Kapita selekta revised

39
Kapita Selekta Pemerintahan Kelompok 4 POLITIK KEAMANAN DI PERBATASAN PERBANDINGAN INDONESIA – TIMOR LESTE DAN INDONESIA (BATAM) – SINGAPURA Anggota Kelompok : 1. Amelia 12/328790/SP/25163 2. Monica Ayu Caesar I 12/328807/SP/25180 3. Anisa Nur Nia Rahmah 12/328772/SP/25147 4. Yacinta Stefilla P 12/328774/SP/25149 5. Rizky Oktavianto 12/328770/SP/25145 6. Amalia Krisdianti 12/328772/SP/25146 7. Dwi Rindra Tansriyanarko12/328773/SP/25148 Jurusan Politik Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Transcript of Kapita selekta revised

Kapita Selekta Pemerintahan Kelompok 4

POLITIK KEAMANAN DI PERBATASAN

PERBANDINGAN INDONESIA – TIMOR LESTE DAN INDONESIA (BATAM) – SINGAPURA

Anggota Kelompok :

1. Amelia 12/328790/SP/25163

2. Monica Ayu Caesar I 12/328807/SP/25180

3. Anisa Nur Nia Rahmah 12/328772/SP/25147

4. Yacinta Stefilla P 12/328774/SP/25149

5. Rizky Oktavianto 12/328770/SP/25145

6. Amalia Krisdianti 12/328772/SP/25146

7. Dwi Rindra Tansriyanarko12/328773/SP/25148

Jurusan Politik Pemerintahan

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

Universitas Gadjah Mada

2014

A. Pendahuluan

Wilayah perbatasan antar negara merupakan beranda terdepan negara yang berbatasan

langsung dengan negara lain. Wilayah perbatasan memiliki kerentanan lebih tinggi dibandingkan

wilayah teritori negara lainnya. Wilayah ini rentan terhadap ancaman dari luar negeri berupa

ekspansi wilayah. Selain itu, perbedaan keadaan sosial ekonomi di wilayah perbatasan dengan negara

tetangga dapat memicu turunnya rasa nasionalisme masyarakat yang bertempat tinggal di perbatasan.

Potensi-potensi pelanggaran di wilayah perbatasan juga dapat menjadi kerentanan tersendiri. Di

wilayah perbatasan ada potensi terjadi penyelundupan sumberdaya yang dapat merugikan negara,

terjadi investasi ilegal, kesenjangan sosial ekonomi. Jika masalah-masalah tersebut terjadi di

perbatasan, rasa nasionalisme masyarakat dapat menurun hingga pada tingkat apatis terhadap negara.

Wilayah perbatasan juga merupakan manifestasi utama suatu negara dalam menunjukkan

kedaulatannya. Bagaimana pengelolaan wilayah perbatasan menentukan eksistensi negara tersebut

dalam mempertahankan wilayahnya. Wilayah perbatasan tidak dapat dipandang remeh karena

wilayah perbatasan adalah pintu keluar-masuk dari dalam dan ke luar negara berbagai kekuatan dan

sumberdaya. Kesalahan strategi dalam mengelola wilayah perbatasan dapat berpotensi pada

kerentanan wilayah perbatasan dieksploitasi negara tetangga.

Berbagai potensi-potensi permasalahan yang dapat muncul di wilayah perbatasan tersebut

mendorong pemerintah agar tepat dalam memilih strategi pendekatan yang dipilih untuk mengelola

wilayah perbatasan. Dalam memilih strategi pengelolaan, pemerintah harus mempertimbangkan

berbagai aspek dan tujuan dari pengelolaan tersebut. Sebagai contoh, pengelolaan perbatasan di

Eropa dilakukan dengan sangat terbuka dari wilayah negara lain dengan alasan ekonomi terbuka

yang diterapkan di banyak negara-negara Eropa. Contoh lain pengeloaan perbatasan Korea Utara

dengan Korea Selatan. Untuk mencegah terjadinya migrasi penduduk ke Korea Selatan, perbatasan

dikelola secara ketat. Secara umum, wilayah perbatasan dikelola dengan memperhatikan kepentingan

kedaulatan negara dan kepentingan masyarakat yang bertempat tinggal di perbatasan.

Dalam makalah ini, kasus yang akan dijadikan untuk fokus pembahasan adalah pengelolaan

politik keamanan di perbatasan Indonesia – Timor Leste dan Indonesia – Singapura. Kedua wilayah

ini berbatasan dengan dua negara yang berbeda, berbeda tingkat perekonomian, konflik

nasionalisme, hingga riwayat sejarah dengan Indonesia. Perbedaan-perbedaan tersebut mendorong

Pemerintah Indonesia untuk memberlakukan peraturan yang juga berbeda untuk kedua wilayah

perbatasan ini.

Pembahasan ini menarik untuk memperdalam kajian mengenai strategi-strategi pemerintah

dalam pengelolaan wilayah perbatasan sesuai dengan karakteristik perbatasan hingga negara yang

berbatasan langsung. Pembedaan ini dimaksudkan untuk merespon masalah-masalah yang ada di

2

wilayah perbatasan agar kebijakan yang diambil tidak salah yang justru dapat memunculkan

masalah-masalah lain seperti hilangnya rasa nasionalisme yang dapat berujung pada ekspansi negara

tetangga atau gerakan sparatisme.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana perbandingan pengelolaan politik keamanan di daerah perbatasan dalam kasus

Indonesia – Timor Leste dengan Indonesia (Batam) – Singapura?

C. Konsep Politik Keamanan

Konteks keamanan dapat dipahami sebagai cara atau kemampuan untuk mempertahankan diri

(survival) dalam menghadapi ancaman yang nyata (existensial threat).1 Konsep terkait keamanan,

dalam dekade terakhir ini, mengalami gesekan yang sangat kuat sehingga terjadi perubahan kondisi

keamanan internasional yang mana muncul konsep-konsep baru dalam berbagai literatur mengenai

keamanan. Selama ini, terkait kajian keamanan, orang hanya melihat keamanan dari segi

pengendalian kapabilitas militer dalam menghadapi ancaman dari serangan negara lain sehingga,

dengan konsep tersebut, isu yang berkembang hanya segelintir, terkait konflik antar negara dan

perang bersenjata. Untuk kondisi saat sekarang ini, konsep awal tersebut mengalami perkembangan,

dimana isu-isu yang ada merupakan isu yang sangat kompleks dan multidimensi, karena meliputi isu

konvensional dan non-konvensional.

Perubahan ini terjadi disebabkan oleh ancaman masa kini yang semakin rumit, misalnya isu

yang berkembang terkait aspek politik, ekonomi, lingkungan serta hak asasi manusia. Dengan isu

yang semakin beragam, muncullah pemikiran baru terkait keamanan politik di daerah perbatasan

sehingga keamanan tidak hanya dalam aspek militer namun juga dalam masalah keamanan ekonomi,

masalah keamanan sosial, keamanan lingkungan hidup, keamanan kesehatan maupun keamanan

lainnya. Munculnya isu-isu baru ini mengakibatkan dampak yang cukup serius dalam hal instrumen

keamanan sehingga negara tidak lagi menjadi aktor tunggal dalam setiap penyeleseaian masalah

melainkan terdapatnya aktor non-negara seperti individu dan lembaga swadaya masyarakat.

Penjelasan terkait isu konvensional dan non-konvensional, ini sebenarnya terdapat perbedaan

mendasar. Dalam konteksnya, konvensional diartikan State Security dalam artian negara sangat

1Barry, Ole Weaver and Jaap de Wilde, Scurity : A new framework for Analysis, Colorado Lynne Rienner Publishers, Inc, 1998. Diambil dalam buku Ganewati wuryandari dkk. 2009. Keamanan di Perbatasan Indonesia-Timor Leste. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar)

3

berpengaruh terhadap keamanan. Menurut Michael Mann, unsur negara yang harus dilindungi terdiri

dari empat hal penting2, yaitu:

1. Ideologi, yaitu bagaimana mengupayakan perlindungan terhadap ideologi negara dari

infiltrasi ideologi negara,

2. Ekonomi, yaitu bagaimana menjaga kelangsungan aktivitas ekonomi didalam wilayah suatu

negara agar tidak terganggu oleh kekuatan-kekuatan (eksternal maupun internal yang

nantinya bisa merusak perekonomian nasional,

3. Militer, yaitu bagaimana mempertahankan kedaulatan dan integritas negara dari berbagai

ancaman,

4. Politik, yaitu bagaimana mempertahankan identitas politik dan kesatuan negara dari berbagai

ancaman eksternal maupun internal.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa, pada dasarnya, keamanan adalah aspek yang

menyangkut upaya untuk menjaga kekuatan negara yang terdiri keempat poin tersebut. Dengan

demikian, ketika berbicara tentang konsep keamanan secara konvensional, maka keamanan yang

dimaksud adalah keamanan bagi negara. Sedangkan keamanan non-konvensional mengacu pada

ancaman yang mengganggu individu atau sekelompok masyarakat di wilayah tertentu sehingga bisa

disebut sebagai human security. Menurut Xu Jian dalam bukunya yang berjudul “New Challenges,

New approaches : Unconventinal Security and International Security Cooperation, menyebutkan

bahwa keamanan dalam konteks konvensional cenderung melihat isu-isu yang sifatnya “high

politics” seperti pertahanan keamanan, perselisihan wilayah, kedaulatan, postur militer negara.

Sedangkan non-konvensional melihat isu yang bersifat “low politics” seperti, lingkungan, ekonomi,

teroris, polusi, kejahatan lintas negara, kepadatan penduduk, AIDS dan sebagainya.3 Dengan

penjelasan di atas, pandangan terhadap keamanan negara, untuk saat sekarang, sangat kompleks,

sehingga yang dibutuhkan tidak hanya aktor dari negara, melainkan penduduk maupun swadaya

masyarakat.

Perbedaan konsep keamanan konvensional dan non-konvensional4:

2Ganewati wuryandari dkk. 2009. Keamanan di Perbatasan Indonesia-Timor Leste. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar). hlm313Ibid. Hlm 334Ibid. Hlm 34

4

Konvensional Non-konvensional

Isu Politik tingkat tinggi (High politics):

pertahanan nasional, sengketa teritorial,

antar negara postur militer.

Masalah ini berkaitan dengan

kelangsungan hidup nasional, negara

atau rezim

Politik tingkat rendah(Low Politics):

keamanan ekonomi, aksi terorisme,

eksploitasi popullation, perdagangan

narkoba, kejahatan trans-nasional,

AIDS.

Masalah ini sering melampaui

keprihatinan keamanan konvensional di

masa lalu

Aktor dan

sumber

Aktor dan sumber keduanya relatif jelas

dalam arti bahwa mereka sering hasil

dari konflik dalam kepentingan

nasional dan perselisihan akibat antara

negara atau pemerintah.

Lebih rumit.

Kebanyakan ancaman keamanan non-

konvensional adalah hasil dari aktor-

aktor non negara (individu, kelompok

sosial) daripada hasil langsung dari

tindakan negara-bangsa

Management - Lebih sulit, mengambil proses yang

panjang dan comprehendsiveness

mengenai manajemen

Sosialisasi,

transnational,

globalisasi.

kurang jelas Lebih jelas. Dengan pembesaran area

aksi kelompok-kelompok sosial

tertentu, masalah keamanan non-

konvensional banyak dengan mudah

melampaui berbagai jenis keterbatasan

politik, geografi dan budaya dan mulai

tumpah dari satu negara atau wilayah

lain, dengan hasil bahwa masalah-

masalah individu tertentu negara

berkembang menjadi isu global

Rezim Keamanan Perbatasan

Bagaimana sebuah negara mengelola keamanan perbatasan pada dasarnya bergantung pada

kondisi negara itu sendiri. Dilihat dari sudut pandang keamanan, terdapat dua sistem yang lazim

5

diterapkan, yaitu hard border regime dan soft border regime. Hard border regime adalah dimana

pengelolaan keamanan perbatasan menganut sistem yang sangat ketat dengan menempatkan pasukan

bersenjata lengkap di setiap pos-pos perbatasan. Negara yang menganut sistem ini biasanya menutup

rapat-rapat perbatasannya untuk mencegah keluar masuknya pelintas batas demi alasan keamanan

nasional. Contohnya, Amerika Serikat yang menerapkan sistem ini pada perbatasan daratnya dengan

Mexico dan perbatasan lautnya dengan Kuba. Contoh lain adalah Korea Utara yang menerapkan

sistem ketat untuk mencegah warganya agar tidak bermigrasi ke Korea Selatan, yang notabene secara

ekonomi lebih maju.

Sistem yang kedua adalah soft border regime. Sistem ini pada dasarnya memberlakukan

pengamanan perbatasan tidak terlalu ketat. Negara dengan sistem ini tidak terlalu membatasi pelintas

batas negara. Mereka menganggap kelonggaran ini tidak mendatangkan ancaman bagi keamanan

nasional. Negara yang menerapkan sistem ini biasanya negara-negara yang menggunakan prinsip

hidup berdampingan secara damai, contohnya adalah Uni Eropa. Mereka tidak melakukan perbatasan

ketat bagi penduduk sesama negara anggota kelompok ekonomi regional tersebut. Dalam hal

keamanan, Jean March Blanchard menyatakan bahwa kondisi internal suatu negara ikut menentukan

tata kelola keamanan perbatasan macam apa yang akan diterapkan, yaitu negara yang memiliki

masalah internal seperti ketidakstabilan politik, krisis identitas nasional, ketidakmampuan dalam

mengimplementasikan kebijakan, lemahnya kapasitas pertahanan dan keamanan, dan krisis

legitimasi, yang kemudian oleh Blanchard disebut low state. Low state biasanya memprioritaskan

diri dalam penanganan masalah internal daripada melibatkan diri dalam pengelolaan rezim keamanan

perbatasan yang menuntut komitmen politik dan militer.

Selain faktor keamanan, perbatasan juga mengandung “konteks lokal” yang meliputi aspek

sosial, ekonomi, agama, linguistik, etnisitas, dan budaya masyarakat setempatnya. Seperti yang

diungkapkan Brunet-Jailly bahwa perbatasan seharusnya tidak hanya dilihat dari perspektif

keamanan tetapi juga aspek historis, etnis, dan kultural penduduk yang tinggal di wilayah perbatasan.

Mereka juga mengungkapkan bahwa dalam pengelolaan perbatasan perlu memberikan perhatian

empat elemen keamanan perbatasan, yaitu, pertama, kekuatan pasar dan arus perdagangan. Negara

yang mengutamakan ekonomi pasar bebas biasanya membuka perbatasan selonggar mungkin untuk

mendukung kekuatan pasar dan mendorong arus perdagangan antarnegara. Meskipun demikian,

pengelolaan keamanan perbatasan tidak seharusnya didominasi oleh kepentingan untuk

mengeksploitasi fungsi ekonomi perbatasan, tetapi perlu mempertimbangkan faktor lain seperti

keamanan, migrasi penduduk, penyelundupan, perdagangan narkoba, perdagangan manusia, dan lain

sebagainya. Kedua, adalah kebijakan pemerintah negara-negara yang berbatasan langsung.

6

Kebijakan pemerintah dibedakan berdasarkan tujuannya, tujuan umum dan spesifik. Kebijakan

dengan tujuan umum dilakukan oleh lembaga-lembaga kementerian seperti kementerian pertahanan,

kepolisian, kantor imigrasi dan kantor bea-cukai. Sedangkan kebijakan dengan tujuan spesifik

biasanya dilakukan oleh unit khusus seperti patroli perbatasan, pos perbatasan, pengawas pantai, dan

lain sebagainya.

Ketiga, adalah pengaruh faktor politis masyarakat di wilayah perbatasan, yaitu melihat sejauh

mana aktor-aktor lokal mempengaruhi penentuan tata kelola keamanan perbatasan antar negara.

Dalam hal ini, “konteks lokal” sangat berperan. Tata kelola masyarakat harus mendengarkan aspirasi

dari masyarakat setempat dan organisasi sosial kemasyarakatan yang ada. Hal tersebut bertujuan agar

tata kelola perbatasan tidak merusak jaringan sosial yang sudah ada. Keempat, adalah budaya khas

masyarakat di wilayah perbatasan. Elemen ini juga masih mengacu pada “konteks lokal”. Perlu

diingat bahwa suatu garis perbatasan biasanya memotong secara acak kelompok linguistik, adat,

keagamaan, latar belakang sosial ekonomi, identitas budaya, dan latar belakang historis. Dalam

pengelolaan perbatasan perlu diperhatikan kepekaan terhadap rasa memiliki masyarakat yang

dipisahkan oleh garis “politis” dan “geografis” tersebut. Selain teori di atas, penjelasan mengenai low

state yang telah dijelaskan sebelumnya juga memberikan pengaruh yang besar. Negara-negara yang

memiliki masalah internal yang dapat dikatakan cukup akut memiliki prioritas dalam pengelolaan

perbatasan yaitu memaksimalkan keamanan dalam negeri, mengurangi “pengaruh-pengaruh buruk”

dari luar, mencegah warga melarikan diri ke luar negeri. Serta mengoptimalkan perbatasan untuk

melindungi pembangunan negara.

Dalam hal ini, Timor Leste merupakan negara yang tergolong ke dalam low state. Oleh

karena itu, negara ini cenderung mengembangkan pendekatan hard border security. Bagi Indonesia,

yang notabene memiliki tingkat kenegaraan yang lebih tinggi dibanding Timor Leste atau dapat

dikatakan tidak terlalu rentan terhadap ancaman keamanan eksternal, pilihan yang terbaik adalah

mengkombinasikan antara soft border security dengan hard border security. Dua model pendekatan

pengelolaan perbatasan tersebut dapat diklasifikasian sebagai berikut. Model pertama, hard border

security dimana biasanya dilakukan oleh negara-negara dalam kategori low states. Pengelolaan

keamanan dilakukan oleh lembaga tinggi negara (terutama yang bertanggung jawab pada keamanan

dan pertahanan). Pendekatannya adalah militer-strategis-politis dimana memberikan pertimbangan

pada faktor keamanan dalam negeri, penjagaan identitas nasional, dan pembangunan dalam negeri.

Tujuannya adalah tujuan secara umum yaitu menjaga keamanan dalam negeri. Partisipasi

masyarakatnya cenderung tidak ada atau diabaikan. Asumsi dasarnya adalah tingginya ancaman

eksternal sehingga membutuhkan pengawasan perbatasan ekstra ketat. Soft border security, aktor

7

utamanya adalah strong states (negara yang memiliki tingkat kenegaraan relatif tinggi).

Pengelolaannya dilakukan oleh aktor negara maupun non-negara baik dari level tinggi, menengah,

maupun rendah. Model ini menggunakan pendekatan sosial-ekonomi-budaya sehingga cenderung

membuka keleluasaan dalam pertukaran barang, jasa, maupun pergerakan penduduknya. Tujuannya

adalah tujuan yang mengkombinasikan tujuan umum (yang dilakukan oleh lembaga negara tingkat

tinggi) dan tujuan spesifik (yang dilakukan lembaga provinsi, kabupaten, hingga kecamatan).

Masyarakat lokal dilibatkan secara partisipatoris. Cenderung bersifat terbuka karena asumsi terhadap

ancaman eksternal relatif rendah.

Cyber Politics

Selain itu, kita juga perlu memperhatikan adanya cyber politics pada era sekarang ini.

Kemajuan teknologi membawa kepada kemudahan dalam berkomunikasi. Termasuk berkomunikasi

dalam urusan politik keamanan perbatasan. Ketika membahas perihal politik keamanan perbatasan,

tidak hanya melibatkan antara negara yang berbatasan langsung atau bertetangga. Era cyber politics

inilah yang membuat masalah politik keamanan perbatasan memiliki cakupan yang luas. Seperti

kemungkinan adanya pembajakan terhadap negara yang letaknya berjauhan, pembajakan melalui

cyber politics inilah yang membuat keamanan perbatasan harus diperhatikan secara menyeluruh

(tidak hanya terhadap negara yang berbatasan langsung).

Contoh lainnya seperti nuclear technology yang dimiliki oleh Jepang. Tenaga nuklir yang

sangat dikuasi Jepang ini tidak hanya mendatangkan dampak positif tetapi juga dampak negatif bagi

negara-negara lain, termasuk Indonesia sendiri. Maka perlu adanya pembatasan negara atau

keamanan yang menjamin suatu negara tidak terkena dampak nuklir ini. Pembajakan melalui cyber

politics dan efek nuklir adalah bebarapa contoh yang menggambarkan bahwa politik keamanan

perbatasan tidak selalu mengenai humanisme dan pencegahan kriminalitas secara langsung, tetapi

juga melalui hal-hal yang tak terlihat secara kasat mata. Sehingga hal ini perlu diperhatikan untuk

menjamin keamanan dalam suatu negara.

D. Analisis Kasus

Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP)

8

Badan yang berhubungan langsung dan ditugaskan penuh oleh pemerintah guna fokus

mengkaji wilayah perbatasan adalah Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). Secara umum,

BNPP bertugas menangani/mengelola batas wilayah dan mendorong kesejahteraan masyarakat

kawasan perbatasan. Tugas ini termasuk dalam bagian intergral manajemen negara. Berawal dari UU

No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara yang memberikan mandat kepada Pemerintah untuk

membuat Badan Pengelola Perbatasan di tingkat pusat dan daerah, maka terbitlah Perpres No. 12

Tahun 2010 tentang pembentukan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). BNPP

menciptakan kebijakan dan program yang digunakan sebagai senjata untuk memperbaiki kelemahan

dan keterbatasan yang telah ada selama ini. Anggota BNPP terdiri dari 18 kementerian/lembaga non-

pemerintah serta 12 gubernur di wilayah perbatasan. Ruang lingkup tugas utama BNPP terdapat

dalam UU No. 43 Tahun 2008 Pasal 15 dan Pepres No. 12 Tahun 2010 Pasal 3, antara lain:

Menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan

Menetapkan rencana kebutuhan anggaran

Mengkoordinasikan pelaksanaan

Melaksanakan evaluasi dan pelaksanaan terhadap pengelolaan Batas Wilayah Negara dan

Kawasan Perbatasan

Pada tahun 2015 ini BNPP memiliki 187 kecamatan sasaran dengan catatan sebanyak 50 di

antaranya menjadi lokasi prioritas (lokpri) program percepatan pembangunan. Pertimbangannya

seperti di atas tadi yakni perbatasan membutuhkan perhatian khusus/lebih daripada wilayah lainnya.

Perubahan secara total wajah wilayah perbatasan tidak hanya dilakukan secara fisik, tetapi juga

tingkat pembangunan kesejahteraan masyarakat, pengamanan, peningkatan sumberdaya manusia dan

infrastrukturnya. Dalam rangka mewujudkan target sasaran 50 lokpri ini, Menko polhukam, TNI,

serta Kepolisian juga ditunjuk untuk membangun dermaga, mercusuar, asrama, dan kerjasama

dengan kementrian yang terkait dengan kawasan perbatasan negara. Pada akhirnya pembangunan

wilayah perbatasan ini akan membuka keterisolasian, meningkatkan pelayanan kegiatan sosial

ekonomi budaya, serta penguatan dan pertahanan masyarakat kawasan perbatasan.

Keamanan di Perbatasan Indonesia – Timor Leste

9

Pada dasarnya, permasalahan mengenai perbatasan antara Indonesia dengan Timor Leste

telah berlangsung sejak lama sebelum kedua negara berdiri dan merdeka, yaitu ketika masa

penjajahan. Saat itu, Portugis merupakan negara pertama yang mendarat di Pulau Timor dengan

tujuan untuk berburu rempah-rempah, terutama kayu cendana. Selang beberapa tahun kemudian,

Belanda juga singgah di Pulau Timor untuk juga ikut mencari kayu cendana. Perebutan wilayah

kekuasaan antar kedua belah pihak pun tidak terelakkan dan terus berlangsung hingga tahun 1755.

Pada tahun tersebut, baik Portugis maupun Belanda sepakat untuk membagi Pulau Timor menjadi

dua yaitu Timor bagian barat yang berpusat di Kupang menjadi milik Belanda, sedangkan Portugis

menguasai Timor bagian Timur yang terpusat di Dili yang ditandai dalam Kontrak atau Perjanjian

Paravicini (Wuryandari, 2009).

Meskipun telah ada kesepakatan mengenai pembagian wilayah di Pulau Timor, perselisihan

antara Belanda dan Portugis tetap saja terjadi selama beberapa tahun kemudian karena pada

Perjanjian Paravicini hanya mengatur tentang pembagian wilayah saja tanpa ada pembahasan

mengenai batas-batas wilayah. Hingga beberapa tahun setelah itu, kedua negara, beberapa kali,

mengadakan pertemuan untuk membahas mengenai batas wilayah seperti konvensi di Lisbon pada

tahun 1893, konvensi di Den Haag tahun 1904 serta tahun 1914 di Den Haag melalui Peradilan

Arbitrase Internasional (Wuryandari, 2009). Perselisihan antara Belanda dan Portugis, mengenai

batas wilayah, baru berakhir ketika Indonesia sudah merdeka dan para penjajah angkat kaki dari

Indonesia, terlebih lagi ketika Timor Timur menjadi bagian dari provinsi di Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Sejak saat itu pula, masyarakat Timor, yang tadinya terbelah antara barat dan

timur, menjadi lebih leluasa dalam menjalankan aktifitasnya tanpa harus mempedulikan wilayah

mereka berada.

Permasalahan batas wilayah di Pulau Timor kembali menjadi isu yang hangat untuk

diperbincangkan ketika pada awal tahun 2000-an sebagian besar masyarakat Timor Timur

mengadakan referendum dan memutuskan untuk keluar dari wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia dan memilih mendirikan negara sendiri yaitu Timor Leste. Wilayah perbatasan antar

negara menjadi sangat penting karena sering kali dianggap sebagai beranda depan atau pintu masuk

dari suatu negara. Selain itu, wilayah perbatasan juga memiliki beberapa fungsi diantaranya fungsi

pertahanan-keamanan yang merupakan simbol kedaulatan sebuah negara dalam artian untuk

memberikan kejelasan hukum suatu negara mengingat wilayah perbatasan merupakan perlintasan

antar-negara baik individu maupun barang dan jasa, serta fungsi kesejahteraan dan lingkungan, yaitu

dengan adanya batas negara yang jelas maka diharapkan aktifitas masyarakat dan perekonomian

dapat berlangsung secara legal dan kerjasama antar pemerintah menjadi jelas (Wuryandari, 2009).

Namun sayangnya, wilayah perbatasan, yang katanya, adalah beranda depan sebuah negara justru

10

menjadi salah satu wilayah yang tertinggal. Kebutuhan layanan dasar masyarakat sulit terpenuhi,

harga kebutuhan pokok yang terlampau mahal, minimnya sarana prasarana infrastuktur merupakan

gambaran yang ada di wilayah perbatasan.

Dalam kasus wilayah perbatasan antara Indonesia dengan Timor Leste, kami berusaha untuk

memetakan ke dalam dua ancaman yang biasanya sering terjadi. Ancaman tersebut dapat berupa

ancaman konvensional dan ancaman non-konvensional. Ancaman konvensional merupakan ancaman

yang menyangkut tentang wilayah, ideologi, kedaulatan, serta identitas suatu negara. Jika dilihat dari

pengertian diatas, ancaman yang timbul di wilayah perbatasan Indonesia dengan Timor Leste adalah

garis demarkasi atau garis batas darat antar kedua negara yang belum jelas, pengaturan rezim yang

berkuasa atas keamanan perbatasan, konflik internal di Timor Leste, keberadaan gengster di Timor

Leste, keberadaan eks-pengungsi atau eks-milisi, serta kehadiran pasukan asing (Wuryandari, 2009).

Kejelasan akan garis demarkasi menjadi hal yang sangat penting karena selain untuk mempertegas

batas wilayah kedua negara juga untuk memudahkan kontrol aparat keamanan terhadap aktifitas

ekonomi, lalu lalang barang dan jasa serta masyarakat di sekitar daerah perbatasan.

Jika keberadaan garis demarkasi tidak diperjelas, dikhawatirkan, akan menimbulkan klaim

wilayah atas sebuah negara, masuknya kelompok radikal ke sebuah negara serta adanya aktifitas

ilegal antar negara, seperti penyelundupan barang. Oleh karena itu, agar hal tersebut tidak terjadi di

pintu perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste didirikan dua jenis pos pengamanan yaitu Tempat

Pengelolaan Imigrasi atau pos imigrasi dan pos perbatasan (Wuryandari, 2009). Tempat pengelolaan

imigrasi ini dijaga oleh petugas dari TNI/POLRI, imigrasi, bea-cukai dan karantina. Pos ini berfungsi

sebagai pintu keluar masuk barang dan jasa, serta lalu lalang masyarakat antar kedua negara,

sedangkan pos perbatasaan dijaga oleh aparat dari TNI/POLRI yang berfungsi untuk menjaga daerah

perbatasan dari aktifitas ilegal dan menjaga keamanan masyarakat di perbatasan Indonesia dan Timor

Leste (Wuryandari, 2009). Selanjutnya, pengaturan rezim yang berkuasa dapat menjadi ancaman

bagi wilayah perbatasan karena menyangkut sikap atau cara pandang sebuah negara terhadap negara

tetangga atau yang langsung berbatasan dengan wilayahnya. Apabila suatu negara menganggap

negara tetangganya berpotensi menimbulkan gangguan dalam negeri, tentunya negara tersebut akan

memberlakukan peraturan yang ketat di perlintasan perbatasan. Begitu juga sebaliknya, apabila

negara tetangga dianggap tidak menimbulkan bahaya dalam negeri, pengamanan di perbatasan

tentunya tidak terlalu ketat. Dalam kasus perbatasan negara Indonesia dengan Timor Leste, kedua

negara mengambil langkah tengah yaitu tidak terlalu ketat pengawasannya tetapi tetap waspada.

Kondisi keamanan dalam negeri Timor Leste juga dapat menjadi ancaman. Apabila konflik

tersebut tidak segara diatasi oleh pemerintah Timor Leste, dikhawatirkan, konflik tersebut bakal

meluas hingga melibatkan masyarakat kedua negara serta mengganggu keamanan di wilayah

11

perbatasan. Keberadaan eks-pengungsi atau milisi yang pro-Indonesia juga menjadi kekhawatiran

tersendiri bagi pemerintah Indonesia. Jika terjadi kecemburuan sosial dan ketimpangan ekonomi

antara penduduk asli dan eks-pengungsi, akan menimbulkan konflik atau gesekan di masyarakat.

Konflik sosial tersebut muncul karena penduduk asli jelas telah memiliki penghasilan yang jelas,

sedangkan warga eks-pengungsi masih menggantungkan diri pada penduduk asli maupun pemerintah

Indonesia. Keberadaan gengster di Timor Leste juga dapat menjadi ancaman di wilayah perbatasan

karena kelompok tersebut bisa saja berubah menjadi gerakan radikal yang mencoba memanfaatkan

segala keterbatasan yang dirasakan oleh masyarakat di wilayah perbatasan untuk melakukan

perlawanan terhadap negara. Kehadiran negara asing jelas menjadi ancaman bagi kedaulatan kedua

negara karena dikhawatirkan akan mengintervensi kesepakatan yang terjalin antara Indonesia dan

Timor Leste.

Ancaman non-konvensional adalah ancaman yang lebih fokus pada kondisi sosial, ekonomi,

budaya, adat, lingkungan masyarakat di wilayah perbatasan kedua negara. Pendekatan non-

konvensional memposisikan warga negara sebagai subyek dalam permasalahan keamanan di

perbatasan (Wuryandari, 2009). Potensi yang muncul dalam ancaman non-konvensional di wilayah

perbatasan Indonesia dengan Timor Leste berupa penanganan eks-pengungsi Timor Timor dan

kegiatan ekonomi ilegal yang terjadi di wilayah perbatasan (Wuryandari, 2009). Sepintas kedua hal

tersebut sama dengan ancaman konvensional yang telah dijelaskan di atas. Hal yang membedakan

keduanya adalah, dalam ancaman konvensional, masyarakat menjadi obyek yang harus dilindungi

dari ancaman tetapi dalam ancaman non-konvensional masyarakat diposisikan sebagai pelaku.

Sementara itu, menurut pendapat dari tokoh masyarakat Kabupaten Belu, penyebab

permasalahan yang ada di wilayah perbatasan Indonesia dengan Timor Leste adalah masalah sosial

budaya dan sejarah perbatasan antara Indonesia dengan Timor Leste, kesiapan mental masyarakat

Indonesia dan Timor Leste, penerapan Pas Lintas Batas atau PLB bagi penduduk lokal dan yang

pembagian kekuasaan mengenai siapa yang berhak mengelola wilayah perbatasan antara TNI,

POLRI, balai karantina, bea-cukai, dan imigrasi (Wuryandari, 2009). Jika dilihat dari sejarahnya

masyarakat di kedua negara, pada awalnya, merupakan satu suku, agama, adat dan bahkan saling

memiliki hubungan kekerabatan yang harus terpisah sebagai akibat dari adanya referendum di awal

tahun 2000-an. Mereka tidak terlalu menginginkan penggunaan dokumen atau persyaratan yang

terlalu ketat untuk keluar masuk, seperti yang terjadi di wilayah Amfoang – Kupang maupun Oecussi

– Timor Leste, dimana untuk keluar masuk wilayah kedua negara masyarakat sekitar hanya

menggunakan surat keterangan dari kepala desa atau pemerintah setempat untuk diserahkan ke

petugas pos perbatasan tanpa harus menggunakan paspor (Wuryandari, 2009). Disamping itu,

masyarakat juga tidak terlalu membutuhkan personil aparat keamanan dalam jumlah yang banyak

12

dan pengamanan secara ketat karena dapat menimbulkan persepsi bahwa daerah tersebut rawan dan

tidak aman.

Ancaman berikutnya datang akibat dari ketertinggalan, ketimpangan, dan kesenjangan

perekonomian serta buruknya infrastuktur di wilayah perbatasan menyebabkan munculnya jalur-jalur

perdagangan ilegal di sepanjang garis perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste. Meskipun telah

terdapat pos pengamanan perbatasan, masyarakat di kedua negara tetap saja berusaha mencari jalan

tikus untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kasus yang sering terjadi adalah penyelundupan bahan

pokok dari Indonesia ke Timor Leste dengan cara penduduk Timor Leste menghubungi kerabat,

teman, saudara mereka yang berada di wilayah Indonesia untuk mencarikan bahan pokok untuk

memenuhi kebutuhan di Timor Leste. Hal itu dilakukan untuk menghindari pemeriksaan ketat di

wilayah perbatasan dan juga untuk menghindari pengenaan biaya keluar masuk barang di pos

perbatasan yang menyebabkan harga bahan pokok menjadi lebih mahal. Di sinilah yang menjadi

dilema, dimana masyarakat menginginkan jumlah personil keamanan yang sedikit dan tidak terlalu

ketat tetapi disisi lain negara juga ingin memastikan tidak ada pelanggaran hukum di antara kedua

negara yang berpotensi mengganggu kedaulatan sebuah negara.

Wilayah perbatasan di wilayah Indonesia memang sering kali dianggap sebagai “halaman

belakang” yang tidak perlu di urus dan perhatikan. Hal ini terlihat dari buruknya infrastruktur yang

tersedia, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang tidak memadai, keterbelakangan, minimnya akses

terhadap layanan dasar dan kebutuhan pokok serta tingginya harga-harga kebutuhan pokok. Kondisi

semacam itu juga berlaku untuk wilayah perbatasan Indonesia dengan Timor Leste. Meskipun

tingkat perekonomian Indonesia bisa dikatakan lebih baik daripada Timor Lester, Pemerintah dalam

negeri Timor Leste sangat serius memperhatikan kondisi wilayah perbatasan mereka baik dari segi

infrastruktur maupun sarana prasarana pendukung lainnya. Oleh karena itu, saat ini, Pemerintah

mencoba menghapus pandangan wilayah perbatasan sebagai halaman belakang salah satunya adalah

dengan cara membangun infrastruktur jalan. Berdasarkan data yang diperoleh dari laman web Badan

Nasional Pengelola Perbatasan atau BNPP, Pemerintahan Presiden Jokowi menggelontorkan dana

sebesar Rp 2,5 triliun untuk pembangunan dan perbaikan jalan di wilayah perbatasan baik di

Kalimantan, Nusa Tenggara dan Papua (bnpp.go.id). Selain itu, BNPP selaku institusi yang

berwenang untuk mengurusi wilayah perbatasan juga akan meningkatkan perekonomian di wilayah

perbatasan Indonesia dengan cara mengembangkan sistem koperasi di pelosok-pelosok desa

(bnpp.go.id). Disamping itu, BNPP juga telah membuat lokasi prioritas di wilayah yang langsung

berbatasan dengan Timor Leste seperti di Kabupaten Belu, Kabupaten Rote Ndao, dan Kabupaten

Alor (bnpp.go.id). Dengan adanya pembuatan lokasi prioritas di wilayah perbatasan, permasalahan

13

yang ada di wilayah tersebut segara diatasi seperti menutup jalur-jalur tikus, memperbaiki sarana

prasana pos perbatasan, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia di perbatasan.

Politik Keamanan Perbatasan: Indonesia (Batam) – Singapura

(Otorita Batam: Kawasan Ekonomi Khusus dan Zona Perdagangan Bebas)

Batam, menjadi salah satu konsen Pemerintah guna mengelola daerah perbatasan yang sangat

strategis. Pemerintah dalam mengelola Batam menempatkan Batam sebagai beranda depan dalam

politik keamanan perbatasan. Sifat batam yang sangat strategis, yang berada pada jalur tesibuk di

Asia Tenggara inilah yang kemudian pemerintah memiliki konsen yang sangat tinggi. Pengelolaan

sebagai beranda depan yang sejatinya harus ditata semenarik mungkin agar banyak orang bertandang

ke Indonesia. Batam yang dikelola dengan logika beranda depan Indonesia sejak pemerintahan Orde

Baru bahkan sampai sekarang. Dalam dalam rencana induk tahun 2011-2014 Badan Nasioanal

Pengelolaan Daerah Batam ditempatkan sebagai lokasi perbatasan yang diprioritaskan untuk

dibenahi arah pmbangunan perbatasannya. Wilayah tersebut antara lain Belakang Padang, Bulang

dan Batam.5 Adanya mekanismeeini semakin mengaskan bahwa Batam adalah daerah yang di

perhitungkan dalam beranda depan di Indonesia.

Pengelolaan daerah perbatasan ini adalah dengan menggunakan skema kebijakan ekonomi.

Semenjak tahun 70-an Batam menjadi pulau primadona bagi Indonesia untuk menyaingi Singapura,

pun sampai hari ini masih tetap sama. Skema kebijakan ekonomi dianggap pemerintah akan mampu

menyelesaikan masalah kesejahteraan bagi Batam khususnya. Namun, tidak hanya Batam, yang akan

terkena dampak positif dari kebijakan ekonomi melainkan juga Negara Indonesia umumnya,

mengingat posisi strategis Batam. Namun, pengelolaan perbatasan yang ekonomi sentris ini juga

masih menyimpan berbagai masalah.

5http://bnpp.go.id/index.php/k-perbatasan diakss paa tanggal 31 Maret 2015 Pukul 22:07.

14

Kondisi Geografis

Posisi Batam secara geografis sangat strategis karena adanya jalur pelayaran internasional

melewati wilayah ini. Batam juga hanya berjarak kurang dari 12,5 mil (±20 km) dari Singapura.

Wilayah ini berbatasan dengan Malaysia dan Singapura disebelah utara, kecamatan Moro di sebelah

selatan, kecamatan Karimun dan laut internasional di sebelah barat, kecamatan Bintan Utara dan

Bintan Selatan6. Batam memiliki 8 kecamatan dan 51 kelurahan serta memiliki wilayah sebesar

1.648,2 km2 namun hanya 600 km2 yang berupa wilayah daratan. Pulau-pulau yang masuk dalam

wilayah Batam adalah 186 buah pulau dan hanya 80 pulau yang berpenghuni.

Kondisi Sosial

Masalah garis wilayah perbatasan yang kerap muncul antara Indonesia dengan negara

tetangga memang (masih) belum selesai ditangani oleh pemerintah masing-masing. Hal ini

disebabkan oleh begitu kompleksnya permasalahan. Permasalahan perbatasan cenderung bersifat

multidimensi, tidak hanya menyangkut perbatasan secara politik antarnegara tetapi juga terkait

dengan persoalan budaya dan sosial warga yang menetap di wilayah perbatasan. Konteks budaya dan

sosial yang mirip atau serumpun tersebut tentu akan sulit dipisahkan oleh keputusan politik masing-

masing negara.

Masalah perbatasan secara politik dan budaya ini pula dapat dirasakan di Batam, Indonesia,

yang berbatasan dengan Singapura. Kawasan Singapura dan Kepulauan Riau khususnya Batam

terletak pada wilayah strategis di jalur perdagangan Selat Malaka yang secara sosial historis

merupakan bagian dari sejarah panjang Melayu7. Hingga kini pun kedua wilayah tersebut masih

dirasa penting bagi jalur perdagangan dunia. Dilihat dari sejarahnya, pada tahun 60-an orang Melayu

6Profil Kota Batam (diakses dari http://batamkota.go.id/pemerintahan_baru.php?sub_module=46&klp_jenis=89 tanggal 8 Maret 2014)7 Triana Wulandari,dkk., (2009), Sejarah Wilayah Perbatasan Batam-Singapura 1842-2009; Satu Selat Dua Nakhoda, Depok: Gramata Publishing, hal. 123

15

Batam dapat leluasa berdagang hingga Singapura8. Ikatan primordial seperti kesamaan suku yaitu

suku Melayu membuat orang Melayu Batam lebih senang berdagang di Singapura atau Malaysia

karena dikedua tempat itu menetap banyak penduduk yang berasal dari suku Melayu. Hingga saat ini

di Singapura, orang Melayu banyak ditemui tinggal di daerah Geylang atau Jurong. Meskipun,

wilayah yang serumpun tersebut kini terpisah menjadi tiga negara yakni Singapura, Indonesia dan

Malaysia. Walaupun secara politis terpisah, warga Singapura dan Indonesia di Batam masih

memiliki sisi emosional yang erat akibat warisan masa lalu.

Selain kedekatan emosional karena kesamaan rumpun, mengingat bahwa sejak zaman

kemerdekaan hingga awal Orde Baru, wilayah ini tidak memperoleh porsi pembangunan yang

memadai. Sebelum tahun 1973, wilayah Batam saat itu masih jauh dari jangkauan pembangunan.

Akibatnya, orientasi warga yang tinggal diwilayah ini mengarah pada Singapura. Tidak dapat

dipungkiri lagi, baik secara geografis, historis, kultural Batam memang lebih dekat dengan Negeri

Singa tersebut.

Strategi Politik Keamanan Perbatasan: Batam

A. Orde Baru dan Otorita Batam

Sebagai garis depan perbatasan dengan Singapura, pulau-pulau dalam kesatuan administratif

Batam mengalami kenaikan nilai strategis dari pulau-pulau kosong yang tidak berpotensi menjadi

suatu daerah yang wajib dipertahankan dan dipertegas keabsahan kepemilikannya. Hal ini sudah

disadari oleh pemerintah Indonesia pada akhir tahun 1970-an ketika Menristek B.J.Habibie berhasil

meyakinkan Presiden Soeharto untuk memberikan perhatian pada pulau terluar seperti Batam dan

Bintan dengan segera menyusun rencana jangka panjang bagi pembangunan dan pengembangan

pulau-pulau tersebut9. Selanjutnya keluarlah Keppres nomor 41/1973 yang menetapkan Batam

menjadi daerah pengembangan industri di bawah Otorita Daerah Industri Batam (Otorita Batam).

Tugas yang diemban Otorita Batam antara lain mengembangkan dan mengendalikan

pembangunan pulau Batam sebagai daerah industri dan kegiatan alih kapal, merencanakan kebutuhan

prasarana dan pengusahaan instalasi dan fasilitas lain, menampung, meneliti permohonan izin usaha

dan menjamin kelancaran dan ketertiban tata cara pengurusan izin dalam mendorong arus investasi

asing di Batam.Pada masa penugasan Otorita Batam tahun 1979, disusunlah sebuah master plan oleh

Departemen Pekerjaan Umum yang menetapkan empat fungsi utama pulau Batam yakni sebagai

kawasan industri, free trade zone, alih kapal, dan pariwisata10.

8 Ibid., hal. 1249 BP Batam (2008) Sejarah BP Batam (Diakses dari http://www.bpbatam.go.id/ini/aboutBida/bida_history.jsp tanggal 8 Maret 2014)

16

Di bawah badan tersebut, wilayah Batam terus berkembang. Pada tahun 1977 atau empat

tahun setelah dibentuknya Otorita Batam, Batam saat itu telah berhasil menarik investasi dari

investor asing sebesar 2.145juta dollar AS11.Puncaknya, pada tahun 1980-an perusahaan perwakilan

di Batam yang saat itu berjumlah 564 perusahaan bertambah menjadi 2.043 perusahaan internasional

yang mendirikan kantor perwakilannya12.

Dalam perjalanannya,Letak Batam yang strategis berada di jalur perdagangan dunia tersebut

mendorong pemerintah untuk memfungsikan Batam sebagai Pusat Kegiatan Strategis Nasional

(PKSN)13. Batam juga sempat diproyeksikan sebagai daerah perbatasan yang dirancang untuk

menyaingi Singapura dalam hal pendirian pelabuhan besar dan pengemasan peti kemas. Hal tersebut

mengingat sebanyaj 50.000 kapal-kapal container melintasi Selat Malaka setiap tahunnya dan kapal

yang melinat tersebut mengangkut seperempat perdagangan laut dunia.

B. Era Reformasi: Kebijakan Special Economic Zone dan Free Trade Zone

Pada era reformasi pemerintah pusat memperlakukan Batam secara spesial. Posisi strategis

Batam dalam bidang ekonomi perdagangan membuat pemerintah perlu mengeluarkan beberapa

kebijakan untuk mengatur Batam. Sejak era Orde Baru pun Batam memang didesain untuk

menandingi Singapura, sehingga dari dahulu hingga sekarang Batam memerlukan treatment khusus.

Sejak Reformasi setidaknya terdapat dua aturan/kebijakan yang menetapkan Batam sebagai kawasan

konomi khusus dan sebagai zona perdagangan bebas.Tujuan diberlakukannya KEK adalah sebagai

sistem ekonomi yang memiliki keberpihakan kepada masyarakat kecil melalui kesejahteraan

ekonomi,sehingga bukan hanya keijakan yang itelurkan hanya untuk kepentingan politis saja.

Kepentingan ekonomi yang terermin adalah dengan melalui peningkatan investasi penyerapan tenaga

kerja, penerimaan devisa melalui skema ekspor,meningkatkan keunggulan kompetitf produksi

ekspor, mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui transfer teknologi14.

Sejak diterbitkannya Perppu No. 1 Tahun 2007 yang dilanjutkan dengan UU No. 44 Tahun

2007 tentang FTZ, maka ditegaskan dalam salah satu pasalnya bahwa pengelolaan kawasan bebas

akan menjadi tanggung jawab sebuah lembaga bernama Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan

10Batam Sejak 1968 Hingga Era Otonomi Daerah, Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat  (2014) (Diakses

dari http://www.pu.go.id/isustrategis/view/6 tanggal 8 Maret 2015)11 Triana Wulandari,dkk., (2009), Sejarah Wilayah Perbatasan Batam-Singapura 1842-2009; Satu Selat Dua Nakhoda, Depok: Gramata Publishing, hal. 10412 Ibid13 BNPP (Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan) Republik Indonesia, (2011) Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan tahun 2011-2014 (Diakses dari http://bnpp.go.id/images/arsip/ebook/ri_2011-2014/ri_2011-2014.pdf tanggal 6 Maret 2015)

14 Apriliyanti, Romayanti. Jurnal Fisip Vol.2 No. 1 Februari 2015. Upaya Diplomasi Indonesia Pada Peningkatan Investasi Asing di Kota Batam.

17

dan Pelabuhan Bebas.Sejalan dengan diterbitkannya PP No. 46/2007 tentang FTZ (Free Trade Zone)

Batam, maka otomatis lembaga yang bertanggung jawab dalam pengelolaan kawasan ini adalah

Badan Pengusahaan Kawasan Bebas Batam. Hal tersebut menyatakan bahwa Otorita Pengembangan

Daerah Industri Pulau Batam berubah menjadi Badan Pengusahaan Kawasan Batam.

Undang-undang No. 44 Tahun 2007 tentang FTZ adalah salah satu bentuk legitimasi bagi

pulau Batam untuk melanjutkan sebagai daerah industri yang berstandar internasional. Batam oleh

pemerintah Indonesia dijadikan batu loncatan untuk dapat bermain dalam kancah perdagangan

internasional. Arus gobalisasi yang semakin kuat memaksa indonesia untuk merawat Batam. Lokasi

perdagangan yang strategis membuat Batam sebagai pintu untuk mengekspor utamanya dengan

momentum pasar bebas.

Analisa Politik Keamanan Perbatasan Batam

Indikator

Pendekatan

Aktor

Utama

Lembaga

pelaksana

Pendekatan Tujuan Keterlibatan

masyarakat

Hakikat

ancaman

Hard

Border

Security

Low state Lembaga

tinggi

negara

Militer-

strategis-

politis

Dominasi

tujuan

umum

Non-

partisipatif

Tingkat

ancaman

eksternal

tinggi

Soft

Border

Security

Strong

state

Aktor

negara dan

non-negara

Sosial-

ekonomi-

budaya

Kombinasi

umum dan

spesifik

partisipatif Tingkat

ancaman

eksternal

rendah

Jika dikerangkai dalam konsep border governance “hard-soft” Batam dalam prakteknya

cenderung dikelola dengan soft border. Kecenderungan dapat dilihat dari politik keamanan

perbatasannya yang lebih mengggunakan pendekatan aspek ekonomi dengan mengeluarkan beberapa

kebijakan seperti penetapan Batam sebagai kawasan ekonomi khusus dan Batam Free Trade Zone.

Melihat dari indikator tujuan umum dan spesifik, keumumannya dapat dilihat dari tujuan

pengamanan ekonomi nasional melalui Batam. Sedangkan tujuan spesifik yang dilakukan adalah

meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar melalui kebijakan KEK dan FTZ.

Namun indikator yang tersedia dalam soft border tidak sepenuhnya kompatibel pada kasus

Batam. Ada beberapa kondisi yang menjadikan Batam juga berkecenderungan dikelola secara Hard

Border. Kondisi itu dilihat dari segi aktor, Indonesia dibandingkan dengan Singapura memiliki posisi

18

dibawah dalam segi ekonomi. Kemudian pemberlakuan FTZ juga berimplikasi pada semakin

melemahnya aturan hukum yang dimiliki oleh Indonesia. Indikator hakikat ancaman, Batam

memiliki tingkat ancaman yang tinggi. Tingginya ancaman ini disebabkan karena interaksi

perdagangan bebas mengingat kapabilitas ekonomi Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan

negara-negara lain. Indikator keterlibatan, masyarakat lokal tidak terlalu di ikutkan dalam kebijakan

ekonomi yang cenderung sentralistis. Pemerintah pusat cenderung mengambil banyak porsi untuk

menentukan pengelolaan Batam sejak jaman orde baru melalui (Otorita Batam, KEK, dan FTZ).

Sehingga tidak bisa dikotomikan secara jelas antara hard border dengan soft border. Logika

pengelolaan Batam awalnya memang menitikberatkan pada soft border, namun dalam perjalanannya

ternyata soft border saja tidak cukup untuk mengelola perbatasan. Pemerintah yang terlalu konsen

dengan kebijakan ekonomi yang menjadikan Batam sebagai Kawasan Ekonomi Khusus dan

Kawasan Perdagangan bebas. Namun sebenarnya Batam masih menyimpan masalah-masalah

perbatasan yang mungkin dapat digolongkan dalam ranah konvensional dan non konvensional tidak

hanya berkutat pada masalah ekonomi semata.

Tantangan Pengelolaan Perbatasan Indonesia (Batam) dengan Singapura

1. Tantangan Keamanan Konvensional

a. Perubahan pandangan dan pengaturan wilayah perairan internasional oleh badan dunia

Dalam pergaulan global, dalam beberapa kasus terjadi perubahan-perubahan indikator dalam

penentuan batas negara terutama penentuan batas perairan. Hal tersebut terjadi karena perairan

adalah daerah yang sering berubah secara geografis seperti perubahan kedalaman laut yang bisa

mengakibatkan pergeseran batas negara15. Maka, jika terjadi perubahan semacam itu Indonesia dan

Singapura perlu menafsirkan ulang batas perairan.

b. Perbatasan perairan yang kabur dan hanya fokus pada perbatasan yang diukur dari darat

Permasalahan ini muncul sebagai akibat dari kurangnya perhatian Belanda pada perbatasan

laut antara negara kolonialnya dengan Singapura yang saat itu dimiliki Inggris ketika era kolonial.

Hal tersebutlah yang meninggalkan lubang persoalan ketika negara kolonial tersebut merdeka16.

Warisan permasalahan tersebut juga makin diperparah dengan sifat perbatasan perairan yang luas

dan kabur antara Indonesia dan Singapura. Hak kedaulatan kedua negara tersebut kemudian lebih

banyak ditentukan dari darat khususnya dari garis pantai17. Penentuan tersebut juga memiliki

kelemahan karena perbedaan dalam standar pengukuran dan perubahan garis pantai akibat abrasi

15 Op-cit, hal. 13116 Ibid, hal. viii17 Ibid, hal 130

19

kemudian masih menyisakan setumpuk pekerjaan rumah bagi pengelolaan perbatasan Indonesia

(Batam) dengan Singapura.

c. Singapura melakukan perluasan wilayah

Singapura mengalami tuntutan perluasan wilayah darat akibat dari pertumbuhan penduduk

dan semakin kompleksnya aktivitas perekonomian milik Singapura. Lahan Singapura yang tidak

dapat dilakukan perluasan alami dan juga menghadapi pengurangan lahan akibat abrasi laut

dibeberapa bagian pantainya mendorong Singapura untuk memperluas wilayah dengan teknologi

buatan. Kemudian, Singapura mengambil langkah untuk mengimpor pasir dari pulau Nipah, pulau

milik Indonesia.

Selain mengimpor dari Pulau Nipah, Singapura juga melakukan pengerukan terus-menerus

disekitar Selat Malaka. Hal itu mengancam keberadaan beberapa pulau terluar Indonesia karena

pulau tersebut terancam tenggelam akibat abrasi. Tindakan tersebut membuat Singapura berhasil

menambah luas negaranya sebanyak 12 kilometer18. Masalah ini tidak hanya menimbulkan persoalan

legitimasi tetapi juga mengubah garis batas yang sebelumnya telah disepakati. Bila terus dibiarkan

maka batas laut Indonesia akan terus mengecil sedangakan Singapura dengan reklamasi pantainya

meluas.

2. Tantangan Keamanan Non-Konvensional (Social Security)

a. Tumbuhnya lalu lintas kegiatan ilegal

Sebagai wilayah terdepan bangsa Indonesia terhadap Singapura baik aspek budaya, ekonomi,

maupun pertahanan dan juga berada dalam salah satu jalur perdagangan tersibuk di dunia,

menjadikan Batam rawan pada kejahatan transnasional. Illegal fishing, penambangan pasir,

kedatangan pekerja seks komersial asing, perjudian, perdagangan dan transaksi narkoba,

penyelundupan barang dan orang pelintas batas secara illegal (tanpa dokumen terkait) merupakan

persoalan aktual yang kini dihadapi masyarakat Batam.

Batam juga sering dikunjungi oleh warga Singapura pada akhir pekan. Bagi mereka Batam

identik dengan kebebasan karena mereka jarang berhadapan dengan aparat penegak hukum19.

b. Meningkatnya jumlah pendatang yang baik legal maupun illegal

Dalam pengembangan wilayah Batam menjadi wilayah otorita tersendiri ketika Orde Baru

hingga tahun 2007, Batam memang berwenang mengatur tata ruang wilayahnya sendiri. Namun,

kewenangan tersebut mendorong pertumbuhan penduduk yang sebagaian besar illegal. Dari laporan

BNPP tahun 2011, selain melakukan illegal fishing nelayan-nelayan asing juga menimbulkan 18 Mustafa Abubakar (2006), Menata Pulau-pulau Kecil Perbatasan: Belajar dari Kasus Sipadan, Ligitan dan Sebatik (Penerbit Buku Kompas: Jakarta) hal. 7919 Ibid, hal. 122

20

masalah sosial. Nelayan asing tersebut juga melanggar undang-undang keimigrasian dengan tinggal

di Batam tanpa dokumen pendukung dan melakukan pernikahan dengan penduduk setempat20.

Sebagai salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki banyak kawasan industri, membuat

Batam didatangi oleh banyak pencari kerja. Ambil contoh, Batamindo yaitu industri yang bergarak di

bidang elektronika ini mampu menyerap 120ribu tenaga kerja yang menurut Dinas Tenaga Kerja

Batam hampir separuh karyawan adalah pendatang21. Hal tersebut makin menegaskan bahwa

penduduk Batam mengalami kenaikan signifikan akibat banyaknya pendatang tersebut. Pertambahan

penduduk yang sedemikian cepat dapat memicu kerawanan sosial (konflik pendatang dengan

penduduk lokal) dan menganggu stabilitas nasional.

c. Pengaruh Krisis Moneter 1997-1998 dan Krisis Global 2008

Pada masa sebelum terjadi krisis moneter 1997-1998, di kota Batam jarang sekali ditemui

pengemis atau gelandangan22. Keadaan tersebut berubah cukup banyak ketika Indonesia mengalami

krisis moneter tahun 1997-1998 yang mengakibatkan pada awal dekade 2000-an jumlah

pengangguran meningkat sejalan dengan banyaknya industri dan kantor perwakilan perdagangan

yang ditutup. Hal itu mendorong munculnya gubuk-gubuk liar dan pengemis di pinggir-pinggir

jalan23. Akibat lain adalah naiknya harga barang-barang kebutuhan sehari-hari.Setelah krismon

banyak yang tutup lalu ditambah ada krisis global tahun 2008 yang membuat banyak yang tutup

juga.

d. Melunturnya identitas ke-Indonesia-an warga negara Indonesia di Batam

Batam yang secara geografis lebih dekat dengan Singapura daripada Jakarta, akhirnya

membuat warga Batam lebih tertarik bepergian ke Singapura daripada Jakarta. Selain karena jarak

yang terlalu jauh dan membutuhkan biaya yang mahal, menurut pengakuan responden yang ditulis

dalam laporan BNPP tahun 2011 mereka lebih senang berlibur ke Singapura karena warga Jakarta

dan kebanyakan warga Indonesia lain juga lebih senang bepergian ke Singapura.

Selain itu, mulai dari hal sederhana seperti pilihan tontonan televisi, warga Batam juga lebih

suka menonton tayangan televisi dari Singapura maupun Malaysia daripada siaran televisi nasional24.

20BNPP (Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan) Republik Indonesia, (2011) Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan tahun 2011-2014 (Diakses dari http://bnpp.go.id/images/arsip/ebook/ri_2011-2014/ri_2011-2014.pdf tanggal 6 Maret 2015)

21 Triana Wulandari,dkk., (2009), Sejarah Wilayah Perbatasan Batam-Singapura 1842-2009; Satu Selat Dua Nakhoda, Depok: Gramata Publishing, hal. 10722 Laporan Dinas Sosial Batam (2011) (diakses dari http://www.dinsosbatam.go.id/laporan/view/6 tanggal 8 Maret 2015)23 Ibid24BNPP (Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan) Republik Indonesia, (2011) Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan tahun 2011-2014 (Diakses dari http://bnpp.go.id/images/arsip/ebook/ri_2011-2014/ri_2011-2014.pdf tanggal 6 Maret 2015)

21

Penerimaan gambar yang kurang baik dan tayangan televisi Indonesia yang kebih banyak memakai

bahasa Indonesia berdialek Betawi dan Jawa membuat masyarakat Batam tidak nyaman karena sukar

dimengerti.

e. Transaksi ekonomi dengan Singapura dianggap lebih menguntungkan

Indonesia dan Singapura sampai saat ini juga belum saling menyetujui perjanjian yang

memperbolehkan warganya melakukan lintas batas. Namun, hubungan ekonomi yang telah

berlangsung sejak lama bahkan sejak zaman kolonial membuat penduduk kedua negara ini sering

mengabaikan prosedur yang harus dilaluinya. Penduduk Singapura banyak yang memerlukan hasil

laut dari Batam. Sementara Batam juga memerlukan kebutuhan seperti gula, alat kosmetik, alat

elektronik, mobil dari Singapura.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika warga Batam lebih banyak menggunakan mata

uang resmi dari Singapura daripada Rupiah. Selain karena desakan kebutuhan, hasil penjualan

komoditi laut juga akan lebih banyak apabila dijual kepada Singapura karena terjadi selisih kurs mata

uang yang cukup besar antara Rupiah dan Dollar Singapura25.

f. Kesenjangan sosial

Warga lokal yang kurang beruntung, karena tidak berpendidikan maupun tidak memiliki

keahlian dalam bidang industry, banyak yang terlempar dari persaingan kerja dan kebanyakan

bekerja sebagai nelayan tradisional dan pedagang kecil-kecilan. Selain itu, warga lokal yang

beruntung mengenyam pendidikan terkadang kalah saing dengan pendatang yang dianggap lebih

berpendidikan dan lebih berkualitas. Hal ini membuat banyak warga lokal Batam akhirnya kalah

melawan arus tenaga kerja pendatang tersebut.

Termaginalkannya penduduk lokal ini dikhawatirkan dapat memicu konflik di masa

mendatang. Kesenjangan ini bisa jadi terjadi karena kurangnya perhatian pemerintah pada upaya

permberdayaan masyarakat local. Pemerintah tampaknya hanya memperhitungkan segala sesuatunya

dari segi ekonomis semata

g. Ketidakjelasan peralihan Otorita Batam ke BP Batam

Masalah yang paling krusial yang menjadi mimpi buruk para pimpinan setingkat Kepala,

Deputi, dan Direktur di Otorita Batam adalah akan ditempatkan dimana mereka dan BP Batam

mengikuti standar gaji siapa? Saat ini, para pejabat Otorita Batam tersebut masih menikmati fasilitas

gaji dan tunjangan Otorita Batam walaupun nama lembaga dan logo sudah berganti menjadi BP

Kawasan26. Mereka adalah pejabat eselon yang selevel dengan Sekretaris Daerah Provinsi Kepri.

Berlarut-larutnya proses peralihan ini karena belum ditemui titik temu bagaimana menempatkan para 25 Terhitung 6 Maret 2015, 1 SGD = Rp 9.350,00 (Diakses dari www.bankmandiri.co.id/resource/ kurs .asp?row=2 tanggal 8 Maret 2015)26 Diakses dari http://politik.kompas.com/read/2015/02/27/165616826/polemik.ftz.batam tanggal 8 Maret 2015

22

pejabat tinggi OB dalam struktur BP Kawasan. Apakah mungkin, BP yang merupakan lembaga

daerah tapi pimpinannya digaji dengan standar eselon pejabat pusat?

E. Kesimpulan

Politik keamanan disuatu negara merupakan bentuk sebuah pertahanan diri dari serangan

negara lain. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kondisi yang ada di dalam sebuah negara. Melihat

semakin berkembangnya pemahaman mengenai konsep politik keamanan di suatu negara maka

muncullah pemikiran-pemikiran baru yang menjelaskan keamanan dari sudut pandang non state

actor. Border governance akan identik dengan wilayah perbatasan. Mengapa demikian? Karena

wilayah perbatasan adalah wilayah yang sangat rentan akan urusan-urusan politis dan geografis.

Urusan-urusan seperti hak kepemilikan geografis dan keamanannya menjadi menjadi urusan yang

pokok. Penulis telah melakukan analisis terhadap dua wilayah perbatasan yaitu Indonesia – Timor

Leste dan Batam – Singapura.

Maka dapat diambil kesimpulan bahwa perbandingan keamanan perbatasan antara kedua

wilayah di atas dapat dilihat melalui kebijakan pengelolaan politik perbatasandari masing-masing

negara. Jika melihat pemaparan mengenai pengelolalaan daerah perbatasan diatas, terlihat bahwa

pemerintah Indonesia memberikan kebijakan pengelolaan perbatasan yang berbeda terutama dalam

kasus Batam (Indonesia) – Singapura dan Belu (Indonesia) – Timor Leste.

Letak daerah serta potensi daerah perbatasan menjadi salah satu faktor yang mendorong

pemerintah melakukan tata kelola berbeda antara perbatasan yang satu dengan perbatasan yang lain.

Letak daerah tersebut secara otomatis akan mempengaruhi ekonomi, sosial, budaya wilayah tersebut

maka tata kelola keamanan perbatasannya pun akan berbeda. Dalam konsep awal, mengatakan

bahwa pemahaman keamanan tidak berarti berdiri sendiri malainkan saling melengkapi. Dengan

kasus diatas, Indonesia – Timor Leste dan Indonesia – Singapura merupakan bentuk politik

keamanan negara yang mengkombinasi dua konsep tersebut yakni konvensional dan non

konvensional. Karena konsep ini mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga

untuk mewujudkan keamanan yang ideal suatu negara maka negara itu butuh mengkombinasikan

kedua konsep ini. Dilihat dari bentuk rezim keamanan perbatasan, keduanya menggunakan sistem

yang sama yaitu sama-sama mengkombinasikan antara soft border security dan hard border security.

Akan tetapi ada beberapa hal yang membedakan seperti otoritas khusus dalam wilayah tersebut.

Daftar Referensi

23

Buku

Abubakar, Mustafa (2006), Menata Pulau-pulau Kecil Perbatasan: Belajar dari Kasus Sipadan,

Ligitan. Jakarta : PT Kompas Media Nusantara.

Wulandari, Triana,dkk., (2009), Sejarah Wilayah Perbatasan Batam-Singapura 1842-2009; Satu

Selat Dua Nakhoda, Depok: Gramata Publishing.

Ganewati Wuryandari dkk. 2009. Keamanan di Perbatasan Indonesia-Timor Leste. Yogyakarta :

Pustaka Pelajar.

Jurnal

Apriliyanti, Romayanti. Upaya Diplomasi Indonesia Pada Peningkatan Investasi Asing di

Kota Batam.Jurnal Fisip Vol.2 No. 1 Februari 2015

Internet

Batam (2008) Sejarah BP Batam (Diakses dari

http://www.bpbatam.go.id/ini/aboutBida/bida_history.jsp tanggal 8 Maret 2014)

Batam Sejak 1968 Hingga Era Otonomi Daerah, Kementrian Pekerjaan Umum dan

Perumahan Rakyat  (2014) (Diakses dari http://www.pu.go.id/isustrategis/view/6 tanggal 8 Maret

2015)

BNPP (Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan) Republik Indonesia, (2011) Rencana Induk

Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan tahun 2011-2014 (Diakses dari

http://bnpp.go.id/images/arsip/ebook/ri_2011-2014/ri_2011-2014.pdf tanggal 6 Maret 2015)

http://bnpp.go.id/index.php/k-perbatasan diakses tanggal 31 maret 2015 pukul 22.47 wib

http://bnpp.go.id/index.php/berita/51-ini-rencana-bnpp-kembangkan-ekonomi-daerah-

perbatasan diakses pada tanggal 31 maret 2015 pukul 22.55 wib

http://bnpp.go.id/index.php/berita/235-jokowi-gelontorkan-anggaran-khusus-jalan-

perbatasan-rp-2-5-triliun diakses pada tanggal 31 maret 2015 pukul 23.15 wib

24

http://bnpp.go.id/index.php/berita/183-jalur-tikus-jadi-faktor-sulitnya-amankan-perbatasan-

ntt-timor-leste diakses pada tanggal 31 maret 2015 pukul 23.27 wib

Diakses dari http://politik.kompas.com/read/2015/02/27/165616826/polemik.ftz.batam

tanggal 8 Maret 2015

Laporan Dinas Sosial Batam (2011) (diakses dari

http://www.dinsosbatam.go.id/laporan/view/6 tanggal 8 Maret 2015)

Profil Kota Batam (diakses dari http://batamkota.go.id/pemerintahan_baru.php?

sub_module=46&klp_jenis=89 tanggal 8 Maret 2014)

Terhitung 6 Maret 2015, 1 SGD = Rp 9.350,00 (Diakses dari

www.b ankmandiri.co.id/resource/ kurs .asp?row=2 tanggal 8 Maret 2015)

25