Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM
description
Transcript of Laporan Akhir EKPD 2010 - Sulbar - UNM
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
izin-Nya sehingga laporan penelitian ini dapat diselesaikan sesuai rencana.
Laporan ini dibuat sebagai pertanggungjawaban akhir tahun dari Tim Peneliti
Independen Universitas Negeri Makassar (UNM) dalam melakukan Evaluasi
Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) Provinsi Sulawesi Barat tahun 2010.
Evaluasi kinerja pembangunan daerah Provinsi Sulawesi Barat ini
bertujuan untuk mengetahui capaian pembangunan daerah sesuai dengan
rencana strategis pembangunan daerah dan untuk mengetahui manfaat hasil
pembangunan yang telah dirasakan oleh warga masyarakat. Dengan kata lain,
sesuai dengan indikator capaian yang diharapkan oleh Bappenas maka tim
peneliti berharap agar hasil penelitian ini menyajikan hasil Evaluasi RPJMD telah
mengacu pada RPJMN 2004-2009 sesuai ketentuan Undang-undang nomor 25
tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
memberikan kontribusi dalam pelaksanaan hingga tersusunnya laporan EKPD
Provinsi Sulawesi Barat ini. Secara khusus terima kasih disampaikan kepada
Deputi EKPD Bappenas yang memberikan kepercayaan kepada tim peneliti UNM
dalam melakukan tugas ini. Begitu pula terima kasih disampaikan kepada tim
peneliti yang telah bekerja keras melakukan penelitian hingga selesainya laporan
dibuat. Akhirnya, saya berharap agar kerjasama yang baik ini dapat terus terjalin
di masa akan datang.
Makassar, 09 November 2010 Rektor Universitas Negeri Makassar,
Prof. DR. H. Arismunandar, M.Pd.
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ................................................................................................. iv
DAFTAR GRAFIK ............................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1 1. 1 Latar Belakang . ..................................................................... 1 1. 2 Tujuan dan Sasaran .............................................................. 3 1. 3 Keluaran ............................................................................... 3
BAB II HASIL EVALUASI PELAKSANAAN RPJMN 2004-2009 ............ 4
A. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG AMAN DAN DAMAI ........................................................................... 5 1. Indikator ........................................................................... 5 2. Analisis Capaian Indikator ................................................ 6 3. Rekomendasi Kebijakan ................................................... 8 B. AGENDA PEMBANGUNAN INDONESIA YANG ADIL DAN . DEMOKRASI ......................................................................... 10 1. Indikator ............................................................................ 10 2. Analisis Capaian Indikator ............................................... 11 3. Rekomendasi Kebijakan ................................................... 22 C. AGENDA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT .. 24 1. Indikator ........................................................................... 24 2. Analisis Capaian Indikator ............................................... 26 3. Rekomendasi kebijakan ................................................... 91 D. KESIMPULAN ........................................................................ 93 BAB III RELEVANSI RPJMN 2010-2014 DENGAN RPJMD PROVINSI 95 1. Pengantar .............................................................................. 95 2. Prioritas dan Program Aksi Pembangunan nasional ............. 98 3. Rekomendasi ........................................................................ 98 a. Rekomendasi Terhadap RPJMD Provinsi ........................ 98 b. Rekomendasi Terhadap RPJMN ...................................... 100 BAB III KESIMPULAN ............................................................................ 102
1. Kesimpulan ............................................................................ 102
2. Rekomendasi ........................................................................ 104
iv
DAFTAR TABEL Halaman
TABEL 1 INDIKATOR PEMBANGUNAN INSONESIA YANG AMAN DAN 5
DAMAI
TABEL 2 INDIKATOR AGENDA MEWUJUDKAN INDONESIA YANG ADIL
DAN DEMOKRATIS ........................................................................ 10
TABEL 3 INDIKATOR AGENDA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN RAKYAT ........................................................................................... 25
TABEL 4 JUMLAH PENDUDUK MENURUT KABUPATEN PROV. SULBAR .. 50
v
DAFTAR GRAFIK
Halaman
GRAFIK 1 INDEKS KRIMINALITAS .................................................................. 6
GRAFIK 2 PRESENTASE KASUS KORUPSI YANG TERTANGANI DIBANG
KAN YANG DILAPORKAN ……………………………………………. . 11
GRAFIK 3 GENDER DEPELOVMENT INDEKS ................................................. 17
GRAFIK 4 GENDER DEPELOVMENT INDEKS ................................................. 18
GRAFIK 5 GENDER EMPOWERMENT MEASUREMENT ................................ 20
GRAFIK 6 GENDER EMPOWERMENT MEASUREMENT ................................ 21
GRAFIK 7 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA .............................................. 27
GRAFIK 8 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA ............................................... 29
GRAFIK 9 ANGKA PARTISIPASI MURNI & KASAR TINGKAT SD .................. 32
GRAFIK 10 ANGKA MELEK HURUF (%) 15 THN KEATAS .............................. 35
GRAFIK 11 ANGKA MELEK HURUF (%) 15 THN KEATAS .............................. 38
GRAFIK 12 ANGKA KEMATIAN BAYI ............................................................... 41
GRAFIK 13 KONTRACEPTIVE PREPALENCE RATE ........................................ 47
GRAFIK 14 JUMLAH AKSEPTOR BARU & AKSEPTOR AKTIF .......................... 49
GRAFIK 15 PERTUMBUHAN PENDUDUK ....................................................... 51
GRAFIK 16 PERTUMBUHAN PENDUDUK ....................................................... 52
GRAFIK 17 LAJU PERTUMBUHAN EKONOMI .................................................. 54
GRAFIK 18 PENDAPATAN PERKAPITA ............................................................ 58
GRAFIK 19 LAJU I N F L A S I ............................................................................. 59
GRAFIK 20 LAJU INFLASI SULBAR JUNI 2008 – MEI 2009 .............................. 60
GRAFIK 21 INFLASI BEBERAPA KELOMPOK PENGELUARAN ....................... 63
GRAFIK 22 NILAI REALISASI INVESTASI PMDN ( MILYAR RP) ....................... 67
GRAFIK 23 NILAI REALISASI INVESTASI PMA ( US JUTA)) ............................ 70
GRAFIK 24 KONDISI JALAN NASIONAL .......................................................... 77
vi
GRAFIK 25 PRESENTASE LUAS LAHAN REHABILITASI DALAMHUTAN TER
HADAP LAHAN KRITIS ................................................................... 81
GRAFIK 26 PRESENTASE PENDUDUK MISKIN ................................................ 87
GRAFIK 27 PERKEMBANGAN GARIS KEMISKINAN ........................................ 88
GRAFIK 28 PRESENTASE PENDUDUK MISKIN ................................................ 89
GRAFIK 29 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA & ANGKATAN KERJA .... 90
1
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), kegiatan evaluasi merupakan salah
satu dari empat tahapan perencanaan pembangunan yang meliputi penyusunan,
penetapan, pengendalian perencanaan serta evaluasi pelaksanaan perencanaan.
Sebagai suatu tahapan perencanaan pembangunan, evaluasi harus dilakukan
secara sistematis dengan mengumpulkan dan menganalisis data dan informasi untuk
menilai seberapa jauh pencapaian sasaran, tujuan dan kinerja pembangunan
tersebut dilaksanakan. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004-2009 telah selesai
dilaksanakan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2006
tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Pembangunan, pemerintah (Bappenas) berkewajiban untuk melakukan evaluasi
guna melihat seberapa jauh pelaksanan RPJMN tersebut.
Saat ini telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014.
Siklus pembangunan jangka menengah lima tahun secara nasional tidak selalu sama
dengan siklus pembangunan 5 tahun di daerah, sehingga penetapan RPJMN 2010-
2014 ini tidak bersamaan waktunya dengan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi. Hal ini menyebabkan prioritas dalam RPJMD
tidak selalu mengacu pada prioritas-prioritas RPJMN 2010-2014. Untuk itu perlu
dilakukan evaluasi relevansi prioritas/ program antara RPJMN dengan RPJMD
Provinsi.
1
2
Di dalam pelaksanaan kegiatan ini, dilakukan dua bentuk evaluasi yang
berkaitan dengan RPJMN. Bentuk pertama adalah evaluasi atas pelaksanaan
RPJMN 2004-2009 dan yang kedua penilaian keterkaitan antara RPJMD dengan
RPJMN 2010-2014.
Metode yang digunakan dalam evaluasi pelaksanaan RPJMN 2004-2009
adalah Evaluasi ex-post untuk melihat efektivitas (hasil dan dampak terhadap
sasaran) dengan mengacu pada tiga agenda RPJMN 2004 – 2009, yaitu: agenda
Aman dan Damai; Adil dan Demokratis; serta Meningkatkan Kesejahteraan
Rakyat. Untuk mengukur kinerja yang telah dicapai pemerintah atas pelaksanaan
ketiga agenda tersebut, diperlukan identifikasi dan analisis indikator pencapaian.
Sedangkan metode yang digunakan dalam evaluasi relevansi RPJMD Provinsi
dengan RPJMN 2010-2014 adalah membandingkan keterkaitan 11 prioritas nasional
dan 3 prioritas lainnya dengan prioritas daerah. Selain itu, juga mengidentifikasi
potensi lokal dan prioritas daerah yang tidak ada dalam RPJMN 2010-2014. Adapun
prioritas nasional dalam RPJMN 2010-2014 adalah:
1) Reformasi Birokrasi dan Tata Kelola,
2) Pendidikan,
3) Kesehatan,
4) Penanggulangan Kemiskinan,
5) Ketahanan Pangan,
6) Infrastruktur,
7) Iklim Investasi dan Iklim Usaha,
8) Energi,
9) Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana,
10) Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, & Pasca-konflik,
11) Kebudayaan, Kreativitas dan Inovasi Teknologi dan 3 prioritas lainnya yaitu
3
1. Kesejahteraan Rakyat lainnya,
2. Politik, Hukum, dan Keamanan lainnya,
3. Perekonomian lainnya.
Hasil dari EKPD 2010 diharapkan dapat memberikan umpan balik pada
perencanaan pembangunan daerah untuk perbaikan kualitas perencanaan di
daerah. Selain itu, hasil evaluasi dapat digunakan sebagai dasar bagi pemerintah
dalam mengambil kebijakan pembangunan daerah.
Pelaksanaan EKPD dilakukan secara eksternal untuk memperoleh masukan
yang lebih independen terhadap pelaksanaan RPJMN di daerah. Berdasarkan hal
tersebut, Bappenas cq. Deputi Evaluasi Kinerja Pembangunan melaksanakan
kegiatan Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah (EKPD) yang bekerja sama dengan
Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/Bappenas.
B. Tujuan dan Sasaran
Evaluasi kinerja pembangunan daerah (EKPD) 2010 dilaksanakan untuk
melihat seberapa jauh pelaksanaan RPJMN 2004-2009 dapat memberikan kontribusi
pada pembangunan di daerah dan untuk mengetahui sejauh mana keterkaitan
prioritas/program (outcome) dalam RPJMN 2010-2014 dengan prioritas/program
yang ada dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
Provinsi.
C. Keluaran Evaluasi
Seusai pelaksanaan EKPD 2010 ini diharapkan keluaran yang meliputi:
a. Tersedianya data/informasi dan penilaian pelaksanaan RPJMN 2004-2009 di
daerah;
Tersedianya data/informasi dan penilaian keterkaitan RPJMD Provinsi dengan
RPJMN 2010-2014.
4
BAB II
HASIL EVALUASI PELAKSANAAN RPJMN 2004-2009
Sistem perencanaan pembangunan daerah mengalami perubahan mendasar
seiring dengan tuntutan pada bidang politik, penyelenggaraan pemerintahan yang
baik (good government), dan pengelolaan keuangan negara. Undang-undang nomor
32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, telah mengatur sistem pemilihan
kepala daerah yang dilaksanakan secara langsung. Paparan visi, misi dan program
kepala daerah terpilih akan menjadi bahan utama penyusunan agenda kerja
pemerintah daerah untuk 5 tahun ke depan.
Penyusunan RPJMD dimaksudkan untuk memberi arah dan pedoman bagi
pelaksanaan pembangunan suatu provinsi. Penyusunan RPJMD Provinsi Sulawesi
Barat sendiri adalah untuk tahun 2004-2009. RPJMD ini merupakan penjabaran dari
Visi, Misi dan program Kepala Daerah yang penyusunannya memperhatikan
Rencana Penggunaan Jangkan Menengah Nasional (RPJMD-Nasional) yang
memuat arah kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan
umum, dan agenda pembangunan daerah, serta memuat program dan kegiatan
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), program lintas Satuan Kerja Perangkat
Daerah (lintas SKPD), dan program kewilayahan. Setiap program dan kegiatan
disertai dengan kerangka regulasi dan kerangka pendanaannya yang bersifat
indikatif.
Menurut Undang-undang (UU) Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), kegiatan evaluasi merupakan salah
satu dari empat tahapan perencanaan pembangunan yang meliputi penyusunan,
penetapan, pengendalian perencanaan, dan evaluasi pelaksanaan perencanaan.
Sebagai suatu tahapan perencanaan pembangunan, evaluasi harus dilakukan
4
5
secara sistematis dengan mengumpulkan dan menganalisis data dan informasi untuk
menilai seberapa jauh pencapaian sasaran, tujuan dan kinerja pembangunan
tersebut dilaksanakan.
A. Agenda Pembangunan Indonesia yang Aman dan Damai
1. Indikator
Pada agenda Pembangunan Indonesia Yang Aman dan Damai dalam
RPJMN 2004-2009 mencakup beberapa program yang pencapaiannya dapat
diukur pada tiga indikator utama. Ketiga indikator utama yang dimaksud adalah
indeks kriminalitas, persentase penyelesaian kasus kejahatan konvensional, dan
persentase penyelesaian kasus kejahatan transnasional. Kaitannya dengan hal
tersebut, maka berdasarkan temuan di lapang, data indeks kriminalitas tidak
tersedia sehingga yang digunakan untuk menganalisis tingkat kriminalitas adalah
data tentang tingkat kriminalitas atau jumlah kriminalitas yang tertangani.
Selanjutnya, data mengenai persentase penyelesaian kasus kejahatan
konvensional dan transnasional juga tidak lengkap sehingga hanya diberikan
evaluasi yang sifatnya analisis data kualitatif.
Nilai pencapaian indikator untuk agenda Pembangunan Indonesia Yang
Aman dan Damai di Provinsi Sulawesi Barat dapat dilihat pada Tabel-1.
Tabel 1: Indikator Pembangunan Indonesia yang Aman dan Damai
Indikator 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Indeks Kriminalitas 0,737 0,987 1.162 0,226
Persentase Penyelesaian Kasus
Kejahatan Konvensional (%)
Persentase Penyelesaian Kasus
Kejahatan Trans Nasional (%)
Sumber: BPS, Sulawesi Barat, 2010
6
2. Analisis Pencapaian Indikator
2.1. Tingkat Kriminalitas
Tingkat kriminalitas di Sulawesi Barat, yakni jumlah kejadian kriminal
perseribu penduduk dalam satu tahun, berdasarkan data pada Tabel-1 di atas,
menunjukkan adanya kecenderungan yang terus meningkat pada periode 2005-
2007, kemudian terjadi penurunan pada tahun 2008. Sedangkan data untuk tahun
2004 dan 2009 tidak dapat ditemukan. Pada tahun 2007, angka kriminalitas di
Sulawesi Barat mencapai 1,16 kejadian perseribu penduduk, bertambah 0,17 dari
tahun 2006, sementara itu, angka ini menurun 0,93 menjadi 0,23 pada tahun
2008. Pada tahun 2007, jumlah tindak pidana di Sulawesi Barat mencapai 1.162
kasus, tahun 2006 berjumlah 987 kasus, dan pada tahun 2008 tingkat kriminalitas
menurun drastis menjadi 226 kasus. kecenderungan angka kriminalitas 2004-
2009 dapat dilihat pada Grafik di bawah ini.
Grafik-1
Sumber: BPS Sulawesi Barat, 2010
Kriminalitas merupakan ancaman nyata bagi terciptanya masyarakat yang
aman dan tenteram. Makin maraknya kasus penyeludupan, pembunuhan,
penganiayaan, pencurian, penggelapan dan penyalahgunaan senjata api dan
bahan peledak adalah indikasi belum tertanganinya secara serius masalah
kriminalitas. Maraknya kejahatan yang terorganisir seperti peredaran dan
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Indeks Kriminalitas
Indeks Kriminalitas
7
penyalahgunaan narkoba telah menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup
bangsa, karena penyalahgunaan narkoba mencakup dimensi kesehatan baik
jasmani dan mental, dimensi ekonomi dengan meningkatnya biaya kesehatan,
dimensi kultural dengan rusaknya tatanan perilaku dan norma masyarakat secara
keseluruhan.
Hubungannya dengan perilaku kriminal di Provinsi Sulawesi Barat, dapat
dilihat pada gambar 1 dimana jumlah pelaku kriminal pada tahun 2006 mengalami
peningkatan sebesar 0,18 persen. Hal ini pada akhirnya akan dapat
membahayakan integritas dan kelangsungan hidup bermasyarakat dan akan
mempercepat tumbuhnya rasa tidak nyaman dan tidak aman dalam kehidupan
bermasyarakat. Makin tingginya tingkat kriminal di Sulawesi Barat sangat
ditentukan antara lain oleh:
a. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum, dan
b. Turunnya kepatuhan dan disiplin masyarakat terhadap hukum.
Untuk itu, dalam RPJMD Provinsi Sulawesi Barat tahun 2006-2011 setiap
SKPD menekankan peningkatan kedisilplinan agar setiap pekerjaan yang
dilakukan senantiasa berada dalam koridor hukum dan tidak bertentangan norma
kesopanan, kesusilaan, adat dan norma agama. Selanjutnya, berangkat dari
kenyataan bahwa jumlah polisi yang tersedia tidak sesuai dengan rasio
masyarakat yang harus dilayani, maka perlu pendekatan yang lebih
partisipatif melalui apa yang dikenal dengan Forum Kemitraan Polisi
Masyarakat (FKPM). FKPM yang dibentuk di setiap desa merupakan pendekatan
baru sebagai bentuk reformasi kepolisian dalam memberikan pelayanan
kepada masyarakat (public service). Pendekatan ini juga merupakan model baru
(different styles of polycing) yang terbukti menjadi pendekatan terbaik
8
untuk memperbaiki image penegakan hukum. Tujuan usaha kolaboratif polisi-
masyarakat ini agar dapat mengidentifikasi problem kriminal dan penyimpangan
secara dini dan melibatkan masyarakat mencari solusi penyelesaian masalah.
Masyarakat diharapkan melalui pendekatan ini dapat menyelesaikan masalahnya
sendiri - to help citizens resolve a vast array of personal problems – sebelum
ditangani oleh kepolisian.
Polisi terlibat, the role of the police officer in community based policing, is
to have an active part in the community (Schmalleger). Dengan kata lain, FKPM
adalah ujung tombak polisi di lapangan yang diharapkan bertindak cepat dan
tanggap akan gejala ketidaktertiban. Namun, meski ideal harapan ini, kondisi ini
masih dilematis.
2.2. Penyelesaian Kasus Kejahatan Konvensional dan Trans Nasional
Berdasarkan hasil identifikasi data, tidak tersedia data persentase
penyelesaian kasus kejahatan konvensional dan trans-nasional di provinsi
Sulawesi Barat. Walaupun kejahatan konvensional seperti pencurian tetap terjadi
namun pencurian dengan kekerasan dan pencurian kendaraan bermotor hampir
tidak pernah terjadi di Provinsi Sulawesi Barat.
3. Rekomendasi Kebijakan
Konflik dan pariwisata perlu diantisipasi melalui kebijakan pembangunan
kesejahteraan sosial dengan peningkatan koordinasi dan upaya pengentasan
golongan masyarakat kurang beruntung, penanganan komunitas adat terpencil
melalui pemenuhan hak dasar, serta penanganan bencana alam dan
perlindungan sosial; pembangunan kesatuan bangsa perlu diarahkan melalui
penciptaan iklim komunikasi politik dan ketersaluran aspirasi politik, fasilitasi
9
organisasi politik, sosial/keagamaan dan LSM, penanaman rasa saling percaya
antar golongan/multi etnis, peningkatan harmoni/integrasi masyarakat, dan
revitalisasi nilai kebangsaan; pembangunan kepariwisataan, seni dan budaya
perlu dilakukan dalam wujud peningkatan infrastruktur pendukung kepariwisataan
berbasis budaya lokal, revitalisasi kesenian tradisional, dan pemeliharaan nilai
lokal asli; pembinaan pemuda dan olah raga dapat dilakukan dalam bentuk
pengembangan sarana dan prasarana, pembinaan organisasi, peningkatan
prestasi serta pembinaan organisasi kepemudaan. Kebijakan ini dijabarkan ke
dalam beberapa program seperti:
(1) Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial,
(2) Penanggulangan Bencana,
(3) Pengembangan Wawasan Kebangsaan,
(4) Pemeliharaan Keamanan, Ketentraman dan Ketertiban Masyarakat serta
Pencegahan tindak Kriminal,
(5) Pengembangan Kegiatan Kepariwisataan,
(6) Pemberdayaan pemuda dan Olahraga,
(7) Pemberdayaan Perempuan, dan
(8) Pengembangan komunikasi dan Informasi.
Adapun sasaran sebagai indikator keberhasilan program ini adalah
terwujudnya kesejahteraan sosial yang lebih baik, terpeliharanya harmoni sosial
dan integrasi bangsa, serta terbukanya ruang aktivitas bagi kelompok pemuda
dan perempuan, terlestarinya kekayaan budaya dan terpeliharanya tertib hukum
dalam masyarakat.
10
B. Agenda Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis
1. Indikator
Agenda Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis mencakup dua
kelompok indikator yakni kebijakan publik dan demokrasi. Pencapaian bidang
kebijakan publik diukur dengan indikator persentase kasus korupsi yang
tertangani dibandingkan dengan yang dilaporkan, persentase Kabupaten/Kota
yang memiliki Perda Pelayanan Satu Atap, dan Persentase instansi/SKPD
Provinsi (dalam laporan ini data yang bisa diperoleh adalah pemerintah
Kabupaten dan pemerintah Provinsii) yang memiliki pelaporan Wajar Tanpa
Pengecualian. Sedangkan pencapaian bidang demokrasi diukur dengan
indikator Gender-related Development Index (GDI) dan Gender Empowerment
Measurement (GEM). Nilai capaian dari setiap indikator tersebut dapat dilihat
pada Tabel-2 berikut.
Tabel 2. Indikator agenda mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis
Indikator 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Pelayanan Publik
Persentase kasus korupsi yang tertangani dibandingkan dengan yang dilaporkan (%)
0.00 0.00 0.00 66,6 0.00 0.00
Persentase kabupaten/ kota yang memiliki peraturan daerah pelayanan satu atap (%)
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Persentase instansi (SKPD) provinsi yang memiliki pelaporan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) [%]
0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Demokrasi
Gender Development Index (GDI) 60,10 61,52 63,60 63.60 64.71 64.71
Gender Empowerment Measurement (GEM)
59.70 61.30 61.80 61,97 62.20 62.20
Sumber: Data Kajati Sulselbar dan BPS Prov. Sulbar, 2010.
11
2. Analisis Pencapaian Indikator
2.1. Pelayanan Publik
a. Kasus Korupsi yang Tertangani Dibanding yang Dilaporkan
Hubungannya dengan kasus korupsi yang tertangani, diperlukan adanya
interpretasi dan persepsi yang jelas tentang definisi yang digunakan. Yang
dimaksud dengan kasus korupsi yang “tertangani” dalam EKPD di Sulawesi Barat
adalah kasus korupsi yang buktinya sudah dianggap cukup oleh kejaksaan dan
sedang diproses ditambah dengan kasus korupsi yang diterima pelimpahannya
oleh kejaksaan dari kepolisian. Maksudnya adalah bahwa konsep tertangani disini
merupakan kasus korupsi yang telah berada pada proses atau tahap penuntutan,
sedangkan definisi yang digunakan dari konsep kasus korupsi yang “dilaporkan”
adalah seluruh kasus korupsi yang laporannya diterima secara langsung oleh
Kejaksaan dari masyarakat atau sumber lain ditambah kasus korupsi yang
pelimpahannya diterima oleh Kejaksaan dari Kepolisian. Data yang dianalisis
pada EKPD 2010 mencakup tahun 2007 saja, karena data 2004-2006, serta data
2008-2009 tidak dapat disajikan (data tidak ada).
Grafik-2
0
50
100
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Persentase Kasus Korupsi yang Tertangani dibandingkan dengan yang dilaporkan
Persentase Kasus Korupsi yang Tertangani dibandingkan dengan yang dilaporkan
12
Sumber: Kejaksanaan Tinggi RI Sulselbar, 2010
Tindak pidana korupsi telah menjadi tindak pidana yang luar biasa (extra
ordinary crime), maka sejalan dengan perkembangan kemajuan teknologi, modus
tindak pidana korupsi menjadi semakin canggih. Akibatnya, upaya pemberantasan
korupsi yang selama ini telah dilakukan masih dirasakan jauh dari harapan
masyarakat. Sungguhpun demikian, hal tersebut justru akan menjadi tantangan,
tidak saja bagi pemerintah Provinsu Sulawesi Barat namun juga seluruh bangsa
Indonesia untuk bersama-sama membangun komitmen memberantas korupsi.
Adanya perkembangan peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan pemberantasan korupsi dalam waktu dua tahun terakhir memperlihatkan
kesungguhan pemerintah dalam mendukung upaya-upaya pemberantasan
korupsi. Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah memberikan stimulasi untuk
mempercepat dikeluarkannya berbagai produk perundang-undangan, seperti
Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor).
Selain peraturan itu, sesuai Inpres Nomor 5 Tahun 2004, pada Februari
2005 pemerintah telah selesai menyusun Rencana Aksi Nasional Pemberantasan
Korupsi (RAN PK) 2004-2009. RAN PK merupakan acuan dalam menyusun
program pemberantasan korupsi dan mensinergikan berbagai upaya nasional
dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, mulai dari tingkat pusat sampai
dengan daerah. Soalnya, korupsi merupakan masalah sistemik, sehingga
memerlukan penanganan secara sistemik pula, yaitu melalui langkah-langkah
pencegahan, penindakan dan pelaksanaan monitoring dan evaluasinya. Langkah-
langkah tersebut untuk memastikan pelaksanaan pencegahan maupun
penindakan pemberantasan korupsi, serta memberikan hasil konkret kepada
13
masyarakat. Langkah ini merupakan upaya mengembalikan kepercayaan
masyarakat kepada hukum dan penyelenggara negara serta pencerahan
mengenai anti korupsi kepada masyarakat. Dalam hubungannya dengan kasus
korupsi di Provinsi Sulawesi Barat, tercatat pada tahun 2007, sedikitnya terdapat
30 kasus korupsi yang dilaporkan dan hanya 20 atau 66,6 persen yang tertangani
oleh Kejaksaan Negeri Mamuju Sulbar. Sedangkan kasus korupsi yang ditangani
Kejari Mamuju yang masih dalam tahap kasasi. Dari sekian kasus korupsi yang
ditangani Kejari Mamuju, maka kasus terbesar adalah kasus pembobolan Bank
Sulsel Cabang Pasangkayu, senilai miliyaran rupiah.
Penegakan hukum yang tegas, imparsial dan tidak diskriminatif merupakan
jawaban atas permasalahan tersebut. Untuk itu, perlu dilakukan percepatan
penyelenggaraan penegakan hukum dan peningkatan kinerja penyelenggaraan
negara di bidang penegakan hukum, baik dengan pembenahan berbagai
peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar operasional penegakan
hukum, penyempurnaan dan peningkatan kualitas lembaga penegak hukum, dan
peningkatan profesionalisme aparat penegak hukum, serta peningkatan budaya
hukum masyarakat.
Adanya berbagai upaya yang dilakukan, tidak saja pemerintah, tetapi juga
semua stakeholders, maka tingkat penanganan korupsi akan terus membaik.
Dengan demikian, akan meningkatkan kepercayaan masyarakat, baik di dalam
maupun di luar negeri, serta akan memberikan implikasi positif berupa
meningkatnya investor yang menanamkan modalnya di Sulawesi Barat. Pada
gilirannya, para investor itu akan dapat mendukung peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Upaya penyelenggaraan negara di bidang penegakan hukum, khususnya
dalam rangka pemberantasan korupsi semakin ditingkatkan. Peningkatan
14
pemberantasan korupsi dilakukan baik berupa peraturan perundang-
undangannya, kelembagaan dan aparat penegak hukumnya, maupun budaya
hukum masyarakatnya.
Penyempurnaan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
pemberantasan korupsi tetap menjadi prioritas utama. Peningkatan efektivitas
pelaksanaan tugas instansi/lembaga pemberantasan korupsi juga terus
ditingkatkan, antara lain dengan memberikan dukungan peningkatkan
profesionalisme aparatnya, dukungan sarana dan prasarana dan peningkatan
kesejahteraan. Selanjutnya, upaya mendorong keterbukaan terus ditingkatkan,
antara lain dengan mendorong partisipasi dan keberanian masyarakat untuk
melakukan pengawasan terhadap lembaga penegak hukum dalam melakukan
pemberantasan korupsi.
Upaya pemberantasan korupsi tidak hanya dilihat dari sisi penindakan
yang selama ini selalu mendapatkan porsi terbesar baik di media cetak maupun
elektronik, namun diseimbangkan dengan pemberian informasi kepada
masyarakat tentang upaya pemerintah dalam melakukan langkah-langkah
pencegahan korupsi. Hal ini sebenarnya telah banyak dilakukan, termasuk
berbagai reformasi pelayanan publik di bidang perpajakan, investasi, dan
pertanahan.
Langkah tersebut sangat penting untuk meningkatkan kesinambungan
akuntabilitas instansi/lembaga yang telah melakukan pembenahan (reform),
sehingga semua pihak dapat tetap mengawasi kinerja lembaga terkait. Langkah-
langkah itu pada dasarnya sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia yang
telah meratifikasi UNCAC, yakni ada empat fokus yang harus dilaksanakan oleh
negara yang telah meratifikasi, yaitu langkah pencegahan, penindakan, kerjasama
internasional, dan pengembalian aset dalam rangka pemberantasan korupsi.
15
b. Kabupaten /Kota yang Mempunyai Peraturan Daerah Pelayanan Satu
Atap dan Instansi yang memiliki Pelaporan Wajar Tanpa Pengecualian.
Sampai saat ini Provinsi Sulawesi Barat belum memiliki Kabupaten/kota
yang mempunyai peraturan daerah pelayanan satu atap, demikian pula instansi
(SKPD) provinsi yang memiliki pelaporan wajar tanpa pengecualian.
Sebagaimana kita ketahui bahwa jumlah pemerintah daerah di wilayah Provinsi
Sulawesi Barat sekarang ada 6 (enam) pemerintah daerah. Adapun
perkembangan opini BPK atas LKPD di wilayah Provinsi Sulawesi Barat Tahun
Anggaran 2006 s.d. 2007 adalah sebagai berikut:
1. Tahun Anggaran 2006, terdapat 3 (tiga) pemerintah daerah yang mendapat
opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dan 2 (dua) pemerintah daerah
yang mendapat opini Disclaimer;
2. Tahun Anggaran 2006, terdapat 4 (empat) pemerintah daerah yang mendapat
opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) dan 1 (satu) pemerintah daerah
yang mendapat opini Disclaimer;
Hasil pemeriksaan atas LKPD Pemerintah Daerah di Provinsi Sulawesi
Barat oleh BPK selama periode 2006-2007 juga menunjukkan bahwa pertanggung
jawaban atas pelaksanaan APBD di Provinsi Sulawesi Barat masih belum
sepenuhnya sesuai dengan standar dan sistem akuntansi yang telah ditetapkan.
Hal ini dapat dilihat pada beberapa permasalahan terkait dengan transparansi dan
akuntabilitas sebagai berikut:
1. Review atas laporan keuangan oleh aparat pengawasan internal belum
sebagaimana yang diharapkan, baik dari segi kemampuan, metodologi
maupun implementasi reviewnya.
16
2. Sumber daya manusia yang ditugaskan untuk mengimplementasikan standar
dan sistem akuntansi serta pertanggungjawaban keuangan daerah masih
terbatas baik kuantitas maupun kualitasnya.
3. Masih terdapat kelemahan dalam desain dan implementasi sistem akuntansi
keuangan daerah seperti tidak efektifnya rekonsiliasi antara PPKD (Pejabat
Pengelola Keuangan Daerah) selaku BUD (Bendahara Umum Daerah)
dengan SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah) selaku pengguna anggaran.
4. Sistem aplikasi belum terintegrasi sehingga menghasilkan data yang berbeda
meskipun dokumen sumbernya sama.
5. Rekening pemerintah masih belum tertib karena belum terwujudnya sistem
perbendaharaan tunggal (Treasury Single Account), masih banyak uang
daerah yang tersebar di berbagai rekening dan sulit dikendalikan.
6. Aset tetap daerah belum seluruhnya diinventarisasi dan dilakukan penilaian
sehingga menimbulkan keraguan terhadap keberadaan, kepemilikan,
kelengkapan, dan kondisi aset yang dilaporkan.
7. Investasi Pemerintah baik berupa penyertaan modal pada BUMD maupun
berupa dana bergulir belum dikelola dan dilaporkan secara akurat.
Dari hasil audit BPK juga tergambar bahwa setidaknya ada dua alasan
yang menyebabkan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan daerah belum
transparan dan belum akuntabel. Pertama adalah karena laporan
pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara/daerah belum disusun
mengikuti Standar Akuntansi Pemerintah (SAP) yang baku. Setelah 60 tahun
merdeka, Indonesia baru memiliki SAP yang diintrodusir pada tanggal 13 Juni
2005 sehingga masih perlu disosialisasikan kepada para penggunanya.
Sementara itu, Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 dan Permendagri Nomor 59
Tahun 2008 yang saat ini digunakan oleh Pemerintah Daerah masih memerlukan
17
penyempurnaan-penyempurnaan agar sesuai dengan SAP. Kedua, masih
terbatasnya sumber daya manusia di bidang keuangan negara maupun di bidang
pengawasan yang ada di daerah yang benar-benar menguasai SAP dan memiliki
kemampuan teknis untuk menerapkannya.
2.3. Demokrasi
a. Gender Development Index (GDI)
Dalam konteks ini perlu dipahami bahwa Gender Development Indeks
(GDI) merupakan salah satu indikator yang menunjukkan kesetaraan dalam relasi
gender pada berbagai aspek kehidupan. Capaian indikator GDI Sulawesi Barat
terus mengalami peningkatan yang cukup menggembirakan dari tahun 2004
hingga 2009, dimana pada tahun 2008-2009 berhasil mencapai 64,71 persen,
meningkat 1,11 Persen dari tahun 2007. Sementara itu, tahun 2004 persentase
peningkatan GDI hanya sebesar 63,90 persen. Dalam rangka memberikan
gambaran yang lebih jelas, dapat dilihat seperti pada grafik berikut.
Grafik-3
Sumber: BPS Sulawesi Barat, 2010
56
58
60
62
64
66
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Gender Development Indeks
Gender Development Indeks
18
Pembangunan gender juga ditunjukkan dengan indikator gender
empowerment measurement (GEM) atau indeks pemberdayaan gender (GDI),
yang diukur melalui partisipasi perempuan di bidang ekonomi, politik, dan
pengambilan keputusan. Di wilayah Sulawesi Barat, GDI tahun 2007 mengalami
peningkatan dibandingkan dengan tahun 2006. Pada Provinsi Sulawesi Barat nilai
GDI tertinggi dengan nilai 64,7, sedangkan jika dilihat dari perbandingan antar
kabupaten, maka nilai tertinggi GDI pada tahun 2008 terdapat di Kabupaten
Majene. Secara global nilai GDI Provinsi Sulawesi Barat cenderung meningkat.
Terjadinya peningkatan tersebut antara lain disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain; (1) keterwakilan perempuan di parlemen, (2) meningkatnya proporsi
perempuan dalam pekerjaan profesional, (3) Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
(TPAK), dan (4) upah nonpertanian perempuan. Di samping itu, perlindungan
perempuan dan anak terutama terhadap berbagai tindak kekerasan cukup bagus.
Grafik-4
Gender Development Indeks
Sumber: BPS Sulawesi Barat, 2010
Berdasarkan data tersebut di atas, pada tahun 2004 hingga 2009
peningkatan GDI Sulawesi Barat berjalan seiring dengan peningkatan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM), di mana pada tahun 2009 GDI mencapai
0
20
40
60
80
100
120
140
160
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Gender Development Indeks
Indeks Pembangunan Manusia
19
persentase 64,71 persen dan tetap bertahan pada level nilai 60, hal ini sejalan
dengan perkembangan IPM pada tahun yang sama sebesar 69,64 persen.
Dengan demikian, semakin meningkat persentase GDI maka semakin meningkat
pula persentase IPM, seperti yang tergambar pada grafik-4 di atas. Peningkatan
ini menunjukkan bahwa terjadi perbaikan kualitas manusia dalam hal
pengetahuan, kesehatan dan daya beli secara tidak langsung mempunyai
hubungan dengan semakin membaiknya kesetaraan relasi antara laki-laki dan
perempuan dalam proses interaksi sosial, pola kekuasaan, dan struktur
kemasyarakatan. Tentu saja ini dengan asumsi bahwa pendidikan telah
mengubah tata nilai dan norma masyarakat memahami dan mampu menerima
prinsip kesetaraan antara perempuan dan laki-laki.
Meskipun demikian, masih terdapat beberapa masalah yang dihadapi
dalam konteks gender, yakni tentang masih tingginya angka kematian ibu (AKI),
masalah gizi masyarakat dan lingkungan yang tidak sehat. Hal ini menunjukkan
masih banyak terdapat ketimpangan antara status kesehatan pada perempuan
dan laki-laki, dan tentu saja ini harus mendapatkan prioritas dalam
penanganannya.
Pengarusutamaan gender merupakan salah satu strategi pembangunan
yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan gender dan keadilan gender melalui
pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan, dan permasalahan perempuan
dan laki-laki. Untuk mempercepat pengarusutamaan gender, perlu dilakukan
pengembangan kapasitas SDM kesehatan, antara lain melalui seminar gender
bidang kesehatan. Kesetaraan gender adalah wujud kesamaan kondisi laki-laki
dan perempuan dalam memperoleh hak-haknya sebagai manusia agar mampu
berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya dan
kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan.
20
b. Gender Empowerment Measurement (GEM)
Pencapaian Gender Empowerment Measurement (GEM) Provinsi
Sulawesi Barat seperti pada tabel-2 menunjukkan kecenderungan adanya
peningkatan sekalipun tidak terlalu signifikan dari tahun 2004 sampai 2009,
karena tingkat pertambahan angka GEM yang tidak terlalu banyak mengalami
perubahan data dari tahun ke tahun. Adapun data mengenai GEM tersaji pada
grafik-5 berikut.
Grafik-5
Sumber: BPS Sulawesi Barat, 2010
Gender Empowerment Meassurement (GEM). Indeks Pemberdayaan
Gender (Gender Empowerment Measurement/GEM) meliputi variabel partisipasi
perempuan di bidang ekonomi, politik dan pengambilan keputusan. Artinya,
bagaimana tingkat partisipasi perempuan pada ketiga bidang tersebut. Sama
halnya dengan GDI yang menganggap bahwa Indeks Pembangunan Manusia
adalah salah satu indikator yang turut berpengaruh, maka Gender Empowerment
Measurement juga turut dipengaruhi oleh Indeks Pembangunan Manusia, seperti
pada grafik-6 indikator pendukung di bawah ini:
5858.559
59.560
60.561
61.562
62.5
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Gender Empowerment Measurement
Gender Empowerment Measurement
21
Grafik-6
Sumber: BPS Sulawesi Barat, 2010
Angka Gender Empowerment Meassurement (GEM) Sulawesi Barat
seperti pada grafik-6 di atas, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan dari tahun
ke tahun (2004-2008), yaitu: 59,70 persen (2004); 61,30 persen (2005); 61,80
persen (2006); 61,97 persen (2007); dan 62,20 persen (2008); dan 62,20 persen
pada tahun 2009. Artinya, tingkat partisipasi perempuan pada bidang ekonomi,
politik dan pengambilan keputusan di Sulawesi Barat juga mengalami
peningkatan. Peningkatan angka GEM di Sulawesi Barat tidak terlepas dari:
a. Keberhasilan Pemerintah Sulawesi Barat dalam mengimplementasikan
program-program pengarusutamaan gender (perempuan) khususnya yang
terkait dengan partisipasi perempuan pada bidang ekonomi, politik, dan
pengambilan keputusan di Sulawesi Barat;
b. Kebijakan Pemerintah Sulawesi Barat yang sudah responsif gender.
Sedangkan bila dibandingkan angka GEM antar Kabupaten di Sulawesi Barat,
maka angka GEM tertinggi berada di Kabupaten Majene.
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa GEM juga turut
dipengaruhi oleh IPM. Oleh karena itu, hal ini perlu diperhatikan. Bagaimanapun,
50
55
60
65
70
75
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Gender Empowerment Measurement
Indeks
PembanManusia
Gender
Empowe
Measure
22
secara teroretis-filosofis, GEM adalah bagian dari upaya meningkatkan kualitas
manusia, dalam arti bagaimana manusia semakin memiliki peluang dalam era
keterbukaan terhadap pilihan-pilihan dalam kehidupannya (choices) dan semakin
mampu menyuarakan pilihan-pilihannya (voices). Pada grafik tersebut di atas,
terlihat bahwa peningkatan GEM di Sulawesi Barat cenderung seiring dengan
peningkatan IPM. Ketika nilai GEM mengalami peningkatan yang tinggi pada
tahun 2009 sebesar 62,20 dan tetap bertahan pada level nilai 60, saat itu juga,
IPM juga mengalami peningkatan yang tinggi pada tahun yang sama sebesar
69,64, sementara dari tahun 2004-2008 peningkatan GEM tidak terlalu signifikan.
Meskipun demikian, tetap diyakini bahwa upaya pemberdayaan atau pencapaian
kesetaraan gender pada organisasi/kelembagaan pemerintah maupun non
pemerintah memiliki hubungan yang sangat erat dengan tingkat pendidikan,
kesehatan dan daya beli masyarakat secara umum.
3. Rekomendasi Kebijakan
Layanan satu atap di Provinsi Sulawesi Barat sebagai provinsi baru belum
ada satu pun daerah yang menyelenggarakannya. Sedangkan tentang gender,
dimana dalam Rencana Strategis Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB
Provinsi Sulawesi Barat 2009-2014 telah diprogramkan Pengarusutamaan Gender
maka diperlukan langkah sebagai berikut:
a) Peningkatan kualitas hidup perempuan melalui pendidikan, kesehatan, hukum,
ketenagakerjaan, sosial, politik, lingkungan hidup dan ekonomi.
b) Pengembangan materi dan pelaksanaan komunikasi, informasi dan edukasi
(KIE) tentang kesetaraan dan keadilan gender.
c) Peningkatan kapasitas jaringan kelembagaan PP di provinsi dan kabupaten
seperti Pusat Studi Perempuan/Gender, lembaga-lembaga penelitian.
23
d) Penyusunan berbagai kebijakan dalam rangka penguatan kelembagaan PUG
di tingkat provinsi dan kabupaten.
e) Pembentukan wadah-wadah guna mendengarkan dan menyuarakan pendapat
dan harapan perempuan sebagai bentuk partisipasi perempuan dalam proses
pembangunan.
Beberapa gerakan dan upaya yang muncul di berbagai komunitas
kelompok masyarakat / bangsa sebagai upaya dalam peningkatan dan
pemberdayaan perempuan perlu digalakkan begitu pula diperlukan penanganan
ketertinggalan perempuan. Ketertinggalan perempuan dapat dilihat di berbagai
bidang, di bidang pendidikan, angka buta huruf /tidak dapat membaca dan
menulis huruf latin dan atau huruf lainnya. Secara keseluruhan angka buta huruf
penduduk usia 10 tahun ke atas di Provinsi Sulawesi Barat tahun 2006 adalah
sekitar 12,51 persen, dengan persentase buta huruf perempuan yang sebesar
14,84 persen dibandingkan dengan laki-laki buta huruf sebesar 10,13 persen.
Dalam melakukan perencanaan kebijakan kesetaraan gender oleh
Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat memasukkan ke dalam Rencana Strategis
Pemerintah Provinsi dan Rencana Strategis SKPD yang ada dengan
mengakomodasi aspek-aspek pokok berikut ini:
a) Di sektor pendidikan masih diperlukan dukungan kebijakan di tingkat nasional
maupun daerah.
b) Di sektor kesehatan kebijakan kesetaraan/ keadilan gender relatif lebih maju
dibanding sektor pendidikan dimana telah direkomendasikan kerjasama antara
Departemen Kesehatan dengan Kantor Meneg Pemberdayaan Perempuan
untuk meningkatkan kebijakan dan program-program pengarusutamaan gender
di sektor kesehatan. Dalam konsep otonomi daerah, kerjasama kantor Meneg
24
PP dan Departemen Kesehatan diperluas dengan melibatkan Departemen
Dalam Negeri, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan lembaga-
lembaga studi wanita. Demikian pula di Provinsi Sulawesi Barat.
c) Di sektor ekonomi menduduki posisi yang vital mengingat krisis yang diderita
Indonesia yang mempunyai dampak terbesar pada menurunnya kemampuan
ekonomi yang dikenal dengan meningkatnya tingkat kemiskinan sehingga
memerlukan kebijakan yang berkenaan dengan upaya-upaya kesetaraan
gender di sektor ekonomi. Dengan lahirnya PP Nomor 41 Tahun 2007 Tentang
Organisasi Perangkat Daerah, maka oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat
dengan Perda Nomor 22 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Inspektorat, Bappeda, Lembaga Teknis Daerah dan Satuan Polisi Pamong
Praja Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat menetapkan organisasi perangkat
daerahnya sehingga melahirkan Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB
dalam struktur kelembagaan di provinsi yang tugas/pokok dan fungsinya
adalah pelaksanaan pembangunan kesetaraan gender dalam meningkatkan
pemberdayaan perempuan khususnya pada Pemerintah Daerah Provinsi
Sulawesi Barat.
d) Di sektor pemerintahan dapat dilihat peran serta perempuan di eksekutif .
Dengan terbentuknya Provinsi Sulawesi Barat sesuai UU No.26 Tahun 2006.
C. Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat
1. Indikator
Dalam agenda meningkatkan kesejahteraan rakyat, terdapat beberapa
bidang yang masing-masing mencakup beberapa indikator sebagai basis
analisis dan evaluasi, antara lain: (1) Indeks Pembangunan Manusia, (2)
Bidang Pendidikan, (3) Bidang Kesehatan, (4) Bidang Ekonomi Makro (5)
25
Investasi (6) Infrastruktur (7) Pertanian (8) Kehutanan (9) Kelautan, dan
(10). Kesejahteraan Sosial.
Pencapaian RPJMN 2004-2009 di Sulawesi Barat atas indikator-indikator
tersebut dapat dilihat pada Tabel-3 berikut.
Tabel 3. Indikator Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat
Indikator 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Indeks Pembangunan Manusia 64.40 65.72 67.06 67.72 68.55 69.64 Pendidikan Angka Partisipasi Murni Tingkat SD 0.00 87.08 91.67 92.17 95.20 99.25 Angka Partisipasi Kasar Tingkat SD 0.00 88.30 94.02 109.93 78.69 80.75 Rata-Rata Nilai Akhir Tingkat SMP 6.34 6.35 6.75 6.33 6.7 6.7 Rata-Rata Nilai Akhir Tingkat Sekolah Menengah
6.35 6.94 6.9 6.35 6.49 6.58
Angka Putus Sekolah Tingkat SD (%) 6,57 6.51 3.36 2.60 2,00 1,75 Angka Putus Sekolah Tingkat SMP (%) 3,98 4.06 6.02 14.47 3.00 2.00 Angka Putus Sekolah Tingkat Sekolah Menengah (%)
3.49 4.16 5.57 3.22 2.30 1,75
Angka Melek Huruf (%) 15 tahun ke atas 82.90 83.40 85.90 86.40 87.05 85,00 Persentase Guru Layak Mengajar Terhadap Guru Seluruhnya Tingkat SMP (%)
77.25 76.93 77.42 85.03 69.81 75.30
Persentase Guru Layak Mengajar Terhadap Guru Seluruhnya Tingkat Sekolah Menengah (%)
64.01 64.74 74.20 79.54
Kesehatan Umur Harapan Hidup (tahun) 66.30 66.40 67.00 67.20 67.40 67.70 Angka Kematian Bayi ( A K B ) 30,00 29.10 28,20 27.40 Gizi Buruk (%) 1.81 0.87 0.11 0.16 Gizi Kurang (%) 8.95 7.80 2.38 Persentase Tenaga Kesehatan per Penduduk (%) 0.13 0.16 0.16 0.20
Keluarga Berencana Contraceptive Prevalence Rate (%) 0.00 0.00 0.00 45,20 52,20 50,00 Pertumbuhan Penduduk (%) 0.00 2.68 0.02 3.23 1.54 1.53 Total Fertility Rate (%) 3,5 Ekonomi Makro Laju Pertumbuhan Ekonomi (%) 6.00 6.78 6.42 7.43 8.54 6,89 Persentase Ekspor terhadap PDRB (%) 15.10 14.52 13.57 13.51 14.21 14.15 Persentase Output Manufaktur Terhadap PDRB (%) 0.00 7.35 7.57 7.74
Pendapatan Perkapita (Rupiah) 3.955.774 4,562,424 5,162,733 6,091,286 7,534.953 8.671.818
Laju Inflasi (%) : 3.64 3.64 3.01 3.01 3.04 3.21 Investasi Nilai Realisasi Investasi PMDN (Rp. Milyar)
1.014 1.014 1.014 1.142 1.712 1.712
Nilai Rencana Investasi PMDN (Rp.Milyar)
2.485 2.485 2.485 2.652 5.273 6.111
Nilai Realisasi Investasi PMA (US$ Juta) 0.18 0.18 0.18
26
Nilai Rencana Investasi PMA (US$ Juta) 10.038 10.038 10.038 10.309 25.109 31.473 Realisasi penyerapan tenaga kerja PMA 3,708 3,708 3,708 3,404 3,404 3,404 Infrastruktur Persentase Jalan Nasional dalam Kondisi Baik (%) 53.31 53.40 61.73 58.78 69.26 80.65
Persentase Jalan Nasional dalam Kondisi Sedang (%) 37.82 6.68 12.78 13.02 11.61 12.48
Persentase Jalan Nasional dalam Kondisi Rusak (%)
3.33 14.42 5.41 3.24 3.24 6.87
Persentase Jalan Provinsi dalam Kondisi Baik (%)
77.15 62.57 41.18 43.84 68.43 85.31
Persentase Jalan Provinsi dalam Kondisi Sedang (%)
72.21 16.99 27.73 33.62 39.02 33.79
Persentase Jalan Provinsi dalam Kondisi Rusak (%) 32.52 65.74 47.42 44.69 24.35 26.18
Pertanian Rata-rata Nilai Tukar Petani per Tahun 100 100.81 103.58 105.14 PDRB Sektor Pertanian Atas Dasar Harga Berlaku (Rp. Juta) 2,472,699 2,746,166 3,255,735 3.920.386 4.196.304
Kehutanan Persentase Luas lahan rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis (%)
Kelautan Jumlah Tindak Pidana Perikanan 1 1 1 3 Luas Kawasan Konservasi Laut (km2) Kesejahteraan Sosial Persentase Penduduk Miskin (%) 24.22 20.74 19.03 16.73 15.29 Tingkat Pengangguran Terbuka (%) 0.00 6.45 5.68 4.92 4.10
2. Analisis Pencapaian Indikator
2.1. Indeks Pembangunan Manusia
Setiap tahun sejak 1990, Laporan Pembangunan Manusia (Human
Development Report) telah menerbitkan indeks pembangunan manusia (human
development index - HDI) yang mengartikan kesejahteraan secara lebih luas dari
sekedar pendapatan domestik bruto (PDB). Indeks pembangunan manusia
memberikan suatu ukuran beberapa dimensi tentang pembangunan manusia.
Indeks perkembangan manusia yang tercermin dari kondisi Kesehatan dan
Pendidikan.
Capaian indikator Indeks Pembangunan Manusia Sulawesi Barat sejak
tahun 2004 sampai dengan tahun 2009 terus mengalami peningkatan. Pada tahun
2009 IPM Sulbar sudah menghampiri nilai diatas 70 yaitu sebesar 69,64 persen.
27
Sementara itu, diawal tahun terbentuknya provinsi ini pada tahun 2004 masih
berada pada kategori menengah bawah yakni 64,40 persen. Pada tabel-3, terlihat
bahwa peningkatan signifikan tercapai pada tahun 2009, dimana IPM Sulawesi
Barat naik 1,09 poin dari tahun 2008
Grafik-7
Sumber: BPS, Bappeda Sulbar, 2010
Nilai Indeks perkembangan manusia (IPM) Provinsi Sulawesi Barat walau
lebih kecil daripada nilai IPM nasional namun mampu menggeser rangkingnya
dari rangking 28 menjadi 27. Meningkatnya kualitas sumber daya manusia di
wilayah Sulawesi Barat disebabkan oleh semakin meratanya jangkauan
pelayanan dasar pendidikan dan kesehatan dan semakin diperhatikannya mutu
pelayanan pendidikan dan kesehatan terutama di daerah pedesaan dan
pedalaman.
Pembangunan pendidikan merupakan salah satu prioritas utama dalam
agenda pembangunan nasional, karena perannya yang signifikan dalam
mencapai kemajuan di berbagai bidang kehidupan: sosial, ekonomi, politik, dan
budaya. Dalam hal ini, pemerintah berkewajiban untuk memenuhi hak setiap
warga negara dalam memperoleh layanan pendidikan guna meningkatkan
60
62
64
66
68
70
72
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Indeks Pembangunan Manusia
Indeks Pembangunan Manusia
28
kualitas hidup bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, yang
mewajibkan Pemerintah bertanggung jawab dalam mencerdaskan kehidupan
bangsa dan menciptakan kesejahteraan umum. Pendidikan menjadi landasan
kuat yang diperlukan untuk meraih kemajuan bangsa di masa depan, bahkan
lebih penting lagi sebagai bekal dalam menghadapi era global yang sarat dengan
persaingan antar bangsa yang berlangsung sangat ketat. Dengan demikian,
pendidikan menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi karena pendidikan
merupakan faktor determinan bagi suatu bangsa untuk bisa memenangi kompetisi
global.
Berbagai studi menunjukkan, pendidikan bukan saja penting untuk
membangun masyarakat terpelajar yang menjelma dalam wujud massa kritis
(critical mass), tetapi juga dapat menjadi landasan yang kuat untuk memacu
pertumbuhan ekonomi melalui penyediaan tenaga kerja yang memiliki
pengetahuan, menguasai teknologi, dan mempunyai keahlian dan keterampilan.
Tenaga kerja dengan kualifikasi pendidikan yang memadai ini memberi kontribusi
pada peningkatan produktivitas nasional.
Pemerintah Sulawesi Barat sangat konsisten dalam upaya meningkatkan
kualitas pendidikan. Upaya ini ditunjukkan dengan disusunnya Program
Pembangunan Daerah (Propeda) Sulawesi Barat 2005-2010 yang menyebutkan
bahwa strategi yang dilakukan dalam meningkatkan kinerja bidang pendidikan di
antaranya adalah dengan melakukan perluasan dan pemerataan di dalam
memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh masyarakat melalui
peningkatan anggaran pendidikan secara berarti. Program pendidikan mempunyai
andil yang sangat besar terhadap kemajuan bangsa, baik dari segi ekonomi
maupun sosial, karena keberhasilan pembangunan di bidang pendidikan
merupakan salah satu parameter yang dapat dimanfaatkan untuk mengetahui
29
tingkat kesejahteraan masyarakat suatu daerah, termasuk daerah-daerah di
Sulawesi Barat.
Perhatian pemerintah Sulawesi Barat, selain pada sektor pendidikan juga
tertuju pada bidang kesehatan dan kesejahteraan sosial, khususnya dalam hal
pengentasan kemiskinan. Untuk melihat seberapa besar indikator tersebut
memberi kontribusi terhadap peningkatan Indeks Pembangunan Manusia, dapat
dilihat pada grafik-8 indikator pendukung di bawah ini.
Grafik-8
Indeks Pembangunan Manusia
Sumber: BPS, Bappeda, Dinkes, Dinas Sosial Sulawesi Barat, 2010 Data pada grafik di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2005 indeks
pembangunan manusia tidak begitu mengalami perubahan dari tahun
sebelumnya. Capaian yang terkesan stagnan sebesar 65,72% itu pada dasarnya
dipengaruhi oleh meningkatnya persentase penduduk miskin (24,22%) di samping
itu, angka kematian bayi juga ikut meningkat (30,00%), serta tingginya angka
putus sekolah pada tingkatan SD (6,51%), padahal persentase umur harapan
hidup juga mengalami peningkatan (66,40%) sejalan dengan meningkatnya
indeks pembangunan manusia pada tahun yang sama.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Indeks Pembangunan Manusia Umur Harapan Hidup
Persentase Penduduk Miskin (%)
30
Tahun 2008 indeks pembangunan manusia kembali mengalami
peningkatan (68,55%) disebabkan oleh meningkatnya persentase angka
partisipasi murni tingkat SD (95,20%) dan menurunnya angka partisipasi kasar
tingkat SD dari 109,93% menjadi 78,69%. Selain itu angka putus sekolah pada
setiap jenjang pendidikan juga mengalami penurunan yang cukup signifikan, yaitu
SD (2,00%), SMP (3,00%), dan SMA (2,30%) disebabkan oleh semakin
menurunnya persentase penduduk miskin (16,73%) yang secara tidak langsung
akan berimplikasi pada kemampuan masyarakat turut andil pada program
pembangunan, baik dalam bidang pendidikan maupun kesehatan. Ini tentu saja
merupakan suatu hal yang sangat menggembirakan kaitannya dengan
pengentasan kemiskinan sebagai salah satu strong point dalam pembangunan
provinsi Sulawesi Barat berkelanjutan.
Tahun 2009 perkembangan indeks pembangunan manusia Sulawesi Barat
masih berada pada tataran meningkat. (69,64%), ini artinya meningkat sebesar
1,09% dari tahun sebelumnya (68,55%). Disebabkan oleh semakin terfokusnya
upaya pemerintah provinsi dalam melakukan pengentasan kemiskinan, perbaikan
sistem pendidikan dan kesehatan. Persentase penduduk miskin pada tahun 2009
adalah 15,29% menurun sebesar 1,44%. Sektor pendidikan juga sudah mulai
membaik dengan beberapa indikator antara lain meningkatnya angka partisipasi
murni tingkat SD yang hampir mencapai 100%, angka putus sekolah pada tingkat
SD, SMP, dan SMA yang juga mengalami penurunan sebagai akibat dari
meningkatnya persentase umur harapan hidup (67,70%) meningkat sebesar
0,30% dari tahun 2008 (67,40%). Intinya adalah bahwa pada hakikaktnya indeks
pembangunan manusia di provinsi Sulawesi Barat dapat dikategorikan cukup baik
karena dari tahun ke tahun (2004-2009) terus mengalami tren positif dalam
peningkatannya.
31
2.2. Pendidikan
Dalam bidang pendidikan akan diukur beberapa indikator, di dalamnya
tercakup pendidikan dasar dan menengah. Pada dasarnya pendidikan di Sulawesi
Barat secara keseluruhan menunjukkan adanya peningkatan, sekalipun
peningkatan dari tahun ke tahun tidak terlalu tinggi, namun setidaknya
peningkatan tersebut dapat memberikan indikasi bahwa pemerintah tetap
memperhatikan dan menjadikan pendidikan sebagai program prioritas
pembangunan. Angka partisipasi murni SD yang terus mengalami peningkatan,
berbanding terbalik dengan angka partisipasi kasar SD yang terus mengalami
penurunan (korelasional), nilai rata-rata SMP dan SMA juga terus meningkat,
begitupun dengan angka putus sekolah SD, SMP, SMA, dan angka melek huruf
15 tahun ke atas yang dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Hal lain yang
cukup menggembirakan adalah persentase guru yang layak mengajar (SMP dan
SMA) yang terus mengalami peningkatan.
a. Angka Partisipasi Murni dan Kasar (APM dan APK) Tingkat SD/MI
Indikator pertama adalah Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka
Partisipasi Kasar (APK) tingkat SD/MI. Perkembangan data mengenai Angka
Partisipasi Murni (APM) tingkat SD/MI dari tahun ke tahun terus mengalami
peningkatan, jika pada tahun 2005 APM tingkat SD/MI hanya sebesar 87,08%,
maka pada tahun 2009 persentase APM mampu dinaikkan dan hampir mencapai
100% dengan raihan 99,25%. Kondisi tersebut justru berbanding terbalik dengan
Angka Partisipasi Kasar (APK) tingkat SD/MI. APK tingkat SD/MI dari tahun 2005-
2009 berfluktuatif. Selama tiga tahun berturut-turut sejak tahun 2005 sampai 2007
persentase APK tingkat SD/MI sangat memprihatinkan karena jumlahnya yang
terus meningkat 88,30% pada tahun 2005 menjadi 109,93% ditahun 2007. Pada
tahun berikutnya, APK tingkat SD/MI berhasil diturunkan, bahkan lebih rendah
32
0
50
100
150
200
250
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Angka Partisipasi Murni Angka Partisipasi Kasar
menjadi sebesar 78,69, namun kembali bertambah sebesar 2,06% menjadi
80,75% ditahun 2009. Khusus data APM dan APK tingkat SD/MI untuk tahun
2004 tidak dapat ditampilkan karena data tersebut tidak berhasil ditemukan,
mengingat pada saat itu merupakan tahun di mana provinsi Sulawesi Barat
melakukan transisi dari hasil pemekaran provinsi Sulawesi Selatan.
Perkembangan capaian indicator, baik APM maupun APK tingkat SD/MI dari
tahun 2004-2009 tersaji pada grafik berikut.
Grafik-9
Angka Partisipasi Murni dan Kasar Tingkat SD/MI
Sumber: Kemendiknas Sulawesi Barat, 2010
Perhatian pemerintah terhadap sumber daya manusia secara dini semakin
meningkat, hal tersebut juga terkait dengan program wajib belajar sembilan tahun
yang dicanangkan pemerintah dalam upaya meningkatkan partisipasi sekolah.
Angka ini merupakan rasio persentase penduduk umur tertentu yang masih
sekolah terhadap total penduduk pada umur tersebut. Angka ini menggambarkan
sejauh mana besarnya partisipasi penduduk usia sekolah tertentu untuk
bersekolah pada jenjang pendidikannya. Berkaitan dengan upaya memperluas
jangkauan pelayanan pendidikan di Sulawesi Barat untuk penduduk usia 7-12
tahun sedikitnya tercatat 94,10 % (tahun 2007) mengalami peningkatan menjadi
33
94,20 % (tahun 2008). Sedangkan untuk umur 13-15 tahun juga mengalami
peningkatan dari 74,60% (tahun 2007) menjadi 75,10% (tahun 2008), dan untuk
tingkat umur 16-18 tahun dari 42.90% (tahun 2007) meningkat menjadi 43,52
persen (tahun 2008).
Angka Partisipasi Murni (APM) mengukur proporsi anak yang bersekolah
tepat waktu yang dibagi kedalam tiga kelompok jenjang pendidikan, yaitu SD,
SMP dan SMU. Secara umum angka partisipasi murni (APS) di Sulawesi Barat
mengalami peningkatan dari 87,08% (tahun 2005) menjadi 99,25% (tahun 2009).
Bila dilihat dari daerah tempat tinggal, maka angka partisipasi murni tingkat
Sekolah Dasar (SD) dan (SMP) pada tahun 2008 di daerah perdesaan cenderung
lebih tinggi dibanding daerah perkotaan, sedangkan untuk jenjang SMU angka
partisipasi murni di perkotaan lebih tinggi dari pada perdesaan.
Dari tabel di atas nampak bahwa peningkatan pada angka partisipasi
murni memberi indikasi bahwa perluasan akses pendidikan telah diarahkan untuk
memperluas daya tampung satuan pendidikan dengan tujuan akhir agar semua
warga negara mempunyai kesempatan yang sama dalam mendapatkan layanan
pendidikan. Selama kurun waktu 2004 - 2009 telah dilaksanakan sejumlah
program perluasan akses pendidikan sebagai implementasi dari kebijakan pokok
perluasan dan pemerataan akses pendidikan. Pencapaian yang diperoleh dari
implementasi tersebut menunjukkan adanya peningkatan kinerja Dinas
Pendidikan Provinsi Sulawesi Barat.
Pada tabel di atas juga nampak bahwa Angka Partisipasi Kasar (APK)
untuk penduduk usia sekolah dasar (7-12 tahun) pada tahun 2005 adalah 88.30.
Ini berarti bahwa pada tahun 2006, ada lebih dari 88,30 persen penduduk usia
sekolah dasar (7-12 tahun) yang masih bersekolah dan mengalami
peningkatan hingga 94,02 persen pada tahun 2007.
34
Peningkatan angka pertisipasi kasar (APK) ini juga ditunjang dengan
adanya pembebasan biaya pendidikan untuk tingkat Sekolah Dasar dan peran
orang tua dalam mendorong anaknya untuk bersekolah. Hinga tahun 2009 ini
Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat melalui Dinas Pendidikan telah berhasil
meningkatkan angka partisipasi murni (SD/sederajat) dan angka partisipasi kasar
(SMP/sederajat). Demikian pula tingkat kelulusan (SD,SMP dan SMU) sebesar
88,08%. Adapun sasaran program pengembangan pendidikan pada tahun 2009
ini, antara lain meliputi :
a. Program pendidikan anak usia dini
b. Program wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun
c. Program pendidikan menengah
d. Program pendidikan non formal dan program pengembangan teknologi
informasi, komunikasi dan pendidikan
Disadari pula bahwa upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan tidak
terlepas dari peran strategis guru. Dengan kata lain, guru merupakan komponen
yang sangat krusial di satuan pendidikan. Tidak hanya jumlah guru harus
seimbang dengan jumlah siswa di sekolah, mutu guru pun harus diperhatikan,
karena Salah satu indikator kinerja peningkatan mutu pendidikan adalah rata-rata
nilai ujian nasional (UN) siswa. Rata-rata nilai akhir tingkat sekolah SMP
mengalami peningkatan dari 6,34 (tahun 2004) menjadi 6,7 (tahun 2009),
demikian pula untuk tingkat SMU dari rata-rata nilai 6,35 (tahun 2005) menjadi
6.58 (tahun 2009).
Sedangkan angka putus sekolah yang mana mencerminkan anak-anak
usia sekolah yang sudah tidak bersekolah lagi atau tidak menamatkan suatu
jenjang pendidikan tertentu sering pula digunakan sebagai indikator
berhasil/tidaknya pembangunan di bidang pendidikan. Penyebab utama dari
35
putus sekolah antara lain karena kurangnya kesadaran orang tua akan
pentingnya pendidikan anak, kondisi ekonomi orang tua yang miskin dan
keadaan geografis yang kurang menguntungkan.
Di Provinsi Sulawesi Barat dicatat bahwa angka putus sekolah mengalami
penurunan baik untuk jenjang pendidikan sekolah dasar (SD), SMP maupun
Sekolah Menengah Umum (SMU). Pada tingkat SD angka putus sekolah
mengalami penurunan dari 6.57 % (tahun 2004) menjadi 1,75% (tahun 2009)
dan untuk tingkat SMP dari 3,98% (tahun 2004) menjadi 2,00% (tahun 2009)
dan tingkat SMU penurunan dari 3,94% (tahun 2004) menjadi 1,75% (tahun
2009).
b. Angka Melek Huruf (%) 15 tahun ke Atas
Sama halnya dengan APM dan APK bahwa angka melek huruf 15 tahun
ke atas juga mengalami persentase yang cenderung meningkat.
Grafik-10
Angka Melek Huruf (%) 15 Tahun Ke Atas
Sumber: Kemendiknas Sulawesi Barat, 2010
Selanjutnya angka melek huruf yang dimaksud di sini adalah seseorang
yang mempunyai kemampuan membaca dan menulis huruf latin dan atau huruf
lainnya. Yang dimaksud huruf lainnya misalnya huruf Arab, Bugis/Makassar,
80
81
82
83
84
85
86
87
88
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Angka Melek Huruf (%)
15 tahun ke atas
36
Jawa, Cina dan sebagainya. Seseorang yang hanya dapat membaca atau menulis
saja belum dianggap sebagai melek huruf. Hasil Susenas 2004 di Sulawesi Barat
menunjukkan bahwa angka melek huruf penduduk usia 15 tahun sekitar 87,59%.
Sisanya sebesar 12,41 persen yang buta huruf. Kelompok ini diperkirakan terdiri
dari mereka yang tinggal di daerah yang sulit dijangkau pelayanan pendidikan,
penyandang cacat dan penduduk yang berusia lanjut.
Perbaikan tingkat melek huruf disebabkan oleh meningkatnya partisipasi
pendidikan dasar serta meningkatnya proporsi siswa SD/MI yang dapat
menyelesaikan sekolahnya. Berdasarkan jenis kelamin, selisih angka melek huruf
laki-laki dan perempuan masih cukup besar yaitu : sekitar 4 persen. Perbedaan
angka melek huruf menurut jenis kelamin ini tampak berfluktuasi antar kabupaten.
Keadaan tersebut mengindikasikan adanya peningkatan kesadaran akan
pentingnya pendidikan yang berbeda antar wilayah tanpa melihat status jenis
kelamin, meskipun disadari pula bahwa di beberapa masyarakat tertentu masih
ada yang memprioritaskan anak laki-laki untuk disekolahkan dari pada anak
perempuannya.
Jika dilihat perkabupaten di Propinsi Sulawesi Barat, hasil Susenas 2006
menunjukkan bahwa variasi angka melek huruf berkisar antara 82 sampai 95
persen. angka melek huruf tertinggi di atas angka 90 persen terlihat didua
kabupaten yaitu Majene (95%), dan Mamuju Utara (94%). Sementara itu terdapat
satu kabupaten yang angka melek huruf nya di bawah 85 persen, yaitu Kabupaten
Polewali Mandar sebesar 82,06 persen. Berdasarkan jenis kelamin dan
kabupaten, angka melek huruf laki-laki berkisar antara 80 sampai 95 persen
dengan angka terendah di Kabupaten Polman (80,05%), sedangkan untuk
37
perempuan sedangkan angka tertinggi adalah Kabupaten Majene (96,48%) untuk
laki-laki.
Dengan demikian untuk mendorong peningkatan IPM berskala nasional
hingga mencapai posisi yang lebih baik, pemerintah provinsi Sulawesi Barat perlu
mengupayakan peningkatan angka melek huruf dan perluasan pendidikan dasar
dengan mempertahankan APM SD pada tingkat 99 % dengan mengupayakan
peningkatan APK SMP pada tahun 2011 menjadi 95 % (atau jumlah siswa
SMP/MTs sebanyak 66.326 siswa dan jumlah Penduduk usia 13 – 15 tahun
sebanyak 69.817 serta menurunkan angka buta aksara penduduk usia 15 tahun
ke atas hingga 5 % atau sebanyak 5.010 pada tahun 2009.
Selanjutnya peningkatan mutu elevansi, dan daya saing pendidikan, serta
mutu pendidikan merupakan kondisi di mana masukan, proses dan output adalah
baik, guru yang sesuai dengan persyaratan, sarana/prasarana yang tidak rusak,
dan biaya yang tidak mahal. Oleh karena itu, peningkatan mutu diarahkan pada
mutu masukan, proses, output, guru, sarana/prasarana, dan biaya. Sedangkan
relevansi pendidikan merupakan kondisi di mana terdapat keterkaitan antara
sekolah dengan lapangan pekerjaan sehingga semua lulusan akan memperoleh
atau menciptakan lapangan pekerjaan sesuai dengan jenis sekolah. Oleh karena
itu, relevansi diarahkan untuk melihat kesesuaian antara sekolah dengan
lapangan pekerjaan.
Pencapaian mutu dan relevansi pendidikan di masa datang diharapkan
dapat memberikan dampak peningkatan taraf hidup masyarakat dan daya saing
bangsa. Mutu dan relevansi pendidikan ditujukan oleh pencapaian prestasi
akademik dan non-akademik yang lebih tinggi serta relevansinya terhadap
tuntutan masyarakat dan dunia kerja yang ditunjukan oleh penguasaan iptek.
38
Selain dari itu, mutu pendidikan dapat dilihat dari dimensi kemanusiaan meliputi
keteguhan iman dan takwa, etika dan wawasan kebangsaan serta kepribadian
yang modern.
Sebagaimana yang dikemukakan di atas, bahwa salah indikator yang turut
mempengaruhi meningkatnya persentase angka melek huruf adalah karena
semakin meningkat pula angka partisipasi murni tingkat SD/MI dan menurunnya
angka partisipasi kasar (APK), sedangkan peningkatan APM dan penurunan APK
akan memberikan kontribusi kepada peningkatan angka melek huruf. Hubungan
antara keduanya dapat dilihat pada grafik di bawah ini
Grafik-11
Sumber: Kemendiknas, BPS Sulawesi Barat, 2010
Berdasarkan data tersebut di atas, pada tahun 2007 angka melek huruf
(%) untuk usia 15 tahun ke atas mengalami peningkatan sebesar 86.40%, sedikit
lebih tinggi dari tahun sebelumnya (85,90%) disebabkan oleh faktor APM pada
tahun itu juga mengalami peningkatan dan telah menembus angka 90-an
(92,17%). Padahal APK justru meningkat tajam dari 94,02% menjadi 109,93%, hal
ini disebabkan oleh persentase penrtumbuhan penduduk yang mencapai angka
0
50
100
150
200
250
300
350
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Angka Melek Huruf (%) 15 Tahun ke Atas
Angka Partisipasi Kasar Tingkat SD/MI
Angka Melek Huruf (%) 15 tahun ke atas
Angka Partisipasi Murni Tingkat SD/MI
39
tertinggi selama 5 tahun terakhir (3,23%). Namun demikian, hal tersebut tidaklah
terlalu berpengaruh karena disaat yang bersamaan persentase penduduk miskin
justru menurun (19,03%), berarti semakin membaik. Hal ini menunjukkan bahwa
jumlah masyarakat yang memiliki kemampuan untuk mendapatkan pendidikan,
utamanya pada tingkatan menengah ke atas juga semakin tinggi. Tingginya
masyarakat yang mengenyam pendidikan tentu saja akan berdampak positif
terhadap peningkatan angka melek huruf tersebut sebagai output dari proses
pendidikan formal dan/atau non formal.
Pada tahun 2008, angka melek huruf kembali mengalami peningkatan
(87,05%) karena APM juga mengalami peningkatan (95,20%) didukung pula oleh
APK yang mengalami penurunan drastis (78,69%) karena persentase penduduk
miskin berhasil ditekan menjadi 16,73%. Selain itu, laju pertumbuhan ekonomi
Sulawesi Barat pada tahun 2008 mengalami peningkatan yang sangat
menggembirakan karena merupakan laju pertumbuhan ekonomi tertinggi di
Indonesia (8,54%). Kondisi ini praktis akan memberikan dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, termasuk dalam hal tersedianya ruang bagi usia
sekolah untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan ini akan berkontribusi
pada berkurangnya APK dan meningkatnya APM pada tingkat SD/MI.
Pada tahun 2009, angka melek huruf justru mengalami penurunan
disebabkan oleh faktor menurunnya laju pertumbuhan ekonomi (6,89%) dan
semakin tingginya laju inflasi (3,21%), sedikit lebih tinggi dari tahun sebelumnya
(3,04%). Hal ini berdampak pada kesulitan masyarakat dalam menghadapi
gelombang ekonomi yang tidak menentu pada saat itu, sehingga mereka
mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan primer
40
maupun sekunder, termasuk di dalamnya kesulitan akan biaya pendidikan
(menengah ke atas).
2.3. Kesehatan
Indikator dalam bidang kesehatan dasar yang paling penting adalah
menyangkut tentang umur harapan hidup (UHH). Artinya adalah bahwa semakin
sehat seseorang, maka semakin besar pula harapan baginya untuk memiliki umur
yang panjang. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu indikator yang digunakan
untuk mengukur derajat kesehatan masyarakat adalah UHH. oleh karena itu,
semakin tinggi persentase masyarakat yang berusia panjang, maka semakin
tinggi pula derajat kesehatan masyarakatnya. Sebaliknya, semakin rendah
persentase masyarakat yang berusia panjang, maka semakin rendah pula derajat
kesehatan masyarakat.
Umur Harapan Hidup (UHH) di Sulawesi Barat dari tahun 2004 hingga
2009 dapat dikategorikan cukup baik karena selalu menunjukkan peningkatan.
Jika pada tahun 2004 sebagai tahun pertama berdirinya provinsi ini persentase
Umur Harapan Hidupnya hanya sebesar 66,30%, maka 5 tahun berikutnya (2009)
berhasil memperbaiki UHH menjadi 67,70%. Peningkatannya tidak terlalu
signifikan sebenarnya, tetapi paling tidak UHH menunjukkan tren positif setiap
tahun sebagai salah satu jargon percepatan pembangunan dalam bidang
kesehatan.
Indikator lain dalam bidang kesehatan dasar yang juga dinilai sangat
penting adalah pentingnya angka kematian bayi (Infant mortality rate), gizi kurang,
dan gizi buruk karena Indikator ini dinilai sangat sensitif terhadap perubahan
tingkat kesehatan dan kesejahteraan masyarakat.
41
Kematian bayi adalah kematian yang terjadi antara saat setelah bayi
lahir sampai bayi belum berusia tepat satu tahun. Banyak faktor yang dikaitkan
dengan kematian bayi. Secara garis besar, dari sisi penyebabnya, kematian bayi
ada dua macam yaitu endogen dan eksogen. Kematian bayi endogen atau yang
umum disebut dengan kematian neonatal; adalah kematian bayi yang terjadi pada
bulan pertama setelah dilahirkan, dan umumnya disebabkan oleh faktor-faktor
yang dibawa anak sejak lahir, yang diperoleh dari orang tuanya pada saat
konsepsi atau didapat selama kehamilan. Kematian bayi eksogen atau kematian
post neo-natal, adalah kematian bayi yang terjadi setelah usia satu bulan sampai
menjelang usia satu tahun yang disebabkan oleh faktor-faktor yang bertalian
dengan pengaruh lingkungan dari luar.
Sumber: Dinas Kesehatan Sulawesi Barat, 2010
Angka Kematian Bayi menggambarkan keadaan sosial ekonomi
masyarakat dimana angka kematian itu dihitung. Kegunaan Angka Kematian Bayi
untuk pengembangan perencanaan berbeda antara kematian neo-natal dan
kematian bayi yang lain. Karena kematian neo-natal disebabkan oleh faktor
endogen yang berhubungan dengan kehamilan maka program-program untuk
mengurangi angka kematian neo-natal adalah yang bersangkutan dengan
Grafik-12
42
program pelayanan kesehatan Ibu hamil, misalnya program pemberian pil besi
dan suntikan anti tetanus.
Sedangkan Angka Kematian Post-Neo Natal dan Angka Kematian Anak
serta Kematian Balita dapat berguna untuk mengembangkan program imunisasi,
serta program-program pencegahan penyakit menular terutama pada anak-anak,
program penerangan tentang gizi dan pemberian makanan sehat untuk anak
dibawah usia 5 tahun. Kesehatan dan gizi merupakan bagian dari indikator
kesejahteraan penduduk dalam hal kualitas fisik, salah satu indikator utama
adalah angka kematian bayi (AKB)
Dari grafik-12 di atas dapat dilihat bahwa penurunan angka kematian
bayi dari 30,00 persen tahun 2005 menjadi 27,40 persen tahun 2008 seiring
dengan menurunnya grafik angka gizi buruk dari 1,81 persen tahun 2005 menjadi
0,16 persen tahun 2009 dan Gizi kurang dari 8,95 persen tahun 2005 menjadi
2,38 persen tahun 2008. Hal ini memberikan indikasi betapa pembangunan
kesehatan di Sulawesi Barat mendapat perhatian yang besar dari pemerintah.
Pembangunan kesehatan merupakan investasi untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia. Dalam pengukuran Indeks Pembangunan
Manusia (IPM), kesehatan adalah salah satu komponen utama selain pendidikan
dan ekonomi. Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
ditetapkan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan
sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan
ekonomi. Secara umum, status kesehatan dan gizi masyarakat Indonesia terus
mengalami peningkatan, antara lain dilihat indikator angka kematian bayi,
kematian ibu melahirkan, usia harapan hidup, dan prevalensi gizi kurang.
43
Pembangunan kesehatan diarahkan untuk mendukung peningkatan
derajat kesehatan masyarakat melalui peningkatan akses masyarakat, terutama
penduduk miskin, terhadap pelayanan kesehatan dasar. Dalam upaya membuat
pemberian pelayanan kesehatan makin merata dan bermutu, ketersediaan sarana
pelayanan kesehatan dasar sangat diperlukan. Sampai dengan akhir tahun 2009
telah tersedia 178 unit Rumah sakit, baik rumah sakit pemerintah maupun rumah
sakit swasta dan rumah sakit ABRI. 2.171 Puskesmas termasuk Puskesmas
Pembantu, dan Klinik Keluarga Berencana sekitar 81 unit. Dan dari jumlah itu
terserap sedikitnya 2.487 tenaga kesehatan.
Meskipun demikian, banyak golongan masyarakat terutama penduduk
miskin belum sepenuhnya dapat mengakses pelayanan kesehatan karena
kendala biaya, jarak dan transportasi. Untuk itu, diperlukan peningkatan
ketersediaan, pemerataan dan mutu sarana pelayanan kesehatan dasar, terutama
di Puskesmas dan jaringannya. Dalam upaya memperluas jaringan pelayanan
kesehatan dasar di tingkat desa, akan ditingkatkan pelaksanaan poliklinik
kesehatan desa sebagai salah satu upaya perwujudan desa siaga. Di poliklinik
kesehatan desa tersebut dilaksanakan pelayanan kesehatan promotif, preventif,
kuratif dan rehabilitatif dalam upaya mempercepat penurunan angka kematian
bayi, angka kematian ibu dan meningkatkan status gizi. Dalam pelaksanaannya,
kegiatan ini lebih menekankan pada upaya pemberdayaan masyarakat. Selain
itu, untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dasar,
khususnya bagi penduduk miskin, pemberian Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
bagi Masyarakat Miskin (JPK-MM) akan terus dilanjutkan. Data berikut ini akan
menggambarkan beberapa indikator kesehatan yang menjadi perhatian
pemerintah dalam pembangunan bidang kesehatan.
44
Umur harapan hidup di Provinsi Sulawesi Barat menunjukkan
peningkatan dari 66,30 (tahun 2004) menjadi 67.70 (tahun 2009). Peningkatan ini
tentunya berbanding terbalik dengan data angka kematian bayi yang cenderung
manurun dari 30.00 (tahun 2005) menjadi 27.40 (tahun 2008). Sedangkan
presentase gizi buruk dan gizi kurang cenderung mengalami penurunan, yaitu dari
8,95 % (tahun 2006) turun menjadi 2,38% (tahun 2008). Beberapa data tidak
tersedia di Provinsi Sulawesi Barat sebagai provinsi baru pecahan dari Provinsi
Sulawesi Barat, hal ini karena data tersebut masih bergabung dengan data
Provinsi Sulawesi Barat, kegiatan pendataan khususnya pada Dinas Kesehatan
dilakukan pada tahun 2005, sehingga ketersediaan data ada yang mulai tahun
2006.
Upaya penanggulangan masalah gizi terutama difokuskan pada ibu
hamil, bayi, dan anak balita, karena mereka ini adalah golongan rawan yang
paling rentan terhadap kekurangan gizi serta besarnya dampak yang dapat
ditimbulkan. Masalah gizi bukan hanya masalah kesehatan, tetapi menyangkut
masalah sosial ekonomi, dan perilaku masyarakat. Dengan demikian, upaya
penanggulangan masalah gizi harus dilakukan secara sinergis meliputi berbagai
bidang seperti pertanian, pendidikan dan ekonomi dengan fokus pada kelompok
miskin.
Obat dan perbekalan kesehatan merupakan komponen penting dalam
pelayanan kesehatan. Ketersediaan dan keterjangkauan obat esensial untuk
pelayanan kesehatan perlu terus diupayakan. Meningkatnya ketersediaan obat
generik esensial diharapkan dapat mendorong pemakaian obat generik esensial
oleh masyarakat umum terutama bagi kelompok miskin, karena lebih terjangkau
oleh masyarakat. Upaya ini akan bersinergi dengan upaya peningkatan akses
serta prasarana pelayanan kesehatan dasar. Dengan sinergitas ini, masyarakat
45
diharapkan akan lebih mudah dalam menjangkau fasilitas kesehatan,
mendapatkan pelayanan yang bermutu, dan harga obat yang terjangkau.
Pembangunan kesehatan pada 4 tahun terakhir ini, merupakan bagian
dari upaya pencapaian sasaran pembangunan kesehatan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah 2005–2009 yaitu meningkatnya status
kesehatan dan gizi masyarakat yang ditandai dengan meningkatnya usia harapan
hidup, menurunnya angka kematian bayi, menurunnya angka kematian ibu, dan
menurunnya prevalensi gizi kurang pada balita. Untuk itu Pembangunan
kesehatan diarahkan pada :
(1) Peningkatan pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan, melalui
pembangunan, perbaikan dan pengadaan peralatan di Puskesmas dan
jaringannya terutama di daerah bencana dan tertinggal; pengembangan
jaminan kesehatan bagi penduduk miskin dengan melanjutkan pelayanan
kesehatan gratis di Puskesmas dan kelas III Rumah Sakit;
(2) Peningkatan upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit menular
dan wabah, melalui pencegahan dan penanggulangan faktor resiko,
peningkatan imunisasi, peningkatan surveilans epidemiologi dan
penanggulangan wabah termasuk flu burung;
(3) Penanganan masalah gizi kurang dan gizi buruk pada ibu hamil, bayi dan
anak balita, melalui peningkatan pendidikan gizi, penanggulangan kurang
energi protein (KEP), anemia gizi besi, gangguan akibat kurang yodium
(GAKY), kurang vitamin A, dan kekurangan zat gizi mikro lainnya; dan
(4) Peningkatan ketersediaan obat dan pengawasan obat, makanan dan
keamanan pangan, melalui peningkatan ketersediaan obat generik,
pengawasan keamanan pangan dan bahan berbahaya, peningkatan
46
pengawasan narkotika, psikotropika, zat adiktif (NAPZA). Kebijakan tersebut
didukung oleh promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat,
peningkatan lingkungan sehat, peningkatan sumber daya kesehatan,
pengembangan obat asli Indonesia, pengembangan kebijakan dan
manajemen pembangunan kesehatan, serta penelitian dan pengembangan
kesehatan.
Menyangkut tentang penyebaran jumlah tenaga perawat kesehatan jika
dibandingnya dengan jumlah masyarakat yang akan dilayani perbadingannya
semakin meningkat setiap tahunnya dari 0.13% (tahun 2005) menjadi 0,20%
(tahun 2009). Walaupun demikian disadari bahwa tenaga perawat kesehatan di
Povinsi Sulawesi Barat masih dibutuhkan utamanya tenaga spesialis.
2.4. Keluarga Berencana
a. Contraceptive Prevalence Rate (%)
Salah satu program pemerintah dalam mengontrol dan mengatur
kelahiran, adalah melalui program keluarga berencana (KB). Pengaturan
kelahiran ini diharapkan agar setiap keluarga akan memiliki kesempatan dan lebih
leluasa dalam mengatur sumberdaya yang dimilikinya demi kebahagiaan dan
kesejahteraan keluarganya.
Berdasarkan tabel-3, Contraceptive prevalence rate (%) selama dua
tahun berturut-turut mengalami peningkatan. Tahun 2007 (45,20%), 2008
(52,20%), namun terjadi penurunan di tahun 2009 (50,00%), berarti menurun
sebesar 2,20%. Sementara itu, untuk data tahun 2004-2006 belum bisa disajikan
karena pada tahun tersebut belum dilakukan pendataan ulang sebagai akibat dari
pemekaran wilayah provinsi. Meningkatnya persentase Contraceptive prevalence
47
rate secara langsung memberikan pengaruh yang besar terhadap persentase
pertumbuhan penduduk pada tahun 2007-2009. Pada tahun 2007 laju
pertumbuhan penduduk sebesar 3,23% menurun pada tahun berikutnya menjadi
1,54% dan 1,53% pada tahun 2009. Logika dasarnya adalah bahwa semakin
tinggi persentase Contraceptive prevalence rate, maka persentase pertumbuhan
penduduk akan semakin lamban.
Grafik-13
Sumber: BKKBN, Sulawesi Barat, 2010
Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memiliki prinsip
untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan
kebutuhan generasi masa depan. Pembangunan ini tidak hanya memprioritaskan
aspek ekonomi, tapi juga memperhatikan aspek lainnya seperti lingkungan dan
sosial. Untuk memenuhi ketiga aspek tersebut, kesehatan menjadi salah satu
ranah yang memilik peluang besar. Enam dari delapan target Millenium
Development Goals (MDGs) berhubungan dengan kesehatan serta empat di
antaranya bahkan dapat dicapai dengan melakukan intervensi di bidang
kesehatan reproduksi.
40
42
44
46
48
50
52
54
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Contraceptive Prevalence Rate
Contraceptive Prevalence Rate
48
Salah satu program kesehatan reproduksi yang telah menghasilkan
keberhasilan di Indonesia adalah Program Keluarga Berencana (KB). Program KB
sesungguhnya tidak hanya berfungsi untuk menurunkan laju pertumbuhan
penduduk, tetapi juga mengatasi permasalahan kesehatan reproduksi di
Indonesia sehingga dapat menunjang kelancaran pembangunan.
Program KB yang telah dirintis sejak dibentuknya PKBI pada tahun 1957,
baru dicanangkan sebagai program nasional pada tahun 1968 melalui
terbentuknya LKBN (Lembaga Keluarga Berencana Nasional). Meski telah
berhasil menurunkan tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia, tingkat pengguna
KB tidak mengalami perkembangan yang berarti. Menurut Susenas 2008, proporsi
wanita berusia 15-49 tahun berstatus menikah yang sedang dan pernah
menggunakan alat KB ialah sebesar 56,62%. Sementara itu, sekitar 30% atau
satu dari tiga Pasangan Usia Subur (PUS) di Indonesia pada tahun 2009 mesih
belum ikut serta dalam program KB (BKKBN, 2009).
Hal tersebut mencerminkan bahwa masih terdapat banyak hambatan
dalam pelaksanaan KB, di antaranya ialah hambatan yang berhubungan dengan
tradisi dan agama, kurangnya pengetahuan masyarakat, desentralisasi, efek
samping alat kontrasepsi modern, serta rendahnya partisipasi pria dalam KB.
Padahal bila dilaksanakan secara maksimal, program KB memiliki potensi untuk
menunjang pembangunan kesehatan, yakni mengendalikan laju pertumbuhan
penduduk, menurunkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan, mengurangi
prevalensi penyakit menular di Indonesia, menurunkan angka kematian ibu (AKI).
49
Grafik-14
Sumber: BKKBN Sulawesi Barat, 2009
Oleh karena itu, diharapkan Program KB ini dapat dioptimalisasikan
melalui kerja sama antara pihak-pihak yang terkait, yaitu pemerintah, sektor
swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan tenaga kesehatan,
masyarakat, serta media massa. Strategi implementasi yang dapat dilakukan yaitu
melalui promosi KB di masyarakat, peningkatan kualitas dan kuantitas Sumber
Daya Manusia (SDM), peningkatan partisipasi pria dalam program KB,
peningkatan koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah,
koordinasi penggunaan alat kontrasepsi di antara Pasangan Usia Subur (PUS),
pendidikan kesehatan reproduksi anak sejak usia dini, serta membangun
kemitraan dengan lembaga-lembaga yang terkait dengan Keluarga Berencana..
b. Pertumbuhan Penduduk (%)
Salah satu indikator yang dipengaruhi oleh Contraceptive prevalence rate
adalah menyangkut tentang pertumbuhan penduduk. Peserta KB di Sulawesi
Barat masih sangat rendah dengan daerah lainnya. Jumlah peserta KB di
Sulawesi Barat pada tahun 2009 yang mencapai 50,00% masih berada dibawah
rata-rata nasional yang sudah mencapai 70,91%. Hal itu secara tidak langsung
berpengaruh terhadap angka fertilitas total (total fertility rate) yang pada tahun
0
20
40
60
80
100
120
2005 2006 2007 2008
Jumlah Akseptor Baru dan Akseptor Aktif
Akseptor Baru
Akseptor Aktif
50
2007 tercatat sebesar 3,5. Angka ini memberikan indikasi bahwa bahwa setiap
wanita di Sulawesi Barat akan mempunyai anak sebanyak rata-rata 3,5 orang di
akhir masa reproduksinya.
Dari hasil Sensus Penduduk Provinsi Sulawesi Barat, tercatat jumlah
penduduk untuk tahun 2009 telah mencapai 1.032.256 orang. Jika dibandingkan
jumlah penduduk tahun sebelumnya (2008) hanya berjumlah 1.016.663 orang,
dengan demikian terjadi penambahan sedikitnya 15.593 orang. Dari data/grafik di
atas Nampak ledakan penambahan penduduk terjadi pertama pada tahun 2005
dengan penambahan penduduk sekitar 25.312 orang, dan ledakan kedua terjadi
pada tahun 2007 dari jumlah penduduk 1.001.199 orang menjadi 1.016.663 orang
(penambahan berkisar 31.330 orang). Jika dilihat jumlah penduduk per
kabupaten, maka penduduk Kabupaten Polewali Mandar menempati urutan
pertama menyusul Kabupaten Mamuju sebagaimana tabel berikut ini :
Tabel : 4 Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten Provinsi Sulawesi Barat, 2010
Kabupaten L u a s J u m l a h Kepadatan
Km2 Penduduk Penduduk
Majene 879,77 150.939 172
Polewali Mandar 2.090,05 396.253 190
Mamasa 2.843,85 139.962 49
Mamuju 8.221,81 336.879 41
Mamuju Utara 2.955,29 134.303 45
Sulawesi Barat 16.990,77 1.158.336 68
Sumber : BPS Sulawesi Barat, 2010
51
Nampaknya penambahan jumlah penduduk di Provinsi Sulawesi Barat
banyak disebabkan oleh meningkatnya jumlah pendatang yang mencari pekerjaan
dan/atau urusan lainnya, hal ini sesuai dengan laju arus penumpang baik melalui
darat, laut maupun udara, seperti pada grafik-15 di bawah ini.
Grafik-15
Sumber: BPS Sulawesi Barat, 2010
Sedangkan bicara tentang persentase pertumbuhannya, maka sejak tahun
2004 sampai tahun 2009, pertumbuhan penduduk di Sulawesi Barat cukup
fluktuatif. Pertumbuhan penduduk tertinggi dicapai pada tahun 2007 (3,23%) dan
terendah pada tahun 2006 (0,02%). Selanjutnya, kembali terjadi penurunan
persentase pertumbuhan penduduk yang cukup drastis dari 3,23% menjadi 1,54%
ditahun 2008 dan turun lagi menjadi 1,53% pada tahun berikutnya. Salah satu
indikator yang mempengaruhi fluktuatifnya pertumbuhan penduduk adalah karena
dari tahun ke tahun jumlah akseptor KB juga semakin meningkat.
0
0.51
1.5
2
2.53
3.5
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Pertumbuhan Penduduk (%)
Pertumbuhan Penduduk (%)
52
Grafik-16
Sumber: BPS Sulawesi Barat, 2010
Grafik di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2007 persentase
pertumbuhan penduduk meningkat tajam dari tahun sebelumnya (3,23%)
disebabkan oleh faktor masih rendahnya peserta akseptor KB (45,20%). Hal
tersebut juga turut dipengaruhi oleh masih tingginya persentase total fertility rate
(3,5%). Padahal, persentase untuk angka kematian bayi (AKB) sudah mulai
menurun, hal ini disebabkan oleh tidak tersedianya data kesehatan dan keluarga
berencana yang lengkap sehingga tidak dapat mendukung analisis tingkat
pertumbuhan penduduk secara akurat.
Tahun 2008 pertumbuhan penduduk mengalami penurunan yang cukup
drastis (1,54%), ini berarti menurun sebesar 1,69% jika dibandingkan dengan
tahun sebelumnya disebabkan oleh faktor meningkatnya peserta contraceptive
prevalence rate (52,20%), selain itu angka kematian bayi (AKB) yang relatif masih
tinggi (27,40%) juga turut berpengaruh. Selanjutnya, pada tahun 2009
pertumbuhan penduduk justru semakin menurun (1,53%) disebabkan oleh faktor
0
10
20
30
40
50
60
2004 2 005 2006 2007 2008 2009
Pertumbuhan Penduduk (% )
Pertumbuhan Penduduk (%) Contraceptive Prevalenc e Rate (%)
53
yang sama di tahun 2008, yaitu jumlah peserta contraceptive prevalence rate
yang masih tergolong tinggi (50,00%)
2.5. Ekonomi Makro
a. Laju Pertumbuhan Ekonomi
Secara garis besar laju pertumbuhan ekonomi Sulawesi Barat cenderung
meningkat, tren positif terhadap peningkatan laju pertumbuhan ekonomi terjadi
pada tahun 2008 yang bisa mencapai 8,54%, ini merupakan capaian tertinggi
yang diperoleh selama terbentuknya provinsi ini sejak lima tahun yang lalu,
bahkan Sulawesi Barat tercatat sebagai provinsi yang memiliki rangking tertinggi
dalam hal pertumbuhan ekonomi pada tahun itu. Sedangkan beberapa tahun dari
2004-2009 sifatnya fluktuatif, walaupun demikian, naik turunnya laju pertumbuhan
ekonomi pada lima tahun terakhir ini masih dalam batas-batas kewajaran, yaitu
masih kurang dari 0.9%.
Kondisi tersebut di atas juga tidak terlepas dari status provinsi Sulawesi
Barat yang masih tergolong provinsi baru. Membuat laju pertumbuhan ekonomi
stabil terlebih untuk melakukan peningkatan, bukanlah perkara yang mudah. Oleh
karenanya, keberhasilan pembangunan di Sulawesi Barat tidak terlepas dari
peran aktif pemerintah daerah yang berkomitmen penuh untuk membangun
Sulawesi Barat demi terwujudnya misi Sulawesi Barat menuju masyarakat yang
malaqbi. Pemerintah daerah melalui kebijakan anggaran daerahnya berperan
penuh terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kebijakan yang dimaksud
adalah dengan mengarahkan alokasi belanja rutin pada upaya peningkatan
kualitas pelayanan pemerintah untuk masyarakat, sementara pengeluaran
pembangunan diarahkan pada program proyek prasarana dan sarana sosial.
54
Kebijakan anggaran daerah Sulawesi Barat tercermin melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Kondisi perkembangan laju pertumbuhan ekonomi Sulawesi Barat dari
tahun 2004-2009 dapat dilihat pada grafik berikut.
Grafik-17
Sumber: BPS, Bappeda Sulawesi Barat, 2010
Berdasarkan data tersebut di atas, pada dasarnya laju pertumbuhan
ekonomi provinsi Sulawesi Barat cenderung mengalami peningkatan. pada tahun
2004 laju pertumbuhan ekonomi hanya sebesar 6,00%. Hal ini bisa dimaklumi
mengingat Sulawesi Barat pada saat itu baru memisahkan diri dari Sulawesi
Selatan, berdampak pada kondisi daerah belum 100% stabil, termasuk kondisi
ekonominya. Tahun berikutnya (2007) laju pertumbuhan ekonomi sudah mulai
menunjukkan perbaikan, merangkak dari 6,00% menjadi 6,78%, berarti berhasil
dinaikkan sebesar 0,78%, namun setahun berikutnya kembali turun (6,42%) dan
kembali naik ditahun 2007 (7,43%). Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa
hal menggembirakan kaitannya dengan laju pertumbuhan ekonomi ditunjukkan
pada tahun 2008 (8,54%). Tahun 2009 kembali turun (6,89%). Menurut Bappeda
0
2
4
6
8
10
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Laju Pertumbuhan Ekonomi
Laju Pertumbuhan Ekonomi (%)
55
Sulawesi Barat, pada dasarnya tidak menurun, akan tetapi anggaran belanja
daerah yang meningkat mempengaruhi lambannya laju pertumbuhan ekonomi.
Pendapatan daerah Sulawesi Barat mengalami kenaikan yang cukup
signifikan pada tahun 2008, dimana peningkatan pendapatan daerah tahun 2008
disebabkan oleh naiknya pendapatan asli daerah (PAD) dan dana perimbangan
masing-masing sebesar 11,63 persen dan 45,72 persen. Komponen PAD yang
mengalami kenaikan paling tinggi adalah retribusi daerah (sekitar 58,29 persen),
meskipun peningkatan ini tidak memberikan kontribusi pendapatan yang
signifikan.
Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari besarnya nilai PDRB (atas dasar
harga konstan) yang berhasil diciptakan pada tahun tertentu dibandingkan dengan
nilai tahun sebelumnya. Penggunaan angka atas dasar harga konstan ini
dimaksudkan untuk menghindari pengaruh perubahan harga, sehingga perubahan
yang diukur merupakan perubahan riil ekonomi. Dalam penghitungan PDRB 2005,
pertumbuhan ekonomi baik nasional maupun regional dihitung dengan
menggunakan harga konstan Tahun 2000 sebagai tahun dasar.
Selain itu, pendapatan yang berasal dari pajak daerah juga mengalami
kenaikan yang cukup besar. Untuk pendapatan yang berasal dari dana
perimbangan sebagian besar diperoleh dari dana alokasi umum (DAU). Selama
tahun anggaran 2007–2008, penerimaan Sulawesi Barat masih sangat
bergantung pada sumber dana tersebut. Hal tersebut dibuktikan dari besarnya
kontribusi DAU terhadap pendapatan daerah. Pada tahun 2007 kontribusinya
mencapai 76,35, meskipun pada tahun 2008 mengalami penurunan kontribusi
menjadi 70.93 persen. Hal ini wajar bila mempertimbangkan bahwa Provinsi
56
Sulawesi Barat belum bisa mengoptimalkan sumber pendapatan daerahnya
sebagai provinsi yang masih baru. Selain mendapat suntikan dana alokasi umum,
tahun 2008 pemerintah Provinsi Sulawesi Barat juga mendapat kucuran dana
berupa dana alokasi khusus.
Selain pertanian, sektor lain yang mempunyai kontribusi cukup besar
adalah sektor jasa-jasa, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor
industri pengolahan yang masing-masing menyumbang 12,83 persen, 12,74
persen, dan 7,35 persen (keadaan Tahun 2005) terhadap pembentukan total
PDRB Provinsi Sulawesi Barat. Sedangkan sektor listrik, gas, dan air bersih pada
tahun yang sama mempunyai kontribusi yang paling kecil, hanya sekitar 0,36
persen.
Menjelang lima tahun Sulawesi Barat berdiri, perekonomian Sulawesi
Barat dirasakan semakin membaik. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan ekonomi
yang terus mengalami peningkatan selama periode 2004-2008. Pada tahun 2008,
pertumbuhan ekonomi Sulawesi Barat tercatat mencapai 8,54 persen dan
merupakan peningkatan kinerja perekonomian tertinggi selama periode tersebut.
pada tahun 2009 mengalami pertumbuhan sebesar 4,5 persen dibanding tahun
2008. Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga konstan pada tahun
2009 mencapai Rp. 2.177,0 triliun, sedangkan pada tahun 2008 dan 2007 masing-
masing sebesar Rp. 2.082,3 triliun dan Rp. 1.964,3 triliun. Bila dilihat berdasarkan
harga berlaku, PDB tahun 2009 naik sebesar Rp. 662,0 triliun, yaitu dari Rp.
4.951,4 triliun pada tahun 2008 menjadi sebesar Rp. 5.613,4 triliun pada
tahun 2009.
57
Selama tahun 2009, semua sektor ekonomi mengalami pertumbuhan.
Pertumbuhan tertinggi terjadi pada Sektor Pengangkutan dan Komunikasi yang
mencapai 15,5 persen, diikuti oleh Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih 13,8 persen,
Sektor Konstruksi 7,1 persen, Sektor Jasa-jasa 6,4 persen, Sektor Keuangan,
Real Estat dan Jasa Perusahaan 5,0 persen, Sektor Pertambangan dan
Penggalian 4,4 persen, Sektor Pertanian 4,1 persen, dan Sektor Industri
Pengolahan 2,1 persen, serta Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran 1,1
persen. Pertumbuhan PDB tanpa migas pada tahun 2009 mencapai 4,9 persen
yang berarti lebih tinggi dari pertumbuhan PDB secara keseluruhan yang
besarnya 4,5 persen.
Sektor Pengangkutan dan Komunikasi yang mengalami pertumbuhan
sebesar 15,5 persen sekaligus merupakan sumber pertumbuhan terbesar pula
terhadap total pertumbuhan PDB yaitu sebesar 1,2 persen. Selanjutnya sumber
pertumbuhan yang cukup besar yaitu Sektor Pertanian, Sektor Industri
Pengolahan, dan Sektor Jasa-jasa masing-masing memberikan peranan sebesar
0,6 persen.
Selanjutnya nilai ekspor Sulawesi Barat terhadap PDRB dapat dijelaskan
bahwa pada tahun 2004 (data masih bergabung dengan Sulawesi Selatan)
dimana nilai eksport Sulawesi Barat sebesar 1.268.833,75 ribu US$, dengan
volume sebesar 657.783.784 ton. Selama tahun 2004, volume ekspor yang
terlihat menonjol adalah dari biji kakao yaitu sebesar 201.851,29 ton, disusul
dedak gandum 164.959,81 ton dan nikel 73.575,32 ton sedangkan nilai ekspor
yang tertinggi pada tahun 2004 adalah nikel yaitu sebesar 792.083.061,03 ribu
US$ disusul kakao sebesar 283.830.683,41 ribu US$.
58
Neraca perdagangan dari sisi riil menunjukkan kondisi yang sama
dengan sisi absolutnya. Meskipun pada tahun 2008 pertumbuhan ekspor sekitar
16,56 persen lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan impor sebesar 14,60
persen. Secara riil, nilai ekspor sebesar 545,37 miliar rupiah sedangkan nilai
impor mencapai 736,56 miliar rupiah atau terjadi defisit neraca perdagangan
sekitar 191,19 miliar rupiah.
b. Pendapatan Perkapita
Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi di atas, pendapatan perkapita
juga meningkat selama periode 2004-2009
Grafik-18
Sumber: Bappeda, BPS Sulawesi Barat, 2010
Pendapatan perkapita salah satunya dijadikan indikator untuk melihat
tingkat kesejahteraan masyarakat suatu daerah. Akan tetapi, pendapatan
perkapita ini belum tentu menggambarkan kondisi nyata karena penghitungan
PDRB mencakup semua aktivitas ekonomi yang terjadi di wilayah tersebut baik
yang merupakan kepemilikan domestik maupun luar daerah itu sendiri. Selama
kurun waktu 2004-2008 pendapatan perkapita Sulawesi Barat menunjukkan
peningkatan. Tahun 2004 pendapatan perkapita Sulawesi Barat sekitar 3,96 juta
rupiah, naik menjadi 4,56 juta rupiah pada tahun 2005. Selanjutnya mencapai
Pendapatan Perkapita (Rupiah)
59
5,162 juta pada tahun 2006 dan 6,091 juta pada tahun 2006. Atau dapat
dikatakan bahwa Pertumbuhan ekonomi dari 6,78 % pada tahun 2005 menjadi
6,42 % pada tahun 2006, meningkat menjadi 7,43 % pada tahun 2007 dan 8,54 %
pada tahun 2008. Nilai tertinggi pada tahun 2009 yaitu mencapai 8,671 juta
rupiah. Hal ini setidaknya dapat memberikan indikasi bahwa tingkat
kesejahteraan masyarakat Sulawesi Barat mengalami perbaikan yang positif.
c. Laju Inflasi
Laju inflasi yang sejak tahun 2004 mencapai angka tertinggi dan
cenderung tidak mengalami perubahan pada tahun berikutnya (3,64%). Secara
umum laju inflasi Sulawesi Barat relaif tidak stabil. Pada tahun 2008 misalnya
yang sudah menembus angka 3,04% terpaksa kembali naik menjadi 3,21% pada
tahun berikutnya.
Grafik-19
Sumber: Bappeda, BPS Sulbar, 2010
Inflasi didefinisikan sebagai suatu proses kenaikan harga-harga yang
berlaku dalam suatu perekonomian. Kinerja perekonomian yang meningkat
merupakan salah satu indikator keberhasilan pemerintah dalam mengendalikan
kegiatan ekonomi. Namun, secara makro pengendalian inflasi juga tidak kalah
pentingnya dengan perbaikan kinerja perekonomian. Tingkat inflasi yang
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Laju Inflasi
Laju Inflasi (%)
60
berfluktuasi tinggi menggambarkan besarnya ketidakpastian nilai uang, tingkat
produksi, distribusi, dan arah perkembangan ekonomi sehingga dapat
menimbulkan ekspektasi keliru dan manipulasi yang dapat membahayakan
perekonomian secara keseluruhan. Sebaliknya, inflasi yang rendah juga tidak
menguntungkan perekonomian karena menggambarkan rendahnya daya beli dan
permintaan masyarakat akan barang dan jasa yang pada gilirannya akan
memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Di Indonesia, tingkat inflasi diukur dengan indeks harga konsumen (IHK)
yang dihitung dan diumumkan ke publik setiap bulan oleh Badan Pusat Statistik
(BPS). Hingga saat ini, terdapat 66 kota besar utama di Indonesia yang menjadi
kota IHK sebagai dasar penghitungan inflasi. Salah satunya adalah kota Mamuju.
Di Provinsi Sulawesi Barat, penghitungan angka inflasi baru dimulai pada
pertengahan tahun 2008. Sebelum melakukan penghitungan inflasi, terlebih
dahulu dilakukan pemilihan paket komoditas dan menghitung diagram timbang
dari hasil Survei Biaya Hidup (SBH) tentang barang dan jasa yang dominan
dikonsumsi oleh masyarakat. Sedikit gambaran tentang laju inflasi Provinsi
Sulawesi Barat sebagaimana gamnbar berikut :
Grafik-20
Sumber: Bappeda Sulawesi Barat, 2009
‐5
0
5 Laju Inflasi SULBAR Juni 2008-Mei 2009
Laju Inflasi SULBAR Juni 2008‐Mei 2009
Laju Inflasi SULBAR Juni 2008 – Mei 2009
61
Selama periode Juni 2008-Mei 2009, laju inflasi Kota Mamuju sangat
berfluktuatif terutama pada tahun 2008. Setelah kenaikan BBM yang
diumumkan pemerintah pada bulan Mei 2008, harga-harga komoditas mulai
bergejolak. Khususnya di Kota Mamuju, laju inflasi pada bulan Juni mencapai
3,04 persen. Pada bulan berikutnya, dampak akibat kenaikan BBM cenderung
mengecil. Inflasi yang terjadi hanya sekitar 0,81 persen yang lebih dominan
didorong oleh penyesuaian harga saja. Selanjutnya, pada bulan Agustus 2008,
laju inflasi kembali bergejolak hingga mencapai level 3,21 persen. Tingginya
laju inflasi tersebut selama periode Juni 2008-Mei 2009 dan merupakan inflasi
tertinggi diantara 66 kota IHK. Pada bulan Oktober 2008, harga beberapa
komoditas utamanya kelompok bahan makanan cenderung turun yang
mengakibatkan terjadinya deflasi sebesar 1,56 persen. Usaha pemerintah yang
menurunkan kembali harga BBM cenderung tidak membuahkan hasil yang
signifikan.
Kurun waktu Juni 2008-Mei 2009, laju perubahan IHK tertinggi terjadi
pada Agustus 2008 yang mencapai 3,21 persen dengan nilai indeks sebesar
117,56. Kondisi tersebut diakibatkan oleh peningkatan semua indeks harga
kelompok pengeluaran dibandingkan bulan sebelumnya kecuali untuk kelompok
pendidikan, rekreasi, dan olah raga yang turun sebesar 0,19 persen.
Peningkatan indeks harga konsumen tertinggi terjadi pada kelompok bahan
makanan sekitar 9,15 persen dengan nilai IHK sebesar 134,71. Sementara itu,
IHK kelompok pengeluaran makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau
sebesa 120,43 dengan laju perubahan IHK sekitar 2,17 persen dibandingkan
dengan bulan Juli 2008. Selanjutnya, IHK kelompok perumahan sebesar 113,01;
kelompok sandang sebesar 112,56; kelompok kesehatan sebesar 105,43; dan
kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 108,78. Jika
62
diamati IHK per kelompok pengeluaran, nilai indeks harga pada kelompok
bahan makanan dan kelompok makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau
cenderung berfluktuasi. Keadaan ini terutama terjadi selama kurun waktu Juni-
Desember 2008.
Pada bulan Oktober 2008, harga beberapa komoditas utamanya
kelompok bahan makanan cenderung turun yang mengakibatkan terjadinya
deflasi sebesar 1,56 persen. Usaha pemerintah yang menurunkan kembali
harga BBM cenderung tidak membuahkan hasil yang signifikan. Pada bulan
Desember 2008, laju inflasi bergerak hingga ke level 1,20 persen lebih cepat
dibandingkan bulan sebelumnya yang hanya naik sebesar 0,08 persen.
Penurunan harga BBM tersebut tidak serta merta menurunkan harga barang
yang sudah terlanjur naik sebelumnya. Momen hari raya seperti Idul Adha dan
Natal juga ikut memicu kenaikan harga komoditas.
Hingga pertengahan tahun 2009, laju inflasi cenderung lebih stabil jika
dibandingkan tahun 2008. Pada awal tahun 2009, imbas penurunan BBM untuk
yang ketiga kalinya pada bulan ini agaknya baru dirasakan oleh masyarakat.
Terbukti dengan terjadi deflasi pada bulan Januari 2009 sebesar 0,85 persen.
Meskipun pada bulan selanjutnya terjadi inflasi, namun pergerakannya hanya
berkisar antara 0,12-0,35 persen saja. Bahkan pada bulan Mei mengalami
deflasi lagi sebesar 0,14 persen. Dapat dikatakan bahwa Masing-masing
kelompok komoditi memberikan andil atau sumbangan inflasi berdasarkan bobot
dan tingkat kenaikan harga yang terjadi pada kelompok tersebut, sebagai
berikut: kelompok bahan makanan -0,99 persen; kelompok makanan jadi,
minuman, rokok dan tembakau 0,50 persen; kelompok perumahan, air, listrik,
gas dan bahan bakar -0,12 persen; kelompok sandang 0,04 persen; kelompok
63
kesehatan 0,00 persen; kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga 0,01
persen; serta kelompok transpor, komunikasi dan jasa keuangan -0,27 persen.
Grafik-21
Sumber: Bappeda Sulbar, 2009
Untuk kelompok bahan makanan pada Januari 2009 mengalami deflasi
3,61 persen dengan IHK 135,47, berarti terjadi penurunan indeks harga
konsumen dibandingkan desember 2008 dengan IHK yang mencapai 140,55.
Dari sebelas sub kelompok dalam kelompok bahan makanan, tujuh sub
kelompok mengalami deflasi, dua sub kelompok mengalami inflasi dan satu
kelompok tidak mengalami perubahan indeks harga. Deflasi tertinggi terjadi
pada sub kelompok lemak dan minyak 11,33 persen dan yang terendah sub
kelompok buah-buahan 0,99 persen. Inflasi terjadi pada sub kelompok padi-
padian, umbi-umbian dan hasilnya 1,01 persen dan sub kelompok ikan
diawetkan 15,24 persen, sedangkan sub kelompok yang tidak mengalami
perubahan indeks harga adalah bahan makanan lainnya. Kelompok
pengeluaran ini memberikan sumbangan inflasi sebesar -0,99 persen.
Komoditas yang dominan memberikan sumbangan inflasi antara lain: bandeng
0,21 persen, katamba 0,08 persen, bayam 0,07 persen, beras 0,06 persen,
ikan asin belah 0,05 persen, minyak goreng 0,02 persen, kacang tanah, jeruk,
64
tomat sayur, apel, bawang putih, baronang, jagung muda, labu
parang/manis/merah dan tepung terigu masing-masing 0,01 persen.
Sedangkan komoditi yang memberikan sumbangan inflasi dominan tetapi
negatif antara lain: cakalang -0,41 persen, tongkol 0,27 persen, minyak kelapa
-0,19 persen, cabe rawit -0,12 persen, cabe merah -0,11 persen, kacang
panjang -0,08 persen, daging ayam ras -0,07 persen, ayam hidup -0,05 persen,
layang dan kangkung masing-masing -0,04 persen, tomat buah dan telur ayam
ras masing-masing -0,03 persen, serta ikan merah, cumi-cumi dan
kembung/gembung masing-masing -0,02 persen.
Selanjutnya kelompok Makanan Jadi, Minuman, Rokok dan Tembakau
Kelompok ini pada Januari 2009 mengalami inflasi 2,97 persen dengan indeks
harga sebesar 128,33 lebih tinggi bila dibandingkan dengan indeks harga
Desember 2008 yang sebesar 124,63. Seluruh sub kelompok pada kelompok
ini mengalami ineflasi masing-masing: sub kelompok makanan jadi 3,08
persen, sub kelompok minuman yang tidak beralkohol 0,92 persen dan sub
kelompok tembakau dan minuman beralkohol 3,91 persen. Pada Januari 2009,
kelompok ini memberikan sumbangan inflasi sebesar 0,50 persen. Sub
kelompok yang dominan memberikan sumbang inflasi adalah sub kelompok
makanan jadi sebesar 0,30 persen. Komoditas yang memberikan sumbangan
inflasi yang cukup dominan adalah rokok kretek filter 0,15 persen, kue basah
0,10 persen, ayam goreng 0,06 persen, sop 0,04 persen, martabak dan nasi
masing-masing 0,03 persen, rokok kretek, ikan bakar dan air kemasan masing-
masing 0,02 persen, serta sate dan soto masing-masing 0,01 persen.
Untuk bidang kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas & Bahan Bakar
Sama halnya dengan kelompok bahan makanan, kelompok ini pada Januari
2009 juga mengalami deflasi sebesar 0,48 persen dengan indeks harga
65
konsumen 111,95, berarti terjadi penurunan indeks harga konsumen
dibandingkan Desember 2008 dengan IHK yang mencapai 112,49. Seluruh sub
kelompok dalam kelompok ini mengalami deflasi, antara lain: sub kelompok
biaya tempat tinggal 0,21 persen, sub kelompok bahan bakar, penerangan dan
air 1,49 persen, sub kelompok perlengkapan rumah tangga 0,18 persen dan
sub kelompok penyelenggaraan rumah 0,69 persen. Dalam periode waktu yang
sama (Januari 2009), sub kelompok bahan bakar, penerangan dan air
memberikan sumbangan inflasi -0,07 persen yang terbesar dalam kelompok ini,
walaupun nilainya negatif. Sub kelompok biaya tempat tinggal, sub kelompok
perlengkapan rumah tangga dan sub kelompok penyelenggaraan rumahtangga
memberikan andil inflasi -0,03 persen, -0,01 persen dan -0,01 persen. Hanya
komoditas kontrak rumah yang memberikan andil inflasi positif, yaitu sebesar
0,05 persen. Sementara itu, komoditas yang memberikan sumbangan inflasi
yang cukup dominan tetapi negatif meliputi bahan bakar rumah tangga -0,06
persen, besi beton -0,03 persen, semen dan seng masing-masing -0,02 persen
dan sabun detergen bubuk -0,01 persen.
Pada Kelompok sandang mengalami inflasi sebesar 0,70 persen pada
Januari 2009 dengan IHK 115,37 yang berarti terjadi kenaikan indeks
dibandingkan indeks harga pada Desember 2008 dengan IHK 114,57. Tiga dari
empat sub kelompok pada kelompok pengeluaran ini mengalami inflasi, meliputi
: sub kelompok sandang laki-laki 0,47 persen, sub kelompok sandang
perempuan 0,70 persen dan sub kelompok barang pribadi dan sandang lainnya
1,63 persen. Sedangkan sub kelompok sandang anak-anak mengalami deflasi
0,45 persen. Pada Januari 2009 kelompok sandang memberikan sumbangan
inflasi 0,04 persen. Sub kelompok barang pribadi dan sandang lain memberikan
andil terbesar pada kelompok ini, yaitu sebesar 0,03 persen. Beberapa komoditi
66
memberikan sumbangan inflasi meliputi: emas perhiasan 0,03 persen dan baju
kaos/t-shirt wanita 0,01 persen.
Pada Kelompok kesehatan mengalami inflasi sebesar 0,05 persen pada
Januari 2009 dengan IHK 107,30 yang berarti terjadi kenaikan indeks
dibandingkan indeks harga pada Desember 2008 dengan IHK 107,25. Hanya
sub kelompok perawatan jasmani dan kosmetika yang mengalami perubahan
indeks sebesar 0,09 persen dengan andil inflasi hampir mendekati 0,00 persen.
Sedangkan tiga sub kelompok lainnya tidak mengalami perubahan indeks
harga. Berita Resmi Statistik Provinsi Sulawesi Barat No. 06/02/76/Th. III, 2
Februari 2009 terdapat 7 Komoditi yang mengalami perubahan harga adalah
deodorant, minyak rambut, sabun mandi cair dan shampo yang bila dijumlah
seluh andilnya hampir mendekati 0,00 persen.
Selanjutnya pada kelompok Pendidikan, Rekreasi dan Olahraga Pada
Januari 2009 kelompok pendidikan, rekreasi dan olahraga mengalami deflasi
0,13 persen dengan IHK 101,69 yang berarti terjadi penurunan indeks
dibandingkan indeks harga pada Desember 2008 dengan IHK mencapai 101,82.
Sub kelompok jasa pendidikan dan sub kelompok kursus-kursus/pelatihan tidak
mengalami perubahan IHK dibandingkan bulan sebelumnya. Deflasi terjadi pada
sub kelompok perlengkapan/peralatan pendidikan 0,29 persen dan sub
kelompok rekreasi 0,42 persen, sedangkan sub kelompok olahraga mengalami
inflasi sebesar 1,93 persen. Kelompok ini memberikan sumbangan inflasi
sebesar -0,01 persen. Hanya beberapa komoditi yang mengalami perubahan
harga antara lain: personal komputer/desktop, printer laser, cd-tape-rec-radio,
VCD/DVD player, playstation, cuci/cetak film, bola dan pakaian olahrag pria
Transpor, Komunikasi & Jasa Keuangan Kelompok ini mengalami deflasi 1,48
persen dengan IHK 105,14 pada Januari 2009, berarti terjadi penurunan indeks
67
dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 106,72. Hal ini dipicu oleh
terjadinya deflasi pada sub kelompok transpor 2,56 persen dan ub kelompok
sarana dan penunjang transpor 0,32 persen. Sedangkan sub kelompok
komunikasi dan pengiriman inflasi 1,70 persen. Sementara itu, sub kelompok
jasa keuangan tidak mengalami perubahan IHK dibandingkan dengan IHK
Desember 2008.Kelompok pengeluaran transpor, komunikasi dan jasa
keuangan memberikan sumbangan inflasi -0,27 persen terhadap inflasi umum di
kota ini Januari 2009. Komoditas yang mengalami perubahan harga dan
dominan memberikan sumbangan inflasi adalah telepon seluler 0,07 persen,
ban dalam mobil 0,00 persen, solar dan kendaraan carter masing-masing -0,01
persen, angkutan antar kota -0,02 persen dan bensin -0,29 persen.
2.6. Investasi
Bagian ini akan menganalisis beberapa indikator, antara lain; Nilai
Rencana PMA yang disetujui, Nilai Realisasi Investasi PMA (US$ Juta), Nilai
Rencana PMDN yang disetujui, Nilai Realisasi Investasi PMDN (Rp Milyar), dan
Realisasi penyerapan tenaga kerja PMA.
Grafik-22
Sumber: Penanaman Modal, Sulbar, 2010
0.000
0.500
1.000
1.500
2.000
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Nilai Realisasi Investasi PMDN (Rp. Milyar)
Nilai Realisasi Investasi PMDN (Rp. Milyar)
68
Nilai realisasi investasi PMDN (Rp. Milyar) menunjukkan capaian yang
cenderung meningkat. Jika pada tahun 2004 nilai realisasi investasi PMDN baru
berikisar 2.485, maka pada tahun 2009 berhasil dinaikkan menjadi 6.111, berarti
selama kurun waktu 5 tahun, Sulawesi Barat berhasil meningkatkan investasi
nilai realisasi investasi PMDN sebesar 3.626 dalam milyar rupiah.
Penanaman modal atau investasi secara langsung di sektor riil memiliki
peran yang dominan dalam pembangunan perekonomian daerah. Selain
kegiatan ini memberikan efek pengganda (multiplier) pada pertumbuhan
pendapatan daerah, penanaman modal dapat mendorong peningkatan daya beli
masyarakat di lokalitas dimana investasi tersebut ditanam. Penanaman modal
yang memiliki ”multipler keterkaitan tinggi” dapat menghasilkan peningkatan
lapangan kerja dan perkembangan industri hilir dan industri pasokan.
Pada grafik di atas Nampak bahwa nilai Penanaman Modal Dalam
Negeri (PMDN) sejak tahun 2004 hingga 2006 mencapai 1.014.471.276.235
(Rp. Milyar) atau berkisar 1,014 persen. Dari lnilai itu 63,2 persen bergerak pada
sector Primer (tanaman Pangan & Perkebunan) dan 27,6 persen pada sector
sekunder (Industri makanan). Selanjutnya terjadi peningkatan mulai pada tahun
2007 menjadi 1,142 persen dan tahun 2008 -2009 masing-masing menjadi
1,712 persen atau sebesar 1.712.014.133.552(Rp.Milyar) dari target yang
direncanakan sebesar 5.272.871.164.014 (Rp. Milyar), Sementara target
kedepan tahun 2010 mencapai 6.110.980.544.014 (Rp. Milyar).
Seluruh rangkaian kegiatan kehadiran penanaman modal di daerah pada
akhirnya akan memberikan dampak pada peningkatan kemampuan warga
masyarakat dan perusahaan-perusahaan swasta daerah melakukan
pembayaran pajak pada kas pemerintahan Daerah. Peran Penanaman Modal.
69
Penanaman modal secara konseptual meliputi antara lain tiga kegiatan
utama:
(a) investasi masyarakat,
(b) investasi swasta dalam rangka PMDN dan PMA dan
(c) belanja barang modal serta pengeluaran rutin oleh Pemerintah Daerah.
Kegiatan investasi dalam penanaman modal dapat berbentuk
pembangunan pabrik-pabrik baru atau perluasan kepemilikan lahan yang akan
digunakan untuk kegiatan usaha. Penanaman modal ternyata bukan hanya
merupakan monopoli kegiatan yang dilakukan oleh pihak masyarakat dan
pengusaha di sektor swasta. Wujud usaha ini dapat berbentuk kegiatan yang
biasa dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam berbagai aktivitasnya untuk
pengeluaran-pengeluaran belanja barang dan jasa, kegiatan penyertaan modal
dalam proyek infrastruktur, pengembangan sistem informasi, serta kegiatan
pemberian jasa pelayanan kepada publik. Dari sudut pandang pengklasifikasian
jenis penanaman modal seperti ini terlihat cukup luasnya cakupan penanaman
modal di suatu daerah.
Bangkitnya era desentralisasi dan otonomi daerah di tanah air
merupakan peluang besar bagi para pemilik modal, pelaku ekonomi dan
pemerintahan daerah untuk mengembangkan jenis-jenis penanaman modal
tersebut. Otonomi daerah memberikan keleluasaan pada pemerintahan daerah
untuk merealisasikan visi dan misi serta rencana-rencana pembangunan
wilayah dengan memobilisir kehadiran industri-industri andalan, kegiatan
produksi dan perdagangan oleh perusahaan kecil dan menengah, serta usaha-
usaha rumah tangga oleh berbagai kalangan masyarakat. Bagi perusahaan
domestik yang telah melakukan kegiatan usahanya di satu wilayah, masuknya
70
para penanam modal baru akan membuka berbagai peluang dalam kerjasama
investasi dan produksi secara lebih luas lagi.
Hasilnya dapat disimpulkan bahwa pada tahap-tahap awal pembangunan
daerah, porsi investasi pemerintah daerah cenderung akan mendominasi
keseluruhan investasi yang terjadi di daerah. Baru setelah tahapan kegiatan
industrialisasi terlewati maka porsi investasi pemerintah ini akan menurun dan
digantikan dengan penggelembungan investasi swasta. Sedangkan pada
tahapan pembangunan daerah yang telah maju, peran investasi masyarakat
secara berangsur menguasai mayoritas realisasi investasi di suatu daerah.
Grafik-23
Sumber: Penanaman Modal, Sulbar, 2010
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa pada tahun 2004 hingga 2006
tidak tersedia data tentang Penanaman Modal Asing (PMA) di Sulawesi Barat,
Pada tahun 2007 nilai realisasi investasi PMA sebesar 182.609(US$ juta) atau
sekitar 0,18 %, nampaknya angka ini bertahan hingga tahun 2009, sehingga
dapat dikatakan nilai PMA di Sulawesi Barat Konstant pada angka 0,18%.
Namun jika dibandingkan dengan Rencana PMA yang disetujui tercatat sejak
0
0.05
0.1
0.15
0.2
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Nilai Realisasi Investasi PMA (US$ Juta)
Nilai Realisasi Investasi PMA (US$ Juta)
71
tahun 2004 – 2007 sebesar 10.037.500.000(US$ juta) dan meningkat pada
tahun 2008 menjadi 25.109.239.000(US$ juta) dan pada tahun 2009 menjadi
31.473.069.000 (US$ juta)
Kegiatan investasi PMA yang dapat dikembangkan di daerah dan
berpotensi menghasilkan devisa dan efek pengganda terbesar dapat dicirikan
sebagai berikut:
1. Kegiatan industri pertanian berorientasikan ekspor
2. Kegiatan industri pengolahan dan industri pasokan yang menggunakan lebih
banyak tenaga kerja dan bahan baku local
3. Kegiatan industri berteknologi madya dan tinggi yang memanfaatkan para
pekerja trampil dan professional
4. Kegiatan tambak ikan dan udang, industri pengalengan dan industri
pengolahan hasil barang pertanian dan perikanan
5. Kegiatan industri elektronika, komputer dan produk-produk peralatan
kedokteran dan farmasi
6. Kegiatan industri pengolahan hasil hutan, industri perabotan rumahtangga
menggunakan listrik . industri pakaian, dan industri kerajinan
7. Kegiatan industri mesin dan pasokan peralatan pabrik
8. Kegiatan industri galangan kapal serta produksi otomotif, dsb.
Sedangkan kegiatan investasi PMA yang diperkirakan kurang memberikan
dampak dan pengaruhnya pada kemajuan pertumbuhan perekonomian daerah,
karena cenderung memberikan efek pengganda yang relatif kecil, antara lain
terdiri dari:
1. Kegiatan industri berat berteknologi tinggi yang sebagian besar bahan baku
dan tenaga kerjanya diimpor.
72
2. Kegiatan perdagangan dan usaha retail skala besar seperti kawasan mall,
hypermarket dan keagenan penjualan barang-barang impor
3. Kegiatan industri karoseri mobil
4. Kegiatan perbankan dan asuransi
5. Kegiatan usaha pertambangan
6. kegiatan penangkapan ikan dengan peralatan modern
7. kegiatan industri yang footloose seperti sepatu, minuman, pengepakan,
kantor perwakilan dsb.
Dari daftar kegiatan industri ini semakin jelas perlunya Pemerintah
Daerah melakukan upaya industrial targeting pada kegiatan-kegiatan investasi
swasta dari luar daerah (PMDN dan PMA) yang memberikan efek pengganda
tinggi. Proses pengembangan industri tersebut seyogyanya hanya dipilih pada
beberapa jenis kelompok industri saja yang memiliki prospek pasar, keterkaitan
erat pada industri pasokan lokal dan keterkaitannya dengan kompetensi yang
dimiliki daerah, Proses prioritasisasi demikian diharapkan akan dapat
mendorong laju perkembangan perekonomian daerah secara berkelanjutan.
Investasi PMA yang termasuk dalam kategori kelompok industri yang
menghasilkan pengganda rendah bukan berarti perlu dihindari; karena investasi
pada kegiatan-kegiatan tersebut dapat juga berpotensi dalam menghasilkan laju
pertumbuhan perekonomian daerah yang cukup berarti. Hanya saja biasanya
industri yang demikian kurang dapat memberikan dampak simultan pada
peningkatan pendapatan masyarakat lokal di daerah, perkembangan industri
pasokan di daerah dan tambahan lapangan kerja yang tinggi.
Penanaman modal secara langsung lebih merupakan pilihan untuk
mendorong laju pertumbuhan perekonomian daerah dibandingkan dengan
investasi pada investasi portofolio aset keuangan. Hal ini beralasan mengingat
73
jenis investasi yang dilakukan oleh para kreditur, investor finansial, dan investor
perseorang pada aset-aset keuangan (saham, obligasi, asuransi, dsb) tidak
memiliki tingkat kepastian pada hasil efek multipliernya yang lebih berkelanjutan.
Artinya, jika kita perhatikan kehadiran investasi sektor finansial dalam perspektif
kepentingan daerah, umumnya kegiatan-kegiatan investasi pada sektor
keuangan dan asuransi sangat rentan (vulnarable) pada kejadian-kejadian
lingkungan bisnis serta iklim investasi yang ada di daerah tersebut
Sedangkan investasi di sektor riil dengan karakternya yang terikat dengan
lokasi tertentu (location spesific asset) akan lebih bertahan menetap di daerah
jika pada saat-saat tertentu terjadi goncangan instabilitas lingkungan usaha
yang mempertinggi resiko negara (country risk). Investasi perusahaan untuk
pembelian lahan usaha, pabrik-pabrik dan mesin-mesin akan sedikit sulit untuk
segera ditutup dan dipindahkan (withdrawals) pada kegiatan-kegiatan usaha di
daerah lainnya apabila di daerah terjadi gangguan keamanan dan resiko
berusaha tersebut. Iklim Investasi dan Peningkatan Kesiapan Daerah.
Penanaman modal di daerah perkotaan dan wilayah hinterland yang
subur dan menjanjikan akan tumbuh berkembang sejalan dengan suasana iklim
investasi dan iklim usaha yang ramah dan terpelihara dengan baik. Merupakan
suatu kebutuhan bagi para pengusaha bahwa dalam melakukan penanaman
modal, pada rentang waktu yang direncanakannya mereka dapat memperoleh
kembali dan merealisasikan arus penjualan dan menutupi biaya modal dari
kegiatan usaha yang digelutinya tersebut. Memang iklim investasi merupakan
syarat mutlak tanpa dapat ditawar-tawar bagi kehadiran penanaman modal di
suatu daerah.
Isu berikutnya jika demikian adalah bagaimanakah iklim investasi ini
dapat dibangun dan dikembangkan. Singkat kata, iklim investasi yang positif di
74
daerah dapat ditingkatkan melalui upaya-upaya berkesinambungan yang
dilakukan oleh para birokrat dan para pelaku ekonomi di daerah dalam hal-hal
berikut ini:
1. Memberikan kepastian hukum atas peraturan-peraturan daerah dan produk
hukum yang berkaitan dengan kegiatan penanaman modal sehingga tidak
memberatkan beban tambahan pada biaya produksi usaha.
2. Memelihara keamanan dari potensi gangguan kriminalitas oleh oknum
masyarakat terhadap aset-aset berharga perusahaan, terhadap jalur
distribusi barang dan gudang serta pada tempat-tempat penyimpanan
barang jadi maupun setengah jadi.
3. Memberikan kemudahan yang paling mendasar atas pelayanan yang
ditujukan pada para investor, meliputi perijinan investasi, imigrasi,
kepabeanan, perpajakan dan pertahanan wilayah.
4. Memberikan secara selektif rangkaian paket insentif investasi yang bersaing
5. Menjaga kondisi iklim ketenagakerjaan yang menunjang kegiatan usaha
secara berkelanjutan.
Bagi kepentingan para penanam modal asing maka selain iklim investasi
tersebut, kehadirannya masih perlu didukung oleh adanya ketentuan-ketentuan
dan perlakuan yang tidak diskriminatif, yang diberikan pada para pengusaha
lokal atau domestik dalam arena memperebutkan pangsa pasar. Sudah
selayaknya jika para pemilik modal asing menginginkan adanya perlindungan
dan jaminan investasi atas ancaman terjadinya resiko nasionalisasi dan
eksproriasi. Merekapun menginginkan adanya jaminan dalam hak untuk dapat
mentransfer laba maupun deviden, dan hak untuk melakukan penyelesaian
hukum melalui arbitrase internasional.
75
Atas dasar ini dipandang perlu dan sudah merupakan keharusan bagi
Indonesia segera meratifikasi RUU Penanaman Modal yang telah terkatung-
katung keberadaannya sejak tahun 1995. Undang-Undang Penanaman Modal
secara nasional ini akan diterima jika Pemerintah Pusat segera melakukan
restrukturisasi organisasi lembaga publik dan departemen pada tingkat pusat
dan kemudian memberikannya kewenangan yang lebih luas pada Pemerintah
Daerah dalam merencanakan dan mengatur rumah tangganya secara lebih
leluasa.
Upaya menarik penanaman modal untuk berinvestasi di lokalitas tertentu
di satu wilayah pada tahun-tahun mendatang akan menjadi semakin kompleks
dengan adanya globalisasi. Persaingan memperebutkan arus lalulintas modal
antar benua akan semakin bersaing mengingat lokalitas-lokalitas alternatif di
dunia telah tumbuh berkembang semakin banyak dan luas. Pertimbangan-
pertimbangan ”azas-azas efiensi, aksesibilitas dan kesiapan kompetensi
daerah” akan merupakan kunci sukses bagi peningkatan penanaman modal
dalam era otonomi daerah.
Para pelaku ekonomi di daerah dan aparat birokrasi pemerintahan
daerah perlu secara bersama mulai melakukan persiapan-persiapan dalam
upaya terprogram meningkatkan kompetensi daerah. Upaya awal yang paling
mendasar adalah membangun kesiapan sumber daya manusia yang trampil dan
cekatan. Sekolah-sekolah kejuruan industrial, ekonomi, teknologi dan bahasa
dapat dibangun secara sinergi antar unsur-unsur pelaku ekonomi yang ada di
daerah. Memang benar tenaga kerja trampil berpotensi untuk hijrah lintas
daerah. Akan tetapi mengingat keberadaan ikatan-ikatan sosial yang masih kuat
di beberapa daerah di tanah air serta terbangun nya program pengembangan
76
industri daerah, potensi bermigrasinya tenaga kerja trampil ke wilayah-wilayah
ekonomi di kota metropolitan dapat dikurangi.
Berikutnya ketersediaan fasilitas prasarana industri seperti pergudangan,
jalur transportasi untuk logistik barang, pelabuhan, terminal serta hub-hub intra
moda transportasi, sumber energi, air bersih, saluran irigasi lintas-desa,
lembaga-lembaga ekonomi dan finansial pedesaan, serta pos-pos kolektor dan
penyimpanan produk-produk hasil pertanian perlu dibangun secara memadai
dan berkualitas.
2.7. Infrastruktur
Bidang infrastruktur mempunyai peran yang sangat penting dalam
memperkokoh persatuan dan kesatuan. Sejak lama infrastruktur diyakini
merupakan pemicu pembangunan suatu kawasan. Dapat dikatakan disparitas
kesejahteraan antar kawasan juga dapat diidentifikasi dari kesenjangan
infrastruktur yang terjadi. Pengalaman menunjukkan bahwa infrastruktur
transportasi berperan besar untuk membuka isolasi daerah, serta ketersediaan
pengairan merupakan prasyarat kesuksesan pembangunan pertanian dan
sektor-sektor lainnya.
Untuk mengetahui perkembangan infrastruktur di Sulawesi Barat
khususnya menyangkut tentang kondisi jalan, baik jalan nasional maupun jalan
provinsi, akan diuraikan berikut ini.
77
Grafik-24
Sumber: Dinas PU, BPS Sulbar, 2010
Pembangunan infrastruktur adalah bagian integral dari pembangunan
Provinsi Sulawesi Barat. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan
ekonomi. Kegiatan sektor transportasi merupakan tulang punggung pola
distribusi baik barang maupun penumpang. Selain itu, infrastruktur mempunyai
peran yang tak kalah penting untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan.
Sejak lama infrastruktur diyakini merupakan pemicu pembangunan suatu
kawasan. Dapat dikatakan disparitas kesejahteraan antarkawasan juga dapat
diidentifikasi dari kesenjangan infrastruktur yang terjadi diantaranya. Dalam
konteks ini, ke depan pendekatan pembangunan infrastruktur berbasis wilayah
semakin penting untuk diperhatikan. Pengalaman menunjukkan bahwa
infrastruktur transportasi berperan besar untuk membuka isolasi daerah, serta
ketersediaan pengairan merupakan prasyarat kesuksesan pembangunan
pertanian dan sektor-sektor lainnya.
Masalah utama yang dihadapi Provinsi Sulawesi Barat dalam
pembangunan berbagai aspek adalah ketertinggalannya dalam hal infrastruktur
Kondisi Jalan Nasional
78
dan prasarana wilayah. Dua dari lima kabupaten yang ada masih relatif sulit
dijangkau dari ibu kota provinsi yakni Mamasa dan Mamuju Utara. Sementara
itu, masih banyak wilayah terpencil yang sulit dijangkau kendaraan roda empat,
bahkan roda dua, karena jalan dan jembatan yang belum memadai. Hubungan
antar desa, desa dengan ibu kota kecamatan, hingga ke ibu kota kabupaten,
belum menjamin mobilitas manusia dan barang yang memadai, serta belum
semua desa dapat dilayani kebutuhan air bersih dan prasarana pengairan.
Inilah yang menyebabkan desa-desa di Provinsi Sulawesi Barat berkategori
tertinggal. Dalam hubungan keluar daerah, bandar udara yang ada juga belum
memungkinkan lalu lintas pesawat berbadan besar; sementara pelabuhan laut
memerlukan pembenahan serius untuk bisa menopang arus manusia dan
barang lewat laut.
Pada pembangunan jalan dan jembatan diperlukan adanya koordinasi
dan pembagian kewenangan penanganan terhadap jalan dan jembatan, yang
meliputi jalan nasional, jalan provinsi dan jalan kabupaten. Keadaan saat ini
panjang jalan nasional adalah 544 Km, dengan jumlah jembatan nasional 443
buah. Sedangkan untuk panjang jalan provinsi 602,95 Km, dengan jumlah
jembatan provinsi sebanyak 173 buah. Pada kenytaannya kondisi jalan dan
jembatan di Provinsi Sulawesi Barat masih sangat memprihatinkan dan
hendaknya segera tertangani.
Perkembangan Jalan Nasional 2005-2009 dengan panjang 544 Km
dimana pada tahun 2005 kondisi Jalan Baik dan Sedang hanya berkisar 20 %
sedangkan yang kondisi rusak ringan dan berat menghampiri 80 %. Perhatian
Pemerintah terhadap pembangunan infrastruktur sehingga mengalami yang
perkembangan yg signifikan dimana di tahun 2009 kondisi Jalan Baik dan
79
Sedang telah mencapai 80 % sedangkan kondisi Rusak Ringan dan Rusak
Berat hanya di bawah 20 % dan berada di Batas Sulsel-Polewali-Majene-
Mamuju sedang ditangani di Tahun Anggaran 2010 dan dilanjutkan 2011.
Adapun Perkembangan jalan Provinsi 2006-2009 dengan panjang pada tahun
2006 adalah 602 Km dengan kondisi jalan baik dan sedang 25 % dan Rusak
Ringan dan Rusak Berat 75 %. Tahun 2009 panjang jalan Provinsi 441 Km
dimana kondisi Jalan Baik dan Sedang 33 % dan Rusak Ringan dan Rusak
Berat 67 %.
2.8. Pertanian
Nilai tukar petani (NTP) merupakan salah satu ukuran pendekatan yang
berguna untuk melihat potret kesejahteraan rumah tangga petani. Dengan kata
lain, indikator ini bukanlah satu-satunya ukuran yang dapat melihat
kesejahteraan petani. Namun, pada kenyataannya masih sangat sedikit ukuran
yang mengungkap masalah tersebut. Hingga saat ini, NTP yang masih
diperhatikan dan dikenal (popular) di masyarakat.
Indikator ini mengukur kemampuan tukar produk (komoditas) yang
dihasilkan/dijual petani dibandingkan dengan produk yang dibutuhkan petani
baik untuk proses produksi (usaha) maupun untuk konsumsi rumahtangga
petani. Jika NTP lebih besar dari 100 maka dapat diartikan kemampuan daya
beli petani periode tersebut relative lebih baik dibandingkan dengan periode
tahun dasar, sebaliknya jika NTP lebih kecil atau di bawah 100 berarti terjadi
penurunan daya beli petani.
Perkembangan NTP di Sulawesi Barat cenderung berfluktuasi. Meskipun
demikian, selama periode setahun terakhir (April 2008-April 2009) nilai
indeksnya selalu lebih besar dari 100. NTP pada bulan April 2008 sebesar
80
100,81 (2007=100). Angka tersebut terus mengalami peningkatan hingga April
2009 yang mencapai 105,14. Dapat diartikan bahwa taraf kehidupan rumah
tangga petani di Sulawesi Barat pada bulan April 2009 secara agregat
mengalami kenaikan dan cukup mendapatkan keuntungan (surplus) yang
berarti. Hal ini digambarkan dari indeks harga yang diterima petani (126,36)
mengalami peningkatan sebesar 15,66 persen, dibandingkan dengan indeks
yang dibayar petani (120,26) yang hanya meningkat sebesar 10,90 persen.
Peningkatan tertinggi dari kenaikan indeks yang diterima petani (It)
terjadi pada subsektor perikanan sebesar 20,26 persen yakni dari 102,06
menjadi 122,74. Sementara peningkatan It terendah dialami oleh subsektor
hortikultura yang hanya mencapai 12,49 persen dengan perubahan indeks dari
94,94 (April 2008) menjadi 106,8 (April 2009).
Secara umum, gambaran perkembangan NTP di Sulawesi Barat
mengalami peningkatan positif atau dengan kata lain kesejahteraan petani
cenderung baik. Namun, pengamatan menurut sub sektor menunjukkan bahwa
kesejahteraan tersebut hanya dinikmati oleh sebagian rumahtangga petani saja.
Berdasarkan penghitungan NTP di Sulawesi Barat, masih terdapat tiga
subsektor yang indeks NTP-nya di bawah 100. Keadaan ini menggambarkan
bahwa harga komoditas yang diproduksi petani belum dapat mengimbangi laju
kenaikan harga barang-barang dan jasa yang dikonsumsi, baik untuk biaya
produksi maupun kebutuhan rumahtangganya. Kenaikan biaya produksi ini
dipicu oleh kelangkaan pupuk bersubsidi, akibatnya harga pupuk melonjak
tajam. Hingga April 2009, keadaan ini terutama dirasakan petani tanaman
pangan dan hortikultura. Indeks harga yang diterima petani tanaman pangan
pada bulan April 2009 hanya sebesar 115,4 lebih kecil jika dibandingkan dengan
indeks harga yang dibayar petani mencapai 119,39. Sementara itu, It
81
hortikultura pada bulan yang sama sebesar 106,8 lebih kecil daripada (Ib) yang
mencapai 119,65. Meskipun (It) ini telah mengalami peningkatan dibandingkan
tahun sebelumnya, namun peran aktif pemerintah dalam mengambil kebijakan
yang menguntungkan petani diharapkan lebih besar lagi.
2.9. Kehutanan
Hutan merupakan potensi alam sebagai salah satu “common property
resources” yang sangat berharga, mengingat beragam fungsi yang sangat vital
bagi keberlanjutan kehidupan lokal, nasional maupun global. Kawasan hutan di
berbagai daerah ada yang mencapai sekitar 28.22 % dari luas daratan , yaitu
sekitar 1. 30 juta Ha, digolongkan menjadi kawasan hutan produksi 802.768
Ha, kawasan hutan lindung 315. 500 Ha dan kawasan hutan konservasi
230.153 Ha (NKLHD,1998). Penekanan pertumbuhan ekonomi selama PJP I,
telah memacu pula semakin meningkatnya tekanan terhadap cadangan potensi
hutan. Sedangkan keadaan kawasan hutan bakau diperkirakan tinggal 10 %.
Grafik-25
Sumber: Dinas Kehutanan Sulbar, 2010
0102030405060708090
100
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Persentase Luas Lahan Rehabilitas i dalam Hutan terhadap Lahan Kritis
Persentase Luas Lahan Rehabilitasi dalam Hutan terhadap Lahan Kritis
82
Data tersebut di atas menunjukkan bahwa, pada tahun 2004 luas lahan
rehabilitasi dalam hutan terhadap lahan kritis mencapai 55,49%, secara
bertahap mengalami peningkatan tiap tahun berikutnya. Tahun 2005 (50,32%),
2006 (69,77%), dan selama tiga tahun, yaitu 2007-2009 tidak mengalami
peningkatan (88,70%)
Berdasarkan data dari dinas terkait, sebagian besar permukaan daratan
di Sulawesi Barat masih tertutupi hutan. Tercatat pada tahun 2007 proporsi
luas hutan terhadap luas daratan masih sebesar 75,21 persen. Artinya setiap
100 Ha luas daratan masih sekitar 75,21 Ha yang berupa hutan. Hal ini
menunjukkan bahwa sumber daya hutan yang ada di Sulawesi Barat masih
sangat berpotensial. Selain daripada itu, Sulawesi Barat masih memiliki modal
utama sebagai paru-paru wilayah Indonesia pada umumnya dan Provinsi
Sulawesi Barat pada khususnya. Meskipun demikian, perubahan luas hutan
tersebut cenderung telah menunjukkan adanya konversi lahan yakni dari
kawasan hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan, dan pemukiman. Pada
tahun 2008, luas hutan berkurang sebesar 425 Ha menjadi 12.355 Ha atau
sekitar 72,72 persen terhadap luas daratan.
Kawasan hutan tersebut tersebar di sebagian besar wilayah di tiap
kabupaten. Pada tahun 2008, Kabupaten Mamuju merupakan kabupaten
dengan luas hutan terbesar yakni sekitar 6.751 Ha atau menutupi sebesar
82,11 persen wilayah daratannya. Sedangkan untuk Kabupaten Polewali
Mandar sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan Provinsi Sulawesi
Barat memiliki luas hutan sebesar 1.215 Ha atau proporsi hutan terhadap
daratannya hanya sekitar 58,13 persen. Sementara luas lahan rehabilitasi
dalam hutan terhadap lahan kritis data yang akurat belum tersedia.
83
Penyusutan luas hutan dapat terjadi karena kebakaran hutan,
penebangan yang tidak terencana secara cermat atau disebabkan karena
pencurian serta alih fungsi. Khususnya penyusutan luas hutan karena
pencurian melalui penebangan liar. Hal tersebut menunjukkan indikasi bahwa
secara umum masih terdapat kesenjangan kesejahteraan masyarakat sekitar
kawasan hutan.
Telah terjadi perubahan paradigma pengelolalaan hutan yaitu: menuju
pegelolaan hutan secara berkelanjutan yang mana selama ini menempatkan
pengelolaan hutan sebatas “forest timber management” menjadi “forest
resource and total ecosystem management” sehingga hutan diharapkan dapat
berfungsi sebagai ekologis, sosial budaya dan produksi/ekonomi secara
terpadu.
Dalam rangka menuju pengelolaan hutan secara berkelanjutan di
Sulawesi Barat maka perlu dipilih strategi untuk meningkatkan ketiga fungsi
tersebut. Untuk meningkatkan fungsi ekologi hutan maka upaya yang dilakukan
dititik beratkan pada kawasan daratan yang memiliki kelerengan lebih 45 %
dan peka terhadap erosi. Sedangkan di kawasan perairan dalam hal ini adalah
kawasan hutan mangrove maka dititik beratkan pada kawasan yang memiliki
abrasi laut yang pada tingkat yang membahayakan serta pada kawasan muara
sungai. Fungsi sosial budaya diupayakan untuk semakin melibatkan peran
serta masyarakat, terutama masyarakat sekitar kawasan hutan . Disamping itu
sebagai fungsi ekonomi diupayakan berfungsi sebagai penyangga
keberlanjutan sistem produksi, konservasi dan pendaya manfaatan kekayaan
yang terkandung di dalamnya serta untuk berbagai penggunaan secara
terpadu. Beberapa hal prioritas adalah:
84
a. Evaluasi, Perencanaan dan Pengembangan Program Rehabilitasi dan
Reboisasi serta Perlindungan Hutan Secara Berkelanjutan.
b. Pemantapan dan Pembuatan: Peraturan, Kelembagaan Pengelolaan
Hutan Secara Berkelanjutan Berbasis Partisipasi dan Kearifan Masyarakat
Lokal.
c. Model-model Pengelolaan Hutan secara Berkelanjutan bersama
masyarakat (Community forest management system)
d. Sistem Informasi dan Pendataan Pengelolaan Potensi Hutan Secara
Berkelanjutan
2.10. Kesejahteraan Sosial
Pembangunan kesejahteraan sosial adalah pembangunan yang
diperhadapkan dengan masalah kemiskinan, keterlantaran, tuna sosial, tindak
kekerasan, bencana alam dan sebagainya yang dinilai membuat manusia
menderita dalam ukuran wajar. Permasalahan tersebut perlu penanganan
secara komprehensif dan berkelanjutan agar tidak memperburuk kondisi
kemiskinan structural, prilaku anti sosial, kondisi disharmodis, kerawanan sosial
dan tindak kejahatan yang akan menjadi pemicu terjadinya disintegrasi sosial.
Hal ini secara potensial akan mempengaruhi pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi yang pada akhirnya menjadi beban sosial masyarakat dan pemerintah
dan membutuhkan biaya pembangunan yang lebih besar.
Paradigma pembangunan kesejahteraan sosial dewasa ini mengarah
pada pengembangan potensi individu keluarga dan masyarakat dalam
mengoptimalkan kekuatan dan potensi yang mereka miliki, untuk mengatasi
atau memecahkan permasalahan yang sedang mereka hadapi dan diharapkan
85
berperan aktif sebagai pelaku perubahan sosial (pembangunan) dalam rangka
meningkatkan tarap kesejahteraan sosial yang lebih baik.
Dalam rangka mendorong meningkatkan, memperluas dan
melembagakan prakarsa dan dukungan serta peran aktif masyarakat dalam
pembangunan kesejahteraan sosial, diperlukan informasi mengenai segala hal
yang berkaitan dengan pembangunan bidang kesejahteraan sosial. Informasi
tersebut mencakup permasalahan-permasalahan bidang kesejahteraan sosial,
potensi-potensi kesejahteraan sosial serta upaya atau proses pemecahan
masalah-masalah berdasarkan metode pekerjaan sosial.
Permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini
menunjukkan bahwa ada sebagian warga negara yang belum terpenuhi
kebutuhan dasarnya secara mandiri dan hidup dalam kondisi kemiskinan.
Mereka umumnya mengalami hambatan fungsi sosial dalam hidup
bermasyarakat, kesulitan dalam mengakses sistem pelayanan sosial dasar dan
tidak dapat menikmati kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dalam hal ini,
yang dihadapi oleh Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS)
adalah belum terpenuhinya pelayanan sosial dasar seperti kesehatan,
pendidikan, sandang, pangan, papan dan kebutuhan dasar lainnya.
Pemenuhan kebutuhan dasar bagi PMKS membutuhka pengelolaan tersendiri,
karena jangkauan dan populasi sasaran yang luas membutuhka koordinasi dan
kemitraan dalam pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar. Oleh karena itu,
diperlukan upaya peningkatan fungsi-fungsi sosial penyandang masalah
kesejahteraa sosial melalui pendekatan dan intervensi profesi pekerjaan sosial
sehingga PMKS dapa ditingkatkan fungsi sosialnya agar mampu mengakses
pelayanan sosial dasar.
86
Keterbatasan kemampuan pemerintah dalam penanganan masalah
kesejahteraan sosia telah mendorong bergesernya paradigma pembangunan
kesejahteraan sosial dengan lebih mengefektifkan sistem perlindungan sosial
melalui pelayanan rehabilitasi sosial, bantua dan jaminan sosial serta program
kompensasi bagi masyarakat miskin yang terkena dampak negatif dari
berbagai kebijakan ekonomi, seperti program kompensasi pengurangan subsid
Bahan Bakar Minyak (BBM) dan bantuan langsung tunai yang telah
dilaksanakan beberap waktu yang lalu. Selanjutnya, untuk mengembangkan
pelaksanaan bantuan dan jaminan sosial tersebut, sejak tahun 2007 disediakan
program baru bagi rumah tangga sangat miskin (RTSM) yang memenuhi
persyaratan (pemeriksaan kehamilan ibu, imunisasi dan pemeriksaan rutin
balita, menjamin keberadaan anak usia sekolah di SD/MI dan SMP/lr4Ts), dan
pengurangan pekerja anak yang dilaksanakan melalui Program Keluarga
Harapan.
Bantuan sosial dalam bentuk bantuan langsung tunai masih
dimungkinkan sebagai alternatif solusi terakhir untuk mempertahankan daya
beli masyarakat miskin yang terkena dampak negatif kebijakan pemerintah. Hal
ini, untuk mengantisipasi kemungkinan pengurangan subsidi BBM sebagai
akibat kenaikan harga minyak mentah dunia yang sangat tinggi akhir-akhir ini
dan cenderung terus meningkat. Bentuk bantuan sosial sebaga Sejak
berdirinya kelembagaan Badan Kesejahteraan Sosial Daerah (BKSD) Provinsi
Sulawesi Barat berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 146/X/2005 tentang
Pembentukan Orgasnisasi dan Tata Dinas, Badan dan Kantor Daerah Provinsi
Sulawesi Barat maka itu pula BKSD Provinsi Sulawesi Barat berbenah
diridalam melaksanakan program pembangunan sosial dan kemasyarakatan.
87
Grafik-26
Sumber: BPS, Sulbar, 2010
Sebagaimana yang tergambar pada grafik di atas, bahwa persentase
penduduk miskin menunjukkan perkembangan dan tren yang positif. Hal ini
bisa dilihat dari semakin menurunnya persentase penduduk miskin (%) dari
tahun ke tahun, yaitu pada tahun 2005 (24,22%), 2006 (20,74%), 2007
(19,03%), 2008 (16,73%), dan 2009 (15,29%).
Dari Data BPS Provinsi Sulawesi Barat sebagaimana yang telah
disebutkan di atas, dapat dijelaskan bahwa Penduduk miskin dari 20,74 %
pada tahun 2006 menurun menjadi 15,29 % pada Tahun 2009 bahkan kini
hingga bulan Maret 2010 telah mencapai 13,58 % atau menurun 34,52%
selama kurun waktu 4 tahun dan sudah mendekati persentasi Nasional sebesar
13,33%. Dengan demikian penurunan angka kemiskinan di Sulawesi Barat
cukup signifikan dengan laju penurunan sekitar 9,12 persen pertahun.
0
5
10
15
20
25
30
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Persentase Penduduk Miskin (%)
Persentase Penduduk Miskin (%)
88
Grafik-27
Sumber: BPS Sulbar, 2010
Besar kecilnya jumlah penduduk miskin sangat dipengaruhi oleh garis
kemiskinan, karena penduduk miskin adalah penduduk yang rata-rata
pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan. Selama periode
2008 – 2010 garis kemiskinan naik sebesar 16,97 persen, yaitu dari Rp.
146.492 perkapita perbulan pada tahun 2008 menjadi Rp. 171.356 perkapita
perbulan pada tahun 2010. Dan jika diperhatikan komponen garis kemiskinan
(GK) yang terdiri dari garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan
non makanan (GKNM), terlihat bahwa peranan komoditi makanan jauh lebih
besar dibandingkan peranan komoditi bukan makan (perumahan, sandang,
pendidikan dan kesehatan). Selain itu, persentase penduduk miskin (%) juga
sangat dipengaruhi oleh tingkat pengangguran terbuka dan laju pertumbuhan
ekonomi yang dapat dilihat pada grafik berikut.
0
20
40
60
80
100
120
140
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Perkembangan Garis Kemiskinan
Garis Kemiskinan Non Makan
Garis Kemiskinan Makan
Persentase Penduduk Miskin (%)
89
Grafik-28
Persentase Penduduk Miskin (%)
Sumber Data: BPS Sulbar, 2010
Berdasarkan data tersebut di atas, pada tahun 2006, persentase
penduduk miskin masih tergolong tinggi (20,74%) diakibatkan oleh faktor
tingginya tingkat pengangguran terbuka (6,45%), selain itu laju pertumbuhan
ekonomi saat itu juga ikut menurun (6,42%) menurun sebesar 0,36% dari tahun
sebelumnya.
Pada tahun 2008, terjadi penurunan terhadap persentase penduduk
miskin (16,73%) diakibatkan oleh faktor semakin membaiknya laju
pertumbuhan ekonomi (8,54), disaat yang sama tingkat pengangguran terbuka
juga turut berkurang (4,92%) disebabkan karena laju pertumbuhan ekonomi
yang sangat pesat sehingga mampu membuka peluang untuk mendapatkan
pekerjaan dan kesempatan berusaha seluas-luasnya, sekurang-kurangnya
mampu membuka usaha mandiri. Masyarakat yang bekerja, akan mampu
memenuhi kebutuhannya, minimal masyarakat terbebas dari miskin makan
terlebih itu ketika masyarakat mampu memenuhi kebutuhan lain di luar dari
kebutuhan pokok.
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
2004 2005 2006 2007 2008 2009
Persentase Penduduk
Miskin (%)
Tingkat Pengangguran
Terbuka (%)
Laju Pertumbuhan Ekonomi
(%)
90
Pada tahun 2009, kembali terjadi penurunan persentase penduduk
miskin (15,29%). Sama hal dengan tahun-tahun sebelumnya, bahwa tingkat
pengangguran dan laju pertumbuhan ekonomi merupakan dua indikator yang
turut berpengaruh dalam melihat persentase penduduk miskin di Sulawesi
Barat.
Grafik-29
Sumber: BPS Sulbar, 2010
Selama kurun waktu 2006-2008 Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
(TPAK) meningkat dengan kisaran antara 61-67 persen setiap tahunnya.
Sedangkan tingkat pengangguran pada tahun 2008 mengalami penurunan
menjadi 4,92 persen setelah tahun sebelumnya mencapai 5,68 persen.
Bahkan pada tahun 2009 mencapai nilai 4,10 persen. Namun, tekanan yang
terjadi akibat tingginya harga minyak dunia berdampak terhadap meningkatnya
harga bahan bakar minyak pada pertengahan tahun 2008 memberikan
pengaruh yang cukup signifikan. Terbukti dengan tingginya tingkat inflasi kota
Mamuju pada pertengahan hingga akhir tahun 2008. Laju inflasi pada bulan
Mei 2008 sebagai respon terhadap shock kenaikan BBM mencapai 3,04
Tingkat Pengangguran Terbuka dan Angkatan Kerja
91
persen. Inflasi tertinggi di sepanjang tahun terjadi pada bulan Agustus dimana
laju inflasi hingga mencapai 3,21 persen
Selama periode Februari 2008-2010 jumlah pengangguran mengalami
penurunan sekitar 4.741 orang atau setara rata-rata menurun sebesar 9,15 %
setiap tahun. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Sulawesi Barat pada
periode tersebut memiliki angka yang terkecil dalam pulau Sulawesi, hal ini
menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun Sulawesi Barat selalu terendah.
Pada bulan Februari 2010 jumlah angkatan kerja mencapai 546.168
orang, mengalami peningkatan cukup signifikan sebanyak 30.341 orang
(5,88%) dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (keadaan
Februari 2009). Bila dibanding keadaan Februari 2008 mengalami peningkatan
sebesar 68.332 orang dengan kata lain selama periode Februari 2008-Februari
2010 terjadi pertumbuhan rata-rata penduduk angkatan kerja sebesar 6,91 %.
3. Rekomendasi Kebijakan
Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang terpengaruh oleh
berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain: tingkat pendapatan,
kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi geografis,
gender dan kondisi lingkungan. Kemiskinan tidak lagi hanya dipahami sebatas
ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan
perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani
kehidupan secara bermartabat.
Upaya mengatasi masalah kemisikinan tersebut, selain merupakan
pelaksanaannya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat dan
92
untuk meningkatkan hak dan martabatnya, juga merupakan salah satu cara
untuk meningkatkan daya saing di masa depan.
Pengangguran masih merupakan isu yang terus menerus harus
ditanggulangi, karena terjadinya pengangguran merupakan ciri pembangunan
yang belum mantap. Selain itu, terdapat hubungan antara pengangguran
dengan kemiskinan. Mereka yang menganggur atau mempunyai pekerjaan
yang tidak tetap, atau berada dalam status underemployment, umumnya
berada dalam kategori pendapatan rendah. Sebaliknya mereka yang
memperoleh pekerjaan tetap dapat digolongkan ke dalam pendapatan
menengah atau tinggi Oleh karena itu, upaya penanggulangan kemiskinan dan
pengangguran harus berjalan seiring dengan upaya untuk meningkatkan
pemerataan, mengurangi kesenjangan antar wilayah, antar kelompok dan antar
individu.
Prioritas pembangunan nasional adalah meningkatkan Pembangunan
Infrastruktur. Dengan kebijakan ini diharapkan pembangunan dan rehabilitasi
yang telah dilakukan harus dapat memenuhi kenaikan kebutuhan yang ada.
Kondis pelayanan dan penyediaan infrastruktur harus dapat mengurangi
kesenjangan yang semakin besar antara kebutuhan dan penyediaannya baik
kuantitas maupun kualitasnya. Oleh karena itu, peningkatan pembangunan
infrastruktur harus dipercepat untuk mendukung sarana dan prasarana
kegiatan ekonomi.
Kebijakan ini tentunya diharapkan untuk percepatan penanggulangan
kemiskinan, pemberdayaan masyarakat, peningkatan pelayanan bidang
pendidikan, peningkatan pelayanan bidang kesehatan, percepatan revitalisasi
pertanian, kehutanan, perkebunan, dan perikanan, percepatan pembangunan
93
ekonomi daerah, percepatan pembangunan infrastruktur dan prasarana
wilayah, kesejahteraan sosial dan kesatuan bangsa, serta penguatan
kapasitas SDM dan kelembagaan pemerintah.
D. Kesimpulan
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah tahun 2010 terbagi atas dua
tahap, yaitu; (1) Evaluasi pelaksanaan RPJMN tahun 2004-2009, dan (2) Evaluasi
Relevansi RPJMD Provinsi dengan RPJMN 2010-2014. Metode yang digunakan
dalam evaluasi pelaksanaan RPJMN 2004-2009 adalah Evaluasi ex-post untuk
melihat efektivitas (hasil dan dampak terhadap sasaran) dengan mengacu pada
tiga agenda RPJMN 2004 – 2009, yaitu: agenda Aman dan Damai; Adil dan
Demokratis; serta Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat. Untuk mengukur
kinerja yang telah dicapai pemerintah atas pelaksanaan ketiga agenda tersebut,
diperlukan identifikasi dan analisis indikator pencapaian. Sedangkan metode yang
digunakan dalam evaluasi relevansi RPJMD Provinsi dengan RPJMN 2010-2014
adalah membandingkan keterkaitan 11 prioritas nasional dan 3 prioritas lainnya
dengan prioritas daerah.
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa pada dasarnya pemerintah daerah
mendukung program yang terjabarkan dalam RPJMN 2004-2009 berdasarkan
pada tiga agenda pokok. Hal ini dibuktikan dengan capaian tiap indikator yang
menunjukkan tren positif ke arah yang lebih baik, semakin berkembang dan
bertumbuh, baik mengenai indeks, tingkat, nilai, jumlah, angka, maupun
persentase, hampir di segala sektor pembangunan.
Beberapa indikator yang menunjukkan tren positif antara lain; indeks
pembangunan manusia yang setiap tahun mengalami peningkatan, laju
pertumbuhan ekonomi yang berhasil mencapai persentase tertinggi dalam periode
94
berjalan sebesar 8,54% sekaligus berhasil menembus rangking pertama nasional
dalam hal laju pertumbuhan ekonomi di tahun 2008. Indikator lain yang cukup
menggembirakan adalah laju pertumbuhan penduduk yang pada tahun 2009
berhasil ditekan menjadi 1,53% disebabkan karena meningkatnya contraceptive
prevalence rate. Sama halnya dengan persentase penduduk miskin yang berhasil
dikurangi (15,29%) sejalan dengan semakin berkurangnya pula tingkat
pengangguran terbuka. Begitu pula dengan pendapatan perkapita yang sejak
awal terbentuknya provinsi Sulawesi Barat hanya mencapai 3.995.774 berhasil
dinaikkan menjadi 8.671.818 di tahun 2009.
Namun demikian terdapat pula beberapa indikator yang menunjukkan
hasil yang terkesan konstan, fluktuatif, tidak berubah, bahkan menurun, seperti
laju inflasi yang berfluktuatif dari tahun ke tahun, angka partisipasi kasar yang
juga naik turun dari segi jumlah dan persentasenya, begitupula dengan
infrastruktur, dan beberapa indikator yang lain. Kondisi ini tentu saja menjadi
pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah dalam rangka melakukan perbaikan,
sehingga ke depan program Bangun Mandar betul-betul bisa terwujud melalui
empat strong point Sulawesi Barat (Pendidikan, Kesehatan, Infrastruktur, Gernas
Kakao) sebagai basis pembangunannya.
Sementara itu, masih terdapat beberapa tabel yang tidak terisi karena
keterbatasan data Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Provinsi Sulawesi
Barat, sehingga perlu adanya upaya studi tentang pemetaan (pembuatan)
database potensi dan kompetensi lokal secara akurat yang nantinya dapat
dijadikan dasar untuk mengevaluasi kinerja pembangunan daerah dimasa-masa
yang akan datang.
95
BAB III
RELEVANSI RPJMN 2010 – 2014 DENGAN RPJMD PROVINSI
SULAWESI BARAT
1. Pengantar
Sistem perencanaan pembangunan daerah mengalami perubahan
mendasar seiring dengan tuntutan dibidang politik, penyelenggaraan pemerintahan
yang baik, dan pengelolaan keuangan negara. Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah mengatur sistem Pemilihan Kepala
Daerah yang akan dilaksanakan secara langsung. Paparan Visi, Misi dan Program
Kepala Daerah terpilih akan menjadi bahan utama penyusunan agenda kerja
Pemerintah Daerah untuk 5 (lima) tahun kedepan.
Untuk maksud memberi arah pedoman bagi pelaksanaan pembangunan
Provinsi Sulawesi Barat lima tahun kedepan, maka perlu ditetapkan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Sulawesi Barat.
RPJMD ini merupakan penjabaran dari Visi, Misi dan Program Kepala Daerah yang
penyusunannya dengan memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJM-Nasional) yang memuat arah kebijakan keuangan
daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum dan agenda pembangunan
daerah
Berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional, Kepala Daerah terpilih harus telah
menetapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJM-Daerah)
paling lambat 3 (tiga) bulan setelah pelantikan dengan Peraturan Kepala Daerah.
95
96
Dalam penyusunan RPJMD Provinsi Sulawesi Barat beberapa dokumen
perencanaan yang dijadikan pedoman adalah Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (RPJPN), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN), dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD).
Dokumen perencanaan pembangunan tersebut digunakan sebagai pedoman agar
tercipta kesesuaian dan kesatuan antar dokumen perencanaan pembangunan baik
di tingkat Nasional maupun di tingkat Daerah. Sehingga terjadi kesinambungan dan
integrasi pelaksanaan pembangunan.
Provinsi Sulawesi Barat dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2004 dan diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden
Republik Indonesia pada tanggal 16 Oktober 2004. Provinsi Sulawesi Barat ini
merupakan pemekaran dari Provinsi Sulawesi Barat, sesuai aspirasi masyarakat
yang dituangkan dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi
Sulawesi Barat Nomor 20 Tahun 2002 tanggal 18 September 2002, Keputusan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Majene Nomor 10 tahun 2000
tanggal 10 Maret 2000, Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten
Polewali Mamasa Nomor 12/KPTS/DPRD/VI/2000 Tahun 2000 tanggal 19 Juni
2000, Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten Mamuju Nomor
42/KPTS/DPRD/2000 Tahun 2000 tanggal 6 Oktober 2000, Keputusan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Mamasa Nomor 26/KPTS/DPRD-
Mamasa/2003 tanggal 27 Desember 2003, Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabupaten Mamuju Utara Nomor IST/KPTS/DPRD-MAMUJU UTARA/2004
tanggal 23 Agustus 2004.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2004 ini pula, dibentuk
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Barat yang merupakan
lembaga Perwakilan Rakyat Daerah dan berkedudukan sebagai unsur
97
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Pengisian anggota DPRD Provinsi
Sulawesi Barat tersebut didasari dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
161.56-1028 Tahun 2005 tanggal 25 November 2005, dan telah diambil
sumpah/janjinya pada tanggal 7 Desember 2005. Dengan selesainya pengisian
anggota DPRD Provinsi Sulawesi Barat dan Pemilihan Pimpinan DPRD tersebut
merupakan tonggak sejarah baru bagi provinsi ini karena telah mempunyai lembaga
perwakilan rakyat yang permanen, utuh dan representatif, yang nantinya diharapkan
dapat menjadi penyalur aspirasi rakyat, menjadi mitra sejajar pemerintah daerah
Dengan demikian RPJMD Provinsi Sulawesi Barat yang ditetapkan untuk 5
Tahun, adalah RPJMD tahun 2006 – 2011, dan hingga tahun 2010 ini tetap
digunakan sebagai pedoman bagi seluruh SKPD Provinsi Sulawesi Barat untuk
membuat Rencana Strategis (Renstra) yang berisi program dan kegiatan SKPD
yang akan dilaksanakannya untuk jangka waktu 2006 – 2011. Program dan
kegiatan SKPD yang termuat dalam Renstra SKPD merupakan penjabaran arah
kebijakan dan prioritas program pembangunan yang telah ditentukan dalam
RPJMD. Setiap tahunnya masing-masing SKPD, membuat Rencana Kerja SKPD
(Renja-SKPD) sebagai pelaksanaan tahunan Renstra SKPD.
RPJMD Provinsi Sulawesi Barat yang ditetapkan juga menjadi acuan bagi
Pemerintah Kabupaten Se-Provinsi Sulawesi Barat dalam menetapkan RPJMD
Kabupaten. Sedangkan RPJMD Kabupaten menjadi pedoman bagi SKPD
Kabupaten masing-masing dalam membuat Rencana Strategis SKPD dan
selanjutnya dijabarkan dalam Rencana Kerja SKPD Kabupaten. Sehingga
pelaksanaan pembangunan antar Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Se-Provinsi
Sulawesi Barat terjadi kesesuaian dan saling berintegrasi, guna mencapai Visi
Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2006 – 2011
98
RPJMD Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2006 - 2011, merupakan dokumen
perencanaan pembangunan yang bersifat strategis, di samping karena muatannya
yang menjadi arah dan pedoman dalam pelaksanaan pembangunan daerah lima
tahun ke depan, juga karena dokumen RPJMD memiliki relevansi yang terintegrasi
dengan dokumen perencanaan pembangunan lainnya.
2. Proiritas dan Program Aksi Pembangunan Nasional
Belum tersedia data lengkap tentang program Pembangunan Sulawesi Barat
(2010 -2014) yang dapat digunakan sebagai bahan pembanding RPJMN 2010-
2014.
3. Rekomendasi
a. Rekomendasi terhadap RPJMD Provinsi
1) Pemerintah Sulawesi Barat perlu mengantisipasi konflik dan pariwisata
melalui kebijakan pembangunan kesejahteraan sosial dengan
peningkatan koordinasi dan upaya pengentasan golongan masyarakat
kurang beruntung,
2) Pemerintah daerah juga harus melakukan penanganan komunitas adat
terpencil melalui pemenuhan hak dasar, serta penanganan bencana
alam dan perlindungan sosial;
3) Pembangunan kesatuan bangsa perlu diarahkan melalui penciptaan
iklim komunikasi politik dan ketersaluran aspirasi politik, fasilitasi
organisasi politik, sosial/keagamaan dan LSM, penanaman rasa saling
percaya antar golongan/multi etnis, peningkatan harmoni/integrasi
masyarakat, dan revitalisasi nilai kebangsaan;
4) Pembangunan kepariwisataan, seni dan budaya perlu dilakukan dalam
wujud peningkatan infrastruktur pendukung kepariwisataan berbasis
99
budaya lokal, revitalisasi kesenian tradisional, dan pemeliharaan nilai
lokal asli; pembinaan pemuda dan olah raga dapat dilakukan dalam
bentuk pengembangan sarana dan prasarana, pembinaan organisasi,
peningkatan prestasi serta pembinaan organisasi kepemudaan.
5) Pemerintah daerah perlu melakukan peningkatan kualitas hidup
perempuan melalui pendidikan, kesehatan, hukum, ketenagakerjaan,
sosial, politik, lingkungan hidup dan ekonomi.
6) Pengembangan materi dan pelaksanaan komunikasi, informasi dan
edukasi (KIE) tentang kesetaraan dan keadilan gender.
7) Peningkatan kapasitas jaringan kelembagaan PP di provinsi dan
kabupaten seperti Pusat Studi Perempuan/Gender, lembaga-lembaga
penelitian.
8) Penyusunan berbagai kebijakan dalam rangka penguatan kelembagaan
PUG di tingkat provinsi dan kabupaten.
9) Pembentukan wadah-wadah guna mendengarkan dan menyuarakan
pendapat dan harapan perempuan sebagai bentuk partisipasi
perempuan dalam proses pembangunan.
10) Dalam bidang kesehatan, perlu ada kerjasama antara Departemen
Kesehatan dengan Kantor Meneg Pemberdayaan Perempuan untuk
meningkatkan kebijakan dan program-program pengarusutamaan
gender di sektor kesehatan.
11) Dalam konsep otonomi daerah, perlu dijalin kerjasama antara kantor
Meneg PP dan Departemen Kesehatan diperluas dengan melibatkan
Departemen Dalam Negeri, Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, dan lembaga-lembaga studi wanita. Demikian pula di Provinsi
Sulawesi Barat.
100
12) Prioritas pembangunan nasional adalah meningkatkan Pembangunan
Infrastruktur. Dengan kebijakan ini diharapkan pembangunan dan
rehabilitasi yang telah dilakukan harus dapat memenuhi kenaikan
kebutuhan yang ada.
13) Kondis pelayanan dan penyediaan infrastruktur harus dapat
mengurangi kesenjangan yang semakin besar antara kebutuhan dan
penyediaannya baik kuantitas maupun kualitasnya.
14) Pemerintah Sulawesi Barat harus melakukan peningkatan
pembangunan infrastruktur secara cepat untuk mendukung sarana dan
prasarana kegiatan ekonomi.
b. Rekomendasi terhadap RPJMN
1) Pembangunan manusia seutuhnya sebagai pengejawantahan dari
pembangunan pendidikan berkesinambungan perlu didukung oleh
standarisasi pendidikan berbasis lokal, karena penetapan standarisasi
pendidikan haruslah berdasarkan pada kemampuan, potensi dan
segala sumber daya yang dimiliki di seluruh wilayah NKRI. Oleh karena
itu, pendidikan perlu dilihat sebagai hak dasar warga negara, dalam
konteks ini negara bertugas untuk memenuhi hak dasar masyarakatnya
2) Pemerintah perlu melakukan pengembangan kerangka kebijakan
tentang ketahanan nasional republik Indonesia melalui pendekatan
politik, ekonomi, sosial, dan budaya menuju terciptanya masyarakat
yang adil, demokratis, dan sejahtera. Masalah penting yang harus
segera mendapat perhatian adalah konflik horizontal, terorisme, dan
sebagainya yang tentu saja akan berdampak pada timbulnya ancaman
terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
101
3) Pemerintah perlu melakukan pemerataan terhadap pembangunan,
bukan hanya dalam konteks pembangunan pendidikan dan kesehatan,
tetapi juga harus mencakup pembangunan dalam bidang infrastruktur.
Oleh karena itu koordinasi tata ruang wilayah otonomi harus betul-betul
dijalankan sehingga memperlemah struktur ruang wilayah nasional.
4) Pemerintah perlu secara intensif melakukan peningkatan komunikasi
antarnegara, khususnya terhadap negara-negara yang berbatasan
dengan Indonesia mengenai konsistensi pemetaan wilayah antar dua
Negara, sehingga tidak akan ada lagi saling klaim hak kempemilikan
wilayah
102
BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Evaluasi Kinerja Pembangunan Daerah tahun 2010 terbagi atas dua
tahap, yaitu; (1) Evaluasi pelaksanaan RPJMN tahun 2004-2009, dan (2)
Evaluasi Relevansi RPJMD Provinsi dengan RPJMN 2010-2014. Metode yang
digunakan dalam evaluasi pelaksanaan RPJMN 2004-2009 adalah Evaluasi ex-
post untuk melihat efektivitas (hasil dan dampak terhadap sasaran) dengan
mengacu pada tiga agenda RPJMN 2004 – 2009, yaitu: agenda Aman dan
Damai; Adil dan Demokratis; serta Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat.
Untuk mengukur kinerja yang telah dicapai pemerintah atas pelaksanaan ketiga
agenda tersebut, diperlukan identifikasi dan analisis indikator pencapaian.
Sedangkan metode yang digunakan dalam evaluasi relevansi RPJMD Provinsi
dengan RPJMN 2010-2014 adalah membandingkan keterkaitan 11 prioritas
nasional dan 3 prioritas lainnya dengan prioritas daerah.
Hasil evaluasi menunjukkan bahwa pada dasarnya pemerintah daerah
mendukung program yang terjabarkan dalam RPJMN 2004-2009 berdasarkan
pada tiga agenda pokok. Hal ini dibuktikan dengan capaian tiap indikator yang
menunjukkan tren positif ke arah yang lebih baik, semakin berkembang dan
bertumbuh, baik mengenai indeks, tingkat, nilai, jumlah, angka, maupun
persentase, hampir di segala sektor pembangunan.
Beberapa indikator yang menunjukkan tren positif antara lain; indeks
pembangunan manusia yang setiap tahun mengalami peningkatan, laju
pertumbuhan ekonomi yang berhasil mencapai persentase tertinggi dalam
102
103
periode berjalan sebesar 8,54% sekaligus berhasil menembus rangking pertama
nasional dalam hal laju pertumbuhan ekonomi di tahun 2008. Indikator lain yang
cukup menggembirakan adalah laju pertumbuhan penduduk yang pada tahun
2009 berhasil ditekan menjadi 1,53% disebabkan karena meningkatnya
contraceptive prevalence rate. Sama halnya dengan persentase penduduk
miskin yang berhasil dikurangi (15,29%) sejalan dengan semakin berkurangnya
pula tingkat pengangguran terbuka. Begitu pula dengan pendapatan perkapita
yang sejak awal terbentuknya provinsi Sulawesi Barat hanya mencapai
3.995.774 berhasil dinaikkan menjadi 8.671.818 di tahun 2009.
Namun demikian terdapat pula beberapa indikator yang menunjukkan
hasil yang terkesan konstan, fluktuatif, tidak berubah, bahkan menurun, seperti
laju inflasi yang berfluktuatif dari tahun ke tahun, angka partisipasi kasar yang
juga naik turun dari segi jumlah dan persentasenya, begitupula dengan
infrastruktur, dan beberapa indikator yang lain. Kondisi ini tentu saja menjadi
pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah dalam rangka melakukan perbaikan,
sehingga ke depan program Bangun Mandar betul-betul bisa terwujud melalui
empat strong point Sulawesi Barat (Pendidikan, Kesehatan, Infrastruktur,
Gernas Kakao) sebagai basis pembangunannya.
Sementara itu, masih terdapat beberapa tabel yang tidak terisi karena
keterbatasan data Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Provinsi Sulawesi
Barat, sehingga perlu adanya upaya studi tentang pemetaan (pembuatan)
database potensi dan kompetensi lokal secara akurat yang nantinya dapat
dijadikan dasar untuk mengevaluasi kinerja pembangunan daerah dimasa-masa
yang akan datang.
104
B. Rekomendasi
1. Agenda Pembangunan Indonesia yang Aman dan Damai:
Pada agenda ini direkomendasikan agar memandang konflik dan
pariwisata sebagai sesuatu yang perlu diantisipasi melalui kebijakan
pembangunan kesejahteraan sosial dengan peningkatan koordinasi dan upaya
pengentasan golongan masyarakat kurang beruntung, penanganan komunitas
adat terpencil melalui pemenuhan hak dasar, serta penanganan bencana alam
dan perlindungan sosial; pembangunan kesatuan bangsa perlu diarahkan
melalui penciptaan iklim komunikasi politik dan ketersaluran aspirasi politik,
fasilitasi organisasi politik, sosial/keagamaan dan LSM, penanaman rasa saling
percaya antar golongan/multi etnis, peningkatan harmoni/integrasi masyarakat,
dan revitalisasi nilai kebangsaan; pembangunan kepariwisataan, seni dan
budaya perlu dilakukan dalam wujud peningkatan infrastruktur pendukung
kepariwisataan berbasis budaya lokal, revitalisasi kesenian tradisional, dan
pemeliharaan nilai lokal asli; pembinaan pemuda dan olah raga dapat dilakukan
dalam bentuk pengembangan sarana dan prasarana, pembinaan organisasi,
peningkatan prestasi serta pembinaan organisasi kepemudaan.
2. Agenda Pembangunan Indonesia yang Adil dan Demokratis
Layanan satu atap di Provinsi Sulawesi Barat sebagai provinsi baru
belum ada satu pun daerah yang menyelenggarakannya. Sedangkan tentang
gender, dimana dalam Rencana Strategis Badan Pemberdayaan Perempuan
dan KB Provinsi Sulawesi Barat 2009-2014 telah diprogramkan
Pengarusutamaan Gender maka diperlukan langkah sebagai berikut:
a) Peningkatan kualitas hidup perempuan melalui pendidikan, kesehatan,
hukum, ketenagakerjaan, sosial, politik, lingkungan hidup dan ekonomi.
105
b) Pengembangan materi dan pelaksanaan komunikasi, informasi dan edukasi
(KIE) tentang kesetaraan dan keadilan gender.
c) Peningkatan kapasitas jaringan kelembagaan PP di provinsi dan kabupaten
seperti Pusat Studi Perempuan/Gender, lembaga-lembaga penelitian.
d) Penyusunan berbagai kebijakan dalam rangka penguatan kelembagaan PUG
di tingkat provinsi dan kabupaten.
e) Pembentukan wadah-wadah guna mendengarkan dan menyuarakan
pendapat dan harapan perempuan sebagai bentuk partisipasi perempuan
dalam proses pembangunan.
Beberapa gerakan dan upaya yang muncul di berbagai komunitas
kelompok masyarakat / bangsa sebagai upaya dalam peningkatan dan
pemberdayaan perempuan perlu digalakkan begitu pula diperlukan penanganan
ketertinggalan perempuan. Ketertinggalan perempuan dapat dilihat di berbagai
bidang, di bidang pendidikan, angka buta huruf /tidak dapat membaca dan
menulis huruf latin dan atau huruf lainnya. Secara keseluruhan angka buta huruf
penduduk usia 10 tahun ke atas di Provinsi Sulawesi Barat tahun 2006 adalah
sekitar 12,51 persen, dengan persentase buta huruf perempuan yang sebesar
14,84 persen dibandingkan dengan laki-laki buta huruf sebesar 10,13 persen.
Dalam melakukan perencanaan kebijakan kesetaraan gender oleh
Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat memasukkan ke dalam Rencana Strategis
Pemerintah Provinsi dan Rencana Strategis SKPD yang ada dengan
mengakomodasi aspek-aspek pokok berikut ini:
106
a) Di sektor pendidikan masih diperlukan dukungan kebijakan di tingkat nasional
maupun daerah.
b) Di sektor kesehatan kebijakan kesetaraan/ keadilan gender relatif lebih maju
dibanding sektor pendidikan dimana telah direkomendasikan kerjasama
antara Departemen Kesehatan dengan Kantor Meneg Pemberdayaan
Perempuan untuk meningkatkan kebijakan dan program-program
pengarusutamaan gender di sektor kesehatan. Dalam konsep otonomi
daerah, kerjasama kantor Meneg PP dan Departemen Kesehatan diperluas
dengan melibatkan Departemen Dalam Negeri, Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional, dan lembaga-lembaga studi wanita. Demikian pula
di Provinsi Sulawesi Barat.
c) Di sektor ekonomi menduduki posisi yang vital mengingat krisis yang diderita
Indonesia yang mempunyai dampak terbesar pada menurunnya kemampuan
ekonomi yang dikenal dengan meningkatnya tingkat kemiskinan sehingga
memerlukan kebijakan yang berkenaan dengan upaya-upaya kesetaraan
gender di sektor ekonomi. Dengan lahirnya PP Nomor 41 Tahun 2007
Tentang Organisasi Perangkat Daerah, maka oleh Pemerintah Provinsi
Sulawesi Barat dengan Perda Nomor 22 Tahun 2008 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Inspektorat, Bappeda, Lembaga Teknis Daerah dan Satuan Polisi
Pamong Praja Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat menetapkan organisasi
perangkat daerahnya sehingga melahirkan Badan Pemberdayaan
Perempuan dan KB dalam struktur kelembagaan di provinsi yang tugas/pokok
dan fungsinya adalah pelaksanaan pembangunan kesetaraan gender dalam
meningkatkan pemberdayaan perempuan khususnya pada Pemerintah
Daerah Provinsi Sulawesi Barat.
107
3. Agenda Meningkatkan Kesejahteraan Rakyat
Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang terpengaruh oleh
berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain: tingkat pendapatan,
kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi geografis,
gender dan kondisi lingkungan. Kemiskinan tidak lagi hanya dipahami sebatas
ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan
perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani
kehidupan secara bermartabat.
Upaya mengatasi masalah kemisikinan tersebut, selain merupakan
pelaksanaannya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat dan
untuk meningkatkan hak dan martabatnya, juga merupakan salah satu cara
untuk meningkatkan daya saing di masa depan.
Pengangguran masih merupakan isu yang terus menerus harus
ditanggulangi, karena terjadinya pengangguran merupakan ciri pembangunan
yang belum mantap. Selain itu, terdapat hubungan antara pengangguran
dengan kemiskinan. Mereka yang menganggur atau mempunyai pekerjaan
yang tidak tetap, atau berada dalam status underemployment, umumnya
berada dalam kategori pendapatan rendah. Sebaliknya mereka yang
memperoleh pekerjaan tetap dapat digolongkan ke dalam pendapatan
menengah atau tinggi Oleh karena itu, upaya penanggulangan kemiskinan dan
pengangguran harus berjalan seiring dengan upaya untuk meningkatkan
pemerataan, mengurangi kesenjangan antar wilayah, antar kelompok dan antar
individu.
Prioritas pembangunan nasional adalah meningkatkan Pembangunan
Infrastruktur. Dengan kebijakan ini diharapkan pembangunan dan rehabilitasi
108
yang telah dilakukan harus dapat memenuhi kenaikan kebutuhan yang ada.
Kondis pelayanan dan penyediaan infrastruktur harus dapat mengurangi
kesenjangan yang semakin besar antara kebutuhan dan penyediaannya baik
kuantitas maupun kualitasnya. Oleh karena itu, peningkatan pembangunan
infrastruktur harus dipercepat untuk mendukung sarana dan prasarana
kegiatan ekonomi. Kebijakan ini tentunya diharapkan untuk percepatan
penanggulangan kemiskinan, pemberdayaan masyarakat, peningkatan
pelayanan bidang pendidikan, peningkatan pelayanan bidang kesehatan,
percepatan revitalisasi pertanian, kehutanan, perkebunan, dan perikanan,
percepatan pembangunan ekonomi daerah, percepatan pembangunan
infrastruktur dan prasarana wilayah, kesejahteraan sosial dan kesatuan
bangsa, serta penguatan kapasitas SDM dan kelembagaan pemerintah.