Post on 27-Dec-2015
description
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Struma nodosa atau struma adenomatosa terutama ditemukan di daerah
pegunungan karena defisiensi iodium. Struma endemik ini dapat dicegah
dengan subtitusi iodium. Di luar daerah endemik, struma nodosa ditemukan
secara insidental atau pada keluarga tertentu. Etiologinya umumnya
multifaktorial. Biasanya tiroid sudah membesar sejak usia muda dan
berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.
Penderita struma nodosa biasanya tidak mengalami keluhan karena
tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal, tetapi
kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tak berfungsi. Degenarasi
jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena pertumbuhannya yang
sering berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali
benjolan didaerah leher. Sebagian penderita dengan struma nodosa dapat
hidup dengan strumanya tanpa gangguan.
Struma Nodosa Non Toksik merupakan kelainan tiroid yang paling
sering diketemukan. Sebagai gambaran, di Boston, pada 8% dari 2585 autopsi
rutin, ditemukan nodul tiroid. Penyebab kelainan ini bermacam-macam. Pada
setiap orang dapat dijumpai massa dimana kebutuhan terhadap tiroksin
bertambah, terutama pada masa pertumbuhan, pubertas, menstruasi,
kehamilan, laktasi, menopouse, infeksi atau stress lain. Pada masa-masa
tersebut ditemukan adanya hiperplasi dan involusi kelenjar tiroid. Perubahan
ini dapat menimbulkan nodularitas kelenjar tiroid serta kelainan arsitektur
yang dapat berlanjut dengan berkurangnya aliran darah di daerah tersebut
sehingga terjadi iskemia. Pada struma nodosa yang berlangsung lama, dapat
terjadi berbagai bentuk degenerasi seperti fibrosis, nekrosis, kalsifikasi,
pembentukan kista dan perdarahan ke dalam kista tersebut.
LAPORAN KASUS Page 1
Pada umumnya kelainan-kelainan yang dapat menampakkan diri
sebagai struma nodosa non toksik ialah kista, adenoma, perdarahan, tiroditis
dan karsinoma. Struma nodosa non toksik khususnya menjadi lebih penting
kaitannya dengan kemungkinan adanya keganasan tersebut. Tindakan dalam
pengelolaan nodul tiroid ini tergantung dari diagnosis dan keadaannya, dapat
bervariasi antara pembedahan yang radikal sampai blokade TSH saja dengan
L-tiroksin atau sama sekali tidak dilakukan apa-apa.
LAPORAN KASUS Page 2
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Struma
2.1.1 Definisi
Struma adalah tumor (pembesaran) pada kelenjar tiroid. Biasanya
dianggap membesar bila kelenjar tiroid lebih dari 2x ukuran normal.
Pembesaran kelenjar tiroid sangat bervariasi dari tidak terlihat sampai
besar sekali dan mengadakan penekanan pada trakea, membuat dilatasi
sistem vena serta pembentukan vena kolateral.
2.2.1 Etiologi
Penyebab pasti pembesaran kelenjar tiroid pada struma nodosa
tidak diketahui, namun sebagian besar penderita menunjukkan gejala-
gejala tiroiditis ringan. Oleh karena itu, diduga tiroiditis ini
menyebabkan hipotiroidisme ringan, yang selanjutnya menyebabkan
peningkatan sekresi TSH (thyroid stimulating hormone) dan
pertumbuhan yang progresif dari bagian kelenjar yang tidak meradang.
Keadaan inilah yang dapat menjelaskan mengapa kelenjar ini biasanya
nodular, dengan beberapa bagian kelenjar tumbuh namun bagian yang
lain rusak akibat tiroiditis.
Pada beberapa penderita struma nodosa, di dalam kelenjar
tiroidnya timbul kelainan pada sistem enzim yang dibutuhkan untuk
pembentukan hormon tiroid. Di antara kelainan-kelainan yang dapat
dijumpai adalah :
1. Defisiensi mekanisme pengikatan iodida, sehingga iodium
dipompakan ke dalam sel jumlahnya tidak adekuat.
2. Defisiensi sistem peroksidase, di mana iodida tidak dioksidasi
menjadi iodium.
LAPORAN KASUS Page 3
3. Defisiensi penggandengan tirosin teriodinasi di dalam molekul
tiroglobulin, sehingga bentuk akhir dari hormon tiroid tidak
terbentuk.
4. Defisiensi enzim deiodinase, yang mencegah pulihnya iodium dari
tirosin teriodinasi, yang tidak mengalami penggandengan untuk
membentuk hormon tiroid, sehingga menyebabkan defisiensi
iodium.
2.3.1 Klasifikasi
Pada struma gondok endemik, Perez membagi klasifikasi menjadi :
1. Derajat 0 : tidak teraba pada pemeriksaan
2. Derajat I :teraba pada pemeriksaan, terlihat hanya
kalau kepala ditegakkan
3. Derajat II : mudah terlihat pada posisi kepala normal
4. Derajat III: terlihat pada jarak jauh.
Pada keadaan tertentu derajat 0 dibagi menjadi :
1. Derajat 0a : tidak terlihat atau teraba tidak besar
dari ukuran normal.
2. Derajat 0b : jelas teraba lebih besar dari normal,
tetapi tidak terlihat bila kepala ditegakkan.
Dari aspek fungsi kelenjar tiroid, yang tugasnya memproduksi
hormon tiroksin, maka bisa dibagi menjadi :
1. Hipertiroid
Sering juga disebut toksik (walaupun pada kenyataannya pada
penderita ini tidak dijumpai adanya toksin), bila produksi hormon
tiroksin berlebihan.
2. Eutiroid
Bila produksi hormon tiroksin normal.
3. Hipotiroid
Bila produksi hormon tiroksin kurang.
LAPORAN KASUS Page 4
4. Struma nodosa non toksik
Bila tanpa tanda-tanda hipertiroid.
Berdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif, nodul
dibedakan menjadi :
1. Nodul dingin (cold nodule)
2. Nodul hangat (warm nodule)
3. Nodul panas (hot nodule)
Berdasarkan konsistensinya dibagi menjadi :
1. Nodul lunak
2. Nodul kistik
3. Nodul keras
4. Nodul sangat keras 3,6
2.4.1 Diagnosis
Diagnosis struma nodosa non toksik ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, penilaian resiko keganasan, dan
pemeriksaan penunjang.
Pada umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami keluhan
karena tidak ada hipo atau hipertiroidisme. Biasanya tiroid mulai
membesar pada usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada
saat dewasa. Karena pertumbuhannya berangsur-angsur, struma dapat
menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian besar
penderita dengan struma nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa
keluhan.Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu
pernafasan karena menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan
penyempitan trakea bila pembesarannya bilateral.
Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan pendorongan sampai
jauh ke arah kontra lateral. Pendorongan demikian mungkin tidak
mengakibatkan gangguan pernafasan. Penyempitan yang berarti
menyebabkan gangguan pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea
LAPORAN KASUS Page 5
dengan stridor inspiratoar.
Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu menelan trakea
naik untuk menutup laring dan epiglotis sehingga terasa berat karena
terfiksasi pada trakea.Pemeriksaan pasien dengan struma dilakukan dari
belakang kepala penderita sedikit fleksi sehingga muskulus
sternokleidomastoidea relaksasi, dengan demikan tiroid lebih mudah
dievaluasi dengan palpasi. Gunakan kedua tangan bersamaan dengan ibu
jari posisi di tengkuk penderita sedang keempat jari yang lain dari arah
lateral mengeveluasi tiroid serta mencari pole bawah kelenjar tiroid
sewaktu penderita disuruh menelan.
Pada struma yang besar dan masuk retrosternal tidak dapat di raba
trakea dan pole bawah tiroid. Kelenjar tiroid yang normal teraba sebagai
bentukan yang lunak dan ikut bergerak pada waktu menelan. Biasanya
struma masih bisa digerakkan ke arah lateral dan susah digerakkan ke
arah vertikal. Struma menjadi terfiksir apabila sangat besar, keganasan
yang sudah menembus kapsul, tiroiditis dan sudah ada jaringan fibrosis
setelah operasi.
Untuk memeriksa struma yang berasal dari satu lobus (misalnya
lobus kiri penderita), maka dilakukan dengan jari tangan kiri diletakkan
di medial di bawah kartilago tiroid, lalu dorong benjolan tersebut ke
kanan. Kemudian ibu jari tangan kanan diletakkan di permukaan anterior
benjolan. Keempat jari lainnya diletakkan pada tepi belakang muskulus
sternokleidomastoideus untuk meraba tepi lateral kelenjar tiroid tersebut.
Pada pemeriksaan fisik nodul harus dideskripsikan :
1. Lokasi : lobus kanan, lobos kiri, ismus
2. Ukuran : dalam sentimeter, diameter panjang
3. Jumlah nodul : satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)
LAPORAN KASUS Page 6
4. Konsistensinya : kistik, lunak, kenyal, keras
5. Nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi
6. Mobilitas : ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus
sternokleidomastoidea
7. Pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada atau tidak.2
Sekitar 5% struma nodosa mengalami keganasan. Di klinik perlu
dibedakan nodul tiroid jinak dan nodul ganas yang memiliki
karakteristik:
1. Konsistensi keras pada beberapa bagian atau menyeluruh pada nodul
dan sukar digerakkan, walaupun nodul ganas dapat mengalami
degenerasi kistik dan kemudian menjadi lunak.
2. Sebaliknya nodul dengan konsistensi lunak lebih sering jinak,
walaupun nodul yang mengalami kalsifikasi dapat dtemukan pada
hiperplasia adenomatosa yang sudah berlangsung lama.
3. Infiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya merupakan tanda keganasan,
walaupun nodul ganas tidak selalu mengadakan infiltrasi. Jika
ditemukan ptosis, miosis dan enoftalmus (Horner syndrome)
merupakan tanda infiltrasi atau metastase ke jaringan sekitar.
4. 20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multipel jarang
yang ganas, tetapi nodul multipel dapat ditemukan 40% pada
keganasan tiroid
5. Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu dicurgai
ganas terutama yang tidak disertai nyeri. Atau nodul lama yang tiba-
tiba membesar progresif.
6. Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah
LAPORAN KASUS Page 7
bening regional atau perubahan suara menjadi serak.
7. Pulsasi arteri karotis teraba dari arah tepi belakang muskulus
sternokleido mastoidea karena desakan pembesaran nodul (Berry’s
sign). 2
Kecurigaan suatu keganasan pada nodul tiroid bisa dirangkum :
1. Sangat mencurigakan
a. Riwayat keluarga karsinoma tiroid medulare
b. Cepat membesar terutama dengan terapi dengan levotirosin
c. Nodul padat atau keras
d. Sukar digerakkan atau melekat pada jaringan sekitar
e. Paralisis pita suara
f. Metastasis jauh
2. Kecurigaan sedang
a. Umur di bawah 20 tahun atau di atas 70 tahun
b. Pria
c. Riwayat radiasi pada leher dan kepala
d. Nodul > 4cm atau sebagian kistik
e. Keluhan penekanan termasuk disfagia, disfonia, serak, dispneu dan
batuk.
3. Nodul jinak
LAPORAN KASUS Page 8
a. Riwayat keluarga : nodul jinak
b. Struma difusa atau multinodosa
c. Besarnya tetap
d. FNAB : jinak
e. Kista simpleks
f. Nodul hangat atau panas
g. Mengecil dengan terapi supresi levotiroksin. 3,4
Pemerikasaan laboratorium yang digunakan dalam diagnosa
penyakit tiroid terbagi atas :
a. Pemeriksaan untuk mengukur fungsi tiroid
Pemerikasaan hormon tiroid dan TSH paling sering
menggunakan Radioimmuno-Assay (RIA) dan cara Enzyme-Linked
Immuno-Assay (ELISA) dalam serum atau plasma darah.
Pemeriksaan T4 total dikerjakan pada semua penderita penyakit
tiroid, kadar normal pada orang dewasa 60-150 nmol/L atau 50-120
ng/dL, T3 sangat membantu untuk hipertiroidisme, kadar normal
pada orang dewasa antara 1,0-2,6 nmol/L atau 0,65-1,7 ng/dL dan
TSH sangat membantu untuk mengetahui hipotiroidisme primer di
mana basal TSH meningkat 6 mU/L. Kadang-kadang meningkat
sampai 3 kali normal.
b. Pemeriksaan untuk menunjukkan penyebab gangguan tiroid.
Antibodi terhadap macam-macam antigen tiroid ditemukan
pada serum penderita dengan penyakit tiroid autoimun.
1. Antibodi tiroglobulin
LAPORAN KASUS Page 9
2. Antibodi mikrosomal
3. Antibodi antigen koloid ke dua (CA2 antibodies)
4. Antibodi permukaan sel (cell surface antibody)
5. Thyroid stimulating hormone antibody (TSA)
Pemeriksaan radiologis dengan foto rontgen dapat
memperjelas adanya deviasi trakea, atau pembesaran struma
retrosternal yang pada umumnya secara klinis pun sudah bisa diduga,
foto rontgen leher, posisi AP dan Lateral diperlukan untuk evaluasi
kondisi jalan nafas sehubungan dengan intubasi anastesinya, bahkan
tidak jarang intuk konfirmasi diagnostik tersebut sampai memelukan
CT-scan leher.
USG bermanfaat pada pemeriksaan tiroid untuk :
1. Dapat menentukan jumlah nodul
2. Dapat membedakan antara lesi tiroid padat dan kistik,
3. Dapat mengukur volume dari nodul tiroid
4. Dapat mendeteksi adanya jaringan kanker tiroid residif yang tidak
menangkap iodium, yang tidak terlihat dengan sidik tiroid.
5. Pada kehamilan di mana pemeriksaan sidik tiroid tidak dapat
dilakukan, pemeriksaan USG sangat membantu mengetahui adanya
pembesaran tiroid.
6. Untuk mengetahui lokasi dengan tepat benjolan tiroid yang akan
dilakukan biopsi terarah.
7. Dapat dipakai sebagai pengamatan lanjut hasil pengobatan.
LAPORAN KASUS Page 10
Pemeriksaan tiroid dengan menggunakan radio-isotop dengan
memanfaatkan metabolisme iodium yang erat hubungannya dengan
kinerja tiroid bisa menggambarkan aktifitas kelenjar tiroid maupun
bentuk lesinya.Penilaian fungsi kelenjar tiroid dapat juga dilakukan
karena adanya sistem transport pada membran sel tiroid yang
menangkap iodida dan anion lain. Iodida selain mengalami proses
trapping juga ikut dalam proses organifikasi, sedangkan ion
pertechnetate hanya ikut dalam proses trapping.
Uji tangkap tiroid ini berguna untuk menentukan fungsi dan
sekaligus membedakan berbagai penyebab hipertiroidisme dan juga
menentukan dosis iodium radioaktif untuk pengobatan
hipertiroidisme.Uji tangkap tiroid tidak selalu sejalan dengan keadaan
klinik dan kadar hormon tiroid.Pemeriksaan dengan sidik tiroid sama
dengan uji tangkap tiroid, yaitu dengan prinsip daerah dengan fungsi
yang lebih aktif akan menangkap radioaktivitas yang lebih tinggi.
Pemerikasaan histopatologis dengan biopsi jarum halus (fine
needle aspiration biopsy FNAB) akurasinya 80%. Hal ini perlu diingat
agar jangan sampai menentukan terapi definitif hanya berdasarkan
hasil FNAB saja. Berikut ini penilaian FNAB untuk nodul tiroid.
1. Jinak (negatif) : Tiroid normal, nodul koloid,
kistatiroiditis subakut, tiroiditis Hashimoto
2. Curiga (indeterminate) :Neoplasma sel
folikuler,neoplasma Hurthle
3. Ganas (positif):Karsinoma tiroid papiler,
karsinoma tiroid meduler,karsinoma tiroid
anaplastik. 5
LAPORAN KASUS Page 11
Pemeriksaan potong beku (VC = Vries coupe) pada operasi
tiroidektomi diperlukan untuk meyakinkan bahwa nodul yang
dioperasi tersebut suatu keganasan atau bukan.Lesi tiroid atau sisa
tiroid yang dilakukan VC dilakukan pemeriksaan patologi anatomis
untuk memastikan proses ganas atau jinak serta mengetahui jenis
kelainan histopatologis dari nodul tiroid dengan parafin block.
2.6.1 Terapi
Pilihan terapi nodul tiroid :
1. Terapi supresi dengan hormon levotirosin
2. Pembedahan
3. Iodium radioaktif
4. Suntikan etanol
5. US Guided Laser Therapy
Indikasi operasi pada struma adalah :
1. Struma difus toksik yang gagal dengan terapi medikamentosa
2. Struma uni atau multinodosa dengan kemungkinan keganasan
3. Struma dengan gangguan tekanan
4. Kosmetik.
Kontraindikassi operasi pada struma :
1. Struma toksika yang belum dipersiapkan sebelumnya
2. Struma dengan dekompensasi kordis dan penyakit sistemik yang
lain yang belum terkontrol
3. Struma besar yang melekat erat ke jaringan leher sehingga sulit
digerakkan yang biasanya karena karsinoma. Karsinoma yang
demikian biasanya sering dari tipe anaplastik yang buruk
prognosanya. Perlekatan pada trakea ataupun laring dapat sekaligus
dilakukan reseksi trakea atau laringektomi, tetapi perlekatan
dengan jaringan lunak leher yang luas sulit dilakukan eksisi yang
baik.
LAPORAN KASUS Page 12
4. Struma yang disertai dengan sindrom vena kava superior. Biasanya
karena metastase luas ke mediastinum, sukar eksisinya biarpun
telah dilakukan sternotomi, dan bila dipaksakan akan memberikan
mortalitas yang tinggi dan sering hasilnya tidak radikal.2,3,6
2.2 Anestesi Umum (General Anestesi)
2.2.1 Definisi
Anestesia umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara
sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali
(reversibel). Komponen anesthesia yang ideal terdiri:
1. hipnotik : hilang kesadaran
2. analgesia : hilang rasa sakit
3. relaksasi otot
Indikasi anastesi umum :
1. Infant dan anak-anak
2. Operasi yang luas
3. Psien dengan kelainan mental
4. Bila pasien menolak anestesi lokal
5. Operasi yang lama
6. Pasien yang alergi terhadap obat anestesi lokal
2.2.2 Jenis-Jenis Anestesi Umum
Total Intrvenous Anestesi (TIVA)
TIVA adalah teknik anestesi umum dengan hanya menggunakan
obat-obat anestesi yang dimasukkan lewat jalur intravena tanpa
LAPORAN KASUS Page 13
penggunaan anestesi inhalasi termasuk N2O. TIVA digunakan buat
mencapai 4 komponen penting dalam anestesi yang menurut
Woodbridge (1957) yaitu blok mental, refleks, sensoris dan motorik
atau trias A (3 A) dalam anestesi yaitu
1. Amnesia
2. Arefleksia otonomik
3. Analgesik
4. +/- relaksasi otot
Jika keempat komponen tadi perlu dipenuhi, maka kita
membutuhkan kombinasi dari obat-obatan intravena yang dapat
melengkapi keempat komponen tersebut. Kebanyakan obat anestesi
intravena hanya memenuhi 1 atau 2 komponen di atas kecuali
Ketamin yang mempunyai efek 3 A menjadikan Ketamin sebagai
agen anestesi intravena yang paling lengkap.
Kelebihan TIVA:
1. Tidak menganggu jalan nafas dan pernafasan pasien terutama pada
operasi sekitar jalan nafas atau paru-paru.
2. Anestesi yang mudah dan tidak memerlukan alat-alat atau mesin
yang khusus.
Teknik anestesi intravena merupakan suatu teknik pembiusan
dengan memasukkan obat langsung ke dalam pembuluh darah secara
parenteral, obat-obat tersebut digunakan untuk premedikasi seperti
diazepam dan analgetik narkotik. Induksi anestesi seperti misalnya
tiopenton yang juga digunakan sebagai pemeliharaan dan juga sebagai
tambahan pada tindakan analgesia regional.
LAPORAN KASUS Page 14
Dalam perkembangan selanjutnya terdapat beberapa jenis obat –
obat anestesi dan yang digunakan di indonesia hanya beberapa jenis
obat saja seperti Diazepam, Fentanil, Ketamin dan Propofol.
Indikasi penggunaan :
1. Obat induksi anesthesia umum
2. Obat tunggal untuk anestesi pembedahan singkat
3. Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat
4. Obat tambahan anestesi regional
5. Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP (SSP
sedasi)
Cara Pemberian :
1. Sebagai obat tunggal : Induksi anestesi, operasi singkat seperti
cabut gigi
2. Suntikan berulang : Sesuai kebutuhan, contoh curetase
3. Diteteskan lewat infus : Menambah kekuatan anestesi
Jenis-jenis obat anestesi yang digunakan di Indonesia :
a.Propofol (diisopropylphenol )
Merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai
anastesia intravena dan lebih dikenal dengan nama dagang Diprivan.
Pertama kali digunakan dalam praktek anestesi pada tahun 1977
sebagai obat induksi.
Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam
anastesia umum, pada pasien dewasa dan pasien anak – anak usia
lebih dari 3 tahun. Mengandung lecitin, glycerol dan minyak
soybean, sedangkan pertumbuhan kuman dihambat oleh adanya
asam etilendiamintetraasetat atau sulfat, hal tersebut sangat
tergantung pada pabrik pembuat obatnya. Obat ini dikemas dalam
LAPORAN KASUS Page 15
cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik dengan
kepekatan 1 % (1 ml = 10 mg) dan pH 7-8 Obat ini juga kompatibel
dengan D5W.
Mekanisme kerja :
Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih kurang diketahui,
tapi diperkirakan efek primernya berlangsung di reseptor GABA – A
(Gamma Amino Butired Acid).
Farmakokinetik :
Digunakan secara intravena dan bersifat lipofilik dimana 98%
terikat protein plasma, eliminasi dari obat ini terjadi di hepar menjadi
suatu metabolit tidak aktif, waktu paruh propofol diperkirakan
berkisar antara 2 – 24 jam. Namun dalam kenyataanya di klinis jauh
lebih pendek karena propofol didistribusikan secara cepat ke
jaringan tepi. Dosis induksi cepat menyebabkan sedasi ( rata – rata
30 – 45 detik ) dan kecepatan untuk pulih juga relatif singkat. Satu
ampul 20ml mengandung propofol 10mg/ml. Popofol bersifat
hipnotik murni tanpa disertai efek analgetik ataupun relaksasi otot.
Farmakodinamik :
- Pada sistem saraf pusat
Dosis induksi menyebabkan pasien tidak sadar, dimana
dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa
disetai efek analgetik, pada pemberian dosis induksi (2mg/kgBB)
pemulihan kesadaran berlangsung cepat. Dapat menyebabkan
perubahan mood tapi tidak sehebat thiopental. Dapat menurunkan
tekanan intrakranial dan tekanan intraokular sebanyak 35%.
- Pada sistem kardiovaskuler
Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan depresi pada
LAPORAN KASUS Page 16
jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat turun sekali
disertai dengan peningkatan denyut nadi. Ini diakibatkan Propofol
mempunyai efek mengurangi pembebasan katekolamin dan
menurunkan resistensi vaskularisasi sistemik sebanyak 30%.
Pengaruh pada jantung tergantung dari :
a. Pernafasan spontan
Mengurangi depresi jantung berbanding nafas kendali.
b.Pemberian drip lewat infus
Mengurangi depresi jantung berbanding pemberian secara bolus
c. Umur
Makin tua usia pasien makin meningkat efek depresi jantung
- Pada sistem pernafasan
Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal,
dalam beberapa kasus dapat menyebabkan henti nafas
kebanyakan muncul pada pemberian diprivan.
- Dosis dan penggunaan
- Induksi : 2,0 sampai 2.5 mg/kg IV.
- Sedasi : 25 to 75 µg/kg/min dengan I.V infus
- Dosis pemeliharaan pada anastesi umum : 100 – 150 µg/kg/min
IV (titrate to effect).
- Turunkan dosis pada orang tua atau gangguan hemodinamik
atau apabila digabung penggunaanya dengan obat anastesi
yang lain.
- Dapat dilarutkan dengan Dextrosa 5 % untuk mendapatkan
konsentrasi yang minimal 0,2%.
- Propofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus
berada dalam lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam
kondisi sudah terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah
LAPORAN KASUS Page 17
kontaminasi dari bakteri.
Efek Samping
Dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50%
sampai 75%. Nyeri ini bisa muncul akibat iritasi pembuluh darah
vena, nyeri pada pemberian propofol dapat dihilangkan dengan
menggunakan lidokain (0,5 mg/kg) dan jika mungkin dapat
diberikan 1 sampai 2 menit dengan pemasangan torniquet pada
bagian proksimal tempat suntikan, berikan secara I.V melaui vena
yang besar. Gejala mual dan muntah juga sering sekali ditemui
pada pasien setelah operasi menggunakan propofol. Propofol
merupakan emulsi lemak sehingga pemberiannya harus hati – hati
pada pasien dengan gangguan metabolisme lemak seperti
hiperlipidemia dan pankreatitis. Pada sesetengah kasus dapat
menyebabkan kejang mioklonik (thiopental < propofol < etomidate
atau methohexital). Phlebitis juga pernah dilaporkan terjadi setelah
pemberian induksi propofol tapi kasusnya sangat jarang. Terdapat
juga kasus terjadinya nekrosis jaringan pada ekstravasasi subkutan
pada anak-anak akibat pemberian propofol.
b. Ketamin
Ketamine (Ketalar or Ketaject) merupakan
arylcyclohexylamine yang memiliki struktur mirip dengan
phencyclidine. Ketamin pertama kali disintesis tahun 1962, dimana
awalnya obat ini disintesis untuk menggantikan obat anestetik yang
lama (phencyclidine) yang lebih sering menyebabkan halusinasi
dan kejang. Obat ini pertama kali diberikan pada tentara amerika
selama perang Vietnam.
Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil sikloheksilamin,
merupakan “rapid acting non barbiturate general anesthesia”.
Ketalar sebagai nama dagang yang pertama kali diperkenalkan oleh
LAPORAN KASUS Page 18
Domino dan Carson tahun 1965 yang digunakan sebagai anestesi
umum.
Ketamin kurang digemari untuk induksi anastesia, karena
sering menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri
kepala, pasca anasthesi dapat menimbulkan muntah – muntah ,
pandangan kabur dan mimpi buruk.
Ketamin juga sering menyebabkan terjadinya disorientasi,
ilusi sensoris dan persepsi dan mimpi gembira yang mengikuti
anesthesia, dan sering disebut dengan emergence phenomena.
Mekanisme kerja :
Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa blok terhadap
reseptor opiat dalam otak dan medulla spinalis yang memberikan
efek analgesik, sedangkan interaksi terhadap reseptor metilaspartat
dapat menyebakan anastesi umum dan juga efek analgesik.
Farmakokinetik :
-Absorbsi :
Pemberian ketamin dapat dilakukan secara intravena atau
intramuskular
- Distribusi :
Ketamin lebih larut dalam lemak sehingga dengan cepat akan
didistribusikan ke seluruh organ.10 Efek muncul dalam 30 – 60
detik setelah pemberian secara I.V dengan dosis induksi, dan akan
kembali sadar setelah 15 – 20 menit. Jika diberikan secara I.M
maka efek baru akan muncul setelah 15 menit.
LAPORAN KASUS Page 19
- Metabolisme
Ketamin mengalami biotransformasi oleh enzim mikrosomal
hati menjadi beberapa metabolit yang masih aktif.
- Ekskresi
Produk akhir dari biotransformasi ketamin diekskresikan
melalui ginjal.
Farmakodinamik :
- Susunan saraf pusat :
Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik
pasien akan mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai
tanda khas pada mata berupa kelopak mata terbuka spontan dan
nistagmus. Selain itu kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak
disadari (cataleptic appearance), seperti gerakan mengunyah,
menelan, tremor dan kejang. Itu merupakan efek anestesi
dissosiatif yang merupakan tanda khas setelah pemberian
Ketamin. Apabila diberikan secara intramuskular, efeknya akan
tampak dalam 5-8 menit, sering mengakibatkan mimpi buruk dan
halusinasi pada periode pemulihan sehingga pasien mengalami
agitasi. Aliran darah ke otak meningkat, menimbulkan
peningkatan tekanan darah intrakranial.
Konsentrasi plasma (Cp) yang diperlukan untuk hipnotik dan
amnesia ketika operasi kurang lebih antara 0,7 sampai 2,2 µg/ml
(sampai 4,0 µg/ml buat anak-anak). Pasien dapat terbangun jika
Cp dibawah 0,5µg/ml.
Ketamin merupakan suatu reseptor antagonis N-Metil-D-
aspartat (NMDA) yang non kompetitif yang menyebabkan :
- Penghambatan aktivasi reseptor NMDA oleh glutamat
LAPORAN KASUS Page 20
- Mengurangi pembebasan presinaps glutamat
- Efek potensial Gamma-aminobutyric acid (GABA)
Pemberian Ketamin dapat menyebabkan efek psikologis yang
berupa:
- Mimpi buruk
- Perasaan ekstrakorporeal (merasa seperti melayang keluar dari
badan)
- Salah persepsi, salah interpretasi dan ilusi
- Euphoria, eksitasi, kebingungan dan ketakutan
- Dewasa > anak-anak
- Perempuan > laki-laki
- Mata
Menimbulkan lakrimasi, nistagmus dan kelopak mata terbuka
spontan, terjadi peningkatan tekanan intraokuler akibat
peningkatan aliran darah pada pleksus koroidalis.
- Sistem kardiovaskuler
Ketamin adalah obat anestesia yang bersifat
simpatomimetik, sehingga bisa meningkatkan tekanan darah
dan jantung. Peningkatan tekanan darah akibat efek inotropik
positif dan vasokonstriksi pembuluh darah perifer.
- Sistem pernafasan
Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh terhadap
sistem respirasi. dapat menimbulkan dilatasi bronkus karena
sifat simpatomimetiknya, sehingga merupakan obat pilihan
pada pasien asma.
LAPORAN KASUS Page 21
Dosis dan pemberian
Ketamin merupakan obat yang dapat diberikan secara
intramuskular apabila akses pembuluh darah sulit didapat
contohnya pada anak – anak. Ketamin bersifat larut air
sehingga dapat diberikan secara I.V atau I.M. Dosis induksi
adalah 1 – 2 mg/KgBB secara I.V atau 5 – 10 mg/Kgbb I.M ,
untuk dosis sedatif lebih rendah yaitu 0,2 mg/KgBB dan harus
dititrasi untuk mendapatkan efek yang diinginkan.
Untuk pemeliharaan dapat diberikan secara intermitten atau
kontinyu. Pemberian secara intermitten diulang setiap 10 – 15
menit dengan dosis setengah dari dosis awal sampai operasi
selesai.3 Dosis obat untuk menimbulkan efek sedasi atau
analgesic adalah 0,2 – 0,8 mg/kg IV atau 2 – 4 mg/kg IM atau
5 – 10 µg/kg/min IV drip infus.
Efek samping
Dapat menyebabkan efek samping berupa peningkatan
sekresi air liur pada mulut,selain itu dapat menimbulkan agitasi
dan perasaan lelah , halusinasi dan mimpi buruk juga terjadi
pasca operasi, pada otot dapat menimbulkan efek mioklonus
pada otot rangka selain itu ketamin juga dapat meningkatkan
tekanan intracranial. Pada mata dapat menyebabkan terjadinya
nistagmus dan diplopia.
Kontra indikasi
Mengingat efek farmakodinamiknya yang relative
kompleks seperti yang telah disebutkan diatas, maka
penggunaannya terbatas pada pasien normal saja. Pada pasien
yang menderita penyakit sistemik penggunaanya harus
dipertimbangkan seperti tekanan intrakranial yang meningkat,
LAPORAN KASUS Page 22
misalnya pada trauma kepala, tumor otak dan operasi
intrakranial, tekanan intraokuler meningkat, misalnya pada
penyakit glaukoma dan pada operasi intraokuler. Pasien yang
menderita penyakit sistemik yang sensitif terhadap obat – obat
simpatomimetik, seperti ; hipertensi tirotoksikosis, Diabetes
militus dan PJK.
c. Opioid
Opioid telah digunakan dalam penatalaksanaan nyeri
selama ratusan tahun. Obat opium didapat dari ekstrak biji buah
poppy papaverum somniferum, dan kata “opium “ berasal dari
bahasa yunani yang berarti getah.
Opium mengandung lebih dari 20 alkaloid opioids.
Morphine, meperidine, fentanyl, sufentanil, alfentanil, and
remifentanil merupakan golongan opioid yang sering digunakan
dalam general anestesi. efek utamanya adalah analgetik. Dalam
dosis yang besar opioid kadang digunakan dalam operasi kardiak.
Opioid berbeda dalam potensi, farmakokinetik dan efek samping.
Mekanisme kerja :
Opioid berikatan pada reseptor spesifik yang terletak pada
system saraf pusat dan jaringan lain. Empat tipe mayor reseptor
opioid yaitu , μ,Ќ,δ,σ. Walaupun opioid menimbulkan sedikit efek
sedasi, opioid lebih efektif sebagai analgesia. Farmakodinamik dari
spesifik opioid tergantung ikatannya dengan reseptor, afinitas
ikatan dan apakah reseptornya aktif. Aktivasi reseptor opiat
menghambat presinaptik dan respon postsinaptik terhadap
neurotransmitter ekstatori (seperti asetilkolin) dari neuron
nosiseptif.
LAPORAN KASUS Page 23
Farmakokinetik :
- Absorbsi
Cepat dan komplit terjadi setelah injeksi morfin dan
meperedin intramuskuler, dengan puncak level plasma setelah
20-60 menit. Fentanil sitrat transmukosal oral merupakan
metode efektif menghasilkan analgesia dan sedasi dengan onset
cepat (10 menit) analgesia dan sedasi pada anak-anak (15-20
μg/Kg) dan dewasa (200-800 μg).
- Distribusi
Waktu paruh opioid umumnya cepat (5-20 menit).
Kelarutan lemak yang rendah dan morfin memperlambat laju
melewati sawar darah otak, sehingga onset kerja lambat dan
durasi kerja juga Iebih panjang. Sebaliknya fentanil dan
sufentanil onsetnya cepat dan durasi singkat setelah injeksi
bolus.
- Metabolisme
Metabolisme sangat tergantung pada biotransformasinya di
hepar, aliran darah hepar. Produk akhir berupa bentuk yang
tidak aktif.
- Ekskresi
Eliminasi terutama oleh metabolisme hati, kurang lebih
10% melewati bilier dan tergantung pada aliran darah hepar. 5 –
10% opioid diekskresikan lewat urine dalam bentuk metabolit
aktif, remifentanil dimetabolisme oleh sirkulasi darah dan otot
polos esterase.
LAPORAN KASUS Page 24
Farmakodinamik :
- Sistem kardiovaskuler
System kardiovaskuler tidak mengalami perubahan baik
kontraktilitas otot jantung maupun tonus otot pembuluh
darah.Tahanan pembuluh darah biasanya akan menurun karena
terjadi penurunan aliran simpatis medulla, tahanan sistemik juga
menurun hebat pada pemberian meperidin atau morfin karena
adanya pelepasan histamin.
- Sistem pernafasan
Dapat meyebabkan penekanan pusat nafas, ditandai dengan
penurunan frekuensi nafas, dengan jumlah volume tidal yang
menurun .PaCO2 meningkat dan respon terhadap CO2 tumpul
sehingga kurve respon CO2 menurun dan bergeser ke kanan,
selain itu juga mampu menimbulkan depresi pusat nafas akibat
depresi pusat nafas atau kelenturan otot nafas, opioid juga bisa
merangsang refleks batuk pada dosis tertentu.
- Sistem gastrointestinal
Opioid menyebabkan penurunan peristaltik sehingga
pengosongan lambung juga terhambat.
- Endokrin
Fentanil mampu menekan respon sistem hormonal dan
metabolik akibat stress anesthesia dan pembedahan, sehingga
kadar hormon katabolik dalam darah relatif stabil.
- Dosis dan pemberian
Premedikasi petidin diberikan I.M dengan dosis 1 mg/kgbb
atau intravena 0,5 mg/Kgbb, sedangakan morfin sepersepuluh
LAPORAN KASUS Page 25
dari petidin dan fentanil seperseratus dari petidin.
d. Benzodiazepine
Golongan benzodiazepine yang sering digunakan oleh
anestesiologi adalah Diazepam (valium), Lorazepam (Ativan) dan
Midazolam (Versed), diazepam dan lorazepam tidak larut dalam air
dan kandungannya berupa propylene glycol. Diazepam tersedia
dalam sediaan emulsi lemak (Diazemuls atau Dizac), yang tidak
menyebakan nyeri atau tromboplebitis tetapi hal itu berhubungan
bioaviabilitasnya yang rendah, midazolam merupakan
benzodiazepin yang larut air yang tersedia dalam larutan dengan
PH 3,5.
Mekanisme kerja :
Golongan benzodiazepine bekerja sebagai hipnotik, sedative,
anxiolitik, amnestik, antikonvulsan, pelumpuh otot yang bekerja di
sentral. Benzodiazepine bekerja di reseptor ikatan GABAA.
Afinitas pada reseptor GABAA berurutan seperti berikut lorazepam
> midazolam > diazepam. Reseptor spesifik benzodiazepine akan
berikatan pada komponen gamma yang terdapat pada reseptor
GABA.
Farmakokinetik
Obat golongan benzodiazepine dimetabolisme di hepar, efek
puncak akan muncul setelah 4 – 8 menit setelah diazepam
disuntikkan secara I.V dan waktu paruh dari benzodiazepine ini
adalah 20 jam. Dosis ulangan akan menyebabkan terjadinya
akumulasi dan pemanjangan efeknya sendiri. Midazolam dan
diazepam didistribusikan secara cepat setelah injeksi bolus,
metabolisme mungkin akan tampak lambat pada pasien tua.
LAPORAN KASUS Page 26
Clearance in ml/kg/min
Short midazolam 6 - 11
Intermediate lorazepam 0,8 – 1,8
Long diazepam 0, 2 – 0,5
Farmakodinamik
- Sistem saraf pusat
Dapat menimbulkan amnesia, anti kejang, hipnotik,
relaksasi otot dan mepunyai efek sedasi, efek analgesik tidak ada,
menurunkan aliran darah otak dan laju metabolisme.
- Sistem Kardiovaskuler
Menyebabkan vasodilatasi sistemik yang ringan dan
menurunkan cardiac out put. Ttidak mempengaruhi frekuensi
denyut jantung, perubahan hemodinamik mungkin terjadi pada
dosis yang besar atau apabila dikombinasi dengan opioid.
- Sistem Pernafasan
Mempengaruhi penurunan frekuensi nafas dan volume
tidal, depresi pusat nafas mungkin dapat terjadi pada pasien dengan
penyakit paru atau pasien dengan retardasi mental.
- Sistem saraf otot
Menimbulkan penurunan tonus otot rangka yang bekerja di
tingkat supraspinal dan spinal , sehingga sering digunakan pada
pasien yang menderita kekakuan otot rangka.
LAPORAN KASUS Page 27
- Dosis
Dosis midazolam bervariasi tergantung dari pasien itu sendiri.
- Untuk preoperatif digunakan 0,5 – 2,5mg/kgbb
- Untuk keperluan endoskopi digunakan dosis 3 – 5 mg
- Sedasi pada analgesia regional, diberikan intravena.
- Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin.
- Efek samping
Midazolam dapat menyebabkan depresi pernafasan jika
digunakan sebagai sedasi. Lorazepam dan diazepam dapat
menyebabkan iritasi pada vena dan trombophlebitis.
Benzodiazepine turut memperpanjang waktu sedasi dan amnesia
pada pasien. Efek Benzodiazepines dapat di reverse dengan
flumazenil (Anexate, Romazicon) 0.1-0.2 mg IV prn to 1 mg, dan
0.5 – 1 mcg/kg/menit berikutnya.
2.3 Endotrakeal Tube (ETT)
2.3.1Karakteristik Pipa Endotrakea
Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan
nafas, mempertahankan patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah
ventilasi, oksigenasi dan pengisapan.
Pipa endotrakea terbuat dari material silicon PVC (Polyvinyl
Chloride) yang bebas lateks, dilengkapi dengan 15mm konektor
standar. Termosensitif untuk melindungi jaringan mukosa dan
memungkinkan pertukaran gas, serta struktur radioopak yang
memungkinkan perkiraan lokasi pipa secara tepat. Pada tabung
didapatkan ukuran dengan jarak setiap 1cm untuk memastikan
kedalaman pipa.
LAPORAN KASUS Page 28
Anatomi laring dan rima glotis harus dikenal lebih dulu. Besar pipa
trakea disesuaikan dengan besarnya trakea. Besar trakea tergantung
pada umur. Pipa endotrakea yang baik untuk seorang pasien adalah
yang terbesar yang masih dapat melalui rima glottis tanpa trauma. Pada
anak dibawah umur 8 tahun trakea berbentuk corong, karena ada
penyempitan di daerah subglotis (makin kecil makin sempit). Oleh
karena itu pipa endaotrakeal yang dipakai pada anak, terutama adalah
pipa tanpa balon (cuff). Bila dipakai pipa tanpa balon hendaknya
dipasang kasa yang ditempatkan di faring di sekeliling pipa tersebut
untuk mencegah aspirasi untuk fiksasi dan agar tidak terjadi kebocoran
udara inspirasi. Bila intubasi secara langsung (memakai laringoskop
dan melihat rima glotis) tidak berhasil, intubasi dilakukan secara tidak
langsung (tanpa melihat trakea) yang juga disebut intubasi tanpa lihat
(blind). Cara lain adalah dengan menggunakan laringoskop serat optik.
Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk
memakai pipa dengan balon lunak volume besar tekanan rendah, untuk
anak kecil dan bayi pipa tanpa balon lebih baik. Balon sempit volume
kecil tekanan tinggi hendaknya tidak dipakai karena dapat
menyebabkan nekrosis mukosa trakea. Pengembangan balon yang
terlalu besar dapat dihindari dengan memonitor tekanan dalam balon
(yang pada balon lunak besar sama dengan tekanan dinding trakea dan
jalan nafas) atau dengan memakai balon tekanan terbatas. Pipa
hendaknya dibuat dari plastik yang tidak iritasif.
Berikut ditampilkan berbagai ukuran pipa endotrakea baik dengn
atau tanpa cuff. Ukuran penggunaan bervariasi bergantung pada usia
pasien. Untuk bayi dan anak kecil pemilihan diameter dalam pipa
(mm)= 4 + 1/2. umur (tahun).
Pemakaian pipa endotrakea sesudah 7 sampai 10 hari hendaknya
dipertimbangkan trakeostomi, bahkan pada beberapa kasus lebih dini.
LAPORAN KASUS Page 29
Pada hari ke-4 timbul kolonisasi bakteri yang dapat menyebabkan
kondritis bahkan stenosis subglotis. Kerusakan pada laringotrakea telah
jauh berkurang dengan adanya perbaikan balon dan pipa. Jadi
trakeostomi pada pasien koma dapat ditunda jika ekstubasi diperkirakan
dapat dilakukan dalam waktu 1-2 minggu. Akan tetapi pasien sadar
tertentu memerlukan ventilasi intratrakea jangka panjang mungkin
merasa lebih nyaman dan diberi kemungkinan untuk mampu berbicara
jika trakeotomi dilakukan lebih dini.
2.3.2Teknik Intubasi
Alat-alat yang digunakan pada intubasi yaitu :
1. Laringoskop : yaitu alat untuk melihat laring. Terdiri dari bagian
pegangan atau batang (handle) dan bilah (blade). Ada 3-4 ukuran
bilah (ukuran bayi, anak, dewasa normal dan yang besar).
Jenis-jenis laringoskop :
a. Tipe magil (bilah lurus), sering digunakan oleh ahli THT pada wakt
laringoskopi, trakeoskopi, bronkoskopi. Jarang dipakai intubasi
karena trumatis.
b. Tipe macintosh (bilah bengkok), paling sering dipakai untuk tindakan
intubasi karena kurang traumatis dan lapangan pandangan luas serta
kemungkinan timbul refleks vagal berkurang.
c. Laringoskop serat optik digunakan untuk kasus intubasi yang sulit
dilakukan dengan laringoskop biasa.
2. Pipa khusus (pipa endotrakea)
Ada bermacam-macam jenis yang disesuaikan menurut
kebutuhannya, yaitu :
a. Dengan atau tanpa balon (cuff), berfungsi mencegah aspirasi isi
LAPORAN KASUS Page 30
faring ke dalam trakea dan memastikan tidak ada kebocoran
selama ventilasi bertekanan positif. Tekanannya antara 20-30mm
H2O diukur dengan manometer.
b. Jenis nasal atau oral
c. Terbuat dari bahan karet, PVC (plastik) atau diperkuat dengan
kawat spiral.
Tiga hal yang harus diperhatikan untuk dapat membantu
memudahkan atau mengurangi trauma pada waktu intubasi trakea
adalah :
a. Penderita tidak sadar/tidur (pada penderita sadar teknis lebih sulit).
b. Posisi kepala (kepala lebih ekstensi dengan bantal tipis dibawah
kepala).
c. Relaksasi otot yang baik.
Prosedur persiapan :
Saat melakukan intubasi pada pasien, terdapat beberapa hal
penting yang harus diperhatikan untuk memastikan keamanan
proses intubasi yangdisebut SALT, yaitu :
a. Suction
Merupakan hal yang sangat penting. Seringkali pada faring
pasien terdapat benda asing yang menyulitkan visualisasi dari
pita suara. Disamping itu, aspirasi dari paru juga harus
dihindari.
b. Airway
Pastikan jalan nafas melalui mulut baik, untuk mencegah
jatuhnya lidah ke bagian belakang faring.
LAPORAN KASUS Page 31
c. Laryngoscope
Merupakan alat yang paling penting untuk membantu
penempatan pipa endotracheal.
d. Tube
Pipa Endotrakea memiliki berbagai macam ukuran.
Umumnya pada orang dewasa menggunakan ukuran 7 atau 8.9
Persiapan Obat
1. Sedatif
a. Midazolam : obat penenang (tranquilizer)
Midazolam adalah obat induksi tidur jangka pendek
untuk premedikasi, induksi, dan pemeliharaan anestesi.
DIbandingkan dengan diazepam, midazolam bekerja cepat
karena transformasi metabolitnya cepat dan lama kerjanya
singkat. Pada pasien orang tua dengan perubahan organic otak
atau gangguan fungsi jantung dan pernafasan, dosis harus
ditentukan secara hati-hati.
Efek obat timbul dalam 2 menit setelah penyuntikan.
Dosis premedikasi dewasa 0.07 – 0.10 mg/kgBB, disesuaikan
dengan umur dan keadaan pasien. Dosis lazim adalah 5 mg.
Pada orang tua dan pasien lemah dosisnya 0.025-0.05
mg/kgBB.Efek sampingnya terjadi perubahan tekanan darah
arteri, denyut nadi dan pernafasan, umumnya hanya sedikit.
2. Analgesik
a. Fentanil
Fentanil ialah zat sintetik seperti petidin dengan
kekuatan 100x morfin. Lebih larut dalam lemak dibanding
petidin dan menembus sawar jaringan dengan mudah. Setelah
LAPORAN KASUS Page 32
suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif
hampir sama dengan morfin, tetapi fraksi terbesar dirusak paru
ketika pertama melewatinya. Dimetabolisir oleh hati dengan
N-dealkilasi dan hidroksilasidan sisa metabolismenya
dikeluarkan lewat urin.
Efek depresi napasnya lebih lama dibanding efek
analgesinya. Dosis 1-3 ug/kgBB analgesinya kira-kira hanya
berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk
anestesia pembedahan daan tidak untuk pasca bedah.
Dosis besar 50-150 ul/kgBB digunakan untuk induksi
anestesia dan pemeliharaan anestesia dengan kombinasi
bensodiasepin dan anestetik inhalasi dosis rendah, pada bedah
jantung. Efek tak disukai ialah kekakuan otot punggung yang
sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot. Dosis besar
dapat mencegah peningkatan kadar gula, katekolamin plasma,
ADH, renin, aldosteron dan kortisol.
3. Induksi
a. Propofol (Recofol, diprivan)
Propofol adalah obat anestesi intravena yang bekerja
cepat dengan karakter recovery anestesi yang cepat tanpa rasa
pusing dan mual-mual. Propofol merupakan cairan emulsi
minyak-air yang berwarna putih yang bersifat isotonic
dengan kepekatan 1% (1ml=10mg) dan mudah larut dalam
lemak.
Propofol menghambat transmisi neuron yang
dihantarkan oleh GABA. Propofol adalah obat anestesi
umum yang bekerja cepat yang efek kerjanya dicapai dalam
waktu 30 detik.
LAPORAN KASUS Page 33
Dosis induksi 1-2 mg/kgBB. Dosis rumatan 500
ug/kgBB/menit infuse. Dosis sedasi 25-100 ug/kgBB/menit
infuse. Pada pasien yang berumur diatas 55 tahun dosis untuk
induksi maupun maintenance anestesi itu lebih kecil dari
dosis yang diberikan untuk pasien dewasa dibawah umur 55
tahun. Cara pemberian bias secara suntikan bolus intravena
atau secara kontinu melalui infuse, namun kecepatan
pemberian harus lebih lambat daripada pemberian pada orang
dewasa dibawah umur 55 tahun. Pada pasien dengan ASA
III-IV dosisnya lebih rendah dan kecepatan tetesan juga lebih
lambat.
4. Muscle relaksan
a. Atracurium (notrixum)
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang
relatif baru, sifatnya tidak mempunyai efek kumulasi pada
pemberian berulang, dan tidak menyebabkan perubahan
fungsi kardiovaskular yang bermakna dan pemulihan fungsi
saraf otot dapat terjadi secara spontan, dosis 0,5 mg/kg BB,
durasi 15-30 menit.
5. Maintanance anestesi
a. Isoflurane
Isomer dari enfluran dengan efek-efek samping yang
minimal. Induksi dan masa pulih anestesia dengan isofluran
cepat.
Sifat fisis: titik didih 58,5, koefisien partisi darah/gas
1.4, MAC 1.15%
Farmakologi:
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung
LAPORAN KASUS Page 34
minimal, sehingga digemari untuk anestesa teknik hipotensi
dan banyak digunakan pada pasien dengan gangguan
koroner.
b. N2O 1
N2O diperoleh dengan memanaskan ammonium nitrat
sampai 240C (NH4NO3 à 2H2O + N2O)
N2O dalam ruangan berbentuk gas tak berwarna, bau
manis, tak iritasi, tak terbakar, dan beratnya 1,5 kali berat
udara. Pemberian anestesi dengan N2O harus disertai O2
minimal 25%. Gas ini bersifat anestetik lemah, tetapi
analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk
mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi
inhalasi jarang digunakan sendirian, tetapi dikombinasikan
dengan salah satu anestesi lain seperti halotan dan
sebagainya.
Pada akhir anestesi setelah N2O dihentikan, maka N2O
akan cepat keluar mengisi alveoli, sehingga terjadi
pengenceran O2 100% selama 5-10 menit. Penggunaan
dalam anestesi umumnya dipakai dalam kombinasi N2O : O2
yaitu 60% : 40%, 70% : 30%. Dosis untuk mendapatkan efek
analgesic digunakan dengan perbandingan 20% : 80%, untuk
induksi 80% : 20%, dan pemeliharaan 70% : 30%. N2O
sangat berbahaya bila digunakan pada pasien pneumothoraks,
pneumomediastinum, obstruksi, emboli udara dan
timpanoplasti.
Cara intubasi (pada waktu induksi anestesia) :
a. Pastikan bahwa alat-alat yang diperlukan sudah lengkap dan baik.
b. Bila perlu sediakan oksigen dan diperiksa bahwa tabung oksigen
LAPORAN KASUS Page 35
masih berisi dan dapat dipakai (manometer, flowmeter dan pipa
oksigen).
c. Setelah pasien tidur (biasanya dengan pemberian obat induksi
intravena, tiopental 5 mg/kgBB atau ketamin 1,5 mg/kgBB)
berikan obat pelemas otot suksinilkolin 1 mg/kgBB iv. Akan
nampak fasikulasi pada otot kerangka tubuh yang kadang-
kadang hebat.
d. Bila fasikulasi sudah mulai berkurang, berikan ventilasi buatan
dengan oksigen kurang lebih selama 30 detik.
e. Batang laringoskop dipegang dengan tangan kiri dan tangan
yang lain mendorong kepala sehingga sedikit ekstensi, dan
mulut pasien akan dengan sendirinya membuka. Bila mulut
tidak juga membuka, maka setelah melakukan ekstensi kepala,
mulut dibuka dengan tangan (jempol, telunjuk dan atau dengan
jari tengah). Salah satu tangan tetap memegang laringoskop.
f. Setelah lampu laringoskop kita nyalakan, masukkan bilah ke
dalam mulut berawal dari sudut mulut sebelah kanan.
g. Bilah dimasukkan sedikit demi sedikit sedemikian rupa,
sehingga menyelusuri sebelah kanan lidah, sambil menggeser
lidah ke kiri. Hendaknya jangan meletakkan bilah dipertengahan
lidah, karena akan mengganggu pandangan.
h. Sambil memasukkan bilah kedalam carilah epiglotis. Bila bilah
bengkok, tempatkan ujung bilah di valekula.
i. Dengan sedikit mengangkat laringoskop (arah gerakan sama
dengan sumbu batang laringoskop) maka akan tampak rima
glotis (jangan dicongkel). Bila perlu orang lain menekan trakea
dari luar untuk melihat rima glotis.
j. Bila nampak rima glotis, maka akan nampak pita suara berwarna
putih tidak bergerak karena henti nafas dan sekitarnya berwarna
merah.
k. Bila perlu berikan obat analgetik dengan semprotan (lidokain
LAPORAN KASUS Page 36
10%) pada laring dan trakea.
l. Pipa endotrakea dimasukkan melalui rima glotis.
m. Pipa endotrakea dihubungkan dengan alat anestesia atau alat
resusitasi dan pernapasan tetap dikendalikan sampai kembali
spontan dan adekuat.
Bila sebelum melakukan tindakan intubasi kita sudah sangsi
akan keberhasilan intubasi, maka hendaknya tidak memberi obat-
obatan yang membuat pasien tidur, melainkan cukup diberi sedatif
saja dengan lebih dulu memberi analgetik topical dalam mulut,
faring, laring sebelum intubasi. Dapat juga pasien di buat tidur
dengan cukup dalam tetapi biarkan bernafas spontan (tanpa
pelemas otot).
Bila dengan cara tidak lihat (blind) dan laringoskop serat optik
juga gagal baru dipertimbangkan trakeostomi. Namun saat ini cara
intubasi blind sebaiknya tidak dilakukan lagi.
Pada keadaan-keadaan tertentu dimana kesulitan intubasi tidak
dapat diduga sebelumnya maka pada waktu tindakan intubasi
sedang berlangsung hendaknya selalu diperhatikan nadi dan
perifer/mukosa mulut. Bila timbul bradikardia dan atau sianosis
hendaknya tindakan dihentikan. Berikan kembali bantuan nafas
dan oksigen.
Hal-hal yang harus diperhatikan setelah pipa endotrakea masuk :
1. Rongga dada kiri dan kanan harus sama-sama mengembang serta
bunyi udara inspirasi paru kanan dan kiri harus terdengar sama
keras dengan memakai stetoskop. Bila pipa masuk terlalu dalam
seringkali pipa masuk ke bronkus kanan sehingga bunyi nafas
hanya terdengar pada satu paru. Pipa harus ditarik sedikit, lalu
periksa kembali dengan stetoskop.
2. Balon cuff diisi sampai tidak ada tanda-tanda bocor (kebocoran
LAPORAN KASUS Page 37
dapat diketahui dengan mendengar bunyi di mulut pada saat
paru di inflasi/ditiup).
3. Pasang alat pencegah tergigitnya pipa.
4. Lakukan fiksasi dengan plester atau dengan tali pengikat agar
pipa tidak bergerak (malposisi).
Pada umumnya intubasi endotrakeal dibatasi, tidak lebih dari 2
minggu. Tindakan trakeostomi sebaiknya dihindari, kecuali bila
bantuan jalan nafas masih diperlukan untuk jangka waktu tertentu.
Keuntungan intubasi lama ialah bahwa komplikasi trakeostomi
dapat dihindari, walaupun diketahui bahwa intubasi sendiri
memiliki berbagai komplikasi, diantaranya komplikasi selama
intubasi berupa trauma gigi geligi; laserasi bibir, gusi, laring;
merangsang saraf simpatis (hipertensitakikardi); intubasi bronkus;
intubasi esofagus; aspirasi; spasme bronkus. Komplikasi setelah
ekstubasi berupa spasme laring, aspirasi, gangguan fonasi, edema
glotissubglotis, infeksi laring, infeksi faring dan infeksi trakea.
Kebanyakan pipa endotrakea terlalu panjang dan harus
dipotong. Panjang pipa yang dibutuhkan dapat diperkirakan dengan
meletakkannya disamping muka dan leher pasien dengan bifurkasio
trakea terletak pada pertemuan manubrium-sternum. Diameter pipa
yang tepat sangat penting, terutama dalam pemilihan pipa untuk
anak, tetapi dapat diperkirakan dari besarnya diameter jari
kelingking anak. Untuk meja resusitasi persediaan pipa dengan
diameter 6-10 mencukupi.
Stilet plastik atau logam berujung tumpul yang dapat dibentuk
membuat lengkung pipa dapat diatur. Bila digunakan, ujung stilet
hendaknya tidak keluar dari ujung distal pipa. Pemakaian stilet
lurus yang dibengkokkan 450 pada seperlima bagian distal ,
bersama dengan daun laringoskop bengkok memudahkan intubasi
pada keadan sulit, bahkan jika hanya epiglotis yang dapat dilihat.
LAPORAN KASUS Page 38
Pasien dengan lambung yang penuh yang memerlukan anestesia
umum atau dalam koma akibat penyakit atau cedera, mungkin
memerlukan intubasi cepat. Persiapkan pengisap untuk regurgitasi.
Pilihan antara posisi terlentang atau setengah duduk kontroversi.
Posisi terlentang (terutama jika kepala direndahkan) dapat
mengatasi aspirasi, sedangkan posisi setengah duduk dapat
mengurangi kemungkinan regurgitasi. Sesudah preoksigenasi (lebih
disukai dengan oksigen 100% tanpa tekanan positif), tutuplah
esofagus pasien dengan tekanan pada krikoid (Sellick) dan
lumpuhkan pasien dengan suksinilkolin. Intubasi secepatnya.
Pasien asfiksia yang kejang dengan cedera kepala merupakan
contoh tantangan. Pasien ini mungkin harus diintubasi dengan
pelumpuh otot, karena batuk dan mengedan pada keadaan memar
otak, dapat menambah sembab otak dan perdarahan. Intubasi cepat
mungkin berbahaya jika ditangani tenaga yang tidak
berpengalaman. Intubasi endotrakea pasien sadar oleh beberapa
orang dianggap diindikasikan sebelum anestesia umum pada risiko
aspirasi dan insufisiensi paru berat.
Indikasi Intubasi Perioperatif
Intubasi trakea merupakan suatu tindakan memasukkan pipa
khusus kedalam trakea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan
nafas mudah dibantu atau dikendalikan. Dapat merupakan tindakan
pertolongan darurat (penyelamatan hidup) dan sangat sering
dilakukan di unit terapi intesif untuk pasien yang refleks laringnya
terganggu serta gagal nafas akut.
Intubasi endotrakea diindikasikan sebagai pilihan terakhir
penguasaan jalan nafas darurat pada pasien tidak sadar. Intubasi
tersebut dapat dikerjakan dengan mengunakan pipa orotrakeal,
nasotrakeal atau trakeostomi.
LAPORAN KASUS Page 39
Indikasi utama dilakukannya intubasi pada anestesia umum
bertujuan untuk:
1. Mempermudah pemberian anestesia.
2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas, mempertahankan
kelancaran pernafasan.
3. Mencegah kemungkinan aspirasi isi lambung (pada keadaan-
keadaan tidak sadar, lambung penuh, tidak ada refleks batuk).
4. Memudahkan pengisapan sekret trakeo bronkial.
5. Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
6.Mengatasi obstruksi laring akut.
Anestesia umum dengan teknik endotrakea dilakukan pada
operasi-operasi lama yang memerlukan nafas kendali, operasi
daerah leher-kepala, operasi dengan posisi miring, tengkurap atau
duduk dimana jalan nafas bebas sulit dipertahankan.
Intubasi yang sulit dapat diperkirakan pada pasien dengan leher
pendek berotot, mandibula menonjol, maksila/gigi depan menonjol,
uvula tidak terlihat (malampati 3 atau 4), gerak sendi temporo-
mandibular terbatas, gerak vertebra servikal terbatas, adanya massa
di faring atau laring.
2.3.3Ekstubasi Perioperatif
Setelah opersi berakhir, pasien memasuki prosedur pemulihan
yaitu pengembalian fungsi respirasi pasien dari nafas kendali menjadi
nafas spontan. Sesaat setelah obat bius dihentikan segeralah berikan
oksigen 100% disertai penilaian apakan pemulihan nafas spontan telah
terjadi dan apakah ada hambatan nafas yang mungkin menjadi
komplikasi.
Bila dijumpai hambatan nafas, tentukaan apakah hambatan pada
central atau perifer.
LAPORAN KASUS Page 40
Teknik ekstubasi pasien dengan membuat pasien sadar betul atau
pilihan lainnya pasien tidak sadar (tidur dalam), jangan lakukan dalam
keadaan setengah sadar ditakutkan adanya vagal refleks. Bila
ekstubasi pasien sadar, segera hentikan obat-obat anastesi hipnotik
maka pasien berangsu-angsur akan sadar. Evaluasi tanda-tanda
kesadaran pasien mulai dari gerakan motorik otot-otot tangan, gerak
dinding dada, bahkan sampai kemampuan membuka mata spontan.
Yakinkan pasien sudah bernafas spontan dengan jalan nafas yang
lapang dan saat inspirasi maksimal. Pada ekstubasi pasien tidak sadar
diperlukan dosis pelumpuh otot dalam jumlah yang cukup banyak, dan
setelahnya pasien menggunakan alat untuk memastikan jalan nafas
tetap lapang berupa pipa orofaring atau nasofaring dan disertai pula
dengan triple airway manufer standar.
LAPORAN KASUS
A. Identitas pasien
LAPORAN KASUS Page 41
Nama lengkap : Aq. Sahri
Umur : 51 tahun
Status perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Petani
Alamat : Aikmel Lombok Timur
Jenis kelamin : Laki-Laki
Suku : Sasak
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Masuk Ruangan : Sabtu, 02 Februari 2013 pukul 10.55 WITA
B. Anamnesa
1. Keluhan utama : Timbul Benjolan pada leher kiri
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien masuk ke ruang bedah pada tanggal 29 januari 2013. Pasien
mengeluh timbul benjolan pada leher kiri. Benjolan dirasakan timbul
lebih kurang sejak 4 bulan yang lalu. Benjolan berukuran sekitar 4
cm, sebanyak 1 benjolan, tidak berwarna merah, tidak nyeri, tidak
berjonjot, konsistensi kenyal dan dapat digerakkan dari dasarnya.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Hipertensi dan Diabetes Mellitus (-), riwayat masuk rumah sakit dan
operasi (-), riwayat alergi obat (-)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada yang menderita seperti pasien dalam keluarga
5. Riwayat Penyakit Sosial
Pasien memiliki kebiasaan merokok dan tinggal di daerah
pegunungan
C. Pemeriksaan Jasmani
LAPORAN KASUS Page 42
- Pemeriksaan Umum :
Tinggi badan : 160 cm
Berat Badan : 50 kg
Tekanan darah : 160/100 mmHg
Nadi : 70 x/ menit
Suhu : 36,5 C
Pernapasan : 18x / menit
Keadaan gizi : Baik
Kesadaran : Kompos mentis
Sianosis : Tidak ada
Edema umum : Tidak ada
Habitus : Atletikus
Cara berjalan :Normal
- Kepala
Ekspresi wajah : Normal, wajar
Rambut : normal
Simetris wajah : Simetris
- Mata
Exopthalmus : (-)
Kelopak : Tidak ada kelainan
Konjungtiva : anemis (-)
Sklera : ikterik (-)
Lapang penglihatan : Normal
Enopthalmus : Tidak
Visus : Tidak dilakukan pemeriksaan
Gerak mata : Normal segala arah
Tekanan bola mata : N/ palpasi
Nistagmus : Tidak
LAPORAN KASUS Page 43
- Leher
Tekanan JVP : 5-2 cm H20
Kelenjar tiroid : pembesaran kelenjar sinistra
Kelenjar Limfe : Tidak teraba
- Paru-Paru Depan Belakang
Inspeksi : Hemithoraks dekstra = sinistra baik statis maupun
dinamis
Palpasi : Fremitus vokal dan taktil hemithoraks dekstra =
sinistra
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : vesikuler +++/+++, rhonki ---/---, whezing ---/---
- Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba pulsasi
Perkusi : Batas jantung kanan : Linea Parastrernal
dekstra ICS lV
Batas jantung kiri : Linea Midclavicula sinistra ICS V
Batas atas : Linea Parasternal sinistra ICS lll
Auskultasi :Bunyi jantung I dan II reguler murni, gallop
(-), murmur (-)
- Abdomen
Inspeksi : Simetris, distensi (-)
Palpasi :Distensi (-), nyeri tekan (-), Hati tidak teraba, Limpa tidak
teraba, Ginjal : Ballotement (-))
Perkusi : Timpani, nyeri ketok (-), Shifting dullness (-)
Auskultasi : Peristaltik usus (+) normal
LAPORAN KASUS Page 44
- Ekstremitas : Edema --/--, deformitas (-), akral hangat (+)
Dignosa : Struma nodul non toxic
Hasil Laboratorium :
Darah Lengkap :
- Hb : 12, 9
- Lekosit : 6.330
- LED : 29
- Eritrosit : 4, 56
- Trombosit : 225.000
- Hematokrit : 37,3
KIMIA :
- SGOT : 33,0
- SGPT : 17,7
- Protein : 6,7
- Albumin : 3,14
- Globulin : 3,59
GINJAL :
- Ureum : 19,2
- Kreatinin : 0,85
IMUNOSEROLOGI :
- HbsAg : (-)
URINALISA :
- Berat Jenis : 1020
- PH : 6,0
- Lekosit : 0-2/ Lpb
- Eritrosit : 0-2/Lpb
- Epitel : 0-2/Lpb
1. RENCANA ANASTESI
a. Persiapan
LAPORAN KASUS Page 45
- Persetujuan tindakan
- Puasa 8 jam sebelum operasi
- Infuse RL 22 tpm abocate ukuran 18
- Pasang DC no 16 untuk pemantuan produksi urine
- Observasi tanda-tanda vital : tekanan darah, nadi, suhu, SpO2
b. Jenis operasi
- Thyroidectomi
c. Jenis anastesi
- General Anastesi
2. PERSIAPAN DI RUANG OPERASI
a. Mempersiapkan pasien
b. Pasang Monitor
c. Pasang manset tensi meter
d. Pasang pulse oksimeter di lengan yang berlawanan dengan tensi meter
e. Penatalaksanaan Anastesi
3. PENATALAKSANAAN ANASTESI
a. Premedikasi
- Midazolam 2 ml
- Pethidin 2 ml
b. Induksi
- Propofol 100 ml
- Fentanyl
c. Relaksan
- Atracurium
d. Intubasi
- Laringoscopy
- Endotraceal Tube
- Mayo
- Plester
LAPORAN KASUS Page 46
- Spuit 10 cc
e. Obat lainnya :
- Atropin Sulfat 0,25 mg/ml (3 ampul)
- Neostigmin 0,5 mg/ml (3 ampul)
- Catapres 150 mcg/ml
- Furosemid 10 mg/ml
- Tranexamic Acid 50 mg/ ml (2 ampul)
- Ketorolac 3 % + Tramadol 2 ml di drip di RL
4. TERAPI CAIRAN
Perkiraan BB : 50 kg
Perkiraan operasi : 1,5 jam
Perkiraan darah yang hilang : 100 cc
EBV = 70 ml/ kg BB = 3500 ml
Kebutuhan cairan kristaloid
Maintenance : 2 cc/kg BB x jam operasi = 150 cc
Pengganti puasa : 2 cc/kg BB x jam operasi x jam puasa = 1200 ml
Stress operasi : 6 x 50 = 300 ml
Estimasi pendarahan 150 cc / 3500 x 100% = 4 %
Karena pendarahan < 10% maka terapi pengganti cairan yang diberikan
adalah kristaloid dengan rumus 3x kehilangan cairan akibat perdarahan =
4x150 = 600 cc
Urine output : 1 ml /kgBB/jam
1x 50 = 50 ml/ jam
Perhitungan pemberian cairan kristaloid
M + PP+ SO + Perdarahan + Pengganti urine
= 150+1200+300+600+50 = 2300 cc
= ± 5 flash RL
LAPORAN KASUS Page 47
5. INTRUKSI POST OPERASI
1. Posisi terlentang dengan kepala ekstensi 30 0
2. Makan dan minum sementara dipuasakan hingga ada instruksi lebih lanjut
3. Berikan O2 2 lpm hingga sadar penuh
4. Observasi tanda-tanda vital (Tekanan Darah, Nadi, Respirasi Rate, Suhu)
5. Bila Tekana darah kurang dari 100 mmHg guyur dengan RL 1 flash
6. Bila terdapat secret, disuction dan bebaskan jalan nafas
7. Cek Hemoglobin Post Op, jika Hemoglobin kurang dari 8 transfusi
Daftar Pustaka
1. Price, Sylvia. 2006. Patofisiologi Volume 1 Edisi 6.EGC. Jakarta
2. Djokomoeljanto,R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Kelenjar Tiroid,
Hipitiroidisme dan Hipertiroidsme. Pusat Penerbit FKUI. Jakarta. 2006
3. Mansjoer, arif dkk. 2000. Kapita selekta kedokteran, edisi ketiga jilid 1.
Media Aesculapius : Jakarta.
LAPORAN KASUS Page 48
4. Snell, Richard. Anatomi Klinik. Penerbit Buku Kedokteran.Jakarta. 2006
5. Thyroid goiter. Available on :
http://www.endocrineweb.com/conditions/thyroid/thyroidgoiter
6. StrumaNonToksik.Available on :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20013/4/Chapter
%20II.pdf
7. Kumar, Ashok. Seminar General Anesthesia. Available at
http://www.scribd.com/doc/16164111/General-anesthesia-pptword.
8. Mallawaarachchi, Roshana. General Anaesthetics. Available at http: //
www.scribd.com/doc/38075193/ General - Anaesthesia .
LAPORAN KASUS Page 49