Post on 25-Jan-2016
description
STATUS PASIEN
I. KETERANGAN UMUM
- Nama : Tn.A
- Jenis Kelamin : laki-laki
- Usia : 35 Tahun
- Alamat : Sukarame, Tasikmalaya
- Agama : Islam
- Status : Menikah
- Pekerjaan : Buruh
- Penghasilan : Cukup
- Tanggal Pemeriksaan : 06-02-2015
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Hidung kiri tersumbat
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli THT RSUD Dr. Soekardjo dengan keluhan
hidung sebelah kiri tersumbat sejak 2 tahun yang lalu. Keluhan
dirasakan makin memberat.
Keluhan disertai keluar cairan kental bewarna putih sampai hijau,
kadang disertai dengan darah. Darah akan keluar jika kelelahan,
beraktifitas berat,tersenggol atau terbentur.
Pasien sulit bernafas melalui hidung kiri, penciuman berbau tidak
ada dan penciuman berkurang pada hidung kiri.
1
Keluhan tidak disertai nyeri tekan pada hidung dan tidak dialami
pada hidung kanan.
Keluhan ditelinga tidak ada.
Keluhan di tenggorok tidak ada.
Riwayat Penyakit Dahulu
2 tahun yang lalu diperiksa di poli THT dengan diagnosa polip nasi
sinistra.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada
Riwayat Pengobatan
Tidak ada
III. PEMERIKSAAN FISIK
- Status generalis
o Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
o Kesadaran : Compos mentis
o Vital Sign :
- TD : 120/80 mmHg - Respirasi : 20x/ menit
- Nadi : 80x /menit - Suhu : 0C
2
o Kepala : DBN
o Leher : DBN
o Thorax : DBN
o Abdomen : DBN
o Ekstrremitas : DBN
o Neurologi : DBN
- Status lokalis
o Telinga
Bagian Kelainan Auris
Dekstra Sinistra
Preauricula
Kelainan
Radang dan tumor
Trauma
-
-
-
-
-
-
Auricula
Kelainan
Radang dan tumor
Trauma
-
-
-
-
-
-
Retroauricula
Edema
Hiperemis
-
-
-
-
3
Nyeri tekan
Sikatriks
Fistula
Fluktuasi
-
-
-
-
-
-
-
-
Canalis
Acusticus
Eksternus
Kelainan kongenital
Kulit
Sekret
Serumen
Edema
Jaringan granulasi
Massa
Kolesteatoma
-
DBN
-
-
-
-
-
-
-
DBN
-
-
-
-
-
-
Membran
Timpani
Warna
Intak
Cahaya
Putih seperti
mutiara
utuh
Arah jam 5
Putih seperti
mutiara
utuh
Arah jam 7
Tes Pendengaran
Pemeriksaan Auris
4
Dekstra Sinistra
Tes Rinne (+) (+)
Tes Webber Tidak ada lateralisasi
Kesan:
Telinga kanan dan kiri dalam batas normal
o Hidung
PemeriksaanNares
Dekstra Sinistra
Keadaan luar Bentuk dan ukuran DBN DBN
Rhinoskopi
Anterior
Mukosa
Sekret
Krusta
Concha Inferior
Septum
Polip/Tumor
Pasase udara
Merah muda
-
-
DBN
Tidak ada
devisasi
-
DBN
Sulit dinilai
+ (purulen)
+
DBN
Tidak ada
deviasi
+
-
Mukosa Sulit dinilai Sulit dinilai
5
Rhinoskopi
Posterior
Khoana Sulit dinilai
Sekret Sulit dinilai Sulit dinilai
Torus tubarius
Fossa rosenmuller
Adenoid
Sulit dinilai
Sulit dinilai
Sulit dinilai
o Tenggorok
Bagian Kelainan Keterangan
Mulut
Mukosa mulut
Lidah
Palatum molle
Merah muda
DBN
DBN
Gigi Geligi
8 7 6 5 4 3 2 1 1 2 3 4 5 6 7 8
DBN DBN
Uvula
Halitosis
DBN
-
Tonsil
Mukosa
Besar
Kripta
Dentritus
Perlengketan
DBN
T1
Tidak melebar
-
-
DBN
T1
Tidak melebar
-
-
6
Faring
Mukosa
Granulasi
Post nasal drip
DBN
-
-
DBN
-
-
IV. RESUME
a. Anamnesis
Hidung tersumbat (+) sinitra
Nyeri hidung (+) sinistra
Rhinore (+) sin
Epistaksis nares sinitra (+)
Tinitus (-)
Otalgia (-)
Othore (-)
Gatal ADS (-)
Terasa penuh ADS (-)
Bersin (-)
b. Pemeriksaan Fisik
- Status generalis :
o KU : Baik
- Status lokalis :
o ADS : DBN
o CN : CNS : sekret (+), darah (+), massa (+)
o NPOP : DBN
7
o MF : DBN
o Leher : DBN
V. DIAGNOSIS BANDING
Polip nasi sinistra
Inverted papilloma sin
VI. DIAGNOSIS KERJA
Polip nasi sinistra
VII. USULAN PEMERIKSAAN
CT Scan kepala
Lab darah
VIII. PENATALAKSANAAN
a. Umum : Istirahat yang cukup
Hidung jangan di kucek
b. Medikamentosa : Antibiotic : Cefadroxil 500 mg 2x1
Dekongestan : CTM + Efedrin 7,0 mg 2x1
Asamtraneksamat : Transamin 500 mg 3x1
c. Operatif : Polipektomi
IX. PROGNOSIS
a. Quo ad vitam : ad bonam
b. Quo ad functional : ad bonam
8
BAB I
PENDAHULUAN
Polip nasi merupakan masalah medis dan masalah sosial karena dapat
mempengaruhi kualitas hidup penderita baik pendidikan, pekerjaan, aktivitas
harian dan kenyamanan. Polip nasi merupakan inflamasi mukosa hidung dan
menimbulkan prolaps mukosa di dalam rongga hidung. Polip nasi dapat dilihat
melalui pemeriksaan rinoskopi dengan atau tanpa bantuan endoskopi.1,2
Prevalensi penderita polip nasi belum diketahui pasti karena hanya sedikit
laporan dari hasil studi epidemiologi serta tergantung pada pemilihan populasi
penelitian dan metode diagnostik yang digunakan. Prevalensi polip nasi
dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan 4,3% di Finlandia. Dengan
perbandingan pria dan wanita 2- 4:1. Di Amerika Serikat prevalensi polip nasi
diperkirakan antara 1-4%. Pada anak-anak sangat jarang ditemukan dan
dilaporkan hanya sekitar 0,1%. Penelitian Larsen dan Tos di Denmark
memperkirakan insidensi polip nasi sebesar 0,627 per 1000 orang per tahun.3,4
Etiologi dan patogenesis dari polip nasi belum diketahui secara pasti.
Sampai saat ini, polip nasi masih banyak menimbulkan perbedaan pendapat.
Dengan patogenesis dan etiologi yang masih belum ada kesesuaian, maka
sangatlah penting untuk dapat mengenali gejala dan tanda polip nasi untuk
mendapatkan diagnosis dan pengelolaan yang tepat.2
BAB II
9
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI HIDUNG
Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke
bawah: 1) pangkal hidung (bridge), 2) dorsum nasi, 3) puncak hidung, 4) ala nasi,
5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh
kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan
beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang
hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os nasalis), 2) prosesus
frontalis os maksila dan 3) prosesus nasalis os frontal, sedangkan kerangka tulang
rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah
hidung, yaitu 1) sepasang kartilago nasalis lateralis superior, 2) sepasang kartilago
nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor, 3)
beberapa pasang kartilago ala minor dan 4) tepi anterior kartilago septum.2
Gambar 2.1. Kerangka tulang dan tulang rawan
10
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. 2
Gambar 2.2. Dinding lateral kavum nasi
Bagian kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat di belakang
nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisis oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut
vibrise.2
Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral,
inferior dan superior. 2
Dinding medial hidung adalah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang
dan tulang rawan. Bagian tulang adalah (1) lamina prependikularis os etmoid, (2)
vomer, (3) Krista nasalis os maksila dan (4) krista nasalis os palatine. Bagian
11
tulang rawan adalah (1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan (2)
kolumela. Bagian superior dan posterior disusun oleh lamona prependikularis os
etmoid dan bagian anterior oleh kartilago septum (quadrilateral), premaksila, dan
kolumna membranousa. Bagian inferior, disusun oleh vomer, maksila, dan tulang
palatine dan bagian posterior oleh lamina sphenoidalis. Septum dilapisi oleh
perikondrium pada bagian tulang rawan dan periostium pada bagian tulang,
sedangkan diluarnya dilapisi pula oleh mukosa hidung.
Gambar 2.3. Septum nasi
Bagian depan dinding lateral hidung licin, yang disebut ager nasi dan di
belakangnya terdapat konka-konka yang mengisi sebagian besar dinding lateral
hidung. Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka, yang terbesar dan letaknya
paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media,
lebih kecil lagi adalah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka
suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter.Konka inferior merupakan
12
tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan
konka media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid.2
Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus
inferior, medius, dan superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior
dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior
terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis.Meatus medius terletak diantara
konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat bula
etmoid, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris dan infundibulum etmoid. Hiatus
semilunaris merupakan suatu celah sempit melengkung dimana terdapat muara
sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior.Pada meatus superior yang
merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat muara sinus
etmoid posterior dan sinus sphenoid. Dinding inferior merupakan dasar rongga
hidung dan dibentuk oleh os maksila dan os palatum.2
Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribiformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung. Bagian atas
rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid anterior dan posterior yang
merupakan cabang dari arteri oftalmika, sedangkan a. oftalmika berasal dari a.
karotis interna.2
B. FISIOLOGI HIDUNG
13
Untuk fisiologi hidung terkait dengan polip, pertama kita harus
memahami Kompleks Osteomeatal (KOM), dimana struktur ini tersusun dari
prosessus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid,
agger nasi, dan ressesuss frontalis. KOM ini merupakan unit fungsional
yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus anterior
(maksila, etmoid anterior dan frontal). Karena fungsinya tersebut maka
seandainya terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi
perubahan yang signifikan pada sinus-sinus terkait serta perubahan pada
mukosa yang menjadi salah satu predisposisi terjadinya polip hidung.1
Beberapa fungsi hidung juga antara lain : 1,2
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas
setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring,
sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau arkus. Pada ekspirasi,
udara masuk melalui koana dan kemudian mengikuti jalan yang sama seperti
udara inspirasi. Akan tetapi di bagian depan aliran udara memecah, sebagian
lain kembali ke belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran
dari nasofaring.
2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk
mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini
dilakukan dengan cara:
14
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut lendir. Pada
musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, penguapan dari lapisan ini
sedikit, sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya pembuluh
darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang
luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara optimal. Dengan
demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang lebih 37o C.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu dan
bakteri dan dilakukan oleh:
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
Transpor benda asing yang tertimbun dari udara inspirasi ke faring di
sebelah posterior, di mana kemudian akan ditelan atau diekspektorans,
merupakan kerja silia yang menggerakan lapisan mukus dengan partikel yang
terperangkap. Aliran turbulen dalam hidung memungkinkan paparan yang
sangat luas antara udara inspirasi dengan epitel hidung dan lapisan
mukusnya,lapisan mukus berupa selubung sekret kontinyu yang sangat
kental, meluas ke seluruh ruang dan sudut hidung, sinus, tuba eustakius,
faring, dan seluruh cabang bronkus.
Mukus hidung disamping berfungsi sebagai alat transportasi partikel
yang tertimbun dari udara inspirasi, juga memindahkan panas, normalnya
mukus menghangatkan udara inspirasi dan mendinginkan ekpirasi, serta
15
melembabkan udara isnpirasi dengan lebih dari satu liter uap setiap harinya.
Namun, bahkan dengan jumlah uap demikian sering kali tidak memadai untuk
melembabkan udara yang sangat kering, sering kali terdapat di rumah-rumah
dengan pemanasan selama musim dingin. Hal ini dapat berakibat
mengeringnya mukosa yang disertai berbagai ganguan hidung. Derajat
kelembaban selimut mukus ditentukan oleh stimulasi saraf pada kelenjar
seromukosa pada submukosa hidung.
Arah gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang. Karena silia
lebih aktif pada meatus media dan inferior yang terkandung, maka cenderung
menarik lapisan mukus dari lapisan meatus komunis ke dalam celah-celah ini.
Arah gerakan septum adalah kebelakang dan agak ke bawah menuju dasar.
Pada dasar hidung, arahnya kebelakang dengan kecenderungan bergerak di
bawah konka inferior ke dalam meatus inferior. Pada sisi medial konka, arah
gerakan kebelakang dan kebawah, lewat dibawah tepi inferior dari meatus
yang bersesuaian. Drainase dari daerah tak bersilia pada sepertiga anterior
hidung sebelumnya praktis lewat meatus. Ini merupakan daerah yang paling
banyak mengumpulkan kontaminan udara.
Lapisan mukus, disamping menangkap dan mengeluarkan partikel
lemah, juga merupakan sawar terhadap alergen, virus dan bakteri. Akan tetapi
walaupun organisme hidup mudah dibiak dari segmen hidung anterior, sulit
untuk mendapat suatu biakan postnasal yang positif. Lisozim, yang terdapat
pada lapisan mukus, bersifat destruktif terhadap dinding sebagian bakteri.
Fagositosis aktif dalam membran hidung merupakan bentuk proteksi di
16
bawah permukaan. Membran sel pernapasan juga memberikan imunitas
induksi seluler.
Sejumlah imunoglobulin dibentuk dalam mukosa hidung, sesuai
kebutuhan fisiologik, telah diamati adanya IgG, IgA dan IgE. Rinitis alergika
terjadi bila alergen yang terhirup berkontak dengan antibodi IgE sehingga
antigen tersebut terfiksasi pada mukosa hidung dan sel mast submukosa.
Selanjutnya dihasilkan dan dilepaskan mediator radang yang menimbulkan
perubahan mukosa hidung yang khas.
4. Indra Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan
palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.
5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan
hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga
terdengar suara sengau.
6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng)
dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum molle
turun untuk aliran udara.
7. Refleks nasal
17
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh: iritasi mukosa hidung
menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti. Rangsang bau tertentu
menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
18
C. POLIP NASI
C.1. Definisi
Polip nasi merupakan kelainan mukosa hidung berupa massa lunak yang
bertangkai, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabuan, dengan
permukaan licin dan agak bening karena mengandung banyak cairan. Umumnya
sebagian besar polip ini berasal dari celah kompleks osteomearal (KOM)
yang kemudian tumbuh ke arah rongga hidung.2,5
C.2. Epidemiologi
Prevalensi penderita polip nasi belum diketahui pasti karena hanya sedikit
laporan dari hasil studi epidemiologi serta tergantung pada pemilihan populasi
penelitian dan metode diagnostik yang digunakan. Prevalensi polip nasi
dilaporkan 1-2% pada orang dewasa di Eropa dan 4,3% di Finlandia. Dengan
perbandingan pria dan wanita 2- 4:1. Di Amerika Serikat prevalensi polip nasi
diperkirakan antara 1-4 %. Pada anak-anak sangat jarang ditemukan dan
dilaporkan hanya sekitar 0,1%. Penelitian Larsen dan Tos di Denmark
memperkirakan insidensi polip nasi sebesar 0,627 per 1000 orang per tahun
(Bateman 2003, Ferguson et al.2006). Di Indonesia studi epidemiologi
menunjukkan bahwa perbandingan pria dan wanita 2-3 : 1 dengan prevalensi
0,2%-4,3%.2,3,4
C.3. Etiopatogenesis
Sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai etiologi polip nasi,
terdapat sejumlah hipotesis mengenai asal dari polip nasi eosinofilik dan
19
neutrofilik yang berkisar dari predisposisi genetik, variasi anatomi, infeksi kronis,
alergi inhalan, alergi makanan, sampai ketidakseimbangan vasomotor.2
Etiologi yang pasti belum diketahui tetapi ada 3 faktor penting pada
terjadinya polip, yaitu :5
1. Adanya peradangan kronik yang berulang pada mukosa hidung dan sinus.
2. Adanya gangguan keseimbangan vasomotor.
3. Adanya peningkatan tekanan cairan interstitial dan edema mukosa hidung
Beberapa hipotesis dari keadaan tersebut antara lain :2,3,5
1. Alergi
Alergi merupakan faktor yang banyak menjadi sorotan karena tiga hal,
yaitu karena sebagian besar polip hidung terdiri dari eosinofil, berhubungan
dengan asma, serta temuan klinis pada nasal yang menyerupai gejala dan
tanda alergi. Paparan alergen udara menahun, diduga berperan dalam
terjadinya polip hidung melalui inflamasi yang terus-menerus pada mukosa
hidung.1
Ditemukan sekitar 7 % pasien dengan asma memiliki polip hidung.7
Akan tetapi ditemukan bahwa pada pasien non atopik angka kejadian polip
hidung juga lebih tinggi yaitu 13%. Akan tetapi studi lain menunjukkan
bahwa asma dengan onset yang telat (late onset asthma) akan berkembang
menjadi nasal polip sekitear 10-15%
2. Ketidakseimbangan Vasomotor
Teori ini dikemukakan karena pada banyak kondisi tidak ditemukan
adanya tanda-tanda atopi dan tidak ada riwayat pajanan alergen yang
20
ditemukan. Akan tetapi pasien cenderung mengalami rinitis prodromal
sebelum pada akhirnya berkembang menjadi polip hidung. Polip hidung
bisanya memiliki vaskularisasi yang kurang dan berkurangnya inervasi
vasokonstriktor. Selanjutnya gangguan dalam regulasi vaskular dan
peningkatan permeabilitas dapat menyebabkan edema dan pembentukan
polip.
3. Bernouli Fenomena
Fenomena Bernoulli terjadi karena adanya penurunan tekanan yang
selanjutnya menyebabkan konstriksi. Hal ini akan menimbulkan tekanan
negatif dalam KOM, yang mempengaruhi mukosa disekitarnya. Karena
tekanan negatif ini kemudian akan terjadi inflamasi mukosa yang
selanjutnya menjadi awal terbentuknya polip.
4. Terori Ruptur Epithel
Rupturnya epitel dari mukosa nasal karena alergi atau karena infeksi
dapat menyebabkan prolaps dari lamina propria, yang selanjutnya akan
membentuk polip. Defek dari faktor ini mungkin semakin membesar karena
pengaruh gravitasi atau drainase vena mengalami obstruksi. Akan tetapi dari
scanning dengan pengamatan mikroskopik tidak ditemukan adanya defek
epitel yang bermakna pada pasien dengan polip hidung.
5. Intoleransi Aspirin
Banyak konsep yang menjelaskan bagaimana patogenesis dari intoleransi
aspirin serta hubungannya dengan polip hidung. Terdapat sindrom klinis
yang jelas, bagaimana obat-obatan NSAID khusunya aspirin dapat memicu
21
terjadinya rinitis dan serangan asma. Respon Cyclooxygenase (COX)
umumnya sangat berbeda pada pasien dengan intoleransi aspirin
dibandingkan normal. Dapat dibuktikan bahwa terjadi perubahan pada COX1
dan COX2 yang menghasilkan metabolit tertentu yang akan menstimulasi
cysteinyl leukotriene (Cys-LT). Perubahan ini selanjutnya menyebabkan
metabolisme asam arachidonat menjadi jalur leukotriene inflamasi tinggi,
yang selanjutnya akan mengurangi kadar PGE2 (yang merupakan PG
antiinflamasi). Eksperi berlebihan dari LTC4 synthase selanjutnya akan
meningkatkan jumlah cysteinyl LTs, menyebabkan respon inflamasi tak
terkontrol dan inflamasi kronis.
6. Cystic Fibrosis
Cystic Fibrosis merupakan salah satu penyakit autosomal resesif pada
kelompok orang kulit putih. Cystic fibrosis disebabkan karena mutasi gen
tunggal pada kormosom 7 yang disebut cystic fibrosis transmembrane
regulator (CFTR). Hal ini menyebabkan tidak adanya cyclic AMP-regulated
chloride chanel yang menyebabkan impermeabilitas klorida dan peningkatan
absorpsi natrium. Peningkatan absorpsi natrium dan penurunan sekresi
klorida menyebabkan pergerakan air ke sel dan ruang interstitial, selanjutnya
menimbulkan retensi air, pembentukan polip. Defek migrasi protein CFTR
juga menyebabkan terjadinya inflamasi kronis skunder.
7. Nitric Oxide
Nitric Oxida merupakan gas radikal bebas, yang memainkan peran besar
dalam terjadinya reaksi imunologis nonspesifik, regulasi dari tone vaskular,
22
pertahanan host, dan inflamasi pada berbagai jaringan. Radikal bebas
biasanya dipertahankan dalam keadaan seimbang oleh antioxidan defense
system superoxide dismutase , catalase dan glutahione peroxidase. Ketika
radikal bebas ini dapat melebihi kemampuan pertahanan d ari antioxidant,
maka akan terjadi defek seluler, defek jaringan, dan penyakit kronis.
Ditemukan laporan akan meningkatnya kadar nitric oxide dan penurunan
scavangeing enzim pada pasien polip hidung dibandingkan dengan kontrol,
yang menunjukkan adanya penumpukan radikal bebeas pada polip hidung.
8. Infeksi
Bagaimana infeksi dapat menjadi faktor yang juga penting terhadap
pembentukan polip, diduga terkait dengan adanya gangguan pada epitel
dengan proliferasi jaringan granulasi. Hal ini biasanya terjadi pada infeksi
Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, atau Bacteroides fragilis
(semua jenis patogen yang sering ditemukan pada rinosinusitis). Bagaimana
granuloma menginduksi terjadinya polip hidung masih belum benar-benar
dipahami.
9. Superantigen Hypotensis
Staphylococcus aureus ditemukan sekitar 60-70% pada daerah mukus
didekat polif masif. Organisme ini selalu memproduksi toxin, staphylococcus
enterotoxin A (SEA), staphylococcus enterotoxin B (SEB) dan toxic shock
syndrome toxin-1 (TSST-1) yang akan berperan sebagai supetantigen,
menyebabkan aktifasi dan ekspansi klonal dari limfosit pada lateral hidung.
Aktifasi dari limfosit ini, akan menghasilkan sitokin Th1 dan Th2 (IFN-
23
gama. IL-2, IL-4, IL-4), hal ini akan menyebabkan chronic lymphocytic-
eosinophil muchosal disease. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya
antibodi spesifik IgE terhadap SEA dan SEB sebanyak 50% pada penderita
polip hidung.
C.4. Manifestasi Klinis
Polip hidung dapat menyebabkan hidung tersumbat, yang selanjutnya
dapat menginduksi rasa penuh atau tekanan pada hidung dan rongga sinus.
Kemudian dirasakan hidung yang berair (rinorea) mulai dari yang jernih
sampai purulen, hiposmia atau anosmia serta dapat juga dirasakan nyeri
kepala daerah frontal. Gejala lain yang dapat timbul tergantung dari
penyertanya, pada infeksi bakteri dapat disertai pula dengan post nasal drip
serta rinorea purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul adalah bernafas
melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur, dan gannguan kualitas
hidup.2Dapat juga menyebababkan gejala pada saluran nafas bawah, berupa
batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip hidung dengan
asma.5
Selain itu harus dicari riwayat penyakit lain seperti alergi, asma,
intoleransi aspirin.5
C.5. Diagnosis
Anamnesis
Dari anamnesis didapatkan keluhan-keluhan berupa hidung tersumbat, rinorea,
hiposmia atau anosmia. Dapat pula didapatkan gejala skunder seperti
24
bernafas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan gangguan
aktifitas.2
Pemeriksaan Fisik
Polip nasi masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga
hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior didapatkan masa pucat yang berasal dari meatus media
dan mudah digerakkan.2
Pembagian stadium polip menurut MacKay dan Lund : Stadium 1 : polip
masih terbatas pada meatus media, Stadium 2 : polip sudah keluar dari
meatus media, tampak pada rongga hidung tertapi belum memenuhi rongga
hidung, Stadium 3: polip masif.2
Pemeriksaan Penunjang
1. Naso-endoskopi
Polip pada stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat dari rinoskopi
anterior, akan tetapi dengan naso endoskopi dapat terlihat dengan jelas.
Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang
berasal dari ostium asesorius sinus maksila.2,6
2. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos sinus paranasal (Posisi waters, AP, Caldwell dan latera) dapat
memperlihatkan adanya penebalan mukosa dan adanya batas udara
cairan di dalam sinus, tetapi kurang bermanfaat untuk polip hidung.
Pemeriksaan CT scan sangat bermanfaat untuk melihat secara jelas
keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang,
25
kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks osteomeatal
(KOM). CT scan harus diindikasikan pada kasus polip yang gagal
diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi dari sinusitis
dan pada perencanaan tindakan bedah endoskopi.6
C.6. Tatalaksana
Tujuan dari tatalaksana polip hidung yaitu: 4,6
1. Memperbaikai keluhan pernafasan pada hidung
2. Meminimalisir gelaja
3. Meningkatkan kemampuan penghidu
4. Menatalaksanai penyakit penyerta
5. Meningkatkan kulitas hidup
6. Mencegah komplikasi.
Secara umum penatalaksanaan dari polip hidung yaitu melalui
penatalaksanaan medis dan operatif.
1. Tatalaksana Medis
Polip Hidung merupakan kelainan yang dapat ditatalaksanai secara
medis. Walaupun pada beberapa kasus memerlukan penanganan operatif, serta
tatalaksana agresif sebelum dan sesudah operatif juga diperlukan.2,6
a. Antibiotik
Polip hidung dapat menyebabkan terjadinya obstruksi sinus, yang
selanjutnya menimbulkan infeksi. Tatalaksana dengan antibiotik dapat
mencegah pertumbuhan dari polip dan mengurangi perdarahan selama
operasi. Antibiotik yang diberikan harus langsung dapat memberikan efek
26
langsung terhadap spesies Staphylococcus, Streptococcus, dan bakteri anaerob,
yang merupakan mikroorganisme pada sinusitis kronis.6
b. Kortikosteroid
Topikal Korticosteroid
Intranasal/topikal kortikosteroid merupakan pilihan pertama untuk polip
hidung. Selain itu penggunaan topikal kortikosteroid ini juga berguna pada
pasien post-operatif polip hidung, dimana pemberiannya dapat mengurangi
angka kekambuhan. Pemberian dari kortikosteroid topikal ini dapat dicoba
selama 4-6 minggu dengan fluticasone propionate nasal drop 400 ug 2x/hari
memiliki kemampuan besar dalam mengatasi polip hidung ringan-sedang
(derajat 1-2), diamana dapat mengurangi ukuran dari polip hidung dan
keluhan hidung tersumbat.4
Sitemik Kortikosteroid
Penggunaan dari kortikosteroid sistemik/oral tunggal masih belum banyak
diteliti. Penggunaanya umumnya berupa kombinasi dengan terapi
kortikosteroid intranasal. Penggunaan fluocortolone dengan total dosis 560 mg
selama 12 hari atau 715 mg selama 20 hari dengan pengurangan dosis
perhari disertai pemberian budesonide spray 0,2 mg dapat mengurangi
gejala yang timbul serta memperbaiki keluhan sinus dan mengurangi ukuran
polip.4
Akan tetapi dari penelitian lain, penggunaan kortikosteroid sistemik tunggal
yaitu methylprednisolone 32 mg selama 5 hari, 16 mg selama 5 hari, dan 8
mg selama 10 hari ternyata dapat memberikan efek yang signifikan dalam
27
mengurangi ukuran polip hidung serta gejala nasal selain itu juga
meningkatkan kemampuan penghidu.6
c. Terapi lainnya
Penggunaan antihistamin dan dekongestan dapat memberikan efek
simtomatik akan tetapi tidak merubah perjalanan penyakitnya. Imunoterapi
menunjukkan adanya keuntungan pada pasien dengan sinusitis fungal dan
dapat berguna pada pasien dengan polip berulang. Antagonis leukotrient
dapat diberikan pada pasien dengan intoleransi aspirin.4
2. Terapi Pembedahan
Indikasi untuk terapi pembedahan antara lain dapat dilakukan pada
pasien yang tidak memberikan respon adekuat dengan terapi medikal, pasien
dengan infeksi berulang, serta pasien dengan komplikasi sinusitis, selain itu
pasien polip hidung disertai riwayat asma juga perlu dipertimbangkan untuk
dilakukan pembedahan guna patensi jalan nafas. Tindakan yang dilakukan
yaitu berupa ekstraksi polip (polipektomi), etmoidektomi untuk polip etmoid,
operasi Caldwell-luc untuk sinus maxila. Untuk pengembangan terbaru yaitu
menggunakan operasi endoskopik dengan navigasi komputer dan
instrumentasi power. 3,6
C.7. Prognosis
Umumnya setelah penatalaksanaan yang dipilih prognosis polip hidung
ini baik (dubia et bonam) dan gejala-gejala nasal dapat teratasi. Akan tetapi
kekambuhan pasca operasi atau pasca pemberian kortikosteroid masih sering
terjadi. Untuk itu follow-up pasca operatif merupakan pencegahan dini yang
28
dapat dilakukan untuk mengatasi kemungkinan terjadinya sinekia dan
obstruksi ostia pasca operasi, bagaimana patensi jalan nafas setelah tindakan
serta keadaan sinus, pencegahan inflamasi persisten, infeksi, dan pertumbuhan
polip kembali, serta stimulasi pertumbuhan mukosa normal. Untuk itu sangat
penting dilakukan pemeriksaan endoskopi post operatif. Penatalaksanaan
lanjutan dengan intra nasal kortikosteroid diduga dapat mengurangi angka
kekambuhan polip hidung.2,3,6
29
DAFTAR PUSTAKA
1. Probst, R., Grevers, G., danIro, H. Anatomy, Physiology, and Immunologyof
the Nose, Paranasal Sinuses, and Face. Dalam: Basic Otorhinolaryngology.
New York: Thieme, 2006, h. 2 – 13
2. Soetjipto, D. dan Mangunkusumo, E. Hidung. Dalam: Soepardi EA, Iskandar
N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Edisi
kelima. Jakarta: FKUI, 2001, h. 88 – 95
3. Ahmad Maymane Jahroni. The Epidemological & Clinical aspect of Nasal
Polyps that Require Surgery. Iranian Journal Of Otorhynolaryngology.2012
: 2 (4) : 72-75
4. BachortC.Management of Nasal Polyps. Rhinology. 2005 : 18: 1-87
5. Kirtsreesatul Virat. Update on Nasal Polyps : Etiopatogenesis. J Med Assoc
Thai. 2005 : 88 (12) :1966-72
6. Assanasen paraya MD. Medical & Surgical Management of Nasal Polyps.
Current Option in Otolaryngology & Head and Neck Surgery. 2001. 9 :
27-36
7. Perhimpunan Dokter Spesialis THT-KL Indonesia. Guideline Penyakit THT-
KL di Indonesia. 2007. Hal 25
30
31
32