Post on 19-Jan-2016
description
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trauma termal menimbulkan morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi.
Menguasai prinsip-prinsip dasar resusitasi awal pada penderita trauma daan
menerapkan tindakan sederhana pada saat yang tepat dapat mengurangi
morbiditas dan mortalitas. Prinsip yang dimaksud adalah kewaspadaan yang
tinggi akan terjadinya gangguan jalan napas pada trauma inhalasi, serta
mempertahankan hemodinamik dalam batas normal melalui resusitasi cairan.
Luka bakar adalah luka yang disebabkan karena pengalihan energi dari
suatu sumber panas kepada tubuh. Luka bakar karena api atau akibat tidak
langsung dari api, misalnya tersiram air panas, banyak terjadi pada kecelakaan
rumah tangga. Panas dapat dipindahkan lewat hantaran atau radiasi
elektromagnetik. Luka bakar juga bisa timbul akibat kulit terpajan ke suhu tinggi,
syok listrik atau bahan kimia.1
Luka bakar dapat dikelompokkan menjadi luka bakar termal, radiasi atau
kimia. Berdasarkan luas daerah yang terbakar, Wallace membagi bagian tubuh
dengan kelipatan dari 9 yang terkenal dengan nama Rule of Nine atau Rule of
Wallace. Bagian tubuh tersebut termasuklah kepala dan leher 9%, lengan 18%,
badan depan 18%, badan belakang 18%, tungkai 36% dan genitalia/perineum
1%.1,3
Di Amerika di laporkan sekitar 2 sampai 3 juta penderita setiap tahunnya
dengan jumlah kematian 5-6 ribu kematian pertahun, sedangkan di Indonesia
belum ada laporan tertulis. Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo Jakarta pada
tahun 1998 dilaporkan 107 kasus luka bakar yang dirawat, dengan angka kematian
37,38 sedangkan di Rumah Sakit Dr. Sutomo Surabaya pada tahun 2000 dirawat
106 kasus luka bakar dengan 26,41% pasien meninggal dalam rawatan.4,6
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Luka Bakar
2.1.1. Definisi
Luka bakar adalah luka yang timbul akibat kulit terpajan ke suhu tinggi,
syok listrik, atau bahan kimia. Menurut R. Sjamsuhidajat dan Win de
Jong, luka bakar adalah luka yang terjadi karena terbakar api langsung
maupun tidak langsung, juga pajanan suhu tinggi dan matahari, listrik,
maupun bahan kimia.1,2
2.1.2. Epidemiologi
Di Amerika di laporkan sekitar 2 sampai 3 juta penderita setiap tahunnya
dengan jumlah kematian 5-6 ribu kematian pertahun, sedangkan di
Indonesia belum ada laporan tertulis. Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo
Jakarta pada tahun 1998 dilaporkan 107 kasus luka bakar yang dirawat,
dengan angka kematian 37,38 sedangkan di Rumah Sakit Dr. Sutomo
Surabaya pada tahun 2000 dirawat 106 kasus luka bakar, kematian
26,41%.3
2.1.3. Etiologi
Luka bakar disebabkan oleh pengalihan energi dari suatu sumber panas
kepada tubuh. Panas dapat dipindahkan lewat hantaran atau radiasi
elektromagnetik. Kulit dan mukosa saluran nafas atas merupakan lokasi
destruksi jaringan. Jaringan yang dalam, termasuk organ visera, dapat
mengalami kerusakan karena luka bakar elektrik atau kontak yang lama
dengan agen penyebab (burning agent). 1
Berdasarkan penyebab luka bakar, luka bakar dibedakan atas
beberapa jenis penyebab,
2
1. Luka bakar karena api
2. Luka bakar karena bahan kimia
3. Luka bakar karena listrik, petir dan radiasi
4. Luka bakar karena sengatan sinar matahari.
5. Luka bakar karena air panas, tungku panas, udara panas
6. Luka bakar karena ledakan bom.
2.1.4. Patofisiologi
Setelah cedera termal terjadi, pada daerah luka bakar akan terjadi koagulasi
protein dan kematian sel zona tersebut disebut sebagai zona nekrosis. Dalam
cedera luka bakar full-thickness, semua elemen kulit hancur, sedangkan luka bakar
yang partial-thickness ditandai dengan nekrosis kulit yang tidak lengkap. Zona
nekrosis yang meluas secara radial dan ditandai kerusakan seluler disebut sebagai
zona stasis dan hiperemia. Zona stasis ditandai oleh aliran darah mikrovaskuler
yang menurun, yang dapat dikembalikan ke normal dengan resusitasi perfusi yang
memadai, mencegah kulit kering dan infeksi.3
Cedera termal minimal menginduksi zona hiperemis yang ditandai dengan
respon inflamasi segera dan meningkatnya aliran darah mikrovaskuler. Perubahan
histopatologis awal pada titik kontak termal digambarkan sebagai zona jaringan
konsentris. Koagulasi nekrosis pada kulit dan pelengkap kulit mengakibatkan
hilangnya fungsi kulit normal, lapisan penghalang antimikroba hancur, kontrol
evaporasi udara hilang, dan pengaturan suhu tubuh terganggu.3,4
2.1.4.1. Mekanisme Pembentukan Edema
Setelah diikuti cedera termal, pembentukan edema yang paling hebat pada luka
bakar dan jaringan yang belum terbakar adalah pada 6 jam pertama dan diikuti
perluasan edema yang lebih kecil pada 24 jam berikutnya. Kontriksi kapiler vena
menyebabkan tekanan hidrostatik meningkat dan mengakibatkan edema
interstisial pada awal post-injury. Pada percobaan luka bakar pada hewan, tekanan
hidrostatik negative yang kuat pada cairan interstisial terjadi dalam waktu 30
menit. Durasi dan luasnya tekanan hidrostatik negatif sebanding dengan besarnya
lukabakar.
3
Perubahan karakteristik fisik dari jaringan yang terbakar yang diikuti
dengan pembentukan edema disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas
mikrovaskular yang disebabkan oleh faktor humoral yang dilepas oleh jaringan
yang terbakar dan sitokin yang diproduksi oleh leukosit yang teraktivasi.4
2.1.4.2. Respon Sistem Kardiovaskular Pada Luka Bakar
Pada masa resusitasi, respon kardiovaskular pada luka bakar dimanifestasikan
oleh penurunan curah jantung dan peningkatan resistensi vaskular perifer yang
diikuti oleh peningkatan progresif pada curah jantung dan penurunan resistensi
vaskular perifer pada masa aliran hipermetabolik. Penurunan curah jantung setara
dengan ukuran luka bakar dan disebabkan oleh hilangnya cairan dan protein
intravascular ke ekstravaskular kompartmen. Peningkatan resistensi vaskular
perifer disebabkan oleh respon neuro-hormonal pada hipovolemik.4,5
2.1.4.3. Respon Sistem Pernafasan Pada Luka Bakar
Pada cedera termal walaupun tidak diikuti inhalasi asap, akan terjadi perubahan
fisik pada fungsi paru. Segera setalah luka bakar terjadi, pernafasan akan dapat
bertambah cepat sebagai hasil dari anxietas dan hiperventilasi yang diinduksi
nyeri. Dengan adanya inisiasi resusitasi cairan, laju nafas dan volume tidal
meningkat secara progresif, yang berakibat peningkatan menit ventilasi menjadi
satu setengah kali normal. Peningkata ini bergantung kepada luasnya luka dan
dianggap merefleksikan hipermetabolisme pasca injuri.3,4
Resistensi vaskular paru meningkat cepat pada luka bakar, dan
peningkatan tersebut lebih lama daripada peningkatan resistensi vaskular. Pada
saat meningkatnya resistensi vaskular paru, terjadi pelepasan vasoaktif amin dan
mediator lain yang akan memberikan efek protektif saat resusitasi cairan dengan
cara menurunkan tekanan hidrostatik yang akan mencegah edema paru.4
2.1.4.4. Respon Ginjal Pada Luka Bakar
Respon ginjal berparalel dengan respon kardiovaskular. Segera setelah periode
postburn, aliran darah ginjal dan laju infiltrasi glomerulus akan menurun sesuai
dengan proporsi luka bakar dan besarnya defisit volume intravaskular.
4
Keterlambatan resusitasi cairan akan menyebabkan perfusi ginjal yang tidak
adekuat dan menyebabkan akut tubular nekrosis dan gagal ginjal akut.4
2.1.4.5. Sindroma Respon Inflamatori Sistemik/Sistemic Inflammatory
Response Syndrome (SIRS), Sindroma Disfungsi Organ Multi-sistem/Multi-
system Organ Dysfunction Syndrome (MODS), dan Sepsis
SIRS adalah suatu bentuk respon klinik yang bersifat sistemik terhadap berbagai
stimulus klinik berat akibat infeksi ataupun noninfeksi seperti trauma, luka bakar,
reaksi autoimun, sirosis, pankreatitis, dan lain-lain.3,4
Respon ini merupakan dampak dari pelepasan mediator-mediator
inflamasi (proinflamasi) yang mulanya bersifat fisiologik dalam proses
penyembuhan luka, namun oleh karena pengaruh beberapa faktor predisposisi dan
faktor pencetus, respon ini berubah secara berlebihan (mengalami eksagregasi)
dan menyebabkan kerusakan pada organ-organ sistemik, menyebabkan disfungsi
dan berakhir dengan kegagalan organ terkena menjalankan fungsinya; MODS
(Multi-system Organ Disfunction Syndrome) bahkan sampai kegagalan berbagai
organ (Multi-system Organ Failure/MOF).3,4
SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas
pada pasien luka bakar maupun trauma berat lainnya. Dalam penelitian dilaporkan
SIRS dan MODS keduanya menjadi penyebab 81% kematian pasca trauma; dan
dapat dibuktikan pula bahwa SIRS sendiri mengantarkan pasien pada MODS.3,4
Ada 5 hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS, yaitu infection,
injury, inflamation, inadequate blood flow, dan ischemia-reperfusion injury.
Kriteria klinik yang digunakan, mengikuti hasil konsensus American College of
Chest phycisians dan the Society of Critical Care Medicine tahun 1991, yaitu bila
dijumpai 2 atau lebih menifestasi berikut selama beberapa hari, yaitu:3,4
Hipertermia (suhu > 38°C) atau hipotermia (suhu < 36°C)
Takikardi (frekuensi nadi > 90x/menit)
Takipneu (frekuensi nafas > 20x/menit) atau tekanan parsial CO2 rendah
(PaCO2< 32 mmHg)
5
Leukositosis (jumlah lekosit > 12.000 sel/mm3), leukopeni (< 4000 sel/mm3)
atau dijumpai > 10% netrofil dalam bentuk imatur (band).
Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil kultur
darah/bakteremia), maka SIRS disebut sebagai sepsis. SIRS akan selalu berkaitan
dengan MODS karena MODS merupakan akhir dari SIRS.4
Pada dasarnya MODS adalah kumpulan gejala dengan adanya gangguan
fungsi organ pada pasien akut sedemikian rupa, sehingga homeostasis tidak dapat
dipertahankan tanpa intervensi. Bila ditelusuri lebih lanjut, SIRS sebagai suatu
proses yang berkesinambungan sehingga dapat dimengerti bahwa MODS
menggambarkan kondisi lebih berat dan merupakan bagian akhir dari spektrum
keadaan yang berawal dari SIRS.3
Berdasarkan American Burn Association (ABA), kriteria sepsis pada pasien luka
bakar bedasarkan penemuan adanya bukti infeksi (bedasarkan respon klinis
setelah pemberian antibiotik atau ditemukannya kultur positif dari jaringan luka
bakar) dan minimal terdapat 3 dari kriteria berikut :
1. Demam > 39° C
2. Hipotermia (< 36,5°)
3. Progresif Takikardi (> 110 kali/menit)
4. Progresif Takipneu (> 25 kali/menit)
5. Thrombositopenia (< 100,00/μl)
6. Hiperglikemi, setelah disingkirkan kemungkinan diabetes mellitus (glukosa
darah > 200 mg/dl atau > 7 unit insulin/jam melalui iv drip atau resisten terhadap
insulin yang signifikan, > 25% meningkat kebutuhan dalam 24 jam )
7. Ketidakmampuan untuk melanjutkan pemberian makan secara enteral > 24 jam
( distensi abdomen, diare tidak terkontrol, > 2500 ml/hari)12
2.1.5. Klasifikasi
2.1.5.1. Derajat Luka Bakar
6
Klasifikasi dari derajat luka bakar yang banyak digunakan di dunia medis adalah
jenis "Superficial Thickness", "Partial Thickness" dan "Full Thickness" dimana
pembagian tersebut didasarkan pada kedalaman luka bakar. Pengklasifikasian luka
ini digunakan untuk panduan pengobatan dan memprediksi prognosis. Kedalaman
kerusakan jaringan akibat luka bakar tergantung pada derajat panas sumber,
penyebab dan lamanya kontak dengan tubuh penderita.3,4,5
Derajat Karakteristik
Derajat 1 - kerusakan epitel kecil dari epidermis ada.
- Kemerahan, nyeri, dan rasa sakit.
- Blistering tidak terjadi.
- Penyembuhan terjadi setelah beberapa hari tanpa bekas luka.
- Karena penghalang epidermal tetap utuh, respon metabolik dan risiko
infeksi yang minimal.
- Penyebab paling umum dari luka bakar tingkat pertama adalah sunburns.
7
8
Derajat 2 Terbagi 2, yaitu ketebalan superfisial parsial dan ketebalan mendalam parsial.
a. Ketebalan superficial parsial (superficial partial-thickness):
- melibatkan epidermis dan dangkal (papillary) dermis, sering
mengakibatkan berdinding tipis, berisi cairan lepuh.
- Luka-luka bakar tampak merah muda, lembab, dan lembut ketika
disentuh oleh tangan bersarung.
- Mereka sembuh dalam sekitar 2-3 minggu, biasanya tanpa bekas luka,
dengan hasil dari tunas epitel dari unit pilosebasea dan kelenjar keringat
yang berada di dermis papiler dan retikuler.
b. Ketebalan mendalam parsial (Deep partial-thickness):
- meluas ke dermis reticular.
- Warna kulit biasanya campuran merah putih dan pucat, dan pengisian
kapiler lambat.
- Melepuh yang berdinding tebal dan sering pecah.
Derajat 3 - Luka bakar tingkat tiga penuh-ketebalan luka bakar yang merusak baik
epidermis dan dermis. Jaringan kapiler dermis benar-benar hancur.
- Warna kulit menjadi putih atau kasar dengan underlying kapal
bergumpal dan anestesi. Kecuali luka bakar tingkat tiga cukup kecil
untuk sembuh dengan kontraksi (<1 cm), pencangkokan kulit selalu
diperlukan untuk melapisi daerah luka.
- Contoh penyebab luka bakar tingkat 3 adalah Immersion luka bakar, luka
9
bakar api, dan kimia dan tegangan tinggi cedera listrik.
Derajat 4 - menyebabkan penghancuran kulit dan jaringan subkutan, dengan
keterlibatan fasia yang mendasarinya, otot, tulang, atau struktur lainnya.
Cedera ini memerlukan debridement yang luas dan rekonstruksi
kompleks jaringan khusus dan selalu mengakibatkan cacat
berkepanjangan.
10
11
2.1.5.2. Luas Luka Bakar
Dikarenakan formula resusitasi berdasarkan berat badan dan persentasi luas
permukaan tubuh total, pasien harus ditimbang dan diperkirakan derajat luka
bakarnya. Untuk mengukur luas permukaan tubuh yang terbakar menggunakan
“rule of nine”, dimana setiap regio anatomi yang spesifik menggambarkan 9-18%
dari luas permukaan tubuh. Area dari telapak tangan dan jari-jari tangan
digambarkan 1% dari luas permukaan tubuh seseorang.3,5
Bayi dan anak-anak memiliki distribusi luas permukaan tubuh yang
berbeda dengan dewasa, dimana kepala yang lebih besar dan ekstermitas yang
lebih pendek. Ketika memperkirakan luas permukaan tubuh untuk anak usia
dibawah 10 tahun menggunakan diagram Lund and Browder.4,5
12
13
2.1.6. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
Semua luka bakar didiagnosa berdasarkan temuan pemeriksaan fisik dan juga
pemeriksaan laboratorium.2,3
Gejala Klinis yang didapatkan pada pasien luka bakar antara lain :
1. Keracunan Karbon Monoksida (CO) : Ditandai dengan kekurangan
oksigen dalam darah, lemas binggung, mual, muntah, koma bahkan
meninggal
2. Distress pernafasan : Ditandai dengan sesak, dan ketidakmampuan
menangani sekresi
3. Cedera Pulmonal : Ditandai dengan pernafasan cepat atau sulit,
krakles, stridor, dan batuk
4. Gangguan hematologik : Tanda yang ditemukan adalah kenaikan
hematokrit, penurunan SDP, leukosit meningkat, penurunan trombosit
5. Gangguan elektrolit : Tanda yang ditemukan adalah penurunan kalium,
kenaikan natrium dan klorida, serta kenaikan BUN
6. Gangguan ginjal : Tanda yang ditemukan adalah peningkatan keluaran
urine dan mioglobinuria
7. Gangguan metabolik : Tanda yang ditemukan adalah
hipermetabolisme dan kehilangan berat badan
Khusus untuk luka bakar dengan trauma inhalasi adalah terdapat gejala seperti
sesak napas, takipnea, stridor, suara serak, dan dahak berwarna gelap (jelaga).
Kecurigaan adanya trauma inhalasi bila pada penderita luka bakar terdapat 3 atau
lebih dari keadaan berikut : 3,4
1. Riwayat terjebak dalam rumah/ ruangan terbakar
2. Sputum tercampur arang
3. Luka bakar perioral, hidung, bibir, mulut atau tenggorokan.
4. Penurunan kesadaran.
5. Tanda distress napas, rasa tercekik, tersedak, malas bernapas dan
adanya
14
6. Wheezing atau rasa tidak nyaman pada mata atau tenggorokan (iritasi
mukosa)
7. Gejala distress napas/takipnea
8. Sesak atau tidak ada suara.
Pada pasien luka bakar juga dilakukan pemeriksaan penunjang: 4
1. Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah
2. Urinalisis
3. Pemeriksaan keseimbangan elektrolit
4. Analisis gas darah
5. Radiologi – jika ada indikasi ARDS
6. Pemeriksaan lain yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis SIRS
dan MODS
Pemeriksaan tambahan khusus untuk luka bakar inhalasi merupakan: 4
1. Kadar karboksihemoglobin (COHb)
Pada trauma inhalasi, kadar COHb 35-45% (berat), bahkan setelah 3 jam
dari kejadian, kadar COHb pada batas 20-25%. Bila kadar COHb lebih
dari 15% setelah 3 jam kejadian menunjukkan adanya bukti kuat terjadi
trauma inhalasi.
2. Gas Darah
PaO2 yang rendah (kurang dari 10 kPa pada konsentrasi oksigen 50%,
FiO2 = 0,5)
mencurigakan adanya trauma inhalasi. PaO2 biasanya normal pada fase
awal, tetapi dapat meningkat pada fase lanjut.
3. Foto Toraks
biasanya normal pada fase awal
4. Bronkoskopi Fiberoptic
Bila terdapat sputum beraran, edema mukosa, adanya bintik – bintik
pendarahan
dan ulserasi
5. Tes Fungsi paru
15
2.1.7. Penatalaksanaan
2.1.7.1. Penanganan Prehospital
Perhatian utama di lokasi kecelakaan adalah menghentikan proses pembakaran.
Pembakaran dan pakaian yang membara harus dipadamkan. Kemudian seperti
dengan semua pasien trauma, perhatian utama selama penilaian awal adalah
pemeliharaan fungsi kardiopulmonari. Patensi jalan nafas dan kecukupan ventilasi
harus dijaga dan pemberian oksigen tambahan yang diperlukan. Jika tidak adanya
trauma mekanik yang terkait atau kebutuhan untuk resusitasi kardiopulmonari,
penempatan kanula intravena tidak diperlukan jika transportasi ke fasilitas
pengobatan dapat dicapai dalam waktu kurang dari 45 menit.8
Penerapan es atau air dingin membasahi akan menghilangkan rasa sakit
pada daerah luka bakar derajat dua. Jika terapi dingin dimulai dalam waktu 10
menit dari pembakaran, kandungan jaringan panas juga berkurang, dan kedalaman
kecederaan termal dapat berkurang. Jika terapi dingin digunakan, perawatan harus
diambil perhatian untuk menghindari hipotermia. Air dingin atau es hanya boleh
digunakan pada pasien dengan luka bakar kurang dari 10% dari permukaan tubuh
dan pada waktu hanya untuk memproduksi analgesia. Setelah es atau air dingin
rendam dialihkan, pasien harus ditutup dengan kain lembaran bersih dan selimut
untuk melestarikan panas tubuh dan meminimalkan kontaminasi luka bakar
selama transportasi ke rumah sakit.6,8
Pada pemeriksaan yang akan dilakukan penderita diwajibkan memakai
sarung tangan yang steril, bebaskan penderita dari baju yang terbakar, penderita
luka bakar dapat pula mengalami trauma lain, misalnya bersamaan dengan trauma
abdomen dengan adanya internal bleeding atau mengalami patah tulang punggung
/ spine. Mekanisme trauma perlu diketahui karena ini penting, apakah penderita
terjebak dalam ruang tertutup sehingga kecurigaan adanya trauma inhalasi yang
dapat menimbulkan obstruksi jalan napas. Kapan kejadiannya terjadi, serta
ditanyakan penyakit – penyakit yang pernah di alami sebelumnya.6,8
Luka bakar diperiksa apakah terjadi luka bakar berat, luka bakar sedang
atau ringan. Luka bakar ditentukan luas luka bakar dengan menggunakan Rule of
16
Nine. Kemudian kedalaman luka bakar ditentukan dengan derajat kedalaman luka
bakar.6
2.1.7.2. Penanangan Intrahospital
Kondisi pasien luka bakar itu berubah secara dramatis selama cedera. Awal
periode postkebakaran ditandai oleh ketidakstabilan kardiopulmonari disebabkan
oleh perpindahan cairan dan kecederaan akibat asap yang langsung masuk ke
jalan nafas. Dengan terjadinya peradangan luka intens, imunosupresi, dan infeksi,
parameter fisiologis dan metabolik berubah secara substansial dari yang terlihat
pada awalnya. Karena itu pengobatan harus didasarkan pada pemahaman yang
jelas tentang perubahan-perubahan dari waktu ke waktu.6,8
Ketidakstabilan kardiopulmonari menunjukkan ciri fase resusitasi.
Masalah jalan napas dan pernapasan merupakan hal yang mengancam jiwa saat
ini, dengan ditambah keracunan karbon monoksida, edema jalan nafas atas, dan
efek langsung dari cedera inhalasi asap yang paling sering terjadi. Tahap awal ini
juga ditandai dengan hipovolemia karena volume plasma yang hilang ke dalam
jaringan terbakar. Luka bakar itu sendiri kurang diperhatikan dahulu, karena
pengobatan awal paru dan peredaran darah kelainan merupakan prioritas pertama.
Kesalahan manajemen awal akan menyebabkan peningkatan dramatis dalam
morbiditas dan mortalitas selama fase cedera berikutnya. Ini adalah sangat penting
untuk mengingatkan bahwa pasien luka bakar adalah pasien trauma dengan
potensi mengalami cedera lainnya. Pendekatan standar untuk resusitasi trauma
harus diikuti, termasuk penilaian untuk tulang belakang leher dan cedera kepala,
trauma paru dan abdomen, fraktur, dan sebagainya. Pengelolaan masalah ini
adalah sama seperti pada pasien trauma lainnya.6,7
Setibanya di rumah sakit, penilaian patensi jalan napas dan kecukupan
pernapasan harus diulangi dan intubasi endotrakeal dilakukan jika diperlukan.
Resusitasi cairan intravena dimulai dengan pemberian larutan garam fisiologis,
misalnya, larutan Ringer laktat, melalui kanula intravena ukuran besar. Urutan
preferensi untuk tempat kanulasi intravena adalah vena perifer mendasari kulit
17
yang tidak terbakar, vena perifer yang mendasari kulit terbakar, dan terakhir,
vena sentral.6,8
Riwayat terdahulu harus diperoleh, dan penting untuk pengobatan cedera
selanjutnya, riwayat penyakit terdahulu, alergi dan obat-obatan, dan penggunaan
obat-obatan terlarang atau alkohol sebelum cedera. Pemeriksaan fisik lengkap
harus dilakukan dan cedera terkait diidentifikasi. Data laboratorium harus
mencakup analisa gas darah dan analisis pH, elektrolit serum, nitrogen urea,
kreatinin, dan glukosa, dan pemeriksaan darah lengkap. Jika tersedia, penentuan
oksimetri transkutan dari saturasi oksigen harus dimulai pada pasien dengan
dicurigai cedera inhalasi atau luka bakar yang luas.6,8
Berikut terdapat beberapa langkah penanganan emergensi luka bakar: 6
1. Diwajibkan memakai sarung tagan steril ketika melakukan pemeriksaan.
2. Bebaskan pakaian penderita yang terbakar.
3. Dilakukan pemeriksaan yang teliti dan menyeluruh untuk memastikan
adnya trauma lain yang menyertai.
4. Bebaskan jalan napas. Pada luka bakar dengan distress jalan napas dapat
dipasang endotracheal tube. Tracheostomy dilakukan hanya bila ada
indikasi.
5. Pemasangan intraveneous kateter yang cukup besar dan tidak dianjurkan
pemasangan scalp vein.
6. Dilakukan pemasangan Foley kateter untuk monitor jumlah produksi
urine. Dicatat jumlah urine/jam.
7. Dilakukan pemasangan nosogastrik tube untuk gastric dekompresi dengan
intermitten pengisapan.
8. Untuk menghilangkan nyeri hebat dapat diberikan morfin intravena.
9. Diberikan tetanus toksoid bila diperlukan. Pemberian tetanus toksoid
booster bila penderita tidak mendapatkannya dalam 5 tahun terakhir.
10. Pencucian luka bakar di kamar operasi dalam keadaan pembiusan umum.
Luka dicuci debridement dan di disinfektsi dengan salvon 1 : 30. Setelah
bersih tutup dengan tulle kemudian olesi dengan Silver Sulfa Diazine
(SSD) sehingga tebal. Rawat tertutup dengan kasa steril yang tebal. Pada
18
hari ke 5 kasa di buka dan penderita dimandikan dengan air dicampur
Salvon 1 : 30.
11. Eskarotomi adalah suatu prosedur atau membuang jaringan yang mati
(eskar)dengan teknik eksisi tangensial berupa eksisi lapis demi lapis
jaringan nekrotik sampai di dapatkan permukaan yang berdarah. Fasiotomi
dilakukan pada luka bakar yang mengenai kaki dan tangan melingkar, agar
bagian distal tidak mengalami nekrosis.
12. Penutupan luka dapat terjadi atau dapat dilakukan bila preparasi bed luka
telah dilakukan dimana didapatkan kondisi luka yang relative lebih bersih
dan tidak infeksi. Luka dapat menutup tanpa prosedur operasi. Secara
persekundam terjadi proses epitelisasi pada luka bakar yang relative
superfisial. Untuk luka bakar yang dalam pilihan yang tersering yaitu split
tickness skin grafting. Split tickness skin grafting merupakan tindakan
definitive penutup 10 luka yang luas. Tandur alih kulit dilakukan bila luka
tersebut tidak sembuh –sembuh dalam waktu 2 minggu dengan diameter >
3 cm.
Prinsip Penanganan Luka Bakar
PRIMARY SURVEY DAN RESUSITASI PENDERITA LUKA BAKAR
A. Airway Adanya riwayat terkurung api atau terdapat tanda-tanda trauma jalan napas, memerlukan pemeriksaan jalan napas dan tindakan pemasangan jalan napas defenitif meskipun edema laring belum terjadi.
B. Breathing Didasarkan pada akibat trauma yang ada:1. Trauma bakar langsung, menyebabkan edema dan obstruksi jalan
napas bagian atas.2. Inhalasi hasil pembakaran (partikel karbon) dan asap beracun
menyebabkan trakeobronkhitis kimiawi, edema, dan pneumonia3. Keracunan karbon monoksida (CO) dianggap terjadi bila seseorang
mengalami luka bakar diruangan tertutup. Diberikan oksigen konsentrasi tinggi dengan sungkup nonrebreathing.
C. Circulation Pada luka bakar derajat II dan III 24 jam pertama memerlukan cairan sebanyak 2-4 mL perkilogram berat badan tiap persen luka bakar. Separuh cairan diberi pada 8 jam pertama, dan sisanya pada 16 jam berikutnya. Pemantauan urine output 0,5-1 mL perkilogram berat badan
19
diperlukan untuk menilai respon resusitasi cairan.Tabel Primary Survey pada Luka Bakar berdasarkan ATLS
Kelainan pada ventilasi dan oksigenasi paling sering terjadi secara langsung pada
periode posttrauma. Beberapa proses penyakit kritis harus dievaluasi dan
ditangani secara agresif. Suhu yang tinggi atau panas menghasilkan cedera
langsung pada mukosa saluran nafas, sehingga menimbulkan edema, eritema, dan
ulserasi. Meskipun perubahan mukosa secara anatomis dapat terjadi setelah
kejadian, perubahan fisiologis tidak akan hadir sehingga edema menghasilkan
bukti klinis gangguan patensi saluran napas bagian atas. Ini tidak mungkin terjadi
selama 12 sampai 18 jam.7
Kejadian luka bakar pada tubuh memperbesar efek cedera saluran napas
yang kadar langsung dengan ukuran dan kedalaman luka bakar kulit. Jumlah besar
cairan diberikan adalah sebagian dari tanggung jawab. Luka bakar pada wajah
atau leher akan menekankan masalah ini ditandai dengan menghasilkan distorsi
anatomi dan, dalam kasus luka bakar pada leher yang mendalam, kompresi
eksternal laring. Edema jalan nafas dan edema luka bakar eksternal memiliki
selang waktu tertentu sehingga pada waktu itu gejala edema saluran napas
muncul, eksternal dan internal distorsi anatomi yang sangat luas. Edema lokal
biasanya menyembuh dalam 4 sampai 5 hari.4,7
Inspeksi orofaring untuk jelaga atau bukti cedera panas harus rutin
dilakukan pada setiap korban luka bakar. Banyak teknik telah digunakan untuk
menilai tingkat kecederaan dan menentukan kebutuhan untuk intubasi
endotrakeal. Bronkoskopi atau laringoskopi fiberoptik menunjukkan apakah ada
bukti fisik cedera pada mukosa faring atau laring. Laringoskopi akan
menunjukkan adanya iritasi mukosa dan memberikan informasi tentang perlunya
intubasi endotrakeal. Namun begitu, tidak satupun dari tes ini dapat memprediksi
tingkat keparahan pernafasan secara akurat karena edema berlangsung selama 18
sampai 24 jam pertama. Pemeriksaan ulang untuk gangguan jalan napas dapat
dilakukan pada pasien tanpa luka bakar pada wajah. Namun, dengan adanya luka
20
bakar yang besar, yang terbaik adalah untuk melanjutkan dengan intubasi jika ada
indikasi.6,7
Keputusan awal mengenai kebutuhan untuk intubasi saluran napas sangat
penting. Bila ada keraguan, lebih aman untuk intubasi. Pasien dengan trauma
inhalasi dan luka bakar pada wajah yang dalam biasanya harus dikelola oleh
intubasi endotrakeal awal. Ada indikasi lain untuk intubasi pada pasien luka bakar
selain daripada edema saluran napas, seperti ketidakstabilan hemodinamik dan
penurunan kesadaran. Orotracheal tube dengan ukuran yang besar (setidaknya 7
mm dengan diameter internal) harus digunakan pada orang dewasa karena sekresi
yang dihasilkan sangat padat. Jika orotracheal tube awalnya terlalu kecil, maka
akan berbahaya sekali untuk menggantikan karena edema masif pada wajah dan
saluran napas terjadi.4,7
Resusitasi cairan harus dimulai sesegera mungkin setelah cedera termal.
Umumnya, luka bakar yang melibatkan lebih dari 25% dari luas permukaan tubuh
memerlukan resusitasi cairan intravena karena ileus menghalangi resusitasi oral.
Pasien dengan luka bakar kecil tidak membentuk ileus harus memiliki akses
liberal untuk elektrolit yang mengandung cairan, seperti jus buah atau susu,tetapi
asupan yang berlebihan dari elektrolit-bebas air harus dihindari untuk mencegah
hiponatremia.6,7
Yang paling utama adalah volume cairan yang dibutuhkan tergantung pada
berat badan pasien dan tingkat kecederaan luka bakar. Kebanyakan sering
disarankan bahwa setengah dari kebutuhan yang dihitung diberikan selama 8 jam
pertama setelah kejadian, yaitu, pada waktu permeabilitas pembuluh darah
maksimal, sisa volume 24 jam pertama resusitasi disampaikan selama 16 jam ke
depan. Subkelompok tertentu pasien memerlukan resusitasi volume secara
signifikan lebih besar daripada yang diperkirakan oleh rumus. Sebuah
keterlambatan dalam memulai resusitasi cairan, cedera inhalasi, dan keracunan
etanol sering dikaitkan dengan lebih besar dari kebutuhan cairan yang
diprediksi.7,8
Rumus resusitasi hanya untuk membantu dalam inisiasi terapi cairan.
Jumlah yang sebenarnya cairan resusitasi disesuaikan dengan respon fisiologis
21
setiap pasien, sering dengan penilaian ulang dan penyesuaian kadar infus yang
diperlukan untuk melestarikan perfusi organ vital. Kegagalan untuk sering
mengevaluasi kembali respon pasien untuk resusitasi secara teratur dapat
menyebabkan kelebihan atau kekurangan resusitasi. Hal ini sering terlihat ketika
volume cairan diberikan hanya berdasarkan perkiraan awal. Dengan administrasi
berlebihan dari cairan infus akan mengakibatkan edema pada luka bakar, paru dan
otak. Komplikasi yang paling jelas terlihat dari hari ketiga hingga keenam
posttrauma, ketika permeabilitas pembuluh darah telah kembali ke "normal,"
resistensi vaskular telah menurun, dan edema luka bakar sedang diserap.7
Secara umum, cairan yang mengandung setidaknya garam sebanyak
kandungan di dalam plasma sesuai dalam resusitasi. Pemulihan natrium yang
hilang ke dalam luka bakar sangat penting. Cairan harus bebas dari glukosa
(kecuali dalam pengobatan anak-anak kecil) karena karekteristik intoleransi
glukosa akan muncul. Volume darah dapat dipulihkan dengan lebih efektif karena
kebocoran menurun pada sekitar 24 sampai 36 jam. Volume infus di atas jumlah
yang diperlukan untuk perfusi yang memadai dapat menonjolkan edema yang
berhubungan dengan komplikasi adalah nyata.7,8
Jumlah kristaloid isotonik yang diperlukan dalam 24 jam pertama
disesuaikan berdasarkan parameter yang digunakan untuk memantau kecukupan
resusitasi. Jika menggunakan solusi hipertonik, tingkat natrium serum seharusnya
tidak diperbolehkan untuk melebihi 160 mEq / L. Oleh karena tampak
permeabilitas jaringan tanpa luka bakar kembali cepat setelah cedera, dan karena
hypoproteinemia mungkin terjadi pada edema jaringan tanpa luka bakar, restorasi
awal protein bermula sekitar 8 sampai 12 jam dengan albumin 6% tampaknya
tepat jika edema dalam jaringan tanpa cedera dan persyaratan cairan total harus
diminimalkan. Penggunaan fresh frozen plasma harus disediakan untuk koreksi
kelainan pembekuan yang didokumentasikan. Karena tidak ada tanda awal defisit
sel darah merah dengan luka bakar saja (kecuali hemolisis parah terjadi),
pengganti darah biasanya tidak diperlukan. Bantuan inotropik untuk melengkapi
cairan diindikasikan jika perfusi yang memadai tidak dapat dipertahankan tanpa
pemberian cairan yang berlebihan.8
22
Pasien luka bakar memerlukan resusitasi volume cairan yang besar segera
setelah trauma. Resusitasi cairan yang tertunda atau yang tidak adekuat
merupakan faktor resiko yang independent terhadap tingkat kematian pada pasien
dengan luka bakar yang berat. Tujuan dari resusitasi pasien luka bakar adalah
untuk tetap menjaga
perfusi jaringan dan meminimalkan edema interstitial. Idealnya sedikit cairan
dibutuhkan untuk menjaga perfusi jaringan perlu diberikan. Pemberian volume
cairan seharusnya secara terus menerus di titrasi untuk menghindari terjadinnya
resusitasi yang kurang atau yang berlebihan. Ketika resusitasi cairan pada pasien
luka bakar ditingkatkan, volume cairan yang besar ditunjukkan untuk menjaga
perfusi jaringan.
Akan tetapi resusitasi cairan yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinnya
edema dan terjadinya sindroma kompartement pada daerah abdomen dan
ekstremitas.
Resusitasi cairan isotonik kristaloid di gunakan pada sebagian pusat
penanganan luka bakar dan umumnnya merupakan hasil resusitasi yang adekuat.
Buffer cairan kristaloid seperti ringer laktat merupakan cairan yang paling popular
untuk resusitasi sampai saat ini. Formula resusitasi yang klasik di modifikasi oleh
Brooke dan Parkland. Formula modifikasi dari Brooke di kembangkan dari
formula Evans dan Brooke yang menyarankan pemberian 2 ml/ kg / % dari total
tubuh yang terkena luka bakar selama 24 jam pertama dan merupakan jenis
formula pertama yang berdasarkan persentase total permukaan tubuh yang terkena
luka bakar. Formula Brooke merupakan modifikasi dari formula Evans yang
mengandung persentase kristaloid yang relatif lebih besar di bandingkan koloid
pada formula Evans.
Modifikasi formula Brooke murni menggunakan cairan kristaloid. Konsep terbaru
yang dikembangkan oleh Baxter dan Shires menghasilkan perkembangan 4 ml /kg
/ % luas permukaan tubuh yang terkena luka bakar. Setengah dari volume cairan
resusitasi diberikan pada 8 jam pertama dan setengahnya lagi di berikan pada 16
jam berikutnnya setelah trauma. Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa formula ini
merupakan suatu penuntun yang sederhana untuk terapi cairan di mana pasien
23
harus di monitor secara ketat untuk mengoptimalisasi resusitasi syok akibat luka
bakar.
Beberapa peneliti memperlihatkan bahwa kebutuhan cairan terutama untuk pasien
dengan area luka bakar yang luas sering di prediksi dengan menggunakan rumus
Parkland. Pada populasi tertentu memerlukan resusitasi cairan yang lebih dari
yang sudah dikalkulasi. Pasien dengan trauma inhalasi kemungkinan memerlukan
30-40% cairan ( sekitar 5-7mL/kg/BSA) dari yang formula Parkland.
Keterlambatan dalam terapi cairan juga memerlukan resusitasi cairan yang lebih
(30’%) dari kebutuhan normal. Perlakuan dengan eskaratomi atau fasiotomi juga
memerlukan terapi cairan yang lebih. Kristaloid merupakan cairan yang paling
sering digukan untuk resusitasi syok akibat luka bakar. Sampai saat ini tidak ada
studi prosfektif yang dapat memperlihatkan bahwa koloid atau salin hipertonik
memiliki mamfaat yang lebih dibandingkan kristaloid isotonik dalam hal
resusitasi pasien pasien luka bakar. Selain itu kriataloid isotonik lebih murah
dibandingkan koloid, meskipun kerugian penggunaan kristaloid memerlukan
volume yang realtif lebih besar untuk resusitasi syok akibat luka bakar dan
berpotensi menyebabkan terjadinnya edema jaringan. Ada kemungkinan hal ini
terjadi akibat resusitasi yang berlebihan jika pasien tidak dimonitor ketat.
Penumpukan cairan ini terjadi terutama pada ruang interstitial. Kebanyakan studi
tidak memperlihatkan insiden edema paru pada pasien yang menerima resusitasi
dengan kristaloid. Kolm dkk, baru-baru ini mengkomfirmasi bahwa kebanyakan
pasien-pasien luka bakar tidak memperlihatkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah paru setelah luka bakar dan edema paru jarang terjadi selama
tekanan pengisian intravaskuler dipertahankan dalam batas normal. Komplikasi
potensial yang lain akibat resusitasi kristaloid yang berlebihan adalah
hipoalbuminemia dan ketidak seimbangan elektrolit. Perubahan ini belum
memperlihatkan hubungan secara signifikan dengan tingkat morbiditas dan
mortalitas
24
Koloid
Secara teoritis koloid memberikan keuntungan yang lebih dalam menjaga volume
intravaskular dengan volume yang lebih sedikit dengan waktu yang lebih pendek
dibandingkan kristaloid. Pada pasien dengan endotel yang intak koloid lebih
bertahan lama dibandingkan kristaloid dalam kompartemen intravaskular. Protein
plasma memegang peranan yang penting dalam dalam mempertahankan volume
vaskular dengan memberikan tekanan koloidosmotik yang berlawanan dengan
tekanan hidrostatik intravascularMeskipun demikian pada pasien luka bakar
memperlihatkan penigkatan permeabilitas vaskular terhadap cairan elektrolit dan
kolid sehingga penggunaan koloid pada 8-24 jam pertama setelah luka bakar
masih dipertanyakan. Akibat peningkatan permeabilitas vaskular yang diobservasi
pada luka bakar, koloid mungkin saja tidak bertahan lebih lama dalam sirkulasi di
bandingkan dengan kristaloid. Selain itu dikhawatirkan bahwa aliran koloid ke
interstitial dapat memperburuk edema. Target terapi cairan seharusnya mencapai
UOP 0.5 mL/kg/jam atau mencapai 30-50mL/jam pada orang dewasa dan anak-
anak (>50kg). Pada anak yang lebih kecil, target terapi cairan seharusnya
mencapai 1mL/kg/jam. 13
Myoglobinuria
Semua pasien yang disangkakan dengan mioglobinuria atau
rhabdomiolisis harus di terapi dengan resusitasi cairan dan penanganan terhadap
komplikasi yang mungkin terjadi. Bilamana level Kreatinin kinase mencapai 5000
U/L harus diindikasikan rawat inap dan dengan terapi cairan yang agresif untuk
mencegah gagal ginjal akut dan harus diikuti dengan hidrasi kontinual dimana
mencapai 2-3 kali maintenen biasa.
Target urin output mencapai 2-3 mL/kg/jam sangat direkomendasi dan
level kreatinin kinase harus mencapai level dibawah 1000 U/L, urin jernih dan
pasien sudah bisa mempertahankan oral hirasi yang cukup.
Mannitol dapat menyebabkan dieresis, dimana diikuti dengan terapi cairan
IV yang agresif, dapat menimimalisasi terjadi deposisi mioglobin pada
intratubular, yang mana dapat menyebabkan penurunan radikal bebas dan
25
mengurangai cedera sel tubular dan dapat menyebabkan vasodilator renal. Namun,
keuntungan secara klinis masih dipertanyakan14.
Protokol resusitasi pada pasien pediatri dengan formula (TB(H) dan BB(W)):
BSA = [87 (H + W) - 2600] / 10,000
Shriners Burn Institute (Cincinnati) - 4 mL/kg per persen luka bakar +
1500 mL/m2 BSA
o 8 jam awal – cairan RL dengan 50 mEq natrium bicnat per liter
o 8 jam kedua- cairan RL
o 8 jam ketiga – cairan RL + 12.5 g dari cairan albumin per liter
Galveston Shriners Hospital – 5000 mL/m2 TBSA + 2000ml/m2 BSA,
dengan menggunakan cairan RL12.5 g 25% albumin per liter + cairan
D5W bila hipoglikemia
26
Secondary Survey dan Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan Fisik
1. Lepaskan seluruh perhiasan
2. Periksa apakah ada cedera ikutan
3. Timbang berat badan penderita
B. Catatan Penderita
C. Pemeriksaan Penunjang untuk Penderita Luka Bakar Berat
1. Darah
2. Radiologi
D. Luka Bakar melingkar pada Ekstremitas Menjamin Sirkulasi Perifer
27
1. Lepaskan seluruh perhiasan
2. Nilai keadaan sirkulasi distal, apakah ada sianosis, berkurangnya
pengisian kapiler atau gangguan neurologis yang progresif.
Pemeriksaan denyut nadi perifer pada penderita luka bakar lebih
baik dilakukan dengan Doppler ultrasonic flowmeter.
3. Bila ada gangguan sirkulasi pada luka bakar pada ekstremitas yang
melingkar segera konsultasikan ke ahli bedah untuk dilakuakan
eskarotomi.
4. Fasciotomi tulang kadang perlu dilakukan.
E. Pemasangan Pipa Lambung
F. Obat Narkotik, Analgesik, dan Sedativa
G. Perawatan Luka
H. Antibiotika
I. Tetanus9
2.1.7.3. Terapi Nutrisi pada Luka Bakar
Mempertahankan homeostasis berat badan, protein otot, elektrolit dan vitamin
merupakan tujuan utama penanganan nutrisi pada pasien luka bakar. Basal
metabolic rate (BMR) yang meningkat sebanding dengan luas luka bakar dan ada
tidaknya infeksi akan mencapai puncak dalam 7-10 hari pasca kejadian, dan dapat
berlanjut sampai dua tahun pasca trauma. Tanpa dukungan nutrisi yang adekuat,
hipermetabolisme ini dapat menyebabkan kehilangan sampai 25% berat badan
dalam 3 minggu pertama pasca terbakar.10
a. Kebutuhan Kalori
Jumlah kebutuhan kalori pada pasien luka bakar berkolerasi dengan resting
energy expenditure (REE), yang dapat dinilai dengan menggunakan kalorimeter,
atau dengan formula estimasi kalori. Formula pada dewasa umumnya berdasarkan
berat badan dan luas luka bakar, sedangkan pada anak-anak lebih berdasarkan
kepada luas permukaan tubuh. Dengan formula ini, kebutuhan kalori pasien
dewasa dengan luka bakar luas bisa mencapai 5000 kkal/hari, sehingga meskipun
28
formula ini dapat dipercaya, kebutuhan kalori aktual akan lebih baik diestimasi
dengan kalorimeter. Dukungan nutrisi yang optimal pada pasien luka bakar adalah
sekitar 1.2 – 1.4 kali REE. Penelitian menunjukkan bahawa pemenuhan
kebutuhan sebanyak 1.2 REE dapat mempertahankan massa tubuh pada luas luka
bakar di atas 40%, dan pemenuhan kebutuhan 1.4 kali REE dapat
mempertahankan berat badan.10
Tabel. Formula Estimasi Kebutuhan Kalori pada Pasien Luka Bakarnerin
Galveston Infant
Galveston Revised
Galveston Adolescent
Curreri Formula Adult
Curreri Formula Senior
0 - 1 tahun
1 - 11 tahun
12 tahun
16 - 60 tahun
> 60 tahun
2100 kkal/m2 + 1000 kkal/m2 luka bakar /hari
1800 kkal/m2 + 1300 kkal/m2 luka bakar /hari
1500 kkal/m2 + 1500 kkal/m2 luka bakar /hari
25 kkal/kgBB + 40 kkal/%TBSA luka bakar /hari
25 kkal/kgBB + 65 kkal/%TBSA luka bakar /hari
Formula lain untuk mengestimasi kebutuhan kalori pada pasien luka bakar adalah:
Formula Ireton Jones11:
Untuk pasien yang dirawat di Intensive Care dengan ventilator:
EEE = 1784 – 11(Usia dalam tahun) + 5(Berat badan dalam kg) + 244 (jika laki-
laki) + 239 (jika terdapat trauma) + 804 (jika terdapat luka bakar)
*EEE : estimated energy expenditure (kcal)
Formula Harris Benedict10:
Untuk pasien dengan multipel faktor stress, kebutuhan kalori adalah sebesar BEE
dikalikan dengan faktor stress:
- Laki-laki : BEE (kkal) = 66.5 + 13.7 (Berat badan dalam kg) + 5 (tinggi
badan dalam cm) – 6.8 (Usia dalam tahun)
- Perempuan : BEE (kkal) = 655 + 9.6 (Berat badan dalam kg) + 1.75 (tinggi
badan dalam cm) – 4.7 (Usia dalam tahun)
Stressor:
- Aktivitas : terbaring di tempat tidur = 1.2
dapat bergerak dari tempat tidur = 1.3
29
- Faktor luka : operasi minor = 1.2 trauma skeletal = 1.3
operasi besar = 1.4 sepsis = 1.6
- faktor luka bakar: < 20% TBSA = 1.2 20-25% TBSA = 1.6
25-30% TBSA = 1.7 30-35% TBSA = 1.8
35-40% TBSA = 1.9 40-100% TBSA = 1.9 - 2
Trauma inhalasi = 1.5
*BEE : basal energy expenditure
Pemenuhan nutrisi tinggi kalori tinggi protein sangat penting untuk
mencegah pemecahan protein tubuh, lambatnya penyembuhan luka, penekanan
imunitas maupun peningkatan komplikasi infeksi. bishop. Pemberian dominasi
karbohidrat dan protein (karbohidrat 82%, protein 15%, lemak 3%) lebih baik
dalam meningkatkan keseimbangan protein otot terutama pada kasus luka bakar
berat anak daripada formula fat-based. Sintesis protein otot akan terangsang dan
degradasi protein otot akan turun dengan diet tinggi karbohidrat10.
b. Kebutuhan Protein
Kebutuhan protein meningkat pada pasien luka bakar, yaitu sekitar 1.5 gr/kgBB
/hari, dapat mendekati 2.5g/kgBB/hari. Pada anak-anak dengan TBSA > 10%, 20-
23% kebutuhan kalori direkomendasikan berasal dari protein, atau sekitar 2.5 – 4
gr protein per hari. Pemberian diet tinggi protein tidak akan mencegah terjadinya
katabolisme protein tubuh dan kehilangan protein akibat luka bakar itu sendiri,
namun akan berperan pada anabolisme dan proses penyembuhan luka.11
c. Suplementasi mikronutrien
Suplemen mikronutrien dibutuhkan untuk penyembuhan luka dan
mengkompensasi kehilangan mikronutrien lewat luka bakar. Vitamin C
merupakan komponen pembentukan kolagen. Zink akan hilang saat kulit atau
cairan gastrointestinal hilang. Glutamin berperan sebagai immunomodulator.
Arginin diketahui dapat membantu penyembuhan luka, tetapi tidak boleh
diberikan kepada pasien sepsis.11
30
Tabel. Suplementasi mikronutrien pada luka bakar11
Nutrisi Hanya selang makan
Kombinasi selang makan dengan diet
Hanya diet, luka bakar luas
Hanya diet, luka bakar kecil
Vitamin C 500 mg/hari 1000 mg/hari 1000 mg/hari Tidak adaZink 220 mg/hari 220 mg/hari selama 14
hari220 mg/hari selama 14 hari
Tidak ada
Multivitamin dan mineral
1 tablet kunyah/hari
1 tablet kunyah/hari 1 tablet kunyah/hari
1 tablet kunyah/ hari
Vitamin A Tidak ada Tidak ada jika selang makan >1 liter / hari
10,00 IU PO setiap 2 hari
Tidak ada
Vitamin D Tidak ada 400 IU/hari 400 IU bid 400 IU/hariArginin Tidak ada Tidak ada 2 paket/hari Tidak adaGlutamin 10 gr, 3
kali/hari10 gr, 3 kali/hari 10 gr, 3 kali/hari,
sesuai toleransiTidak ada
Tabel. Suplementasi mikronutrien pada Pasien Anak dengan Luka Bakar12
Dukungan nutrisi dapat diberikan melalui enteral dan/atau parenteral. Pemberian
nutrisi pada pasien luka bakar berat yang paling baik adalah secara enteral dan
sedini mungkin. Nasogastric tube cenderung mudah terhalang oleh stasis lambung
yang sering terjadi pada pasien luka bakar, sehingga nasoduodenal tube lebih baik
digunakan. nerin Jika pasien tidak memungkinkan untuk akses enteral, maka Total
Parenteral Nutrition (TPN) dapat digunakan sebgai sumber nutrisi sampai pasien
dapat memperoleh makanan secara enteral.11
Pada keadaan yang optimal dalam hal pemberian terapi nutrisi yang paling
bagus bila dicapai dalam 24 jam awal setelah luka bakar. Penelitian pada manusia,
nutrisi enteral menunjukkan deliver caloric requirements (REE) yang cukup, serta
mengurangi kebutuhan respon hipermetabolik, dan mengurangi sirkulasi dari level
31
katekolamin, kortisol, dan glucagon. Nutrisi enteral juga menjaga integritas
mukosa, motilitas, dan perfusi darah pada usus, yang mana mencegah hipoperfusi
atau ileus karena keterlambatan dari resusitasi atau reperfusi. Pasien dengan luka
bakar berat dapat diberi nutrisi dengan enteral tuben secepatnya 6 jam setelah luka
bakar yang tidak tergantung dengan fungsi dari gastroduodenum.
32
2.1.8. Tindakan Anestesi pada Luka Bakar
Tindakan anestesi pada pasien dengan luka bakar yang akan menjalani
tindakan operatif baik debridement maupun skin grafting perlu
mempertimbangkan beberapa hal seperti luas luka bakar pasien, derajat systemic
insult dan area untuk melakukan tindakan. Pasien luka bakar sering menyulitkan
monitoring akibat terbatasnya area untuk pemasangan EKG, pulse oximetry
maupun cuff tekanan darah. Hal ini diatasi dengan pemakain skin staples atau
jarum subkutan yang dihubungkan dengan crocodile clips. Untuk pemasangan
pulse oximetry yang sulit dapat dipertimbangkan pemasangan di hidung, lidah,
maupun bibir. Pemasangan line arterial maupun kateter vena sentral bermanfaat
untuk mengetahui kecukupan volume selama operasi. Secara ringkas
pertimbangan anestesi untuk operatif luka bakar dapat dibagi atas perencanaan
preoperatif yang meliputi anamnesis yang jelas, penentuan luas luka bakar dan
rencana tindakan, penilaian airway, penyediaan darah, akses vaskular dan puasa.
Sementara pertimbangan pada intraoperatif meliputi pengendalian suhu tubuh
pasien dengan mematikan pendingin ruangan operasi, menggunakan cairan yang
dihangatkan, dengan batas penurunan suhu tubuh pasien sebesar 1o C, airway
management dengan high minute ventilation, penggunaan obat anestesi untuk
intubasi, penggunaan vasopresor selama operasi, penggunaan epinephrine swab
maupun injeksi subkutan untuk mengurangi kehilangan darah. Dan pertimbangan
post operatif antara lain penggunaan analgesia multimodal dan penggunaan opioid
untuk mengatasi nyeri serta pengaturan ruangan dan fisioterapi untuk menghindari
kekakuan maupun kontraktur. 15
Obat Anastesi yang digunakan pada operasi eksisi dan grafting adalah
isoflurane dengan penggunaan opioid dosis tinggi. Sementara itu respons tubuh
terhadap penggunaan muscle relaxants tetap tidak mengalami perubahan dalam 24
jam pertama setelah kejadian luka bakar. Namun setelah 24 jam, pengunaan
suksinilkolin harus dicegah setidaknya dalam 1 tahun dikarenakan penggunaan
suksinilkolin dapat menyebabkan peningkatan kalium serum yang membahayakan
dengan luka bakar diatas 10%. Mekanisme terjadinya hal ini akibat upregulasi
reseptor asetilkolin, yang akan menutupi seluruh membran sel otot, timbulnya dua
33
ekspresi reseptor asetilkolin baru. Resistensi terjadi pada agen nondepolarizing
muscle relaxant. Hal ini dapat diatasi dengan meningkatkan dosis. Pada
penggunaan rocuronium untuk intubasi, pada pasien luka bakar onsetnya
memanjang sekitar 50 detik (30% lebih lama dibanding keadaan normal) dengan
dosis 0,9 mg/kgBB. Dengan menaikkan dosis menjadi 1,2 mg/kgBB, maka onset
berkurang sekitar 30 detik, meskipun masih memanjang dibanding keadaan
normal. 16,17
34
2.1.9. Komplikasi
Antara komplikasi yang bias terjadi pada pasien dengan luka bakar adalah: 6
a. Setiap luka bakar dapat terinfeksi sehingga menyebabkan cacat lebih
lanjut atau kematian.
b. Lambatnya aliran darah dapat menyebabkan pembentukan bekuan darah
sehingga timbul cerebrovascular accident, infark miokardium, atau
emboli paru.
c. Kerusakan pam akibat inhalasi asap atau pembentukan embolus. Dapat
terjadi kongesti paru akibat gagal jantung kiri atua infark miokardium,
serta sindrom distress pernafasan pada orang dewasa.
d. Gangguan elektrolit dapat menyebabkan disaritmia jantung.
e. Syok luka bakar dapaat secara irreversibel merusak ginjal sehingga
timbul gagal ginjal dalam 1 atau 2 minggu pertama setelah luka bakar.
Dapat terjadi gagal gnjal akibat hipoksia ginjal atau rabdomiolisis
(obstruksi mioglobin pada tubulus ginjal akibat nekrosis otot yang luas).
f. Penurunan aliran darah ke saluran cerna dapat menyebabkan hipoksia
sel-sel penghasil mukus sehingga terjadi ulkus peptikum.
g. Dapat terjadi koagulasi intravaskular diseminta (DIC) karena destruksi
jarngan yang luas.
h. Pada luka bakar yang luas akan menyebabkan kecacatan, trauma
psikologis dapat menyebabkan depresi, hingga keinginan untuk bunuh diri.
Gejala-gejala psikologis dapat timbul setiap saat setelah luka bakar.
Gejala-gejala dapat datang dan pergi berulnag-ulang kapan saja seumur
hidup.
i. Beban biaya pada keluarga pasien pengidap luka bakar yang luas
sangatlah besar. Apabila pasiennya orang dewasa, yang hilang tidak saja
penghasilan tetapi perawatan pasien tersebut juga harus terus-menerus
mahal.
35
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1. Anamnesis
Identitas Pribadi
Nama : Anju Hutahaean
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 22 tahun
Suku Bangsa : Batak
Agama : Kristen
Alamat : Desa Lawe Beringin Horas Kec L
Status : Belum kawin
Pekerjaan :
Tanggal Masuk : 3 Januari 2014 Pukul 09.15 WIB
3.2. Riwayat Perjalanan Penyakit
Keluhan Utama : Luka bakar api pada wajah,kedua lengan
Telaah : Hal ini dialami pasien 12 jam yang lalu sebelum masuk rumah
sakit Haji Adam Malik Medan. Awalnya pasien sedang menghdupi lampu dengan
mencampur minyak tanah dengan bensin. Api menyembur mengenai pasien. Luka
bakar didapati pada bagian wajah, kedua lengan bawah, kedua tangan , tungkai
bawah kanan dan kaki kiri. riwayat penurunan kesadaran,kejang, muntah dan sulit
bernafas tidak dijumpai. (-). Pasien sebelumnya dirawat di RS kutacane
kemudian dibawa ke RS HAM untuk dilakukan penanganan selanjutnya.
Riwayat Penyakit Terdahulu : -
Riwayat Penggunaan Obat : Infus RL, Injeksi Ceftriaxone, Ketorolac.
36
3.3. Primary Survey
A (Airway) : Clear, Gurgling / Snoring / Crowing : - /- /-
B (Breathing) : Suara Pernafasan : Vesikuler, Suara Tambahan : -, Terpasang
Non- Rebreathing Mask dengan Oksigen 8 lpm, Respiratory Rate
20 x/i
C (Circulation) : terpasang IV line, dilakukan pemberian RL 1 liter, Frekuensi
Nadi 90 x/i, t/v kuat dan cukup, Tekanan Darah 120/80 mmHg,
Akral teraba hangat, merah, dan kering, dan dilakukan
pemasangan kateter urine warna kuning jernih.
D (Disability) : Kesadaran A (Alert), Pupil Isokor diameter 3/3 mm, Refleks
Cahaya +/+
E (Exposure) : Dijumpai luka bakar di wajah, , kedua lengan bawah, kedua
tangan , tungkai bawah kanan dan kaki kiri. pasien kemudian
diselimuti untuk mencegah hipotermia.
3.4. Tatalaksana di Ruang Resusitasi IGD
NPO (nil per os)
Pemasangan Non-Rebreathing Mask dengan Oksigen 8 lpm
Pemasangan IV line bor besar 18 G
Dilakukan penilaian derajat luka bakar, dijumpai luka bakar 31% dengan
kedalaman luka bakar grade IIA-IIB
Dilakukan resusitasi cairan menurut formula Parkland
Total Cairan : 4 x BB x total BSA
: 4 x 70 x 31 : 8680 cc dalam 24 jam
: 8 Jam Pertama : 4340 cc
16 Jam Kedua :4340 cc
Pasien masuk 12 jam setelah kejadian, maka resusitasi cairan 16 jam
kedua, dengan 4340 cc dalam 12 jam = 362 cc/jam = 120 gtt/menit,
dengan target Urine Output 0,5-1 cc/kgBB/jam = 35-70 cc/jam.
37
Pemberian Antibiotik dengan Injeksi Ceftriaxon 1 g/12 jam
Pemberian Analgetik dengan Injeksi Ketorolac 30 mg/8 jam
Pemasangan monitor EKG, HR, RR, Tekanan Darah dan Saturasi Oksigen
Pemeriksaan Laboratorium Darah Lengkap, Hemostasis, Elektrolit, Fungsi
Ginjal, Albumin, dan Analisa Gas Darah
Dilakukan Foto Thoraks
3.5 Pemeriksaan Fisik
B1 (Breathing) : Airway clear, gurgling/snoring/crowing : - /- /- ,
SP : vesikuler, ST : -, Respiratory Rate 20 x/i,
Tanda trauma inhalasi : luka bakar wajah (+). alis
terbakar (+), jelaga di hidung (-), suara parau (-).
Riwayat sesak/ asma / batuk / alergi (-).
B2 (Blood) : Hangat/ merah/kering, Frekuensi Nadi 90 x/i,
Tekanan/volume : cukup, Tekanan Darah 120/80
mmHg.
B3 (Brain) : Sensorium : Compos Mentis, GCS :
145(E4V5M6), Pupil Isokor 3/3 mm, RC +/+
B4(Bladder) : terpasang kateter, UOP 300 cc, warna kuning
jernih
B5 (Bowel) : Abdomen soepel, Peristaltik (+)
B6 (Bone) : fraktur (-), edema (-)
Pemeriksaan Laboratorium (03/01/2014)
Pemeriksaan Hasil
Hb 18,5 g/dL
Ht 52,4%
Leukosit 8.250 / mm3
Trombosit 228.000 / mm3
PT 28,5 (13,0)
38
aPTT 51,5 (33,0)
TT 22,5 (16,9)
INR 2,37
Natrium 126 mEq/L
Kalium 5,3 mEq/L
Klorida 98 mEq/L
Ureum 38,1
Kreatinin 1,52
Albumin 2,8
AGDA
pH 7,289
pCO2 48,4
pO2 115,8
HCO3 22,7
Total CO2 24,2
Base Excess -4,3
SaO2 96,9%
Foto Thorax (03/01/2014)
39
3.6. Diagnosis fungsional : Flame Burn 31% grade IIA-IIB
3.7. Rencana tindakan : Pemasangan CVC dan Debridement dengan
Post Operative Care di ICU Dewasa
3.5 Tindakan dan Follow Up
Induksi Anestesi (Pukul 08.20 WIB)
- Premedikasi SA 0,25 mg dan midazolam 2,5 mg
- Preoksigenasi dengan O2 8 lpm
- Induksi ketamin 100 mg dan Rocuronium 50 mg.
- Intubasi dengan ETT 6,5
- Maintenance dengan isofluran 0,6-1,0%, serta oksigen : N2O = 2:2
- CVC terpasang
Durante Operasi Debridement
- Lama operasi : 3 jam
- TD : 90-140/56-70 mmHg
- HR : 108-135 x/i
- SpO2 : 99-100%
- Maintenance Cairan + Penguapan : (2+4) x 60 cc = 360 cc/jam
- Pemberian Cairan Durante Operasi : RL 1000 cc
- Perdarahan : 30 cc
- UOP : 50 cc/jam
Post Operasi (Pukul 09.30 WIB)
Pemeriksaan Post Operasi :
B1 (Breathing) : Airway clear, terintubasi dengan ETT no 6,5
dengan ventilasi Modus SIMV, TV 400 cc, FiO2
40%, SpO2 98-100%
40
B2 (Blood) : Akral hangat/merah/kering, TD 120/74 mmHg,
HR : 118 x/i, reguler, t/v: kuat dan cukup
B3 (Brain) : Sensorium : Compos Mentis, Pupil Isokor
diameter 3mm, RC +/+
B4(Bladder) : terpasang kateter, UOP 20 cc/jam, warna kuning
jernih
B5 (Bowel) :Abdomen soepel, Peristaltik (+), mual/muntah (-)
B6 (Bone) : edema (-)
Masuk ICU (Pukul 23.30 WIB)
S : Pasien tenang
O
B1 (Breathing) :Airway clear, terintubasi dengan T-piece 5l/menit
dengan ventilasi Modus SIMV, TV 400 cc, FiO2
40%, SpO2 98-100%
B2 (Blood) :Akral hangat/merah/kering, TD 120/74 mmHg,
HR : 118 x/i, reguler, t/v: kuat dan cukup
B3 (Brain) :Sensorium : Compos Mentis, Pupil Isokor
diameter 3mm, RC +/+
B4(Bladder) : terpasang kateter, UOP 50 cc/jam, warna kuning
jernih
B5 (Bowel) :Abdomen soepel, Peristaltik (+), mual/muntah (-)
B6 (Bone) : edema (-)
A : Post Debridemant Flame burn IIA-IIB 31%
P : Bed Rest + Head Up 300
RL 30 gtt/menit
Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Ranitidine 50 mg/12 jam
41
Ketamin 100mg + miloz 15 mg dalam NaCl 0.9%
50 ml 3 cc/jam
Foto Klinis Pasien
42
43
BAB 4
KESIMPULAN
Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki berusia 22 tahun, masuk ke IGD
RSUPHAM pada tanggal 3 Januari 2014 pukul 20.00 WIB dengan keluhan luka
bakar di bagian wajah, kedua lengan bawah dan tangan, tungkai bawah kanan dan
kaki kiri yang dialami pasien 12 jam SMRS. Luka bakar terjadi saat pasien
menghdupkan lampu dengan mencampur minyak tanah dengan bensin. Api
menyembur mengenai pasien. Pasien dibawa RS Kutacane dan dilakukan
resusitasi cairan dan kemudian dibawa ke RSUP HAM untuk ditangani lebih
lanjut. Di IGD RSUPHAM pasien ditangani dengan NPO, pemasangan NRM
dengan oksigen 8lpm, pemasangan IV line 18G, selanjutnya dilakukan penilaian
derajat luka bakar sebesar 31% dan dilakukan resusitasi cairan sesuai Parkland.
Dari pemeriksaan fisik dijumpai Airway Clear, dengan Breathing suara
pernafasan vesikuler dengan RR 20 x/i, dengan Circulation Tekanan Darah
120/80 mmHg dengan akral hangat, merah, dan kering dan dilakukan pemasangan
kateter urine, pasien dalam kesadaran compos mentis dan pada Exposure dijumpai
luka bakar 31% grade IIA-IIB. Setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium dan
foto toraks, pasien kemudian dilakukan debridement cito, dengan induksi anestesi
ketamin 100mg dan rocuronium 50 mg dan maintenance dengan isofluran 0,6-1%.
Selanjutya pasien dirawat di ICU Dewasa dengan penanganan berupa bed rest
dengan head up 300 , RL 30 gtt/menit, Ceftriaxone 1 gr/12 jam, Ranitidine 50
mg/12 jam, Ketamin 100mg + miloz 15 mg dalam NaCl 0.9% 50 ml 3 cc/jam.
Lalu pada tanggal 07/01/2014 dilakukan debridement kedua.
44
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat R, de Jong W., editor. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005; hal. 73-5
2. Sukasah C.L. Luka Bakar, Departemen Bedah. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2009. pg 21 – 24
3. Kartohatmodjo S., dalam Luka Bakar (Combustio); pg 16 – 18
4. Bongard. F.S, Sue. D.Y, Vintch. J.R.E. in Current Diagnosis &
Treatment: Critical Care 3rd Edition. 2008. McGraw-Hill:Lange.
5. Hettiaratchy.S, Dziewulski. ABC OF BURNS. BMJ 2004; 329: 504-6.
6. Edlich.R.F, in Thermal Burns. 2010. Accessed from :
www.emedicine.medscape.com/ article/1278244.
7. David S. Perdanakusuma. 2006. Penanganan Luka Bakar. Airlangga
University Press.
8. Hall J.B., Schmidt G.A., Wood L.D.H., in Principles of Critical Care. In :
Burns: Resucitation Phase (0 to 36 hours). 3rd edition. pg 1457-1466.
9. American College of Surgeon Committee of Trauma,2004. Advanced
Trauma Life Support Seventh Edition. Indonesia: Ikabi Barret-Nerin, JP &
Herndon, DN. Principles and Practise of Burn Surgery. New York: Marcel
Dekker, 2005.
10. Igneri, P & Gratton, J. FAHC Burn Care Manual. Fletcher Allen Halth
Care & The University of Vermont. 2008
11. Prelack, K., Dylewski, M., & Sheridan, RL. Review: Practical Guidelines
for Nutritional Management of Burn Injury and Recovery. Burns 33
(2007)
12. Orban C. Diagnostic Criteria for Sepsis in Burn Patients. Chirurgia 2012;
698.
13. Oliver RI, Torre JI. 2013. Burn Resuscitation and Early Management.
Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/1277360-
overview#showall. Diakses tanggal 6 Januari 2014.
45
14. Langman CB. 2012. Myoglobinuria Treatment & Management. Diunduh
dari: http://emedicine.medscape.com/article/982711-treatment. Diakses
tanggal 6 Januari 2014.
15. Rodriguez NA eds. 2011. Nutrition in Burns. Journal of Parenteral and
Enteral Nutrition. American Society for Parenteral and Enteral Nutrition.
16. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, Cahalan MK,
Stock MC. Clinical Anesthesia. 6th ed. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2007.
17. Butterworth JF, Mackey DC, Wasnick JD. Morgan &
Mikhail’s Clinical Anesthesiology. 5th Ed. New York: Lange
Medical Publishing; 2012.
46