Post on 22-Jul-2015
ii
KATA PENGANTAR
Assalamau’alaikum Wr.Wb.
Salam Sejahtera,
Pada hakekatnya pembangunan daerah adalah upaya terencana untuk meningkatkan kapasitas
daerah dalam mewujudkan masa depan daerah yang lebih baik dan kesejahteraan bagi semua
masyarakat. Pembangunan daerah Kalimantan Selatan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari pembangunan nasional. Artinya bahwa kinerja pembangunan nasional sangat
tergantung pula kepada kinerja pembangunan di masing-masing daerah, termasuk dalam hal ini
adalah di Provinsi Kalimantan Selatan. Oleh karena itu evaluasi terhadap kinerja pembangunan
daerah merupakan upaya yang sangat strategis demi tercapainya tujuan pembangunan baik
dalam tataran lokal maupun nasional dan internasional.
Oleh karena itu kami sangat mengapresiasi adanya kegiatan Evaluasi Kinerja Pembangunan
Daerah (EKPD) 2009 yang dilaksanakan oleh Bappenas karena dengan kegiatan tersebut dapat
dinilai relevansi dan efektivitas kinerja pembangunan daerah Kalimantan Selatan dalam rentang
waktu 2004-2009. Evaluasi ini juga sangat penting dilakukan untuk melihat apakah
pembangunan daerah telah mencapai tujuan/sasaran yang diharapkan dan apakah masyarakat
mendapatkan manfaat dari pembangunan daerah tersebut sehingga pada akhirnya dapat
memberikan informasi penting yang berguna sebagai alat untuk membantu pemangku
kepentingan dan pengambil kebijakan pembangunan dalam memahami, mengelola dan
memperbaiki apa yang telah dilakukan sebelumnya.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masih banyak kekurangan dan
ketidaksempurnaan, oleh karenanya kami mengucapkan permohonan maaf dan siap menerima
masukan maupun kritikan guna kesempurnaan laporan ini.
Akhirnya, semoga laporan ini dapat memberikan nilai manfaat langsung bagi perbaikan hidup
masyarakat dan kelangsungan pembangunan di daerah ini khususnya dan rakyat Indonesia pada
umumnya. Atas bantuan dan kerjasama serta kepercayaannya, kami Tim EKPD Provinsi
Kalimantan Selatan menghaturkan ucapan terima kasih.
DAFTAR ISI
iii
Halaman Sampul ................................................................................................... i Kata Pengantar ..................................................................................................... ii Daftar Isi ................................................................................................................ iii BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang dan Tujuan ............................................................ 1 1.2 Tujuan dan Keluaran Evaluasi ....................................................... 2 1.3 Metodologi ...................................................................................... 4 1.4 Anggota Tim Evaluasi .................................................................... 5 BAB II. HASIL EVALUASI ............................................................................... 7 2.1 TINGKAT PELAYANAN PUBLIK DAN DEMOKRASI .................. 7 2.1.1. Capaian Indikator .............................................................. 7 Analisis Relevansi ............................................................... 8 Analisis Efektifitas ............................................................... 9
2.1.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol ........ 12 2.1.3. Rekomendasi Kebijakan .................................................. 13
2.2 TINGKAT KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA ....................... 13 2.2.1. Capaian Indikator .............................................................. 14 Analisis Relevansi ............................................................... 14 Analisis Efektifitas ............................................................... 16
2.2.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol ........ 19 2.2.3. Rekomendasi Kebijakan .................................................. 21
2.3 TINGKAT PEMBANGUNAN EKONOMI ........................................ 22 2.3.1. Capaian Indikator .............................................................. 22 Analisis Relevansi ............................................................... 23 Analisis Efektifitas ............................................................... 23
2.3.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol ........ 24 2.3.3. Rekomendasi Kebijakan .................................................. 27
2.4 KUALITAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM ................... 27 2.4.1. Capaian Indikator .............................................................. 27 Analisis Relevansi ............................................................... Analisis Efektifitas ...............................................................
2.4.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol ........ 31 2.4.3. Rekomendasi Kebijakan .................................................. 36
2.5 TINGKAT KESEJAHTERAAN RAKYAT ........................................ 38 2.5.1. Capaian Indikator .............................................................. 39 Analisis Relevansi ............................................................... 39 Analisis Efektifitas ............................................................... 39
2.5.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol ........ 40 2.5.3. Rekomendasi Kebijakan .................................................. 42
BAB III. KESIMPULAN ...................................................................................... 44
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang dan Tujuan
Pada hakekatnya pembangunan daerah Kalimantan Selatan adalah upaya terencana
untuk meningkatkan kapasitas daerah dalam mewujudkan masa depan daerah yang
lebih baik dan kesejahteraan bagi semua masyarakat. Pembangunan daerah
Kalimantan Selatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan
nasional,
Pemerintah Daerah Kalimantan Selatan diberikan kewenangan secara luas untuk
menentukan kebijakan dan program pembangunan di daerah masing-masing. Hal ini
sejalan dengan amanat UU No. 32 tahun 2004.
Pendekatan dalam melakukan Evaluasi kinerja pembangunan daerah Kalimantan
Selatan sebenarnya dapat menggunakan tingkat indikator dengan pendekatan
pengukuran kinerja sebagai berikut:
• Relevansi untuk menilai sejauh mana pembangunan yang dijalankan relevan
terhadap sasaran atau kebutuhan daerah dalam menjawab permasalahannya.
• Efektivitas, untuk melihat apakah pembangunan yang dilakukan berkontribusi
terhadap pencapaian baik tujuan spesifik maupun umum pembangunan
daerah.
• Efisiensi, untuk mengetahui bagaimana masukan (inputs) dirubah menjadi
keluaran (outputs).
• Efektivitas Biaya, untuk menggambarkan hubungan antara input dengan
outcomes pembangunan.
• Kualitas, yaitu pengukuran derajat kesesuaian antara hasil-hasil
pembangunan dengan kebutuhan dan harapan masyarakat.
• Waktu, yaitu ketepatan waktu/periode pencapaian kinerja yang ditetapkan.
• Produktivitas, untuk melihat nilai tambah dari setiap tahapan proses
pembangunan dibandingkan dengan sumber daya yang digunakan.
Namun mengingat keterbatasan waktu dan sumber daya dalam pelaksanaan EKPD
2009 ini, maka pendekatan dalam melakukan evaluasi hanya meliputi relevansi dan
efektivitas pencapaian.
2
Oleh karena itu evaluasi kinerja pembangunan daerah (EKPD) 2009 dilaksanakan
untuk menilai relevansi dan efektivitas kinerja pembangunan daerah Kalimantan
Selatan dalam rentang waktu 2004-2008. Evaluasi ini juga dilakukan untuk melihat
apakah pembangunan daerah telah mencapai tujuan/sasaran yang diharapkan dan
apakah masyarakat mendapatkan manfaat dari pembangunan daerah tersebut.
Secara kuantitatif, evaluasi ini akan memberikan informasi penting yang berguna
sebagai alat untuk membantu pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan
pembangunan dalam memahami, mengelola dan memperbaiki apa yang telah
dilakukan sebelumnya.
Hasil evaluasi digunakan sebagai rekomendasi yang spesifik sesuai kondisi lokal
guna mempertajam perencanaan dan penganggaran pembangunan daerah periode
berikutnya.
1.2. Tujuan dan Keluaran Evaluasi Tujuan dan Keluaran Evaluasi yang diharapkan dari pelaksanaan EKPD
Kalimantan Selatan 2009 meliputi:
• Terhimpunnya data dan informasi evaluasi kinerja pembangunan di Provinsi
Kalimantan Selatan
• Tersusunnya hasil analisa evaluasi kinerja pembangunan di Provinsi Kalimantan
Selatan.
• Draft Laporan akhir dan Laporan Akhir digambarkan sebagai berikut:
Kata Pengantar Daftar Isi BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Tujuan
1.2 Keluaran
1.3 Metodologi
1.4 Sistematika Penulisan Laporan
BAB II HASIL EVALUASI Deskripsi permasalahan dan tantangan utama pembangunan daerah serta
identifikasi tujuan pembangunan daerah.
3
2.1 TINGKAT PELAYANAN PUBLIK DAN DEMOKRASI 2.1.1. Capaian Indikator
Grafik capaian indikator outcomes Provinsi Kalimantan Selatan
dibandingkan dengan capaian indikator outcomes nasional dan analisa
Analisis Relevansi
Analisis efektifitas
2.1.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol Gambaran dan analisa capaian indikator pendukung penunjang
outcomes yang spesifik dan menonjol
2.1.3. Rekomendasi Kebijakan 2.2. TINGKAT KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA
2.2.1. Capaian Indikator Grafik capaian indikator outcomes Provinsi Kalimantan Selatan
dibandingkan dengan capaian indikator outcomes nasional dan analisa
Analisis Relevansi
Analisis efektifitas
2.2.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol Gambaran dan analisa capaian indikator pendukung outcomes yang
spesifik dan menonjol
2.2.3. Rekomendasi Kebijakan 2.3. TINGKAT PEMBANGUNAN EKONOMI
2.3.1. Capaian Indikator Grafik capaian indikator outcomes Provinsi Kalimantan Selatan
dibandingkan dengan capaian indikator outcomes nasional dan analisa
Analisis Relevansi
Analisis efektifitas
2.3.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol Gambaran dan analisa capaian indikator pendukung outcomes yang
spesifik dan menonjol
2.3.3. Rekomendasi Kebijakan 2.4 KUALITAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
2.4.1 Capaian Indikator Grafik capaian indikator outcomes Provinsi Kalimantan Selatan
dibandingkan dengan capaian indikator outcomes nasional dan analisa
Analisis Relevansi
Analisis efektifitas
4
2.4.2 Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol Gambaran dan analisa capaian indikator pendukung penunjang
outcomes yang spesifik dan menonjol
2.4.3 Rekomendasi Kebijakan 2.5 TINGKAT KESEJAHTERAAN RAKYAT
2.5.1 Capaian Indikator Grafik capaian indikator Tingkat Kesejahteraan Sosial Provinsi
Kalimantan Selatan dibandingkan dengan capaian indikator Tingkat
Kesejahteraan Sosial nasional.
Analisis relevansi Analisis efektivitas
2.5.2 Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol Gambaran dan analisa capaian indikator output penunjang outcomes
yang spesifik dan menonjol
2.5.3 Rekomendasi Kebijakan
BAB III. KESIMPULAN Menyimpulkan apakah capaian tujuan/sasaran pembangunan daerah Kalimantan
Selatan telah relevan dan efektif terhadap tujuan/sasaran pembangunan nasional.
Ringkasan eksekutif hanya memuat bahasan ringkas atas capaian indikator hasil
(outcomes)
1.3. Metodologi
Metode yang digunakan untuk menentukan capaian 5 kelompok indikator hasil adalah
sebagai berikut:
(1) Indikator hasil (outcomes) disusun dari beberapa indikator pendukung terpilih yang
memberikan kontribusi besar untuk pencapaian indikator hasil (outcomes).
(2) Pencapaian indikator hasil (outcomes) dihitung dari nilai rata-rata indikator
pendukung dengan nilai satuan yang digunakan adalah persentase. (3) Indikator pendukung yang satuannya bukan berupa persentase maka tidak
dimasukkan dalam rata-rata, melainkan ditampilkan tersendiri.
(4) Apabila indikator hasil (outcomes) dalam satuan persentase memiliki makna
negatif, maka sebelum dirata-ratakan nilainya harus diubah atau dikonversikan
terlebih dahulu menjadi (100%) – (persentase pendukung indikator negatif).
Pencapaian indikator hasil adalah jumlah nilai dari penyusun indikator hasil dibagi
jumlah dari penyusun indikator hasil (indikator pendukungnya).
5
Untuk menilai kinerja pembangunan daerah, pendekatan yang digunakan adalah
Relevansi dan Efektivitas.
Relevansi digunakan untuk menganalisa sejauh mana tujuan/sasaran pembangunan
yang direncanakan mampu menjawab permasalahan utama/tantangan. Dalam hal ini,
relevansi pembangunan daerah Kalimantan Selatan dilihat apakah tren capaian
pembangunan daerah sejalan atau lebih baik dari capaian pembangunan nasional.
Sedangkan efektivitas digunakan untuk mengukur dan melihat kesesuaian antara
hasil dan dampak pembangunan terhadap tujuan yang diharapkan. Efektivitas
pembangunan dapat dilihat dari sejauh mana capaian pembangunan daerah
Kalimantan Selatan membaik dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Dalam mengumpulkan data dan informasi, teknik yang digunakan melalui:
a. Pengamatan langsung Pengamatan langsung kepada masyarakat sebagai subjek dan objek
pembangunan di daerah, diantaranya dalam bidang sosial, ekonomi,
pemerintahan, politik, lingkungan hidup dan permasalahan lainnya yang terjadi di
wilayah Provinsi Kalimantan Selatan.
b. Pengumpulan Data Primer
Data diperoleh melalui FGD (Focus Group Discussion) dengan pemangku
kepentingan pembangunan daerah. Tim Evaluasi Provinsi Kalimantan Selatan
menjadi fasilitator rapat/diskusi dalam menggali masukan dan tanggapan peserta
diskusi.
c. Pengumpulan Data Sekunder Data dan informasi yang telah tersedia pada instansi pemerintah seperti Badan
Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kalimantan Selatan, Bappeda Provinsi Kalimantan
Selatan dan Satuan Kerja Perangkat Daerah di lingkungan Pemerintah Provinsi
Kalimantan Selatan serta pihak Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan.
1.4. Anggota Tim Evaluasi
Berdasarkan surat penunjukkan Rektor Universitas Lambung Mangkurat No.:
1329/H8/PS/2009 tanggal 27 April 2009 maka susunan anggota Tim Evaluasi Provinsi
Kalimantan Selatan untuk tahun 2009 sebagai berikut:
6
1. Pengarah : Prof. Ir. H. Muhammad Rasmadi, MS (Rektor Unlam)
2. Ketua : Drs. H. M. Djaperi, Ak.
3. Sekretaris : Saipudin, SE, M.Si, Ak
4. Anggota : Drs. H.M. Nordin Ideram, MA
Ir. H. Yusuf Azis, M.Sc
M. Nur Iman Ridwan, S.Sos, M.Si
7
BAB II HASIL EVALUASI
Pada bagian ini akan dideskripsikan tentang permasalahan dan tantangan utama
pembangunan daerah serta identifikasi pembangunan daerah pada 5 indikator, yaitu:
tingkat pelayanan publik dan demokrasi, tingkat kualitas sumber daya manusia, tingkat
pembangunan ekonomi, kualitas pengelolaan sumber daya alam dan tingkat
kesejahteraan sosial di Provinsi Kalimantan Selatan.
2.1. TINGKAT PELAYANAN PUBLIK DAN DEMOKRASI
Indikator tingkat pelayanan publik dan demokrasi akan dilihat dari indikator
pendukungnya, meliputi:
- Persentasi jumlah kasus korupsi yang tertangani dibandingkan dengan yang dilaporkan
- Persentasi aparat yang berijazah minimal S1
- Persentasi jumlah kabupaten/kota yang memiliki peraturan daerah pelayanan satu atap
- Gender Development Index (GDI)
- Gender Empowerment Measurement (GEM)
- Tingkat partisipasi politik masyarakat dalam Pemilihan Kepala Daerah Provinsi
- Tingkat partisipasi politik masyarakat dalam Pemilihan Legislatif
- Tingkat partisipasi politik masyarakat dalam Pilpres
2.1.1. Capaian Indikator
Grafik capaian indikator Tingkat Pelayanan Publik dan Demokrasi Provinsi
Kalimantan Selatan dibandingkan dengan capaian indikator Tingkat Pelayanan Publik
nasional dapat dilihat pada Grafik di halaman 8 :
8
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
90,00
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Capa
ian
Indi
kato
r O
utco
me
-0,20
-0,15
-0,10
-0,05
0,00
0,05
0,10
0,15
0,20
0,25
0,30
0,35
Tren
Cap
aian
Indi
kato
r O
utco
me
Nasional Kalsel Nasional Kalsel
C
A. Analisis Relevansi Capaian indikator hasil (outcomes) tingkat pelayanan publik dan demokrasi di
Provinsi Kalimantan Selatan sudah relevan dan sejalan dengan pembangunan nasional.
Hal ini dapat dilihat dari perbandingan dengan nilai capaian indikator hasil tingkat
pelayanan publik daerah dengan nasional. Namun belum dapat dikategorikan lebih baik
dari capaian pembangunan nasional yang tergambar dari perbadingan indikator hasil
(outcomes) pembangunan daerah Provinsi Kalimantan Selatan dengan nasional, sebagai
berikut :
1. Capaian indikator hasil (outcomes) daerah yang menurun pada 2007 dan di
bawah capaian nasional, yakni Provinsi Kalimantan Selatan 61,5 pesen
dibandingkan dengan tingkat nasional 62,75 persen, namun tren masing-
masing sama nilainya 0,1.
2. Capaian indikator daerah berfluktuasi dengan tren menurun, pada 2005 adalah
77,74 persen dan 2006 menjadi 70,73 persen dan 2007 hanya mencapai
61,5 persen.
3. Nilai indikator pendukung terutama sekali Gender Development Index (GDI) dan
Gender Empowerment Meassurement (GEM) daerah perkembangannya lambat
dan nilainya di bawah rata-rata nasional. Demikian pula persentasi aparat yang
9
berijazah S1, tingkat partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan legislatif
dan Pilpres nilainya masih rendah di bawah rata-rata nasional.
4. Nilai indikator pendukung pada kasus korupsi yang tertangani terjadi fluktuasi ke
arah penurunan. Tahun 2004 dan 2005 masing-masing mencapai 100 persen
dibandingkan dengan nasional 2004 dan 2005 yang masing-masing 97 persen.
Namun pada tahun berikutnya terjadi penurunan, pada 2006 hanya 50 persen
dibanding dengan nasional 94 persen, tahun 2007 adalah 55 persen dan
nasional 94 persen, dan tahun 2008 adalah 90 persen dan nasional 94 persen.
Secara keseluruhan nilai indikator hasil pembangunan daerah yang relevan dan
sejalan atau lebih baik dari capaian pembangunan nasional adalah pada 2004 (daerah
76,69 dan nasional 57,69), tahun 2005 (daerah 77,74 dan 51,3), tahun 2006 (daerah
70,73 dan nasional 54,94), tahun 2008 (daerah 80,00 dan nasional 65,43). Disini juga
terjadi tren kenaikan pada 2007 dari 61,5 persen menjadi 80,00 persen pada 2008.
Indikator pendukung yang paling besar nilainya dari rata-rata nasional adalah
pada persentasi jumlah kabupaten /kota yang memiliki peraturan daerah pelayanan satu atap. Pada semua kabupaten /kota di Provinsi Kalimantan Selatan mulai tahun 2004
sampai 2009 sudah 100 persen memiliki peraturan daerah pelayanan satu atap. Ini
sangat berbeda bila dibandingkan dengan rata-rata nasional yang pada tahun 2004
(2,15 persen), 2005 (2,05 persen), 2006 (21,59 persen), 2007 (61,29 pesen), dan 2008
(74,3 persen).
B. Analisis Efektivitas Efektivitas pembangunan di daerah Provinsi Kalimantan Selatan masih
berfluktuasi. Pada tahun 2004 indeks outcomes 76,69 persen dan meningkat atau
membaik pada 2005 menjadi 77,74 persen (tren 0.01). Namun pada 2006 terjadi
menurunan menjadi 70,73 persen (tren 0,09) dan pada 2007 lebih menurun menjadi 61,5
persen (tren 0,13) dan membaik atau naik lagi pada 2008 menjadi 80 persen (tren 0,3)
Dari gambaran data tersebut dapat disimpulkan bahwa kinerja pembangunan daerah
Provinsi Kalimantan Selatan belum atau tidak efektif.
Pada indikator hasil (outcome) pelayanan publik dan demokrasi terdapat beberapa
indikator pendukung yang menyumbang kinerja pembangunan daerah Provinsi
Kalimantan Selatan tidak tercapai dengan efektif, antara lain bersumber dari :
10
1. Persentasi jumlah kasus korupsi yang tertangani dibandingkan dengan yang
dilaporkan
Pada tahun 2004 dan 2005 kasus penanganan korupsi masing-masing tercapai
100 persen. Ini berhubung kasus korupsi yang ditangani masih sedikit jumlahnya dan
juga tak kalah penting berupa partisipasi dan peran masyarakat/LSM menekan dan
mengontrol penanganan kasus-kasus korupsi terhadap lembaga-lembaga penegak
hukum sehingga kasus-kasus perkara dapat diselesaikan. Sebagai catatan kasus
yang menarik pada 2004, melalui tekanan-tekanan masyarakat sehingga Kejaksaan
Negeri Banjarmasin serius menyelidiki kasus korupsi DPRD Kota Banjarmasin periode
1999-2004 yang disebut mas media daerah dengan istilah “korupsi dana siluman“
dan berhasil memenjarakan para pimpinan dan sebagian anggota DPRD tersebut.
Demikian pula dengan kasus korupsi di DPRD Kabupaten Tapin priode 1999-2004
melalui tekanan masyarakat Kejaksaan Negeri setempat dapat memenjarakan para
pimpinan dan sebagian anggotanya.
Namun sejak 2006 penanganan kasus-kasus korupsi telah menurun, yakni 2006
hanya 50 persen, 2007 hanya 55 persen, dan 2008 hanya 60 persen. Data Kejaksaan
Tinggi Kalimantan Selatan dari priode Agustus 2008 s.d. Agustus 2009 penanganan
kasus-kasus korupsi adalah : (a) peningkatan status 60 perkara ; (b) penuntutan
52 perkara ; (c) dan penyelesaian 37 perkara. Ini berarti dalam kurun waktu tersebut
kasus korupsi yang terselesaikan hanya berkisar 24,8 persen. Ini belum termasuk
kasus korupsi yang ditangani pihak Kapolda Kalsel yang belum terselesaikan, seperti
kasus dugaan penyalahgunaan wewenang Bupati Dati II KabupatenTanah Laut pada
2006 yang berkolusi melakukan pertambangan batubara di areal hutan lindung, kasus
mark-up dana APBD Provinsi Kalimantan Selatan untuk memperpanjang landasan
pacu Bandara Syamsudin Noor, dan lainnya yang sampai sekarang masih mandeg di
Kepolisian Daerah Provinsi Kalimantan Selatan.
Tampaknya penurunan kinerja penanganan kasus-kasus korupsi di Kalimantan
Selatan disebabkan menurunnya peran masyarakat dan lembaga-lembaga swadaya
masyarakat untuk menekan dan mengontrol para penegak hukum dan disamping itu
ada terkesan “tebang pilih” dalam penanganan kasus korupsi, sehingga masyarakat
sebagai bagian social control sangat apatis keterlibatannya. Seperti halnya kasus
korupsi DPRD priode 1999 – 2004 Kota Banjarmasin dan Kabupaten Tapin sampai
sekarang sebagian anggota DPRD yang telah menikmati hasil korupsi itu tidak pernah
lagi dilanjutkan penyelidikannya oleh pihak kejaksaan. Walaupun sudah ada tekanan
ataupun instruksi dari Ketua Kejaksaan Agung terhadap Kepala Kejaksaan Tinggi
11
Kalimantan Selatan sewaktu bulan Mei 2009 berkunjung ke Banjarmasin supaya
kasus itu diselesaikan, namun sampai sekarang belum ada sama sekali kabar
penyelesaian kasus itu.
Sementara ini banyak kasus korupsi di daerah provinsi Kalimantan Selatan
dengan kasap mata masyarakat mengetahuinya, namun sebagian besar tidak
tersentuh atau tidak diselidiki oleh lembaga penegak hukum dan apabila tertangani
maka prosesnya masih berjalan di tempat sehingga di sini perlu dipertanyakan
“profesionalisme” dan keseriusan dari lembaga-lembaga penegak hukum di daerah.
2. Gender Development Index (GDI)
Perkembangan GDI di Provinsi Kalimantan Selatan adalah di bawah rata-rata
nasional dan di samping itu perkembangan GDI daerah cukup lambat. Sebagai
gambaran tahun 2004 daerah adalah 60,68 persen dan nasional 63,94 persen, 2005
daerah hanya 61,83 persen dan nasional 65,13 persen, dan tahun 2006 hanya 62,2
persen dan nasional 65,3 persen. Lambannya perkembangan ini searah dengan
belum diikuti perkembangan yang optimal permasalahan bidang kesehatan dasar
perempuan seperti kematian ibu melahirkan, perempuan usia subur yang kekurangan
energi kronik, dan prevalensi ibu hamil. Dalam bidang pendidikan, lambannya
penanganan perempuan yang buta huruf, perempuan yang tamat SLTA dan
Perguruan Tinggi lebih rendah dari laki-laki, dan perempuan yang drop-out (DO)
sekolah lebih tinggi dari laki-laki. Sementara di bidang ekonomi berkaitan dengan
partisipasi angkatan kerja perempuan lebih rendah dari pada laki-laki.
3. Gender Empowerment Meassurement (GEM)
Perkembangan GEM pada Provinsi Kalimantan Selatan adalah di bawah rata-rata
perkembangan nasional dan perkembangannya di daerah cukup lambat. Pada 2004
daerah adalah 57,44 persen dan nasional 59,67 persen, tahun 2005 daerah adalah
57,37 persen dan nasional 61,32 persen. Lambannya kemajuan perkembangan GEM
di daerah Provinsi Kalimantan Selatan adalah terkait dengan penanganan bidang
ekonomi, politik, hukum, dan penanganan keamanan perempuan terutama sekali pada
masalah korban tindak kekerasan dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
12
4. Tingkat Partisipasi Politik Masyarakat dalam Pemilu Legislatiif dan Pemilihan Presiden
Dalam pemilu legislatif tahun 2004 partisipasi politik masyarakat daerah 71,52
persen di bawah tingkat rata-rata nasional 75,19 persen dan pemilu legislatif 2009
agak menurun sedikit dengan keterlibatan masyarakat 71,04 persen dan sedikit di
atas rata-rata nasional yang nilainya 71 persen. Sementara partisipasi politik
masyarakat di daerah dalam pemilihan Presiden pada tahun 2004 adalah 70,75
persen di bawah rata-rata nasional 75,98 persen dan Pilpres di daerah tahun 2009
adalah 70 persen di bawah rata-rata nasional yang berjumlah 73 persen. Searah
dengan itu maka partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan Kepala Daerah
Provinsi yang dilaksanakan pada pada bulan Juni 2005 adalah 69,5 persen.
Tidak optimalnya partisipasi politik masyarakat baik dalam pemilu legislatif,
pemilihan presiden, dan pemilihan gubernur kepala daerah adalah disebabkan
kurangnya sosialisasi ketiga pemilu itu kepada masyarakat, apatisme masyarakat
terhadap pemilu, mobilitas/berpindahnya tempat tinggal penduduk dan pada 2009
yang lebih menyolok permasalahannya adalah kisruh dan ketidakpastian Daftar
Pemilih Tetap (DPT).
2.1.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol
Dari masing-masing capaian indikator pendukung penunjang outcomes yang
spesifik dan menonjol dalam tingkat pelayanan publik dan demokrasi di daerah Provinsi
Kalimantan Selatan adalah “jumlah kota/kabupaten yang memiliki peraturan daerah
pelayanan satu atap”. Ini salah satu indikator pendukung penunjang outcome yang paling
spesifik dan menonjol karena seluruh kabupaten/kota di daerah provinsi ini sejak dari
2004 sudah memiliki peraturan daerah pelayanan satu atap. Dari keseluruhan indikator
pendukung penunjang outcomes maka indikator pendukung ini yang mempunyai nilai
besar dan nilai tambah dari semua indikator pendukung lainnya.
Walaupun di daerah ini semua kabupaten/kota sudah memiliki peraturan daerah
pelayanan satu atap, namun bukan berarti pelayanan publik dari kantor pelayanan satu
atap ini sudah optimal. Dari hasil penelitian, salah satunya adalah tesis (Royati, Afrida,
pada Magister Administrasi Publik Universitas Lambung Mangkurat, 2008) diketahui
bahwa pelayanan publik di Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu (KP2T) Pemerintah Kota
Banjarmasin belum berjalan secara optimal disebabkan belum ada koordinasi yang
memadai antara Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu (KP2T) dengan dinas-dinas yang
mempunyai tugas teknis terkait dengan layanan itu, pengurusan perijinan sebagian masih
13
dilakukan oleh dinas-dinas terkait karena dinas-dinas yang bersangkutan mempunyai
target penerimaan yang diperoleh dari hasil pelayanan pemberian ijin, waktu
penyelesaian seringkali tidak sesuai dengan waktu yang ditentukan, kesantunan petugas
pelayanan, pengurusan ijin oleh masyarakat kadang-kadang masih menggunakan jasa
orang lain (makelar/calo). Dari semua hal itu pada akhirnya berdampak kepada kualitas
pelayanan publik, salah satunya adalah menimbulkan ketidakpuasan masyarakat
terhadap pelayanan yang diberikan.
2.1.3. Rekomendasi Kebijakan
1. Perlu ada perpanjangan atau perwakilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
di daerah karena beberapa tahun terakhir (sejak 2006) banyak kasus korupsi
penyelesainnya lamban dan tidak diselesaikan secara tuntas, bahkan ada kesan
dihentikan oleh lembaga-lembaga penegak hukum di daerah.
2. Perlu inovasi kebijakan dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dengan
mengalokasikan anggaran yang lebih besar setiap tahun di dalam APBD untuk
memajukan program peningkatan kualitas peran perempuan sampai ke pelosok
desa dan kegiatan itu bukan hanya dilakukan pemerintah semata-mata bersama
dengan organisasi PKK dan Dharma Wanita, tetapi juga melibatkan lembaga-
lembaga swadaya masyarakat (LSM).
3. Perlu penerapan undang-undang pelayanan publik sehingga masyarakat dapat
terlindungi haknya untuk mendapatkan pelayanan yang berkualitas.
4. Perlu pelibatan secara aktif masyarakat maupun Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dalam pelaksanaan sosialisasi pemilu legislatif, pemilihan
presiden, dan pemilihan kepala daerah agar pelaksanaan lebih efektif dan
partisipasi masyarakat meningkat.
2.2. TINGKAT KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA
Pada indikator tingkat kualitas sumber daya manusia ini akan dilihat output
indikator pendukung sebagai berikut:
- Indeks Pembangunan Manusia
- Pendidikan yang meliputi: Angka Partisipasi Murni (SD/MI), Rata-rata nilai akhir
(SMP/MTs, SMA/SMK/MA), Angka Putus Sekolah (SD, SMP/MTs, Sekolah
14
Menengah), Angka melek aksara 15 tahun ke atas, dan Persetase jumlah guru
yang layak mengajar (SMP/MTs, Sekolah Menengah)
- Kesehatan yang meliputi: Umur Harapan Hidup (UHH), Angka Kematian Bayi
(AKB), Angka Kematian Ibu (AKI), Prevalensi Gizi Buruk (%), Prevalensi Gizi
Kurang (%), dan Persentase tenaga kesehatan per penduduk.
- Keluarga Berencana yang meliputi: Persentase penduduk ber KB, dan Persentase
laju pertumbuhan penduduk.
2.2.1 Capaian Indikator
Grafik capaian indikator outcomes Provinsi Kalimantan Selatan dibandingkan
dengan capaian indikator outcomes nasional dan analisanya dapat dilihat di bawah
ini.
0,00
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
70,00
80,00
90,00
100,00
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Capa
ian
Indi
kato
r O
utco
me
-0,20
-0,10
0,00
0,10
0,20
0,30
0,40
0,50
Tren
Cap
aian
Indi
kato
r O
utco
me
Nasional Kalsel Nasional Kalsel
A. Analisis Relevansi Capaian indikator hasil (outcomes) tingkat kualitas sumber daya manusia di
Provinsi Kalimantan Selatan sudah relevan dan sejalan dengan pembangunan nasional.
Hal ini dapat dilihat dari perbandingan dengan nilai capaian indikator hasil tingkat kualitas
sumber daya manusia di daerah dengan nasional. Walaupun dapat dikategorikan lebih
baik dari capaian pembangunan nasional terutama pada tahun 2004, 2005, 2007 dan
2009, namun pada tahun 2006 dan tahun 2008 Provinsi Kalimantan Selatan berada di
15
bawah pencapaian nasional yang tergambar dari perbandingan indikator hasil (outcomes)
pembangunan daerah Provinsi Kalimantan Selatan dengan nasional, sebagai berikut :
1. Capaian indikator hasil (outcomes) daerah yang menurun pada 2006 dan 2008
karena berada di bawah capaian nasional. Pada tahun 2006 Nasional mencapai
angka 77,07% sedangkan Provinsi Kalimantan Selatan pada angka 71,46%.
Sedangkan pada tahun 2008 Nasional mencapai angka 83,10% sedangkan
Provinsi Kalimantan Selatan hanya berada pada angka 67,43%.
2. Capaian indikator daerah berfluktuasi dengan tren menurun, pada 2006 sampai
dengan 2008, dimana pada tahun 2006 adalah 71,46 persen, tahun 2007
walaupun meningkat pada angka 77,12% namun dibandingkan pada tahun
2004-2005 masih relatif kecil dan tahun 2008 mengalami penurunan hingga
menyentuh angka 67,43%. Namun pada tahun 2009 terjadi peningkatan yang
cukup signifikan, yaitu pada angka 93,85%.
3. Nilai indikator pendukung seperti IPM, walaupun tiap tahunnya terjadi
peningkatan namun terkesan lamban dan tidak signifikan serta masih berada di
bawah angka nasional.
4. Pada indikator pendukung aspek pendidikan yang cukup membahagiakan bagi
Provinsi Kalimantan Selatan adalah dalam hal pencapaian Angka Partisipasi
Murni SD/MI dan Angka Melek Aksara 15 tahun ke atas yang sampai tahun
2008 mendekati dan mencapai angka 100%.
5. Pada indikator pendukung aspek kesehatan, Umur Harapan Hidup (UHH)
mengalami peningkatan dimana pada tahun 2004 hanya pada angka 61,6 dan
di tahun 2007 mencapai angka 62,6.
6. Pada indikator pendukung Keluarga Berencana, walaupun terjadi fluktuasi
namun sampai tahun 2008 terjadi peningkatan dan di sisi lain laju pertumbuhan
penduduk dapat dikurangi dari 2,04 di tahun 2004 hingga 1,47 di tahun 2008
dan ditargetkan pada tahun 2009 mencapai angka 1,44.
Secara keseluruhan nilai indikator hasil pembangunan daerah yang relevan dan
sejalan atau lebih baik dari capaian pembangunan nasional adalah pada 2004 (daerah
87,61 dan nasional 79,40), tahun 2005 (daerah 84,08 dan nasional 77,29), tahun 2006
(daerah 71,46 dan nasional 77,07), tahun 2007 (daerah 77,12 dan nasional 76,75) dan
tahun 2008 (daerah 67,43 dan nasional 83,10) serta pada tahun 2009 ditargetkan oleh
daerah sebesar 93,85 dan nasional 84,73.
Indikator pendukung yang paling besar nilainya dari rata-rata nasional adalah
pada persentasi penduduk ber KB. Dimana angka rata-rata di daerah selalu berada di
16
atas Nasional, walaupun terjadi fluktuasi dan bahkan sampai pada tahun 2008 persentase
penduduk ber KB mendekati angka 100% (95,45).
B. Analisis Efektivitas Pembangunan di daerah Provinsi Kalimantan Selatan masih dapat dikatakan
berjalan secara efektif walaupun terjadi sedikit fluktuasi ke arah penurunan pada tahun
2005-2008, namun di tahun 2009 optimis terjadi peningkatan yang cukup signifikan
dengan target mencapai angka 93,85. Jika dirunut, maka dapat diketahui bahwa pada
tahun 2004 capaian indikator outcomes Provinsi Kalimantan Selatan berada di angka
87,91% dan menurun pada tahun 2005 dengan angka 84,08% (tren -0,04), di tahun 2006
terjadi penurunan hingga angka 71,46% (tren -0,15%) dan pada tahun 2007 terjadi
peningkatan hingga mencapai angka 77,12 (tren 0,08), namun pada tahun 2008
mengalami penurunan dengan angka mencapai 67,43 (tren -0,13) dan pada tahun 2009
ditargetkan terjadi peningkatan yang cukup signifikan dengan angka 93,8% (tren 0,39).
Dari gambaran data tersebut dapat disimpulkan bahwa kinerja pembangunan daerah
Provinsi Kalimantan Selatan belum atau tidak efektif dan berjalan kurang stabil.
Jika dikaji akar permasalahan pada indikator Kualitas Sumber Daya Manusia
bersumber dari masalah yang sangat strategis, salah satunya adalah masalah relatif
rendahnya tingkat pendidikan penduduk. Dampak transisi demografis akibat keberhasilan
program kesehatan dan program KB menyebabkan turunnya jumlah siswa yang
bersekolah pada jenjang SD/MI dari tahun ke tahun dan pada saat yang sama terjadi pula
perubahan struktur usia siswa SD/MI dengan semakin menurunnya siswa berusia lebih
dari 12 tahun dan meningkatnya siswa berusia kurang dari 7 tahun.
Kesenjangan tingkat pendidikan antar kelompok penduduk, misalnya antara
penduduk kaya dan penduduk miskin, antara penduduk laki-laki dan penduduk
perempuan, antara penduduk perkotaan dan perdesaan, dan antar daerah melengkapi
peta permasalahan bidang pendidikan di Provinsi Kalimantan Selatan. Akses penduduk
miskin untuk mendapatkan pendidikan bermutu masih rendah, karena mereka menilai
bahwa pendidikan masih terlalu mahal. Ini menyebabkan munculnya faktor disinsentif
bagi penduduk, terutama penduduk atau keluarga miskin untuk berinvestasi pada bidang
ini. Pemerataan penyediaan fasilitas pelayanan pendidikan, khususnya untuk jenjang
pendidikan menengah pertama dan yang lebih tinggi di pedesaan dan daerah terpencil
lainnya juga merupakan faktor penyebab enggan dan mahalnya pendidikan.
Di sektor Kesehatan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan juga menghadapi
tantangan untuk mewujudkan Kalimantan Sehat 2010. Tantangan ini, selain menyangkut
17
ketersediaan dana, juga berkaitan erat dengan masih kuatnya pengaruh penerapan
paradigma sakit di kalangan pemerintah. Penerapan paradigma ini sangat berpengaruh
terhadap orientasi kebijakan alokasi anggaran dan penanganan masalah kesehatan,
yang lebih berfokus pada aspek kuratif dan rehabilitasi daripada pencegahan, promosi
dan pemberdayaan masyarakat.
Peningkatan Upaya kesehatan di Provinsi Kalimantan Selatan dihadapkan dengan
tantangan sebagai akibat terjadinya transisi demografi dan efedemiologi, seperti
perubahan sosial, tingkat pendidikan, keadaan ekonomi, kondisi lingkungan dan pengaruh
globalisasi, meningkatnya penyakit non enfeksi seperti kardiovaskoler, kanker dan
penyakit degeneratif lainnya, serta disisi lain tuntutan masyarakat akan pelayanan
kesehatan yang lebih baik, bermutu, terjangkau dan merata. Dan harus diakui, selama ini
masih banyak permasalahan kesehatan di Kalimantan Selatan, seperti masih rendahnya
derajat kesehatan dari warga miskin, akibat rendahnya akses terhadap pelayanan
kesehatan, minimnya dana yang dialokasikan untuk menunjang program kesehatan,
beberapa penyakit menular, yang dapat menjadi ancaman utama bagi masyarakat.
persentase laju pertumbuhan penduduk.
Tetapi seperti dikemukakan di atas, laju peningkatan status kesehatan tersebut
masih lebih lambat daripada provinsi-provinsi lain, sehingga status kesehatan penduduk
dan HDI provinsi ini juga lebih rendah. Perhitungan HDI juga menyentuh masalah gender.
Peringkat Indeks Pembangunan Gender (Gender related Development Index, GDI) di
provinsi ini masih rendah. Ini berarti ketidaksetaraan gender di berbagai bidang
pembangunan masih merupakan masalah yang dihadapi di masa mendatang, termasuk
hukum dan peraturan perundang-undangan yang bias gender, perlakuan diskriminatif
terhadap perempuan. Penelataran dan kekerasan terhadap anak dan sisi lain masalah
sosial yang harus ditangani dengan sistematis, seperti ketidakpedulian terhadap hak
tumbuhkembang anak, rendahnya tingkat kesejahteraan dan perlindungan terhadap anak,
rendahnya peran masyarakat dalam mendukung pemberdayaan perempuan dan
peningkatan kesejahteraan dan perlindungan anak termasuk kapasitas kelembagaan di
tingkat daerah.
Menurunnya peringkat HDI tampaknya berpengaruh langsung terhadap
penurunan peringkat indeks kemiskinan manusia. Ada dua indikator penting HPI yang
mengalami penurunan selama periode ini yakni akses penduduk ke fasilitas kesehatan
dan persentase anak usia di bawah lima tahun kurang gizi. Rendahnya HDI terkait
dengan faktor lain, yakni kapasitas Pemda. Otonomi daerah seharusnya memberi
18
keleluasan yang lebih memadai kepada pemerintah daerah untuk menentukan prioritas
pembangunan berdasarkan kemampuannya sendiri. Tetapi justru dari sini dilema-dilema
penyelenggaraan otonomi daerah bermunculan. Sebelum Pemerintahan oleh Gubernur
yang ada sekarang semakin terasa bahwa kemampuan daerah untuk meningkatkan
kualitas pendidikan dan pelayanan kesehatan semakin menurun. Masalah mendasar
yang dihadapi berkaitan dengan komitmen pemerintah terhadap tuntutan besaran
anggaran untuk sektor ini. Kemudian, rendahnya kualitas pendidikan, yang tercermin
dalam penyerapan lulusan oleh dunia kerja, prosentase lulusan dalam UAN, pergeseran
dari proses pendidikan ke proses pengajaran, rendahnya profesionalisme dan sebagainya
dikaitkan dengan komitmen tersebut.
Terkait dengan Kualitas Sumber Daya Manusia di Provinsi Kalimantan Selatan
guna mencari solusi atas permasalahan dan tantangan di atas, Pemerintah Daerah
memiliki komitmen yang tinggi apalagi secara eksplisit sudah tertuang pada Visi
Kalimantan Selatan, yaitu ”Terwujudnya Masyarakat Kalimantan Selatan yang Tertib,
Sejuk, Nyaman, Unggul dan Maju” (TERSENYUM), dimana salah satu misi
pembangunannya (Misi Ke-2) adalah Meningkatkan pengembangan kualitas sumberdaya
manusia dan mewujudkan Kalimantan Sehat 2010.
Pada Agenda Menciptakan Kalimantan Selatan yang unggul dan maju,
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selata sudah menyusun sasaran pokok dengan prioritas
dan arah kebijakan, meliputi:
1. Sasaran pertama:
Terwujudnya kualitas SDM dan Kalimantan Sehat, yang ditunjukkan dengan tingkat
pendidikan dan keterampilan meningkat, penguasaan ilmu dan teknologi meningkat,
serta meningkatnya angka IPM. Untuk mencapai sasaran tersebut, prioritas
pembangunan daerah tahun 2006-2010 diletakkan pada :
a. Bidang Pendidikan dengan kebijakan yang diarahkan untuk :
- Penuntasan wajib relajar 9 tahun
- Peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan
- Peningkatan kualitas pengelolaan jalur sekolah dan luar sekolah
- Peningkatan profesionalisme, kompetensi, dan kesejahteraan tenaga
pendidik
- Menciptakan sistem pendidikan yang sehat dan berbasis kompetensi
- Rehabilitasi, revitalisasi, serta pengembangan sarana dan prasarana
pendidikan
- Pengembangan perpustakaan
19
b. Bidang Kesehatan dengan kebijakan yang diarahkan untuk:
- Peningkatan status gizi masyarakat dan mendorong kemandirian
masyarakat untuk hidup sehat
- Peningkatan peran serta masyarakat dan swasta dalam pembangunan
bidang kesehatan
- Peningkatan manajemen dan sistem informasi kesehatan
- Peningkatan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat beserta
lingkungannya
- Peningkatan dan pengawasan pelayanan kesehatan dan rujukan kepada
pasien sesuai standar pelayanan medis yang bermutu, merata dan
terjangkau
- Peningkatan fasilitas penunjang dan sistem penyelenggaraan pendidikan
kesehatan
- Peningkatan profesionalisme dan kompetensi aparatur, tenaga medis dan
tenaga pengajar pendidikan kesehatan
- Pembangunan dan peningkatan prasarana fisik bidang kesehatan
2.2.2 Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol Indikator spesifik dan menonjol pada indikator Tingkat Kualitas SDM di Provinsi
Kalimantan Selatan adalah berkenaan dengan Angka Partisipasi Murni (SD/MI) dan
Angka melek aksara 15 tahun ke atas. Kedua indikator pendukung ini dalam 5 tahun
terakhir menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Hal ini tentu saja berkaitan
erat dengan kebijakan dan program pembangunan bidang pendidikan yang telah
dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dan Pemerintah Kabupaten/Kota
se Kalimantan Selatan.
Memajukan dalam bidang pendidikan di Kalimantan Selatan ditandai dengan
diberikannya penghargaan oleh negara yang diserahkan oleh Presiden Republik
Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono. Sebuah anugerah kehormatan, karena telah
membuat kemajuan yang sangat berarti dalam bidang pendidikan di Kalimantan Selatan.
Perhatian yang sangat serius dari kepemimpinan Kepala Daerah sekarang adalah
upaya memajukan bidang pendidikan di Kalimantan Selatan, dimana Gubernur membuat
langkah besar yang sangat berarti bagi perkembangan pendidikan di Kalimantan Selatan
dengan mengalokasikan dana bagi pembangunan bidang pendidikan dalam APBD 2009
hingga mencapai 20%, semua ini memiliki landasan pemikiran yang sangat kuat dan
argumentatif, dimana aspek pendidikan dipandang sebagai sebuah pembangunan yang
sangat fundamental dalam membangun kualitas sumber daya manusia di Kalimantan
20
Selatan dan sektor pendidikan merupakan kekuatan (knowledge is power) yang dapat
mempercepat perubahan, mewujudkan daya saing masyarakat sehingga dicapai
kemajuan yang pesat dalam pembangunan di Kalimatan Selatan.
Apalagi dengan adanya Empat Program Prioritas Pendidikan. Berdasarkan MoU
antara Menteri Pendidikan Nasional dengan Gubernur, Bupati, Walikota serta Ketua
DPRD Provinsi dan Kabupaten se Kalimantan Selatan yang ditandatangani 18 Maret
2006. Program kegiatan pembangunan pendidikan di Kalimantan Selatan telah ditetapkan
sehingga 4 program prioritas yang meliputi Penuntasan Wajib Belajar 9 Tahun,
peningkatan kualitas guru pada setiap jenjang pendidikan, pemberantasan buta aksara,
dan rehabilitasi gedung dan ruang belajar sekolah.
Disamping bidang Pendidikan, hal yang menonjol juga terjadi pada bidang
kesehatan. Pada bidang Kesehatan sebagai salah satu aspek penentu (determinant
factor) dalam pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas, sehingga
membangun unsur manusia melalui pembangunan bidang kesehatan ini menjadi bagian
yang fundamental dan integral dengan pembangunan pendidikan dalam melaksanakan
pembangunan yang berkelanjutan di Kalimantan Selatan.
Berdasarkan laporan angka Indeks Pembangunan Manusia derajat kesehatan
Kalimantan Selatan yang digambarkan melalui Umur Harapan Hidup memang masih
berada di bawah rata-rata Nasional yang sudah mencapai 68,5 tahun sementara
Kalimantan Selatan berada pada usia 62,4 tahun. Rendahnya angka dari Usia Harapan
Hidup di Klimantan Selatan ini, terkait dengan tingginya angka kematian ibu dan bayi
yang disurvei di daerah ini pada tahun 2006, tentunya merupakan hasil pembangunan
kesehatan yang terjadi pada masa sebelum tahun survei.
Langkah tepat yang dilakukan Pemprov mengalokasikan dana untuk membangun
aspek kesehatan di daerah ini mencapai 15% dari APBD, sebuah upaya yang telah
diwujudkan melalui pemenuhan pembiayaan dalam pembangunan bidang kesehatan.
Langkah selanjutnya pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan melakukan
pemenuhan terhadap kebutuhan bidan di desa, dengan mengangkat bidan secara
bertahap sehingga memenuhi setiap satu desa ada satu bidan desa. Ini merupakan solusi
dalam rangka menurunkan angka kematian ibu dan bayi yang masih cukup tinggi terjadi
di Kalimantan Selatan.
Sementara Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan berupaya melakukan
percepatan penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi ini dengan berbagai strategi yang
meliputi:
21
1. Upaya dalam peningkatan SDM tenaga kesehatan dalam pelayanan Kesehatan Ibu
dan Anak, seperti melakukan pelatihan asuhan persalinan normal untuk bidan,
pelatihan penanggulangan kegawatdaruratan bayi baru lahir bagi dokter anak dan
bidan di pelayanan dasar, meninngkatkan pendidikan bidan dari D1 ke D3 Kebidanan
dan ke S1 serta mengadakan berbagai seminar untuk mendapatkan masukan
perluasan pengetahuan yang berkenaan dengan penanganan permasalahan
kesehatan ibu dan anak.
2. Memperkuat penerapan Program di Pelayanan Dasar di Rumah Sakit, Puskesmas,
Pustu dan Polindes/Polkesdes, dikembangkannya sebanyak 43 Puskesmas PONED
di Kalimantan Selatan yang secara khusus memberikan penanganan kasus ibu hamil
persalinan dan bayi yang baru lahir, serta ditambahkannya rumah sakit PONEK di
Kabupaten/Kota untuk mengatasi kegawatdaruratan obstetri dan neonatal.
3. Penerapan Program di Pelayanan Dasar, seperti penerapan Buku KIA untuk seluruh
ibu hamil dan bayi baru melahirkan, pemasangan stiker P4K (Program Perencanan
Persalinan dan Pencegahan Komplikasi)
4. Disamping itu terus dilakukan penerapan kemitraan bidan dengan dukun bayi dalam
menolong persalinan yang aman.
2.2.3 Rekomendasi Kebijakan
Secara umum pada indikator pendukung pendidikan kondisinya relatif lebih baik
jika dibandingkan dengan indikator pendukung kesehatan, oleh karenanya kami
memberikan beberapa rekomendasi kebijakan yang diusulkan dalam rangka mengatasi
permasalahan dan tantangan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia terutama
memfokuskan pada bidang kesehatan di Provinsi Kalimantan Selatan, yaitu:
1. Pada penanganan gizi masyarakat, perlu : (1) program gizi dikaitkan dengan kegiatan
program lain diluar program pangan secara konvergen seperti dengan program air
bersih dan kesehatan lingkungan, imunisasi, penyediaan lapangan kerja dan
penanggulangan kemiskinan. (2) kegiatan pemantauan berat badan dan tinggi badan
anak balita dan sekolah akan menjadi modal utama bagi program gizi. Survei gizi
nasional secara periodik dan terprogram seharusnya menjadi kebijakan nasional
(3) Revitalisasi Posyandu (4) Secara bertahap perlu ada “perombakan” kurikulum di
lembaga pendidikan tenaga gizi di semua tingkatan untuk lebih memahami perlunya
paradigma baru yang berorientasi pertumbuhan dan status gizi anak sebagai titik tolak
dan tujuan program.
22
2. Program Unggulan Rumah Sakit. Program unggulan ini dimaksudkan agar setiap
rumah sakit memprioritaskan salah satu dari pelayanan kesehatan dengan prima baik
dari aspek tenaga maupun sarana, sehingga terjadi sebuah spesialisasi dalam
pelayanan, dan antar rumah sakit dapat bekerja sama dalam bentuk rujukan dalam
penanganan masalah kesehatan, di samping membentuk jalinan distribusi pasien,
agar tidak menumpuk dan mengakibatkan menurunnya kualitas pelayanan kesehatan
kepada masyarakat yang memerlukannya.
2.3. TINGKAT PEMBANGUNAN EKONOMI Tingkat Pembangunan Ekonomi akan dilihat ada 3 indikator pendukungnya:
1. Ekonomi Makro, yang meliputi: laju pertumbuhan ekonomi, persentase ekspor
terhadap PDRB, Persentase output manufaktur terhadap PDRB, persentase output
UMKM terhadap PDRB, pendapatan per kapita, dan laju inflasi.
2. Investasi, meliputi: persentase pertumbuhan realisasi invetasi PMA, dan persentase
pertumbuhan realisasi investasi PMDN.
3. Infrastruktur, meliputi: panjang jalan nasional berdasaran kondisi dalam km, panjang
jalan provinsi dan kabupaten berdasarkan kondisi dan penambahan panjang jalan
provinsi per tahun.
2.3.1. Capaian Indikator
Grafik capaian indikator outcomes Provinsi Kalimantan Selatan dibandingkan
dengan capaian indikator outcomes nasional dan analisa.
-
10,00
20,00
30,00
40,00
50,00
60,00
2004 2005 2006 2007 2008 2009(1,00)
(0,50)
-
0,50
1,00
1,50
2,00
DAERAHNASIONALDAERAHNASIONAL
23
Analisis Relevansi
Relevansi digunakan untuk menganalisa sejauh mana tujuan/sasaran
pembangunan yang direncanakan mampu menjawab permasalahan
utama/tantangan. Dalam hal ini, relevansi pembangunan daerah Kalimantan
Selatan dilihat apakah tren capaian pembangunan daerah sejalan atau lebih baik
dari capaian pembangunan nasional.
Sejak tahun 2004 hingga 2008 indikator outcome Kalimantan Selatan berada
pada kisaran 9,50%, sementara indikator outcome Nasional berfluktuatif secara
besar dalam kisaran 34%, secara aggregatif memang tren capaian pembangunan
daerah tidak sebaik dari capaian pembangunan nasional. Namun kalau kita
perhatikan masing-masing indikator hasil (out-put) pendukung capaian
pembangunan daerah misalnya pertumbuhan ekonomi sudah sejalan dengan
capaian pembangunan nasional, bahkan untuk tahun 2007 dan 2008
menunjukan hasil diatas target (RPJMD) masing-masing 5,54% realisasinya
6,08% dan 5,70% realisasinya 6,37%.
Kalau kita perhatikan pada masing-masing indikator hasil (out-put)
pendukung pada ekonomi makro dari enam indikator secara rata-rata pertahun
yang relevan ada dua indikator yaitu laju pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi,
sementara indikator lainya tidak relevan. Indikator hasil pendukung secara rata-
rata pertahun misalnya laju pertumbuhan ekonomi daerah (5,58%) berada diatas
nasional (5,35%), sedangkan laju inflasi daerah secara rata-rata (9,82%) dan
nasional (9,35%). Sedangkan indikator-indikator daerah lainnya secara rata-rata
berada dibawah nasional.
Analisis Efektivitas
Efektivitas digunakan untuk mengukur dan melihat kesesuaian antara hasil dan
dampak pembangunan terhadap tujuan yang diharapkan. Efektivitas
pembangunan dapat dilihat dari sejauh mana capaian pembangunan daerah
Kalimantan Selatan membaik dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Sejak tahun 2004 hingga 2008 indikator outcome Kalimantan Selatan berada
pada kisaran 9,50%, kalau kita perhatikan penurunan terjadi pada tahun 2005.
Kemudian pada tahun 2006 terjadi kenaikan yang sebelumnya 8,89% menjadi
9,01%, lalu pada tahun 2007 naik menjadi 9,60% kemudian naik lagi pada tahun
2008 menjadi 10,45%.
24
Kalau kita perhatikan pada masing-masing indikator hasil (out-put)
pendukung pada ekonomi makro dari enam indikator yang efektif ada tiga
indikator yaitu laju pertumbuhan ekonomi, persentase ekspor terhadp PDRB dan
pendapatan perkapita, sementara indikator lainya tidak efktif. Indikator hasil
pendukung secara rata-rata pertahun misalnya laju pertumbuhan ekonomi daerah
(5,60%), persentase ekspor terhadap PDRB (12,09%), dan pendapatan perkapita
(6,58%). Sedangkan indikator-indikator daerah lainnya secara rata-rata mengalami
penurunan.
2.3.2. Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol Gambaran dan analisa capaian indikator pendukung outcomes yang spesifik dan
menonjol.
Pertumbuhan Ekonomi
Jika diamati struktur ekonomi Kalimantan Selama beberapa tahun
terakhir ini 2004-2008 terjadi beberapa pergeseran struktur ekonomi,
sehingga kontribusi masing-masing sektor dari sembilan sektor pembentuk
PDRB, sektor primadona berubah-ubah sejak tahun 2004 (sektor
keuangan), 2005 (sektor Bangunan), 2006 (sektor pertambangan), dan 2007
(sektor keuangan) serta 2008 (sektor pertambangan).
Namun demikian, sasaran pembangunan yang tepat untuk saat ini bagi
Kalimantan Selatan bukanlah merubah struktur ekonomi tetapi lebih pada
peningkatan daya tahan sektor terhadap iklim usaha yang sering berubah-ubah.
Sektor yang mempunyai daya tahan tinggi tentunya akan mampu
mengembangkan dirinya sehingga pada gilirannya akan meningkatkan
peranan/kontribusi sektor yang bersangkutan dalam struktur ekonomi di
wilayahnya.
PDRB Per Kapita
Peningkatan besaran PDRB dapat dipengaruhi oleh dua sisi, yaitu sisi
permintaan dan sisi supply/produksi. Dan sisi produksi, output suatu kegiatan
ekonomi dipengaruhi oleh modal, tenaga kerja dan teknologi. Ketiga faktor tersebut
akan mempengaruhi besarnya output suatu kegiatan ekonomi. Peningkatan modal
25
dan kemajuan teknologi akan menyebabkan effisiensi dan meningkatkan
produktivitas, Sementara itu, jumlah dan kualitas tenaga kerja juga akan
meningkatkan output suatu kegiatan ekonomi.
Kesejahteraan penduduk secara ekonomi sebenarnya dapat diukur dari
pendapatan per kapita penduduk di suatu wilayah. Secara teori, pendapatan
penduduk dapat diperoleh dengan menghilangkan porsi pendapatan yang dimiliki
oleh penduduk luar Kalimantan Selatan dan menambah porsi pendapatan penduduk
Kalimantan Selatan yang berada di wilayah luar Kalimantan Selatan (transfer in -
transfet out). Oleh karena lalu lintas dan kepemilikan modal antar region di Indonesia
cukup sulit didapatkan maka besaran PDRB per kapita menjadi ukuran altematif
untuk melihat kesejahteraan penduduk.
PDRB per kapita dapat dilihat dari dua sisi, yaitu PDRB per kapita atas
dasar harga berlaku dan PDRB per kapita atas dasar harga konstan. PDRB per
kapita atas dasar harga berlaku menggambarkan besarnya produktivitas perorangan
yang masih dipengaruhi oleh perubahan harga dari komoditi yang diproduksinya.
Sedangkan PDRB per kapita atas dasar harga konstan berguna untuk mengetahui
pertumbuhan nyata ekonomi per kapita.
Tren kenaikan yang terjadi pada PDRB per kapita atas harga berlaku
dengan besaran yang relatif tinggi disebabkan oleh pengaruh harga barang dan
jasa yang cenderung terus meningkat.
Ekspor Kalimantan Selatan
Selama periode 2004 — 2008 perkembangan nilai ekspor Kalimantan
Selatan menunjukkan kondisi yang cukup balk dimana selarna kurun waktu tersebut
nilai ekspor terus mengalami peningkatan. Sejak tahun 2005 kontribusi nilai ekspor
terhadap PDRB Kalimantan Selatan sudah 9,10%, tahun 2006 (10,85%), tahun
2007 (11,45%) dan pada tahun 2008 (29,05%). Komoditas ekspor ini terutarna
didorong oleh produksi batubara yang terus bertambah dengan kontribusi lebih dad
90% terhadap total ekspor.
26
Penanaman Modal
Investasi atau penanaman modal merupakan salah satu variabel
ekonomi yang penting dan mampu menggerakkan perekonomian. Beberapa
teori ekonomi menyebutkan betapa pentingnya peranan investasi dalam
meningkatkan output. Beberapa peningkatan output ekonomi suatu daerah
akibat perubahan investasi sangat tergantung dari besarnya ICOR
(Incremental Capital Output Ratio).
Upaya-upaya positif telah dilakukan pemerintah dalam rangka untuk lebih
menarik minat investor baik investor dalam negeri maupun investor asing untuk
menanamkan modalnya Upaya-upaya tersebut diantaranya dengan
meningkatkan keamanan dan menumbuhkan iklim yang kondusif bagi investasi
serta pemberian fasilitas bagi investor yang akan menanamkan modalnya.
Sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam, provinsi
Kalimantan Selatan telah lama menjadi salah satu daerah tujuan investasi di
Indonesia. Sampai dengan tahun 2007 dan 2008 realisasi PMDN maupun PMA
mengalami pertumbuhan yang positif.
Laju Inflasi Kota Banjarmasin
Pada tahun 2008 secara umum laju inflasi Banjarmasin mencapai 11,00%
memang bila clibandingkan dengan laju inflasi satu tahun sebelumnya terjadi
kenaikan namun nilai tersebut masih dibawah inflasi nasional. Dilihat dari series
waktu selama tahun 2004 hingga 2008 di Kota Banjarmasin terjadi inflasi yang
berfluktuatif, seperti halnya juga inflasi nasional.
Gerakan inflasi bulanan di Kota Banjarmasin, banyak dipengaruhi oleh
momen tertentu dan kondisi transportasi serta musim. Momen perayaan hari besar
agama clan tahun baru merupakan momen yang merubah komposisi permintaan clan
penawaran barang dan jasa di pasaran. Umumnya pada momen tersebut
permintaan terhadap makanan bailk bahan makanan maupun makanan jadi
dan permintaan sandang, serta transportasi bertambah tinggi.
27
Untuk faktor musim, biasanya berpengaruh pada harga barang-
barang bahan makanan produk pertanian terutarna padi dan palawija,
sedangkan faktor kondisi transportasi akan mempengaruhi
kesinambungan barang-barang yang didatangkan dari luar pulau.
2.3.3. Rekomendasi Kebijakan Rekomendasi dari analisa capaian indikator pendukung outcomes yang spesifik
dan menonjol adalah ;
1. Diperlukan peningkatan daya tahan sektor terhadap iklim usaha yang sering
berubah-ubah. Sektor yang mempunyai daya tahan tinggi tentunya akan
mampu mengembangkan dirinya sehingga pada gilirannya akan
meningkatkan peranan/kontribusi sektor yang bersangkutan.
2. Diperlukan usaha yang lebih keras untuk menciptakan kondisi kondusif bagi
iklim investasi,
3. Pertumbuhan menaik sementara kontribusi manufaktur maupun kontribusi
UMKM menurun jadi struktur ekonomi Kalimantan Selatan bangunan,
angkutan dan jasa-jasa.
2.4. KUALITAS PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM Indikator Kualitas Pengelolaan Sumber Daya Alam dilihat dari indikator
pendukungnya, meliputi:
1. Kehutanan, yang meliputi: persentase luas lahan rehabilitasi dalam hutan,
rehabilitasi lahan luar hutan, dan luas kawasan konservasi.
2. Kelautan, meliputi: jumlah tindak pidana perikanan, persentase terumbu karang
dalam keadaan baik, dan luas kawasan konservasi laut
28
2.4.1 Capaian Indikator
Pengelolaan sumberdaya alam di Kalimantan Selatan meliputi sumberdaya
alam berupa hutan dan laut.
Sektor kehutanan di Kalimantan Selatan saat ini sedang menghadapi
permasalahan dan juga menjadi isu nasional maupun internasional, antara lain:
• Kerusakan sumberdaya hutan dan lingkungan,
• Kemiskinan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan,
• Ekses negatif permintaan kayu,
• Konflik sosial dan konflik penggunaan kawasan hutan,
• Kabut asap sebagai efek kebakaran lahan dan hutan,
• Ecolabel dan persaingan di pasar global.
Di Kalimantan Selatan hutan alam yang tersisa tinggal di hutan lindung
Pegunungan Meratus, dan itu pun hanya terdapat di daerah-daerah yang sulit
dijangkau oleh manusia. Hutan tanaman industri sebagian besar mengalami
stagnan. Kemudian di kawasan lindung/daerah tangkapan air (catchment area)
tersisa pohon berukuran kecil yang ditinggalkan penebang liar karena tidak laku
dijual. Hutan tanaman yang dilaksanakan dalam beberapa tahun terakhir
dengan berbagai dana hasilnya jauh di bawah laju kerusakan hutan.
Dengan kondisi hutan seperti sekarang ini, memang tidak terlepas dari
kesalahan pengelolaan di masa lalu, antara lain adanya eksploitasi besar-
0,005,00
10,0015,0020,0025,0030,0035,0040,0045,0050,00
2004 2005 2006 2007 2008 2009-20,000,0020,0040,0060,00
80,00100,00120,00140,00160,00
NasionalKalselNasionalKalsel
29
besaran terhadap hutan yang tidak diikuti dengan penanaman. Kondisi ini
semakin parah dengan semakin maraknya kegiatan illegal loging di seluruh
daerah Kalimantan Selatan serta sering terjadinya kebakaran hutan yang
melanda daerah ini pada musim kemarau. Penanaman hutan yang tidak
disertai dengan kegiatan pemeliharaan menambah daftar kesalahan yang
membuat kegagalan mengatasi kerusakan hutan yang ada. Penambangan liar
(illegal mining) yang merambah di seluruh fungsi hutan membuat hutan yang
ada semakin rusak, sehingga degradasi hutan dan deforestasi terjadi di seluruh
daerah.
Degradasi hutan dan deforestasi mengakibatkan turunnya kemampuan
sumberdaya hutan. Oleh karena itu pengelolaan hutan yang lebih serius dan
bijaksana dalam rangka pembangunan hutan yang berkelanjutan sangat
diperlukan guna mencegah kerusakan lebih lanjut.
Konservasi sumberdaya hutan dilakukan melalui rehabilitasi lahan kritis di
dalam hutan, rehalibilitas lahan di luar hutan dan pendirian kawasan
konservasi. Rehabilitasi lahan kritis dilakukan dengan melakukan kegiatan
gerakan nasional rehabilitasi hutan dan lahan yang didanai APBN dan APBD
serta dengan rehabilitasi hutan rakyat yang didanai APBD.
Di bidang kelautan, Kalimantan Selatan memiliki area perairan laut seluas
155.330,85 ha, dimana 136.437,88 ha merupakan zona perikanan
berkelanjutan. Masalah di perairan laut dan pesisir adalah masalah
pelanggaran pidana di bidang perikanan yang makin meningkat baik oleh
nelayan sendiri maupun nelayan dari luar provinsi, serta kerusakan terumbu
karang yang makin meningkat pesat sejak tahun 2000.
Tindakan pengelolaan sumberdaya alam yang selama ini telah dilakukan oleh
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, antara lain berupa kegiatan GNRHL,
rehabilitasi hutan rakyat, rehalibilitas lahan di luar hutan dan pendirian kawasan
konservasi, pembentukan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Adapun
kualitas dari tindakan pengelolaan tersebut dapat dilihat dari capaiaan indikator
kualitas pengelolaan sumberdaya alam yang dapat dilihat pada Gambar 2.4.1.
Dari gambar terlihat kualitas pengelolaan sumberdaya alam di Kalimantan
30
Selatan berfluktuasi tajam, meningkat cukup tajam di tahun 2006 dan 2008 dan
jauh di atas rata-rata nasional.
Gambar 2.4.1. Capaian Indikator Kualitas Pengelolaan Sumberdaya Alam
Gambar 2.4.2. Trend Kualitas Pengelolaan Sumberdaya Alam. Trend kulitas pengelolaan kulitas smberdaya alam juga menunjukkan trend
yang berfluktuasi. Trend meningkat tajam di tahun 2006 dan 2008.
Hal ini disebabkan pada tahun-tahun tersebut dilakukan survey terhadap
kualitas terumbu karang dan tersedianya dana yang mencukupi untuk
rehabilitasi lahan hutan. Ketersediaan dana ini seiring dengan terjadinya
31
peningkatan pendapatan daerah antara tahun 2006 dan 2008, yaitu dari Rp
1.179.994.168.778,30 (tahun 2006) menjadi Rp 1.875.512.776.977,70 (tahun
2008).
2.4.2 Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol
Kalimantan Selatan memiliki luas lahan kritis seluas 555,98 ribu hektar pada
tahun 2004 atau sekitar 14,81% dari luas areal hutan. Selama tahun 2004
sampai saat ini terus dilakukan reboisasi untuk mengatasi hal tersebut. Hasil
capaian rehabilitasi lahan ini dapat dilihat pada Gambar 2.4.1.
Keterangan : Garis trend menggunakan metode Two Periode Moving Average Gambar 2.4.3. Persentase Luas Lahan Rehabilitasi terhadap Lahan Kritis Gambar 2.4.3 terlihat bahwa persentase luas lahan rehabilitasi dalam hutan
terhadap lahan kristis dari tahun 2004-2009 cenderung berfluktuasi. Hal ini
disebabkan oleh ketersediaan dana. Keadaan yang fluktuatif ini juga sejalan
dengan yang dicapai secara nasional, yaitu 0,4% pada tahun 2004 menurun
menjadi 0,32% pada tahun 2006.
Capaian persentase luas lahan rehabilitasi terhadap lahan kritis ini terkendala
oleh beberapa faktor. Kendala utama kenapa capaian indicator ini berfluktuasi
adalah karena program rehabilitasi lahan sangat tergantung hanya pada APBN.
32
Sedangkan dana APBD yang terbatas lebih diperuntukkan bagi pengembangan
hutan rakyat.
Tahun 2004, lahan kritis yang direhabilitasi seluas 0,52%, kemudian turun
menjadi 0,29% di tahun 2005. Tahun 2006 0,95% lahan kritis telah direhabilitasi
dan merupakan persentase tertinggi selama kurun waktu lima tahun terakhir.
Namun, persentase ini semakin menurun menjadi 0,35% pada tahun 2007 dan
terus turun menjadi 0,02% di tahun 2008. Tahun 2008 dana rehabilitasi hanya
bersumber dari APBD untuk pengembangan hutan rakyat. Jadi, sejak tahun
2006, tren perkembangan persentase luas lahan rehabilitasi cenderung
menurun. Hal ini sama dengan apa yang terjadi di tingkat nasional.
Program rehabilitasi lahan luar hutan meliputi pengembangan hutan kota. Luas
lahan yang direhabilitasi cenderung berfluktuasi menurun selama tahun 2004-
2007. Dari seluas 12,74 ribu hektar menurun menjadi 940 hektar pada tahun
2005. Pada tahun 2006 dan 2007 kembali meningkat menjadi 12,14 ribu hektar
Hasil capaian ini sejalan dengan apa yang dicapai secara nasional (lihat
Gambar 2.4.4).
Keterangan : Garis trend menggunakan metode Two Periode Moving Average Gambar 2.4.4. Luas Rehabilitasi Lahan Luar Hutan Lahan konservasi di Kalimantan Selatan meliputi taman hutan raya, cagar alam,
taman wisata alam dan suaka margasatwa. Luas lahan konservasi ini cederung
turun yaitu dari 212,63 ribu hektar dari tahun 2005 turun menjadi 209,04 ribu
33
hektar pada tahun 2008. Hal yang sama juga terjadi pada kondisi nasional (lihat
Gambar 2.4.5)
Keterangan : Garis trend menggunakan metode Two Periode Moving Average Gambar 2.4.5. Luas Kawasan Konservasi Provinsi Kalimantan Selatan juga memiliki kawasan perairan laut seluas
155.330,85 ha dimana 136.437,88 ha merupakan zona perikanan
berkelanjutan. Hal ini sangat potensial untuk dikembangkan sesuai dengan misi
pembangunan bidang perikanan dan kelautan.
Misi pembangunan bidang perikanan dan kelautan adalah memberdayakan
pembudidaya ikan dan nelayan menuju masyarakat perikanan dan kelautan
yang mandiri, maju, sejahtera dan berkeadilan serta memanfaatkan
sumberdaya perairan, pesisir dan pelautan secara optimal, berkesinambungan
dan berwawasan lingkungan dalam rangka meningkatkan ekonomi wilayah dan
rakyat, mengembangkan sosial budaya, peningkatan sumberdaya manusia,
sumberdaya alam dan sumberdaya buatan serta lingkungan hidup.
Perairan laut yang potensial ini juga harus dijaga melalui pengawasan dan
penegakan hukum agar lestari dan mampu meningkatkan ekonomi rakyat.
Tujuan dari kegiatan pengawasan dan penegakan hukum adalah melestarikan
sumberdaya perikanan agar tercapainya kondisi pengelolaan sumberdaya ikan
yang lestari dan berkelanjutan, meminimalkan illegal fishing dan memfasilitasi
penyidikan dan pemberkasan perkara tindak pidana perikanan. Dari 40 orang
34
yang melakukan pelanggaran tindak pidana bidang perikanan baik di perairan
umum maupun laut baru dilakukan penyidikan dan pemberkasan perkara
sebanyak 14 orang dari dana APBN tahun 2008. Anggaran dana yang terserap
untuk pengawasan hanya 74,93% sehingga realisasi anggaran dana
pengawasan hanya 78,47%.
Secara nasional, trend jumlah kasus pidana perikanan cenderung menurun,
yaitu dari 200 kasus di tahun 2004 turun menjadi 154 kasus di tahun 2007.
Trend jumlah kasus di Kalsel sendiri cenderung meningkat. Hal ini karena
selain adanya peningkatan anggaran pengawasan, juga pelanggaran yang
dulunya ringan sekarang mulai diajukan ke pengadilan.
Keterangan : Garis trend menggunakan metode Two Periode Moving Average Data Tahun 2009 sampai dengan Juni 2009 Gambar 2.4.6. Jumlah Tindak Pidana Perikanan Provinsi Kalimantan Selatan memiliki potensi terumbu karang diperkirakan
seluas 1.623,98 ha (tahun 2008). Terumbu karang ini berada di Kabupaten
Kotabaru (P. Laut Barat, P. Laut Selatan dan P. Laut Sembilan) seluas 1.308 ha
dan sisanya Kabupaten Tanah Bumbu (Kec. Angsana). Antara tahun 2004-
2007 belum ada data yang kontinue tentang kondisi terumbu karang secara
menyeluruh. Hanya pada tahun 2006 dilakukan survey terbatas di perairan
seluas 41 ha di Kec. Angsana, Kab. Tanah Bumbu. Hasil survey menunjukkan
bahwa 20% terumbu karang dalam kondisi kritis, sedangkan terumbu karang
dalam kondisi baik hanya 53,93%.
35
Kerusakan terumbu karang semakin meningkat sejak tahun 2000. Nelayan-
nelayan dari luar P. Kalimantan diduga membongkar terumbu jenis abalone dan
jenis terumbu karang lainnya.
Keterangan : Garis trend menggunakan metode Two Periode Moving Average Gambar 2.4.7. Persentase Terumbu Karang dalam Keadaan Baik Beberapa tindakan dilakukan untuk menjaga kelestarian terumbu karang.
Tindakan awal diantaranya melakukan survey dan pemetaan tentang kondisi
terumbu karang dan pembentukan kawasan konservasi.
Kegiatan survey dan pemetaan kondisi terumbu karang terkendala oleh biaya
dan peralatan. Untuk itu perlu kerjasama dengan lembaga-lembaga penelitian
swasta dan pengusaha yang berminat menjadikan terumbu karang sebagai
obyek wisata bawah laut.
Pembentukan kawasan konservasi dilakukan dengan prgram Kawasan
Konservasi Laut Daerah (KKLD). Sampai dengan tahun 2008 diperkirakan luas
KKLD adalah 22.119 ha. Pembentukan KKLD memerlukan biaya yang besar,
sehingga setiap tahun diperkirakan hanya dapat membentuk 1 KKLD baru
seluas 100 ha.
36
Keterangan : Garis trend menggunakan metode Two Periode Moving Average Gambar 2.4.8. Luas Kawasan Konservasi Laut Dengan KKLD diharapkan pemerintah daerah dan masyarakat lokal dapat lebih
berperan dalam menjaga kelestarian laut dengan segala isinya.
2.4.3 Rekomendasi Kebijakan
Visi dari pembangunan kehutanan di Kalimantan selatan adalah terwujudnya
hutan lestari dan masyarakat yang tertib dan maju. Artinya pengelolaan hutan
dilakukan untuk memperoleh manfaat yang optimal dan lestari serta
penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk membuat masyarakat tertib dalam
mengelola hutan sehingga bisa maju taraf kehidupannya.
Dalam paradigma lama, hutan hanya dipandang sebagai penghasil kayu saja,
sehingga terjadi penebangan yang tidak terkendali dan maraknya illegal
logging. Hal ini mengakibatkan terjadinya degradasi hutan dan deforestasi yang
berujung pada terjadinya bencana seperti tanah longsor, banjir, kebakaran
hutan dan perubahan iklim. Degradasi hutan dan deforestasi yang terjadi di
Kalimantan Selatan mengakibatkan turunnya kemampuan sumberdaya hutan.
Oleh karena itu pengelolaan hutan yang lebih serius dan bijaksana dalam
rangka pembangunan hutan yang berkelanjutan sangat diperlukan guna
mencegah kerusakan lebih lanjut
37
Pada masa kini dan masa yang akan datang perlu adanya kebijakan yang lebih
menekankan pada pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dibanding
pemanfaatan hasil kayunya. Kalimantan Selatan memiliki sumber hasil hutan
bukan kayu yang potensial, seperti terlihat pada Tabel 2.4.1.
Hal ini sesuai dengan paradigma baru hutan yang multi guna, multi fungsi dan
multi kepentingan. Pengembangan HHBK merupakan salah satu upaya
pelaksanaan multi guna hutan. Selain itu perlu kebijakan yang mendorong
pada penerapan konsep Close to Nature Forest (CNF) yang mengarahkan
pada pemanfaatan hutan tanpa harus merusak atau melakukan pembukaan
lahan hutan secara berlebihan. Kebijakan lainnya yang mendukung seperti
peningkatan peran masyarakat local, penetapan perlindungan terhadap hutan
dan merehabilitasi hutan yang rusak, serta penelitian terintegrasi tentang HHBK
Tabel 2.4.1. Potensi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) di Kalimantan
Selatan
No. Jenis HHBK Golongan HHBK
1. Resin Damar, kemenyan, gaharu 2. Minyak atsiri Minyak gaharu, minyak terpentin, kayu manis 3. Minyak lemak,
karbohidrat, dan buah-buahan
• Minyak lemak: kemiri, jarak, biji mangga • Karbohidrat atau buah-buahan: aren, nipah,
duren, duku, nangka, mente, mangga, sukun, saga, gadung, talas ubi, rebung, jamur, madu, dan lain-lain
4. Tanin dan getah • Tanin : bruguiera, rizophora, pinang, gambir • Getah : jelutung, getah karet, gemor, dan lain-
lain5. Tanaman obat dan
tanaman hias • Tanaman obat : aneka jenis tanaman obat dari
hutan • Tanaman hias : anggrek hutan, palmae, pakis,
dan lain-lain 6. Rotan dan bambu Beberapa jenis rotan dan bambu 7. Hasil hewan Sarang burung, telur, daging, ikan, burung, lilin
lebah, kulit, aneka hewan yang tidak dilindungi 8. Jasa hutan Air, udara (oksigen), rekreasi/ekoturisme,
penyanggah ekosistem alam 9. Lain-lain ijuk, pandan, arang, sirap, gemor, purun, rumput
gajah, gelam, dan lain-lain Sumberdaya pesisir, laut dan pulau-pulau kecil serta daerah dataran rendah
berawa-rawa merupakan tumpuan kepentingan perikanan. Pengelolaan
perikanan yang bertanggungjawab sejalan dengan desentralisasi wewenang
pengelolaan dengan terbangunnya komitmen pemerintah provinsi dalam
penataan ruang untuk kepentingan perikanan. Regulasi mengacu pada
38
pengelolaan perikanan tangkap yang bertanggungjawab dan penzonasian
wilayah ekologis untuk kepentingan perikanan akan mewujudkan pemanfaatan
sumberdaya ikan/penangkapan ikan yang optimal. Selain itu perlu adanya
kebijakan yang dapat mendorong kepada percepatan kegiatan survey dan
inventarisasi potensi terumbu karang, potensi wisata pulau-pulau kecil,
penetapan kawasan konservasi dan rehabilitasi lingkungan hidup sumberdaya
ikan, revitalisasi aturan-aturan lokal tentang penangkapan dan budidaya ikan,
regulasi pemanfaatan sumberdaya ikan, pengembangan potensi sumberdaya
ikan spesifik dan lokal, diversifikasi produk perikanan dan kelautan bagi industri
dan perdagangan.
2.5. TINGKAT KESEJAHTERAAN RAKYAT Tingkat kesejahteraan sosial mencakup:
1. Persentase penduduk miskin
2. Tingkat pengangguran terbuka
3. Persentase pelayanan kesejahteraan bagi anak (terlantar, jalanan, nakal dan
cacat)
4. Persentae pelayanan kesejahteraan sosial bai lanjut usia
5. Persentase pelayanan dan rehabilitasi sosial (Penyandang cacat, una sosial, dan
korban penyalahgunaan Napza)
2.5.1 Capaian Indikator
86,00
88,00
90,00
92,00
94,00
96,00
98,00
2004 2005 2006 2007 2008 2009-0,08
-0,06
-0,04
-0,02
0,00
0,02
0,04
0,06
0,08
NasionalKalselNasionalKalsel
39
Peningkatan kesejahteraan sosial merupakan salah satu tujuan pembangunan
di Kalimantan Selatan, sesuai dengan Visi pembangunan Provinsi Kalimantan
Selatan, yaitu TERSENYUM (Terwujudnya Masyarakat Kalimantan Selatan
yang Tertib, Sejuk, Nyaman, Unggul, dan Maju).
Masyarakat yang unggul dan maju ditandai oleh kokohnya ketahanan pilar-pilar
pembangunan dan daya saing yang tinggi baik dalam bidang ekonomi,
pemerintahan, sosial budaya, kehidupan politik, maupun kualitas sumberdaya
manusianya. Khusus yang menyangkut aspek sumberdaya manusia,
masyarakat yang unggul dan maju terdiri atas sumberdaya manusia yang
memiliki daya saing, daya sanding, daya juang, dan saring yang prima. Kondisi
ini akan terwujud apabila fungsi pencapaian tujuan sistem sosial efektif
menjalankan perannya.
Salah satu tujuan pembangunan adalah peningkatan kesejahteraan sosial.
Selama tahun 2004-2009 capaian tingkat kesejateraan sosial dapat dilihat
pada Gambar 2.5.1.
Gambar 2.5.1. Capaian Indikator Tingkat Kesejahteraan Sosial
Gambar 2.5.1 bahwa sejak tahun 2005, tingkat kesejateraan sosial Provinsi
Kalimantan Selatan terus mengalami peningkatan, dari 89,69% menjadi
96,30% pada tahun 2008. Dari Gambar juka terlihat bahwa sejak tahun 2005
persentase tingkat kesejahteraan Provinsi Kalimantan Selatan masih di bawah
persentase rata-rata nasional. Namun pada tahun 2008 persentase tingkat
40
kesejateraan sosial telah berada di atas rata-rata persentase nasional dan
terus meningkat.
Provinsi Kalimantan Selatan memiliki trend tingkat kesejahteraan sosial yang
positif sejah tahun 2005 (lihat Gambar 2.5.2). Bahkan, sejak tahun 2007, trend
tingkat kesejahteraan di Kalimantan Selatan melonjak drastis. Fenomena
tersebut disebabkan Kalimantan Selatan mampu menekan persentase
penduduk miskin dan persentase pengangguran terbuka serta persentase
pelayanan kesejateraan sosial. Meningkatnya kesejahteraan sosial/masyarakat
tersebut tidak terlepas dari keberhasilan Pemerintah Provinsi dalam
meningkatkan kemampuannya untuk membiayai program-program
pembangunan yang pro-rakyat, khususnya rakyat miskin. Peningkatan
kemampuan pembiayaan pembangunan tersebut diperoleh dari hasil
peningkatan pendapatan daerah, khususnya dari peningkatan pendapatan asli
daerah.
Gambar 2.5.2. Trend Tingkat Kesejahteraan Sosial
2.5.2 Analisis Capaian Indikator Spesifik dan Menonjol Banyak sedikitnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh garis
kemiskinan. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata
pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan pada suatu
daerah. Semakin tinggi garis kemiskinan, semakin banyak penduduk yang
digolongkan sebagai penduduk miskin. Sejak tahun 2006 persentase
41
penduduk miskin Kalimantan Selatan terus mengalami penurunan dari 8,32%
pada tahun 2006 menjadi 6,48% pada tahun 2008 (Gambar 2.5.3). Bahkan
data pada Maret 2009 (Susenas BPS, 2009) menunjukkan bahwa persentase
penduduk miskin turun menjadi 5,12%. Penurunan jumlah penduduk miskin
terjadi pada daerah perkotaan dan perdesaan. Kondisi ini membuat
Kalimantan Selatan memiliki penduduk miskin paling sedikit dibanding provinsi
lain di wilayah/regional Kalimantan. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan
kesejahteraan masyarakat di Kalimantan Selatan.
Secara umum, dari tahun 2004-2008 persentase penduduk miskin di
Kalimantan Selatan jauh di bawah rata-rata nasional. Secara nasional,
Provinsi Kalimantan Selatan berada pada peringkat ketiga jumlah penduduk
miskin yang paling sedikit setelah Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Bali.
Gambar 2.5.3. Persentase Penduduk Miskin
Dari tingkat pengangguran terbuka, terlihat bahwa sejak tahun 2005, tingkat
pengangguran terbuka terus mengalami penurunan dari 8.78% menjadi 6.91%
pada tahun 2008. Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi di tingkat nasional,
dimana tingkat pengangguran terbuka turun dari 14.22 pada tahun 2005
menjadi 8.46 pada tahun 2008. Dibandingkan dengan tingkat nasional, tingkat
pengangguran terbuka di Kalimantan Selatan ini lebih baik.
Namun bila tidak siantisipasi sedini mungkin, diperkirakan tahun-tahun ke
depan diperkirakan tingkat pengangguran terbuka di Kalimantan Selatan akan
meningkat. Hal ini disebabkan karena kelesuan perekonomian global sehingga
42
terjadinya PHK di beberapa perusahaan bidang perkayuan, kelapa sawit,
barubara dan pertambangan lainnya, serta adanya lulusan baik perguruan
tinggi maupun sekolah-sekolah kejuruan yang belum tentu terserap lapangan
kerja.
2.5.3 Rekomendasi Kebijakan Keberhasilan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tersebut tidak terlepas
dari keberhasilan Pemerintah Provinsi dalam meningkatkan pembiayaan
program pembangunan yang pro-rakyat, khususnya rakyat miskin.
Peningkatan kemampuan pembiayaan pembangunan tersebut diperoleh dari
hasil peningkatan pendapatan daerah, khususnya dari peningkatan
pendapatan asli daerah. Adapun data realisasi pendapatan daerah dan
pendapatan asli daerah (PAD) Kalimantan Selatan disajikan pada Tabel 2.5.1.
43
Tabel 2.5.1. Realisasi Pendapatan dan Pendapatan Asli Daerah Kalimantan Selatan 2005-2009
Tahun Pendapatan Daerah
(Rp) PAD (Rp)
% PAD thd Pendapatan
2005 931.338.238.447,14 538.913.230.610,14 57,86
2006 1.180.022.858.278,30 585.060.688.879,30 49,58
2007 1.374.741.818.296,00 701.158.331.382,00 51,00
2008 1.875.512.776.977,70 1.052.276.691.447,70 56,11
2009*) 1.532.940.729.943,10 733.906.167.889,00 47,88
*)angka sampai September 2009
Rasio rata-rata PAD Kal-Sel terhadap pendapatan daerah di atas 50%. Ini
berarti Kal-Sel masuk kategori sangat baik, dibanding kisaran rata-rata
nasional antara 10% sampai 30%. Hal ini menggambarkan bahwa
kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pembangunan dan
penyelenggaraan pemerintahan sangat baik.
44
BAB 3 KESIMPULAN
Dari hasil evaluasi kinerja pembangunan daerah di Provinsi Kalimantan Selatan
pada tahun 2009 dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Secara umum, kinerja pembangunan daerah di Provinsi Kalimantan Selatan sudah
relatif efektif dan relevan. Kondisi ini berkaitan erat dengan “membuminya” kebijakan
nasional dan kebijakan lokal yang memperhatikan kearifan lokal dan permasalahan
lokal serta cenderung mengarah pada kebijakan yang lebih pro-miskin dengan
pengalokasian APBD lebih besar pada pendidikan dan kesehatan serta penggratisan
beberapa pelayanan publik.
2. Secara spesifik, pada capaian tiap indikator adalah sebagai berikut:
a. Capaian indikator pada tingkat pelayanan publik dan demokrasi dapat dikatakan
sudah relevan dan efektif, walaupun demikian perlu ditingkatkan terutama untuk
kebijakan yang lebih sensitif gender.
b. Capaian indikator pada tingkat kualitas sumber daya manusia dapat dikatakan
efektif namun perlu peningkatan dari aspek relevansinya, karena dilihat dari IPM
masih di bawah standar nasional.
c. Capaian indikator pada tingkat pembangunan ekonomi cukup relevan dan efektif.
d. Pembangunan pengelolaan SDA di Kalimantan Selatan telah berjalan secara
relevan dan efektif.
e. Pembangunan kesejahteraan rakyat di Kalimantan Selatan juga telah relevan dan
efektif, terutama dalam hal penurunan jumlah penduduk miskin dan penganguran
terbuka.