Post on 21-Oct-2015
Gangguan Fungsi Tuba Eustachius
Oleh :
Welci
Merie Octavia 11-2012-096
Ham
Miza
Devina Martina Adisusilo 11-2012-044
Pembimbing :
Dr. Yuswandi,Sp.THT-KL
Dr. Tantri, Sp.THT-KL
KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT
RS BAYUKARTA KARAWANG
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
1
Kata Pengantar
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat Nya, kami dapat
menyelesaikan tugas ini dengan judul “Gangguan Fungsi Tuba Eustachius”. Makalah ini
bertujuan untuk mengetahui apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi tuba eustachius
dan hubungannya dengan proses pendengaran kita.
Kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan masih
banyak yang perlu diperbaiki. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang
membangun guna menambah ilmu dan pengetahuan mengenai THT khususnya organ telinga.
Tak lupa kami ucapkan terima kasih pada seluruh pembimbing atas ilmu dan
bimbingannya selama ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca.
Jakarta, 30 Desember 2013
Kel
2
DAFTAR ISI
BAB I
STATUS PASIEN............................................................................................................1-14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
1. PENDAHULUAN 152. ANATOMI DAN FISIOLOGI JALAN NAFAS ATAS 15-173. ANESTESI UMUM 17-244. LMA 24-37
BAB III DISKUSI 38-40
DAFTAR PUSTAKA 41
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Anatomi Telinga Tengah
Telinga tengah merupakan suatu ruang di tulang temporal yang terisi oleh udara dan dilapisi
oleh membran mukosa. Pada bagian lateral, telinga tengah berbatasan dengan membran
timpani, sedangkan pada bagian medial berbatasan dengan dinding lateral telinga dalam.
Telinga tengah terdiri dari dua bagian, yaitu kavum timpani yang secara langsung berbatasan
langsung dengan membrane timpani dan resessus epitimpanika pada bagian superior. Telinga
tengah terhubung dengan area mastoid pada bagian posterior dan nasofaring melalui suatu
kanal yang disebut tuba Eustachius (pharyngotympanic )
Gambar 1. Anatomi Telinga Tengah
1.2 Anatomi Tuba Eustachius
Tuba Eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan
nasofaring dan menyeimbangkan tekanan pada kedua sisi dari membrane timpani. Tuba
Eustachius terbuka di dinding anterior telinga tengah, dan dari sini akan berjalan ke depan,
medial, dan kebawah untuk masuk ke nasofaring, posterior dari meatus inferior kavitas nasi.
Tuba Eustachius terdiri dari pars osseus dan pars catilaginosa. Tulang rawan
(fibrokartilaginosa) pada dua pertiga medial ke arah nasofaring dan sepertiga lateralnya
terdiri atas tulang. Ujung dari pars osseus dapat terlihat pada permukaan inferior tengkorak
4
pada hubungan dari pars squamosa dan petrosa tulang temporal, posterior ke arah
foramen/fenestra ovale dan foramen spinosum. Osteum pharyngeum tuba auditiva
(pharyngotympanica) Eustachii terletak di sisi lateral nasofaring setinggi meatus nasalis
inferior. Ujung dinding tulang rawan saluran ini menonjol membentuk torus tubarius. Tuba
berhubungan dengan nasofaring dengan berjalan melalui pinggir atas m. constrictor
pharynges superior
Gambar 2. Tuba Auditiva Eustachii
Gambar 3. Osteum Pharyngeum Tubae Auditiva Eustachii
5
Arteri yang memperdarahi tuba Auditiva Eustachius berasar dari beberapa tempat.
Cabangnya berasal dari arteri pharyngealis ascenden (cabang dari arteri carotis eksterna) dan
2 cabang dari arteri maksilaris (arteri meningea media dan arteri pada canalis pterygoideus).
Drainase vena tuba Eustachius pada pleksus pterygoideus pada fossa infratemporalis
Gambar 4. Pembuluh Darah Tuba Auditiva Eustachii
Persarafan dari Lapisan membran mukosa tuba Eustachius berawal dari pleksus timpanikus
karena ini berlanjut dengan membran mukosa yang melapisi kavitas timpani, lapisan dalam
membran timpani, dan antrum mastoid dan sel udara mastoid. Pleksus ini menerima
kontribusi mayor dari nervus timpanikus, cabang nervus glossopharyngeus (N-IX)
Gambar 5. Persarafan Tuba Auditiva Eustachii
Origo otot tensor timpani teletak di sebelah atas bagian bertulang, sementara kanalis
karotikus terletak di bagian bawahnya. Bagian kartilaginosa berjalan melintasi dasar
6
tengkorak untuk masuk ke faring di atas otot konstriktor superior. Bagian ini biasanya
tertutup tapi dapat dibuka melalui kontraksi otot levator palatinum dan tensor palatinum yang
masing-masing disarafi pleksus faringealis dan saraf mandibularis.
Gambar 6. Otot Tuba Auditiva Eustachii
Tuba Eustachius bayi berbeda dengan dewasa. Pada bayi dan anak, tuba lebih pendek, lebih
lebar, dan kedudukannya lebih horizontal dari tuba orang dewasa. Panjang tuba orang dewasa
37,5 mm dan pada anak di bawah 9 bulan adalah 17,5 mm. Hal ini merupakan suatu alasan
mengapa radang tuba Eustachius begitu lazim pada bayi, terutama pada masa-masa minum
dari botol. Dengan perkembangan anak, tuba bertambah panjang, sempit, serta mengarah ke
bawah di sebelah medial. 1
Gambar 7. Perbedaan Tuba Auditiva Eustachii Dewasa dan Bayi
1.3 Fisiologi Tuba Eustachius
Tuba Eustachius berfungsi untuk menyeimbangkan tekanan udara pada kedua sisi
membran timpani. Fungsi tuba ini adalah untuk ventilasi, drainase sekret, dan proteksi telinga
7
tengah dari kontaminasi sekret nasofaring (menghalangi masuknya sekret dari nasofaring ke
telinga tengah). Ventilasi berguna untuk menjaga agar tekanan udara dalam telinga tengah
selalu sama dengan tekanan udara luar. Adanya fungsi ventilasi tuba ini dapat dibuktikan
dengan melakukan perasat Valsalva dan perasat Toynbee. Perasat Valsalva dilakukan dengan
cara meniupkan dengan keras dari hidung sambil hidung dipencet serta mulut ditutup. Bila
tuba terbuka maka terasa udara masuk ke dalam rongga telinga tengah yang menekan
membrane timpani ke arah lateral. Perasat ini tidak boleh dilakukan apabila ada infeksi pada
saluran pernapasan atas. Perasat Toynbee dilakukan dengan cara menelan ludah sambil
hidung dipencet serta mulut ditutup. Bila tuba terbuka maka akan terasa membrane timpani
tertarik ke medial. Perasat ini lebih fisiologis. 1
Ventilasi tuba Eustachius juga dapat dinilai dengan melihat pergeseran ke lateral dari
membrane timpani memakai otoskop, atau bila ada perforasi, dengan melakukan auskultasi
tuba sementara pasien memijit hidungnya dan menelan (maneuver Toynbee), atau pasien
memijit hidung dan menghembus kuat lewat lubang hidung yang tertutup dengan mulut
tertutup hingga telinganya “meletup” (maneuver Valsava). Telinga tengah dapat pula ditiup
dengan cara politzerisasi dimana udara dipaksa masuk lewat hidung sementara nasofaring
tertutup saat pasien menelan. Udara dimasukkan lewat hidung memakai balon Politzer
berujung bulat.
Tuba biasanya dalam keadaan tertutup dan baru terbuka apabila oksigen diperlukan
masuk ke telinga tengah atau pada saat mengunyah, menelan, dan menguap. Pembukaan tuba
dibantu oleh kontraksi aktif dari otot tensor veli palatini pada saat menelan, atau saat
menguap, atau saat membuka rahang, atau apabila perbedaan tekanan berbeda antara 20 – 40
mmHg.
Sekresi telinga tengah akan dialirkan ke nasofaring melalui tuba Eustachius yang
berfungsi normal. Jika tuba Eustachius tersumbat, maka akan tercipta keadaan vakum dalam
telinga tengah. Sumbatan yang lama dapat mengarah pada peningkatan produksi cairan yang
makin memperberat masalah. Bila tidak dapat diatasi dengan pengobatan, maka keadaan
vakum harus dihentikan dengan miringotomi. Dengan demikian cairan dapat didrainase
melalui tuba Eustachius. Tuba Eustachius dapat melindungi telinga tengah dari kontaminasi
sekresi telinga tengah dan organisme patogenik karena tuba Eustachius selalu tertutup.
Poteksi normal ini dapat terganggu akibat menghembus hidung yang terlalu kuat atau terus-
menerus mengendus-ngendus sehingga organism dapat masuk ke telinga tengah. Gangguan
fungsi tuba dapat terjadi oleh beberapa hal, seperti tuba terbuka abnormal, myoklonus palatal,
palatoskisis, dan obstruksi tuba.
8
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Disfungsi Tuba Eustachius
Disfungsi Tuba Eustachius merupakan suatu keadaan terbloknya tuba eustachius atau
tidak bisa terbuka secara baik, terbuka abnormal, myoklonus palatal, palatoskisis, dan
obstruksi tuba. Udara tidak dapat masuk ke dalam telinga tengah. Padahal, tekanan udara di
luar membran timpani lebih besar dibandingkan tekanan udara di telinga tengah. Keadaan ini
mendorong membran timpani masuk ke dalam. Membran timpani menjadi tegang dan tidak
bergetar dengan baik ketika dilalui oleh gelombang suara.
Gejala utamanya yaitu pendengaran tidak tajam. Dapat juga dirasakan nyeri pada
telinga karena membran timpani menjadi tegang. Gejala lain yang bisa muncul termasuk:
terasa penuh dalam telinga, tinnitus (telinga berdenging), dan pusing. Salah satu atau kedua
telinga dapat terkena.1,4
Gejala dapat muncul dari beberapa jam hingga beberapa minggu atau lebih. Hal itu
tergantung penyebabnya. Pada kasus pilek batuk, gejala akan hilang dalam kurang lebih
seminggu. Saat gejala sudah ringan, penderita akan mendapat sensasi suara dalam telinga.
Selain itu, pendengaran berkurang akan hilang dan timbul pada beberapa waktu sebelum
kembali pulih.
Disfungsi Tuba Eustachius terjadi bila tuba eustachius ter-blok atau jika dinding tuba
membengkak atau jika tuba tidak dapat terbuka yang seharusnya untuk mengalirkan udara ke
telinga tengah.
2.2 ISPA
Hal ini merupakan penyebab tersering dari disfungsi tuba eustachius. Hidung yang
tersumbat atau mucus yang timbul saat flu atau infeksi lain merupakan factor pencetus terjadi
disfungsi tuba dalam ISPA. Akibat infeksi, baik dari virus, bakteri maupun jamur dapat
menyebabkan mukosa tuba eustachius menjadi radang dan membengkak dan akhirnya
menyebabkan terjadinya gangguan pada motilitas silia tuba di mana silia menjadi lumpuh.
Silia yang lumpuh ini mengakibatkan fungsi pencegahan invasi kuman menjadi terganggu
dan kuman dapat masuk ke dalam telinga tengah dan menyebakan peradangan telinga tengah.
Kuman penyebab terjadinya gangguan fungsi tuba akibat daripada ISPA adalah dari
golongan bakteri piogenik, seperti Streptococcus hemoliticus, Haemophilus Influenzae,
Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumonia, Pneumococcus, Moraxella catarrhalis dan
9
Haemophilus influenza. Sering kali bakteri ini sering ditemukan pada anak di bawah usia
lima tahun, meskipun juga potogen pada orang dewasa.
Pada banyak kasus, Disfungsi Tuba Eustachius yang terjadi ringan atau tidak
berlangsung lama, oleh itu kadangkala tidak diberikan pengobatan khusus karena gejala akan
segera hilang seiringan dengan penyembuhan, namun di anjurakan untuk melakukan perasat
valsava yaitu dengan menarik napas dalam-dalam lalu mencoba membuang napas dengan
menutup mulut atau menjepit hidung.
Pemberian dekongestan nasal spray/ tetes diberikan jika pasien mengalami batuk pilek
atau hal lain yang menyebabkan hidung tersumbat. Walau bagaimanapun tidak dianjurkan
menggunakan lebih dari 7 hari karena akan memperburuk kongesti di nasal.
2.3 Rhinitis alergi
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit peradangan yang di mulai dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi dapat berlangsung menjadi 2 tahap,
yaitu tahap lambat dan cepat. Pada tahap lambat, reaksi alergi berlangsung sekitar 2- 4 jam
dengan puncak 6-8 jam setelah pemaparan dengan allergen (baik debu, pollen, atau suhu
dingin) dan menetap sehingga sampai 1-2 hari. Hal ini berhubungan dengan berkumpulnya
sel-sel peradangan (eosinofil, basofil, neutrofil, monosit dan limfosit), pada tempat
berkumpulnya sel-sel ini akan menyebabkan terjadinya pembengkakkan dan keluarnya lender
kental. Pada tahap cepat pula, reaksi alergi berlangsung sejak kontak dengan allergen sekita
5- 30 menit sampai kurang lebih 1 jam setelahnya. Gejalanya bisa bersin-bersin dan hidung
meler akibat hambatan didalam hidung, hal ini berhubungan dengan perlepasan zat yang
bernama histamin
Rhinitis menyebabkan mukosa hidung teriritasi, membengkak dam menyempitkan
saluran tuba eustachius akhirnya menyebabkan terjadinya gangguan pada motilitas silia tuba
di mana silia menjadi lumpuh dan gangguan fungsi tuba terganggu.
Pemberian antihistamin disarankan apabila memang ternyata penyebabgangguan tuba
eustachius adalah dari alergi, pada situasi ini antihistamin membantu untuk meringankan
kongesti nasal dan peradangan dan sekaligus diharapkan mengembalikan fungsi tuba
eustachius.
10
Selain itu boleh juga diberikan steroid nasal spray ada alergi atau penyebab
peradangan yang persisten di hidung, pemberian steroid nasal spray membutuhkan beberapa
hari untuk efek yang penuh, oleh itu penderita tidak akan merasakan perubahan atau
pembaukan saat awal mula pemakaian.
2.4 Tumor
KARSINOMA NASOFARING
Anatomi Nasofaring
Nasofaring merupakan rongga dengan dinding kaku di atas, belakang, dan lateral. Di
sebelah atas nasofaring dibentuk oleh korpus sfenoid dan prosesus basilar os. Oksipital,
sebelah anterior oleh koana dan palatum mole, sebelah posterior oleh vertebra servikalis, dan
di sebelah inferior nasofaring berlanjut menjadi orofaring. Orifisium tuba Eustachius terletak
pada dinding lateral nasofaring, di belakang ujung posterior konka inferior. Di sebelah atas
belakang orifisium tuba Eustachius terdapat satu penonjolan yang dibentuk oleh kartilago
Eustachius.
Ruang nasofaring memiliki hubungan dengan beberapa organ penting:
♣ Pada dinding posterior terdapat jaringan adenoid yang meluas ke arah kubah.
♣ Pada dinding lateral dan pada resesus faringeus terdapat jaringan limfoid yang dikenal
sebagai fossa Rosenmuller.
♣ Torus tubarius merupakan refleksi mukosa faringeal di atas bagian kartilago tuba
Eustachius, berbentuk lonjong, tampak seperti penonjolan ibu jari ke dinding lateral
nasofaring di atas perlekatan palatum mole.
♣ Koana posterior rongga hidung.
♣ Foramen kranial yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan penyakit
nasofaring, termasuk foramen jugularis yang dilalui nervus glosofaringeus, vagus, dan
asesorius spinalis, dan foramen hipoglosus yang dilalui nervus hipoglosus.
♣ Struktur pembuluh darah yang penting dan terletak berdekatan adalah sinus petrosus
inferior, vena jugularis interna, cabang-cabang meningeal dari oksipital dan arteri
faringeal asenden.
♣ Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang letaknya dekat dengan
bagian lateral atap nasofaring.
♣ Ostium dari sinus-sinus sfenoid.
11
Gambar 8. Struktur Anatomi Nasofaring
Batas-batas nasofaring :
♣ Superior : basis cranii, diliputi oleh mukosa dan fascia.
♣ Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke posterior, batas ini
bersifat subyektif karena tergantung dari palatum durum.
♣ Anterior : koana, yang dipisahkan menjadi koana dextra dan sinistra oleh os vomer.
♣ Posterior : vertebra cervicalis I dan II, fascia space, mukosa lanjutan dari mukosa
bagian atas.
♣ Lateral : mukosa lanjutan dari mukosa di bagian superior dan posterior, muara tuba
Eustachii, fossa Rosenmuller.
Gejala-gejala dan tanda klinis :
Gejala yang timbul oleh tumor nasofaring beraneka ragam, tidak ada gejala pasti yang
khusus untuk tumor nasofaring karena tumor primer itu sendiri dalam nasofaring kadang
tidak menimbulkan gejala. Tumor nasofaring dapat menimbulkan gejala-gejala hingga
penderita datang berobat keberbagai ahli.4
Tumor ini menimbulkan gejala bila sudah ada penyebaran.
1. Gejala nasofaring (tumor primer )
Asimptomatik.
Hidung tumpat
Epistaksis ringan
12
Untuk itu nasofaring harus diperiksa dengan cermat, kalau perlu dengan
nasofaringoskop. Karena sering gejala belum ada sedangkan tumor sudah bertumbuh
atau tumor tidak nampak karena masih terdapat dibawah mukosa ( creeping
tumor ).1,2,3,4
2. Gangguan pada telinga/pendengaran.
Merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat muara tuba
eustachius ( fossa Rossen-Muller ) hingga tuba tertutup. Gangguan dapat berupa :
Tinitus
Tuli (deafness ) akibat timbulnya otitis media serosa
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri ( otalgia )
Tidak jarang penderita dengan gangguan pendengaran ini baru kemudian disadari
bahwa penyebabnya adalah karsinoma nasofaring.1,2,4
3. Gejala mata dan syaraf
Infiltrasi dasar tengkorak
Merupakan gejala karsinoma. Penjelasan melalui fenomena laserum akan
mengenai syaraf otak N.III, N.VI, dapat pula ke N.V dapat menimbulkan gejala :
Diplopia
Juling
Neuralgia terminal.1,2,4
Penderita datang dengan keluhan juling bila melirik kekanan bengkak leher
sebelah kanan sejak dua bulan, tidak nyeri. Tidak ada keluhan lain. Pada pemeriksaan
terdapat masssa kelenjar limfe-3 dan paralysis N.VI kanan. Biopsy nasofaring
memastikan diagnosis karsinoma dengan penyebaran kelenjar limfe (N3) dan
penyusupan ke dasar tengkorak ( petrosfenoidal ).2,4
a. Pada pandangan lurus kedepan tampak normal
b. Penderita melirik kekanan, mata kanan tidak bergerak ke kanan
c. Penderita melirik kekiri tidak ada gangguan gerakan bola mata.2
Infiltrasi para faring
Yaitu tengkorak lateral dan belakang tumor masuk menjalar, sepanjang dasar
tengkorak dapat merusak syaraf-syaraf yang melalui foramen jugularis yaitu N.IX,
13
X, XI dan XII sehingga menimbulkan paralise motorik atau sensorik pada faring
dan laring.2
Pembengkakkan leher
Tiga dari empat penderita tumor nasofaring mengalami pembengkakkan pada
leher, ini merupakan gejala utama hampir 50% penderita. Oleh tumor dalam
nasofaring tidak menimbulkan gejala, satu-satunya keluhan penderita ialah
pembengkakkan pada leher. Menghadapi penderita demikian maka nasofaring
penderita harus di periksa. Sebelum dilakukan biopsy kelenjar leher yang
membesar pada daerah nasofaring yang mencurigakan harus dilakukan biopsy
lebih dahulu.2
2.5. Adenoid
Adenoid merupakan massa limfoid yang berlobus dan terdiri dari jaringan limfoid
yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau segmen tersebut tersusun
teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah ceruk dengan celah atau kantong
diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi daerah yang lebih rendah di bagian tengah,
dikenal sebagai bursa faringeus. Adenoid tidak mempunyai kriptus.
Adenoid terletak pada dinding posterior nasofaring, berbatasan dengan kavum
nasi dan sinus paranasalis pada bagian anterior, serta kompleks tuba Eustachius –
telinga tengah – kavum mastoid pada bagain lateral. Jaringan adenoid di nasofaring
terutama ditemukan pada dinding atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fossa
Rosenmuller dan orifisium tuba Eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-
masing anak. Pada umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7
tahun kemudian akan mengalami regresi.
Vaskularisasi adenoid diperoleh melalui cabang faringeal a.carotis eksternal,
beberapa cabang minor berasal dari a.maxilaris interna dan a.fasialis. Innervasi sensible
merupakan cabang dari n.glosofaringeus dan n.vagus. Anatomi mikro dan makroskopik
dari adenoid menggambarkan fungsinya dan perbedaannya dengan tonsila palatina.
Adenoid adalah organ limfoid yang mengalami invaginasi dalam bentuk lipatan yang
dalam, hanya terdiri beberapa kripte berbeda dengan tonsila palatine yang memiliki
jumlah kripte lebih banyak.2,3
14
Gambar 9. Tonsilla Pharingeal (Adenoid)
Fungsi adenoid adalah bagian dari imunitas tubuh. Adenoid merupakan jaringan
limfoid bersama dengan struktur lain dalam cincin Waldeyer. Adenoid memproduksi
IgA sebagai bagian penting sistem pertahanan tubuh lini terdepan dalam memproteksi
tubuh dari invasi mikroorganisme dan molekul asing
Proses imunologi pada adenoid dimulai ketika bakteri, virus, atau antigen
makanan memasuki nasofaring mengenai epitel kripte yang merupakan kompartemen
adenoid pertama sebagai barrier imunologis. Kemudian terjadi absorbsi secara selektif
oleh makrofag, sel HLA dan sel M dari tepi adenoid. Antigen selanjutnya diangkut dan
dipresentasikan ke sel T pada area ekstra-folikuler dan ke sel B pada sentrum
germinativum oleh follicular dendritic cells – FDC.
Hipertrofi Adenoid
Adenoid merupakan massa yang terdiri dari jaringan limfoid pada dinding posterior
nasofaring di atas batas palatum molle dan termasuk dalam cincin Waldeyer. Secara
fisiologik pada anak-anak, adenoid dan tonsil mengalami hipertrofi. Adenoid ini membesar
pada anak usia 3 tahun dan kemudian mengecil dan menghilang sama sekali pada usia 14
tahun. Apabila sering terjadi infeksi pada saluran napas bagian atas, maka dapat terjadi
hipertrofi adenoid yang akan mengakibatkan sumbatan pada koana dan tuba Eustachius.
15
Akibat sumbatan koana pasien akan bernapas melalui mulut sehingga terjadi (1) fasies
adenoid, yaitu tampak hidung kecil, gigi insisivus ke depan (prominen), arkus faring tinggi
yang menyebabkan kesan wajah pasien tampak seperti orang bodoh; (2) faringitis dan
bronkitis; serta (3) gangguan ventilasi dan drainase sinus paranasal sehingga menimbulkan
sinusitis kronik. Obstruksi dapat mengganggu pernapasan hidung dan menyebabkan
perbedaan dalam kualitas suara. Akibat sumbatan tuba Eustachius akan terjadi otitis media
akut berulang dan akhirnya dapat terjadi otitis media supuratif kronik. Akibat hipertrofi
adenoid juga dapat menimbulkan retardasi mental, pertumbuhan fisik berkurang, gangguan
tidur dan tidur ngorok. Hipertrofi adenoid juga dapat menyebabkan beberapa perubahan
dalam struktur gigi dan maloklusi.2
Gambar 10. Gambaran Obstructive Sleep Apnea
Etiologi
Etiologi pembesaran adenoid dapat diringkas menjadi 2, yaitu secara fisiologis dan
faktor infeksi. Secara fisiologis, adenoid akan mengalami hipertrofi pada masa puncaknya,
yaitu 3-7 tahun. Biasanya asimptomatik, namun jika cukup membesar akan menimbulkan
gejala. Hipertrofi adenoid juga didapatkan pada anak yang mengalami infeksi kronik atau
rekuren pada saluran pernapasan atas (ISPA). Hipertrofi adenoid terjadi akibat adenoiditis
yang berulang kali antara usia 4-14 tahun.
Patofisiologi
Pada balita jaringan limfoid dalam cincin Waldeyer sangat kecil. Pada anak berumur 4
tahun bertambah besar karena aktivitas imun, karena tonsil dan adenoid (pharyngeal tonsil)
16
merupakan organ limfoid pertama di dalam tubuh yang memfagosit kuman-kuman patogen.
Jaringan tonsil dan adenoid mempunyai peranan penting sebagai organ yang khusus dalam
respon imun humoral maupun selular, seperti pada bagian epithelium kripte, folikel limfoid
dan bagian ekstrafolikuler. Oleh karena itu, hipertrofi dari jaringan merupakan respon
terhadap kolonisasi dari flora normal itu sendiri dan mikroorganisme patogen .
Adenoid dapat membesar seukuran bola ping-pong, yang mengakibatkan tersumbatnya
jalan udara yang melalui hidung sehingga dibutuhkan adanya usaha yang keras untuk
bernapas, sebagai akibatnya terjadi ventilasi melalui mulut yang terbuka. Adenoid juga dapat
menyebabkan obstruksi pada jalan udara pada nasal sehingga mempengaruhi suara.
Pembesaran adenoid dapat menyebabkan obstruksi pada tuba Eustachius yang akhirnya
menjadi tuli konduktif karena adanya cairan dalam telinga tengah akibat tuba Eustachius
yang tidak bekerja efisien karena adanya sumbatan .1,4
Penyebab utama hipertrofi jaringan adenoid adalah infeksi saluran napas atas yang
berulang. Infeksi dari bakteri-bakteri yang memproduksi beta-lactamase, seperti
Streptoccocus Beta Hemolytic Group A (SBHGA), Staphylococcus aureus, Moraxella
catarrhalis, Streptococcus pneumonia dan Haemophilus influenzae, apabila mengenai
jaringan adenoid akan menyebabkan inflamasi dan hipertrofi. Jaringan adenoid yang
seharusnya mengecil secara fisiologis sejalan dengan pertambahan usia, menjadi membesar
dan pada akhirnya menutupi saluran pernapasan atas. Hambatan pada saluran pernapasan atas
akan mengakibatkan pernapasan melalui mulut dan pola perkembangan sindrom wajah.
Menurut Linder-Arosson (2000), sindrom wajah adenoid diakibatkan oleh penyumbatan
saluran napas atas kronis oleh karena hipertrofi jaringan adenoid. Penyumbatan saluran napas
atas kronis menyebabkan kuantitas pernapasan atas menjadi menurun, sebagai penyesuaian
fisiologis penderita akan bernapas melalui mulut. Pernapasan melalui mulut menyebabkan
perubahan struktur dentofasial yang dapat mengakibatkan maloklusi, yaitu posisi rahang
bawah yang turun dan elongasi, posisi tulang hyoid yang turun sehingga lidah akan
cenderung ke bawah dan ke depan, serta meningginya dimensi vertical.
Faktor etiologi lainnya dari sindroma wajah adenoid adalah inflamasi mukosa hidung,
deviasi septum nasalis, anomali kogenital dan penyempitan lengkung maksila.
Gejala Klinis
♣ Obstruksi Nasi
Pembesaran adenoid dapat menyumbat parsial atau total respirasi hidung sehingga
terjadi ngorok, percakapan hiponasal, dan membuat anak akan terus bernapas melalui
17
mulut. Beberapa peneliti menunjukkan korelasi statistik antara pembesaran adenoid dan
kongesti hidung dengan rinoskopi anterior.1,2
♣ Sleep Apnea
Sleep apnea pada anak berupa adanya episode apnea saat tidur dan hipersomnolen pada
siang hari. Sering juga disertai dengan hipoksemia dan bradikardi. Episode apnea dapat
terjadi akibat adanya obstruksi, sentral atau campuran.
Gambar 11. Gejala Obstruksi Saluran Napas Atas
♣ Facies Adenoid
Secara umum telah diketahui bahwa anak dengan pembesaran adenoid mempunyai
tampak muka yang karakteristik. Tampakan klasik tersebut meliputi :
Mulut yang terbuka, gigi atas yang prominen dan bibir atas yang pendek. Namun sering
juga muncul pada anak-anak yang minum susu dengan menghisap dari botol dalam
jangka panjang. Hidung yang kecil, maksila tidak berkembang/hipoplastik, sudut
alveolar atas lebih sempit, dan arkus palatum lebih tinggi.
♣ Efek Pembesaran Adenoid Pada Telinga
Hubungan pembesaran adenoid atau adenoiditis rekuren dengan otitis media efusi telah
dibuktikan baik secara radiologis maupun berdasarkan penelitian tentang tekanan oleh
Bluestone. Otitis media efusi merupakan keadaan dimana terdapat efusi cairan di
telinga tengah dengan membran timpani utuh tanpa tanda-tanda radang. Hal ini dapat
terjadi akibat adanya sumbatan pada tuba Eustachius. Keadaan alergik juga sering
berperan sebagai faktor tambahan dalam timbulnya efusi cairan di telinga tengah .2
Penegakkan Diagnosis
1) Tanda dan gejala klinik
18
Bila hipertrofi adenoid berlangsung lama, akan timbul wajah adenoid, yaitu pandangan
kosong dengan mulut terbuka. Biasanya langit-langit cekung dan tinggi. Karena
pernapasan melalui hidung terganggu akibat sumbatan adenoid pada koana, terjadi
gangguan pendengaran dan penderita sering beringus.
2) Pemeriksaan rinoskopi anterior dengan melihat tertahannya gerakan velum palatum
mole pada waktu fonasi. Pada pemeriksaan tepi anterior adenoid yang hipertrofi terlihat
melalui lubang hidung bila sekat hidung lurus dan konka mengerut. Dengan meletakkan
ganjal di antara deretan gigi atas dan bawah, adenoid yang membesar dapat diraba.
3) Pemeriksaan rinoskopi posterior (pada anak biasanya sulit).
4) Pemeriksaan nasoendoskopi dapat membantu untuk melihat ukuran adenoid secara
langsung.
5) Pemeriksaan radiologi dengan membuat foto polos lateral kepala agar dapat melihat
pembesaran adenoid. Prosedur pemeriksaan radiologi :
♣ Posisi pasien : Pemeriksaan dilakukan pada pasien dengan posisi berdiri tegak pada
film sejauh 180 cm.
♣ Pengukuran adenoid (A) : A’ adalah titik konveks maksimal sepanjang tepi inferior
bayangan adenoid. Garis B adalah garis yang ditarik lurus dari tepi anterior basis
oksiput. Jarak A diukur dari titik A’ ke perpotongannya pada garis B.
♣ Pengukuran ruang nasofaring : Ruang nasofaring diukur sebagai jarak antara titik
C’, sudut posterior-superior dari palatum durum dan D’ (sudut anterior-inferior
sincondrosis sfenobasioksipital.
♣ Jika sinkondrosis tidak jelas, maka titik D’ ditentukan sebagai titik yang melewati
tepi posterior-inferior pterigoidea lateralis dan lantai tulang nasofaring.
♣ Rasio adenoid nasofaring diperoleh dengan membagi ukuran adenoid dengan
ukuran ruang nasofaring, yaitu Rasio AN = A/N.
♣ Dengan kriteria sebagai berikut :
- Rasio adenoid – nasofaring 0 – 0,52 : tidak ada pembesaran
- Rasio adenoid – nasofaring 0,52 – 0,72 : pembesaran sedang – non obstruksi
- Rasio adenoid – nasofaring > 0,72 : pembesaran dengan obstruksi
19
Gambar 12. Gambaran Hipertrofi Adenoid Pada Rontgen Lateral Kepala
1) CT scan merupakan modalitas yang lebih sensitif daripada foto polos untuk identifikasi
patologi jaringan lunak, tapi kekurangannya karena biaya yang mahal
Tatalaksana
Terapinya terdiri atas adenoidektomi untuk adenoid hipertrofi yang menyebabkan
obstruksi hidung, obstruksi tuba Eustachius, atau yang menimbulkan penyulit lain. Operasi
dilakukan dengan alat khusus (adenotom). Kontraindikasi operasi adalah celah palatum atau
insufisiensi palatum karena operasi ini dapat mengakibatkan rinolalia aperta. Kontraindikasi
relatif berupa gangguan perdarahan, anemia, infeksi akut yang berat, dan adanya penyakit
berat lain yang mendasari
Indikasi adenoidektomi :
1) Sumbatan : sumbatan hidung yang menyebabkan bernapas melalui mulut, sleep apnea,
gangguan menelan, gangguan berbicara, kelainan bentuk wajah muka dan gigi (adenoid
face).
2) Infeksi : adenoiditis berulang/kronik, otitis media efusi berulang/kronik, otitis media
akut berulang.
3) Kecurigaan neoplasma jinak/ganas
2.6 Barotrauma
Merupakan keadaan dengan terjadinya perubahan tekanan yang tiba- tiba di luar telinga
tengah sewaktu di pesawat terbang atau menyelam, yang menyebabkan tuba gagal untuk
membuka.Otitis barotrauma merupakan tipe paling sering barotrauma.Ia disebabkan oleh
perbedaan tekanan antara telinga tengah dengan tekanan atmosfir. Pasien dengan perforasi
20
membrane timpani tidak akan mengenai barotrauma, melainkan telinga tengahnya terlokulasi.
Ia memerlukan perubahan tekanan yang nyata untuk mengakibatkan kondisi ini.1
Membrane timpani mempunyai 2 bagian; bagian media yang bisa kolaps dan bagian lateral
yang rigid, jadi udara dapat melewatinya tetapi tidak dapat disedot keluar.Maka perbedaan
tekanan tidak berlaku sewaktu pesawat naik karena tekanan telinga tengah cenderung lebih
tinggi dari tekanan atmosfir, tetapi berlaku sewaktu pesawat turun karena tekanan telinga
tengah menurun secara progresif berbanding tekanan atmosfir, maka udara seperti ditarik ke
dalam tuba. Hal ini tidak akan berlaku sekiranya tuba terbuka secara normal oleh gerakan
otot.
Gambar 13. Ketidakseimbangan tekanan pada barotrauma
Gambar 14. Keadaan tuba eustachius pada barotrauma
21
Apabila perbedaan tekanan melebihi 90cmHg, maka otot yang normal aktivitasnya tidak
mampu membuka tuba.Pada keadaan ini terjadi tekanan negative di rongga telinga tengah,
membrane timpani tertarik ke dalam yang menyebabkan rasa nyeri. Membrane mukosa
teregang, tersumbat dan menjadi edema, sehingga cairan keluar dari pembuluh darah kapiler
mukosa dan kadang- kadang disertai dengan rupture pembuluh darah, sehingga cairan di
telinga tengah dan rongga mastoid tercampur darah. Membrane timpani menjadi kurang
elastis, menyebabkan hantaran getaran suara berkurang, maka mengganggu pendengaran.1
Apabila fungsi tuba terganggu akibat inflamasi mukosa karena ISPA, alergi atau trauma, pada
peringkat awal pergerakan udara aktif ke telinga tengah terganggu, kemudian diikuti dengan
ventilasi pasif terganggu pada kasus yang lebih berat. Maka pasien dengan ISPA biasanya
mendapati bahwa telinga mampu beradaptasi sewaktu pesawat naik, tetapi nyeri bertambah
sewaktu pesawat mahu mendarat sekiranya menelan dan perasat gagal.
Gejala klinik adalah kurang dengar, rasa nyeri dalam telinga, perasaan ada air dalam telinga
dan kadang- kadang tinnitus dan vertigo.
Table 1. Gred barotrauma telinga tengah pada pemeriksaan auriskopik
G membrane timpani
0 Gejala tanpa tanda- tanda kelainan
membrane timpani
1 Injeksi membrane timpani
2 Injeksi dengan perdarahan ringan dalam
membrane timpani
3 Perdarahan jelas pada membrane timpani
4 Darah bebas di telinga tengah, gegendang
kebiruan dan bulging.
5 Perforasi membrane timpani
22
Gambar 15. Kondisi membrane timpani pada otoskopi menurut gred barotrauma
Penatalaksanaan biasanya konservatif saja, yaitu dengan dekongestan local atau dengan
melakukan perasat Valsalva selama tidak terdapat infeksi di jalan napas atas. Perasat
Valsalva dilakukan dengan cara meniupkan dengan keras dari hidung sambil hidung dipencet
serta mulut ditutup. Bila tuba terbuka maka terasa ada udara masuk ke dalam rongga telinga
tengah yang menekan membrane timpani ke arah lateral. Perasat ini tidak boleh dilakukan
apabila ada infeksi jalan napas atas.4,5
Apabila cairan atau cairan yang bercampur darah menetap di telinga tengah sampai beberapa
minggu, maka dianjurkan untuk miringotomi dan bila perlu memasang pipa ventilasi
(Grommet).
Gambar 16. Pemasangan Pipa Grommet
Antara pengobatan dan pencegahan barotrauma adalah:
Antihistamin:dapat membataskan jumlah produksi mucus yang dihasilkan.
Contoh: Loratadine tablet 10 mg.
23
Dekongestan: mengeringkan mucus pada hidung.
Contoh: semprot xylometazoline- disemprotkan satu jam sebelum waktu pesawat
mendarat, kemudian disemprot lagi 5 menit kemudiannya. Setelah itu disemprot
setiap 20 menit hingga mendarat.
Antibiotic: dapat mencegah infeksi telinga sekiranya barotrauma berat.
Pencegahan baraotrauma dapat dilakukan dengan mengunyah permen karet atau melakukan
perasat Valsalva, terutama sewaktu pesawat terbang mulai turun untuk mendarat.Jangan tidur
sewaktu pesawat mahu mendarat.Sebaliknya, lakukan aktivitas yang dapat membantu
pembukaan tuba (minum, menguap, makan permen, dsb). Hindari aktivitas menyelam atau
menaiki pesawat sekiranya lagi sedang infeksi saluran napas atas.4,5
Antara komplikasi yang berlanjutan adalah nyeri telinga bisa memburuk, namun jarang
menyebabkan kerusakan serius pada telinga.Kadangkala menyebabkan perforasi membrane
timpani, namun biasanya dapat menutup sendiri dalam beberapa minggu. Yang lain adalah
mudahnya terkena infeksi akut telinga,gangguan pendengaran atau vertigo. Prognosis
biasanya baik karena gangguan pendengaran biasanya bersifat sementara. Namun,sekiranya
aktivitas terkait perubahan tekanan dilakukan lagi, barotrauma dapat terjadi lagi. Oleh itu,
pencegahan adalah penting untuk mengatasi hal ini.
2.7 Tuba terbuka abnormal
Tuba terbuka abnormal ialah tuba terus menerus terbuka, sehingga udara masuk ke telinga
tengah waktu respirasi.Umumnya idiopatik tetapi dapat juga disebabkan oleh hilangnya
jaringan lemak di sekitar mulut tuba sebagai akibat turunnya berat badan yang hebat dan
kehamilan terutama pada trimester ketiga diidentifikasi sebagai faktor predisposisi
penting.Selain itu, faktor lain yang mungkin adalah penyakit kronis tertentu seperti rinitis
atrofi dan faringitis, gangguan fungsi otot seperti myasthenia gravis, penggunaan obat anti
hamil pada wanita dan penggunaan estrogen pada laki-laki.1,2
Gangguan neurologis yang dapat menyebabkan atrofi otot (misalnya, stroke, multiple
sclerosis, penyakit motor neuron) jugamungkin terlibat.Pembentukan adhesi dalam
nasofaring setelah adenoidectomy atau radioterapi juga dapat mempengaruhi untuk terjadinya
kelainan ini.. Faktor predisposisi lainnya termasuk kelelahan, stres, kecemasan, latihan, dan
sindrom sendi temporomandibular.2,3
24
Insiden tuba terbuka abnormal adalah sebanyak 0,3-6,6%, dan 10-20% dari orang yang
mengalaminya mencari bantuan medis karena merasa begitu terganggu dengan gejalanya.
Kondisi ini lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada pria dan biasanya terjadi pada
remaja dan orang dewasa, jarang ditemukan pada anak-anak.2
Keluhan pasien biasanya berupa rasa penuh dalam telinga atau autofoni (gema suara sendiri
terdengar lebih keras), sampai bisa terdengar bunyi napas sendiri dan bisa mengganggu
pertuturan.Keluhan ini kadang-kadang sangat mengganggu, sehingga pasien mengalami
stress berat.Vertigo dan gangguan pendengaran juga dapat terjadi karena tuba terbuka
abnormal memungkinkan perubahan tekanan yang berlebihan terjadi di telinga tengah,
perubahan tekanan kemudian dikirim ke telinga bagian dalam melalui gerakan tulang
pendengaran.Beberapa pasien mungkin mengalami kesulitan makan karena suara mengunyah
ditransmisikan ke telinga.Gejala mungkin berhubungan dengan perubahan siklus yang terjadi
dalam mukosa tuba eustachius.Beberapa pasien merasa lega dengan peningkatan kongesti
mukosa yang terkait dengan cara berbaring, menempatkan kepala di antara lutut, atau selama
infeksi saluran pernapasan atas.1,2
Kompresi vena jugularis menghasilkan kongesti vena peritubular dan bisa meringankan
gejala.Pasien kadang-kadang mengendus berulang-ulang untuk menutup tabung eustachius,
dan ini dapat mengakibatkan tekanan negatif telinga tengah jangka panjang.Dekongestan atau
tabung ventilasi dalam membran timpani dapat memperburuk gejala.
Pada pemeriksaan klinis dapat dilihat membran timpani yang atrofi, tipis dan bergerak pada
respirasi (a telltale diagnostic sign). Membran timpani dapat menjadi atrofi sekunder akibat
gerakan membran timpani yang konstan dari bernapas atau mengendus..Disebabkan tuba
yang terbuka abnormal, perubahan tekanan dalam nasofaring sangat mudah dipindahkan ke
telinga tengah sehinggakan pergerakan membran timpani bisa dilihat pada waktu inspirasi
dan ekpirasi.Pergerakan ini lebih jelas jika pasien bernapas setelah menutup lobang hidung
yang bersebelahan.Membran timpani bergerak ke medial pada waktu inspirasi dan ke lateral
pada waktu ekspirasi. Jika pasien duduk tegak, gerakan kecil pars flaccida terjadi, yang
menghilang ketika pasien terlentang.3
CT scan dalam bidang aksial telah digunakan untuk menunjukkan adanya tuba
terbuka abnormal.CT scan mungkin berguna dalam membuat diagnosis pada beberapa
pasien.Radiologi hanya membantu dalam diagnosis patensi anatomi.Timpanometri dapat
mendeteksi gerakan dari membran timpani dengan respirasi hidung, terutama dengan pasien
25
dalam posisi tegak.Suara distorsi dari respirasi hidung dan pertuturan dapat didengar dengan
mikrofon ditempatkan di meatus eksternal. Dengan sonotubometry, suara uji dimasukkan ke
ruang depan hidung dan mikrofon dipasang ke dalam meatus auditori eksternal. Dengan tuba
terbuka abnormal, tingkat tekanan suara di kanalis eksternal berada pada tingkat maksimum,
karena tabung tidak menutup, tidak ada penurunan mendadak dalam suara yang
ditransmisikan.2
Dalam kondisi normal, tabung eustachius ditutup dan hanya dibuka pada waktu
menelan atau autoinflation. Biasanya, penutupan tabung eustachius dikelola oleh faktor
luminal dan ekstraluminal, yang meliputi elastisitas intrinsik tabung, tegangan permukaan
lembab luminal, dan tekanan jaringan ekstraluminal.Tonus otot tensor veli palatini
melebarkan lumen jadinya kerusakan pada tensor veli palatini setelah operasi bibir sumbing
dapat mengakibatkan tuba terbuka abnormal. Berat badan juga dapat menyebabkan
pembukaan abnormal yang disebabkan oleh berkurangnya tekanan jaringan dan hilangnya
deposit lemak di daerah tabung eustachius. Kehamilan mengubah tekanan pembukaan tabung
eustachius karena perubahan tegangan permukaan, estrogen yang bekerja pada prostaglandin
E mempengaruhi produksi surfaktan. Jaringan parut di ruang postnasal akibat adenoidectomy
dapat menyebabkan traksi tuba dalam posisi terbuka.2
Kondisi akut dari penyakit ini adalah self-limiting dan tidak memerlukan pengobatan.Pasien
dengan tuba terbuka abnormal yang sedang hamil dan mereka dengan gejala ringan
(kebanyakan pasien) perlu diinformasi saja.Pasien yang memiliki gejala selama kehamilan
bebas gejala setelah melahirkan. Pasien disarankan untuk melakukan hal berikut:
Menambah atau mendapatkan kembali berat badan yang hilang
Hindari diuretik
Berbaring atau meletakkan kepala lebih rendah ketika gejala terjadi
Pemberian obat topikal (obat nasal) dengan antikolinergik mungkin efektif untuk beberapa
pasien.Estrogen (Premarin) tetes hidung (25 mg dalam 30 mL normal saline, 3 tetes tid) atau
obat oral larutan jenuh kalium iodida (10 tetes dalam segelas jus buah tid) telah digunakan
untuk menginduksi pembengkakan pembukaan tuba eustachius.Obat hidung yang
mengandung asam klorida encer, chlorobutanol, dan benzil alkohol telah dibuktikan efektif
pada beberapa pasien.Hal ini telah dilaporkan dapat ditoleransi dengan baik dengan sedikit
atau tidak ada efek samping.Persetujuan oleh Food and Drug Administration (FDA) masih
26
tertunda. Bila tidak berhasil dapat dipertimbangkan untuk memasang pipa ventilasi
(Grommet).1,2,3
2.8 OMA
Definisi.
Otitis Media Akut (OMA),otitis media akut adalah peradangan pada telinga tengah yang
bersifat akut atau tiba-tiba. Telinga tengah adalah organ yang memiliki penghalang yang
biasanya dalam keadaan steril. Tetapi pada suatu keadaan jika terdapat infeksi bakteri pada
nasofariong dan faring, secara alamiah teradapat mekanisme pencegahan penjalaran bakteri
memasuki telinga tengah oleh enzim pelindung dan bulu-bulu halus yang dimiliki oleh tuba
eustachii.
Otitis media akut ini terjadi akibat tidak berfungsingnya sistem pelindung tadi, sumbatan atau
peradangan pada tuba eustachii merupakan faktor utama terjadinya otitis media, pada anak-
anak semakin seringnya terserang infeksi saluran pernafasan atas, kemungkinan terjadi otitis
media akut juga semakin sering.
Etiologi
Penyebab otitis media akut (OMA) dapat merupakan virus maupun bakteri.
Pada 25% pasien, tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya.
Virus ditemukan pada 25% kasus dan kadang menginfeksi telinga tengah bersama
bakteri.
Bakteri penyebab otitis media tersering adalah Streptococcus pneumoniae, diikuti
oleh Haemophilus influenzae dan Moraxella cattarhalis. Yang perlu diingat pada
OMA, walaupun sebagian besar kasus disebabkan oleh bakteri, hanya sedikit kasus
yang membutuhkan antibiotik. Hal ini dimungkinkan karena tanpa antibiotik pun
saluran Eustachius akan terbuka kembali sehingga bakteri akan tersingkir bersama
aliran lendir.1,2
Patofisiologi
Otitis media sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti radang tenggorokan
atau pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius.Saat bakteri melalui
27
saluran Eustachius, mereka dapat menyebabkan infeksi di saluran tersebut sehingga terjadi
pembengkakan di sekitar saluran, tersumbatnya saluran, dan datangnya sel-sel darah putih
untuk melawan bakteri. Sel-sel darah putih akan membunuh bakteri dengan mengorbankan
diri mereka sendiri. Sebagai hasilnya terbentuklah nanah dalam telinga tengah.Selain itu
pembengkakan jaringan sekitar saluran Eustachius menyebabkan lendir yang dihasilkan sel-
sel di telinga tengah terkumpul di belakang gendang telinga.
Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu karena gendang
telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga dengan organ pendengaran di
telinga dalam tidak dapat bergerak bebas.Kehilangan pendengaran yang dialami umumnya
sekitar 24 desibel (bisikan halus).
Namun cairan yang lebih banyak dapat menyebabkan gangguan pendengaran hingga 45
desibel (kisaran pembicaraan normal). Selain itu telinga juga akan terasa nyeri.1 Dan yang
paling berat, cairan yang terlalu banyak tersebut akhirnya dapat merobek gendang telinga
karena tekanannya.Sebagaimana halnya dengan kejadian infeksi saluran pernapasan atas
(ISPA), otitis media juga merupakan salah satu penyakit langganan anak.
Anak lebih mudah terserang otitis media dibanding orang dewasa karena beberapa hal yaitu:
Sistem kekebalan tubuh anak masih dalam perkembangan.
Saluran Eustachius pada anak lebih lurus secara horizontal dan lebih pendek sehingga
ISPA lebih mudah menyebar ke telinga tengah.
Adenoid (adenoid: salah satu organ di tenggorokan bagian atas yang berperan dalam
kekebalan tubuh) pada anak relatif lebih besar dibanding orang dewasa. Posisi
adenoid berdekatan dengan muara saluran Eustachius sehingga adenoid yang besar
dapat mengganggu terbukanya saluran Eustachius. Selain itu adenoid sendiri dapat
terinfeksi di mana infeksi tersebut kemudian menyebar ke telinga tengah lewat
saluran Eustachius.1
Manifestasi Klinis
Gejala yang timbul bervariasi bergantung pada stadium dan usia pasien, pada usia anak –
anak umumnya keluhan berupa:
rasa nyeri di telinga dan demam.
28
Biasanya ada riwayat infeksi saluran pernafasan atas sebelumnya.
Pada remaja atau orang dewasa biasanya selain nyeri terdapat gangguan pendengaran
dan telinga terasa perih.
Pada bayi gejala khas Otitis Media akut adalah panas yang tinggi, anak gelisah dan
sukar tidur, diare, kejang-kejang dan sering memegang telinga yang sakit.
Terdapat lima stadium pada OMA yaitu stadium oklusi tuba, stadium hiperemis, stadium
supurasi, stadium perforasi, stadium resolusi.1
Diagnosis
Diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut:
Penyakitnya muncul mendadak (akut)
Ditemukannya tanda efusi (efusi: pengumpulan cairan di suatu rongga tubuh) di
telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut:
o menggembungnya gendang telinga
o terbatas/tidak adanya gerakan gendang telinga
o adanya bayangan cairan di belakang gendang telinga
o cairan yang keluar dari telinga
Adanya tanda/gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan dengan adanya salah
satu di antara tanda berikut:
o kemerahan pada gendang telinga
o nyeri telinga yang mengganggu tidur dan aktivitas normal
Anak dengan OMA dapat mengalami nyeri telinga atau riwayat menarik-narik daun telinga
pada bayi, keluarnya cairan dari telinga, berkurangnya pendengaran, demam, sulit makan,
mual dan muntah, serta rewel.Namun gejala-gejala ini (kecuali keluarnya cairan dari telinga)
tidak spesifik untuk OMA sehingga diagnosis OMA tidak dapat didasarkan pada riwayat
semata.
Efusi telinga tengah diperiksa dengan otoskop (alat untuk memeriksa liang dan gendang
telinga dengan jelas). Dengan otoskop dapat dilihat adanya gendang telinga yang
menggembung, perubahan warna gendang telinga menjadi kemerahan atau agak kuning dan
suram, serta cairan di liang telinga.Jika konfirmasi diperlukan, umumnya dilakukan dengan
29
otoskopi pneumatik (pemeriksaan telinga dengan otoskop untuk melihat gendang telinga
yang dilengkapi dengan pompa udara kecil untuk menilai respon gendang telinga terhadap
perubahan tekanan udara). Gerakan gendang telinga yang berkurang atau tidak ada sama
sekali dapat dilihat dengan pemeriksaan ini. Pemeriksaan ini meningkatkan sensitivitas
diagnosis OMA.Namun umumnya diagnosis OMA dapat ditegakkan dengan otoskop biasa.
Efusi telinga tengah juga dapat dibuktikan dengan timpanosentesis (penusukan terhadap
gendang telinga).Namun timpanosentesis tidak dilakukan pada sembarang anak. Indikasi
perlunya timpanosentesis antara lain adalah OMA pada bayi di bawah usia enam minggu
dengan riwayat perawatan intensif di rumah sakit, anak dengan gangguan kekebalan tubuh,
anak yang tidak memberi respon pada beberapa pemberian antibiotik, atau dengan gejala
sangat berat dan komplikasi.
OMA harus dibedakan dari otitis media dengan efusi yang dapat menyerupai OMA. Untuk
membedakannya dapat diperhatikan hal-hal berikut.1,4
Tabel 2.Perbedaan OMA dan otitis media dengan efusi.
Gejala dan tanda OMA Otitis media dengan efusi
Nyeri telinga, demam, rewel + -
Efusi telinga tengah + +
Gendang telinga suram + +/-
Gendang yang menggembung +/- -
Gerakan gendang berkurang + +
Berkurangnya pendengaran + +
Penatalaksanaan
Berdasarkan American association of Pediatric (AAP) terdapat strategi penanganan terbaru
tahun 2013 dengan beberapa penambahan spesifik pada strategi yang sedia ada yaitu :
Otitis media akut harus didiagnosis apabila terdapat bulging yang sedang atau berat
pada membrane timpani, atau otore onset baru bukan disebabkan oleh otitis eksterna
akut.
30
Otitis media akut dapat didiagnosis apabila ada bulging yang ringan pada membrane
timpani dan nyeri telinga kurang dari 48 jam atau pada membrane timpani yang
hiperemis hebat. Pada anak yang belum berbicara, nyeri telinga ditandakan apabila
mereka memegang atau menggosok telinga.
Otitis media akut tidak boleh didiagnosis apabila otoskopi pneumatik dan atau
tympanometri tidak menunjukkan tanda efusi telinga tengah.
Penanganan harus melibatkan evaluasi nyeri telingan dan pengobatannya.
Antibiotik diresepkan untuk otitis media akut bilateral atau unilateral pada anak
berusia minimal 6 bulan dengan gejala ( otalgia sedang, berat atau otalgia 48 jam dan
lebih, atau suhu tubuh 39oC dan ke atas ) dan untuk OMA yang tidak berat bilateral
pada anak berusia 6 hingga 23 bulan.
Berdasarkan keputusan dan pertimbangan dokter dan persetujuan orang tua, pada
anak OMA tidak berat berusia 6 hingga 23 bulan atau pada anak yang lebih tua, dapat
ditangani sama ada dengan antibiotic atau follow-up ketat dan tidak menggunakan
antibiotic kecuali gejala tidak membaik atau memburuk dalam waktu 48 hingga 72
jam dari permulaan timbul gejala.
Amoksisillin merupakan antibiotik pilihan kecuali anak itu telah pernah mendapat
antibiotic tersebut dalam masa 30 hari, atau mempunyai konjungtivitis purulen
konkuren, atau alergi terhadap penicillin. Pada keadaan tersebut, dokter harus
meresepkan obat tambahan B-laktamase.
Dokter harus reevaluasi anak dengan gejala yang memburuk atau tidak berespon
dengan antibiotic yang telah diberikan dalam waktu 48 hingga 72 jam dan mengubah
pengibatan jika ada indikasi.
Pada anak dengan OMA rekuren, tuba tympanostomy, dapat menjadi indikasi untuk
mengurangi frekuensi episode OMA, bukan pemberian anibiotik profilaksis.
Dokter patut merekomendasikan pemberian vaksin konjugasi pneumococcal dan
influenza tahunan pada anak berdasarkan jadwal imunisasi.
Pemberian ASI ekslusif untuk 6 bulan atau lebih harus digalakkan.
Tujuan terapi adalah meghilangkan gejala dan mengurangi rekurensi.Kebanyakan anak
dengan OMA 70 – 90 persen mengalami resolusi sendiri dalam masa 7 hingga 14 hari.Oleh
sebab itu, antibiotik tidak selalu harus diresepkan. Ini dapat mengurangi biaya dan juga
mencegah terjadinya resistensi antibiotik.
31
2.9. OMSK
Definisi OMSK
Otitis media merupakan peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba
Eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Otitis media terbagi atas Otitis Media
Supuratif dan Otitis Media non Supuratif/Efusi, masing-masing mempunyai bentuk akut dan
kronis.
Otitis Media Supuratif Kronis ( OMSK ) adalah infeksi kronis telinga tengah dengan
perforasi membran timpani dan sekret yang keluar dari telinga tengah terus menerus atau
hilang timbul. Masyarakat mengenal OMSK sebagai penyakit congek, kopok, toher atau
curek. OMSK terdiri atas OMSK tipe aman ( benigna ) dan tipe bahaya ( maligna ). Kedua
tipe ini dapat bersifat aktif ( keluar cairan ) atau tidak aktif ( kering ). Otitis Media Akut
dengan perforasi membran timpani menjadi Otitis Media Supuratif Kronis apabila prosesnya
sudah lebih dari 2 bulan. Bila proses infeksi kurang dari 2 bulan, disebut Otitis Media
Supuratif Subakut.7,8
Letak perforasi di membran timpani penting untuk menentukan tipe atau jenis OMSK.
Perforasi membran timpani dapat ditemukan di daerah sentral, marginal, atau atik. Oleh
karena itu disebut perforasi sentral, marginal, atau atik. Pada perforasi sentral, perforasi
terdapat pada pars tensa, sedangkan di seluruh tepi perforasi masih ada sisa membran
timpani. Pada perforasi marginal sebagian tepi perforasi langsung berhubungan dengan
anulus atau sulkus timpanikum. Perforasi atik adalah perforasi yang terletak di pars flaksida.
Gambar dibawah merupakan gambar dari perforasi sentral dan atik :
Membran timpani utuh Membran timpani perforasi
32
Perforasi Sentral Perforasi Atik
OMSK dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu OMSK tipe benign dan OMSK tipe maligna.
Berdasarkan aktivitas sekret yang keluar dikenal juga OMSK aktif dan OMSK tenang.
OMSK aktif ialah OMSK dengan sekret yang keluar dari kavum timpani secara aktif,
sedangkan OMSK tenang yaitu OMSK dengan kavum timpani terlihat basah atau kering.
Proses peradangan pada OMSK tipe aman terbatas pada mukosa saja dan biasanya tidak
mengenai tulang. Perforasi terletak sentral. Umumnya OMSK tipe benign jarang
menimbulkan komplikasi yang berbahaya. Pada OMSK tipe benign tidak terdapat
kolesteatoma.7,8,9
Gambar 18. OMSK fase aktif
33
Gambar 19. Perbedaan OMSK Benigna dan Maligna
OMSK tipe maligna ialah OMSK yang disertai dengan kolesteatoma. OMSK ini juga dikenal
sebagai OMSK tipe bahaya atau OMSK tipe tulang. Perforasi pada OMSK tipe bahaya
letaknya marginal atau di atik, kadang-kadang terdapat juga kolesteatoma pada OMSK
dengan perforasi subtotal. Sebagian besar komplikasi yang berbahaya atau fatal timbul pada
OMSK tipe bahaya.
Manifestasi Klinis
Gejala OMSK diantaranya keluar sekret dari telinga ( otore ), dapat berupa encer atau kental,
bening atau berupa nanah. Sekret yang keluar dari telinga akibat OMSK dapat terus menerus
atau hilang timbul. Pasien mengeluh telinga berdenging (tinitus), rasa penuh di telinga, dan
gangguan pendengaran. Beberapa faktor yang menyebabkan OMA menjadi OMSK ialah
terapi yang terlambat diberikan, terapi yang tidak adekuat, virulensi kuman tinggi, daya tahan
tubuh pasien rendah dan hygiene yang buruk.9
Etiologi
Otitis Media Supuratif Kronik dapat terjadi karena adanya perforasi membran timpani.
Perforasi ini dapat terjadi akibat trauma, iatrogenik dengan kelainan pada tuba, atau setelah
terkena Otitis Media Akut yang menyebabkan tekanan udara berkurang melalui perforasi
membran timpani. Mekanisme infeksi telinga tengah diperkirakan terjadi karena perpindahan
bakteri dari Meatus Akustikus Eksternus (MAE) melalui perforasi membran timpani yang
selanjutnya akan mengenai telinga tengah.. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa organisme
patogen dapat masuk karena refluks dari tuba eustachius. Namun tidak ada data yang
meyakinkan mengenai teori tersebut karena beberapa bakteri patogen yang ditemukan sama
dengan bakteri yang ada di MAE. Beberapa bakteri penyebab OMSK diantaranya adalah
34
bakteri aerob seperti Pseudomonas aeruginosa, Eschericia coli, Staphylococcus aureus,
Streptococcus pyogenes, Proteus mirabilis, dan Klebsiella. Sedangkan bakteri anaerobnya
adalah Bacteroides, Peptostreptococcus, dan Proprionibacterium.7,9
Patogenesis OMSK
Otitis Media Supuratif Kronis dimulai dari sebuah episode infeksi akut atau merupakan
kelanjutan dari Otitis Media Supuratif Akut (OMA) dengan perforasi membran timpani yang
sudah terjadi lebih dari 2 bulan. Oleh karena OMSK didahului oleh OMA, maka penjelasan
dimulai dengan patofisiologi terjadinya OMA. OMA biasanya disebabkan oleh Infeksi di
Saluran Nafas Atas (ISPA), umumnya terjadi pada anak karena keadaan tuba eustakius, yang
sangat berperan penting dalam patofiologi OMA pada anak berbeda dengan orang dewasa.
Tuba eustakius pada anak lebih pendek, lebih horizontal dan relatif lebih lebar daripada
dewasa. Infeksi pada saluran nafas atas akan menyebabkan edema pada mukosa saluran nafas
termasuk mukosa tuba eustakius dan nasofaring tempat muara tuba eustakius. Edema ini akan
menyebabkan oklusi tuba yang berakibat gangguan fungsi tuba eustakius yaitu fungsi
ventilasi, drainase dan proteksi terhadap telinga tengah. Normalnya tuba akan berusaha
menjaga tekanan di telinga tengah dan udara luar stabil, ketika terdapat oklusi tuba, maka
udara tidak akan dapat masuk ke telinga tengah, sedangkan secara fisiologis udara akan
diabsorbsi di telinga tengah 1 ml tiap hari pada orang dewasa. Keadaan ini kan menyebabkan
tekanan negatif pada telinga tengah, keadaan vacum di telinga tengah menyebabkan
transudasi cairan di telinga tengah. Dalam keadaan normal mukosa telinga tengah akan
menghasilkan sekret yang akan di dorong oleh gerakan silia ke arah nasofaring, ketika terjadi
oklusi tuba fungsi ini akan terganggu, sehingga terjadi penumpukan sekret di telinga tengah.
Akumulasi cairan di telinga tengah akan lebih banyak dengan adanya transudasi akibat
tekanan negatif. Sekret ini merupakan media yang baik untuk tumbuhnya kuman. Tuba
berperan dalam proteksi kuman dan sekret dari nasofaring masuk ke telinga tengah,
diantaranya melalui kerja silia. Ketika terjadi oklusi tuba, fungsi silia tidak efektif untuk
mencegah kuman dan sekret dari nasofaring ke kavum timpani dengan akumulasi sekret yang
baik untuk pertumbuhan kuman. Sehingga terjadi proses supurasi di telinga tengah. Proses
supurasi akan berlanjut dengan peningkatan jumlah sekret purulen, penekanan pada membran
timpani oleh akumulasi sekret ini kan menyebabkan membran timpani (bagian sentral)
mengalami iskemi dan akhirnya nekrosis, dengan adnya tekanan akan menyebabkan perforasi
dan secret mukopurulen akan keluar dari telinga tengah ke liang telinga. OMSK dimulai dari
iritasi dan peradangan dari mukosa telinga tengah. Respon inflamasi membuat mukosa
35
menjadi edema. Peradangan berkelanjutan pada akhirnya menyebabkan ulserasi mukosa dan
kerusakan lapisan epitel mukosa. Usaha tubuh mengadakan resolusi akibat infeksi atau
inflamasi menyebabkan terjadinya granulasi pada jaringan yang dapat berkembang menjadi
polip dalam ruang telinga tengah. Siklus peradangan, ulserasi, infeksi dan pembentukan
granulasi pada jaringan yang terus menerus akhirnya menghancurkan margin/batas tulang
sekitarnya dan menyebabkan berbagai gejala dari OMSK.10,11,12
Diagnosa OMSK
Diagnosa OMSK dibuat berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan THT terutama
pemeriksaan otoskopi. Diagnosis OMSK dapat ditegakkan dengan:
a. Anamnesis
Penyakit telinga kronis ini biasanya terjadi perlahan-lahan dan penderita seringkali datang
dengan gejala-gejala penyakit yang sudah lengkap. Gejala yang paling sering dijumpai adalah
telinga berair, adanya sekret di liang telinga yang pada tipe tubotimpanal sekretnya lebih
banyak dan seperti berbenang (mukous), tidak berbau busuk dan intermiten, sedangkan pada
tipe atikoantral, sekretnya lebih sedikit, berbau busuk, kadangkala disertai pembentukan
jaringan granulasi atau polip, maka sekret yang keluar dapat bercampur darah. Ada kalanya
penderita datang dengan keluhan kurang pendengaran atau telinga keluar darah.
b. Pemeriksaan otoskopi
Pemeriksaan otoskopi akan menunjukan adanya dan letak perforasi. Dari perforasi dapat
dinilai kondisi mukosa telinga tengah.8
c. Pemeriksaan audiologi
Evaluasi audiometri, pembuatan audiogram nada murni untuk menilai hantaran tulang dan
udara, penting untuk mengevaluasi tingkat penurunan pendengaran dan untuk menentukan
gap udara dan tulang. Audiometri tutur berguna untuk menilai ‘speech reception threshold’
pada kasus dengan tujuan untuk memperbaiki pendengaran.
d. Pemeriksaan radiologi
Radiologi konvensional, foto polos radiologi, posisi Schüller berguna untuk menilai kasus
kolesteatoma, sedangkan pemeriksaan CT scan dapat lebih efektif menunjukkan anatomi
tulang temporal dan kolesteatoma.
36
Gambar 20. Foto mastoid posisi Schuller
Penatalaksanaan OMSK
Terapi OMSK tidak jarang memerlukan waktu yang lama dan berulang-ulang. Sekret yang
keluar tidak cepat kering atau selalu kambuh lagi. Keadaan ini diantaranya disebabkan oleh
satu atau beberapa keadaan, yaitu :
a. Adanya perforasi membran timpani yang permanen sehingga telinga tengah berhubungan
dengan dunia luar
b. Terdapat sumber infeksi di faring, nasofaring, hidung, dan sinus paranasal
c. Sudah terbentuk jaringan patologis yang irreversibel dalam rongga mastoid
d. Gizi dan higiene yang kurang
Prinsip terapi OMSK tipe benigna adalah konservatif atau dengan medikamentosa. Bila
sekret yang keluar terus menerus, maka diberi obat pencuci telinga berupa larutan H2O2 3%
selama 3-5 hari. Setelah sekret berkurang, maka terapi dilanjutkan dengan memberikan obat
tetes telinga yang mengandung antibiotika dan kortikosteroid. Banyak ahli berpendapat
bahwa semua obat tetes yang dijual di pasaran saat ini mengandung antibiotika yang bersifat
ototoksik. Oleh karena itu, obat tetes telinga jangan diberikan terus-menerus selama lebih dari
1 atau 2 minggu atau pada OMSK yang sudah tenang. Secara oral diberikan antibiotik dari
golongan ampisillin atau eritromicyn, sebelum hasil resistensi diterima. Pada infeksi yang
dicurigai karena penyebabnya telah resisten terhadap ampisilin dapat diberikan ampisilin
asam klavulanat. 11
37
Pemberian antibiotik secara topikal pada telinga dan sekret yang banyak tanpa dibersihkan
dulu, adalah tidak efektif. Bila sekret berkurang/tidak progresif lagi diberikan obat tetes yang
mengandung antibiotik dan kortikosteroid.Mengingat pemberian obat topikal dimaksudkan
agar masuk sampai telinga tengah, maka tidak dianjurkan antibiotik yang ototoksik misalnya
neomisin dan lamanya tidak lebih dari 1 minggu. Cara pemilihan antibiotik yang paling baik
dengan berdasarkan kultur kuman penyebab dan uji resistesni. Bubuk telinga yang digunakan
seperti:
a. Acidum boricum dengan atau tanpa iodine
b. Terramycin
c. Asidum borikum 2,5 gram dicampur dengan khloromicetin 250 mg
Pengobatan antibiotik topikal dapat digunakan secara luas untuk OMSK aktif yang
dikombinasi dengan pembersihan telinga. Antibiotika topikal yang dapat dipakai pada otitis
media kronik adalah :
a. Polimiksin B atau polimiksin E
Obat ini bersifat bakterisid terhadap kuman gram negatif, Pseudomonas, E. Koli Klebeilla,
Enterobakter, tetapi resisten terhadap gram positif, Proteus, B. fragilis Toksik terhadap ginjal
dan susunan saraf.
b. Neomisin
Obat bakterisid pada kuma gram positif dan negatif, misalnya : Stafilokokus aureus, Proteus
sp. Resisten pada semua anaerob dan Pseudomonas. Toksik terhadap ginjal dan telinga.
c. Kloramfenikol
Obat ini bersifat bakterisid
Pemberian antibiotika tidak lebih dari 1 minggu dan harus disertai pembersihan sekret profus.
Bila terjadi kegagalan pengobatan, perlu diperhatikan faktor penyebab kegagalan yang ada
pada penderita tersebut. Antimikroba dapat dibagi menjadi 2 golongan. Golongan pertama
daya bunuhnya tergantung kadarnya. Makin tinggi kadar obat, makin banyak kuman
terbunuh, misalnya golongan aminoglikosida dengan kuinolon. Golongan kedua adalah
antimikroba yang pada konsentrasi tertentu daya bunuhnya paling baik. Peninggian dosis
tidak menambah daya bunuh antimikroba golongan ini, misalnya golongan beta laktam.
Terapi antibiotik sistemik
yang dianjurkan pada Otitis media kronik adalah:
- Pseudomonas : Aminoglikosida ± karbenisilin
38
- P. mirabilis : Ampisilin atau sefalosforin
- P. morganii, P. vulgaris : Aminoglikosida ± Karbenisilin
- Klebsiella : Sefalosforin atau aminoglikosida
- E. coli : Ampisilin atau sefalosforin
- S. Aureus : Penisilin, sefalosforin, eritromisin, aminoglikosida
- Streptokokus : Penisilin, sefalosforin, eritromisin, aminoglikosida
- B. fragilis : Klindamisin
Antibiotika golongan kuinolon (siprofloksasin, dan ofloksasin) yaitu dapat derivat asam
nalidiksat yang mempunyai aktifitas anti pseudomonas dan dapat diberikan peroral. Tetapi
tidak dianjurkan untuk anak dengan umur dibawah 16 tahun. Golongan sefalosforin generasi
III (sefotaksim, seftazidinm dan seftriakson) juga aktif terhadap pseudomonas, tetapi harus
diberikan secara parenteral. Terapi ini sangat baik untuk OMA sedangkan untuk OMSK
belum pasti cukup, meskipun dapat mengatasi OMSK. Metronidazol mempunyai efek
bakterisid untuk kuman anaerob. Metronidazol dapat diberikan dengan dan tanpa antibiotik
(sefaleksin dan kotrimoksasol) pada OMSK aktif, dosis 400 mg per 8 jam selama 2 minggu
atau 200 mg per 8 jam selama 2-4 minggu.11,12
Bila sekret telah kering, tetapi perforasi masih ada setelah diobservasi selama 2 bulan, maka
idealnya dilakukan miringoplasti atau timpanoplasti. Operasi ini bertujuan untuk
menghentikan infeksi secara permanen, memperbaiki membran timpani yang perforasi,
mencegah terjadinya komplikasi atau kerusakan pendengaran yang lebih berat, serta
memperbaiki pendengaran. Bila terdapat sumber infeksi yang menyebabkan sekret tetap ada,
atau terjadinya infeksi berulang, maka sumber infeksi itu harus diobati terlebih dahulu,
mungkin juga perlu dilakukan pembedahan, misalnya adenoidektomi dan tonsilektomi.
Prinsip terapi OMSK tipe maligna adalah pembedahan yaitu mastoidektomi. Jadi, bila
terdapat OMSK tipe maligna, maka terapi yang tepat adalah dengan melakukan
mastoidektomi dengan atau tanpa timpanoplasti. Terapi konservatif dengan medikamentosa
hanyalah terapi sementara sebelum dilakukan pembedahan. Bila terdapat abses subperiosteal
aurikuler, maka insisi abses sebaiknya dilakukan tersendiri sebelum mastoidektomi. Ada
beberapa jenis pembedahan atau teknik operasi yang dapat dilakukan pada
OMSK dengan mastoiditis kronik, baik tipe benigna maupun maligna, diantaranya:
1. Mastoidektomi sederhana ( simple mastoidectomy )
39
2. Mastoidektomi radikal
3. Mastoidektomi radikal dengan modifikasi
4. Miringoplasti
5. Timpanoplasti
6. Pendekatan ganda timpanoplasti ( Combined approach timpanoplasty)
Jenis operasi mastoid yang dilakukan tergantung pada luasnya infeksi atau kolesteatoma,
sarana yang tersedia serta pengalaman operator. Sesuai dengan luasnya infeksi atau luas
kerusakan yang sudah terjadi, kadang-kadang dilakukan kombinasi dari jenis operasi itu atau
modifikasinya.13
Komplikasi OMSK
Di masa awal penggunaan antibiotik, komplikasi OMSK jarang ditemukan karena intervensi
antibiotik yang lebih dini ketika OMSK sudah di diagnosa. Namun, pembedahan mempunyai
peranan yang penting dalam menangani OMSK dengan atau tanpa kolesteatoma. OMSK
dengan terapi yang tidak memadai dapat berkembang menjadi komplikasi derajat sedang
hingga mengancam nyawa, yang dapat digolongkan menjadi dua sub-golongan yaitu
intratemporal dan intrakranial. Komplikasi intratemporal diantaranya petrositis, facial
paralysis, dan labyrinitis. Sedangkan komplikasi intrakranial diantaranya lateral sinus
thrombophlebitis, meningitis, dan abses intrakranial. Komplikasi lainnya yaitu gangguan
pendengaran ( tuli ), kolesteatoma yang didapat, dan tympanosclerosis.
Prognosis OMSK
Pasien dengan OMSK mempunyai prognosis yang baik apabila infeksinya dapat ditangani
dengan baik. Penyembuhan yang berkaitan dengan gangguan pendengaran bervariasi
tergantung penyebabnya. Setengah kasus dari gangguan pendengaran sering dikoreksi dengan
pembedahan. Tingkat kematian akibat OMSK meningkat apabila terdapat komplikasi
intrakranial, tapi OMSK sendiri bukanlah suatu penyakit yang mematikan. Meskipun
beberapa penelitian melaporkan bahwa gangguan pendengaran neurosensori merupakan salah
satu morbiditas dari OMSK, beberapa bukti yang lain tidak melaporkan demikian.11,13
2.10. Otitis Media Non Supuratif (Otitis Media Serosa)
Pendahuluan
Sinonim : otitis media serosa, otitis media musinosa, otitis media efusi, otitis media
sekretoria, otitis media mukoid (glue ear)
40
Otitis media serosa adalah keadaan terdapatnya sekret nonpurulen di telinga tengah,
sedangkan membran timpani utuh.
Adanya cairan di telinga tengah dengan membran timpani utuh tanpa tanda-tanda
infeksi disebut juga otitis media dengan efusi. Apabila efusi tersebut encer disebut
otitis media serosa dan apabila efusi tersebut kental seperti lem disebut otitis media
mukoid (glue ear).
Otitis media serosa terjadi terutama akibat adanya transudat atau plasma yang
mengalir dari pembuluh darah ke telinga tengah yang sebagian besar terjadi akibat
adanya perbedaan tekanan hidrostatik.
Pada Otitis media mukoid, cairan yang ada di telinga tengah timbul akibat sekresi
aktif dari kelenjar dan kista yang terdapat di dalam mukosa telinga tengah, tuba
eustachius, dan rongga mastoid.11
Otitis media serosa / otitis media sekretoria / otitis media mukoid / otitis media efusi
terbatas pada keadaan dimana terdapat efusi dalam kavum timpani dengan membran
timpani utuh tanpa tanda-tanda radang. Bila efusi tersebut berbentuk pus, disertai
tanda-tanda radang maka disebut otitis media akut (OMA).
Otitis media serosa dibagi 2 jenis : otitis media serosa akut dan otitis media serosa kronik
(glue ear).
1. Otitis Media Serosa Akut
Otitis media serosa akut adalah keadaan terbentuknya sekret di telinga tengah secara
tiba-tiba yang disebabkan oleh gangguan fungsi tuba.
Keadaan ini dapat disebabkan antara lain :
Sumbatan tuba, dimana terbentuk cairan di telinga tengah disebabkan oleh
tersumbatnya tuba secara tiba-tiba seperti pada barotrauma
Virus, terbentuknya cairan di telinga tengah yang berhubungan dengan infeksi virus
pada jalan napas atas.
Alergi, terbentuknya cairan di telinga tengah yang berhubungan dengan keadaan
alergi pada jalan napas atas.
Idiopatik.
Gejala Klinis
Gejala yang menonjol pada otitis media serosa akut biasanya pendengaran berkurang.
Rasa tersumbat pada telinga atau suara sendiri terdengar lebih nyaring atau berbeda
pada telinga yang sakit (diplacusis binauralis).7,8
41
Kadang terasa seperti ada cairan yang bergerak dalam telinga pada saat posisi kepala
berubah.
Rasa sedikit nyeri dalam telinga dapat terjadi pada saat awal tuba terganggu, yang
menyebabkan timbul tekanan negatif pada telinga tengah (misalnya pada barotrauma),
tetapi setelah sekret terbentuk tekanan negatif ini pelan-pelan hilang.
Rasa nyeri dalam telinga tidak pernah ada bila penyebab timbulnya sekret adalah
virus atau alergi.
Tinitus, vertigo, atau pusing kadang-kadang ada dalam bentuk yang ringan.
Pengobatan
Pengobatan dapat secara medikamentosa dan pembedahan.
Pada pengobatan medikal diberikan obat vasokonstriktor lokal (tetes hidung),
antihistamin, serta perasat valsava, bila tidak ada tanda-tanda infeksi di jalan napas
atas.
Setelah satu atau dua minggu, bila gejala masih menetap, dilakukan miringotomi.
Bila masih belum sembuh dilakukan miringotomi dengan pemasangan pipa ventilasi
(Grommet tube). 8
Gambar 21. Otitis Media Serosa Akut
2. Otitis Media Serosa Kronik (Glue Ear)
Batasan antara kondisi otitis media serosa akut dengan otitis media serosa kronik
hanya pada cara terbentuknya sekret.
Pada otitis media serosa akut, sekret terbentuk secara tiba-tiba di telinga tengah
dengan disertai rasa nyeri pada telinga.
42
Pada otitis media serosa kronis, sekret terbentuk secara bertahap tanpa rasa nyeri
dengan gejala-gejala pada telinga yang berlangsung lama.
Otitis media serosa kronik lebih sering terjadi pada anak-anak, sedangkan otitis media
serosa akut lebih sering terjadi pada orang dewasa.
Sekret pada otitis media serosa kronik dapat kental seperti lem, maka disebut glue
ear.
Otitis media serosa kronik dapat juga terjadi sebagai gejala sisa dari otitis media akut
(OMA) yang tidak sembuh sempurna.
Penyebab lain diperkirakan adanya hubungan infeksi virus, keadaan alergi, atau
gangguan mekanis pada tuba.
Gejala klinik:
Perasaan tuli pada otitis media serosa kronik lebih menonjol (40-50 dB), oleh karena
sekret kental atau glue ear.
Pada otoskopi terlihat membran timpani utuh, retraksi, suram, kuning kemerahan, atau
keabu-abuan. 10
Gambar 22. Otitis Media Serosa Kronik (Glue Ear)
Pengobatan:
Pengobatan yang harus dilakukan adalah mengeluarkan sekret dengan miringotomi
dan pemasangan pipa ventilasi (Grommet-tube).
Pada kasus yang masih baru pemberian dekongestan tetes hidung serta kombinasi
antihistamin-dekongestan peroral kadang-kadang bisa berhasil.
Sebagian ahli menganjurkan pengobatan medikamentosa selama 3 bulan, bila tidak
berhasil baru dilakukan tindakan operasi.
43
Disamping itu harus pula dinilai serta diobati faktor-faktor penyebab seperti alergi,
pembesaran adenoid atau tonsil, infeksi hidung dan sinus.
2.11. Mioklonus Palatum
Merupakan suatu kondisi yang jarang dijumpai. Otot-otot palatum mengalami
kontraksi ritmik secara berkala (periodik).
Penyebab belum diketahui, tetapi dikaitkan dengan lesi vaskular, sklerosis multipel,
aneurisma arteri vertebralis, tumor dan berbagai lesi lain di batang otak atau
serebelum.
Pengobatan biasanya tidak diperlukan, namun dapat dipertimbangkan insisi otot
tensor timpani telinga tengah
2.12. Palatoschisis
Cleft Lips / labioschisis) Celah Bibir dan (Cleft Palate / Palatoschisis) Celah Langit-langit
adalah suatu kelainan bawaan yang terjadi pada bibir bagian atas serta langit-langit lunak dan
langit-langit keras mulut.
Cleft Lips / Labioschisis atau bibir sumbing) adalah suatu ketidaksempurnaan pada
penyambungan bibir bagian atas, yang biasanya berlokasi tepat dibawah hidung.
Cleft palate atau palatoschisis merupakan kelainan kongenital pada wajah dimana
atap/langitan dari mulut yaitu palatum tidak berkembang secara normal selama masa
kehamilan, mengakibatkan terbukanya (cleft) palatum yang tidak menyatu sampai ke daerah
cavitas nasalis, sehingga terdapat hubungan antara rongga hidung dan mulut.
Cleft palate mempunyai banyak sekali implikasi fungsional dan estetika bagi pasien dalam
interaksi social mereka terutama kemampuan mereka untuk berkomunikasi secara efektif dan
penampilan wajah mereka. Koreksi sebaiknya sebelum anak mulai bicara untuk mencegah
terganggunya perkembangan bicara. Penyuluhan bagi ibu si anak sangat penting, terutama
tentang cara memberikan minum agar gizi anak memadai saat anak akan menjalani bedah
rekonstruksi. Kelainan bawaan ini sebaiknya ditangani oleh tim ahli yang antara lain terdiri
atas ahli bedah, dokter spesialis anak, ahli ortodonsi yang akan mengikuti perkembangan
rahang dengan giginya, dan ahli logopedi yang mengawasi dan membimbing kemampuan
bicara.14
44
ETIOLOGI
Pada tahun 1963, Falconer mengemukakan suatu teori bahwa etiologi palatoschisis bersifat
multifaktorial dimana pembentukan celah pada palatum berhubungan dengan faktor herediter
dan faktor lingkungan yang terlibat dalam pertumbuhan dan perkembangan processus.4,14
1. Faktor herediter
Sekitar 25% pasien yang menderita palatoschisis memiliki riwayat keluarga yang menderita
penyakit yang sama. Orang tua dengan palatoschisis mempunyai resiko lebih tinggi untuk
memiliki anak dengan palatoschisis. Jika hanya salah satu orang tua yang menderita
palatoschisis, maka kemungkinan anaknya menderita palatoschisis adalah sekitar 4%. Jika
kedua orangtuanya tidak menderita palatoschisis, tetapi memiliki anak tunggal dengan
palatoschisis maka resiko generasi berikutnya menderita penyakit yang sama juga sekitar 4%.
Dugaan mengenai hal ini ditunjang kenyataan, telah berhasil diisolasi suatu X-linked gen,
yaitu Xq13-21 pada lokus 6p24.3 pada pasien sumbing bibir dan langitan. Kenyataan lain
yang menunjang, bahwa demikian banyak kelainan / sindrom disertai celah bibir dan langitan
(khususnya jenis bilateral), melibatkan anomali skeletal, maupun defek lahir lainnya.
2. Faktor lingkungan
Obat-obatan yang dikonsumsi selama kehamilan, seperti fenitoin, retinoid (golongan vitamin
A), dan steroid beresiko menimbulkan palatoschisis pada bayi. Infeksi selama kehamilan
semester pertama seperti infeksi rubella dan cytomegalovirus, dihubungkan dengan
terbentuknya celah. Alkohol, keadaan yang menyebabkan hipoksia, merokok, dan defisiensi
makanan (seperti defisiensi asam folat) dapat menyebabkan palatoschisis.
PATOFISIOLOGI
Pasien dengan palatoschisis mengalami gangguan perkembangan wajah, inkompetensi
velopharyngeal, perkembangan bicara yang abnormal, dan gangguan fungsi tuba eustachi.
45
Kesemuanya memberikan gejala patologis mencakup kesulitan dalam intake makanan dan
nutrisi, infeksi telinga tengah yang rekuren, ketulian, perkembangan bicara yang abnormal,
dan gangguan pada pertumbuhan wajah. Adanya hubungan antara rongga mulut dan hidung
menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk mengisap pada bayi.3
Insersi yang abnormal dari m.tensor veli palatine menyebabkan tidak sempurnanya
pengosongan pada telinga tengah. Infeksi telinga yang rekuren telah dihubungkan dengan
timbulnya ketulian yang memperburuk cara bicara pada pasien dengan palatoschisis.
Mekanisme velopharyngeal yang utuh penting dalam menghasilkan suara non nasal dan
sebagai modulator aliran udara dalam pembentukan fonem lainnya yang membutuhkan nasal
coupling. (Manipulasi anatomi yang kompleks dan sulit dari mekanisme ini, jika tidak sukses
dilakukan pada awal perkembangan bicara, dapat menyebabkan berkurangnya pengucapan
normal).3,14
KLASIFIKASI
Palatoschisis dapat berbentuk sebagai palatoschisis tanpa labioschisis atau disertai dengan
labioschisis. Palatoschisis sendiri dapat diklasifikasikan lebih jauh sebagai celah hanya pada
palatum molle, atau hanya berupa celah pada submukosa. Celah pada keseluruhan palatum
terbagi atas dua yaitu komplit (total), yang mencakup palatum durum dan palatum molle,
dimulai dari foramen insisivum ke posterior, dan inkomplit (subtotal). Palatoschisis jugadapat
bersifat unilateral atau bilateral.
Veau membagi cleft menjadi 4 kategori yaitu :
1. Cleft palatum molle
2. Cleft palatum molle dan palatum durum
3. Cleft lip dan palatum unilateral komplit
4. Cleft lip dan palatum bilateral komplit
46
Klasifikasi Jalur-Y untuk cleft lip dan palate berdasarkan modifikasi Millard dari Kernohan.
Lingkaran kecil mengindikasikan foramen insisivum; segitiga mengidikasikan ujung nasal
dan dasar nasal.
PENATALAKSANAAN
Penanganan kecacatan pada celah bibir dan celah langit-langit tidaklah sederhana, melibatkan
berbagai unsur antara lain, ahli Bedah Plastik, ahli ortodonti, ahli THT untuk mencegah
menangani timbulnya otitis media dan kontrol pendengaran, dan anestesiologis. Speech
therapist untuk fungsi bicara. Setiap spesialisasi punya peran yang tidak tumpang-tindih tapi
saling saling melengkapi dalam menangani penderita CLP secara paripurna. 14
1. Terapi Non-bedah
Palatoschisis merupakan suatu masalah pembedahan, sehingga tidak ada terapi medis khusus
untuk keadaan ini. Akan tetapi, komplikasi dari palatoschisis yakni permasalahan dari intake
makanan, obstruksi jalan nafas, dan otitis media membutuhkan penanganan medis terlebih
dahulu sebelum diperbaiki.
Perawatan Umum Pada Cleft Palatum
Pada periode neonatal beberapa hal yang ditekankan dalam pengobatan pada bayi dengan
cleft palate yakni:
a. Intake makanan
Intake makanan pada anak-anak dengan cleft palate biasanya mengalami kesulitan karena
ketidakmampuan untuk menghisap, meskipun bayi tersebut dapat melakukan gerakan
menghisap. Kemampuan menelan seharusnya tidak berpengaruh, nutrisi yang adekuat
mungkin bisa diberikan bila susu dan makanan lunak jika lewat bagian posterior dari cavum
oris. pada bayi yang masih disusui, sebaiknya susu diberikan melalui alat lain/ dot khusus
yang tidak perlu dihisap oleh bayi, dimana ketika dibalik susu dapat memancar keluar sendiri
dengan jumlah yang optimal artinya tidak terlalu besar sehingga membuat pasien menjadi
tersedak atau terlalu kecil sehingga membuat asupan nutrisi menjadi tidak cukup. Botol susu
dibuatkan lubang yang besar sehingga susu dapat mengalir ke dalam bagian belakang mulut
dan mencegah regurgitasi ke hidung. Pada usia 1-2 minggu dapat dipasangkan obturator
untuk menutup celah pada palatum, agar dapat menghisap susu, atau dengan sendok dengan
posisi setengah duduk untuk mencegah susu melewati langit-langit yang terbelah atau
memakai dot lubang kearah bawah ataupun dengan memakai dot yang memiliki selang yang
panjang untuk mencegah aspirasi. 5,14
b. Pemeliharaan jalan nafas
47
Pernafasan dapat menjadi masalah anak dengan cleft, terutama jika dagu dengan retroposisi
(dagu pendek, mikrognatik, rahang rendah (undershot jaw), fungsi muskulus genioglossus
hilang dan lidah jatuh kebelakang, sehingga menyebabkan obstruksi parsial atau total saat
inspirasi (The Pierre Robin Sindrom)
c. Gangguan telinga tengah
Otitis media merupakan komplikasi yang biasa terjadi pada cleft palate dan sering terjadi
pada anak-anak yang tidak dioperasi, sehingga otitis supuratif rekuren sering menjadi
masalah. Komplikasi primer dari efusi telinga tengah yang menetap adalah hilangnya
pendengaran. Masalah ini harus mendapat perhatian yang serius sehingga komplikasi
hilangnya pendengaran tidak terjadi, terutama pada anak yang mempunyai resiko mengalami
gangguan bicara karena cleft palatum. Pengobatan yang paling utama adalah insisi untuk
ventilasi dari telinga tengah sehingga masalah gangguan bicara karena tuli konduktif dapat
dicegah.
2. Terapi bedah
Terapi pembedahan pada palatoschisis bukanlah merupakan suatu kasus emergensi,
dilakukan pada usia antara 12-18 bulan. Pada usia tersebut akan memberikan hasil fungsi
bicara yang optimal karena memberi kesempatan jaringan pasca operasi sampai matang pada
proses penyembuhan luka sehingga sebelum penderita mulai bicara dengan demikian soft
palate dapat berfungsi dengan baik.
Ada beberapa teknik dasar pembedahan yang bisa digunakan untuk memperbaiki celah
palatum, yaitu:
1. Teknik von Langenbeck
2. Teknik V-Y push-back
3. Teknik double opposing Z-plasty
4. Teknik Schweckendiek
5. Teknik palatoplasty two-flap
KOMPLIKASI
Anak dengan palatoschisis berpotensi untuk menderita flu, otitis media, tuli, gangguan bicara,
dan kelainan pertumbuhan gigi. Selain itu dapat menyebabkan gangguan psikososial.
Komplikasi post operatif yang biasa timbul yakni:
a. Obstruksi jalan nafas
Seperti disebutkan sebelumnya, obstruksi jalan nafas post operatif merupakan komplikasi
yang paling penting pada periode segera setelah dilakukan operasi. Keadaan ini timbul
48
sebagai hasil dari prolaps dari lidah ke orofaring saat pasien masih ditidurkan oleh ahli
anastesi. Penempatan Intraoperatif dari traksi sutura lidah membantu dalam menangani
kondisi ini. Obstruksi jalan nafas bisa juga menjadi masalah yang berlarut-larut karena
perubahan pada dinamika jalan nafas, terutama pada anak-anak dengan madibula yang kecil.
Pada beberapa instansi, pembuatan dan pemliharaan dari trakeotomi perlu sampai perbaikan
palatum telah sempurna.14
b. Perdarahan
Perdarahan intraoperatif merupakan komplikasi yang potensil terjadi. Karena kayanya darah
yang diberikan pada paltum, Intraoperative hemorrhage is a potential complication. Because
of the rich blood supply to the palate, perdarahan yang berarti mengharukan untuk
dilakukannya transfuse. Hal ini bisa berbahaya pada bayi, yakni pada meraka yang total
volume darahnya rendah. Penilaian preoperative dari jumlah hemoglobin dan hitung
trombosit sangat penting. Injeksi epinefrin sebelum di lakukan insisi dan penggunaa
intraoperatif dari oxymetazoline hydrochloride capat mengurangi kehilangan darah yang bisa
terjadi. Untuk menjaga dari kehilangan darah post operatif, area palatum yang mengandung
mucosa seharusnya diberikan avitene atau agen hemostatik lainnya.
c. Fistel palatum
Fistel palatum bisa timbul sebagai komplikasi pada periode segera setelah dilakukan operasi,
atau hal tersebut dapat menjadi permasalahan yang tertunda. Suatu fistel pada palatum dapat
timbul dimanapun sepanjang sisi cleft. Insidennya telah dilapornya cukup tinggi yakni
sebanyak 34%, dan berat-ringannya cleft telah dikemukanan bahwa hal tersebut berhubungan
dengan resiko timbulnya fistula. Fistel cleft palate post operatif bisa ditangani dengan dua
cara. Pada pasien yang tanpa disertai dengan gejala, prosthesis gigi bisa digunakan untuk
menutup defek yang ada dengan hasil yang baik. Pasien dengan gejala diharuskan untuk
terapi pembedahan. Sedikitnya supply darah, terutama supply ke anterior merupakan alasan
utama gagalnya penutupan dari fistula. Oleh karena itu, penutupan fistula anterior maupun
posterior yang persisten seharusnya di coba tidak lebih dari 6-12 bulan setelah operasi, ketika
supply darah telah memiliki kesempatan untuk mengstabilkan dirinya. Saat ini, banyak centre
menunggu sampai pasien menjadi lebih tua (paling tidak 10 tahun) sebelum mencoba untuk
memperbaiki fistula. Jika metode penutupan sederhana gagal, flap jaringan seperti flap lidah
anterior bisa dibutuhkan untuk melakukan penutupan.
d. Midface abnormalities
Penanganan Cleft palate pada beberapa instansi telah fokus pada intervensi pembedahan
terlebih dahulu. Salah satu efek negatifnya adalah retriksi dari pertumbuhan maksilla pada
49
beberapa persen pasien. Palatum yang diperbaiki pada usia dini bisa menyebabkan
berkurangnya demensi anterior dan posteriornya, yakni penyempitan batang gigi, atau
tingginya yang abnormal. Kontrofersi yang cukup besar ada pada topik ini karena penyebab
dari hipoplasia, apakah hal tersebut merupakan perbaikan ataupun efek dari cleft tersebut
pada pertumbuhan primer dan sekunder pada wajah, ini tidak jelas. Sebanyak 25% pasien
dengan cleft palate unilateral yang telah dilakukan perbaikan bisa membutuhkan bedah
orthognathic. LeFort I osteotomies dapat digunakan untuk memperbaiki hipoplasia midface
yang menghasilkan suatu maloklusi dan deformitas dagu.14
e. Wound expansion
Wound expansion juga merupakan akibat dari ketegangan yang berlebih. Bila hal ini terjadi,
anak dibiarkan berkembang hingga tahap akhir dari rekonstruksi langitan, dimana pada saat
tersebut perbaikan jaringan parut dapat dilakukan tanpa membutuhkan anestesi yang terpisah.
f. Wound infection
Wound infection merupakan komplikasi yang cukup jarang terjadi karena wajah memiliki
pasokan darah yang cukup besar. Hal ini dapat terjadi akibat kontaminasi pascaoperasi,
trauma yang tak disengaja dari anak yang aktif dimana sensasi pada bibirnya dapat berkurang
pascaoperasi, dan inflamasi lokal yang dapat terjadi akibat simpul yang terbenam.
g. Malposisi Premaksilar
Malposisi Premaksilar seperti kemiringan atau retrusion, yang dapat terjadi setelah operasi.
h. Whistle deformity
Whistle deformity merupakan defisiensi vermilion dan mungkin berhubungan dengan retraksi
sepanjang garis koreksi bibir. Hal ini dapat dihindari dengan penggunaan total dari segmen
lateral otot orbikularis.
i. Abnormalitas atau asimetri tebal bibir
Hal ini dapat dihindari dengan pengukuran intraoperatif yang tepat dari jarak anatomis yang
penting lengkung.
PROGNOSIS
Meskipun telah dilakukan koreksi anatomis, anak tetap menderita gangguan bicara sehingga
diperlukan terapi bicara yang bisa diperoleh disekolah, tetapi jika anak berbicara lambat atau
hati-hati maka akan terdengar seperti anak normal.
50
BAB III
KESIMPULAN
Tuba Eustachius adalah bagian dari telinga tengah yang berupa saluran yang menghubungkan
cavum tympani dan nasofaring. Dari muara tuba pada cavum tympani menuju ke muara tuba
di nasofaring berjalan ke arah inferomedial. Tuba eustachius ini dibagi menjadi: pars osseus
dan pars cartilaginea.
Fungsi dari tuba eustachius adalah menjaga agar tekanan pada cavum tympani sama dengan
tekanan pada dunia luar dan menjamin ventilasi udara dari cavum tympani. Tuba biasanya
dalam keadaan tertutup dan baru terbuka apabila oksigen diperlukan masuk ke telinga tengah
atau pada saat mengunyah, menelan dan menguap. Pembukaan tuba dibantu oleh otot tenso
veli palatini apabila terdapat perbedaan tekanan.
Disfungsi Tuba Eustachius merupakan suatu keadaan terbloknya tuba eustachius atau tidak
bisa terbuka secara baik, terbuka abnormal, myoklonus palatal, palatoskisis, dan obstruksi
tuba. Saat udara tidak dapat masuk ke dalam telinga tengah, tekanan udara di luar membran
timpani lebih besar dibandingkan tekanan udara di telinga tengah sehingga mendorong
membran timpani masuk ke dalam. Membran timpani menjadi tegang dan tidak bergetar
dengan baik ketika dilalui oleh gelombang suara.
Gejalanya yaitu pendengaran tidak tajam, dapat juga dirasakan nyeri, terasa penuh dalam
telinga, tinnitus (telinga berdenging), dan pusing. Salah satu atau kedua telinga dapat terkena.
Gejala dapat muncul dari beberapa jam hingga beberapa minggu atau lebih, tergantung
penyebabnya.
Untuk mendiagnosa dilakukan anamnesa, endoskopi, autoskop dengan valsava, dan
tympanometri. Kadangkala pada pengobatan disfungsi tuba eustachius tidak ada pengobatan
khusus yaitu cukup dengan menelan, mengunyah, menguap, atau dengan perasat valsava.
Namun pada keadaan tertentu seperti batuk, pilek, alergi, dan otitis media dapat diberikan
dekongestan nasal spray, antihistamine, steroid nasal spray, hingga operasi.
51
DAFTAR PUSTAKA
1. Ganong, William. Pendengaran dan keseimbangan. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 22nd
ed. Jakarta: EGC; 2008.p. 79-85.
2. Djaafar, Zainul, Helmi, Ratna R. Gangguan fungsi tuba eustachius. Kelainan telinga
tengah. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. 6 th ed.
Jakarta: Balai Penerbit FK-UI; 2007.p. 64-5.
3. Jane NZ. Middle ear barotrauma. In Principles and practice of travel medicine. 2nd ed.
UK: John Wiley & Sons Ltd; 2013. p.370-1.
4. Mohammad M,Suhail M. Nonsuppurative otitis media and otitic barotrauma. In Textbook
of ear, nose and throat diseases.12thed. New Delhi: JP Medical Ltd; 2013.p.58-60.
5. Alpen A.Patel. patology of eustachian tube treatment and management. e-medicine (serial
online) 2013 Mei 29 (cited 2013 Oct 30). Available from:
URL:http://emedicine.medscape.com/article/858909-treatment#a1128
6. Dhingra. Disorder of middle ear. In:Diseases of ear, nose and throat. 4 th Edition. Reed
Elsevier; India : 2007.p. 59-65.
7. Djaafar, Zainul, Helmi, Ratna R. Otitis media supuratif kronis. Kelainan telinga tengah,
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. 6 th ed. Jakarta:
Balai Penerbit FK-UI; 2007.p. 69-74.
8. Acuin J. Chronic suppurative otitis media: Burden of illness and management options.
Geneva: World Health Organization; 2004
9. Vikram BK, Khaja N, Udayashankar SG, Venkatesha BK, Manjunath D. Clinico-
epidemiological study of complicated and uncomplicated chronic suppurative otitis
media. J Laryngol Otol. May 2008;122(5):442-6.
10. Kenna MA. Etiology and pathogenesis of chronic suppurative otitis media. Ann Otol
Rhinol Laryngol. 1988;97(Suppl 131):16-17.
52
11. Wright D, Safranek S. Treatment of otitis media with perforated tympanic membrane. Am
Fam Physician. Apr 15 2009;79(8):650- 4.
12. Djaafar, Zainul, Helmi, Ratna R. Komplikasi otitis media supuratif. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Dan Leher. Edisi 6. Jakarta:Balai Penerbit
FK-UI; 2007:78 -85.
13. Smith JA, Danner CJ. Complications of chronic otitis media and
cholesteatoma.Otolaryngol Clin North Am. Dec 2006;39(6):1237-55.
14. Kim EK, Khang SK, Lee TJ, Kim TG. 2010. “Clinical features of the microform cleft lip
and the ultrastructural characteristics of the orbicularis oris muscle”. Cleft Palate
Craniofac. J. 47 (3): 297–302.
53