Post on 06-Aug-2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Malaria adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh sporozoa dari genus
Plasmodium, yang secara klinis ditandai dengan serangan paroksismal dan periodik,
disertai anemia, pembesaran limpa dan kadang-kadang dengan komplikasi pernisiosa
seperti ikterik, diare, black water fever, acute tubular necrosis, dan malaria cerebral.
Kasus malaria terbanyak terdapat di kawasan Afrika dan beberapa Negara Asia, termasuk
Indonesia.1
Penyebab mortalitas penyakit malaria ialah infeksi Plasmodium falciparum yang
dapat menyebabkan malaria berat baik pada orang dewasa maupun anak-anak. Kejadian
malaria berat masih merupakan ancaman karena mortalitasnya masih bervariasi antara 10-
50% tergantung dari kemampuan diagnosis dan pelayanan kesehatan untuk pengobatan
yang adekuat.2
Berdasarkan hasil studi baru diketahui Plasmodium falciparum berasal dari gorila,
dan ditemukan jenis baru yaitu Plasmodium knowlesi yang ada pada monyet ekor panjang
(Macaca fascicularis). Kematian pada manusia akibat dari parasit menempel dan dapat
menyumbat pembuluh darah kapiler yang halus.3
Patogenesis malaria komplikasi meliputi cytoadherent pada mikrovaskular
terhadap eritrosit terinfeksi parasit, adherens antara eritrosit normal dengan eritrosit
yang mengandung parasit ( rosetting ), dan pengeluaran sitokin sebagai respons terhadap
substansi toksik yang dikeluarkan oleh Plasmodium falciparum yang menyebabkan
kerusakan jaringan. Namun, pada keadaan tertentu pengeluaran sitokin sebagai respons
terhadap substansi toksik dari Plasmodium falciparum terjadi secara berlebihan sehingga
menyebabkan kerusakan jaringan yang sangat berat dan fatal. 4
1
BAB II
ISI
2.1 Malaria Secara Umum
Penyakit Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit
Plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia. Penyakit
ini secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina.5
Gambar 1. Mikroskopik Plasmodium sp.
Plasmodium adalah parasit yang termasuk vilum Protozoa, kelas sporozoa. Secara
parasitologi dikenal 4 genus Plasmodium dengan karakteristik klinis yang berbeda bentuk
demamnya, yaitu : 1
1) Plasmodium vivax, secara klinis dikenal sebagai Malaria tertiana disebabkan serangan
demamnya yang timbul setiap 3 hari sekali.
2) Plasmodium malaria, secara klinis dikenal sebagai Malaria Quartana karena serangan
2
demamnya yang timbul setiap 4 hari sekali.
3) Plasmodium ovale, secara klinis dikenal sebagai Malaria Ovale dengan pola demam
tidak khas setiap 2-1 hari sekali.
4) Plasmodium falciparum, secara klinis dikenal sebagai Malaria tropicana atau Malaria
tertiana maligna sebab serangan demamnya yang biasanya timbul setiap 3 hari sekali
dengan gejala yang lebih berat dibandingkan infeksi oleh jenis plasmodium lainnya.
Sekarang ditemukan jenis malaria baru yang disebabkan oleh Plasmodium
knowlesi. Dulu jenis ini hanya ada pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis),
namun sekarang ditemukan juga pada tubuh manusia.3
Penelitian sebuah tim internasional dalam Clinical Infectious Disease
memaparkan hasil tes pada 150 pasien di rumah sakit Serawak Malaysia Juli 2006 sampai
Januari 2008, dua per tiga kasus malaria disebabkan oleh infeksi Plasmodium knowlesi.3
Gambar 2: siklus hidup dan infeksi Plasmodium: 5
3
Secara epidemiologi, spesies yang terbanyak dijumpai di Indonesia adalah
plasmodium falciparum dan vivax. Plasmodium malaria dapat ditemukan di beberapa
provinsi antara lain: Lampung, Nusa Tenggara Timur dan Papua. Plasmodium ovale
pernah ditemukan di Nusa Tenggara Timur dan Papua. 5
a. Fase aseksual
Dimulai ketika anopheles betina menggigit manusia dan memasukkan sporozoit
yang terdapat dalam air liurnya ke dalam sirkulasi darah manusia. Dalam waktu 30 menit
– 1 jam, sporozoit masuk kedalam sel parenkim hati dan berkembang biak membentuk
skizon hati yang mengandung ribuan merozoit. Proses ini disebut intrahepatic
schizogony atau pre-erythrocyte schizogony atau skizogoni eksoeritrosit, karena parasit
belum masuk kedalam eritrosit (sel darah merah). Lamanya fase ini berbeda-beda untuk
tiap spesies plasmodium; butuh waktu 5,5 hari untuk P.falciparum dan 15 hari untuk
P.malariae. Pada akhir fase terjadi sporulasi, dimana skizon hati pecah dan banyak
mengeluarkan merozoit ke dalam sirkulasi darah. Pada P.vivax dan P.ovale, sebagian
sporozoit membentuk hipnozoit dalam hati yang dapat bertahan sampai bertahun-tahun,
atau dikenal sebagai sporozoit “tidur” yang dapat mengakibatkan relaps pada malaria,
yaitu kambuhnya penyakit setelah tampak mereda selama periode tertentu. Fase eritrosit
dimulai saat merozoit dalam sirkulasi menyerang sel darah merah melalui reseptor
permukaan eritrosit dan membentuk trofozoit. Reseptor pada P.vivax berhubungan
dengan faktor antigen Duffy Fya dan Fyb. Oleh karena itu individu dengan golongan
darah Duffy negatif tidak terinfeksi malaria vivax. Reseptor P.falciparum diduga
merupakan suatu glikoforin, sedangkan pada P.malariae dan P.ovale belum diketahui.
Dalam kurang dari 12 jam parasit berubah menjadi bentuk cincin; pada P.falciparum
berubah menjadi bentuk stereo-headphones didalam sitoplasma yang intinya mengandung
kromatin. Parasit malaria tumbuh dengan mengonsumsi hemoglobin. Bentuk eritrosit
yang mengandung parasit menjadi lebih elastis dan berbentuk lonjong. Setelah 36 jam
4
menginvasi eritrosit, parasit berubah menjadi skizon. Setiap skizon yang pecah akan
mengeluarkan 6-36 merozoit yang siap menginfeksi eritrosit lain. Siklus aseksual P.
knowlesi terjadi dalam waktu 24 jam sedangkan P.falciparum, P.vivax, dan P.ovale
adalah 48 jam dan P.malaria adalah 72 jam.3 Dengan kata lain, proses menjadi trofozoit
–skizon – merozoit. Setelah dua sampai tiga generasi merozoit terbentuk, sebagian
berubah menjadi bentuk seksual, gamet jantan dan gamet betina.6
b. Fase seksual
Jika nyamuk anopheles betina mengisap darah manusia yang mengandung parasit
malaria, parasit bentuk seksual masuk ke dalam perut nyamuk. Bentuk ini mengalami
pematangan menjadi mikrogametosit dan makrogametosit, yang kemudian terjadi
pembuahan membentuk zygote (ookinet). Selanjutnya, ookinet menembus dinding
lambung nyamuk dan menjadi ookista. Jika ookista pecah, ribuan sporozoit dilepaskan
dan bermigrasi mencapai kelenjar air liur nyamuk. Pada saat itu sporozoit siap
menginfeksi jika nyamuk menggigit manusia.6
Gambar 3. Distribusi geografik malaria di seluruh dunia. Indonesia merupakan salah satu
wilayah dengan angka kejadian yang tinggi7
5
Terjadinya infeksi oleh parasit Plasmodium ke dalam tubuh manusia dapat terjadi melalui
dua cara yaitu : 8
1. Secara alami melalui gigitan nyamuk anopheles betina yang mengandung parasit
malaria
2. Induksi yaitu jika stadium aseksual dalam eritrosit masuk ke dalam darah manusia,
misalnya melalui transfusi darah, suntikan, atau pada bayi yang baru lahir melalui plasenta
ibu yang terinfeksi (kongenital).
2.2 Pengertian Malaria Serebral
Malaria serebral adalah suatu komplikasi berat dari infeksi Plasmodium
falciparum yang ditandai demam yang sangat tinggi, gangguan kesadaran, kejang yang
terutama terjadi pada anak, hemiplegi dan berakhir pada kematian jika tidak secepatnya
mendapatkan perawatan yang tepat.1 Pada malaria falciparum, 10% kasus akan mengalami
komplikasi malaria serebral, dan jumlah ini memenuhi 80% kematian pada malaria.9
Malaria serebral merupakan penyebab utama ensefalopati non-traumatik di dunia,
sehingga merupakan penyakit parasitik terpenting pada manusia. Malaria diperkirakan
telah sekitar 5% populasi dunia dan menyebabkan 0,5 – 2,5 juta jiwa meninggal setiap
tahun.10
2.3 Etiopatogenesis Malaria Serebral
Penyebab malaria cerebral adalah akibat sumbatan pembuluh darah kapiler di otak
karena menurunnya aliran darah efektif dan adanya hemolisa sel darah.1
Selain itu, beberapa faktor yang juga mempengaruhi manifestasi neurologi pada malaria,
antara lain: 11
- Demam derajat tinggi, akan mengganggu kesadaran, kejang demam (pada anak), dan
psikosis. Manifestasi tersebut akan menurun bila derajat panas diturunkan. Apabila
kesadaran tidak mengalami gangguan setelah serangan kejang atau demam, maka
prognosis penderita umumnya baik.
- Obat-obat antimalaria, seperti klorokuin, kuinin, meflokuin, dan halofantrin juga dapat
menyebabkan gangguan perilaku, kejang, halusinasi, dan psikosis.
6
Bila tidak terdapat demam tinggi atau parasitemia yang menyertai manifestasi neurologis,
maka kemungkinan penyebabnya adalah obat antimalaria.
- Hipoglikemia, pada infeksi malaria berat , dapat terjadi hipoglikemia. Kejadian
hipoglikemia lebih sering terjadi pada ibu hamil. Perlu adanya pertimbangan pemberian
infus dextrose 25-50% untuk mengatasi hal ini.
- Hiponatremia, hampir selalu terjadi pada kasus yang dialami orang tua dan seringkali
akibat muntah berlebih.
- Anemia berat dan hipoksemia dapat menyebabkan disfungsi serebral pada pasien
dengan malaria.
Patofisiologi malaria serebral yang terkait dengan infeksiusitas parasit masih
belum diketahui secara pasti. Meskipun dasar kelainan adalah adanya sumbatan
mikrosirkulasi serebral yang disebabkan parasit, namun mekanisme pastinya masih
merupakan hipotesis.11
Pada malaria berat mekanisme patogenesisnya berkaitan dengan invasi merozoit
ke dalam eritrosit sehingga menyebabkan eritrosit yang mengandung parasit mengalami
perubahan struktur dan biomolekuler sel untuk mempertahankan kehidupan parasit.
Perubahan tersebut meliputi mekanisme transpor membran sel, penurunan deformabilitas,
pembentukan knob, ekspresi varian non antigen di permukaan sel, cytoadherence ,
sekuestrasi dan rosetting , peranan sitokin dan NO (Nitrit Oksida). 4
Cytoadherence adalah peristiwa perlekatan eritrosit yang telah terinfeksi
P.falsiparum pada reseptor di bagian endotelium venule dan kapiler. Di samping itu juga
terjadi perlekatan antara eritrosit yang terinfeksi parasit stadium lanjut dengan eritrosit
normal, dan dikenal dengan rossette form. Perlekatan tersebut mengakibatkan kerusakan
dinding pembuluh darah kapiler dan menghambat aliran darah ke pembuluh darah kapiler
akhir karena terbentuknya sloughing, sequestration dan roset. Proses tersebut
menyebabkan terjadinya edema dan hipoksia karena adanya kebocoran kapiler dan aliran
darah berkurang.12
Hanya P.falsiparum yang mengalami sequestration, karena pada plasmodium
lainnya seluruh siklus terjadi pada pembuluh darah perifer. Sequestration terjadi pada
organ-organ vital dan hampir semua jaringan dalam tubuh, namun tertinggi terdapat di
7
otak, diikuti dengan hepar dan ginjal, paru, jantung dan usus. Sehingga efek kumulatif dari
proses ini akan mempengaruhi organ-organ tersebut.13
Malaria berat juga dapat terjadi karena sistem kekebalan penderita bereaksi
berlebihan dan sebagai perantara kerusakan sel (saraf, hati, ginjal) melalui produk toksik
dari sel kekebalan (makrofag) yaitu sitokin antara lain Tumor Necrosing Factor (TNF),
Inter Leukin I (IL I), IL VI dan lain-lain.12
Pengeluaran TNF dirangsang oleh produk parasit yang dikeluarkan pada waktu
eritrosit yang terinfeksi pecah. Kelainan tubuh yang diakibatkan oleh TNF adalah demam,
peradangan, perubahan keadaan mental, trombositopenia, depresi fungsi sumsum tulang
dan merangsang sel kebal untuk mengeluarkan produk tambahan. 12
Salah satu produk toksik tambahan dari makrofag adalah nitrik oksid (NO) yang
dirangsang pengeluarannya oleh TNF. NO adalah gas yang larut dengan bebas menembus
sel membran sehingga dapat melewati blood-brain barrier. NO berfungsi sebagai
neurotransmitter dan merupakan komponen yang berperan pada reaksi kekebalan terhadap
parasit dalam sel, sehingga dapat membunuh sel hati yang terinfeksi malaria.12
Dari beberapa penelitian dibuktikan bahwa penderita malaria serebral yang
meninggal atau dengan komplikasi berat seperti hipoglikemia mempunyai kadar TNFa
yang tinggi. Demikian juga malaria tanpa komplikasi kadar TNFa , IL-1, IL-6 lebih
rendah dari malaria serebral. Walaupun demikian hasil ini tidak konsisten karena juga
dijumpai penderita malaria yang mati dengan TNF normal atau rendah atau pada malaria
serebral yang hidup dengan sitokin yang tinggi. Oleh karenanya diduga adanya peran dari
neurotransmiter yang lain sebagai free radical dalam kaskade ini seperti NO sebagai
faktor yang penting dalam patogenesis malaria berat.4
Hipotesis lain parasit malaria secara langsung menginduksi tingginya kadar TNF-a
sesuai dengan gejala klinis yang ditampilkan pada penyakit malaria serebral. Produk dari
eritrosit terinfeksi parasit yang mengalami ruptur akan memacu makrofag untuk
memproduksi TNF-a, yang merupakan respons pirogenik terhadap infeksi malaria. Juga
meningkatkan ekspresi adhesion molecute pada endotel mikrovaskular otak yang
nantinya memudahkan perlekatan eritrosit terinfeksi P. falciparum pada endotel
mikrovaskular otak. Terjadilah sequesterasi yang menyebabkan penyumbatan
8
mikrovaskular, suplai darah ke sel otak terhambat, dan mengakibatkan koma.10
Eritrosit yang terinfeksi P. vivax tidak berikatan dengan endotel, sehingga
merupakan satu alasan mengapa malaria vivax tidak bisa menyebabkan malaria serebral
walaupun kadar TNF-a dalam plasma sangat tinggi.10 Meskipun demikian, peran TNF-a
dalam patogenesis penyakit malaria lebih bersifat fisiologis dibanding patologis. Jika
dicapai kadar optimal dari TNF-a akan memberikan proteksi, tetapi jika kadarnya terlalu
tinggi akan menimbulkan reaksi patologis berhubungan dengan tingginya insiden anemia,
oedem pulmo, dan malaria serebral.4
2.4 Diagnosis Klinis
Diagnosis malaria serebral secara umum ditegakkan seperti diagnosis penyakit
lainnya berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Diagnosis dini dan
pegobatan cepat merupakan salah satu sasaran perbaikan strategi pemberantasan malaria.5
1. Anamnesis
Pada anamnesis sangat penting diperhatikan:
- Keluhan utama: Demam, menggigil, berkeringat dan dapat disertai sakit kepala, mual,
muntah, diare, nyeri otot dan pegal-pegal.
- Riwayat berkunjung dan bermalam 1-4 minggu yang lalu ke daerah endemik malaria.
- Riwayat tinggal di daerah endemik malaria.
- Riwayat sakit malaria.
- Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir.
- Riwayat mendapat transfusi darah.
2. Pemeriksaaan Fisik :
- Demam (T = 37,5°C).
- Konjungtiva atau telapak tangan pucat.
- Pembesaran limpa (splenomegali).
- Pembesaran hati (hepatomegali).
Pada tersangka malaria berat ditemukan tanda-tanda klinis sebagai berikut:
- Temperatur rektal = 40°C.
- Nadi cepat dan lemah/kecil.
- Tekanan darah sistolik <70mmHg.
9
- Frekuensi nafas > 35 kali per manit pada orang dewasa atau >40 kali per menit pada
balita, anak dibawah 1 tahun >50 kali per menit.
- Penurunan derajat kesadaran dengan GCS <11.
- Manifestasi perdarahan: ptekie, purpura, hematom.
- Tanda dehidrasi: mata cekung, turgor dan elastisitas kulit berkurang, bibir kering,
produksi air seni berkurang.
- Tanda-tanda anemia berat: konjungtiva pucat, telapak tangan pucat, lidah pucat.
- Terlihat mata kuning atau ikterik.
- Adanya ronkhi pada kedua paru.
- Pembesaran limpa dan atau hepar.
- Gagal ginjal ditandai dengan oliguria sampai dengan anuria.
- Gejala neurologik: kaku kuduk, reflek patologis.
Gejala paling dini dari malaria serebral pada anak-anak umumnya adalah demam
(37,5°C sampai 41°C) selanjutnya tidak bisa makan atau minum. Sering mengalami rasa
mual dan batuk, jarang diare. Riwayat gejala yang mendahului koma dapat sangat singkat,
umumnya 1-2 hari. Anak-anak yang sering kehilangan kesadaran setelah demam harus
diperkirakan mengalami malaria serebral, terutama jika koma menetap lebih dari setengah
jam setelah kejang.8
Manifestasi neurologis (1 atau beberapa manifestasi) berikut ini dapat ditemukan: 11
1. GCS < 7 pada dewasa
2. Tonus otot dapat meningkat atau turun
3. Refleks tendon bervariasi
4. Rahang mengatup rapat dan gigi kretekan (seperti mengasah)
5. Mulut mencebil ( pouting ) atau timbul refleks mencebil bila sisi mulut dipukul
6. Motorik abnormal seperti deserebrasi rigidity dan dekortikasi rigidity
7. Manifestasi okular : pandangan divergen (dysconjugate gaze) dan konvergensi spasme
sering terjadi. Perdarahan sub konjungtiva dan retina serta papil udem kadang terlihat
8. Kekakuan leher ringan kadang ada. Kernigs (+) dan photofobia jarang ada. Untuk itu
adanya meningitis harus disingkirkan dengan pemeriksaan punksi lumbal (LP)
10
9. Cairan serebrospinal (LCS) jernih, dengan < 10 lekosit/ml, protein sering naik ringan
Kriteria diagnosis lainnnya bisa dibagi dalam 2 fase: 1
1. Fase Prodromal:
Gejala yang timbul tidak spesifik, penderita mengeluh sakit pinggang, mialgia,
demam yang hilang timbul serta kadang-kadang menggigil, dan sakit kepala.
2. Fase Akut:
Gejala yang timbul menjadi bertambah berat dengan timbulnya komplikasi seperti
sakit kepala yang sangat hebat, mual, muntah, diare, batuk berdarah, gangguan
kesadaran, pingsan, kejang, hemiplegi dan dapat berakhir dengan kematian. Pada
pemeriksaan fisik akan ditemukan kornea mata divergen, anemia, ikterik, purpura,
akan tetapi tidak ditemukan adanya tanda rangsang meningeal.
Dalamnya koma dapat dinilai sesuai dengan skala koma Glasgow atau modifikasi khusus pada anak yaitu skala koma Blantyre, melalui
pengamatan terhadap respon rangsangan bunyi atau rasa nyeri yang standar, ketukan (knuckle) niga pada dada anak dan jika tidak ada respon lakukan
tekanan kuat pada kuku ibu jari dengan pensil pada posisi mendatar. Selalu singkirkan dan atasi kemungkinan hipoglikemia. Skala koma dapat digunakan
berulang kali untuk menilai ada kemajuan atau kemunduran. 8
Penilaian Spontan Nilai
Pergerakan mata Terarah (misalnya mengikuti wajah ibunya)
Tidak terarah
1
0
Respons verbal Menangis yang wajar
Menangis yang tidak wajar atau merintih
Tidak ada
2
1
0
Respons motorik Rangsangan nyeri setempat (ketuk iga atau
sternum)
Menarik tungkai dari sumber nyeri (tekan kuat
pada kuku dengan pensil)
Respons yang tidak spesifik atau tidak ada
2
1
0
Jumlah 0-5
Pada skala koma Blantyre disebut unrousable coma bila jumlah nilai < 3
11
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan dengan mikroskop
Pemeriksaan sediaan darah tebal dan tipis untuk menentukan:
- Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif).
- Spesies dan stadium plasmodium.
- Kepadatan parasit.
a. Semi Kuantitatif
(-) = negatif (tidak ditemukan parasit dalam 100 LPB)
(+) = positif 1 (ditemukan 1-10 parasit dalam 100 LPB)
(++) = positif 2 (ditemukan 11-100 parasit dalam 100 LPB)
(+++) = positif 3 (ditemukan 1-10 parasit dalam 1 LPB)
(++++) = positif 4 (ditemukan >10 parasit dalam 1 LPB)
b. Kuantitatif
Jumlah parasit dihitung per mikro liter darah pada sediaan darah tebal (leukosit) atau
sediaan darah tipis (eritrosit)
Contoh : Bila dijumpai 1500 parasit per 200 leukosit, sedangkan jumlah leukosit 8000/uL
maka hitung parasit = 8000/200 x 1500 parasit = 60000 parasit/uL
Untuk penderita tersangka malaria berat perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Bila pemeriksaan sediaan darah pertama negatif, perlu diperiksa ulang setiap 6 jam
sampai 3 hari berturut-turut
2. Bila hasil pemeriksaan sediaan darah tebal selama 3 hari berturut-turut tidak
ditemukan parasit, maka diagnosis malaria disingkirkan.
Pemeriksaan dengan tes diagnostik cepat ( Rapid Diagnostic Test ) 5
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dengan menggunakan
metoda immunokromatografi, dalam bentuk dipstik.
Tes yang tersedia di pasaran saat ini mengandung :
1. HRP-2 (Histidine rich protein 2) yang diproduksi oleh trofozoit, skizon dan
12
gametosit muda P. falciparum
2. Enzim parasite lactate dehydrogenase (p-LDH) dan aldolase yang diproduksi oleh
parasit bentuk aseksual atau seksual plasmodium falciparum, P. vivax, P. ovale,
dan P. malariae.
Tes serologi
Tes ini berguna untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap malaria atau pada
keadaan dimana parasit sangat minimal. Tes yang digunakan adalah IFA (indirect
fluorescent antibody test), IHA (indirect hemaglutination test) dan ELISA (enzyme linked
immunosorbent assay). Kegunaan tes serologis untuk diagnosis malaria akut sangat
terbatas, karena baru akan positif beberapa hari setelah parasit malaria ditemukan dalam
darah. Manfaat tes serologi terutama untuk penelitian epidemiologi atau alat uji saring
donor darah.8
2.5. Penatalaksanaan 5
Pengobatan malaria berat ditujukan pada pasien yang datang dengan manifestasi
klinis berat termasuk yang gagal dengan pengobatan lini pertama.
Apabila fasilitas tidak atau kurang memungkinkan, maka penderita dipersiapkan untuk
dirujuk ke rumah sakit atau fasilitas pelayanan yang lebih lengkap.
Penatalaksanaan kasus malaria berat pada prinsipnya meliputi :
1. Tindakan umum
2. Pengobatan simptomatik
3. Pemberian obat anti malaria
4. Penanganan komplikasi
I. Tindakan umum
Meliputi :
13
1. Bebaskan jalan nafas dan mulut untuk menghindari terjadinya asfiksia, bila perlu
beri oksigen (O2)
2. Perbaiki keadaan umum penderita (beri cairan dan perawatan umum)
3. Monitor tanda-tanda vital (keadaan umum, kesadaran, pernafasan, tekanan darah,
suhu, dan nadi setiap 30 menit)
4. Pantau tekanan darah, warna kulit dan suhu. Penderita hipotensi ditidurkan dalam
posisi Trendenlenburg
5. Lakukan pemeriksaan darah tebal ulang untuk konfirmasi diagnosis
6. Catat pada rekam-medik penderita : Identitas, riwayat perjalanan penyakit,
riwayat penyakit dahulu, Riwayat bepergian, riwayat transfusi, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium (bila tersedia), diagnosis kerja, diagnosis banding,
tindakan dan pengobatan yang telah diberikan, rencana tindakan/pengobatan, dan
lain-lain yang dianggap perlu.
7. Bila pasien koma lakukan prinsip ABC + D, antara lain:
Airway (jalan nafas)
Jaga jalan nafas agar selalu bersih, tanpa hambatan, dengan cara :
- Bersihkan jalan nafas dari saliva, muntahan dan lain-lain
- Tempat tidur datar tanpa bantal
- Mencegah aspirasi cairan lambung masuk ke saluran pernafasan, dengan cara
mengatur posisi pasien ke lateral dan pemasangan Naso Gastric Tube (NGT)
untuk menyedot isi lambung
Breathing (pernafasan)
Bila takipnoe atau pernafasan asidosis : berikan oksigen dan rujuk ke ICU
Circulation (sirkulasi darah)
a. Periksa dan catat : nadi, tekanan darah, penilaian turgor kulit. Pasang Jugular
Venous Pressure (JVP) atau Central Venous Pressure (CVP) bila
memungkinkan
14
b. Jaga keseimbangan cairan dan elektrolit dengan melakukan monitoring balans
cairan dengan mencatat intake dan output cairan secara akurat.
c. Pasang kateter urethra dengan drainage/bag tertutup untuk mendeteksi
terjadinya dehidrasi, overhidrasi dan fungsi ginjal dengan mengukur volume
urin. Volume urin normal : 1 ml/kgbb/jam. Bila volume urin < 30 ml/jam,
mungkin terjadi dehidrasi (periksa juga tanda-tanda lain dehidrasi). Bila
terbukti ada dehidrasi, tambahkan intake cairan melalui iv-line. Bila volume
urin > 90 ml/jam, kurangi intake cairan untuk mencegah overload yang
mengakibatkan oedem paru. Monitoring paling tepat dengan mnggunakan
CVP-line.
d. Pada pemeriksaan jantung , bila ada aritmia dan pembesaran jantung, maka
hati-hati pada pemberian kina dan cairan.
Drug / defibrilasi
Disesuaikan dengan fasilitas dan protokol RS
II. Pengobatan simptomatik
1. Berikan antipiretik pada penderita demam untuk mencegah hipertermia.
Anak:
a. Pemberian antipiretik untuk mencegah hiperpireksia : parasetamol 10
mg/kgbb/kali, diberikan setiap 4-6 jam, dan lakukan kompres hangat
b. Bila terjadi hipertermia (suhu rektal >400C) beri parasetamol dosis inisial :
20 mg/kgbb, diikuti 15 mg/kgbb setiap 4-6 jam sampai panas turun < 400C
2. Berikan antikonvulsan pada penderita kejang
Dewasa :
a. Diazepam intra-vena (perlahan-lahan 1 mg/menit) dosis : 0,3-0,5
mg/kgbb/kali, atau diazepam per rectal dengan dosis ; 5 mg untuk berat
badan < 10 kg dan 10 mg untuk BB > 10 kg.
15
b. Bila kejang belum teratasi setelah 2 kali pemberian diazepam, berikan
phenytoin dengan dosis inisial 10-15 mg/kgbb dalam NaCl 0,9% diberikan
secara bolus intra vena perlahan.
c. Kemudian diikuti dosis rumat phenytoin 5 mg/kgbb (dibagi 2-3 dosis/hari)
d. Bila tidak ada pilihan lain sebagai alternatif dapat dipakai Phenobarbital
sebagai berikut :
Tabel 3 Pemberian dosis awal Phenobarbital :
Umur Dosis awal
Umur < 1 bulan 30 mg im
Umur 1 bulan-1 tahun 50 mg im
Umur > 1 tahun 75 mg im
Setelah 4 jam dari pemberian dosis awal, dilanjutkan dengan Phenobarbital 8
mg/kgbb/hari, dibagi 2 dosis (diberikan selama 2 hari). Pemberian
Phenobarbital maksimum 200 mg/hari. Selanjutnya diberikan dosis rumat : 4
mg/kgbb/hari, dibagi 2 dosis, sampai 3 hari bebas panas.
III. Pemberian obat anti malaria
Artesunat parenteral direkomendasi untuk digunakan di Rumah Sakit atau
Puskesmas perawatan , sedangkan artemeter intramuskular direkomendasikan untuk di
lapangan atau puskesmas tanpa fasilitas perawatan. Obat ini tidak boleh diberikan pada
ibu hamil trimester I yang menderita malaria berat.
16
Pilihan utama : derivate artemisin parenteral
- Artesunat intravena atau intramuskular- Artemeter intramuskular
Kemasan dan cara pemberian artesunat
Artesunat parenteral tersedia dalam vial yang berisi 60 mg serbuk kering asam artesunik
dan pelarut dalam ampul yang berisi 0,6 ml natrium bikarbonat 5 %.Untuk membuat
larutan artesunat dengan mencampur 60 mg serbuk kering artesunik dengan larutan 0,6
ml natrium bikarbonat 5%. Kemudian ditambah larutan dextrose 5% sebanyak 3-5cc.
Artesunat diberikan dengan loading dose secara bolus : 2,4 mg/kgbb per-iv selama ±
2menit , dan diulang setelah 12 jam dengan dosis yang sama. Selanjutnya artesunat
diberikan 2,4 mg/kgbb per-iv satu kali sehari sampai penderita mampu minum obat.
Larutan artesunat ini juga bisa diberikan secara intramuskular (i.m) dengan dosis yang
sama.
Bila penderita sudah dapat minum obat, maka pengobatan dilanjutkan dengan regimen
artesunat + amodiakuin + primakuin (lihat dosis pengobatan lini pertama malaria
falsiparum tanpa komplikasi)
Kemasan dan cara pemberian artemeter
Artemeter intramuskular tersedia dalam ampul yang berisi 80 mg artemeter dalam larutan
minyak. Artemeter diberikan dengan loading dose : 3,2 mg/kgbb intramuskular.
Selanjutnya artemeter diberikan 1,6 mg/kgbb intramuskular satu kali sehari sampai
penderita mampu minum obat. Bila penderita sudah dapat minum obat, maka pengobatan
dilanjutkan dengan regimen artesunat + amodiakuin + primakuin (lihat dosis pengobatan
lini pertama malaria falsiparum tanpa komplikasi).
Obat alternatif malaria berat
Kemasan dan cara pemberian kina parenteral
Kina per-infus masih merupakan obat alternatif untuk malaria berat pada daerah yang
tidak tersedia derivat artemisin parenteral, dan pada ibu hamil trimester pertama. Obat 17
Kina dihidroklorida parenteral
ini dikemas dalam bentuk ampul kina dihidroklorida 25%. Satu ampul berisi 500 mg /
2ml.
Dosis anak-anak : Kina HCL 25% (per-infus) dosis 10 mg/kgbb (bila umur < 2 bulan :6-8
mg/kg bb) diencerkan dengan dextrose 5% atau NaCl 0,9% sebanyak 5-10cc/kgbb
diberikan selama 4 jam , diulang setiap 8 jam sampai penderita sadar dan dapat minum
obat.
Kina dihidroklorida pada kasus pra-rujukan :
Apabila tidak memungkinkan pemberian kina per-infus, maka dapat diberikan kina
dihidroklorida 10 mg/kgbb intramuskular dengan masing-masing ½ dosis pada paha
depan kiri-kanan (jangan diberikan pada bokong). Untuk pemakaian intramuskular, kina
diencerkan dengan 5-8cc NaCl 0,9% untuk mendapatkan konsentrasi 60-100 mg/ml.
Efek samping yang dapat timbul berupa sinkonisme ringan sampai sedang dengan gejala
telinga berdenging, sakit kepala, gangguang keseimbangan dan penglihatan kabur,
pusing, dan depresi.14
CATATAN :
- Kina tidak boleh diberikan secara bolus intravena, karena toksik bagi jantung
dan dapat meimbulkan kematian
- Pada penderita dengan gagal ginjal, loading dose tidak diberikan dan dosis
maintenance kina diturunkan ½ nya.
- Pada hari pertama pemberian kina oral, berikan primakuin dengan dosis 0,75
mg/kgbb
- Dosis maksimum dewasa : 2000 mg/hari.
Exchange Transfusion
18
Tindakan exchange transfusion dapat menurunkan secara cepat pada
keadaan parasitemi. Pada malaria berat exchange transfusion berguna untuk
mengeluarkan eritrosit yang berparasit, menurunkan kadar toksin hasil parasit dan
metabolismenya (sitokin dan radikal bebas) dan memperbaiki anemia.2
19
IV. Penanganan Komplikasi 5
Malaria Serebral
Perawatan pasien tidak sadar meliputi :
a. Buat grafik suhu, nadi, dan pernafasan secara akurat
b. Pasang IVFD. Untuk mencegah terjadinya trombophlebitis dan infeksi yang
sering terjadi melalui IV-line maka IV-line sebaiknya diganti setiap 2-3 hari
c. Pasang kateter urethra dengan drainase/kantong tertutup. Pemasangan kateter
dengan memperhatikan kaidah a/antisepsis.
d. Pasang gastric tube (maag slang) dan sedot isi lambung untuk mencegah
aspirasi pneumonia
e. Mata dilindungi dengan pelindung mata untuk menghindari ulkus kornea yang
dapat terjadi karena tidak adanya reflek mengedip pada pasien tidak sadar.
f. Menjaga kebersihan mulut untuk mencegah infeksi kelenjar parotis karena
kebersihan rongga mulut yang rendah pada pasien tidak sadar.
g. Ubah/balik posisi lateral secara teratur untuk mencegah luka dekubitus dan
hipostatik pneumonia
h. Hal-hal yang perlu dimonitor:
-Tensi, nadi, suhu, dan pernafasan setiap 30 menit
-Pemeriksaan derajat kesadaran setiap 6 jam
-Hitung parasit setiap 6 jam
-Ht dan atau Hb setiap hari, bilirubin dan kreatinin pada hari ke 1 dan 320
-Gula darah setiap 6 jam
-Pemeriksaan lain sesuai indikasi (misal Ureum,creatinin, dan kalium darah
pada komplikasi gagal ginjal)
2.6 Kemoprofilaksis
Kemoprofilaksis bertujuan untuk mengurangi resiko terinfeksi malaria sehingga bila
terinfeksi maka gejala klinisnya tidak berat. Biasanya ditujukan kepada orang yang
berpergian ke daerah endemis malaria dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sehubungan
dengan laporan tingginya tingkat resistensi Plasmodium falciparum terhadap klorokuin,
maka tidak digunakan klorokuin sebagai kemoprofilaksis, oleh sebab itu doksisiklin
menjadi pilihan, diminum satu hari sebelum keberangkatan dengan dosis 2 mg/kgbb setiap
hari selama tidak lebih dari 12 minggu. Doksisiklin tidak boleh diberikan kepada anak
umur < 8 tahun dan ibu hamil.5
2.7 Prognosis
Prognosis malaria berat tergantung kecepatan diagnosa dan ketepatan & kecepatan
pengobatan. Pada malaria berat yang tidak ditanggulangi, maka mortalitasnya sekitar 4%
sampai 46%. Faktor resiko prognosis yang buruk biasanya pada pasien malaria serebral
dengan distress pernafasan, gangguan kesadaran, hipoglikemi, ikterik, kejang dan oedema
pupil.15
Mengingat dari keparahan manifestasi klinis malaria serebral, kurang dari 10%
dari anak yang menderita malaria serebral dapat bertahan hidup memiliki defisit
neurologis. Defisit yang paling sering ialah kebutaan kotikal, gangguan bicara, dan
gangguan motorik seperti hemiplegi dan ataksia. 15
Prognosis malaria berat dengan kegagalan satu fungsi organ lebih baik daripada
kegagalan 2 fungsi organ. Mortalitas dengan kegagalan 3 fungsi organ, adalah > 50 %.
Mortalitas dengan kegagalan 4 atau lebih fungsi organ, adalah > 75 %.5
Adanya korelasi antara kepadatan parasit dengan klinis malaria berat yaitu:2
- Kepadatan parasit < 100.000 u/L, maka mortalitas < 1 %
- Kepadatan parasit > 100.000 u/L, maka mortalitas > 1 %
- Kepadatan parasit > 500.000 u/L, maka mortalitas > 50 %
21
Semua penderita malaria berat dirujuk / ditangani RS Kabupaten.
Apabila penderita tidak bersedia dirujuk dapat dirawat di puskesmas rawat inap dengan
konsultasi kepada dokter RS Kabupaten. Bila perlu RS kabupaten dapat pula merujuk
kepada RS Propinsi. Cara merujuk : 5
1) Setiap merujuk penderita harus disertakan surat rujukan yang berisi tentang diagnosa,
riwayat penyakit, pemeriksaan yang telah dilakukan dan tindakan yang sudah diberikan.
2) Apabila dibuat preparat sediaan darah malaria, harus diikutsertakan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Prevalensi penyakit malaria masih banyak terutama di negara-negara tropis. Yang
dapat menyebabkan malaria berat yaitu Plasmodium falcifarum dan Plasmodium knowlesi.
Seseorang bisa terkena malaria berat tergantung dari sistem imum dari masing-masing
individu. Untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan pemeriksaan sediaan darah tebal
dan tipis. Pencegahan harus dilakukan untuk seseorang yang akan pergi ke daerah endemis
malaria, yaitu dengan meminum obat anti malaria 2 minggu sebelum keberangkatan
sampai 4 minggu sesudah kembali.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Munthe CE. Malaria serebral:Laporan Kasus.Cermin Dunia Kedokteran.2001;131:5-6.
2. Harijanto PN. Perubahan Radikal dalam Pengobatan Malaria di Indonesia. Cermin
Dunia Kedokteran. 2006;152:30-36.
3. Gunawan. Ancaman Parasit dari Monyet. Kompas, 26 April 2012. p 13.
4. Mohanty S, DK Patel, SK Mishra. Adjuvant Therapy in Cerebral Malaria. Indian J
Med Res. 2006; 124:245-260.
5. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia. Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Departemen Kesehatan RI. 2008.
6. Pelayanan Kefarmasian untuk Penyakit Malaria. Departemen Kesehatan RI. 2008.
Available at http://binfar.depkes.go.id. Access on December 1, 2012.
7. NL Study Makes Malaria Diagnosis Breakthrough. Radio Netherlands Worldwide. 2009. Available at http://www.rnw.nl. Access on November 28, 2012.
8. Soedarmo,S, dkk. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis, Edisi ke-2. 2010. Jakarta:
Ikatan Dokter Anak Indonesia. p 408-437.
9. Lou J, Ralf L, and Georges. Pathogenesis of Cerebral Malaria: Recent Experimental
Data and Possible Application for Human. Clinical Microbiology Reviews. 2001. p
810-818.
10. Newton CRJC, Hien TT, White N. Neurological aspects of tropical disease: Cerebral
malaria. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2000;69:433-441.
23
11. Kakkilaya BS. Central nervous system involvement in P. Falciparum malaria. 2009.
Available at www.malariasite.com . Access on November 28, 2012.
12. Tjitra E. Manifestasi klinis dan pengobatan malaria. Cermin Dunia
Kedokteran.1994;101:5-11.
13. Behrman, dkk. Nelson: Ilmu Kesehatan Anak vol.2 edisi 17. Jakarta: EGC. 1998. p
1477-1485.
14. Tarigan, Jerahim. Kombinasi Kina Tetrasiklin Pada Pengobatan Malaria Falciparum
Tanpa Komplikasi Di Daerah Resisten Multidrug Malaria. USU digital library. 2003.
15. John CC and Richard I. Cerebral Malaria in Children. Infect Med. 2003; 20: 53-58.
24