Post on 17-Feb-2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Anthrax merupakan penyakit infektif dan sering berakibat fatal pada
binatang pemamah biak yang disebabkan oleh karena menelan spora
Bacillus anthracis di tanah; ditularkan oleh manusia melalui kontak dengan
wol atau produk binatang lain yang terkontaminasi, atau inhalasi spora-
spora yang ada di udara. (Dorland, 2010).
Penyakit ini didapatkan endemik di negara berkembang seperti Asia,
Afrika dan Amerika Selatan, dimana kontrol peternakan belum baik dan
kondisi lingkungan menunjang terjadi siklus binatang-tanah-binatang.
Sedangkan di Eropa Barat, Amerika Utara dan Australia telah hilang,
setelah eradikasi penyakit ini di peternakan yang disebabkan program yang
ektensif termasuk vaksinasi. Insidensi yang pasti belum jelas, tetapi
diperkirakan 2.000 sampai 20.000 kasus pada manusia per tahun. Wabah
pernah terjadi di Zimbabwe (1978-1980) berupa antraks kulit dan
gastrointestinal, dan juga terjadi di Siberia (1079). Keganasan antraks dapat
dilihat dari kejadian di Sverdloks, Rusia (1979) dimana terjadi kecelakaan di
fasilitas bioweapons yang menyebabkan tersebarnya spora Antraks ke udara
sehingga terjadi 77 kasus Antraks dengan kematian 66 kasus. Juga pada
tahun 2001 di USA terjadi pengiriman spora lewat pos yang menyebabkan
11 kasus inhalation Antraks dengan 5 diantaranya mati. (Sudoyo dkk,
2006).
Penyakit ini juga dikenal di Indonesia seperti kejadian di Purwakarta
(Januari 2000) dan Bogor (Januari 2001) yang lalu.
Dalam tinjauan pustaka, penulis membahas secara singkat mengenai
definisi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, uji laboratorium
diagnostik, pengobatan dan pencegahan dari penyakit anthrax.
2
I.2 Tujuan
Secara keseluruhan referat ini bertujuan :
1) Sebagai salah satu tugas untuk memenuhi persyaratan mengikuti ujian
akhir blok (UAB).
2) Agar mahasiswa dan penulis pada khususnya dapat mengetahui tentang
penyakit anthrax pada manusia.
I.3 Manfaat
a) Mahasiswa lebih mengerti tentang penyakit anthrax pada manusia.
b) Memberikan wawasan tambahan kepada mahasiswa tentang karakteristik
penyakit anthrax.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.I Definisi Anthrax
Nama antraks berasal dari kata yunani buat batubara yaitu anthracis,
oleh karena lesi nekrotik (eschar) berwarna hitam seperti batubara. (Sudoyo
dkk, 2006).
Anthrax adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh kuman bacillus
anhtracis, suatu basil yang dapat membentuk spora dan ditularkan ke
manusia melalui kontak dengan binatang yang terinfeksi atau bahan dari
binatang yang terkontaminasi. (Sudoyo dkk, 2006).
Taksonomi dari antraks adalah kingdomnya merupakan bacteria,
phylumnya firmicutes, classnya bacilli, ordernya bacillales, famillynya
bacillaceae, genusnya bacillus dan speciesnya B. antrakis. (Pelczar, 2005).
Gambar 1. Bacillus anthracis
B.anthracis adalah basil gram positif, non-motil dan bisa membentuk
spora (sporulasi) yang terletak di tengah basilus nonmotil. Sel-selnya tipikal
yang berukuran 1 x 3-4 um mempunyai ujung persegi dan tersusun dalam
rantai panjang. (Gillepsi dkk, 2002).
4
Gambar 2. Spora Anthrax
II.2 Etiologi Anthrax
Manusia terinfeksi jika spora B. antrhacis masuk ke dalam tubuh
melalui kontak dengan hewan yang terinfeksi atau produk hewan
terkontaminasi, gigitan serangga, inhalasi atau tertelan. Pada manusia,
bentuk yang paling sering terjadi adalah antraks kulit, yang ditandai oleh
lesi kulit terlokalisir dengan eschar sentral yang dikelilingi oleh edema
nonpitting yang nyata. Antraks inhalasi (penyakit pencukur bulu domba)
khas menimbulkan mediastinitis hemoragik, infeksi sistemik yang sangat
progresif dan angka kematian yang sangat tinggi. Antraks gastrointestinal
jarang sekali terjadi dan terkait dengan angka kematian yang tinggi.
(Isselbacher dkk, 2000).
B.anthracis adalah organisme di tanah yang tersebar di seluruh dunia.
Kasus pada manusia dapat dibagi secara umum menjadi kasus industri dan
agrikultur. Pada kasus agrikultur transmisi terjadi langsung dengan kontak
dengan discharges binatang yang terinfeksi seperti tinja, atau tidak langsung
melalui gigitan lalat yang telah makan pada bangkai binatang tersebut. Atau
bisa pula disebabkan makan daging mentah atau kurang dimasak dari
binatang terinfeksi. Kasus industri disebabkan kontak dengan spora yang
terdapat pada bahan dari binatang terinfeksi seperti rambut, wol, kulit,
tulang pada saat proses industri. Oleh karena spora bisa bertahan lama sekali
maka transmisi bisa melalui barang yang terbuat dari binatang seperti
5
selimut wol, ikat pinggang dari kulit, drum terbuat dari kulit. Beberapa
kasus lainnya terjadi pula di laboratorium yang menggunakan binatang.
Transmisi dari manusia ke manusia tidak terjadi, kecuali kontak langsung
dengan secret lesi kulit penderita yang menyebabkan lesi kulit sekunder.
(Sudoyo dkk, 2006).
B. anthracis membutuhkan oksigen untuk sporulasi tetapi tidak untuk
perbenihan spora dan sporulasi tidak terjadi pada hewan yang hidup. Bentuk
segiempat pada kuman tersendiri menimbulkan rupa pada rantai B.
anthracis seperti mobil gerbong. Pada agar darah, B. anthracis yang virulen
biasanya membentuk koloni kasar, putih keabuan, non hemolitik atau yang
hemolitik lemah, yang mempunyai tonjolan berbentuk koma yang tidak
teratur dan disebut menyerupai kepala medusa; di luar kondisi kelebihan
CO2, koloni lembut dan mukoid. Strain virulen B. anthracis adalah
patogenik pada hewan, termasuk tikus dan marmut percobaan. Faktor
virulensi yang diketahui adalah tiga protein yang secara kolektif disebut
toksin antraksis dan polipeptida kapsul antifagositik yang mengandung
residu asam D-glutamat yang terangkai oleh ikatan peptida yang terdiri dari
gugus gama karboksil. Gen yang menentukan produksi toksin antraks dan
poolipeptida kapsul adalah pada plasmid B. anthracis terpisah. Penentuan
kepekaan pada faga gama basilus dan penemuan antigen spesifik spesies
dengan uji antibodi fluoresens atau uji hemaglutinas adalah membantu
dalam identifikasi laboratorium B. anthracis. Spora B. anthracis dapat
bertahan tahunan dalam tanah yang kering tetapi dimusnahkan dengan
pendidihan selama 10 menit, dengan memberikan agen peengoksida seperti
kalium permanganate atau hydrogen peroksida atau dengan formaldehid
encer. (Isselbacher dkk, 2000).
6
II.3 Patogenesis Anthrax
B. anthracis adalah suatu kuman patogen ekstraseluler yang dapat
menghindari fagositosis, menyerbu aliran darah, bermultiplikasi dengan
cepat menjadi suatu densitas populasi yang tinggi in vivo dan membunuh
dengan cepat. Polipeptida kapsuler dan toksin antraks dikenal sebagai faktor
virulensi dari B. anthracis. Kapsul B. anthracis terdiri dari asam poli-D-
glutamat dan memberikan resistensi terhadap fagositosis. Toksin antraks
terdiri dari tiga protein yang disebut protective antigen (PA), edema faktor
(EF) dan lethal factor (LF). Toksin ini ditemukan dari demonstrasi yang
memindahkan darah steril dari binatang percobaan yang tidak terinfeksi
yang membunuh resepien. (Moayeri, 2003).
Tidak satu pun dari 3 exotoxin di atas bisa menyebabkan efek biologis
pada binatang percobaan bila diberikan sendiri-sendiri. PA mempunyai efek
mengikat reseptor permukaan sel, sehingga bisa digunakan oleh EF dan LF
untuk masuk ke sitoplasma. (Sudoyo dkk, 2006).
Kombinasi PA dan EF akan menyebabkan edema lokal dan
menghambat fungsi PMN, sedangkan kombinasi PA dan LF akan
menyebabkan syok dan kematian cepat, bisa dalam waktu 60 menit.
Antibiotik akan melenyapkan kuman antraks, tetapi toksin yang telah
diproduksi kuman akan tetap berfungsi melanjutkan proses penyakit sampai
toxin tersebut dimetabolisir. (Prince, 2003).
Gambar 3. Mekanisme anthrax toxin sehingga menyebabkan patologi
7
Gambar 4. Mekanisme infeksi akibat anthrax
Pada cutaneous anthrax, spora kuman tersebut akan masuk melalui
kulit yang luka atau melalui luka yang disebabkan serat dari binatang
terinfeksi. Di jaringan subkutan spora tersebut akan berubah menjadi bentuk
vegetatif, bermultiplikasi dan mengeluarkan eksotoksin dan material kapsul
antifagositik (plasmid pX02). Akan terjadi edema dan nekrosis jaringan.
(Sudoyo dkk, 2006).
Selanjutnya kuman akan di fagosit oleh makrofag dan menyebar ke
kelenjar getah bening setempat, di mana disini toksin akan menyebabkan
perdarahan, edema dan nekrosis (limpadenitis). Terakhir basil tersebut akan
masuk peredaran darah dan menyebabkan pneumonia, meningitis dan
sepsis. (Sudoyo dkk, 2006).
Pada inhalation Antraks (lebih jarang terjadi dibanding dengan tipe
lainnya) terjadi inhalasi spora (aerosol dengan ukuran partikel kurang dari 5
um) dimana spora akan sampai di alveoli, difagosit oleh makrofag dan
selanjutnya dibawa ke kelenjar getah bening mediastinum. Spora yang di
tanah akan menggumpa dan akan susah menjadi aerosol, sehingga tidak
menyebabkan inhalation antraks. (Sudoyo dkk, 2006).
8
Di sini terjadi germination, berkembang biak dan pembentukan toksin,
sehingga terjadi limfadenitis dan mediatinitis yang hemoragis. Kapiler paru
bisa terkena yang menyebabkan trombosis dan gagal napas. Juga bisa terjadi
efusi pleura. Pneumonia terjadi oleh karena infeksi sekunder bukan primer
oleh basil antraks. Dari paru basil bisa masuk ke aliran darah menyebabkan
bakteremia, yang bisa masif. Meningitis hemorrhagis bisa terjadi pada
keadaan ini. Penyebab kematian dari inhalation anthrax ini adalah gagal
napas, syok dan edema paru. (Sudoyo dkk, 2006).
Bila spora masuk melalui mulut setelah makan daging terkontaminasi
yang mentah atau kurang masak maka akan terjadi yang disebut
oropharyngeal atau intestinal anthrax. Pada oropharyngeal Anthrax ini
terjadi pembengkakan farynx dan bisa juga menyebabkan obstuksi trakea
atau limfadenopati servikal dengan edema. Pada intestinal Antraks terjadi
edema, nekrosis dan perdarahan mukosa usus besar dan kecil, limfadenopati
mesenterika, asites hemoragis dan sepsis. (Sudoyo dkk, 2006).
Gambar 5. Jalur penularan anthrax pada manusia
9
II.4 Manifestasi Klinis Anthrax
Ada beberapa jenis manifestasi Antraks dengan insidensi berbeda di
setiap negara, juga antara negara maju dan berkembang. Ada 3 jenis yaitu
cutaneous anthrax, inhalation Antraks dan gastrointestinal antraks, di
mana semuanya bisa menyebabkan bakteremi, sepsis dan meningitis.
Meningitis terjadi pada 5 % semua kasus anthrax. (Sudoyo dkk, 2006).
1. Cutaneous Anthrax
Jenis ini mencakup 90 % kasus Antraks pada manusia. Setelah massa
inkubasi 1-7 hari akan timbul lesi berbentuk papula kecil sedikit gatal pada
tempat spora masuk (biasanya di lengan, tangan kemudian leher dan muka),
yang dalam beberapa hari berubah jadi bentuk vesikel yang tidak sakit berisi
cairan serosanguineous, tidak purulen dan kemudian menjadi ulkus nekrotik
yang sering dikelilingi vesikel-vesikel kecil. Ukuran lesi sekitar 1-3 cm.
khas dalam 2-6 hari akan timbul eschar berwarna hitam seperti batubara
(black carbuncle) yang berkembang dalam beberapa minggu menjadi
ukuran beberapa sentimeter yang kemudian menjadi parut setelah 1-2
minggu. (Moayeri dkk, 2003).
Setelah itu dasar kulit dari lesi terlihat undurasi, panas, berwarna merah,
non-pitting edema yang bisa meluas sampai demikian luasnya (malignant
edema) (Tierno,2002). Sehingga terjadi hipotensi oleh karena perpindahan
cairan intravaskuler ke subkutan. Walaupun demikian hebatnya lesi tetapi
tidak sakit. (Moayeri dkk, 2003).
Gambaran sistemik berupa demam, mialgia, sakit kepala, lemah badan
dan limfadenopati lokal. Bila tidak digunakan antibiotik maka 20 % fatal,
dimana terjadi penyulit bakteriemi yang berlanjut ke meningitis, pneumonia
atau sepsis. (Sudoyo dkk, 2006).
Penyembuhan spontan terjadi terjadi pada 80 sampai 90 persen kasus
yang tidak diobati, tetapi edema dapat berlanjut selama berminggu-minggu.
Pada 10 sampai 20 persen pasien tidak diobati, yang mengalami infeksi
progresif, dapat terjadi bakterimia dan sering disertai demam tinggi dan
kematian cepat. (Isselbacher dkk, 2000).
10
Gambar 6. Cutaneous Anthrax
2. Inhalation Anthrax
Inkubasi 1 sampai 5 hari, tetapi dapat sampai 60 hari, tergantung jumlah
spora yang masuk. (Sudoyo dkk, 2006).
Jenis ini terjadi pada kurang dari 5 % kasus. Setelah inkubasi 10 hari
timbul gambaran klinik akut yang terdiri dari 2 fase (bifasik), yaitu fase
initial yang ringan dimana didapatkan demam, lemah, mialgia, batuk kering
dan rasa tertekan di dada dan perut (flu like) yang pada pemeriksaan fisik
mungkin ditemukan ronki, kemudian tiba-tiba disusul fase kedua yang berat
dan sering fatal setelah terlihat seperti ada perbaikan fase pertama. Fase
kedua ini cepat sekali memburuk berupa panas tinggi, sesak nafas, hipoksia,
sianosis, stridor dan akhirnya syok dengan kematian dalam beberapa hari.
Pemeriksaan fisik memberikan gambaran infeksi paru dengan kemungkinan
sepsis dan meningitis. Inhalation Anthrax tidak memberikan gambaran
klasik pneumonia, sehingga tidak didapatkan sputum yang purulen. Edema
leherr dan dada bisa ditemukan, dan pada paru juga ditemukan rhonchi
basah dan kemungkinan tanda efusi. (Prince, 2003).
11
Gambar 7. Inhalation Anthrax
Kemiripan yang sering terjadi pada gejala antraks inhalasi (penyakit
pencukur bulu domba) dengan penyakit pernapasan karena virus yang berat
telah mempersulit diagnosis dini. Setelah 1 sampai 3 hari fase akut terjadi,
yang disertai demam, dispnea, stridor, hipoksia dan hipotensi, biasanya akan
terjadi kematian dalam 24 jam, dengan angka kematian bisa mencapai 90 %,
tergantung fasilitas. Kadang-kadang pasien memberikan gejala fulminan.
Temuan radiologik khas yang berkaitan dengan mediastinitis hemoragik
adalah pelebaran mediastinum yang simetrik oleh karena limfadenopati.
Inhalation Anthrax tidak dapat ditularkan antar manusia. (Isselbacher,
2000).
3. Gastrointestinal Anthrax
Setelah kira-kira 2-5 hari memakan daging yang mengandung spora,
maka timbul demam, nyeri perut difus, muntah, diare. Bisa timbul muntah
darah dan berak darah, berisi darah segar atau melena. Bisa pula terjadi
perforasi usus. Selain itu terjadi limfadenitis mesenterial dan asites. (Mandal
dkk, 2006).
12
Gejala antraks saluran cerna bervariasi dan terdiri dari demam, mual
dan muntah, nyeri perut, diare berdarah dan kadang asites yang terjadi
secara cepat. Diare kadang masif, sehingga terjadi hemokonsentrasi dan
volume intravaskuler yang menurun hebat. Gambaran utama antraks
orofaring adalah demam, nyeri tenggorok, disfagia, limfadenopati regional
yang nyeri dan toksemia, sesak napas juga dapat terjadi. Lesi primer sering
terdapat pada tonsil. (Prince, 2003).
Perkembangan selanjutnya dari keduanya adalah sepsis, meningitis dan
kematian. Angka kematian berkisar 25 sampai 60 %. (Sudoyo dkk, 2006).
Gambar 8. Gastrointestinal Anthrax
II.5 Uji Laboratorium Diagnostik Anthrax
Spesimen yang diperiksa adalah cairan atau pus dari lesi lokal, darah
dan sputum. Apusan yang diwarnai dari lesi lokal atau darah dari hewan
yang mati sering memperlihatkan batang gram positif besar berbentuk
rantai. Anthrax dapat diidentifikasi dalam apusan yang dikeringkan dengan
teknik pewarnaan imunofluoresensi. (brooks dkk, 2007).
Bila ditumbuhkan dalam lempeng agar darah, organisme menghasilkan
koloni nonhemolitik abu-abu sampai putih dengan tekstur kasar dan
gambaran “ground-glass”. Pertumbuhan keluar berbentuk koma (kaput
13
medusa) dapat menonjol dari koloni. Pewarnaan gram memperlihatkan
batang gram positif besar. Fermentasi karbohidrat tidak berguna. Pada
medium semi-padat, basilus anthrax selalu nonmotil sedangkan organisme
nonpatogenik terkait (misalnya, B cereus) memperlihatkan motilitas secara
“berkelompok”. Biakan anthrax yang virulen membunuh tikus atau marmut
pada injeksi intraperitoneal. Demonstrasi kapsul memerlukan pertumbuhan
pada medium yang mengandung bikarbonat dalam 5-7 % karbondioksida.
Lisis oleh bakteriograf-Y anthrax spesifik dapat membantu dalam
mengidentifikasi organisme. (Moayeri, 2003).
Enzyme-linked immunoassay (ELISA) telah dikembangkan untuk
mengukur antibody terhadap edema dan toksin letal, tetapi uji tersebut
belum dipelajari secara luas. Serum akut dan konvalesen yang diperoleh
dengan selang waktu 4 minggu harus diuji. Hasil yang positif adalah
perubahan empat kali atau titer tunggal lebih dari 1:32. (Moayeri, 2003).
Laboratorium memberikan hasil leukosit yang normal atau sedikit
meningkat dengan PMN yang dominan. Cairan pleura atau likuor
serebrospinal memperlihatkan gambaran hemoragis dengan relatif sedikit
sel darah putih. Pemeriksaan gram dan kultur (dengan media standar) dari
lesi kulit, apus tenggorok, cairan pleura, asites, likuor serebrospinal dan
darah akan memperlihatkan kuman gram positif dengan gambaran khas
anthrax. Pemeriksaaan radiologi sangat penting pada Inhalation anthrax
dimana akan didapatkan gambaran mediastinum yang melebar. (Sudoyo
dkk, 2006).
II.6 Terapi pada Anthrax
B. anthracis yang hidup dapat menghilang dari lesi antraks kulit dalam
waktu 5 jam setelah pengobatan dimulai dengan penisilin G parenteral.
Terapi yang dianjurkan pada orang dewasa adalah 2 juta unit penisilin G
dengan selang waktu 6 jam sampai edema mereda, dengan pemberian
penisilin oral berikutnya sampai terapu 7 sampai 10 hari lengkap. Pada
orang dewasa yang peka terhadap penislin, eritromisin atau tetrasiklin (500
mg setiap 6 jam) dapat menjadi pengganti. Kloramfenikol juga telah
14
digunakan dengan berhasil. Antibiotik mengurangi edema setempat dan
toksisitas sistemik pada pasien antraks kulit tetapi tidak mencegah
pembentukan eschar. Lesi kulit harus dibersihkan dan ditutupi, dan balutan
yang digunakan harus didekontaminasikan. Pada antraks inhalasi, terapi
penisilin dosis tinggi ( 2 juta unit setiap selang 2 jam) dianjurkan, pada
antraks saluran cerna atau meningitis antraks, regiment yang dianjurkan
adalah serupa. Pertimbangan rasional dapat dibuat untuk imunisasi pasif
dengan antitoksin antraks disamping terapi antibiotik pada pasien yang
menderita sakit antraks berat, tetapi antitoksin yang sesuai tidak secara
komersial tersedia. (Isselbacher dkk, 2000).
II.7 Prognosis pada Anthrax
Angka kematian 10 sampai 20 persen untuk antraks yang tidak diobati,
tetapi sangat rendah dengan pengobatan antibiotik yang sesuai. Sebaliknya
angka kematian antraks inhalasi mencapai 100 persen dan terapi biasanya
tidak berhasil. Angka kematian untuk antraks saluran cerna kira-kra 50
persen. Meningitis adalah komplikasi antraks yang biasanya menimbulkan
kematian. (Isselbacher dkk, 2000).
II.8 Pencegahan dan Pengendalian Anthrax
Pencegahan dari paparan terhadap spora antraks bisa dilakukan baik
dengan mencegah kontak dengan binatang atau bahan dari binatang yang
terinfeksi atau makan dagingnya. (Sudoyo dkk, 2006).
Vaksin pertama kali dicoba oleh Louis Pasteur pada tahun1881 pada
binatang. Pada saat ini yang dianjurkan untuk manusia adalah AVA (anthrax
vaccine adsorbed) yang terdiri dari nonencapsulated, attenuated starin (Stern
strain). Vaksin lain yang masih dilakukan trial saat ini (2005) adalah vaksin
rekombinan antigen (cell-free antigen) yang antara lain mengandung LE dan
EF. Vaksin diberikan ulang pada minggu ke-2, 4 dan kemudian pada bulan
ke-6, 12 dan 18. Vaksin bisa diberikan pada pekerja industri atau peternakan
atau siapapun yang punya resiko kontak spora. Vaksin AVA saja tidak bisa
digunakan buat postexposure prophylaxis, sehingga untuk maksud ini
15
digunakan antibiotic 60 hari atau dikombinasi dengan vaksin. Oleh karena
dikuatirkan terjadi resistensi terhadap penisilin, maka dianjurkan pemakaian
empiric dengan salah satu dari siprofloksasin (2x500 mg peroral),
gatifloksasin (1x400 mg), levofloksasin (1x500 mg) atau doksisiklin (2x100
mg peroral). (Sudoyo dkk, 2006).
Pencegahan penyakit anthrax juga bisa dilakukan dengan cara (1)
disinfeksi dan sterilisasi yang efisien untuk semua produk hewan impor, (2)
ventilasi, baju pelindung, pemeliharaan higiene dan pengawasan medis pada
keadaan berisiko tinggi, (3) imunisasi pada orang yang berisiko tinggi, saat
ini tersedia vaksin antraks mati yang efektif dan cukup aman, (4) imunisasi
personil militer dapat dipertimbangkan di negara yang berisiko mengalami
bioterorisme antraks, (5) pengambilan sampel lingkungan dan personil
mungkin diperlukan untuk pemeriksaan penunjang antraks akibat
bioterorisme, (6) profilaksis siproflolaksin
Tindakan pengendalian meliputi (1) membuang kerangka hewan
dengan membakar atau menanamnya dalam lubang kapur, (2)
dekontaminasi (biasanya dengan autoklaf) produk-produk hewan, (3)
pakaian dan sarung tangan pelindung untuk menangani bahan-bahan yang
berpotensi terinfeksi dan (4) imunisasi aktif hewan peliharaan dengan
vaksin hidup yang dilemahkan. Orang-orang dengan risiko pekerjaan tinggi
harus diimunisasi. (Brooks dkk, 2007).
16
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
1) Anthrax adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh kuman bacillus
anhtracis, suatu basil yang dapat membentuk spora dan ditularkan ke
manusia melalui kontak dengan binatang yang terinfeksi atau bahan dari
binatang yang terkontaminasi. Toksin antraks terdiri dari tiga protein
yang disebut protective antigen (PA), edema faktor (EF) dan lethal factor
(LF).
2) Ada 3 jenis manifestasi antraks yaitu cutaneous anthrax, inhalation
Anthrax dan gastrointestinal anthrax.
3) Terapi pada anthrax adalah menggunakan penisilin G parenteral,
eritromisin, tetrasiklin dan kloramfenikol.
III.2 Saran
1) Anthrax bersifat zoonosis untuk itu hindari kontak langsung dengan
hewan yang terkena anthrax.
2) Untuk mencegah tertularnya anthrax maka dianjurkan untuk membeli
daging dari tempat pemotongan resmi, memasak daging secara matang
untuk mematikan kuman, serta mencuci tangan sebelum makan.
17
DAFTAR PUSTAKA
Brooks, G.F., J.S.Butel dan S.A. Morse. 2007. Jawetz, Melnick, & Adelberg
Mikrobiologi Kedokteran Edisi 23. EGC. Jakarta.
Dorland,W.A.N. 2010. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31. EGC. Jakarta.
Gillespie, S. dan K. Bamford. 2002. At a Glance Mikrobiologi Medis dan Infeksi
Edisi 3. Erlangga. Jakarta .
Isselbacher, dkk. 2000. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Edisi 13
Volume 2. EGC. Jakarta.
Mandal, dkk. 2006. Lecture Notes Penyakit Infeksi Edisi Keenam. Erlangga.
Jakarta.
Moayeri, dkk. 2003. Bacillus anthracis lethal toxin induces TNF-α–independent
hypoxia-mediated toxicity in mice (on line). Journal Clinical Investigation.
Diakses 1 november 2011.
Pelczar, M.J. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi jilid 2. UI press. Jakarta.
Prince, alice S. 2003. The host response to anthrax lethal toxin : Unexpected
observation (on line). American Society for Clinical Investigation. Diakses
1 november 2011.
Sudoyo A W, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.
18