Kapita selekta revised
-
Upload
dwi-rindra-tansriyanarko -
Category
Science
-
view
459 -
download
4
Transcript of Kapita selekta revised
Kapita Selekta Pemerintahan Kelompok 4
POLITIK KEAMANAN DI PERBATASAN
PERBANDINGAN INDONESIA – TIMOR LESTE DAN INDONESIA (BATAM) – SINGAPURA
Anggota Kelompok :
1. Amelia 12/328790/SP/25163
2. Monica Ayu Caesar I 12/328807/SP/25180
3. Anisa Nur Nia Rahmah 12/328772/SP/25147
4. Yacinta Stefilla P 12/328774/SP/25149
5. Rizky Oktavianto 12/328770/SP/25145
6. Amalia Krisdianti 12/328772/SP/25146
7. Dwi Rindra Tansriyanarko12/328773/SP/25148
Jurusan Politik Pemerintahan
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Gadjah Mada
2014
A. Pendahuluan
Wilayah perbatasan antar negara merupakan beranda terdepan negara yang berbatasan
langsung dengan negara lain. Wilayah perbatasan memiliki kerentanan lebih tinggi dibandingkan
wilayah teritori negara lainnya. Wilayah ini rentan terhadap ancaman dari luar negeri berupa
ekspansi wilayah. Selain itu, perbedaan keadaan sosial ekonomi di wilayah perbatasan dengan negara
tetangga dapat memicu turunnya rasa nasionalisme masyarakat yang bertempat tinggal di perbatasan.
Potensi-potensi pelanggaran di wilayah perbatasan juga dapat menjadi kerentanan tersendiri. Di
wilayah perbatasan ada potensi terjadi penyelundupan sumberdaya yang dapat merugikan negara,
terjadi investasi ilegal, kesenjangan sosial ekonomi. Jika masalah-masalah tersebut terjadi di
perbatasan, rasa nasionalisme masyarakat dapat menurun hingga pada tingkat apatis terhadap negara.
Wilayah perbatasan juga merupakan manifestasi utama suatu negara dalam menunjukkan
kedaulatannya. Bagaimana pengelolaan wilayah perbatasan menentukan eksistensi negara tersebut
dalam mempertahankan wilayahnya. Wilayah perbatasan tidak dapat dipandang remeh karena
wilayah perbatasan adalah pintu keluar-masuk dari dalam dan ke luar negara berbagai kekuatan dan
sumberdaya. Kesalahan strategi dalam mengelola wilayah perbatasan dapat berpotensi pada
kerentanan wilayah perbatasan dieksploitasi negara tetangga.
Berbagai potensi-potensi permasalahan yang dapat muncul di wilayah perbatasan tersebut
mendorong pemerintah agar tepat dalam memilih strategi pendekatan yang dipilih untuk mengelola
wilayah perbatasan. Dalam memilih strategi pengelolaan, pemerintah harus mempertimbangkan
berbagai aspek dan tujuan dari pengelolaan tersebut. Sebagai contoh, pengelolaan perbatasan di
Eropa dilakukan dengan sangat terbuka dari wilayah negara lain dengan alasan ekonomi terbuka
yang diterapkan di banyak negara-negara Eropa. Contoh lain pengeloaan perbatasan Korea Utara
dengan Korea Selatan. Untuk mencegah terjadinya migrasi penduduk ke Korea Selatan, perbatasan
dikelola secara ketat. Secara umum, wilayah perbatasan dikelola dengan memperhatikan kepentingan
kedaulatan negara dan kepentingan masyarakat yang bertempat tinggal di perbatasan.
Dalam makalah ini, kasus yang akan dijadikan untuk fokus pembahasan adalah pengelolaan
politik keamanan di perbatasan Indonesia – Timor Leste dan Indonesia – Singapura. Kedua wilayah
ini berbatasan dengan dua negara yang berbeda, berbeda tingkat perekonomian, konflik
nasionalisme, hingga riwayat sejarah dengan Indonesia. Perbedaan-perbedaan tersebut mendorong
Pemerintah Indonesia untuk memberlakukan peraturan yang juga berbeda untuk kedua wilayah
perbatasan ini.
Pembahasan ini menarik untuk memperdalam kajian mengenai strategi-strategi pemerintah
dalam pengelolaan wilayah perbatasan sesuai dengan karakteristik perbatasan hingga negara yang
berbatasan langsung. Pembedaan ini dimaksudkan untuk merespon masalah-masalah yang ada di
2
wilayah perbatasan agar kebijakan yang diambil tidak salah yang justru dapat memunculkan
masalah-masalah lain seperti hilangnya rasa nasionalisme yang dapat berujung pada ekspansi negara
tetangga atau gerakan sparatisme.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana perbandingan pengelolaan politik keamanan di daerah perbatasan dalam kasus
Indonesia – Timor Leste dengan Indonesia (Batam) – Singapura?
C. Konsep Politik Keamanan
Konteks keamanan dapat dipahami sebagai cara atau kemampuan untuk mempertahankan diri
(survival) dalam menghadapi ancaman yang nyata (existensial threat).1 Konsep terkait keamanan,
dalam dekade terakhir ini, mengalami gesekan yang sangat kuat sehingga terjadi perubahan kondisi
keamanan internasional yang mana muncul konsep-konsep baru dalam berbagai literatur mengenai
keamanan. Selama ini, terkait kajian keamanan, orang hanya melihat keamanan dari segi
pengendalian kapabilitas militer dalam menghadapi ancaman dari serangan negara lain sehingga,
dengan konsep tersebut, isu yang berkembang hanya segelintir, terkait konflik antar negara dan
perang bersenjata. Untuk kondisi saat sekarang ini, konsep awal tersebut mengalami perkembangan,
dimana isu-isu yang ada merupakan isu yang sangat kompleks dan multidimensi, karena meliputi isu
konvensional dan non-konvensional.
Perubahan ini terjadi disebabkan oleh ancaman masa kini yang semakin rumit, misalnya isu
yang berkembang terkait aspek politik, ekonomi, lingkungan serta hak asasi manusia. Dengan isu
yang semakin beragam, muncullah pemikiran baru terkait keamanan politik di daerah perbatasan
sehingga keamanan tidak hanya dalam aspek militer namun juga dalam masalah keamanan ekonomi,
masalah keamanan sosial, keamanan lingkungan hidup, keamanan kesehatan maupun keamanan
lainnya. Munculnya isu-isu baru ini mengakibatkan dampak yang cukup serius dalam hal instrumen
keamanan sehingga negara tidak lagi menjadi aktor tunggal dalam setiap penyeleseaian masalah
melainkan terdapatnya aktor non-negara seperti individu dan lembaga swadaya masyarakat.
Penjelasan terkait isu konvensional dan non-konvensional, ini sebenarnya terdapat perbedaan
mendasar. Dalam konteksnya, konvensional diartikan State Security dalam artian negara sangat
1Barry, Ole Weaver and Jaap de Wilde, Scurity : A new framework for Analysis, Colorado Lynne Rienner Publishers, Inc, 1998. Diambil dalam buku Ganewati wuryandari dkk. 2009. Keamanan di Perbatasan Indonesia-Timor Leste. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar)
3
berpengaruh terhadap keamanan. Menurut Michael Mann, unsur negara yang harus dilindungi terdiri
dari empat hal penting2, yaitu:
1. Ideologi, yaitu bagaimana mengupayakan perlindungan terhadap ideologi negara dari
infiltrasi ideologi negara,
2. Ekonomi, yaitu bagaimana menjaga kelangsungan aktivitas ekonomi didalam wilayah suatu
negara agar tidak terganggu oleh kekuatan-kekuatan (eksternal maupun internal yang
nantinya bisa merusak perekonomian nasional,
3. Militer, yaitu bagaimana mempertahankan kedaulatan dan integritas negara dari berbagai
ancaman,
4. Politik, yaitu bagaimana mempertahankan identitas politik dan kesatuan negara dari berbagai
ancaman eksternal maupun internal.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa, pada dasarnya, keamanan adalah aspek yang
menyangkut upaya untuk menjaga kekuatan negara yang terdiri keempat poin tersebut. Dengan
demikian, ketika berbicara tentang konsep keamanan secara konvensional, maka keamanan yang
dimaksud adalah keamanan bagi negara. Sedangkan keamanan non-konvensional mengacu pada
ancaman yang mengganggu individu atau sekelompok masyarakat di wilayah tertentu sehingga bisa
disebut sebagai human security. Menurut Xu Jian dalam bukunya yang berjudul “New Challenges,
New approaches : Unconventinal Security and International Security Cooperation, menyebutkan
bahwa keamanan dalam konteks konvensional cenderung melihat isu-isu yang sifatnya “high
politics” seperti pertahanan keamanan, perselisihan wilayah, kedaulatan, postur militer negara.
Sedangkan non-konvensional melihat isu yang bersifat “low politics” seperti, lingkungan, ekonomi,
teroris, polusi, kejahatan lintas negara, kepadatan penduduk, AIDS dan sebagainya.3 Dengan
penjelasan di atas, pandangan terhadap keamanan negara, untuk saat sekarang, sangat kompleks,
sehingga yang dibutuhkan tidak hanya aktor dari negara, melainkan penduduk maupun swadaya
masyarakat.
Perbedaan konsep keamanan konvensional dan non-konvensional4:
2Ganewati wuryandari dkk. 2009. Keamanan di Perbatasan Indonesia-Timor Leste. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar). hlm313Ibid. Hlm 334Ibid. Hlm 34
4
Konvensional Non-konvensional
Isu Politik tingkat tinggi (High politics):
pertahanan nasional, sengketa teritorial,
antar negara postur militer.
Masalah ini berkaitan dengan
kelangsungan hidup nasional, negara
atau rezim
Politik tingkat rendah(Low Politics):
keamanan ekonomi, aksi terorisme,
eksploitasi popullation, perdagangan
narkoba, kejahatan trans-nasional,
AIDS.
Masalah ini sering melampaui
keprihatinan keamanan konvensional di
masa lalu
Aktor dan
sumber
Aktor dan sumber keduanya relatif jelas
dalam arti bahwa mereka sering hasil
dari konflik dalam kepentingan
nasional dan perselisihan akibat antara
negara atau pemerintah.
Lebih rumit.
Kebanyakan ancaman keamanan non-
konvensional adalah hasil dari aktor-
aktor non negara (individu, kelompok
sosial) daripada hasil langsung dari
tindakan negara-bangsa
Management - Lebih sulit, mengambil proses yang
panjang dan comprehendsiveness
mengenai manajemen
Sosialisasi,
transnational,
globalisasi.
kurang jelas Lebih jelas. Dengan pembesaran area
aksi kelompok-kelompok sosial
tertentu, masalah keamanan non-
konvensional banyak dengan mudah
melampaui berbagai jenis keterbatasan
politik, geografi dan budaya dan mulai
tumpah dari satu negara atau wilayah
lain, dengan hasil bahwa masalah-
masalah individu tertentu negara
berkembang menjadi isu global
Rezim Keamanan Perbatasan
Bagaimana sebuah negara mengelola keamanan perbatasan pada dasarnya bergantung pada
kondisi negara itu sendiri. Dilihat dari sudut pandang keamanan, terdapat dua sistem yang lazim
5
diterapkan, yaitu hard border regime dan soft border regime. Hard border regime adalah dimana
pengelolaan keamanan perbatasan menganut sistem yang sangat ketat dengan menempatkan pasukan
bersenjata lengkap di setiap pos-pos perbatasan. Negara yang menganut sistem ini biasanya menutup
rapat-rapat perbatasannya untuk mencegah keluar masuknya pelintas batas demi alasan keamanan
nasional. Contohnya, Amerika Serikat yang menerapkan sistem ini pada perbatasan daratnya dengan
Mexico dan perbatasan lautnya dengan Kuba. Contoh lain adalah Korea Utara yang menerapkan
sistem ketat untuk mencegah warganya agar tidak bermigrasi ke Korea Selatan, yang notabene secara
ekonomi lebih maju.
Sistem yang kedua adalah soft border regime. Sistem ini pada dasarnya memberlakukan
pengamanan perbatasan tidak terlalu ketat. Negara dengan sistem ini tidak terlalu membatasi pelintas
batas negara. Mereka menganggap kelonggaran ini tidak mendatangkan ancaman bagi keamanan
nasional. Negara yang menerapkan sistem ini biasanya negara-negara yang menggunakan prinsip
hidup berdampingan secara damai, contohnya adalah Uni Eropa. Mereka tidak melakukan perbatasan
ketat bagi penduduk sesama negara anggota kelompok ekonomi regional tersebut. Dalam hal
keamanan, Jean March Blanchard menyatakan bahwa kondisi internal suatu negara ikut menentukan
tata kelola keamanan perbatasan macam apa yang akan diterapkan, yaitu negara yang memiliki
masalah internal seperti ketidakstabilan politik, krisis identitas nasional, ketidakmampuan dalam
mengimplementasikan kebijakan, lemahnya kapasitas pertahanan dan keamanan, dan krisis
legitimasi, yang kemudian oleh Blanchard disebut low state. Low state biasanya memprioritaskan
diri dalam penanganan masalah internal daripada melibatkan diri dalam pengelolaan rezim keamanan
perbatasan yang menuntut komitmen politik dan militer.
Selain faktor keamanan, perbatasan juga mengandung “konteks lokal” yang meliputi aspek
sosial, ekonomi, agama, linguistik, etnisitas, dan budaya masyarakat setempatnya. Seperti yang
diungkapkan Brunet-Jailly bahwa perbatasan seharusnya tidak hanya dilihat dari perspektif
keamanan tetapi juga aspek historis, etnis, dan kultural penduduk yang tinggal di wilayah perbatasan.
Mereka juga mengungkapkan bahwa dalam pengelolaan perbatasan perlu memberikan perhatian
empat elemen keamanan perbatasan, yaitu, pertama, kekuatan pasar dan arus perdagangan. Negara
yang mengutamakan ekonomi pasar bebas biasanya membuka perbatasan selonggar mungkin untuk
mendukung kekuatan pasar dan mendorong arus perdagangan antarnegara. Meskipun demikian,
pengelolaan keamanan perbatasan tidak seharusnya didominasi oleh kepentingan untuk
mengeksploitasi fungsi ekonomi perbatasan, tetapi perlu mempertimbangkan faktor lain seperti
keamanan, migrasi penduduk, penyelundupan, perdagangan narkoba, perdagangan manusia, dan lain
sebagainya. Kedua, adalah kebijakan pemerintah negara-negara yang berbatasan langsung.
6
Kebijakan pemerintah dibedakan berdasarkan tujuannya, tujuan umum dan spesifik. Kebijakan
dengan tujuan umum dilakukan oleh lembaga-lembaga kementerian seperti kementerian pertahanan,
kepolisian, kantor imigrasi dan kantor bea-cukai. Sedangkan kebijakan dengan tujuan spesifik
biasanya dilakukan oleh unit khusus seperti patroli perbatasan, pos perbatasan, pengawas pantai, dan
lain sebagainya.
Ketiga, adalah pengaruh faktor politis masyarakat di wilayah perbatasan, yaitu melihat sejauh
mana aktor-aktor lokal mempengaruhi penentuan tata kelola keamanan perbatasan antar negara.
Dalam hal ini, “konteks lokal” sangat berperan. Tata kelola masyarakat harus mendengarkan aspirasi
dari masyarakat setempat dan organisasi sosial kemasyarakatan yang ada. Hal tersebut bertujuan agar
tata kelola perbatasan tidak merusak jaringan sosial yang sudah ada. Keempat, adalah budaya khas
masyarakat di wilayah perbatasan. Elemen ini juga masih mengacu pada “konteks lokal”. Perlu
diingat bahwa suatu garis perbatasan biasanya memotong secara acak kelompok linguistik, adat,
keagamaan, latar belakang sosial ekonomi, identitas budaya, dan latar belakang historis. Dalam
pengelolaan perbatasan perlu diperhatikan kepekaan terhadap rasa memiliki masyarakat yang
dipisahkan oleh garis “politis” dan “geografis” tersebut. Selain teori di atas, penjelasan mengenai low
state yang telah dijelaskan sebelumnya juga memberikan pengaruh yang besar. Negara-negara yang
memiliki masalah internal yang dapat dikatakan cukup akut memiliki prioritas dalam pengelolaan
perbatasan yaitu memaksimalkan keamanan dalam negeri, mengurangi “pengaruh-pengaruh buruk”
dari luar, mencegah warga melarikan diri ke luar negeri. Serta mengoptimalkan perbatasan untuk
melindungi pembangunan negara.
Dalam hal ini, Timor Leste merupakan negara yang tergolong ke dalam low state. Oleh
karena itu, negara ini cenderung mengembangkan pendekatan hard border security. Bagi Indonesia,
yang notabene memiliki tingkat kenegaraan yang lebih tinggi dibanding Timor Leste atau dapat
dikatakan tidak terlalu rentan terhadap ancaman keamanan eksternal, pilihan yang terbaik adalah
mengkombinasikan antara soft border security dengan hard border security. Dua model pendekatan
pengelolaan perbatasan tersebut dapat diklasifikasian sebagai berikut. Model pertama, hard border
security dimana biasanya dilakukan oleh negara-negara dalam kategori low states. Pengelolaan
keamanan dilakukan oleh lembaga tinggi negara (terutama yang bertanggung jawab pada keamanan
dan pertahanan). Pendekatannya adalah militer-strategis-politis dimana memberikan pertimbangan
pada faktor keamanan dalam negeri, penjagaan identitas nasional, dan pembangunan dalam negeri.
Tujuannya adalah tujuan secara umum yaitu menjaga keamanan dalam negeri. Partisipasi
masyarakatnya cenderung tidak ada atau diabaikan. Asumsi dasarnya adalah tingginya ancaman
eksternal sehingga membutuhkan pengawasan perbatasan ekstra ketat. Soft border security, aktor
7
utamanya adalah strong states (negara yang memiliki tingkat kenegaraan relatif tinggi).
Pengelolaannya dilakukan oleh aktor negara maupun non-negara baik dari level tinggi, menengah,
maupun rendah. Model ini menggunakan pendekatan sosial-ekonomi-budaya sehingga cenderung
membuka keleluasaan dalam pertukaran barang, jasa, maupun pergerakan penduduknya. Tujuannya
adalah tujuan yang mengkombinasikan tujuan umum (yang dilakukan oleh lembaga negara tingkat
tinggi) dan tujuan spesifik (yang dilakukan lembaga provinsi, kabupaten, hingga kecamatan).
Masyarakat lokal dilibatkan secara partisipatoris. Cenderung bersifat terbuka karena asumsi terhadap
ancaman eksternal relatif rendah.
Cyber Politics
Selain itu, kita juga perlu memperhatikan adanya cyber politics pada era sekarang ini.
Kemajuan teknologi membawa kepada kemudahan dalam berkomunikasi. Termasuk berkomunikasi
dalam urusan politik keamanan perbatasan. Ketika membahas perihal politik keamanan perbatasan,
tidak hanya melibatkan antara negara yang berbatasan langsung atau bertetangga. Era cyber politics
inilah yang membuat masalah politik keamanan perbatasan memiliki cakupan yang luas. Seperti
kemungkinan adanya pembajakan terhadap negara yang letaknya berjauhan, pembajakan melalui
cyber politics inilah yang membuat keamanan perbatasan harus diperhatikan secara menyeluruh
(tidak hanya terhadap negara yang berbatasan langsung).
Contoh lainnya seperti nuclear technology yang dimiliki oleh Jepang. Tenaga nuklir yang
sangat dikuasi Jepang ini tidak hanya mendatangkan dampak positif tetapi juga dampak negatif bagi
negara-negara lain, termasuk Indonesia sendiri. Maka perlu adanya pembatasan negara atau
keamanan yang menjamin suatu negara tidak terkena dampak nuklir ini. Pembajakan melalui cyber
politics dan efek nuklir adalah bebarapa contoh yang menggambarkan bahwa politik keamanan
perbatasan tidak selalu mengenai humanisme dan pencegahan kriminalitas secara langsung, tetapi
juga melalui hal-hal yang tak terlihat secara kasat mata. Sehingga hal ini perlu diperhatikan untuk
menjamin keamanan dalam suatu negara.
D. Analisis Kasus
Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP)
8
Badan yang berhubungan langsung dan ditugaskan penuh oleh pemerintah guna fokus
mengkaji wilayah perbatasan adalah Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). Secara umum,
BNPP bertugas menangani/mengelola batas wilayah dan mendorong kesejahteraan masyarakat
kawasan perbatasan. Tugas ini termasuk dalam bagian intergral manajemen negara. Berawal dari UU
No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara yang memberikan mandat kepada Pemerintah untuk
membuat Badan Pengelola Perbatasan di tingkat pusat dan daerah, maka terbitlah Perpres No. 12
Tahun 2010 tentang pembentukan Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). BNPP
menciptakan kebijakan dan program yang digunakan sebagai senjata untuk memperbaiki kelemahan
dan keterbatasan yang telah ada selama ini. Anggota BNPP terdiri dari 18 kementerian/lembaga non-
pemerintah serta 12 gubernur di wilayah perbatasan. Ruang lingkup tugas utama BNPP terdapat
dalam UU No. 43 Tahun 2008 Pasal 15 dan Pepres No. 12 Tahun 2010 Pasal 3, antara lain:
Menetapkan kebijakan program pembangunan perbatasan
Menetapkan rencana kebutuhan anggaran
Mengkoordinasikan pelaksanaan
Melaksanakan evaluasi dan pelaksanaan terhadap pengelolaan Batas Wilayah Negara dan
Kawasan Perbatasan
Pada tahun 2015 ini BNPP memiliki 187 kecamatan sasaran dengan catatan sebanyak 50 di
antaranya menjadi lokasi prioritas (lokpri) program percepatan pembangunan. Pertimbangannya
seperti di atas tadi yakni perbatasan membutuhkan perhatian khusus/lebih daripada wilayah lainnya.
Perubahan secara total wajah wilayah perbatasan tidak hanya dilakukan secara fisik, tetapi juga
tingkat pembangunan kesejahteraan masyarakat, pengamanan, peningkatan sumberdaya manusia dan
infrastrukturnya. Dalam rangka mewujudkan target sasaran 50 lokpri ini, Menko polhukam, TNI,
serta Kepolisian juga ditunjuk untuk membangun dermaga, mercusuar, asrama, dan kerjasama
dengan kementrian yang terkait dengan kawasan perbatasan negara. Pada akhirnya pembangunan
wilayah perbatasan ini akan membuka keterisolasian, meningkatkan pelayanan kegiatan sosial
ekonomi budaya, serta penguatan dan pertahanan masyarakat kawasan perbatasan.
Keamanan di Perbatasan Indonesia – Timor Leste
9
Pada dasarnya, permasalahan mengenai perbatasan antara Indonesia dengan Timor Leste
telah berlangsung sejak lama sebelum kedua negara berdiri dan merdeka, yaitu ketika masa
penjajahan. Saat itu, Portugis merupakan negara pertama yang mendarat di Pulau Timor dengan
tujuan untuk berburu rempah-rempah, terutama kayu cendana. Selang beberapa tahun kemudian,
Belanda juga singgah di Pulau Timor untuk juga ikut mencari kayu cendana. Perebutan wilayah
kekuasaan antar kedua belah pihak pun tidak terelakkan dan terus berlangsung hingga tahun 1755.
Pada tahun tersebut, baik Portugis maupun Belanda sepakat untuk membagi Pulau Timor menjadi
dua yaitu Timor bagian barat yang berpusat di Kupang menjadi milik Belanda, sedangkan Portugis
menguasai Timor bagian Timur yang terpusat di Dili yang ditandai dalam Kontrak atau Perjanjian
Paravicini (Wuryandari, 2009).
Meskipun telah ada kesepakatan mengenai pembagian wilayah di Pulau Timor, perselisihan
antara Belanda dan Portugis tetap saja terjadi selama beberapa tahun kemudian karena pada
Perjanjian Paravicini hanya mengatur tentang pembagian wilayah saja tanpa ada pembahasan
mengenai batas-batas wilayah. Hingga beberapa tahun setelah itu, kedua negara, beberapa kali,
mengadakan pertemuan untuk membahas mengenai batas wilayah seperti konvensi di Lisbon pada
tahun 1893, konvensi di Den Haag tahun 1904 serta tahun 1914 di Den Haag melalui Peradilan
Arbitrase Internasional (Wuryandari, 2009). Perselisihan antara Belanda dan Portugis, mengenai
batas wilayah, baru berakhir ketika Indonesia sudah merdeka dan para penjajah angkat kaki dari
Indonesia, terlebih lagi ketika Timor Timur menjadi bagian dari provinsi di Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sejak saat itu pula, masyarakat Timor, yang tadinya terbelah antara barat dan
timur, menjadi lebih leluasa dalam menjalankan aktifitasnya tanpa harus mempedulikan wilayah
mereka berada.
Permasalahan batas wilayah di Pulau Timor kembali menjadi isu yang hangat untuk
diperbincangkan ketika pada awal tahun 2000-an sebagian besar masyarakat Timor Timur
mengadakan referendum dan memutuskan untuk keluar dari wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan memilih mendirikan negara sendiri yaitu Timor Leste. Wilayah perbatasan antar
negara menjadi sangat penting karena sering kali dianggap sebagai beranda depan atau pintu masuk
dari suatu negara. Selain itu, wilayah perbatasan juga memiliki beberapa fungsi diantaranya fungsi
pertahanan-keamanan yang merupakan simbol kedaulatan sebuah negara dalam artian untuk
memberikan kejelasan hukum suatu negara mengingat wilayah perbatasan merupakan perlintasan
antar-negara baik individu maupun barang dan jasa, serta fungsi kesejahteraan dan lingkungan, yaitu
dengan adanya batas negara yang jelas maka diharapkan aktifitas masyarakat dan perekonomian
dapat berlangsung secara legal dan kerjasama antar pemerintah menjadi jelas (Wuryandari, 2009).
Namun sayangnya, wilayah perbatasan, yang katanya, adalah beranda depan sebuah negara justru
10
menjadi salah satu wilayah yang tertinggal. Kebutuhan layanan dasar masyarakat sulit terpenuhi,
harga kebutuhan pokok yang terlampau mahal, minimnya sarana prasarana infrastuktur merupakan
gambaran yang ada di wilayah perbatasan.
Dalam kasus wilayah perbatasan antara Indonesia dengan Timor Leste, kami berusaha untuk
memetakan ke dalam dua ancaman yang biasanya sering terjadi. Ancaman tersebut dapat berupa
ancaman konvensional dan ancaman non-konvensional. Ancaman konvensional merupakan ancaman
yang menyangkut tentang wilayah, ideologi, kedaulatan, serta identitas suatu negara. Jika dilihat dari
pengertian diatas, ancaman yang timbul di wilayah perbatasan Indonesia dengan Timor Leste adalah
garis demarkasi atau garis batas darat antar kedua negara yang belum jelas, pengaturan rezim yang
berkuasa atas keamanan perbatasan, konflik internal di Timor Leste, keberadaan gengster di Timor
Leste, keberadaan eks-pengungsi atau eks-milisi, serta kehadiran pasukan asing (Wuryandari, 2009).
Kejelasan akan garis demarkasi menjadi hal yang sangat penting karena selain untuk mempertegas
batas wilayah kedua negara juga untuk memudahkan kontrol aparat keamanan terhadap aktifitas
ekonomi, lalu lalang barang dan jasa serta masyarakat di sekitar daerah perbatasan.
Jika keberadaan garis demarkasi tidak diperjelas, dikhawatirkan, akan menimbulkan klaim
wilayah atas sebuah negara, masuknya kelompok radikal ke sebuah negara serta adanya aktifitas
ilegal antar negara, seperti penyelundupan barang. Oleh karena itu, agar hal tersebut tidak terjadi di
pintu perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste didirikan dua jenis pos pengamanan yaitu Tempat
Pengelolaan Imigrasi atau pos imigrasi dan pos perbatasan (Wuryandari, 2009). Tempat pengelolaan
imigrasi ini dijaga oleh petugas dari TNI/POLRI, imigrasi, bea-cukai dan karantina. Pos ini berfungsi
sebagai pintu keluar masuk barang dan jasa, serta lalu lalang masyarakat antar kedua negara,
sedangkan pos perbatasaan dijaga oleh aparat dari TNI/POLRI yang berfungsi untuk menjaga daerah
perbatasan dari aktifitas ilegal dan menjaga keamanan masyarakat di perbatasan Indonesia dan Timor
Leste (Wuryandari, 2009). Selanjutnya, pengaturan rezim yang berkuasa dapat menjadi ancaman
bagi wilayah perbatasan karena menyangkut sikap atau cara pandang sebuah negara terhadap negara
tetangga atau yang langsung berbatasan dengan wilayahnya. Apabila suatu negara menganggap
negara tetangganya berpotensi menimbulkan gangguan dalam negeri, tentunya negara tersebut akan
memberlakukan peraturan yang ketat di perlintasan perbatasan. Begitu juga sebaliknya, apabila
negara tetangga dianggap tidak menimbulkan bahaya dalam negeri, pengamanan di perbatasan
tentunya tidak terlalu ketat. Dalam kasus perbatasan negara Indonesia dengan Timor Leste, kedua
negara mengambil langkah tengah yaitu tidak terlalu ketat pengawasannya tetapi tetap waspada.
Kondisi keamanan dalam negeri Timor Leste juga dapat menjadi ancaman. Apabila konflik
tersebut tidak segara diatasi oleh pemerintah Timor Leste, dikhawatirkan, konflik tersebut bakal
meluas hingga melibatkan masyarakat kedua negara serta mengganggu keamanan di wilayah
11
perbatasan. Keberadaan eks-pengungsi atau milisi yang pro-Indonesia juga menjadi kekhawatiran
tersendiri bagi pemerintah Indonesia. Jika terjadi kecemburuan sosial dan ketimpangan ekonomi
antara penduduk asli dan eks-pengungsi, akan menimbulkan konflik atau gesekan di masyarakat.
Konflik sosial tersebut muncul karena penduduk asli jelas telah memiliki penghasilan yang jelas,
sedangkan warga eks-pengungsi masih menggantungkan diri pada penduduk asli maupun pemerintah
Indonesia. Keberadaan gengster di Timor Leste juga dapat menjadi ancaman di wilayah perbatasan
karena kelompok tersebut bisa saja berubah menjadi gerakan radikal yang mencoba memanfaatkan
segala keterbatasan yang dirasakan oleh masyarakat di wilayah perbatasan untuk melakukan
perlawanan terhadap negara. Kehadiran negara asing jelas menjadi ancaman bagi kedaulatan kedua
negara karena dikhawatirkan akan mengintervensi kesepakatan yang terjalin antara Indonesia dan
Timor Leste.
Ancaman non-konvensional adalah ancaman yang lebih fokus pada kondisi sosial, ekonomi,
budaya, adat, lingkungan masyarakat di wilayah perbatasan kedua negara. Pendekatan non-
konvensional memposisikan warga negara sebagai subyek dalam permasalahan keamanan di
perbatasan (Wuryandari, 2009). Potensi yang muncul dalam ancaman non-konvensional di wilayah
perbatasan Indonesia dengan Timor Leste berupa penanganan eks-pengungsi Timor Timor dan
kegiatan ekonomi ilegal yang terjadi di wilayah perbatasan (Wuryandari, 2009). Sepintas kedua hal
tersebut sama dengan ancaman konvensional yang telah dijelaskan di atas. Hal yang membedakan
keduanya adalah, dalam ancaman konvensional, masyarakat menjadi obyek yang harus dilindungi
dari ancaman tetapi dalam ancaman non-konvensional masyarakat diposisikan sebagai pelaku.
Sementara itu, menurut pendapat dari tokoh masyarakat Kabupaten Belu, penyebab
permasalahan yang ada di wilayah perbatasan Indonesia dengan Timor Leste adalah masalah sosial
budaya dan sejarah perbatasan antara Indonesia dengan Timor Leste, kesiapan mental masyarakat
Indonesia dan Timor Leste, penerapan Pas Lintas Batas atau PLB bagi penduduk lokal dan yang
pembagian kekuasaan mengenai siapa yang berhak mengelola wilayah perbatasan antara TNI,
POLRI, balai karantina, bea-cukai, dan imigrasi (Wuryandari, 2009). Jika dilihat dari sejarahnya
masyarakat di kedua negara, pada awalnya, merupakan satu suku, agama, adat dan bahkan saling
memiliki hubungan kekerabatan yang harus terpisah sebagai akibat dari adanya referendum di awal
tahun 2000-an. Mereka tidak terlalu menginginkan penggunaan dokumen atau persyaratan yang
terlalu ketat untuk keluar masuk, seperti yang terjadi di wilayah Amfoang – Kupang maupun Oecussi
– Timor Leste, dimana untuk keluar masuk wilayah kedua negara masyarakat sekitar hanya
menggunakan surat keterangan dari kepala desa atau pemerintah setempat untuk diserahkan ke
petugas pos perbatasan tanpa harus menggunakan paspor (Wuryandari, 2009). Disamping itu,
masyarakat juga tidak terlalu membutuhkan personil aparat keamanan dalam jumlah yang banyak
12
dan pengamanan secara ketat karena dapat menimbulkan persepsi bahwa daerah tersebut rawan dan
tidak aman.
Ancaman berikutnya datang akibat dari ketertinggalan, ketimpangan, dan kesenjangan
perekonomian serta buruknya infrastuktur di wilayah perbatasan menyebabkan munculnya jalur-jalur
perdagangan ilegal di sepanjang garis perbatasan antara Indonesia dan Timor Leste. Meskipun telah
terdapat pos pengamanan perbatasan, masyarakat di kedua negara tetap saja berusaha mencari jalan
tikus untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kasus yang sering terjadi adalah penyelundupan bahan
pokok dari Indonesia ke Timor Leste dengan cara penduduk Timor Leste menghubungi kerabat,
teman, saudara mereka yang berada di wilayah Indonesia untuk mencarikan bahan pokok untuk
memenuhi kebutuhan di Timor Leste. Hal itu dilakukan untuk menghindari pemeriksaan ketat di
wilayah perbatasan dan juga untuk menghindari pengenaan biaya keluar masuk barang di pos
perbatasan yang menyebabkan harga bahan pokok menjadi lebih mahal. Di sinilah yang menjadi
dilema, dimana masyarakat menginginkan jumlah personil keamanan yang sedikit dan tidak terlalu
ketat tetapi disisi lain negara juga ingin memastikan tidak ada pelanggaran hukum di antara kedua
negara yang berpotensi mengganggu kedaulatan sebuah negara.
Wilayah perbatasan di wilayah Indonesia memang sering kali dianggap sebagai “halaman
belakang” yang tidak perlu di urus dan perhatikan. Hal ini terlihat dari buruknya infrastruktur yang
tersedia, fasilitas pendidikan dan kesehatan yang tidak memadai, keterbelakangan, minimnya akses
terhadap layanan dasar dan kebutuhan pokok serta tingginya harga-harga kebutuhan pokok. Kondisi
semacam itu juga berlaku untuk wilayah perbatasan Indonesia dengan Timor Leste. Meskipun
tingkat perekonomian Indonesia bisa dikatakan lebih baik daripada Timor Lester, Pemerintah dalam
negeri Timor Leste sangat serius memperhatikan kondisi wilayah perbatasan mereka baik dari segi
infrastruktur maupun sarana prasarana pendukung lainnya. Oleh karena itu, saat ini, Pemerintah
mencoba menghapus pandangan wilayah perbatasan sebagai halaman belakang salah satunya adalah
dengan cara membangun infrastruktur jalan. Berdasarkan data yang diperoleh dari laman web Badan
Nasional Pengelola Perbatasan atau BNPP, Pemerintahan Presiden Jokowi menggelontorkan dana
sebesar Rp 2,5 triliun untuk pembangunan dan perbaikan jalan di wilayah perbatasan baik di
Kalimantan, Nusa Tenggara dan Papua (bnpp.go.id). Selain itu, BNPP selaku institusi yang
berwenang untuk mengurusi wilayah perbatasan juga akan meningkatkan perekonomian di wilayah
perbatasan Indonesia dengan cara mengembangkan sistem koperasi di pelosok-pelosok desa
(bnpp.go.id). Disamping itu, BNPP juga telah membuat lokasi prioritas di wilayah yang langsung
berbatasan dengan Timor Leste seperti di Kabupaten Belu, Kabupaten Rote Ndao, dan Kabupaten
Alor (bnpp.go.id). Dengan adanya pembuatan lokasi prioritas di wilayah perbatasan, permasalahan
13
yang ada di wilayah tersebut segara diatasi seperti menutup jalur-jalur tikus, memperbaiki sarana
prasana pos perbatasan, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia di perbatasan.
Politik Keamanan Perbatasan: Indonesia (Batam) – Singapura
(Otorita Batam: Kawasan Ekonomi Khusus dan Zona Perdagangan Bebas)
Batam, menjadi salah satu konsen Pemerintah guna mengelola daerah perbatasan yang sangat
strategis. Pemerintah dalam mengelola Batam menempatkan Batam sebagai beranda depan dalam
politik keamanan perbatasan. Sifat batam yang sangat strategis, yang berada pada jalur tesibuk di
Asia Tenggara inilah yang kemudian pemerintah memiliki konsen yang sangat tinggi. Pengelolaan
sebagai beranda depan yang sejatinya harus ditata semenarik mungkin agar banyak orang bertandang
ke Indonesia. Batam yang dikelola dengan logika beranda depan Indonesia sejak pemerintahan Orde
Baru bahkan sampai sekarang. Dalam dalam rencana induk tahun 2011-2014 Badan Nasioanal
Pengelolaan Daerah Batam ditempatkan sebagai lokasi perbatasan yang diprioritaskan untuk
dibenahi arah pmbangunan perbatasannya. Wilayah tersebut antara lain Belakang Padang, Bulang
dan Batam.5 Adanya mekanismeeini semakin mengaskan bahwa Batam adalah daerah yang di
perhitungkan dalam beranda depan di Indonesia.
Pengelolaan daerah perbatasan ini adalah dengan menggunakan skema kebijakan ekonomi.
Semenjak tahun 70-an Batam menjadi pulau primadona bagi Indonesia untuk menyaingi Singapura,
pun sampai hari ini masih tetap sama. Skema kebijakan ekonomi dianggap pemerintah akan mampu
menyelesaikan masalah kesejahteraan bagi Batam khususnya. Namun, tidak hanya Batam, yang akan
terkena dampak positif dari kebijakan ekonomi melainkan juga Negara Indonesia umumnya,
mengingat posisi strategis Batam. Namun, pengelolaan perbatasan yang ekonomi sentris ini juga
masih menyimpan berbagai masalah.
5http://bnpp.go.id/index.php/k-perbatasan diakss paa tanggal 31 Maret 2015 Pukul 22:07.
14
Kondisi Geografis
Posisi Batam secara geografis sangat strategis karena adanya jalur pelayaran internasional
melewati wilayah ini. Batam juga hanya berjarak kurang dari 12,5 mil (±20 km) dari Singapura.
Wilayah ini berbatasan dengan Malaysia dan Singapura disebelah utara, kecamatan Moro di sebelah
selatan, kecamatan Karimun dan laut internasional di sebelah barat, kecamatan Bintan Utara dan
Bintan Selatan6. Batam memiliki 8 kecamatan dan 51 kelurahan serta memiliki wilayah sebesar
1.648,2 km2 namun hanya 600 km2 yang berupa wilayah daratan. Pulau-pulau yang masuk dalam
wilayah Batam adalah 186 buah pulau dan hanya 80 pulau yang berpenghuni.
Kondisi Sosial
Masalah garis wilayah perbatasan yang kerap muncul antara Indonesia dengan negara
tetangga memang (masih) belum selesai ditangani oleh pemerintah masing-masing. Hal ini
disebabkan oleh begitu kompleksnya permasalahan. Permasalahan perbatasan cenderung bersifat
multidimensi, tidak hanya menyangkut perbatasan secara politik antarnegara tetapi juga terkait
dengan persoalan budaya dan sosial warga yang menetap di wilayah perbatasan. Konteks budaya dan
sosial yang mirip atau serumpun tersebut tentu akan sulit dipisahkan oleh keputusan politik masing-
masing negara.
Masalah perbatasan secara politik dan budaya ini pula dapat dirasakan di Batam, Indonesia,
yang berbatasan dengan Singapura. Kawasan Singapura dan Kepulauan Riau khususnya Batam
terletak pada wilayah strategis di jalur perdagangan Selat Malaka yang secara sosial historis
merupakan bagian dari sejarah panjang Melayu7. Hingga kini pun kedua wilayah tersebut masih
dirasa penting bagi jalur perdagangan dunia. Dilihat dari sejarahnya, pada tahun 60-an orang Melayu
6Profil Kota Batam (diakses dari http://batamkota.go.id/pemerintahan_baru.php?sub_module=46&klp_jenis=89 tanggal 8 Maret 2014)7 Triana Wulandari,dkk., (2009), Sejarah Wilayah Perbatasan Batam-Singapura 1842-2009; Satu Selat Dua Nakhoda, Depok: Gramata Publishing, hal. 123
15
Batam dapat leluasa berdagang hingga Singapura8. Ikatan primordial seperti kesamaan suku yaitu
suku Melayu membuat orang Melayu Batam lebih senang berdagang di Singapura atau Malaysia
karena dikedua tempat itu menetap banyak penduduk yang berasal dari suku Melayu. Hingga saat ini
di Singapura, orang Melayu banyak ditemui tinggal di daerah Geylang atau Jurong. Meskipun,
wilayah yang serumpun tersebut kini terpisah menjadi tiga negara yakni Singapura, Indonesia dan
Malaysia. Walaupun secara politis terpisah, warga Singapura dan Indonesia di Batam masih
memiliki sisi emosional yang erat akibat warisan masa lalu.
Selain kedekatan emosional karena kesamaan rumpun, mengingat bahwa sejak zaman
kemerdekaan hingga awal Orde Baru, wilayah ini tidak memperoleh porsi pembangunan yang
memadai. Sebelum tahun 1973, wilayah Batam saat itu masih jauh dari jangkauan pembangunan.
Akibatnya, orientasi warga yang tinggal diwilayah ini mengarah pada Singapura. Tidak dapat
dipungkiri lagi, baik secara geografis, historis, kultural Batam memang lebih dekat dengan Negeri
Singa tersebut.
Strategi Politik Keamanan Perbatasan: Batam
A. Orde Baru dan Otorita Batam
Sebagai garis depan perbatasan dengan Singapura, pulau-pulau dalam kesatuan administratif
Batam mengalami kenaikan nilai strategis dari pulau-pulau kosong yang tidak berpotensi menjadi
suatu daerah yang wajib dipertahankan dan dipertegas keabsahan kepemilikannya. Hal ini sudah
disadari oleh pemerintah Indonesia pada akhir tahun 1970-an ketika Menristek B.J.Habibie berhasil
meyakinkan Presiden Soeharto untuk memberikan perhatian pada pulau terluar seperti Batam dan
Bintan dengan segera menyusun rencana jangka panjang bagi pembangunan dan pengembangan
pulau-pulau tersebut9. Selanjutnya keluarlah Keppres nomor 41/1973 yang menetapkan Batam
menjadi daerah pengembangan industri di bawah Otorita Daerah Industri Batam (Otorita Batam).
Tugas yang diemban Otorita Batam antara lain mengembangkan dan mengendalikan
pembangunan pulau Batam sebagai daerah industri dan kegiatan alih kapal, merencanakan kebutuhan
prasarana dan pengusahaan instalasi dan fasilitas lain, menampung, meneliti permohonan izin usaha
dan menjamin kelancaran dan ketertiban tata cara pengurusan izin dalam mendorong arus investasi
asing di Batam.Pada masa penugasan Otorita Batam tahun 1979, disusunlah sebuah master plan oleh
Departemen Pekerjaan Umum yang menetapkan empat fungsi utama pulau Batam yakni sebagai
kawasan industri, free trade zone, alih kapal, dan pariwisata10.
8 Ibid., hal. 1249 BP Batam (2008) Sejarah BP Batam (Diakses dari http://www.bpbatam.go.id/ini/aboutBida/bida_history.jsp tanggal 8 Maret 2014)
16
Di bawah badan tersebut, wilayah Batam terus berkembang. Pada tahun 1977 atau empat
tahun setelah dibentuknya Otorita Batam, Batam saat itu telah berhasil menarik investasi dari
investor asing sebesar 2.145juta dollar AS11.Puncaknya, pada tahun 1980-an perusahaan perwakilan
di Batam yang saat itu berjumlah 564 perusahaan bertambah menjadi 2.043 perusahaan internasional
yang mendirikan kantor perwakilannya12.
Dalam perjalanannya,Letak Batam yang strategis berada di jalur perdagangan dunia tersebut
mendorong pemerintah untuk memfungsikan Batam sebagai Pusat Kegiatan Strategis Nasional
(PKSN)13. Batam juga sempat diproyeksikan sebagai daerah perbatasan yang dirancang untuk
menyaingi Singapura dalam hal pendirian pelabuhan besar dan pengemasan peti kemas. Hal tersebut
mengingat sebanyaj 50.000 kapal-kapal container melintasi Selat Malaka setiap tahunnya dan kapal
yang melinat tersebut mengangkut seperempat perdagangan laut dunia.
B. Era Reformasi: Kebijakan Special Economic Zone dan Free Trade Zone
Pada era reformasi pemerintah pusat memperlakukan Batam secara spesial. Posisi strategis
Batam dalam bidang ekonomi perdagangan membuat pemerintah perlu mengeluarkan beberapa
kebijakan untuk mengatur Batam. Sejak era Orde Baru pun Batam memang didesain untuk
menandingi Singapura, sehingga dari dahulu hingga sekarang Batam memerlukan treatment khusus.
Sejak Reformasi setidaknya terdapat dua aturan/kebijakan yang menetapkan Batam sebagai kawasan
konomi khusus dan sebagai zona perdagangan bebas.Tujuan diberlakukannya KEK adalah sebagai
sistem ekonomi yang memiliki keberpihakan kepada masyarakat kecil melalui kesejahteraan
ekonomi,sehingga bukan hanya keijakan yang itelurkan hanya untuk kepentingan politis saja.
Kepentingan ekonomi yang terermin adalah dengan melalui peningkatan investasi penyerapan tenaga
kerja, penerimaan devisa melalui skema ekspor,meningkatkan keunggulan kompetitf produksi
ekspor, mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui transfer teknologi14.
Sejak diterbitkannya Perppu No. 1 Tahun 2007 yang dilanjutkan dengan UU No. 44 Tahun
2007 tentang FTZ, maka ditegaskan dalam salah satu pasalnya bahwa pengelolaan kawasan bebas
akan menjadi tanggung jawab sebuah lembaga bernama Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan
10Batam Sejak 1968 Hingga Era Otonomi Daerah, Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (2014) (Diakses
dari http://www.pu.go.id/isustrategis/view/6 tanggal 8 Maret 2015)11 Triana Wulandari,dkk., (2009), Sejarah Wilayah Perbatasan Batam-Singapura 1842-2009; Satu Selat Dua Nakhoda, Depok: Gramata Publishing, hal. 10412 Ibid13 BNPP (Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan) Republik Indonesia, (2011) Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan tahun 2011-2014 (Diakses dari http://bnpp.go.id/images/arsip/ebook/ri_2011-2014/ri_2011-2014.pdf tanggal 6 Maret 2015)
14 Apriliyanti, Romayanti. Jurnal Fisip Vol.2 No. 1 Februari 2015. Upaya Diplomasi Indonesia Pada Peningkatan Investasi Asing di Kota Batam.
17
dan Pelabuhan Bebas.Sejalan dengan diterbitkannya PP No. 46/2007 tentang FTZ (Free Trade Zone)
Batam, maka otomatis lembaga yang bertanggung jawab dalam pengelolaan kawasan ini adalah
Badan Pengusahaan Kawasan Bebas Batam. Hal tersebut menyatakan bahwa Otorita Pengembangan
Daerah Industri Pulau Batam berubah menjadi Badan Pengusahaan Kawasan Batam.
Undang-undang No. 44 Tahun 2007 tentang FTZ adalah salah satu bentuk legitimasi bagi
pulau Batam untuk melanjutkan sebagai daerah industri yang berstandar internasional. Batam oleh
pemerintah Indonesia dijadikan batu loncatan untuk dapat bermain dalam kancah perdagangan
internasional. Arus gobalisasi yang semakin kuat memaksa indonesia untuk merawat Batam. Lokasi
perdagangan yang strategis membuat Batam sebagai pintu untuk mengekspor utamanya dengan
momentum pasar bebas.
Analisa Politik Keamanan Perbatasan Batam
Indikator
Pendekatan
Aktor
Utama
Lembaga
pelaksana
Pendekatan Tujuan Keterlibatan
masyarakat
Hakikat
ancaman
Hard
Border
Security
Low state Lembaga
tinggi
negara
Militer-
strategis-
politis
Dominasi
tujuan
umum
Non-
partisipatif
Tingkat
ancaman
eksternal
tinggi
Soft
Border
Security
Strong
state
Aktor
negara dan
non-negara
Sosial-
ekonomi-
budaya
Kombinasi
umum dan
spesifik
partisipatif Tingkat
ancaman
eksternal
rendah
Jika dikerangkai dalam konsep border governance “hard-soft” Batam dalam prakteknya
cenderung dikelola dengan soft border. Kecenderungan dapat dilihat dari politik keamanan
perbatasannya yang lebih mengggunakan pendekatan aspek ekonomi dengan mengeluarkan beberapa
kebijakan seperti penetapan Batam sebagai kawasan ekonomi khusus dan Batam Free Trade Zone.
Melihat dari indikator tujuan umum dan spesifik, keumumannya dapat dilihat dari tujuan
pengamanan ekonomi nasional melalui Batam. Sedangkan tujuan spesifik yang dilakukan adalah
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar melalui kebijakan KEK dan FTZ.
Namun indikator yang tersedia dalam soft border tidak sepenuhnya kompatibel pada kasus
Batam. Ada beberapa kondisi yang menjadikan Batam juga berkecenderungan dikelola secara Hard
Border. Kondisi itu dilihat dari segi aktor, Indonesia dibandingkan dengan Singapura memiliki posisi
18
dibawah dalam segi ekonomi. Kemudian pemberlakuan FTZ juga berimplikasi pada semakin
melemahnya aturan hukum yang dimiliki oleh Indonesia. Indikator hakikat ancaman, Batam
memiliki tingkat ancaman yang tinggi. Tingginya ancaman ini disebabkan karena interaksi
perdagangan bebas mengingat kapabilitas ekonomi Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan
negara-negara lain. Indikator keterlibatan, masyarakat lokal tidak terlalu di ikutkan dalam kebijakan
ekonomi yang cenderung sentralistis. Pemerintah pusat cenderung mengambil banyak porsi untuk
menentukan pengelolaan Batam sejak jaman orde baru melalui (Otorita Batam, KEK, dan FTZ).
Sehingga tidak bisa dikotomikan secara jelas antara hard border dengan soft border. Logika
pengelolaan Batam awalnya memang menitikberatkan pada soft border, namun dalam perjalanannya
ternyata soft border saja tidak cukup untuk mengelola perbatasan. Pemerintah yang terlalu konsen
dengan kebijakan ekonomi yang menjadikan Batam sebagai Kawasan Ekonomi Khusus dan
Kawasan Perdagangan bebas. Namun sebenarnya Batam masih menyimpan masalah-masalah
perbatasan yang mungkin dapat digolongkan dalam ranah konvensional dan non konvensional tidak
hanya berkutat pada masalah ekonomi semata.
Tantangan Pengelolaan Perbatasan Indonesia (Batam) dengan Singapura
1. Tantangan Keamanan Konvensional
a. Perubahan pandangan dan pengaturan wilayah perairan internasional oleh badan dunia
Dalam pergaulan global, dalam beberapa kasus terjadi perubahan-perubahan indikator dalam
penentuan batas negara terutama penentuan batas perairan. Hal tersebut terjadi karena perairan
adalah daerah yang sering berubah secara geografis seperti perubahan kedalaman laut yang bisa
mengakibatkan pergeseran batas negara15. Maka, jika terjadi perubahan semacam itu Indonesia dan
Singapura perlu menafsirkan ulang batas perairan.
b. Perbatasan perairan yang kabur dan hanya fokus pada perbatasan yang diukur dari darat
Permasalahan ini muncul sebagai akibat dari kurangnya perhatian Belanda pada perbatasan
laut antara negara kolonialnya dengan Singapura yang saat itu dimiliki Inggris ketika era kolonial.
Hal tersebutlah yang meninggalkan lubang persoalan ketika negara kolonial tersebut merdeka16.
Warisan permasalahan tersebut juga makin diperparah dengan sifat perbatasan perairan yang luas
dan kabur antara Indonesia dan Singapura. Hak kedaulatan kedua negara tersebut kemudian lebih
banyak ditentukan dari darat khususnya dari garis pantai17. Penentuan tersebut juga memiliki
kelemahan karena perbedaan dalam standar pengukuran dan perubahan garis pantai akibat abrasi
15 Op-cit, hal. 13116 Ibid, hal. viii17 Ibid, hal 130
19
kemudian masih menyisakan setumpuk pekerjaan rumah bagi pengelolaan perbatasan Indonesia
(Batam) dengan Singapura.
c. Singapura melakukan perluasan wilayah
Singapura mengalami tuntutan perluasan wilayah darat akibat dari pertumbuhan penduduk
dan semakin kompleksnya aktivitas perekonomian milik Singapura. Lahan Singapura yang tidak
dapat dilakukan perluasan alami dan juga menghadapi pengurangan lahan akibat abrasi laut
dibeberapa bagian pantainya mendorong Singapura untuk memperluas wilayah dengan teknologi
buatan. Kemudian, Singapura mengambil langkah untuk mengimpor pasir dari pulau Nipah, pulau
milik Indonesia.
Selain mengimpor dari Pulau Nipah, Singapura juga melakukan pengerukan terus-menerus
disekitar Selat Malaka. Hal itu mengancam keberadaan beberapa pulau terluar Indonesia karena
pulau tersebut terancam tenggelam akibat abrasi. Tindakan tersebut membuat Singapura berhasil
menambah luas negaranya sebanyak 12 kilometer18. Masalah ini tidak hanya menimbulkan persoalan
legitimasi tetapi juga mengubah garis batas yang sebelumnya telah disepakati. Bila terus dibiarkan
maka batas laut Indonesia akan terus mengecil sedangakan Singapura dengan reklamasi pantainya
meluas.
2. Tantangan Keamanan Non-Konvensional (Social Security)
a. Tumbuhnya lalu lintas kegiatan ilegal
Sebagai wilayah terdepan bangsa Indonesia terhadap Singapura baik aspek budaya, ekonomi,
maupun pertahanan dan juga berada dalam salah satu jalur perdagangan tersibuk di dunia,
menjadikan Batam rawan pada kejahatan transnasional. Illegal fishing, penambangan pasir,
kedatangan pekerja seks komersial asing, perjudian, perdagangan dan transaksi narkoba,
penyelundupan barang dan orang pelintas batas secara illegal (tanpa dokumen terkait) merupakan
persoalan aktual yang kini dihadapi masyarakat Batam.
Batam juga sering dikunjungi oleh warga Singapura pada akhir pekan. Bagi mereka Batam
identik dengan kebebasan karena mereka jarang berhadapan dengan aparat penegak hukum19.
b. Meningkatnya jumlah pendatang yang baik legal maupun illegal
Dalam pengembangan wilayah Batam menjadi wilayah otorita tersendiri ketika Orde Baru
hingga tahun 2007, Batam memang berwenang mengatur tata ruang wilayahnya sendiri. Namun,
kewenangan tersebut mendorong pertumbuhan penduduk yang sebagaian besar illegal. Dari laporan
BNPP tahun 2011, selain melakukan illegal fishing nelayan-nelayan asing juga menimbulkan 18 Mustafa Abubakar (2006), Menata Pulau-pulau Kecil Perbatasan: Belajar dari Kasus Sipadan, Ligitan dan Sebatik (Penerbit Buku Kompas: Jakarta) hal. 7919 Ibid, hal. 122
20
masalah sosial. Nelayan asing tersebut juga melanggar undang-undang keimigrasian dengan tinggal
di Batam tanpa dokumen pendukung dan melakukan pernikahan dengan penduduk setempat20.
Sebagai salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki banyak kawasan industri, membuat
Batam didatangi oleh banyak pencari kerja. Ambil contoh, Batamindo yaitu industri yang bergarak di
bidang elektronika ini mampu menyerap 120ribu tenaga kerja yang menurut Dinas Tenaga Kerja
Batam hampir separuh karyawan adalah pendatang21. Hal tersebut makin menegaskan bahwa
penduduk Batam mengalami kenaikan signifikan akibat banyaknya pendatang tersebut. Pertambahan
penduduk yang sedemikian cepat dapat memicu kerawanan sosial (konflik pendatang dengan
penduduk lokal) dan menganggu stabilitas nasional.
c. Pengaruh Krisis Moneter 1997-1998 dan Krisis Global 2008
Pada masa sebelum terjadi krisis moneter 1997-1998, di kota Batam jarang sekali ditemui
pengemis atau gelandangan22. Keadaan tersebut berubah cukup banyak ketika Indonesia mengalami
krisis moneter tahun 1997-1998 yang mengakibatkan pada awal dekade 2000-an jumlah
pengangguran meningkat sejalan dengan banyaknya industri dan kantor perwakilan perdagangan
yang ditutup. Hal itu mendorong munculnya gubuk-gubuk liar dan pengemis di pinggir-pinggir
jalan23. Akibat lain adalah naiknya harga barang-barang kebutuhan sehari-hari.Setelah krismon
banyak yang tutup lalu ditambah ada krisis global tahun 2008 yang membuat banyak yang tutup
juga.
d. Melunturnya identitas ke-Indonesia-an warga negara Indonesia di Batam
Batam yang secara geografis lebih dekat dengan Singapura daripada Jakarta, akhirnya
membuat warga Batam lebih tertarik bepergian ke Singapura daripada Jakarta. Selain karena jarak
yang terlalu jauh dan membutuhkan biaya yang mahal, menurut pengakuan responden yang ditulis
dalam laporan BNPP tahun 2011 mereka lebih senang berlibur ke Singapura karena warga Jakarta
dan kebanyakan warga Indonesia lain juga lebih senang bepergian ke Singapura.
Selain itu, mulai dari hal sederhana seperti pilihan tontonan televisi, warga Batam juga lebih
suka menonton tayangan televisi dari Singapura maupun Malaysia daripada siaran televisi nasional24.
20BNPP (Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan) Republik Indonesia, (2011) Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan tahun 2011-2014 (Diakses dari http://bnpp.go.id/images/arsip/ebook/ri_2011-2014/ri_2011-2014.pdf tanggal 6 Maret 2015)
21 Triana Wulandari,dkk., (2009), Sejarah Wilayah Perbatasan Batam-Singapura 1842-2009; Satu Selat Dua Nakhoda, Depok: Gramata Publishing, hal. 10722 Laporan Dinas Sosial Batam (2011) (diakses dari http://www.dinsosbatam.go.id/laporan/view/6 tanggal 8 Maret 2015)23 Ibid24BNPP (Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan) Republik Indonesia, (2011) Rencana Induk Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan tahun 2011-2014 (Diakses dari http://bnpp.go.id/images/arsip/ebook/ri_2011-2014/ri_2011-2014.pdf tanggal 6 Maret 2015)
21
Penerimaan gambar yang kurang baik dan tayangan televisi Indonesia yang kebih banyak memakai
bahasa Indonesia berdialek Betawi dan Jawa membuat masyarakat Batam tidak nyaman karena sukar
dimengerti.
e. Transaksi ekonomi dengan Singapura dianggap lebih menguntungkan
Indonesia dan Singapura sampai saat ini juga belum saling menyetujui perjanjian yang
memperbolehkan warganya melakukan lintas batas. Namun, hubungan ekonomi yang telah
berlangsung sejak lama bahkan sejak zaman kolonial membuat penduduk kedua negara ini sering
mengabaikan prosedur yang harus dilaluinya. Penduduk Singapura banyak yang memerlukan hasil
laut dari Batam. Sementara Batam juga memerlukan kebutuhan seperti gula, alat kosmetik, alat
elektronik, mobil dari Singapura.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika warga Batam lebih banyak menggunakan mata
uang resmi dari Singapura daripada Rupiah. Selain karena desakan kebutuhan, hasil penjualan
komoditi laut juga akan lebih banyak apabila dijual kepada Singapura karena terjadi selisih kurs mata
uang yang cukup besar antara Rupiah dan Dollar Singapura25.
f. Kesenjangan sosial
Warga lokal yang kurang beruntung, karena tidak berpendidikan maupun tidak memiliki
keahlian dalam bidang industry, banyak yang terlempar dari persaingan kerja dan kebanyakan
bekerja sebagai nelayan tradisional dan pedagang kecil-kecilan. Selain itu, warga lokal yang
beruntung mengenyam pendidikan terkadang kalah saing dengan pendatang yang dianggap lebih
berpendidikan dan lebih berkualitas. Hal ini membuat banyak warga lokal Batam akhirnya kalah
melawan arus tenaga kerja pendatang tersebut.
Termaginalkannya penduduk lokal ini dikhawatirkan dapat memicu konflik di masa
mendatang. Kesenjangan ini bisa jadi terjadi karena kurangnya perhatian pemerintah pada upaya
permberdayaan masyarakat local. Pemerintah tampaknya hanya memperhitungkan segala sesuatunya
dari segi ekonomis semata
g. Ketidakjelasan peralihan Otorita Batam ke BP Batam
Masalah yang paling krusial yang menjadi mimpi buruk para pimpinan setingkat Kepala,
Deputi, dan Direktur di Otorita Batam adalah akan ditempatkan dimana mereka dan BP Batam
mengikuti standar gaji siapa? Saat ini, para pejabat Otorita Batam tersebut masih menikmati fasilitas
gaji dan tunjangan Otorita Batam walaupun nama lembaga dan logo sudah berganti menjadi BP
Kawasan26. Mereka adalah pejabat eselon yang selevel dengan Sekretaris Daerah Provinsi Kepri.
Berlarut-larutnya proses peralihan ini karena belum ditemui titik temu bagaimana menempatkan para 25 Terhitung 6 Maret 2015, 1 SGD = Rp 9.350,00 (Diakses dari www.bankmandiri.co.id/resource/ kurs .asp?row=2 tanggal 8 Maret 2015)26 Diakses dari http://politik.kompas.com/read/2015/02/27/165616826/polemik.ftz.batam tanggal 8 Maret 2015
22
pejabat tinggi OB dalam struktur BP Kawasan. Apakah mungkin, BP yang merupakan lembaga
daerah tapi pimpinannya digaji dengan standar eselon pejabat pusat?
E. Kesimpulan
Politik keamanan disuatu negara merupakan bentuk sebuah pertahanan diri dari serangan
negara lain. Hal ini sangat berpengaruh terhadap kondisi yang ada di dalam sebuah negara. Melihat
semakin berkembangnya pemahaman mengenai konsep politik keamanan di suatu negara maka
muncullah pemikiran-pemikiran baru yang menjelaskan keamanan dari sudut pandang non state
actor. Border governance akan identik dengan wilayah perbatasan. Mengapa demikian? Karena
wilayah perbatasan adalah wilayah yang sangat rentan akan urusan-urusan politis dan geografis.
Urusan-urusan seperti hak kepemilikan geografis dan keamanannya menjadi menjadi urusan yang
pokok. Penulis telah melakukan analisis terhadap dua wilayah perbatasan yaitu Indonesia – Timor
Leste dan Batam – Singapura.
Maka dapat diambil kesimpulan bahwa perbandingan keamanan perbatasan antara kedua
wilayah di atas dapat dilihat melalui kebijakan pengelolaan politik perbatasandari masing-masing
negara. Jika melihat pemaparan mengenai pengelolalaan daerah perbatasan diatas, terlihat bahwa
pemerintah Indonesia memberikan kebijakan pengelolaan perbatasan yang berbeda terutama dalam
kasus Batam (Indonesia) – Singapura dan Belu (Indonesia) – Timor Leste.
Letak daerah serta potensi daerah perbatasan menjadi salah satu faktor yang mendorong
pemerintah melakukan tata kelola berbeda antara perbatasan yang satu dengan perbatasan yang lain.
Letak daerah tersebut secara otomatis akan mempengaruhi ekonomi, sosial, budaya wilayah tersebut
maka tata kelola keamanan perbatasannya pun akan berbeda. Dalam konsep awal, mengatakan
bahwa pemahaman keamanan tidak berarti berdiri sendiri malainkan saling melengkapi. Dengan
kasus diatas, Indonesia – Timor Leste dan Indonesia – Singapura merupakan bentuk politik
keamanan negara yang mengkombinasi dua konsep tersebut yakni konvensional dan non
konvensional. Karena konsep ini mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga
untuk mewujudkan keamanan yang ideal suatu negara maka negara itu butuh mengkombinasikan
kedua konsep ini. Dilihat dari bentuk rezim keamanan perbatasan, keduanya menggunakan sistem
yang sama yaitu sama-sama mengkombinasikan antara soft border security dan hard border security.
Akan tetapi ada beberapa hal yang membedakan seperti otoritas khusus dalam wilayah tersebut.
Daftar Referensi
23
Buku
Abubakar, Mustafa (2006), Menata Pulau-pulau Kecil Perbatasan: Belajar dari Kasus Sipadan,
Ligitan. Jakarta : PT Kompas Media Nusantara.
Wulandari, Triana,dkk., (2009), Sejarah Wilayah Perbatasan Batam-Singapura 1842-2009; Satu
Selat Dua Nakhoda, Depok: Gramata Publishing.
Ganewati Wuryandari dkk. 2009. Keamanan di Perbatasan Indonesia-Timor Leste. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Jurnal
Apriliyanti, Romayanti. Upaya Diplomasi Indonesia Pada Peningkatan Investasi Asing di
Kota Batam.Jurnal Fisip Vol.2 No. 1 Februari 2015
Internet
Batam (2008) Sejarah BP Batam (Diakses dari
http://www.bpbatam.go.id/ini/aboutBida/bida_history.jsp tanggal 8 Maret 2014)
Batam Sejak 1968 Hingga Era Otonomi Daerah, Kementrian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat (2014) (Diakses dari http://www.pu.go.id/isustrategis/view/6 tanggal 8 Maret
2015)
BNPP (Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan) Republik Indonesia, (2011) Rencana Induk
Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan tahun 2011-2014 (Diakses dari
http://bnpp.go.id/images/arsip/ebook/ri_2011-2014/ri_2011-2014.pdf tanggal 6 Maret 2015)
http://bnpp.go.id/index.php/k-perbatasan diakses tanggal 31 maret 2015 pukul 22.47 wib
http://bnpp.go.id/index.php/berita/51-ini-rencana-bnpp-kembangkan-ekonomi-daerah-
perbatasan diakses pada tanggal 31 maret 2015 pukul 22.55 wib
http://bnpp.go.id/index.php/berita/235-jokowi-gelontorkan-anggaran-khusus-jalan-
perbatasan-rp-2-5-triliun diakses pada tanggal 31 maret 2015 pukul 23.15 wib
24
http://bnpp.go.id/index.php/berita/183-jalur-tikus-jadi-faktor-sulitnya-amankan-perbatasan-
ntt-timor-leste diakses pada tanggal 31 maret 2015 pukul 23.27 wib
Diakses dari http://politik.kompas.com/read/2015/02/27/165616826/polemik.ftz.batam
tanggal 8 Maret 2015
Laporan Dinas Sosial Batam (2011) (diakses dari
http://www.dinsosbatam.go.id/laporan/view/6 tanggal 8 Maret 2015)
Profil Kota Batam (diakses dari http://batamkota.go.id/pemerintahan_baru.php?
sub_module=46&klp_jenis=89 tanggal 8 Maret 2014)
Terhitung 6 Maret 2015, 1 SGD = Rp 9.350,00 (Diakses dari
www.b ankmandiri.co.id/resource/ kurs .asp?row=2 tanggal 8 Maret 2015)
25