Post on 24-Jun-2015
68
Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
Kajian Stabilitas KeuanganI - 2007( No. 14, Maret 2010 )
ii
iii
Kata Pengantar vi
Gambaran Umum 3
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil 9
Kondisi Makroekonomi 9
Kondisi Sektor Riil 15
Bab 2 Sektor Keuangan 23
Struktur Sistem Keuangan Indonesia 23
Indeks Stabilitas Keuangan 24
Perbankan 24
Pendanaan dan Risiko Likuiditas 24
Perkembangan dan Risiko Kredit 27
Risiko Pasar 31
Profitabilitas dan Permodalan 34
Lembaga Keuangan Bukan Bank dan Pasar Modal 37
Perusahaan Pembiayaan 37
Pasar Modal 39
Boks 2.1. Indikator Ketahanan Likuiditas Perbankan 47
Boks 2.1. Kinerja Bancassurance 49
Daftar Isi
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan
Mitigasi Risiko 53
Perkembangan Sistem Pembayaran 53
Perkembangan Financial Sector Assessment Program
(FSAP) 57
Boks 3.1. Implementasi Payment-versus-Payment
(PvP) Link 59
Boks 3.2. Kasus Fraud pada Kartu ATM dan
ATM/Debet 61
Boks 3.3. Mitigasi Risiko Kartu Kredit 62
Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia 65
Prospek Ekonomi dan Persepsi Risiko 65
Profil Risiko Perbankan: Tingkat dan Arah 66
Prospek Sistem Keuangan Indonesia 68
Artikel
Artikel 1 Persaingan Pasar, Margin Bunga dan
Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia 71
Artikel 2 Analisis Dampak Terjadinya Shock
Variabel Moneter Terhadap Non Performing
Loan Ratio di Indonesia 87
iv
Daftar Tabel dan Grafik
Tabel
1.1 Indikator Ekonomi Dunia 11
1.2 Pengaruh Pelemahan Nilai Tukar Rupiah
terhadap Ekuitas Konglomerasi 19
2.1 Perkembangan Profitabilitas Perbankan 34
2.2 Skenario Integrated Stress Test 35
2.3 Rasio-rasio Keuangan Perusahaan Pembiayaan 38
2.4 Perkembangan NPL Perusahaan Pembiayaan 39
2.5 Perkembangan NPL Perusahaan Pembiayaan 39
2.6 Pertumbuhan Indeks Bursa Regional 42
2.7 Pertumbuhan Indeks Sektoral 43
2.8 Perhitungan Var Menurut Tenor SUN 45
2.9 Kepemilikan SUN 45
4.1 Proyeksi Beberapa Indikator Ekonomi 66
4.2 Persepsi Risiko Indonesia 70
1.1 Keyakinan Konsumen Negara G3 91.2 Purchasing Manager Index (PMI) dan Industrial
Production (IP) Index Negara G3 101.3 Aliran Modal ke Pasar Saham Asia 101.4 Pertumbuhan Ekonomi Dunia 101.5 Perkembangan Jumlah PHK Sektor Non Pertanian
AS 101.6 Pertumbuhan PDB Beberapa Negara
Emerging Market 111.7 Rasio Konsumsi Rumah Tangga terhadap Beberapa
Ukuran Pendapatan (Output) Domestik (%) 111.8 Indeks Harga Beberapa Komoditas 121.9 Nilai Ekspor Non-Migas Indonesia 121.10 Pertumbuhan Ekspor Impor 121.11 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah (IDR/USD) 131.12 Plot Hasil Estimasi IDR/USD
(31 Des 08 s.d 30 Des 09) 131.13 Perkembangan Nilai Tukar Mata Uang Dunia 131.14 Indeks Harga Saham Global 141.15 Indeks Harga Saham Sektoral 141.16 Perkembangan Inflasi ASEAN-5 141.17 Tingkat Bunga Riil Indonesia 141.18 Indeks Produksi dan Utilisasi Kapasitas
Produksi Sektor Industri 151.19 Pertumbuhan Nilai Ekspor Sektor Industri dan
Pertumbuhan PDB Industri 151.20 Pertumbuhan Penjualan Mobil & Motor dan
Pertumbuhan PDB Industri 151.21 Pertumbuhan Kredit Sektor Industri Pengolahan
dan Pertumbuhan PDB Industri 161.22 Leading Indicator Sektor Perdagangan, Hotel
dan Restoran 161.23 Composite Prompt Indicator Sektor
Perdagangan, Hotel dan Restoran 161.24 Indeks Penjualan Eceran 161.25 Perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen
Domestik 171.26 Pertumbuhan ROA dan ROE Perusahaan Non
Financial Go Public 171.27 Indikator Kunci Keuangan Korporasi 171.28 Perkembangan DER dan Debt/TA Perusahaan
Non Financial Go Public 18
Grafik
v
1.29 Probability of Default (PD) Perusahaan NonKeuangan yang Go Public 18
1.30 Rasio Kewajiban Neto Valasterhadap EkuitasKonglomerasi 18
2.1 Komposisi Aset Lembaga Keuangan 232.2 Indeks Stabilitas Keuangan
(Financial Stability Index) 242.3 Komposisi Sumber Dana Perbankan (Rp T) 242.4 Perkembangan DPK per Komponen 252.5 DPK Valas - Kurs IDR/USD 252.6 Alat Likuid Bank 262.7 Pangsa Alat Likuid per Kelompok Bank 262.8 Rasio Alat Likuid 262.9 Volume Transaksi O/N PUAB DN
(Rata-rata per hari) 272.10 Suku Bunga PUAB Pagi O/N 272.11 Suku Bunga PUAB O/N Sore 272.12 Pertumbuhan Kredit dan DPK (% yoy) 282.13 Pertumbuhan Kredit Per Jenis Penggunaan 282.14 Pertumbuhan Kredit Per Sektor Ekonomi 282.15 Pertumbuhan Kredit Per Valuta 292.16 Pertumbuhan Kredit MKM dan Non MKM 292.17 Perkembangan NPL 302.18 Rasio NPL Per Sektor Ekonomi 302.19 Rasio NPLSektor Industri Pengolahan 302.20 Rasio NPLSektorPerdagangan 302.21 Rasio NPL Sub Sektor Perdagangan 312.22 Rasio NPL Per Jenis Penggunaan 312.23 Rasio NPL Kredit Konsumsi 312.24 Stress Test Risiko Kredit 312.25 Maturity Profile Rupiah 322.26 Maturity Profile Valas 322.27 Stress Test Risiko Suku Bunga 322.28 Net Open Posistion (Overall) 332.29 Stress Test Risiko Nilai Tukar 332.30 Pangsa SUN 332.31 Stress Test Risiko Penurunan Harga SUN 332.32 ROA per Kelompok Bank 342.33 BOPO per Kelompok Bank 342.34 L/R Bulanan 352.35 Pangsa Pendapatan Bunga Bank 352.36 Modal, ATMR, dan CAR 352.37 CAR Per Kelompok Bank 362.38 CAR Hasil Integrated Stress Test 362.39 Interbank Stress Test 372.40 Kegiatan Usaha Perusahaan Pembiayaan 37
2.41 Komposisi Nominal Pembiayaan PP 382.42 Sumber Dana Perusahaan Pembiayaan 382.43 Penetrasi Asuransi Umum Beberapa Negara 402.44 Penetrasi Asuransi Jiwa Beberapa Negara 402.45 Kinerja Industri Asuransi: Aset - Gross Premi -
Investasi 402.46 Kinerja Industri Asuransi: Klaim - Premi 402.47 Kinerja Asuransi Jiwa - Triliun Rp 412.48 Arus Kas PP Patungan 412.49 Kinerja Asuransi Kerugian dan Reasuransi -
Triliun Rp 412.50 Penanaman Investor Asing: SBI - SUN - Saham 422.51 Inflows Asing dan Pertumbuhan : Nilai Tukar
Rp/US$, IDMA Indeks, IHSG 422.52 Perkembangan IHSG & Indeks Global Regional
(Di indekskan dengan 31 Desember 2005) 432.53 Volatilitas Beberapa Indeks Bursa Asia 432.54 % Perubahan Harga Saham Bank 432.55 Nilai kapitalisasi & Nilai Emisi 442.56 Perkembangan Harga SUN Benchmark Seri FR 442.57 Harga Rata-rata SUN Bulanan 442.58 Yield 10 Tahun Surat Utang Pemerintah
Beberapa Negara 452.59 Maturity Profile SUN (Des 2009) 452.60 Emisi dan Posisi Obligasi Korporasi 452.61 Perkembangan Reksadana 462.62 Nilai Aktiva Bersih per Jenis Resadana -
Triliun Rp 46
3.1 Perkembangan Nominal Transaksi (Miliar) 533.2 Perkembangan Volume Transaksi (Ribuan) 543.3 Perkembangan Transaksi Sistem BI-RTGS
Selama Tahun 2009 543.4 Perkembangan Transaksi SKN BI Selama
tahun 2009 553.5 Perkembangan Transaksi Kartu Debet Selama
Tahun 2009 563.6 Perkembangan Transaksi Kartu Kredit Selama
tahun 2009 563.7 Perkembangan Transaksi E-Money Selama
tahun 2009 57
4.1 Perbandingan Proyeksi Pertumbuhan EkonomiBeberapa Kelompok Negara 65
4.2 Persepsi Risiko Indonesia 664.3 Profil Risiko Perbankan: Tingkat dan Arah 68
vi
Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, kami menyambut gembira penerbitan Kajian
Stabilitas Keuangan (KSK) No.14 Maret 2010 ini. Penerbitan KSK ini dipandang penting karena melalui publikasi ini
perkembangan dan prospek ke depan stabilitas sistem keuangan dapat dikomunikasikan secara lebih terinci kepada
publik.
KSK edisi ini terbit pada saat perekonomian dunia sudah mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan. Namun
demikian, krisis global sebenarnya masih belum sepenuhnya berakhir. Bahkan kita menyaksikan dalam beberapa waktu
terakhir di dunia internasional telah muncul permasalahan baru antara lain krisis fiskal di Yunani. Bagi kita, pemulihan
pada tingkat global tersebut sangat penting karena dengan semakin terintegrasinya sistem keuangan dunia, gejolak
yang terjadi pada perekonomian internasional dengan segera dapat menjalar dan berpengaruh terhadap Indonesia. Oleh
karena itu, sudah sepantasnya kewaspadaan yang tinggi di sektor keuangan tetap dijaga dan dipertahankan.
Di dalam negeri, kondisi perekonomian dan sektor keuangan jauh lebih baik dibandingkan kondisi global. Hal itu
merupakan hasil dari berbagai kebijakan yang diambil Pemerintah dan Bank Indonesia pada tahun 2008 dan 2009 yang
ditujukan terutama untuk mengatasi dampak krisis global yang mencapai puncaknya pada bulan November 2008. Dengan
keberhasilan itu, perekonomian tetap bertumbuh dengan cukup tinggi, sementara tingkat inflasi cukup rendah dengan
volatilitas nilai tukar rupiah yang relatif terkendali. Kondisi ini telah memungkinkan BI rate berada pada level yang cukup
rendah dan stabil pada 6,5% sejak bulan Agustus 2009.
Dengan kondisi perekonomian yang cukup kondusif tersebut, industri perbankan terus menunjukkan kinerja yang
cukup baik. Pada akhir Desember 2009, rasio permodalan (CAR) tercatat melampaui angka 17%, sedangkan kualitas
aktiva produktif tetap terkendali, tercermin dari rasio NPL gross dan net masing-masing sebesar 3,3% dan 0,3%. Dengan
terjaganya kualitas aktiva produktif tersebut, usaha perbankan tetap mendatangkan laba yang relatif tinggi dengan ROA
sekitar 2,6%, serta kondisi likuiditas yang secara umum tetap terkendali.
Sementara itu, kinerja pasar saham dan pasar keuangan non-perbankan lainnya juga menunjukkan tanda-tanda
yang positif sehingga menimbulkan optimisme tentang akan semakin membaiknya kinerja sektor keuangan ke depan.
Optimisme itu tampaknya cukup beralasan mengingat sovereign rating dan rating dari beberapa bank besar Indonesia
semakin membaik dan mendekati peringkat investasi (investment grade).
Kata Pengantar
vii
Perkembangan-perkembangan yang cukup menggembirakan tersebut di atas tentunya tidak membuat kita lengah
terhadap berbagai tantangan yang dapat berkembang menjadi sumber instabilitas. Salah satu tantangan yang sedang
dihadapi adalah rendahnya pertumbuhan kredit yang selama tahun 2009 hanya mencapai sekitar 10% yoy. Melambatnya
pertumbuhan kredit ini perlu dicermati karena apabila terjadi berlarut-larut dikhawatirkan dapat menekan pertumbuhan
ekonomi ke depan, serta berpotensi mengganggu pembiayaan usaha sektor korporasi dan rumah tangga yang pada
gilirannya dapat membuat kredit bermasalah di perbankan mengalami peningkatan.
Tantangan penting lainnya yang juga perlu mendapat perhatian adalah semakin meningkatnya capital inflows
berjangka waktu pendek sejalan dengan terus membaiknya kinerja perekonomian Indonesia. Akibatnya, sistem keuangan
kita menjadi semakin rentan terhadap pembalikan arus dana secara serentak dan tiba-tiba (sudden reversal). Oleh karena
itu, sangat penting untuk tetap menjaga kepercayaan investor dengan terus mendorong bekerjanya disiplin pasar yang
efektif yang didukung oleh perbaikan dalam governance di sektor keuangan. Dalam kaitan ini, hasil Financial Sector
Assessment Program (FSAP) yang telah berlangsung pada akhir tahun 2009 dan awal tahun 2010 diharapkan dapat
dijadikan sebagai salah satu referensi penting dalam melakukan langkah-langkah perbaikan di sektor keuangan ke depan,
termasuk di industri perbankan.
Dengan mengetahui peluang dan tantangan yang dihadapi oleh sektor keuangan sebagaimana dikemukakan di
atas, ke depan diharapkan sektor keuangan akan berkembang lebih maju dan terhindar dari gejolak risiko yang berlebihan.
Oleh karena itu, penguatan surveillance harus tetap dilakukan termasuk dengan terus memperbarui tools dan method-
ologies yang digunakan dalam rangka deteksi dini. Akhirnya, semoga KSK berhasil menjalankan misinya dalam
mengkomunikasikan kepada publik tentang hasil-hasil surveillance terhadap perkembangan stabilitas sistem keuangan
saat ini dan prospeknya ke depan.
Jakarta, 31 Maret 2010
DEPUTI GUBERNUR BANK INDONESIA
Muliaman D. Hadad Muliaman D. Hadad Muliaman D. Hadad Muliaman D. Hadad Muliaman D. Hadad
viii
1
Gambaran Umum
Gambaran Umum
2
Gambaran Umum
Halaman ini sengaja dikosongkan
3
Gambaran Umum
Ketahanan sektor keuangan selama semester II 2009 dapat terjaga dengan
cukup baik. Hal itu didukung oleh kondisi makroekonomi yang cukup
kondusif, antara lain ditandai dengan rendahnya inflasi dan suku bunga,
serta terjaganya volatilitas nilai tukar rupiah. Sementara itu, perbankan
sebagai industri yang mendominasi sektor keuangan tetap menunjukkan
kinerja yang positif, antara lain tercermin pada rasio permodalan (CAR)
dan profitabilitas yang cukup tinggi, kualitas aktiva produktif yang cukup
terjaga, dan kondisi likuiditas yang relatif terkendali. Di pasar saham dan
pasar obligasi keadaan juga relatif membaik dibandingkan semester
sebelumnya. Namun demikian, masih terdapat beberapa sumber
instabilitas yang terus diwaspadai, antara lain, masih belum berakhirnya
krisis ekonomi global, rendahnya penyaluran kredit dan meningkatnya
capital inflows berjangka waktu pendek. Ke depan, langkah-langkah
mitigasi risiko perlu terus diperkuat agar stabilitas sistem keuangan tetap
terjaga dengan prospek yang positif.
Gambaran Umum
1. SUMBER-SUMBER INSTABILITAS
1.1. Krisis Ekonomi Global Belum Sepenuhnya
Pulih
Krisis ekonomi global belum sepenuhnya berakhir.
Sementara belum pulih, muncul pula beberapa
permasalahan baru yang dapat memicu peningkatan
instabilitas di tingkat global, antara lain krisis fiskal di
Yunani. Oleh karena itu, kewaspadaan yang tinggi masih
tetap perlu dijaga agar efek domino yang ditimbulkan oleh
krisis atau permasalahan global tersebut tidak
menimbulkan kerawanan di sektor keuangan dan
perekonomian domestik.
1.2. Lambannya Pertumbuhan Kredit
Paska krisis ekonomi global, pertumbuhan kredit
perbankan mengalami perlambatan yang signifikan,
terutama kredit dalam bentuk valuta asing (valas). Selama
tahun 2009, total kredit hanya tumbuh sekitar 10% (yoy).
Hal ini perlu mendapat perhatian serius karena rendahnya
penyaluran kredit berpotensi menimbulkan instabilitas.
Secara makro, dengan menurunnya pertumbuhan kredit,
pertumbuhan ekonomi ke depan dapat tertekan. Secara
mikro, penurunan pertumbuhan kredit dapat
menyebabkan sektor korporasi dan rumah tangga menjadi
semakin sulit untuk mendapatkan pendanaan untuk
4
Gambaran Umum
membiayai kegiatan usaha. Hal ini pada gilirannya dapat
menurunkan kemampuan pembayaran kembali hutang
(debt repayment capacity) oleh korporasi dan rumah
tangga yang menjadi debitur bank. Baik jalur makro
maupun mikro, keduanya berpotensi mendorong
peningkatan kredit bermasalah (NPL) di perbankan.
1.3. Meningkatnya Capital Inflows Berjangka
Waktu Pendek
Capital inflows berjangka waktu pendek semakin
banyak mengalir ke Indonesia. Hal itu tidak saja karena
tingkat imbal hasil yang ditawarkan oleh instrumen
keuangan Indonesia masih cukup menarik, namun juga
karena semakin membaiknya sovereign rating sejalan
dengan tetap baiknya kinerja perekonomian Indonesia di
tengah tekanan krisis global. Peningkatan capital inflows
berjangka waktu pendek ini perlu diwaspadai karena
sangat rentan terhadap risiko pembalikan dana secara
serentak dan tiba-tiba (sudden reversal) yang berpotensi
mengganggu stabilitas keuangan.
1.4. Kemungkinan Peningkatan Risiko
Operasional
Risiko operasional dapat muncul antara lain karena
bencana alam dan fraud. Dengan semakin seringnya
bencana alam seperti gempa bumi dan banjir menimpa
Indonesia akhir-akhir ini, sangat penting dipersiapkan
contingency plan yang memadai agar infrastruktur
keuangan tetap dapat berfungsi dalam segala kondisi
sehingga potensi kerugian dapat diminimalisir. Selain itu,
dengan semakin tergantungnya sektor keuangan terhadap
teknologi sistem informasi, antara lain tercermin pada
meluasnya penggunaan kartu ATM dan internet banking,
maka langkah-langkah pengamanan dan mitigasi risiko
terjadinya fraud perlu mendapat prioritas penting.
1.5. Kondisi Sektor Riil dan Infrastruktur
Kondisi sektor riil masih belum terlalu
menggembirakan meskipun kinerja korporasi dan rumah
tangga terlihat mulai membaik dibandingkan dengan
situasi pada saat puncak krisis global pada triwulan IV
2008. Namun demikian, tantangan baru terus
bermunculan, termasuk pemberlakuan ASEAN China Free
Trade Agreement (ACFTA) pada awal 2010. Sementara itu,
kondisi infrastruktur juga masih masih belum memuaskan,
antara lain tercermin pada masih belum lancarnya jaringan
distribusi yang dapat memicu terjadinya inefiensi atau
ekonomi biaya tinggi. Permasalahan-permasalahan yang
dihadapi sektor riil ini apabila terjadi terus menerus dan
tidak dicarikan jalan keluarnya, dalam jangka panjang
berpotensi menimbulkan instabilitas di sektor keuangan.
1.6. Lemahnya Perlindungan Hukum
Instabilitas di sektor keuangan dapat muncul apabila
para pembuat dan pelaksana kebijakan tidak mendapat
perlindungan hukum yang memadai. Tanpa perlindungan
hukum yang jelas, apabila terjadi krisis yang memerlukan
langkah-langkah pengambilan keputusan yang segera
atau berdampak luas, maka tidak akan ada pejabat publik
di sektor keuangan yang bersedia melakukannya. Hal ini
sangat perlu mendapat perhatian dari semua pihak yang
terkait agar stabilitas sistem keuangan dapat tetap terjaga
dari waktu ke waktu.
2. MITIGASI RISIKO
2.1. Memperkuat Permodalan
Langkah mitigasi risiko yang paling penting adalah
meningkatkan permodalan. Perbankan Indonesia juga
menggunakan pendekatan memperkuat permodalan
sebagai salah satu cara untuk memitigasi risiko. Hal itu
antara lain terlihat dengan kewajiban bank umum untuk
5
Gambaran Umum
memenuhi modal inti minimum sebesar Rp100 miliar pada
akhir 2010. Sebelumnya, pada akhir 2008, bank umum
wajib memenuhi modal inti minimum sebesar Rp80 miliar
dan hal tersebut telah terpenuhi. Meskipun pada akhir
Desember 2009 masih terdapat beberapa bank yang belum
memenuhi ketentuan modal inti minimum sebesar Rp100
miliar, namun belajar dari pengalaman pemenuhan modal
inti minimum sebesar Rp80 miliar, pada waktunya
kewajiban ini akan dapat dipenuhi oleh seluruh bank
umum.
2.2. Meningkatkan Penyisihan Penghapusan
Aktiva Produktif (PPAP)
Membentuk PPAP adalah salah satu cara yang cukup
efektif guna memitigasi risiko kredit. Selama tahun 2009,
perbankan telah membentuk tambahan PPAP sebesar
Rp12,7 triliun. Dengan demikian, meskipun rasio NPL gross
industri perbankan naik dari 3,2% (Desember 2008)
menjadi 3,3% (Desember 2009), namun rasio NPL net
menurun dari 0,8% menjadi hanya 0,3%.
Meskipun pembentukan PPAP dapat digunakan
untuk memitigasi risiko kredit, perlu dijaga agar jumlah
PPAP yang dibentuk tidak berlebihan atau terlalu sedikit.
Jumlah yang berlebihan mengakibatkan bank kehilangan
potensi pendapatan, namun kalau terlalu sedikit akan
kurang efektif sebagai alat mitigasi risiko.
2.3. Memperkuat Manajemen Risiko dan Good
Governance
Memperkuat manajemen risiko dan good
governance di sektor keuangan merupakan salah satu cara
untuk memitigasi risiko. Terkait dengan hal itu, program
sertifikasi manajemen risiko terus dilanjutkan di perbankan.
Sementara itu, pengawas bank juga wajib mengikuti
program sertifikasi tersendiri dan menerapkan Risk Based
Supervision dalam melakukan pengawasan dan
pemeriksaan bank. Pada sisi lain, perbankan terus didorong
untuk meningkatkan kualitas governance, tidak saja untuk
memenuhi ketentuan Bank Indonesia, namun juga untuk
memungkinkan berjalannya disiplin pasar (market
discipline).
Agar mitigasi risiko dari sisi manajemen risiko dan
good governance dapat efektif, perbankan seyogyanya
tidak berorientasi hanya pada perolehan sertifikasi atau
pemenuhan aspek formal semata. Justru prakteknya dalam
bisnis sehari-hari jauh lebih penting.
2.4. Memperkuat Surveillance
Mitigasi risiko oleh otoritas dilaksanakan dengan
memperkuat micro dan macroprudential. Microprudential
dilakukan kepada individual bank atau lembaga keuangan
untuk memastikan terpenuhinya aspek kehati-hatian
(prudential regulation), baik melalui onsite maupun offsite
supervision. Sementara itu, macroprudential juga ditujukan
untuk pemenuhan aspek kehati-hatian namun dilakukan
pada tingkat industri secara aggregat.
Untuk memperkuat microprudential sebagaimana
dikemukakan sebelumnya, pengawas juga mengikuti
program sertifikasi. Sementara, untuk memperkuat
macroprudential, secara terus menerus dilakukan
perbaikan terhadap tools dan methodologies yang
digunakan dalam surveillance, antara lain yang terkait
dengan stress testing, analisis probability of default,
transition matrices, serta mekanisme early warning lainnya.
Salah satu cara untuk memperkuat tools dan
methodologies yang digunakan dalam surveillance adalah
dengan memanfaatkan hasil penilaian dari Financial Sector
Assessment Program (FSAP) yang dilakukan pada bulan
September/Oktober 2009 (first mission) dan pada bulan
Februari/Maret 2010 (second mission).
6
Gambaran Umum
3. PROSPEK STABILITAS SISTEM KEUANGAN
Prospek stabilitas sistem keuangan ke depan
diperkirakan akan tetap positif. Meskipun krisis global
belum sepenuhnya berakhir dan tantangan-tantangan
semakin meningkat, namun terdapat beberapa alasan yang
melatarbelakangi perkiraan positifnya prospek ke depan
tersebut. Pertama, proses pemulihan dari krisis global terus
berlangsung. Sementara itu, di dalam negeri kinerja
perekonomian sampai saat ini cukup baik dan diperkirakan
akan tetap terjaga ke depan. Hal ini pada gilirannya akan
mendorong perbankan semakin aktif menyalurkan kredit.
Dengan meningkatnya penyaluran kredit oleh perbankan,
dunia usaha akan semakin bergairah melakukan kegiatan
bisnis sehingga berdampak positif terhadap perekonomian
secara keseluruhan.
Kedua, rating Indonesia, baik untuk sovereign rating
maupun rating untuk bank-bank besar menunjukkan
adanya peningkatan, sehingga semakin dekat dengan
peringkat investasi (investment grade). Hal ini akan
mendorong semakin banyaknya investor yang akan
menanamkan dananya (capital inflows) ke Indonesia.
Meskipun pada saat ini mayoritas dana yang masuk adalah
berjangka waktu pendek, namun dengan langkah-langkah
pendalaman keuangan (financial deepening) yang pada
saat ini sedang terus dilakukan, diharapkan akan cukup
banyak tersedia instrumen keuangan yang berjangka
waktu yang lebih panjang sehingga dapat meminimalisir
risiko sudden reversal. Dengan demikian, prospek ke depan
stabilitas sistem keuangan diperkirakan akan lebih baik.
Ketiga, perbankan telah semakin berhati-hati dalam
menjalankan usahanya, serta terlihat semakin berupaya
menerapkan good governance dengan baik. Dengan
demikian, ke depan perbankan diperkirakan akan semakin
sadar dengan risiko sehingga akan selalu lebih
mengedepankan langkah-langkah mitigasi risiko sebelum
mengambil keputusan bisnis.
Selanjutnya, sejak tahun 2010 ke depan, perbankan
akan mulai menerapkan standar-standar internasional,
termasuk implementasi Basel II serta PSAK No.50 dan 55.
Selain itu, tindak lanjut dari hasil penilaian FSAP
diperkirakan akan membuat sektor keuangan dan
perbankan Indonesia semakin berkualitas sehingga
semakin bermanfaat bagi perekonomian nasional.
Agar prospek positif stabilitas sistem keuangan ke
depan tersebut dapat terwujud, sangat diperlukan
kerjasama dan dukungan dari semua pihak terkait,
termasuk penciptaan kondisi yang kondusif dari sisi hukum,
politik dan keamanan.
7
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Bab 1Kondisi Makroekonomidan Sektor Riil
8
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Halaman ini sengaja dikosongkan
9
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
1.1. KONDISI MAKROEKONOMI
Memasuki semester II 2009 perekonomian dunia
mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan..... Hal tersebut
didukung oleh berjalannya proses stabilisasi di pasar
keuangan, dukungan stimulus ekonomi, dan suku bunga
yang rendah. Selain itu, mulai pulihnya keyakinan konsumen
dan sektor bisnis, terutama sebagai pengaruh dari pesatnya
pemulihan ekonomi berbasis permintaan domestik seperti
yang terjadi di Cina, semakin memperkuat proses pemulihan
ekonomi global. Dengan berbagai perbaikan tersebut laju
kontraksi ekonomi dunia mulai melambat.
Kondisi perekonomian negara maju, khususnya
negara kelompok G3 (Amerika Serikat, Jepang, dan
negara-negara Eropa yang menggunakan Euro sebagai
mata uangnya), juga kian membaik. Pemulilhan ekonomi
Selama semester II 2009 stabilitas makroekonomi Indonesia tetap terjaga.
Daya tahan permintaan domestik yang kuat, industri perbankan yang
tetap stabil, ekspektasi pemulihan ekonomi global yang semakin optimis,
serta respon kebijakan fiskal dan moneter yang akomodatif menjadi
faktor-faktor pendukung tetap terjaganya perekonomian Indonesia di
tengah-tengah tekanan krisis global. Kondisi ini mendorong
perekonomian Indonesia tumbuh lebih baik dibandingkan negara lainnya
yang sebagian besar mencatat kontraksi. Ke depan, perekonomian
Indonesia berpotensi untuk terus membaik, seiring dengan semakin
kuatnya keyakinan konsumen dan dunia usaha, menurunnya persepsi
risiko, dan semakin kondusifnya kondisi perekonomian global. Namun,
beberapa faktor risiko dari dalam dan luar negeri seperti potensi kenaikan
harga minyak dunia, lemahnya daya saing sektor industri dan
pembangunan infrastruktur yang masih tersendat, perlu terus dicermati.
Kondisi Makroekonomi dan Sektor RiilBab 1
berlanjut sebagai dampak pemberian paket stimulus fiskal
pemerintah. Secara umum konsumsi masyarakat
membaik tercermin dari tren keyakinan konsumen
kelompok negara G3 yang meningkat. Dari sisi produksi,
Grafik 1.1Keyakinan Konsumen Negara G3
Current ConditionLeft Scale
Future ExpectationRight Scale
Source : Bloomberg (Japan-Economic Watchers Survey, Euro-IFO Survey,US-Univ. Michigan Survey)
Index, ma3mIndex, ma3m
0
20
40
60
80
100
120
0
20
40
60
80
100
120
JapanJapan
USUS
EuroEuro
JanMarMei Jul SepNovJanMarMei Jul SepNovJanMarMei Jul SepNovJanMarMei Jul SepNovJanMarMei Jul SepNovJanMarMei Jul SepNov2007 2008 2009 2007 2008 2009
10
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
perbaikan terlihat dari indikator Purchasing Manager Index
(PMI) dan Industrial Production (IP) Index yang berada
dalam tren yang meningkat. Namun demikian, proses
pemulihan ekonomi di negara maju masih dibayangi oleh
berbagai faktor risiko seperti masih tingginya angka
pengangguran dan belum optimalnya perbaikan tingkat
pendapatan.
pemulihan ekonomi di sektor riil. Kegiatan ekonomi dunia
mulai meningkat. Pertumbuhan ekonomi di negara
berkembang Asia terjadi lebih cepat dibandingkan
kawasan lain dan menjadi motor penggerak perekonomian
dunia.
Pemulihan perekonomian global tampaknya tidak
terlepas dari keberhasilan perbaikan kinerja di sektor
keuangan, antara lain ditandai oleh kembali naiknya harga
aset di pasar keuangan global serta kembali masuknya
aliran neto modal asing ke bursa saham Asia. Mulai
membaiknya kinerja pasar keuangan global ini kemudian
berkontribusi positif bagi peningkatan optimisme
Sementara itu, membaiknya beberapa indikator
sektor riil di negara maju, seperti tren penurunan jumlah
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sektor non pertanian
AS, terus memberikan tanda perbaikan ekonomi yang
dapat menurunkan kontraksi pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan The ADP National Employment Report,
jumlah PHK di sektor non pertanian AS dari Desember
2009 ke Januari 2010 adalah sebanyak 22.000 orang,
turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebanyak
61.000 orang.
Grafik 1.2Purchasing Manager Index (PMI) dan
Industrial Production (IP) Index Negara G3
Index, 50 =neutral % yoy, ma 3m
Sumber : Bloomberg
PMIManuf US
IP US
PMI Manuf JPN
IP JPN
PMI Manuf EUIP EU
25
30
35
40
45
50
55
60
-38
-33
-28
-23
-18
-13
-8
-3
2
7
Jan Jul Jan Jul Jan Jul Jan Jul Jan Jul Jan Jul2007 2008 2009 2007 2008 2009
Grafik 1.3Aliran Modal ke Pasar Saham Asia
Juta USD
Sumber : Bloomberg
-1.3
-0,8
-0,3
0,2
0,7
1,2
Jan Apr Jul Okt Jan Apr Jul Okt2008 2009
Rata-rata Bergerak 1 MingguRata-rata Bergerak 4 Minggu
Grafik 1.4Pertumbuhan Ekonomi Dunia
Sumber : IMF (WEO Okt-09)
%
-6
-4
-2
0
2
4
6
8
10
2006 2007 2008 2009I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
PDB Dunia
PDB Negara Maju
PDB Negara Berkembang
Grafik 1.5Perkembangan Jumlah PHK
Sektor Non Pertanian AS
2009
Ribu Orang
Sumber : The ADP National Employment Report, Januari 2010
Total NonFarm Private
(50)
-
50
100
150
200
250Service providing
Goods producing
Sep Okt Nov Des Jan
11
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
yang menunjang serta didukung pula oleh respon
kebijakan fiskal dan moneter yang akomodatif. Struktur
perekonomian Indonesia mayoritas ditopang oleh
permintaan domestik khususnya konsumsi rumah tangga.
Selama periode kontraksi pertumbuhan ekonomi global,
konsumsi rumah tangga Indonesia masih tumbuh pada
level tinggi, didorong oleh relatif stabilnya daya beli
masyarakat serta keyakinan konsumen yang masih
terjaga. Dengan demikian, meskipun terjadi gejolak
perekonomian global, namun daya tahan permintaan
domestik yang kuat mampu menopang kegiatan ekonomi
sehingga perekonomian Indonesia tidak terkoreksi terlalu
dalam.
Dengan tren perbaikan tersebut, berdasarkan
proyeksi terakhir International Monetary Fund (IMF),
pertumbuhan ekonomi dunia pada tahun 2009
diperkirakan hanya akan mengalami kontraksi sebesar
0,8%, lebih baik dibandingkan proyeksi sebelumnya yang
diperkirakan akan terkontraksi hingga lebih dari 1%.
Sementara pada tahun 2010, perekonomian dunia
diperkirakan akan mampu mencatat pertumbuhan positif
sebesar 3,9%.1
Tabel 1.1Indikator Ekonomi Dunia
World Output: 3,0 (0,8) 3,9 4.3Advanced Economies 0,5 (3,2) 2.1 2.4
United States 0,4 (2,5) 2.7 2.4Emerging & Developing Countries 6,0 2,0 6.0 6.3
Consumer Price:Advanced Economies 3,4 0,1 1.3 1.5Emerging & Developing Countries1) 9,2 5,2 5.4 4.4
LIBOR2)
US Dollar Deposit 3,0 1,1 0.7 1.8Euro Deposit 4,6 1,2 1,3 2.3Yen Deposit 1,0 0,7 0,6 0.7
Oil Price (USD) - rata-rata3) 36,4 (36,1) 22.6 7.9
Kategori 2008 2009
(%)(%)(%)(%)(%)Proyeksi
2010 2011
Sumber: World Economic Outlook - Januari 2010
1 Sumber: World Economic Outlook - Januari 2010
Di bandingkan banyak negara lainnya,
perekonomian Indonesia pada tahun 2009 secara umum
menunjukkan kinerja yang cukup baik. Meskipun
penurunan tidak dapat dihindari, pertumbuhan ekonomi
tahun 2009 masih dapat mencapai 4,5% sehingga
menjadikan Indonesia salah satu dari sedikit negara di
dunia yang masih mencatat pertumbuhan positif.
Tetap tumbuhnya ekonomi Indonesia di tengah
tekanan krisis global dipengaruhi oleh karakteristik
struktur perekonomian dan sistem keuangan Indonesia
Grafik 1.6Pertumbuhan PDB Beberapa Negara Emerging Market
Sumber : CEIC
%
(11,00)
(8,00)
(5,00)
(2,00)
1,00
4,00
7,00
10,00
13,00
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009Q2 Q3 Q4 Q1Q2Q3Q4 Q1Q2Q3Q4Q1Q2Q3Q4 Q1Q2Q3Q4Q1Q2Q3Q4 Q1Q2Q3Q4 Q1Q2Q3Q4 Q1Q2Q3Q4Q1Q2Q3
IndonesiaSingapuraThailand
Korea SelatanChinaIndia
Grafik 1.7Rasio Konsumsi Rumah Tangga terhadap
Beberapa Ukuran Pendapatan (Output) Domestik (%)
%
50
55
60
65
70
75
80Konsumsi RT / Total Pendapatan Siap Dibelanjakan (%), kiriKonsumsi RT / PDB (%), kiriKonsumsi RT / Permintaan Domestik (%), kiri
1988 1989 19901991 1992 19931994 1995 1996 1997 19981999 2000 2001 2002 20032004 2005 2006 20072008
12
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Sementara itu, karakteristik sistem keuangan
Indonesia, khususnya industri perbankan yang relatif
bersifat sederhana dengan instrumen yang masih
tergolong tradisional, membuat perbankan dan sistem
keuangan domestik menjadi terlindung dari dampak
negatif krisis keuangan global. Aspek lain yang juga
mendukung ketahanan perekonomian domestik ini adalah
respon kebijakan fiskal dan moneter yang akomodatif.
Penerapan sistem nilai tukar mengambang bebas,
kebijakan moneter Inflation Targeting Framework (ITF)
yang diterapkan dengan lebih fleksibel, serta
kesinambungan kebijakan fiskal yang tetap terjaga
membuat berbagai kebijakan yang ditempuh menjadi lebih
optimal dalam merespon tekanan gejolak ekonomi global.
Peningkatan aktivitas ekonomi, khususnya di
negara-negara emerging Asia yang mengalami proses
pemulihan lebih cepat, menyebabkan naiknya permintaan
terhadap barang-barang ekspor terutama yang berbasis
sumber daya alam. Kondisi ini berdampak kepada kembali
naiknya harga-harga komoditas di pasar internasional
meskipun masih lebih rendah dibandingkan harga tahun
sebelumnya. Harga minyak dunia yang sempat menurun
tajam hingga mencapai USD41,7/barel pada bulan Januari
2009, mulai bergerak pada semester II 2009 dan naik
hingga level USD79,4/barel pada Desember 2009.
Kenaikan harga minyak ini kemudian diikuti oleh kenaikan
harga komoditas lainnya seperti alumunium, tembaga,
timah, beras dan kopi.
Kenaikan permintaan dan kenaikan harga komoditas
mendorong naiknya kinerja ekspor. Meskipun secara
tahunan masih mencatat pertumbuhan negatif, ekspor
non-migas mencatat pertumbuhan positif sebesar 17,6%
pada triwulan IV 2009, sejalan dengan membaiknya
permintaan dunia. Sementara itu, di sisi impor terjadi
kontraksi yang signifikan. Hal ini sejalan dengan penurunan
kebutuhan bahan baku impor untuk industri yang
berorientasi ekspor maupun menurunnya impor barang-
barang konsumsi.
Secara keseluruhan, kinerja sektor eksternal
Indonesia lebih baik dari prakiraan semula. Pada tahun
2009, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) mengalami
surplus sebesar USD12,5 miliar. Posisi cadangan devisa
Grafik 1.8Indeks Harga Beberapa Komoditas
Sumber : BI
0
100
200
300
400
500
600
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Minyak Tembaga
Timah EmasMinyak Sawit KopiBeras Aluminium
Grafik 1.9Nilai Ekspor Non-Migas Indonesia
Juta USDJuta USD
Sumber : BI
0
2000
4000
6000
8000
10000
2006 2007 2008 20090
2000
4000
6000
8000
10000ManufacturingMining and QuarryingAgriculture, Hunting, FishingTotal
Grafik 1.10Pertumbuhan Ekspor Impor
%
(60)
(40)
(20)
-
20
40
60
80
Ekspor
Impor
2007 2008 2009Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov
13
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
mencapai USD66,1 miliar atau setara dengan 6,5 bulan
pembayaran impor dan utang luar negeri Pemerintah.
Sejalan dengan perkembangan NPI tersebut, nilai tukar
rupiah bergerak menguat dengan volatilitas yang semakin
rendah.
Dibandingkan akhir semester I 2009, pada akhir
semester II 2009 nilai tukar rupiah menguat sekitar 8%
hingga mencapai Rp9.404 per USD. Selama paruh kedua
2009, penguatan tertinggi terjadi pada triwulan IV 2009
yaitu dengan rata-rata sebesar Rp9.467 per USD.
Sementara itu, rata-rata volatilitas pergerakan nilai tukar
rupiah terhadap USD selama semester II 2009 adalah
0,36%, atau lebih rendah dibandingkan rata-rata volatilitas
semester sebelumnya yang sebesar 0,65%.2 Dengan
perkembangan tersebut, selama semester II 2009, nilai
tukar rupiah menguat cukup tinggi dibandingkan nilai
tukar mata uang negara Asia dan mata uang utama dunia
lainnya, kecuali terhadap nilai tukar mata uang Korea
Selatan.
Di sektor keuangan, optimisme terhadap pemulihan
kondisi ekonomi global serta kondisi perekonomian
domestik yang masih terjaga, pada gilirannya kembali
mendorong aliran masuk modal asing ke pasar keuangan
Indonesia. Kinerja pasar keuangan domestik kembali
membaik. Kondisi ini antara lain ditandai oleh peningkatan
kinerja pasar saham. Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG) pada akhir semester II 2009 berada pada level
2.534,36 atau meningkat dibandingkan akhir semester
sebelumnya yang berada pada level 2.026,78. Peningkatan
kinerja pasar saham domestik ini sejalan dengan
peningkatan kinerja pasar saham regional dan negara maju
lainnya. Sementara itu, secara sektoral, selama semester II
2009, kenaikan indeks harga saham tertinggi adalah pada
sektor Industri Dasar (Basic Industry) yang meningkat
sebesar 41,9% dari 192,9 pada akhir Juni 2009 menjadi
273,93 pada akhir Desember 2009.
Grafik 1.11Perkembangan Nilai Tukar Rupiah (IDR/USD)
Sumber : Bloomberg
0
2.000
4.000
6.000
8.000
10.000
12.000
14.000
2007 2008 2009
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
Rata-rata bulananRata-rata triwulananRata-rata semesteran
Grafik 1.12Plot Hasil Estimasi IDR/USD
(31 Des 08 s.d 30 Des 09)
Sumber : Bloomberg
0
2.000
4.000
6.000
8.000
10.000
12.000
14.000
2007 2008 2009
0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112 1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112
Rata-rata bulananRata-rata triwulananRata-rata semesteran
Grafik 1.13Perkembangan Nilai Tukar Mata Uang Dunia
2009
Indeks
30 Juni 2009 = 100Peningkatan indeks = Apresiasi nilai tukar
85
90
95
100
105
110
115
Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
IDR SGD THB PHP
KRW EUR JPY
2 Volatilitas dihitung dengan menggunakan metode Exponential Weighted Moving Aver-age (EWMA) dengan time horizon 1 minggu ke depan dan tingkat kepercayaan 95%.
14
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Kecenderungan apresiasi nilai tukar dan berbagai
kebijakan yang diambil oleh Pemerintah di masa krisis
untuk menjaga pasokan dan distribusi komoditas bahan
pangan menyebabkan inflasi«volatile food tercatat cukup
rendah dibandingkan pola historisnya. Perkembangan ini
berdampak kepada penurunan tekanan inflasi. Pada
Desember 2009 inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK)
tercatat sebesar 2,78% (yoy) atau menurun dibandingkan
inflasi Juni 2009 yang sebesar 3,65% (yoy). Dibandingkan
negara ASEAN lainnya, tingkat inflasi di Indonesia
tergolong masih cukup tinggi, terutama jika dibandingkan
dengan Malaysia dan Singapura. Meskipun demikian, iklim
investasi di Indonesia diperkirakan masih cukup menarik.
Hal ini karena tingkat imbal hasil penanaman dana di
Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan tingkat inflasi,
meskipun secara bertahap BI rate mengalami penurunan
sejak akhir tahun 2008. Secara riil tingkat bunga di
Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan beberapa
negara ASEAN lainnya, termasuk terhadap AS.
Ke depan, perekonomian Indonesia diperkirakan
akan terus membaik, meskipun masih terdapat berbagai
faktor risiko dan potensi ketidakpastian yang perlu terus
dicermati. Upaya percepatan momentum pertumbuhan
untuk akselerasi pertumbuhan ekonomi masih akan
dihadapkan pada berbagai tantangan, antara lain potensi
kenaikan harga minyak dunia dan kelemahan daya saing
sektor industri di tengah-tengah peningkatan iklim
persaingan usaha terkait mulai diberlakukan ACFTA. Selain
itu, meskipun sudah terdapat indikasi menurun, angka
pengangguran yang masih cukup tinggi di AS dan Eropa
Grafik 1.14Indeks Harga Saham Global
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
35000
0
5000
10000
15000
20000
25000
30000
35000
2006 2007 2008 2009
SingaporeNYANew YorkIndonesiaNikkei
Sumber: Bloomberg
Grafik 1.15Indeks Harga Saham Sektoral
Sumber : Bloomberg
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000
2006 2007 2008 20090
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
4000Basic Industry
Financial
Infrastructure
Manufacture
Mining
Property
Consumer
Grafik 1.16Perkembangan Inflasi ASEAN-5
Grafik 1.17Tingkat Bunga Riil Indonesia
y.o.y %
Sumber : CEIC
(5)
0
5
10
15
Jan Jun Nov Apr Sep Feb Jul Des2007 2008 2009
Filipina Singapura
Thailand Malaysia
Indonesia
Persen
Sumber : Bloomberg dan CEIC
-8,00
-6,00
-4,00
-2,00
0,00
2,00
4,00
2004 2005 2006 2007 2008 2009
IndonesiaASSingapura
15
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
dapat menjadi faktor risiko yang terus membayangi proses
pemulihan ekonomi dunia dan berimplikasi pada prospek
perekonomian domestik.
2. KONDISI SEKTOR RIIL
Seiring dengan berangsur membaiknya permintaan
domestik dan kondisi ekonomi global, di sektor riil mulai
terlihat adanya tanda-tanda perbaikan sejak awal semester
II 2009. Membaiknya permintaan eksternal mendorong
pertumbuhan sektor-sektor tradables, yaitu industri
pengolahan (subsektor makanan, minuman dan
tembakau, subsektor tekstil, subsektor kimia, dan
subsektor alat angkutan, mesin dan peralatannya), sektor
pertanian (subsektor perkebunan), dan sektor
pertambangan (subsektor pertambangan nonmigas).
Sementara itu, stabilnya permintaan domestik menjadi
pendorong bertumbuhnya sektor-sektor non-tradables
yaitu sektor perdagangan, sektor pengangkutan dan
komunikasi dan sektor bangunan.
Dalam perkembangannya, pada triwulan IV 2009,
sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel
dan restoran menunjukkan perbaikan kinerja yang
signifikan. Pertumbuhan tahunan (yoy) sektor industri
pengolahan meningkat dari 1,3% pada triwulan III 2009
menjadi 4,2% pada triwulan IV 2009. Sementara, sektor
perdagangan, hotel dan restoran tumbuh sebesar 4,17%
(yoy) pada triwulan IV 2009, setelah tumbuh negatif
0,23% (yoy) pada triwulan III 2009.
Membaiknya kinerja di sektor industri pengolahan
tercermin dari peningkatan indeks dan utilisasi kapasitas
produksi sektor industri, serta beberapa indikator dari sisi
permintaannya, seperti perkembangan ekspor sektor
industri dan perkembangan penjualan mobil dan motor.
Sementara itu, dari sisi pembiayaan, dari awal tahun
sampai dengan akhir triwulan III 2009, kredit perbankan
yang disalurkan kepada sektor industri menunjukkan tren
yang melambat. Namun, pada triwulan IV 2009
pembiayaan dari perbankan pada sektor industri mulai
Grafik 1.18Indeks Produksi dan Utilisasi Kapasitas Produksi
Sektor Industri
Indeks (%)
95
100
105
110
115
120
2007 2008 20091 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
60
70
80
90Utilisasi Kapasitas Produksi (rhs)Indeks Produksi
Grafik 1.19Pertumbuhan Nilai Ekspor Sektor Industri dan
Pertumbuhan PDB Industri
Grafik 1.20Pertumbuhan Penjualan Mobil & Motor dan
Pertumbuhan PDB Industri
(%, yoy) (%, yoy)
0,0
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
6,0
2008 20091 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
-80
-40
0
40
80
120
gPDB Industri
gPenjualan Mobil (rhs)
gPenjualan Motor (rhs)
(%,yoy)(%,yoy)
0,0
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
6,0
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 42007 2008 2009
-40
-20
0
20
40
60
80gPDB Industri
gNilai Ekspor Sektor Industri (rhs)
16
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
membaik, meskipun belum signifikan karena masih di
bawah rata-rata pertumbuhan keseluruhan tahun 2009.
Berbagai kebijakan Pemerintah untuk mendorong
perkembangan sektor riil, dalam hal ini sektor industri,
telah memberikan hasil-hasil yang positif, terutama untuk
meningkatkan ketahanan sektor industri dari dampak
negatif krisis ekonomi global. Kebijakan Pemerintah
tersebut antara lain mencakup program penggunaan
produk dalam negeri dalam pengadaan barang/jasa
pemerintah, program restrukturisasi mesin/peralatan
industri tekstil dan alas kaki, serta pembatasan impor pada
produk makanan, alas kaki, pakaian, mainan anak dan
elektronika. Kebijakan yang pro sektor riil, dalam rangka
mendorong tumbuhnya sektor industri yang dilakukan
pemerintah, juga terlihat dari pemberian stimulus fiskal
berupa Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BMDTP).
Stimulus fiskal yang diberikan pemerintah mampu diserap
sebesar 29,4% oleh sektor industri.
Untuk sektor perdagangan, hotel dan restoran,
membaiknya kinerja terutama didorong oleh
meningkatnya subsektor perdagangan besar akibat
peningkatan kinerja ekspor-impor yang didukung oleh
perbaikan daya beli masyarakat. Perbaikan tersebut terlihat
pada perkembangan indikator penuntun (leading indicator)
yang sudah memasuki fase ekspansi hingga satu triwulan
ke depan. Begitu pula dengan Composite Prompt Indicator
sektor perdagangan yang menunjukkan tren membaik
sampai dengan pertengahan triwulan IV 2009.
Grafik 1.21Pertumbuhan Kredit Sektor Industri Pengolahan dan
Pertumbuhan PDB Industri
(%, y-o-y) (%, y-o-y)
0
1
2
3
4
5
6
7
2007 2008 2009 2010
gPDBIndustrigKreditPengolahanRiil (rhs)Rata-rata gKreditPengolahanRiil (rhs)
I II III IV I II III IV I II III IV I-20
-10
0
10
20
30
40
Grafik 1.22Leading Indicator Sektor Perdagangan, Hotel dan
Restoran
Grafik 1.23Composite Prompt Indicator Sektor Perdagangan,
Hotel dan Restoran
Grafik 1.24Indeks Penjualan Eceran
Composite Indicators :CPI, Hotel Occupancy Jakarta,IPI Machinery Equipments,IPI Paper Products,IPI Rubber Plastic Products,Exhange Rate, Visitors Arrival at 13 Main Gates
avg fase kontraksi : 15,2 bulanavg fase ekspansi : 19,2bulan
98
99
99
100
100
101
101
102
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV I
gPDBPerdag
CLI
(%, yoy) (%, yoy)
-2
0
2
4
6
8
10
2008 2009 20091 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
-20
-10
0
10
20
30
40gPDB Perdagangan
gSPE_BI (cma, rhs)
(%, yoy) Index
r=0.961
-2
0
2
4
6
8
10
2008 2009 20091 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3
-2,0
-1,5
-1,0
-0,5
0,0
0,5
1,0
1,5gPDB Perdagangan
Composite Prompt Perdagangan (rhs)
17
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
keuangan perusahaan-perusahaan non keuangan yang
tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) setelah sebelumnya
mendapat tekanan cukup signifikan pada semester I 2009.
Perbaikan kinerja perusahaan tersebut dapat diamati dari
naiknya Return on Assets (ROA) dan Return on Equity (ROE)
apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun
sebelumnya.
Mulai pulihnya kondisi korporasi Indonesia antara
lain terlihat dari perkembangan current ratio (aset likuid
dibagi utang likuid) dan inventory turn over ratio
(persediaan dibagi penjualan total). Selama periode
laporan, current ratio mengalami peningkatan sementara
inventory turn over ratio menurun. Peningkatan current
ratio mencerminkan perbaikan kondisi likuiditas korporasi,
sementara penurunan inventory turn over ratio
mengindikasikan bahwa korporasi mampu mengelola
inventory dengan lebih efisien. Namun demikian,
collection period tampaknya tidak berubah signifikan.
Grafik 1.25Perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen Domestik
Indeks
140,0
130,0
120,0
110,0
100,0
90,0
80,0
70,0
60,0
Indeks Kondisi Ekonomi Saat ini
Indeks Ekspektasi KonsumenIndeks Keyakinan Konsumen
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1122008 2009 20102007
Optimis
Pesimis
Grafik 1.26Pertumbuhan ROA dan ROE
Perusahaan Non Financial Go Public
Tw1 Tw2Tw3 Tw4 Tw1 Tw2Tw3 Tw4 Tw1 Tw2Tw3 Tw4Tw1 Tw2Tw3 Tw4Tw1 Tw2Tw3 Tw4 Tw1 Tw2Tw3 Tw4Tw1 Tw2Tw3-300
-200
-100
0
100
200
300
400
500
600
700
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
-200
-100
0
100
200
300
400ROA (kiri)
ROE (kanan)
Grafik 1.27Indikator Kunci Keuangan Korporasi
Current Ratio
ROA
ROE
Inventory Turn OverRatio
Collection Period
DER
0
1
2
3
4
5
2008:Q3
2009:Q3
Daya beli masyarakat yang membaik mendorong
peningkatan konsumsi masyarakat baik untuk barang-
barang tahan lama maupun barang-barang habis pakai.
Indikasi membaiknya kinerja sektor perdagangan juga
tercermin dari Indeks Penjualan Eceran yang sampai
dengan akhir triwulan IV 2009 berada dalam tren yang
meningkat.
Sementara itu, sejalan dengan pemulihan kondisi
ekonomi global, selama semester II 2009, konsumsi rumah
tangga masih tumbuh pada level yang cukup tinggi
didorong oleh daya beli masyarakat yang relatif stabil dan
tingkat keyakinan konsumen yang masih terjaga.
Membaiknya ekspor dan tetap tingginya konsumsi
rumah tangga pada gilirannya mendorong kinerja sektor
korporasi. Hal ini dapat diamati dari membaiknya kinerja
Dari sisi pembiayaan, terdapat indikasi sektor
korporasi lebih mengandalkan modal sendiri dan
cenderung mengurangi pinjaman dana dari pihak ketiga,
baik itu perbankan maupun penerbitan obligasi dan surat
berharga lainnya. Hal ini dapat diamati dari cenderung
turunnya rasio debt to equity ratio (DER) dan rasio total
debt to total aset (Debt/TA).
18
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Grafik 1.29Probability of Default (PD) Perusahaan Non Keuangan yang Go Public
Probability of Default
Jumlah
0
50
100
150
200
250
0.0-0.1 0.1-0.2 0.2-0.3 0.3-0.4 0.4-0.5 0.5-0.6 0.6-0.7 0.7-0.8 0.8-0.9 0.9-1.0
201
5 4 4 0 0 1 0 0
23
Probability of Default
Jumlah
0
50
100
150
200
250
0.0-0.1 0.1-0.2 0.2-0.3 0.3-0.4 0.4-0.5 0.5-0.6 0.6-0.7 0.7-0.8 0.8-0.9 0.9-1.0
193
11 1 4 2 1 1 0 1
24
Grafik 1.28Perkembangan DER dan Debt/TA
Perusahaan Non Financial Go Public
Tw1Tw2 Tw3 Tw4 Tw1Tw2 Tw3 Tw4 Tw1Tw2 Tw3 Tw4 Tw1Tw2 Tw3 Tw4 Tw1Tw2 Tw3 Tw4 Tw1Tw2 Tw3 Tw4 Tw1Tw2 Tw30,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
1,20
1,40
1,60
1,80
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
DER Debt/TA
Grafik 1.30Rasio Kewajiban Neto Valas
terhadap Ekuitas Konglomerasi
%
(150)
(100)
(50)
0
50
100
150
R Z AD AK AN AM A AI N F AC AL AO S K M AE AQ I T Q AR W
Rasio kewajiban neto valasthp equity > 25%
Sementara itu, ke depan diperkirakan akan terjadi
peningkatan risiko kredit terutama bagi sektor korporasi
yang berorientasi ekspor dan terpengaruh dengan adanya
ACFTA. Potensi peningkatan risiko kredit tercermin pada
Probability of Default (PD) perusahaan-perusahaan non
keuangan yang telah go public yang cenderung naik. Hasil
estimasi menunjukkan bahwa jumlah perusahaan dengan
PD lebih besar dari 0,5 akan meningkat dari 24 perusahaan
pada September 2009 menjadi 27 perusahaan pada
September 2010.
Selain risiko kredit, perusahaan-perusahaan di sektor
riil juga berpotensi menghadapi risiko nilai tukar. Hal itu
antara lain karena terdapat sekitar 16 konglomerasi besar
yang memiliki rasio kewajiban neto valas terhadap modal
lebih dari 25%, bahkan 2 diantaranya memiliki rasio lebih
dari 100%. Selain itu, hasil stress test terhadap 46
konglomerasi besar di Indonesia per September 2009,
menunjukkan apabila nilai tukar rupiah melemah menjadi
Rp17.000 per USD, terdapat potensi risiko terganggunya
kinerja 1 konglomerasi sehingga permodalannya turun
sebesar 80%. Oleh karena itu, konglomerasi perlu
melakukan langkah-langkah mitigasi risiko yang tepat
untuk mencegah kerugian apabila terjadi shock pada nilai
tukar.
Meskipun selama semester II 2009 kinerja sektor riil
mulai membaik, ke depan masih terdapat beberapa
tantangan yang cukup berat, antara lain terkait dengan
stabilitas sistem keuangan dan ketahanan perekonomian.
Kondisi pasar keuangan global yang belum stabil
19
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Persentasepengurangan ekuitas
IDR/USD
10.000 10.500 11.000 11.500 12.000 12.500 13.000 13.500 14.000 14.500 15.000 15.500 16.000 16.500 17.000
Tabel 1.2Pengaruh Pelemahan Nilai Tukar Rupiah terhadap Ekuitas Konglomerasi
Jumlah korporasiJumlah korporasiJumlah korporasiJumlah korporasiJumlah korporasiyg ekuitasnya terbebaniyg ekuitasnya terbebaniyg ekuitasnya terbebaniyg ekuitasnya terbebaniyg ekuitasnya terbebani
10% 2 6 6 7 7 8 8 7 7 8 5 4 220% 2 2 4 6 5 4 2 2 5 4 630% 1 2 1 1 4 5 3 2 3 240% 1 2 1 1 3 4 4 350% 1 1 1 360% 1 2 170% 1 2 180% 190%
100% 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
11111 11111 33333 77777 99999 1111111111 1414141414 1717171717 1717171717 1818181818 1818181818 1919191919 1919191919 1919191919 1919191919
berpotensi memicu kemungkinan pembalikan aliran modal
asing apabila indikator-indikator pemulihan ekonomi
khususnya di negara maju kembali melemah. Hal ini
diperkirakan dapat mengganggu stabilitas sistem
keuangan domestik. Selain itu, berbagai permasalahan
mikro struktural di sektor riil yang belum selesai seperti
lemahnya daya saing sektor industri dan pembangunan
infrastruktur yang masih tersendat perlu terus dicermati
khususnya dalam menghadapi persaingan pasar yang
semakin ketat menyusul pemberlakuan ACFTA.
20
Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil
Halaman ini sengaja dikosongkan
21
Bab 2 Sektor Keuangan
Bab 2Sektor Keuangan
22
Bab 2 Sektor Keuangan
Halaman ini sengaja dikosongkan
23
Bab 2 Sektor Keuangan
Sektor KeuanganBab 2
2.1. STRUKTUR SISTEM KEUANGAN INDONESIA
Selama semester laporan, tidak terdapat perubahan
yang signifikan pada struktur sistem keuangan Indonesia.
Industri perbankan yang terdiri dari bank umum dan bank
perkreditan rakyat (BPR) masih tetap mendominasi dengan
pangsa sekitar 80% dari total asset sektor keuangan.
Sementara, pangsa industri keuangan lainnya seperti
asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan, sekuritas
dan pegadaian relatif masih rendah.
Sejalan dengan itu, total aset bank umum mengalami
peningkatan sebesar Rp224,3 triliun (9,7%) menjadi
Rp2.534,1 triliun pada akhir Desember 2009. Dengan
adanya merger antara 2 bank besar, maka sekitar 70%
aset perbankan tidak lagi dikuasai oleh 15 bank besar
(sebagaimana dilaporkan pada KSK edisi-edisi sebelumnya)
namun oleh 14 bank besar. Sementara, pasar keuangan
Selama semester II 2009, sektor keuangan Indonesia terus bertumbuh
dan terjaga stabilitasnya. Hal itu ditopang oleh cukup kondusifnya
perekonomian domestik serta mulai terlihatnya tanda-tanda pemulihan
perekonomian global. Perbankan sebagai industri yang mendominasi
sektor keuangan Indonesia masih tetap menunjukkan kinerja yang positif,
meskipun dari sisi pelaksanaan fungsi intermediasi terlihat belum
menggembirakan. Sementara itu, kinerja pasar saham dan pasar SUN
terus membaik sehingga meningkatkan minat investor baik domestik
maupun asing untuk terus melakukan penanaman.
non bank selama semester II 2009 juga menunjukkan
perkembangan yang cukup baik. Hal ini terlihat dari Indeks
Harga Saham Gabungan (IHSG) yang meningkat 25,04%
menjadi 2.534,36, sedangkan Indeks IDMA Harga Surat
Utang Negara (SUN) naik 4,02% menjadi 94,33.
Grafik 2.1Komposisi Aset Lembaga Keuangan
1,1%
8,8%3,1%
4,4% 2,7% 0,4%
79,5%
Bank Umum Komersial
Bank Perkreditan Rakyat
Perusahaan Asuransi
Dana Pensiun
Perusahaan Pembiayaan
Perusahaan Sekuritas
Pegadaian
24
Bab 2 Sektor Keuangan
2. 2. KETAHANAN SEKTOR KEUANGAN
Salah satu indikator yang digunakan dalam menilai
ketahanan sektor keuangan adalah Indeks Stabilitas
Keuangan√(Financial Stability Index atau FSI).1 Selama
semester laporan, ketahanan sektor keuangan terus
membaik, tercermin pada penurunan FSI dari 1,94 (Juni
2009) menjadi 1,91 (Desember 2009). Dengan demikian
proyeksi FSI sebesar 1,90 pada akhir 2009 dapat dikatakan
tercapai. Perbaikan FSI ini didukung oleh kualitas kredit
perbankan yang relatif terkendali, serta penurunan
volatilitas di pasar saham dan pasar SUN.
Sebagaimana dikemukakan pada KSK edisi-edisi
sebelumnya, batas indikatif maksimum FSI adalah 2,00.
Sebagai perbandingan, pada saat krisis global berimbas
kepada Indonesia, FSI menunjukkan angka tertinggi
sebesar 2,43 pada bulan November 2008. Sementara, pada
saat puncak krisis 1997/1998, angka FSI terlihat jauh lebih
tinggi, yaitu mencapai 3,23.
Patut pula dicatat bahwa FSI sebesar 1,94 pada Juni
2009 merupakan untuk pertama kalinya FSI berada di
bawah 2,00 setelah krisis global. Sebelumnya, sepanjang
paruh pertama 2009 (s.d. bulan Mei), FSI selalu berada di
atas 2,00. Namun, sejak Juni 2009 s.d. Februari 2010, FSI
selalu konsisten di bawah 2,00 dengan angka terendah
sebesar 1,90 pada bulan Januari dan Februari 2010.
Perkembangan FSI dari waktu ke waktu ini memperlihatkan
semakin terjaganya stabilitas keuangan.
Dengan kondisi global maupun domestik yang secara
umum mulai membaik, FSI pada akhir semester I (Juni)
2010 diproyeksikan berada pada rentang 1,59-2,16
dengan baseline sebesar 1,87. Proyeksi tersebut didasarkan
pada perkiraan bahwa meskipun risiko kredit perbankan
masih akan mengalami peningkatan, namun stabilitas di
pasar saham dan pasar SUN diperkirakan akan semakin
terus membaik. Meningkatnya stabilitas di kedua pasar
tersebut tidak terlepas dari ekspektasi semakin
membaiknya fundamental ekonomi dan semakin dekatnya
sovereign rating Indonesia pada peringkat investasi
(investment grade).
1 Metodologi dan pendekatan yang digunakan dalam menghitung FSI dapat dilihat padaKSK No. 8 Maret 2007 dan No. 9 September 2008.
2.3. PERBANKAN
2.3.1. Pendanaan dan Risiko Likuiditas
Perkembangan Dana Pihak Ketiga (DPK)
Sampai dengan akhir semester II 2009, perbankan
Indonesia masih mengandalkan DPK sebagai sumber
pendanaan (funding). Apabila dilihat dari rentang waktu
yang lebih panjang, sejak tahun 2000, dominasi DPK
sebagai sumber dana bank rata-rata mencapai
86,04%.Sedangkan sumber lainnya, seperti Surat Berharga
yang diterbitkan, Pinjaman yang diterima, dan Modal,
masing-masing hanya dengan pangsa rata-rata sebesar
0,95%, 1,24%, dan 11,77%.
Grafik 2.2Indeks Stabilitas Keuangan (Financial Stability Index)
Krisis 1997/1998 : 3,23
Krisis Global (Nov 2008) : 2,43MiniKrisis 2005 : 2,33
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
3,00
3,50
2,16
1,59
1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9 1 5 9
19961997 1998 19992000 2001 20022003200420052006 2007 20082009 2010
Des2009: 1.91
Jun 2010(p): 1.87
FSI 1996 - 2010
Share DPK (%)
Deposito
Tabungan
Modal
GiroPinjaman
SuratBerharga
1.000
900
800
700
600
500
400
300
200
100
-2000 2001 2002 2003 2004 2005 200920082006 2007
89
88
87
86
85
84
83
82
Grafik 2.3Komposisi Sumber Dana Perbankan (Rp T)
25
Bab 2 Sektor Keuangan
memberikan return yang tinggi. Sementara untuk
komponen giro, karena paling likuid sehingga mudah
ditarik atau dilakukan switching apabila diperlukan.
Per Desember 2009, DPK yang berhasil dihimpun
oleh perbankan mencapai Rp1.973,0 triliun atau dalam
satu semester terakhir naik sebesar Rp148,8 triliun (8,2%).
Kenaikan tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan
pencapaian pada paruh pertama tahun yang sama yang
hanya sebesar Rp71,0 triliun (4,1%). Hal itu
mengindikasikan bahwa kondisi perekonomian yang terus
membaik semakin meningkatkan kepercayaan masyarakat
terhadap perbankan.
Peningkatan DPK yang terjadi selama periode laporan
bersumber dari semua komponen (giro, tabungan, dan
deposito). Diantara ketiga komponen tersebut, tabungan
menyumbang kenaikan yang terbesar, yaitu Rp90,5 triliun
atau 17,6%, diikuti oleh deposito dan giro masing-masing
sebesar Rp39,6 triliun (4,6%) dan Rp18,8 triliun (4,2%).
2 Primary Reserves diasumsikan terdiri dari Kas dan Giro pada BI. Sementara, SecondaryReserves terdiri dari SBI, Penempatan pada BI lainnya (Fasbi/FTK), dan SUN (trading danAvailable for Sale). Sedangkan Tertiary Reservesterdiri dari SUN (Hold to maturity).
Sementara itu, tren penguatan Rupiah pada tahun
2009 tampaknya mendorong meningkatnya preferensi
masyarakat untuk menanamkan dananya di perbankan
dalam bentuk valuta asing (valas). Kemungkinan besar hal
ini memiliki motivasi untuk profit taking pada saat rupiah
melemah. Sejalan dengan itu, selama semester II 2009,
DPK valas naik sebesar USD5,1 miliar atau Rp24,7 triliun.
Peningkatan tersebut terjadi pada semua komponen,
namun terlihat lebih besar dalam bentuk deposito dan giro.
Untuk komponen deposito, diperkirakan karena mampu
Kecukupan Likuiditas
Peningkatan sumber dana yang cukup signifikan,
terlebih pada saat pertumbuhan kredit relatif lamban,
memberikan ruang gerak yang cukup besar bagi
perbankan untuk meningkatkan penempatannya pada
aset likuid. Sepanjang semester II 2009 alat likuid bank
yang terdiri dari primary reserves secondary reserves, dan
tertiary reserves meningkat sebesar Rp34,2 triliun (5,1%).2
Dibandingkan dengan semester sebelumnya, kenaikan ini
masih lebih tinggi. Pada paruh pertama 2009 perbankan
hanya mampu meningkatkan penempatan pada aset likuid
sebesar Rp23,1 triliun (3,5%).
Selama periode laporan, kenaikan alat likuid yang
cukup signifikan terjadi pada bulan Desember 2009 seiring
dengan peningkatan tajam DPK. Hal tersebut antara lain
dipicu oleh pemberlakuan GWM dengan kewajiban
membentuk secondary reserves sebesar 2,5% sejak
Oktober 2009 yang mendorong perbankan untuk
memupuk alat likuid berupa SBI dan SUN. Namun
Grafik 2.4Perkembangan DPK per Komponen
Rp T
350
400
450
500
550
600
650
700
Des Okt Des Feb Apr Jun Ags Okt Des2008 2009
600
700
800
900
1.000Giro (lhs)
Tabungan (lhs)
Deposito (rhs)
2007
Grafik 2.5DPK Valas - Kurs IDR/USD
RupiahUSD Miliar
22
26
30
34
38
42
Des Okt Des Feb Apr Jun Ags Okt Des2007 2008 2009
8.000
9.000
10.000
11.000
12.000
13.000DPK valas (lhs)
Kurs (rhs)
26
Bab 2 Sektor Keuangan
kecenderungan perbankan melakukan profit taking atas
kepemilikan SUN sejak pertengahan semester II 2009
mengakibatkan kepemilikan SUN oleh perbankan turun
sekitar 9,4%
Berdasarkan jenisnya, kenaikan alat likuid perbankan
selama semester II 2009 bersumber dari peningkatan
primary reserves sebesar Rp27,3 triliun (21,0%) dan
secondary reserves selain SUN sebesar Rp25,9 triliun
(6,4%), khususnya berupa Fasbi/FTK. Peningkatan alat
likuid yang didominasi oleh instrumen dengan jangka
waktu yang lebih pendek mengindikasikan tingginya motif
berjaga-jaga perbankan dalam mengantisipasi kebutuhan
likuiditas.
pendek. Oleh karena itu, guna meminimalisir risiko
likuiditas, bank akan memelihara alat likuid dalam jumlah
tertentu. Salah satu indikator yang menunjukkan
terpeliharanya kondisi likuiditas dengan baik adalah rasio
alat likuid3 terhadap kewajiban segera yang dalam hal ini
diasumsikan sebesar non core deposits (NCD)4. Rasio ini
menunjukkan kemampuan bank untuk dapat memenuhi
kewajiban likuiditas dalam jangka pendek.
Selama tahun 2009, rasio alat likuid ini terus
membaik. Setelah sempat mencapai titik terendah karena
imbas krisis global pada tahun 2008, yaitu sebesar 84,9%,
maka pada akhir Desember 2009, rasio ini mencapai
Grafik 2.7Pangsa Alat Likuid per Kelompok Bank
Grafik 2.8Rasio Alat Likuid
Grafik 2.6Alat Likuid Bank
Rp T
0
90
180
270
360
450
500
550
600
650
700
750
Des Mar Jun Sep Des2008 2009
Primary Reserves Secondary Reserves
Tertiary Reserves TOTAL AL (rhs)
Sementara itu, kepemilikan alat likuid oleh bank
dengan total aset di atas Rp15 triliun tampaknya masih
mendominasi, yaitu dengan pangsa sebesar 85,72% dari
total alat likuid perbankan. Secara umum, secondary
reserves merupakan komponen alat likuid yang paling
diminati dengan pangsa yang mencapai lebih dari 50%.
Diantara komponen secondary reserves, penempatan pada
SBIadalah yang tertinggi.
Pada dasarnya, kepemilikan alat likuid diperlukan
bank sebagai antisipasi terhadap kebutuhan likuiditas,
khususnya yang bersifat segera dan yang berjangka waktu
TA <1 T TA 1-5 T TA 5-15 T TA >15 T
0,71% 4,18%9,39%
85,72%
3 Alat likuid yang diperhitungkan dalam rasio ini terdiri dari kas dan penempatan pada BI.4 NCD terdiri dari 30% giro + 30% tabungan + 10% deposito s.d 3 bulan.
60
120
180
0
100
200
300
400
Jul '08 Okt'08 Jun '09 Des'09
Rp T
Alat Likuid NCD Alat Likuid/NCD
%
Des '07
147,7
119,3
102,592,0
84,9
101,495,4
97,6109,1
109,2
107,8
104,7
114,6
27
Bab 2 Sektor Keuangan
sebesar 114,6% atau telah melampaui batas minimum
100%. Angka rasio ini juga membaik jika dibandingkan
dengan kondisi pada awal tahun 2009.
Pasar Uang Antar Bank (PUAB)
Seiring dengan membaiknya kondisi likuiditas
perbankan, aktivitas bank pada PUAB juga membaik.
Secara umum, transaksi PUAB, baik Rupiah maupun Valas
selama semester II 2009, lebih baik dibandingkan dengan
periode yang sama tahun 2008 (pada saat terimbas krisis
global), dan semester I 2009.
Namun, data yang ada menunjukkan bahwa volume
PUAB pada triwulan akhir 2009 menunjukkan penurunan.
Hal itu antara lain akibat tingginya likuiditas harian
perbankan sehingga kebutuhan untuk bertransaksi di
PUAB menjadi rendah. Volume transaksi yang relatif rendah
tersebut terus berlanjut hingga akhir tahun, dipengaruhi
beberapa faktor, yaitu: (i) kembali masuknya uang kartal
pasca hari Raya Idul Fitri sehingga mayoritas pelaku pasar
mengalami ekses likuiditas dengan penyebaran yang lebih
merata, (ii) adanya kucuran dana Pemerintah terutama
untuk pembiayaan proyek menjelang akhir tahun, dan (iii)
perbankan kembali mengantisipasi penarikan kartal
menjelang libur Natal dan Tahun Baru dengan menjaga
ketersediaan likuiditas harian di FTK dan FASBI.
Sementara itu, sepanjang semester laporan tidak
terlihat adanya transaksi antar bank di luar batas
kewajaran. Rata-rata harian volume transaksi PUAB Rupiah
terus meningkat meskipun pada triwulan akhir 2009 sedikit
menurun. Sedangkan pada PUAB valas, rata-rata harian
volume transaksi terus meningkat, meskipun belum
kembali ke level sebelum terimbas krisis global pada tahun
2008.
Grafik 2.9Volume Transaksi O/N PUAB DN (Rata-rata per hari)
Grafik 2.10Suku Bunga PUAB Pagi O/N
USD JutaRp T
Jan'08 Jun'08 Nov'08 Apr'09 Sept'090
4
8
12
0
100
200
300
400
500
PUAB Rupiah PUAB Valas
%
Sk. Bunga O/N Terendah Sk. Bunga O/N Tertinggi
Rata-rata TertimbangSk. Bunga O/N
BI rate
01/05/09 03/11/09 05/18/09 07/24/09 10/01/09 12/04/095
6
7
8
9
10
Di sisi lain, suku bunga transaksi PUAB Rupiah juga
cukup terkendali dengan tingkat fluktuasi yang wajar.
Selama semester laporan, tidak terdapat transaksi dengan
suku bunga transaksi yang jauh di atas atau di bawah rata-
rata tertimbang suku bunga PUAB. Sejak pertengahan
tahun 2009, rata-rata tertimbang suku bunga PUAB Rupiah
overnight cenderung berada di bawah BI rate. Secara
keseluruhan, kondisi PUAB ini mencerminkan bahwa risiko
likuiditas industri perbankan cukup terkendali.
Grafik 2.11Suku Bunga PUAB O/N Sore
%
01/05/09 03/11/09 05/18/09 07/24/09 10/01/09 12/04/09
5
6
7
8
9
10Sk. Bunga O/N Terendah Sk. Bunga O/N Tertinggi
Rata-rata TertimbangSk. Bunga O/N
BI rate
28
Bab 2 Sektor Keuangan
adalah karena aktivitas ekonomi yang melambat sebagai
dampak dari krisis global.
Namun demikian, Kredit Investasi (KI) masih tumbuh
dengan cukup baik. Selama 2009, KI tumbuh sebesar
16,4% atau secara nominal meningkat Rp42 triliun.
Mengingat KI merupakan kredit jangka menengah/
panjang untuk pembelian barang-barang modal, adanya
pertumbuhan yang cukup besar menunjukkan bahwa
prospek ekonomi ke depan masih dipandang positif oleh
perbankan.
2.3.2. Perkembangan dan Risiko Kredit
Perkembangan Kredit
Sama halnya dengan kondisi pada paruh pertama
2009, selama semester II pertumbuhan kredit juga masih
belum menggembirakan. Hal ini cenderung berlawanan
dengan pertumbuhan DPK yang terlihat masih cukup
tinggi. Bahkan penyaluran kredit yang cukup besar baru
terjadi pada dua bulan terakhir di tahun 2009 dengan
jumlah sekitar Rp60 triliun. Akibatnya, selama 2009 kredit
hanya bertumbuh 10%, atau jauh di bawah target sesuai
Rencana Bisnis Bank (RBB) sekitar 15%. Rendahnya
penyaluran kredit ini, sebagaimana yang akan dijelaskan
kemudian, disebabkan oleh beberapa faktor, terutama
sebagai imbas krisis global yang tercermin pada rendahnya
pertumbuhan kredit untuk modal kerja, industri
pengolahan dan kredit untuk korporasi, serta
pertumbuhan negatif kredit valas.
Sepanjang tahun 2009, kredit perbankan lebih
banyak disalurkan untuk hal-hal yang sifatnya konsumtif.
Sekitar 54% dari total peningkatan kredit selama tahun
tersebut ditujukan untuk kredit Konsumsi. Sementara
sumbangan Kredit Modal Kerja (KMK), yang merupakan
kredit produktif, hanya sebesar 14%. Selama 2009 KMK
hanya tumbuh 2,7%, padahal selama dua tahun
sebelumnya (2007 dan 2008), KMK mampu bertumbuh
sekitar 28%. Penurunan pertumbuhan KMK tersebut
Sementara itu, perlambatan aktivitas ekonomi juga
berdampak pada menurunnya penyaluran kredit untuk
sektor Industri Pengolahan. Selama 2009, kredit untuk
sektor ini hanya mampu bertumbuh sebesar 8,8%, padahal
pada tahun 2008 mampu bertumbuh sebesar 32%.
Sepanjang 2009 kredit valas bertumbuh negatif
17,4%. Hal itu terutama karena aktivitas ekspor/impor
Grafik 2.12Pertumbuhan Kredit dan DPK (% yoy)
%
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
G_Kredit
G_DPK
Grafik 2.13Pertumbuhan Kredit Per Jenis Penggunaan
2009
2008
2007
KMK
KI
KK
%
0,0 10,0 20,0 30,0 40,0
28,6%
28,4%2,7%
23,2% 37,4%
16,4%
24,9%
29,9%19,0%
Grafik 2.14Pertumbuhan Kredit Per Sektor Ekonomi
%
-20
0
20
40
60
80
100
Pertanian
Pertambangan
Industri Listrik Konstruksi
Perdagangan
Pengangkutan
JasaDuniaUsaha
JasaSosial
Lain-lain
2007
20082009
16,1%9,3%
33,1%
17,0%8,2%
15,2%
-1,0%
18,8%32,9%
-8,8%
29
Bab 2 Sektor Keuangan
korporasi diperkirakan juga karena adanya alternatif yang
lebih luas bagi perusahaan besar dalam memperoleh
sumber pembiayaan, seperti penerbitan obligasi atau
saham. Kedua opsi ini lebih murah dibandingkan dengan
kredit mengingat suku bunga kredit perbankan yang masih
relatif tinggi, rata-rata di atas 13%.
Selain karena faktor permintaan, perlambatan
pertumbuhan kredit ditengarai juga dipengaruhi oleh
kebijakan internal perbankan (faktor penawaran).
Beberapa bank, terutama yang memiliki keterkaitan
dengan bank-bank luar negeri, dalam rangka
mengantisipasi dan memitigasi dampak krisis global
memilih untuk melakukan konsolidasi dan pembenahan
internal, antara lain dengan restrukturisasi kredit. Hal ini
antara lain tercermin dari menurunnya jumlah kredit
bermasalah di sektor Industri Pengolahan yang seharusnya
meningkat jumlahnya sebagai dampak dari krisis global.
Risiko Kredit
Perlambatan pertumbuhan kredit tidak terlepas dari
meningkatnya risiko kredit, tercermin dari kecenderungan
meningkatnya jumlah kredit bermasalah di perbankan.
Secara umum, kondisi ini merupakan imbas dari krisis
global. Tidak mengherankan bahwa perbankan menjadi
lebih selektif dalam menyalurkan kredit karena potensi
menjadi kredit bermasalah mengalami peningkatan.
Setelah mencapai puncaknya pada Juli 2009,
perlahan-lahan tekanan risiko kredit yang ditunjukkan oleh
peningkatan NPL, mulai menunjukkan penurunan pada
semester II. Sejalan dengan prospek perekonomian yang
mulai membaik, serta program restrukturisasi kredit yang
relatif berhasil, tekanan risiko kredit perbankan mulai
berkurang. Untuk memitigasi risiko kredit, perbankan
membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif
(PPAP) kredit yang cukup besar. Selama tahun 2009, terjadi
peningkatan PPAP kredit tercatat sebesar Rp12,7 triliun,
yang mengalami penurunan sejalan dengan memburuknya
kondisi perekonomian beberapa negara mitra dagang
utama Indonesia. Hubungan erat antara kredit valas
dengan kegiatan ekspor/impor ini antara lain terlihat dari
hasil uji korelasi antara pertumbuhan kredit valas dengan
kegiatan ekspor/impor yang menunjukkan koefisien
korelasi yang sangat tinggi, yaitu sebesar 0,92. Meskipun
kredit valas bertumbuh negatif, namun kredit dalam rupiah
masih bertumbuh cukup tinggi√mencapai 16,5%.
Sementara itu, perbankan juga semakin cenderung
memfokuskan penyaluran kreditnya untuk kredit Mikro,
Kecil dan Menengah (MKM). Selama 2009, kredit MKM
berhasil tumbuh sebesar 16,3% sedangkan kredit Non
MKM atau kredit korporasi (kredit dengan nominal diatas
Rp5 miliar) hanya tumbuh sebesar 4%. Penyaluran kredit
MKM didominasi oleh Kredit Kecil yaitu kredit dengan nilai
nominal antara Rp50 juta s.d Rp500 juta. Selain karena
imbas krisis global, perlambatan pertumbuhan kredit
Grafik 2.16Pertumbuhan Kredit MKM dan Non MKM
%
2007 2008 2009
22,5%26,1%
16,3%
30,8%35,0%
4,0%
0
5
10
15
20
25
30
35
40
MKM Non MKM
Grafik 2.15Pertumbuhan Kredit Per Valuta
%
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
50
200720082009
Rupiah Valas Total
24,0%
33,2%
16,5%
36,8%
20,4%
-17,4%
26,5% 30,5%
10,0%
30
Bab 2 Sektor Keuangan
Grafik 2.20Rasio NPL Sektor Perdagangan
Grafik 2.18Rasio NPL Per Sektor Ekonomi
Grafik 2.19Rasio NPL Sektor Industri Pengolahan
Kredit yang risikonya cenderung meningkat selama
tahun 2009 adalah untuk sektor Perdagangan, restoran
dan hotel. Dari total Rp5,7 triliun peningkatan jumlah NPL
perbankan selama tahun tersebut, sektor ini menyumbang
sebesar Rp4,2 triliun kenaikan jumlah NPL. Meskipun
terdapat kenaikan jumlah NPL, ternyata pertumbuhan
kredit untuk sektor ini masih cukup besar mencapai Rp41,7
triliun. Hal itu menunjukkan bahwa aktivitas usaha
perdagangan, restoran dan hotel masih cukup menggeliat
di tengah krisis ekonomiglobal. Namun demikian,
peningkatan jumlah NPL tersebut menyebabkan rasio NPL
sektor ini yang telah sempat turun hingga menjadi dibawah
4% pada akhir tahun 2008 kembali meningkat menjadi
di atas 4% di penghujung tahun 2009. Selain itu, seluruh
sub sektor Perdagangan, restoran dan hotel mengalami
peningkatan risiko kredit seperti tercermin dari
peningkatan rasio NPL nya.
sehingga rasio NPL net turun cukup signifikan dari 0,8%
pada akhir tahun 2008 menjadi 0,3% pada akhir 2009.
Sedangkan rasio NPL gross hanya naik tipis dari 3,2%
menjadi 3,3% untuk periode yang sama.
Sampai dengan pertengahan tahun 2009,
peningkatan risiko kredit terutama bersumber dari kredit
untuk sektor Industri Pengolahan, yang terdiri dari
beberapa subsektor seperti tekstil dan kayu yang sangat
rentan terhadap kondisi perekonomian global. Dengan
memburuknya perekonomian global, rasio NPL gross kredit
sektor Industri Pengolahan sempat melonjak hingga 7,6%
pada Juli 2009. Namun dengan berbagai langkah yang
dilakukan oleh perbankan, termasuk restrukturisasi kredit
dan memperlambat penyaluran kredit ke sektor tersebut
sehingga pertumbuhan kreditnya turun 3,8% selama
tahun 2009, berhasil menurunkan rasio NPL hingga
menjadi 5%, yang merupakan rasio NPL sektor Industri
Pengolahan terendah sejak krisis 1997.
Grafik 2.17Perkembangan NPL
PPAP (rhs)NPL Nominal (rhs)
(%) (triliun)
NPL Gross
NPL Net (lhs)
-
1
2
3
4
5
6
7
8
9
2006 2007 2008 200930
35
40
45
50
55
60
65
70
75
%
0
1
2
3
4
5
6
7
8
3,2
0,1
3,64,1
2,4 2,2
4,4
2,6
5,0
1,8
Des07Des08Des09
Pertanian Pertambangan
Industri Listrik Konstruksi
Perdagangan
Pengangkutan
JasaDuniaUsaha
JasaSosial
Lain-lain
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
0
5
10
15
20
25
30
35
40
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
31
Bab 2 Sektor Keuangan
Sementara itu, pertumbuhan kredit Konsumsi yang
masih cukup baik sepanjang tahun 2009 tidak terlepas
dari risikonya yang masih relatif rendah, terlihat dari rasio
NPL yang stabil pada kisaran 2,6%. Kredit Konsumsi (KK)
yang antara lain terdiri dari Kredit Kepemilikan Rumah
(KPR) dan kredit kepemilikan kendaraan bermotor
dipandang berisiko relatif rendah karena memiliki agunan
yang jelas yaitu rumah dan kendaraan bermotor yang nilai
pengembaliannya relatif baik. Namun, risiko yang cukup
besar dari kredit Konsumsi terlihat pada kartu kredit.
Pembentukan PPAP kredit yang cukup besar selama
tahun 2009 disertai dengan rasio permodalan yang cukup
besar menjadi buffer bagi perbankan dalam menghadapi
potensi peningkatan risiko kredit. Hal ini tercermin dari
hasil stress test risiko kredit dengan menggunakan asumsi
terjadinya pergeseran tiap kolektibilitas kredit satu level
ke tingkat kolektibilitas yang lebih rendah dengan
prosentase yang sama. Pergeseran tiap kolektibiltas sebesar
50% ke level di bawahnya akan menurunkan CAR
perbankan sebesar 66 bps. Namun, apabila terjadi
pergeseran tiap kolektibilitas satu level ke bawahnya
sebesar 40% atau lebih, akan terdapat bank yang
berpotensi CARnya turun menjadi di bawah 8%
Grafik 2.21Rasio NPL Sub Sektor Perdagangan
Grafik 2.22Rasio NPL Per Jenis Penggunaan
Grafik 2.23Rasio NPL Kredit Konsumsi
Grafik 2.24Stress Test Risiko Kredit
%
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
2007 2008 2009
Pembelianbrg dg DN
Distribusi Perdag.eceran
Restoran,hotel
Lainnya
0,0
2,0
4,0
6,0
8,0
KMK KI KK
3.7
6.6
3.13.4 3.8
2.5
3.83.3
2.6
Dec07Dec08Des09
Setelah sempat turun pada kuartal pertama 2009
karena adanya penghapusbukuan kredit bermasalah, rasio
NPL kartu kredit kembali menunjukkan tren meningkat
pada semester II. Persyaratan pemberian kartu kredit yang
relatif mudah dan ketiadaan agunan diperkirakan menjadi
faktor utama yang menyebabkan risiko kartu kredit lebih
tinggi dibandingkan dengan kredit konsumsi lainnya.
%
0
2
4
6
8
10
12
14
KPR Kartu Kredit Lainnya
Dec-07
Dec-08
Dec-09
3,0%
12,1%
1,9%2,3%
10,8%
1,6%2,3%
10,8%
1,5%
%
15,00
16,00
17,00
18,00
19,00
- 66 bps
CAR awal Shock10%
Shock20%
Shock130%
Shock40%
Shock50%
2.3.3. Risiko Pasar
Membaiknya beberapa faktor pasar seperti suku
bunga, nilai tukar dan harga SUN berdampak pada
32
Bab 2 Sektor Keuangan
Struktur maturity aset perbankan memperlihatkan
adanya kecenderungan aset rupiah untuk bergerak ke
jangka waktu yang lebih panjang dengan posisi long yang
meningkat. Sebaliknya, untuk aset valas terjadi
kecenderungan untuk meningkatkan posisi jangka pendek
dengan peningkatan posisi short, sejalan dengan
kecenderungan apresiasi nilai tukar rupiah terhadap USD.
Ke depan perbankan harus berhati-hati terhadap potensi
peningkatan suku bunga sejalan dengan meningkatnya
pertumbuhan ekonomi yang biasanya juga diikuti oleh
peningkatan laju inflasi.
Dibandingkan dengan risiko pasar yang lain, risiko
suku bunga relatif lebih besar. Hal ini ditunjukkan oleh
hasil stress test bahwa CAR industri perbankan berpotensi
turun sekitar 100 bps bila terjadi penurunan suku bunga
sampai dengan 5%.Namun, jika suku bunga meningkat
4% atau lebih, akan terdapat bank yang CARnya turun
menjadi di bawah 8%.
menurunnya tekanan risiko pasar perbankan selama
semester II 2009. Dengan kondisi perekonomian ke depan
yang diperkirakan akan semakin membaik, risiko pasar
perbankan diharapkan akan semakin terkendali.
Sejak Agustus 2009, BI rate stabil sebesar 6,5% yang
merupakan level terendah sejak diperkenalkannya rate
tersebut pada Juli 2005. BI rate yang rendah diikuti pula
oleh penurunan suku bunga perbankan, walaupun dengan
akselerasi yang berbeda. Secara umum, suku bunga yang
stabil akan mengurangi risiko pasar perbankan. Dengan
struktur maturity yang cenderung liability sensitive pada
jangka pendek dan asset sensitive pada jangka panjang,
perbankan lebih rentan terhadap risiko kenaikan suku
bunga. Oleh karena itu, trend penurunan suku bunga
akhir-akhir ini membuat tekanan risiko suku bunga
terhadap perbankan menjadi semakin rendah.
Grafik 2.25Maturity Profile Rupiah
Grafik 2.27Stress Test Risiko Suku Bunga
Grafik 2.26Maturity Profile Valas
T Rp
Jun08 Des08
Jun09 Des09
(600)
(400)
(200)
0
200
400
600
sd 1 bln 1 - 3 bln 3 - 6 bln 6 - 12 bln > 12 bln
Billion USD
(15)
(10)
(5)
0
5
10
Jun08 Des08
Jun09 Des09
sd 1 bln 1 - 3 bln 3 - 6 bln 6 - 12 bln > 12 bln
- 100 bps
15,00
16,00
17,00
18,00
19,00
CAR awal Shock 1% Shock 2% Shock 3% Shock 4% Shock 5%
%
Sementara itu, risiko nilai tukar industri perbankan
juga relatif terjaga. Apresiasi nilai tukar rupiah terhadap
USD yang terjadi selama semester laporan membuat
perbankan cenderung memelihara posisi long sebagai
antisipasi terhadap kemungkinan depresiasi nilai tukar
rupiah ke depan. Risiko nilai tukar akan meningkat apabila
bank-bank memiliki posisi short pada saat rupiah
mengalami depresiasi. Upaya mitigasi risiko nilai tukar yang
33
Bab 2 Sektor Keuangan
perbaikan harga SUN. Selama semester II 2009, Indeks
IDMA menunjukkan kenaikan harga SUN sebesar 4,02%
menjadi 94,33. Disisi lain, eksposur bank terhadap SUN
portofolio trading juga relatif rendah, hanya sebesar 4,6%
dari total SUN perbankan. Rendahnya risiko pasar yang
terkait harga SUN portofolio trading terlihat dari stress test
yang menunjukkan bahwa secara umum perbankan masih
mampu untuk mengatasi risiko penurunan harga SUN
sampai dengan 25% yang berpotensi menurunkan CAR
perbankan sebesar 10 bps. Dengan kata lain, apabila harga
SUN turun lebih dari 25%, akan ada bank yang CARnya
turun menjadi di bawah 8%. Pembatasan kepemilikan SUN
portofolio trading merupakan langkah mitigasi risiko yang
dilakukan bank untuk menghindari kerugian karena risiko
penurunan harga SUN.
dilakukan bank adalah dengan membatasi penempatan
dalam valas seperti tercermin dari rasio agregat Posisi
Devisa Netto (PDN) industri perbankan yang berada
dibawah 5%, jauh di bawah batas ketentuan maksimum
20%.
Grafik 2.28Net Open Posistion (Overall)
%
0
4
8
12
BUSN Campuran BPD Persero Asing SELURUH
Des07 Des08
Jun09 Des09
Dengan demikian, secara umum industri perbankan
memiliki risiko nilai tukar yang relatif rendah. Hal itu juga
diperkuat oleh hasil stress test risiko nilai tukar yang
menunjukkan bahwa depresiasi nilai tukar rupiah sebesar
Rp5.000 malah berpotensi meningkatkan CAR industri
perbankan sebesar 1,5 bps sejalan dengan kecenderungan
perbankan memelihara PDN dengan posisi long.....
Grafik 2.29Stress Test Risiko Nilai Tukar
Selanjutnya, risiko pasar yang disebabkan penurunan
harga SUN, yang mendominasi surat-surat berharga yang
dipegang bank, relatif menurun seiring dengan trend
Grafik 2.30Pangsa SUN
%
0
10
20
30
40
50
60
HTM AFS Trading
Des07Des08Des'0944,4%
45,7%
9,9%
56,93%
36,91%
6,16%
49,2%46,2%
4,6%
Grafik 2.31Stress Test Risiko Penurunan Harga SUN
- 10 bps
15,00
16,00
17,00
18,00
19,00
%
CAR awal Shock 5% Shock10%
Shock15%
Shock20%
Shock25%
+1.5 bps
%
15,00
16,00
17,00
18,00
19,00
CAR awal Shock1000
Shock2000
Shock3000
Shock4000
Shock5000
34
Bab 2 Sektor Keuangan
Walaupun laba meningkat, ROA turun tipis dari 2,7%
pada akhir semester I menjadi 2,6% pada akhir semester
II 2009. Hal ini karena tambahan keuntungan yang
dihasilkan relatif lebih kecil dibandingkan kenaikan aset
selama periode tersebut. Sementara itu dari sisi efisiensi
usaha, sepanjang semester II 2009 hanya sedikit perbaikan,
terlihat dari angka Rasio Biaya Operasional Pendapatan
Operasional (BOPO) yang turun tipis dari 82,2% (Juni 2009)
menjadi 81,6% (Desember 2009).
2.3.4. Profitabilitas dan Permodalan
Profitabilitas
Meskipun selama 2009 kredit mengalami
perlambatan pertumbuhan, hal itu tidak mengurangi
kemampuan bank menghasilkan profit, bahkan lebih tinggi
dibandingkan dengan laba yang berhasil diperoleh pada
tahun 2008. Perbankan juga berhasil menekan dampak
risiko, terutama risiko kredit, yang sempat meningkat
sampai dengan pertengahan 2009. Salah satu faktor yang
tampaknya mendorong peningkatan profitabilitas adalah
upaya bank untuk memperlebar spread ditengah tren
penurunan BI rate. Upaya memperlebar spread itu menjadi
semakin mudah dilakukan setelah adanya kesepakatan
sejumlah bank terutama bank besar pada bulan Agustus
2009 untuk menurunkan suku bunga simpanan agar
mendekati BI rate. Meskipun tujuan akhir kesepakatan
tersebut adalah untuk mendorong pertumbuhan kredit,
namun menjelang tujuan akhir itu tercapai, perbankan
telah menikmati dampak positifnya dari sisi kenaikan
profitabilitas.
Sejalan dengan itu, selama semester II 2009
perbankan berhasil membukukan laba bersih setelah
pajak sebesar Rp21,9 triliun. Pencapaian ini meningkat
secara signifikan (79,6%) dibandingkan periode yang
sama tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp12,2 triliun.
Dengan demikian, laba bersih perbankan selama tahun
2009 tercatat sebesar Rp45,2 triliun atau naik 47,7%
dibandingkan tahun 2008.
Grafik 2.32ROA per Kelompok Bank
%
ROA Des-08 ROA Des-09
0
1
2
3
4
5
Persero SwastaDevisa
Swasta NonDevisa
BPD KCBA Campuran
Grafik 2.33BOPO per Kelompok Bank
%
0
20
40
60
80
100
Persero SwastaDevisa
Swasta NonDevisa
BPD KCBA Campuran
BOPO Des-08 BOPO Des-09
Sumber utama laba perbankan adalah laba
operasional, khususnya yang berasal dari pendapatan
bunga. Selama semester laporan, industri perbankan
secara rata-rata berhasil mencatatkan Net Interest Income
L/R Operasional 17,7 12,2 29,9 18,8 21,1 39,9
L/R Non Operasional 7,2 11,0 18,3 12,7 9,2 21,9
L/R Sebelum Pajak 24,9 23,3 48,2 31,5 30,3 61,8
L/R Setelah Pajak 18,4 12,2 30,6 23,3 21,9 45,2
Tabel 2.1Perkembangan Profitabilitas Perbankan
Sm-I Sm-II Total Sm-I Sm-II TotalRp T
2008 2009
35
Bab 2 Sektor Keuangan
(NII) sebesar Rp11,0 triliun per bulan atau meningkat
dibandingkan semester sebelumnya dengan rata-rata
sebesar Rp10,6 triliun per bulan. Diantara pendapatan
bunga, pendapatan bunga kredit masih memegang
pangsa yang terbesar dan cenderung meningkat. Per
Desember 2009 pangsa pendapatan bunga kredit
mencapai 75,08% dari total pendapatan bunga bank, atau
meningkat dibandingkan posisi Juni 2009 sebesar 72,7%.
Mengingat pertumbuhan kredit justru menurun, maka
peningkatan peranan pendapatan bunga kredit tampaknya
lebih karena pangsa sumber pendapatan bunga lainnya
(bunga penempatan pada BI, bunga SSB, dan bunga
lainnya) mengalami penurunan.
kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio atau CAR)
perbankan sepanjang semester II 2009 sebesar 17,3%,
atau turun tipis dibandingkan rata-rata CAR semester
sebelumnya yang mencapai 17,5%. Penurunan tipis rasio
permodalan bank pada semester laporan disebabkan oleh
peningkatan Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR)
yang lebih besar dibandingkan dengan peningkatan modal
bank. Dari sisi modal, terdapat kenaikan sebesar 8,7%
yang bersumber dari peningkatan modal inti (7,8%) seiring
dengan kenaikan laba perbankan. Sementara, dari sisi
ATMR terjadi peningkatan sebesar 8,4% yang berasal dari
kenaikan ATMR kredit seiring mulai positifnya
pertumbuhan kredit menjelang akhir tahun 2009.
Grafik 2.35Pangsa Pendapatan Bunga Bank
Grafik 2.36Modal, ATMR, dan CAR
Grafik 2.34L/R Bulanan
2009
Rp T
-2
0
2
4
6
8
Jan Mar Mei Jul Sep Nov
L/R Operasional L/R Non Operasional L/R Setelah Pajak
%
-
20
40
60
80
Jun 09 Sept 09 Des 09
BISSBKREDITLAINNYA
72,70 73,9875,08
8,87 8,19 7,754,87 4,73 4,60
13,56 13,11 12,57
Permodalan
Hingga akhir tahun 2009 perbankan mampu
menjaga permodalan dengan cukup baik. Rata-rata rasio
%Rp T
-
400
800
1.200
1.600
2.000
15
16
17
18
Des Mar Jun Sep Des2009
Modal ATMR CAR (kanan)
Dari sisi kelompok bank terlihat bahwa CAR yang
lebih tinggi dipelihara oleh kelompok Kantor Cabang Bank
Asing (KCBA) dan bank campuran, diikuti oleh kelompok
bank swasta non devisa. Sementara itu, CAR yang lebih
rendah terlihat pada kelompok bank Persero. Kondisi ini
antara lain karena selama 2009, peningkatan kredit lebih
banyak dilakukan oleh kelompok bank Persero, sementara
KCBA dan bank campuran lebih memilih untuk
mengurangi pertumbuhan kredit sejalan dengan krisis
global yang dihadapi kantor pusat atau bank induknya di
luar negeri.
36
Bab 2 Sektor Keuangan
yang telah dikemukakan sebelumnya, juga telah dilakukan
integrated stress test, interbank stress test, dan macro
credit risk stress test.
Integrated Stress Test
Dengan rasio permodalan yang relatif tinggi, secara
umum perbankan Indonesia masih cukup mampu
menghadapi peningkatan tekanan risiko ke depan. Hal ini
tercermin dari hasil integrated stress test menggunakan
skenario 5 yang cukup berat (penurunan setiap
kolektibilitas kredit masing-masing 50%, penurunan harga
SUN 25%, peningkatan suku bunga 3% dan depresiasi
rupiah sebesar Rp5000), CAR agregat industri perbankan
Indonesia diperkirakan masih berada di atas 16%.
Meskipun demikian, secara individu terdapat beberapa
bank yang memiliki potensi untuk mengalami tekanan
pada beberapa skenario tertentu. Untuk menghindari hal
tersebut, peranan manajemen risiko bank menjadi penting
untuk melakukan berbagai langkah antisipasi dan mitigasi
risiko sehingga kerugian dapat dihindarkan.
Grafik 2.37CAR Per Kelompok Bank
Grafik 2.38CAR Hasil Integrated Stress Test
Sementara itu, terkait dengan ketentuan yang
mensyaratkan modal inti bank umum minimum sebesar
Rp100 miliar pada akhir 2010, dapat dikemukakan bahwa
pada akhir semester II 2009, terdapat 11 bank dengan
modal inti di bawah persyaratan minimum tersebut.
Namun, penting dicatat bahwa jumlah bank dengan modal
inti di bawah Rp100 miliar terus menurun dibandingkan
semester sebelumnya yang mencapai 15 bank.
Berdasarkan pengalaman pemenuhan modal inti minimum
sebesar Rp80 miliar pada tahun 2008, diperkirakan pada
akhir 2010 seluruh bank umum akan mampu memenuhi
ketentuan modal inti minimum sebesar Rp100 miliar
tersebut.
Ke depan, perlu diwaspadai peningkatan risiko yang
dapat menekan permodalan bank. Untuk mengetahui
seberapa besar tekanan risiko terhadap permodalan bank
telah dilakukan beberapa jenis stess test. Selain stress test
yang bersifat sensitivity analysis untuk risiko kredit dan
risiko pasar (suku bunga, nilai tukar dan harga SUN) seperti
%
CAR Des-08 CAR Des-09
0
7
14
20
28
35
Persero SwastaDevisa
Swasta NonDevisa
BPD KCBA Campuran
Tabel 2.2Skenario Integrated Stress Test
Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5
Penurunan Kolektibilitas Kredit 10% 20% 30% 40% 50%Penurunan Harga SUN 20% 20% 25% 25% 25%Peningkatan Sk Bunga 1,0% 1,5% 2,0% 2,5% 3,0%Depresiasi IDR 3000 3000 4000 5000 5000
%
15,0
15,5
16,0
16,5
17,0
17,5
18,0
18,5
Awal Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3 Skenario 4 Skenario 5
17,8%
17,4%17,2%
17,0%16,7%
16,5%
37
Bab 2 Sektor Keuangan
dan telah mengalami beberapa kali review dalam rangka
pengembangan. Bahkan dalam Financial Sector
Assessement Program (FSAP), macro credit risk stress test
ini termasuk salah satu aspek yang juga direview.
Perkembangan terakhir, dalam kerangka FSAP, telah
dikembangkan suatu model dynamic panel data
menggunakan data kuartalan dari 122 bank selama
periode 1995-2009 (s.d September). Hasil estimasi
menunjukkan bahwa risiko kredit perbankan Indonesia
secara signifikan dipengaruhi oleh pertumbuhan riil GDP,
real effective exchange rate, dan riil BI rate.
2.4. LEMBAGA KEUANGAN BUKAN BANK DAN
PASAR MODAL
2.4.1. Perusahaan Pembiayaan
Sebagaimana diketahui, Perusahaan Pembiayaan (PP)
merupakan salah satu jenis lembaga keuangan bukan bank
yang berfungsi melakukan pembiayaan melalui berbagai
jenis pembiayaan, antara lain pembiayaan konsumen, sewa
guna usaha, anjak piutang dan kartu kredit.
Rebound pasar keuangan dan cukup baiknya
pertumbuhan perekonomian domestik pada semester II
2009 mampu mendorong ekspansi pembiayaan oleh PP
yang sempat terkontraksi pada semester sebelumnya.
Selama semester laporan, total aset PP naik sebesar 7,81%
menjadi Rp174,44 triliun. Sementara, kegiatan
pembiayaan PP naik sebesar 8,06% menjadi Rp142,54
Grafik 2.39Interbank Stress Test
Interbank stress test
Interbank stress test ditujukan untuk menilai dampak
contagion risk karena adanya transaksi antar bank.
Kegagalan suatu bank dapat berdampak pada bank lain
sepanjang bank-bank tersebut saling bertransaksi dalam
jumlah signifikan sehingga kegagalan bayar oleh bank
peminjam dapat menimbulkan kerugian dan selanjutnya
menekan permodalan dari bank yang memberikan
pinjaman. Dua metode yang sering digunakan adalah
single failure method dan multiple failure method.
Menggunakan data per akhir Desember 2009, hasil
interbank stress testing berdasarkan single failure method
menunjukkan terdapat 8 bank yang akan menjadi pemicu
contagion risk. Kegagalan bank-bank ini berpotensi
membuat rasio permodalan (CAR) 10 bank lainnya akan
menurun menjadi di bawah 8%. Sementara itu,
berdasarkan multiple failure method, hanya 2 bank yang
menjadi pemicu, sedangkan dampaknya berpotensi
mengakibatkan CAR 8 bank lain akan tertekan menjadi di
bawah 8%.
Bank
Pem
icu
Bank Kena Dampak
D E I J K L O P Q R
CFBAGHMN
Macro credit risk stress test
Macro credit risk stress test dilakukan untuk
mengetahui dampak perubahan berbagai faktor
makroekonomi terhadap risiko kredit (NPL) perbankan.
Stress test ini dilaksanakan secara rutin sejak tahun 2005
Grafik 2.40Kegiatan Usaha Perusahaan PembiayaanRp T
7,81%
8,06%
2,505%
8,35%
0,00
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
140,00
160,00
180,00
200,00
Aset Pembiayaan Pendanaan Modal
Des'08 Jun'09 Des'09
38
Bab 2 Sektor Keuangan
Grafik 2.41Komposisi Nominal Pembiayaan PP
triliun yang didukung oleh kenaikan pendanaan dan modal
masing-masing sebesar 2,55% dan 8,35%.
Kenaikan pembiayaan PP terutama pada kegiatan
pembiayaan konsumen yang pangsanya terhadap total
pembiayaan naik dari 62,34% (Juni 2009) menjadi 65,28%
(Desember 2009). Perkembangan tersebut meningkatkan
potensi risiko konsentrasi pembiayaan oleh PP. Hal ini pada
gilirannya akan mempengaruhi kinerja perbankan karena
sumber dana utama PP adalah pinjaman perbankan.
Grafik 2.42Sumber Dana Perusahaan Pembiayaan
Des'08 137,237 50,680 2,221 1,145 83,191Jun'09 131,905 46,655 2,005 1,012 82,234Des'09 142,539 46,528 2,027 930 93,054
Pembayaran (Dalam Miliar Rp)
0
20,000
40,000
60,000
80,000
100,000
120,000
140,000
160,000
TotalPembiayaan
Sewa GunaUsaha
AnjakPiutang
Kartu Kredit PembiayaanKonsumen
pangsa 65,28%naik 13,16%
pangsa 32,64%turun 0,27%
pangsa 1,42%naik1,12%
pangsa 0,65%turun8,07%
naik 8,06%
Meskipun perbankan merupakan sumber dana
utama pembiayaan PP, namun mulai terlihat adanya upaya
mencari alternatif sumber pembiayaan lain, terutama
melalui penerbitan obligasi. Selama semester II 2009,
sumber dana PP yang bersumber dari pinjaman perbankan
domestik hanya meningkat 8,74% menjadi Rp53,11 triliun,
sedangkan sumber dana pinjaman perbankan luar negeri
turun 7,16% menjadi Rp36,13 triliun. Sementara itu,
penerbitan obligasi oleh PP meningkat 18,28% menjadi
Rp13,60 triliun. Dalam kaitan ini, tercatat 6 PP yang
menerbitkan obligasi yaitu: Astra Sedaya Finance, Federal
International Finance, Indomobil Finance Indonesia, Adira
Dinamika Mulfinance, Summit Oto Finance dan Oto
Multiartha yang seluruhnya melakukan pembiayaan
konsumen khususnya dalam rangka membiayai pembelian
kendaraan bermotor.
0
20,000
40,000
60,000
80,000
100,000
120,000
140,000
Pinjaman BankDomestik
Pinjaman BankLuar Negeri
Surat Berharga ygDiterbitkan
Total SumberDana*
Des'08
Jun'09
Des'09
18,28%
-- 7,16%
8,74%
* Total Sumber Dana: SSB, Pinjaman Subordinasi dn total Pinjaman Dalam dan Luar Negeri
2,55%
Dalam Miliar Rp
Sementara itu, selama semester II 2009 kinerja PP
meningkat cukup pesat terlihat pada kenaikan ROA dan
ROE sehingga kembali mendekati level pada akhir tahun
2008. Peningkatan kinerja terutama didukung kenaikan
penjualan kendaraan bermotor. Berdasarkan data dari
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia
(GAIKINDO), penjualan kendaraan bermotor tercatat
sebesar 483,548 unit pada tahun 2009 atau melebihi
target sebesar 7,5% atau 33,548 unit, dipicu oleh
tingginya penjualan sepeda motor pada bulan Agustus
dan Oktober 2009. Pada sisi lain, PP juga tetap mampu
mempertahankan efisiensi usaha sebagaimana terlihat
pada rasio BOPO yang stabil pada level sekitar 74%.
Asset 168,455 161,813 174,442Debt (pinjaman/Obligasi) 121,348 112,686 115,555Kewajiban 136,059 126,895 134,354Equity 32,395 34,918 40,088Profit Before Tax 8,818 5,010 10,421Profit After Tax 6,372 3,789 7,827ROA 0,05 0,03 0,06ROE 0,27 0,14 0,26BOPO 0,75 0,74 0,74Debt/Equity 3,75 3,23 2,88Kewajiban/Equity 4,20 3,63 3,35
Tabel 2.3Rasio-rasio Keuangan Perusahaan Pembiayaan
Des - 08 Jun - 09 Des - 09Dalam Rp Miliar
39
Bab 2 Sektor Keuangan
Dalam kaitannya dengan perbankan, pada akhir
tahun 2009 terdapat 14 PP yang terafiliasi dengan bank.
Dari 14 PP tersebut, 10 PP merupakan anak perusahaan
bank dengan penyertaan > 50%. Hampir seluruh kegiatan
usaha PP yang terafiliasi dengan bank terkonsentrasi pada
pembiayaan konsumen. Selama semester II 2009, dari 14
PP yang terafiliasi dengan bank, 4 PP mengalami kenaikan
nominal NPL, namun hanya 2 PP yang mengalami kenaikan
rasio NPL. Sementara itu, apabila dikaitkan dengan
perkembangan pembiayaan yang dilakukan oleh PP yang
terafiliasi dengan bank, terdapat 2 PP yang mengalami
pertumbuhan pembiayaan pesat yaitu masing-masing naik
sebesar 231,43% dan 202,41%. Namun demikian, rasio
NPL dan nominal NPL masing-masing PP tersebut
mengalami penurunan.
2.4.2. Perusahaan Asuransi
Perkembangan industri asuransi berkaitan erat
dengan kesadaran berasuransi masyarakat. Masih
rendahnya tingkat pendapatan menjadi faktor penting
yang menentukan kesadaran berasuransi. Secara umum,
kinerja industri asuransi di Indonesia meningkat. Namun,
dari sisi penetrasi tetap rendah.
Pertumbuhan pembiayaan PP pada semester II 2009
yang meningkat ternyata diikuti oleh kenaikan tipis
(0,18%) nominal NPL sehingga menjadi Rp2,83 triliun.
Namun demikian, dari sisi rasio NPL, terlihat penurunan
dari 2,05% (Juni 2009) menjadi 1,91% (Desember 2009).
Penurunan ini terutama didorong oleh kegiatan
pembiayaan anjak piutang yang mengalami penurunan
nominal NPL dan rasio NPL. Sementara itu, pesatnya
pertumbuhan kegiatan pembiayaan konsumen juga diikuti
oleh peningkatan nominal NPL, meskipun dari sisi rasio
NPL mengalami penurunan dari 2,10% (Juni 2009) menjadi
2,01% (Desember 2009).
Tabel 2.5Perkembangan NPL Perusahaan Pembiayaan
Sewa Guna Usaha 716,35 743,03 730,03Anjak Piutang 262,41 247,82 126,34Kartu Kredit 43,02 44,08 40,84Pembiayaan Konsumen 1575,63 1789,27 1932,14Total Pembiayaan 2597,41 2824,20 2829,34
% NPL% NPL% NPL% NPL% NPL Des - 08Des - 08Des - 08Des - 08Des - 08 Jun - 09Jun - 09Jun - 09Jun - 09Jun - 09 Des - 09Des - 09Des - 09Des - 09Des - 09
Sewa Guna Usaha 1,39% 1,52% 1,50%Anjak Piutang 11,50% 11,86% 5,93%Kartu Kredit 3,41% 3,91% 3,93%Pembiayaan Konsumen 1,82% 2,10% 2,01%Total Pembiayaan 1,83% 2,05% 2,05%
Tabel 2.4Perkembangan NPL Perusahaan Pembiayaan
Des - 08 Jun - 09 Des - 09Nominal NPL Dlm Rp Miliar
% NPL
Jun»09 Des»09 Sem II 09
Perubahan Nominal NPL (Dalam Ribuan Rp)
Sewa GunaUsaha
AnjakPiutang Kartu Kredit Pembiayaan
Konsumen
PertumbuhanKegiatan
Pembiayaan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
0,14%
0,00%
0,00%
0,00%
5,61%
0,03%
0,48%
0,00%
0,01%
0,07%
28,60%
1,70%
0,67%
88,67%
0,10%
0,06%
7,58%
0,06%
3,90%
0,00%
0,37%
0,00%
0,01%
0,05%
19,81
1,51%
0,55%
88,67%
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
8.653
-
0*
-8.003.813
-
0
-
-
-
-
-
-
-
0
-
-
-
-
0
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
34,47%
231,43%
12,61%
-2,91%
-13,50%
27,33%
-0,55%
9,61%
9,27%
22,14%
202,41%
-9,15%
10,53%
28,73%
*penurunan %NPL dikarenakan kenaikan pembiayaan
-46.748
-46.748
-7.489.613
-361.946
777.232
56.210.684
-354.513
-343.042
8.653
15.446
-
84.019
3.154.369
0
40
Bab 2 Sektor Keuangan
Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia termasuk
negara yang memiliki persentase penetrasi asuransi paling
rendah. Berdasarkan data Business Monitor International
(BMI), persentase penetrasi industri asuransi umum dan
asuransi jiwa di Indonesia masing-masing sebesar 0,54%
dan 1,18%, atau hampir sama dengan angka persentase
penetrasi industri asuransi di Filipina. Di kawasan Asia
Tenggara, persentase penetrasi asuransi jiwa secara umum
lebih tinggi dibandingkan dengan persentase penetrasi
asuransi umum (asuransi kerugian dan reasuransi). Hal
tersebut terutama karena sejak tahun 2003 berkembang
produk inovasi asuransi jiwa yang mengaitkan produk
asuransi konvensional (pertanggungan) dengan produk
investasi (linked products) sehingga semakin menarik minat
masyarakat dibandingkan asuransi umum.
asuransi yang melambat dari masing-masing sekitar
30,8%, 40,0% dan 32,2% pada tahun 2007 menjadi
masing-masing menjadi 6,5%, 16,0% dan 4,5% pada
tahun 2008. Disamping itu, pada tahun 2008 klaim yang
dibayar meningkat pesat yaitu 41,6% dibandingkan
dengan sebesar 27,8% pada tahun sebelumnya.
Akibatnya, rasio klaim yang dibayar terhadap gross premi
meningkat dari sebesar 50% (2007) menjadi sekitar 61%
(2008).
Grafik 2.46Kinerja Industri Asuransi: Klaim - Premi
Grafik 2.44Penetrasi Asuransi Jiwa Beberapa Negara
Grafik 2.45Kinerja Industri Asuransi: Aset - Gross Premi - Investasi
Grafik 2.43Penetrasi Asuransi Umum Beberapa Negara
Australia
China
Hongkong
Korea Selatan
Indonesia
Malaysia
Philipina
Singapura
Thailand
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Australia
China
Hongkong
Korea Selatan
Indonesia
Malaysia
Philipina
Singapura
Thailand
0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 4,5 5
Krisis global berdampak negatif terhadap kinerja
industri asuransi Indonesia. Hal itu terlihat dari
pertumbuhan aset, gross premi dan investasi industri
0
50
100
150
200
250
Aset,trl Rp Gross Premi,trl Rp Investasi,trl Rp
2006 2007 2008
0
20
40
60
80
100
Klaim dibayar,trl Rp Gross Premi,trl Rp Klaim dibayar/GrossPremium,%
2006 2007 2008
Melambatnya perkembangan kinerja industri
asuransi terutama karena melambatnya kinerja asuransi
jiwa yang pangsanya mendominasi industri asuransi. Pada
tahun 2008, aset asuransi jiwa hanya meningkat 0,2%
atau jauh melambat dibandingkan dengan kenaikan pada
tahun sebelumnya sebesar 43,8%. Selain itu, kegiatan
investasi asuransi jiwa selama 2008 juga mengalami
41
Bab 2 Sektor Keuangan
penurunan yaitu sebesar 1,4%. Meskipun aset hanya
meningkat tipis dan investasi mengalami penurunan,
namun klaim yang dibayar oleh asuransi jiwa pada tahun
2008 meningkat tajam sekitar 60%. Akibatnya, pada
tahun 2008, profit asuransi jiwa mengalami penurunan
sebesar 68,4%, padahal tahun sebelumnya mengalami
peningkatan sebesar 25,8%. Dengan perkembangan
tersebut, modal asuransi jiwa turun sebesar 24,2% (2008)
setelah naik sebesar 22,0% (2007).
Grafik 2.47Kinerja Asuransi Jiwa - Triliun Rp
Grafik 2.48Arus Kas PP Patungan
meningkat 19,4% atau lebih tinggi dari tahun 2007 yang
meningkat 17,8%.
Namun demikian, krisis global tetap berdampak
terhadap pendapatan investasi yang selanjutnya
mendorong perlambatan kenaikan profit. Pada tahun
2008, kenaikan profit asuransi kerugian dan reasuransi
hanya sebesar 9,4%, padahal pada tahun 2007
kenaikannya mencapai 25,5%. Akibatnya, modal hanya
meningkat 6,8% selama 2008, atau jauh lebih rendah
dibandingkan kenaikan modal pada tahun 2007 sebesar
21,2%.
2.4.3. Pasar Modal
Portfolio Investasi Asing
Selama semester II 2009, minat investor asing untuk
melakukan penanaman jangka pendek pada aset
keuangan rupiah tetap tinggi. Hal ini terlihat dari
meningkat pesatnya inflows asing melalui penanaman
pada SBI, SUN dan saham dengan jumlah total sebesar
Rp52,38 triliun, padahal pada semester I 2009 hanya
berjumlah Rp15,85 triliun. Peningkatan terutama terdapat
pada SBI dan SUN yang masing-masing naik sebesar
Rp23,49 triliun dan Rp19,78 triliun. Sementara itu, investor
asing juga cukup aktif bertransaksi saham di bursa
domestik sehingga menimbulkan net beli saham sebesar
Rp9,11 triliun.
Aset Investasi Modal Profit
2006 2007 2008
0
20
40
60
80
100
120
0
20
40
60
80
100 2006 2007 2008
Jiwa Kerugian Reasuransi ProgramAsuransi Sos
danJamsostek
AsuransiPNS,TNI,
POLRI
Sebaliknya, kinerja asuransi umum (kerugian dan
reasuransi) tetap meningkat cukup besar. Hal itu antara
lain terlihat dari perkembangan aset dan investasi yang
tetap mengalami kenaikan. Pada tahun 2008 peningkatan
aset asuransi kerugian dan reasuransi hanya sedikit
melambat yaitu 16,8% dibandingkan tahun sebelumnya
sebesar 19,2%. Sementara kegiatan investasinya
2006 2007 2008
Aset Investasi Modal Profit0
5
10
15
20
25
30
35
Grafik 2.49Kinerja Asuransi Kerugian dan Reasuransi - Triliun Rp
42
Bab 2 Sektor Keuangan
ekonomi dan rendahnya inflasi domestik, disamping imbas
positif rebound bursa global dan regional.
Sejak akhir semester I 2009, pasar keuangan global
dan regional mengindikasikan pemulihan yang terutama
dipicu oleh adanya rincian stimulus fiskal dan paket
penyelamatan sektor perbankan Amerika Serikat (AS).
Selanjutnya, pada semester II 2009, optimisme investor
terhadap pemulihan pasar keuangan global meningkat.
Hal itu antara lain didukung oleh sentimen positif
membaiknya kinerja keuangan beberapa emiten global
(seperti JPMorganChase dan Intel), serta menguatnya data
fundamental ekonomi AS, antara lain berupa tren kenaikan
produktivitas tenaga kerja non pertanian, kenaikan
penjualan industrial ritel, kenaikan indeks manufaktur dan
menguatnya indeks harga produsen.
Di bursa domestik, penguatan IHSG didukung oleh
sentimen positif kenaikan GDP (yoy) domestik dari 4,04%
pada triwulan II menjadi 4,21% pada triwulan III 2009,
dan kenaikan sovereign rating Indonesia oleh Moody»s
menjadi Ba2. Penguatan IHSG tersebut kemudian disertai
turunnya potensi risiko likuiditas pasar sebagaimana
tercermin pada turunnya volatilitas IHSG dari 29,24 (Juni
2009) menjadi 18,45 (Desember 2009). Namun,
dibandingkan dengan indeks bursa regional, IHSG tetap
berfluktuasi moderat sehingga mendukung minat investor
untuk terus melakukan penanaman.
Dengan perkembangan tersebut, porsi kepemilikan
asing pada SBI naik dari 9,01% (Juni 2009) menjadi
17,29% (Desember 2009). Sementara, porsi kepemilikan
asing pada SUN naik dari 16,70% menjadi 19,49%.
Selanjutnya, porsi saham asing meningkat dari 24,33%
menjadi 26,01% pada periode yang sama. Terjadinya
inflows berjangka pendek ini berkontribusi pada
penguatan nilai rupiah yang selama semester II 2009
menguat sekitar 8,5%.
Grafik 2.51Inflows Asing dan Pertumbuhan :
Nilai Tukar Rp/US$, IDMA Indeks, IHSG
Grafik 2.50Penanaman Investor Asing: SBI - SUN - Saham
Tabel 2.6Pertumbuhan Indeks Bursa Regional
Rp T
-18,00
-14,00
-10,00
-6,00
-2,00
2,00
6,00
10,00
14,00
18,00SBI SUN SAHAM
2008 2009Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4
-10,00
-5,00
0,00
5,00
10,00
15,00
20,00
25,00
Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des2008 2009
-15
-10
-5
0
5
10
15
20
Rp/US$ (%) IDMA Indeks (%)IHSG (%) TOTAL INFLOWS (trlRp)
Pasar Saham
Pada semester II 2009, IHSG berlanjut bullish yang
ditandai dengan menguatnya IHSG 25,04% menjadi
2.534,36 yang didukung oleh cukup baiknya pertumbuhan
Pertumbuhan
Des - 08 Jun - 09 Des - 09 Sem II»09 Des08 - Des09
IHSG 1.355,41 2.026,78 2.534,36 25,04% 86,98%FSSTI 1.761,56 2.333,14 2.897,62 24,19% 64,49%SET 449,96 597,48 734,54 22,94% 63,25%KLCI 876,75 1.075,24 1.272,78 18,37% 45,17%PCOMP 1.872,85 2.437,99 3.052,68 25,21% 63,00%NKY 8.859,56 9.958,44 10.546,44 5,90% 19,04%Hang Seng 14.387,48 18.378,73 21.872,50 19,01% 52,02%KOSPI 1.124,47 1.390,07 1.682,96 69,09% 49,65%NYA 5.757,05 4.249,21 7.184,96 69,09% 24,80%UKX 4.434,17 5.905,15 5.412,88 -8,34% 22,07%DJIA 8.776,39 8.447,00 10.428,05 23,45% 18,82%
43
Bab 2 Sektor Keuangan
Grafik 2.52Perkembangan IHSG & Indeks Global Regional
(Di indekskan dengan 31 Desember 2005)
Secara sektoral, penguatan indeks terutama terdapat
pada saham-saham sektor aneka industri, industri dasar
dan konsumsi yang masing-masing meningkat 44,51%,
41,99% dan 35,42%. Indikasi mulai membaiknya
perekonomian AS mendorong positifnya gambaran
prospek ekspor Asia. Sementara itu, meningkatnya harga
minyak mencapai USD81,04 per barel pada Oktober 2009
dari level terendah selama setahun yaitu USD33,98 per
barel pada Februari 2009 turut menguatkan optimisme
investor terhadap saham-saham sektor pertambangan.
Penguatan saham sektor industri dasar terutama dipicu
oleh bencana alam gempa bumi di dalam negeri yang
mendorong kenaikan permintaan barang industri dasar.
Rendahnya inflasi dan stabilnya suku bunga selama
semester II 2009 berdampak positif terhadap prospek
kinerja perbankan domestik. Sejalan dengan itu, pada
tahun 2009 sebagian besar harga saham-saham
perbankan domestik menguat. Diantara 14 saham
perbankan, saham-saham perbankan yang harganya
menguat selama semester laporan adalah BCA, CIMB
Niaga, Permata, Panin, Mandiri, Bukopin, BRI, BNI dan
OCBC NISP.
0,20
0,70
1,20
1,70
2,20
Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des2008 2009
IHSG FSSTI SET KLCIPCOMP NKY Hang Seng KOSPI
FTSE NYA DJIA
%
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Indonesia Malaysia
Jepang Singapore
Thailand Hongkong
Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des2008 2009
Grafik 2.53Volatilitas Beberapa Indeks Bursa Asia
Tabel 2.7Pertumbuhan Indeks Sektoral
Grafik 2.54% Perubahan Harga Saham Bank
%
-40,00
-20,00
0,00
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
140,00
160,00
Sem II'09 Sem I'09
BCAMega
NiagaPermata
PaninBII
MandiriBukopin
BRIDanamon
BNINISP
Namun demikian, selama tahun 2009 peranan pasar
saham dalam pembiayaan sektor riil tetap rendah. Di pasar
saham, penanaman yang dilakukan investor tampaknya
lebih dalam rangka memperoleh capital gain jangka
Pertumbuhan
Des - 08 Jun - 09 Des - 09 Sem II»09 Des-08 - Des-09
IHSG 1.355,41 2.026,78 2.534,36 25,04% 86,98%
Indeks Sektor Keuangan 176,33 243,66 301,42 23,71% 70,94%
Indeks Sektor Pertanian 918,77 1.527,00 301,42 -80,26% -67,19%
Indeks Sektor Industri Dasar 134,99 192,92 273,93 41,99% 102,93%
Indeks Sektor Konsumsi 326,84 495,73 671,31 35,42% 105,39%
Indeks Sektor Properti 103,49 144,79 146,80 1,39% 41,85%
Indeks Sektor Pertambangan 877,68 1.848,54 2.203,48 19,20% 151,06%
Indeks Sektor Infrastruktur 490,35 610,53 728,53 19,33% 48,57%
Indeks Sektor Perdagangan 148,33 217,84 275,76 26,59% 85,91%
Indeks Sektor Aneka Industri 214,94 416,21 601,47 44,51% 179,84%
44
Bab 2 Sektor Keuangan
pendek. Secara umum, pertumbuhan pembiayaan melalui
pasar saham adalah rendah, terlihat dari nilai emisi saham
yang hanya naik 2% menjadi Rp419,65 triliun selama
semester II 2009, sedangkan selama semester I hanya naik
1%. Sementara itu, jumlah perusahaan yang melakukan
emisi saham hanya bertambah 12 menjadi 497
perusahaan. Kenaikan indeks harga saham lebih banyak
didukung oleh aktifnya transaksi oleh nasabah dalam
rangka memperoleh capital gain jangka pendek.
Akibatnya, kapitalisasi pasar meningkat pesat yaitu sebesar
87,64% selama tahun 2009.
baiknya outlook ekonomi domestik yang disertai kenaikan
sovereign rating Indonesia oleh Moody»s menjadi Ba2
membentuk sentimen positif yang mendukung
menguatnya perkembangan harga SUN seri FR untuk
seluruh tenor.
Secara rata-rata, harga SUN mencapai level tertinggi
pada akhir semester II 2009 yaitu 105,79 (14 Desember)
dan menyentuh level terendah pada semester I 2009 yaitu
90,26 (3 Maret). Harga rata-rata bulanan SUN tenor
menengah (5-7 tahun) dan panjang (> 7 tahun) menguat
paling signifikan yaitu masing-masing sebesar 1.362 bps
dan 1.632 bps, sementara SUN tenor pendek (< 5 tahun)
hanya menguat sebesar 407 bps.
Grafik 2.57Harga Rata-rata SUN Bulanan
Grafik 2.56Perkembangan Harga SUN Benchmark Seri FR
Grafik 2.55Nilai kapitalisasi & Nilai Emisi
(Dalam Triliun Rp)
0
500
1000
1500
2000
2500N Kap (BEI)
N Emisi
IHSG (RHS)
0,00
500,00
1000,00
1500,00
2000,00
2500,00
3000,00
Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des2008 2009
Pasar Surat Utang Negara
Pada semester II 2009 IDMA indeks (indeks harga
SUN) naik sekitar 4,02% mencapai 94,33. Ekspektasi akan
stabilnya suku bunga domestik ke depan dan cukup
70
75
80
85
90
95
100
105
110
115
FR0030 FR0051 FR0036
FR0044 FR0047 FR0050
2009
25Jun
2Jul
9Jul
16Jul
23Jul
30Jul
6Ags
13Ags
20Ags
27Ags
3Sep
10Sep
17Sep
24Sep
1Okt
8Okt
15Okt
22Okt
29Okt
5Nov
12Nov
19Nov
26Nov
3Des
10Des
17Des
24Des
31Des
60,00
70,00
80,00
90,00
100,00
110,00
120,00
Jangka Pendek < 5 tahun Jangka Menengah 5 s.d. 7 tahun
Jangka Panjang > 7 tahun Rata2x bulanan
2008 2009Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Melambatnya kenaikan harga SUN pada semester II
2009 terutama karena terbatasnya capital gain seiring
stabilnya suku bunga domestik. Stabilnya suku bunga
domestik juga membuat minat investor tetap bertahan
untuk bertransaksi SUN yang selanjutnya berdampak positif
terhadap likuiditas pasar. Hasil perhitungan Value at Risk
(VaR) menunjukkan bahwa pada semester II 2009 potensi
risiko likuiditas SUN untuk seluruh tenor menurun,
terutama untuk SUN tenor menengah dan panjang.
45
Bab 2 Sektor Keuangan
perbankan tetap sebagai investor utama SUN. Sementara
itu, dari segi tenor, likuiditas pasar SUN tetap
terkonsentrasi pada SUN jangka pendek.
Grafik 2.59Maturity Profile SUN (Des 2009)
Grafik 2.60Emisi dan Posisi Obligasi Korporasi
Grafik 2.58Yield 10 Tahun Surat Utang Pemerintah
Beberapa Negara
Dari segi likuiditas pasar, penerbitan SUN meningkat
10,66% menjadi Rp581,74 triliun. Seiring dengan
penerbitan tersebut, minat investor asing terhadap SUN
juga meningkat, terlihat dari kenaikan kepemilikan SUN
oleh investor asing sebesar 22,87% Pada sisi lain,
Tabel 2.8Perhitungan Var Menurut Tenor SUN
0.000
0.500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
3.500
4.000
4.500
Jangka Pendek
Jangka MenengahJangka Panjang
2009Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Tabel 2.9Kepemilikan SUN
Rp T
-
10
20
30
40
50
60Fixed RateVariable Rate
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022
2023
2024
2025
2026
2027
2028
2029
2030
2031
Sementara itu, turunnya suku bunga domestik hanya
sedikit mendorong penerbitan obligasi korporasi. Selama
semester II 2009 nilai emisi obligasi korporasi di pasar
modal meningkat sekitar 8,14% menjadi Rp175,33 miliar.
Sementara itu, nilai obligasi korporasi yang beredar
(outstanding) naik 10,14% menjadi Rp88,33 triliun. Secara
keseluruhan, pada tahun 2009 terdapat 27 emiten yang
menerbitkan obligasi korporasi dengan nilai Rp27,22
triliun. Namun, sebagian besar penerbitan obligasi
korporasi tersebut adalah dalam rangka refinancing (18
perusahaan), di samping untuk pendanaan perusahaan
pembiayaan (6 perusahaan).
(Emisi & Posisi Trl Rp) (Emiten)
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
176
177
178
179
180
181
182
Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des20092008
Emisi (LHS)Posisi (LHS)
Emiten (RHS)
Tenor
Jan 09 1.271 3.287 3.944Feb 09 1.282 3.331 4.026Mar 09 1.271 3.307 4.029Apr 09 1.218 3.232 3.913Mei 09 1.209 3.213 3.897Jun 09 1.197 3.196 3.916Jul 09 1.198 3.198 3.911Ags 09 1.192 3.198 3.903Sep 09 1.168 3.136 3.761Okt 09 0.654 1.659 2.591Nov 09 0.457 1.230 1.961Des 09 0.332 0.853 1.506
JangkaPendek
JangkaMenengah
JangkaPanjang
Perbankan 258,75 254,36 -4,39BI 23,01 22,5 -0,51Reksadana 33,11 45,22 12,11Asuransi 55,83 72,58 16,75Asing 87,61 108 20,39Dana Pensiun 32,98 37,5 4,52Sekuritas 0,53 0,46 -0,07Lainnya 33,87 41,12 7,25Total 525,69 581,74 56,05
Kepemilikan SBN (Nominal)
Rp T Des - 08 Des - 09 Change
46
Bab 2 Sektor Keuangan
Grafik 2.62Nilai Aktiva Bersih per Jenis Resadana - Triliun RpGrafik 2.61
Perkembangan Reksadana
Reksadana
Tren penurunan suku bunga domestik kembali
meningkatkan minat investor terhadap reksadana. Hal itu
tercermin pada meningkatnya jumlah reksadana dari 575
(Juni 2009) menjadi 610 (Desember 2009).
Di samping itu, peningkatan Nilai Aktiva Bersih (NAB)
reksadana terus berlanjut sehingga selama semester II 2009
tercatat kenaikan sebesar 18,40%. Kenaikan NAB
0,00
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
120,00
Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des550
560
570
580
590
600
610
620
2009
NAB, trl Rp Jumlah Saham/Unit-Miliar Jumlah Reksadana
40,00
35,00
30,00
25,00
20,00
15,00
10,00
5,00
0,00
Saham Ps. Uang Ps. Uang
Pendapatan Tetap Terproteksi IndeksETF-Saham ETF-Pendapatan Tetap Syariah
2009Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
terutama terdapat pada reksadana pasar uang dan
reksadana pendapatan tetap yang masing-masing
meningkat sebesar 51,74% dan 33,75% menjadi Rp5,22
triliun dan Rp18,31 triliun. Sementara itu, kinerja reksadana
Exchange Traded Funds-saham (ETF-saham) dan ETF-
pendapatan tetap yang relatif baru terlihat mengalami
penurunan.
47
Bab 2 Sektor Keuangan
Indikator Ketahanan Likuiditas PerbankanBoks 2.1
Isu mengenai ketahanan likuiditas perbankan
semakin sering dibahas terutama sejak terjadinya krisis
keuangan global tahun 2008. Krisis tersebut telah
menyebabkan mengetatnya likuiditas perbankan dalam
waktu singkat. Sebelumnya, tekanan terhadap
likuiditas dianggap terutama karena mismatch tenor
antara sisi sumber dana dengan sisi penggunaan dana
bank, sehingga strategi pengelolaan risiko likuiditas
cenderung fokus pada pemeliharaan likuiditas dalam
rangka mengantisipasi terjadinya mismatch tersebut.
Namun, krisis keuangan global memberikan
pelajaran berharga bahwa likuiditas bank bisa hilang
dengan segera karena jatuhnya nilai aset keuangan.
Oleh karena itu, di dunia internasional dewasa ini
sedang dikembangkan beberapa indikator ketahanan
likuiditas agar tidak hanya fokus terhadap mismatch
tenor, namun juga terhadap eksposur aset-aset
keuangan yang ada pada bank. Tulisan ini
memperlihatkan hasil uji coba penerapan indikator-
indikator tersebut pada perbankan di Indonesia.
Salah satu indikator yang sedang dikembangkan
adalah Core Funding Ratio (CFR). Indikator ini menilai
ketahanan likuiditas bank berdasarkan pangsa dari
sumber dana bank yang merupakan core funding yang
mencakup simpanan individual dan institusi
berdasarkan tenor terhadap total pendanaan bank
termasuk komitmen pinjaman antar bank. Formula
yang digunakan untuk perhitungan CFR sebagai
berikut:
Total deposito berjangka institusi dengan kelompok tenor tertentu + Total simpanan individu
Total Sumber Dana + 50% komitmen pinjaman antar bank
Tabel Boks 2.1.1Core Funding Ratio 14 Bank Besar
CFR 1 bln CFR 3 bln CFR 6 bln CFR 12 bln
BANK 1 0,73 0,68 0,65 0,47BANK 2 0,72 0,67 0,65 0,62BANK 3 0,55 0,50 0,47 0,39BANK 4 0,83 0,79 0,79 0,77BANK 5 0,64 0,59 0,58 0,55BANK 6 0,88 0,84 0,83 0,83BANK 7 0,70 0,67 0,66 0,65BANK 8 0,93 0,91 0,90 0,89BANK 9 0,69 0,61 0,58 0,56BANK 10 0,88 0,86 0,86 0,86BANK 11 0,73 0,72 0,72 0,72BANK 12 0,69 0,57 0,50 0,34BANK 13 0,60 0,59 0,59 0,58BANK 14 0,52 0,45 0,42 0,31
Berdasarkan formula tersebut di atas terlihat
bahwa CFR lebih menekankan ketahanan likuiditas
sisi sumber dana, dan belum mempertimbangkan
sebelumnya, hal itu terutama karena perhitungan CFR
tidak memperhitungkan eksposur aset-aset keuangan
bank. Untuk mengatasi permasalahan tersebut,
potensi risiko likuiditas yang terdapat pada eksposur
aset-aset keuangan bank.
Hasil uji coba perhitungan CFR menggunakan
data 14 bank besar di Indonesia menunjukkan bahwa
beberapa bank memiliki rasio sumber dana
mengendap lebih dari satu tahun dengan pangsa
melebihi 50% dari total sumber dana bank. Hal ini
mengindikasikan bahwa secara umum bank besar
memiliki sumber dana yang relatif stabil. Pada
beberapa bank besar, khususnya yang berperan
sebagai transaction banks, dana yang relatif stabil
terutama didukung oleh simpanan individu yang
relatif besar.
Namun demikian, angka CFR saja tentunya
belum dapat mengindikasikan ketahanan likuiditas
bank secara keseluruhan. Sebagaimana dikemukakan
48
Bab 2 Sektor Keuangan
Grafik Boks 2.1.1Core Funding Ratio 14 Bank Besar
0
0,2
0,4
0,6
0,8
1
rasio 1 bulan rasio 3 bulan rasio 6 bulan rasio 12 bulan
BANK 1 BANK 2 BANK 3 BANK 4 BANK 5
BANK 6 BANK 7 BANK 8 BANK 9 BANK 10BANK 11 BANK 12 BANK 13 BANK 14
dikembangkan indikator Net Stable Funding ratio
(NSFR) yang pada dasarnya mengidentifikasi
ketahanan likuiditas bank berdasarkan kemampuan
sumber dana yang berjangka waktu lebih panjang
(dana stabil) untuk mendanai eksposur bank pada
aset-aset keuangan termasuk yang bersifat kontinjen
yang bersumber dari kewajiban dan komitmen.
Berdasarkan pendekatan tersebut, formula untuk
perhitungan NSFR sebagai berikut:
Total Sumber Dana Jangka Panjang
Total Penanaman Pada Aset Keuangan
Menurut formula NSFR tersebut, yang
termasuk sumber dana jangka panjang adalah modal
dan kewajiban bank yang diharapkan akan stabil
sebagai sumber dana untuk paling tidak selama 1
tahun dalam kondisi stress. Dengan demikian,
sumber dana jangka panjang mencakup: (1) modal
(common stocks); (2) preferred stocks dengan jatuh
tempo 1 tahun; (3) kewajiban dengan jatuh waktu
lebih dari 1 tahun; dan (4) deposito berjangka
dengan tenor <1 tahun yang tidak dapat ditarik
walau bank mengalami masalah terkait dengan
internal likuiditas bank itu sendiri (bersifat
idiosyncratic). Sementara itu, penanaman pada aset
keuangan mencakup kredit yang diberikan, surat-
surat berharga dan eksposur derivatif.
Berdasarkan uji coba menggunakan data 14
bank besar, hasil perhitungan NSFR menunjukkan
angka rasio yang melebihi 1. Artinya, likuiditas bank
cukup tersedia dalam rangka mendukung penanaman
pada eksposur aset-aset keuangan bank, atau dengan
kata lain ketahanan likuiditas bank cukup terjaga.
Namun demikian, indikator NSFR ini juga perlu dibaca
secara hati-hati mengingat instrumen penanaman
bank yang merupakan alternatif kredit di Indonesia
sangat terbatas sehingga hasil perhitungan NSFR
hampir selalu melebihi angka 1.
Setelah memperhatikan hasil uji coba tersebut
di atas tampaknya masih diperlukan kajian lebih lanjut
dan lebih mendalam untuk menemukan indikator
yang lebih pas dalam menilai ketahanan likuiditas
bank, terutama dalam konteks Indonesia.
Tabel Boks 2.1.2NSFR 14 Bank Besar
2008 2009
BANK 1 1,87 1,86BANK 2 2,36 2,34BANK 3 2,10 2,02BANK 4 2,21 2,24BANK 5 1,87 2,20BANK 6 3,04 2,98BANK 7 2,66 3,00BANK 8 2,41 3,06BANK 9 2,25 2,23BANK 10 2,91 2,88BANK 11 2,65 3,09BANK 12 1,75 1,69BANK 13 2,75 2,70BANK 14 1,77 1,93
Grafik Boks 2.1.2NSFR 14 Bank Besar 2008-2009
-
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
3,00
3,502008 2009
BANK 1BANK 2
BANK 3BANK 4
BANK 5BANK 6
BANK 7BANK 8
BANK 9BANK 10
BANK 11BANK 12
BANK 13BANK 14
49
Bab 2 Sektor Keuangan
Kinerja BancassuranceBoks 2.2
Bancassurance merupakan bentuk kerjasama
antara asuransi (baik asuransi umum maupun asuransi
jiwa) dengan bank untuk memasarkan produk asuransi.
Kerjasama ini membantu perusahaan asuransi untuk
meningkatkan volume usaha, sekaligus membantu
bank meningkatkan pelayanan kepada nasabah guina
mendapatkan loyalitas mereka. Bentuk kerjasama yang
dicakup bancassurance beragam, antara lain
pemberian referensi oleh pegawai bank kepada
nasabah mengenai produk asuransi tertentu,
pemberian informasi/penjelasan sampai dengan
nasabah menutup asuransi, penerbitan produk yang
terintegrasi antara produk bank dengan produk
asuransi, dan kepemilikan saham perusahaan asuransi.
Kerjasama bancassurance terus meningkat
jumlahnya. Sebagai contoh, pada tahun 2007 terdapat
55 perusahaan asuransi yang bekerja sama dengan 22
bank. Jumlah ini berkembang sehingga pada tahun
2008 menjadi 62 perusahaan asuransi dan 24 bank.
Kerjasama dengan perusahaan asuransi umum
lazimnya terkait dengan fasilitas pembiayaan yang
diberikan kepada nasabah seperti asuransi kebakaran
untuk kredit pemilikan rumah (KPR). Sementara itu,
kerjasama dengan perusahaan asuransi jiwa biasanya
berupa pertanggungan atas suatu peristiwa seperti
kematian, kecelakaan diri dan kesehatan. Selanjutnya,
sebagai inovasi produk asuransi jiwa, dihasilkan produk
asuransi jiwa konvensional yang dikaitkan dengan
produk investasi, baik yang memiliki return pasti
(endowment) maupun yang memiliki return tidak pasti
(unit link).
Berdasarkan data terkini, jumlah produk yang
ditawarkan melalui kerjasama bancassurance
meningkat cukup signifikan dari 685 pada akhir 2008
menjadi 831 pada September 2009. Walaupun jumlah
polis menurun, jumlah pertanggungan meningkat
sekitar 14% sehingga premi meningkat sekitar 38%.
Hal ini akan mendorong peningkatan fee based income
di perbankan. Pada tahun 2008, fee based income dari
bancassurance mencapai sekitar Rp1,1 triliun,
sementara pada 2009 (s.d. September) fee based
income telah mencapai Rp0,92 triliun.
Kerjasama bancassurance masih cenderung
terkonsentrasi pada penawaran produk asuransi
konvensional, misalnya produk asuransi konvensional
yang terkait dengan kartu kredit (credit shields).
Sementara itu, untuk penawaran produk unit link relatif
terbatas. Dari total produk asuransi yang ditawarkan
melalui bancassurance, penawaran produk unit link
hanya sekitar 12%.
Sementara itu, fee based income dari penawaran
produk unit link tampak cukup menarik, meskipun
belum sebesar fee based income yang berasal dari
produk asuransi konvensional. Per September 2009,
fee based income yang diterima bank dari penawaran
produk unit link sebesar Rp207,7 miliar dengan rasio
31/12/2008 685 11.043.562 10.049.969 399.684,1 18.633,4 1.105,431/03/2009 731 9.253.448 8.420.259 407.434,5 9.448,8 316,230/06/2009 747 9.516.788 8.615.027 444.301,7 15.090,2 432,730/09/2009 831 9.620.975 8.743.860 456.159,1 25.641,2 918,6
Tabel Boks 2.2.1Perkembangan Kegiatan Bancassurance
Posisi Jumlah Jumlah Jumlah Nilai Premi Diterima Fee BasedLaporan Produk Polis Nasabah Pertanggungan (ytd) Income
1 = Rp 1 miliar
50
Bab 2 Sektor Keuangan
Total Bancassurance 831 9.620.975 8.743.860 456.159,1 25.641,2 918,6Unit link 101 418.017 356.543 36.742,7 3.544,7 207,7Bancassurance 730 9.202.958 8.387.317 419.416,5 21.903,9 710,9 Tanpa Unit Link
Tabel Boks 2.2.1
Bancassurance Dengan atau Tanpa Unit Link
Kriteria Jumlah Jumlah Jumlah Total Premi Fee basedProduk Polis Nasabah Pertanggungan Diterima(ytd) income (ytd)
1 = Rp 1 miliar
pertanggungan terhadap premi sebesar 10,4%,
sedangkan fee based income yang diterima bank dari
penawaran produk asuransi konvensional adalah
Rp710,9 miliar dengan rasio pertanggungan terhadap
premi sebesar 19,2%.
Dapat ditambahkan bahwa relatif masih
terbatasnya penawaran produk unit link melalui
bancassurance terutama karena perusahaan asuransi
lebih memilih untuk menawarkan produk unit link
secara langsung kepada nasabah. Di samping itu,
mengingat produk unit link memiliki unsur investasi
beberapa bank masih merasa perlu untuk meninjau
kesesuaian risiko produk tersebut dengan profil risiko
nasabah bank.
51
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
Bab 3Infrastruktur Keuangandan Mitigasi Risiko
52
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
Halaman ini sengaja dikosongkan
53
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
3.1. PERKEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN
Sampai dengan akhir tahun 2009 nilai transaksi
sistem pembayaran non tunai masih didominasi transaksi
Sistem BI-RTGS (Bank Indonesia-Real Time Gross
Settlement) yang mencapai 91%. Hal ini semakin
mengukuhkan peran Sistem BI-RTGS sebagai Systemically
Important Payment System (SIPS) dalam memproses dan
menyelesaikan transaksi bernilai besar seperti transaksi
pasar uang antar bank, transaksi serah dana dari
perdagangan sekuritas, transaksi valas sisi rupiah,
settlement dana dari operasi moneter/operasi pasar
terbuka, transaksi pembayaran pemerintah, dan sarana
settlement untuk penyelenggaraan kliring.
Sementara itu, dari sisi volume transaksi, frekuensi
transaksi sistem pembayaran non tunai terbesar dilakukan
dengan alat pembayaran menggunakan kartu (APMK),
yaitu sebesar 94,9%. Ini meliputi kartu kredit, kartu ATM
dan kartu ATM/Debet. Dengan semakin majunya
perkembangan teknologi pembayaran dalam bentuk card-
based, masyarakat menjadi semakin terbiasa
menggunakan APMK termasuk dalam melakukan transaksi
sehari-hari dan bernilai kecil (micro payments).
Fenomena semakin diminatinya APMK sebenarnya
baru mulai terlihat sejak tahun 2006. Hal itu karena sampai
Selama semester II 2009 infrastruktur keuangan Indonesia berkembang
dengan cukup baik sehingga dapat mendukung stabilitas keuangan dan
moneter yang pada akhirnya memberikan kontribusi positif pada kegiatan
perekonomian. Hal itu antara lain terlihat dari kemajuan-kemajuan yang
dicapai oleh sistem pembayaran yang merupakan salah satu infrastruktur
pokok sektor keuangan. Sementara itu, agenda Financial Sector
Assessment Program (FSAP) telah terlaksana sesuai rencana sehingga
diharapkan dapat berkontribusi positif terhadap pengembangan
infrastruktur keuangan serta langkah-langkah mitigasi risiko yang
diperlukan.
Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi RisikoBab 3
Grafik 3.1Perkembangan Nominal Transaksi (Miliar)
2005 2006 2007 2008 2009
50.000.000,00
40.000.000,00
30.000.000,00
20.000.000,00
10.000.000,00
-
RTGS APMK SKN
54
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
yang semakin baik dan realisasi belanja pemerintah pusat
yang turun akibat beban subsidi energi yang turun drastis.
dengan tahun 2005, proporsi nilai nominal transaksi Sistem
Kliring Nasional-Bank Indonesia (SKN-BI) masih lebih besar
dibandingkan APMK. Namun sejak tahun 2006, nilai
transaksi APMK sudah melebihi transaksi SKN-BI. Dari sisi
volume, transaksi SKN-BI juga semakin turun seiring
dengan semakin diminatinya APMK yang ditandai dengan
tren meningkatnya proporsi volume transaksi.
Grafik 3.2Perkembangan Volume Transaksi (Ribuan)
3.1.1. Sistem BI-RTGS
Perkembangan Transaksi
Hingga akhir semester II 2009 total nilai dan volume
transaksi Sistem BI-RTGS mencapai Rp17,3 ribu triliun dan
5,9 juta transaksi. Setelah sempat mengalami
pertumbuhan negatif pada semester sebelumnya, pada
semester II 2009 baik nilai maupun volume transaksi Sistem
BI-RTGS tumbuh positif masing-masing sebesar 4,1% dan
15,2%. Hal itu didorong peningkatan transaksi nasabah
sebesar 16,7% antara lain dipicu oleh hari raya dan
peningkatan pengeluaran perusahaan pada akhir tahun.
Bila dibandingkan dengan periode yang sama pada
tahun sebelumnya dari sisi volume terdapat peningkatan
sebesar 10%, namun dari sisi nominal mengalami
penurunan sebesar 11%. Penurunan tersebut terutama
disebabkan transaksi pengelolaan moneter dan transaksi
pemerintah yang tumbuh negatif masing-masing 34,7%
dan 30,7% sejalan dengan transmisi kebijakan moneter
Grafik 3.3Perkembangan Transaksi Sistem BI-RTGS
Selama Tahun 2009
Aktivitas Operasional dan Manajemen Likuiditas
Kinerja sistem BI-RTGS selama semester II 2009 tetap
stabil dengan persentase penyelesaian transaksi mencapai
lebih dari 99%. Namun demikian, mengingat gangguan
pada aplikasi sistem dan jaringan komunikasi data
merupakan kondisi-kondisi yang berpotensi menyebabkan
sistem RTGS mengalami system down, perlu dipersiapkan
langkah-langkah mitigasi risiko operasional melalui
pemeliharaan dan pengembangan sistem, termasuk
ujicoba Business Continuity Plan (BCP)/Disaster Recovery
Plan (DRP) secara berkala.
Kondisi likuiditas Sistem BI-RTGS secara umum cukup
longgar, tercermin dari indikator penggunaan likuiditas
sistem (liquidity usage indicator) yang berada pada kisaran
30% s.d. 35%.1 Sementara itu, indikator turn over ratio
menunjukkan angka rata-rata sebesar 1,4.2 Angka rasio
ini mengindikasikan bahwa dalam melakukan transaksi
1 Liquidity Usage Indicator menunjukkan tingkat keketatan penggunaan likuiditas padalevel sistem RTGS. Indikator tersebut memiliki range nilai dari 0 s.d. 1. Semakin mendekati1 berarti likuiditas sistem semakin ketat.
2 Turn over ratio merupakan perbandingan antara outgoing transaction yang diselesaikanterhadap saldo rekening bank yang tersedia pada awal hari. Rasio turn over tinggi dapatdiartikan bahwa bank lebih banyak membayar kewajibannya dengan menunggu incomingtransfer dari bank lain dibandingkan menggunakan modalnya sendiri
2.000.000
1.500.000
1.000.000
500.000
02005 2006 2007 2008 2009
RTGS APMK SKN
4.000
3.000
2.000
1.000
-
Nilai1.400
1.200
1.000
800
600
400
200
-Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Nilai (Triliun) Volume (Ribu)
Volume
55
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
dengan transaksi Sistem BI-RTGS, pertumbuhan positif
transaksi SKNBI terutama karena dipicu oleh hari raya
dan peningkatan pengeluaran perusahaan pada akhir
tahun.
Grafik 3.4Perkembangan Transaksi SKN BI Selama tahun 2009
melalui Sistem BI-RTGS, para peserta umumnya
mengandalkan incoming transfer dari bank lain.
Selama semester II 2009, terdapat bank peserta yang
memanfaatkan fasilitas likuiditas intrahari Sistem BI-RTGS
(FLI-RTGS) karena meningkatnya volume transaksi Sistem
BI-RTGS pada bank peserta tersebut. Penyediaan FLI
merupakan upaya mitigasi risiko yang disediakan Bank
Indonesia untuk mengatasi kesulitan pendanaan
sementara bank yang terjadi selama jam operasional Sistem
BI-RTGS guna mengatasi kemacetan pembayaran
(gridlock). Upaya pencegahan gridlock terlihat semakin
baik serta didukung oleh semakin dekatnya pemenuhan
target sebaran nilai transaksi sesuai throughput guideline
(30%:30%:40%) dengan realisasi selama semester II 2009
mencapai 39%:37%:24%. Kelompok bank yang masih
memiliki sebaran nilai transaksi di bawah target berpotensi
mengalami penumpukan transaksi pada akhir hari,
sehingga perlu diimbangi dengan manajemen likuiditas
akhir hari yang baik.
Sementara itu, upaya mitigasi risiko transaksi
pembayaran sisi rupiah dari transaksi perdagangan valuta
asing antar-bank pada sistem BI-RTGS dilakukan melalui
implementasi Payment-versus-Payment (PvP) Link. Uraian
lebih lanjut tentang PvP Link terdapat pada Boks 3.1.
3.1.2. Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia
(SKNBI)
Perkembangan Transaksi
Aktivitas transaksi SKNBI mengalami peningkatan
nilai dan volume masing-masing sebesar Rp811,2 triliun
dan 42,3 juta transaksi atau naik 8,4% dan 5,7% selama
semester II 2009. Kondisi ini berbeda dengan semester
sebelumnya yang tumbuh negatif. Namun demikian, jika
dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun
sebelumnya, nominal dan volume mengalami penurunan
masing-masing sebesar 5,2% dan 2,2%. Sama halnya
Aktivitas Operasional dan Manajemen Likuiditas
Sebagaimana sistem BI-RTGS, kinerja SKNBI hingga
akhir semester II 2009 juga tetap stabil dengan prosentase
penyelesaian transaksi (settled transactions) mencapai lebih
dari 99%. Selama tahun 2009 telah dilakukan uji coba
penggunaan infrastruktur back-up baik untuk sistem BI-
RTGS maupun SKNBI sebanyak 4 (empat) kali dengan
menggunakan beberapa skenario uji coba sebagai
antisipasi terhadap gangguan atau keadaan darurat baik
pada Sistem BI-RTGS maupun SKNBI.
Secara umum, kondisi likuiditas SKNBI dapat dilihat
dari penyediaan prefund (cash maupun collateral) sebagai
syarat mengikuti kliring yang terpenuhi dengan baik oleh
seluruh peserta kliring sepanjang semester II 2009. Untuk
menekan potensi risiko reputasi terhadap instrumen kliring
akibat penerbitan cek dan bilyet giro kosong yang
cenderung memiliki tren meningkat secara tahunan, perlu
dukungan peranan perbankan dalam penatausahaan
Daftar Hitam Nasional (DHN). Pengelolaan DHN yang
terintegrasi dan bersifat online diharapkan dapat
Nilai Volume
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
10
8
6
4
2
-
Nilai (Triliun) Volume (Juta)160
140
120
100
80
60
40
20
-
56
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
memitigasi risiko dan meningkatkan peran cek/bilyet giro
sebagai alat pembayaran nasional. Pada akhir Desember
2009, Bank Indonesia telah mengimplementasikan Sistem
Informasi Daftar Hitam Nasional (SIDHN) dengan tujuan
untuk efisiensi penerbitan daftar hitam secara nasional.
3.1.3. Industri Kartu ATM dan ATM/Debet
Hingga akhir semester II 2009 penggunaan kartu
ATM dan ATM/Debet memiliki nilai dan volume transaksi
masing-masing Rp914 triliun dan 840 juta transaksi.
Setelah sempat mengalami pertumbuhan negatif pada
semester I 2009, nilai transaksi kartu ATM dan ATM/Debet
mengalami pertumbuhan sebesar 2% seiring dengan
meningkatnya pengeluaran nasabah pada hari raya dan
akhir tahun.
Sementara itu, volume transaksi kartu ATM dan ATM/
Debet terus tumbuh positif. Bahkan selama semester II
2009 terdapat kenaikan sebesar 16%, sebagai suatu
pertanda peningkatan minat masyarakat dalam
menggunakan kartu ATM dan ATM/Debet untuk transaksi
penarikan uang tunai maupun transaksi belanja. Namun
demikian, angka nominal ini masih lebih rendah
dibandingkan dengan pertumbuhan pada periode yang
sama pada tahun sebelumnya. Pertumbuhan yang lebih
rendah ini menjadi tantangan dalam mendorong
terwujudnya interoperability di antara perusahaan
switching kartu ATM dan ATM/Debet. Hal ini sangat
diperlukan untuk menciptakan efisiensi pasar dan untuk
semakin menjangkau masyarakat yang unbankable.
Perkembangan teknologi dan informasi yang
semakin luas meningkatkan risiko pada instrumen
pembayaran nasional termasuk kartu ATM dan ATM/Debet.
Kasus fraud Kartu ATM dan ATM/Debet yang mencuat
pada awal tahun 2010 (lihat Boks 3.2) perlu diantisipasi
dengan segera oleh pihak-pihak terkait, antara lain dengan
mempercepat penerapan teknologi chip pada Electronic
3.1.4. Industri Kartu Kredit
Meskipun sempat mengalami pertumbuhan negatif
pada semester sebelumnya, aktivitas transaksi kartu kredit
selama semester II tahun 2009 mengalami peningkatan
nilai dan volume masing-masing sebesar Rp74 triliun dan
95 juta transaksi atau naik 17% dan 8%. Bila dibandingkan
dengan periode yang sama tahun sebelumnya, terdapat
kenaikan secara nominal dan volume masing-masing
sebesar 27% dan 8%. Pertumbuhan positif transaksi kartu
kredit terutama didorong peningkatan transaksi belanja
nasabah karena gencarnya promosi dari para penerbit
kartu kredit, serta meningkatnya konsumsi pada hari raya
dan akhir tahun.
Data Capture (EDC) dan kartu ATM melalui penetapan
standar nasional.
Grafik 3.5Perkembangan Transaksi Kartu Debet Selama Tahun 2009
Grafik 3.6Perkembangan Transaksi Kartu Kredit Selama tahun 2009
200
150
100
50
0
200
150
100
50
0
Nilai Volume
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Nilai (Triliun) Volume (Juta)
15,00
10,00
5,00
-
20
10
-Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Nilai (Triliun) Volume (Juta)
Nilai Volume
57
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
Dalam rangka implementasi teknologi chip dalam
kartu kredit untuk minimalisasi risiko (fraud), sejak bulan
Oktober 2009 Bank Indonesia telah melakukan monitoring
dan pertemuan secara intensif dengan para penerbit kartu
kredit dan meminta para penerbit melaporkan
perkembangan kesiapan implementasi chip secara berkala
(2 mingguan) kepada Bank Indonesia. Selanjutnya, mulai
awal bulan Desember 2009, monitoring dan pertemuan
dengan penerbit terkait kesiapan implementasi teknologi
chip tersebut semakin sering dilakukan, sedangkan periode
laporan perkembangan yang sebelumnya satu kali dalam
dua minggu diubah menjadi tiap minggu.
3.1.5. Industri Uang Elektronik/Electronic Money
Transaksi dengan menggunakan uang elektronik (e-
money) selama semester II 2009 mengalami peningkatan
baik dari sisi nilai maupun frekuensi transaksi dibandingkan
semester sebelumnya. Nilai transaksi selama semester II
2009 sebesar Rp331 miliar atau meningkat 76%,
sedangkan frekuensi transaksi sebesar 10,4 juta atau
meningkat 49%. Pertumbuhan uang elektronik yang
masih berfluktuasi mengindikasikan perlunya penetapan
standar nasional uang elektronik sehingga tercipta
interoperability antar penerbit uang elektronik dan efisiensi
pasar.
3.2. PERKEMBANGAN FINANCIAL SECTOR
ASSESSMENT PROGRAM (FSAP)
Sebagaimana dilaporkan dalam KSK edisi
sebelumnya, Indonesia berkomitmen untuk melaksanakan
Financial Sector Assessment Program (FSAP) pada tahun
2009/2010. FSAP ini dilaksanakan dalam 2 tahap.
Tahap pertama (first mission) telah dilaksanakan pada
tanggal 29 September s.d 16 Oktober 2009 dengan
melibatkan 20 orang assessor dari IMF dan World Bank.
Secara keseluruhan selama tahap pertama ini telah
dilakukan sekitar 200 pertemuan dengan berbagai pihak,
dan secara umum dapat berjalan dengan baik dan lancar.
Pada akhir misi pertama ini, asssessor telah menyampaikan
preliminary assesssment secara detil kepada masing-
masing otoritas termasuk Bank Indonesia dan Departemen
Keuangan. Hasil preliminary assessment terhadap standard
internasional di sektor perbankan, moneter dan sistem
pembayaran cukup beragam dan terdapat beberapa
temuan pokok (major findings) yang perlu didiskusikan
secara intensif dengan berbagai otoritas dalam rangka
penyusunan action plan. Sebagai tindak lanjut dari hasil
preliminary assessment telah dilaksanakan beberapa
kegiatan, antara lain roundtable discussion dengan
berbagai stakeholders, serta menyampaikan tanggapan
tertulis terhadap hasil preliminary assesssment pada bulan
Desember 2009.
Salah satu aspek penting infrastruktur sistem
keuangan yang dinilai dalam first mission adalah
pelaksanaan Sistem BI-RTGS. Pelaksanaan assessment
dilaksanakan dengan mengacu pada Core Principles for
Systemically Important Payment System (CP-SIPS) yang
dikeluarkan oleh Bank for International Settlements (BIS).
CP-SIPS tersebut merupakan acuan dalam
penyelenggaraan sistem yang termasuk kategori SIPS dan
digunakan secara internasional. Berdasarkan hasil
preliminary assessment, secara umum sistem pembayaran
Grafik 3.7Perkembangan Transaksi E-Money Selama tahun 2009
80,0
60,0
40,0
-
20,0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Nilai (Ribu) Volume (Miliar)
2.500
2.000
1.500
-
500
1.000
Nilai Volume
58
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
nasional dinilai telah memenuhi Core Principles for
Systemically Important Payment Systems (CP-SIPS). Namun
demikian, assessor juga memberikan beberapa
rekomendasi, antara lain:
- Perlunya suatu ketentuan dengan hirarki yang lebih
tinggi untuk mengatur netting settlement seperti
Undang-undang Sistem Pembayaran Nasional. Saat
ini semuanya masih diatur dalam Peraturan Bank
Indonesia.
- Peningkatan peranan sistem pembayaran non tunai
sebagai alat pembayaran nasional yang didukung
dengan pengembangan atas infrastruktur
pembayaran elektronik secara nasional yang dibarengi
dengan edukasi masyarakat mengenai alat
pembayaran elektronik.
- Perlu upaya untuk mendorong efisiensi infrastruktur
(infrastructure sharing) seperti jaringan switching ATM
dan debet yang terintegrasi.
Selanjutnya, pada tanggal 24 Februari s.d 10 Maret
2010 telah dilakukan assessment tahap kedua (second
mission) dengan jumlah assessor sebanyak 14 orang dari
IMF dan World Bank. Khusus pembahasan stress testing
dilakukan lebih awal yaitu sejak tanggal 18 Februari 2010.
Selain konfirmasi terhadap hasil preliminary assessment,
fokus utama misi tahap kedua adalah melakukan finalisasi
dan mengintegrasikan berbagai aspek yang terkait dengan
analisis terhadap stability dan development. Untuk itu
dilakukan sejumlah pertemuan dengan berbagai pihak.
Pada akhir misi tahap kedua, assessor menyampaikan FSAP
Aide Memoire, Draft FSAP Technical Notes dan revisi dari
penilaian terhadap beberapa standard untuk ditanggapi
oleh semua otoritas terkait.
Setelah second mission selesai, tahapan berikutnya
adalah penyampaian tanggapan terhadap FSAP Aide
Memoire dan beberapa dokumen lainnya oleh otoritas
terkait pada bulan April 2010, yang diikuti dengan finalisasi
Financial System Stability Assessment (FSSA) dan Financial
Sector Assessment (FSA) oleh asssessor pada bulan Juli
2010. Setelah itu, keseluruhan hasil assessment akan
difinalisasi pada IMF/World Bank Board meeting pada bulan
Agustus 2010.
Pelaksanaan FSAP ini diharapkan dapat
menghasilkan rekomendasi yang berkualitas, berorientasi
ke depan, positif, dan konstruktif, sehingga dapat dijadikan
acuan untuk melakukan perbaikan-perbaikan dalam
kerangka pengaturan dan pengawasan sektor keuangan.
Adanya FSAP diharapkan akan meningkatkan transparansi
dan akuntabilitas kebijakan pemerintah dan Bank
Indonesia di sektor keuangan, serta memperkuat daya
tahan sistem keuangan Indonesia terhadap guncangan
(shock), baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
59
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
Implementasi Payment-versus-Payment (PvP) LinkBoks 3.1
Bank Indonesia dan Hong Kong Monetary
Authority (HKMA) pada hari Senin tanggal 25 Januari
2010 telah bersama-sama mengimplementasikan
Payment-versus-Payment (PvP) Link antara sistem
penyelesaian transaksi real time untuk Rupiah di
Indonesia, yaitu Sistem Bank Indonesia√Real Time Gross
Settlement (BI-RTGS) dan sistem penyelesaian transaksi
real time untuk Dollar Amerika Serikat di Hong Kong,
yaitu United States Dollar Clearing House Automated
Transfer System (USD CHATS). PvP Link dioperasikan
di Indonesia oleh Bank Indonesia dan di Hong Kong
oleh Hong Kong Interbank Clearing Limited, yang
merupakan lembaga yang dimiliki bersama oleh HKMA
dan asosiasi bank di Hong Kong.
PvP Link yang merupakan tambahan fasilitas
dalam Sistem BI-RTGS ditujukan untuk memitigasi risiko
kegagalan setelmen (settlement risk) dari transaksi
perdagangan Dollar Amerika Serikat terhadap Rupiah
antar-bank di Indonesia dengan menjamin
penyelesaian secara simultan dari Dollar Amerika
Serikat di Hong Kong dan Rupiah di Indonesia. Dengan
PVP Link, bank-bank di Indonesia dapat memitigasi
counterparty risk dari transaksi valuta asing serta
meningkatkan efisiensi operasional melalui
penyelesaian transaksi pada zona waktu Asia.
Implementasi infrastruktur ini bagi bank-bank
di Indonesia juga mendatangkan manfaat berupa
dapat dengan segera memperoleh dan memanfaatkan
IDR dan USD dari transaksi perdagangan USD/IDR. Hal
itu dapat terjadi karena kedua mata uang diselesaikan
secara real-time dan simultan dalam zona waktu Asia.
Disamping itu, dengan PvP Link ini bank-bank pelaku
pasar USD/IDR dapat memiliki pilihan counterparty
yang lebih luas karena tidak lagi dibatasi dengan
counterparty trading limit yang merepresentasikan FX
settlement risk. PvP Link juga dapat dimanfaatkan
peserta sebagai market guidance (seperti informasi real
time perdagangan di pasar modal), membantu
pengukuran/perbaikan credit line di antara market
player dan menciptakan kondisi terbentuknya market-
based price quotation. Dengan demikian, pada
gilirannya diharapkan dapat diciptakan sistem
pembayaran dan setelmen dana antar-bank di
Indonesia yang lebih aman, handal dan efisien.
Berikut adalah gambaran mekanisme transaksi
USD-IDR dengan PVP Link dan tanpa PVP Link:
60
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
Mekanisme transaksi USD-IDR tanpaPVP Link
Mekanisme transaksi USD-IDR PVP Link
Bank APerdagangan Valas
Bank B(1)
Indo
nesi
aA
mer
ika
Serik
at
Transfer IDR
per-dealticket
BI-RTGS
DebitBank A
KreditBank B
Advis Debit(2a)
(4)
USD
Set
tlem
ent I
nfo
AdvisKredit
FEDWIRE (US-RTGS)
KreditBank Kores
pondenBank A
DebitBank Kores
pondenBank B
(3)Adv
isKr
edit
Bank KorespondenBank A
Bank KorespondenBank B
Perin
tah
Tran
sfer
USD
per
-dea
l tic
ket
Mel
alui
SW
IFT
(2b)
Tran
sfer
USD
«Proses 2a» tidak bersama dengan «Proses 3» potensi terjadinya FX Settlement/Herstatt Risk
Matching processPVP Link
Indonesia Hongkong
Bank X Bank Y
Holdfund
Step 4Hold fundsIn IDR RTGS
Step 1Initiate PvP(Sell IDR)
IDR RTGSIDR
CCPMP**
BI
Step 3Matching of
Pvp
Step 1
IDRCCPMP** Step 2
Correspondentof Bank X in IHK
Correspondentof Bank Y in IHK
Bank B Bank A
Holdfund
Step 4Hold funds
In USD CHATS
Step 5*
Step 2Initiate PvP(Sell USD)
USDCAHTS
(opeatedby HKICL
SettlementInstitution
(HSBC)
- Step 5 will be done in the IDR and USD RTGS rspectively in a synchronised Manner.** CCPMP - Cross Currency Payment Matching Processor
Message flow
Payment flow
Step 5*Effect fundstransfer inIDR RTGS
Effect fundstransfer in
USD CHATS
61
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
Kasus Fraud pada Kartu ATM dan ATM/DebetBoks 3.2
Menyadari pentingnya menjaga faktor keamanan
dalam industri Alat Pembayaran dengan Menggunakan
Kartu (APMK), Bank Indonesia telah menetapkan
kewajiban penerbit, acquirer dan prinsipal untuk terus
meningkatkan keamanan teknologi, pengelolaan risiko
operasional dan kewajiban pelaporan. Hal itu diatur
di dalam Peraturan Bank Indonesia No.11/11/PBI/2009
tanggal 13 April 2009 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan
Kartu dan Surat Edaran Bank Indonesia No.11/10/DASP
tanggal 13 April 2009 perihal Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan
Kartu.
Untuk mencegah meluasnya kasus fraud pada
kartu ATM dan ATM/Debet yang terjadi pada awal
tahun 2010, Bank Indonesia telah melakukan berbagai
tindakan, antara lain pembentukan tim task force yang
terdiri dari bank-bank yang terkena kasus skimming
dan switching company. Tugas task force tersebut
adalah memfasilitasi industri perbankan untuk
mempermudah identifikasi dan melakukan langkah
preventif yang diperlukan dalam menangani kasus
fraud yang terjadi. Selain itu juga akan dibentuk forum
teknis antara Kepolisian, Bank Indonesia dan pihak
terkait. Pembentukan forum teknis tersebut
merupakan sarana pertukaran informasi tentang tindak
pidana kejahatan, baik yang menyangkut uang palsu
maupun kejahatan di bidang Sistem Pembayaran non
tunai dalam rangka untuk mempercepat penangangan
suatu tindak kejahatan.
Di samping itu, Bank Indonesia meminta bank-
bank untuk terus meningkatkan pengawasan terhadap
fisik mesin ATM, khususnya yang berada di luar kantor
cabang untuk memastikan tidak terpasang alat
mencurigakan, dan memonitor transaksi yang tidak
biasa dilakukan nasabah. Selain itu, Bank Indonesia
juga mengingatkan bank-bank untuk memitigasi risiko
fraud di dalam penyelenggaraan kegiatan ATM/Debet
antara lain dengan menyusun Standard Operating
Procedure (SOP) yang memadai, melaksanakan
transaksi sebagaimana SOP, termasuk melakukan
monitoring dan menerapkan prinsip kehati-hatian
dalam proses pemilihan merchant maupun evaluasi
terhadap merchant. Sementara itu, upaya pencegahan
fraud yang dapat dilaksanakan oleh perbankan dalam
rangka peningkatan keamanan bertransaksi
menggunakan kartu ATM di mesin ATM antara lain
adalah pemasangan anti skimmer, CCTV, PIN cover,
serta monitoring pengamanan dan kebersihan di
lingkungan mesin ATM.
Tidak kalah pentingnya adalah agar bank terus
menerus melakukan edukasi kepada nasabah
mengenai pentingnya pengamanan PIN dengan
mengingatkan nasabah untuk mengubah PIN secara
berkala dan tidak terpancing memberikan PIN kepada
pihak lain. Selain itu, nasabah juga hendaknya
memperhatikan kondisi fisik ATM dan alat Electronic
Data Capture (EDC) dan lingkungan sekeliling, serta
segera melaporkan kepada bank terdekat dan atau
kepada pihak berwajib jika terdapat hal-hal yang
mencurigakan.
62
Bab 3 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko
Mitigasi Risiko Kartu KreditBoks 3.3
Dalam rangka meningkatkan keamanan
penyelenggaraan kegiatan kartu kredit sejak tahun
2006 Bank Indonesia telah mencanangkan kewajiban
untuk mengimplementasikan teknologi chip pada kartu
kredit. Dengan Peraturan Bank Indonesia No.11/11/
PBI/2009 dan Surat Edaran No.11/10/DASP tanggal 13
April 2009, Bank Indonesia menetapkan implementasi
teknologi chip mulai tanggal 1 Januari 2010 pada
semua kartu kredit yang diterbitkan oleh Penerbit di
Indonesia dan mesin pemroses transaksi atau Electronic
Data Capture (EDC).
Dengan demikian, semua transaksi yang
dilakukan di wilayah Indonesia harus telah
menggunakan teknologi chip. Namun demikian,
teknologi sebelumnya, yaitu magnetic strip masih dapat
digunakan apabila ada kartu kredit yang diterbitkan
oleh Penerbit Luar Negeri melakukan transaksi di
Indonesia atau apabila kartu kredit Indonesia
digunakan bertransaksi di luar negeri. Penggunaan
teknologi chip ini akan meningkatkan keamanan
karena mempunyai kemampuan enkripsi yang lebih
canggih dan sulit dipalsukan serta mempunyai
operating system sendiri sehingga dapat diprogram
untuk security yang lebih canggih.
Selain itu, Bank Indonesia juga terus mendorong
peranan Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) sebagai
bagian dari Self Regulatory Organisation (SRO) untuk
berperan lebih aktif membuat rambu-rambu
pelaksanaan kegiatan dan menjadi fasilitator yang
menjembatani regulator dan industri. AKKI juga secara
rutin melakukan pertemuan dengan Bank Indonesia
untuk melakukan update isu-isu yang menjadi
perhatian serta langkah-langkah yang telah dilakukan,
seperti merchant gesek tunai, dan lain-lain. Tidak
hanya dengan AKKI, Bank Indonesia juga mengadakan
pertemuan secara berkala dengan penyelenggara
kartu kredit untuk mendapatkan informasi
perkembangan industri.
Untuk meningkatkan efektivitas pemantauan
penyelenggaraan kartu kredit, Bank Indonesia
melakukan upaya penyusunan dashboard industri
kartu kredit yang berisi indikator-indikator yang
menggambarkan kinerja industri. Penyusunan
dashboard ini dilakukan bekerja sama dengan AKKI
sebagai perwakilan dari industri.
63
Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
Bab 4Prospek SistemKeuangan Indonesia
64
Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
Halaman ini sengaja dikosongkan
65
Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
4.1. PROSPEK EKONOMI DAN PERSEPSI RISIKO
Perekonomian Indonesia diprakirakan berada pada
fase pertumbuhan ekonomi yang meningkat. Setelah
mencapai titik terendahnya pada triwulan II 2009 yakni
4,1%, pertumbuhan ekonomi mengalami akselerasi pada
triwulan-triwulan berikutnya. Keyakinan berlanjutnya tren
akselerasi pertumbuhan ekonomi tersebut dibuktikan
dengan realisasi pertumbuhan ekonomi triwulan IV 2009
yang mencapai 5,4%, jauh lebih tinggi dari perkiraan
sebelumnya, sehingga secara keseluruhan pertumbuhan
ekonomi tahun 2009 mencapai angka 4,5%.
Prospek ekonomi domestik juga diprakirakan akan
semakin membaik. Ekonomi diprakirakan akan tumbuh
pada kisaran 5,0%√5,5% pada tahun 2010. Membaiknya
prospek pertumbuhan tersebut disebabkan oleh kondisi
eksternal yang lebih kondusif sejalan dengan mulai
pulihnya ekonomi dunia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia
Secara umum, prospek sistem keuangan Indonesia menunjukkan arah
yang positif. Hal tersebut didukung oleh prakiraan pertumbuhan ekonomi
Indonesia yang membaik disertai dengan stabilitas harga yang tetap
terjaga, serta masih tetap menariknya imbal hasil dari instrument keuangan
yang diterbitkan Indonesia. Sementara itu, profil risiko perbankan ke depan
diperkirakan akan tetap terkendali dengan melakukan berbagai langkah
mitigasi risiko untuk meminimalkan potensi-potensi kerawanan di sektor
keuangan.
Prospek Sistem Keuangan IndonesiaBab 4
berpotensi meningkat lebih tinggi jika berbagai hambatan
dalam penyediaan infrastruktur yang dibutuhkan dapat
segera diselesaikan, dan jika Indonesia dapat
memanfaatkan peluang ekspor dari peningkatan
kerjasama perdagangan regional terutama dalam skema
ACFTA.
Grafik 4.1Perbandingan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi
Beberapa Kelompok Negara
PertumbuhanDunia
Negara Maju NegaraBerkembang
ASEAN-5 Indonesia-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
5
6
2009* 2010*2008
*) Semua angka untuk tahun 2009 dan 2010 merupakan proyeksi dari World Economic Outlook update, IMF,publikasi tanggal 8 Juli 2009, kecuali untuk Indonesia yang berdasarkan angka proyeksi dari Asia PacificConcensus bulan Juli 2009.
66
Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
Di sisi harga, inflasi tahun 2009 tercatat hanya
sebesar 2,78% yang merupakan angka terendah selama
10 tahun terakhir. Meskipun perlambatan ekonomi turut
berperan dalam menahan peningkatan laju inflasi, upaya
Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas nilai tukar
memegang peranan penting dalam menurunkan
ekspektasi inflasi. Di samping itu, kebijakan Pemerintah
untuk menurunkan harga BBM dan biaya transportasi
cukup signifikan dalam mendorong rendahnya laju inflasi.
Sejalan dengan itu, inflasi tahun 2010 diprakirakan akan
tetap terkendali dan berada pada kisaran sasaran sebesar
5+1%. Proyeksi inflasi tersebut antara lain tidak terlepas
dari terjaganya stabilitas nilai tukar rupiah dan tidak adanya
kebijakan strategis Pemerintah yang mendorong
perkembangan harga dalam negeri.
menyebabkan cukup besarnya aliran masuk dana asing.
Persepsi investor terhadap nilai tukar rupiah juga relatif
terjaga tercermin dari stabilnya pergerakan indikator»premi
swap yang mengindikasikan minimalnya potensi tekanan
terhadap rupiah. Selanjutnya, imbal hasil investasi dalam
rupiah masih relatif tinggi dibandingkan dengan negara
lain di kawasan Asia, sehingga masih menjadi daya tarik
bagi investor asing untuk berinvestasi pada instrumen
rupiah..
Grafik 4.2Persepsi Risiko Indonesia
Sementara itu, persepsi risiko terhadap
perekonomian Indonesia membaik. Investor asing masih
menganggap kondisi ekonomi Indonesia relatif baik dan
menarik untuk investasi. Mayoritas indikator persepsi risiko
Indonesia menunjukkan perkembangan yang lebih baik,
antara lain tercermin pada pergerakan Credit Default Swap
(CDS) yang mengalami penurunan bila dibandingkan
dengan posisi pada awal semester II 2009. Disamping itu,
sovereign rating Indonesia juga sudah meningkat menjadi
Ba2 (menurut Moody»s) atau menjadi BB+ (menurut Fitch)
dengan outlook yang membaik dari stabil menjadi positif
(antara lain menurut Standard & Poor). Kondisi tersebut
4.2. PROFIL RISIKO PERBANKAN: TINGKAT DAN
ARAH
Sebelumnya telah dikemukakan bahwa selama
semester II 2009, Stabilitas Sistem Keuangan menunjukkan
tren yang membaik. Hal itu terlihat dari Financial Stability
Index (FSI) yang menurun dari 1,94 (Juni 2009) menjadi
1,91 (Desember 2009). Perbaikan FSI kemudian berlanjut
pada tahun 2010 dengan posisi akhir Februari pada tingkat
1,90. Pada akhir semester I 2010, FSI diproyeksikan pada
kisaran 1,59-2,16 dengan baseline sebesar 1,87. Hal ini
didukung oleh prakiraan akan semakin membaiknya
kondisi ekonomi makro ke depan yang mendorong
semakin terkendalinya NPL serta semakin rendahnya
volatilitas IHSG dan yield SUN. Dengan demikian, secara
keseluruhan kondisi sektor keuangan pada tahun 2010
Tabel 4.1Proyeksi Beberapa Indikator Ekonomi
PDB (%, yoy) 4,4 4,0 4,2 5,4 4,5 5,0 - 5,5 6,0 - 6,5
Inflasi (%, yoy) 7,9 3,7 2,6 2,78 2,78 5 + 1 5 + 1
20092010*
T1 T2 T3 T4
* Angka proyeksi Bank Indonesia
2009 2011*
150
300
450
600
750
900
1,5
3,0
4,5
6,0
7,5
9,0
Yield Spread Global Bond RI vs US T-Note
CDS Ind (RHS)
EMBIG Spread (RHS)
bps%
Risk Worsen
Sumber: Bloomberg
Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan2009 2010
67
Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
diperkirakan akan relatif lebih baik dibandingkan tahun
2009.
Perbaikan dalam stabilitas sektor keuangan tersebut
didukung oleh cukup kuatnya kinerja perbankan. Hal ini
tercermin pada CAR industri perbankan yang mencapai
17,4% pada akhir Desember 2010. Selama semester
laporan, CAR mencapai puncaknya pada September 2009,
yaitu 17,7%. Sejalan dengan cukup kuatnya kinerja
perbankan, pada bulan Januari 2010, Fitch menaikkan
rating beberapa bank besar di Indonesia dari BB menjadi
BB+, sedangkan Moody»s meng-upgrade outlook industri
perbankan Indonesia dari negatif menjadi stabil.
Dari sisi risiko pasar, ke depan diperkirakan akan tetap
berada pada tingkat yang moderat dengan arah yang
cenderung stabil. Suku bunga yang menurun, nilai rupiah
yang meningkat, dan harga SUN yang membaik membuat
tekanan risiko pasar terhadap perbankan cukup terkendali.
Dengan struktur maturity yang cenderung liability sensitive
pada jangka pendek dan asset sensitive pada jangka
panjang, maka tren penurunan suku bunga yang terjadi
saat ini berdampak positif pada kinerja keuangan
perbankan. Faktor lain yang mendukung terkendalinya
risiko pasar adalah terbatasnya risiko nilai tukar. Hal ini
karena perbankan cenderung memelihara Posisi Devisa
Neto (PDN) yang cukup rendah (hanya sekitar 4,1%) atau
jauh lebih rendah dari batas yang diperbolehkan
(maksimum 20% dari modal).
Sementara itu, risiko likuiditas perbankan juga berada
pada level yang moderat dengan kecenderungan yang
relatif stabil. Penilaian tersebut didasarkan pada cukup
besarnya alat likuid yang dimiliki bank karena rendahnya
penyaluran kredit yang diikuti dengan semakin
membaiknya pelaksanaan manajemen risiko likuiditas
perbankan. Selain itu, perkembangan suku bunga dan
transaksi Pasar Uang Antar Bank (PUAB) selama semester
laporan menunjukkan tidak ada tekanan yang signifikan
yang bersumber dari kondisi likuiditas bank. Namun,
kehati-hatian perlu terus ditingkatkan mengingat
mayoritas sumber dana perbankan di Indonesia berjangka
waktu pendek sehingga rawan terhadap mismatch,
sementara krisis global telah membuktikan bahwa risiko
likuiditas sangat sulit untuk dikelola.
Jenis risiko yang tampaknya cukup berpotensi
menimbulkan tekanan terhadap stabilitas perbankan
adalah risiko kredit. Meskipun data yang ada
menunjukkan bahwa risiko ini cukup terkendali dan
bahkan dari sisi rasio NPL net terdapat penurunan dalam
satu tahun terakhir, namun ke depan diperkirakan akan
sedikit meningkat meskipun masih pada tingkat moderat.
Hal-hal yang mendasari perkiraan ini antara lain adalah,
pertama, krisis global belum sepenuhnya berakhir
sehingga masih mungkin menyisakan dampak berupa
peningkatan risiko kredit. Kedua, dengan mulai
membaiknya kondisi perekonomian, pertumbuhan kredit
biasanya akan meningkat, sehingga kalau terlalu cepat
bertumbuh dapat berpotensi meningkatkan risiko kredit.
Ketiga, jumlah kredit dengan kolektibilitas Dalam
Perhatian Khusus (golongan 2) masih cukup besar, yaitu
sekitar Rp82,4 triliun per Desember 2009. Apabila kondisi
ekonomi tiba-tiba memburuk sehingga misalnya 25% dari
kredit Dalam Perhatian Khusus bergeser menjadi kredit
bermasalah, hasil simulasi menunjukkan bahwa rasio NPL
gross perbankan akan meningkat menjadi 4,7% dan CAR
akan menurun menjadi sekitar 16,5%. Untuk memitigasi
risiko kredit ini, kehati-hatian sangat perlu dijaga oleh
perbankan, termasuk dengan segera membentuk PPAP
secukupnya.
Tidak kalah penting untuk diperhatikan adalah risiko
operasional. Adanya fraud Kartu ATM dan ATM/Debet
yang terjadi pada beberapa bank pada Januari 2010
menunjukkan bahwa perbankan memang perlu
memberikan perhatian yang sepadan terhadap risiko
68
Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
operasional sebagaimana yang dipersyaratkan oleh Basel
2. Sebagai industri yang sangat tergantung pada sumber
daya manusia dan sistem informasi teknologi, perbankan
akan selalu terekspose dengan risiko operasional. Dengan
terus meningkatkan kemampuan manajemen risiko, ke
depan perbankan diharapkan akan semakin berhasil dalam
melakukan deteksi dini (early warning) dan selalu siap
dengan langkah-langkah mitigasi untuk risiko operasional
apabila diperlukan.
4.3. POTENSI KERAWANAN YANG PERLU
DIWASPADAI
Secara umum perekonomian domestik dan global
telah semakin membaik sehingga dampak dari krisis global
diharapkan akan semakin berkurang. Dengan demikian,
diharapkan prospek sektor keuangan Indonesia ke depan
akan semakin stabil. Sementara itu, perbankan diharapkan
akan tetap konsisten melaksanakan prinsip kehati-hatian
agar dapat melindungi kepentingan semua pihak,
termasuk nasabah dan masyarakat luas.
Salah satu dampak krisis global yang sampai saat ini
masih terus dirasakan adalah melambatnya pertumbuhan
kredit perbankan. Mengingat peranan industri perbankan
dalam sektor keuangan sangat dominan, dengan
menurunnya pelaksanaan fungsi intermediasi,
perekonomian menjadi kurang mendapat dukungan
pembiayaan dari perbankan untuk melakukan kegiatan-
kegiatan yang bersifat produktif. Hal ini pada gilirannya
dapat membuat sektor korporasi terganggu aktivitas
usahanya, dan apabila terjadi terus menerus akan
berpotensi memicu peningkatan kredit bermasalah (NPL).
Dibandingkan dengan kondisi pada puncak krisis
global pada triwulan IV tahun 2008, sektor keuangan
domestik terlihat semakin stabil. Beberapa isu yang sempat
muncul pada saat krisis, seperti segmentasi Pasar Uang
Antar Bank (PUAB), secara umum telah teratasi. Namun,
meningkatnya capital inflows berjangka pendek yang
akhir-akhir ini terus masuk ke Indonesia memerlukan
pemantauan secara ketat untuk mencegah terjadinya
sudden reversal.
Sementara itu, salah satu perkembangan baru dalam
krisis global yaitu krisis fiskal yang melanda Yunani, juga
perlu mendapat perhatian, meskipun hasil penelitian
menunjukkan dampaknya terhadap Indonesia diperkirakan
cukup kecil.
Di luar perkembangan global, terdapat beberapa
agenda nasional yang perlu dikelola dengan baik agar
dapat mencegah munculnya kerawanan-kerawanan yang
Grafik 4.3Profil Risiko Perbankan: Tingkat dan Arah
Risiko Likuiditas Risiko KreditRisiko Pasar
StrongAcceptableWeak StrongAcceptableWeak StrongAcceptableWeak
Risk Control System (RCS)
Hig
hM
oder
ate
Low
Inhe
rent
Ris
k
SukuBunga
NilaiTukar
HargaSUN
Sem I - 2009
Outlook
69
Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
tidak perlu terjadi di sektor keuangan. Implementasi Basel
II dan standar akuntansi internasional yang di Indonesia
dituangkan dalam PSAK No.50 dan 55 merupakan agenda
penting yang persiapannya telah dilakukan sejak jauh hari.
Implementasi yang baik dari kedua agenda penting itu
akan membawa perbankan nasional selangkah lebih maju
sehingga akan meningkatkan posisi Indonesia di mata
dunia internasional.
Salah satu aspek yang tidak kalah pentingnya dalam
meminimalisir potensi kerawanan adalah memberikan
perlindungan hukum bagi para pembuat dan pelaksana
kebijakan di sektor keuangan yang menjalankan tugasnya
dengan itikad baik dan semata-mata demi kepentingan
masyarakat luas. Tanpa perlindungan yang memadai, akan
sangat sulit untuk menjaga dan mempertahankan stabilitas
sistem keuangan yang menjadi harapan semua pihak.
70
Bab 4 Prospek Sistem Keuangan Indonesia
Halaman ini sengaja dikosongkan
71
Artikel I - Persaingan Pasar, Margin Bunga dan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia
Ar t ike l
72
Artikel I - Persaingan Pasar, Margin Bunga dan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia
Halaman ini sengaja dikosongkan
73
Artikel I - Persaingan Pasar, Margin Bunga dan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia
Artikel I
Persaingan Pasar, Margin Bunga danStabilitas Sistem Keuangan di Indonesia
Anna Retnawati1
Makalah ini menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi margin bunga pada perbankan di Indonesia.
Sampel pada pengujian meliputi 125 bank umum pada periode 2001-2007. Kerangka konseptual yang melandasi
makalah ini merupakan model dasar yang dikembangkan oleh Ho and Saunders (1981) serta Maudos dan Guevara
(2004) yang memasukkan biaya operasi sebagai salah satu penentu margin bunga perbankan. Dengan
menggunakan pendekatan panel data satu tahap (balanced panel one step method), hasil temuan makalah ini
menunjukkan bahwa tingkat persaingan, biaya operasi rata-rata, dan efisiensi merupakan faktor-faktor yang
lebih menentukan besaran margin bunga perbankan dibandingkan dengan indikator ketidakpastian atau risiko.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa masalah tingginya margin bunga di Indonesia lebih dikarenakan oleh faktor
internal bank dan persaingan pada pasar perbankan.
KeywordsKeywordsKeywordsKeywordsKeywords: competition; bank interest margin; financial stability
JEL Classification CodesJEL Classification CodesJEL Classification CodesJEL Classification CodesJEL Classification Codes: L11; G21; E30
1 Departemen Akuntansi √ Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya. Penulis dapatdihubungi pada: anretna@yahoo.com atau anretna@gmail.com.
1. LATAR BELAKANG
Dengan peran dan fungsinya sebagai lembaga
perantara dan penyalur dana (financial intermediary),
sektor perbankan mempunyai peran yang strategis dalam
perekonomian. Hasil survey Levine (1997) menunjukkan
bahwa intermediasi keuangan yang baik sangat
menunjang pertumbuhan ekonomi. Oleh karenanya,
margin bunga (net interest margin) dapat dijadikan sebagai
indikator efisiensi suatu sistem perbankan. Biaya
intermediasi yang efisien, ditunjukkan dengan margin suku
bunga yang rendah, juga mencerminkan efektivitas
kebijakan moneter dan stabilitas keuangan (Hadad et al.,
2003), serta sistem perbankan yang kompetitif (Saunders
and Schumacher, 2000). Dan sebaliknya, biaya intermediasi
yang tinggi akan mengurangi insentif bagi para pelaku
ekonomi.
Dengan fungsinya tersebut, sudah selayaknya fungsi
intermediasi dilakukan dengan biaya yang murah dan
terjangkau dalam rangka mencapai kesejahteraan
Abstract
74
Artikel I - Persaingan Pasar, Margin Bunga dan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia
komponen dasar, yaitu: tingkat persaingan pasar dan risiko
(Ho dan Saunders, 1981), serta biaya operasi (Maudos dan
Guevara, 2004). Pembahasan mengenai hal ini dimulai oleh
studi yang dilakukan oleh Ho dan Saunders (1981) yang
memodelkan bank sebagai lembaga intermediasi murni2.
Mereka menyimpulkan bahwa terdapat empat hal penting
yang menentukan tingkat margin bunga suatu bank, yaitu:
risiko pasar, struktur pasar (sebagai proksi persaingan),
struktur permodalan, dan ukuran (transaksi) bank.
Model awal yang dikembangkan oleh Ho dan
Saunders ini diuji pada perbankan Amerika Serikat dengan
menggunakan pendekatan dua tahap (two step approach).
Pertama adalah dengan meregresi margin bunga individual
bank dengan variabel-variabel spesifik yang tidak
terjelaskan secara teoretis, seperti: bunga implisit,
oportunitas biaya cadangan (reserve), dan default
premium. Konstanta dari regresi ini mencerminkan estimasi
komponen margin murni (pure spread), yaitu komposisi
margin yang tidak dapat dijelaskan oleh karakteristik
spesifik bank. Pada langkah ke-dua, dilakukan regresi pada
pure spread terhadap volatilitas suku bunga. Konstanta
yang dihasilkan menangkap pengaruh struktur pasar
terhadap pure spread, sedangkan koefisien pada variabel
penjelas mengukur sensitivitas pure spread terhadap
fluktuasi suku bunga. Model yang dikembangkan oleh Ho
dan Saunders telah terbukti secara empiris pada perbankan
negara-negara OECD termasuk Amerika Serikat dan Eropa
(Saunders and Schumacher, 2000), serta Amerika Latin
(Brock dan Rojas, 2000; Martínez dan Mody, 2004; Gelos,
2006; dalam Maudos dan Solis, 2009).
Secara teoretis, model Ho dan Saunders ini
berkembang dengan modifikasi seperti yang dilakukan
oleh: Angbanzo (1997) yang mulai mendiversifikasikan
risiko ke dalam dua jenis yaitu risiko kredit dan risiko bunga;
Maudos dan Guevara (2004) yang memasukkan biaya
masyarakat. Semakin rendah margin bunga, diharapkan
semakin rendah biaya sosial yang harus ditanggung
masyarakat terhadap kegiatan intermediasi. Namun
demikian, fakta yang berkembang menyatakan bahwa
Indonesia merupakan salah satu negara dengan margin
bunga yang tinggi di dunia. Tentu saja ini membawa
dampak yang kurang baik pada sektor perekonomian
secara keseluruhan.
Literatur menyebutkan bahwa tingkat suku bunga
ditentukan baik oleh faktor internal seperti efisiensi kinerja,
maupun eksternal bank seperti tingkat konsentrasi pasar
(Ho dan Saunder, 1991; Maudos dan Guevara, 2004).
Berdasar uraian tersebut, maka makalah ini akan
menganalisis tingkat margin bunga pada perbankan
Indonesia. Hasil dari kajian ini dapat memberikan signal
bagi pembuat kebijakan dalam hal mengevaluasi apakah
margin bunga telah optimal dari sudut pandang bank
sebagai entitas bisnis dan lembaga intermediasi. Selain itu,
lebih lanjut Hawtrey dan Liang (2008) menyatakan bahwa
margin bunga yang tinggi mencerminkan lingkungan dan
peraturan perbankan yang kurang memadai. Sehingga,
hasil kajian ini juga dapat memberikan manfaat dalam
memberikan rekomendasi terkait hal tersebut.
Tulisan ini akan dibagi dalam beberapa bagian.
Bagian pertama menjelaskan latar belakang permasalahan.
Bagian kedua menguraikan tinjauan pustaka. Bagian ketiga
menjelaskan metode penelitian dan data yang digunakan,
serta definisi operasional variabel. Bagian keempat
merupakan pembahasan serta temuan yang didapat guna
menjawab permasalahan penelitian. Bagian terakhir
merupakan simpulan dan rekomendasi kebijakan.
2. KAJIAN LITERATUR
2.1. Faktor-faktor yang Memengaruhi Margin
Bunga: Tinjauan Teoretis dan Empiris
Dalam melakukan analisis terhadap margin
bunga, literatur mengklasifikasikan faktor ke dalam tiga 2 Tidak memasukkan kegiatan bank dalam fee-based income.
75
Artikel I - Persaingan Pasar, Margin Bunga dan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia
operasi bank ke dalam model serta menggunakan Indeks
Lerner sebagai ukuran langsung tingkat persaingan; serta
Carbó dan Rodríguez (1997) yang memperluas model Ho
dan Saunders dengan memasukkan kegiatan lain pada
bank selain intermediasi.
Secara eksplisit, makalah ini akan menggunakan
model yang dikembangkan oleh Maudos dan Guevara
(2004) dan mengujinya pada kasus perbankan di Indonesia.
Kontribusi Maudos dan Guevara merupakan salah satu
yang paling fundamental. Sudah umum dipahami bahwa
penentu margin bunga bukan hanya terkait sisi eksternal
(struktur pasar dan risiko pasar) tetapi juga sisi internal
atau manajemen bank itu sendiri. Sehingga, dalam teorinya
Maudos dan Guevara memasukkan unsur biaya operasi
sebagai penentu margin bunga. Mereka mengujikan model
yang dikembangkannya tersebut pada perbankan di Eropa
pada periode 1992-2000. Lebih lanjut, mereka mengukur
secara langsung indikator persaingan ke dalam Indeks
Lerner. Mereka menyimpulkan bahwa meningkatnya
persaingan antar-bank menyebabkan menurunnya margin
bunga, yang berarti semakin rendahnya biaya intermediasi
yang harus ditanggung oleh pelaku perekonomian.
Bukti empiris model Ho dan Saunders di Amerika
Latin menyebutkan bahwa konsentrasi dan struktur pasar
perbankan signifikan mempengaruhi margin bunga di
Argentina, Chile, Colombia, Mexico and Peru (Martínez
and Mody, 2004). Selain itu, bank asing lebih efisien dalam
biaya menghasilkan margin bunga yang lebih rendah
daripada bank domestik. Selanjutnya, Gelos (2006)
menjelaskan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
terhadap tingkat margin bunga di Amerika Latin dengan
negara berkembang lainnya. Dengan menggunakan 85
negara sampel, termasuk 14 negara Amerika Latin, Gelos
berkesimpulan bahwa margin bunga di Amerika Latin lebih
tinggi karena lemahnya persaingan sehingga
menyebabkan bank kurang efisien dan suku bunga relatif
tinggi.
2.2. Kerangka Konseptual: Model
Teori dasar determinan margin bunga yang
dikembangkan oleh Ho dan Saunders (1981)
mengasumsikan bank sebagai entitas yang melakukan
fungsi intermediasi murni dan selalu meminimumkan risiko
(risk-averse). Dalam menjalankan fungsinya tersebut, bank
berusaha untuk dapat menarik simpanan dan
menyalurkannya kembali dalam bentuk pinjaman. Dalam
dua kegiatan tersebut, tentu saja terdapat asimetri
informasi sehingga bank harus menetapkan suku bunga
simpanan (rD) dan suku bunga pinjaman (rL) secara optimal
sehingga tidak mengalami kelebihan permintaan pinjaman
dan sebaliknya kekurangan supply simpanan. Sehingga,
bank menetapkan suku bunganya (simpanan dan pinjaman
= a dan b) relatif terhadap suku bunga pasar (r):
.................................................... (1)
Sehingga, margin suku bunga (spread = s) dapat dituliskan
sebagai:
....................................... (2)
Selanjutnya, kekayaan awal (initial wealth) bank
ditentukan dari selisih antara aktiva (pinjaman = L dan surat
berharga pasar uang bersih = M) dengan kewajibannya
(simpanan = D). Sehingga, ini dapat dituliskan sebagai:
........... (3)
Dimana L0 √ D0 adalah persediaan kredit bersih (net credit
inventory = I0).
Adanya kritik dari Lerner (1981) menyebabkan
adanya modifikasi model asli dari Ho dan Saunders terkait
biaya produksi pada kegiatan intermediasi. Biaya operasi
bank selanjutnya diasumsikan sebagai fungsi dari simpanan
(C(D)) dan pinjaman (C(L)) yang terjadi. Sehingga
persediaan kredit bersih dituliskan sebagai (C(I)) = (C(L)) +
(C(D)). Dengan asumsi ini kekayaan bank dituliskan
menjadi:
76
Artikel I - Persaingan Pasar, Margin Bunga dan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia
........... 4)
Dimana:
adalah keuntungan rata-rata persediaan
kredit bersih;
adalah keuntungan rata-rata
dari kekayaan awal bank;
adalah risiko rata-rata dari persediaan kredit bersih; dengan
asumsi tidak ada risiko pada simpanan sehingga
dan .
dan mencerminkan tingkat ketidakpastian
yang dihadapi oleh bank, yaitu: risiko suku bunga pasar
dan risiko kredit, yang mana keduanya terdistribusi secara
acak ( dan ) .
Sebagai entitas bisnis, bank juga berusaha untuk
selalu memaksimumkan utilitasnya. Utilitas dalam hal ini
diasumsikan sebagai kekayaan yang diharapkan (expected
wealth). Dengan menggunakan metode penyelesaian
Taylor, ekspektasi terhadap utilitas kekayaan dinotasikan
menjadi Derivasi lengkap tentang hal
ini dapat dilihat pada Maudos dan Guevara (2004, p.2263-
2264). Sementara hasil penyelesaian a dan b dari derivasi
tersebut pada kondisi order pertama adalah:
bahwa yang menjadi faktor penentu margin bunga
perbankan adalah:
a. Tingkat persaingan yang tinggi di pasar. Dalam model
ini ditentukan oleh β yaitu elastisitas permintaan
pinjaman dan supply simpanan. Semakin tinggi hasil
β bank semakin mempunyai kesempatan untuk
menetapkan margin yang tinggi karena kekuatan
pasarnya. Sementara α/β memroksi kemungkinan
profit implisit monopoli pada margin bank.
b. Biaya operasi. Munculnya variabel ini secara langsung
dalam model merupakan temuan dari Maudos dan
Guevara (2004). Ini dilandasi oleh pemikiran bahwa
bank yang bekerja dengan biaya yang tinggi tentu
saja akan mencari jalan untuk menutup biaya tersebut
yang salah satunya didapatkan melalui penetapan
margin pendapatan yang tinggi (interest revenue).
c. Tingkat aversi terhadap risiko ( ). Semakin
tinggi tingkat aversi sebuah bank maka bank
cenderung akan menetapkan margin yang tinggi.
d. Volatilitas suku bunga pasar ( ). Semakin tinggi
volatilitas suku bunga pasar maka semakin tinggi
risiko pasar dan bank cenderung akan semakin tinggi
menetapkan margin karena bank harus bekerja
dengan biaya yang lebih besar.
e. Risiko kredit( ). Semakin tinggi risiko terhadap
pengembalian kredit maka bank semakin tinggi akan
menetapkan margin.
ººº (5)
Sehingga margin bunga optimal (s = a + b) adalah:
............. (6)
Berdasarkan turunan model yang dikembangkan Ho
dan Saunders (1981) tersebut, maka dapat diuraikan
77
Artikel I - Persaingan Pasar, Margin Bunga dan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia
f. Interaksi antara risiko pasar dan risiko kredit ( ).
g. Ukuran bank. Dalam model variabel ini
digambarkan oleh (L+D) dan (L+2L0). Justifikasi dari
hal ini adalah semakin besar tingkat operasi sebuah
bank maka akan semakin tinggi tingkat potensial
kerugiannya. Tingkat potensial loss akan semakin
besar apabila pinjaman yang diberikan oleh bank
semakin besar.
Model yang disajikan di atas mengasumsikan bank
beroperasi secara tradisional, sehingga hanya
menghasilkan spread murni dari hasil kegiatan pinjaman
dan simpanan. Namun pada kenyataannya, terdapat
faktor-faktor lain yang menentukan margin bunga seperti
aspek regulasi sehingga umum dilakukan penambahan
variabel dalam model (Maudos dan Geuvara, 2004).
Variabel penjelas margin bunga tambahan pada makalah
ini antara lain:
a. Bunga implisit. Variabel ini digunakan untuk
menangkap besarnya beban lain (additional expenses)
yang ditanggung oleh bank selain beban bunga atas
simpanan (interest expense).
b. Oportunitas memegang cadangan. Tanda yang
diharapkan pada variabel ini adalah positif. Semakin
tinggi aktiva likuid yang dipegang oleh bank
menyebabkan bank membutuhkan margin bunga
yang tinggi untuk mempertahankan target
pendapatannya. Berbeda halnya apabila bank
melakukan diversifikasi portofolio pada aktiva
likuidnya semisal pada surat-surat berharga jangka
pendek. Pada kasus ke-dua bank akan memperoleh
imbalan berupa pendapatan bunga (di luar pinjaman
yang diberikan).
c. Kualitas manajemen. Kualitas manajemen yang baik
dicerminkan dari kemampuan mengelola aktiva yang
menguntungkan (profitable) dengan biaya yang
murah. Sehingga tanda dari variabel ini diharapkan
negatif terhadap margin bunga; semakin tinggi
kualitas manajemen sebuah bank maka bank
cenderung membebankan bunga yang rendah.
3. METODOLOGI DAN DATA
3.1. Teknik Analisis
Dalam perkembangannya, terdapat dua pendekatan
dalam melakukan analisis terhadap model margin bunga
yang dikembangkan oleh Ho dan Saunder (1981). Pertama
adalah dengan menggunakan pendekatan dua tahap (two-
stage) seperti yang dilakukan oleh Ho dan Saunder (1981)
serta Saunder dan Schumacher (2000). Dalam pendekatan
ini, pada tahap pertama pengaruh variabel determinan
margin bunga yang tidak secara eksplisit dijelaskan dalam
model teoretis dikontrol untuk memperoleh estimasi
margin bunga murni. Sedangkan pada tahap kedua, hasil
analisis margin bunga murni dengan variabel
determinannya dijelaskan dengan menggunakan model
teoretis. Penerapan model ini memiliki keuntungan dimana
margin bunga murni dapat diestimasi. Namun, untuk
mengestimasinya diperlukan data runtut waktu (time
series) yang panjang (Maudos dan Guevara, 2004).
Kedua adalah pendekatan satu tahap (single stage)
seperti diaplikasikan oleh McShane dan Sharpe (1985);
Angbanzo (1997); dan Maudos dan Guevara (2004).
Dalam pendekatan ini, semua variabel dimasukkan dalam
satu model analisis. Variabel determinan ini meliputi
variabel yang dijelaskan dalam model teoretis maupun
tambahan variabel lainnya yang menjelaskan aspek lainnya
dalam pendekatan pertama.
Mengingat periode penelitian ini hanya
menggunakan data mulai tahun 2001 hingga 2007, maka
pendekatan pertama (two-stage) tidak mungkin dilakukan.
Sehingga untuk mengatasi permasalahan tersebut,
penelitian ini akan menggunakan pendekatan kedua.
Adapun pendekatan ekonometrik yang akan digunakan
untuk menganalisis margin bunga dalam penelitian ini
adalah pendekatan panel data. Secara umum model panel
78
Artikel I - Persaingan Pasar, Margin Bunga dan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia
data dapat disampaikan sebagai berikut:
ºººººººº.... (7)
Dimana i merupakan indeks bank, dan t merupakan indeks
waktu. Dalam model tersebut juga melibatkan variabel
boneka (dummy) untuk mempertimbangkan penggunaan
instrumen suku bunga Bank Indonesia (SBI) dalam
kebijakan moneter di Indonesia yang dimulai sejak tahun
2005. Ini digambarkan sebagai DUMBIRate»2005-2007.
ηi, merupakan variabel dampak individual (unobserved
heterogeneity). Variabel ini dibutuhkan dalam analisis
(SIZE). Sedangkan variabel tambahan meliputi: pembayaran
suku bunga implisit (IIP), biaya oportunitas memegang
cadangan (RESERVE), dan kualitas manajemen bank
(EFFICIENCY). Adapun penjelasan lebih detail tentang
definisi operasional dan proksi masing-masing variabel
akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.
Dengan memasukkan variabel-variabel di atas,
maka merupakan:
itidxitit uDUMBIRateXNIM ++++= − ηγγγ 200720051 ''
ditX γ'
ditX γ' ititititit CreditRiskYSDMSDRiskAverAOCMarkCon 65432 5/3 γγγγγ ++++=
ititititit EFFICIENCYRESERVEIIPSIZECreditRiskYSDMSD 1110987 *5/3 γγγγγ +++++
karena penelitian ini menggunakan panel data bank
sehingga tidak mungkin untuk melibatkan semua variabel
yang dapat menjelaskan perbedaan pada margin bunga
pada masing-masing bank. Dengan kata lain, penelitian
ini akan menggunakan model fixed effect seperti yang
digunakan oleh Maudos dan Guevara (2004). Sementara
itu, uit ~ N(0, σu2) merupakan error yang diasumsikan acak
(random) dan tidak berkorelasi ketika waktu atau bank
tidak sama (E[uit ujs] = 0 if i ≠ j or t ≠ s) serta σu2 diasumsikan
konstan.
Xit adalah vektor variabel determinan untuk margin
suku bunga. Berdasarkan model teoretis yang dijelaskan
pada bagian sebelumnya bahwa variabel determinan
meliputi variabel determinan margin bunga murni dan
variabel yang dapat menyebabkan ketidaksempurnaan
(imperfection determinant variables). Adapun variabel inti
meliputi: struktur pasar (MarkCon), biaya operasi rata-rata
(AOC), tingkat keengganan terhadap risiko (RiskAver);
volatilitas suku bunga pasar (SD3M/SD5Y), risiko kredit
(CreditRisk), hubungan antara risiko kredit dan risiko pasar
(SD3M/SD5Y*CreditRisk); dan rata-rata ukuran dari
operasional bank atau volume dari kredit yang diberikan
Pengujian pada makalah ini juga menggunakan tes
spesifikasi Hausman yang digunakan untuk melihat apakah
penggunaan model fixed effect adalah paling efisien.
Hausman test lazim digunakan dalam penggunaan metode
data panel untuk melihat alternatif model yang lebih
efisien. Selain itu, penggunaan Hausman test juga
memastikan bahwa model efisien yang dipilih juga akan
memberikan hasil yang konsisten. Penjelasan lebih rinci
dari Hausman test dan hipotesis tes-nya dapat dilihat pada
Baltagi (2005, pp. 66 √ 70).
3.2. Variabel
Model teoretis yang dijelaskan sebelumnya
memerlukan proksi untuk dapat dilakukan pengukuran
dan pemenuhan datanya. Berdasarkan model tersebut,
terdapat tujuh variabel yang dapat menjelaskan variasi
pada margin bunga ditambah dengan tiga variabel penjelas
lainnya. Variabel tersebut meliputi: struktur pasar; biaya
operasi, aversi terhadap risiko, volatilitas suku bunga pasar,
risiko kredit, interaksi risiko kredit dan risiko pasar, ukuran
bank, bunga implisit, oportunitas memegang cadangan,
dan kualitas manajemen.
79
Artikel I - Persaingan Pasar, Margin Bunga dan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia
(monopoli). Indeks Herfindahl yang digunakan
meliputi Herfindahl pada kredit dan deposito. Indeks
Herfidahl didefinisikan sebagai penjumlahan kuadrat
dari pangsa pasar3. Total deposito dan total kredit
yang disalurkan digunakan sebagai proksi aktivitas
bank.
Perhitungan Indeks Lerner menggunakan pendekatan
Maudos dan Guevara (2004) dimana tingkat harga
dihitung dengan menggunakan estimasi terhadap
harga rata-rata dari produk bank (diproksi dengan total
aset) sebagai rasio dari total pendapatan dan total aset.
Secara matematis, indeks Lerner dapat ditulis:
i
iii
p
MCpLERNER
−=
Harga produk (pi) adalah pendapatan total
(pendapatan bunga ditambah pendapatan
operasional lain) dibagi total aset. Sedangkan MC
adalah biaya marjinal yang merupakan biaya
tambahan untuk menghasilkan satu unit tambahan
output. Adapun MC diperoleh dengan melakukan
estimasi fungsi biaya. Fungsi biaya yang diestimasi
adalah fungsi biaya dengan satu output dan tiga
harga input. Masing-masing fungsi biaya dari bank
ºººººº. (8)
Dimana: TC merupakan biaya total, y merupakan
kredit, w1 merupakan harga tenaga kerja, w2
merupakan harga modal fisik, w3, merupakan harga
deposit4. Dengan menggunakan koefisien yang
didapat dari estimasi fungsi biaya tersebut, maka MC
dapat dihitung. Secara matematis, MC dapat ditulis:
Adapun turunan dari logaritma total biaya terhadap
logaritma output dapat dihitung dengan menggunakan
fungsi biaya pada persamaan (8).
Hubungan antara struktur pasar dengan margin
bunga adalah positif. Artinya, apabila pasar semakin
terkonsentrasi (persaingan tidak sempurna) maka
margin bunga cenderung semakin tinggi.
b.b.b.b.b. Biaya OperasionalBiaya OperasionalBiaya OperasionalBiaya OperasionalBiaya Operasional: biaya operasional rata-rata diproksi
dengan menggunakan rasio beban operasi terhadap
total aset.
c.c.c.c.c. Tingkat Keengganan (Aversi) terhadap Risiko Tingkat Keengganan (Aversi) terhadap Risiko Tingkat Keengganan (Aversi) terhadap Risiko Tingkat Keengganan (Aversi) terhadap Risiko Tingkat Keengganan (Aversi) terhadap Risiko :
Mengikuti pendekatan yang digunakan oleh
a.a.a.a.a. Struktur Pasar Struktur Pasar Struktur Pasar Struktur Pasar Struktur Pasar : Struktur pasar diukur dengan Indeks
Herfindahl dan Lerner. Indeks Herfindahl digunakan
untuk mengukur tingkat konsentrasi pasar. Semakin
indeks mendekati 0 semakin rendah konsentrasinya
(perfect competition) dan sebaliknya angka 1
menunjukkan konsesntrasi pasar yang tinggi
secara individu diestimasi untuk setiap tahun dengan
menggunakan model fixed effect. Dalam estimasi
tersebut, restriksi dari homogenitas linier dalam harga
input dilakukan dengan menormalisasi total biaya dan
harga input dengan satu harga input terpilih. Fungsi
biaya dapat disampaikan sebagai berikut:
3
lnw
TC+
+
+
+++
3
2
3
15
3
24
2
13
2
210 lnlnlnln)(ln2
1ln
w
w
w
w
w
w
w
wyy αααααα
+
+
+
3
29
3
18
2
3
27
2
3
16 lnlnlnlnln
2
1ln
2
1
w
wy
w
wy
w
w
w
wαααα
=
+
++=
∂
∂
3
29
3
1821 lnlnln.
ln
ln
w
w
w
wy
y
TCαααα
yd
TC
y
TCMC
ln
ln.∂
=
3 Indeks Herfindahl dapat ditulis: 2
1 i
N
i
sH ∑=
= , dimana H adalah indeks Herfindahl, s
adalah pangsa pasar, dan N merupakan jumlah bank.
4 w1 = harga tenaga kerja = beban personalia / total aktiva;w2 = harga modal fisik = (beban operasi √ beban personalia) / aktiva tetap;w3 = harga simpanan = beban bunga / total simpanan.
80
Artikel I - Persaingan Pasar, Margin Bunga dan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia
McShane dan Sharpe (1985) serta Maudos dan
Guevara (2004), variabel ini diproksi menggunakan
rasio kapitalisasi yaitu rasio antara total ekuitas dan
total aktiva. Hubungan antara variabel ini dengan
margin bunga diharapkan positif. Semakin tinggi
keengganan suatu bank dalam mengambil risiko,
yang ditunjukkan dengan rasio kapitalisasi yang
tinggi, maka bank cenderung menetapkan margin
bunga lebih tinggi untuk mengompensasi tingginya
pembiayaan ekuitas jika dibandingkan dengan
pembiayaan dari luar (debt).
d.d.d.d.d. Volatilitas Suku Bunga Volatilitas Suku Bunga Volatilitas Suku Bunga Volatilitas Suku Bunga Volatilitas Suku Bunga : Ketidakpastian yang terjadi
dalam model teoretis digambarkan oleh varian suku
bunga pasar. Dalam model empiris, proksi untuk
variabel ini diperoleh dari penghitungan volatilitas
suku bunga pasar yang biasanya dilakukan melalui
pengukuran standar deviasi. Makalah ini
menggunakan pengukuran standar deviasi tahunan
yang diperoleh melalui data bulanan suku bunga
antar-bank periode 3 bulan (SD3M). Selain itu, juga
digunakan parameter suku bunga obligasi publik
jangka waktu menengah (SD5Y).
e.e.e.e.e. Risiko Kredit Risiko Kredit Risiko Kredit Risiko Kredit Risiko Kredit : Risiko kredit digunakan untuk
menangkap kemungkinan gagal bayar (provision of
insolvency) yang biasanya dibebankan pada suku
bunga operasi (pinjaman). Variabel ini diproksi dengan
rasio pinjaman terhadap total aset (Maudos dan
Guevara, 2004). Variabel ini diharapkan positif
dengan alasan semakin besar bank memberikan
kredit maka semakin besar risiko kredit yang harus
ditanggung.
f.f.f.f.f. Interaksi antara Risiko Kredit dan Risiko Pasar Interaksi antara Risiko Kredit dan Risiko Pasar Interaksi antara Risiko Kredit dan Risiko Pasar Interaksi antara Risiko Kredit dan Risiko Pasar Interaksi antara Risiko Kredit dan Risiko Pasar :
Interaksi antara risiko kredit dan risiko pasar diproksi
dengan mengalikan SD3M dengan risiko kredit.
g.g.g.g.g. Ukuran Bank Ukuran Bank Ukuran Bank Ukuran Bank Ukuran Bank : diproksi dengan nilai logaritma dari
pinjaman yang diberikan.
Variabel penjelas lain yang digunakan dalam menentukan
margin bunga murni adalah:
h.h.h.h.h. Bunga Implisit Bunga Implisit Bunga Implisit Bunga Implisit Bunga Implisit : diproksi dengan beban operasi minus
pendapatan non-bunga per total aset. Tanda positif
diharapkan dari variabel ini.
i.i.i.i.i. Biaya Oportunitas dari CadanganBiaya Oportunitas dari CadanganBiaya Oportunitas dari CadanganBiaya Oportunitas dari CadanganBiaya Oportunitas dari Cadangan : diproksi dengan
menggunakan rasio cadangan cair (kas dan setara
kas) per total aset.
j.j.j.j.j. Kualitas Manajemen Kualitas Manajemen Kualitas Manajemen Kualitas Manajemen Kualitas Manajemen : Kualitas manajemen yang baik
dicerminkan melalui komposisi aktiva yang
menguntungkan (profitable) dan komposisi
kewajiban yang berbiaya rendah. Variabel ini diproksi
dengan menggunakan rasio beban operasi per laba
operasi. Semakin tinggi rasio ini menunjukkan kualitas
manajemen yang kurang baik, sehingga
menghasilkan margin bunga yang rendah. Tanda
negatif diharapkan dari variabel ini.
3.3. Data dan Sumber Data
Sampel yang digunakan adalah 125 bank umum
yang beroperasi pada periode 2001-2007. Periode
observasi dimulai tahun 2001 dengan alasan bank sudah
beroperasi secara normal setelah terjadinya krisis 1997-
1998. Dengan demikian tidak perlu melakukan eliminasi
sampel terkait data-data yang sifatnya outlier.
Data diperoleh melalui Direktori Perbankan
Indonesia, yang memuat laporan keuangan tahunan bank.
Karena, makalah ini bertujuan untuk menangkap perilaku
margin bunga pada bank secara individual, maka data
keuangan yang digunakan sebagai sampel berasal dari
laporan keuangan bank bukan konsolidasi. Estimasi data
dilakukan secara balanced panel.
Data suku bunga pasar diambil dari data bulanan
JIBOR (Jakarta Inter-bank Offered Rate) untuk periode
2001-2007. Data serupa untuk menangkap volatilitas suku
bunga obligasi berjangka waktu lima tahun didapatkan
dari Bapepam LK.
81
Artikel I - Persaingan Pasar, Margin Bunga dan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia
4. HASIL DAN ANALISIS
4.1. Deskripsi Sampel
Total sampel yang digunakan belum mencapai semua
bank umum di Indonesia, namun sudah meliputi lebih dari
90 persen total aktiva perbankan di masing-masing
periode. Pengambilan sampel pada semua bank umum
tidak dimungkinkan karena terdapat entitas yang tidak
mempunyai data secara lengkap, sehingga dieliminasi.
Eliminasi juga dilakukan terhadap entitas yang mengalami
kegagalan/likuidasi dan penggabungan usaha selama
kurun waktu 2001-2007.
(2) Biaya operasi mengalami penurunan bertahap selama
periode observasi menunjukkan kinerja perbankan
Indonesia yang mengalami perbaikan.
(3) Risiko kredit terlihat menunjukkan peningkatan.
(4) Indikator ukuran (pinjaman yang diberikan bank)
menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Ini
mengindikasikan fungsi intermediasi yang semakin
baik.
Tabel A1.1:Definisi dan Nilai Rata-rata Variabel Penelitian
NIM%(dependen) Margin bunga, perbedaan antara pendapatan bungadan beban bunga per total asset dalam % 5,16 5,33 5,52 6,16 5,85 5,44 5,34
HerfLoan Indeks Herfindahl dari konsentrasi pasar nasionaldengan ukuran pinjaman bank 0,06 0,06 0,06 0,07 0,07 0,07 0,06
HerfDeposit Indeks Herfindal dari konsentrasi pasar nasionaldengan ukuran deposito bank 0,07 0,07 0,07 0,08 0,09 0,10 0,10
LERNER % Indeks Lerner dari kekuatan pasar 27,38 26,22 24,70 27,09 26,41 20,82 24,37AOC % Biaya operasi rata-rata 3,89 4,09 4,51 4,98 4,70 5,01 4,62RISKAVER % Derajat aversi risiko, diproksi menggunakan
rasio ekuitas/ total aktiva 15,29 13,24 13,39 13,64 13,54 17,26 15,13SD3M Standar deviasi dari tingkat suku bunga
pasar keuangan 3 bulanan 0,45 1,48 2,96 0,22 1,72 1,56 1,06SD5Y Standar deviasi dari suku bunga obligasi 5 tahunan 0,13 0,32 0,16 0,27 0,57 0,33 0,42CRERISK Risiko kredit, diproksi menggunakan rasio pinjaman/
total aktiva 53,09 51,30 54,28 53,25 49,11 47,09 46,67SD3M*CreditRisk Interaksi antara risiko kredit dan risiko pasar (SD3M) 0,24 0,76 1,61 0,12 0,84 0,73 0,49SD5Y*Credit Risk Interaksi antara risiko kredit dan risiko pasar (SD5Y) 0,07 0,16 0,09 0,14 0,28 0,16 0,20SIZE Ukuran, diproksi menggunakan pinjaman yang
diberikan (dalam logaritma) 6,19 6,09 6,03 5,92 5,78 5,69 5,64IIP % Pembayaran bunga implisit, didefinisikan sebagai rasio
biaya operasional bersih dari pendapatan non-bunga/total aktiva 0,03 0,03 0,03 0,04 0,04 0,03 0,03
RESERVE % Biaya oportunitas dari cadangan bank, diproksimenggunakan rasio cadangan likuiditas/total aktiva 0,35 0,36 0,32 0,34 0,36 0,41 0,44
EFFICIENCY % Efisiensi (rasio beban operasi terhadap laba operasi)sebagai ukuran dari kualitas manajemen 308,80 401,46 398,41 698,58 398,52 133,61 -47,38
Jumlah Bank Ω 125 125 125 125 125 125 125
Simbol Definisi 2007 2006 2005 2004 2003 2002 2001
Sumber: Direktori Perbankan Indonesia, 2001 -2008.
Deskripsi singkat variabel dependen dan penjelas dari
keseluruhan sampel disajikan pada tabel 1. Dari tabel
tersebut terdapat beberapa indikasi penting yang dapat
disimpulkan, antara lain:
(1) Dari ke-tiga indikator persaingan (HerfLoan, HerfDep,
dan Lerner) selama 2001-2007 mengindikasikan
peningkatan iklim persaingan di pasar perbankan
Indonesia tidak dapat ditemukan karena indeks relatif
stabil.
(5) Rasio biaya operasi per laba operasi (efisiensi) tidak
menunjukkan tren yang jelas. Angka menunjukkan
negatif pada tahun 2001, ini berarti terdapat banyak
bank yang mengalami kerugian. Selanjutnya, rata-
rata tahunan terentang dari 133 persen hingga 698
persen (semakin tinggi nilai variabel ini semakin tidak
efisien kinerja bank). Ini menunjukkan kualitas
manajemen yang kurang baik, yang mana perbankan
Indonesia membutuhkan biaya operasi 1,33 hingga
82
Artikel I - Persaingan Pasar, Margin Bunga dan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia
6,98 kali untuk menghasilkan satu satuan uang laba
operasi5.
4.2. Hasil Estimasi
Tabel 2 merupakan hasil estimasi yang telah
dilakukan. Secara umum, variabel penjelas mempengaruhi
margin bunga secara signifikan. Selain itu, hasil estimasi
juga menunjukkan tanda seperti yang diharapkan,
meskipun ada beberapa pengecualian.
Variabel konsentrasi pasar secara signifikan
berpengaruh positif terhadap margin suku bunga. Hal itu
ditunjukkan oleh Indeks Lerner dan Indeks Herfindahl
untuk kredit. Ini mengindikasikan bahwa semakin pasar
tidak sempurna (terkonsentrasi) maka bank cenderung
mengenakan margin bunga yang tinggi6. Namun, hasil
negatif ditunjukkan oleh Indeks Herfindahl untuk deposito.
Semua hasil estimasi menunjukkan biaya operasional
yang secara signifikan berpengaruh positif terhadap margin
bunga. Ini menunjukkan dengan semakin tingginya biaya
operasional rata-rata maka margin bunga juga semakin
tinggi pula. Pengaruh positif dan signifikan secara statistik
juga berlaku dalam hubungan margin bunga dan tingkat
keengganan terhadap risiko. Hal itu mengindikasikan
bahwa semakin suatu bank enggan mengambil risiko,
maka bank tersebut akan menetapkan margin bunga yang
lebih tinggi.
Risiko pasar (SD3M dan SD5Y) diharapkan
mempunyai tanda positif dalam mempengaruhi margin
bunga. Namun variabel ini secara statistik tidak signifikan
mempengaruhi margin bunga.
5 Apabila dibandingkan dengan data pada negara-negara Eropa, Indonesia untuk butirini sangat tidak efisien. Maudos dan Guevara (2004) dalam studinya mempunyai databahwa selama kurun waktu 1993-2000, rasio efisiensi perbankan Eropa berkisar padaangka 59 persen hingga 64 persen yang berarti untuk menghasilkan satu satuan uanglaba operasi hanya dibutuhkan biaya 0,59 hingga 0,64 kali.
6 Terkait dengan terkonsentrasinya pasar, terbukti indikator baik Herfindahl maupun Lernerpada perbankan Indonesia nilainya lebih tinggi (Herfindahl 0,06-0,07 dan Lerner 27%)dari pada indikator serupa di Eropa (Herfindal 0,03 dan Lerner 15%) yangmengindikasikan lebih terkonsentrasinya pasar.
Tabel A1.2:Determinan Margin Bunga, 2001 - 2007
MarkCon 0.075* 28.32 0.075* 28.31 0.613* 3.11 0.359** 2.13 -0.471* -4.85 -0.443* -4.94AOC 0.241* 12.08 0.239* 12.03 0.083* 3.01 0.088* 3.18 0.080* 2.92 0.079* 2.89RiskAver 0.009* 4.74 0.009* 4.73 0.007** 2.51 0.007** 2.50 0.008* 2.89 0.008* 2.83SD3M -0.0004 -1.17 -0.002* -2.42 0.001 1.26SD5Y 0.014* 2.17 0.000 0.04 0.006 1.29CreditRisk 0.030* 7.35 0.019* 3.39 0.060* 10.42 0.058* 10.11 0.059* 10.41 0.060* 10.64SD*CreditRisk 0.000 -0.01 -0.030* 2.68 -0.001 -0.46 0.006 0.38 -0.002 -0.64 0.007 0.44SIZE -0.011* -5.07 -0.010* -4.90 -0.011* -3.37 -0.008** -2.55 -0.011* -3.57 -0.012* -3.93IIP 0.530* 21.28 0.531* 21.27 0.074* 2.62 0.0790* 2.81 0.062** 2.22 0.066** 2.35RESERVE 0.004*** 1.92 0.005*** 1.93 0.007 1.55 0.007 1.60 0.008*** 1.84 0.007*** 1.74EFFICIENCY -0.003** -2.15 -0.002** -2.13 -0.003** -2.03 -0.003*** -1.83 -0.003** -2.17 -0.001** -2.14DUMBIRate 0.001 0.92 0.001 0.64 0.004*** 1.78 0.000 0.26 -0.011* -4.68 -0.008* -4.42Konstanta 0.059* 4.7 0.052* 4.40 0.044* 2.22 0.039** 1.97 0.125* 5.82 0.126* 5.85
Jumlah Observasi 871 Ω 871 Ω Ω871 Ω 871 Ω Ω871 Ω 871 ΩR2 0.7496 0.7492 0.4836 0.4795 0.493 0.4931Hausman Test 80.3* Ω 161.11* Ω Ω49.26* Ω 39.07* Ω Ω49.11* Ω 58.43* Ω
Note: Estimasi dilakukan dengan menggunakan metodel balance panel data. *;**;*** mengindikasikan signifikan pada 1;5; dan 10%
Total SampelTotal SampelTotal SampelTotal SampelTotal SampelVariabel Dependen: Variabel Dependen: Variabel Dependen: Variabel Dependen: Variabel Dependen: MarginMarginMarginMarginMargin Bunga (NIM) Bunga (NIM) Bunga (NIM) Bunga (NIM) Bunga (NIM)LernerLernerLernerLernerLerner Herfindahl LoanHerfindahl LoanHerfindahl LoanHerfindahl LoanHerfindahl Loan Herfindahl DepositHerfindahl DepositHerfindahl DepositHerfindahl DepositHerfindahl DepositKoefisienKoefisienKoefisienKoefisienKoefisien t-statt-statt-statt-statt-stat KoefisienKoefisienKoefisienKoefisienKoefisien t-statt-statt-statt-statt-stat ΩKoefisienΩKoefisienΩKoefisienΩKoefisienΩKoefisien t-statt-statt-statt-statt-stat KoefisienKoefisienKoefisienKoefisienKoefisien t-statt-statt-statt-statt-stat ΩKoefisienΩKoefisienΩKoefisienΩKoefisienΩKoefisien t-statt-statt-statt-statt-stat KoefisienKoefisienKoefisienKoefisienKoefisien t-statt-statt-statt-statt-stat
83
Artikel I - Persaingan Pasar, Margin Bunga dan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia
Variabel SD5Y mempunyai tanda positif signifikan
apabila diestimasi dengan indikator struktur pasar indeks
Lerner. Dan SD3M hanya signifikan apabila diestimasi
dengan indikator struktur pasar indeks Herfindahl pinjaman
(HerfLoan). Itu pun tanda yang dihasilkan adalah negatif
yang berarti keluar dari teori yang seharusnya. Dengan
hasil ini dapat disimpulkan bahwa indikator risiko pasar
kurang memberikan hasil yang nyata dalam
mempengaruhi margin bunga pada perbankan Indonesia.
Hasil estimasi pada risiko kredit (CreditRisk)
memberikan hasil yang tegas bahwa secara statistik
variabel tersebut mempengaruhi margin bunga. Tanda
yang dihasilkannya pun positif. Kondisi ini berarti
mendukung teori yang mengasumsikan semakin besar
risiko kredit yang dihadapi oleh bank maka bank
cenderung menentukan margin bunga yang tinggi pula.
Sementara itu, variabel SIZE yang diharapkan
mempunyai tanda positif, secara signifikan menunjukkan
hasil yang berkebalikan. Secara teroretis, semakin besar
ukuran operasi bank, maka risiko kegagalan (loan default)
yang dihadapi oleh bank juga semakin besar sehingga bank
cenderung mengenakan margin bunga yang tinggi.
Namun, dengan tanda negatif berarti semakin besar
ukuran operasi, bank cenderung menentukan margin yang
lebih rendah. Ini sesuai dengan prinsip keeekonomian
(economies of scale). Hasil studi Maudos dan Guevara
(2004) di lima negara besar Eropa juga menunjukkan hal
yang sama.
Terkait dengan variabel penjelas tambahan, efficiency
sebagai indikator kualitas manajemen secara statistik
signifikan mempengaruhi margin bunga dengan tanda
negatif. Ini berarti semakin besar nilai variabel ini semakin
mengindikasikan ketidakefisienan. Dalam hal variabel
oportunitas biaya memegang cadangan (RESERVE), hasil
menunjukkan tanda positif; namun pada estimasi dengan
menggunakan struktur pasar indeks Herfindahl pinjaman
(HerfLoan) variabel ini secara statistik tidak signifikan.
Dari hasil estimasi, dapat diberikan suatu gambaran
umum bahwa perilaku margin bunga bank di Indonesia
lebih besar dipengaruhi oleh faktor struktur pasar dan
kinerja operasional individual bank. Hal ini dibuktikan
dengan jelas oleh signifikannya indikator yang mengukur
tentang hal tersebut (Lerner, AOC, dan Efficiency).
Sebaliknya, risiko pasar kurang berpengaruh (karena secara
statistik tidak signifikan).
LERNER 16,25AOC 39,85RiskAver 1,92SD5Y 0,31CREDITRISK 4,51SD5Y*CreditRisk 1,64SIZE -0,11IIP 25,76RESERVE 1,99EFFICIENCY -14,77
Tabel A1.3Elastisitas Titik dari Margin Suku Bunga terhadap
Determinannya
DETERMINAN POINT ELASTISITAS
Lebih lanjut, untuk mendukung penjelasan di atas,
akan dilakukan simulasi dengan menggunakan
penghitungan elastisitas terhadap faktor-faktor penjelas
margin bunga (determinan). Hasil penghitungan dapat
dilihat pada tabel 3. Tabel tersebut menggambarkan
pengaruh perubahan (dalam persen) margin bunga
sebagai pengaruh dari perubahan nilai faktor determinan
sebesar 10 persen. Sebagai contoh pada kasus biaya
produksi, dengan menurunkan biaya operasional bank
sebesar 10 persen maka pengaruhnya terhadap margin
bunga adalah terjadi penurunan sebesar 39,85 persen dari
kondisi exsisting. Dengan hasil tersebut maka dapat
dinyatakan bahwa selama periode observasi, variabel inilah
yang merupakan faktor yang berkontribusi terbesar.
Demikian juga, pengaruh tingkat persaingan juga
memberikan dampak perubahan yang signifikan terhadap
Note:Nilai dalam tabel mengindikasikan persentase variasi margin bunga dalam merespon setiappengingkatan determinan sebesar 10 persen, nilai tersebut didapat dari nilai rata-rata sampel,Elastisitas Titik =
84
Artikel I - Persaingan Pasar, Margin Bunga dan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia
margin bunga sebesar 16,25 persen. Dari hasil ini dapat
disimpulkan bahwa perilaku margin bunga pada sektor
perbankan di Indonesia secara dominan dipengaruhi oleh
variasi dari biaya produksi (AOC) dan kualitas manajemen
bank (EFFICIENCY), serta tingkat persaingan (LERNER);
sementara faktor terkait risiko dan ketidakpastian (pasar
dan kredit) kurang dominan mempengaruhi. Dengan
demikian, dalam menentukan margin bunganya bank
cenderung lebih memperhatikan peta persaingan
perbankan dan kekuatan pasarnya daripada melihat risiko
dan ketidakpastian yang dihadapi (volatilitas suku bunga).
4.3. Margin Bunga di Indonesia: Apakah Itu
Optimal?
Secara umum analisis pada margin bunga
mengandung dua unsur yang saling bertolak belakang.
Sebagai lembaga intermediasi, margin bunga dipandang
sebagai biaya intermediasi. Sehingga, semakin tinggi
margin bunga semakin besar biaya yang harus ditanggung
masyarakat; dan itu membawa dampak yang kurang baik
dari sisi efektivitas kebijakan moneter dan stabilitas
keuangan. Salah satu hasil studi menyatakan, terutama di
negara sedang berkembang dimana pinjaman bank masih
menjadi sumber utama pembiayaan, margin bunga yang
tinggi akan menghambat investasi dan pertumbuhan
ekonomi secara keseluruhan (Martinez Peria and Mody,
2004). Selain itu, tingginya margin bunga dapat dijadikan
sebagai indikasi lemahnya regulasi perbankan dan adanya
asimetri informasi.
Di sisi yang lain, margin bunga yang tinggi
mengindikasikan profitabilitas yang tinggi. Ini dapat
meningkatkan kapitalisasi perbankan yang diharapkan
dapat menjadi peredam dalam menghadapi goncangan
(shock) negatif yang terjadi. Hal tersebut tentu saja
berpengaruh positif dalam hal bank sebagai entitas bisnis.
Pada kedua posisinya, bank harus berada pada posisi yang
optimal baik sebagai lembaga intermediasi maupun
sebagai entitas bisnis.
Dengan tingkat margin bunga tahunan rata-rata
sekitar 5 persen ini menunjukkan bahwa Indonesia
merupakan salah satu negara dengan margin bunga yang
tinggi. Dengan fakta tersebut, yang menjadi pertanyaan
adalah apakah penentuan harga (pricing) produk
perbankan (pinjaman dan simpanan) sudah menunjukkan
kewajaran? Atau ini justru menjadi indikasi adanya
ketidakwajaran dalam proses bisnis perbankan di
Indonesia. Maka bagian ini akan sedikit mendiskusikan
hal tersebut.
Pada sisi makro, sudah menjadi fakta umum bahwa
terjadi kekakuan suku bunga pada pasar pinjaman bank
di Indonesia. Hal ini terjadi seiring dengan menurunnya
suku bunga acuan BI yang tidak diikuti dengan penurunan
suku bunga kredit sehingga proses intermediasi tidak dapat
berjalan dengan lancar7. Ataupun, walau suku bunga kredit
memiliki kecenderungan menurun, namun sebagian besar
suku bunga aktual bank masih lebih tinggi dibandingkan
dengan hasil estimasi. Hasil studi yang dilakukan oleh Bank
Indonesia menyebutkan bahwa sejalan dengan penurunan
suku bunga SBI, estimasi biaya intermediasi menunjukkan
nilai (rata-rata) yang lebih rendah 2,43 persen
dibandingkan dengan rata-rata berdasarkan data aktual
bank pada tahun 2003 (Hadad et. al, 2003). Kondisi
tersebut menunjukkan bahwa bank sebenarnya masih
memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga kredit,
yang diharapkan dapat menurunkan margin bunga dan
selanjutnya berdampak pada optimalnya biaya
intermediasi.
Terkait dengan kekakuan suku bunga kredit yang
terjadi di Indonesia, literatur menyebutkan collusive pricing
arrangement sebagai salah satu hipotesis penyebabknya
(Hannan dan Berger, 1991). Hipotesis ini sejalan dengan
7 Dalam hal ini penulis tidak dapat memberikan data aktual terkait rigiditas suku bungapinjaman; karena untuk itu perlu dilakukan studi tersendiri guna mengetahui berapalama penyesuaian suku bunga pinjaman bank seiring dengan turunnya suku bungaacuan BI, sehingga dapat diketahui dengan pasti derajat kekakuannya.
85
Artikel I - Persaingan Pasar, Margin Bunga dan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia
hasil estimasi yang telah dilakukan. Hipotesis collusive
pricing arrangement memberikan argumen bahwa dengan
semakin terkonsentrasinya pasar maka bank cenderung
melakukan upaya kolusif dalam rangka menahan suku
bunga kredit tetap dalam hitungan yang tinggi untuk
mempertahankan pendapatannya. Hal ini sesuai dengan
hasil estimasi yang mana indeks Lerner secara statistik
positif dan signifikan mempengaruhi margin bunga
perbankan dengan tingkat elastisitas yang cukup besar
pula. Hal ini membawa implikasi pada kebijakan untuk
mengambil tindakan terkait regulasi konsentrasi pasar dan
kompetisi sektor perbankan.
Hasil lain terkait makalah ini adalah margin bunga
yang tinggi terindikasi disebabkan karena tingginya biaya
operasi bank. Data menunjukkan bahwa secara rata-rata
biaya overhead/ operasi bank menunjukkan kinerja yang
masih belum efisien terutama apabila dibandingkan
dengan negara-negara lain di Asia Tenggara yang berkisar
antara satu hingga dua persen (Hadad et. al, 2003);
sementara biaya operasi rata-rata bank di Indonesia
berkisar antara tiga hingga empat persen. Selain itu, beban
yang harus ditanggung bank dalam kegiatan
operasionalnya yang masih banyak mengandalkan cabang
dan belum menggunakan teknologi canggih juga
berpengaruh pada tingginya beban personalia. Hal ini
berkontribusi terhadap tingginya biaya operasi bank.
Hal penting yang dapat dicatat bagian ini adalah,
adanya indikasi ketidak-optimalan pada margin bunga
sektor perbankan di Indonesia. Indikasi penyebab dari
ketidakoptimalan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Adanya kekakuan pada penurunan suku bunga kredit
relatif terhadap suku bunga acuan. Ini menyebabkan
tingkat bunga kredit relatif lebih tinggi (pendapatan
bunga juga relatif lebih tinggi) daripada suku bunga
simpanan sehingga menyebabkan margin bunga
bank tinggi. Ini mengindikasikan tingginya biaya
intermediasi.
2. Biaya operasional pada tingkat individual bank tinggi.
Dengan kondisi ini bank menghadapi risiko
operasional yang tinggi sehingga cenderung untuk
mengompensasikan beban tersebut kepada
debiturnya sehingga penurunan suku bunga lebih
lanjut belum terjadi. Sebagai konsekuensinya, margin
bunga masih tetap tinggi.
3. Hal yang sama juga terjadi pada kualitas manajemen
yang kurang baik.
4. Sektor perbankan relatif terkonsentrasi sehingga
memungkinkan terjadinya collusive pricing
arrangement yang berdampak pada tingginya margin
bunga.
5. KESIMPULAN
Pada tataran internasional, Indonesia merupakan
salah satu negara dengan margin bunga yang tinggi. Oleh
karena itu dipandang perlu untuk melakukan studi untuk
mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
margin bunga pada sektor perbankan Indonesia. Hasil
temuan pada studi ini mengindikasikan tingginya margin
bunga yang secara dominan disebabkan oleh
terkonsentrasinya pasar, tingginya biaya operasional
perbankan, dan kurang memadainya kualitas manajemen
pada tingkat individual bank. Ketiga faktor tersebut,
dengan didukung elastisitasnya yang cukup signifikan
dalam memengaruhi margin bunga, sangat mendukung
dijadikan sebagai tolok ukur dan unsur penting yang perlu
dievaluasi dalam mengoptimalkan tingkat margin bunga
pada sektor perbankan Indonesdia.
86
Artikel I - Persaingan Pasar, Margin Bunga dan Stabilitas Sistem Keuangan di Indonesia
Allen, L. 1988. The Determinants of Bank Interest Margins:
A Note. Journal of Financial and Quantitative Analysis
23. 231√235.
Angbanzo, L. 1997. Commercial Bank Net Interest
Margins, Default Risk, Interest Rate Risk and Off-
Balance Sheet Banking. Journal of Banking and
Finance. 21. 55√87.
Baltagi, B.H. 2002. Econometric Analysis of Panel Data.
Second Edition. England: John Wiley and Sons. Ltd.
Brock, P. Rojas Suarez, L. 2000.£Understanding the
Behavior of Bank Spreads in Latin America. Journal
of Development Economics. 63: 113-134.
Carbó, S., Rodríguez, F. 2007. The Determinants of Bank
Margins in European Banking. Journal of Banking &
Finance 31. 2043-2063.
Gelos, R., 2006. Banking Spreads in Latin America. IMF
Working Paper WP/06/44.
Hadad, M.D., Santoso, W., dan Dwityapoetra, S.B. 2003.
Studi Biaya Intermediasi Beberapa Bank Besar di
Indonesia: Apakah Bunga Kredit Bank Umum
Overpriced? Kertas Kerja Bank Indonesia. Oktober.
Hannan, T.H. dan Berger, A. 1991. The Rigidity of Prices:
Evidence from the Banking Industry. The American
Economic Review. Vol. 81, No. 4 (Sep.), pp. 938-945.
Hawtrey, K. dan Liang, H. 2008. Bank Interest Margins in
OECD Countries. North American Journal of
Economics and Finance. 19. 249√260.
Ho, T., & Saunders, A. 1981. The Determinants of Bank
Interest Margins: Theory and Empirical Evidence.
Journal of Financial and Quantitative Analysis, 16,
581√600.
Daftar Pustaka
Lerner, E. M. 1981.√The Determinants of Banks Interest
Margins: Theory and Empirical Evidence. Journal of
Financial and Quantitative Analysis, XVI(4), 601√602.
Levine, Ross. 1997.√Financial Development and Economic
Growth. Journal of Economic Literature. 35(2):688-
726.
Martinez Peria, M., Mody, A. 2004. How Foreign
Participation and Market Concentration Impact Bank
Spreads: Evidence from Latin America. Journal of
Money, Credit and Banking 36(3): 511-537.
Maudos, J. dan Guevara, F. 2004.ÄFactors Explaining the
Interest Margin in The Banking Sectors of The
European Union. Journal of Banking and Finance.
28(9), 2259√2281.
Maudos, J. dan Solis, L. 2009.√The Determinants of Net
Interest Income in the Mexican Banking System: An
Integrated Model. Journal of Banking and Finance.
33(10). 1920-1931.
McShane, R. dan Sharpe, I. 1985. A Time Series/Cross
Section Analysis of the Determi-nants of Australian
Trading Bank Loan/Deposit Interest Margins: 1962√
1981. Journal of Banking and Finance 9:115√136.
Saunders, A. dan Schumacher, L 2000.√The Determinants
of Bank Interest Rate Margins: An International Study.
Journal of International Money and Finance, 19, 813√
832.
..
87
Artikel II - Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Ratio di Indonesia
Artikel II
Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter TerhadapNon Performing Loan Ratio di Indonesia
Arief Budiman Simon1
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak terjadinya shock variabel moneter terhadap rasio
NPL di Indonesia. Studi empiris menunjukkan bahwa terdapat hubungan jangka pendek antara BI rate, inflasi,
nilai tukar, dan rasio NPL. Uji kausalitas Granger menunjukkan terjadinya bidirectional causality antara NPL dan
BI rate serta BI rate dan inflasi. Selain itu, unidirectional causality juga terjadi antara inflasi dan nilai tukar terhadap
NPL. Vector Auto Regression (VAR) juga memberikan hasil yang mendukung hipotesis awal bahwa shock variabel
moneter memiliki pengaruh yang kecil terhadap NPL. Hasil estimasi VAR dapat dilihat dari uji Impulse Response
dan Variance Decomposition. Hasil Impulse Response menunjukkan bahwa terjadinya shock pada inflasi dan
nilai tukar memberikan dampak positif terhadap perubahan NPL. Namun, di lain pihak NPL justru merespon
negative ketika terjadi shock pada suku bunga acuan. Hasil Variance Decomposition menunjukkan bahwa inflasi
dan suku bunga acuan (BI rate) memiliki kontribusi yang paling besar jika dibandingkan dengan kontribusi nilai
tukar.
Keywords: shock variabel moneter, BI rate, inflasi, nilai tukar, NPL, VAR.
JEL Classification: E51, G21
1 Penulis dapat dihubungi pada: bluebandica@gmail.com atau xiaotie.strike@gmail.com
I. LATAR BELAKANG
Peran utama dari keberadaan lembaga keuangan
dalam suatu negara adalah fungsi intermediarisnya, yaitu
menyalurkan kembali dana yang telah dihimpun dari
masyarakat (Dana Pihak Ketiga) dalam bentuk pinjaman
atau kredit kepada sektor-sektor usaha riil dalam upaya
pengembangan atau ekspansi atas usahanya. Artinya,
melalui fungsi intermediasi tersebut, sektor keuangan
haruslah berperan sebagai agen dalam mempercepat
pembangunan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi,
Abstract
88
Artikel II - Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Ratio di Indonesia
Keadaan yang dihadapi oleh Indonesia saat ini adalah
kurang efisiensinya penyebaran dana melalui kredit
terhadap sektor yang membutuhkan sebagai dampak dari
krisis finansial global. Untuk memulihkan kembali sektor
perekonomian, saat ini pemerintah sedang melakukan
kebijakan ekonomi yang bersifat ekspansif mulai dari
penurunan pajak hingga menurunkan tingkat suku bunga.
Semua dilakukan dengan tujuan memperbesar proporsi
kredit untuk menjaga agar perekonomian tetap berjalan.
Walaupun suku bunga acuan telah turun sampai ke posisi
dibawah 7%, pada awalnya suku bunga kredit masih belum
mengalami penurunan. Hal ini berdampak pada penurunan
permintaan kredit. Namun diperkirakan dalam waktu dekat
suku bunga kredit akan mengalami penurunan. Hal ini
diungkapkan oleh Bank Indonesia berdasarkan hasil survei
kepada pengelola 44 bank di Indonesia.
Lambatnya reaksi penurunan suku bunga kredit
setelah bank sentral menurunkan suku bunga acuannya
diperkirakan karena masih tingginya risiko kredit yang ada
di Indonesia. Hal ini menyebabkan perbankan lebih hati-
hati dalam mengucurkan dana yang telah dihimpun
sehingga para pihak yang membutuhkan dana untuk
melakukan siklus usaha menjadi kesulitan. Padahal
penurunan BI Rate pada akhirnya dimaksudkan untuk
menurunkan bunga kredit, sehingga akan mendorong
perbankan dalam menyalurkan kredit ke sektor-sektor yang
produktif, sehingga perekonomian Indonesia akan mampu
bertahan di tengah gelombang krisis global.
Ketika BI Rate sudah menyentuh 7,75%, penurunan
BI Rate ini baru direspons perbankan dengan menurunkan
bunga kredit sebesar 0,05% sejak awal tahun ini. Secara
umum, suku bunga kredit pada akhir Desember 2008
mencapai 14,2% dan pada pekan kedua Maret 2009 turun
tipis menjadi 13,93%. Hal ini memberikan gambaran
bahwa walaupun tingkat suku bunga acuan telah turun,
namun perbankan masih belum dapat percaya bahwa
penurunan tersebut juga diiringi penurunan risiko kredit.
sehingga akan meningkatkan kesejahteraan pada
masyarakat baik berupa pengadaan lapangan pekerjaan
baru di sektor riil maupun peningkatan produktivitas dan
pendapatan masyarakat.
Stabilitas sistem keuangan secara langsung memiliki
pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan produk
domestik bruto suatu negara. Hal ini dibuktikan dengan
keadaan pertumbuhan ekonomi Indonesia ketika terjadi
krisis moneter di tahun 1997-1998. Pada saat itu depresiasi
rupiah yang besar telah mengakibatkan inflasi yang tinggi
selama lima bulan pertama tahun 1998. Selain itu kondisi
keuangan sistem perbankan makin merosot seiring dengan
makin dalamnya krisis ekonomi. Tekanan pada nilai tukar
dan cadangan devisa juga semakin berat dengan tidak
diakuinya kredit perdagangan dan kredit lainnya dari
perbankan Indonesia oleh bank-bank asing.
Salah satu kutipan mengenai definisi stabilitas sistem
keuangan yang dikutip oleh Bank Indonesia adalah :
∆ Stabilitas sistem keuangan adalah suatu kondisi
dimana mekanisme ekonomi dalam penetapan harga,
alokasi dana dan pengelolaan risiko berfungsi secara baik
dan mendukung pertumbuhan ekonomi.∆
Hal ini dapat uraikan bahwa stabilitas sistem
keuangan akan tercermin dari tingkat harga yang stabil,
alokasi dana yang tepat, serta pengelolaan risiko yang
minimum sehingga dapat mendukung pertumbuhan
ekonomi dengan baik. Kestabilan tingkat harga maupun
pengalokasian dana yang tepat dapat dicapai dengan
berbagai jalan kebijakan, salah satunya adalah kebijakan
moneter. Menurut Warjiyo dan Solikin (2003), kebijakan
moneter adalah kebijakan dari bank sentral dalam
mengendalikan variabel moneter untuk menggapai
perkembangan kegiatan perekonomian yang diinginkan.
Perekonomian yang diinginkan dengan maksud untuk
meningkatkan pertumbuhan output dan atau
terpeliharanya stabilitas harga (Rahardja dan Manurung,
2001:359).
89
Artikel II - Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Ratio di Indonesia
Risiko kredit tercermin dari rasio non performing loan
atau yang biasa disebut dengan kredit macet. Perbankan
menilai bahwa pergerakan variabel moneter saat ini
sewaktu-waktu dapat mempengaruhi tingkat rasio kredit
macet sehingga institusi keuangan tersebut enggan
menurunkan suku bunga kreditnya secara signifikan. Data
tahun 2008 memperlihatkan bahwa pergerakan rasio NPL
di tahun tersebut stabil dan mengalami penurunan,
walaupun inflasi dan BI rate meningkat di pertengahan
tahun dan kembali menurun di akhir tahun 2008.
Studi ini bertujuan untuk meneliti dampak yang akan
ditimbulkan apabila terjadi shock terhadap variabel
moneter dalam perekonomian. Dampak yang dimaksud
adalah dampak yang akan ditimbulkan dari terjadinya
shock tersebut terhadap risiko kredit yang tercermin dari
rasio NPL. Shock variabel moneter yang dimaksud dalam
paper ini mencakup tingkat suku bunga acuan, inflasi, dan
nilai tukar. Selanjutnya akan diteliti tentang shock dari
masing-masing variabel tersebut dan dampaknya terhadap
pergerakan rasio NPL di Indonesia sehingga dapat diketahui
sasaran kebijakan moneter yang tepat untuk menurunkan
risiko kredit tersebut.
2. LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Stabilitas Keuangan
Sutton dan Tosovsky (dalam Arifin, 2007) dijelaskan
bahwa stabilitas keuangan adalah situasi dimana sistem
keuangan dapat: (i) mengalokasikan sumber daya secara
efisien ke dalam kegiatan produktif pada waktu yang
berbeda-beda; (ii) memprediksi dan mengukur risiko
finansial, dan (iii) menyerap shocks. Maksudnya, stabiltas
sistem keuangan meliputi efisiensi dan ketahanan sistem
keuangan yang notabene merupakan konsep yang
kompleks. Kestabilan sistem keuangan tidak hanya
bergantung pada institusi keuangan secara individu,
melainkan juga bergantung pada interaksi yang kompleks
antara lembaga keuangan, sektor riil, dan pasar keuangan.
Perbedaan stabilitas keuangan dari stabilitas moneter
mengacu pada stabilitas harga-harga secara umum.
Menurut Croket (dalam Arifin, 2007) financial instability
akan memberi dampak negatif pada efektivitas kebijakan
moneter (monetary stability) apabila perbankan tidak dapat
mentransmisikan kebijakan moneternya dengan baik.
Secara teoritis, pada ekonomi tertutup kebijakan moneter
memiliki kaitan erat dengan stabilitas keuangan. Hal ini
disebabkan pada ekonomi tertutup tidak ada faktor
eksternal yang dapat mempengaruhi kebijakan moneter
dalam neger sehingga pengaruh kebijakan moneter
terhadap stabilitas keuangan dalam negeri menjadi sangat
dominan. Sebaliknya, dalam perkonomian terbuka,
keterkaitan antara kebijakan moneter dengan stabilitas
keuangan menjadi semakin longgar. Hal ini disebabkan
adanya gangguan eksternal terhadap perekonomian dalam
negeri sehingga diperlukan kebijakan pendukung, yaitu
kebijakan fiskal, untuk meminimalisir kelonggaran
hubungan antara kebijakan moneter dengan stabilitas
sistem keuangan.
2.2. Suku Bunga
Suku bunga merupakan salah satu instrumen yang
digunakan dalam kebijakan moneter (Nopirin, 1992:46).
Sementara itu, Blanchard (2006:544) menyebutkan bahwa
suku bunga dapat digunakan sebagai nominal anchor
dalam kebijakan moneter jalur inflation targeting. Oleh
Grafik A2.1Pergerakan BI Rate, Inflasi, dan NPL di tahun 2008
14
12
10
8
6
4
2
01 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
BI Rate
Inflasi
NPL
Sumber : Statistik Perbankan Indonesia, diolah
90
Artikel II - Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Ratio di Indonesia
karena itu bank sentral lebih cenderung menggunakan
instrumen tersebut dibandingkan menggunakan money
supply. Suku bunga juga memiliki korelasi dengan tingkat
inflasi dan tingkat penggangguran. Hal tersebut dijelaskan
oleh Taylor dalam Taylor rule yang menyatakan bahwa
dalam usaha menjaga stabilitas ekonomi dalam jangka
pendek dan mencapai laju inflasi yang rendah dalam
jangka panjang sebaiknya menggunakan suku bunga
sebagai instrumen utama. Rumus Taylor rule adalah sebagi
berikut :
............ 2.1
Dimana :
it : Suku bunga nominal
i* : Suku bunga nominal yang diharapkan (target)
π : Tingkat inflasi
π * : Tingkat inflasi yang diharapkan (target)
ut : Tingkat pengangguran
un : Tingkat pengangguran alami
a : Koefisien yang merefleksikan seberapa besar bank
sentral mempengaruhi inflasi daripada tingkat
pengangguran.
b : Koefisien yang merefleksikan seberapa besar bank
sentral mempengaruhi tingkat pengangguran relatif
terhadap inflasi.
Dari persamaan di atas dapat diketahui bahwa bank
sentral dapat menetapkan suku bunga saat ini dengan
suku bunga yang diharapkan (it = i*) jika inflasi saat ini
sama dengan inflasi yang diharapkan (π = π*) dan tingkat
pengangguran juga sama dengan pengangguran alami
(ut = un). Akan tetapi, jika inflasi yang terjadi lebih besar
dari yang diharapkan, maka bank sentral akan cenderung
untuk meningkatkan suku bunga nominal yang selanjutnya
dapat mendorong peningkatan jumlah pengangguran dan
menurunkan tingkat inflasi.
2.3. Inflasi
McEachern (2000:133-134) menyatakan bahwa
inflasi merupakan kenaikan terus menerus dalam tingkat
harga suatu perekonomian akibat adanya kenaikan
permintaan agregat atau penurunan penawaran agregat.
Inflasi yang timbul akibat kenaikan permintaan agregat
disebut dengan demand-pull inflation. Sedangkan inflasi
yang terjadi akibat penurunan penawaran agregat disebut
dengan cost-push inflation.
Secara umum, besaran inflasi dapat dihitung dengan
menggunakan indeks harga yang diukur dari Consumer
Price Index (CPI), Producer Price Index (PPI), atau NPL
Deflator (Miller, 2001:154). Nilai CPI diperoleh dari
perbandingan antara biaya seperangkat barang dan jasa
pada tahun tertentu dengan biaya seperangkat barang
dan jasa pada tahun dasar (Frank, 2004:140). PPI
merupakan penghitungan harga rata-rata barang dan jasa
yang diproduksi dan dijual oleh suatu perusahaan. NPL
deflator menunjukkan perubahan tingkat harga pada
semua barang dan jasa baru yang diproduksi dalam
perekonomian. NPL deflator dapat diperoleh dari
perbandingan antara NPL nominal dengan NPL riil pada
harga konstan (Nopirin, 1992:4).
2.4. Nilai Tukar
Blanchard (2006:378-382) menyebutkan bahwa nilai
tukar dapat dibedakan menjadi nilai tukar nominal dan
riil. Nilai tukar nominal (E) merupakan harga mata uang
dalam negeri relatif terhadap mata uang luar negeri.
Sedangkan nilai tukar riil ( )∈ diperoleh dari perbandingan
antara hasil kali nilai tukar nominal dan tingkat harga
domestik dengan tingkat harga luar negeri. Nilai tukar riil
dapat dirumuskan ke dalam persamaan berikut :
............ 2.2*P
EP∈=
91
Artikel II - Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Ratio di Indonesia
Samuelson (2001:319-320) menyebutkan bahwa
terdapat tiga macam sistem nilai tukar, yaitu sistem nilai
tukar tetap, mengambang bebas, dan mengambang
terkendali. Sistem nilai tukar tetap adalah sistem
penentuan nilai mata uang asing dengan tingkat harga
yang ditetapkan oleh bank sentral. Sistem nilai tukar
mengambang bebas merupakan sistem penentuan nilai
mata uang asing dengan tingkat harga yang sepenuhnya
ditentukan oleh permintaan dan penawaran pasar.
Sedangkan sistem nilai tukar mengambang terkendali
merupakan sistem penentuan nilai mata uang asing
dengan mekanisme pasar yang disesuaikan dengan batas
pita intervensi yang ditetapkan bank sentral.
2.5. Penelitian Sebelumnya
Penelitian mengenai efek dari kebijakan moneter
terhadap pengambilan risiko kredit telah dilakukan oleh
Gabriel Jimenez, Banco de Espana di tahun 2008. Salah
satu dari kesimpulan penelitian tersebut adalah dalam
jangka pendek, tingkat suku bunga yang rendah akan
mengakibatkan total risiko kredit menurun dan
memperkecil kemungkinan terjadinya credit crunch.
Namun dalam jangka menengah, suku bunga yang rendah
akan menyebabkan total risiko kredit dalam suatu
perekonomian menjadi meningkat.
Penelitian mengenai respon suku bunga dan kredit
bank di Bali terhadap kebijakan moneter oleh R. Aga
Nugraha pada tahun 2007. Penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa perubahan suku bunga acuan
direspon secara cepat oleh suku bunga simpanan namun
direspon secara lambat oleh suku bunga pinjaman. Secara
umum, penurunan suku bunga lebih responsif
dibandingkan dengan kenaikkan suku bunga. Selain itu,
pertumbuhan ekonomi dan inflasi mempengaruhi
penyaluran kredit secara positif sementara suku bunga
acuan berpengaruh negatif.
3. METODOLOGI DAN DATA
3.1. Metode Analisa
3.1.1. Uji Akar-Akar Unit (Unit Root Test)
Estimasi model ekonometrik time series akan
menghasilkan kesimpulan yang tidak berarti, ketika data
yang digunakan mengandung akar unit (tidak stasioner).
Nonstationary seri akan menciptakan kondisi spurious
regression yang ditandai oleh tingginya koefisien
determinasi, R2 dan t statistic tampak signifikan, tetapi
penafsiran hubungan seri ini secara ekonomi akan
menyesatkan. Sebuah seri dikatakan stasioner, jika seluruh
moment dari seri tersebut (rata-rata, varians dan kovarians)
konstan sepanjang periode waktu. Augmented Dickey√
Fuller Test (ADF test) merupakan prosedur standar, untuk
menguji hipotesis nol (H0) adanya akar unit (seri tidak
stasioner) terhadap hipotesis alternatif (H1) sebuah seri
stasioner (Gujarati, 2008). Jika Yt adalah seri dengan
panjang lag p, maka:
Dimana :
∆Yt = Bentuk dari first difference
_0 = Intersep
Y = Variabel yang diuji stasioneritasnya
P = Panjang lag yang digunakan dalam model
_ = Error term
3.1.2. Penentuan Lag Optimal
Salah satu permasalahan yang terjadi dalam uji
stasioneritas adalah penentuan lag optimal. Haris (1995)
menjelaskan bahwa jika lag yang digunakan dalam uji
stasioneritas terlalu sedikit, maka residual dari regresi tidak
akan menampilkan proses white noise sehingga model
tidak dapat mengestimasi actual error secara tepat.
Akibatnya _ dan standar kesalahan tidak diestimasi secara
baik. Namun jika memasukkan terlalu banyak lag maka
dapat mengurangi kemampuan untuk menolak Ho karena
tambahan parameter yang terlalu banyak akan
mengurangi degress of freedom.
92
Artikel II - Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Ratio di Indonesia
Dalam penentuan lag optimal dengan menggunakan
beberapa kriteria informasi, maka dipilih kriteria yang
mempunyai final prediction error corection (FPE) atau
jumlah dari AIC, SIC, dan HQ paling kecil di antara berbagai
lag yang diajukan.
3.1.3. Uji Kausalitas Granger
Metode yang digunakan untuk menganalisis
hubungan kausalitas antar variabel yang diamati adalah
dengan uji Kausalitas Granger. Uji kausalitas Granger
ditujukan untuk melihat arah hubungan antar variabel suku
bunga acuan, inflasi, nilai tukar dan non performing loan
ratio.
3.1.4. Uji Kointegrasi
Widarjono (2007) menjelaskan bahwa salah satu
pendekatan yang dapat digunakan dalam uji kointegrasi
adalah dengan metode Johansen. Uji kointegrasi metode
Johansen dapat dianalisis melalui model autoregressive
dengan ordo P yang ditunjukkan oleh persamaan berikut:
Dimana :
: vektor-k pada variabel-variabel yang tidak
stasioner
: vektor-d pada variabel deterministik
: vektor inovasi
Selanjutnya, persamaan tersebut dapat ditulis ulang
menjadi :
Dimana
Representasi teori Granger menyebutkan bahwa
koefisien matriks ∏ memiliki k<τ reduce rank yang
mempunyai τ×k matriks α dan β dengan rank τ , seperti
αβ=∏ dan tyβ ′ yang merupakan ( )0Ι . τ merupakan
bilangan kointegrasi (rank), sedangkan tiap kolom β
menunjukkan vektor kointegrasi. α lebih dikenal dengan
parameter penyesuaian pada VECM. Selanjutnya, metode
Johansen digunakan untuk mengestimasi matriks ∏ dari
unrestricted VAR dan untuk melakukan pengujian apakah
hasil reduced rank dapat diterima atau tidak.
Selanjutnya dalam pengujian reduce rank tersebut,
Johansen menggunakan dua tes statistik yang berbeda
yaitu trace test ( )traceλ dan maximum eigenvalue test
( )maxλ . Trace test menguji H0 pada persamaan kointegrasi
τ sebagai kointegrasi alternatif dari persamaan kointegrasi-
k, dimana k merupakan bilangan variabel endogen untuk.
Pengujian H0 melalui trace test dapat ditunjukkan melalui
persamaan berikut :
Dimana iλ merupakan eigenvalue terbesar dari
matriks ∏ . Sedangkan maximum eigenvalue test menguji
H0 pada persamaan kointegrasi sebagai kointegrasi
alternatif dari persamaan kointegrasi-k+1. Pengujian H0
melalui maximum eigenvalue test dapat ditunjukkan
melalui persamaan berikut :
3.1.5. Estimasi VAR
Metode Vector Autoregression (VAR) pertama kali
dikembangkan oleh Christoper Sims (1980). Kerangka
analisis yang praktis dalam model ini akan memberikan
informasi yang sistematis dan mampu menaksir dengan
baik informasi dalam persamaan yang dibentuk dari data
time series. Selain itu perangkat estimasi dalam model VAR
mudah digunakan dan diintepretasikan. Perangkat estimasi
ttptptt ByAyAy ∈++++= −− π........11
ty
tπ
t∈
ttit
p
i
itt Byyy ∈++∆Γ+∏=∆ −
−
=− ∑ π
1
1
1
∑=
−=∏p
i
i IA1
, ∑+=
−=Γp
ij
ji A1
( )∑+=
−−=k
ri
itr TkLR1
1log λτ
1max +kLR τ ( )1
1log +−−= rT λ
1,...,1,0;1 −=+−= kkLRkLR trtr τττ
93
Artikel II - Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Ratio di Indonesia
yang akan digunakan dalam model VAR ini adalah fungsi
impulse respon dan variance decompotition.
Ada beberapa keuntungan dari VAR (Gujarati,
1995:387) yaitu :
1. VAR mampu melihat lebih banyak variabel dalam
menganalisis fenomena ekonomi jangka pendek dan
jangka panjang.
2. VAR mampu mengkaji konsistensi model empirik
dengan teori ekonometrika.
3. VAR mampu mencari pemecahan terhadap persoalan
variabel runtun waktu yang tidak stasioner (non
stasionary ) dan regresi lancung ( spurious regresion )
atau korelasi lancung (spurious correlation ) dalam
analisis ekonometrika.
Unrestricted VAR adalah bentuk VAR yang tidak
terrestriksi. Bentuk restriksi ini terkait erat dengan
permasalahan kointegrasi dan hubungan teoritis. Jika data
yang digunakan di dalam pembentukkan VAR stasioner
pada tingkat level, bentuk VAR yang digunakan adalah
VAR tanpa restriksi. Jika data yang digunakan di dalam
pembentukkan VAR stasioner pada tingkat first difference,
bentuk VAR yang digunakan VAR in level.
3.1.6. Fungsi Impulse Response
Widarjono (2007) menjelaskan bahwa analisis
impulse response ini digunakan untuk melacak respons
dari variabel endogen di dalam sistem VAR karena adanya
goncangan (shocks) atau perubahan di dalam variabel
gangguan (e). Impulse response dalam penelitian ini
difokuskan untuk mengetahui respon RBI, INF, EXR, dan
NPL apabila terdapat shock uRBI, uINF, uEXR, dan uNPL.
3.1.7. Variance Decomposition
Analisis variance decomposition atau Forecast Error
decomposition of variance ini menggambarkan relatif
pentingnya setiap variabel di dalam sistem VAR karena
adanya shocks (Widarjono, 2007, hal. 383). Variance
decomposition berguna untuk memprediksi kontribusi
persentase varian setiap variabel karena adanya perubahan
variabel tertentu di dalam sistem VAR. Dalam penelitian
ini, variance decomposition ditujukan untuk mengetahui
proporsi varians _RBI(n)2, _INF(n)2, σEXR(n)2, dan σNPL(n)2 karena
shock uRBI, uINF, uEXR, dan uNPL.
3.2. Data dan Definisi Variabel
Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah
data sekunder berupa data time series dari bulan Juli 2005
sampai Juni 2009 yang dihimpun secara bulanan. Data
tersebut bersumber dari Statistik Indonesia terbitan Biro
Pusat Statistik (BPS) Indonesia, Statistik Ekonomi dan
Keuangan Indonesia serta Statistik Perbankan Indonesia
yang telah diolah kembali.
Prosedur pengumpulan data dilaksanakan dengan
metode dokumenter. Semua data yang diperlukan dikutip
dari sumber-sumber yang telah disebutkan di atas. Setelah
itu, semua data didokumentasikan dengan berlandas pada
literatur-literatur yang mendukung.
Rasio Non Performing Loans (NPL) digunakan sebagai
indikator risiko kredit. Variabel moneter yang digunakan
mencakup suku bunga acuan Bank Indonesia(RBI), tingkat
inflasi Indonesia (INF), dan rata-rata nilai tukar Rupiah
terhadap dolar (EXR).
4. HASIL DAN ANALISIS
4.1. Uji Stasioneritas (Unit Root Test)
Berdasarkan uji akar unit, keseluruhan variabelnya
baru stasioner setelah didiferensiasikan pada orde pertama.
Uji dilakukan pada tingkat none. Berikut hasil dari uji akar
unit pada semua variabel pada first difference :
94
Artikel II - Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Ratio di Indonesia
4.2. PenentuanLag Length Optimal
Penentuan lag length optimal pada penelitian ini
menggunakan pemilihan kriteria informasi dengan metode
Final Prediction Error (FPE), Aike Information Criterion (AIC),
Schwarz Criterion (SC), dan Hannan-Quinn (HQ). Dari hasil
uji tersebut dapat diketahui bahwa Eviews 4.1 telah
merekomendasikan lag optimal pada model VAR tersebut.
Hasil menunjukkan bahwa jumlah lag optimal yang
direkomendasikan adalah lag 2. Proses pengujian dalam
penentuan lag length optimal pada penelitian ini
menggunakan perangkat lunak Eviews versi 4.1 seperti
pada tabel A.2.2 berikut ini:
pada persamaan Granger model 1. Hubungan kausalitas
satu arah pertama terjadi dari variabel Inflasi terhadap NPL
pada _ = 1%. Sedangkan hubungan kausalitas satu arah
kedua terjadi dari variabel NPL terhadap EXR (Nilai Tukar)
pada _ = 10%.RBI *-2.173943 0 -2.616203 -1.612320 -1.612320INF *-5.549012 0 -2.616203 -1.948140 -1.612320EXR *-6.134623 0 -2.616203 -1.948140 -1.612320NPL *-6.962101 0 -2.616203 -1.948140 -1.612320
Tabel A2.1Hasil Uji Akar Unit BerdasarkanADF Statistik
Sumber: Hasil Estimasi Menggunakan E Views 4.1Catatan : * Signifikan pada ± = 5%
VariabelADFt-Statistik Lag
MacKinnon Critical Value
1% 5% 10%
00000 6822951.6822951.6822951.6822951.6822951. 27.0872827.0872827.0872827.0872827.08728 27.2478727.2478727.2478727.2478727.24787 27.1471527.1471527.1471527.1471527.14715
Ω 11111 5137.7725137.7725137.7725137.7725137.772 19.8922019.8922019.8922019.8922019.89220 20.6951620.6951620.6951620.6951620.69516 20.1915320.1915320.1915320.1915320.19153
2 1868.948* 18.86278* 20.30811* 19.40158*
Ω 33333 2397.5452397.5452397.5452397.5452397.545 19.0659919.0659919.0659919.0659919.06599 21.1536921.1536921.1536921.1536921.15369 19.8442619.8442619.8442619.8442619.84426
Tabel A2.2Hasil Pengujian Lag Length Optimal
Sumber: Hasil Estimasi Menggunakan E Views 4.1
Model 1Model 1Model 1Model 1Model 1 LagLagLagLagLag FPEFPEFPEFPEFPE AIC SC HQ AIC SC HQ AIC SC HQ AIC SC HQ AIC SC HQ
4.3. Uji KausalitasGranger
Uji Granger menunjukkan bahwa terdapat dua
hubungan kausalitas dua arah pada persamaan Granger
model 1. Hubungan kausalitas dua arah pertama terjadi
dari variabel BI rate terhadap NPL (Non Performing Loans)
pada ± = 5%. Hubungan kausalitas dua arah kedua terjadi
dari variabel BI rate terhadap Inflasi pada ± = 5%.
Sedangkan terdapat dua hubungan kausalitas satu arah
4.4. Uji Kointegrasi
Uji kointegrasi dilakukan untuk mengetahui
kemungkinan terjadinya kestabilan jangka panjang (long
run equilibrium) diantara variabel-variabel yang diamati.
Uji kointegrasi dalam penelitian menggunakan pendekatan
Johansen.
Hipotesis Nol (Ho)Hipotesis Nol (Ho)Hipotesis Nol (Ho)Hipotesis Nol (Ho)Hipotesis Nol (Ho) ProbabilitasProbabilitasProbabilitasProbabilitasProbabilitas
RBI does not Granger Cause NPL 0.03637NPL does not Granger Cause RBI 0.02967Ω ΩRBI does not Granger Cause INF 2.9E-05INF does not Granger Cause RBI 0.04311Ω ΩNPL does not Granger Cause INF 0.47653INF does not Granger Cause NPL 0.00619Ω ΩRBI does not Granger Cause EXR 0.77023EXR does not Granger Cause RBI 0.40817Ω ΩNPL does not Granger Cause EXR 0.07135EXR does not Granger Cause NPL 0.30123Ω ΩINF does not Granger Cause EXR 0.99104EXR does not Granger Cause INF 0.58429
Sumber: Hasil Estimasi Menggunakan E Views 4.1
Tabel A2.3Pengujian Granger Causility
95
Artikel II - Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Ratio di Indonesia
4.5. Hasil Estimasi VAR bentuk Diferensi
Setelah dilakukan pengolahan data melalui model
VAR bentuk diferensi dengan menggunakan software E-
Views maka hasilnya dapat diketahui sebagai berikut :
Date: 09/10/09 Time: 18:53Sample(adjusted): 2005:10 2009:06Included observations: 45 after adjusting endpointsTrend assumption: No deterministic trendSeries: EXR INF NPL RBILags interval (in first differences): 1 to 2
Unrestricted Cointegration Rank TestHypothesized Trace 5 Percent 1 PercentNo. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Critical ValueNone 0.359428 37.47918 39.89 45.58At most 1 0.215207 17.43648 24.31 29.75At most 2 0.135099 6.531376 12.53 16.31At most 3 1.75E-06 7.88E-05 3.84 6.51 *(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Trace test indicates no cointegration at both 5% and 1% levels
Hypothesized Max-Eigen 5 Percent 1 PercentNo. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Critical ValueNone 0.359428 20.04270 23.80 28.82At most 1 0.215207 10.90510 17.89 22.99At most 2 0.135099 6.531297 11.44 15.69At most 3 1.75E-06 7.88E-05 3.84 6.51 *(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level Max-eigenvalue test indicates no cointegration at both 5% and 1% levels
Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b»*S11*b=I):EXR INF NPL RBI-0.000361 -0.743070 -0.483825 1.501823-0.000693 -0.339684 -1.459304 1.913761 0.000161 -0.152977 0.022388 -0.092750 0.000546 0.161579 -0.041575 -0.646878
Sumber: Hasil Estimasi Menggunakan E Views 4.1
Tabel A2.4Hasil Uji Kointegrasi
Dari hasil tersebut, dapat diketahui bahwa tidak
terjadi hubungan kointegrasi dalam model pertama. Pada
tabel hasil estimasi uji kointegrasi dapat diketahui bahwa
nilai Trace Statistic dan Max Eigen Statistic masing-masing
lebih kecil daripada Critical Valuenya baik pada tingkat
5% maupun 1%. Setelah diketahui tidak terdapat
hubungan kointegrasi pada tiap variabel, maka dapat
dipastikan bahwa model yang digunakan adalah VAR
(Vector Auto Regression) bentuk diferensi.
96
Artikel II - Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Ratio di Indonesia
Tabel A2.5Hasil Estimasi VAR bentuk Diferensi
Sumber: Hasil Estimasi Menggunakan E Views 4.1
Pada umumnya, hasil koefisien pada persamaan VAR
di atas sulit untuk diintepretasikan sehingga banyak praktisi
menyarankan menggunakan impulse respon function.
4.6. Hasil Impulse Response
Pembahasan mengenai impulse response pada
persamaan VAR bentuk diferensi difokuskan pada respon
variabel NPL terhadap shock variabel BI rate, Inflasi, dan
Nilai tukar. Sumbu horisontal menunjukkan periode waktu,
dimana satu periode mewakili satu bulan. Sedangkan
sumbu vertikal menunjukkan perubahan NPL akibat shock
variabel tertentu, dimana perubahan ini dinyatakan dalam
bentuk presentase.
Grafik A2.2Respon NPL terhadap shock BI rate
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa shock
variabel BI rate direspon negatif dari periode kedua sebesar
-0,0946% terhadap NPL. Namun pada periode ketiga
terjadi respon positif 0,0148% dan terus meningkat pada
periode keempat hingga mencapai 0,0620%.Selanjutnya
secara bertahap menuju ke titik equilibrium pada periode
kesepuluh.
NPL merespon negatif terhadap shock BI rate di awal
periode, hal ini disebabkan karena pergerakan BI rate
mencerminkan tingkat risiko dalam perekonomian yang
bersangkutan. Ketika bank sentral meningkatkan BI rate
hal ini mencerminkan bahwa tingkat inflasi dalam
perekonomian tersebut mengalami kenaikkan.
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
5
4
3
2
1
0
-1
-2
Sumber : Hasil Estimasi Menggunakan E-Views 4.1
97
Artikel II - Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Ratio di Indonesia
Dalam jangka pendek hal ini direspon oleh
perbankan dengan meningkatkan suku bunga kredit
sehingga permintaan terhadap kredit turun untuk
sementara waktu. Hal ini menyebabkan turunnya risiko
kredit yang tercermin dari rasio NPL. Namun seiring
berjalannya waktu, risiko kredit kembali meningkat karena
suku bunga kredit yang meningkat menyebabkan debitur
kesulitan dalam melunasi kreditnya. Respon NPL tersebut
kemudian berangsur-angsur kembali ketitik equilibrium
pada periode ke 10.
Dari gambar tersebut, diketahui bahwa NPL
merespon positif terhadap shock yang ditimbulkan oleh
inflasi. Ketika terjadi guncangan inflasi, maka nilai riil mata
uang yang bersangkutan akan menurun.
Hal ini karena jumlah uang yang beredar melebihi
jumlah barang. Merespon shock tersebut, terjadi
peningkatan pada rasio NPL di periode kedua sebesar
0,024% hingga puncaknya di periode ketiga sebesar
0,11%. Namun setelah periode ketiga, respon NPL kembali
melemah hingga akhirnya kembali ketitik ekuilibrium pada
periode ke 8 hingga periode akhir.
Grafik A2.3Respon NPL terhadap shock BI rate
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
5
4
3
2
1
0
-1
-2
Sumber : Hasil Estimasi Menggunakan E-Views 4.1
Grafik A2.4Respon NPL terhadap shock nilai tukar
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
5
4
3
2
1
0
-1
-2
Sumber : Hasil Estimasi Menggunakan E-Views 4.1
Respon NPL terhadap shock nilai tukar dalam jangka
pendek tidak begitu signifikan dan berangsur mulai stabil
di periode ke 7. Hal ini disebabkan karena sebagian besar
pinjaman atau kredit dalam bentuk mata uang asing adalah
pinjaman berjangka waktu panjang, sehingga shock nilai
tukar dalam jangka pendek kurang mendapat respon yang
signifikan oleh rasio NPL.
4.7. Hasil Variance Decomposition
Hasil variance decomposition pada persamaan VAR
bentuk diferensi difokuskan pada konstribusi shock variabel
BI rate, inflasi, dan nilai tukar terhadap rasio NPL. Hal ini
dapat dilihat pada tabel berikut:
PeriodPeriodPeriodPeriodPeriod S.E.S.E.S.E.S.E.S.E. D(EXR)D(EXR)D(EXR)D(EXR)D(EXR) D(INF)D(INF)D(INF)D(INF)D(INF) D(NPL)D(NPL)D(NPL)D(NPL)D(NPL) D(RBI)D(RBI)D(RBI)D(RBI)D(RBI)
1 442.8265 0.955048 0.573012 98.47194 0.0000002 453.4841 1.116010 0.961456 91.54621 6.3763213 474.5919 2.060039 9.818978 82.26012 5.8608654 477.3495 2.156521 9.693013 80.05429 8.0961735 478.3245 2.246004 9.757910 79.84434 8.1517496 478.5255 2.371952 9.928441 79.54892 8.1506897 478.5618 2.369469 9.927476 79.45191 8.2511468 478.5820 2.373806 9.926326 79.43735 8.2625219 478.5874 2.373860 9.929176 79.43450 8.26246010 478.5879 2.374554 9.929456 79.43149 8.264503
Sumber: Hasil Estimasi Menggunakan E Views 4.1
Tabel A2.6Hasil Estimasi VAR bentuk Diferensi
98
Artikel II - Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Ratio di Indonesia
Pada periode pertama varians NPL yang dijelaskan
oleh variabel itu sendiri sebesar 98,47%. Pada periode
kedua, varians NPL dapat dijelaskan oleh variabel itu sendiri
sebesar 91,54%. Sisanya dijelaskan oleh variabel BI rate
sebesar 6,37%, inflasi sebesar 0,9614% dan nilai tukar
sebesar 1,11%. Kontribusi variabel BI rate dalam
menjelaskan varians NPL mulai stabil dari periode ke empat
hingga periode ke sepuluh, yakni berkisar di tingkat 8%.
Sedangkan kontribusi variabel Inflasi terhadap varians
NPL mulai meningkat drastis di periode ke tiga di tingkat
9,81% dan besarnya stabil hingga periode ke sepuluh di
kisaran 9,92%.
Kontibusi variabel nilai tukar dimulai pada tingkatan
0,95% pada periode pertama dan kemudian meningkat
hingga kisaran 2,06% di periode ke tiga. Setelah itu tidak
mengalami perubahan yang signifikan hingga periode ke
sepuluh berada di tingkat 2,37%.
Kontribusi total ketiga variabel moneter tersebut
dalam jangka pendek terhadap perubahan NPL hanya
sebesar 21%. Sebanyak kurang lebih 79% varians NPL
dipengaruhi oleh variabel NPL sendiri. Variabel suku bunga
acuan hanya memiliki kontribusi sekitar 9%, begitu juga
dengan variabel inflasi. Sedangkan variabel nilai tukar
memiliki kontribusi terkecil, yakni sebesar 2% dalam
periode akhir.
4.8. Tinjauan Kualitatif
Selama kurun waktu 2008 √ 2009, suku bunga kredit
sangat lambat dalam merespon perubahan suku bunga
acuan. Hal ini diperkirakan karena perbankan masih ragu
terhadap tingkat risiko kredit di Indonesia sehingga respon
perubahan suku bunga kredit berjalan lambat. Selain itu,
kondisi ekonomi makro juga dinilai belum stabil dan dapat
menyebabkan risiko kredit meningkat, yang tercermin dari
rasio Non Performing Loans di Indonesia. Gambaran
kondisi hingga saat ini dapat diketahui dari grafik berikut
:
Laju rasio NPL dari kuartal ketiga tahun 2005 secara
positif merespon inflasi. Ketika laju inflasi mengalami
peningkatan di tahun 2006, NPL merespon hal serupa.
Begitu juga dengan pergerakan BI rate. Walaupun
terkadang respon NPL terhadap perubahan BI rate bersifat
negatif. Seperti pada pergerakan NPL, BI rate, dan inflasi
di tahun 2008 hingga 2009. Ketika inflasi mengalami
peningkatan, begitu juga dengan respon suku bunga
acuan yang mengikuti pergerakan inflasi, laju NPL
merespon negatif, mengalami penurunan dan kemudian
kembali meningkat di kuartal pertama dan kedua tahun
2009. Hal ini menjelaskan bahwa masih banyak faktor di
luar konteks variabel moneter yang mempengaruhi laju
NPL itu sendiri.
5. KESIMPULAN
Paper ini bertujuan untuk mengetahui dampak
terjadinya shock variabel moneter terhadap NPL di
Indonesia, dimana variabel moneter mencakup suku bunga
acuan, inflasi, dan nilai tukar. Tingkat suku bunga kredit
yang sulit untuk mengalami penurunan, diperkirakan
disebabkan oleh risiko kredit yang masih tinggi yang
tercermin dari rasio NPL. Guncangan variabel moneter
sendiri dikhawatirkan berdampak pada peningkatan NPL
sehingga perbankan makin enggan untuk menurunkan
tingkat suku bunga kreditnya.
Grafik A2.5Laju BI Rate, Inflasi, dan NPL sejak quartal 3 tahun 2005
hingga quartal 2 tahun 2009.
18BI Rate
Inflasi
NPL
Sumber : Statistik Perbankan Indonesia, diolah
Dalam Persen
16
14
12
10
8
6
4
2
01 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
99
Artikel II - Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Ratio di Indonesia
Hasil uji kausalitas granger menyimpulkan bahwa
terdapat dua hubungan kausalitas dua arah, yakni antara
variabel NPL dengan BI rate dan antara variabel BI rate
dengan Inflasi. Hal ini mengindikasikan bahwa antara BI
rate dan NPL serta antara BI rate dengan tingkat inflasi
terdapat hubungan saling mempengaruhi. Sedangkan
hubungan kausalitas satu arah terjadi antara variabel inflasi
dengan NPL serta variabel nilai tukar dengan NPL. Hal ini
berarti baik variabel inflasi dan nilai tukar mempengaruhi
perubahan NPL namun NPL tidak memiliki pengaruh
terhadap perubahan nilai tukar maupun inflasi.
Uji kointegrasi menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan kointegrasi antara keempat variabel tersebut.
Sehingga disimpulkan bahwa hubungan antara variabel
NPL, BI rate, inflasi, dan nilai tukar hanya bersifat jangka
pendek dan dalam jangka panjang keempat variabel
tersebut tidak bergerak menuju equilibrium.
Hasil impulse response menunjukkan bahwa shock
variabel BI rate direspon negatif oleh NPL. Sedangkan shock
nilai tukar dan inflasi direspon positif oleh NPL walaupun
respon yang diberikan hanya hingga periode ketujuh,
setelah itu NPL mulai menuju kembali ke titik
keseimbangan.
Hasil varianve decomposition menunjukan bahwa
diantara ketiga variabel moneter tersebut, kontribusi
terbersar dalam mempengaruhi NPL dimiliki oleh variabel
BI rate dan inflasi yakni sebesar 9%. Sedangkan variabel
nilai tukar hanya berkontribusi sekitar 2%. Hal ini
menunjukkan bahwa sebenarnya pengaruh variabel
moneter dalam jangka pendek, dalam hal ini suku bunga
acuan, inflasi, dan nilai tukar, tidak begitu besar terhadap
perubahan risiko kredit yang dicerminkan melalui NPL.
Sehingga bentuk dari kebijakan moneter yang terfokus
dalam usaha menstabilkan tingkat harga tidak memiliki
dampak yang kuat dalam mempengaruhi risiko kredit dan
penyalurannya.
Dari hasil tersebut, maka disimpulkan dalam usaha
peningkatan penyaluran kredit dengan memaksimalkan
fungsi perbankan sebagai intermediaris dan mengurangi
risiko kredit, kurang dapat berjalan dengan memanfaatkan
salah satu jalur transmisi kebijakan moneter saja. Selain
itu, melihat kecilnya kontribusi variabel moneter yang
diteliti terhadap perubahan NPL, dimungkinkan terdapat
faktor lain yang lebih memiliki pengaruh dan kontribusi
besar dalam perubahan risiko kredit.
100
Artikel II - Analisis Dampak Terjadinya Shock Variabel Moneter Terhadap Non Performing Loan Ratio di Indonesia
Bank Indonesia. Berbagai tahun. Statistik Perbankan
Indonesia. Beberapa Nomor Penerbitan. Jakarta
Bank Indonesia, Berbagai tahun. Statistik Ekonomi
Keuangan Indonesia, Beberapa Nomor Penerbitan,
Jakarta.
Blanchard, Olivier. 2006. Macroeconomics. Fourth Edition.
Upper Saddle River, New-Jersey: Prentice-Hall, Inc
Frank, Robert H dan Ben S. Bernanke. 2004. Principles of
Macroeconomics. Second Edition. New York : Mc
Graw-Hill/Irwin.
Harris, Richard.1995.Cointegration Analysis in Econometric
Modelling.New York:Prentice Hall.
Jimenez, Gabriel dan Steven Ongena. 2008. Hazardous
Times for Monetary Policy: What Do Twenty-Three
Million Bank Loans Say About The Effects of Monetary
Policy on Credit Risk-Taking?. Banco de Espana.
Working Paper no.0833
McEachern, William A. 2000. Ekonomi Makro: Pendekatan
Kontemporer. Terjemahan. Sigit Triandaru. 2000.
Economics: a Contemporary Introduction. 2000.
Jakarta: Salemba Empat
Daftar Pustaka
Miller, Roger Leroy. 2001. Economics Today. 2001-2002
Edition. New York: Addison Wesley Longman Inc.
Nopirin. 1992. Ekonomi Moneter Edisi 2. Yogyakarta: BPFE
UGM.
Nugraha, R. Aga. 2007. Respon Suku Bunga dan Kredit
Bank di Bali terhadap Kebijakan Moneter Bank
Indonesia. Bali : Bank Indonesia, Denpasar.
Rahardja, Pratama., Mandala Manurung. 2001. Teori
Makro Ekonomi : Suatu Pengantar. Jakarta : LPFE
Universitas Indonesia.
Sjamsul Arifin, Charles P.R. Joseph, dkk. (2007), IMF dan
Stabilitas Keuangan Internasional. Jakarta: Bank
Indonesia. Hal 11-15.
Warjiyo, Perry., Solikin. 2003. Kebijakan Moneter di
Indonesia. Jakarta : PPSK Bank Indonesia.
Widarjono, Agus. 2007. Ekonometrika: Teori dan Aplikasi.
Yogyakarta: Ekonisia Fakultas Ekonomi UII
«
..
PENGARAH
Halim Alamsyah Wimboh Santoso Suhaedi
KOORDINATOR & EDITOR
Agusman
TIM PENYUSUN
Ardiansyah, Anto Prabowo, Linda Maulidina, Ratih A. Sekaryuni, Tirta Segara, Pungky
Purnomo, Boyke Wibowo Suadi, Ita Rulina, Wini Purwanti, Ida Rumondang, Noviati, Januar
Hafiz, Cicilia A. Harun, Sagita Rachmanira, Reska Prasetya, Heny Sulistyaningsih, Mestika
Widantri, Elis Deriantino, Hero Wonida
KOMPILATOR, LAYOUT & PRODUKSI
Boyke Wibowo Suadi
KONTRIBUTOR
Direktorat Pengawasan Bank 1
Direktorat Pengawasan Bank 2
Direktorat Pengawasan Bank 3
Direktorat Perbankan Syariah
Direktorat Kredit, BPR dan UMKM
Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan
Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan
Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran
Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter
Diserktorat Pengelolaan Moneter
Direktorat Pengelolaan Devisa
PENGOLAHAN DATA
Suharso I Made Yogi
Kajian Stabilitas KeuanganNo. 14, Maret 2010