Kritikan Terhadap Aliran Positivisme Hukum 2

Post on 18-Nov-2015

14 views 4 download

Transcript of Kritikan Terhadap Aliran Positivisme Hukum 2

MAZHAB/ALIRAN POSITIVISME HUKUMA. Latar BelakangManusia sebagai makhluk yang mulia diberikan akal sebagai anugerah dari Tuhan untuk berpikir demi memenuhi kebutuhan hidupnya. Soerjono Soekanto mengatakan bahwa, pola-pola berpikir manusia mempengaruhi sikapnya yang merupakan kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terhadap manusia, benda maupun keadaan-keadaan; seterusnya beliau mengatakan bahwa sikap-sikap manusia kemudian membentuk kaidah-kaidah, karena manusia cenderung untuk hidup teratur dan pantas.Dengan adanya pengetahuan yang dimiliki manusia, manusia tidak begitu saja merasa puas dan terus-menerus mempertanyakan segala sesuatu yang terjadi di alam ini dan untuk menemukan jawaban atau kebenaran dari pertanyaan yang diajukan, manusia kemudian mengumpulkan dan atau mengamati fakta-fakta dalam pengalaman kehidupannya yang dapat dijadikan sebagai jawaban. Manusia dalam hal ini, sudah sampai pada suatu tahap pemikiran dimana apa yang terjadi di alam ini merupakan suatu sebab akibat dan bukan terjadi karena memang sudah demikan.Dalam tataran pemikiran inilah, kemudian manusia melakukan berbagai penelitian dan akhirnya melahirkan teori-teori yang dapat diterima secara logis/masuk akal. Hal ini seperti terlihat pada suatu aliran/mazhab positivisme. Aliran/mazhab ini pertama kali dimunculkan oleh Henry Saint-Simon (1760-1825) dalam buku Memoire sur La Science de Ihomm dan buku karangan lain yang berjudul Travail sur La Gravitation universelle. Tetapi kemudian terdapat perbedaan pendapat dengan August Comte mengenai salah satu karya Saint-Simon yang tidak mengakui August Comte memiliki andil di dalamnya. Dari sinilah kemudian August Comte mengembangkan pemikiran positivisme secara sistematis dan konsisten dalam suatu kerangka filsafat, sehingga pemikirannya lebih dikenal dan popular daripada Saint-Simon. Apa yang dinamakan filsafat positivisme itu, melalui tulisannya August Comte memperkenalkan hukum pada tiga tahap pemikiran, yaitu tahap teologi/fiktif, tahap metafisika/abstrak, dan tahap positif/riil.Dari apa yang dikemukakan August Comte tersebut, positivisme merupakan jenjang tertinggi dari pemikiran manusia. Bermula dari ke-tiga tahap pemikiran oleh August Comte inilah kemudian dibawah masuk ke dalam pemikiran positivisme hukum oleh Negara-negara Eropa Kontinental, dimana positivisme dalam paradigma hukum menyingkirkan pemikiran metafisis yang abstrak. Dengan kata lain setiap norma hukum harus diwujudkan ke dalam sebuah norma yang konkrit dan nyata.Lahirnya positivisme hukum pada abad ke-19, setelah mazhab hukum alam mengalami kemunduran dan kegagalan. Hukum alam pada waktu itu tidak bisa lagi memberikan tuntutan di tengah-tengah gugatan terhadap kepercayaan sosial dan moral pada saat itu.Menurut paham positivisme, setiap norma hukum harus eksis dalam alamnya yang obyektif sebagai norma-norma yang positif, serta ditegaskan dalam wujud kesepakatan kontraktual yang konkret antara warga masyarakat atau wakil-wakilnya. Disini hukum bukan lagi dikonsepsikan sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian mengenai apa yang terbilang hukum, dan apa pula yang sekalipun normatif harus dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum.Sebelum lahirnya aliran ini, sebenarnya telah berkembang suatu pemikiran dalam ilmu hukum yang dinamakan aliran Legisme. Pemikiran aliran hukum ini berkembang semenjak abad pertengahan dan telah banyak berpengaruh di berbagai negara. Inti dari ajaran Legisme ialah bahwa hukum diidentikan dengan undang-undang. Dengan kata lain tidak ada hukum di luar undang-undang.Dalam penulisan paper ini, Penulis akan memfokuskan pada beberapa penganut aliran/mazhab positivisme hukum seperti, John Austin, Hans Kelsen dengan teorinya (The pure theory of Law), H.L.A. Hart, dan juga membahas sedikit tesis yang dikemukakan Ronald Dworkin di mana pemikirannya juga tidak lepas atau berkaitan dengan aliran/mazhab positivisme.B. Pemikiran Tokoh-tokoh Mazhab PositivismeAda begitu banyak tokoh yang menganut aliran/mazhab positivisme hukum dengan pandangan dan pemikirannya masing-masing. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya:1. Mazhab Hukum Positif Analitis: John Austin (1790-1859)John Austin adalah seorang positivis yang utama mempertahankan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Austin mengartikan ilmu hukum (yurisprudence) sebagai teori hukum positif yang otonom dan dapat mencukupi dirinya sendiri. Ilmu hukum hanyalah untuk menganalisa unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum moderen.Dalam filsafat hukum, pemikiran Jeremy Bentham (1748-1832) memengaruhi pemikiran Austin, tokoh penyebar benih (seminal figure) dalam legal positivisme dan analitic yurisprudence Inggris dan Amerika. Dalam teorinya, Austin mulai dengan membedakan law properly so called dan law improperly so called. Yang disebut pertama, adalah selalu a species of command, suatu ekspresi dari keinginan (wish) atau hasrat, pertanggungjawaban, untuk menerima hukuman atau sanksi dan superioritas. Sanksi menurut Austin adalah semata-mata sebagai suatu bentuk membebankan penderitaan (punishment bukan reward). Yang disebut terakhir, membawa Austin pada analisisnya tentang kedaulatan yang terkenal dan berpengaruh; law strictly so called (kaidah-kaidah hukum positif) adalah perintah-perintah dari mereka yang secara politik berkedudukan lebih tinggi (political superiors) kepada mereka yang secara politik berkedudukan lebih rendah (political inferiors).Pada dasarnya sebenarnya Austin mereduksi hukum dengan menjelaskan bahwa hukum adalah perintah yang berdaulat dengan menempatkan lembaga-lembaga yang superior adalah upaya untuk mereduksi kekuatan-kekuatan lain selain negara, terutama keuatan-kekuatan yang hidup dalam masyarakat yang sangat beragam.Dalam bukunya The Province of Jurisprudence Determined (1790-1859), Austin menyatakan, hukum adalah perintah yang mengatur orang perorang. Hukum berasal dari pihak superior (penguasa) untuk mengikat atau mengatur pihak inferior. hukum adalah perintah yang memaksa dan mengikat, yang dapat saja bijaksana dan adil, atau sebaliknya.2. Aliran Hukum Murni: Hans Kelsen (1881-1973)Hans Kelsen adalah seorang eksponen utama dari positivisme. Dipengaruhi dari epistemology Neo-Kantian, Kelsen dimasukan sebagai kaun Neo-Kantian karena ia menggunakan pemikiran Kant tentang pemisahan bentuk dan isi. Kelsen membedakan secara tajam antara yang ada (is) dan yang seharusnya (the ought), dan secara konsekuen antara ilmu-ilmu alam dan disiplin-disiplin, seperti ilmu hukum yang mempelajari fenomena normative jadi bagi Kelsen hukum berhubungan dengan bentuk (formal), bukan isi (material). Jadi, keadilan sebagai isi hukum berada di luar hukum, dengan demikian hukum dapat saja tidak adil, tetapi ia tetaplah hukum karena dikeluarkan oleh penguasa.Inti ajaran yang disampaikan Hans Kelsen seperti dalam bukunya The Pure Theory of Law, adalah: bahwa hukum itu harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etika, sosiologi, politik, sejarah, dan lain sebagainya. Selanjutnya menurut Kelsen bahwa orang menaati hukum karena ia merasa wajib untuk menaatinya sebagai suatu kehendak negara. hukum itu tidak lain merupakan suatu kaidah ketertiban yang menghendaki orang menaatinya sebagaimana seharusnya. Sebagai contoh, yang membeli barang seharusnya membayar. Apakah dalam kenyataannya si pembeli itu membayar atau tidak, itu soal yang menyangkut kenyataan dalam masyarakat dan hal itu bukan menjadi wewenang ilmu hukum.Kelsen juga terkenal dengan grundnorm yang menjadi motor penggerak seluruh sistem hukum, menjadi dasar mengapa hukum itu harus dipatuhi, dan menjadi dasar pertanggungjawaban mengapa hukum harus dilaksanakan. Dari konsep grundnorm Kelsen sebagai pencetus teori hukum murni juga berjasa mengembangkan teori jenjang (stufentheorie) yang semula dikemukakan oleh Adolf Merkl (1836-1896). Teori ini melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida yang menyatakan bahwa sistem hukum pada hakikatnya merupakan sistem hierarki dari peringkat terendah hingga ke peringkat tertinggi. Semakin tinggi peringkat kedudukannya, semakin abstrak dan umum sifat norma yang dikandungnya, dan semakin rendah peringkatnya semakin konkret operasional sifat kandungan normanya. Norma yang lebih rendah memperoleh kekuasaannya dari norma yang lebih tinggi. Norma yang paling tinggi yang menduduki puncak piramida, oleh Kelsen disebut Grundnorm (norma dasar) atau Unsprungnorm.Dasar-dasar pokok teori Kelsen adalah sebagai berikut :a. Tujuan teori hukum adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan.b. Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak atau keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang seharusnya ada.c. Ilmu hukum adalah normatif bukan alam.d. Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan efektifitas norma-norma hukum.e. Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik.f. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.3. Pemikiran H.L.A. Hart (1907-1992)Hart merupakan salah seorang pengikut positivisme. Pandangan positivisme Hart berkaitan denga ajaran rasionalisme kritis Karl R. Popper. Hart berpandangan bahwa undang-undang adalah perintah manusia (law are commands of human being), tidak perlu ada hubungan antara hukum dan moral atau hukum yang ada dengan hukum yang seharusnya ada.Sistem hukum adalah sistem logis tertutup, artinya putusan-putusan hukum yang tepat dapat dihasilkan dengan cara-cara yang logis dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan terlebih dahulu tanpa mengingat tuntutan-tuntutan sosial, kebijaksanaan, dan norma-norma sosial.Teori Hart tentang hukum positif, dimulai dengan menjawab pertanyaan apakah hukum itu? Hart menjelaskan bahwa esensi hukum terletak pada penggunaan unsur paksaan. Secara garis besar teori Hart diuraikan sebagai berikut :a. Hukum adalah perintah.b. Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan.c. Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu menunjuk pada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas.d. Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian.e. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan. Inilah yang sekarang sering kita terima sebagai pemikiran arti terhadap positivisme.Dalam tulisannya Positivism and the separation of law and morals, Hart meguraikan adanya lima ciri tentang positivisme yang terdapat pada ilmu hukum dewasa ini, yaitu:a. Hukum adalah suatu perintah yang datangnya dari manusia.b. Tak ada hubungan yang mutlak antara hukum dan kesusilaan, atau antara hukum yang berlaku (law as it is) dan hukum yang dicita-citakan (law as it ought to be).c. Analisis mengenai pengertian hukum (legal concept) adalah penting dan harus dibedakan dari:1. Penyelidikan secara sejarah tentang sebab musabab hukum atau tentang sumber hukum.2. Penyelidikan secara sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala-gejala kemasyarakatan lainnya.3. Penyelidikan hukum yang didasarkan pada kesusilaan, tujuan-tujuan sosial fungsi hukum dan sebagainya.d. Sistem hukum adalah satu sistem logika yang tertutup (closed logical system); pada system tersebut ketentuan-ketentuan hukum yang benar bisa diperoleh dengan alat-alat logika (logical means) dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditetapkan sebelumnya, pada memerhatikan tujuan-tujuan sosial, politik, ukuran-ukuran moral dan sebagainya.e. Pertimbangan-pertimbangan mengenai kesusilaan tidak dapat dibuat atau dibuktikan dengan mempergunakan argumentasi-argumentasi dan bukti-bukti berdasarkan logika, sebagai misalnya dalam hal keterangan-keterangan tentang fakta-fakta (non cognitivism in ethics).4. Pemikiran Ronald DworkinMeskipun menurut beberapa ahli hukum Indonesia bahwa Dworkin merupakan salah satu tokoh positivisme, tetapi di dalam teorinya, dia tidak sependapat dengan teori positivis yang mengabaikan substansi hukum dan hanya memutus perkara berdasarkan norma-norma saja (normatif). Teori yang diwakili Dworkin adalah Content Theory yang muncul karena ketidaksetujuan terhadap sistem formalisme hukum yang ditokohi Langdell. Dalam hal ini Dworkin tidak setuju dengan penggunaan metode deduktif dalam pengambilan putusan. Dworkin dipandang sebagai penganut teori hukum alam modern karena sebelumnya mazhab hukum alam hanya berpegang pada asas legal formal dalam proses hakim membuat keputusan, tanpa mempertimbangkan substansi dari peraturan perundang-undangan yang ada. Dworkin juga memusatkan perhatiannya pada teori law as integrity-nya dimana peran moral para hakim dalam membangun suatu sistem substansi di dalam proses membuat putusan sangatlah mutlak perlu. Namun, meski sebagian ahli mengkritik Dworkin yang menyatakan anti pada sistem, tetapi sesungguhnya, dengan teori substansinya, Dworkin juga terjebak pada sistem baru yang akhirnya tak ada bedanya dengan sistem positivisme. Inilah yang membuat beberapa ahli hukum tetap memasukan Dworkin sebagai salah satu tokoh positivisme.Pada prinsipnya pemisahan hukum yang ada dan hukum yang seharusnya ada, adalah filosofi yang paling fundamental dari positivisme hukum. Beberapa ahli penganut aliran positivisme seperti telah diuraikan sebelumnya juga memiliki pemikiran yang pada dasarnya adalah sama di mana aliran positivisme hukum dipandang sebagai suatu aliran hukum yang mengutamakan perintah penguasa yang dikristalisasikan dalam bentuk peraturan-peraturan dan bukan didasarkan pada moralitas.C. Legacy Pemikiran/Warisan Pemikiran yang Ditinggalkan Mazhab Positivisme HukumPerkembangan paham hukum yang doktrinal dimulai saat adanya dua konsep hukum yang berbeda, di mana adanya konsep hukum Civil Law dan Common Law, sistem Civil Law menggunakan kodifikasi sebagai sumber hukum, sedangkan system common Law menggunakan putusan hakim/yurispurdensi sebelumnya sebagai sumber hukum.Hans Kelsen mengatakan bahwa positivisme hukum adalah fakta bahwa hukum itu dibuat dan dihapuskan oleh tindakan-tindakan manusia, jadi terlepas dari moralitas dan sistem-sistem norma itu sendiri, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa hukum berdiri sendiri dan secara tegas dipisahkan dari moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das sein dan das sollen), bahkan dalam mazhab positif ini hukum diidentikan dengan perintah penguasa.Inti ajaran pemikiran positivisme hukum adalah mengenai keyakinan, hukum yang ada, hukum yang berlaku saat ini, pada saat tertentu dan pada tempat tertentu. Menurut August Comte sebagai peletak dasar filsafat positivisme seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa doktrin positivisme adalah terletak pada pengalaman. Dengan kata lain, pengalamanlah yang dianggap benar, karena dapat dipastikan (diselidiki) dalam kenyataan melalui ilmu pengetahuan, sehingga dapat ditentukan bahwa sesuatu itu adalah sesuai kenyataan (kebenaran).Positivisme hukum (mazhab hukum positif) memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara das sein dan das sollen). Dalam pandangan positivis tidak ada hukum lain selain perintah penguasa. Bahkan bagian mazhab hukum positif yang dikenal dengan mazhab legisme berpendapat lebih tegas bahwa hukum adalah undang-undang. Dengan dasar konsep filsafat positivisme, mazhab positivisme hukum merumuskan sejumlah premis dan postulat mengenai hukum yang menghasilkan pandangan dasar mazhab positivisme hukum bahwa :a. Tata hukum suatu negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial, maupun dalam jiwa bangsa, dan juga bukan berdasarkan hukum alam, namun mendapat bentuk positifnya dari instansi yang berwenang.b. hukum harus dipandang semata-mata dari bentuk formalnya, dengan demikian harus dipisahkan dari bentuk materialnya.c. Isi hukum atau materi hukum diakui ada, tetapi bukan menjadi bahan ilmu hukum, karena hal tersebut dapat merusak kebenaran ilmiah ilmu hukum.Menurut Soetandyo Wignjosoebroto aliran positivis mengklaim bahwa ilmu hukum adalah sekaligus juga ilmu pengetahuan tentang kehidupan dan perilaku warga masyarakat (yang semestinya tertib mengikuti norma-norma kausalitas), maka mereka yang menganut aliran ini mencoba menuliskan kausalitas-kausalitas itu dalam wujudnya sebagai perundang-undangan.Selanjutnya, Soetandyo memaparkan lebih lanjut bahwa apapun klaim kaum yuris positivis, mengenai teraplikasinya hukum kausalitas dalam pengupayaan tertib kehidupan bermasyarakat dan bernegara bangsa, namun kenyataannya menunjukkan bahwa kausalitas dalam kehidupan manusia itu bukanlah kausalitas yang berkeniscayaan tinggi sebagaimana yang bisa diamati dalam realitas-realitas alam kodrat yang mengkaji prilaku benda-benda anorganik. Hubungan-hubungan kausalitas itu dihukumkan atau dipositifikan sebagai norma dan tidak pernah dideskripsikan sebagai nomos, norma hanya bisa bertahan atau dipertahankan sebagai realitas kausalitas manakala ditunjang oleh kekuatan struktural yang dirumuskan dalam bentuk ancaman-ancaman pemberian sanksi.D. Kritik Terhadap Mazhab Positivisme HukumHukum pada saat berhadapan dengan alam dan kehidupan sosial yang berkembang, harus dapat berlaku secara tidak stagnan dan juga harus fleksibel mengikuti situasi dan kondisi yang dibutuhkan agar selalu dapat mengatur dan menciptakan hasil yang berkeadilan. Dengan begitu pekerjaan penafsiran bukan semata-mata membaca peraturan dengan menggunakan logika peraturan, melainkan juga membaca kenyataan atau apa yang terjadi di masyarakat.Salah satu penyebab kemandegan yang terjadi didalam dunia hukum adalah karena masih terjerembab kepada paradigma tunggal positivisme yang sudah tidak fungsional lagi sebagai analisis dan kontrol yang bersejalan dengan tabel hidup karakteristik manusia yang senyatanya pada konteks dinamis dan multi kepentingan baik pada proses maupun pada peristiwa hukumnya. Sehingga hukum hanya dipahami dalam artian yang sangat sempit, yakni hanya dimaknai sebatas undang-undang, sedangkan nilai-nilai diluar undang-undang tidak dimaknai sebagai sebuah hukum.Hukum merupakan bagian dari karya cipta manusia yang dimanfaatkan untuk menegakkan martabat manusia. Manusia tidak menghamba kepada abjad dan titik koma yang terdapat dalam Undang-Undang sebagai buah perwujudan nalar, tetapi hukum yang menghamba pada kepentingan manusia untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Hukum tidak hanya produk rasio, tetapi bagian dari intuisi. Relevansinya dengan nilai dasar kebangsaan, ialah mewujudkan konsepsi keadilan yang beradab, seperti sila kedua Pancasila.Aliran Positivisme hukum ini sangat ditentang oleh aliran Sosiological Yurisprudence, Sosiological Yurisprudence adalah suatu aliran dalam filsafat hukum yang antara lain dipelopori oleh Eugen Ehrlich. Menurutnya, bahwa titik pusat dari perkembangan hukum, tidak terletak pada pembuat undang-undang/ilmu hukum, dan tidak pula terletak pada keputusan-keputusan hakim, melainkan pada masyarakat itu sendiri. Pada dasarnya norma hukum selalu bersumber dari kenyataan sosial, yang berdasarkan keyakinan akan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Sanksi yang berasal dari penguasa untuk mempertahankan hukum tidaklah esensial, tetapi hanya merupakan pelengkap.Sesuai dengan pendapatnya di atas, menurut Eugen Ehrlich, sumber hukum yang terpenting bukanlah kehendak penguasa, tetapi kebiasaan. Jadi dalam hal ini Eugen Ehrlich sependirian dengan Von Savigny, tetapi ia menggunakan istilah yang lebih realistis yakni kenyataan-kenyataan hukum yang hidup dalam masyarakat. Menurut tokoh ilmu hukum realisme F.S.Cohen, ilmu hukum fungsional merumuskan pengertian-pengertian, pertauran-peraturan dan lembaga-lembaga. Hukum dalam istilah-istilah adalah putusan hakim atau tindakan kekuasaan-kekuasaan Negara lainnya dan sebagai bidang ilmu hukum sosiologis (Sosiological Yurisprudence) penilaian hukum dalam istilah tingkah laku manusia yang dipengaruhi oleh hukum. Gerakan realisme dalam ilmu hukum memperlengkapi aliran Sosiological Idealisme, karena gerakan idealisme membatasi pada pengamatan terjadinya, berlakunya dan tugasnya akibat hukum secara alamiah, sedangkan ahli-ahli pikir dan aliran Sosiologis sebagai Pound, Cardozo, Geny, Heck, mengarahkan perhatian mereka pada tujuan hukum (The Ends Of Law).Indonesia sebagai negara yang besar serta kaya akan budaya dan adat istiadat yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Disetiap daerah memiliki kehidupan sosial yang berbeda-beda pula begitu juga pranata norma-norma yang ada. Norma-norma yang ada berupa hukum adat yang masih hidup ditengah-tengah masyarakat. Hal ini telah ada sebelum datangnya Belanda menjajah Indonesia dan menerapkan positivisme dalam dunia hukum.Dengan adanya Unifikasi dan Positivisme hukum menutup ruang gerak bagi hukum adat dan hukum kebiasaan-kebiasaan lainnya yang hidup ditengah masyarakat untuk dapat berlaku ditengah-tengah masyarakat, sehingga kearifan lokal berupa living law terhimpit oleh undang-undang yang dibuat oleh penguasa. Sehingga perlawanan-perlawanan terhadap hukum dan putusan pengadilan di Indonesia sampai hari ini masih terjadi karena hukum yang terkristal dalam undang-undang dan putusan pengadilan sangat jauh dari nilai-nilai keadilan yang berlaku ditengah masyarakat.Perkembangan masyarakat berkembang dengan sangat cepat, sehingga untuk mengimbangi perkembangannya tersebut hukum harus selalu mengikuti perkembangan masyarakat. Hukum yang ada harus bisa menjadi pedoman dan solusi terhadap semua permasalahan yang terjadi pada saat tersebut. Sedangkan didalam aliran positivisme hukum terkunkung dalam sebuah prosedur yang rumit., sehingga untuk melakukan sebuah pembaharuan hukum selalu tertinggal oleh perkembangan masyarakat. Al hasil hukum yang ada tidak mampu untuk menjawab tantangan-tantangan zaman.Menurut Friedmann, hukum sebagai suatu sistem terdiri dari sub-sub sistem yang saling bergerak yang tidak dapat terpisahkan dan terpengaruh satu dengan lainnya. Sub-sub sistem itu terdiri dari: Substansi Hukum (legal substance), yakni menyangkut isi dari norma/aturan hukumnya; Struktur Hukum (legal structure), yakni menyangkut sarana dan prasarana hukumnya, termasuk sumber daya aparatur hukumnya; dan Kultur Hukum (legal culture), yakni menyangkut perilaku budaya sadar dan taat hukum, baik pemerintah maupun masyarakatnya. Adapun budaya hukum yang baik akan terbentuk apabila semua pihak secara sungguh-sungguh dilibatkan untuk berpartisipasi secara penuh dalam proses pembentukan hukum, agar semua orang benar-benar merasa memiliki hukum itu. Karena begitu besarnya peran budaya hukum itu, maka ia dapat menutupi kelemahan dari legal substance dan legal structure.Jadi menurut Friedmann hukum memiliki ruang lingkup yang sangat luas, tidak terbatas pada tekstual berupa peraturan perundang-undangan. Dalam berfungsinya hukum ditengah masyarakat tidak saja membutuhkan undang-undang belaka tetapi membutuhkan hal-hal lainnya seperti budaya masyarakat, aparat penegak hukum maupun sarana dan prasarana. Dari sini kita bisa melihat bahwa aliran positivisme berusaha memenjarakan hukum hanya sebatas tekstual.DAFTAR BACAANFaisal, 2010, Menerobos Positivisme Hukum, Yogyakarta, Rangkang Education.Kelsen, Hans, 1995, Teori Hukum Murni, (General Theory of Law and State), dialihbahasakan oleh Somardi, (Bandung, Rimdi Press).Kompor, Mr. Aliran Positivisme, Perkembangan dan Kritik-Kritiknya, dikutip dari http://www.mrkompor.blogspot.com yang diakses pada tanggal 9 Mei 2010.Prasetyo, Teguh dan A.H. Barkatullah, 2013, Filsafat, Teori & Ilmu Hukum, (Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat), Jakarta, Rajawali Pers.Rasjidi, H.Lili dan Liza Sonia Rasjidi, 2012, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.Saifur, Rohman, Menembus Batas Hukum, Opini Kompas, 22 januari 2010.Soekanto, Soerjono, 2012, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, Rajawali Pers.Soetiksno, Mr. 2004, Filsafat Hukum bagian 1, (Jakarta, PT. Pradnya Paramita).Usman, Sabian, 2009, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum, Yogyakarta, Pustaka Belajar.Wibisono, Koento, 1983, Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Comte, Yogyakarta, Gaja Mada University Press.Wignjosobroto, Soetandyo, 2002, Hukum, Paradigma, metode dan Dinamika Masalahnya, Jakarta, Elsam & Huma.Wongbanyumas, Menuju Hukum Yang Membebaskan (Hukum Progresif, Dikutip dari http://www.fatahilla.blogspot.com yang diakses pada tanggal 10 November 2013.Top of FormBottom of Form