Post on 01-Jan-2016
I. PENDAHULUAN
Erosi tanah adalah peristiwa terangkutnya tanah dari satu tempat ke tempat lain oleh air
atau angin (Arsyad, 1976). Pada dasarnya ada tiga proses penyebab erosi yaitu pelepasan
(detachment) partikel tanah, pengangkutan (transportation), dan pengendapan (sedimentation).
Erosi menyebabkan hilangnya tanah lapisan atas (top soil) dan unsur hara yang sangat penting
bagi pertumbuhan tanaman.
Erosi yang disebabkan oleh air hujan merupakan penyebab utama degradasi lahan di
daerah tropis termasuk Indonesia. Tanah-tanah di daerah berlereng mempunyai risiko tererosi
yang lebih besar daripada tanah di daerah datar. Selain tidak stabil akibat pengaruh kemiringan,
air hujan yang jatuh akan terus-menerus memukul permukaan tanah sehingga memperbesar
resiko erosi. Berbeda dengan daerah datar, selain massa tanah dalam posisi stabil, air hujan yang
jatuh tidak selamanya memukul permukaan tanah karena dengan cepat akan terlindungi oleh
genangan air.
Pencegahan dengan teknik konservasi yang tepat sangat diperlukan dengan
mempertimbangkan faktor-faktor penyebab erosi. Kondisi sosial ekonomi dan sumber daya
masyarakat juga menjadi pertimbangan sehingga tindakan konservasi yang dipilih diharapkan
dapat meningkatkan produktivitas lahan, menambah pendapatan petani serta memperkecil risiko
degradasi lahan.
Pada dasarnya teknik konservasi dibedakan menjadi tiga yaitu: (a) vegetatif; (b)
mekanik; dan (c) kimia. Teknik konservasi mekanik dan vegetatif telah banyak diteliti dan
dikembangkan. Namun mengingat teknik mekanik umumnya mahal, maka teknik vegetatif
berpotensi untuk lebih diterima oleh masyarakat. Teknik konservasi tanah secara vegetatif
mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan teknik konservasi tanah secara mekanis
maupun kimia, antara lain karena penerapannya relatif mudah, biaya yang dibutuhkan relatif
murah, mampu menyediakan tambahan hara bagi tanaman, menghasilkan hijauan pakan ternak,
kayu, buah maupun hasil tanaman lainnya. Hal tersebut melatarbelakangi pentingnya informasi
mengenai teknologi konservasi tanah secara vegetatif (Subagyono et al, 2001).
Selanjutnya pada konservasi vegetaif, hendaknya memanfaatkan tanaman lokal yang
tumbuh di daerah masing-masing sebagai upaya menghidupkan kearifan lokal setempat.
1 | P a g e
Berbagai tanaman lokal telah banyak digunakan sebagai tanaman konservasi, makalah ini
membahas tentang penggunaan bambu lokal yaitu Bambu Hitam (Gigantochloa atroviolaceae
Widjaja) sebagai upaya konservasi yang salah satu studi kasus diambil pada daerah Kebun Raya
Purwodadi.
2 | P a g e
II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Pengertian Konservasi Air dan Tanah
Konservasi tanah merupakan penempatan setiap bidang tanah pada cara
penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya
sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Upaya
konservasi tanah ditujukan untuk (1) mencegah erosi, (2) memperbaiki tanah yang rusak,
dan (3) memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar tanah dapat digunakan
secara berkelanjutan. Konservasi air adalah penggunaan air hujan yang jatuh ke tanah dan
mengatur waktu aliran air agar tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air
pada waktu musim kemarau (Arsyad, 2006).
II.2 Jenis-Jenis Konservasi
Metode konservasi tanah dapat dibagi dalam tiga golongan utama, yaitu (1)
metode vegetatif, (2) metode mekanik dan (3) metode kimia. Metode vegetatif adalah
penggunaan tanaman atau bagian-bagian tanaman atau sisa-sisanya untuk mengurangi
daya tumbuk butir hujan yang jatuh, mengurangi jumlah dan kecepatan aliran permukaan
yang pada akhirnya mengurangi erosi tanah (Arsyad, 2006).
Metode mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanik yang diberikan terhadap
tanah dan pembuatan bangunan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi, dan
meningkatkan kemampuan penggunaan tanah. Termasuk dalam metode mekanik dalam
konservasi tanah dan air adalah pengolahan tanah, guludan, teras, penghambat (check
dam), waduk, rorak, perbaikan drainase dan irigasi (Arsyad, 2006).
II.3 Jenis-Jenis Konservasi secara Vegetatif
Konservasi tanah vegetative mencakup semua tindakan konservasi yang
menggunakan tumbuh-tumbuhan (vegetasi), baik tanaman legume yang menjalar, semak
atau perdu, maupun pohon dan rumput-rumputan serta tumbuh-tumbuhan lain, yang
ditujukan untuk mengendalikan erosi dan aliran air permukaan pada lahan pertanian.
Tindakan konservasi tanah vegetative tersebut sangat beragam, mulai dari pengendalian
3 | P a g e
erosi pada bidang olah atau lahan yang ditanami dengan tanaman utama, sampai dengan
stabilisasi lereng dari bidang olah, saluran pembuangan air (SPA), maupun jalan kebun
(Santoso et al, 2013).
- Budidaya Lorong (Alley Cropping)
Dalam alley cropping system ini yang kemudian di Indonesia disebut sebagai
sistem budidaya lorong, tanaman pangan (semusim) sebagai tanaman utama ditanam
pada bidang olah di lorong-lorong (alleys) antara barisan-barisan tanaman pagar
(hedgerow crops) dari semak berkayu atau pohon legum, yang secara berkala
dipangkas untuk mengurangi naungan dan sebagai sumber bahan organik. Tanaman
semak atau pohon yang ditanam sebagai pagar tersebut tetap mempunyai fungsi seperti
pada sistem bera dengan semak belukar (bush-fallow system), yaitu mendaur ulang
unsure hara, sumber mulsa dan pupuk hijau, menekan pertumbuhan gulma dan
mengendalikan erosi (gambar 1). Penggunaan tanaman pagar legum lebih disenangi
karena juga dapat menyediakan nitrogen gratis bagi sistem pertanian ini. Oleh karena
itu, sistem budidaya lorong dapat juga disebut sistem bera dengan semak belukar yang
diperbaiki, yaitu dengan menggabungkan masa pertanaman dengan masa bera untuk
meningkatkan intensitas penggunaan lahan (Santoso et al, 2013).
Gambar 1. Konsep sistem budi daya lorong (sumber : Kang et al., 1989 dalam (Santoso et al,
2013).
4 | P a g e
Penerapan sistem budidaya lorong pada lahan berlereng mampu membentuk
teras alami setinggi 20-30 cm dalam waktu 4 tahun. Dengan terbentuknya teras, maka
panjang lereng berkurang dan kemiringan lahan masing-masing bidang olah juga
berkurang. Teras alami terbentuk karena sedimen yang terbawa oleh aliran permukaan
tertahan oleh barisan tanaman pagar. Pembentukan teras dipercepat dengan
pengolahan tanah, karena setelah diolah tanah menjadi gembur dan lepas sehingga
erosi menjadi lebih tinggi. Selain dapat menekan aliran erosi permukaan, budidaya
lorong juga menekan kehilangan hara N, P dan K hingga menjadi seperlimanya.
Kehilangan hara dapat ditekan lebih rendah lagi bila diikuti dengan tindakan
konservasi tanah yang lain, misalnya pemberian mulsa dan pengolahan tanah
minimum (Santoso et al, 2013).
Meskipun sistem budidaya lorong mempunyai berbagai kelebihan, sistem ini
juga memiliki beberapa kelemahan, yaitu luas bidang olah berkurang, perlu tambahan
tenaga untuk pemeliharaan dan pemangkasan atau panen tanaman pagar dan adanya
sifat alelopati dari jenis tanaman pagar tertentu. Selain itu juga dilaporkan terjadi
persaingan antara tanaman pagar dengan tanaman pokok dalam serapan hara, cahaya
dan air sering mengurangi dampak positif dari budidaya lorong (Santoso et al, 2013).
- Wanatani (Agroforestry)
Sistem wanatani (agroforestry) adalah sistem penggunaan lahan yang
mengintegrasikan tanaman pangan, pepohonan dan atau ternak secara terus-menerus
ataupun periodik, yang secara social dan ekologis layak dikerjakan oleh petani untuk
meningkatkan produktivitas lahan dengan tingkat masukan dan teknologi rendah
(Nair, 1989).
Semua definisi wanatani tersebut diatas mengimplikasikan bahwa : (1) terdapat
interaksi yang kuat baik kompetitif maupun komplementer antara komponen pohon-
pohonan dan bukan pepohonan; (2) terdapat perbedaan yang nyata antara masing-
masing komponen wanatani dalam dimensi fisik, umur dan dan penampilan fisiologi;
(3) wanatani umumnya mengintegrasikan dua atau lebih jenis tanaman (atau tanaman
dan ternak), dimana paling tidak salah satunya merupakan tanaman berkayu; (4)
wanatani selalu mempunyai dua atau lebih hasil; (5) siklus wanatani selalu lebih dari
5 | P a g e
satu tahun; (6) walaupun dalam bentuk sederhana, secara ekologi dan ekonomi
wanatani lebih kompleks dibandingkan dengan usaha tani monokultur; dan (7)
wanatani dapat diterapkan pada lahan-lahan yang berlereng curam, berbatu-batu,
berawa ataupun tanah marginal dimana sistem usaha tani lainnya kurang cocok
(Santoso et al, 2013).
- Tanaman Sela
Dilihat dari perkembangan tajuk tanaman tahunan, terdapat dua model
pertanaman sela, yaitu: pertanaman sela terus-menerus dan pertanaman sela periodic.
Pertanaman sela terus-menerus adalah penanaman tanaman pangan semusim atau
menahun, palawija, atau rumput pakan diantara tanaman tahunan yang sudah
menghasilkan. Pada sistem ini, tajuk tanaman tahunan tidak rapat, sehingga
memungkinkan untuk membudidayakan tanaman lainnya yang memiliki tajuk lebih
rendah dari tanaman tahunan. Pengaturan tanaman dilakukan sedemikian rupa,
sehingga interaksi antar tanaman tidak saling merugikan. Penanaman coklat, pisang,
ubi kayu, padi gogo, nanas atau jagung diantara barisan kelapa adalah salah satu
contoh penanaman sela terus-menerus (Santoso et al, 2013).
Tanaman sela sementara adalah penanaman tanaman pangan semusim palawija
atau rumput pakan diantara tanaman tahunan yang tajuknya belum menutupi selruh
permukaan tanah. Jika tajuk tanaman tahunan sudah menutup seluruh permukaan
tanah, maka tanaman semusim tida dapat dibudidayakan lagi. Penanaman jagung, pdi
gogo, kacang tanah dan sayuran dataran rendah diantara barisan kelapa sawit muda
atau karet merupakan contoh tanaman sela sementara (Santoso et al, 2013).
- Pagar Hidup
Pagar hidup adalah barisan tanaman tahunan jenis perdu atau pohon sepanjang
batas pemilikan lahan yang ditanam dengan jarak tanam rapat, dipangkas pada
ketinggian1,5 – 2 m. selain sebagai batas pemilikan lahan, pagar hidup dapat berfungsi
sebagai pencegah orang, ternak pemakan rumput atau tanaman masuk ke lahan dan
merusak tanaman, sumber pakan ternak serta menahan erosi.
6 | P a g e
- Pola Tanam
Pola tanam adalah sistem pengaturan pertanaman berdasarkan distribusi curah
hujan, baik pola tanam monokultur maupun tumpang sari pada tanaman hampir sama
umur pada sebidang tanah sebagai salah satu strategi untuk menjamin keberhasilan
usaha tani lahan kering. Dalam perkembangannya pola tanam ini sangat tergantung
kepada jenis tanah, iklim, topografi dan pemasaran hasil (Effendi, 1984).
Dengan meningkatkan intensitas tanaman, maka bukan hanya produktivitas
lahan yang ditingkatkan, tetapi sekaligus juga merupakan tindakan konservasi
vegetative. Tertutupnya lahan hampir sepanjang tahun akan mengurangi erosi serta
menghasilkan sisa tanamansebagai bahan organik (Santoso et al, 2013).
Pertanaman campuran (mixed cropping)
Pertanaman campuran adalah sistem penanaman lebih dari satu macam
tanaman semusim pada lahan dan waktu yang sama dengan pola tidak teratur.
Jenis tanaman yang diusahakan biasanya terdiri atas tanaman semusim seperti
padi gogo, palawija atau sayuran. Kadang-kadang lahan ditanami dengan tanaman
tahunan seperti jati, sonokeling, dan mahoni sebagai pembatas pemilikan lahan.
Ttapi berbeda dengan kebun campuran, komponen tanaman semusim dalam
sistem pertanaman campuran lebih dominan. Tujuannya untuk konsumsi pangan,
pakan, kayu bangunan rumah dan kayu bakar (Santoso et al, 2013).
Pertanaman berurutan (sequential cropping)
Pertanaman berurutan adalah sistem dengan dua tanaman atau lebih secara
berurutan/bergilir. Pola tanam dapat berupa padi gogo, kacang tanah, kacang
tunggak atau jagung, kacang tanah, tanaman penutup tanah atau tanaman pupuk
hijau. Tanaman pertama biasanya ditanam di awal musim hujan dan setelah
panen, lahan diolah lagi kemudian diganti dengan tanaman kedua. Tanaman
ketiga ditanam tergantung dari ketersediaan air, kalau tidak memungkinkan
biasanya tahan diberikan sampai musim hujan yang berikutnya (Santoso et al,
2013).
Benguk dan kacang tunggak (Vigna sinensis) dapat ditanam pada musim
tanam ketiga dalam pola pergiliran tanaman lahan kering untuk mencegah
merosotnya produktivitas tanah. Selama empat bulan (Mei – Agustus) benguk dan
7 | P a g e
kacang tunggak mampu menghasilkan biomassa sebesar 8 dan 5 ton/ha (Purnomo
et al, 1992). Tanaman penutup tanah kacang-kacangan pada musim kemarau
berpengaruh meningkatkan hasil kedelai dan jagung yang ditanam sesudahnya.
Tabel 1. Pengaruh berbagai tanaman penutup tanah terhadap hasil biomassa tanaman penutup tanah, kedelai dan jagung dan hasil biji kedelai di Kuaman Kuning, Jambi.
Sumber : Purnomo et al, (1992) dalam Santoso et al, (2013).
Pertanaman Tumpang Sari
Pertanaman tumpang sari adalah sistem penanaman lebih dari satu macam
tanaman pada lahan yang sama secara simultan, dengan umur tanaman relative
sama dan diatur dalam barisan atau kumpulan barisan atau kumpulan baris secara
berselang-seling seperti : padi gogo + jagung + kacang tanah. Pertanaman
pertama padi ditanaman tumpang sari dengan jagung, pertanaman kedua jagung
ditumpangsarikan dengan kacang tanah (Santoso et al, 2013).
Pertanaman Tumpang Gilir
Pertanaman tumpang gilir adalah penanaman lebih dari satu macam
tanaman pada lahan yang sama secara bergilir. Tanaman kedua ditanam di antara
tanaman pertama sebelum panen. Pola tanam dapat berupa padi gogo + jagung -/-
ubi kayu – kacang tanah. Pertanaman pertama padi gogo ditumpangsarikan
dengan jagung. Sebulan sebelum jagung dipanen, ubi kayu ditanam dengan cara
disisipkan di antara jagung. Setelah padi dan jagung di panen, kacang tanah
ditanam di antara barisan ubi kayu (Santoso et al, 2013).
8 | P a g e
Pertanaman Berjalur (Strip Cropping)
Pertanaman berjalur adalah penanaman dua jenis tanaman atau lebih
dalam strip-strip secara berselang-seling antara tanaman pokok dan tanaman
penutup tanah. Sistem ini diterapkan pada lahan berlereng 15 – 40% (Santoso et
al, 2013).
Gambar 2. Pertanaman berjalur (Sumber : FFTC, (1995) dalam (Santoso et al, 2013).
Pertanaman bertingkat (Multistorey Cropping)
Pertanaman bertingkat adalah sistem penanaman kombinasi antara pohon
dan tanaman lain yang lebih pendek habitusnya. Penanaman berbagai tanaman
pohon yang berbeda tinggi tajuknya diatur dengan arah barisan timur-barat, dan
tanaman pangan atau tanaman pangan atau pakan diantaranya. Misalnya etase 1
kelapa, setase 2 cengkih, durian melinjo, etase 3 pisang, jeruk, kopi dan etase 4
tanaman pangan dan pakan. Pada prinsipnya sistem ini adalah untuk
meningkatkan produktivitas lahan dengan mengurangi luas lahan yang diolah dan
memperbanyak tanaman. Pengelolaannya perlu memperhatikan pengawetan tanah
dan air, intensitas sinar surya semaksimal mungkin, serta daur ulang bahan
organik dan hara (Widjaja Adhi et al., 1993).
- Tanaman Penutup Tanah
Tanaman penutup tanah adalah tanaman yang ditanam untuk menutupi
permukaan lahan pertanian yang berguna mengendalikan erosi dan memperbaiki sifat-
sifat tanah. Tujuan dari tanaman penutp tanah adalah melindungi permukaan tanah dari
9 | P a g e
erosi percikan akibat jatuhnya tetesan air hujan; meningkatkan kandungan bahan organik
tanah dan memperbaiki sifat-sifat fisik dan kimia tanah; menekan pertumbuhan gulma
sehingga dapat mengurangi biaya perawatan tanaman; dan meminimumkan perubahan-
perubahan iklim mikro dan suhu tanah, sehingga dpat menyediakan lingkungan hidup
yang lebih baik bagi tanaman (Santoso et al, 2013).
Tanaman penutup tanah harus memenuhi persyaratan antara lain: mudah
diperbanyak terutama dengan biji, tumbuh cepat dan menghasilkan banyak daun, toleran
terhadap pemangkasan dan injakan, bukan tanaman inang hama dan penyakit, sistem
perakaran tidak berkompetisi berat dengan tanaman pokok, dan mampu menekan gulma.
Jenis tanaman penutup tanah yang umum digunakan adalah kacang-kacangan / legume
yang merambat paling baik sebagai penutup tanah karena mampu secara langsung
memfiksasi nitrogen dari udara, dan mampu beregenerasi sendiri (Santoso et al, 2013).
Gambar 3. Benguk (Mucuna munaneae) ditanam sebagai tanaman penutup tanah sekaligus dapat digunakan untuk rehabilitasi lahan alang-alang (Photo : I G. P. Wigena dalam (Santoso et al,
2013).
- Penanaman Rumput
Penanaman rumput pada berbagai tempat yang terbuka (tidak tertutup oleh
tanaman utama) sangat penting dalam mengendalikan erosi dan aliran permukaan di
lahan pertanian. Tempat-tempat terbuka tersebut antara lain adalah saluran pembuangan
air (SPA), rorak, jalan dan bidang lereng dari lahan pertanian. Penanaman rumput pada
SPA atau dinamakan sebagai SPA yang diperkuat dengan rumput (grassed waterways)
penting untuk mengamankan SPA sehingga lahan pertanian dapat lebih stabil. Teknik ini
10 | P a g e
baik untuk lahan yang lerengnya < 30%. Jika air buangannya mengalir terus dan
kecepatannya melebihi 1,5 m/detik, maka dasar salurannya perlu diperkuat dengan
semen. Untuk mengurangi kekuatan aliran air, maka SPA yang diperkuat dengan rumput
tersebut di beberapa tempat dengan jarak yang teratur perlu ditambah dengan terjunan air
(drop spillways). Rumput yang sesuai dengan teknik ini adalah Bahia grass (Paspalum
notatum) atau rumput karpet (Axonopus affinis). Tempat-tempat yang terus-menerus
ternaungi atau tanahnya terlalu berbau tidak cocok untuk teknik SPA dengan rumput ini
(FFTC, 1995).
- Pupuk Hijau
Pupuk hijau dapat ditanam secara khusus untuk memperbaiki sifat-sifat tanah dan
berguna sebagai pupuk. Kandungan nitrogen pupuk hijau tertinggi pada masa awal
pembentukan bunga, waktu tanaman masih lunak dan mudah dilapuk. Oleh karena itu,
tanaman pupuk hijau sebaiknya dipangkas pada waktu itu dan segera dibenamkan ke
dalam tanah waktu masih berwarna hijau. Tanaman pupuk hijau dapat meningkatkan
kandungan bahan organik tanah, memperbaiki sifat-sifat fisik dan kimia tanah serta
meningkatkan ketahanan tanah terhadap erosi. Tanaman pupuk hijau dapat dipakai untuk
memperbaiki tanah berpasir, tanah liat berat atau tanah-tanah lain yang tidak produktif
(Santoso et al, 2013).
- Mulsa
Mulsa adalah penutup tanah yang berasal dari pangkasan rumput, sisa panen atau
bahan-bahn lain yang penggunaannya disebarkan di permukaan tanah sepanjang barisan
tanaman atau melingkari batang pohon. Mulsa berguna untuk mengurangi erosi dan aliran
air permukaan, menekan gulma dan mengurangi biaya penyiangan. Mengatur suhu tanah,
meningkatkan kandungan bahn organik tanah dan mengurangi penguapan air tanah atau
meningkatkan kelembaban tanah. Penutup tanah atau rumput yang ditanam diantara
tanaman pohon-pohonan dapat dengan mudah dipangkas untuk bahan mulsa (Santoso et
al, 2013).
11 | P a g e
Gambar 4. Bagan penyebaran mulsa di lahan pertanian (Sumber: FFTC, 1995).
- Pematah Angin
Pematah angin (windbreaks) adalah barisan pohon atau rumput tinggi yang
ditanam dengan jarak yang tepat untuk mencegah atau mengurangi erosi angin dan
kerusakan tanaman yang disebabkan oleh angin. Pematah angin berguna untuk
mengendalikan erosi angin, mengurangi kerusakan fisiologis atau mekanis terhadap
tanaman yang disebabkan oleh angin yang keras, mengurangi evapotranspirasi dan
mengurangi kerusakan tanaman akibat garam jika lokasinya dekat laut (Santoso et al,
2013).
12 | P a g e
Gambar 5. Bagan pematah angin (FFTC, 1995).
13 | P a g e
III. PEMBAHASAN
III.1 Alasan Pemilihan Tanaman Bambu Sebagai Tanaman Konservasi
Tanaman bamboo mempunyai sistem perakaran serabut dengan akar rimpang yang
sangat kuat. Karaktersitik perakaran bamboo memngkinkan tanaman ini menjaga sistem
hidrologis sebagai pengikat tanah dan air sehingga dapat digunakan sebagai tanaman
konservasi. Rumpun bamboo di Tatar Sunda disebut dapuran awi juga akan menciptakan
iklim mikro di sekitarnya, sedangkan hutan bamboo dalam skala luas pada usia yang cukup
dapat dikategorikan sebagai satu satuan ekosistem yang lengkap. Kondisi hutan bamboo
memungkinkan mikroorganisme dapat berkembang bersama dalam jalinan rantai makanan
yang saling bersimbiosis.
Kita mengetahui bersama bahwa kerusakan sumberdaya alam di Indinesia telah
melampaui ambang batas kerusakan dan cenderung untuk menuju pada kemusnahan fatal
apabila tidak ada usaha penaggulangannya yang berarti. Kawasan hutan seluas 122 jta ha
tinggal separuhnya akibat pembalakan liar / illegal logging, yang sampai kini belum ada
penanganannya secara tuntas. Akibatnya kita merasakan sendiri terjadinya malapetaka bagi
seluruh lapisan masyarakat seperti terjadinya banjir, longsor, sedimentasi, pendangkalan
sungai serta muaranya pada musim hujan serta kekurangan air dan pencemaran air pada
musim kemarau. Usaha rehabilitasi memang sudah dimulai baik melalui GERHAN, GRLK
provinsi, kabupaten, kota tetapi hasilnya belum mencapai sasaran yang diinginkan. Padahal
Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis ini telah berlangsung lebih dari 40 tahun yang lalu.
Secara rutin bertahun-tahun tanaman penghijauan pada lahan kritis tersebut
didominasi oleh komodita jenis kayu-kayuan sebagai tanaman konservasi dan buah-buahan
sebagai tanaman produktif. Sedangkan tanaman bamboo sebagai jenis tanaman tradisional
dengan sifatnya multiguna, belum tersentuh padahal sepantasnya jenis tanaman ini
diikutsertakan dalam rangka rehabilitasi lahan kritis.
Environment Bamboo Foundation (EBF) merupakan sebuah yayasan yang intensif
mengenai bamboo di Indonesia menjelaskan fungsi EBF dan beberapa manfaat utama
14 | P a g e
tanaman bamboo : Misi EBF adalah memperkenalkan bamboo sebagai bahan bangunan di
masa depan, sepertiga rumpun bisa dipanen dan memiliki sifat setengah tanaman keras.
Dalam beberapa minggu, tunas baru akan tumbuh tanpa penanaman ulang, dan tidak
mengakibatkan tanah longsor atau hilangnya penyerapan karbon. (Studi menunjukkan
bahwa satu hektar tanaman bamboo bisa menyerap lebih dari 12 ton karbondioksida dari
udara). EBF mendapat laporan dari banyak Negara bahwa debit air meningkat setelah
beberapa tahun ditanami bamboo dan dalam beberapa kasus muncul mata air baru. Tidak
mengherankan mengingat bamboo merupakan tanaman C3 dan efektif dalam konservasi air.
pepohonan rata-rata menyerap 35-40% air hujan; sedangkan bamboo bisa menyerap sampai
90%. Itu sebabnya orang di kolombia mengatakan bahwa mereka menanam air apabila
mereka menanam bamboo. Dengan demikian fungsi bamboo sangatlah banyak, diantaranya
adalah :
a) Meningkatkan volume air bawah tanah,
b) Konservasi lahan,
c) Perbaikan lingkungan dan
d) Sifat-sifat bamboo sebagai bahan bangunan tahan gempa, khususnya wilayah rawan
gempa.
Penghijauan dengan memanfaatkan bamboo local, bukan hanya penting bagi
kelestarian sumber mata air tetapi juga dapat berdampak positif terhadap peningkatan
perekonomian masyarakat. Mulai baru tumbuh pohon bamboo sudah memiliki nilai guna
bagi kepentingan masyarakat. Pohonnnya yang baru tumbuh (rebung) bisa dibuat sayur
sebagai pelengkap makanan sehari-hari. Nilai jualnya juga lumayan bagus serta bisa
memberikan nilai tambah bagi masyarakatnya. Berikutnya, batang bamboo tersebut juga
dimanfaatkan untuk tersebut juga bisa dimanfaatkan untuk kepentingan industry, seperti
kerajinan rumah tangga, keperluan rumah dan lain sebagainya. Diantaranya yang paling
mungkin bisa mendatangkan hasil lebiha adalah bamboo tersebut bisa dibuat kerajinan
tangan yang memiliki nilai ekspor yang bernilai tinggi (Widnyana K., 2006).
15 | P a g e
III.2 Bambu sebagai Tanaman Konservasi Dibandingkan dengan Tanaman Berkayu
(Kluwih)
Karakterisasi Tumbuhan Lokal untuk Konservasi Tanah dan Air,
Studi Kasus pada Kluwih (Artocarpus altilis Park. ex Zoll.) Forsberg) dan Bambu Hitam
(Gigantochloa atroviolaceae Widjaja)
Kluwih (Artocarpus altilis Park. ex Zoll. Forsberg), merupakan salah satu anggota
famili Moraceae, yang banyak dijumpai di hutan dataran rendah di daerah Jawa. Tanaman
ini banyak dimanfaatkan masyarakat tradisional untuk dikonsumsi buahnya, sebagai bahan
mentah dari sayur. Tanaman ini, sebagaimana tanaman Moraceae lainnya, juga sering
dijumpai pada mata air. Di Kebun Raya Purwodadi, koleksi tanaman kluwih dapat dijumpai
di vak IV.B.I (Gambar 6).
Gambar 6. Tanaman kluwih (Artocarpus altilis Park. ex Zoll. Forsberg) di Kebun Raya Purwodadi (Sumber: Sofiah dan Fiqa, 2012).
Bambu hitam (Gigantochloa atroviolaceae Widjaja), merupakan salah satu jenis
bambu yang menjadi primadona untuk dimanfaatkan buluhnya sebagai bahan dasar
furniture. Bambu hitam juga merupakan salah satu tanaman asli di dataran rendah Pulau
Jawa. Di Kebun Raya, jenis ini bisa dijumapi di vak XII.J.I.
16 | P a g e
Gambar 7. Tanaman bamboo Hitam (Gigantochloa atroviolaceae Widjaja) koleksi Kebun Raya Purwodadi (Sumber: Sofiah dan Fiqa, 2012).
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, diketahui bahwa tanaman kluwih,
memiliki tipe kanopi bulat. Bambu hitam yang memiliki karakter khas tumbuh merumpun,
juga dikategorikan berkanopi bulat, berdasarkan bentuk keseluruhan rumpun yang
dibentuknya. Sedangkan berdasarkan klasifikasi tipe akar, bamboo memiliki akar serabut
(fibrous root), sedangkan tanaman kluwih memiliki tipe tunggang (tap root).
Hasil pengukuran fungsi tumbuhan dalam pendistribusian air hujan yang jatuh pada
kedua tanaman menunjukkan hasil yang berbeda satu sama lain (gambar 8). Bambu hitam
memiliki kemampuan menahan lolosan hujan lebih tinggi dibandingkan kluwih. Sehingga
diketahui daya tahan terhadap lolosan hujan pada keduanya, didapatkan dari Intersepsi
tajuk/curah hujan saat itu dikalikan 100%.
17 | P a g e
Gambar 8. Kemampuan distribusi air hujan pada tanaman (Sumber: Sofiah dan Fiqa, 2012).
Gambar 9. Perbandingan kemampuan tanaman menahan lolosan hujan (Sumber: Sofiah dan Fiqa, 2012).
Bambu hitam adalah salah satu jenis bambu yang banyak diminati karena buluhnya
yang khas. Jenis ini dicirikan dengan warna buluhnya yang hitam. Rebungnya kehitaman
dengan ujung jingga, tertutup bulu coklat hingga hitam. Buluh tingginya mencapai 15 m,
tegak. Buluh muda dengan bulu hitam hingga coklat, gundul ketika tua dan keunguan, ruas
panjangnya 40-50 cm, berdiameter 6-8 cm, dinding tebalnya mencapai 8mm. Daun 20-28 x
2-5 cm, gundul; ligula menggerigi, tinggi 2 mm, gundul (Widjaja, 2001).
18 | P a g e
Bambu banyak dijumpai di sekitar mata air maupun daerah tepian sungai. Tanaman
bambu memiliki kemampuan menahan erosi, dengan perakarannya yang menyebar luas
sehingga mampu menyerap dan menyimpan air lebih banyak di dalam tanah. Tipe perakaran
yang dimiliki bambu, yaitu fibrous root, juga menjadikan bamboo memiliki kemampuan
untuk mengikat tanah dengan baik.
Kluwih, merupakan tanaman berhabitus pohon. Tinggi mencapai 30 m, batang lurus,
diameter 0,6-1,8 m, seringkali berakar papan, memiliki tanda-tanda bekas daun dan bekas
penumpu. Daun berselang-seling, berbentuk bundar telur sampai menjorong, berukuran 20-
60 (-90) cm x 20-40 (-50) cm, sewaktu muda pinggiran rata atau terbagi menyirip dalam-
dalam, lembaran daun tebal menjangat, berwarna hijau tua dan berkilap pada lembaran
bawah. Perbungaan muncul di ketiak daun, perbungaan jantan menggantung berbentuk gada,
berukuran (15-25) cm x (3-4) cm. Perbungaan betina berbentuk bulat /silinder, berukuran (8-
10) cm x (5-7) cm, berwarna hijau. Buah berbentuk silinder sampai bulat, berdiameter 10-30
cm. Biji berwarna kecoklatan, berbentuk bulat atau memipih dan panjangnya mencapai 2,5
cm (Rajendran, 1992).
Kluwih memiliki tipe akar tunjang (tap root), seperti halnya spesies lain dalam famili
Moraceae. Menurut Oliveira (2003) dalam Fiqa dkk. (2005) menyebutkan bahwa single tap
root memiliki kemampuan untuk menyerap air dari kedalaman tanah yang dalam dan
mencukupi kebutuhan air lebih dari 65% pada tanaman tersebut pada musim kemarau,
membuktikan bahwa tanaman ini mampu menembus lapisan tanah yang dalam untuk
mencukupi kebutuhan airnya.
Tanaman dengan tipe perakaran yang dalam seperti pada jenis ini, diketahui pada
dini hari hingga pagi hari saat musim kemarau permukaan tanah tempat tumbuhan tersebut
tumbuh kondisinya basah (Fiqa, dkk., 2005). Ada dugaan bahwa tanaman mempunyai
mekanisme hydraulic conductance yaitu kemampuan tanaman dalam menyerap air dalam
jumlah banyak di malam hari untuk disebarkan ke permukaan, selanjutnya saat pagi hari air
permukaan akan diserap kembali oleh akar-akar permukaan dan dipergunakan untuk
metabolismenya (Larcher, 1995).
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, diketahui bahwa bambu, mampu menahan
lolosan hujan hingga 84,63%, jauh lebih besar dibandingkan tanaman kluwih yang menahan
lolosan hanya 51,00%. Sejalan dengan hal itu, Sikumbang (2010), menyebutkan bahwa
19 | P a g e
dibandingkan dengan pepohonan yang hanya menyerap air hujan 35-40% air hujan, bambu
dapat menyerap air hujan hingga 90 %. Intersepsi tajuk dan serasah pada bambu, juga
diketahui lebih besar dibandingkan dengan kluwih. Helaian daun pada bambu lebih kecil
dibandingkan helaian daun luwih. Pengaruh luasan helaian daun ini berpengaruh bagi
besarnya intersepsi tajuknya. Selain itu, bentuk tajuk bambu yang lebih rapat, juga
membantunya meningkatkan daya tahan terhadap cucuran air hujan.
Tajuk kluwih yang berbentuk bulat dengan helaian daun lebar, cenderung tidak rapat
dibandingkan tajuk bambu, meskipun demikian, tipe kanopi dapat berubah akibat
penyempitan area tumbuh dan stres yang disebabkan oleh pemangkasan (Sutrisno dkk.,
1998). Karena itulah, tipe kanopi hanya dapat ditentukan jika pohon tumbuh secara alami di
alam secara soliter. Tajuk tumbuhan yang berlapis-lapis, dengan batang berbagai dimensi,
ruangan yang penuh terisi dari lantai hutan hingga pucuk pohon dominan, disertai lapisan
serasah dan humus berbagai tingkat kemasakan merupakan ciri-ciri ekosistem yang unggul
dalam memelihara kualitas lingkungan (Manan, 1992).
Menurut Morgan (1986 dalam Suripin, 2002), efektifitas tanaman penutup dalam
mengurangi erosi dan aliran permukaan dipengaruhi oleh tinggi tanaman dan kontinuitas
dedaunan sebagai kanopi, kerapatan tanaman, dan kerapatan sistem perakaran. Seperti
diketahui bahwa semakin tinggi tempat jatuh butiran hujan makin tinggi kecepatannya pada
saat mencapai permukaan tanah, dengan demikian makin tinggi pula energy kinetiknya.
Oleh karena itu ketinggian tanaman berperan sangat penting, karena semakin tinggi tanaman
akan semakin besar energi kinetik butiran air hujan yang jatuh dari tanaman tersebut. Lebih
jauh lagi, butiran air hujan yang jatuh dari ketinggian tujuh meter dapat mencapai kecepatan
90% kecepatan maksimumnya, sehingga tinggi tanaman yang melebihi ketinggian ini tidak
efektif sebagai tanaman konservasi. Di samping itu, butiran hujan yang terinsepsi oleh
tanaman dapat saling menyatu untuk membentuk butiran yang lebih besar sehingga lebih
erosif. Dengan demikian tanaman rendah berdaun kecil memberi dampak lebih efektif dalam
mengurangi energi kinetic butiran hujan dibanding tanaman tinggi dan berdaun lebar, sebab
daun lebar akan berfungsi sebagai cawan pengumpul butiran air hujan. Keberadaan kedua
tanaman ini di alam, membuktikan keduanya memiliki peran penting dalam menjaga
kelestarian tanah dan air, lengkap dengan karakteristik keduanya.
20 | P a g e
IV. KESIMPULAN
Tanaman bambu memiliki kemampuan menahan erosi, dengan perakarannya yang
menyebar luas sehingga mampu menyerap dan menyimpan air lebih banyak di dalam tanah. Tipe
perakaran yang dimiliki bambu, yaitu fibrous root, juga menjadikan bamboo memiliki
kemampuan untuk mengikat tanah dengan baik. Bambu mampu menahan lolosan hujan hingga
84,63%, jauh lebih besar dibandingkan tanaman kluwih yang menahan lolosan hanya 51,00%.
Dibandingkan dengan pepohonan yang hanya menyerap air hujan 35-40% air hujan, bambu
dapat menyerap air hujan hingga 90 %.
Intersepsi tajuk dan serasah pada bambu lebih besar dibandingkan dengan kluwih.
Helaian daun pada bambu lebih kecil dibandingkan helaian daun luwih. Pengaruh luasan helaian
daun ini berpengaruh bagi besarnya intersepsi tajuknya. Selain itu, bentuk tajuk bambu yang
lebih rapat, juga membantunya meningkatkan daya tahan terhadap cucuran air hujan. Tajuk
kluwih yang berbentuk bulat dengan helaian daun lebar, cenderung tidak rapat dibandingkan
tajuk bambu, meskipun demikian, tipe kanopi dapat berubah akibat penyempitan area tumbuh
dan stres yang disebabkan oleh pemangkasan.
Tanaman rendah berdaun kecil memberi dampak lebih efektif dalam mengurangi energi
kinetic butiran hujan dibanding tanaman tinggi dan berdaun lebar, sebab daun lebar akan
berfungsi sebagai cawan pengumpul butiran air hujan.
21 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.
Effendi , S. 1984. Membngun Pertanian Lahan Kering yang Tangguh. hlm 391-398 dalam
Prosiding Pertemuan teknia Penelitian Pola Usaha Tani Menunjang Transmigrasi.
Cisarua, bogor 27-29 Februari 1984. Badan Litbang Pertanian, Deptan.
FFTC. 1995. Soil Conservation Handbook. Chinese Edition. Food and Fertilizer Technology
Center (FFTC) for the Asian and Pacific Region. Taipei. Taiwan.
Fiqa, A.P., E. Arisoesilaningsih dan Soejono. 2005. Konservasi Mata Air DAS Brantas
Memanfaatkan Diversitas Flora Indonesia. disampaikan pada Seminar Nasional Basic
Science II FMIPA UNIBRAW Tanggal 26 Februari 2005.
Larcher, W. 1995. Physiological Plant Ecology. Third Edition. Springer. Austria Sikumbang, H.
2010. Bambu untuk Menghadapi Pemanasan Global.
http://ksupointer.com/2010/bambuuntuk- mengahadapi-pemanasanglobal. Akses tanggal
19 November 2013.
Manan, S. 1992. Silvikultur. Dalam Manual Kehutanan. Departemen Kehutanan Republik
Indonesia. Jakarta.
Nair, P. K. R. 1989. AAgroforestry Systems in the Tropics. Kluwer Academic Publisher.
London.
Santoso Djoko, Purnomo Joko, Wigena I G. P. dan Tuherkih Enggis. 2013. Teknologi
Konservasi Tanah Vegetatif.
http://balittanah.litbang.deptan.go.id/dokumentasi/buku/lahankering/berlereng4.pdf.
diakses tanggal 19 November 2013.
Sofiah Siti dan Fiqa Abban Putri. 2012. Karakterisasi Tumbuhan Lokal untuk Konservasi Tanah
dan Air,Studi Kasus pada Kluwih (Artocarpus altilis Park. ex Zoll.) Forsberg) dan
Bambu Hitam (Gigantochloa atroviolaceae Widjaja). UPT Balai Koonservasi Tumbuhan
Kebun Raya Purwodadi Jl. Raya Surabaya-Malang km. 65 Purwodadi-Pasuruan.
Subagyono Kasdi , Marwanto Setiari , dan Kurnia Undang. 2001. Teknik Konservasi Tanah
Secara Vegetatif. Balai Penelitian Tanah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan
22 | P a g e
Agroklimat . Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian . Departemen Pertanian.
Seri Monograf No. 1 Sumber Daya Tanah Indonesia.
Suripin. 2002. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Sutrisno, U.,T. Kalima, Purnadjaja. 1998. Seri Manual Pedoman Pengenalan Pohon Hutan di
Indonesia. Yayasan PROSEA, Pusat Diklat Pegawai dan SDM Kehutanan. Bogor. Hal
24-31.
Widjaja, E. A. 2001. Identikit Jenis-jenis Bambu di Jawa. Puslitbang Biologi LIPI. Bogor.
Rajendran, R. 2010. Plant Resources of South East Asia2 Edible Fruits and Nuts. Verheij,
E.W.M dan R.E. Coronel (Ed.). PROSEA. Bogor.
Widjaja Adhi, I P. G., Budhiastoro T., dan H. Djohar. 1993. Teknologi Pengembangan Lahan
Kering Marginal untuk Usaha Tani Terpadu di Kalimantan Timur hlm. 97-109 dalam
Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Puslittanak, Bogor.
Widnyana K. 2006. Bambu dengan Berbagai Manfaatnya. Bali: Fakultas Pertanian Universitas
Mahasaraswati Denpasar.
23 | P a g e