari cara pandanga realisme Barat. Cara pandang
seperti ini mungkin bisa ditarik akarnya pada pemikiran Huntington.
Cara pandang paling khas ditunjukkan oleh Samuel Huntington (1997)
dengan tesis Clash of Civilization yang melihat terorisme sebagai
implikasi dari benturan dua peradaban utama di dunia: Islam vis-a-vis
Barat. Menurutnya, Islam adalah satu-satunya peradaban yang pernah
membuat Barat tidak merasa nyaman, “Islam is the only civilization
which has put the survival of the West in doubt, and it has done at least
twice”.7 Pernyataannya ini seolah-olah ingin mengatakan bahwa Islam
dan peradabannya merupakan ancaman serius bagi setiap masyarakat
yang mengadopsi peradaban Barat sebagai peradaban global. Misalnya,
bila Barat menegaskan demokrasi sebagai sistem demokrasi yang patut
5 Lihat: Junaidi Abdillah, “Radikalisme Agama: Dekonstruksi Ayat Kekerasan
dalam al Qur’an”, dalam Jurnal Kalam, vol. 8, Nomor 2, Desember 2014, hal. 3 6 John L. Esposito, The Islamic Threat: Myth or Reality, (New York: Oxford
University Press, 1992), hal. 8-9. Isitilah Islam Revivalis pernah menjadi wacana
Dunia Islam ketika menghadapi gelombang kolonialisme Barat yang mengancam
keutuhan Islam. Istilah ini sering dikategorikan dalam Pan Islamisme. 7 Samuel P. Huntington, The Clash of Civilization and the Remaking of World
Order, (New York, Touchtone Books, 1996), hal. 209-210
Menjaga Kebersamaan Di Tengah Keberagaman| 35
Abdul Matin bin Salman
dianut oleh dunia Internasional, maka sudah pasti Islam akan
menolaknya dan akan berusaha merubah pandangan tersebut hingga
sesuai dengan sistem politik yang diyakini dan dibenarkan oleh
peradaban Islam.
Logika Huntington ini bertitik tolak dari gaya pandang realisme
yang memandang politik dunia sebagai struggle for power, perebutan
kekuasaan. Bedanya dari pemikir realis klasik seperti Morgenthau yang
menempatkan negara dalam posisi sentral, atau Waltz yang lebih
menempatkan kekuasaan (power) dalam perspektif yang material,
Huntington berangkat dari pembagian dunia atas apa yang ia sebut
sebagai “peradaban”. Sehingga kemudian memunculkan pemahaman
bahwa radikalisme Islam adalah sebuah gerakan yang berusaha untuk
merebut kekuasaan politik guna meruntuhkan rezim kekuasaan yang
lama dan menggantinya dengan kekuasaan Islam.
Fundamentalisme atau radikalisme Islam yang didefinisikan
Huntington ini tidak lepas dari respon Islam terhadap peradaban Barat.
Sekularisme yang dikembangkan Barat dan berhasil membius hampir
semua negara modern adalah salah satu faktor yang dianggap umat
Islam sebagai ancaman yang bisa merusak tatanan teologis Islam.
Sekularisme yang memisahkan urusan akhirat dan dunia tidak bisa
diterima Islam karena sejatinya Islam mengajarkan bahwa urusan dunia
adalah sarana untuk bisa sejahtera di akhirat. Atau dengan kata lain,
urusan dunia tidak bisa dipisahkan dari akhirat. Dengan demikian, bila
masyarakat Islam meyakini sekularisme sebagai bagian dari kehidupan
modern mereka, maka Islam hanya bernuansa akhirat dan tidak
memiliki keterkaitan dengan dunia seperti politik, ekonomi dan
36 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, April 2018
budaya.8 Walhasil, etika sosial masyarakat Islam pun tidak lagi
dilandaskan pada al Qur’an dan as Sunnah karena bukan merupakan
bagian dari kehidupan sosial. Sikap anti dari umat Islam inilah yang
kemudian membawa Huntington untuk melabeli Islam sebagai ikon
fundamentalis karena tidak berkesesuaian dengan Barat. Sehingga bisa
dikatakan bahwa penyematan istilah fundamentalis terhadap Islam ini
sangat bias kepentingan Barat terhadap Islam.
Dengan demikian bisa disimpulkan, bahwa istilah radikalisme
yang dilabelkan pada Islam atau agama lain masih sangat problematis.
Istilah tersebut tidak bisa mewakili ideologi yang ada pada ideologi
masing-masing agama, khususnya Islam. Hal tersebut karena bila
radikalisme diidentikkan dengan kekerasan, maka tidak cocok dengan
semua agama, karena semua agama mengajarkan kedamaian dan
menentang segala bentuk kekerasan. Namun bila radikalisme dimaknai
sebagai sebuah sikap beragama yang ta’at dan kuat secara
komprehensif, maka pengertian tersebut masih bisa diterima meski
dalam Islam pun belum bisa mewakili.
C. Islam dan Penyebarannya di Nusantara
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Islam tidak
mengajarkan pemaksaan dalam keimanan. Al Qur’an dengan tegas
menyatakan hal tersebut, “Tidak ada pemaksaan dalam agama”.9 Ayat
ini menjelaskan bahwa Islam disebarkan tidak dengan pemaksaan,
8 Lihat: Karen Amstrong, Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme dalam
Islam, Kristen dan Yahudi, (Jakarta: Serambi, 2001), hal. Ix 9 Q. S. Al Baqarah: 256
Menjaga Kebersamaan Di Tengah Keberagaman| 37
Abdul Matin bin Salman
melainkan kesadaran diri untuk meyakini kebenaran Islam. Hal ini
bukan hanya terdapat pada normativitas teks wahyu dan hadits
melainkan juga termanifestasikan dalam sejarah Islam awal.
Bagaimana Islam mampu merubah tatanan masyarakat Arab, bahkan
hingga meluas pada wilayah eks kekuasaan imperium Romawi dan
Persia.
Fakta historis ini juga terjadi di Indonesia yang nota bene adalah
negeri yang jauh dari Arab. Namun meski demikian, sejarah Islam
masuk ke Nusantara tidak diiringi dengan peperangan, penjajahan
apalagi penjarahan. Islam masuk ke Nusantara dengan damai. Ke-
khasan Islam inilah yang dinilai banyak kalangan sebagai faktor utama
keberhasilan Islam dalam mewarnai dunia. Hingga seorang Napoleon
Bonaparte pun menyatakan bahwa Muhammad telah membawa Islam
ke seluruh benua, dan mampu merubah kondisi sebuah bangsa hanya
membutuhkan waktu kurang dari satu keturunan, sedangkan bangsa
Perancis hanya bisa melakukan hal yang sama namun perlu
membutuhkan waktu selama delapan keturunan.10 Sedangkan Thomas
W. Arnold membela tuduhan bahwa Islam disebarkan dengan pedang
dengan mengatakan bahwa pedang sebagai senjata yang digunakan
bangsa Arab ketika itu adalah wajar di bawa oleh orang Islam karena
tidak semua bangsa memberikan sambutan yang ramah, dan untuk alat
10 Dikutip dari: Christian Cherfils, Bonapare et Islam, Pedone ed, (Paris,
11914), p. 105, 125
38 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, April 2018
membela diri ketika bertemu dengan perompak ataupun penjahat di
perjalanan.11
Kedatangan Islam di Nusantara secara damai ini berhasil
terwujud dikarenakan beberapa faktor yang mendukung
keberhasilannya. Islam datang dengan damai melalui jalur
perdagangan. Oleh karena itu, wilayah-wilayah pesisir Nusantara yang
merupakan pelabuhan-pelabuhan dagang internasional menjadi
wilayah pertama yang terdapat di dalamnya masyarakat muslim.
Thomas W. Arnold menjelaskan ada beberapa faktor yang mendorong
keberhasilan para pedagang muslim untuk menyebarkan Islam di
Nusantara. Pertama, adalah penguasaan bahasa setempat yang
menjadikan para pedagang tersebut mampu berkomunikasi dengan
lancar. Kedua, beradaptasi dengan adat istiadat masyarakat setempat,
sehingga dengan begitu mereka bisa berinteraksi secara alami dan
kekeluargaan. Ketiga pernikahan dengan masyarakat pribumi sehingga
menghasilkan keturunan dan semakin membentuk masyarakat muslim
di wilayah tersebut. Kemudian keempat adalah membeli para hamba
sahaya yang dari masyarakat pribumi dan kemudian diangkat derajat
merekasehingga dengan demikian sekaligus mengajarkan kemampuan
dan menjalin kerjasama, entah dalam perdagangan maupun dalam
penyebaran agama Islam.12
11 Lihat: Thomas W. Arnold, The Preaching of Islam: A History of The
Propagation of The Muslim Faith, (London, Constable & Company Ltd, 1913),
second edition, hal. 408-428 12 Lihat: Thomas W. Arnold, ad Da’wah al Islamiyyah: al Bahtsu fi Nasyri al
‘Aqidah al Islamiyyah, diterjemahkan dari: The Preaching of Islam: A History of The
Propagation of The Muslim Faith, pent: Dr. Khan Ibrahim Khan dkk, (Kairo,
Maktabah an Nahdhah al Mishriyyah, 1970), cet. III, p. 403
Menjaga Kebersamaan Di Tengah Keberagaman| 39
Abdul Matin bin Salman
Selain itu, tipologi masyarakat Nusantara yang terdiri dari
masyarakat maritim dan agraris juga menunjang percepatan penyebaran
Islam di sana. Masyarakat maritim yang gemar berkelana di samudera
dan terbiasa bertemu dengan bangsa asing dengan mudah bisa
berinteraksi dengan bangsa Arab. Selain itu, penguasaan bahasa juga
tidak terlalu mempersulit mereka dalam berkomunikasi dengan bangsa
pendatang. Tidak berbeda dengan masyarakat agraris yang berada di
pedalaman pulau. Sifatnya yang ramah dan sopan menjadi daya tarik
tersendiri bagi bangsa pendatang untuk bisa tinggal di berbagai wilayah
pedalaman di Nusantara. Maka tidak heran bila Islam bisa masuk dan
menyebar di Nusantara tanpa adanya kekerasan dan dalam waktu yang
relatif singkat sudah menyebar ke seluruh penjuru Nusantara. Bahkan
dalam buku Thomas W. Arnold tersebut hingga mendiami wilayah
Papua.13
Selain itu, Keberhasilan Islam dalam menyebarkan ‘aqidahnya ke
seantero Nusantara tidak lepas dari apa yang disebut oleh Harry J.
Benda adalah “Peradaban Kaum Santri”. Peradaban yang sangat
ditentukan oleh jaringan intelektual santri hingga dikemudian hari
mempengaruhi kepustakaan Jawa.14 Dan pada tahap inilah, Islam
mampu untuk berkolaborasi dengan adat setempat, dan bahkan hingga
memunculkan gerakan perubahan yang menghasilkan gerakan anti
penjajahan yang memepelopori kemerdekaan RI.15
13 Ibid, p. 442 14Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII & XVII, edisi Perenial, (Jakarta, Kencana Premedia Group, 2013), hal. 47-
53, baca juga di halaman 371-388 15 Simuh, Mistik Islam Kejawen: Raden Ngabehi Ranggawarsita, (Jakarta: UI
Press, 1988), hal. 21-22
40 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, April 2018
Lanjut, Harry J. Benda mengatakan bahwa sejarah Islam
Indonesia adalah sejarah peradaban santri dan pengaruhnya terhadap
kehidupan sosial, politik, dan agama di Indonesia sangat kuat.16 Fakta
ini bisa dilihat dari terbentuknya kota-kota kuno namun dengan sistem
tata kota modern, seperti yang ada di Solo, Cirebon, Malang, Ponorogo
dan lainnya. Kota-kota ini memiliki sistem catur kota dengan alun-alun
sebagai pusat berkumpulnya masyarakat, masjid sebagai pusat
kerohanian, keraton sebagai pusat pemerintahan, pasar sebagai pusat
sirkulasi ekonomi, dan kepolisian sebagai pusat pengaman masyarakat.
Sistem ini merupakan buah hasil pemikiran para wali yang nota bene
juga para santri. Selain itu, gerakan intelektual santri pula telah
membentuk semacam jaringan internasional yang kemudian mampu
membentuk jaringan kerjasama antara kerajaan Islam di Nusantara
dengan para ulama dan pembesar kesultanan Islam di Timur Tengah
waktu itu.
Islam juga mempelopori adanya sistem pendidikan di Nusantara.
Sebagai sebuah agama yang memang sangat mengedepankan kerja
intelektual sebgai sarana keimanan, Islam sangat mendorong umatnya
untuk selalu senantiasa belajar. Maka muncullah pesantren-pesantern di
Nusantara yang banyak jumlahnya. Menjamurnya pesantren di
Nusantara serta banyaknya santri yang belajar di sana, tidak lepas dari
kondisi sosial waktu itu, di mana sekolah formal bentukan Belanda
tidak semuanya bisa di akses masyarakat, sedangkan pesantrean dengan
kesederhanaannya mampu untuk hadir tidak hanya sebagai alternatif
16 Harry J. Benda, The Crescent and The Rising Sun: Indonesia Under The
Japanese Occupation 1942-1945, (Holland/USA, Foris Publication, 1983), hal. 14
Menjaga Kebersamaan Di Tengah Keberagaman| 41
Abdul Matin bin Salman
tapi juga sebagai tempat belajar utama umat Islam waktu itu.17 Dari
sinilah muncul para tokoh seperti Pangeran Diponegoro, HOS
Tjokroaminoto, K. H Hasyim Asy’ari dan sebagainya.
Di masa pra kemerdekaan pun peran Islam tidak bisa diremehkan.
Piagam Jakarta sebagai cikal bakan proklamasi kemerdekaan dan jiwa
dari UUD ’45 adalah kontribusi Islam paling real. Bagaimana tidak
pasal pertama yang tertera dalam Pancasila adalah hasil dari kesadaran
bangsa Indonesia yang memiliki identitas bangsa yang ber-Ketuhanan.
Meski diubah redaksinya, istilah kata Esa membuktikan bahwa ajaran
Tauhid dalam pasal tersebut sangat kental. Dari sini bisa dilihat bahwa
Islam telah memberikan warna pada corak berfikir dan watak berbangsa
rakyat Indonesia. Meski di sini, tidak bermaksud untuk menyatakan
bahwa Islam ingin memonopoli kekuasaan negara Indonesia. Bahkan
hingga sekarang segala bentuk simbol kenegaraan tidak lepas dari nilai-
nilai Islam yang telah mengakar akibat keyakinan yang telah mengakar
sejar ratusan tahun.
Dari pemaparan di atas, cukuplah bisa disimpulkan bahwa
labelisasi radikalisme dan terorisme pada Islam adalah tidak semuanya
dibenarkan. Karena Islam datang dengan damai, dan terbukti bisa
diterima oleh bangsa Indonesia yang berbudaya sangat kental. Ini
membuktikan bahwa Islam pun bisa berdamai dengan budaya setempat
tanpa harus mengurangi isi ajaran Islam itu sendiri. Hanya saja
masalahnya, pada tahap kehidupan sosial, banyak sekali tantangan-
tantangan yang terkadang memicu emosi dan amarah dari umat Islam.
17 Dr. Restu Gunawan, Indonesia dalam Sejarah: Bab 3, Kedatangan dan
Peradaban Islam, (Jakarta, PT Ichtian Baru Van Hoeve), hal. 181-185
42 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, April 2018
Maka dari itu, dalam pembahasan selanjutnya akan dijelaskan
bagaimana konsep toleransi dalam Islam.
D. Islam (al-Qur’an) dan Toleransi
Toleransi dalam Islam sering diterjemahkan dengan istilah
tasamuh. Toleransi atau tasamuh merupakan karakteristik Islam itu
sendiri sebagai al Hanifiyyah as Samhah. Kata tasamuh atau samahah
dan derivasinya sebenarnya tidak ditemukan dalam Al quran. Namun
dalam hadits dapat ditemukan seperti dalam ungkapan “ismah yusmah
laka”18 (permudahlah, niscaya kamu akan dipermudah). Meskipun
tidak ditemukan dalam Al quran, makna toleransi dalam perspektif
Islam dapat ditelusuri melalui kata kunci tersebut.19 Sebab secara
etimologi kata tasamuh dianggap sebagian kalangan senada dengan
toleransi,20 meskipun pada pemaknaan secara terminologi kata toleransi
tidak mampu mancakup makna kata tasamuh secara keseluruhan
bahkan sangat berbeda jauh. Jadi, dengan mengkaji kata tasamuh dapat
diperoleh pemahaman toleransi dalam perspektif Islam yang benar.
1. Tasamuh dalam Hal Aqidah (Keyakinan)
Keyakinan atau yang lebih sering disebut “aqidah” adalah hal
yang pokok dalam agama Islam.21 Karenanya seseoarang bisa
18 Abu Abdullah Ahamd bin Hambal, Musnad Ahmad bin Hambal, (Bairut:
Muassasah Ar Risalah, Juz 4, 2001), Hal.103 19 Muchlis M.Hanafi, Moderasi Islam, (Ciputat: Ikatan Alumni Al-Azhar dan
Pusat Studi Al quran, 2013), Hal.252 20 Tolrant: Bersifat Tasamuh. Lihat: Osman Raliby. Kamus Internasional.
(Jakarta: Bulan Bintang. 1982). Hal: 521 21 KH.Abdusshomad Buchori, Bunga Rampai Kajian Islam, (Surabaya:
Amarta dan MUI Prov.Jatim), Hal.16
Menjaga Kebersamaan Di Tengah Keberagaman| 43
Abdul Matin bin Salman
dihukum kafir atau muslim. Bagi seorang muslim aqidah harus
dibangun diatas dasar yang diterima dari sumber sahih sebagai suatu
keyakinan akan kebenaran mutlak.22 Hal yang demikian itu
dimaksudkan agar dalam keadaan bagaimanapun seorang muslim
tidak kehilangan identitas agamanya. Karena mempertahankan
aqidah adalah wajib hukumnya bagi seorang muslim sampai mati.23
Keyakinan akan kebenaran agama Islam adalah lebih bersifat
individual dan bukan sosial. Al quran telah menegaskan bahwa
kebenaran itu hanya pada Islam dan selain Islam adalah batil.24
Penegasan tersebut bertitik tolak dari keyakinan individu secara
sadar dengan diiringi rasa tanggung jawab akan konsekuensi yang
timbul darinya. Karena itulah Islam tidak memaksa seseorang untuk
memeluknya.25 Penegasan tersebut tidak harus ditafsirkan sebagai
sesuatu yang boleh menimbulkan ketegangan antar penganut agama
dan tidak pula sebagai suatu bentuk pemisah dari sudut sosial dan
kemasyarakatan.26 Oleh karena itu, dalam hubungan sosial
keyakinan akan kebenaran Islam harus tetap dipertahankan tanpa
menimbulkan permasalahan.
Islam mengakui adanya eksistensi dalam konteks pluralitas
agama27 tetapi Islam tidak mengakui akan kebenaran pada masing-
22 Mohammad Zaidi Abdul Rahman, dkk, Konsep Asas Islam dan Hubungan
Antar Agama..., Hal.117 23 QS.Ali Imroh:102 24 QS.Al Imron:19 dan 85, QS.Al Baqoroh:147, QS.Al Maidah:3 25 QS.Al Baqoroh:256 26 Khalif Muammaf, Islam dan Pluralisme Agama, (Malaysia: Mesbah,
CASIS,2013), Hal.xiii 27 QS.Hud:118
44 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, April 2018
masing.28 Hal tersebut karena adanya perbedaan fundamental secara
teologis antara agama yang satu dengan yang lain. Islam adalah
agama tauhid yang mengakui Allah sebagai Tuhan, sedangkan
Yahudi mengakui Tuhan Yahweh sebagai Tuhan khusus untuk
golongan mereka; Kristen mengimani satu Tuhan namun memiliki
tiga unsur; Tuhan Bapak, Tuhan Anak dan Ruh Kudus, atau dikenal
dengan Trinitas. Sedangkan agama-agama non semitik seperti
Hindu, Majusi, Taoisme dan lainnya beriman kepada banyak Tuhan
atau golongan yang sering disebut politeistik.29 Perbedaan
fundamental tersebut menjadikan Islam tidak mentolerir secara
teologis bahwa agama-agama lain sama dengan Islam. Jadi,
pengakuan Islam akan eksistensi agama lain bukan merupakan
pengakuan yang bersifat teologis.
Toleransi yang ingin dibangun Islam adalah sikap saling
menghormati tanpa mencampuradukkan keyakinan tiap-tiap agama.
Sehingga toleransi dalam Islam tidak sampai mengorbankan
kebenaran agama sendiri untuk menghormati agama lain.
Pernyataan ini tertera jelas dalam buku Hubungan Antar-Umat
Beragama terbitan dari Departemen Agama RI tahun 2008.
Toleransi yang ingin dibangun Islam adalah sikap saling
menghormati antar pemeluk agama yang berlainan tanpa
mencampuradukkan akidah. Persoalan akidah adalah sesuatu
yang paling mendasar dalam setiap agama sehingga bukan
menjadi wilayah untuk bertoleransi dalam arti saling melebur
dan menyatu. Dalam kaitan inilah Al quran menghimbau
28 QS.Al Kafirun:1-6, Baca juga: Mohammad Zaidi Abdul Rahman, dkk,
Konsep Asas Islam dan Hubungan Antar Agama..., Hal.117 29 Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama..., Hal.27-29
Menjaga Kebersamaan Di Tengah Keberagaman| 45
Abdul Matin bin Salman
untuk tidak mencampuradukkan akidah masing-masing. Hal
ini ditegaskan dalam surah Al Kafirun: 1-6.30
Toleransi dalam Islam sama sekali tidak mecakup aspek
aqidah. Karena jika toleransi harus mencakup dalam aspek aqidah,
maka hal itu justru akan mencampuradukkan aqidah dengan syirik.
Sikap saling menghormati tentu tidak harus dengan membenarkan
sesuatu yang menurut kita salah. Untuk itu, dalam toleransi antar
umat beragama seorang muslim diharuskan untuk menjaga garis
pemisah tersebut.
Salah satu nilai toleransi dalam Islam adalah kebebasan
berkeyakinan. Islam megakui eksistensi agama lain dan memberi
kebebasan kepada setiap individu untuk memeluknya. Karena
toleransi dalam kehidupan beragama akan dapat terwujud manakala
ada kebebasan dalam masyarakat untuk memeluk agama sesuai
dengan kepercayaannya dan tidak memaksa orang lain untuk
mengikuti agamanya.31 Untuk itu, kunci dari toleransi bukanlah
membuang atau merelativisasi ketidaksepakatan, tapi kemauan
untuk menerima ketidaksepakatan dengan sikap saling
menghormati dan menghargai. Dengan kebebasan seseorang dapat
memilih keyakinannya secara sadar dan tanpa paksaan. Jadi, karena
kebebasan berkeyakinanlah seseorang muslim dituntut untuk bisa
menghormati agama lain tanpa mengorbankan keyakinan sendiri.
30 Departemen Agama RI, Hubungan Antar-Umat Beragama, (Jakarta:
Departemen Agama RI, 2008), Hal.40 31 Ibid, Hal.26
46 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, April 2018
Prinsip kebebasan beragama bukan berarti pembenaran
terhadap agama lain.32 Kebebasan tersebut merupakan hak setiap
orang dan fitrah manusia dari Tuhan (Allah), karena tabiat asli
manusia adalah menuhankan sesuatu.33 Oleh karena itu, dalam
agama Islam tidak dibenarkan pemaksaan sebuah keyakinan (iman)
mengingat pembentukan keyakinan harus dilakukan seseorang
secara sadar dengan kerelaan hati dan penuh tanggung jawab.34
Bahkan selain memberi kebebasan beragama, Islam juga memberi
kebebasan untuk tidak beragama sama sekali atau atheis.35 Namun
perlu diketahui bahwa setiap pilihan tentu ada konsekuensinya
masing-masing.36 Jadi, prinsip kebebasan beragama dalam Islam
merupakan fitrah dan hak setiap manusia dari Tuhan untuk
dipertanggungjawabkan masing-masing.
Kebebasan tersebut juga tidak berarti menafikkan dakwah
Islamiyah. Justru dengan pemberian kebebasan tersebut seorang
non-muslim mampu menilai secara langsung bahwa ajaran agama
Islam penuh rahmat (kasih sayang) dan keluasan berfikir, sehingga
diharapkan dia mampu menemukan kebenaran dengan sendirinya
32 Departemen Agama RI, Hubungan Antar-Umat Beragama..., Hal.40, Lihat:
Al Maidah: 48 33 Al Ankabut: 61 34 QS.Al Baqoroh:256, Baca juga: Khalif Muammaf, Islam dan Pluralisme
Agama..., Hal.xiii 35 QS.Al Kahfi:29, Baca juga: Abdusshomad Buchori, Bunga Rampai Kajian
Islam..., Hal.449-450 36 Menurut ketegasan Islam, agama apapun di luar agama Islam adalah kafir
yang konsekuensinya adalah ancaman masuk neraka selamanya. Lihat: Nur Hidayat
Muhammad, Fiqh Sosial dan Toleransi Beragama, (Kediri: Nasyrul’ilmi, 2012),
Hal.3
Menjaga Kebersamaan Di Tengah Keberagaman| 47
Abdul Matin bin Salman
dan tanpa ada paksaan.37 Inilah kiranya yang kemudian disebut
sebagian dakwah bil kahl yang merupakan esensi dakwah yang
dilakukan Rasulullah sebagai uswatun hasanah (perangai mulia)
yang memberikan keteladanan pada setiap gerak langkahnya. Jadi,
pelaksanaan uswatun hasanah oleh umat Islam dalam
muamalahnya dengan sosial merupakan dakwah Islamiyah yang
nyata baik bagi umat muslim sendiri maupun non muslim. Sehingga
dengan akhlak mulia, dakwah menjadi tidak hanya gerakan tabligh
bil lisan tapi secara komprehensif memberikan kontribusi nyata
pada seluruh aspek kehidupan masyarakat.38
2. Tasamuh dalam Hal Ibadah (Ritual Keagamaan)
Setiap agama memiliki ritual keagamaan/bentuk-bentuk
peribadatan yang berbeda-beda.39 Selain tata cara yang
beranekaragam, tempat dan waktu peribadatan mereka juga
berbeda-beda. Meskipun beberapa terdapat persamaan, namun
sejatinya memiliki esensi yang tidak sama karena semuanya
berangkat dari ajaran dan keyakinan yang berbeda. Ritual-ritual,
tempat-tempat, dan waktu peribadatan yang ada pada agama Islam
tentunya tidak sama dengan agama Kristen, Katolik, Hindu, Budha,
Konghucu, dll. Dengan demikian sebagai umat beragama harus
memahami bahwa masing-masing agama mempunyai ajaran yang
berbeda-beda dalam tata cara peribadatan. Semua itu merupakan
37 Yunus Ali Almuhdar, Toleransi-toleransi Islam: Toleransi Kaum Muslimin
dan Sikap Lawan-lawannya, (Bandung: N.V.Tarate, 1983), Hal.4-5 38 Musthafa Dib Al-Bugha dan Muhyiddin Mistu, Al Wafi Syarh Hadis Arba’in
An-Nawawi, pnt. Abu Harraz Al-Anaqi, (Yogyakarta: Darul Uswah, 2013),Hal.181 39 Ibid, Hal.4
48 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, April 2018
ciri khas dan kepribadian umat beragama itu sendiri. Oleh karena
itu, tidak diperbolehkan mencampuraduk ajaran agama-agama.
Dalam hal ini masing-masing agama harus mempunyai sikap setuju
dalam perbedaan.40
Kebebasan masyarakat untuk melakukan ritual keagamaan
sesuai dengan keyakinannya adalah hal yang sejalan dengan
toleransi dalam Islam.41 Al quran sebagai kitab suci agama Islam
tidak hanya memberi kebebasan tersebut bahkan juga memberi
penghormatan yang wajar terhadap ritual-ritual agama lain.
Sebagaimana firman Allah:
(Yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman
mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka
berkata: "Tuhan Kami hanyalah Allah". dan Sekiranya Allah
tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian
yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani,
gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-
masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.
Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong
(agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha kuat
lagi Maha perkasa.(QS.Al Hajj: 40)
40 Abdusshomad Buchori, Bunga Rampai Kajian Islam...,Hal.528 41 Ibid, Hal:32
Menjaga Kebersamaan Di Tengah Keberagaman| 49
Abdul Matin bin Salman
Ayat tersebut pada dasarnya berkenaan dengan ayat
sebelumnya yang mengizinkan perang. Meskipun dalam konteks
perang Al quran melarang penghancuran terhadap rumah-rumah
ibadah yang merupakan pusat ritual agama lain. Semua itu
merupakan penghormatan yang tinggi dari Al quran terhadap
ibadah dan ritual agama lain. Jadi, kebebasan masyarakat untuk
beribadah sesuai keyakinan masing-masing sangat dihormati oleh
Al quran. Itulah salah satu nilai toleransi Islam dalam aspek ritual
keagamaan.
Penghormatan dan pengakuan Al quran terhadap ritual
bahkan eksistensi agama lain sekali lagi bukan berarti mengakui
kebenaran ajaran agama tersebut. Karena semua ritual ibadah
agama adalah berangkat dari teologi atau keyakinan akan kebenaran
mutlak yang berbeda-beda.42 Penghormatan tersebut adalah sebagai
konsekunsi dari kebebasan berkeyakinan yang ada pada Islam. Jika
Islam memberi kebebasan memilih agama maka sangatlah wajar
jika Islam memberi penghormatan terhadap ritualnya. Namun perlu
diketahui bahwa semua itu diiringi dengan konsekuensi masing-
masing. Jika Islam membenarkan maka tidak sewajarnya Islam
memberi konsekuensinya masing-masing. Jadi, penghormatan Al
quran terhadap ritual agama lain merupakan konsekuensi dari
kebebasan berkeyakinan yang diiringi dengan konsekuensinya
masing-masing dan bukan pembenaran terhadap ritual tersebut.
42 Adian Husaini, Penyesatan Opini: Sebuah Rekayasa Mengubah Citra,
(Jakarta: Gema Insani, 2005), Hal.10-11
50 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, April 2018
Penghormatan tersebut juga bukan berarti mengizinkan umat
Islam untuk ikut andil bagian didalamnya. Al quran dengan tegas
memberi peringatan bahwa amal orang mukmin kelak diberi
balasan yang setimpal yaitu surga, sedangkan amal orang yang tidak
mukmin (kafir) bagaikan fatamorgana atau sia-sia.43 Meskipun
dengan dalih toleransi atau hanya sekedar ikut meramaikan tanpa
ada unsur meyakini kebenaran agama tersebut tapi dengan ikut andil
bagian didalamnya berarti secara tidak langsung telah ikut
mendukung ajaran tersebut. Sehingga secara tidak sadar berarti juga
telah membenarkannya.44 Dengan demikian, tanpa disadari ketika
seorang muslim ikut berpartisipai dalam ritual agama lain maka
telah mencampurkan antara aqidah dengan syirik.45 Hal yang
demikian itu dilarang adalah untuk menjaga kesucian agama Islam,
kemurnian aqidah, serta untuk menciptakan rasa aman dan
hubungan harmonis antar umat beragama.46 Mengingat tabiat
manusia akan mudah terpancing emosi apabila agama dan
kepercayaannya disinggung atau dicampuri umat agama lain. Jadi,
dengan adanya penghargaan dan penghormatan Al quran terhadap
ritual agama lain tidak bisa menghalalkan seorang muslim ikut
berpartisipasi di dalamnya.
Larangan seorang muslim mengikuti ritual agama lain
sejatinya merupakan benteng untuk menjaga aqidah sekaligus
43 QS.An Nuur:39-40 44 Adian Husaini, Penyesatan Opini: Sebuah Rekayasa Mengubah Citra,
(Jakarta: Gema Insani, 2005), Hal.10-11 45 Ibid, Hal.11 46 Departemen Agama RI, Hubungan Antar-Umat Beragama..., Hal.35
Menjaga Kebersamaan Di Tengah Keberagaman| 51
Abdul Matin bin Salman
penghargaan terhadap agam lain. Meskipun Islam menganggap
ritual mereka salah, Islam tetap memberi kebebasan kepada mereka
dengan melarang umat muslim mencampuri urusan agama mereka.
Kebebasan tersebut tetap sesuai batas-batas yang ada pada syariat
Islam dan bukan kebebasan mutlak hingga mengajak orang muslim
ikut andil bagian di dalamnya. Sepertihalnya hadits riwayat Bukhori
yang melarang seorang muslim ikut merayakan hari raya agama
lain.47 Dalam hadits tersebut rasulullah menjelaskan bahwa setiap
kaum atau agama memiliki hari raya masing-masing dan hari raya
umat Islam telah ditentukan. Sehingga dapat dipahami bahwa rasul
melarang seorang muslim mengikuti hari raya agama lain karena
Islam sudah memiliki hari raya sendiri. Dalam hadits lain riwayat
Ahmad juga terdapat penjelasan bahwa rasul melarang kaum
muslim memasuki tempat Ibadah agama lain kecuali dengan
menangis karena takut azab Allah.48 Tegasnya larangan rasul dalam
hal mencampuri ritual agama lain tidak lain adalah untuk menjaga
aqidah umat muslim sendiri. Sehingga larangan tersebut tidak bisa
diartikan sebagai isolasi muslim dari sosial. Justru dengan
47 HR.Bukhori 952
48 HR.Ahmad 4561
52 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, April 2018
pelarangan itulah merupakan kebebasan bagi agama lain untuk
melakukan ibadah sesuai dengan keyakinannya.
3. Tasamuh dalam Hal Muamalah Duniawi (Sosial)
Sosial tidak bisa dipisahkan dari agama dalam Islam
meskipun dalam bidang ini umat Islam bisa bersikap lebih inklusif
kepada umat agama lain dengan berpegang teguh pada ketentuan
yang ada. Pergaulan dan interaksinya dalam sosial bersama umat
agama lain tidak dilarang sepanjang tidak bertentangan dengan
kontrol tersebut.49 Islam memberi penekanan kepada umatnya
untuk berbuat baik, menyebarkan kasih sayang, saling membatu,
dan berbuat adil. Semua itu tidak dilaksanakan atau ditujukan hanya
kepada sesama muslim saja bahkan kepada non-muslim
sekalipun50. Sewaktu ada yang memerlukan bantuan dan kita
memiliki kemampuan untuk itu, sangat wajar mereka dibantu.
Karena toleransi antar umat beragama dalam muamalah duniawi
memang dianjurkan supaya tolong-menolong, hidup dalam
kerukunan tanpa memandang perbedaan agama, suku, bahasa, dan
ras.51 Namun, sikap saling membantu atau tolong menolong
tersebut tidak bisa dipahami secara bebas. Sebagai wahyu, Al quran
dan Hadits adalah sebagai tolak ukurnya (kontrol) utamanya. Salah
satu diantaranya adalah firman Allah dalam QS.Al Maidah: 2 yang
berbunyi:
49 Departemen Agama RI, Hubungan Antar-Umat Beragama..., Hal.32 50 Lihat: QS.Al Mumtahanah:8-9 51 Muslim Ibrahim, Islam dan Wasatiyyah..., Hal.72
Menjaga Kebersamaan Di Tengah Keberagaman| 53
Abdul Matin bin Salman
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.(QS.Al
Maidah: 2)
Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami bahwa saling
tolong menolong harus dipastikan bahwa petolongan tersebut
menyangkut kebaikan dan ketakwaan. Walaupun tolong menolong
dengan sesama muslim akan tetapi jika dalam hal keburukan atau
kejahatan tentu hal itu tidak dibenarkan oleh syariat Islam.52 Jadi,
tolong menolong dalam Islam tidak dibatasi kepada sesama muslim
saja bahkan kepada non muslim sekalipun asalkan mampu menjaga
batasan tersebut.
Hal ini dikarenakan sikap tolong menolong dalam Islam
tidak hanya bertujuan untuk memudahkan atau meringankan
pekerjaan saja. Akan tetapi lebih dari pada itu juga untuk
mempercepat terealisasinya kebaikan, terwujudnya persatuan dan
kesatuan, bahkan sebagai salah satu sarana ibadah untuk menambah
keimanan (ketaqwaan). Sehingga tolong menolong dalam Islam
bukan hanya sekedar untuk pemenuhan kebutuhan yang bersifat
material atau demi terciptanya tata pergaulan masyarakat yang
harmonis saja akan tetapi lebih dari pada itu juga sebagai penambah
52 Departemen Agama RI, Hubungan Antar-Umat Beragama..., Hal.74
54 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, April 2018
iman. Oleh karena itu, baik memberi bantuan kepada non-muslim
ataupun menerima bantuan darinya, pada dasarnya tidak ada
larangan bagi seorang muslim asalkan mampu menjaga garis
batasan tersebut.53 Dengan demikian, tolong menolong dalam Islam
yang tidak hanya dibatasi kepada sesama muslim merupakan
penghormatan kepada umat agama lain sekaligus upaya untuk
menciptakan kerukunan, perdamaian, bahkan penambah ketaqwaan
bagi muslim yang melakukan.
Perintah tersebut sebenarnya tidak terbatas kepada sesama
muslim atau non-muslim saja. Sebagai kholifah di muka bumi
manusia harus mampu berbuat baik kepada seluruh makhluk Allah,
tolong menolong, berbuat adil, dan tidak merusak.54 Mengingat
salah satu tugas manusia sebagai kholifah adalah memakmurkan
bumi dan seisinya. Oleh karena itu, dalam muamalah duniawi
terutama yang berhubungan dengan sosial dan keseimbangan alam,
seorang muslim tidak selayaknya bersikap eksklusif atau menutup
diri hanya karena lingkungannya berbeda. Justru dengan
pergaulannya yang mencerminkan akhlak Islamiyah diharapkan
mampu meningkatkan kemaslahatan umum dan memberi suri
tauladan bagi yang lain sehingga perbedaan yang ada dapat disikapi
dengan lebih positif dan supaya nilai-nilai Islami dapat diterapkan
meskipun dalam kondisi sosial yang heterogen. Dengan demikian
secara tidak sadar sesungguhnya dia telah memberi dakwah
Islamiah dengan memperbaiki hubungannya dengan sosial dan
53 Ibid, Hal.74 54Abdusshomad Buchori, Bunga Rampai Kajian Islam..., Hal.9
Menjaga Kebersamaan Di Tengah Keberagaman| 55
Abdul Matin bin Salman
lingkungan.55 Jadi, pergaulan seorang muslim dalam aspek sosial
dengan saling membantu, menyebarkan kasih sayang, dan berbuat
adil merupakan salah satu bentuk dakwah Islamiyah apabila dapat
dilaksanakan dengan baik, sesuai syariat Islam, dan tidak saling
merugikan.
E. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas bisa disimpulkan bahwa dalam isitilah
radikalisme masih terdapat permasalahan yang perlu diperhatikan.
Istilah ini tidak bisa menjadi label suatu sikap keberagamaan karena
hidup beragama justru menuntut adanya sikap radikal karena hal
tersebut menentukan kualitas sebuah keimanan. Maka dengan
demikian, radikalisme tidak cocok untuk label suatu tindak kekerasan
atas nama agama. Namun bila istilah tersebut merujuk pada aksi teror
dengan motif perubahan dari adanya kemapanan dalam hal politik,
sosial, ekonomi dan budaya, mungkin masih bisa digunakan. Artinya,
segala tindak kekerasan tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan
agama tertentu.
Apalagi bila radikalisme memiliki tendensi terhadap Islam, maka
hal tersebut juga tidak dibenarkan. Pasalnya, Islam adalah agama
damai, yang kental dengan nuansa perdamaian dalam hidup bersama.
Islam terbukti secara historis datang ke Nusantara dengan damai, dan
mampu beradaptasi dengan budaya setempat, bahkan mampu diterima
sebagai nilai dasar moral bermsyarakat di Nusantara. Buktinya
banyaknya pesantren dan tokoh besar Nusantara adalah kaum santri.
55 Ibid, Hal.181
56 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, April 2018
Kemudian rumusan Piagam Jakarta yang menjiwai dasar negara
Indonesia adalah ramuan dari nilai-nilai moral dalam Islam. Sehingga
dengan demikian, Islam bukanlah ajaran yang mengajarkan kekerasan
atau aksi teror yang menuntut adanya monopoli kekuasaan atas sesuatu.
Maka, aksi radikalisme yang berujung pada terorisme ini bisa
dinilai sebagai sebuah aksi yang dihasilkan dari kurangnya pemahaman
beragama bagi sebagian masyarakat di Indonesia. Sehingga bila dicari
solusinya, pendidikan keagamaan harusnya bisa lebih sering diajarkan
di sekolah-sekolah dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Pasalnya,
bila agama mengajarkan kedamaian, maka manusia beragama adalah
agen dalam menyebarkan kedamaian tersebut. Bila banya aksi teror
yang mengancam keamanan dan merenggut kedamaian sosial, maka hal
tersebut adalah hasil perbuatan dari orang yang kurang dalam
beragama.
Menjaga Kebersamaan Di Tengah Keberagaman| 57
Abdul Matin bin Salman
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’anul Karim
Abdillah, Junaidi, “Radikalisme Agama: Dekonstruksi Ayat Kekerasan
dalam al Qur’an”, dalam Jurnal Kalam, vol. 8, Nomor 2,
Desember 2014
Almuhdar, Yunus Ali, Toleransi-toleransi Islam: Toleransi Kaum
Muslimin dan Sikap Lawan-lawannya, (Bandung: N.V.Tarate,
1983)
Amstrong, Karen, Berperang Demi Tuhan: Fundamentalisme dalam
Islam, Kristen dan Yahudi, (Jakarta: Serambi, 2001)
Arnold, Thomas W., ad Da’wah al Islamiyyah: al Bahtsu fi Nasyri al
‘Aqidah al Islamiyyah, diterjemahkan dari: The Preaching of
Islam: A History of The Propagation of The Muslim Faith,
pent: Dr. Khan Ibrahim Khan dkk, (Kairo, Maktabah an
Nahdhah al Mishriyyah, 1970), cet. III
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII & XVII, edisi Perenial, (Jakarta,
Kencana Premedia Group, 2013)
Benda, Harry J., The Crescent and The Rising Sun: Indonesia Under
The Japanese Occupation 1942-1945, (Holland/USA, Foris
Publication, 1983)
Departemen Agama RI, Hubungan Antar-Umat Beragama, (Jakarta:
Departemen Agama RI, 2008)
Esposito, John L., The Islamic Threat: Myth or Reality, (New York:
Oxford University Press, 1992)
Gunawan, Dr. Restu, Indonesia dalam Sejarah: Bab 3, Kedatangan dan
Peradaban Islam, (Jakarta, PT Ichtian Baru Van Hoeve)
58 | Jurnal Syahadah
Vol. V, No. 2, April 2018
Hasan, Noorhaidi, Laskar Jihad: Islam, Militancy, and The Quest for
Indentity in Post-New Order Indonesia, Ithaca, N. Y: Southest
Asia Program Publicaations, Southest Asia Program, Cornell
University, 2006)
Huntington, Samuel P., The Clash of Civilization and the Remaking of
World Order, (New York, Touchtone Books, 1996)
Ibn Hambal, Abu Abdullah Ahamd, Musnad Ahmad bin Hambal,
(Bairut: Muassasah Ar Risalah, Juz 4, 2001
Madjid , Nurcholis, Pintu-Pintu Menuju Tuhan, (Jakarta, Paramadina,
1995)
Muhammad, Nur Hidayat, Fiqh Sosial dan Toleransi Beragama,
(Kediri: Nasyrul’ilmi, 2012)
Umar, Ahmad Rizky Mardhatillah, Melacak Akar Radikalisme Islam di
Indonesia, di: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, vol. 14,
Nomor 2, November 2010