Kinerja Birokrasi Dan Pelayanan Publik 2

29
KINERJA BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA (Mengembalikan Kepercayaan Publik) PENDAHULUAN Pada paper ini, penulis mencoba menjelaskan konsep kinerja birokrasi pelayanan publik dengan melihat faktor- faktor yang menjadi kendala dalam birokrasi, seperti implikasi birokrasi weberian dan birokrasi zaman kolonial yang masih kental dalam tubuh birokrasi hingga saat ini, serta budaya dan nilai yang berkembang di masyarakat sehingga menyebabkan penyakit birokrasi / patalogi birokrasi. Dengan mengidentifikasi faktor yang menjadi kendala dalam kinerja birokrasi pelayanan publik, sehingga mampu menciptakan pelayanan publik dengan baik pada tingkat kepuasan masyarakat dan pada akhirnya mampu mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Kinerja birokrasi pelayanan publik menjadi isu kebijakan yang semakin strategis, karena perbaikan kinerja birokrasi memiliki implikasi yang luas dalam kehidupan ekonomi dan politik. Dalam kehidupan ekonomi, perbaikan kinerja birokrasi akan bisa memperbaiki iklim investasi yang amat diperlukan oleh bangsa ini untuk bisa keluar dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Dalam kehidupan politik, perbaikan kinerja birokrasi pelayanan publik akan memiliki implikasi luas, terutama dalam memperbaiki tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Buruknya birokrasi saat ini menjadi salah satu faktor penting yang mendorong munculnya krisis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Perbaikan kinerja birokrasi pelayanan publik diharapkan mampu memperbaiki image

Transcript of Kinerja Birokrasi Dan Pelayanan Publik 2

Page 1: Kinerja Birokrasi Dan Pelayanan Publik 2

KINERJA BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA

(Mengembalikan Kepercayaan Publik)

PENDAHULUAN

Pada paper ini, penulis mencoba menjelaskan konsep kinerja birokrasi pelayanan

publik dengan melihat faktor-faktor yang menjadi kendala dalam birokrasi, seperti implikasi

birokrasi weberian dan birokrasi zaman kolonial yang masih kental dalam tubuh birokrasi

hingga saat ini, serta budaya dan nilai yang berkembang di masyarakat sehingga

menyebabkan penyakit birokrasi / patalogi birokrasi. Dengan mengidentifikasi faktor yang

menjadi kendala dalam kinerja birokrasi pelayanan publik, sehingga mampu menciptakan

pelayanan publik dengan baik pada tingkat kepuasan masyarakat dan pada akhirnya mampu

mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Kinerja birokrasi pelayanan publik menjadi isu kebijakan yang semakin strategis,

karena perbaikan kinerja birokrasi memiliki implikasi yang luas dalam kehidupan ekonomi

dan politik. Dalam kehidupan ekonomi, perbaikan kinerja birokrasi akan bisa memperbaiki

iklim investasi yang amat diperlukan oleh bangsa ini untuk bisa keluar dari krisis ekonomi

yang berkepanjangan. Dalam kehidupan politik, perbaikan kinerja birokrasi pelayanan publik

akan memiliki implikasi luas, terutama dalam memperbaiki tingkat kepercayaan masyarakat

kepada pemerintah. Buruknya birokrasi saat ini menjadi salah satu faktor penting yang

mendorong munculnya krisis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Perbaikan kinerja

birokrasi pelayanan publik diharapkan mampu memperbaiki image pemerintah dimata

masyarakat karena dengan kualitas pelayanan publik yang semakin baik, kepuasan dan

kepercayaan masyarakat bisa dibangun kembali.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mempunyai amanat,

Negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan

kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik. Membangun kepercayaan masyarakat

atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan

yang harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan

penduduk tentang peningkatan pelayanan publik, sebagai upaya untuk mempertegas hak dan

kewajiban setiap warga negara dan penduduk serta terwujudnya tanggung jawab negara

dalam penyelenggaraan pelayanan publik

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik adalah undang-

undang yang mengatur tentang prinsip-prinsip pemerintahan yang baik yang merupakan

efektifitas fungsi-fungsi pemerintahan itu sendiri. Pelayanan publik yang dilakukan oleh

Page 2: Kinerja Birokrasi Dan Pelayanan Publik 2

pemerintahan atau koporasi yang efektif dapat memperkuat demokrasi dan hak asasi manusia,

mempromosikan kemakmuran ekonomi, kohesi sosial, mengurangi kemiskinan,

meningkatkan perlindungan lingkungan, bijak dalam pemanfaatan sumber daya alam,

memperdalam kepercayaan pada pemerintahan dan administrasi publik.

Governance and Decentralization Survey (GDS) 2002 dan Governance Assessment

Survey (GAS) 2006 membuktikan bahwa aparat birokrasi ketika melayani warganya masih

mempertimbangkan unsur-unsur subjektivitas, seperti pertemanan, kesamaan etnis, agama,

dan afiliasi politik. Akibatnya diskriminasi pelayanan khususnya terhadap kelompok

marginal menjadi lazim terjadi dalam hampir setiap penyelenggaraan Layanan Publik1.

Praktik pelayanan publik di Indonesia masih penuh dengan ketidak pastian waktu, biaya, dan

cara pelayanan. Akibatnya banyak warga yang tidak sanggup mengurus pelayanan secara

langsung dan wajar serta lebih suka menggunaka biro jasa2 dan pelayanan yang buruk ini

sering membuat biaya transaksi menjadi semakin tinggi3

Output dari kinerja birokrasi adalah pelayanan terhadap publik. Pelayanan publik erat

kaitannya dengan fungsi pemerintahan dan pemberdayaan atau pendidikan sosial kepada

masyarakat yang menyangkut urusan ideologi, politik, soial, budaya, agama, dan pertahanan

keamanan. Namun keadaan yang terjadi dalam kinerja birokrasi adalah adanya pemisahan

kepada kelompok masyarakat yang memiliki kekuasaan dan uang yang akan selalu

diutamakan dalam pemberian pelayanan sehingga masyarakat tidak memiliki kekuatan

apapun akan semakin terpinggirkan dari pelayan publik yang diberikan oleh pemerintah

(Pusat Studi Pengembangan Kawasan, 2001)

Birokrasi yang terjadi di Indonesia adalah keseimbangan birokrasi yaitu hubungan

antara impersonalitas dan personalitas guna mencapai rasionalitas4. Menyebutkan masyarakat

Indonesia merupakan masyarakat agraris yang masih kental hubungan kekerabatannya.

Dimana dalam kehidupan bermasyarakat masih lebih banyak hubungan pribadi di anatara

mereka. Keadaan ini yang terkadang mengakibatkan Patalogi Birokrasi. Istilah patalogi

birokrasi mempunyai makna untuk menjelaskan berbagai bentuk penyimpangan dalam

birokrasi, seperti patrialisme, pembengkakan anggaran, prosedur yang berlebihan,

fragmentasi brirokrasi, dan pembengkakan birokrasi. Sehingga dengan mengenali faktor-

1 Agus Dwiyanto (2011 : 45)2 Lihat Agus Dwiyanto (Mewujudkan Good Governance melalui pelayanan publik 2005) menyebutkan Dalam survey indeks kepuasaan pelanggan yang diselenggarakan baru-baru ini di kota yogyakarta, besarnya porsi warga yang menggunakan biro jasa sangat bervariasi, tergantung pada jenis pelayanannya. Pelayanan pemerintah yang diselenggarakan untuk badan usaha dan lembaga, angka penggunaan biro jasa sangat besar bahkan mencapai 100 persen.3 Salah satu komponen biaya transaksi yang penting adalah biaya prantara (intermediaries) yang jumlahnya bisa berlipat ganda dari biaya resminya, tergantung pada jenis pelayananya4 Miftah Thoha (2012 : 269)

Page 3: Kinerja Birokrasi Dan Pelayanan Publik 2

faktor yang menjadi penghambat sebuah kinerja birokrasi, maka diharapkan mampu

memperbaiki pelayanan publik di Indonesia dan mengembalikan kepercayaan publik.

1. Konsep Birokrasi Weberian dan Birokrasi Masa Kolonial yang Mempengaruhi

Birokrasi di Indonesia

Dalam penerapan dan perkembangan birokrasi di Indonesia sangat dipengaruhi oleh

perkembangan paradigma administrasi publik yaitu : Birokrasi Weberian dan Birokrasi

Zaman Kolonial yang masih melekat hingga saat ini. Sehingga birokrasi yan terjadi adalah

kesulitan untuk menyesuaikan dalam perkembangan zaman yang sifatnya menjadi kaku,

bertele-tele, hierarki yang terlalu tinggi, penuh dengan aturan dan juga pengaruh yang

disebabkan oleh Birokrasi Kolonial adalah para birokrat sifatnya ingin dilayani oleh publik

bukan melayani publik. Rendahnya kepercayaan publik terhadap birokrasi membuat birokrasi

semakin kehilangan legitimasi sosial (Dwiyanto, 2007). Citra birokrasi pemerintah cenderung

terus memburuk dan sering dinilai sebagai sumber dari berbagai masalah publik yang

dihadapi masyarakat. Karena selama ini birokrasi pemerintah cenderung menempatkan

dirinya sebagai instrument kekuasaan maka tidak mengherankan apabila dari waktu ke waktu

birokrasi mengalami krisis kepercayaan publik.

Max weber seorang sosilog Jerman awal abad ke-19 yang mengemukakan model

ideal tipe. Weber mengembangkan konsep birokrasi sebagai bentuk respons terhadap

lingkungannya pada saat itu, yang menurut pandangannya yang akan diatasi dengan baik

kalau pemerintah mengembangkan organisasi yang ia sebut sebagai legal-rational (Dwiyanto,

2011:22). Yaitu sebuah model yang kemudian disebut sebagai birokrasi. Weber melihat

adanya kebutuhan untuk melakukan pembagaian kerja sebagai akibat semakin meluasnya dan

kompleksnya tugas-tugas administratif secara kuantitatif (Mas’oed 1990:148). Ada kelebihan

yang ditawarkan oleh model birokrasi weberian yaitu memiliki potensi untuk meningkatkan

efisiensi birokrasi pemerintahan, tetapi ada sisi lain juga yang dapat menyebabkan lemahnya

dari kinerja birokrasi itu sendiri.

Birokrasi weberian pada akhirnya banyak sekali menimbulkan pro dan kontra, hingga

kritik terhadap birokrasi weberian. Banyak tokoh yang mengkritisi birokrasi ideal tipe yang

ditawarkan oleh weberian. Diantaranya Yacoby berpendapat : bertolak belakang dengan nilai-

nilai demokrasi, Connel berpendapat : dibawah dominasi tenokrat yang bersifat arogan,

Groizer berpendapat: tidak dapat menyesuaikan dengan lingkungan/kondisi yang ada, Merton

berpendapat : stuktur rasional sulit berfungsi, Fine berpendapat : cocok diterapkan pada

model organisasi birokrasi yang kecil dan rutin, Carter berpendapat : kurang inovatif (malas),

tidak efektif, bisa terjadi pembengkakan (materi kuliah prinsip administrasi publik pertemuan

ke enam). Adapun kritik lain yang timbul Werren Bennis berpendapat : birokrasi weberian

Page 4: Kinerja Birokrasi Dan Pelayanan Publik 2

tidak melihat perkembangan zaman sehingga tidak mampu menjawab tantangan yang kian

majau seiring dengan modernisasi. Miftah Thoha berpendapat : birokrasi weberian hanya

menggunakan pendekatan impersonalitas agar terwujudnya rasionalitas, yang seharusnya

faktor personal juga terkadang diperlukan guna tercapainya rasionalitas.

Dalam kontek birokrasi di Indonesia, pada dasarnya birokrasi yang diterapkan di

Indonesia merupakan adopsi birokrasi weberian atau dalam paradigma administrasi publik

disebut Old Publik Administration (OPA). Dampak yang dirasakan seiring dengan

perkembangan zaman adalah pertama, birokrasi yan terjadi di Indonesia menjadi kaku

dengan hierarki yang terlalu tegas didalam tubuh birokrasi yang mengakibatkan birokrasi

menjadi lemah dalam merespons kebutuhan publik. kedua, birokrasi menjadi bertele-tele

dengan prosedur yang berlebihan, dimana prosedur bukan lagi menjadi fasilitas yang

membantu penyelenggaraan tetapi sudah menjadi seperti ketentuan main yang harus di ikuti

oleh pejabat birokrasi dan warga.

Untuk menjawab keterpurukan birokrasi yang terjadi di Indonesia, maka kita dapat

melihat kajian dengan menggunakan refrensi akademik yang bersumber dari tiga Paradigma

besar Adminisitrasi Publik yaitu : Old Publik Administration (OPA), New Publik

Management (NPM), New Publik Service (NPS) (Kutipan pidato Pengukuhan Guru Besar

UGM, Prof. Dr. Yeremias T. Keban, S.U., MURP tahun 2007). Ketiga paradigma besar ini

memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing pada saat terdahulu hingga

perkembangan zaman pada saat ini. Dalam penerpan OPA terdapat kekakuan, hierarki yang

terlalu bertele-tele dan prosedur yang berlebihan, OPA mengajari bahwa untuk membangun

birokrasi diperlukan profesionalitas, penggunaan prinsip keilmuan, hubungan yang

impersonal, penerpan peraturan dan standarisasi yang tegas, sikap netral dan prilaku yang

mendorong efektifitas dan efisinesi. Contohnya dibidang politik dan hukum, pemerintah

harus bertindak tidak pandang bulu, aturan dan prosedur tidak boleh dilanggar dan harus

berindak tegas karenanya paradigma OPA lebih sesuai dalam bidang ini (Keban 2007).

Dalam penerapan NPM, konsep ini menerapkan apa yang dilakukan oleh sector bisnis

dan privat. Slogan yang terkanal dalam perspektif konsep NPM ini ialah mengatur dan

mengendalikan pemerintahan tidak jauh bedanya mengatur dan mengendalikann bisnis-run

government like business (Thoha, 2008). Dalam perkembangannya, NPM menuai banyak

kritikan karena para elit birokrasi cenderung berkompetisi untuk memperjuangkan

kepentingan dirinya sendiri daripada kepentingan umum, dan berkolaborasi untuk

mencapainya (Keban, 2007). Apalagi dasar NPM adalah teori Public Choice yang sangat

didominasi oleh kepentingan pribadi (Self-interest), sehingga konsep seperti public spirit,

public service terabaiakan (Kamensky, 1996:251 dalam Keban). Namun ada pelajaran

Page 5: Kinerja Birokrasi Dan Pelayanan Publik 2

penting yang dapat di ambil dari NPM, bahwa pembangunan birokrasi harus memperhatikan

mekanisme pasar, mendorong kompetisi dan kontrak untuk mencapai hasil, lebih responsif,

dan memberdayakan pelaksana agar lebih kreatif sesuai dengan visi sector swasta. Dalam

bidang ekonomi pemerintah harus berjiwa entrepreneurial, inovatif, dan kreatif agar dapat

meningkatkan perumbuhan ekonomi sekaligus kesejahteraan masyarakat.

Dalam penerapan NPS, dalam paradigma ini pemerintah bukan lagi menjadi aktor

utama melainkan mampu melibatkan peran serta dari civil society dan privat. Ada tujuh

prinsip (Denhardt & Denhard, 2000) yang berbeda dari OPA dan NPM. Pertama, peran

utama dari pelayanan publik dalah membantu warga masyarakat mengartikulasikan dan

memenuhi kepentingan yang telah disepakati bersama, dari pada mengontrol atau

mengendalikan masyarakat ke arah yang baru. Kedua, administrator publik harus

menciptakan gagasan kolektif yang disetujui bersama tentang apa yang disebut dengan

kepentingan publik. Ketiga, kebijakan dan program yang ditujukan untuk memenuhi

kebutuhan publik dapat dicapai secara efektif dan responsive melalu cara-cara kolektif dan

proses kolaboratif. Keempat, kepentingan publik lebih merupakan hasil dialog tentang yang

disetujui bersama daripada agregasi kepentingan pribadi. Kelima, para pelayan publik harus

memberikan perhatian, tidak semata kepada pasar, tetapi juga pada aspek hukum dan

peraturan perundang-undangan, nilai-nilai masyarakat, norma-norma politik, standar

professional dan kepentingan warga. Keenam, organisasi publik dan jaringan-jaringan yang

terlibat akan lebih sukses dalam jangka panjang kalau mereka beroperasi melalui proses

kolaborasi dan mealalui kepemimpinan yang menghargai semua orang. Ketujuh,

kepentingan publik lebih daik dikembangkan oleh pelayan-pelayan publik dan warga, dari

pada oleh manajer wirausaha yang mengedepankan keuntungan semata.

Kesimpulannya adalah, Indonesia harus mampu bangkit dan merubah struktur

birokrasi yang ada selama ini, dan mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan dan

tuntutan zaman yang semakin tinggi. Sehingga kepercayaan publik selama ini yang kian

turun dapat dikembalikan dengan menunjukan kinerja birokrasi yang baik di kedepannya

guna menjawab tantangan global yang kian kompleks.

2. Kinerja Birokrasi di Indonesia Yang Dipengaruhi Oleh Patalogi Birokrasi

Beberapa indikator yang mencerminkan buruknya potret kinerja aparat pelayanan

publik di Indonesia5 antara lain ditunjukan oleh pelayanan yang bertele-tele, biaya yang

tinggi, prilaku aparat yang lebih bersikap sebagai pejabat ketimbang sebagai abdi masyarakat,

pelayanan yang dikriminatif dengan mendahulukan kepentingan pribadi dan golongan.

5 Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN oleh Arief Daryanto

Page 6: Kinerja Birokrasi Dan Pelayanan Publik 2

Kinerja birokrasi merupakan suatu bentuk tolak ukur untuk melihat seberapa jauh tingkat

pencapaian yan telah dilakukan oleh birokrasi dalam memberikan pelayanan publik. Kinerja

itu merupakan suatu konsep yang disusun dari berbagai indikator yang sangat bervariasi

sesuai dengan fokus dan konteks penggunaannya Dwiyanto (2008:56).

Pengukuran kinerja adalah merupakan tolak ukur keberhasilan suatu organisasi

pemerintah dalam mencapai tujuannya. Ada beberapa indikator yang dapat digunakan untuk

mengukur kinerja birokrasi publik Dwiyanto (2008:50-51), yaitu sebagai berikut, Petama

Produktivitas, yaitu mengukur kinerja dengan tingkat efisien dan efektifitas pelayanan

publik, produktivitas biasanya dipahami sebagai ratio antara input dan output. Konsep

produktivitas dirasa terlalu sempit dan kemudian General Accounting Office (GAO) mencoba

mengembangkan datu ukuran produktivitas yang lebih luas dengan memasukan seberapa

besar pelayanan publik itu memiliki hasil yang diharapkan. Sedangkan produktivitas menurut

Dewan Produktivitas Nasional, adalah suatu sikap mental yang selalu berusaha mempunyai

pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini (harus) lebih baik dari hari kemarin dan esok lebih

baik dari hari ini.

Kedua Kualitas Layanan, yaitu cenderung menjadi penting dalam menjelaskan

kinerja organisasi publik. kualitas layanan dianggap penting karena merupakan salah satu

alasan masyarakat tidak puas terhadap organisasi publik. dengan demikian kepuasan

masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan indikator kinerja organisasi publik. keuntungan

utama menggunakan kepuasan masyarakat sebagai indikator kinerja adalah informasi

mengenai kepuasan masyarakat sering kali tersedia dengan mudah dan murah. Dan akhirnya

kepuasan masyarakat menjadi parameter untuk menilai kinerja organisasi publik.

Ketiga Responsivitas, yaitu kemampuan birokrasi untuk mengetahui dan menangkap

kebutuhan yang dirasakan oleh publik. Dengan menyusun agenda dan prioritas pelayanan dan

menyusun program-program yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Resposivitas secara

langsung menggambarkan kemampuan birokrasi publik dalam menjalankan misi dan

tujuannya, terutama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Responsivitas yang rendah

ditunjukan dengan ketidakselarasan antara pelayanan dengan kebutuhan masyarakat. Hal

tersebut dapat menunjukan kegagalan organisasi dalam mewujudkan misi dan tujuan

birokrasi publik.

Keempat Responsibilitas, yaitu menjelaskan apakah pelaksanaan kinerja birokrasi

publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar terhadap

kebijakan birokrasi baik secara eksplisit maupun implisit (Levine dalam Dwiyanto 2008).

Oleh karena itu responbilitas bisa saja pada suatu ketika berbenturan dengan responsivitas.

Page 7: Kinerja Birokrasi Dan Pelayanan Publik 2

LINGKUNGAN

BUDAYA & NILAI

STRUKTUR BIROKRASI WEBRIAN

PATALOGI BIROKRASi KINERJA BIROKRASI

Kelima Akuntabilitas, akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayan publik adalah

suatu ukuran yang menunjukan seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan

dengan ukuran nilai-nilai atau norma eksternal yang ada di masyarakat atau yang dimiliki

oleh stakeholder. Dalam konteks ini konsep akuntabilitas publik dapat digunakan untuk

melihat seberapa besar kebijakan dan kinerja birokrasi publik konsisten dengan kehendak

masyarakat banyak.

Saat ini kinerja birokrasi bila ditinjau dari segi pelayanan publik, masih menerapkan

pelayanan klasik6. Dimana petugas dan pejabat pemerintah masih melaksanakan pelayananan

secara arogan yaitu pelayanan yang masih selalu berorientasi kepada kepentingan pejabat,

penguasa dan dari sudut kepentingan pemerintah. Bukan berdasarkan atas kepentingan dan

kebutuhan dasar masyarakat yang dilayani. Sehingga kinerja birokrasi masih sebagai symbol

kekuasaan dari penguasa bukan sebagai symbol pelayanaan masyarakat. Hal ini juga tidak

terlepas pengaruh dari birokrasi kolonialsme pada zaman dahulu.

Dalam Buku Agus Dwiyanto “Mengembaliakan Kepercayaan Publik Melalui

Reformasi Birokrasi” setiap aspek dalam sturktur birokrasi, selain memiliki manfaat dan

kontribusi dan efisiensi dan kinerja birokrasi, juga berpotensi untuk menimbulkan penyakit

birokrasi. Terjadinya penyakit birokrasi dalam kinerja birokrasi, jika intensitas dari variabel

itu sudah menjadi berlebihan7 sehingga menimbulkan tugas dan fungsi yang berbeda.

Gambar : Model Kinerja Birokrasi di Indonesia

Sumber : Agus Dwiyanto, 2011:62

Berdasarkan gambar model kinerja birokrasi di Indonesia, output dari kinerja

birokrasi dipengaruhi oleh faktor lingkungan, budaya dan nilai, struktur birokrasi weberian,

dimana ketiga unsur ini pada penerapannya di Indonesia menyebebkan patalogi birokrasi.

6 Lihat Miftah Thoha “Birokrasi Pemerintah dan Kekuasaan di Indonesia” (2012:82)7 Dalam buku” Mengembalikan Kepercayaan Publik melalu Reformasi Birokrasi” Agus Dwiyanto (2011 : 60)

Page 8: Kinerja Birokrasi Dan Pelayanan Publik 2

2.1 Implikasi Patalogi Birokrasi yang terjadi di Indonesia

Seperti sudah disinggung pada paragraph sebelumnya telah dijelaskan mengenai

kinerja birokrasi yang terjadi di Indonesia menimbulkan ketidak efisienan dan efektifitas

yang dihasilkan dari kinerja birokrasi itu sendiri, yang dipengearuhi oleh patalogi birokrasi.

Dengan demikian patalogi birokrasi adalah hasil interaksi antara struktur birokrasi yang

salah dan variabel-variabel lingkungan yang salah (Dwiyanto 2011:63).

Implikasi pertama yang menyebabkan patalogi birokrasi di Indonesia adalah

Birokrasi Paternalistis, masyarakat di Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk

dengan masih mempertahankan norma-norma sosial dan nilai budaya yang dimiliki sejak

dulu dan mengajari toleransi yang sangat tinggi terutama kepada yang dianggap lebih tinggi

kedudukan atau kekuasaanya. Prilaku birokrai paternialistis adalah hasil dari proses interaksi

yang intensif antara struktur birokrasi yang hierarkis dan budaya paternailistis yang

berkembang dalam masyarakat. Struktur birokrasi yang hierarkis cenderung membuat pejabat

bawahan menjadi sangat tergantung kepada atasannya dan terkadang perlakuan bawahan

kepada atasan terlihat berlebihan dengan menunjukan loyalitas dan pengabdian yang sangat

tinggi kepada pimpinan dan mengabaikan perhatiannya kepada para pengguna layanan.

Implikasi kedua yang menyebabkan patalogi birokrasi di Indonesia adalah

Pembengkakan Anggaran, penyakit birokrasi yang timbul secara luas di Indonesia adalah

kecenderungan birokrasi untuk membengkakan anggaran. Dalam perencanaan anggaran

pejabat birokrasi mengusulkan anggaran jauh melebihi dari kebutuhan nyata yang diperlukan

untuk melaksanakan kegiatannya. Hal ini cendrung klasik dari tahun ketahun dan

berkembang pada tingkatan pemerintah pusat dan daerah, yang merencanakan anggaran tidak

berdasarkan dari kinerja melainkan berdasarkan pengalaman tahun sebelumnya dengan

melakukan prediksi kebutuhan anggaran tahun depan. Ada beberpa latar belakang terjadinya

pembengkakan (mark up) anggaran yaitu prilaku birokrat yang korup untuk mendapatkan

keuntungan pribadi atau kelompok sampai dengan cara birokrasi untuk dapat bertahan agar

dapat menjalankan kegiatannya atau menghidupi pegawainya (Dwiyanto 2011:77).

Hal klasik ini yang sampai saat ini banyak menimbulkan penyakit birokrasi yang sulit

teratasi dan menimbulkan praktek korupsi. Sebenarnya pemerintah dapat meminimalisir

praktek pembengkakan anggaran dengan mengalokasikan anggaran berbasis pada kinerja

tahun sebelumnya dengan catatan tahun sebelumnya juga merupakan analisis anggaran

berbasis kinerja. Dan pemerintah harus mau untuk menjadi institusi yang terbuka /

transparansi anggaran kepada publik, dan peran dari civil society juga menjadi aktor dalam

menjalankan fungsi control secara efektif sehingga tercipta pengalokasian yang tepat pada

sasaran yang membutuhkan dan dapat dirasakan warga.

Page 9: Kinerja Birokrasi Dan Pelayanan Publik 2

Implikasi ketiga yang menyebabkan patalogi birokrasi di Indonesia adalah Prosedur

yang Berlebihan, prosedur berlebihan juga merupakan penyakit birokrasi yang sulit teratasi

di berbagai instansi pemerintahan di Indonesia. Saat ini yang terjadi dalam birokrasi publik,

prosedur bukan lagi sebagai fasilitas yang dibuat untuk membantu penyelenggaraan layanan,

tetapi sudah menjadi seperti berhala yang harus ditaati oleh para pejabat birokrasi dalam

kondisi apapun, bahkan prosedur sudah menjadi tujuan dari birokrasi itu sendiri dan

menggusur tujuan yang semestinya, yaitu melayani publik secara professional dan

bermartabat (Dwiyanto 2011:85). Sebenarnya prosedur yang tertulis dan terinuk

memudahkan dan menciptakan kepastian pelayanan, namun jika prosedur kemudian

berkembang semakin banyak sehingga menjadi birokrasi mengalai over regulation dan

menyebabkan ketentuan yang menghambat dalam pelayanan.

Implikasi keempat yang menyebabkan patalogi birokrasi di Indonesia adalah

Pembengakak Birokrasi, semula birokrasi membentuk organisasi pemerintahan dengan

alasan untuk memudahkan pengorganisasian yang disesuaikan dengan kebutuhan dan potensi

di suatu daerah, tetapi yang terjadi saat ini adalah pembengkakan birokrasi. Dimana banyak

organisasi pemerintah menjadi over kapasitas, sehingga menyebabkan ketidak efisien dan

efektif dan juga menimbulkan pemborosan anggaran untuk membiayai organisasi tersebut.

Keadaan ini juga disebabkan oleh kepentingan dari luar yang cukup kuat seperti kepentingan

partai politik atau kelompok. Karena biasanya partai politik atau kelompok yang

memenangkan seorang Kepala Daerah bahkan pada level Presiden, melakukan tuntutannya

dan biasanya tuntutanya ini merupakan kesepakatan untuk menempatkan kepentingan

individunya dalam struktur organisasi pemerintahan yang di pimpinnya.

3. Membenahi Pelayanan Publik di Indonesia

Berdasarkan Undang-undang No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, pelayanan

publik adalah segala kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan bagi setiap warga Negara dan penduduk atas barang, jasa

dan /atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik . Dan

yang disebut penyelenggara pelayanan publik adalah Instansi pemerintah yang meliputi

satuan kerja/satuan organisasi Kementrian, Departemen, Lembaga Pemerintah

nonDepartemen, Kesekertariatan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara, dan Instansi

Pemerintah lainnya baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah termasuk juga Badan

Usaha Milik Negara, Badan Hukum Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah.

Ada beberapa pertimbangan mengapa pelayanan publik menjadi titik strartegik untuk

memulai pengembangan good governance di Indonesia (Dwiyanto 2006). Pertama pelayanan

Page 10: Kinerja Birokrasi Dan Pelayanan Publik 2

publik selama ini menjadi ranah dimana Negara yang diwakili oleh pemerintah berinteraksi

dengan lembaga-lembaga non pemerintah. Diranah ini terjadi pengumpulan yang sangat

intensif antara pemerintah dengan warganya. Buruknya penyelenggaraan birokrasi dalam

penyelengaraan pelayanan publik sangat dirasakan oleh masyarakat luas. Keberhasilan dalam

mewujudkan praktik good governance dalam ranah pelayanan publik mampu membangkitkan

dukungan dan kepercayaan publik yang selama ini telah luntur. Kepercayaan diri sangat

penting dalam kondisi kejiwaan bangsa seperti saat ini, mengingat kegagalan reformasi

birokrasi telah menggerogoti semangat warga.

Kedua pelayanan pubik adalah ranah dimana berbagai aspek good governance dapat

diartikulasikan secara relatif lebih mudah. Aspek kelembagaan lain yang ikut berpartisipasi

dalam merespon masalah-masalah publik. Dalam pelayanan publik, keterlibatan unsur-unsur

masyarakat sipil dan mekanisme pasar sudah banyak terjadi, sehingga praktik good

governance dalam pelayan publik bukan merupakan ranah baru lagi. Dengan menjadikan

pelayan publik sebagai pintu masuk untuk mengenalkan good governance, maka tolak ukur

dan idikator yang jelas dari pelayanan publik yang efisien, non-diskriminatif, responsive, dan

memiliki akuntabilitas tinggi.

Ketiga pelayanan publik mampu melibatkan kepentingan semua unsur governance.

Pemerintah sebagai representasi Negara, masyarakat sipil dan mekanisme pasar memiliki

kepentingan dan keterlibatan yang tinggi. Sehingga nasib/citra sebuah pemerintahan, baik di

pusat maupun di daerah, akan dipengaruhi oleh sebuah keberhasilan mereka dalam

mewujudkan pelayan publik yang baik. Apalagi dalam era dimana warga dapat menggunakan

hak politiknya untuk menentukan sebuah rezim dengan memilih presiden dan kepala daerah.

Dalam sistem pemilu seperti ini, warga pengguna dapat berperan seperti konsumen didalam

mekanisme pasar. Sehingga yang terjadi semestinya adalah warga yang merasa tidak puas

terhadap pelayanan publik yang diberikan oleh sebuah birokrasi, dapat melakukan berbagai

cara untuk menghukum birokrasi itu dengan berbagai cara yaitu : tidak menggunakan

pelayanan, mengajukan protes pada pengusaha, mengajuka mosi tidak percaya melalui wakil-

wakilnya di lembaga perwakilan, sampai dengan menentukan nasib penguasa ketika pemilu

diselenggarakan.

Untuk mengembangkan pelayanan publik tentu banyak aspek yang perlu dibenahi di

dalam tubuh birokrasi agar mampu mengembalikan kepercayaan publik. Yang terjadi selama

ini dalam birokrasi publik merupakan hasil dari sebuah proses interaksi yang kompleks dari

akumulasi masalah yang telah lama melekat dalam birokrasi publik. mindset yang salah

selama ini telah mengilhami prilaku birokrasi publik. prilaku yang buruk yang ditimbulkan

dalam birokrasi akan menghasilkan para pejabat untuk melakukan tindakan yang tidak sesuai

Page 11: Kinerja Birokrasi Dan Pelayanan Publik 2

dengan aspirasi dan keinginan warga, bahkan yang terjadi di Indonesia tidak jarang kebijakan

yang semestinya yang mewakili kepentingan publik disalah artikan dalam implementasinya

menjadi kepentingan golongan atau pribadi.

Kegagalan masa lalu dalam meletakkan fondasi baru bagi birokrasi di Indonesia

ketika memperoleh kemerdekaan membuat banyak nilai, tradisi, dan norma birokrasi kolonial

sampai dengan masih melekat dan hidup dengan subur dalam birokrasi publik. Banyak

norma, prosedur, dan tradisi birokrasi kolonial yang dikembangkan untuk memfasilitasi

pemerintahan kolonial dalam mempertahankan kekuasaannya. Norma, nilai dan tradisi seperti

itu tanpa kita sadari masih melekat dalam birokrasi pemerintahan Indonesia sampai saat ini.

Kesemuanya tentu harus ditinggalkan karena sudah tidak sesuai dengan misi baru birokrasi

untuk melayani warga dan meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi warga.

3.1 Penerapan Citizen’s Charter Sebagai Salah Satu Solusi Peningkatan Kualitas

Pelayanan Publik

Citizen charter pertama kali diperkenalakan di Inggris, pada awalnya ini adalah

merupakan suatu dokumen yang didalamnya disebutkan hak-hak dan kewajiban yang melekat

pada providers maupun dalam diri customers. Semula istilah ini sempat dinilai salah kaprah,

karena piagam atau kontrak ini (charter) ditujukan hanya kepada pengguna jasa atau klien

saja (customers atau client) dan bukan ditujukan kepada seluruh warganya (citizen).

Denhardt&Denhardt (2003) dalam bukunya Governance, Administration and Development

Making the State Work, kembali megaskan bahwa pelayanan publik seharusnya tidak harus

berfokus kepada kepentingan pelanggan atau pengguna jasa (customers atau client) tetapi

harus beroirientasi pada kepentingan masyarakat atau warganegara (citizen).

Contoh penerapan citizen’s charter di Negara Malaysia (sebagaimana dikutip oleh

Turner&Hulme, 1997:126) menulis bahwa program ini telah dikembangka di Malaysian

Administrative Modernization and Manangemennt Planning Unit (MAMPU). Sehingga

setipa instansi pemerintah Malaysia wajib membuat citizen’s charter. Dengan demikian

charter ini adalah merupakan jaminan yang diberikan oleh instansi pemerintah kepada

pengguna jasanya bahwa pelayanan yang dikelolanya memiliki standar yang sesuai dengan

harapan pengguna jasa. Dan apabila standar ini tidak dapat dipenuhi, maka warga selaku

pengguna jasa pelayanan dapat mempergunakan citizen’s charter yang telah dirumuskan

sebagai alat untuk memprotes atau menuntut instansi pemerintah yang gagal memenuhi

standar pelayanan sebagaimana yang tertuang dalam citizen’s charter.

Banyak manfaat yang akan dirasakan baik oleh birokrasi, pengguna layanan, maupun

stakeholder pelayanan lainnya apabila citizen’s charter diterapkan (Kutipan dalam Jurnal

Page 12: Kinerja Birokrasi Dan Pelayanan Publik 2

Kebijakan Dan Administrasi Publik volume 8, Nomor 2, November 2004 – “Citizen’s charter

dan Reformasi birokrasi oleh Bambang Wicaksono Triantoro). Pertama, dapat memberikan

kepastian pelayanan yang meliputi waktu, biaya, prosedur, dan cara pelayanan. Kedua, untuk

memberiakan informasi mengenai hak dan kewajiban pengguna layanan, penyedia layanan,

dan stakeholder lainnya dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik. Ketiga, untuk

mempermudah warga pengguna layanan dan stakeholder lainnya untuk mengontrol praktik

penyelenggaraan pelayanan publik. Keempat, untuk membantu mengenalakan kepada pihak

birokrasi pemerintah sebagai penyedia layanan dalam mengidentifikasi kebutuhan, harapan,

dan aspirasi pengguna layanan melalui kegiatan survei penggunaan layanan.

Pada saat ini citizen charter diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi kontrak

layanan atau piagam pelayanan. Di Indonesia penerapan citizen’s charter sudah berjalan di

berbagai instansi di tingkat kabupaten, provinsi sampai tingkat pemerintah pusat. Berikut ini

contoh isi citizen’s charter yang dapat diterapkan di berbagai instansi pemerintah di Indonesia

Tabel

Contoh Muatan Materi Citizen’s Charter1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Memiliki Visi dan Misi

Mencantumkan operasional jam pelayanan

Mencantumkan waktu pengurusan penyelesaian urusan perizinan

Mencantumkan sanksi yang jelas apabila terjadi kesalahan

Mencantumkan biaya administrasi yang baku

Adanya etika pelayanan (penyampaian informasi terkait dengan perizinan tersebut dan

standar sapaan petugas pelayanan)

Adanya alur pelayanan yang jelas

Adanya kontak pengaduan (kritik dan saran)

Kontrak pelayanan mencantumkan batas berlakunya

Sumber : Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada dan Ford

Foundation, 2004 (dalam buku manajemen pelayanan, Ratminto & Atik Septi Winarsih)

Dalam konteks Indonesia pendekatan citizen’s charter merupakan bentuk

transformasi pelayanan dengan meberikan suatu model kejelasan dan kepastian dalam

meberikan pelayanan kepada warga, dengan kontrak layanan dan piagam layanan yang baku

dan jelas. Dan dilatar belakangi oleh masih lemahnya posisi masyarakat dalam melakukan

kontrol atas proses penyelenggaraan pelayan publik yang dilakukan oleh birokrasi pemerintah

(Dwiyanto. Dkk, 2001). Contoh kasus klasik yang terjadi di Indonesia adalah dalam

pengurusan KTP, Akta Tanah, Akta Kelahiran, IMB, dan lain-lain. Dalam kasus ini sering

Page 13: Kinerja Birokrasi Dan Pelayanan Publik 2

kita jumpai prosedur yang tidak jelas dan baku sehingga dalam pelaksanaannya banyak

menimbulkan ketidak puasan pelayanan yang dilakuakan oleh birokrasi terhadap warga.

Warga pengguna layanan juga merasakan betapa rendahnya kepastian pelayanan yang

diberikan oleh birokrasi sebagai penyedia layanan. Kepastian pelayanan yang menyangkut

biaya, waktu penyelesaian, ataukah standar perlakuan pelayanan kepada pengguna, dapat

dikatakan belum menjadi bagian dari upaya peningkatan kualitas pelayanan. Sehingga aspek

ini yang terkadang dapat mengakibatkan penurunan kepercayaan publik (warga) atas

pelaksanaan birokrasi pemerintahan yang tidak efektif dan efisien.

4. Konsep Membangun Kembali Kepercayaan Publik Terhadap Pemerintah

Pada paragraph sebelumnya telah dijelaskan salah satu cara memperbaiki pelayanan

publik dengan konsep citizen’s charter yaitu dengan maskud memperjelas prosedur pelayanan

dan waktu penyelesaian pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Hal ini juga

merupakan salah satu cara untuk mengembalikan kepercayaan publik tentang image publik

yang menganggap birokrasi sebagai lembaga dengan prosedur pelayanan yang terlalu bebelit-

belit dan memakan waktu yang lama.

Makna kepercayaan publik itu sendiri tidak hanya memuat isi tentang bagaimana

kualitas administrasi publik, tetapi memiliki peran yang penting dalam proses

penyelenggaraan administrasi publik itu sendiri. Di Indonesia kajian tentang kepercayaan

publik belum banyak dilakukan dan memperoleh perhatian yang wajar dari para peneliti dan

praktisi administrasi publik, dimana penelitian administrasi publik itu sendiri memusatkan

perhatiannya kepada isu-isu yang terkait dengan efisiensi, produktifitas, efektifitas,

transparansi, serta isu-isu lainnya yang terkait dengan kualitas tata pemerintahan8.

Setidaknya terdapat tiga dimensi penting dalam mengembalikan kepercayaan publik9

yaitu kompetensi, integritas, dan ketulusan. Dimensi Kompetensi adalah hal yan berkaitan

dengan peningkatan kualitas profesionalisme dari aparatur (Pegawai Negeri Sipil) yang

merupakan aktor dalam pelaksanaan pemerintahan. Dimana aparatur harus memiliki kualitas

dan kompetensi dalam bidangnya sehingga mampu membangun sosok birokrasi yang

profesional sehingga mampu memberikan pelayanan yang unggul dan baik.

Pengembangan profesi aparatur birokrasi selama ini menjadi masalah yang

terabaikan. Semestinya profesionalisme birokrasi mampu berdiri sendiri dan independen

tanpa ada campur tangan dari kepentingan politik yang mampu mempengaruhi ke

8 Dwiyanto (2011:353-355)9 Dwiyanto (2011: 369-431), menyimpulkan pendapat dari Kim (2005) yaitu untuk mengukur kepercayaan publik dapat diukur melalui lima variabel, yaitu Komitmen yang kredilbel, ketulusan, kejujuran, kompetensi dan keadilan. Dari keli variabel tersebut, Dwiyanto menekankan pada Kompetensi, Integritas, dan Ketulusan

Page 14: Kinerja Birokrasi Dan Pelayanan Publik 2

profeionalisme birokrasi. Oleh karena itu Pengembangan profesi aparatur birokrasi harus

menjadi bagian penting dalam sebuah agenda reformasi birokrasi. Dalam kontek ini dapat

dismpulkan bahwan untuk mengembalikan kepercayaan publik, harus dimulai dari dalam

tubuh birokrasi itu sendiri dimana yang menjadi perhatian adalah peningkatan kompetensi

aparutur sehingga menjadi lembaga professional dan mampu menjadi lembaga yang

independen yang terlepas dari intervensi kepentingan politik.

Dimensi Integritas, dimensi ini merupakan kesatuan dan rangkaian dalam agenda

reformasi birokrasi dalam mengembalikan kepercayaan publik yaitu memisahkan antara

kpentingan politik dan kepentingan publik dalam tubuh birokrasi. Saat ini yang terjadi adalah,

ketika kita memiliki sistem multipartai dan birokrasi di pusat dan daerah yang di kuasai oleh

partai politik yang berbeda, maka birokrasi merupakan lembaga yang menjadi alat pemenuh

kepentingan politik semata. Oleh karena itu dimensi integritas lahir sebagai bentuk

pemisahan dan intervensi kepentingan politik dalam tubuh birokrasi. Jika reformasi birokrasi

berhasil melembagakan nilai-nilai profesi, orientasi kepada kepentingan publik, dan

nasionalisme dalam kehidupan birokrasi publik maka reformasi birokrasi akan mampu

mengembalikan kepercayaan publik

Dimensi Ketulusan, merupakan modal yang terkhir setelah mereformasi stuktur

birokrasi yang ada. Dimensi ini landasan dasar yang harus dipegang oleh pejabat birokrasi

dan pejabat politik dalam menjalankan pemerintahan. Ketulusan dan kesungguhan

pemerintah akan menjadikan sebagai sebuah solusi untuk menyelesaikan berbagai

permasalahan mendasar yang dihadapi birokrasi pemerintah.

Apabila pemerintah telah merancang serangkaian program paling tidak ketiga dimensi

ini merupakan sebagai landasan, niscaya akan mampu mengembalikan kepercayaan publik.

Adapun manfaat10 yang timbul akibat kembalinya kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Pertama, kepercayaan publik dapat mengurangi biaya transaksi dalam penyelenggaraan

pemerintahan, sebagai contoh yang mudah dipahami adalah dalam merumuskan sebuah

kebijakan. Dimana apabila masyarakat memiliki tingkat kepercayaan tinggi terhadap

pemerintah, proses pembuatan kebijkan publik relatif menjadi lebih sederhana, cepat dan

tidak ada unsur penolakan dari masyrakat dan pemerintah tidak perlu melakukan negosiasi

yan panjang untuk meyakinkan masyarakat tentang tujuan kebijkan publik yan telah dibuat.

Kedua, mafaat yang ditimbulkan adalah adanya kepercayaan terhadap pemerintah

dapat mendorong warga untuk lebih menghormati otoritas yang dimiliki para pejabat publik.

Sehingga dalam proses kebijakan dan kegiatan pemerintahan tidak lagi memerlukan

10 Menurut Boukert dan Van De Walle dalam Dwiyanto (2011), Manfaat yang ditimbulkan dari kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Page 15: Kinerja Birokrasi Dan Pelayanan Publik 2

penjelasan yang terus menerus yang memakan waktu cukup lama dan menghambat

implementasi dari kebijakan itu sendiri. Yang artinya tugas yang diemban oleh pejabat publik

menjadi lebih ringan dan mampu mengendalikan masyarakat dengan mudah.

Ketiga, kepercayaan publik dapat meningkatkan kehangatan hubungan antara

pemerintah dengan masyarakat. Hubungan yang hangat dan saling menghormati sangat

bermanfaat dalam pengembangan sistem pelayanan publik yang efisien dan efektif. Sehingga

kualitas hubungan yang seperti ini memungkinkan pemerintah untuk memangkas proses

pelayanan publik yang selama ini cenderung panjang, hierarkis dan rigid. Proses dan prosedur

pelayanan yang hierarki dapat diubah menjadi proses yang interaktif dan sederhana.

Keempat, mafaat berikutnya adalah terciptanya kerjasama yang baik antara

pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil dalam penyelenggaraan berbagai kegiatan

pelayanan dan pemerintahan. Kerja sama antara pemerintah dan dan institusi non pemerintah

hanya akan dapat dilaksanakan dan memperoleh hasil seperti yang diinginkan manakala

diantara mereka terdapat salaing percaya.

KESIMPULAN

1. Kinerja Birokrasi yang terjadi di Indonesia masih dipengaruhi oleh Birokrasi Weberian

dan Birokrasi zaman kolonial. Dimana kedua aspek itu membentuk birokrasi menjadi

berbeli-belit, hierarki yang kaku, prosedur yang terlalu banyak, dan penuh dengan aturan.

Dan faktor lain yang mempengaruhi birokrasi adalah budaya paternalistis yang masih

kental dalam penyelenggaran pemerintahan. Sehingga aspek ini yang menyebabkan

terjadinya patalogi birokrasi dan ouput dari kinerja birokrasi itu sendiri menjadi lemah

dan rendah.

2. Rendahnya atau menurunnya kepercayaan publik yang terjadi saat ini disebabkan oleh

kinerja birokrasi itu sendiri. Artinya penyelenggaraan birokrasi masih dinilai oleh

masyarakat sebagai lembaga yang menyebabkan terjadinya ketidak efektif dan efisien

dalam penyelenggaraan pemerintah.

3. Kesimpulan yang dapat diambil terakhir dari Kinerja Birokrasi dan penyempurnaan teori

OPA-NPM-NPS tujuannya adalah untuk “Mengembalikan Kepercayaan Publik

Terhadap Kinerja Pemerintah Dalam Memberikan Kepuasan Pelayanan Kepada

Masyarakat” dan itu merupakan indikator penilaian kinerja pemerintah yang sifatnya

objektif.

DAFTAR PUSTAKA

Page 16: Kinerja Birokrasi Dan Pelayanan Publik 2

Dwiyanto A. (2011). “Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi”

Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

Dwiyanto A. (2008). “ Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia”

Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Dwiyanto A. (Ed). (2006).“Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik”

Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Dwiyanto A. (2004). “Reorintasi Ilmu Administrasi Publik : dari Government ke Governance”

Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM

Daryanto A. (2007). “Merit System Manajemen PNS”

Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian - Jurnal 1 november 2007

Keban. Yeremias T. (2007). “Pembangunan Birokrasi Agenda Kenegaraan yang Terabaikan”

Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM

Pasolong H, 2011. Teori Administrasi Publik.

Bandung : Alfabeta

Pramusinto A. & Puerwanto Erwan A. (Ed). (2009). “ Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan

Dan Pelayanan Publik. Yogyakarta : Gava Media

Ratminto & Winarsih Atiek S. (2008). “Manajemen Pelayanan : Penegembangaan Model

Konseptual, Penerapan Citizen’s Charter dan Standar Pelayanan Minimal

Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Thoha. M. (2012). “Birokrasi Pemerintahan dan Kekuasaan di Indonesia”

Yogyakarta : Thafa Media

Utomo W. (2009). “Administrasi Publik Baru Indonesia”

Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

Trianto W. (2004). “Citizen’s charter dan Reformasi birokrasi”

Jurnal Kebijakan Dan Administrasi Publik volume 8, Nomor 2, November 2004

KINERJA BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK DI INDONESIA

Page 17: Kinerja Birokrasi Dan Pelayanan Publik 2

(Mengembalikan Kepercayaan Publik)

Dosen Pengampu :

Dr. Agus Pramusinto

Dr. Ambar Widaningrum

Dr. Gabriel Lale

(Prinsip Administrasi Publik)

Disusun Oleh :

SYAIFULLAH NOER

NIM : 12/338896/PSP/04363

MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIKUNIVERSITAS GADJAH MADA

2013