Post on 09-Aug-2015
KINERJA BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA
(Mengembalikan Kepercayaan Publik)
PENDAHULUAN
Pada paper ini, penulis mencoba menjelaskan konsep kinerja birokrasi pelayanan
publik dengan melihat faktor-faktor yang menjadi kendala dalam birokrasi, seperti implikasi
birokrasi weberian dan birokrasi zaman kolonial yang masih kental dalam tubuh birokrasi
hingga saat ini, serta budaya dan nilai yang berkembang di masyarakat sehingga
menyebabkan penyakit birokrasi / patalogi birokrasi. Dengan mengidentifikasi faktor yang
menjadi kendala dalam kinerja birokrasi pelayanan publik, sehingga mampu menciptakan
pelayanan publik dengan baik pada tingkat kepuasan masyarakat dan pada akhirnya mampu
mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Kinerja birokrasi pelayanan publik menjadi isu kebijakan yang semakin strategis,
karena perbaikan kinerja birokrasi memiliki implikasi yang luas dalam kehidupan ekonomi
dan politik. Dalam kehidupan ekonomi, perbaikan kinerja birokrasi akan bisa memperbaiki
iklim investasi yang amat diperlukan oleh bangsa ini untuk bisa keluar dari krisis ekonomi
yang berkepanjangan. Dalam kehidupan politik, perbaikan kinerja birokrasi pelayanan publik
akan memiliki implikasi luas, terutama dalam memperbaiki tingkat kepercayaan masyarakat
kepada pemerintah. Buruknya birokrasi saat ini menjadi salah satu faktor penting yang
mendorong munculnya krisis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Perbaikan kinerja
birokrasi pelayanan publik diharapkan mampu memperbaiki image pemerintah dimata
masyarakat karena dengan kualitas pelayanan publik yang semakin baik, kepuasan dan
kepercayaan masyarakat bisa dibangun kembali.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mempunyai amanat,
Negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan
kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik. Membangun kepercayaan masyarakat
atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan
yang harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan
penduduk tentang peningkatan pelayanan publik, sebagai upaya untuk mempertegas hak dan
kewajiban setiap warga negara dan penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara
dalam penyelenggaraan pelayanan publik
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik adalah undang-
undang yang mengatur tentang prinsip-prinsip pemerintahan yang baik yang merupakan
efektifitas fungsi-fungsi pemerintahan itu sendiri. Pelayanan publik yang dilakukan oleh
pemerintahan atau koporasi yang efektif dapat memperkuat demokrasi dan hak asasi manusia,
mempromosikan kemakmuran ekonomi, kohesi sosial, mengurangi kemiskinan,
meningkatkan perlindungan lingkungan, bijak dalam pemanfaatan sumber daya alam,
memperdalam kepercayaan pada pemerintahan dan administrasi publik.
Governance and Decentralization Survey (GDS) 2002 dan Governance Assessment
Survey (GAS) 2006 membuktikan bahwa aparat birokrasi ketika melayani warganya masih
mempertimbangkan unsur-unsur subjektivitas, seperti pertemanan, kesamaan etnis, agama,
dan afiliasi politik. Akibatnya diskriminasi pelayanan khususnya terhadap kelompok
marginal menjadi lazim terjadi dalam hampir setiap penyelenggaraan Layanan Publik1.
Praktik pelayanan publik di Indonesia masih penuh dengan ketidak pastian waktu, biaya, dan
cara pelayanan. Akibatnya banyak warga yang tidak sanggup mengurus pelayanan secara
langsung dan wajar serta lebih suka menggunaka biro jasa2 dan pelayanan yang buruk ini
sering membuat biaya transaksi menjadi semakin tinggi3
Output dari kinerja birokrasi adalah pelayanan terhadap publik. Pelayanan publik erat
kaitannya dengan fungsi pemerintahan dan pemberdayaan atau pendidikan sosial kepada
masyarakat yang menyangkut urusan ideologi, politik, soial, budaya, agama, dan pertahanan
keamanan. Namun keadaan yang terjadi dalam kinerja birokrasi adalah adanya pemisahan
kepada kelompok masyarakat yang memiliki kekuasaan dan uang yang akan selalu
diutamakan dalam pemberian pelayanan sehingga masyarakat tidak memiliki kekuatan
apapun akan semakin terpinggirkan dari pelayan publik yang diberikan oleh pemerintah
(Pusat Studi Pengembangan Kawasan, 2001)
Birokrasi yang terjadi di Indonesia adalah keseimbangan birokrasi yaitu hubungan
antara impersonalitas dan personalitas guna mencapai rasionalitas4. Menyebutkan masyarakat
Indonesia merupakan masyarakat agraris yang masih kental hubungan kekerabatannya.
Dimana dalam kehidupan bermasyarakat masih lebih banyak hubungan pribadi di anatara
mereka. Keadaan ini yang terkadang mengakibatkan Patalogi Birokrasi. Istilah patalogi
birokrasi mempunyai makna untuk menjelaskan berbagai bentuk penyimpangan dalam
birokrasi, seperti patrialisme, pembengkakan anggaran, prosedur yang berlebihan,
fragmentasi brirokrasi, dan pembengkakan birokrasi. Sehingga dengan mengenali faktor-
1 Agus Dwiyanto (2011 : 45)2 Lihat Agus Dwiyanto (Mewujudkan Good Governance melalui pelayanan publik 2005) menyebutkan Dalam survey indeks kepuasaan pelanggan yang diselenggarakan baru-baru ini di kota yogyakarta, besarnya porsi warga yang menggunakan biro jasa sangat bervariasi, tergantung pada jenis pelayanannya. Pelayanan pemerintah yang diselenggarakan untuk badan usaha dan lembaga, angka penggunaan biro jasa sangat besar bahkan mencapai 100 persen.3 Salah satu komponen biaya transaksi yang penting adalah biaya prantara (intermediaries) yang jumlahnya bisa berlipat ganda dari biaya resminya, tergantung pada jenis pelayananya4 Miftah Thoha (2012 : 269)
faktor yang menjadi penghambat sebuah kinerja birokrasi, maka diharapkan mampu
memperbaiki pelayanan publik di Indonesia dan mengembalikan kepercayaan publik.
1. Konsep Birokrasi Weberian dan Birokrasi Masa Kolonial yang Mempengaruhi
Birokrasi di Indonesia
Dalam penerapan dan perkembangan birokrasi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh
perkembangan paradigma administrasi publik yaitu : Birokrasi Weberian dan Birokrasi
Zaman Kolonial yang masih melekat hingga saat ini. Sehingga birokrasi yan terjadi adalah
kesulitan untuk menyesuaikan dalam perkembangan zaman yang sifatnya menjadi kaku,
bertele-tele, hierarki yang terlalu tinggi, penuh dengan aturan dan juga pengaruh yang
disebabkan oleh Birokrasi Kolonial adalah para birokrat sifatnya ingin dilayani oleh publik
bukan melayani publik. Rendahnya kepercayaan publik terhadap birokrasi membuat birokrasi
semakin kehilangan legitimasi sosial (Dwiyanto, 2007). Citra birokrasi pemerintah cenderung
terus memburuk dan sering dinilai sebagai sumber dari berbagai masalah publik yang
dihadapi masyarakat. Karena selama ini birokrasi pemerintah cenderung menempatkan
dirinya sebagai instrument kekuasaan maka tidak mengherankan apabila dari waktu ke waktu
birokrasi mengalami krisis kepercayaan publik.
Max weber seorang sosilog Jerman awal abad ke-19 yang mengemukakan model
ideal tipe. Weber mengembangkan konsep birokrasi sebagai bentuk respons terhadap
lingkungannya pada saat itu, yang menurut pandangannya yang akan diatasi dengan baik
kalau pemerintah mengembangkan organisasi yang ia sebut sebagai legal-rational (Dwiyanto,
2011:22). Yaitu sebuah model yang kemudian disebut sebagai birokrasi. Weber melihat
adanya kebutuhan untuk melakukan pembagaian kerja sebagai akibat semakin meluasnya dan
kompleksnya tugas-tugas administratif secara kuantitatif (Mas’oed 1990:148). Ada kelebihan
yang ditawarkan oleh model birokrasi weberian yaitu memiliki potensi untuk meningkatkan
efisiensi birokrasi pemerintahan, tetapi ada sisi lain juga yang dapat menyebabkan lemahnya
dari kinerja birokrasi itu sendiri.
Birokrasi weberian pada akhirnya banyak sekali menimbulkan pro dan kontra, hingga
kritik terhadap birokrasi weberian. Banyak tokoh yang mengkritisi birokrasi ideal tipe yang
ditawarkan oleh weberian. Diantaranya Yacoby berpendapat : bertolak belakang dengan nilai-
nilai demokrasi, Connel berpendapat : dibawah dominasi tenokrat yang bersifat arogan,
Groizer berpendapat: tidak dapat menyesuaikan dengan lingkungan/kondisi yang ada, Merton
berpendapat : stuktur rasional sulit berfungsi, Fine berpendapat : cocok diterapkan pada
model organisasi birokrasi yang kecil dan rutin, Carter berpendapat : kurang inovatif (malas),
tidak efektif, bisa terjadi pembengkakan (materi kuliah prinsip administrasi publik pertemuan
ke enam). Adapun kritik lain yang timbul Werren Bennis berpendapat : birokrasi weberian
tidak melihat perkembangan zaman sehingga tidak mampu menjawab tantangan yang kian
majau seiring dengan modernisasi. Miftah Thoha berpendapat : birokrasi weberian hanya
menggunakan pendekatan impersonalitas agar terwujudnya rasionalitas, yang seharusnya
faktor personal juga terkadang diperlukan guna tercapainya rasionalitas.
Dalam kontek birokrasi di Indonesia, pada dasarnya birokrasi yang diterapkan di
Indonesia merupakan adopsi birokrasi weberian atau dalam paradigma administrasi publik
disebut Old Publik Administration (OPA). Dampak yang dirasakan seiring dengan
perkembangan zaman adalah pertama, birokrasi yan terjadi di Indonesia menjadi kaku
dengan hierarki yang terlalu tegas didalam tubuh birokrasi yang mengakibatkan birokrasi
menjadi lemah dalam merespons kebutuhan publik. kedua, birokrasi menjadi bertele-tele
dengan prosedur yang berlebihan, dimana prosedur bukan lagi menjadi fasilitas yang
membantu penyelenggaraan tetapi sudah menjadi seperti ketentuan main yang harus di ikuti
oleh pejabat birokrasi dan warga.
Untuk menjawab keterpurukan birokrasi yang terjadi di Indonesia, maka kita dapat
melihat kajian dengan menggunakan refrensi akademik yang bersumber dari tiga Paradigma
besar Adminisitrasi Publik yaitu : Old Publik Administration (OPA), New Publik
Management (NPM), New Publik Service (NPS) (Kutipan pidato Pengukuhan Guru Besar
UGM, Prof. Dr. Yeremias T. Keban, S.U., MURP tahun 2007). Ketiga paradigma besar ini
memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing pada saat terdahulu hingga
perkembangan zaman pada saat ini. Dalam penerpan OPA terdapat kekakuan, hierarki yang
terlalu bertele-tele dan prosedur yang berlebihan, OPA mengajari bahwa untuk membangun
birokrasi diperlukan profesionalitas, penggunaan prinsip keilmuan, hubungan yang
impersonal, penerpan peraturan dan standarisasi yang tegas, sikap netral dan prilaku yang
mendorong efektifitas dan efisinesi. Contohnya dibidang politik dan hukum, pemerintah
harus bertindak tidak pandang bulu, aturan dan prosedur tidak boleh dilanggar dan harus
berindak tegas karenanya paradigma OPA lebih sesuai dalam bidang ini (Keban 2007).
Dalam penerapan NPM, konsep ini menerapkan apa yang dilakukan oleh sector bisnis
dan privat. Slogan yang terkanal dalam perspektif konsep NPM ini ialah mengatur dan
mengendalikan pemerintahan tidak jauh bedanya mengatur dan mengendalikann bisnis-run
government like business (Thoha, 2008). Dalam perkembangannya, NPM menuai banyak
kritikan karena para elit birokrasi cenderung berkompetisi untuk memperjuangkan
kepentingan dirinya sendiri daripada kepentingan umum, dan berkolaborasi untuk
mencapainya (Keban, 2007). Apalagi dasar NPM adalah teori Public Choice yang sangat
didominasi oleh kepentingan pribadi (Self-interest), sehingga konsep seperti public spirit,
public service terabaiakan (Kamensky, 1996:251 dalam Keban). Namun ada pelajaran
penting yang dapat di ambil dari NPM, bahwa pembangunan birokrasi harus memperhatikan
mekanisme pasar, mendorong kompetisi dan kontrak untuk mencapai hasil, lebih responsif,
dan memberdayakan pelaksana agar lebih kreatif sesuai dengan visi sector swasta. Dalam
bidang ekonomi pemerintah harus berjiwa entrepreneurial, inovatif, dan kreatif agar dapat
meningkatkan perumbuhan ekonomi sekaligus kesejahteraan masyarakat.
Dalam penerapan NPS, dalam paradigma ini pemerintah bukan lagi menjadi aktor
utama melainkan mampu melibatkan peran serta dari civil society dan privat. Ada tujuh
prinsip (Denhardt & Denhard, 2000) yang berbeda dari OPA dan NPM. Pertama, peran
utama dari pelayanan publik dalah membantu warga masyarakat mengartikulasikan dan
memenuhi kepentingan yang telah disepakati bersama, dari pada mengontrol atau
mengendalikan masyarakat ke arah yang baru. Kedua, administrator publik harus
menciptakan gagasan kolektif yang disetujui bersama tentang apa yang disebut dengan
kepentingan publik. Ketiga, kebijakan dan program yang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan publik dapat dicapai secara efektif dan responsive melalu cara-cara kolektif dan
proses kolaboratif. Keempat, kepentingan publik lebih merupakan hasil dialog tentang yang
disetujui bersama daripada agregasi kepentingan pribadi. Kelima, para pelayan publik harus
memberikan perhatian, tidak semata kepada pasar, tetapi juga pada aspek hukum dan
peraturan perundang-undangan, nilai-nilai masyarakat, norma-norma politik, standar
professional dan kepentingan warga. Keenam, organisasi publik dan jaringan-jaringan yang
terlibat akan lebih sukses dalam jangka panjang kalau mereka beroperasi melalui proses
kolaborasi dan mealalui kepemimpinan yang menghargai semua orang. Ketujuh,
kepentingan publik lebih daik dikembangkan oleh pelayan-pelayan publik dan warga, dari
pada oleh manajer wirausaha yang mengedepankan keuntungan semata.
Kesimpulannya adalah, Indonesia harus mampu bangkit dan merubah struktur
birokrasi yang ada selama ini, dan mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan dan
tuntutan zaman yang semakin tinggi. Sehingga kepercayaan publik selama ini yang kian
turun dapat dikembalikan dengan menunjukan kinerja birokrasi yang baik di kedepannya
guna menjawab tantangan global yang kian kompleks.
2. Kinerja Birokrasi di Indonesia Yang Dipengaruhi Oleh Patalogi Birokrasi
Beberapa indikator yang mencerminkan buruknya potret kinerja aparat pelayanan
publik di Indonesia5 antara lain ditunjukan oleh pelayanan yang bertele-tele, biaya yang
tinggi, prilaku aparat yang lebih bersikap sebagai pejabat ketimbang sebagai abdi masyarakat,
pelayanan yang dikriminatif dengan mendahulukan kepentingan pribadi dan golongan.
5 Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN oleh Arief Daryanto
Kinerja birokrasi merupakan suatu bentuk tolak ukur untuk melihat seberapa jauh tingkat
pencapaian yan telah dilakukan oleh birokrasi dalam memberikan pelayanan publik. Kinerja
itu merupakan suatu konsep yang disusun dari berbagai indikator yang sangat bervariasi
sesuai dengan fokus dan konteks penggunaannya Dwiyanto (2008:56).
Pengukuran kinerja adalah merupakan tolak ukur keberhasilan suatu organisasi
pemerintah dalam mencapai tujuannya. Ada beberapa indikator yang dapat digunakan untuk
mengukur kinerja birokrasi publik Dwiyanto (2008:50-51), yaitu sebagai berikut, Petama
Produktivitas, yaitu mengukur kinerja dengan tingkat efisien dan efektifitas pelayanan
publik, produktivitas biasanya dipahami sebagai ratio antara input dan output. Konsep
produktivitas dirasa terlalu sempit dan kemudian General Accounting Office (GAO) mencoba
mengembangkan datu ukuran produktivitas yang lebih luas dengan memasukan seberapa
besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan. Sedangkan produktivitas menurut
Dewan Produktivitas Nasional, adalah suatu sikap mental yang selalu berusaha mempunyai
pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini (harus) lebih baik dari hari kemarin dan esok lebih
baik dari hari ini.
Kedua Kualitas Layanan, yaitu cenderung menjadi penting dalam menjelaskan
kinerja organisasi publik. kualitas layanan dianggap penting karena merupakan salah satu
alasan masyarakat tidak puas terhadap organisasi publik. dengan demikian kepuasan
masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan indikator kinerja organisasi publik. keuntungan
utama menggunakan kepuasan masyarakat sebagai indikator kinerja adalah informasi
mengenai kepuasan masyarakat sering kali tersedia dengan mudah dan murah. Dan akhirnya
kepuasan masyarakat menjadi parameter untuk menilai kinerja organisasi publik.
Ketiga Responsivitas, yaitu kemampuan birokrasi untuk mengetahui dan menangkap
kebutuhan yang dirasakan oleh publik. Dengan menyusun agenda dan prioritas pelayanan dan
menyusun program-program yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Resposivitas secara
langsung menggambarkan kemampuan birokrasi publik dalam menjalankan misi dan
tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Responsivitas yang rendah
ditunjukan dengan ketidakselarasan antara pelayanan dengan kebutuhan masyarakat. Hal
tersebut dapat menunjukan kegagalan organisasi dalam mewujudkan misi dan tujuan
birokrasi publik.
Keempat Responsibilitas, yaitu menjelaskan apakah pelaksanaan kinerja birokrasi
publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar terhadap
kebijakan birokrasi baik secara eksplisit maupun implisit (Levine dalam Dwiyanto 2008).
Oleh karena itu responbilitas bisa saja pada suatu ketika berbenturan dengan responsivitas.
LINGKUNGAN
BUDAYA & NILAI
STRUKTUR BIROKRASI WEBRIAN
PATALOGI BIROKRASi KINERJA BIROKRASI
Kelima Akuntabilitas, akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayan publik adalah
suatu ukuran yang menunjukan seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan
dengan ukuran nilai-nilai atau norma eksternal yang ada di masyarakat atau yang dimiliki
oleh stakeholder. Dalam konteks ini konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk
melihat seberapa besar kebijakan dan kinerja birokrasi publik konsisten dengan kehendak
masyarakat banyak.
Saat ini kinerja birokrasi bila ditinjau dari segi pelayanan publik, masih menerapkan
pelayanan klasik6. Dimana petugas dan pejabat pemerintah masih melaksanakan pelayananan
secara arogan yaitu pelayanan yang masih selalu berorientasi kepada kepentingan pejabat,
penguasa dan dari sudut kepentingan pemerintah. Bukan berdasarkan atas kepentingan dan
kebutuhan dasar masyarakat yang dilayani. Sehingga kinerja birokrasi masih sebagai symbol
kekuasaan dari penguasa bukan sebagai symbol pelayanaan masyarakat. Hal ini juga tidak
terlepas pengaruh dari birokrasi kolonialsme pada zaman dahulu.
Dalam Buku Agus Dwiyanto “Mengembaliakan Kepercayaan Publik Melalui
Reformasi Birokrasi” setiap aspek dalam sturktur birokrasi, selain memiliki manfaat dan
kontribusi dan efisiensi dan kinerja birokrasi, juga berpotensi untuk menimbulkan penyakit
birokrasi. Terjadinya penyakit birokrasi dalam kinerja birokrasi, jika intensitas dari variabel
itu sudah menjadi berlebihan7 sehingga menimbulkan tugas dan fungsi yang berbeda.
Gambar : Model Kinerja Birokrasi di Indonesia
Sumber : Agus Dwiyanto, 2011:62
Berdasarkan gambar model kinerja birokrasi di Indonesia, output dari kinerja
birokrasi dipengaruhi oleh faktor lingkungan, budaya dan nilai, struktur birokrasi weberian,
dimana ketiga unsur ini pada penerapannya di Indonesia menyebebkan patalogi birokrasi.
6 Lihat Miftah Thoha “Birokrasi Pemerintah dan Kekuasaan di Indonesia” (2012:82)7 Dalam buku” Mengembalikan Kepercayaan Publik melalu Reformasi Birokrasi” Agus Dwiyanto (2011 : 60)
2.1 Implikasi Patalogi Birokrasi yang terjadi di Indonesia
Seperti sudah disinggung pada paragraph sebelumnya telah dijelaskan mengenai
kinerja birokrasi yang terjadi di Indonesia menimbulkan ketidak efisienan dan efektifitas
yang dihasilkan dari kinerja birokrasi itu sendiri, yang dipengearuhi oleh patalogi birokrasi.
Dengan demikian patalogi birokrasi adalah hasil interaksi antara struktur birokrasi yang
salah dan variabel-variabel lingkungan yang salah (Dwiyanto 2011:63).
Implikasi pertama yang menyebabkan patalogi birokrasi di Indonesia adalah
Birokrasi Paternalistis, masyarakat di Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk
dengan masih mempertahankan norma-norma sosial dan nilai budaya yang dimiliki sejak
dulu dan mengajari toleransi yang sangat tinggi terutama kepada yang dianggap lebih tinggi
kedudukan atau kekuasaanya. Prilaku birokrai paternialistis adalah hasil dari proses interaksi
yang intensif antara struktur birokrasi yang hierarkis dan budaya paternailistis yang
berkembang dalam masyarakat. Struktur birokrasi yang hierarkis cenderung membuat pejabat
bawahan menjadi sangat tergantung kepada atasannya dan terkadang perlakuan bawahan
kepada atasan terlihat berlebihan dengan menunjukan loyalitas dan pengabdian yang sangat
tinggi kepada pimpinan dan mengabaikan perhatiannya kepada para pengguna layanan.
Implikasi kedua yang menyebabkan patalogi birokrasi di Indonesia adalah
Pembengkakan Anggaran, penyakit birokrasi yang timbul secara luas di Indonesia adalah
kecenderungan birokrasi untuk membengkakan anggaran. Dalam perencanaan anggaran
pejabat birokrasi mengusulkan anggaran jauh melebihi dari kebutuhan nyata yang diperlukan
untuk melaksanakan kegiatannya. Hal ini cendrung klasik dari tahun ketahun dan
berkembang pada tingkatan pemerintah pusat dan daerah, yang merencanakan anggaran tidak
berdasarkan dari kinerja melainkan berdasarkan pengalaman tahun sebelumnya dengan
melakukan prediksi kebutuhan anggaran tahun depan. Ada beberpa latar belakang terjadinya
pembengkakan (mark up) anggaran yaitu prilaku birokrat yang korup untuk mendapatkan
keuntungan pribadi atau kelompok sampai dengan cara birokrasi untuk dapat bertahan agar
dapat menjalankan kegiatannya atau menghidupi pegawainya (Dwiyanto 2011:77).
Hal klasik ini yang sampai saat ini banyak menimbulkan penyakit birokrasi yang sulit
teratasi dan menimbulkan praktek korupsi. Sebenarnya pemerintah dapat meminimalisir
praktek pembengkakan anggaran dengan mengalokasikan anggaran berbasis pada kinerja
tahun sebelumnya dengan catatan tahun sebelumnya juga merupakan analisis anggaran
berbasis kinerja. Dan pemerintah harus mau untuk menjadi institusi yang terbuka /
transparansi anggaran kepada publik, dan peran dari civil society juga menjadi aktor dalam
menjalankan fungsi control secara efektif sehingga tercipta pengalokasian yang tepat pada
sasaran yang membutuhkan dan dapat dirasakan warga.
Implikasi ketiga yang menyebabkan patalogi birokrasi di Indonesia adalah Prosedur
yang Berlebihan, prosedur berlebihan juga merupakan penyakit birokrasi yang sulit teratasi
di berbagai instansi pemerintahan di Indonesia. Saat ini yang terjadi dalam birokrasi publik,
prosedur bukan lagi sebagai fasilitas yang dibuat untuk membantu penyelenggaraan layanan,
tetapi sudah menjadi seperti berhala yang harus ditaati oleh para pejabat birokrasi dalam
kondisi apapun, bahkan prosedur sudah menjadi tujuan dari birokrasi itu sendiri dan
menggusur tujuan yang semestinya, yaitu melayani publik secara professional dan
bermartabat (Dwiyanto 2011:85). Sebenarnya prosedur yang tertulis dan terinuk
memudahkan dan menciptakan kepastian pelayanan, namun jika prosedur kemudian
berkembang semakin banyak sehingga menjadi birokrasi mengalai over regulation dan
menyebabkan ketentuan yang menghambat dalam pelayanan.
Implikasi keempat yang menyebabkan patalogi birokrasi di Indonesia adalah
Pembengakak Birokrasi, semula birokrasi membentuk organisasi pemerintahan dengan
alasan untuk memudahkan pengorganisasian yang disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi
di suatu daerah, tetapi yang terjadi saat ini adalah pembengkakan birokrasi. Dimana banyak
organisasi pemerintah menjadi over kapasitas, sehingga menyebabkan ketidak efisien dan
efektif dan juga menimbulkan pemborosan anggaran untuk membiayai organisasi tersebut.
Keadaan ini juga disebabkan oleh kepentingan dari luar yang cukup kuat seperti kepentingan
partai politik atau kelompok. Karena biasanya partai politik atau kelompok yang
memenangkan seorang Kepala Daerah bahkan pada level Presiden, melakukan tuntutannya
dan biasanya tuntutanya ini merupakan kesepakatan untuk menempatkan kepentingan
individunya dalam struktur organisasi pemerintahan yang di pimpinnya.
3. Membenahi Pelayanan Publik di Indonesia
Berdasarkan Undang-undang No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, pelayanan
publik adalah segala kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan bagi setiap warga Negara dan penduduk atas barang, jasa
dan /atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik . Dan
yang disebut penyelenggara pelayanan publik adalah Instansi pemerintah yang meliputi
satuan kerja/satuan organisasi Kementrian, Departemen, Lembaga Pemerintah
nonDepartemen, Kesekertariatan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara, dan Instansi
Pemerintah lainnya baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah termasuk juga Badan
Usaha Milik Negara, Badan Hukum Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.
Ada beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi titik strartegik untuk
memulai pengembangan good governance di Indonesia (Dwiyanto 2006). Pertama pelayanan
publik selama ini menjadi ranah dimana Negara yang diwakili oleh pemerintah berinteraksi
dengan lembaga-lembaga non pemerintah. Diranah ini terjadi pengumpulan yang sangat
intensif antara pemerintah dengan warganya. Buruknya penyelenggaraan birokrasi dalam
penyelengaraan pelayanan publik sangat dirasakan oleh masyarakat luas. Keberhasilan dalam
mewujudkan praktik good governance dalam ranah pelayanan publik mampu membangkitkan
dukungan dan kepercayaan publik yang selama ini telah luntur. Kepercayaan diri sangat
penting dalam kondisi kejiwaan bangsa seperti saat ini, mengingat kegagalan reformasi
birokrasi telah menggerogoti semangat warga.
Kedua pelayanan pubik adalah ranah dimana berbagai aspek good governance dapat
diartikulasikan secara relatif lebih mudah. Aspek kelembagaan lain yang ikut berpartisipasi
dalam merespon masalah-masalah publik. Dalam pelayanan publik, keterlibatan unsur-unsur
masyarakat sipil dan mekanisme pasar sudah banyak terjadi, sehingga praktik good
governance dalam pelayan publik bukan merupakan ranah baru lagi. Dengan menjadikan
pelayan publik sebagai pintu masuk untuk mengenalkan good governance, maka tolak ukur
dan idikator yang jelas dari pelayanan publik yang efisien, non-diskriminatif, responsive, dan
memiliki akuntabilitas tinggi.
Ketiga pelayanan publik mampu melibatkan kepentingan semua unsur governance.
Pemerintah sebagai representasi Negara, masyarakat sipil dan mekanisme pasar memiliki
kepentingan dan keterlibatan yang tinggi. Sehingga nasib/citra sebuah pemerintahan, baik di
pusat maupun di daerah, akan dipengaruhi oleh sebuah keberhasilan mereka dalam
mewujudkan pelayan publik yang baik. Apalagi dalam era dimana warga dapat menggunakan
hak politiknya untuk menentukan sebuah rezim dengan memilih presiden dan kepala daerah.
Dalam sistem pemilu seperti ini, warga pengguna dapat berperan seperti konsumen didalam
mekanisme pasar. Sehingga yang terjadi semestinya adalah warga yang merasa tidak puas
terhadap pelayanan publik yang diberikan oleh sebuah birokrasi, dapat melakukan berbagai
cara untuk menghukum birokrasi itu dengan berbagai cara yaitu : tidak menggunakan
pelayanan, mengajukan protes pada pengusaha, mengajuka mosi tidak percaya melalui wakil-
wakilnya di lembaga perwakilan, sampai dengan menentukan nasib penguasa ketika pemilu
diselenggarakan.
Untuk mengembangkan pelayanan publik tentu banyak aspek yang perlu dibenahi di
dalam tubuh birokrasi agar mampu mengembalikan kepercayaan publik. Yang terjadi selama
ini dalam birokrasi publik merupakan hasil dari sebuah proses interaksi yang kompleks dari
akumulasi masalah yang telah lama melekat dalam birokrasi publik. mindset yang salah
selama ini telah mengilhami prilaku birokrasi publik. prilaku yang buruk yang ditimbulkan
dalam birokrasi akan menghasilkan para pejabat untuk melakukan tindakan yang tidak sesuai
dengan aspirasi dan keinginan warga, bahkan yang terjadi di Indonesia tidak jarang kebijakan
yang semestinya yang mewakili kepentingan publik disalah artikan dalam implementasinya
menjadi kepentingan golongan atau pribadi.
Kegagalan masa lalu dalam meletakkan fondasi baru bagi birokrasi di Indonesia
ketika memperoleh kemerdekaan membuat banyak nilai, tradisi, dan norma birokrasi kolonial
sampai dengan masih melekat dan hidup dengan subur dalam birokrasi publik. Banyak
norma, prosedur, dan tradisi birokrasi kolonial yang dikembangkan untuk memfasilitasi
pemerintahan kolonial dalam mempertahankan kekuasaannya. Norma, nilai dan tradisi seperti
itu tanpa kita sadari masih melekat dalam birokrasi pemerintahan Indonesia sampai saat ini.
Kesemuanya tentu harus ditinggalkan karena sudah tidak sesuai dengan misi baru birokrasi
untuk melayani warga dan meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi warga.
3.1 Penerapan Citizen’s Charter Sebagai Salah Satu Solusi Peningkatan Kualitas
Pelayanan Publik
Citizen charter pertama kali diperkenalakan di Inggris, pada awalnya ini adalah
merupakan suatu dokumen yang didalamnya disebutkan hak-hak dan kewajiban yang melekat
pada providers maupun dalam diri customers. Semula istilah ini sempat dinilai salah kaprah,
karena piagam atau kontrak ini (charter) ditujukan hanya kepada pengguna jasa atau klien
saja (customers atau client) dan bukan ditujukan kepada seluruh warganya (citizen).
Denhardt&Denhardt (2003) dalam bukunya Governance, Administration and Development
Making the State Work, kembali megaskan bahwa pelayanan publik seharusnya tidak harus
berfokus kepada kepentingan pelanggan atau pengguna jasa (customers atau client) tetapi
harus beroirientasi pada kepentingan masyarakat atau warganegara (citizen).
Contoh penerapan citizen’s charter di Negara Malaysia (sebagaimana dikutip oleh
Turner&Hulme, 1997:126) menulis bahwa program ini telah dikembangka di Malaysian
Administrative Modernization and Manangemennt Planning Unit (MAMPU). Sehingga
setipa instansi pemerintah Malaysia wajib membuat citizen’s charter. Dengan demikian
charter ini adalah merupakan jaminan yang diberikan oleh instansi pemerintah kepada
pengguna jasanya bahwa pelayanan yang dikelolanya memiliki standar yang sesuai dengan
harapan pengguna jasa. Dan apabila standar ini tidak dapat dipenuhi, maka warga selaku
pengguna jasa pelayanan dapat mempergunakan citizen’s charter yang telah dirumuskan
sebagai alat untuk memprotes atau menuntut instansi pemerintah yang gagal memenuhi
standar pelayanan sebagaimana yang tertuang dalam citizen’s charter.
Banyak manfaat yang akan dirasakan baik oleh birokrasi, pengguna layanan, maupun
stakeholder pelayanan lainnya apabila citizen’s charter diterapkan (Kutipan dalam Jurnal
Kebijakan Dan Administrasi Publik volume 8, Nomor 2, November 2004 – “Citizen’s charter
dan Reformasi birokrasi oleh Bambang Wicaksono Triantoro). Pertama, dapat memberikan
kepastian pelayanan yang meliputi waktu, biaya, prosedur, dan cara pelayanan. Kedua, untuk
memberiakan informasi mengenai hak dan kewajiban pengguna layanan, penyedia layanan,
dan stakeholder lainnya dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik. Ketiga, untuk
mempermudah warga pengguna layanan dan stakeholder lainnya untuk mengontrol praktik
penyelenggaraan pelayanan publik. Keempat, untuk membantu mengenalakan kepada pihak
birokrasi pemerintah sebagai penyedia layanan dalam mengidentifikasi kebutuhan, harapan,
dan aspirasi pengguna layanan melalui kegiatan survei penggunaan layanan.
Pada saat ini citizen charter diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi kontrak
layanan atau piagam pelayanan. Di Indonesia penerapan citizen’s charter sudah berjalan di
berbagai instansi di tingkat kabupaten, provinsi sampai tingkat pemerintah pusat. Berikut ini
contoh isi citizen’s charter yang dapat diterapkan di berbagai instansi pemerintah di Indonesia
Tabel
Contoh Muatan Materi Citizen’s Charter1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Memiliki Visi dan Misi
Mencantumkan operasional jam pelayanan
Mencantumkan waktu pengurusan penyelesaian urusan perizinan
Mencantumkan sanksi yang jelas apabila terjadi kesalahan
Mencantumkan biaya administrasi yang baku
Adanya etika pelayanan (penyampaian informasi terkait dengan perizinan tersebut dan
standar sapaan petugas pelayanan)
Adanya alur pelayanan yang jelas
Adanya kontak pengaduan (kritik dan saran)
Kontrak pelayanan mencantumkan batas berlakunya
Sumber : Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada dan Ford
Foundation, 2004 (dalam buku manajemen pelayanan, Ratminto & Atik Septi Winarsih)
Dalam konteks Indonesia pendekatan citizen’s charter merupakan bentuk
transformasi pelayanan dengan meberikan suatu model kejelasan dan kepastian dalam
meberikan pelayanan kepada warga, dengan kontrak layanan dan piagam layanan yang baku
dan jelas. Dan dilatar belakangi oleh masih lemahnya posisi masyarakat dalam melakukan
kontrol atas proses penyelenggaraan pelayan publik yang dilakukan oleh birokrasi pemerintah
(Dwiyanto. Dkk, 2001). Contoh kasus klasik yang terjadi di Indonesia adalah dalam
pengurusan KTP, Akta Tanah, Akta Kelahiran, IMB, dan lain-lain. Dalam kasus ini sering
kita jumpai prosedur yang tidak jelas dan baku sehingga dalam pelaksanaannya banyak
menimbulkan ketidak puasan pelayanan yang dilakuakan oleh birokrasi terhadap warga.
Warga pengguna layanan juga merasakan betapa rendahnya kepastian pelayanan yang
diberikan oleh birokrasi sebagai penyedia layanan. Kepastian pelayanan yang menyangkut
biaya, waktu penyelesaian, ataukah standar perlakuan pelayanan kepada pengguna, dapat
dikatakan belum menjadi bagian dari upaya peningkatan kualitas pelayanan. Sehingga aspek
ini yang terkadang dapat mengakibatkan penurunan kepercayaan publik (warga) atas
pelaksanaan birokrasi pemerintahan yang tidak efektif dan efisien.
4. Konsep Membangun Kembali Kepercayaan Publik Terhadap Pemerintah
Pada paragraph sebelumnya telah dijelaskan salah satu cara memperbaiki pelayanan
publik dengan konsep citizen’s charter yaitu dengan maskud memperjelas prosedur pelayanan
dan waktu penyelesaian pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Hal ini juga
merupakan salah satu cara untuk mengembalikan kepercayaan publik tentang image publik
yang menganggap birokrasi sebagai lembaga dengan prosedur pelayanan yang terlalu bebelit-
belit dan memakan waktu yang lama.
Makna kepercayaan publik itu sendiri tidak hanya memuat isi tentang bagaimana
kualitas administrasi publik, tetapi memiliki peran yang penting dalam proses
penyelenggaraan administrasi publik itu sendiri. Di Indonesia kajian tentang kepercayaan
publik belum banyak dilakukan dan memperoleh perhatian yang wajar dari para peneliti dan
praktisi administrasi publik, dimana penelitian administrasi publik itu sendiri memusatkan
perhatiannya kepada isu-isu yang terkait dengan efisiensi, produktifitas, efektifitas,
transparansi, serta isu-isu lainnya yang terkait dengan kualitas tata pemerintahan8.
Setidaknya terdapat tiga dimensi penting dalam mengembalikan kepercayaan publik9
yaitu kompetensi, integritas, dan ketulusan. Dimensi Kompetensi adalah hal yan berkaitan
dengan peningkatan kualitas profesionalisme dari aparatur (Pegawai Negeri Sipil) yang
merupakan aktor dalam pelaksanaan pemerintahan. Dimana aparatur harus memiliki kualitas
dan kompetensi dalam bidangnya sehingga mampu membangun sosok birokrasi yang
profesional sehingga mampu memberikan pelayanan yang unggul dan baik.
Pengembangan profesi aparatur birokrasi selama ini menjadi masalah yang
terabaikan. Semestinya profesionalisme birokrasi mampu berdiri sendiri dan independen
tanpa ada campur tangan dari kepentingan politik yang mampu mempengaruhi ke
8 Dwiyanto (2011:353-355)9 Dwiyanto (2011: 369-431), menyimpulkan pendapat dari Kim (2005) yaitu untuk mengukur kepercayaan publik dapat diukur melalui lima variabel, yaitu Komitmen yang kredilbel, ketulusan, kejujuran, kompetensi dan keadilan. Dari keli variabel tersebut, Dwiyanto menekankan pada Kompetensi, Integritas, dan Ketulusan
profeionalisme birokrasi. Oleh karena itu Pengembangan profesi aparatur birokrasi harus
menjadi bagian penting dalam sebuah agenda reformasi birokrasi. Dalam kontek ini dapat
dismpulkan bahwan untuk mengembalikan kepercayaan publik, harus dimulai dari dalam
tubuh birokrasi itu sendiri dimana yang menjadi perhatian adalah peningkatan kompetensi
aparutur sehingga menjadi lembaga professional dan mampu menjadi lembaga yang
independen yang terlepas dari intervensi kepentingan politik.
Dimensi Integritas, dimensi ini merupakan kesatuan dan rangkaian dalam agenda
reformasi birokrasi dalam mengembalikan kepercayaan publik yaitu memisahkan antara
kpentingan politik dan kepentingan publik dalam tubuh birokrasi. Saat ini yang terjadi adalah,
ketika kita memiliki sistem multipartai dan birokrasi di pusat dan daerah yang di kuasai oleh
partai politik yang berbeda, maka birokrasi merupakan lembaga yang menjadi alat pemenuh
kepentingan politik semata. Oleh karena itu dimensi integritas lahir sebagai bentuk
pemisahan dan intervensi kepentingan politik dalam tubuh birokrasi. Jika reformasi birokrasi
berhasil melembagakan nilai-nilai profesi, orientasi kepada kepentingan publik, dan
nasionalisme dalam kehidupan birokrasi publik maka reformasi birokrasi akan mampu
mengembalikan kepercayaan publik
Dimensi Ketulusan, merupakan modal yang terkhir setelah mereformasi stuktur
birokrasi yang ada. Dimensi ini landasan dasar yang harus dipegang oleh pejabat birokrasi
dan pejabat politik dalam menjalankan pemerintahan. Ketulusan dan kesungguhan
pemerintah akan menjadikan sebagai sebuah solusi untuk menyelesaikan berbagai
permasalahan mendasar yang dihadapi birokrasi pemerintah.
Apabila pemerintah telah merancang serangkaian program paling tidak ketiga dimensi
ini merupakan sebagai landasan, niscaya akan mampu mengembalikan kepercayaan publik.
Adapun manfaat10 yang timbul akibat kembalinya kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Pertama, kepercayaan publik dapat mengurangi biaya transaksi dalam penyelenggaraan
pemerintahan, sebagai contoh yang mudah dipahami adalah dalam merumuskan sebuah
kebijakan. Dimana apabila masyarakat memiliki tingkat kepercayaan tinggi terhadap
pemerintah, proses pembuatan kebijkan publik relatif menjadi lebih sederhana, cepat dan
tidak ada unsur penolakan dari masyrakat dan pemerintah tidak perlu melakukan negosiasi
yan panjang untuk meyakinkan masyarakat tentang tujuan kebijkan publik yan telah dibuat.
Kedua, mafaat yang ditimbulkan adalah adanya kepercayaan terhadap pemerintah
dapat mendorong warga untuk lebih menghormati otoritas yang dimiliki para pejabat publik.
Sehingga dalam proses kebijakan dan kegiatan pemerintahan tidak lagi memerlukan
10 Menurut Boukert dan Van De Walle dalam Dwiyanto (2011), Manfaat yang ditimbulkan dari kepercayaan publik terhadap pemerintah.
penjelasan yang terus menerus yang memakan waktu cukup lama dan menghambat
implementasi dari kebijakan itu sendiri. Yang artinya tugas yang diemban oleh pejabat publik
menjadi lebih ringan dan mampu mengendalikan masyarakat dengan mudah.
Ketiga, kepercayaan publik dapat meningkatkan kehangatan hubungan antara
pemerintah dengan masyarakat. Hubungan yang hangat dan saling menghormati sangat
bermanfaat dalam pengembangan sistem pelayanan publik yang efisien dan efektif. Sehingga
kualitas hubungan yang seperti ini memungkinkan pemerintah untuk memangkas proses
pelayanan publik yang selama ini cenderung panjang, hierarkis dan rigid. Proses dan prosedur
pelayanan yang hierarki dapat diubah menjadi proses yang interaktif dan sederhana.
Keempat, mafaat berikutnya adalah terciptanya kerjasama yang baik antara
pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan
pelayanan dan pemerintahan. Kerja sama antara pemerintah dan dan institusi non pemerintah
hanya akan dapat dilaksanakan dan memperoleh hasil seperti yang diinginkan manakala
diantara mereka terdapat salaing percaya.
KESIMPULAN
1. Kinerja Birokrasi yang terjadi di Indonesia masih dipengaruhi oleh Birokrasi Weberian
dan Birokrasi zaman kolonial. Dimana kedua aspek itu membentuk birokrasi menjadi
berbeli-belit, hierarki yang kaku, prosedur yang terlalu banyak, dan penuh dengan aturan.
Dan faktor lain yang mempengaruhi birokrasi adalah budaya paternalistis yang masih
kental dalam penyelenggaran pemerintahan. Sehingga aspek ini yang menyebabkan
terjadinya patalogi birokrasi dan ouput dari kinerja birokrasi itu sendiri menjadi lemah
dan rendah.
2. Rendahnya atau menurunnya kepercayaan publik yang terjadi saat ini disebabkan oleh
kinerja birokrasi itu sendiri. Artinya penyelenggaraan birokrasi masih dinilai oleh
masyarakat sebagai lembaga yang menyebabkan terjadinya ketidak efektif dan efisien
dalam penyelenggaraan pemerintah.
3. Kesimpulan yang dapat diambil terakhir dari Kinerja Birokrasi dan penyempurnaan teori
OPA-NPM-NPS tujuannya adalah untuk “Mengembalikan Kepercayaan Publik
Terhadap Kinerja Pemerintah Dalam Memberikan Kepuasan Pelayanan Kepada
Masyarakat” dan itu merupakan indikator penilaian kinerja pemerintah yang sifatnya
objektif.
DAFTAR PUSTAKA
Dwiyanto A. (2011). “Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi”
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Dwiyanto A. (2008). “ Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia”
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Dwiyanto A. (Ed). (2006).“Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik”
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Dwiyanto A. (2004). “Reorintasi Ilmu Administrasi Publik : dari Government ke Governance”
Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM
Daryanto A. (2007). “Merit System Manajemen PNS”
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian - Jurnal 1 november 2007
Keban. Yeremias T. (2007). “Pembangunan Birokrasi Agenda Kenegaraan yang Terabaikan”
Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM
Pasolong H, 2011. Teori Administrasi Publik.
Bandung : Alfabeta
Pramusinto A. & Puerwanto Erwan A. (Ed). (2009). “ Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan
Dan Pelayanan Publik. Yogyakarta : Gava Media
Ratminto & Winarsih Atiek S. (2008). “Manajemen Pelayanan : Penegembangaan Model
Konseptual, Penerapan Citizen’s Charter dan Standar Pelayanan Minimal
Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Thoha. M. (2012). “Birokrasi Pemerintahan dan Kekuasaan di Indonesia”
Yogyakarta : Thafa Media
Utomo W. (2009). “Administrasi Publik Baru Indonesia”
Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik
Trianto W. (2004). “Citizen’s charter dan Reformasi birokrasi”
Jurnal Kebijakan Dan Administrasi Publik volume 8, Nomor 2, November 2004
KINERJA BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA
(Mengembalikan Kepercayaan Publik)
Dosen Pengampu :
Dr. Agus Pramusinto
Dr. Ambar Widaningrum
Dr. Gabriel Lale
(Prinsip Administrasi Publik)
Disusun Oleh :
SYAIFULLAH NOER
NIM : 12/338896/PSP/04363
MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIKUNIVERSITAS GADJAH MADA
2013