Post on 26-Feb-2019
II. TINJAUAN PUSTAKA
1. Flu Burung dan Virus H5N1
Dalam beberapa tahun terakhir ini perhatian dunia kesehatan terpusat
kepada semakin merebaknya penularan avian influenza A (H5N1), karena dengan
meningkatnya kasus infeksi H5N1 yang menyebabkan kematian pada manusia
sangat dikhawatirkan dapat berkembang menjadi wabah pandemi yang berbahaya
bagi umat manusia di muka bumi ini. Sejak lebih dari satu abad yang lalu,
beberapa subtipe dari virus influenza A telah menjadi wabah penyakit pada
manusia. Berbagai variasi mutasi subtipe virus influenza A yang menyerang
manusia dan telah menyebabkan pandemi, sehingga tidak mengherankan jika
kewaspadaan global terhadap wabah pandemi flu burung mendapatkan perhatian
yang serius.
Virus influenza merupakan virus RNA termasuk dalam famili
Orthomyxoviridae. Asam nukleat virus ini beruntai tunggal, terdiri dari 8 segmen
gen yang mengkode sekitar 11 jenis protein. Virus influenza mempunyai selubung
atau simpai yang terdiri atas kompleks protein dan karbohidrat. Virus ini
mempunyai tonjolan (spikes) yang digunakan untuk melekat pada reseptor yang
spesifik pada sel-sel hospesnya pada saat menginfeksi sel. Terdapat 2 jenis spikes,
yaitu yang mengandung hemaglutinin (HA) dan yang mengandung neuraminidase
(NA), yang terletak dibagian terluar dari virion (Horimoto & Kawaoka 2001).
Menurut Maksum (2006), virus influenza mempunyai 4 jenis antigen yang
terdiri atas protein nukleokapsid (NP), Hemaglutinin (HA), Neuraminidase (NA),
dan protein matriks (MP). Berdasarkan jenis antigen NP dan MP, virus influenza
digolongkan dalam virus influenza A, B, dan C. Virus influenza A sangat penting
dalam bidang kesehatan karena sangat patogen baik bagi manusia, maupun
binatang yang menyebabkan angka kesakitan dan kematian yang tinggi di seluruh
dunia. Virus Influenza A ini dapat menyebabkan pandemi karena mudahnya
mereka bermutasi, baik berupa antigen drift ataupun antigenic shift sehingga
membentuk varian baru yang lebih patogen.
Infeksi virus H5N1 dimulai ketika virus memasuki sel hospes setelah
terjadi perlekatan spikes virion dengan reseptor spesifik yang ada di permukaan
sel hospesnya. Virion akan menyusup ke sitoplasma sel dan akan
mengintegrasikan materi genetiknya di dalam inti sel hospesnya, dan dengan
menggunakan mesin genetik dari sel hospesnya, virus dapat bereplikasi
membentuk virion-virion baru, dan virion-virion ini dapat menginfeksi kembali
sel-sel disekitarnya. Dari beberapa hasil pemeriksaan terhadap spesimen klinik
yang diambil dari penderita ternyata avian influenza H5N1 dapat bereplikasi di
dalam sel nasofaring, dan di dalam sel gastrointestinal (Maksum 2006).
Masa inkubasi virus avian influenza A (H5N1) sekitar 2- 4 hari setelah
terinfeksi (Yue et al. 1998), namun berdasarkan hasil laporan terbaru masa
inkubasinya bisa mencapai antara 4-8 hari (Chotpitayasunondh et al. 2005).
Sebagian besar pasien memperlihatkan gejala awal berupa demam tinggi
(biasanya lebih dari 38o C) dan gejala flu serta kelainan pada saluran pernafasan..
Gejala lain yang dapat timbul adalah diare, muntah, sakit perut, sakit pada dada,
hipotensi, dan juga dapat terjadi perdarahan dari hidung dan gusi. Gejala sesak
nafas mulai terjadi setelah 1 minggu berikutnya.
Dewasa ini terdapat 4 jenis obat antiviral untuk pengobatan ataupun
pencegahan terhadap influenza, yaitu amantadine, rimantadine, zanamivir, dan
oseltamivir (tamiflu). Mekanisme kerja amantadine dan rimantadine adalah
menghambat replikasi virus. Namun demikian kedua obat ini sudah tidak mampu
untuk membunuh virus H5N1 yang saat ini beredar luas (Beigel et al.2005).
2. Sirih Merah
Indonesia merupakan negara yang kaya akan berbagai jenis tumbuhan.
Tumbuhan tersebut dapat memberikan manfaat pada berbagai bidang antara lain
bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, industri, bahan dasar obat-obatan dan
sebagainya. Tumbuhan yang digunakan sebagai obat dikenal dengan nama obat
tradisional. Sampai saat ini obat tradisional dan tumbuhan masih banyak
digunakan oleh masyarakat. Oleh karenanya hal itu perlu dilestarikan, karena obat
tradisional harganya relatif lebih murah dibandingkan dengan obat sintesis, serta
bahan-bahannya pun mudah didapat (Wijayakusuma 2000).
Salah satu tumbuhan yang digunakan oleh masyarakat sebagai obat
tradisional adalah sirih merah (Piper betle L.var Rubrum). Tanaman sirih merah
berasal dari Amerika Tengah, tetapi saat ini dianggap sebagai tanaman asli, karena
multikhasiat mengatasi beragam penyakit (Duryatmo 2006).
Tanaman sirih merah (Piper crocatum) termasuk dalam famili Piperaceae,
tumbuh merambat dengan bentuk daun menyerupai hati dan bertangkai, yang
tumbuh berselang-seling dari batangnya, serta penampakan daun yang berwarna
merah keperakan dan mengkilap. Secara empiris sirih merah dapat
menyembuhkan berbagai jenis penyakit seperti diabetes militus, hepatitis, batu
ginjal, menurunkan kadar kolesterol, mencegah stroke, asam urat, hipertensi,
radang prostat, radang mata, keputihan, maag, kelelahan, nyeri sendi dan untuk
memperhalus kulit. Potensi sirih merah sebagai tanaman obat multi fungsi sangat
besar sehingga perlu ditingkatkan dalam penggunaannya sebagai bahan obat
moderen. Adapun kedudukan tanaman sirih merah menurut Dasuki (1994) dalam
sistematik (taksonomi) tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut :
Gambar.1 Sirih Merah (Piper crocatum) (Sumber: Manoi 2007).
Divisi : Magnoliphyta
Kelas : Liliopsida
Anak kelas : Aracidae
Bangsa : Arecales
Suku : Arecaeceae / palmae
Marga : Piper
Jenis : Piper betle L.Var Rubrum
Tanaman ini memproduksi berbagai macam senyawa kimia untuk tujuan
tertentu, yang disebut dengan metabolit sekunder. Metabolit sekunder tanaman
tersebut merupakan bahan yang tidak esensial untuk kepentingan hidup tanaman
tersebut, tetapi mempunyai fungsi untuk berkompetisi dengan makhluk hidup
lainnya. Metabolit sekunder yang diproduksi tanaman bermacam-macam seperti
alkaloid, terpenoid, isoprenoid, flavonoid, cyanogenik, glukosida,
glukosinolat ,dan protein non asam amino. Menurut Sholikhah (2006), senyawa
fitokimia yang terkandung dalam daun sirih merah yakni alkoloid, saponin, tannin
dan flavonoid, sedangkan menurut Sudewo (2005), dari hasil kromotografi dapat
dilihat bahwa daun sirih merah mengandung flavonoid, polifenolad, tannin dan
minyak atsiri.
Alkaloid adalah kelompok besar senyawa organik alami dalam hampir
semua jenis organisme, berbagai efek farmakologi yang ditimbulkan seperti
antikanker, antiinflamasi dan antimikroba. Alkaloid bersifat basa, di alam berada
sebagai garam dengan asam-asam organik. Adanya sifat basa ini mempermudah
memisahkan ekstrak total alkaloid dari komponen lainnya (Herborne 1987).
Selanjutnya, zat kimia yang terkandung yakni saponin. Saponin
merupakan glikosida yang membentuk basa dalam air. Apabila dihidrolisis
dengan asam akan menghasilkan gula dan spogenin yang sesuai, saponin
merupakan senyawa kimia aktif permukaan yang dapat dideteksi berdasarkan
kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah (Harborne 1987).
Berdasarkan Sholikhah (2006), saponin dapat dipakai sebagai antimikroba
(bakteri / virus).
Zat lainnya yang terkandung pada tanaman sirih merah yakni tannin.
Tannin adalah senyawa fenol yang terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh,
dalam angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu. Menurut batasannya,
tannin dapat bereaksi dengan protein membentuk kapolismer kuat yang tidak larut
dalam air.
Kemudian zat kimia lainnya yakni flavonoid. Flavonoid adalah kelompok
senyawa fenol yang terbesar ditemukan di alam. Senyawa ini merupakan zat
warna merah, ungu, biru dan sebagian kuning yang ditemukan dalam tumbuhan
(Harbrone 1987). Flavonoid dapat dikasifikasikan menjadi 3 yaitu flavoniod,
isoflavonoid, dan neoflavonoid. Flavonoid merupakan senyawa fenol yang
memiliki gugus –OH. Senyawa polifenol ini adalah antioksidan yang kekuatannya
100 kali lebih efektif dibandingkan vitamin C dan 25 kali lebih efektif
dibandingkan vitamin E.
Zat terakhir yang terkandung di dalam tanaman sirih merah adalah minyak
atsiri. Minyak atsiri pada sirih merah ini berfungsi sebagai antiradang dan
antiseptik. Menurut Achmad dan Fitriani (1999), sejak dahulu orang mengetahui
bahwa bunga, daun dan akar dari berbagai tumbuhan mengandung bahan yang
mudah menguap dan berbau wangi yang disebut minyak atsiri.
3. Hati
3.1 Anatomi dan Histologi Hati
Hati adalah organ tubuh terbesar dan merupakan kelenjar terbesar. Hati
terletak di bagian kanan atas dari rongga abdominal tepat di bawah difragma dan
terbagi dalam empat lobus, dikelilingi oleh suatu kapsul jaringan penyambung
yang mengandung sejumlah serat elastis. Ayam memiliki hati yang terletak
diantara saluran pencernaan dan organ jantung. Ginjal mempunyai lembaran
permukaan dari jaringan penyambung (kapsul Glisson), tertutup oleh suatu tunika
serosa yang tidak lengkap, yang berasal dari peritoneum. Pada tempat dimana
pembuluh-pembuluh utama aferens dan eferens dan saluran empedu eferens
memasuki dan meninggalkan hati (porta hepatis), kapsulnya mengelilingi
pembuluh-pembuluhnya dan mengikuti mereka sampai ke dalam organnya, untuk
membentuk suatu kerangka jaringan penyambung yang membagi kumpulan
hepatosit ke dalam bentuk lobulus (Junqueira et al. 1998)
Hati berkembang sebagai pertumbuhan dari dinding usus yang terletak
dalam jalan vitellina dan vena umbelikula. Ruang antara pembuluh-pembuluh
darahnya terbongkar menjadi sejumlah besar sinusoida-sinusoida kecil yang
mempunyai dinding yang sangat permeabel. Suplai darah sangat kompeks, dan
pemahaman susunan dan distribusinya adalah penting untuk dapat menilai secara
tepat bagaimana hati berfungsi. Terdapat dua sel yang berkaitan dengan fungsi
dari hati, yakni sel parenkim (hepatosit) yang membentuk plat-plat tipis atau
lembaran-lembaran yang terpisah oleh sinuisoida-sinuisoida, dan sel
retikuloendotel yang fagositis, yang membentuk selaput-selaput sinuisoida
tersebut. Sedangkan menurut Darmawan (1979), dalam hati terdapat tiga jenis
jaringan yang penting yaitu sel parenkim hati, susunan pembuluh darah dan
susunan saluran empedu.
Hepatosit merupakan sel yang terlibat dalam berbagai fungsi, diantaranya
dalam sintesa berbagai komponen sekresi empedu, penyerapan dan penimbunan
zat-zat makanan, pembuangan obat-obatan, zat-zat racun, serta senyawa-senyawa
yang terbentuk secara alami seperti hormon, dan dalam sintesa serta pelepasan
beberapa protein darah seperti albumin, pengangkutan globulin, dan protein-
protein yang membekukan darah. Sedangkan sel-sel fagosit terlibat dalam
penyaringan darah sewaktu melaui sinusoida. Sel- sel ini mempunyai peranan
penting dalam memelihara respons pertahanan tubuh yang normal terhadap infeksi.
Meskipun peranan hati dalam menjebak bakteri yang lolos ke dalam aliran darah
dari saluran usus, tetap merupakan perselisihan pendapat, namun penurunan
kapasitas fagositis karena penyakit hati, dapat mengakibatkan pengurangan daya-
tahan tubuh terhadap infeksi. Dengan demikian hati merupakan organ yang
kompleks, baik struktural maupun fungsional (Hartono 1992).
Peredaran darah pada hati berasal dari dua sumber yaitu 75% berasal dari
vena portal, dan 25% berasal dari arteri-arteri hati. Vena portal membawa darah
dari usus dan limpa bersama dengan cabang-cabang arteri hapatikus, masuk ke
dalam hati pada porta hepatis ( Gerrit et al.1988).
Gambar 2 Struktur histologi hati normal
Sumber: www.octc.kctcs.edu/gcaplan/anat2/notes/35
Ductus empedu merupakan saluran keluar untuk sekresi empedu, suatu
cairan yang mengandung garam empedu (mempunyai kepentingan dalam
membuat lemak menjadi emulsi dan mempermudah penyerapan lemak dari usus),
serta sejumlah senyawa yang merupakan bentuk eksresi dari produk akhir
metabolisme hemoglobin (bilirubin) dan inaktivasi obat-obatan dan hormon-
hormon (berbagai glukuronida dan sulfat). Semua hepatosit senantiasa
membentuk sejumlah kecil empedu, yang dieksresikan ke dalam kanalikuli
empedu yang terletak antara hepatosit-hepatosit dalam lobulus hati ( Gerrit et
al.1988).
3.2 Fisiologi Hati
Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh. Menurut Junquiera et al. (1998),
hati adalah organ tempat nutrien diserap dari saluran cerna, diolah dan disimpan
untuk dipakai oleh bagian tubuh yang lain, oleh karena itu hati menjadi perantara
antara sistem pencernaan dan darah. Hati memiliki berbagai fungsi dibandingkan
organ lain dalam tubuh. Fungsi utama hati yaitu metabolisme karbohidrat,
metabolisme lipid, metabolisme protein, penyimpanan glikogen, vitamin A, D dan
B12, zat besi dan darah, peyaringan darah, detosifikasi dan sekresi empedu. Fungsi
metabolisme karbohidrat dilakukan dengan mengubah glukosa darah menjadi
glikogen dan lemak, produksi glukosa dari glikogen hati dan molekul lain (asam
amino, asam laktat) melalui proses glukoneogenesis, juga mnesekresikan glikosa
ke dalam darah. Metabolisme lipid pada hati terjadi melalui sintesis trigliserida
dan kolesterol, eksresi kolesterol ke dalam empedu serta produksi badan keton
dari asam lemak yang akan dieksresikan ke dalam darah dalam jumlah besar
selama kelaparan atau dalam keadaan puasa.
Menurut Guyton dan Hall (1997), fungsi hati yang paling penting dalam
metabolisme protein adalah deaminasi asam amino, pembentukan ureum untuk
mengeluarkan amonia dalam cairan tubuh, pembentukan protein plasma, dan
interkonversi diantara asam amino yang berbeda, demikian juga dengan ikatan
penting lainnya untuk proses metabolisme tubuh. Albumin plasma dan globulin
plasma dihasilkan oleh hati. Albumin menyusun sekitarn70 % total protein plasma.
Globulin memiliki berbagai fungsi, termasuk diantaranya adalah transport
koleterol dan trigliserida, transport hormon steroid dan tiroid, inhibisi aktivitas
tripsin dan pembekuan darah. Hati juga memproduksi faktor pembekuan darah
yaitu faktor I (fibrinogen), II (protombin), III, V, VII, IX dan XI, serta dikenal
dengan angiotensinogen.
Daya regenerasi hati besar sekali. Pada hati normal diketahui bahwa
lobektomi sebanyak 70 % pada hati mengakibatkan proliferasi sel-sel hati yang
sangat giat, sehingga dalam waktu 2-3 minggu bagian hati yang hilang dapat
diganti kembali. Pengaturan regenerasi hati yang cepat ini masih belum diketahui
secara jelas, namun faktor pertumbuhan hepatosit (hepatocyte growt factor, HGF)
sepertinya merupakan faktor yang paling penting untuk menyebabkan pembelahan
dan pertumbuhan sel hati (Guyton dan Hall 2006).
3.3 Intosikasi Hati
Hati merupakan organ terbesar dan secara metabolisme paling kompleks di
dalam tubuh. Organ ini terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian
besar obat dan toksikan. Jenis zat yang belakangan ini biasanya dapat mengalami
detosifikasi, tetapi banyak toksikan dapat dibioaktifkan dan menjadi lebih toksik.
Toksikan dapat menyebabkan berbagai jenis efek toksik pada berbagai organel
dalam sel hati, mengakibatkan berbagai kerusakan hati (Lu 1995). Sebagian besar
toksikan memasuki tubuh melalui sistem gastrointestinal, dan setelah diserap,
toksikan dibawa oleh vena porta ke hati (Lu 1995). Beberapa kerusakan hati
diantaranya adalah :
a) Degenerasi
Degenerasi adalah perubahan-perubahan morfologik akibat jejas-jejas
yang non fatal dan perubahan-perubahan tersebut masih dapat pulih
(reversible), tetapi apabila berjalan lama dan derajatnya berlebih, akhirnya
mengakibatkan kematian sel (nekrosis). Degenerasi terjadi akibat jejas sel,
setelah itu timbul perubahan metabolisme. Pada pemeriksaan, luas degenerasi
lebih penting dari jenis degenerasi. Macam atau jenis degenerasi antara lain
degenerasi lemak, degenerasi hidrofilik, degenerasi “feathery”, degenerasi
hialin dan penimbunan glikogen.
b) Nekrosis
Nekrosis adalah kematian sel. Nekrosis dapat bersifat fokal (sentral,
petengahan, perifer) atau masif. Biasanya nekrosis bersifat akut (Lu 1995). Ciri
nekrosis ialah tampaknya fragmen atau sel hati nekrotik tanpa pulasan inti atau
tidak tampaknya sel disertai reaksi radang. Kerusakan pembuluh darah gingga
menimbulkan pembendungan eritrosit pada hati merupakan kelainan tingkat
lanjut dari degenerasi dan sifatnya tidak reversibel sebab nekrosis hati
merupakan kerusakan susunan enzim dari sel. Tampak atau tidaknya sisa sel
hati tergantung pada lama dan jenis nekrosis (Hodgson and Levi 2002).
4. Ginjal
4.1 Anatomi dan Histologi Ginjal
Ginjal adalah organ yang menyaring plasma dan unsur-unsur plasma dari
darah, dan kemudian secara selektif menyerap kembali air dan unsur-unsur
berguna dari filtrat, yang akhirnya mengeluarkan kelebihan dan produk buangan
plasma. Secara anatomi, posisi ginjal terletak pada bagian dorsal dari rongga
abdominal pada tiap sisi dari aorta dan vena kava, tepat pada posisi ventral
terhadap beberapa vertebrae lumbal yang pertama. Ginjal dikatakan
retroperitoneal, artinya terletak di luar rongga peritoneal. Ginjal kanan biasanya
terletak lebih kranial daripada yang kiri. Organ ginjal pada ayam memiliki bentuk
yang sedikit lebih memanjang
Secara makroskopis, sebuah ginjal dengan potongan memanjang memberi
dua gambaran dan dua daerah yang cukup jelas. Daerah perifer yang beraspek
gelap disebut korteks, dan selebihnya yang agak cerah disebut medula,yang
berbentuk piramida terbalik. Secara makroskopis, korteks yang gelap tampak
diselang dengan interval tertentu oleh jaringan medula yang berwarna agak cerah,
disebut garis medula (medullary rays). Subtansi korteks di sekitar garis medula
disebut labirin korteks. Medula tampak lebih cerah dan tampak adanya jalur-jalur
yang disebabkan oleh buluh-buluh kemih yang lurus dan pembuluh darahnya
(Hartono 1992). Menurut Nabib (1987), secara histologi ginjal terdiri atas tiga
unsur utama yaitu (1) Glomerulus, yakni suatu gelung pembuluh darah kapiler
yang masuk melalui arteri aferen, (2) Tubuli sebagai parenkim yang bersama
glomerulus membentuk nefron, suatu untit fungsional terkecil ginjal, dan (3)
Interstisium berikut pembuluh-pembuluh darah, limfe dan syaraf.
Darah yang mengalir ke kedua ginjal normalnya sekitar 22% dari curah
jantung. Arteri renalis memasuki ginjal melalui hilum, kemudian bercabang-
cabang secara progresif membentuk arteri interlobaris, artei arkuata, arteri
interlobularis (juga disebut arteri radialis) dan arteri eferen, yang menuju ke
kapiler glomerulus. Ujung distal kapiler pada setiap glomerulus bergabung untuk
kapiler glomerulus. Ujung distal kapiler pada setiap glomerulus bergabung untuk
membentuk arteriol eferen, yang menuju jaringan kapiler kedua, yaitu kapiler
peritubular yang mengelilingi tubulus ginjal (Guyton dan Hall 2006).
Gambar.3 Struktur histologi ginjal normal
Sumber : www.octc.kctcs.edu/gcaplan/anat2/notes/35
4.2 Fisiologi Ginjal
Fungsi utama dari ginjal adalah menjernihkan atau membersihkan plasma
darah dari produk akhir metabolisme ketika zat-zat ini berjalan melalui alas
kapiler ginjal. Ginjal juga membuat seimbang komposisi cairan-cairan tubuh
dengan mempertahankan secara selektif atau mengeksresikan banyak zat
penyusun plasma. Sementara itu, menurut Price dan Lorraine (2006), fungsi utama
ginjal dapat dibagi menjadi dua, yaitu fungsi eksresi dan non eskresi. Fungsi
ekresi ginjal adalah (1) mempertahankan osmolalitas plasma, (2) mempertahankan
volume cairan ektraseluler dan tekanan darah, (3) mempertahankan pH plasma,
(4) mempertahankan konsentrasi plasma masing- masing elektrolit individu dalam
rentang normal, (5) mengekresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme
protein (terutama urea, asam urat dan kreatinin), dan (6) bekerja sebagai jalur
eskretori untuk sebagian obat. Sedangkan fungsi noneskresi ginjal yaitu
mensintesis dan mengaktifkan hormon, yaitu renin, eritropoetin, 1,25-
dihidroksivitamin D3, protaglandin, insulin, glukagon, parathormon, prolaktin,
hormon pertumbuhan, hormon anti diuretik (ADH), hormon gastrointestinal, serta
degradasi hormon polipeptida.
Kapiler di bagian glomerulus ginjal menyaring antara 10% sampai 30%
plasma, ketika darah mengalir melalui alas kapiler ginjal yang sangat kompleks
(glomeruli) dan ultrafiltrat ini (plasma yang telah dibersihkan dari protein-protein
besar dan zat-zat partkel) masuk ke dalam tubula dari nefron sebagai satuan
fungsional ginjal. Ketika cairan saringan itu mengalir melalui tubula, maka hasil
ikutan metabolisme yang tidak dikehendaki seperti urea, kreatinin, tetap tertahan
dalam tubula, sedangkan zat-zat yang masih diperlukan seperti air, elektrolit,
glukosa, dan asam amino secara selektif dikembalikan pada darah (proses
reabsorpsi). Ketika urine terbentuk, dinding tubula juga mensekresi beberapa zat
ke dalam lumen. Urine yang lengkap terbentuk oleh proses filtrasi dan sekresi,
dan peyesuaian-penyesuaian dilakukan dalam komposisi urine sepanjang jalan
tubula oleh proses resorpsi. Pada ginjal terdapat alat-alat penginderaan
(juxtaglomerular aparatus) untuk membandingkan susunan elektrolit cairan tubuh
dengan kandungan urine, dan penyesuaian terakhir dapat dilakukan untuk
memungkinkan penahanan atau ekskresi elektrolit- elektrolit, seperti natrium,
kalium dan ion-ion klorida atau hidrogen. Oleh karena itu, secara fisiologis ginjal
merupakan suatu organ penting dalam pengaturan asam basa dan keseimbangan
cairan (Guyton dan Hall 2006).
Ginjal melakukan fungsinya yang paling penting dengan menyaring
plasma dan memindahkan zat dari filtrat dengan kecepatan yang bervariasi
tergantung pada kebutuhan tubuh. Akhirnya ginjal “membuang” zat yang tidak
diinginkan dari filtrat dengan mengeksresikan melalui urin, sementara zat yang
dibutuhkan dikembalikan ke dalam darah. Proses pembentukan urin dimulai
dengan filtrasi sejumlah cairan yang hampir bebas rotein dari kapiler glomerulus
ke kapsula Bowman. Kebanyakan zat dalam plasma, kecuali protein, difiltrasi
secara bebas sehingga konsentrasinya pada filtrat glomerulus dalam kapsula
Bowman hampir sama dengan plasma. Ketika cairan yang telah difiltrasi ini
meninggalkan kapsula Bowman dan mengalir melewati tubulus, cairan ini
mengalami perubahan akibat adanya resorpsi air dan zat terlarut spesifik kembali
ke dalam darah atau sekresi zat-zat lain dari kapiler peritubulus ke dalam tubulus
(Guyton dan Hall 2006).
4.3 Intoksikasi Ginjal
Urine merupakan jalur utama eskresi sebagian besar toksikan yang ada di
dalam tubuh. Menurut Lu (1995), akibatnya ginjal mempunyai volume aliran
darah yang tinggi, mengkonsentrasikan toksikan pada filtrat, membawa toksikan
melalui tubulus dan mengaktifkan toksikan tertentu. Karenanya, ginjal merupakan
organ sasaran utama dari efek toksik.
Nefrotoksikan dapat menyebabkan efek buruk pada berbagai bagian ginjal,
yang mengakibatkan berbagai perubahan fungsi. Kerusakan pada ginjal dapat
mengenai glomerulus diantaranya adalah glomerulonefritis, glomerular lipidosis
serta amiloidosis (Jubb et al.1993).