Post on 08-Nov-2015
description
1
BAB I
EIGENRICHTING
(TINDAKAN MAIN HAKIM SENDIRI)
Hukum materiil (sebagaimana terjelma dalam undang-undang atau yang
bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi warga masyarakat tentang
bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat dalam masyarakat
(Sudikno Mertokusumo, 1985: 1). Ini berarti hukum itu bukan sekadar sebagai
pedoman, yang hanya untuk dibaca, dilihat atau diketahui saja. Melainkan hukum
itu untuk dijalankan, dilaksanakan. Kemudian timbul suatu pertanyaan, siapakah
yang melaksanakan hukum? Jawabannya adalah setiap orang yang melaksanakan
hukum. Adalah salah besar kalau ada anggapan bahwa yang melaksanakan hukum
itu hanya orang-orang tertentu saja seperti sarjana hukum, pejabat ataupun
para penegak hukum serta masyarakat hukum sendiri.
Apakah benar masyarakat awam pun melaksanakan hukum ? Benar!
Bahkan tanpa sesadarnya mereka itu telah melaksanakan hukum, contohnya:
Seorang pemuda akan apel ke rumah pacarnya, si pemuda berkata, Nanti aku datang
ke rumah jam 19.00, kamu sudap siap ya, dan sang pacar menjawab, "Ya, aku nanti
sudah siap." Dengan contoh ini saja, mereka tanpa sadar telah melakukan hukum
perjanjian.
Dari contoh tersebut, bagaimana kalau salah satu dari mereka itu ingkar janji?
Hukum materiil tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk itu diperlukan hukum formal, atau
yang sering disebut Hukum Acara Perdata. Di sinilah peran hukum acara perdata,
kalau salah satu mereka itu wanprestasi, maka hukum acara perdata dapat
diberlakukan.
Atau dengan kata lain, Hukum Acara Perdata ini dapat digunakan untuk
menjamin ditaatinya hukum materiil perdata. Hukum Acara Perdata memang diadakan
untuk mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil
dengan perantara hakim.
Kata hakim di sini perlu digarisbawahi. Hakim di sini berarti pengadilan yang
berwenang. Bukan nama seseorang seperti misalnya Christine Hakim ataupun bukan
pula seorang yang berprofesi sebagai hakim, akan tetapi di luar pengadilan. Juga
pengadilan yang tidak berwenang-memeriksa.
2
Jadi lebih jelasnya, tuntutan hak itu tidak dapat diajukan di rumah seorang
hakim yang kebetulan menjadi tetangga, ataupun diajukan ke pengadilan yang tidak
berwenang. Sebab tidak semua pengadilan berwenang untuk memeriksa perkara yang
diajukan, Contohnya: Gugatan utang piutang diajukan ke Pengadilan Agama. Ataupun
gugatan utang piutang yang ke semua para pihaknya berdomisili di Yogyakarta, akan
tetapi gugatannya diajukan ke Pengadilan Negeri Bantul.
Hukum Acara Perdata ini diadakan dengan tujuan untuk memperoleh
perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah eigenrichting
atau tindakan menghakimi sendiri, karena eigenrichting itu merupakan tindakan untuk
melaksanakan hak menurut kemauannya sendiri yang bersifat sewenang-wenang,
tanpa persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan, hingga akan menimbulkan
kerugian. Maka tindakan menghakimi sendiri itu tidaklah dibenarkan.
Contoh eigenrichting yang merugikan; A utang kepada setelah jatuh tempo A
belum dapat membayar, B lalu menyuruh C seorang debt collector untuk menyita
barang-barang milik A. Atau bahkan mungkin B menyuruh C untuk menculik dan
memukuli A.
Membicarakan eigenrichting, ada tiga pendapat dari para pakar, yaitu:
1. Van Boneval Faure mengatakan:
Tindakan menghakimi sendiri itu sama sekali tidak dibenarkan. Alasannya,
karena hukum acara telah menyediakan upaya-upaya untuk memperoleh
perlindungan hukum bagi para pihak melalui pengadilan, maka tindakan-
tindakan menghakimi sendiri di luar pengadilan yang bisa merugikan pihak lain
itu dilarang.
2. Clavoringa berpendapat:
Tindakan menghakimi sendiri pada asasnya diperbolehkan atau dibenarkan.
Namun pengertiannya, bahwa yang melakukannya dianggap melakukan
perbuatan melawan hukum.
Catatan: dari kedua pendapat itu, pada hakikatnya baik Van Bonevall Faure
maupun Cteveringa, adalah sama. Main hakim sendiri tidak dibenarkan,
karena perbuatan itu mempunyai konsekuensi hukum tersendiri.
3. Rutten mengungkapkan sebagai berikut:
3
Tindakan menghakimi sendiri pada asasnya tidak dibenarkan, akan tetapi apabila
peraturan yang ada tidak cukup memberikan perlindungan, maka tindakan
menghakimi sendiri itu secara tidak tertulis dibenarkan.
Akan tetapi, kalau dilihat dari hukum acara perdata, tidak ada aturan yang secara tegas
melarang tindakan eigenrichting itu merupakan perbuatan melawan hukum, juga dapat di
hukum (lihat a.l. pasal 167 dan 406 KBHP).
Tuntutan hak yang bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh
pengadilan untuk mencegah eigenrichting, ada dua macam:
1. Tuntutan hak mengandung sengketa, tuntutan ini biasa disebut gugatan. Adapun para
pihaknya sekurang-kurangnya ada dua. Pihak yang merasa dirugikan dan menggugat
disebut PENGGUGAT. Sedangkan pihak yang digugat disebut TERGUGAT.
2. Tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa, pihaknya hanya ada satu. Pihak
tersebut biasa disebut PEMOHON dan tuntutannya biasa disebut PERMOHONAN.
Kemudian kalau kita membicarakan tentang peradilan, lazimnya peradilan itu dibagi menjadi
dua, yaitu:
1. Peradilan volunter (voluntaire jurisdictie) yang juga sering disebut dengan kata
peradilan sukarela atau peradilan yang tidak sesungguhnya. Peradilan ini memeriksa
perkara Permohonan, perkara yang tidak mengandung sengketa.
2. Peradilan contentieus, yaitu peradilan sesungguhnya. Peradilan yang memeriksa
perkara yang mengandung sengketa.
Namun demikian sebenarnya tidak mudah kita membedakan antara peradilan volunter
dan peradilan contentious. Bandingkan pada putusan akhir dari kedua pengadilan tersebut.
Volunter menghasilkan penetapan dan contentieus menghasilkan putusan.
Perikatan 1233 BW bersumber dari
Perjanjian Undang-undang 1313 BW 1352 BW
Undang-Undang saja Undang-Undang Karena Perbuatan Manusia 1353 BW Perbuatan yang sesuai dengan hukum (rechtmatige) Perbuatan yang melawan hukum 1354 & 1359 (onrechtmatige) 1365 s/d 1380
Gambar 1. Skema Sumber Perikatan dan Pembedaannya
4
BAB II
PENGERTIAN DAN SIFAT HUKUM ACARA PERDATA
1. PENGERTIAN HUKUM ACARA PERDATA
Hukum materiil di negara kita, baik yang termuat dalam suatu Perundang-undangan
maupun yang tidak tertulis, merupakan pedoman atau pegangan ataupun penuntun bagi
seluruh warga masyarakat dalam segala tingkah lakunya di dalam pergaulan hidup, baik itu
perseorangan, masyarakat maupun dalam bernegara, apakah yang dapat dilakukan dan apa
yang tidak boleh dilakukan. Ketentuan-ketentuan tersebut misalnya antara lain, "tidak boleh
mencuri barang orang lain, tidak boleh mengganggu hak orang lain, ataupun tidak oleh kita
berbuat dalam melaksanakan hak kita secara sewenang-wenang tanpa memperhatikan hak
orang lain, dan sebagainya."
Semua ketentuan-ketentuan tersebut tidaklah cukup hanya untuk dibaca, dilihat atau
diketahui saja, melainkan untuk ditaati dan tapi di sini siapakah yang harus melaksanakan
atau menerapkan kaidah-kaidah tersebut bila ada hukum materiil yang dilanggar. Apakah kita
berhak secara sendiri-sendiri saja yang akan melaksanakan aturan tersebut ataukah harus oleh
suatu badan tertentu yang telah ditunjuk secara resmi.
Jika kita melaksanakan hukum materiil itu sendiri menurut kehendak pihak yang
bersangkutan, maka dalam hal ini akan timbullah apa yang dikenal dengan istilah "Main
Hakim Sendiri". Inilah yang justru sangat dikhawatirkan oleh kita semua, sebab dengan
keadaan demikian itu tentu saja ketertiban dalam masyarakat tidak akan terjamin lagi,
sedangkan ketertiban ini merupakan salah satu tujuan daripada hukum. Jika ada suatu badan
atau lembaga, maka badan atau lembaga apakah atau yang manakah yang berwenang untuk
melaksanakan hukum materiil ini.
Oleh karena itulah maka dalam hal ini diperlukan sekali suatu bentuk perundang-
undangan yang akan mengatur dan menetapkan tentang cara bagaimanakah melaksanakan
hukum materiil ini. Sebab tanpa adanya aturan tersebut, maka hukum materiil ini hanya
merupakan rangkaian kata-kata yang indah dan enak dibaca saja, tapi tidak dapat dinikmati
oleh warga masyarakat.
5
Hukum yang mengatur tentang cara mempertahankan dan menerapkan hukum
materiil ini, dalam istilah hukum sehari-hari dikenal dengan sebutan Hukum Formil atau
Hukum Acara.
Hukum acara perdata bertujuan untuk menjamin ditaatinya hukum perdata materiil.
Dengan demikian hukum acara perdata pada umumnya tidaklah membebani hak dan
kewajiban seperti yang termuat dalam hukum perdata materiil, tapi memuat aturan tentang
cara melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan kaidah-kaidah yang termuat
dalam hukum perdata materiil, atau dengan perkataan lain untuk melindungi hak
perseorangan.
Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., hukum acara perdata adalah
peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata
materiil dengan perantaraan hakim.1
Dengan demikian dapatlah disimpulkan di sini, bahwa hukum acara perdata adalah
rangkaian peraturan-peraturan yang membuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap
dan di muka Pengadil an dan cara bagaimana Pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain
untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata. 2
Dengan melihat pengertian di atas maka jelaslah bahwa hukum perdata tersebut dapat
pula diartikan sebagai rangkaian aturan-peraturan hukum tentang cara-cara memelihara dan
mempertahankan hukum perdata materiil. Perkataan hukum perdata ini haruslah diberi
pengertian yang luas, artinya di sini meliputi pula hukum dagang. Penulis memberikan
pengertian hukum perdata dalam arti luas ini, dengan maksud untuk mempermudah dalam
pembahasan selanjutnya, sehingga tidak perlu lagi menyebutkan hukum dagang secara
khusus di samping hukum perdata.
Jadi tampaklah di sini, bahwa terdapat hubungan yang erat hukum perdata (hukum
formil) dengan hukum acara perdata (hukum materiil), di mana secara garis besarnya
dapatlah dikemukakan di sini bahwa hukum acara perdata berfungsi untuk mempertahankan
atau menegakkan hukum perdata, sehingga dengan adanya hukum acara perdata ini, maka
hukum perdata benar-benar akan dian manfaatnya oleh semua orang.
Dengan adanya hukum acara perdata ini, maka diharapkan tindakan menghakimi
sendiri (eigenrichting) akan dapat dicegah, setidak-tidaknya bisa dikurangi. Oleh karena bila
1 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1985), hlm.
2. 2 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Bandung: Penerbit Sumur Bandung,
1984), hal. 13.
6
kita perhatikan kenyataan dalam kehidupan masyarakat kita masih banyak orang
menyelesaikan suatu perkara dengan caranya sendiri (misalnya dengan jalan kekerasan atau
ancaman). Negara kita yang dikenal sebagai negara hukum, tentu tidak akan membenarkan
tindakan menghakimi sendiri ini, karena ini jelas akan menimbulkan keresahan dalam
masyarakat.
Memang dalam hukum acara perdata itu sendiri tidak ada kita jumpai ketentuan yang
dengan tegas melarang tindakan menghakimi sendiri. Tapi hukum acara perdata ini
memberikan jalan atau petunjuk pada orang-orang (pihak) bagaimana cara menyelesaikan
suatu perkara yang sedang ia hadapi dengan melalui jalur hukum. Sehingga dengan
pengetahuan tentang acara ini, maka diharapkan para pihak akan menyelesaikan perkaranya
dengan melalui jalur hukum sesuai dengan cara yang telah ditentukan dalam hukum acara
yang bersangkutan.
Dengan demikian dapat dikatakan di sini, bahwa hukum acara perdata ini
menunjukkan jalan yang harus dilakukan oleh orang (pihak) agar soal yang sedang dihadapi
dapat diperiksa dan diselesaikan oleh Pengadilan.
Akhirnya dapatlah disimpulkan di. sini, bahwa objek daripada ilmu pengetahuan
hukum acara perdata ialah keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan
mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materiil dengan perantaraan kekuasaan
negara.3 Perantaraan kekuasaan negara di sini maksudnya dengan melalui badan atau
lembaga peradilan, yaitu suatu badan yang berdiri sendiri diadakan oleh negara yang bebas
dari pengaruh siapa pun atau lembaga apa pun juga, yang memberikan putusan yang
mengikat bagi semua pihak yang bertujuan mencegah eigenrichting.
Lembaga peradilan ini berdiri sendiri dan tidak bisa dipengaruhi oleh lembaga lain,
sehingga nantinya benar-benar diharapkan memberikan keputusan yang seadil-adilnya, sesuai
dengan salah satu tujuan dari hukum itu sendiri.
3 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Bandung: Penerbit Sumur Bandung,
1984), hal. 13.
7
BAB III
SUMBER HUKUM DAN SEJARAH HUKUM ACARA
PERDATA
Hukum Acara Perdata bisa juga disebut dengan Hukum Perdata Formil, namun
sebutan Hukum Acara Perdata. lebih fazim dipakai daripada Hukum Perdata Formil. Hukum
Acara Perdata atau Hukum Perdata Formil sebetulnya merupakan bagian daripada Hukum
Perdata. Sebab, di samping Hukum Perdata Formil, juga ada Hukum Perdata Materiil.
Hukum Perdata Materiil ini Iazimnya hanya disebut Hukum Perdata saja.
Apa yang dimaksud dengan Hukum Acara Perdata? 4
Kalau kita membaca literatur-literatur Hukum Acara Perdata, maka kita akan
menemui berbagai macam definisi Hukum Acara Perdata ini dari para ahli (sarjana), yang
satu sama lain merumuskan berbeda-beda, namun pada prinsipnya mengandung tujuan yang
sama.
Prof. Dr. R: Wirjono Prodjodikoro, S.H., dalam bukunya yang berjudul Hukum
Acara Perdata di Indonesia menyatakan:
"Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan bagaimana cara pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan Hukum Perdata.5
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., dalam karyanya yang berjudul Hukum Acara Perdata
Indonesia menyatakan, bahwa:
Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya Hukum Perdata Materiil dengan perantaraan hakim.6
Prof. Dr. R. Supomo,-S.H., dalam bukunya Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri,
meskipun tidak memberikan batasan, tetapi dengan menghubungkan tugas hakim,
menjelaskan:
4 Harus disadari bahwa Hukum Acara Perdata dapat dibedakan atas 2 (dua), macam, yaitu Hukum
Acara Perdata di pengadilan dalam Iingkungan Peradilan Umum dan Hukum Acara Perdata dalam Iingkungan Peradilan Agama. Yang diuraikan dalam buku ini adalah Hukum Acara Perdata di lingkungan peradilan umum, yang juga berlaku pada pengadilan dalam Iingkungan Peradilan Agama, sepanjang tidak diatur secara khusus (Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama).
5 Z Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, cet. VI, 1975, hal. 13.
6 Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, cet. II, 1979, hal. 2.
8
Dalam peradilan perdata tugas hakim ialah mempertahankan tata hukum perdata (burgerlijke rechts orde), menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara. 7
Inti dari berbagai macam definisi (rumusan) Hukum Acara Perdata di atas agaknya
tidak berbeda dengan apa' yang telah dirumuskan dalam Laporan Hasil Simposium
Pernbaharuan Hukum Perdata Nasional yang diselenggarakan oleh BPHN Departemen
Kehakiman tanggal 21 -23 di Yogyakarta, bahwa Hukum Acara Perdata adalah hukum yang
mengatur bagaimna caranya menjamin ditegakkannya atau dipertahankannya Hukum Perdata
Materiil.
Hukum Perdata (Materiil) yang ingin ditegakkan atau dipertahankan dengan Hukum
Acara Perdata tersebut meliputi peraturan hukum yang tertulis dalam bentuk peraturan
perundang-undangan (seperti BW, WVK, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), Undang-
Undang Perkawinan, dan sebagainya) dan hukum yang tidak tertulis berupa Hukum Adat
yang hidup dalam masyarakat. Hukum Perdata ini harus ditaati oleh setiap orang agar tercipta
ketertiban dan ketenteraman dalam masyarakat.
Beracara Perdata Dikenakan Biaya
Untuk beracara perdata pada asasnya dikenakan biaya (Pasal 121 ayat (4), Pasal 182,
Pasal 183 HIR/Pasal 145 ayat (4), Pasal 192, dan Pasal 194 RBg). Biaya perkara ini meliputi
biaya kepaniteraan, pemanggilan-pemanggilan, dan pemberitahuan-pemberitahuan, serta bea
meterai. Namun, semua biaya ini harus ditetapkan serendah mungkin, sehingga dapat terpikul
oleh rakyat.
Bagi mereka yang benar-benar tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat
mengajukan permohonan beracara dengan cura-cuma (prodeo), yaitu dengan menyampaikan
surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh Kepala Desa/Lurah serta
diketahui/dibenarkan oleh Camat dalam wilayah di mana yang bersangkutan bertempat
tinggal. Ketentuan ini dimaksudkan untuk pemerataan kesempatan memperoleh keadilan
kepada seluruh lapisan masyarakat.
Selanjutnya, bagi mereka yang benar-benar tidak mampu dan kurang mengerti tentang
hukum, pada waktu sekarang dapat pula meminta bantuan hukum dengan cuma-cuma kepada
Lembaga-lembaga/Biro-biro Bantuan Hukum yang ada di lingkungan Fakultas Hukum
Universitas-universitas Negeri/Swasta, serta yang bernaung di bawah organisasi-organisasi
7 Prof. Dr. R. Supomo, S.H., Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, cet.
V, 1972, hal. 12.
9
sosial dan politik; seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Peradin, Lembaga Pelayanan dan
Penyuluhan Hukum (LPPH) di bawah naungan Golkar, Lembaga Bantuan dan
Pengembangan Hukum (LBPH) di bawah naungan Kosgoro, Lembaga Konsultasi dan
Bantuan Hukum (LKBH) Trisula di bawah naungan Soksi, Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
MKGR, dan lain-lain. Advokat, menurut Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nornor 18 Tahun
2003, malah wajib memberikn bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan
yang tidak mampu.
Apabila dalam pergaulan hukum di tengah-tengah masyarakat ada yang melakukan
pelanggaran terhadap normal kaidah Hukum Perdata tersebut, penjual tidak menyerahkan
barang yang dijualnya misalnya, maka hal itu jelas menimbulkan kerugian terhadap pihak
lain. Untuk memulihkan hak perdata pihak lain yang telah dirugikan ini, maka Hukum
Perdata Materiil yang telah dilanggar itu harus dipertahankan atau ditegakkan, yaitu dengan
cara mempergunakan Hukum Acara Perdata. Jadi, pihak lain yang hak perdatanya dirugikan
karena pelanggaran terhadap hukum perdata tersebut, tidak boleh memulihkan hak
perdatanya itu dengan cara main hakim sendiri (eigenrichting), tetapi harus menurut
ketentuan yang termuat dalam Hukum Acara Perdata.
Dari sisi lain dapat dikatakan, bahwa pelanggaran terhadap Hukum Perdata itu akan
menimbulkan perkara perdata, yakni perkara dalam ruang lingkup Hukum Perdata.
Bagaimana caranya menyelesaikan perkara perdata ini di dalam negara yang berdasarkan
hukum, tidak boleh dengan cara main hakim sendiri, tetapi harus dengan cara yang diatur
dalam Hukum Acara Perdata. Oleh karena itu, juga dapat dikatakan, bahwa yang dimaksud
dengan Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya
menyelesaikan perkara perdata melalui badan peradilan.
Seluk-beluk bagaimana caranya menyelesaikan perkara perdata melalui badan
peradilan, semuanya diatur dalam Hukum Acara Perdata. Dengan adanya Hukum Acara
Perdata masyarakat merasa ada kepastian hukum, bahwa setiap orang dapat mempertahankan
hak perdatanya dengan sebaik-baiknya dan setiap orang yang melakukan pelanggaran
terhadap Hukum Perdata yang mengakibatkan kerugian terhadap orang lain dapat dituntut
melalui pengadilan. Dengan Hukum Acara Perdata diharapkan ketertiban dan kepastian
hukum (perdata) dalam masyarakat.
Untuk dapat mencapai apa yang menjadi tujuan dari Hukum Acara Perdata
sebagaimana disebutkan di atas ini, maka pada umumnya peraturan-peraturan Hukum Acara
Perdata itu bersifat memaksa (dwingend recht), karena dianggap menyelenggarakan
10
kepentingan umum,8 sehingga peraturan Hukum Acara Perdata yang bersifat memaksa ini
tidak dapat dikesampingkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan pihak-pihak yang
berkepentingan mau tidak mau harus tunduk dan menaatinya. Meskipun demikian, ada juga
bagian dari peraturan Hukum Acara Perdata yang bersifat pelengkap (aanvullend recht),
karena dianggap mengatur penyelenggaraan kepentingan khusus dari yang bersangkutan,9
sehingga peraturan Hukum Acara Perdata yang bersifat pelengkap ini dapat dikesampingkan
atau disimpangi oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Misalnya mengenai alat-alat bukti
yang dipakai dalam pembuktian sesuatu perkara, pihak-pihak yang berkepentingan dapat
mengadakan perjanjian yang menetapkan bagi mereka hanya dapat mempergunakan 1 (satu)
macam alat bukti, umpamanya tulisan, sedangkan pembuktian dengan alat bukti lain tidak
diperkenankan. Perjanjian yang mengatur tentang pembuktian yang berlaku bagi orang-orang
yang mengadakan perjanjian tersebut dinamakan "perjanjian pembuktian", yang menurut
hukum memang dibolehkan dalam batas-batas tertentu.10
B. SUMBER-SUMBER HUKUM ACARA PERDATA
Hukum Acara Perdata pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan umum yang
berlaku sekarang di negara kita, masih belum terhimpun dalam 1 (satu) kodifikasi, tetapi
tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, baik yang dibuat negara kita sendiri
setelah merdeka maupun peninggalan kolonial Hindia Belanda dulu, yang belum bisa diganti
hingga kini dengan Hukum Acara Perdata nasional.
Berbagai macam peraturan perundang-undangan yang memuat Hukum Perdata
tersebut, akan disebutkan satu per satu berikut ini, dimulai dengan peraturan perundang-
undangan peninggalan zaman kolonial Belanda, kemudian peraturan perundang-undangan
yang dibuat setelah kemerdekaan.
1. Herziene Inlandsch Reglement (HIR)
HIR adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah Pulau Jawa dan
Madura. Sebetulnya HIR tidak hanya memuat ketentuan-ketentuan Hukum Acara Perdata
saja, tetapi juga memuat ketentuan-ketentuan Hukum Acara Pidana, sebagaimana termuat
dalam Pasal 1 sampai dengan Pasal 114 dan Pasat 246 sampai dengan Pasal 371 serta
8 I. Rubini, S.H. dan Chidir All, S.H., Pengantar Hukum Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1974, hal.
12. 9 Ibid. 10 Prof. R. Subekti,, S.H., Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, Cet. III, 1975, hal. 63.
11
beberapa pasal yang tersebar antara Pasal 372 sampai dengan Pasal 394. Namun, setelah
adanya KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981) yang diundangkan tanggal 31
Desember 1981, maka ketentuan-ketentuan Hukum Ilmu Acara Pidana yang termuat dalam
HIR tidak berlaku lagi.
Ketentuan Hukum Acara Perdata dalam HIR dituangkan pada Pasal 115 sampai
dengan Pasal 245 serta beberapa pasal yang tersebar antara Pasal 372 sampai dengan Pasal
394, sebab rangkaian pasal-pasal yang terakhir ini mengatur hal-hal yang berkenaan dengan
Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana.
Keseluruhan pasal-pasal HIR mengenai Hukum Acara Perdata sebagaimana
disebutkan di atas, yakni Pasal 115 sampai dengan Pasal 245 tersebut, terhimpun dalam 1
(satu) bab, yaitu Bab IX dengan judul "Perihal mengadili Perkara dalam Perkara Perdata,
yang Diperiksa oleh Pengadilan Negeri". Bab yang memuat ketentuan Hukum Acara Perdata
ini terdiri dari beberapa bagian, yaitu:
Bagian I (Pasal 115 sampai dengan Pasal 161) tentang Pemeriksaan Perkara dalam
Persidangan; 11
Bagian II (Pasal 162 sampai dengan Pasal 177) tentang Bukti;
Bagian III (Pasal 178 sampai dengan Pasal. 187) tentang Musyawarah dan Putusan;
Bagian IV (Pasal 188 sampai dengan Pasai 194) tentang Banding;
Bagian V (Pasal 195 sampai dengan Pasai 224) tentang Menjalankan Putusan;
Bagian VI (Pasal 225 sampai dengan Pasal 236) tentang Beberapa Mengadili Perkara-
Perkara Istimewa; dan
Bagian VII (Pasal 237 sampai dengan Pasal 245) tentang Izin Berperkara Tanpa
Ongkos Perkara.
2. Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg)
RBg adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah-daerah luar Pulau Jawa
dan Madura. RBg terdiri dari 5 (lima) bab yang memuat 723 (tujuh ratus dua puluh tiga)
pasal. Bab I, Bab III, Bab IV, dan Bab V yang mengatur tentang pengadilan pada umumnya
dan acara pidana tidak berlaku lagi dengan adanya Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun
1951.
11 Pasal 115 sampai dengan Pasal 117 HIR tidak berlaku lagi berhubung dihapuskannya Pengadilan
Kabupaten oleh Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951.
12
Ketentuan Hukum Acara Perdata termuat dalam Bab II yang terdiri dari 7 (tujuh) dari
Pasal 104 sampai dengan Pasal 323. Titel I, titel II, titel III, titel VI dan titel VII tidak berlaku
lagi `karena Pengadilan Districtgerecht, Districraad, Magistraadgerecht, Residentigerecht,
dan Raad Justitie sudah tidak ada lagi. Yang berlaku hingga sekarang adalah titel IV dan titel
V bagi Landraad (sekarang Pengadilan Negeri).
Titel IV tersebut terdiri dari 6 (enam) bagian, yaitu:
Bagian I (Pasal 142 sampai dengan Pasal 188) tentang Pemeriksaan Perkara dalam
Persidangan;
Bagian II (Pasal 189 sampai dengan Pasal 198) tentang Musyawarah dan Putusan;
Bagian III (Pasal 199 sampai dengan Pasal 205) tentang Banding;
Bagian IV (Pasal 206 sampai dengan Pasal 258) tentang Menjalankan Putusan;
Bagian V (Pasal 259 sampai dengan Pasal 272)-tentang Beberapa Hal Mengadili
Perkara yang Istimewa; dan
Bagian VI (Pasal 273 sampai dengan Pasal 281) tentang Izin Berperkara Tanpa
Ongkos Perkara.
Sedangkan titel V (Pasal 282 sampai dengan Pasal 314) berisi tentang Bukti.
3. Bungerlijk Wetboek (BW) 12
Bungerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) meskipun sebagai
kodifikasi Hukum Perdata Materiil, narnun juga memuat Hukum Acara Perdata, terutama
dalam Buku IV tentang Pembuktian dan Daluwarsa (Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1993).
Selain itu, juga terdapat dalam beberapa pasal Buku I, misalnya, tentang tempat tinggal atau
domisili (Pasal 17 sampai dengan Pasal 25), serta beberapa pasal Buku II dan buku III
(misalnya Pasal 533, Pasal 535, Pasal 1244, dan Pasal 1365).
4. Ordonansi Tahun 1867 Nomor 29
Ordonansi Tahun 1867 Nomor 29 ini memuat ketentuan Hukum Acara Perdata
tentang kekuatan pembuktian tulisan-tulisan di bawah tangan dari orang-orang Indonesia
(Bumiputera) atau yang dipersamakan dengan mereka. Pasal-pasal ordonansi ini diambil oper
dalam menyusun Rechts-Reglement voor de Buitengewesten (RBg). 13
12 Prof. Dr. R. Supomo, S.H., op.cit., hal, 70. 13 Sehubungan dengan Burgerlijk Wetboek sebagai sumber Hukum Acara Perdata perlu dicatat apa
yang dikemukakan Prof. Dr. Supomo, S.H. dalam buku Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri yang menyatakan: "Mr. Wichers, perancang Reglemen tersebut menulis dalam laporannya, tanggal 6 Juni 1848 (T.13
13
5. Wetboek van Koophandel (WvK)
Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) meskipun juga
sebagai kodifikasi Hukum Perdata Materiil, namun di dalamnya ada beberapa pasal yang
memuat ketentuan Hukum Acara Perdata (misalnya Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 22, Pasal
23, Pasal 32, Pasal 255, Pasal 258. Pasal 272, Pasal 273, Pasal 274, dan Pasal 275).
6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 adalah Undang-Undang tentang Peradilan
Ulangan di Jawa dan Madura. Undang-undang ini mulai berlaku sejak tanggal 24 Juni 1947.
Dengan adanya undang-undang ini, maka peraturan mengenai banding dalam Herziene
Inlandsch Reglement (HIR) Pasal 188 sampai dengan Pasal 194 tidak berlaku lagi.
7. Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951
Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 adalah Undang-Undang tentang
Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan
Acara Pengadilan-pengadiIan Sipil. Undang-undang ini mulai berlaku sejak diundangkan
tanggal 14 Januari 1951.
Dalam pasal 1 Undang-Undang Darurat ini dinyatakan bahwa beberapa pengadilan
peninggalan Hindia Belanda, seperti Magistraad, Pengadilan Kabupaten, Raad District,
Pengadilan Negorij, Pengadilan Swapraja, dan Pengadilan Adat dihapuskan. Selanjutnya,
dalam Pasal 3 ayat (3)a dinyatakan bahwa perkara-perkara perdata dan/atau perkara-perkara
pidana sipil yang diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya
meliputi daerah-daerah hukum pengadilan-pengadilan yang dihapuskan itu.
Selebihnya Undang-Undang Darurat ini tidak ada mengatur tentang Hukum Acara Perdata,
tetapi hanya menyinggung Hukum Acara Pidana, dimana Pasal 6-nya disebutkan bahwa HIR
harus dipakai sebagai pedoman bagi acara pidana sipil oleh segala Pengadilan Negeri dan hal. 370) bahwa ia membuat peraturan-peraturan tentang pembuktian dalam reglemen itu untuk menghindarkan kemungkinan bahwa hakim berbuat sekehendaknya atau untuk menjaga supaya hakim tidak rnemakai pasal-pasal BW tentang pembuktian untuk Pengadilan Negeri. Akan tetapi, apa yang dimuat dalam Reglemen Indonesia tidak lain ialah peraturan-peraturan pembuktian yang terdapat di BW hanya dengan sekadar perubahan-perubahan yang perlu." Rechtsreglement Buitengewesten 1927 mengoper peraturan Reglemen Indonesia dan pasal-pasal dari Staatsblad 1867 Nomor 29 (St. 1916 No. 44) tentang kekuatan pembuktian dari surat-surat di bawah tangan, ditambah dengan sebagian dari Buku IV dar BW. (Prof. Dr. Supomo, S.H., op.cit., hal. 70). Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H. menyatakan: Pengadilan Negeri pada prinsipnya harus menurut hukum pembuktian dari BW sebagai pedoman, di mana perlu, yaitu apabila dalam suatu perkara perdata harus dilaksanakan 'suatu peraturan Hukum Perdata yang termuat dalam BW dan pelaksanaannya ini hanyadapat terjadi secara tepat jika hukum pembuktian dari BW yang bersangkutan diturut. (Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H., op.cit., hal. 101 -102).
14
segala kejaksaan padanya. Justru karena Undang-Undang Darurat ini tidak menyebut acara
perdata, maka berarti peraturan-peraturan Hukum Acara Perdata yang berlaku sebelumnya
seperti HIR dan RBg masih tetap berlaku dan mengikat.
8. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 14
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 adalah undang-undang tetap kekuasaan
Kehakiman yang mulai berlaku sejak ditetapkan tanggal 29 Oktober 2009. Undang-undang
ini memuat beberapa pasal hukum acara pada umumnya dan beberapa pasal Hukum Acara
Perdata. Ketentuan Hukum Acara pada umumnya tertuang dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4,
Pasal 5, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 50, Pasal 51, dan
Pasal 52. Sedangkan ketentuan Hukum Acara Perdata termuat dalam Pasal 10, Pasaf 50,
Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, dan Pasal 54.
9. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 adalah Undang-Undang tentang Peradilan
Umum yang mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 8 Maret 1986. Dalam undang-undang
ini diatur mengenai kedudukan, susunan, dan kekuasaan pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Urnum. Peraturan Hukum Acara Perdata, antara lain, termuat dalam Pasal 50, Pasal
51, Pasal 60 dan Pasal 61. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 ini telah mengalami dua
kali perubahan. Perubahan pertama dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004, kemudian
perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009.
10. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 15
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 adalah Undang-Undang tentang Mahkamah
Agung yang mulai berlaku sejak diundangkan tanggal 30 Desember 1985; yang kemudian
diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang mulai berlaku pada tanggal
diundangkan 15 Januari 2004.
14 Sejak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman ini yang berlaku
sebelumnya. Organisasi, administrasi, dan finansial badan-badan peradilan di Indonesia berada di bawah kekuasaan dan pembinaan Mahkamah Agung, sehingga kekuasaan kehakiman menjadi benar-benar mandiri terlepas dari kekuasaan pemerintah.
15 Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tercantum Pasal 45A yang berisi pembatasan kasasi dalam kasus pidana, di mana permohonan kasasi tidak bisa dilakukan atas putusan praperadilan, perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam pidana denda, dan perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.
15
11. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang mulai berlaku
sejak diundangkan tanggal 2 November 2011. Undang-undang ini mengatur bantuan
hukum bagi orang atau kelompok orang miskin yang diselenggarakan oleh pemerintah
dengan menggunakan dana yang dibebankan kepada APBN.
Dalam Undang-undang ini diatur asas-asas bantuan hukum (Pasal 2), tujuan
penyelenggaraan bantuan hukum (Pasal 3), penyelenggara bantuan hukum (Pasal 6), pemberi
bantuan hukum (Pasal 8), hak pemberi bantuan hukum (Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11), hak
dan kewajiban penerima bantuan hukum (Pasal 12 dan Pasal 13), syarat dan tata cara pemberi
bantuan hukum (Pasal 14 dan Pasal 15), dan pendanaan bantuan hukum (Pasal 16, Pasal 17,
Pasal 18, dan Pasal 19).
12. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 adalah Undang-Undang tentang advokat
yang mulai berlaku sejak diundangkan pada tanggai 5 April 2003. Dalam undang-undang ini,
antara lain, diatur tentang pengangkatan sumpah, status, penindakan, dan pemberhentian
advokat. Selain itu juga, tentang hak dan kewajiban advokat, bantuan hukum cuma-cuma,
kode etik, organisasi, dan Dewan Kehormatan Advokat.
13. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memuat ketentuan-
ketentuan Hukum Acara Perdata (khusus) untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan serta
menyelesaikan perkara-perkara perdata mengenai perkawinan, pencegahan perkawinan,
pembatalan perkawinan, dan putusnya perkawinan (perceraian) (Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6,
Pasal 7, Pasal 9, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 25, Pasal 28, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 55.
Pasal 60, Pasal 63, Pasal 65, dan Pasal 66). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah .Nomor 9 Tahun 1975 yang mengatur secara
lebih terperinci pasal-pasal yang memuat Hukum Acara Perdata tersebut.
14. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. Undang-undang ini mengatur Hukum Acara Perdata Khusus untuk
memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara kepailitan.
16
15. Yurisprudensi16
Beberapa yurisprudensi terutama dari Mahkamah Agung juga memuat ketentuan
Hukum Acara Perdata. Bahkan, yurisprudensi Mahkamah Agung menjadi sumber Hukum
Acara Perdata yang sangat penting di negara kita sekarang terutama untuk mengisi
kekosongan, kekurangan, dan ketidaksempurnaan yang banyak terdapat dalam peraturan
perundang-undangan Hukum Acara Perdata peninggalan zaman Hindia Belanda.
Pada waktu sekarang sudah banyak beredar buku-buku dari berbagai penerbit yang
berisi himpunan yurisprudensi ini, bahkan Mahkamah Agung sendiri secara periodik telah
menerbitkannya.
16. Peraturan Mahkamah Agung
Peraturan Mahkamah Agung juga merupakan sumber Hukurn Acara Perdata. Dasar
hukum Mahkamah Agung untuk mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung ini termuat
dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yang menyatakan:
Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang ini.
Dalam penjelasannya disebutkan:
Apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan tadi. Dengan undang-undang ini Mahkamah Agung berwenang menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian suatu soal yang belum atau tidak diatur dalam undang-undang ini. Dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dibedakan dengan peraturan yang disusun oleh pembentuk undang-undang. Penyelenggara peradilan yang dimaksudkan undang-undang ini hanya merupakan bagian dari hukum acara secara keseluruhan. Dengan demikian, Mahkamah Agung tidak mencampuri dan melampaui pengaturan tentang hak dan kewajiban warga negara pada umumnya dan tidak pula mengatur sifat, alat pembuktian, serta penilaian, ataupun pembagian beban pembuktian.
C. SEJARAH SINGKAT HUKUM ACARA PERDATA
1. Sejarah Singkat Herziene Inlandsch Reglement (HIR)
Herziene Inlandsch Reglement (HIR) merupakan salah satu sumber Hukum Acara
Perdata peninggalan kolonial Hindia Belanda yang masih berlaku di negara kita hingga kini.
16 Yurisprudensi mengenai Hukum Acara Perdata dapat dilihat pada lampiran buku ini.
17
Herziene Inlandsch Reglement (HIR) sebenarnya berasal dari Inlandsch Reglement
(IR) atau Reglement Bumiputera), yang termuat dalam Stb. 1848 Nomor 16 dengan judul
(selengkapnya) Reglement op de uit oefening van de politie de Burgerlijke Rechtspleging en
de strafvordering onder de Inlanders en de Vreemde Oosterlingen op Java en Madura
(Reglement tentang pelaksanaan tugas kepolisian, peradilan perkara perdata dan penuntutan
perkara pidana terhadap golongan Bumiputera dan Timur Asing di Jawa dan Madura).17
IR pertama kali diundangkan tanggai 5 April 1848 (Stb. 1848 Nomor 16) merupakan
hasil rancangan JHR. Mr. HL. Wichers, President hooggerechtshof (Ketua Pengadilan
Tertinggi di Indonesia pada zaman Hindia Belanda) di Batavia. Beliau adalah seorang jurist
bangsawan kenamaan pada waktu itu. Dasar wewenang Mr. Wichers membuat rancangan IR
tersebut adalah Surat Keputusan Gubernur Jenderal J.J. Rochussen tanggal 5 Desember
1846 Nomor 3 yang memberikan tugas kepadanya untuk merancang sebuah reglement
(peraturan) tentang administrasi, polisi, dan proses perdata serta proses pidana bagi golongan
Bumiputera. 18
Pada waktu itu peraturan Hukurn Acara Perdata yang dipakai oleh pengadilan yang
berwenang mengadili golongan Bumiputera dalam perkara perdata adalah peraturan Hukum
Acara Perdata yang termuat dalam Stb. 1819 Nomor 20 yang hanya memuat 7 (tujuh) pasal
tentang acara Perdata. Dalam menyusun rancangan IR, Wichers mempelajari lebih dahulu
terhadap reglement tahun 1819 tersebut dan rencana tahun 1841 yang pernah dibuatnya atas
dasar reglement 1819, di mana pada akhirnya ia berpendapat bahwa keduanya (reglement
tahun 1819 dan rancangan tahun 1841 tersebut) tidak dapat dijadikan dasar untuk menyusun
reglement yang akan dikerjakannya. 19
Dalam waktu yang relatif singkat - belum sampai 1 (satu) tahun - tanggal 6 Agustus
1847 Mr. Wichers telah berhasil membuat sebuah rencana peraturan Hukum Acara Perdata
dan Pidana, yang terdiri dari 432 (empat ratus tiga puluh dua) pasal lengkap dengan
penjelasan-penjelasannya. Rencana Wichers ini disambut berlainan oleh pihak-pihak yang
dimintakan pertimbangannya. Ada yang tidak setuju seperti Mr. Hultman yang berpendapat
bahwa rencana itu sangat berliku-Iiku dan terlalu mengikat, sehingga perlu disederhanakan.
Akan tetapi, keberatan Hultman tidak dapat diterima oleh Hooggerechtshot. Pengadilan
Tertinggi ini menilai rencana Wichers itu sebagai suatu kemajuan dibandingkan dengan
17 K. Wantjik Saleh, S.H., Hukum Acara Perdata, Ghalia Indonesia, cet. III, 1977, hlm 11. 18 Ny. Retnowulan Sutantio, S.H., Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Alumni, Bandung,
cet. I, 1979, hal. 16. 19 Mr. R. Tresna, Komentar HIR, Pradnya Paramita, Jakarta, 1976, hal. 10.
18
peraturan tahun 1819. Kemudian, 2 (dua) orang dari Hooggerechtshof menghendaki supaya
rencana itu dilengkapi dengan peraturan tentang vrijwaring, voeging, tussenkomst,
reconventie, request civiel, dan sebagainya seperti halnya dengan Hukum Acara Perdata
untuk golongan Eropa yang termuat dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering
yang sering disingkat dengan Rv atau BRv. Namun, Wichers tidak bersedia untuk mengubah
rencananya dengan usul-usul tambahan tersebut, dengan alasan, kalau orang sudah mulai
menambah berbagai ketentuan terhadap rencana tersebut, akhirnya akan tidak terang lagi
sampai di mana batasnya yang dianggap perlu atau patut ditambahkan itu. Jika demikian, kata
Wichers, lebih baik memberlakukan saja hukum acara untuk golongan Eropa terhadap
golongan Bumiputera.20
Kendatipun demikian, Mr. Wichers sedikit banyak rupanya mendekati juga
keinginan pengusul-pengusul tersebut. Akan tetapi, dengan pembatasan. Sesuai dengan itu ia
memuat suatu ketentuan penutup yang bersifat umum. Ketentuan mana setelah diubah dan
ditambah kini menjadi pasal yang penting sekali dari HIR, yaitu Pasal 393 yang berbunyi
sebagai berikut:
(1) Dalam hal mengadili di muka pengadilan bagi golongan Bumiputera tidak boleh
dipakai bentuk-bentuk acara yang melebihi atau lain daripada apa yang telah
ditetapkan dalam reglement ini.
(2) Namun demikian, Gubernur Jenderal berhak, apabila berdasarkan pengalaman
ternyata bahwa dalam hal yang demikian itu sangat diperlukan, setelah meminta
pertimbangan Hooggerechtshof, untuk pengadilan-pengadilan di Jakarta, Semarang,
dan Surabaya dan lain-lain pengadilan seperti itu yang juga memerlukannya,
menetapkan lagi ketentuan lainnya yang Iebih mirip dengan ketentuan-ketentuan
hukum acara bagi pengadilan-pengadilan Eropa.
Akhirnya rancangan Wichers diterima oleh Gubernur Jenderal dan diumumkan pada
tanggal 5 April 1848 (Stb. 1848 Nomor 16) dengan sebut Reglement op de uit oefening van
de politie de Burgerlijke Rechtspleging en de strafvordering onder de Inlanders en de
Vreemde Oosterlingen op Java en Madura, yang sering disingkat dengan Inlandsch
Reglement (IR) yang dinyatakan mulai berlaku sejak.tanggal 1 Mei 1848. IR ini kemudian
disahkan dan dikuatkan dengan Firman Raja tanggal 29 September 1849 Nomor 93 yang
20 Ibid., hal. 11.
19
diumumkan dalam Stb. 1849 Nomor 63; dan oleh karena dengan pengesahan ini sifat IR
menjadi Koninklijkbesluit.21
Sejak diumumkan pertama kali tanggal 5 April 1848, IR telah mengalami beberapa
kali perubahan. Perubahan pertama dilakukan pada tahun 1926 Stb. 1929 Nomor 559 jo.
Pasal 496). Perubahan terakhir dilakukan pada tahun 1941 (Stb. 1941 Nomor 44) yang
dikatakan sebagai perubahan yang memperbarui (Herziene) terhadap lnlandsch Reglement,
sehingga sejak itulah IR berubah menjadi HIR singkatan dari Herziene lnlandsch Reglement
yang berarti Reglement Indonesia yang diperbaharui (yang sering pula disingkat RIB).
Sekedar untuk diketahui, bahwa pembaharuan yang dilakukan terhadap IR menjadi
HIR pada tahun 1941 itu sebetulnya hanya dilakukan terhadap acara pidana saja, yaitu
mengenai pembentukan aparatur Kejaksaan atau Penuntut Umum (Openbaar Ministerie) yang
berdiri sendiri, di mana anggota-anggotanya - Para jaksa - yang dulu ditempatkan di bawah
pamong praja diubah menjadi di bawah Jaksa Tinggi atau Jaksa Agung. Perubahan IR pada
tahun 1941 tersebut sama sekali tidak mengenai acara perdata.
2. Sejarah Singkat Reehtsreglement voor de Buitengewesten (RBg)
Sebagaimana telah dikemukakan, HIR adalah Hukum Acara Perdata bagi daerah
Pulau Jawa dan Madura, sedangkan RBg adalah Hukum Acara Perdata bagi daerah-daerah
luar Pulau Jawa dan Madura.
RBg adalah singkatan dari Rechtsreglement voor de Buitengewesten (Reglement
untuk daerah seberang) yang merupakan singkatan pula dari Reglement tot Regeling van het
Rechtswezen in de Gewesten buiten Java en Madura", suatu ordonansi yang dibuat Gubernur
Jenderal Hindia pada pada tanggal 11 Mei 1927 (Stb. 1927 Nomor 227) yang seluruhnya
terdiri dari 8 (delapan) pasal. Gubernur Jenderal Hindia Belanda sendiri mempunyai
wewenang untuk membuat peraturan Hukum Acara Perdata bagi daerah-daerah luar Pulau
Jawa dan Madura ini berdasarkan Koninklijk Besluit tanggal 4 Januari 1927 Nomor 53.
RBg yang dinyatakan Pasal VIII ordonansi tanggal 11 Mei 1927 Nomor 27 mulai
berlaku sejak tanggal 1 Juli 1927, merupakan pengganti peraturan-peraturan Hukurn Acara
Perdata yang lama yang tersebar dan berlaku bagi daerah-daerah tertentu saja. Yaitu
ordonansi-ordonansi bagi daerah-daerah Bengkulu, Lampung, Palembang, Jambi, Sumatra
21 Ny. Retnowulan Sutantio, op.cit., hal. 17.
20
Timur, Aceh, Riau, Bangka, Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan
Timur, Manado, Sulawesi, Ambon, Ternate, Timor, Bali dan Lombok (Pasal I ordonansi).22
Meskipun pada saat ordonansi tanggal 11 Mei 1927 Nomor 227 itu dicadangkan,
masih ada beberapa peraturan lama yang dinyatakan tetap berlaku bagi daerah tertentu seperti
bagi daerah Gorontalo (Pasal IV Ordonansi). Kecuali itu masih ada beberapa daerah yang
dikecualikan dari berlakunya RBg, seperti daerah Irian Barat bagian selatan (Pasal III
ordonansi).23
RBg yang merupakan lampiran Pasal II ordonansi Tahun 1927 Nomor 227 dibuat oleh
Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan mencontoh pada IR dan pasal-pasal Stb. 1867
Nomor 29 tentang kekuatan pembuktian dari surat-surat di bawah tangan dari orang-orang
Indonesia (Bumiputera) ditambah dengan sebagian dari BW Buku IV tentang pembuktian.24
Dengan demikian, apabila pasal-pasal RBg dibandingkan dengan pasal-pasal HIR dan BW,
akan terlihat banyak persamaan. Hanya beberapa pasal saja yang berbeda yang disesuaikan
dengan keadaan khusus daerah-daerah luar Pulau Jawa dan Madura.
Bagaimana kedudukan HIR dan RBg pada zaman Jepang? Sehubungan dengan ini
Pemerintah Balatentara Dai Nippon pada tanggal 7 Maret 1942 telah mengeluarkan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1942 yang berlaku untuk Pulau Jawa dan Madura. Pasal 3 undang-
undang ini menyatakan:
Semua badan-badan Pemerintah dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari Pemerintah yang dulu, tetap diakui sah buat sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan peraturan Pemerintah Militer.
Dengan adanya undang-undang ini maka HIR pada zaman Jepang masih tetap berlaku
di Indonesia. Untuk daerah-daerah di luar Pulau Jawa dan Madura, ada badan-badan
kekuasaan lain selain Balatentara Dai Nippon, yang tindakan-tindakannya tentangg hal ini
boleh dikatakan sama. Dengan demikian, pada zaman Jepang, RBg juga masih tetap berlaku
di Indonesia.25
22 K. Wantjik Saleh, S.H., op.cit., hal. 12. 23 Pada waktu sekarang untuk daerah Irian Barat, ada Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 1963 tentang
Tindakan-tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, Acara, dan Tugas Pengadilan-pengadilan Sipil dan Kejaksaan di Provinsi Irian Barat (LNRI 1963 Nomor 42). Pasal 4-nya menyatakan, bahwa susunan, kekuasaan, acara, dan tugas Pengadilan Tinggi di Kotabaru dan Pengadilan-pengadilan Negeri di Provinsi Irian Barat dilakukan menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan untuk Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri dalam Undang-Undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 (LN Tahun 1951 Nomor 9 dan Tambahan LN Nomor 81). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969, Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 1963 ini dinyatakan sebagai undang-undang.
24 Prof. Dr. R. Supomo, S.H., op.cit., hal. 70. 25 Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., op.cit., hal. 10.
21
Kemudian, HIR dan RBg masih tetap berlaku sampai Indonesia merdeka (1945) dan
terus berlaku hingga sekarang berdasarkan aturan peralihan dalam Undang-Undang Dasar
1945, Konstitusi RIS 1949, dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950.
HIR dan RBg di atas menunjukkan, kedua hukum acara peninggalan kolonial Hindia
Belanda itu usianya sudah sangat tua, lebih dari 1,5 (satu setengah) abad.
HIR yang berasal dari IR yang mulai berlaku sejak 1 Mei 1848, yang kemudian
ditiru dalam menyusun RBg yang berlaku sejak 1 Juli 1927, tentu saja disusun sesuai
dengan kondisi masyarakat Indonesia masa itu, yang sebagian besar tidak bisa membaca dan
menulis, sehingga bentuk-bentuk acaranya sangat sederhana dan tidak formalistis.
Ketentuan-ketentuan HIR dan RBg itu sekarang tentu saja sudah ketinggalan zaman
dan tidak bisa diandalkan untuk melaksanakan peradilan yang baik. Karenanya, para ahli
sering menganjurkan agar hukum acara peninggalan kolonial Hindia Belanda itu segera
diganti dengan Hukum Acara Perdata Nasional, yang dapat memenuhi kebutuhan praktek
peradilan dan sesuai dengan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Namun harapan tetap saja harapan. Kenyataannya Hukum Acara Nasional untuk
menggantikan HIR dan RBg itu belum juga terwujud hingga kini kendatipun sudah lama
didambakan.
D. ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA
Seperti halnya hukum-hukum pada bidang yang lain , Hukum Acara Perdata juga
mempunyai beberapa asas, yang menjadi dasar dari ketentuan-ketentuan dalam Hukum Acara
Perdata tersebut. Berikut ini akan diuraikan beberapa asas yang penting dalam Hukum Acara
Perdata tersebut.
1. Hakim Bersikap Pasif
Asas ini mengandung beberapa makna:
a. Inisiatif untuk mengadakan acara perdata ada pada pihak-pihak yang berkepentingan
dan tidak pernah dilakuian oleh hakim. Hakim hanyalah membantu para pencari
keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 5 Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970). Hal ini disebabkan Hukum Acara Perdata justru
hanya mengatur cara-cara bagaimana pihak-pihak mempertahankan kepentingan
pribadi. Berbeda dengan Hukum Acara Pidana yang mengatur cara bagaimana
mempertahankan kepentingan publik, maka inisiatif dalam acara pidana dilakukan
22
oleh pemerintah yang diwakili oleh jaksa sebagai penuntut umum serta alat-alat
perlengkapan negara yang lain (Kepolisian). Kalau di dalam perkara perdata pihak-
pihak yang berhadapan adalah pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu penggugat dan
tergugat, di dalam perkara pidana.pihak-pihak yang berhadapan bukan orang yang
melakukan tindak pidana (terdakwa) dengan orang yang jadi korban, melainkan
terdakwa berhadapan dengan jaksa/penuntut umum selaku wakil negara. Selanjutnya,
dalam perkara perdata para pihak yang berperkara dapat secara bebas mengakhiri
sendiri perkara mereka yang telah diajukan dan diperiksa di pengadilan dan hakim
tidak bisa menghalanginya. Pengakhiran perkara perdata ini dapat dilakukan dengan
pencabutan gugatan atau dengan perdamaian pihak-pihak yang berperkara (Pasal 178
HIR/Pasal 189 RBg). Sedangkan dalam perkara pidana, kalau perkara sudah diperiksa
oleh pengadilan (hakim), perkara pidana tersebut tidak dapat dicabut lagi, tetapi harus
diperiksa terus sampai selesai (ada putusan pengadilan). Hakim wajib mengadili
seluruh tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan terhadap sesuatu yang tidak
dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang dituntut (Pasal 178 HIR/Pasal 189
RBg).
b. Hakim mengejar kebenaran formil, yakni kebenaran yang hanya didasarkan pada
bukti-bukti yang diajukan di depan sidang pengadilan tanpa harus disertai keyakinan
hakim. Jika salah satu pihak yang berperkara mengakui kebenaran sesuatu hal yang
diajukan oleh pihak lain, hakim tidak perlu menyelidiki lebih lanjut apakah yang
diajukan itu sungguh-sungguh benar atau tidak. Berbeda dengan perkara pidana, di
mana hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara pidana ini mengejar kebenaran
materiil, yaitu kebenaran yang harus didasarkan pada alat-alat bukti yang sah menurut
undangundang dan harus ada keyakinan hakim.
c. Para pihak yang berperkara bebas pula untuk mengajukan atau untuk tidak
mengajukan upaya hukum, bahkan untuk mengakhiri perkara di pengadilan dengan
perdamaian.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa makna dari hakim bersikap pasif dalam perkara
perdata adalah bahwa hakim tidak menentukan luasnya pokok perkara. Hakim tidak boleh
menambah atau menguranginya, namun tidak berarti hakim tidak berbuat apa-apa. Sebagai
pimpinan sidang pengadilan, hakim harus aktif memimpin persidangan, sehingga berjalan
lancar. Hakimlah yang menentukan pemanggilan, menetapkan hari persidangan, mendengar
sendiri kedua belah pihak yang berperkara, serta memerintahkan supaya alat-alat bukti yang
23
diperlukan disampaikan ke depan persidangan. Bahkan jika perlu hakim karena jabatan (ex
officio) memanggil sendiri saksi-saksi yang diperlukan. Selain itu, hakim juga berhak untuk
memberikan nasihat, menunjukkan upaya-upaya hukum, dan memberikan keterangan kepada
pihak-pihak yang berperkara (Pasal 132 HIR/Pasal 156 RBg). Karenanya,sering dikatakan
oleh sementara ahli, bahwa hakim dalam sistem HIR adalah aktif sedang dalam sistem Rv
adalah pasif.
2. Sidang Pengadilan Terbuka untuk Umum
Sidang pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata pada Pengadilan dalam
pemeriksaan perkara perdata pada asasnya terbuka untuk umum (Pasal 19 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004). Ini berarti bahwa setiap orang boleh hadir, mendengar,
dan menyaksikan jalannya pemeriksaan perkara perdata itu di pengadilan. Tujuan asas
ini adalah untuk menjamin pelaksanaan Peradilan yang tidak memihak, adil, dan benar
sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku, yakni dengan meletakkan Peradilan di
bawah pengawasan umum. di bawah Untuk kepentinan kesusilaan hakim memang dapat
menyimpang dari asas ini. Misalnya, dalam perkara perceraian karena perzinahan. Akan
tetapi, walaupun pemeriksaan suatu perkara dilakukan secara tertutup, tetapi putusannya
harus tetap dibacakan dalam sidang pengadilan yang tidak unntuk umum. Putusan yang
dibacakan dalam sidang penghajian ng tidak tberuka untukumum adalah tidak sah
karenanya, tidak mempunyai kekuatan hukum dan putusan tersbeut batal dan putusan
tersebut Batal Demi Hukum.
3. Mendengar Kedua Belah Pihak
Mendengar Hukum Acara, pihak-pihak yang berperkara harus diperlukan dan diberikan
kesempatan yang sama untuk membela kepentingan mereka. Pendeknya pihak-pihak.
yang berperkara harus diperlakukan secara adil.
Hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai suatu yang benar
tanpa mendengar atau memberi kesempatan kepada pihak yang lain untuk
mengemukakan/menyampaikan pendapatnya. Hal ini juga berarti bahwa pengajuan alat-
alat bukti harus dilakukan di muka sidang pengadilan yang dihadiri oleh pihak-pihak
yang berperkara (Pasal 121, Pasal 132 HIR/Pasal 145, non Pasal 157 RBg).
Hakim tidak boleh mernberikan putusan dengan tidak memberikan kesempatan untuk
kedua belah pihak yang berperkara. Putusan verstek bukanlah merupakan pengecualian
24
asas ini karena putusan verstek dijatuhkan justru karena tergugat tidak hadir dan ia juga
tidak mengirimkan kuasanya, padahal ia sudah dipanggil dengan patut. Jadi, pihak
tergugat yang tidak hadir telah mendapat kesempatan untuk didengar, tetapi ia tidak
mempergunakan kesempatan itu.
4. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
Hukum Acara Perdata yang berlaku sekarang, baik yang termuat dalam HIR maupun
RBg tidak mengharuskan kepada pihak-pihak yang berperkara untuk mewakilkan
pengurusan perkara mereka kepada ahli hukum, sehingga pemeriksaan di persidangan
dilakukan secara langsung terhadap pihak-pihak yang berkepentingan. Walaupun
demikian, para pihak yang berperkara -apabila menghendaki-boleh mewakilkan kepada
kuasanya (Pasal -123 HIR/Pasal 147 RBg).
Sistem Hukum Acara Perdata dalam HIR dan RBg ini berbeda dengan sistem Hukum
Acara Perdata dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv) yang
mewajibkan para pihak yang berperkara untuk mewakilkan kepada seorang ahli hukum
(procureur) dalam beracara di muka pengadilan. Perwakilan ini merupakan keharusan
yang mutlak dengan akibat batalnya tuntutan (Pasal 106 ayat (1) Rv) atau diputuskan di
luar hadirnya tergugat (Pasal 109 Rv) apabila Para pihak ternyata tidak diwakili. Sistem
yang mewajibkan bantuan dari seorang ahli hukum dalam Rv ini didasarkan atas
pertimbangan, bahwa di dalam suatu proses yang memerlukan pengetahuan hukum dan
kecakapan teknis, maka para pihak yang berperkara perlu dibantu oleh seorang ahli
hukum agar segala sesuatunya dapat berjalan lancar dan putusan dijatuhkan dengan
seadil-adilnya.26
5. Putusan Harus Disertai Alasan-alasan
Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan yang dijadikan dasar untuk
mengadili (Pasal 25 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, Pasal 84 ayat (1), Pasal 319
HIR/Pasal 195, dan Pasal 618 RBg). Asas ini dimaksudkan untuk menjaga agar jangan
sampai terjadi perbuatan sewenang-wenang dari hakim. Putusan yang tidak lengkap atau
kurang cukup pertimbangannya merupakan alasan untuk kasasi dan putusan tersebut
harus dibatalkan (MA tanggal 22-7-1970 Nomor 638 K/Sip/1969 dan tanggal 16-12-
1970 Nomor 492 K/Sip/1970).
26 Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H., Op.cit., hal. 29; Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.,
Op.cit., hal. 14.
25
Untuk lebih dapat mempertanggungjawabkan putusan, sering juga alasan-alasan yang
dikemukakan dalam putusan tersebut didukung yurisprudensi dan doktrin. Hal ini bukan
berarti bahwa hakim yang bersangkutan terikat pada putusan hakim sebelumnya. Akan
tetapi, sebaliknya karena hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat. Karena itu, hakim harus berani meninggalkan
yurisprudensi atau undang-undang yang sudah tidak sesuai lagi dengan rasa keadilan
masyarakat. Contoh klasik yang dapat dikemukakan di sini misalnya putusan Hoge Raad
tanggal 31-1-1919 tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang
meninggalkan pendapat Hoge Raad sebelumnya.27
27 Ibid., hlm. 13..
26
BAB IV
PERMOHONAN DAN GUGATAN
Biasa dipergunakan istilah permohonan, tetapi sering juga disebut gugatan voluntair.
Sebutan ini dapat dilihat dahulu dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 1970
(sebagaimana diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999) yang menyatakan:
Penyelesaian setiap perkara yang diajukan kepada badan-badan peradilan mengandung
pengertian di dalamnya penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan yurisdiksi voluntair.
Ketentuan Pasal 2 maupun penjelasan tersebut tidak diatur lagi dalam UU No. 4
Tahun 2004 sebagai pengganti UU No. 14 Tahun 1970, namun ketentuan itu merupakan
penegasan, di samping kewenangan badan peradilan penyelesaian masalah atau perkara yang
bersangkutan dengan yurisdiksi contentiosa, yaitu perkara sengketa yang bersifat partai (ada
pihak penggugat dan tergugat), juga memberi kewenangan penyelesaian masalah atau perkara
voluntair, yaitu gugatan permohonan secara sepihak tanpa ada pihak lain yang ditarik sebagai
tergugat. Jika undang-undang tersebut mempergunakan sebutan voluntair, MA memakai
istilah permohonan. Istilah itu, dapat dilihat dalam "Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Pengadilan".28 Pada halaman 110 angka 15, dipergunakan istilah permohonan,
namun pada angka 15 huruf (e) dipergunakan juga istilah voluntair; yang menjelaskan
bahwa: "Perkara permohonan termasuk dalam pengertian yurisdiksi voluntair: Berdasarkan
permohonan yang diajukan itu, hakim akan memberi suatu penetapan." 29 Dari penjelasan di
atas, ditemui dua istilah yang sering dipergunakan, baik dalam literatur dan praktik, yaitu
permohonan atau voluntair: Oleh karena itu, antara keduanya dapat saling dipertukarkan atau
interchangeable.
A. PENGERTIAN YURIDIS
Permohonan atau gugatan voluntair adalah permasalahan perdata yang diajukan
dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan
kepada Ketua Pengadilan Negeri.30 Ciri khas permohonan atau gugatan voluntair:
28 Pedoman Pelakasanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II, MA RI: Jakarta, April 1994,
hlm. 110. 29 Ibid., hlm. 111. 30 Lihat juga, Ibid, Buku II MA RI, hlm. 110, angka 5 huruf (a).
27
1. Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata (for the benefit of one
party only) 31
Benar-benar murni untuk menyelesaikan kepentingan pemohon tentang sesuatu
permasalahan perdata yang memerlukan kepastian hukum, misalnya permintaan izin
dari pengadilan untuk melakukan tindakan tertentu;
Denagan demikian pada prinsipnya, apa yang dipermasalahkan pemohon, tidak
bersentuhan dengan hak dan kepentingan orang lain.
2. Permasalahan yang dimohon penyesuaian kepada PN, pada prinsipnya tanpa sengketa
dengan pihak lain (without disputes or differences with another party)
Berdasarkan ukuran ini, tidak dibenarkan mengajukan permohonan tentang
penyelesaian sengketa hak atau pemilikan maupun penyerahan serta pembayaran
sesuatu oleh orang lain atau pihak ketiga.
3. Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat ex-
parte.
Benar-benar murni dan mutlak satu pihak atau bersifat ex-parte. Permohonan unt uk
kepentingan sepihak (on behalf of one party) atau yang terlibat dalam permasalahan
hukum (involving only one party to a legal matter) yang diajukan dalam kasus itu
hanya satu pihak.32
B. LANDASAN HUKUM YURISDIKSI VOLUNTAIR
1. Berdasarkan Pasal 2 dan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970
Landasan hukum kewenangan pengadilan menyelesaikan permohonan atau yurisdiksi
voluntair, merujuk kepada ketentuan Pasal 2 dan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 14
Tahun 1970 (sebagaimana telah diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999). Meskipun UU No.
14 Tahun 1970 tersebut telah diganti oleh UU No. 4 Tahun 2004, apa yang digariskan Pasal
2 dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 itu, masih dianggap relevan
sebagai landasan gugatan voluntair. Ketentuan tersebut menegaskan:
Pada prinsipnya; penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman (judicial power) melalui badan-badan peradilan bidang perdata tugas pokoknya menerima, memeriksa, dan
31 Lihat juga. Henry Campbell Black, Black's Law Dictionary, West Publishing, St. Paul Minn, 1974,
hlm. 517. 32 Bandingkan, Merriam Websters Dictionary of Law, Merriam Webster, Springfield Massachussetts,
1996, hlm. 197
28
mengadili serta menyelesaikan setiap perkara (dalam pengertian sengketa = diputus) yang diajukan kepadanya
Berdasarkan pada ketentuan ini, pada prinsipnya, fungsi dan kewenangan pengadilan
di bidang perdata adalah memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara sengketa atau
kasus yang bercorak persengketaan antara dua pihak atau lebih. Berarti yurisdiksi PN
(pengadilan) di bidang perdata, adalah yurisdiksi contentiosa atau contentiuse rechtstaat yang
bermakna proses peradilan sanggah-menyanggah antara pihak penggugat dengan tergugat.
Jadi, ada yang bertindak sebagai penggugat dan ada pihak lain yang ditarik sebagai tergugat;
Sistem dari yurisdiksi contentiosa inilah yang disebut peradilan biasa (ordinary court) atau
judicature, yaitu: ada pihak penggugat dan tergugat serta di antara mereka ada kasus yang
disengketakan.
Secara eksepsional (exceptional). Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970, memberi kewenangan atau yurisdiksi voluntair kepada Pengadilan.
Hal itu ditegaskan juga dalam Putusan MA No. 3139 K/Pdt/1984.33 Dikatakan, sesuai
dengan ketentuan Pasal 2 UU No. 14 Tahun 1970, tugas pokok pengadilan adalah memeriksa
dan memutuskan perkara yang bersifat sengketa atau yurisdiction. Akan tetapi di samping itu,
berwenang juga memeriksa perkara yang termasuk ruang lingkup yurisdiksi voluntair
(voluntary jurisdiction) yang lazim disebut perkara permohonan. Namun kewenangan itu
terbatas pada hal-hal yang tegas ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Memang
yurisdiksi memperluas kewenangan itu sampai pada hal-hal yang ada urgensinya. Itu pun
dengan syarat, jangan sampai memutus perkara voluntair yang mengandung sengketa secara
partai yang harus diputus secara contentious.
Bertitik tolak dari ketentuan ini, kepada PN diberi kewenangan voluntair (yurisdiksi
voluntair) untuk menyelesaikan masalah perdata yang bersifat sepihak atau ex-parte dalam
keadaan:
Sangat terbatas atau sangat eksepsional dalam hal tertentu saja;
Dengan syarat: hanya boleh terhadap masalah yang disebut dan yang ditentukan
sendiri oleh undang-undang, yang menegaskan tentang masalah yang bersangkutan
dapat atau boleh diselesaikan secara voluntair melalui bentuk permohonan.
2. Berbagai Pendapat Mengenai Yurisdiksi Voluntair
33 Tanggal 25-11-1987, Beberapa Yurisprudensi Perdata yang Penting, MA RI, 1992, hlm. 45.
29
Untuk lebih memahami landasan yurisdiksi voluntair yang dikemukakan di atas ada
baiknya diperhatikan berbagai penjelasan dan pendapat yang diuraikan di bawah ini:
a. Penetapan MA No. 5 Pen/Sep/1975 (Juni 1973) dalam Kasus Forest Product
Corp Ltd.
Penetapan ini merupakan penegasan dan pendapat resmi MA yang diterbitkan R.
Subekti dalam kapasitasnya sebagai Ketua MA RI. Pendapat ini bersumber dari kasus
Forest Products Corp Ltd.
PN Jakarta Pusat telah menjatuhkan putusan voluntair dalam perkara permohonan No.
274/1972:
Putusan dijatuhkan pada tanggal 27 Juni 1972;
Isi putusan:
1) Menyatakan sah RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham).
2) Menyatakan perjanjian yang dibuat tidak mengikat Forest Products Corp Ltd.
Atas permintaan pihak yang merasa dirugikan atas putusan voluntair PN Jakarta
Pusat tersebut, MA mengeluarkan penetapan No. 5 Pen/Sep/1975 yang berisi
pertimbangan dan penegasan, antara lain:
Pernyataan secara deklatoir tentang sahnya RUPS dan susunan pengurus serta tidak
mengikatnya perjanjian melalui gugatan voluntair, bertentangan dengan asas prosesual;
Secara prosesual, ketetapan voluntair yang dijatuhkan PN dalam kasus ini, harus
berdasarkan gugatan contentiosa;
Yurisdiksi voluntair, hanya sah apabila hal itu ditentukan oleh undang-undang.34
b. Putusan Peninjauan Kembali (PK) No/PK/AG/1990, Tanggal 22 Januari 1991
PA (Pengadilan Agama) Pandeglang telah menjatuhkan penetapan ahli waris dan
pembagian harta warisan yang diajukan salah seorang ahli waris dalam bentuk
permohonan atau gugatan voluntair;
Terhadap penetapan itu, ahli warts yang lain mengajukan PK kepada MA, dan atas
permohonan itu, MA menjatuhkan putusan, antara lain menegaskan:
1) Gugatan voluntair hanya dapat diterima pengadilan apabila untuk itu ada ketentuan
UU yang mengatumya secara khusus;
2) Dalam kasus penetapan ahli waris dan pembagian harta warisan, tidak ada dasar
hukumnya35 untuk diperiksa secara voluntair.
34 Lihat M. Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum, Citra Aditya Bakti,
1997, hlm. 193.
30
c. Catatan Prof. Asikin Kusuma Atmadja pada Putusan MA No. 3139 K/Pdt/1984,
tanggal 25 November 1987
Catatan Prof. Asikin Kusuma Atmadja pada Putusan MA No. 3139 K/Pdt/1984, tanggal
25 November 1987, antara lain mengatakan:
Masalah pokok pengadilan, memeriksa, dan mengadili perkara-perkara yang
sengketa (contentience jurisdictie);
di samping itu, juga berwenang memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang
termasuk ruang lingkup voluntair jurisdictie, akan tetapi kewenangan itu hanya
terbatas sampai pada hal-hal yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan.36
d. Pendapat Prof. Sudargo Gautama
Pendapat Prof. Sudargo Gautama, antara lain mengatakan:
Dalam hal terjadi penyelesaian secara voluntair mengenai suatu perkara, yang mengandung
sengketa:
Telah terjadi proses ex-parte;
berarti penyelesaian sengketa melanggar tata tertib beracara yang baik (goede process
orde), dan sekaligus melanggar asas audi alteram partem (hak pihak lain untuk
membela dan hak mempertahankan kepentingannya);
padahal semestinya, pihak yang terkena dalam permohonan voluntair dalam kasus ini,
harus didengar sebagai pihak.37
e. Berdasarkan Putusan MA
Berdasarkan putusan MA, antara lain:
Putusan MA No. 1210 K/Pdt/1985, 30 Juni 1987, antara lain menegaskan:
PN telah memeriksa dan memutus permohonan secara voluntair, padahal di dalamnya
terkandung sengketa, tidak ada dasar hukumnya.
Putusan MA No. 130 K/Sep/1957, 5 November 1957, antara lain menyatakan:
Permohonan atau voluntair yang diajukan meminta agar pengadilan memutuskan
siapa ahli waris dan pembagian waris, sesudah melampaui batas kewenangan.
Putusan MA No. 1391 K/Sep/1974, 6 April 1978, antara lain berbunyi:
35 Ibid, hlm. 193. 36 Ibid. 37 Ibid.
31
Pengadilan tidak berwenang memeriksa dan mengadili permohonan penetapan
(voluntair) hak atas tanah tanpa adanya sengketa atas tanah tersebut.
Demikian landasan aturan umum (general regulatory) yang digariskan Pasal UU No. 14
Tahun 1970 maupun yang ditegaskan oleh MA yang harus diterapkan dalam permohonan
atau voluntair. Salah satu hal yang penting diperingatkan, yurisdiksi voluntair tidak meliputi
penyelesaian sengketa hak. Tentang hal ini ditegaskan dalam Putusan MA No. 10
K/Pdt/1985.38 Ditegaskan, putusan PN yang ditetapkan status hak atas tanah melalui gugatan
voluntair, tidak sah tidak mempunyai dasar hukum, karena tidak ada ketentuan undang-
undang yang memberi wewenang kepada PN untuk memeriksa permohonan yang seperti itu,
sehingga sejak semula permohonan itu harus dinyatakan tidak dapat diterima.
C. FUNDAMENTUM PETENDI DAN BEBERAPA PASAL KETENTUAN UU YANG
DAPAT DIJADIKAN LANDASAN PERMOHONAN
Fundamentum petendi atau posita (disebut juga positum) permohonan, tidak rumit
dalam gugatan perkara contentiosa. Landasan hukum dan peristiwa yang menjadi dasar
permohonan, cukup memuat dan menjelaskan hubungan hukum (rechtsver houding) antara
diri pemohon dengan permasalahan hukum yang dipersoalkan. Sehubungan dengan itu,
fundamentum petendi atau posita permohonan pada prinsipnya didasarkan pada ketentuan
pasal undang-undang menjadi alasan permohonan, dengan menghubungkan ketentuan itu
dengan peristiwa yang dihadapi pemohon.
Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas, dideskripsi berbagai ketentuan pasal
undang-undang yang dapat dijadikan dasar hukum (rechtsgrond, basic law) permohonan
scara voluntair. Namun apa yang dideskripsi tersebut, belum meliputi seluruh permasalahan,
tetapi baru sebagian dan jumlah yang ada, antara lain sebagai berikut:
1. Bidang Hukum Keluarga
Diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan, maupun peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan hukum keluarga.
a. Permohonan izin poligami berdasarkan Pasal 5 UU No. 1 Tahun 1974:
Dalil permohonan berdasar ketentuan yang digariskan Pasal 4 ayat (1);
Diikuti dengan pemenuhan syarat-syarat yang disebut Pasal 5 ayat (1).
38 Tanggal 30-6-1987, Yurisprudensi Indonesia, MA RI, 1993, hlm. 7.
32
b. Permohonan izin melangsungkan perkawinan tanpa izin orang tua, berdasarkan iWat
(5) UU No. 1 Tahun 1974:
Dalam hal orang tua berbeda pendapat memberi izin perkawinan bagi yang
berumur 21 tahun atau mereka yang tidak memberi pendapat;
Dalam peristiwa yang seperti itu, yang bersangkutan dapat mengajukan
permohonan izin kepada Pengadilan untuk melangsungkan perkawinan tanpa izin
orang tua.
c. Permohonan pencegahan perkawinan berdasarkan Pasal 13 jo. Pasal 17 ayat (1) UU
No. 14 Tahun 1970:
Apabila dalam perkawinan yang dilangsungkan ada pihak yang tidak memenuhi
syarat;
Maka keluarga garis lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali, dan pengampu
dapat mengajukan permohonan pencegahan kepada Pengadilan.
d. Permohonan dispensasi nikah bagi calon mempelai pria yang belum berumur 16 tahun
berdasarkan Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974.
e. Permohonan pembatalan perkawinan, berdasarkan Pasal 25, 26 dan 27 UU No. 1
Tahun 1974.
f. Permohonan pengangkatan wali berdasarkan Pasal 23 ayat (2) Kompilasi Hukum
Islam, Keppres No. 1 Tahun 1991 jo. Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1987.
g. Permohonan penegasan pengangkatan anak berdasarkan penggarisan yang diatur
dalam SEMA No. 6 Tahun 1983 tanggal 30 September 1983 tentang Penyempurnaan
SEMA No. 2 Tahun 1979.39
2. Bidang Paten yang Diatur dalam UU No. 14 Tahun 2000
Permohonan kepada Pengadilan Niaga agar menerbitkan penetapan segera dan efektif,
berdasarkan Pasal 125, untuk:
a. Mencegah berlanjutnya pelanggaran paten, khususnya:
Mencegah masuknya barang yang diduga melanggar paten;
Termasuk tindakan importasi.
b. Menyimpan bukti yang berkaitan dengan pelanggaran paten dan menghindari terjadinya
penghilangan barang bukti.
39 Lihat Himpunan SEMA dan PERMA tahun 1951-1991, MA RI, Februari 1999, h1m. 466 et seqq.
33
c. Meminta kepada pihak yang merasa dirugikan agar memberitahukan bukti yang
menyatakan pihak tersebut memang berhak atas paten itu.
3. Bidang Perlindungan Konsumen Berdasarkan UU No 8. Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen
a. Permohonan penetapan eksekusi kepada PN atas putusan Majelis Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen berdasarkan Pasal 57.
b. Yurisdiksinya diajukan kepada PN di tempat kediaman konsumen yang dirugikan,
jadi kepada PN tempat kediaman permohonan eksekusi, bukan di tempat kediaman
termohon eksekusi.
4. Permohonan Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan
Permohonan atau permintaan penetapan eksekusi kepada PN atas putusan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang telah berkekuatan hukum tetap, berdasarkan
Pasal 46 ayat (2).
Menurut Pasal 46 ayat (1) keputusan KPPU dianggap berkekuatan tetap, apabila pelaku
usaha yang bersangkutan, telah mengajukan keberatan kepada PN paling lambat 14 hari
dari tanggal penerimaan pemberitahuan keputusan KPPU.
5. Permohonan Berdasarkan UU No.16 Tahun 2001 tentang Yayasan
Permohonan pemeriksaan yayasan berdasarkan Pasal 53 kepada Ketua PN, untuk
mendapatkan data dan keterangan atas dugaan organ yayasan:
melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) atau perbuatan yang bertentangan
dengan Anggaran Dasar Yayasan;
melakukan perbuatan yang merugikan yayasan serta pihak ketiga;
lalai melaksanakan tugas;
melakukan perbuatan yang merugikan negara.
Yang dapat atau berhak mengajukan permohonan:
a. oleh pihak ketiga atas huruf a, b, dan c;
b. oleh Kejaksaan atas huruf d, mewakili kepentingan umum.
Permohonan dituangkan dalam bentuk penetapan oleh PN berdasarkan Pasal 54:
dapat menolak,
34
dapat juga mengabulkan, dengan menyebutkan penetapan pemeriksaan serta
mengangkat paling banyak 3 orang ahli,
Pasal 56 mewajibkan ahli menyampaikan laporan hasil pemeriksaan laporan kepada
Ketua PN, paling lambat 30 hari, dan
Selanjutnya Ketua PN memberikan salinan laporan pemeriksaan kepada pemohon
atau Kejaksaan dan Yayasan.
6. Permohonan Berdasarkan UU No.1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
Permohonan pembubaran Perseroan Terbatas berdasarkan Pasal 7 ayat (4)
Orang yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan pembubaran ke PN;
Atas alasan, apabila lewat 6 bulan, pemegang saham kurang dari dua orang.
Permohonan izin melakukan sendiri pemanggilan RUPS kepada Ketua PN Pasal 67 ayat (1) :
Apabila direksi atau komisaris tidak menyelenggarakan RUPS tahunan pada waktu
yang ditentukan, atau
melakukan sendiri pemanggilan RUPS lainnya, apabila direksi atau komisaris setelah
lewat 30 hari terhitung sejak permintaan, tidak melakukan pemanggilan RUPS lainnya
tersebut.
Penetapan Ketua PN mengenal pemberian izin dalam kasus ini, merupapenetapan
instansi pertama dan terakhir.
c. Permohonan kepada ketua PN untuk menetapkan korum RUPS, apabila korum RUPS
kedua tidak tercapai, berdasarkan Pasal 73 ayat (6).
d. Permohonan pailit oleh direksi secara voluntary petition (atas permohonan sendiri) ber-
dasarkan Pasal 90 ayat (1) dan ayat (2) asalkan permohonan itu berdasarkan putusan
RUPS.
e. Permohonan pemeriksaan oleh PN mengenai perbuatan melawan hukum (PMH) yang
dilakukan perseroan atau yang dilakukan direksi maupun komisaris yang merugikan
perseroan, berdasarkan Pasal 110 ayat (2)
Yang dapat atau yang berhak mengajukan permohonan:
1) pemegang saham atas nama sendiri atau atas nama perseroan yang mewakili paling
sedikit 1/10 dari seluruh saham;
2) pihak lain yang dalam anggaran dasar atau berdasarkan perjanjian diberi
wewenang untuk mengajukan permohonan pemeriksaan;
3) kejaksaan dalam hal mewakili kepentingan umum.
35
PN berwenang:
1) menolak permohonan, apabila tidak ada dasar;
2) mengabulkan dengan jalan mengeluarkan penetapan pemeriksaan, dan mengangkat
paling banyak tiga orang ahli untuk melakukan pemeriksaan;
3) laporan hasil pemeriksaan, disampaikan kepada Ketua PN;
4) Ketua PN memberikan salinan laporan kepada pemohon dan Perseroan yang
bersangkutan.
f. Permohonan kepada Ketua PN untuk menetapkan penggantian seluruh atau mebasian
biaya pemeriksaan kepada pemohon, direksi, atau komisaris Owdasarkan Pasal 113
ayat (3).
g. Permohonan pembubaran perseroan kepada PN berdasarkan Pasal 117 ayat (1)
adalah:
1) Kejaksaan berdasarkan alasan kuat, bahwa perseroan melakukan pelanggaran
kepentingan umum;
2) Seorang pemegang saham atau lebih tepat yang memiliki 1/10 bagian dari jumlah
seluruh saham;
3) Kreditur berdasar alasan:
a) perseroan tidak mampu membayar utang setelah dinyatakan pailit,
b) harta kekayaan perseroan tidak cukup melunasi seluruh utang setelah pernyataan
pailit dicabut.
Permohonan kepada Ketua PN mengangkat likuidator baru dan menghentikan likuidar lama
berdasarkan Pasal 123 atas alasan tidak melaksanakan tugas.
7. Permohonan Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek
Berdasarkan Pasal 85 dapat diajukan permohonan voluntair kepada pengadilan negeri agar
diterbitkan penetapan sementara, mengenai:
a. Pencegahan masuknya barang yang berkaitan melanggar hak merek;
b. Penyimpanan alat bukti yang berkaitan dengan pelanggaran merek.
Demikian gambaran sepintas, permasalahan yang dapat diajukan penyelesaian melalui
permohonan atau gugatan voluntair yang diatur dalam berbagai pasal peraturan perundang-
undangan. Akan tetapi, deskripsi di atas belum meliputi seluruh permasalahan.
Permasalahan yang dijelaskan hanya bersifat random atau acak dari sebagian kecil peraturan
perundang-undangan. Sehubungan dengan itu, masih banyak lagi permasalahan yang dapat
36
diselesaikan pengadilan melalui gugatan permohonan di berbagai peraturan perundang-
undangan yang lain.
D. PETITUM PERMOHONAN
Sudah dijelaskan, pada kasus permohonan, pihak yang ada hanya pemohon sendiri.
Tidak ada pihak lain yang ditarik sebagai lawan atau tergugat. Pada prinsipnya, tujuan
permohonan untuk menyelesaikan kepentingan pemohon sendiri tanpa melibatkan pihak
lawan. Dalam kerangka yang demikian, petitum permohonan harus mengacu pada
penyelesaian kepentingan pemohon secara sepihak.
Sehubungan dengan itu, petitum permohonan tidak boleh melanggar atau melampaui hak
orang lain. Harus benar-benar murni merupakan permintaan penyelesaian kepentingan
pemohon, dengan acuan sebagai berikut:
1. Isi petitum merupakan permintaan yang bersifat deklaratif
Pemohon meminta agar dalam diktum penetapan pengadilan, memuat pernyataan
dengan kata-kata: menyatakan bahwa pemohon adalah orang yang berkepentingan
atas masalah yang dimohon.
2. Petitum tidak boleh melibatkan pihak lain yang tidak ikut sebagai pemohon.
Ukuran ini merupakan konsekuensi dari bentuk permohonan, yang bersifat ex-parte
atau sepihak saja.
3. Tidak boleh memuat petitum yang bersifat condemnatoir (mengandung hukum)
Ukuran ini, merupakan konsekuensi lebih lanjut dari sifat ex-parte yang benar-benar
melekat (inherent) dalam permohonan. Oleh karena tidak ada pihak lawan atau
tergugat, dengan sendirinya tidak ada pihak yang dapat ditimpakan hukuman.
4. Petitum permohonan, harus dirinci satu per satu tentang hal-hal yang dikehendaki
pemohon untuk ditetapkan Pengadilan kepadanya
5. Petitum tidak boleh bersifat compositur atau ex aequo et bono
Seperti yang dikatakan di atas, petitum permohonan harus dirinci, jadi bersifat
enumeratif. Oleh karena itu, tidak dibenarkan petitum yang berbentuk mohon keadilan
saja.
E. PROSES PEMERIKSAAN PERMOHONAN
1. Jalannya Proses Pemeriksaan secara Ex-Parte
Oleh karena yang terlibat dalam permohonan hanya sepihak, yaitu pemohon sendiri ,
proses pemeriksaan permohonan hanya secara sepihak atau bersifat ex-parte, sedangkan yang
37
hadir dan tampil dalam pemeriksaan persidangan, hanya pemohon atau kuasanya. Tidak ada
pihak lawan atau tergugat pemeriksaan sidang benar-benar hadir untuk kepentingan
pemohon. Oleh karena itu, yang terlibat dalam penyelesaian permasalahan hukum, hanya
sepihak yaitu pemohon.
Pada prinsipnya proses ex-parte bersifat sederhana:
mendengar keterangan pemohon atau kuasanya sehubungan dengan permohonan,
memeriksa bukti surat atau saksi yang diajukan pemohon, dan
tidak ada tahap replik-dublik dan kesimpulan.
2. Diperiksa di Sidang hanya Keterangan dan Bukti Pemohon
Di dalam proses yang bercorak ex parte, hanya keterangan dan bukti-bukti pemohon
yang diperiksa pengadilan. Pemeriksaan tidak berlangsung secara (contradictory) atau op
tegenspraak. Maksudnya, dalam proses pemeriksaan, tidak ada bantahan pihak lain. Hanya
dalam proses pemeriksaan gugatan contentiosa (gugatan yang bersifat partai di mana ada
penggugat dan tergugat) yang berlangsung secara contradictoir. Dalam hal ini, keterangan
dan bukti-bukti yang diajukan penggugat dapat dibantah dan dilumpuhkan tergugat, dan
sebaliknya.
3. Dipermasalahkan Penegakan Seluruh Asas Persidangan
Pada proses pemeriksaan permohonan yang bersifat ex parte, tidak ditegakkan seluruh
asas pemeriksaan persidangan. Namun tidak pula sepenuhnya disingkirkan.
a. Yang Tetap Ditegakkan
1) Asas kebebasan peradilan (judicial independency)
- Tidak boleh dipengaruhi siapa pun.
- Tidak boleh ada direktiva dari pihak mana pun.