Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

189
HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN OLEH: CELINA TRI SIWI KRISTIYANTI, S.H., M.Hum. DOSEN: H. ZULKARNAIN IBRAHIM, S.H., M.Hum. OLEH: YOPI PEBRI (hlm 1-32) 02091401012 FARID AKBAR (hlm 33-68) 02091401089 INDAH PERMATA (hlm 69-100) 02091401043 FIRANDHIKA (hlm 101-134) 02091401073 BUNGA SUKMAWATI (hlm 135-170) 02091401049 LANIARI RIZKI (hlm 171-202) 02091401193

Transcript of Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

Page 1: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMENOLEH:

CELINA TRI SIWI KRISTIYANTI, S.H., M.Hum.

DOSEN: H. ZULKARNAIN IBRAHIM, S.H., M.Hum.

OLEH:YOPI PEBRI (hlm 1-32)

02091401012FARID AKBAR (hlm 33-68)

02091401089INDAH PERMATA (hlm 69-100)

02091401043FIRANDHIKA (hlm 101-134)

02091401073BUNGA SUKMAWATI (hlm 135-170)

02091401049LANIARI RIZKI (hlm 171-202)

02091401193

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SRIWIJAYAKAMPUS PALEMBANG

TAHUN AJARAN 2010/2011

Page 2: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

BAB 1LATAR BELAKANG HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

A.PENGANTARHukum perlindungan konsumen dewasa ini mendapat cukup perhatian karena

menyangkut aturan-aturan guna mensejahterakan masyarakat, bukan saja masyarakat selaku konsumen saja yang mendapat perlindungan, namun pelaku usaha juga mempunyai hak yang sama untuk mendapat perlindungan, masing-masing ada hak dan kewajiban. Pemerintah berperan mengatur, mengawasi dan mengontrol, sehingga tercipta sistem yang kondusif saling berkaitan satu dengn yang lain dengan demikian tujuan menyejahterakan masyarakat secara luas dapat tercapai.

Perhatian terhada perlindungan konsumen, terutama di amerika serikat (1960-1970-an) mengalami perkembangan yang sangat signifikan dan menjadi objek kajian bidang ekonomi, sosial, politik, dan hukum. Banyak sekali artikel dan buku yang ditulis berkenaan dengan gerakan ini. Di Amerika Serikat bahkan pada era tahun-tahun tersebut berhasil diundangkan banyak peraturan dan dijatuhkan putusan-putusan hakim yang memperkuat kedudukan konsumen.

Fokus gerakan perlindungan konsumen (konsumerisme) dewasa ini sebenar nya masih paralel dengan gerakan pertengahan abad ke-20. Di indonesia, gerakan perlindungan konsumen menggema dari gerakan serupa di Amerika Serikat. YLKI yang secara populer di pandang sebagai perintis advokasi konsumen di indonesia berdiri pada kurun waktu itu, yakni 11 mei 1973. Gerakan di indonesia ini termasuk cukup responsif terhadap keadaan, bahkan mendahului Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC) No. 2111 Tahun 1978 tentang Perlindungan Konsumen.

Sekali pun demikian, tidak berarti sebelum ada YLKI perhatian terhadap konsumen di Indonesia sama sekali terabaikan. Beberapa produk hukum yang ada, bahkan yang diberlakukan sejak zaman kolonial menyinggung sendi-sendi penting perlindungan konsumen. Dilihat dari kuantitas dan materi muatan produk huum itu dibanding kan dengan keadaan di negara-negara maju (terutama Amerika Serikat), kondisi di indonesia masih jauh menggembirakan. Walaupun begitu, keberadaan peraturan hukum bukan satu-satunya ukuran untuk menilai keberhasilan gerakan perlindungan konsumen. Gerakan ini seharusnya bersifat massal dan membutuhkan kemauan politik yang besar untuk mengapliksikannya.

Secara umum,sejarah gerakan perlindungan konsumen dapat dibagi dalam empt tahapan.1. Tahapan I(1881-1914)

Kurun waktu ini titik awal munculnya kesadaran masrayakat untuk melakukan gerakan perlindungan konsumen. Pemicunya, histeria massal akibat novel karya Upton Sinclair berjudul The jungel, yang menggambarkan cara kerja pabrik pengolahan daging di Amerika Serikat yang sangat tidak memenuhi syarat-syarat kesehatan.

2. Tahapan II (1920-1940)Pada kurun waktu ini muncul pula buku berjudul Your Money’s Worth karya chase dan schlink. Karya ini mampu menggugah konsumen atas hak-hak mereka dalam jual beli. Pada kurun waktu ini muncul slogan: fair deal, best buy.

3. Tahapan III (1950-1960)

Page 3: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

Pada dekade 1950-an ini muncul keinginan untuk mempersatukan gerakan perlindungan konsumen dalam lingkup internasional. Dengan diprakarsai oleh wakil-wakil gerakan konsumen dari amerika Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Australia, dan Belgia, pada 1 april 1960 berdirilah internasional Organisasi of Consumer Union. Semula organisasi ini berpusat di den haag, Belanda, lalu pindah ke Londen, Inggris, pada 1993. dua tahun kemudian IOCU mengubah namanya menjadi Consumen Internasional (CI).

4. Tahapan IV (pasca-1965)Pasca 1965 sebagai masa pemantapan gerakan perlindungan konsumen, baik di tingkat regional maupun internasional. Sampai saat ini dibentuk lima kantor regional, yakni Amerika Latin dan karibia berpusat di Cile, Asia pasifik berpusat di malaysia, Afrika berpusat di Zimbabwe, Eropa Timur dan Tengah berpusat di Inggris dan negara-negara maju juga berpusat di London, Inggris.

B.LATAR BELAKANG HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

1. Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan BebasNegri-negri yang sekarang ini disebut negara-negara maju telah menumpuh

pembangunannya melalui tiga tingkat: unifikasi, industrialisasi, dan negara kesejaheraan. Pada tingkat pertama yang menjadi masalah berat adalah bagaimana mencapai integrasi politik untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional. Tingkat kedua, perjuangan untuk pembangunan ekonomi dan modernisasi politik. Akhirnya pada tingkat ketiga tugas negara yang terutama adalah melindungi rakyat dari sisi negatif industrialisasi, membetulkan kesalahan-kesalahan pada tahap-tahap sebelumnya dengan menekankan kesejahteraan masyarakat.

Tingkat-tingkat tersebut dilalui secara berurutan (consecutive) dan memakan waktu yang relatife lama. Persatuan nasional adalah persyaratan untuk memasuki tahap industrialisasi. Industrialisasi merupakan jalan untuk mencapai Negara kesejahteraan.

Revolusi industri di Inggris yang dimulai pada abad ke-18 kiranya dapat dianggap sebagai awal proses perubahan pola kehidupan masyarakat yang semula merupakan masyarakat agraris menjadi masyarakat industri. Berkembang dan semakin majunya teknologi kemudian mendorong pula peningkatan volume produksi barang dan jasa. Perkembangan ini juga mengubah hubungan antara penyedia produk dan pemakai produk yang semakin beranjak. Produk barang dan jasa yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia semakin lama semakin canggih, sehingga timbul kesenjangan terhadap kebenaran informasi dan daya tanggap konsumen. Kondisi tersebut kemdian menempatkan konsumen dalam posisi yang lemah.

Sejak dua dasawarsa terakhir ini perhatian dunia terhadap masalah perlindungan konsumen semakin meningkat. Gerakan perlindungan konsumen sejak lama dikenal di dunia Barat. Negara-negara di Eropa dan Amerika juga telah lama memiliki peraturan tentang Perlindungan Konsumen. Organisasi Dunia seperti PBB tidak kurang perhatiannya terhadap masalah ini. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa No.39/249 Tahun 1985. Dalam resolusi ini kepentingan konsumen yang harus dilindungi meliputi.a. perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan

keamanannya;b. promosi dan perlindungan kepentingan sosial ekonomi konsumen;

Page 4: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

c. tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka dalam melakukan pilihan yang tepat sesuai dengan kehendak dan kebutuhan pribadi;

d. pendidikan konsumen;e. tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;f. kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen;

perlindungan konsumen harus mendapat perhatian yang lebih, karena investasi asing telah menjadi bagian pembangunan ekonomi indonesia, dimana ekonomi indonesia juga telah berkait dengan ekonomi dunia. Persaingan perdagangan internasional dapat membawa implikasi negatif bagi perlindungan konsumen.

Pada masa lalu bisnis internasional hanya dalam bentuk ekspor-impor dan penanaman modal. Kini transaksi menjadi beraneka ragam dan rumit, seperti kontrak pembuatan barang, waralaba, imbal beli, turnkey project, alih teknologi, aliansi strategis internasional, aktivitas finansial, dan lain-lain. Globalisasi menyebabkan berkembangnya saling ketergantungan pelaku ekonomi dunia. Manufaktur, perdagangan, investasi melewati batas-batas negara, meningkatkan intensitas persaingan. Gejala ini dipercepat oleh kemajuan komunikasi dan transportasi teknologi.

Globalisasi adalah gerakan perluasan pasar, dan disemua pasar yang berdasarkan persaingan, selalu ada yang menang dan kalah. Perdagangan bebas juga menambah kesenjangan antara negara maju dan negara pinggiran (periphery), yang akan membawa akibat pada komposisi masyarakat dan kondisi kehidupan mereka. Tiadanya perlindungan konsumen adalah sebagian dari gejala negri yang kalah dalam perdagangan bebas.

Setiap orang, pada suatu waktu, dalam posisi tunggal/sendiri maupun berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Keadaan yang universal ini pada beberapa sisi menunjukkan adanya beberapa kelemahan pada konsumen sehingga konsumen tidak mempunyai kedudukan yang “aman’’. Oleh karena itu, secara mendasar konsumen juga membutuhkan perlindungan hukum yang sifatnya universal. Mengingat lemahnya kedudukan konsumen pada umumnya dibandingkan dengan kedudukan produsen yang relatif lebih kuat dalam banyak hal, maka pembahasan perlindungan konsumen akan terasa aktual dan selalu penting untuk dikaji ulang.

Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara material maupun formal makin terasa sangat penting, mengingat makin lajunya ilmu pengetahuan dan teknologiyang merupakan motor penggerak bagi produktivitas dan efisiensi produsen atas barang dan jasa yang dihasilkan dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung maupun tidak langsung, konsumen lah yang pada umumnya merasakan dampaknya. Dengan demikian, upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yamg penting dan mendesak untuk segera dicari solusinya, terutama di indonesia, mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen, lebih-lebih menyongsong era perdagangan bebas yang akan datang.

Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara seefektif mungkin agar dapat mencapai mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Untuk itu semua cara pendekatan diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak, termasuk keadaan yang menjuruspada tindakan yang bersifat negatf bahkan tidak terpujiyang berawal

Page 5: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

dari iktikad buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi,antara lain menyangkut kualitas, atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan pemalsuan dan sebagainya.

Pada situasi ekonomi global dan menuju eraperdagangan bebas, upaya mempertahankan pelanggan/konsumen atau mempertahankan pasar atau memperoleh kawasan pasar baru yang lebih luas, merupakan dambaan bagi setiap produsen, mengingat makin ketatnya persaingan untuk berusaha. Persaingan yang makin ketat ini juga dapat memberikan dampak negatif terhadap konsumen pada umumnya.

Saat ini sasaran setiap negara, setiap perusahaan (setiap produsen) adalah menuju pada pemasaran global. Orientasi pemasaran global pada dasarnya dapat mengubah berbagai konsep, cara pandang dan cara pendekatan mengenai banyak hal termasuk strategi pemasaran. Perubahan pemasaran tersebut membawa pengaruh pula pada konsep perlindungan konsumen secara global.

Perlindungan konsumen dalam era pasar global menjadi sangat penting, karena pertama konsumen disamping mempunyai hak-hak yang bersifat universal juga mempunyai hak-hak yang bersifat sangat spesifik (baik situasi maupun kondisi).

Era perdagangan bebas merupakan suatu era kemana pemasaran merupakan suatu disiplin universal. Konsep-konsep dipandang dari strategi pemasaran global telah berubah dari waktu ke waktu, sebagaimana tahapan berikut:

Pertama, konsep pemasaran pada awalnya adalah memfokuskan pada produk yang lebih baik yang berdasarkan pada standar dan nilai internal. Hal ini dilakukan dengan tujuan memperoleh laba, dengan menjual atau membujuk pelanggan potensial untuk menukar uangnya dengan produk perusahaan.

Kedua, pada dekade enam puluhan fokus pemasaran dialihkan dari produk kepada pelanggan. Sasaran masih tetap pada laba, tetapi cara pencapaian mejadi luas, yaitu dengan pembaruan pemasaran marketing mix atau 4p ( product, price, promotion, and place) produk, harga, promosi dan saluran distribusi.

Ketiga, sebagai konsep baru pemasaran, dengan pembaruan dari konsep pemasaran menjadi konsep strategi. Konsep strategi pemasaran pada dasrnya mengubah fokus pemasaran dari pelanggan atau produk kepada pelanggan dalam konteks lingkungan eksternal yang lebih luas. Disamping itu juga terjadi perubahan pada tujuan pemasaran, yaitu dari laba menjadi keuntungan pihak yang berkepentingan (yaitu orang perorangan atau kelompok yang mempunyai kepentingan dalam kegiatan perusahaan termasuk di dalamnya karyawan,manajemen, pelanggan, masyarakat dan negara). Untuk itu harus memanfaatkan pelanggan yang ada termasuk pesaing, kebijakan yang berlaku, peraturan pemerintah serta kekuatan makro, ekonomi, sosial, politik secara luas.

Bertolak dari rangkaian perubahan konsep pemasaran tersebut, perlindungan terhadap konsumen juga membutuhkan pemikiran yang luas pula. Pemikiran konsep secara luas dan kajian dari aspek hukum pun juga membutuhkan wawasan hukum yang luas, sehingga tidaklah dapat dikaji dari aspek hukum semata-mata. Hal ini sangat penting mengingat kepentingan konsumen pada dasar nya sudah ada sejak awal sebelum barang/jasa diproduksi selama dalam proses produksi sampai pada saat distribusi sehingga sampai ditangan konsumen untuk dimanfaatkan secara maksimal.

2. Hubungan antara Produsen dan KonsumenSudah menjadi komitmen Pemerintah Indonesia, melalui bebagai kesepakatan

internasional seperti GATT (General Ageement on Trade and Tarif), WTO (World Trade Organization), AFTA (Asean Free Trade Area) dan lain-lain. Indonesia menjadi salah satu pelaku dalam era pedagangan bebas. Berhasil tidaknya Indonesia

Page 6: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

memanfaatkan era perdagangan bebas, sangat tergantung pada kesiapan pemerintah, dunia usaha dan masyarakat konsumen Indonesia. Dibandingkan pemerintah dan dunia usaha, praktis belum ada pihak yang menyentuh bagaimana mempersiapkan konsumen Indonesia menghadapi pasar bebas.

Ada dua asumsi dalam melihat posisi konsumen di era pasar bebas. Pertama, posisi konsumen diuntungkan. Logika gagasan ini adalah, dengan adanya liberalisasi perdagangan arus keluar masuk barang menjadi semakin lancar. Oleh karena itu, konsumen lebih banyak pilihan dalam menentukan berbagai kebutuhan, baik berupa barang dan jasa, dari segi jenis/macam barang, mutu, maupun harga.

Kedua, posisi konsumen khususnya di negara berkembang dirugikan. Alasannya, masih lemah nya pengawasan dibidang standardisasi mutu barang, lemahnya produk perundang-undangan, akan menjadikan konsumen negara dunia ketiga menjadi sampah berbagai produk yang di negara maju tidak memenuhi persyaratan untuk dipasarkan. Contoh kasus buah impor. Di negara maju buah impor ditolak karena kandungan/residu pestisida di atas ambang batas yang membahayakan kesehatan, sementara di negara bekembang bebas masuk karena belum ada standardisasi mutu buah impor.

Permasalahannya, persyaratan-persyaratan apa yang harus ada dalam pranata hukum Indonesia, agar era perdagangan bebas bagi konsumen benar-benar menjadi anugrah, bukan sebaliknya justru menjadi musibah. Anggapan dasar dalam pasar bebas adalah adanya arus informasi yang sempurna yang memberi kemungkinan pada pembeli dan penjual untuk memilih barang dan jasa secara rasional, serta adanya kemudahan keluar masuk barang ke dalam pasar tanpa halangan.

Dalam kenyataan,menurut Customers Internasional (CI) anggapan dasar ini tidak selalu menjadi kenyataan, mengingat dalam praktik, banyak sekali peraturan-peraturan yang justru bernuansa anti persaingan. Seperti (1) Tied selling: penjual memaksa pembeli untuk membeli barang dan jasa lebih daripada yang dibutuhkan pembeli; (2) Resale price maintenance: penjual merancang harga yang dapat dibebankan kepada konsumen; (3) exclusive dealing: dua penjual atau lebih menciptakan monopoli lokal dengan persetujuan untuk berbagai pasarke dalam wilayah-wilayah; (4) Reciprokal exclusiveity: penjual menyetujui hanya menjual barang dan jasa dari pemasok saja; (5) Refusal to deal: satu pemasok memaksa seseorang pembeli untuk menaati satu mandat tertentu dibawah ancaman penarikan barang dan jasa; (6) Differential pricing: pemasok menentukan harga berbeda kepada pembeli yang berbeda atas dasar selain mutu dan jumlah yang dilepas; (7) Predatory pricing: penjual menentukan perbedaan harga dengan tujuan untuk mendorong pesaing keluar dari bisnis.1) Cross border business agreement; a) merger dan akuisisi,satu

perusahaan atau lebih bergerak untuk menciptakan monopoli di luar batas yurisdiksi satu Negara;(b) kartel internasional,satu tindakan bersama dari babaraa perusahaan dari berbagai negara untuk membagi pasar dan menetapkan harga; (c) persekongkolan bisnis strategis, persekongkolan diantara perusahaan yang bersaing untuk mengembangkan produk atau penelitian.

2) Industrial policy: a) kartel ekspor, persetujuan di antara perusahaan atas harga ekspor; b) kartel impor, satu tanggapan defensif oleh perusahaan-perusahaan yang membeli barang dari kartel ekspor; c) kartel domestik, satu cara dari perusahaan untuk membatasi akses pasar bagi perusahaan asing.

3) Trade policy; a) undang-undang anti dumping, satu cara untuk menangkal purusahaan asing membanjiri barang dan jasa yang lebih murah dari

Page 7: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

pada harga yang ditetapkan oleh perusahaan di dalam negri; b) penetapan target impor; c) penetapan kouta ekspor.

Dari apa yang telah dipaparkan CI diatas, dengan jelas terlihat bahwa kedudukan konsumendi dalam era perdagangan babas sangat lemah.

Secara umum dan mendasar, hubungan antara produsen (perusahaan penghasilan barang dan/atau jasa) dengan konsumen (pemakai akhir dari barang dan/atau jasa untuk dari sendiri ataukeluarganya) merupakan hubungan yang terus-menerus dan berkesinambungan. Hubungan tersebut terjadi karena keduanya memang saling menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi antara yang satu dengan yang lain.

Produsen sangat membutuhkan dan sangat bergantung atas dukungan konsumen sebagai pelanggan. Tanpa dukungan konsumen, tidak mungkin produsen dapat terjamin kelangsungan usahanya. Sebaliknya, konsumen kebutuhannya sangat bergantung dari hasil produksi produsen.

Saling ketergantungan karena kebutuhan tersebut dapat menciptakan suatu hubungan yang terus-menerus dan berkesinambungan sepanjang masa, sesuai dengan tingkat ketergantungan akan kebutuhan yang tidak terputus-putus.

Hubungan antara produsen dan konsumen yang berkelanjutan sejak proses produksi, distribusi pada pemasaran dan penawaran. Rangkaian kegiatan tersebut merupakan rangkaian perbuatan dan perbuatan hukum yang tidak mempunyai akibat hukum dan yang mempunyai akibat hukum baik terhadap semua pihak maupun hanya terhadap pihak tertentu saja.

Hal tersebut secara sistematis dimanpaatkan oleh produsen dalam suatu sistem distribusi dan pemasaran produk barang guna mencapai tingkat produktivitas dan efektivitas dalam rangka mencapai sasaran usaha. Sapai pada tahapan hubungan penyaluran atau distribusi tersebut menghasilkan suatu hubungan yang sifatnya massal, yakni adanya permintaan yang meningkat dari masyarakat sehingga produsen dituntut untuk meningkatkan produktifitasnya, karna sifatnya yang massal, yakni adanya permintaan yang meningkat dari masyarakat sehingga produsen dituntut untuk meningkatkan produktivitasnya. Karena sifatnya yang masal tersebut, maka peran negara sangat dibutuhkandalam rangka melindungi kepentingan konsumen pada umumnya. Untuk itu perlu diatur perlidungan konsumen berdasarkan undang-undang antara lain menyangkut mutu barang, cara prosedur produksi, syarat kesehatan, syarat pengemasan, syarat lingkungan, dan sebagainya.

Perlunya undang-undang perlindungan konsumen tidak lain karena lemahnya posisi konsumen dibandingkan posisi produsen. Proses sampai hasil produksi barang atau jasa dilakukan tanpa campur tangan konsumen sedikit pun. Tujuan hukum pelindungan konsmen secara langsung adalah untuk meningketkan martabat dan kesadaran konsumen. Secara tidak langsung, hukum ini juga akan mendorong produsen untuk melakukan usaha dengan penuh tanggung jawab. Namun, semua tujuan tersebut hanya dapat dicapai bila hukum perlindungan konsumen dapat diterapkan secara konsekuen. Untuk mewujutkan harapan tersebut, perlu dipenuhi beberapa persyaratan minimal, antara lain:(1) hukum perlindungan konsumen harus adil bagi konsumen

maupun produsen, jadi tidak membebani produsen dengan tanggung jawab, tetapi juga melindungi hak-haknya untuk melakukan usaha dengan jujur:

(2) aparat pelaksa hukumnya harus dibekali dengan sarana yang memadai dan disertai dengan tanggung jawab;

(3) Peningkatan kesadaran konsumen akan hak-haknya;

Page 8: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

(4) mengubah sistem nilai dalam masyarakat ke arah sikap tindak yang mendukung pelaksanaan perlindungan konsumen. Dipenghuninya persyaratan diatas akan mengangkat harkat Dan martabat

konsumen, sehingga mereka juga dapat diakui sebagai salah satu subjek dalam sistem perekonomian nasional di samping BUMN, koprasi, dan usaha swasta.Bertolak dari luas dan komleksnya hubungan antara produsen dan konsumen serta banyaknya mata rantai penghubung keduanya, maka untuk melindungi konsumen sebagai pemakai akhir dari produk barang atau jasa, dibutuhkan berbagai aspek hukum agar konsumen dapat dilindungi dengan adil sejak awal produksi.

Diawali dengan sistem pengawasan tarhadap mutu dan kesehatan serta ketepatan pemanfaatan bahan untuk sasaran produk. Untuk itu aspek hukum publik sangat dominan. Setelah hubungan bersifat personal, hukum perdata lah yang lebih dominan dalam rangka melindungi masing-masing pihak.

Paa era pasar bebas dimana hubungan produsen dan konsumen menjadi makin dekat dan makin terbuka. Campur tangan negara, kerja sama antarnegara, dan kerja sama internasional sangat dibutuhkan, yaitu guna mengatur pola hubungan rodusen, konsumen dan sistem perlindungan konsumen. Sistem perlindungan tersebut tidak dapat hanya memanfaatkan perangkat hukum nasional saja, tetapi membutuhkan pula perangkat hukum internasional dalam jaringan kerja sama antar negara dan kerja sama internasional. Hal ini sangat penting mengingat konflik antara negara dan pihak berkepentingan di dalam era perdagangan bebas makin luas, terbuka, dan makin bervariasi, yaitu antarnegara asosiasi produsen sejenis, antar kawasan ekonomi, dan bahkan antarpara pihak yang mempunyai pengaruh untuk produk tertentu dalam rangka memperebutkan pasar.

Hubungan antara produsen dan konsumen yang bersifat massal tersebut menciptakan hubungan secara individual/personal sebagai hubungan hukum yang spesifik. Hubungan hukum yang spesifik ini sangat bervariasi, yang sangat dipengaruhi oleh berbagai keadaan antara lain:1. kondisi, harga dari satu jenis komoditas tertentu;2. penawaran dan syarat perjanjian;3. fasilitas yang ada, sebelum dan purna jual, dan sebagainya;4. kebutuhan para pihak pada rentang waktu tertentu.

Keadaan-keadaan seperti di atas, pada dasarnya akan sangat mempengaruhi dan menciptakan kondisi perjanjian yang juga sangat bervariasi. Dalam praktik nya, hubungan hokum seringkali melemahkan posisi konsumen karena secara sepihak para produsen/distributor sudah menyiapkan satu kondisi perjanjian dengan adanya perjanjian baku, yang syarat-syaratnya secara sepihak ditentukan pula oleh produsen atau jaringan distributornya.

Kedala yang dihadapi dalam upaya perlindungan konsumen di indonesia tidak terbatas pada rendahnya kesadaran konsumen akan hak, tetapi juga adanya persepsi yang salah dikalangan sebagian besar produsen bahwa perlindungan terhadap konsumen akan menimbulkan kerugian terhadap rodusen. Persepsi yang keliru di kalangan pengusaha ini akan dengan mudah diluruskan apabila disadari beberapa pertimbangan berikut ini.(1) bahwa konsumen dan produsen adalah pasangan yang saling membutuhkan; usaha

produsen tidak akan dapt berkembang dengan baik bila konsumen berada pada kondisi yang tidak sehat akibat banyaknya produk yang cacat;

Page 9: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

(2) bahwa ada produsen yang melakukan kecurangan dalam melakukan kegiatan usahanya. Kecurangan ini tidak hanya merugikan konsumen saja, tetapi juga akan merugikan produsen yang jujur dan bertanggung jawab;

(3) kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan usaha bagi produsen yang bertanggung jawab dapat diwujudkan tidak dengan jalan merugikan kepentingan konsumen, tetai dapat dicapai melalui penindakan terhadap produsen yang melakukan kecurangan dalam melakukan kegiatan usahanya;

(4) bahwa beban kompensasi atas kerugian konsumen akibat pemakaian produk cacat telah diperhitungkan dalam komonen produksi, tetapi ditanggung bersama oleh seluruh konsumen yang memakai produk yang cacat.Bentrok dari keadaan yang demikian, perlindungan hukum terhadap hak

konsumen tidak dapat diberikan oleh satu aspek hukum saja, melainkan oleh sistem perangkat hukum yang mampu memberikan perlindungan yang simultan dan komperehensif sehingga terjadi persaingan yang jujur yang secara langsung atau tidak langsung akan menguntungkan konsumen.

C.HUKUM KONSUMEN DAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Istilah“hukum konsumen’’dan“hukum perlindungan konsumen’’sudah sangat sering terdengar. Namun, belum jelas benar apa yang masuk kedalam materi keduanya. Juga, apakah kedua“cabang’’ hukum itu identik.

M.J.Leder menyatakan: In a sense there is not such creature as consumer law. Sekalipun demikian, secara hokum sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen ini seperti yang dinyatakan oleh Lowe yakni: ….rules of law which recognize the bargaining weakness of the individual consumer and which ensure that weakness is not unfairly exploited.

Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya.

Ada juga yang berpedapat, hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang lebih luas itu. Az. Nasution, misalnya berpendapat bahwa hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/jasa konsumen, di dalam pergaulan hidup.

Az. Nasution mengakui, asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah konsumen itu tersebar dalam berbagai bidang hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis. Ia menyebutkan, seperti hukum perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum administrasi (negara) dan hukum internasional terutama konvensi-konvensi yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan konsumen.

Adapun yang masih belum jelas dari pernyataan Az. Nasution berkaitan dengan kaidah-kaidah hukum perlindungan konsumen yang senantiasa bersifat mengatur. Apakah kaidah yang sifatnya memaksa, tetapi memberikan perlindungan terhadap konsumen tidak termasuk dalam hukum perlindungan konsumen? Untuk itu jelasnya dapat dilihat ketentuan Pasal 383 KUHP berikut ini.

Diancam dengan pidana paling lama satu tahun empat bulan, seorang penjual yang berbuat crang terhadap pembeli: (1) karena sengaja menberikan barang

Page 10: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli, (2) mengenai jenis keadaan atau banyaknya barang yang diserahkan dengan menggunakan tipu muslihat.Seharusnya ketentuan memaksa dalam pasal 383 KUHP juga memenuhi syarat

untuk dimasukkan kedalam wilayah hukum perlindungan konsumen. Artinya, inti persoalannya bukan terletak pada kaedah yang harus “mengatur“ dan “memaksa“.

Dengan demikian, seyogyanya dikatakan, hukum konsumen berkala lebih luas meliputi berbagai aspek hukum yang terdapat kepentingan pihak konsumen di dalamnya. Kata aspek hukum ini sangat bergantung pada kemauan kita mengartikan.

D.GERAKAN PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA

Jika melihat kemajuan perkembangan konsumen di Amerika Serikat, tentu Indonesia masih harus “belajar“ banyak. Sebagaimana pernah disinyalir oleh ketua internasional organization of consumers union (IOCU, sekarang CI) Erna Witoelar, perlindungan konsumen di Indonesia masih tertinggal. Ketertinggalan itu tidak hanya dibandingkan dengan Negara-negara sekitar Indonesia, seperti Malaysia, Filipina, Thailand, dan singapura.

Dalam sambutan guru besar UI, Erman rajagukguk menjelaskan bahwa di Indonesia untuk pertumbuhan ekonomi dan pemerataan dapat dilaksanakan dalam waktu bersamaan. Apabila kita ingin tiga tingkat pembangunan di jalani secara serentak, budaya hokum di Indonesia harus dapat mengakomodasi tujuan-tujuan yang demikian itu. Kita harus memiliki hukum, institusi hukum dan profesi hukum, yang mampu menjaga integrasi dan persatuan nasional, dapat mendorong pertumbuhan perdagangan dan industri, serta berfungsi memajukan keadialan social, kesejahteraan manusia, pembagian yang adil atas hak dan keistimewaan, tugas dan beban. Persatuan nasional, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan social mesti dapat tercermin dalam setiap pengambilan keputusan. Dalam mencapai tujuan tersebut diperlukan pembauran hukum, institusi hukum dan profesi hukum. Pembangunan yang komperhensif harus memperhatikan hak-hak manusia. Keduanya tidak dalam kondisi yang berlawanan dan dengan demikian pembangunan akan menarik partisipasi masyarakat. Hal ini menjadi tambah penting karena bangsa kita berada dalam era globalisasi, atinya harus bersaing dengan bangsa-bangsa lain.

Dilihat dari sejarahnya gerakan perlindungan konsumen di Indinesia baru benar-benar dipopulerkan sekitar 20 tahun lalu, yakni dengan berdirinya lembaga swadayamasyarakat (nongovernmental organization) yang bernama yayasan lembaga konsumen Indonesia (YLKI). Setelah YLKI, kemudian muncul beberapa organisasi serupa, antara lain lembaga pembinaan dan perlindungan konsumen (LP2K) di semarang yang berdiri sejak Februari 1988 dan pada 1990 bergabung sebagai anggota consumers international (CI). Diluar itu, dewasa ini cukup banyak lembaga swadaya masyarakat serupa berorientasi pada kepentingan pelayanan konsumen, seperti yayasan lembaga bina konsumen Indonesia (YLBKI) di Bandung dan perwakilan YLKI di berbagai provinsi di tanah air.

YLKI muncul dari sekelompok kecil anggota masyarakat yang diketuai oleh lasmidjah hardi, yang semula bertujuan mempromosikan hasil produk Indonesia. Ajang promosi yang diberi nama pekan swakarya ini menimbulkan ide bagi mereka untuk mendirikan wadah bagi gerakan perlindungan konsumen di Indonesia. Ide ini dituangkan dalam anggaran dasar yayasan di hadapan Notaris G.H.S Loemban Tobing, S.H. dengan akta No. 26, 11 mei 1973.

Yayasan ini sejak semula tidak ingin berkonfrontasi dengan produsen (pelaku usaha) apalagi dengan pemerintah. Hal ini dibuktikan benar oleh YLKI, yakni dengan

Page 11: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

menyelenggarakan pekan promosi swakarya II dan III yang benar-benar dimanfaatkan oleh kalangan produsen dalam negeri. Dalam suasana kerja sama ini kemudian lahir motto yang dicetuskan oleh Ny. Kartina Sujono Prawirabisma bahwa YLKI bertujuan melindungi konsumen, menjaga martabat produsen dan membantu pemerintah.

YLKI memiliki cabang-cabang di berbagai provinsi dan mempunyai pengaruh yang cukup besar karena didukung oleh media massa. Beberapa harian besar Nasional, seperti media Indonesia dan Kompas, secara rutin menyediakan kolom khusus untuk membahas keluhan-keluhan konsumen. Demikian juga dalam berbagai pertemuan ilmiah dan pembahasan peraturan perundang-undangan, YLKI dianggap mitra yang representatif.

Hasil-hasil penelitian YLKI yang dipublikasikan di media massa juga membawa dampak terhadap konsumen. Perhatian produsen terhadap publikasi demikian juga terlihat dari reaksi-reaksi yang diberikan, baik berupa koreksi maupun bantahan. Hal ini menunjukan dalam perjalanan memasuki dasawarsa ketiga, YLKI mampu berperan besar khususnya dalam gerakan menyadarkan konsumen akan hak-haknya.

Jika dibangdingkan dengan perjalanan panjang gerakan konsumen diluar negeri khususnya di Amerika Serikat, YLKI cukup beruntung karena tidak harus memulainya dari nol sama sekali. Pengalaman menangani kasus-kasus yang merugikan konsumen di negara-negara yang lebih maju dapat dijadikan studi yang bermanfaat sehingga Indonesia tidak perlu lagi harus mengulang keslahan yang serupa. Demikian pula dengan kasus-kasus kegagalan advokasi konsumen.

Metode kerja YLKI baru pada penelitian terhadap sejumlah produk barang/jasa dan mempublikasikan hasilnya kepada masyarakat. Gerakan ini belum mempunyai kekuatan lobi untuk memberlakukan atau mencabut suatu peraturan. YLKI juga tidak sepenuhnya dapat mandiri seperti food and drug administration (FDA). Alasan yang utama tentu karena YLKI sendiri bukan badan pemerintah seperti FDA di Amerika Serikat dan tidak memiliki kekuasaan public untuk menerapkan suatu peraturan atau menjatuhkan suatu sanksi.

Ditinjau dari kemajuan peraturan perundang-undangan di Indonesia dibidang perlindungan konsumen, sampai saat ini masih sangat minim, daik dilihat dari kualitas peraturannya maupun kedalaman materi yang dicakupnya. Dari inventarisasi sampai 1991, pengaturan yang memuat unsur perlindungan konsumen tersebar pada delapan bidang, yaitu (1) obat-obatan dan bahan berbahaya, (2) makanan dan minuman, (3) alat-alat elektronik, (4) kendaraan bermotor, (5) metrology dan tera, (6) industri, (7) pengawasan mutu barang, dan (8) lingkungan hidup. Jenis peraturan perundang-undangannya pun bervariasi, mulai dari ordonansi dan undang-undang, peraturan pemerintah atau yang sederajat, instruksi presiden, keputusan mentri, keputusan bersama dari beberapa mentri, peraturan mentri, keputusan dirjen, instruksi dirjen, keputusan ketua pelaksana bursa komoditi, dan keputusan gubernur (d.h.i gubernur KDH DKI Jakarta).

Gerakan konsumen di Indonesia, termasuk yang di prakarsai YLKI mencatat prestasi besar setelah naskah akademik UUPK berhasil di bawa ke DPR. Selanjut nya rancangannya di sahkan menjadi undang-undang.

Keberadaan YLKI juga sangat membantu dalam upaya peningkatan kesadaran atas hak-hak konsumen. Lembaga ini tidak sekedar melakukan penelitian atau pengujian, penerbitan dan menerima pengaduan, tetapi sekaligus juga mengadakan upaya advoksasi melalui jalur pengadilan.

Selama ini upaya hukum individual dari konsumen untuk menggugat produsen baik pemerintah maupun swasta, tidak banyak membuahkan hasil. Sementara itu, gugatan massal yang mewakili masyarakat luas, masih belum dikenal dengan baik

Page 12: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

oleh para penegak hukum di Indonesia. Untuk mewakili gugatan-gugatan di msyarakat, YLKI dapat menggunakan lembaga hukum gugatan kelompok (class action). Namun, walaupun ada preseden yang mengakui eksistensi gugatan kelompok tersebut, banyak hakim yang masih ragu-ragu untuk menerimanya.

Terlepas dari kondisi ini, YLKI mencoba mengajukan gugatan kelompok kepada pemerintah dalam berbagai kasus, antara lain terhadap PT Persero Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan Telkom. Namun, dari perkara yang dibawa ke pengadilan itu belum mampu menghasilkan dampak sebesar seperti yang pernah dilakukan Ralph Nader terhadap General Motors, 1966.

Perkembangan baru dibidang perlindungan konsumen terjadi setelah penggantian tampuk kekuasaan di Indonsia. Yaitu tatkala undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen (UUPK) disahkan dan diundangkan pada 20 April 1999. UUPK ini masih memerlukan waktu satu tahun untuk berlaku efektif. UUPK ini dihasilkan atas inisiatif DPR, yang notabene hak itu tidak pernah sejak orde baru berkuasa pada 1966.

Tanpa mengurangi penghargaan terhadap upaya terus menerus yang dilakukan oleh YLKI, andil terbesar yang “memaksa“ kehadiran UUPK ini adalah juga karena cukup kuatnya tekanan dari dunia internasional. Setelah pemerintah RI mengesahkan undang-undang No. 7 tahun 1994 tentang agreement establishing the world trade organization (persetujuan pembentukan organisasi perdagangan dunia), maka ada kewajiban bagi Indonesia untuk mengikuti standard-standar hukum yang berlaku dan diterima luas oleh Negara-negara anggota WTO. Salah satu diantaranya adalah perlunya eksistensi UUPK.

Hukum yang kondusif bagi pembangunan sedikitnya mengandung lima kualitas, yaitu stability, predictability, fairness, education dan kemampuan meramalkan adanya prasyarat untuk berfungsinya system ekonomi. Perlunya predictability sangat besar di Negara-negara di mana masyarakatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan tradisional mereka. Stabilitas juga berarti hukum berpotensi untuk menjaga keseimbangan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Aspek keadilan (fairness) seperti persamaan didepan hukum, standard sikap pemerintah, adalah perlu untuk memelihara mekanisme pasar dan untuk mencegah birokrasi yang berlebihan. Tidak adanya standar yang adil dan apa yang tidak adil adalah masalah besar yang dihadapi Negara-negara berkembang. Dalam jangka panjang ketiadaan standar tersebut menjadi sebab utama hilangnya ligitimilasi pemerintah.

E. PROSPEK GERAKAN KONSUMEN

Perhatian terhadap gerakan perlindungan hak-hak konsumen (konsumerisme) mendapat pengakuan dan dukungan dari dewan ekonomi dan social PBB, dengan resolusinya No. 2111 tahun 1978. kemudian pada 16 April 1985 dengan resolusinya No. A/RES/39/248 juga disuarakan seruan penghormatan terhadap hak-hak konsumen.

Gerakan konsumen sejak 1960 memiliki wadah yang cukup berwibawa, yang disebut intenational organization of comsumers unions (IOCU). Kemudian sejak 1995 berubah nama menjadi cnsumers international (CI). Anggota CI mencapai 203 organisasi konsumen berasal dari 90 negara di seluruh dunia. Dalam satu Negara dapat saja ada lebih dari satu organisasi konsumen yang terdaftar sebagai anggota CI. Australia, misalnya mempunyai 15 organisasi anggota CI. Sementara Malaysia dan fhilipina memiliki lima organisasi dan Indonesia ada dua organisasi (YLKI Jakarta

Page 13: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

dan LP2K di semarang). Setiap 15 maret CI memperingati “hari hak konsumen sedunia“ dan memberi tema berbeda-beda tiap tahun. Misalnya pada tahun 1994 dikumandangkan tema sentral hak konsumen untuk memperoleh kebutuhan pokok. Hak atas kebutuhan pokok ini tidak terbatas pada pangan, sandang, dan papan, tetapi pada kebutuhan listrik, air minum, pos dan telekomunikasi.

Disamping itu, tuntutan-tuntutan masyarakat dunia internasional, termasuk masyarakat indonesia, tampak makin kritis. Jika dulu masih banyak yang belum berani menyuarakan agar di Indonesia dilakukan sertifikasi “halal” untuk produk-produk tertentu, maka dewasa ini tuntutan itu demikian kuat bergema, bahkan saat ini sertifikasi itu sudah berjalan, antara ain dengan terbenuknya lembaga pengkajian pangan, obat-obatan, dan kosmetika majelis ulama Indonesia (LP POM MUI).

Konsumen Indonesia merupakan bagian dari konsumen global, sehingga gerakan konsumen di dunia internasioanal mau tak mau menembus batas-batas Negara, dan mempengaruhi kesadaran konsumen lokal untuk berbuat hal yang sama. Persaingan antar produsen saat ini semakin ketat dan dan yang dihadapi bukan lagi competitor dalam negeri. Hal ini berarti, konsumen mempunyai banyak pilihan terhadap produk barang/jasa yang dikonsumsinya. Tentu mereka memilih yang terbaik diantara produk barang/jasa yang tersedia. Itu berarti masalah mutu barang dari jumlah ketersediaannya dipasaran tidak lagi menjadi keprihatinan utama karena produsen dengan sendirinya berlomba-lomba untuk memenuhinya. Jika tidak, produsen demikian akan kalah dalam persaingan.

Gejala-gejala itu memberi pengaruh pada gerakan konsumen didunia dan di indonesia, yakni mulai beralihnya isu-isu konsumen dari sekedar mempersoalkan mutu menuju kearah yang lebih berskala makro dan universal. Perhatian konsumen di dalam negeri sama dengan perhatian konsumen di berbagai negara. Konsumen kita menjadi konsumen global.

Menurut Emil Salim, gerakan konsumen global ditandai oleh globalisasi diberbagai bidang. Pertama, globalisasi produksi. Dalam hal ini berarti, tidak ada produk yang hanya dibuat di satu negara. Toyota, misalnya, sebagian komponennya dibuat diberbagai negara di luar jepang. Faktor kedua, globalisasi finansial. Uang tidak lagi mengenal bendera. Modal seperti air yang mencari tempat yang sesuai. Ketiga, globalisasi perdagangan. Hal ini tampak dari dihilangkannya dinding-dinding tarif sehingga dunia menjadi satu pasar. Keempat, globalisasi teknologi. Globalisasi keempat ini membawa konsekuensi makin tergesernya alat-alat produksi tradissional mengarah kepada modernisasi dan mekanisasi. Teknologi dibidang pengemasan yang diterapkan di Amerika Serikat, misalnya cepat diadopsi kenegara lain, dan segera mengubah pola dibidang terkait.

Globalisasi menyebabkan berkembangnya saling ketergantungan pelaku-pelaku ekonomi dunia. Manufaktur, perdagangan, investasi melewati batas-batas negara meningkatkan intensitas persaingan, gejala ini dipercepat oleh kemajuan komunikasi dan transportasi teknologi.

Bagaimanapun juga karakteristik dan hambatannya, globalisasi ekonomi menimbulkan akibat yang besar sekali pada bidang hukum. Globalisasi juga menyebabkan terjadi globalisasi hukum, globalisasi hukum tersebut tidak hanya didasrkan pada kesepakatan internasional antarbangsa tetapi juga pemahaman tradisi hukum dan budaya antara barat dan timur.

Globalisasi hukum terjadi melalui usaha-usaha standardinasi hukum, antara lain melalui perjanjian-perjanjian internasional. General agreement on tariff and trade (GATT) misalnya, mencantumkan beberapa ketentuan yang harus di penuhi di Negara-negara anggota berkaitan dengan penanaman modal, hak milik intelektual,

Page 14: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

dan jasa prinsip-prinsip non-discrimination, most favored nation, national treatment, transparency kemudian menjadi substansi peraturan-peraturan nasional Negara-negara anggota.

Globalisasi hukum akan menyebabkan peraturan-peraturan Negara-negara berkembang mengenai investasi, perdagangan, jasa-jasa dan bidang-bidang ekonomi lainnya mendekati Negara-negara maju (converagence). Namun, tidak ada jaminan peraturan-peraturan tersebut memberikan hasil yang sama disemua tempat. Hal mana yang dikarenakan perbedaan sitem politik, ekonomi dan budaya. Apa yang disebut hukum itu tergantung pada persepsi masyarakat. Friedman, mengatakan bahwa tegaknya peraturan-peraturan hukum tergantung pada budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, budaya, posisi atau kedudukan bahkan kepentingan-kepentingan.

Dalam hal menghadapi hal yang demikian itu perlu check and balance dalam bernegara. Check and balance hanya bisa dicapai dengan parlemen yang kuat, pengadilan yang mandiri dan partisipasi masyarakat melalui lembaga-lembaganya.

Alhasil, gerakan konsumen, baik di dunia internasional maupun di Indonesia, pada masa-masa mendatang menghadapi suasana yang jauh lebih kompleks. Arus tuntutan konsumen melalui gerakan-gerakan tadi makin lama makin deras, sehingga tidak mustahil menimbulkan instabilitas bagi negara-negara yang produsen dan pemerintahnya belum siap benar. Kesiapan tersebut tidak sekedar dalam arti “siap bersaing dan berinovasi”. Tetapi terlebih-lebih bagi pemerintahnya, adalah siap dengan pembangunan unsur-unsur system hukumnya.

BAB 2PENGERTIAN HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN SERTA

PELAKU USAHA

A. PENGERTIAN KONSUMEN, HAK, DAN KEWAJIBANNYASebagai suatu konsep, “konsumen“ telah diperkenalkan beberapa puluh tahun lalu

diberbagai negara dan sampai saat ini sudah puluhan negara memiliki undang-undang atau peraturan khusus yang memberikan perlindungan kepada konsumen termasuk sarana penyediaan peradilannya. Sejalan dengan perkembangannya itu, berbagai negara telah pula menetapkan hak-hak konsumen yang digunakan sebagai landasan pengaturan perlindungan konsumen konsumen. Di samping itu, telah pula berdiri organisasi konsumen internasional, yaitu international organiztion of consumers unions (IOCU). Di Indonesia telah pula berdiri berbagai organisasi konsumen seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) di Jakarta, dan organisasi konsumen lain di bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan sebagainya.

Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (inggris-amerika), atau consument/konsument (belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harafiah arti kata consumer adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna

Page 15: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

tersebut. Begitu pula kamus indonesia-inggris memberi arti kata consumer sebagai pemakai atau konsumen.

Di indonesia telah banyak diselenggarakan studi, baik yang bersifat akademis, maupun untuk tujuan mempersiapkan dasar-dasar penerbitan suatu peraturan perundang-undangan tentang perlindungan konsumen. Dalam naskah akademik dan/atau berbagai naskah pembahasan berbagai rancangan peraturan perundang-undangan, cukup banyak dibahas dan dibicarakan tentang berbagai peristilahan yang termasuk dalam lingkup perlindungan konsumen. Dari naskah-naskah akademik itu yang patut mendapat perhatian, antara lain:a. Badan pembinaan hukum nasional-departemen kehakiman (BPHN), menyusun

batasan tentang konsumen akhir, yaitu pemakai akhir dari barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang lain, dan tidak untuk diperjualbelikan.

b. Batasan konsumen dari yayasan lembaga konsumen indonesia: pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat bagi kepentingan diri sendiri, keluarga atau orang lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali.

c. Sedang dalam naskah akademis yang dipersiapkan fakultas hukum Universitas Indonesia (FH-UI) bekerja sama dengan departemen perdagangan RI, berbunyi:Konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk dipakai dan tidak untuk diperdagangkan.Peraturan perundang-undangan negara lain, memberikan berbagai perbandingan.

Umumny dibedakan antara konsumen antara dan konsumen akhir. Dalam merumuskannya, ada yang secara tegas mendefenisikannya dalam ketentuan umum perundang-undangan tertentu, ada pula yang termuat dalam pasal tertentu bersama-sama dengan pengaturan sesuatu bentuk hubungan hukum.

Pengertian “konsumen“ di Amerika Serikat dan MEE, kata “konsumen“ yang berasal dari consumer sebenarnya berarti “pemakai“. Namun, di Amerika Serikat kata ini dapat diartikan lebih luas lagi sebagai “korban pemakaian produk yang cacat“, baik korban tersebut pembeli, bukan pembeli tapi pemakai, bahkan juga korban yang bukan pemakai, karna perlindungan hukum dapat dinikmati pula bahkan oleh korban yang bukan pemakai.

Upaya perlindungan terhadap konsumen dari pemakaian produk-produk yang cacat di negara-negara anggota European Economic Community (EC/MEE) dilakukan dengan cara menyusun product liability directive yang nantinya harus diintegrasikan kedalam instruktur hukum masing-masing negara anggota EC, maupun melalui statutory orders yang berlaku terhadap warga negara seluruh anggota EC. Ketentuan-ketentuan dalam directive harus diimplementasikan ke dalam hukum nasional dulu sebelum dapat diterapkan, sedangkan statutory orders dapat langsung berlaku bagi semua warga negara dari negara-negara anggota EC.

Directive ini mengedepankan konsep liability without fault. Pengertian “konsumen” (consumers) tidak dijabarkan secara rinci dalam directive. Untuk memahaminya dapat dilakukan dengan menelaah pasal 1 dikaji bersama-sama dengan pasal 9 directive yang isinya sebagai berikut:

Article 1The producer shall be liable for damage caused by a defect in his product.

Article 9For the purepos of article 1, “damage” means:(a) damage caused by death or by personal injuries;

Page 16: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

(b) damage to, or destruction of, any item of property other than the detective product it self, with a lower threshold of 500 ECU, provided that the item of property:(i) is a type ordinarily for private use or consumption, and(ii) was used by the injured person mainly for his own private use or

consumtion.This article shall be without prejudice to national provisions relating to non material damage.

dapat disimpulkan bahwa konsumen berdasarkan directive adalah pribadi yang menderita kerugian (jiwa, kesehatan, maupun benda) akibat pemakaian produk yang cacat untuk keperluan pribadinya. Jadi, konsumen yang dapat memperoleh kompensasi atas kerugian yang dideritanya adalah “pemakaian produk yang cacat untuk keperluan pribadi”. Perumusan ini sedikit lebih sempit dibandingkan dengan pengertian serupa di Amerika Serikat.

Tampaknya perlakuan hukum yang lebih bersifat mengatur dan/atau mengatur dengan diimbuhi perlindungan, merupakan pertimbangan tentang perlunya pembedaan dari konsumen itu. Az Nasution menegaskan beberapa batasan konsumen, yakni:a. konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan

untuk tujuan tertentu.b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa

untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial)

c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapatkan dan menggunakan barang/jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (nonkomersial).Bagi konsumen antara, barang/jasa itu adalah barang/jasa kapital, berupa bahan

baku, bahan penolong atau komponen dari produk lain yang akan diproduksinya (produsen). Kalau itu distributor atau pedagang berupa barang setengah jadi atau barang jadi yang menjadi mata dagangannya. Konsumen antara ini mendapatkan barang/jasa itu dipasar industri atau pasar produsen.

Sedang bagi konsumen akhir, barang/jasa itu adalah barang/jasa konsumen, yaitu barang/jasa yang biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluaga atau rumah tangganya (produk konsumen). Barang/jasa konsumen ini umumnya diperoleh dipasar-pasar konsumen, dan terdiri dari barang/jasa yang umumnya digunakan di rumah tangga masyarakat.

Unsur untuk membuat barang/jasa lain dan/atau diperdagangkan kembali merupakan pembeda pokok, antara lain konsumen antara (produk kapital) dan konsumen akhir (produk konsumen), yang penggunanya bagi konsumen akhir adalah untuk dirinya sendiri, keluarga atau rumah tangganya. Unsur inilah, yang pada dasarnya merupakan beda kepentingan masing-masing konsumen yaitu, penggunaan suatu produk untuk keperluan atau tujuan tertentu yang menjadi tolak ukur dalam menentukan perlindungan yang diperlukan.

Sebagaimana disinggung sebelumnya, bagi konsumen antara yang sebenarnya adalah pengusaha atau pelaku usaha, kepentingan mereka dalam menjalankan usaha atau profesi mereka tidak “tergangu” oleh perbuatan persaingan-persaingan yang tidak wajar, perbuatan penguasaan pasar secara monopoli atau oligopi, dan yang sejenis dengan itu. Mereka memerlukan kaedah-kaedah hukum yang mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak jujur dalam bisnis, dominasi pasar dengan berbagai

Page 17: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

praktik bisnis yang menghambat masuknya perusahaan baru atau merugikan perusahaan lain dengan cara-cara yang tidak wajar.

Bagi konsumen akhir (selanjutnya disebut konsumen), mereka memerlukan produk konsumen (barang/jasa konsumen) yang aman bagi kesehatan tubuh atau keamanan jiwa, serta pada umumnya untuk kesejahteraan keluarga atau rumah tangganya. Karena itu yang diperlukan adalah kaedah-kaedah hukum yang menjamin syarat-syarat aman setiap produk konsumen bagi konsumsi manusia, dilengkapi dengan informasi yang benar, jujur, dan bertanggung jawab.

Karena pada umumnya konsumen tidak mengetahui dari bahan apa suatu produk itu dibuat, bagaimana proses pembuatannya serta strategi pasar apa yang dijalankan untuk mendistribusikannya, maka diperlukan kaedah hukum yang dapat melindungi. Perlindungan itu sesungguhnya berfungsi menyeimbangkan kedudukan konsumen dan pengusaha, dengan siapa mereka saling berhubungan dan saling memebutuhkan.

Keadaan seimbang diantara para pihak yang saling berhubungan, akan lebih menerbitkan keserasian dan keselarasan matriil, tidak sekedar formil, dalam kehidupan manusia Indonesia sebagaimana dikehendaki oleh falsafah bangsa dan negara ini.

1. Pengertian konsumen dalam UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen

Penegrtin konsumen menurut UU No. 8 tahun 1999 tentang hukum perlindungan konsumen dalam pasal 1 ayat (2) yakni:

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Unsur-unsur defenisi konsumen:

a. setiap orangsubjek yang disebut sebagai konsumen adalah setiap orang yang berstatus sebagai

pemakai barang/jasa. Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke persoon atau termasuk juga badan hukum (rechtpersoon). Hal ini berbeda dengan pengertian yang diberikan untuk “pelaku usaha” dalam pasal 1 angka (3), yang secara eksplisit membedakan kedua pengertian persoon diatas, dengan menyebutkan kata-kata: “orang perseorangan atau badan usaha“. Tentu yang paling tepat tidak membatasi pengertian konsumen itu sebatas pada orang perseorangan. Namun konsumen harus juga mencakup juga badan usaha dengan makna usaha yang lebih luas daripada badan hukum.

UUPK tampaknya berusaha menhindari penggunaan kata “produsen“ sebagai lawan kata “konsumen“. Untuk itu, digunakan kata “pelaku usaha” yang bermakna lebih luas. Istilah terakhir ini dipilih untuk memberi arti sekaligus bagi kreditur (penyedia dana), produsen, penyalur, penjual, dan terminologi lain yang lazim diberikan. Bahkan, untuk kasus-kasus yang spesifik seperti dalam kasus periklanan, pelaku usaha ini juga mencakup perusahaan media, tempat iklan ditayangkan.

b. pemakaisesuai dengan penjelasan pasal 1 angka (2) UUPK, kata “pemakai“ menekankan,

konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukan, barang/jasa yang dipakai tidak serta merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar

Page 18: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

uang untuk memperoleh barang/jasa itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual (the privity of contract).

Sebagai ilustrasi dari uraian itu dapat diberikan contoh berikut, seseorang memperoleh paket hadiah atau parsel (parcel) pada hari ulang tahunnya. Isi paketnya makanan dan minuman yang dibeli si pembeli di pasar swalayan.

Pertanyaannya, apakah penerima paket seorang konsumen juga? Jika ia menggugat pasar swalayan itu, apakah ada dasar gugatan yang cukup kuat baginya? Hal ini patut dipertanyakan, jika menggunakan prinsip the privity of contract tentu tidak ada hubungan kontraktual antara penerima hadiah dan pihak pasar swalayan karena pembeli parsel adalah orang lain. Dengan demikian, UUPK sedah selayaknya meninggalkan prinsip yang sangat merugikan konsumen.

Konsumen memang tidak sekedar pembeli (buyer atau koper) tetapi semua orang (perseorangan atau badan usaha) yang mengonsumsi barang/jasa. Jadi, yang paling penting terjadinya transaksi konsumen (consumer transaction) berupa peralihan barang/jasa, termasuk peralihan kenikmatan dalam menggunakannya.

Transaksi konsumen memiliki banyak sekali metode. Dewasa ini, sudah lazim terjadi sebelum suatu produk dipasarkan, terlebih dahulu dilakukan pengenalan produk kepada konsumen. Istilahnya product knowladge. Untuk itu, dibagikan sampel yang diproduksi khusus dan sengaja tidak diperjualbelikan. Orang yang mengonsumsi produk sampel juga merupakan konsumen. Oleh karena itu wajib dilindungi hak-haknya.

Mengartikan konsumen secara sempit, seperti hanya sebagai orang yang mempunyai hubungan kontraktual pribadi (in privity of contract) dengan produsen atau penjual adalah cara pendefinisian konsumen yang paling sederhana. Di Amerika Serikat cara pandang seperti itu telah lama ditinggalkan, walau baru dilakukan pada awal abad ke-20. konsumen tidak lagi diartikan sebagai pembeli dari suatu barang/jasa, tetapi termasuk bukan pemakai langsung, asalkan memang dirugikan akibat penggunaan suatu produk.

c. barang dan/atau jasaberkaitan dengan istialah barang/jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut

digunakan kata produk. Saat ini “produk“ sudah berkonotasi barang/jasa. Semula kata produk hanya mengacu pada pengertian barang. Dalam dunia perbankan, misalnya istilah produk dipakai juga untuk menamakan jenis-jenis layanan perbankan.

UUPK mengganti barang sebagai setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. UUPK tidak menjelaskan perbedaan istilah-istilah “dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan”.

Sementara itu jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat menunjukan, jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat. Artinya, harus lebih dari 1 orang. Jika demikian halnya, layanan yang bersifat khusus (tertutup)ndan individual, tidak tercakup dalam pengertian tersebut.

Kata-kata “ditawarkan kepada masyarakat” itu harus ditafsirkan sebagai bagian dari transaksi konsumen. Artinya, seseorang yang karena kebutuhan mendadak lalu menjual rumahnya kepada orang lain, tidak dapat perbuatannya itu sebagai transaksi konsumen. Si pembeli tidak dapat dikategorikan sebagai “konsumen” menurut UUPK.

Page 19: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

d. yang tersedia dalam masyarakatbarang/jasa yang ditawarkan dalam masyarakat sudah harus tersedia di pasaran

(lihat juga bunyi pasal 9 ayat 1 huruf e UUPK). Dalam perdagangan yang makin kompleks dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Misalnya, perusahaan pengembang (develover) perumahan sudah biasa mengadakan transaksi terlebih dahulu sebelum bangunannya jadi. Bahkan, untuk jenis-jenis transaksi konsumen tertentu, seperti futures trading, keberadaan barang yang diperjualbelikan bukan sesuatu yang diutamakan.

e. bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, makhluk hidup laintransaksi konsumen ditujukan untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain

dan makhluk hidup lain. Unsure yang diletakkan dalam defenisi itu mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan keluaga, tetapi juga barang/jasa itu diperuntukan bagi orang lain (diluar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup lain, seperti hewan dan tumbuhan. Dari sisi teori kepentingan, setiap tindakan manusia adalah bagian dari kepentingannya. Oleh sebab itu, penguraian unsur itu tidak menambah makna apa-apa karena pada dasarnya tindakan memakai suatu barang/jasa (terlepas ditujukan untuk siapa dan makhluk hidup lain), juga tidak terlepas dari kepentingan pribadi. Seseorang yang membeli makanan untuk kucing peliharaannya, misalnya, berkaitan dengan kepentingan pribadi orang itu untuk memiliki kucing yang sehat.

f. barang dan/atau jasa itu tidak untuk diperdagangkanpengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir.

Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai negara. Secara teoritis hal demikian terasa cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen, walaupun dalam kenyataannya, sulit menetapkan batas-batas seperti itu.

2. hak-hak konsumenistilah “perlindungan konsumen” berkaitan dengan perlindungan hukum. Oleh

karena itu, perlindungan konsumen mengandung aspek hukum. Adapun materi yang mendapatkan perlindungan itu bukan sekadar fisik, melaikan terlebih-lebih hak-haknya yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, perlindungan konsumen identik dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen.

Secara umum dienal ada 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu1. hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety);2. hak untuk mendapatkan informasi ( the right to be informed);3. hak untuk memilih ( the right to choose);4. hak untuk didengar ( the right to be heard).

Empat hak dasar ini diakui secara internasinaol. Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi konsumen yang tergabung dalam the international organization of consumers unions (IOCU) menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan pendidikan konsumen, hak mendapatkan gati kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Namun, tidak semua organisasi konsumen menerima penambahan hak-hak tersebut. Mereka bebas untuk menerima semua atau sebagian. YLKI, misalnya, memutuskan untuk menambah 1 hak lagi sebagi pelengkap hak dasar konsumen, yaitu

Page 20: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sehingga keseluruhannya dikenal sebagai panca hak konsumen.

Dalam UUPK, empat hak dasar yang dikemukakan oleh John F. Kennedy tersebut juga di akomodasi.

Hak konsumen untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, tidak dimasukkan dalam UUPK ini karena UUPK secara khusus mengecualikan hak-hak atas kekayaan intelektual (HAKI) dan dibidang pengolaan lingkungan. Tidak jelas kenapa kedua bidang hukum ini yang di kecualikan secara khusus, mengingat sebagai undang-undang paying (umberella act), UUPK seharusnya dapat mengatur hak-hak konsumen itu secara komprehensif.

Langkah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen harus diawali dengan upaya untuk memahami hak-hak pokok konsumen, yang dapat dijadikan sebagai landasan perjuangan untuk mewujudkan hak-hak tersebut.

Hak konsumen sebagaimana tertuang dalam pasal 4 UU No. 8 tahun 1999 adalah sebagi berikut:a. hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang/jasa;b. hak untuk memilih barang/jasa serta mendapatkan barang/jasa tersebut sesuai

dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;c. hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan

barang/jasad. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang/jasa yang digunakan;e. hak untuk mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa

perlindungan konsumen secara patut;f. hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;g. hak untuk mendapatkan konpensasi ganti rugi/ penggantian, apabila barang/jasa

yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;h. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Disamping hak-hak dalam pasal 4, juga terdapat hak-hak konsumen yang dirumuskan dalam pasal berikutnya, khususnya dalam pasal 7 yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha. Kewajiban dan hak merupakan antinomi dalam hukum, sehingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen.

Selain hak yang dibutuhkan itu, ada juga hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini berangkat dari pertimbangan, kegiatan bisnis yang dilakukan tidak secara jujur, yang dalam hukum dikenal dengan terminologi “persaingan curang“ (unfair competition).

Dalam hukum positif indonesia, masalah persaingan curang (dalam bisnis) ini diatur secara khusus pada pasal 382 bis kitab undang-undang hukum pidana. Selanjutnya, sejak 5 maret 2000 diberlakukan juga UU No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Ketentuan-ketentuan ini sesungguhnya diperuntukan bagi sesama pelaku usaha, tidak bagi konsumen langsung. Kendati demikian, kompetisi tidak sehat diantara mereka pada jangka panjang pasti berdampak negatif bagi konsumen karena pihak yang dijadikan sasaran rebutan adalah konsumen itu sendiri. Disini letak arti penting mengapa hak ini perlu dikemukakan, agar tidak berlaku pepatah: “dua gajah berkelahi, pelanduk mati di tengah-tengah“.

Akhirnya, jika semua hak-hak yang disebutkan itu disusun kembali secara sistematis (mulai dari yang diasumsikan paling mendasar), akan diperoleh urutan sebagai berikut:a. Hak konsumen Mendapatkan Keamanan

Page 21: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

Konsumen berhak mendapatkan keamanan dari barang dan jasa yang ditawarkan

kepadanya. Produk barang dan jasa itu tidak boleh membahayakan jika

dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan baik secara jasmani dan rohani.

Hak untuk memperoleh keamanan ini penting ditempatkan pada kedudukan

utama karena berabad-abad berkembang suatu falsafah berpikir bahwa konsumen

(terutama pembeli) adalah pihak yang wajib berhati-hati, bukan pelaku usaha.

Falsafah yang disebut caveat emptor (let the buyer beware) ini mencapai

puncaknya pada abad ke-19 seiring berkembangnya paham rasional

individualisme di Amerika Serikat. Dalam perkembangannya kemudian, prisip

yang merugikan konsumen ini telah ditinggalkan.

Dalam barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan dipasarkan oleh pelaku usaha

berisiko sangat tinggi terhadap keamanan konsumen, Pemerintah selayaknya

mengadakan pengawasan secara ketat. Misalnya zat atau obat yang tergolong

narkotika dan psikotropika. Undang-undang No.5 Tahun 1997 tentang

psikotropika dan Undang-undang No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika

menetapkan psikotopika dan narkotika golongan I hanya dapat digunakan untuk

kepentingan ilmu pengetahuan, tidak dapat digunakan untuk kepentingan

pelayanan kesehatan.Restriksi demikian perlu dilakukan semata-mata demi

menjaga keamanan masyarakat atas akibat negatif dari produk tersebut.

Satu hal juga seiring dilupakan dalam kaitan dengan hak untuk mendapatkan

keamanan adalah penyediaan fasilitas umum yang memenuhi syarat yang

ditetapkan. Di Indonesia, sebagian besar fasilitas umum, seperti pusat

perbelanjaan, hiburan, rumah sakit,dan perpustakaan belum cukup akomodatif

untuk menopang keselamatan pengunjungnya. Hal ini tidak saja bagi pengguna

produk barang atau jasa (konsumen) yang berfisik normal pada umumnya, tetapi

juga tidak berlebih-lebih mereka yang cacat fisik dan lanjut usia. Akibatnya, besar

kemungkinan mereka ini tidak dapat leluasa berajalan dan naik tangga di tempat-

tempat umum karena tingkat resiko yang sangat tinggi.

b. Hak untuk Mendapatkan Informasi yang Benar

Setiap produk yang diperkenalkan kepada konsumen harus disertai informasi yang

benar. Informasi ini diperlukan agar konsumen tidak sampai mempunyai

gambaran yang keliru atas produk barang dan jasa. Informasi ini dapat

Page 22: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

disampaikan dengan berbagai cara, seperti lisan kepada konsumen, melalui iklan

di berbagai media, atau mencantumkan dalam kemasan produk (barang).

Jika dikaitkan dengan hak konsumen atas keamanan, maka setiap produk yang

mengandung risiko terhadap keamanan konsumen, wajib disrtai informasi berupa

petunjuk pemakaian yang jelas. Sebagai contoh, iklan yang secara ideal diartikan

sebagai sarana pemberi informasi kepada konsumen, seharusnya terbebas dari

mani pulasi data. Jika iklan memuat informasi yang tidak benar, maka perbuatan

itu memenuhi kriteria kejahatan yang lazim disebut fraudulent misrepresentation.

Bentuk kejahatan ini ditandai oleh (1)pemakaian pernyataan yang jelas-jelas salah

(false statement), seperti menyebutkan diri terbaik tanpa indikator yang jelas, dan

(2) pernyataan yang menyesatkan (mislead), misalnya menyebutkan adanya

khasiat tertentu padahal tidak.

Menurut Troelstup, konsumen pada saat ini membutuhkan banyak informasi

yang lebih relavan dibandingkan dengan saat sekitar 50 tahun lalu. Alasannya,

saat ini: (1) terdapat lebih banyak produk, merek, dan tentu saja penjualnya, (2)

daya beli konsumen makin meningkat, (3) lebih banyak variasi merek yang

beredar di pasaran, sehingga belum banyak diketahui semua orang, (4) model-

model produk lebih cepat berubah, (5) kemudahan transportasi dan komunikasi

sehingga mem buka akses yang lebih besar kepada bermacam-macam produsen

atau penjual.

Hak untuk mendapatkan informasi menurut Prof.Hans W.Micklitz, seorang

ahli hukum konsumen dari jerman, dalam ceramah di Jakarta, 26-30 Oktober1998

membedakan konsumen berdasarkan hak ini. Ia menyatakan, sebeum kita

melangkah lebih detail dalam perlindungan konsumen, terlebih dulu harus ada

persamaan persepsi tentang tipe konsumen yang akan mendapatkan perlindungan.

Menurutnya, secara garis besar dapat dibedakan dua tipe konsumen, yaitu

a. konsumen yang terinformasi (well-informed)

b. konsumen yang tidak terinformasi.

Ciri-ciri konsumen yang terinformasi sebagai tipe pertama adalah:

Memiliki tingkat pendidikan tertentu ;

mempunyai sumberdaya ekonomi yang cukup, sehingga dapat berperan dalam

ekonom pasar, dan

lancer berkomunikasi.

Page 23: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

Dengan memiliki tiga potensi, konsumen jenis ini mampu bertanggung jawab dan

relative tidak memerlukan perlindungan.

Ciri-ciri konsumen yang tidak terinformasi sebagai tipe kedua memiliki ciri-

ciri antara lain :

kurang berpendidikan ;

termasuk kategori kelas menengah ke bawah ;

tidak lancar berkomunikasi.

Konsumen jenis ini perlu dilindungi, dan khususnya menjadi tanggung jawab

Negara untuk memberikan perlindungan.

Selain ciri-ciri konsumen yang tidak terinformasikan, karena hal-hal khusus

dapat juga dimasukkan kelompok anak-anak, orang tua, dan orng asin (yang tidak

dapat berkomunikasi dengan bahasa setempat) sbagai konsumen yang wajib

dilindungi oleh negara. Informasi ini harus diberikan secara sama bagi semua

konsumen (tidak diskriminatif). Dalam perdagangan yang sangat mengandalkan

informasi, akses kepada infoasi yang tertutup misalnya dalam praktik insider

trading di bursa efek, dianggap sebagai bentuk kejahatan yang serius.

Penggunaan teknologi tinggi dalam mekanisme produksi barang dan/atau jasa

akan menyebabkan makin banyaknya infomasi yang harus dikuasai oleh

masyarakat konsumen. Di sisi lain mustahil mengharapkan sebagian besar

konsumen memiliki kemampuan dan akse informasi secara sama besarnya. Apa

yang dikenal dengan consumer ignorance, yaitu ketidakmampuan konsumen

menerima infomasi akibat kemajuan teknologi dan keragaman produk yang

dipasarkan dapat saja dimanfaatkan secara tidak sewajarnya oleh pelaku usaha.

Itulah sebabnya, hukum perlindungan konsumen memberikan hak konsumen atas

informasi yang benar, yang didalam nya tercakup juga hak atas infomasi dan

diberikan secara tidak diskriminatif.

c. Hak untuk Didengar

Hak yang erat kaitannya dengan hak untuk mendapatkan informasi adalah hak

untuk didengar. Ini disebabkan oleh informasi dari pihak yang berkepentingan

atau berkompeten erring tidak cukup memuaskan konsumen. Untuk itu konsumen

berhak mengajukan permitaan infomasi lebih lanjut.

Dalam tata karma dan tata cara periklanan Indonesia disebutkan, bila diminta

oleh konsumen, maka baik perusahaan periklanan, media, maupun pengiklan,

Page 24: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

harus bersedia memberikan penjelasan mengenai suatu iklan tertentu, Pengaturan

demikian, sekalipun masih berbentuk kode etik (self regulation) akan mengarah

kepada langkah positif menuju penghormatan hak konsumen untuk didengar.

Dalam pasal 44 UU No.32 Tahun 2002 tentang penyiaran dinyatakan lembaga

penyiaran wajib meralatisi siaran dan/atau berita. Penyanggah berita ini mungkin

adalah konsumen dari produk tertentu. Ralat atau pembetulan wajib dilakukan

dalam waktu selambat-lambatnya satu kali 24 jam berikutnya atau pada

kesempatan pertama pada ruang mata acara yang sama, dan dalam bentuk serta

cara yang sama dengan penyampaian isi siaran dan/atau berita yang disanggah.

Ketentuan dalam Undang-Undang penyiaran itu jelas-jelas menunjukkan hak

untuk didengar, yang dalam doctrin hukum dapat diidentikkan dengan hak untuk

membela diri.

d. Hak untuk Memilih

Dalam mengonsumsi suatu produk, konsumen berhak menentukan pilihannya. Ia

tidak boleh mendapat tekanan dari pihak luar sehingga ia tidak lagi bebas untuk

membeli atau tidak membeli. Seandainya ia jadi membeli, ia juga bebas

menentukan

produk mana yang akan dibeli.

Hak untuk memilih ini erat kaitannya dengan ituasi pasar. Jika seseorang atau

suatu golongan diberikan hak monopoli untuk memproduksi dan memasarkan

barang atau jasa, maka besar kemungkinan konsumen kehilangan hak untuk

memilih produk yang satu dengan produk lain.

Undang-Undang No.5 Tahun 1999 tentang Praktik Larangan Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat mengartikan monopoli sebagai penguasaan atas

produksi dan /atau pemasaran dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh salah

satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha. Dampak dari praktik

monopoli ini adalah adanya persaingan usaha tidak sehat (unfair competition)

yang merugikan jepentingan umum (konsumen).

Jika monopoli itu diberikan kepada perusahaan yang tidak berorientasi pada

kepentingan konsumen, akhirnya konsumen pasti didikte untuk mengonsumsi

barang atau jasa itu tanpa dapat berbuat lain. Dalam keadaan seperti itu, pelaku

usaha dapat secara sepihak mempermainkan mutu barang dan harga jual.

Page 25: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

Monopoli juga dapat timbul akibat perjanjian antar pelaku usaha yang bersifat

membatasi konsumen untuk memilih. Dalam dunia perdagangan dikenal apa yang

disebut market sharing agreements, quota agreement, price fixing agreements,

resale price maintenance, maintenance, dan sebagainya (dalam sejarah

perdagangan dikenal sejak 1870-an).

e. Hak untuk Mendapatkan Produk Barang dan/atau Jasa Sesuai dengan Nilai Tukar

yang Diberikan

Dengan hak ini berarti konsumen harus dilindungi dari permainan harga yang

tidak wajar. Dengan kata lain, kuantitas dan kualitas barang dan/atau jasa di

konsumsi harus sesuai dengan nilai uang yang dibayar sebagai penggantinya.

Namun, dalam ketakbebasan pasar, pelaku usaha dapat saja mendikte pasar

dengan menaikkan harga, dan konsumen menjadi korban dari ketiadaan pilihan.

Konsumen dihadapkan pada kondisi : take it or leave it. Jika setuju silakan beli,

jika tidak silakan mencari tempat yang lain (padahal di tempat lain pun pasar

sudah dikuasainya). Dalam situasi demikian, biasanya konsumen terpaksa mencari

produk alternatif (bila masih ada), yang boleh jadi kualitasnya malahan lebih

buruk.

Akibat tidak berimbangnya posisi tawar-menawar antara pelaku usaha dan

konsumen, maka pihak pertama dapat saja mambebankan biaya tertentu yang

sewajarnya tidak ditanggung konsumen. Pratik yang tidak terpuji ini lazim dikenal

dengan istilah externalities.

f. Hak untuk Mendapatkan Ganti Kerugian

Jika konsumen merasakan, kuantitas dan kualitas barang dan/atau yang

dikonsumsinya tidak sesuai dengan nilai tukar yang di berikannya, ia berhak

mendapatkan ganti rugi yang pantas. Jenis dan jumlah ganti rugi itu tentu saja

harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau atas kesepakatan masing-masing

pihak.

Untuk menghindar dari kewajiban memberikan ganti kerugian, sering terjadi

pelaku usaha mencantumkan klausul-klausul eksonerasi di dalam hubungan

hukum antara produsen/penyalur produk dan konsumennya. Klausul seperti

“barng yang dibeli tidak dapat dikembalikan” merupakan hal yanglazim

Page 26: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

ditemukan pada toko-toko. Pencantuman secara sepihak demikian tetap tidak

dapat menghilangkan hak konsumen untuk mendapatkan ganti kerugian.

Dalam uraian tentang hak untuk didengar dikatakan, Undang-Undang No.32

Tahun 2002 tentang penyiaran mewajibkan lembaga penyiaran wajib

mencantumkan ralat isi siaran dan/atau berita yang disanggah pihak lain. Jika

penyanggah isi siaran itu konsumen, walaupun ralat dimuat, hak konsumen tidak

berarti dengan sendirinya hilang. Lembaga penyiaran tidak terbebas dari tanggung

jawab atas tuntutan hukum yang tuntutan hukum yang diajukan oleh pihak yang

merasa dirugikan.

g. Hak untuk Mendapatkan Penyelesaian Hukum

Hak untuk mendapatkan ganti kerugian harus ditempatkan lebih tinggi daripada

hak pelaku usaha (produsen/penyalur produk) untuk membuat klausul eksonerasi

secara sepihak. Jika permintaan yang diajukan konsumen dirasakan tidak

mendapat tanggapan yang layak dari pihak-pihak terkait dalam hubungan hukum

dengannya,maka konsumen berhak mendapatkan penyelesaian hukum, termasuk

advokasi. Dengan kata lain, konsumen berhak menuntut pertanggungjawaban

hukum dari pihak-pihak yang dipandang merugikan karena mengonsumsi produk

itu.

Hak untuk mndapatkan penyelesaian hukum ini sebenarnya meliputi juga hak

untuk mendapatkan ganti kerugaian, tetapi kedua hak tersebut tidak berarti

identik. Untuk memperoleh ganti kerugian, konsumen tidak selalu harus

menempuh upaya hukum terlebih dahulu. Sebaliknya, setiap upaya hukum pada

hakikatnya berisikan tuntutan memperoleh ganti kerugian oleh salah satu pihak.

Tentu ada beberapa karateristik tuntutan yang tidak memperbolehkan tuntutan

ganti kerugian ini, seperti dalam upaya legal stnding LSM yang dibuka

kemungkinannya dalam Pasal 46 ayat (1) Huruf c UUPK.

h. Hak untuk Mendapatkan Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat

Hak konsumen atas lingkungan yang baik dan sehat merupakan hak yang diterima

sebagai salah satu hak dasar konsumen oleh berbagai organisasi konsumen di

dunia. Lingkungan hidup yang baik dan sehat berate sangat luas, dan setiap

makhluk hidup adalah konsumen atas lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup

meliputi lingkungan hidup dalam arti fisik dan lingkungan nonfisik.

Page 27: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

Dalam pasal 22 Undang-undang No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan dan

pasal 5 ayat (1) UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,

hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat ini diyatakan dengan

tegas.

Desakan pemenuhan hak konsumen atas lingkungan hidup yang baik dan sehat

makin mengemuka akhir-akhir ini. Misalnya munculnya gerakan konsumerisme

hijau (green consumerism) yang sangat peduli pada kelestarian lingkungan.

Sementara itu, mulai tahun 2000 semua perusahaan yang berkaitan dengan hasil

hutan, baru dapat menjual produknya di Negara-negara yang bergabung dalam

The International Tropical Timber Organazation (ITTO), jika telah memperoleh

ecolabeling certificate.Ketentuan demikian sangat penting artinya, khususnya bagi

produsen hasil hutan tropis, seperti Indonesia, karena praktis pangsa pasar

terbesarnya adalah Negara-negara anggota ITTO. Untuk itu lembaga Ekolabeling

Indonesia (LEI) pada tahun 1998 mulai melakukan audit atas sejumlah perusahaan

perkayuan Indonesia agar dapat diberkan sertifikat ekolabeling yang disebut SNI

5000.

i. Hak untuk Dilindungi dari Akibat Negatif Persaingan Curang

Persaingan curang atau dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1999 disebut dengan

“persaingan usaha tidak sehat” dapat terjadi jika seorang pengusaha berusaha

menarik langganan atau klien pengusaha lain untuk memajukan usahanya atau

memperluas penjualan atau pemasrannya dengan menggunakan alat atau sarana

yang bertentangan dengan iktikad baik dankejujuran dalam pergaulan

perekonomian.

Contoh bentuk yang kerap terjadi dalam persaingan curang adalah permainan

harga (dumping). Satu produsen yang kuat mencoba mendesak produsen

saingannya yang lebih lemah dengan cara membanting harga produk. Tujuannya

untuk merebut pasar, dan produsen saingannya akan berhenti berproduksi. Pada

kesempatan berikutnya, dalam pasar yang monopolistic itulah harga kembali

dikendalikan oleh si produsen yang curng ini. Dalam posisi demikian, konsumen

pula yang dirugikan.

Hak konsumen untuk dihindari dari akibat negatif persaingan curng dapat

dikatakan sebagai upaya pre-emptive yang harus dilakukan, khususnya oleh

Page 28: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

pemerintah guna mencegah munculnya akibat-akibat langsung yang merugikan

konsumen.

Dalam Undang-undang No.5 tahun 1999 disebutkan adanya (1) perjanjian

dilarang, dan (2) kegiatan yang dilarang, antara lain dalam pasal 17 sampai

dengan pasal 24. termasuk dalam bentuk perjanjian yang dilarang adalah

oligopoli, penetapan harga, pembagian wilayah, pemboikotan, kartel, trust,

oligopsoni, integrasi vertical, perjanjian tertutup, dan perjanjian dengan pihak luar

negeri yang mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan tidak

sehat.

J. Hak untuk Mendapatkan Pendidikan Konsumen

Masalah perlindungan konsumen di Indonesia termasuk masalah yang baru. Oleh

karena itu, wajar bila masih banyak konsumen

(1) Pihak yang menghasilkan produk akhir berupa barang-barang manufaktur. Mereka

ini bertanggung jawab atas segala kerugian yang timbul dari barang yang mereka

edarkan ke masyarakat, termasuk bila kerugian timbul akibat cacatnya barang

yang merupakan komponen dalam proses produksinya;

(2) Produsen bahan mentah atau komponen suatu produk;

(3) Siapa saja, yang dengan membubuhkan nama, merek, ataupun tanda-tanda lain

pada produk menampakkan dirinya sebagai produsen dari suatu barang.

Selanjutnya Pasal 3 ayat (2) Directive menyebutkan bahwa: siapa pun yang

mengimpor suatu produk ke lingkungan EC adalah produsen. Ketentuan ini sengaja

dicantumkan untuk melindungi konsumen dari kemungkinan harus menggugat

produsen asing (yang pusat kegiatannya) di luar lingkungan EC. Ketentuan ini

mengharuskan importir yang mengimpor barang dari eksportir negara ketiga

mendapatkan jaminan melalui suatu perjanjian yang menyatakan bahwa pihak

eksportir bertanggung jawab sepenuhnya atas barang yang dimasukkan EC. Lebih

lanjut lagi, pedagang/penyalur yang mengedarkan barang yang tidak jelas identitas

produsennya, bertanggung jawab atas barang tersebut. Demikian pula tanggung jawab

penyalur/pedagang ini timbul atas barang yang diimpor dari negara ketiga, tapi tidak

jelas importimya.

Page 29: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

Sebagian besar negara anggota EC telah meratifikasi Konvensi tentang

Jurisdiksi, sehingga berdasar Pasal 5 ayat (3) konvensi ini, gugatan atas produk

liability dapat diajukan ke pengadilan yang jurisdiksinya meliputi tempat timbulnya

kerugian.

Hak-hak produsen dapat ditemukan antara lain pada faktor-faktor yang

membebaskan produsen dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh

konsumen, meskipun kerusakan timbul akibat cacat pada produk, yaitu apabila:

1) produk tersebut sebenarnya tidak diedarkan;

2) cacat timbul di kemudian hari;

3) cacat timbul setelah produk berada di luar kontrol produsen;

4) barang yang diproduksi secara individual tidak untuk keperluan produksi;

5) cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan yang ditetapkan oleh penguasa.

Di Amerika Serikat, faktor-faktor yang membebaskan produsen dari tanggung

jawab atas kerugian yang diderita oleh konsumen meliputi:

1) kelalaian si konsumen penderita;

2) penyalahgunaan produk yang, tidak terduga pada saat produk dibuat

(unforseeable misuse);

3) lewatnya jangka waktu penuntutan (daluarsa), yaitu 6 (enam) tahun setelah

pembelian, atau 10 tahun sejak barang diproduksi;

4) produk pesanan pemerintah pusat (federal);

5) kerugian yang timbul (sebagian) akibat kelalaian yang dilakukan oleh

produsen lain dalam kerja sama produksi (di beberapa negara bagian yang

mengakui joint and several liability).

Dalam Pasal 6 UU No. 8 Tahun 1999 Produsen disebut sebagai pelaku usaha yang

mempunyai hak sebagai berikut:

a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai

kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang

beriktikad tidak baik;

c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian

hukum sengketa konsumen;

Page 30: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa

kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Adapun dalam Pasal 7 diatur kewajiban pelaku usaha, sebagai berikut:

a. beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan

jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan,

perbaikan, dan pemeliharaan;

c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak

diskriniinatif,

d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa

yang berlaku;

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba

barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas

barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat

penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang

diperdagangkan;

g. memberi kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/ jasa

yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Dalam UUPK pelaku usaha diwajibkan beriktikad baik dalam melakukan kegiatan

usahanya, sedangkan bagi konsumen diwajibkan beriktikad baik dalam melakukan

transaksi pembelian barang dan/atau jasa.

Dalam UUPK tampak bahwa iktikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha,

karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat

diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beriktikad baik dimulai sejak barang

dirancang/diproduksi sampai pada tahap puma penjualan, sebaliknya konsumen hanya

diwajibkan beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa. Hal ini tentu saja disebabkan oleh kemungkinan terjadinya kerugian bagi

konsumen dimulai sejak barang dirancang/diproduksi oleh produsen (pelaku usaha),

Page 31: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

sedangkan bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada

saat melakukan transaksi dengan produsen)

Tentang kewajiban kedua pelaku usaha yaitu memberikan informasi yang benar,

jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi

penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan, disebabkan karena informasi di

samping merupakan hak konsumen, juga karena ketiadaan informasi yang tidak

memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat informasi),

yang akan sangat merugikan konsumen.

Pentingnya penyampaian informasi yang benar terhadap konsumen mengenai

suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk

tertentu. Penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut dapat berupa

representasi, peringatan, maupun yang berupa instruksi.

Diperlukan representasi yang benar terhadap suatu produk, karena salah satu

penyebab terjadinya kerugian terhadap konsumen adalah terjadinya misrepresentasi

terhadap produk tertentu. Kerugian yang dialami oleh konsumen di Indonesia dalam

kaitannya dengan misrepresentasi banyak disebabkan karena tergiur oleh iklan-iklan

atau brosur-brosur produk tertentu, sedangkan Man atau brosur tersebut tidak

selamanya memuat informasi yang benar karena pada umumnya hanya menonjolkan

kelebihan produk

Peringatan ini sama pentingnya dengan instruksi penggunaan suatu produk yang

merupakan informasi bagi konsumen, walaupun keduanya memiliki fungsi yang

berbeda yaitu instruksi terutama telah diperhitungkan untuk menjamin efisiensi

penggunaan produk, sedangkan peringatan dirancang untuk menjamin keamanan

penggunaan produk. Peringatan yang merupakan bagian dari pemberian informasi

kepada konsumen ini merupakan pelengkap dari proses produksi. Peringatan yang

diberikan kepada konsumen ini memegang peranan penting dalam kaftan dengan

keamanan suatu produk. Dengan demikian pabrikan (produsen pembuat wajib

menyampaikan peringatan kepada konsumen). Hal ini berarti bahwa tugas produsen

pembuat tersebut tidak berakhir hanya dengan nienempatkan suatu produk dalam

sirkulasi. Produk yang dibawa ke pasar tanpa petunjuk cars pemakaian dan peringatan

atau petunjuk dan peringatan yang sangat kurang/tidak memadai menyebabkan suatu

produk dikategorikan sebagai produk yang cacat instruksi. Hal ini berlaku bagi

peringatan sederhana, misalnya "simpan di luar jangkauan anak-anak" dan berlaku

pula terhadap peringatan mengenai efek samping setelah pemakaian suatu produk

Page 32: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

tertentu. Peringatan demikian maupun petunjuk-petunjuk pemakaian harus

disesuaikan dengan sifat produk dan kelompok pemakai.

Selain peringatan, instruksi yang ditujukan untuk menjamin efisiensi penggunaan

produk juga penting untuk mencegah timbulnya kerugian bagi konsumen.

Pencantuman informasi bagi konsumen yang berupa instruksi atau petunjuk prosedur

pemakaian suatu produk merupakan kewajiban bagi produsen agar produknya tidak

dianggap cacat (karena ketiadaan informasi atau informasi yang tidak memadai).

Sebaliknya, konsumen berkewajiban untuk membaca, atau mengikuti petunjuk

informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi

keamanan dan keselarnatan.

Daftar Pertanyaan

1. Apakah terdapat perbedaan konsumen antara dan konsumen akhir? Jelaskan

disertai contoh!

2. Sebut dan jelaskan secara singkat unsur-unsur definisi konsumen!

3. Mengapa tingkat pendidikan konsumen menjadi sangat berpengaruh pada

penyampaian informasi, dan siapa yang paling berhak untuk dilindungi, konsumen

yang terinformasi atau konsumen yang tidak terinformasi? Jelaskan disertai

contoh!

4. Apa yang menjadi alasan sehingga lingkungan hidup yang baik dan sehat juga

mendapat perhatian dan merupakan hak konsumen untuk mendapatkannya,

jelaskan secara singkat!

5. Mengapa pengusaha dalam Pasal 7 UU No. 8 Tahun 1999 diwajibkan untuk

beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya?

Page 33: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

BAB 3

PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAMPERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN

A. PENDAHULUAN

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 memiliki ketentuan yang menyatakan bahwa

kesemua undang-undang yang ada dan berkaitan dengan perlindungan konsumen

tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan atau telah diatur khusus oleh undang-

undang. Oleh karena itu, tidak dapat lain haruslah dipelajari juga peraturan

perundang-undangan tentang konsumen dan/atau perlindungan konsumen ini dalam

kaidah-kaidah hukum peraturan perundang-undangan umum yang mungkin atau dapat

mengatur dan/atau melindungi hubungan dan/atau masalah konsumen dengan

penyedia barang atau jasa. Sebagai akibat dari penggunaan peraturan perundang-

undangan umum ini, dengan sendirinya berlaku pulalah asas-asas hukum yang

terkandung di dalamnya pada berbagai pengaturan dan/atau perlindungan konsumen

tersebut. Padahal, nanti akan nyata, di antara asas hukum tersebut tidak cocok untuk

memenuhi fungsi pengaturan dan/atau perlindungan pada konsumen, tanpa setidak-

tidaknya dilengkapi/diadakan pembatasan berlakunya asas-asas hukum tertentu itu.

Pembatasan dimaksudkan dengan tujuan "menyeimbangkan kedudukan" di antara

para pihak pelaku usaha dan/atau konsumen bersangkutan.

Yang dimaksudkan dengan peraturan perundang-undangan umum adalah

semua peraturan perundangan tertulis yang diterbitkan oleh badan-badan yang

berwenang untuk itu, baik di pusat maupun di daerah-daerah. Peraturan perundang-

undangan itu antara lain adalah (di Pusat) Undang-Undang Dasar 1945, Undang-

Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Peraturan Presiden, dan seterusnya, dan (di daerah-daerah) Peraturan Daerah

(Peraturan Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota serta peraturan Desa dan

Page 34: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

sebagainya). Purnadi2) dalam bukunya menyebut perundang-undangan umum ini

sebagai undang-undang dalam arti materiil.

Az. Nasution menjelaskan3) konsekuensi dari upaya menyusun rancangan

undang-undang tentang perlindungan konsumen yang sekarang sudah diberlakukan

dapat disebut sebagai membangun tata hukum konsumen secara tersendiri yang

berada dalam Sistem Hukum Indonesia. Sungguh ini pekedaan yang bukan sederhana

sebagai contoh dapat dikemukakan sebagai berikut.

Pertama, apabila kits mengkaji peraturan yang berkaitan dengan masalah

standar, seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan, Menteri Perin-

dustrian dan Perdagangan dan berbagai Menteri lain, dapat dikatakan bahwa standar

yang ditetapkan itu selain dimaksud untuk memberi perlindungan kepada konsumen

juga melindungi konsumen yang berstatus pengusaha, ataupun masyarakat umum

lainnya. Demikian pula pengaturan mengenai ukuran, timbangan, takaran atau

ketentuan mengenai label, ketentuan daluwarsa, dan sebagainya.

Kedua, ketentuan dalam hukum pidana yang berkaitan dengan penipuan,

pemalsuan, penjualan barang dapat membahayakan jiwa manusia (Pasal 383, 263,

202, 382, 383). Ketentuan ini termasuk sebagai delik pidana, yaitu perbuatan yang

bersifat melawan hukum yang dilarang dan diancam dengan pidana. Ketentuan ini

termasuk pula melindungi konsumen, namun juga melindungi masyarakat pada

umumnya.

Ketiga, ketentuan dalam hukum perdata yang berkaitan dengan perikatan

(Pasal 1233, 1234, 1313, 1351) mengatur hubungan perjanjian pars pihak baik yang

berstatus konsumen maupun status pengusaha sebagai produsen barang atau jasa.

Keempat, Ketentuan tentang bidang peradilan, Undang-Undang No. 4 Tahun

2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur mengenai peradilan umum yang

disebut Pengadilan Negeri. Pengadilan ini selanjutnya merupakan lembaga peradilan

yang mengadili perkara pidana dan perdata yang bagi perkara yang menyangkut

masyarakat umum termasuk konsumen.

Dari keempat catatan tersebut, ada upaya membangun tata hukum yang

diperuntukkan bagi konsumen Indonesia dalam sistem Hukum Indonesia yang sudah

berlaku dewasa ini.

Alasan yang dapat dikemukakan untuk menerbitkan peraturan perundang-

undangan yang secara khusus mengatur dan melindungi kepentingan konsumen dapat

disebutkan sebagai berikut.

Page 35: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

a. Konsumen memerlukan pengaturan tersendiri, karena dalam suatu hubungan

hukum dengan penjual, konsumen merupakan pengguna barang dan jasa untuk

kepentingan diri sendiri dan tidak untuk diproduksi ataupun diperdagangkan.

b. Konsumen memerlukan sarana atau acara hukum tersendiri sebagai upaya

guns melindungi atau memperoleh haknya.

B. SUMBER-SUMBER HUKUM KONSUMEN

Di samping Undang-Undang Perlindungan Konsumen, hukum konsumen

"ditemukan" di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sebelumnya, telah diuraikan bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen berlaku

setahun sejak disahkannya (tanggal 20 April 2000). Dengan demikian dan ditambah

dengan ketentuan Pasal 64 (Ketentuan Peralihan) undang-undang ini, berarti untuk

"membela" kepentingan konsumen, masih harus dipelajari semua peraturan

perundang-undangan umum yang berlaku. Tetapi peraturan perundangundangan

umum yang berlaku memuat juga berbagai kaidah menyangkut hubungan dan

masalah konsumen. Sekalipun peraturan perundang-undangan itu tidak khusus

diterbitkan untuk konsumen atau perlindungan konsumen, setidaktidaknya is

merupakan cumber juga dari hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan

konsumen. Beberapa di antaranya akan diuraikan berikut ini.1)

1. Undang-Undang Dasar dan Ketetapan MPR

Hukum Konsumen, terutama Hukum Perlindungan Konsumen mendapatkan landasan

hukumnya pada Undang-Undang Dasar 1945, Pembukaan, Alinea ke-4 berbunyi:

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang

melindungi segenap bangsa Indonesia.

Umumnya, sampai saat ini orang bertumpu pada kata "segenap bangsa"

sehingga ia diambil sebagai asas tentang persatuan seluruh bangsa Indonesia (asas

persatuan bangsa). Akan tetapi, di samping itu, dari kata "melindungi" menurut Az.

Nasution di dalamnya terkandung pula asas perlindungan (hukum) pada segenap

bangsa tersebut. Perlindungan hukum pada segenap bangsa itu tentulah bagi segenap

bangsa tanpa kecuali. Baik ia laki-laki atau perempuan, orang kaya atau orang miskin,

Page 36: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

orang kota atau orang desa, orang asli atau keturunan dan pengusaha/pelaku usaha

atau konsumen.

Landasan hukum lainnya terdapat pada ketentuan termuat dalam Pasal 27 ayat

(2) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Ketentuan tersebut berbunyi:

Tiap warga Negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Sesungguhnya, apabila kehidupan seseorang terganggu atau diganggu oleh

pihak/pihak lain, maka alai-alai negara akan turun Langan, baik diminta atau tidak,

untuk melindungi dan atau mencegah terjadinya gangguan tersebut. Penghidupan

yang layak, apalagi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan merupakan hak dari

warga negara dan hak semua orang. la merupakan hak dasar bagi rakyat secara

menyeluruh.

Penjelasan autentik Pasal 27 ayat (2) ini berbunyi:

Telah jelas, pasal-pasal ini mengenal hak-hak warga negara.

Selanjutnya, untuk melaksanakan perintah UUD 1945 melindungi segenap

bangsa, dalam hal ini khususnya melindungi konsumen, Majelis Permusyawaratan

Rakyat (MPR) telah menetapkan berbagai ketetapan MPR, khususnya sejak tahun

1978. Dengan ketetapan terakhir Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1993 (TAP-

MPR) makin jelas kehendak rakyat atau adanya perlindungan konsumen, sekalipun

dengan kualifikasi yang berbeda-beda pada masing-masing ketetapan.

Kalau pada TAP-MPR 1978 digunakan istilah "menguntungkan" konsumen,

TAP-MPR 1988 "menjamin" kepentingan konsumen, maka pada tahun 1993

digunakan istilah "melindungi kepentingan konsumen". Sayangnya, dalam masing-

masing TAP-MPR tersebut tidak terdapat penjelasan tentang apa yang dimaksud

dengan menguntungkan, menjamin atau melindungi kepentingan konsumen tersebut.

Salah satu yang menarik dari TAP-MPR 1993 ini adalah disusunnya dalam

satu napas, dalam satu baris kalimat, tentang kaftan produsen dan konsumen. Susunan

kalimat tersebut berbunyi:

“…………. meningkatkan pendapatan produsen dan melindungi kepentingan

konsumen".

Dengan susunan kalimat demikian, terlihat lebih jelas arahan Majelis

Permusyawaratan Rakyat tentang kekhususan kepentingan produsen (dan semua

pihak yang dipersamakan dengannya) dan kepentingan konsumen.

Page 37: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

Sifat kepentingan khas produsen (lebih tepat pelaku usaha atau pengusaha)

telah ditunjukkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sebelumnya, telah

diterangkan bahwa pengusaha dalam menjalankan kegiatan memproduksi atau

berdagang menggunakan barang atau jasa sebagai bahan baku, bahan tambahan,

bahan penolong, atau bahan pelengkap. Kepentingan mereka dalam menggunakan

barang atau jasa adalah untuk kegiatan usaha memproduksi dan/atau berdagang itu,

adalah untuk meningkatkan pendapatan atau penghasilan mereka (tujuan komersial).

Adapun bagi konsumen akhir, sebagai pribadi penggunaan barang dan/jasa itu

adalah untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya

(kepentingan nonkomersial). Nilai barang atau jasa yang digunakan konsumen dalam

memenuhi kebutuhan hidup mereka tidak diukur atas dasar untung rugi secara

ekonomis belaka, tetapi semata-mata untuk memenuhi kebutuhan raga dan jiwa

konsumen. Oleh karena itu, nyata bahwa konsumen tidak sematamata menggunakan

ukuran-ukuran komersial sebagaimana yang menjadi ukuran pelaku usaha dalam

penggunaan barang dan/atau jasa yang mereka konsumsi.

Kepentingan peningkatan pendapatan atau penghasilan pelaku usaha adalah

dalam rangka pelaksanaan kegiatan usaha mereka. Dalam hubungannya dengan pars

konsumen, kegiatan usaha pengusaha adalah dalam rangka memproduksi,

menawarkan, dan/atau mengedarkan produk hasil usaha mereka. Perlindungan hukum

yang mereka perlukan adalah agar penghasilan dalam berusaha dapat meningkat,

tidak merosot atau bahkan hilang sama sekah baik karena:

a. Terdapat kelemahan dalam menjalankan usaha tertentu atau tidak efisien

dalam menjalankan manajemen usaha (perlu ketentuan-ketentuan tentang

pembinaan) atau

b. Adanya praktik-praktik niaga tertentu yang menghambat atau menyingkirkan

pars pengusaha dari pasar, seperti praktik persaingan melawan hukum,

penguasaan pasar yang dominan, dan lain-lain (memerlukan ketentuan-

ketentuan pengawasan).

Kepentingan konsumen dalam kaftan dengan penggunaan barang dan/atau

jasa, adalah agar barang/jasa konsumen yang mereka peroleh, bermanfaat bagi

kesehatan/keselamatan tubuh, keamanan jiwa dan harta benda, diri, keluarga dan/atau

rumah tangganya (tidak membahayakan atau merugikan mereka). Jadi, yang menonjol

Page 38: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

dalam perlindungan kepentingan konsumen ini adalah perlindungan pada jiwa,

kesehatan, harta dan/atau kepentingan kekeluargaan konsumen.

Perbedaan prinsipil dari kepentingan-kepentingan dalam penggunaan barang/

jasa dan pelaksanaan kegiatan antara pelaku usaha dan konsumen dengan sendirinya

memerlukan jenis pengaturan perlindungan dan dukungan yang berbeda pula.

Bagi kalangan pelaku usaha perlindungan itu adalah untuk kepentingan

komersial mereka dalam menjalankan kegiatan usaha, seperti bagaimana

mendapatkan bahan bake, bahan tambahan dan penolong, bagaimana

memproduksinya, mengangkutnya dan memasarkannya, termasuk di dalamnya

bagaimana menghadapi persaingan usaha. Haruslah ada peraturan perundang-

undangan yang mengatur tentang usaha dan mekanisme persaingan itu. Persaingan

haruslah berjalan secara wajar dan tidak terjadi kecurangan-kecurangan yang

mengakibatkan kalangan pelaku usaha tidak saja tidak meningkat pendapatannya,

bahkan coati usahanya.

Sekalipun diakui bahwa persaingan merupakan suatu yang biasa dalam dunia

usaha, tetapi persaingan antarkalangan usaha itu haruslah sehat dan terkendali.

Bagi konsumen, kepentingan nonkomersial mereka yang harus diperhatikan

adalah akibat-akibat kegiatan usaha dan persaingan di kalangan pelaku usaha terhadap

jiwa, tubuh atau harta benda mereka. Dalam keadaan bagaimanapun, tetap harus

dijaga keseimbangan, keselarasan, dan keserasian di antara keduanya.

Oleh karena itu, dalam penyusunan peraturan perundang-undangan haruslah

jelas siapa yang dimaksudkan dengan pelaku usaha dan siapa pula konsumen, spa

hak-hak dan/atau kewajiban yang sesuai kepentingan masing-masing pihak.

Pencampuradukan keduanya, seperti pemikiran sementara orang pada saat ini, lebih

banyak menimbulkan kerancuan dan kesulitan daripada kemanfaatan.

Pelaku usaha adalah pelaku usaha, dan konsumen adalah konsumen, haruslah

diciptakan keadaan yang seimbang, serasi, dan selaras dalam kehidupan di antara

keduanya.

2. Hukum Konsumen dalam Hukum Perdata

Dengan hukum perdata dimaksudkan hukum perdata dalam arti lugs, termasuk hukum

perdata, hukum dagang serta kaidah-kaidah keperdataan yang termuat dalam berbagai

peraturan perundang-undangan lainnya. Kesemuanya itu baik hukum perdata tertulis

maupun hukum perdata tidak tertulis (hukum adat).

Page 39: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

Kaidah-kaidah hukum perdata umumnya termuat dalam Kitab UndangUndang

Hukum Perdata (KUH Perdata). Di samping itu, tentu saja jugs kaidahkaidah hukum

perdata adat, yang tidak tertulis tetapi ditunjuk oleh pengadilan dalam perkara-perkara

tertentu. Patut kiranya diperhatikan kenyataan yang ada dalam pemberlakuan berbagai

kaidah hukum perdata tersebut.

Pada tahun 1963, Mahkamah Agung menganggap Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (13W) tidak'sebagai undang-undang tetapi sebagai dokumen yang

hanya menggambarkan suatu kelompok hukum tidak tertulis. Selanjutnya

menganggap tidak berlaku beberapa pasal dari KUH Perdata. Akan tetapi, untuk

selebihnya dalam pengalaman di pengadilan sepanjang kemerdekaan sampai waktu

ini, KUH Perdata bahkan tampak seperti lebih dominan berlakunya dibandingkan

dengan kaidah-kaidah hukum adat atau kaidah-kaidah hukum tidak tertulis dan

putusan-putusan pengadilan negeri maupun pengadilan-pengadilan luar negeri yang

berkaitan. KUH Perdata memuat berbagai kaidah hukum berkaitan dengan hubungan

hukum dan masalah antarpelaku usaha penyedia barang dan/atau jasa dan konsumen

pengguna barang-barang atau jasa tersebut. Terutama buku kedua, buku ketiga, dan

buku keempat memuat berbagai kaidah hukum yang mengatur hubungan konsumen

dan penyedia barang atau jasa konsumen tersebut. Begitu pula dalam KURD, baik

buku pertama, maupun buku kedua, mengatur tentang hak-hak dan kewajiban yang

terbit dari, khususnya (jasa) perasuransian dan pelayaran.

Hubungan hukum perdata dan masalahnya dalam lingkungan berlaku Hukum

Adat, sekalipun sudah amat berkurang, masih tampak hidup dan terlihat dalam

berbagai putusan pengadilan. Beberapa putusan pengadilan tentang masalah

keperdataan berkaitan dengan perlindungan konsumen masih terlihat. Adapun

hubungan-hubungan hukum atau masalah antara penyedia barang atau jasa dan

konsumen dari berbagai negara yang berbeda, atau tidak bersamaan hukum yang

berlaku bagi mereka, dapat diberlakukan Hukum Internasional dan asasasas hukum

internasional, khususnya Hukum Perdata Internasional, memuat pula berbagai

ketentuan hukum perdata bagi konsumen.

Akan tetapi di samping itu, dalam berbagai peraturan perundang-undangan

lain, tampaknya termuat puts kaidah-kaidah hukum yang mempengaruhi dan/ atau

termasuk dalam bidang hukum perdata. Antara lain tentang siapa yang dimaksudkan

sebagai subjek hukum dalam suatu hubungan hukum konsumen, hak-hak dan

kewajiban masing-masing, Berta tats cars penyelesaian masalah yang ter adi dalam

Page 40: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

Sengketa antara konsumen dan penyedia barang dan/atau penyelenggara jasa yang

diatur dalam peraturan perundang-undangan bersangkutan.

Beberapa di antaranya (yang terbaru) adalah Undang-Undang tentang

Metrologi Legal (Undang-Undang No. 2 Tahun 1981), Undang-Undang tentang

Lingkungan Hidup (Undang-Undang No. 4 Tahun 1982), Undang-Undang tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers (Undang-Undang No. 21 Tahun 1982), Undang-

Undang tentang Perindustrian (Undang-Undang No. 5 Tahun 1984), Undang-Undang

tentang Rumah Susun (Undang-Undang No. 16 Tahun 1985), Undang-Undang

tentang Lalu Lintas danAngkutan Jalan (Undang-Undang No. 14 Tahun 1992),

Undang-Undang tentang Kesehatan ( Undang-Undang No. 23 Tahun 1992), Undang-

Undang tentang Pangan ( Undang-Undang No. 7 Tahun 1996), dan terakhir Undang-

Undang Perlindungan Konsumen (UndangUndang No. 8 Tahun 1999; Lembaran

Negara Tahun 1999 No. 42).

Jadi, kalau dirangkum keseluruhanriya, terlihat bahwa kaidah-kaidah hukum

yang mengatur hubungan dan masalah hukum antara pelaku usaha penyedia barang

dan/atau penyelenggara jasa dengan konsumennya masing-masing terlihat termuat

dalam:

KUH Perdata, terutama dalam buku kedua, ketiga, dan keempat;

KURD, Buku Kesatu dan Buku Kedua;

Berbagai peraturan perundang-undangan lain yang memuat kaidah-kaidah hukum

bersifat perdata tentang subjek-subjek hukum, hubungan hukum dan masalah

antara penyedia barang atau penyelenggara jasa tertentu dan konsumen.

Perbuatan Melawan Hukum (Pasal 1365 KUH Perdata) Dalam Sengketa Antara

Konsumen dan Pelaku Usaha

Perbuatan melawan hukum di Indonesia secara normatif selalu merujuk pada

ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata. Rumusan norma dalam pasal ini unik tidak

seperti ketentuan pasal lainnya. Perumusan norma Pasal 1365 KUH Perdata lebih

merupakan struktur norma daripada substansi ketentuan hukum yang sudah lengkap.

Oleh karena itu, substansi ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata senantiasa memerlukan

materialisasi di luar KUH Perdata. Dilihat dari dimensi waktu, ketentuan ini akan

"abadi" karena hanya merupakan struktur. Dengan kata lain, seperti kiasan yang sudah

kits kenal bahwa Pasal 1365 KUH Perdata ini "Tak lekang kena pangs, tak lapuk kena

Page 41: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

hujan". Perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) sama dengan perbuatan

melawan undang-undang (on wetmatigedaad).

Perbuatan Melawan Hukum Indonesia yang berasal dari Eropa Kontinental

diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1380 KUH Perdata.

Pasal-pasal tersebut mengatur bentuk tanggung jawab atas Perbuatan Melawan

Hukum yang terbagi atas:

Pertama, tanggung jawab tidak hanya karena perbuatan melawan hukum yang

dilakukan diri sendiri tetapi juga berkenaan dengan perbuatan melawan hukum orang

lain dan barang-barang di bawah pengawasannya.

Pasal 1367 ayat (1) KUH Perdata menyatakan:

Seseorang tidak hanya bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan

karena perbuatannya sendiri tetapi juga disebabkan karena perbuatan orang-

orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh barang-barang

yang berada di bawah pengawasannya.

Kedua, Perbuatan Melawan Hukum terhadap tubuh dan jiwa manusia. Pasal

1370 KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal tedadi pembunuhan dengan sengaja

atau kelalaiannya maka suami atau istri, anak, orang tug korban yang lazimnya

mendapat nafkah dari pekerjaan korban, berhak untuk menuntut ganti rugi yang harus

dinilai menurut keadaan dan kekayaan kedua belah pihak.

Ketiga, Perbuatan Melawan Hukum terhadap nama baik. Masalah penghinaan

diatur dalam Pasal 1372 sampai dengan Pasal 1380 KUH Perdata. Pasal 1372

menyatakan bahwa tuntutan terhadap penghinaan adalah bertujuan untuk mendapat

ganti rugi dan pemulihan nama baik, sesuai dengan kedudukan dan keadaan pars

pihak.

Beberapa tuntutan yang dapat diajukan karena perbuatan melawan hukum

ialah:

1. ganti rugi dalam bentuk uang atas kerugian yang ditimbulkan;

2. ganti rugi dalam bentuk natura atau dikembalikan dalam keadaan semula;

3. pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah melawan hukum;

4. melarang dilakukannya perbuatan tertentu.

Penerapan Pasal 1365 KUH Perdata mengalami perubahan melalui putusan

pengadilan dan undang-undang. Berbagai undang-undang telah secara khusus

Page 42: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

mengatur tentang gaud rugi karena perbuatan melawan hukum, misalnya undang-

undang tentang perlindungan konsumen. Sebelum undang-undang tersebut lahir,

gugatan yang berkenaan dengan ganti rugi berkaitan dengan materi yang kemudian

diatur dalam undang-undang tersebut didasarkan pada Pasal 1365 KUH Perdata.

Namun dengan lahirnya undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai

tuntutan ganti kerugian maka telah terjadi perubahan dalam penerapan Pasal 1365

KUH Perdata.

Perkara berikut ini menunjukkan perubahan penerapan Pasal 1365 KUH

Perdata dalam, hubungan dengan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha,

perkara bermula dari pembelian mobil jenis BMW 318i yang dilakukan oleh

Penggugat, menurut Tergugat salah sate kecanggihan mobil BMW adalah sistem

elektroniknya akan memberi keamanan dan kenyamanan, dan kunci elektroniknya

tidak mungkin dipalsukan.

Pada suatu hari penggugat pergi mengantarkan istri penggugat untuk mengurut

kakinya ke suatu tempat dengan mengendarai mobil BMW. Sesampainya di rumah,

penggugat tidak bisa menahan buang air kecil karena menderita suatu penyakit

sehingga terburu-buru masuk ke toilet yang terletak di dalam rumah sambil menutup

pintu mobil yang menggunakan remote control. Sebagaimana yang wring dilakukan

oleh penggugat ketika mengendarai jenis mobil yang lainnya karena sekalipun dikunci

dari luar, penumpang yang masih berada di dalam mobil tetap bisa keluar dari mobil

dengan cara membuka pintu dari dalam.

Karena kondisi kaki istri penggugat masih terasa nyeri maka tidak bisa keluar

mobil bersamaan dengan penggugat dan ketika hendak keluar, istri penggugat lalu

membuka pintu mobil dari dalam namun tidak berhasil sehingga merasa ketakutan

karena terperangkap di dalam mobil. Istri penggugat langsung menekan tombol

klakson mobil BMW untuk mints pertolongan, tetapi klakson tidak berfungsi karena

seluruh sistem elektroniknya coati, lalu ia berusaha mencopot panel yang ada di

dalam mobil namun tidak berhasil memecahkannya. Akhimya, istri penggugat

berteriak sekeras-kerasnya dengan harapan ada yang mendengarkan dan bisa

membantu keluar dari mobil. Harapan istri penggugat temyata jugs sic-sic karena

tidak seorang pun mendengarkan teriakannya karena ia berada dalam ruangan kedap

suara (dalam mobil BMW yang terkunci) sehingga pada saat itu kondisi istri

penggugat sangat lemah dan mengenaskan akibat banyaknya mengeluarkan tenaga

serta kehabisan oksigen.

Page 43: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

Setelah empat puluh menit berjuang akhirnya istri penggugat berhasil

meretakkan kaca mobil dengan sebuah bends yang berhasil ditemukan di dalam mobil

BMW. Tanga pikir panjang istri penggugat merobek kaca mobil yang sudah retak

dengan tangannya dan berhasil membentuk lubang angin, tanpa disadari tangan istri

penggugat terluka dan berlumuran darah. Setelah itu barulah ia dapat menghirup

udara segar yang masuk dari lubang kaca mobil. Istri penggugat kembali berteriak

untuk meminta tolong yang temyata dapat didengar oleh penggugat yang sebelumnya

beranggapan bahwa istri penggugat sudah masuk ke dalam rumah. Akhimya jiwa istri

penggugat dapat diselamatkan meskipun dalam keadaan yang sangat menyedihkan.

Berdasarkan kejadian tersebut, penggugat menggugat BMW AG yang

berkedudukan di Jerman sebagai Tergugat I, BMW Group Indonesia sebagai tergugat

II dan PT Astrea International Tbk sebagai tergugat III dengan dalil Perbuatan

Melawan Hukum. Menurut penggugat, tindakan Tergugat I dan Tergugat II

memproduksi mobil BMW dengan menggunakan sistem double lock, serta tindakan

Tergugat III yang tidak memberikan informasi yang jelas tentang kondisi mobil serta

cara pemakaiannya kepada penggugat, sangat berakibat fatal, dan hampir merenggut

nyawa serta menimbulkan kerugian yang besar bagi penggugat, dan menurut

penggugat hal ini jelas merupakan perbuatan melawan hukum.

Lebih lanjut penggugat juga mendalilkan bahwa pars tergugat yang telah

memproduksi mobil BMW dengan sistem penguncian double lock tersebut juga telah

melanggar Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Menurut penggugat, sistem penguncian double lock yang diprodilksi tergugat I dan

tergugat 11 tidak menjamin keamanan dan keselamatan konsumen di dalam memakai

produk tersebut.

Tergugat dalam jawabannya mendalilkan bahwa karena penggugat telah

mengajukan tuntutan pelanggaran Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen di samping Perbuatan Melawan Hukum (Pasal 1365 KUH

Perdata) maka sesuai dengan asas hukum lex specialis derogat lex generalis dan asas

hukum lex posteriori derogat legi priori, hukum yang berlaku dalam perkara ini

adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui Putusan No. 385/

Pdt.G/2002/PN.Jkt.Pst berpendapat bahwa Pasal 1365 adalah suatu aturan

umum/generalis dalam hal mengajukan gugatan terhadap suatu Perbuatan Melawan

Hukum yang dilakukan oleh tergugat sedangkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999

Page 44: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

tentang Perlindungan Konsumen adalah merupakan suatu aturan khusus yang

mengatur mengenai tanggung jawab dari pelaku usaha terhadap konsumen bila tedadi

suatu kesalahan atau suatu Perbuatan Melawan Hukum dari pelaku usaha tersebut

terhadap konsumennya. Menurut Majelis Hakim dalam hal gugatan mengenai

tanggung jawab dari pelaku usaha terhadap konsumennya yang berlaku adalah

Undang-Undang Perlindungan Konsumen sebagai aturan khusus/specialis (lex

specialis derogat legi generali). Berdasarkan Pasal 23 Undang-Undang Perlindungan

Konsumen, gugatan harus diajukan ke pengadilan negeri di mana

konsumen/penggugat bertempat tinggal, bukan ke Pengadilan Negeri di mana salah

satu Tergugat bertempat tinggal sebagaimana diatur dalam Pasal 118 (2) HIR, hal

tersebut karena adanya aturan khusus (Pasal 23 Undang-Undang Perlindungan

Konsumen) yang didahulukan dari aturan umum (Pasal 118 ayat (2) HIR) lex

specialis derogat legi generali.

Dalam amar putusannya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

menyatakan tidak berwenang mengadili perkara ini. Putusan ini diperkuat oleh

Pengadilan Tinggi Jakarta sebagai Peradilan Banding melalui Putusan No. 210/

Pdt./2004/PT.DKI.

3. Hukum Konsumen dalam Hukum Publik

Dengan hukum publik dimaksudkan hukum yang mengatur hubungan antara negara

dan alai-alai perlengkapannya atau hubungan antara negara dengan perorangan.

Termasuk hukum publik dan terutama dalam kerangka hukum konsumen dan/atau

hukum perlindungan konsumen, adalah hukum administrasi negara, hukum pidana,

hukum acara perdata dan/ataii hukum acara pidana dan hukum internasional

khususnya hukum perdata internasional.

Jadi, segala kaidah hukum maupun asas-asas hukum ke semua cabangcabang

hukum publik itu sepanjang berkaitan dengan hubungan hukum konsumen dan/atau

masalahnya dengan penyedia barang atau penyelenggara jasa, dapat pula

diberlakukan. Dalam kaftan ini antara lain ketentuan perizinan usaha, ketentuan-

ketentuan pidana tertentu, ketentuan-ketentuan hukum acara dan berbagai konvensi

dan/atau ketentuan hukum perdata internasional.

Diantara kesemua hukum publik tersebut, tampaknya hukum administrasi

negara, selanjutnya disebut hukum administrasi, hukum pidana, hukum internasional

Page 45: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

khususnya hukum perdata internasional dan hukum acara perdata Berta hukum acara

pidana paling banyak pengaruhnya dalam pembentukan hukum konsumen.

Ketentuan hukum administrasi, misalnya menentukan bahwa Pemerintah

melakukan pengaturan dan pembinaan rumah susun dan pengawasan terhadap

pelaksanaan undang-undang (termuat dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1)

Undang-Undang tentang Rumah Susun, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 LN

Tahun 1985 No. 75).

Selanjutnya dalam Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang No. 23

Tahun 1992, Pasal 73 ditentukan:

Pemerintah melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan yang berkaitan

dengan penyelenggaraan upaya kesehatan.

Dalam Pasal 76 undang-undang itu dijelaskan pula peran pengawasan yang

dijalankan oleh pemerintah, sedang Pasal 77 menegaskan wewenang pemerintah

untuk mengambil berbagai tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dan/atau

sarana kesehatan yang melakukan pelanggaran terhadap undangundang ini.

Dari peraturan perundang-undangan di atas terlihat beberapa departemen dan

atau lembaga pemerintah tertentu menj alankan tindakan administratif berupa

pengawasan dan pembinaan terhadap pelaku usaha dengan perilaku tertentu dalam

melaksanakan perundang-undangan tersebut. Misalnya tindakan administratif

terhadap tenaga kesehatan dan/atau sarana kesehatan yang melanggar undang-undang

(Pasal 77 UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan).

Pasal 77 itu berbunyi:

Pemerintah berwenang mengambil tindakan administratif terhadap tenaga

kesehatan dan/atau sarana kesehatan yang melakukan pelanggaran terhadap

ketentuan ini.

Penjelasan pasal ini menentukan: tindakan administratif dalam pasal ini dapat

berupa pencabutan izin usaha, izin praktik atau izin lain yang diberikan Berta

penjatuhan hukum disiplin berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan yang

berlaku. Tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dilakukan setelah

mendengar pertimbangan Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.

Begitu pula dengan tindakan administratif Menteri Kehakiman dalam

mengesahkan Anggaran Dasar suatu Perseroan Terbatas atau Perubahannya

Page 46: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

sebagaimana termuat dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan

Terbatas. Juga berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,

Pasal 29 menegaskan bahwa tugas pembinaan dan pengawasan bank-bank di

Indonesia dilakukan oleh Bank Indonesia. Ayat (2) pasal ini menentukan bahwa Bank

Indonesia menetapkan ketentuan tentang kesehatan bank dengan memperhatikan

aspek permodalan, kualitas aset, kualitas manajemen, rentabilitas, likuiditas,

solvabilitas dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank. Selanjutnya, Pasal

52 dan -Pasal 53 (Ketentuan Pidana dan sanksi administratif), ditetapkan bahwa Bank

Indonesia dapat menetapkan sanksi administratif kepada bank yang tidak memenuhi

kewajibannya sebagaimana ditentukan pertimbangan kepada Menteri Keuangan untuk

mencabut izin usaha bank bersangkutan.

Secara skematis, hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen

itu berbentuk sebagai berikut.

Struktur Hukum Perlindungan Konsumen

Dari skema ini terlihat bahwa pembagian berdasarkan hukum perdata dalam

arti lugs dan hukum publik memberikan gambaran yang menyeluruh tentang struktur

Hukum Konsumen / HukumPerlindungan Konsumen

Hukum Perdata(dalam Arti Luas)

Hukum Perdata

Hukum Dagang

Hukum Publik

Hukum Administrasi

Hukum Pidana

Hukum Perdata Internasional

Page 47: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

dan permasalahan perlindungan konsumen. Tentunya, terlepas dari apakah

perundang-undangan yang telah ada, memenuhi persyaratan dan/atau cukup untuk

melindungi kepentingan-kepentingan konsumen. Yang harus mendapatkan perhatian

adalah pelanggaran perundang-undangan itu, dilakukan oleh siapa, apakah pelaku

usaha atau konsumen. Peraturan perundangan umum ini sebagaimana telah diuraikan

di atas, tidak menetapkan terpisah pelaku usaha atau konsumen. Keduanya diatur

bersamaan.

Misalnya, sebagai pengguna jasa angkutan (UU No. 14 Tahun 1992) yang

dapat dilakukan oleh pelaku usaha atau oleh konsumen. Keadaannya agak berbeda

dengan pengaturan yang ditentukan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Di dalam undang-undang ini secara tegas ditentukan hak-hak konsumen (Pasal 4) dan

kewajiban-kewajibannya (Pasal 5). Adapun hak-hak dan kewajiban pelaku usaha

(istilah digunakan untuk penglisaha) diatur dalam Pasal 6 dan 7.

C. MASALAH YANG DIHADAPI

Sekalipun berbagai instrumen hukum umum (peraturan perundang-undangan yang

berlaku umum), baik hukum perdata maupun hukum publik dapat digunakan untuk

menyelesaikan hubungan dan/atau masalah konsumen dengan penyedia barang

dan/atau penyelenggara jasa, tetapi hukum umum ini ternyata mengandung berbagai

kelemahan tertentu dan menjadi kendala bagi konsumen atau perlindungan konsumen.

1. KUH Perdata dan KUHD tidak Mengenal Istilah Konsumen

Hal ini mudah dipahami karena pada saat undang-undang itu diterbitkan dan

diberlakukan di Indonesia, tidak dikenal istilah consumers atau consument (istilah

Inggris dan Belanda). Di Negeri Belanda istilah koper atau huurder (istilah Belanda

yang berarti pembeli atau penyewa) digunakan dalam perundangundangannya. Oleh

karena itu, dalam KUH Perdata kits menemukan istilahistilah pembeli (koper, Pasal

1457 dan seterusnya KUH Perdata), penyewa (harder, Pasal 1548 dan seterusnya),

penitip barang (bewaargever, Pasal 1694 dan seterusnya), peminjam (verbruiklener,

Pasal 1754 dan seterusnya), dan sebagainya. Adapun Kitab Undang-Undang Hukum

Dagang ditemukan istilah tertanggung (verzekerde, Pasal 246 dan seterusnya Buku

Kesatu) dan penumpang (opvarende, Pasal 341 dan seterusnya Buku Kedua).

Page 48: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

2. Semua Subjek Hukum tersebut Adalah Konsumen, Pengguna Barang

dan/atau Jasa

Sebagaimana telah diuraikan dalam bab pertama, konsumen itu terdiri dari dua jenis

yang berbeda kepentingan dan tujuan dalam penggunaan barang atau jasanya. Para

pengusaha yang disebut juga sebagai konsumen antara mempunyai tujuan dan

kepentingan tersendiri. Demikian pula dengan konsumen akhir.

Subjek hukum pembeli, penyewa, tertanggung atau penumpang terdapat dalam KUH

Perdata dan KUHD, tidak membedakan apakah mereka itu sebagai konsumen akhir

atau konsumen antara. Keadaan mempersamakan

formal memang memikat, tetapi secara materiil akan terlihat, tanpa pemberdayaan

(empowering) pihak yang historis lemah, is menimbulkan kepincangan tertentu dalam

hubungan hukum atau masalah mereka satu sama lain.

3. Hukum Perjanjian (Buku ke-3 KUH Perdata) Menganut Asas Hukum

Kebebasan Berkontrak, Sistemnya Terbuka dan Merupakan Hukum

Pelengkap

Asas kebebasan berkontrak memberikan pada setiap orang hak untuk dapat

mengadakan berbagai kesepakatan sesuai kehendak dan persyaratan yang disepakati

kedua pihak, dengan syarat-syarat subjektif dan objektif tentang sahnya suatu

persetujuan tetap dipenuhi (Pasal 1320). Dengan sistem terbuka, setiap orang dapat

mengadakan sembarang perjanjian, bahkan dengan bentuk-bentuk perjanjian lain dari

apa yang termuat dalam KUH Perdata (berbeda dengan sistem tertutup yang dianut

Buku Ke-2 KUH Perdata). Keadaan ini kemudian diimbuhi pula dengan catatan

bahwa hukum perjanjian itu merupakan hukum pelengkap, jadi setiap orang dapat saja

mengadakan persetujuan dalam bentukbentuk lain dari yang disediakan oleh KUH

Perdata.

Dengan asas kebebasan berkontrak, sistem terbuka dan bahwa hukum

perjanjian itu merupakan hukum pelengkap saja, lengkaplah sudah kebebasan setiap

orang untuk mengadakan perjanjian, termasuk perjanjian yang dipaksakan kepadanya.

Kalau yang mengadakan perjanjian adalah mereka yang seimbang kedudukan

ekonomi, tingkat pendidikan dan/atau kemampuan days saingnya, mungkin

masalahnya menjadi lain. Dalam keadaan sebaliknya, yaitu pars pihak tidak

seimbang, pihak yang lebih kuat akan dapat memaksakan kehendaknya atas pihak

yang lebih lemah.

Page 49: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

Pengalaman nyata memang menunjuk pada keadaan itu. Berbagai penelitian

termasuk penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak tahun 19731985, yang

kemudian dijadikan dasar dari keputusan Sidang Umum PBB pada tahun 1985

tentang Perlindungan Konsumen, ternyata pihak konsumenlah, terutama konsumen

dari negara-negara berkembang yang merupakan pihak yang lemah tersebut.

Dilengkapi dengan penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Lembaga Konsumen

Indonesia dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia,

Kessler bahkan lebih tajam lagi tinjauannya. la mengatakan bahwa hukum

perjanjian itu adalah pelindung dari pembagian kekuasaan yang tidak merata dalam

masyarakat sehingga memungkinkan pemaksaan kehendak pihak yang kuat atas

pihak-pihak yang lemah.

Apa yang dimaksudkan Kessler, nanti akan terlihat dalam bentuk-bentuk

perjanjian dengan syarat-syarat baku (perjanjian baku/klausul baku). Pedanjian

dengan syarat-syarat baku ini telah sangat mendalam merasuk ke dalam kehidupan

masyarakat. Antara lain mengenai pembelian rumah, alat-alat elektronik, alat-alat

transportasi, alat-alat rumah tangga, jasa perbankan, jasa asuransi, dan sebagainya.

4. Perkembangan Pesat Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek)

Perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi sangat mempengaruhi kegiatan

bisnis di mans pun di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Berbagai produk

konsumen, bentuk usaha dan praktik bisnis yang pada masa diterbitkannya KUH

Perdata dan KUHD belum dikenal, kini sudah menjadi pengalaman kita. Beberapa hal

pokok tentang subjek hukum dari suatu perikatan, bentuk perjanjian baku, perikatan

beli sews, kedudukan hukum berbagai cars pemasaran produk konsumen seperti

penjualan dari rumah ke rumah, promosipromosi dagang, Man dan yang sejenis

dengan itu, Berta berbagai praktik niaga lainnya yang tumbuh karena kebutuhan atau

kegiatan ekonomi, tidak terakomodasi secara sangat sumir dalam perundang-

undangan itu.

Begitu pula bentuk-bentuk perikatan yang tampaknya berasal dari negaranegara yang

menggunakan sistem hukum berbeda (Anglo Saxon), karena kebutuhan telah pula

dipraktikkan dan kadang-kadang tanpa persyaratan dan pembatasan yang menurut

hukum berlaku bagi perikatan di negeri asalnya. Pencampuradukan sistem hukum

Page 50: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

yang melanda masyarakat karena kebutuhannya itu, menyebabkan KUH Perdata dan

KUHD tertinggal di belakang.

5. Hukum Acara

Hukum acara yang dipergunakan dalam proses perkara perdata pun tidak membantu

konsumen dalam mencari keadilan. Pasal 1865 KUH Perdata menentukan pembuktian

hak seseorang atau kesalahan orang lain dibebankan pada pihak yang mengajukan

gugatan tersebut. Beban ini lebih banyak tidakdapat dipenuhi dalam hubungan antara

konsumen dan penyedia barang atau penyelenggara jasa pada masa kini. Hal ini

terutama karena tidak pahamnya konsumen atas pembuatan produk, sistem pemasaran

yang digunakan, maupun jaminan puma jual yang digunakan oleh pelaku usaha.

Proses produksi dan pemasaran produk yang makin canggih, kerahasiaan perusahaan

dan tanggung jawab perusahaan yang hanya pada pemegang sahamnya saja,

memperbesar jarak antara konsumen dengan produk konsumen yang is gunakan di

samping hal-hal yang dikemukakan di atas.

Tingkat-tingkat peradilan (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tmggi, Mahkamah

Agung dan kemungkinan Peninjauan kembali di Mahkamah Agung), lamanya masa

proses sampai didapatkan putusan yang efektif, ditambah dengan beban pembuktian

merupakan kendala bagi konsumen dan perlindungannya.

Apalagi bagi konsumen kecil, yaitu konsumen yang jumlah pembeliannya

tidak melebihi suatu jumlah tertentu, misalnya pembelian barang atau jasa yang tidak

melebihi jumlah Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Contoh konkret

adalah pembelian 1 (satu) unit televisi berwama dengan harga kurang lebih Rp

2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah). Bayangkan saj a berapa banyak waktu,

berapa besar biaya, tenaga dan hal-hal lain berkaitan dengan pembelian itu, yang

hams dikeluarkan oleh konsumen bersangkutan dalam mempertahankan haknya di

pengadilan-pengadilan Indonesia. Bayangkan pula proses persidangan di Pengadilan

Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung, dan/atau proses peninjauan kembali,

yang tidak saja makan waktu berlarutlarut, tetapi juga memakan tenaga dan biaya.

6. Yang Sangat Penting Pula Adalah Dasar Pemikiran Filsafat

Dianut dari KUH Perdata/KUHD dan falsafah hukum yang sekarang hams dijadikan

pangkal tolak pernikiran hukum kita yang sama sekali sudah tidak sejalan lagi.

Doktrin yang dianut KUH Perdata/KUHD adalah liberalisme. Adapun doktrin,

Page 51: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

falsafah Indonesia adalah Pancasila yang pemikiran politik ekonominya adalah

kesejahteraan rakyat dengan perikehidupan yang seimbang, serasi, dan selaras.

7. Hukum Publik

Sesuai fungsinya menurut hukum, mempunyai peran yang sangat membantu upaya

perlindungan konsumen, seperti juga bagi pengusaha yang jujur dan beriktikad baik.

Tindakan administratif yang dijalankan oleh instansi berwenang terhadap mereka

yang melanggar ketentuan dari peraturan perundang-undangan (administratif),

melindungi konsumen dan pengusaha yang jujur dan beriktikad baik dari perilaku

pelaku usaha yang menyimpang atau melanggar hukum dan dapat menimbulkan

kerugian pada mereka.

Begitu pula halnya dengan penerapan peraturan perundang-undangan. pidana

(yang termuat dalam KUHP atau di luar KUHP), atas setiap perilaku usaha yang

memenuhi unsur-unsur pidana dan pelaksanaannya dijalankan oleh pejabat yang

berwenang untuk itu.

Kemanfaatan instrumen hukum publik terlihat antara lain:

Semua pelaksanaan kegiatan pengawasan dan/atau penyelidikan, penyidikan

dan penuntutan diselenggarakan oleh (aparat) pemerintah.

Pengumpulan bukti-bukti serta semua proses untuk tindakan administratif

dan/atau peradilan atas pelaku dijalankan oleh pemerintah.

Semua biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan pengawasan dan peradilan

dipikul oleh pemerintah.

Dengan demikian, beban beracara yang terberat bagi konsumen dalam

mengajukan kasus kerugiannya ke pengadilan yaitu beban pembuktian adanya sesuatu

hak dan/atau peristiwa yang melanggar hukum (Pasal 1865 KUH Perdata dan Pasal

163 HIR) serta hal-hal lain tampak menjadi ringan. Dengan cara menggunakan Surat

keputusan suatu tindakan administratif atau putusanputusan pengadilan yang

berkaitan dengan kasus kerugiannya. Bahkan dengan ketentuan-ketentuan termuat

dalam Kitab Undang-Undang HukumAcara Pidana (KUHAP) proses beracara ini

dapat dipermudah lagi.

Akan tetapi, kesemuanya itu masih harus diuji di dalam masyarakat dan

pengadilan-pengadilan kita. Sampai saat ini belum pernah terjadi penggunaan acara

penggabungan perkara sesuai KUHAP dalam suatu perkara pidana, yang secara

Page 52: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

perdata juga merugikan kepentingan konsumen. Juga tidak dalam kasus kematian

karena peristiwa biscuit beracun. Di samping itu, sayangnya, terlihat pula berbagai

kelemahannya, antara lain:

1. Putusan pengadilan dan/atau tindakan administratif (larangan mengedarkan,

penarikan nomor daftar produk, pencabutan izin usaha dan sebagainya) terhadap

perilaku pelaku usaha yang menyimpang dan merugikan konsumen, tidak serta-

merta diketahui dan/atau memberikan ganti rugi atau sesuatu penyelesaian tertentu

bagi konsumen. Konsumen masih harus menjalankan acara lainnya lebih lanjut.

2. Pada sementara kasus, juga menjadi pengalaman, suatu tindakan administratif

tidak dijalankan atau dijalankan dengan kualifikasi "akan ditindak tegas" tetapi

tanpa kelanjutan karena satu dan lain alasan, oleh instansi yang berwenang.

Alasan yang paling banyak dikemukakan pada waktu ini adalah karena

industri/bisnis kita masih termasuk "industri bagi" (infant-industry) sehingga

memerlukan waktu agar mereka menjadi mapan dan kuat bersaing.

3. Peralihan pemilikan suatu badan usaha berkali-kali terjadi tanpa ada pengawasan,

dan/atau juga sulit pengawasannya. Terhadap konsumen is menjadi masalah besar,

yaitu siapa yang harus dipertanggungjawabkan tentang sesuatu perilaku kegiatan

perusahaan atau produknya yang menimbulkan kerugian pada konsumen.

Dianutnya pendirian kalangan usaha bahwa tanggung jawab (direksi) perusahaan

hanya pada pemegang sahamnya saja, memberikan dampak negatif lainnya pada

konsumen.

Dari hal-hal terurai di atas terlihat bahwa peraturan-peraturan umum, sekali-

pun dapat dimanfaatkan oleh (hukum) konsumen, tetapi mempunyai berbagai kendala

bahkan juga tentang substansinya. Kalau diperhatikan falsafah bangsa dan negara

Pancasila temyata bahwa banyak hal belum cukup diatur dalam perundang-undangan

yang pada saat ini. Bagi konsumen Indonesia tampaknya tiga peraturan perundang-

undangan yang sangat dibutuhkan, antara lain: UndangUndang tentang Pangan,

Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen, dan Undang-Undang tentang

Persaingan Usaha. Peraturan perundang-undangan tentang Pangan mengatur tentang

makanan dan minuman (pangan) baik yang telah diolah maupun tidak, bagi seluruh

rakyat Indonesia, termasuk pengadaan, persediaan dan penggunaan serta segala

sesuatu yang berkaitan dengan itu.

Page 53: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

Undang-Undang Persaingan Usaha mengatur tentang perilaku yang harus

diialankan oleh para pelaku usaha penyedia barang dan/atau jasa, sehingga mereka

tidak merusak diri sendiri dan/atau merugikan konsumennya. Sedangkan Undang-

Undang Perlindungan Konsumen mengatur tentang siapa konsumen, hak dan

kewajibannya, bagaimana mereka berhubungan dengan para penyedia barang atau

jasa kebutuhan mereka, tata cara peradilan bagi konsumen keeil, serta segala sesuatu

berkaitan dengan itu.

Kalau Undang-Undang Persaingan Usaha sangat dibutuhkan oleh Para

usahawan beriktikad baik di Indonesia, seperti jugs bagi Para konsumen, karena

dalam undang-undang ini diatur berbagai perbuatan pelaku usaha yang dilarang,

seperti perilaku usaha monopoli, oligopoli, pengaturan atau penetapan harga (price

fixing), persaingan yang mengganggu perdagangan dan industri dan sebagainya.

Bagi masyarakat Indonesia, khususnya konsumen Indonesia agaknya dari

sudut kepentingan konsumen pemecahan masalah perlindungan konsumen tidak lain

adalah diterbitkannya suatu Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen.

Daftar Pertanyaan

1. Apakah dalam UUD 1945 diatur mengenai perlindungan bagi warga negara

(konsumen)? Jelaskan disertai pasalnya!

2. Sebutkan tindakan administratif dari pemerintah di bidang tertentu apabila ada

pihak yang merugikan konsumen (barang/jasa) dan berikan dasar hukumnya!

3. Mengapa dalam KUH Perdata dan KUHD tidak mengenai istilah konsumen?

Jelaskan!

4. Apakah yang dimaksud dengan asas kebebasan berkontrak dan apa kaitannya

dengan hukum perlindungan konsumen? Jelaskan!

5. Mengapa dalam penerapan peraturan-peraturan hukum ada kendalakendala?

Jelaskan dan berikan contohnya!

Page 54: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

BAB 4

BERBAGAI ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. ASPEK-ASPEK KEPERDATAAN

Yang dimaksudkan hukum perdata yakni dalam arti lugs, termasuk hukum perdata,

hukum dagang Berta kaidah-kaidah keperdataan yang termuat dalam berbagai

peraturan perundang-undangan lainnya. Kesemuanya itu baik hukum perdata tertulis

maupun hukum perdata tidak tertulis (hukum adat).

Kaidah-kaidah hukum perdata umumnya termuat dalam Kitab UndangUndang

Hukum Perdata (KUH Perdata). Di samping itu, tentu saja juga kaidahkaidah hukum

perdata adat, yang tidak tertulis, tetapi ditunjuk oleh pengadilanpengadilan dalam

perkara-perkara tertentu.

Kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah hukum antara

pelaku usaha penyedia barang dan/atau penyelenggara jasa dengan konsumennya

masing-masing termuat dalam:

1. KUH Perdata, terutama dalam Buku kedua, ketiga, dan keempat;

2. KUHD, Buku kesatu dan Buku kedua;

3. Berbagai peraturan perundang-undangan lain yang memuat kaidah-kaidah hukum

bersifat perdata tentang subjek-subjek hukum, hubungan hukum dan masalah

antara penyedia barang atau penyelenggara jasa tertentu dan konsumen.

Beberapa hal yang dinilai penting dalam hubungan konsumen dan penyedia

barang dan/atau penyelenggara jasa (pelaku usaha) antara lain sebagai berikut.

Bab 4Berbagai aspek hukum perlindungan

konsumen

1.Aspek-aspek keperdataan

Yang dimaksudkan hukum perdata yakni dalam arti luas, termasuk hukum perata, hukum dagang serta kaidah-kaidah keperdataan yang termuat dalam berbagai

Page 55: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

peraturan perundang-undangan lainnya. Kesemuanya itu baik hukum perdata tertulis maupun hukum perdata tidak tertulis (hukum adat).

Kaidah-kaidah hokum perdata umumnya termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Di samping itu, tentu saja juga kaidah-kaidah hokum perdata adat, yang tidak tertulis, tetapi ditunjuk oleh pengadilan-pengadilan dalam perkara-perkara tertentu.

Kaidah-kaidah hokum yang mengatur hubungan dan masalah hokum antara pelaku usaha penyedia barang/penyelenggara jasa dengan konsumennya masing-masing termuat dalam :

1. KUP Perdata, terutama dalam Buku Kedua, Ketiga, dan Keempat2. KUHD, Buku kesatu dan Buku kedua3. Berbagai peraturan perundang-undangan lain yang memuat kaidah-kaidah

hokum bersifat perdata tentang subjek-subjek hokum, hubungan hokum dan masalah antara penyedia barang atau penyelenggara jasa tertentu dan konsumen/

Beberapa hal yang dinilai penting dalam hubungan konsumen dan penyedia barang/penyelenggara jasa (pelaku usaha) antara lain sebagai berikut :1. Hal-hal yang berkaitan dengan informasi

Bagi konsumen, informasi tentang barang/jasa merupakan kebutuhan pokok, sebelum ia menggunakan sumber dananya (gaji,upah,honor.atau apa pun nama lainnya) untuk mengadakan transaksi konsumen tentang barang/jasa tersebut. Dengan transasi konsumen dimaksudkan diadakannya hubungan hokum (jual beli, beli-sewa, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan sebagainya) tentang produk konsumen dengan pelaku usaha itu.

Informasi-informasi tersebut meliputi tentang ketersediaan barang/jasa yang dibutuhkan masyarakat konsumen, tentang kualitas produk, keamanannya, harga, tentang berbagai persyaratan / cara memperolehnya, tentang jaminan atau garansi produk, persediaan suku cadang, tersediannya pelayanan jasa jurnal-jual, dan lain-lain yang berkaitan dengan itu.

Informasi dari kalangan pemerintah dapat diserap dari berbagai penjelasan, siaran, keterangan, penyusun peraturan perundang-undangan secara umum atau dalam rangka deregulasi, dan tindakan pemerintah pada umumnya atau tentang sesuatu produk konsumen. Dari sudut penyusunan peraturan perundang-undangan terlihat informasi itu termuat sebagai suatu keharusan. Beberapa di antaranya, ditetapkan harus dibuat, baik secara dicantumkan maupun dimuat didalam wadah atau pembungkusnya (antara lain label dari produk makanan dalam kemasan). Sedang untuk produk hasil industri lainnya, informasi tentang produk itu terdapat dalam bentuk standar yang ditetapkan oleh pemerintah, standar internasional, atau standar lain yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang.

Informasi dari konsumen atau organisasi konsumen tampak pada pembicaraan dari mulut ke mulut tentang suatu prosuk konsumen, surat-surat pembaca pada media massa, berbagai siaran kelompok tertentu, tanggapan atau protes organisasi konsumen, seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tentang hasil-hasil penelitian dan riset produk konsumen tertentu, dapat ditemukan pada harian-harian umum, majalah dan berita resmi YLKI, yaitu Warta Konsumen (WK).

Dari kalangan usaha (penyedia dana, produsen, importer, atau lain-lain pihak yang berkepentingan), diketahui sumber-sumber informasi itu umumnya terdiri dari berbagai bentuk iklan baik melalui media nonelektronik atau elektronik, label termasuk pembuatan berbagai selebaran, seperti brosur, pamphlet, catalog, dan lain-

Page 56: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

lain sejenis dengan itu. Bahan-bahan informasi ini pada umumnya disediakan atau di buat oleh kalangan usaha dengan tujuan memperkenalkan produknya, mempertahankan dan meningkatkan pangsa pasar produk yang telah atau ingin lebih lanjut di raih. Adapun label merupakan informasi yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan tertentu.

2. `Beberapa bentuk informasi

Diantara berbagai informasi tentang barang atau jasa konsumen yang diperlukan konsumen, tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang bersumber dari kalangan pelaku usaha. Terutama dalam bentuk iklan atau label, tanpa mengurangi pengaruh dari berbagai bentuk informasi pengusaha lainnya.

Iklan adalah bentuk informasi yang umumnya bersifat sukarela, sekalipun pada akhir – akhir ini termasuk juga yang diatur didalam Undang – Undang tentang Perlindungkan Konsumen (Pasal 9,10,12,13,17 dan Pasal 20)a. Tentang Iklan

KUH Perdata (Kitab Undang – Undang Hukum Perdata) dan/atau KUHD (Kitab Undang – Undang Hukum Dagang), keduanya diumumkan pada tanggal 30 April 1847 dalam Staatsblad No.23 dengan segala tambahan dan/atau memuat kaidah – kaidah tentang periklanan. Satu – satunya ketentuan termuat dalam KUH Perdata yang tampaknya dapat digunakan adalah ketentuan tentang perbuatan melanggar atau melawan hokum (Pasal 1365 KUH Perdata), yaitu sepanjang iklan tertentu menimbulkan kerugian pada pihak lain. Adapun dalam undang-undang kepailitan, terlepas untuk siapa perundang-undangan itu berlaku, khusus menyangkut prilaku pengumuman iklan keputusan pengadilan tentang pernyataan pailit dan segala akibat-akibatnya dari seseorang atau suatu badan usaha (pasal 13 jjs, pasal 16,105,163 c, dan seterusnya),

Menurut ketentuan dari UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 9 ayat (1) berbunyi:

“pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, meng-iklankan suatu barang dan jasa secara tidak benar dan seolah-olah dan seterusnya.”

Sayangnya dalam undang-undang ini tidak dicantumkan apa yang dimaksud dengan iklan. Yang terdapat dalam perundang-undangan ini hanyalah berbagai larangan dan suruhan berkaitan dengan periklanan saja.

Dari hal-hal terurai diatas tentang kedudukan periklananini dalam masyarakat usaha, setidak-tidaknya terdapat dua batasan iklan, yang satu ditetapkan oleh Departmen Kesehatan dan yang lainnya oleh sistem penyiaran nasional. Tentu saja terlepas dari mana yang baik dan tepat.

Departemen Kesehatan (Peraturan Menteri Kesehatan No. 329 Tahun 1976, Pasal 1 Butir 13) menetapkan sebagai “iklan adalah usaha dengan cara apa pun untuk meningkatkan penjualan, baik secara langsung maupun tidak langsung”.

Adapun sistem penyiaran nasional (Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran) Pasal 1 butir (5) merumuskan siaran iklan adalah siaran informasi yang bersifat komersial dan layanan masyarakat tentang tersedianya jasa, barang, dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak dengan atau tanpa imbalan kepada

Page 57: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

lembaga penyiaran yang bersangkutan. Pasal 1 butir (6) menyatakan siaran iklan niaga adalah siaran iklan komersial yang disiarkan melalui penyiaran radio atau televisi dengan tujuan memperkenalkan, memasyarakatkan, dan mempromosikan, barang atau jasa kepada khalayak sasaran untuk memengaruhi konsumen agar menggunakan produk yang ditawarkan. Keberadaan Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang penyiaran diarahkan antara lain untuk memberikan informasi yang benar, seimbang, dan bertanggung jawab (Pasal 5 butir (1)).

Kedua batasan iklan tersebut berjalan bersama masing-masing untuk bidang masing-masing. Sampai saat ini tidak terdapat gangguan apa pun baik terhadap masyarakat pembuat maupun pengguna produk konsumen yang diiklankan berdasarkan masing-masing rumusan yang bersangkutan. Bagi konsumen, informasi produk konsumen sangat menentukan shingga haruslah informasi itu memuat keterangan yang benar, jelas, jujur, dan bertanggung jawab. Kebenaran isi dari pernyataan atau label tersebut merupakan tanggung jawab dari pihak yang membuat dan menyiarkan.

Mengenai prilaku periklanan yang lengkap diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang No. 7 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, adalah sebagai berikut:

1) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:a. Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan

harga barang atau tariff jasa serta ketepata waktu penerimaan barang atau jasa

b. Mengelabui jaminan/garansi tergadap barang atau jasac. Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang

dan jasad. Tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang dan jasae. Mengeksploitasi kejadian dan seseorang tanpa izin yang berwenang atau

persetujuan yang bersangkutanf. Melanggar etika dan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai

periklanan

2) Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat (1)

Selanjutnya, berkaitan dengan tanggung jawab pelaku usaha periklanan ini diatur dalam Pasal 20, sebagai berikut.

Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut. Berkaitan dengan perilaku periklanan yang dilarang dan tentang tanggung jawabnya itu,? Dari sudut pelaku usaha periklanan menurut Azm Nasution terdapat tiga jenis pelaku usaha, yaitu.

1. Pengiklan, yaitu perusahaan yang memesan iklan untuk mempromosikan, memasarkan, dan menawarkan produk yang mereka edarkan

2. Perusahaan iklan, adalah perusahaan atau biro yang bidang usahanya adalah mendesain atau membuat iklan untuk para pemesannya

3. Media, media elektronik atau nonelektronik atau bentuk media lain, yang menyiarkan atau menayangkan iklan-iklan tersebut.

Page 58: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

Ketiga jenis pelaku usaha tersebut dalam undang-undang ini termasuk pelaku usaha. Ketiga pelaku usaha di atas, dapat dipertanggungjawabkanm tetapi secara tepatnya pelaku usaha manakah yang harus bertanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 tersebut?

Menurut Az. Nasution tergantung bagaimana hakim pengadilan negeri mengambil putusannya. Sekiranya tanda tangan pengiklan (tanda acc) terdapat pada konsep iklan itu, maka dialah yang mempertanggung jawabkan.

Kemudian, terdapat timdakan administratif yang dapat dijatuhkan pada pelaku usaha periklanan yang menyiarkan iklan menyesatkan, menipu atau mengakibatkan cedera pada konsumen untuk memasang iklan perbaikannya (corrective advertisement) di surat kabar atau televisi iklan koreksi seperti ini telah tumbuh dan menjadi hokum di Negara-negara lain. Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak memuat tindakan administratif tersebut, padahal kegunaannya sangat baik sebagai upaya pencegah “gegabahnya” para pelaku usaha periklanan.

Satu hal yang menarik dari Undang-undang Perlindungan Konsumen berkaitan dengan periklanan ini yakni dalam Pasal 17 ayat (1) huruf f, undang-undang ini berbunyi : melanggar etika atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan. Apakah yang dimaksud denagn etika periklanan? Penjelasan pasal ini memuat kalimat “cukup jelas”. Apabila dengan etika itu dimaksudkan kode etik periklanan, maka berarti Undang-Undang ini telah membeikan “status hokum” pada kode etik periklanan yang di Indonesia disebut sebagai tata karma dan tata cara periklanan Indonesia.

b. Tentang LabelInformasi produk konsumen yang bersifat wajib ini, ditetapkan dalam

berbagai peraturan perundang-undangan. Pengaturan tentang informasi yang disebut dengan berbagai istilah seperti penandaan. Label, atau etiket. Ketentuan tersebut terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

1. UU Barang, UU No. 10 Tahun 1961,memberikan informasi tentang barang. Pasal 2 ayat (4) UU ini menentukan:Pemberian nama dan tanda-tanda yang menunjukkan asal, sifat, susunan bahan, bentuk banyaknya dan kegunaan barang-barang yang baik diharuskan maupun tidak diperbolehkan dibubuhkan atau dilekatkan pada barang pengbungkusnya, tempat barang-barang itu diperdagangkan dan alat-alat reklame, pun cara pembubuhan atau melekatkan nama dan tanda-tanda itu.

Pemberian nama atau tanda-tanda menunjuk pada label dari barang bersangkutan. Nama atau tanda-tanda itu memuat asal, sifat, susunan, bahan, bentuk, dan banyaknya serta kegunaannya. Nama dan tanda-tanda itu harus dibubuhkan atau dilekatkan pada pembungkusnya tempat barang itu di perdagangkan dan pada alat-alat reklame. Perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan atau melanggar ketentuan tersebut di atas, dapat dinyatakan sebagai tindak pidana ekonomi (Pasal 9). Dengan demikian setiap perilaku pengusaha yang melanggar ketentuan dalam peraturan perundang-undangan ini, dapat dikenakan ketentuan pidana ekonomi.

Page 59: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

2. Baik produk makanan, maupun obat diwajibkan mencantumkan label pada wadah atau pembungkusnya. Permenkes No. 79 Tahun 1978 tentang Label dan periklanan Makanan, Pasal 1 dan 2, menyebutkan :Etiket adalah label yang dilekatkan, dicetak, diukir, atau dicantumkan dengan jalan apa pun pada wadah atau pembungkus.

Selanjutnya keterangan yang harus dimuat pada label/etiket tersebut ditetapkan (Pasal 7 ayat (1) dan (2) terdiri atas :

Nama makanan atau merk dagang Komposisi, kecuali makanan yang cukup diketahui komposisinya secara

umum Isi netto Nama dan alamat perusahaan yang memproduksi atau mengedarkan Nomor pendaftaran Kode produksi Untuk jenis makanan tertentu yang ditetapkan oleh menteri kesehatan, harus

dicantumkan tanggal kadaluarsa, nilai gizi, petunjuk penggunaan dan cara penyimpanannya.

Perbuatan mengedarkan makanan tanpa label sebagaimana dimaksudkan dalam peraturan Menteri Kesehatan tersebut dinyatakan dilarang dan dapat diancam dengan sanksi-sanksi sebagaimana termuat dalam KUHP dan tindakan administratif berupa penarikan nomor daftar produk itu dan tindakan lain berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. (pasal 41-45)

Ketentuan tentang sanksi-sanksi atas pelanggaran kewajiban memesang label pada makanan (dalam kemasan) tersebut memang tidak begitu jelas. Sebagai akibatnya kemudian dalam perundang-undangan yang lebih baru, Undang-undang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, ketentuan tentang pelabelan makanan ditegaskan lebih lanjut.

Setiap makanan yang dikemas wajib diberi tanda atau label (Pasal 21 ayat (2)) yang memuat tentang :

a. Bahan yang dipakai b. Komposisi setiap bahan c. Tanggal, bulan, dan tahun kadaluarsad. Ketentuan lainnya

Dalam penjelasan Pasal ini (huruf d) dinyatakan bahwa ketentuan lainnya misalnya pencantuman kata atau tanda halal menjamin bahwa makanan dan minuman dimaksud diproduksi dan diproses sesuai persyaratan makanan halal.

Perbuatan mengedarkan makanan tanpa label dinyatakan sebagai tindak pidana pelanggaran dengan ancaman pidana kurungan maksimum satu tahun dan denda maksimum Rp15.000.000,00 (Pasal 84 jo. Pasal 85)

SK Menteri Menteri Kesehatan tanggal 21 Agustus 1971 No, 193 Tahun 1971 tentang Pembungkusan dan Penandaan obat, tidak menggunakan istilah label atau

Page 60: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

etiket, tetapi penandaan. Pengertian tentang penandaan termuat dalam Pasal 1 angka 4, yang berbunyi :

Tulisan-tulisan dan pernyataan-pernyataan pada pembungkus, etiket atau brosur yang diikutsertakan pada penyerahan atau penjualan sesuatu obat, baik yang diberikan bersama obat itu maupun yang diberikan sesudah atau sebelum penyerahan obat yang bersangkutan.

Adapun dalam Pasal 3 SK Mentei Kesehatan tersebut ditentukan :

Pada bungkus luar dan wadah obat jadi atau obat paten dan bahan kontras harus dicantumkan tanda atau etiket yang menyebutkan nama jenis atau nama barang obat, bobot netto atau volume obat, komposisi obat dan susunan kuantitatif zat-zat berkhasiat, nomor pendaftaran, nomor batch, dosis, cara penggunaan,indikasi sebagaimana disetujui pada pendaftaran, kontra indikasi yang ditetapkan pemerintah untuk dicantumkan, nama pabrik dan alamatnya (sedikitnya nama kota dan negaranya), cara penyimpanan, batas daluarsa dan tanda-tanda lain yang dianggap perlu

Ketentuan berikut dalam pasal itu dan pasal 4-6 memuat rincian berbagai keharusan tata cara tentang permuatan isi label atau etiket tersebut. Adapun Pasal 12 Surat Keputusan Menteri Kesehatan ini menetapkan bahwa pelanggaran atas ketentuan-ketentuan antara lain, khususnya tentang pelabelan tersebut.

Selain mengakibatkan hukuman di bidang pidana dan penyitaan obat, akan mengakibatkan hukuman di lapangan administratif.

Dalam UU Kesehatan, ketentuan-ketentuan diatas mendapatkan “porsi” baru. Pasal 41 ayat (2) memuat ketentuan tentang penandaan dan informasi sebagai berikut:

Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.

Dari uraian diatas tampak bahwa informasi produk konsumen itu dapat ditemukan dalam penandaan atau informasi lain, seperti iklan dalam segala bentuk kreativitasnya, tetapi dengan batas-batas minimum sehingga tidak menyesatkan atau menipu (iklan melawan hokum). Pada penandaan, label atau etiket pemuatan informasi yang bersifat wajib dilakukan dengan sanksi-sanksi administratif dan pidana tertentu apabila tidak dipenuhi persyaratan-persyaratan etiket dan label tersebut.

Hal ini berkaitan dengan bahan informasi yang selalu mengusik adalah mengapa suatu hasil uji laboratoris produk konsumen (antara lain oleh instansi pemerintah) tidak disiarkan kepada masyarakat agar mereka mengetahui bermutu atau bergizi tidaknya sesuatu produk konsumen (pangan, sandang papan, angkutan, dan lain-lain).

c. Hal-hal yang Berkaitan dengan PerikatanDalam KUH Perdata Buku ke-III, tentang Perikatan (van Verbintenissen),

termuat ketentuan-ketentuan tentang subjek-subjek hokum dari perikatan, syarat-syarat perikatan, tentang resiko jenis-jenis perikatan tertentu, syarat-syarat

Page 61: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

pembatalannya, dan berbagai bentuk perikatan yang dapat diadakan (Pasal 1233). Selanjutnya, Pasal 1233 menyebutkan jenis-jenis perjanjian (prestasi)yang dapat diadakan terdiri atas memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.

Perikatan yang terjadi karena undang-undang, dapat timbul karena undang-undang, baik karena undang-undang maupun sebagai akibat perbuatan seseorang. Perbuatan itu dapat berupa perbuatan yang diperbolehkan (halal) atau perbuatan yang melanggar hokum (Pasal 1352,1353m dan seterusnya).

Dalam perikatan yang timbul karena perjanjian, tidak dipenuhi atau dilanggarnya butir-butir perjanjian itu, setelah dipenuhinya syarat tertentu, dapat mengakibatkan terjadinya cedera janji (wanprestatie). Perbuatan cedera janji ini memberikan hak pada pihak yang dicederai janji untuk menggugat ganti rugi berupa biaya, kerugian, dan bunga (Pasal 1236 dalam hal perjanjian memberikan sesuatu, Pasal 1239, dan Pasal 1242 dalam hal perjanjian berbuat atau tidak berbuat sesuatu, Pasal 1243,1244,1246), dan seterusnya.

Kerugian-kerugian itu selain dari biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan, kerugian yang dialami, juga termasuk keuntungan (winstderving) yang diharapkan yang tidak diterima karena perbuatan ingkar janji tertentu.

Perikatan juga dapat terjadi tanpa adanya perjanjian. Antara lain, yang terpenting terlihat pada perikatan karena terjadinya perbuatan atau kealpaan yang melanggar atau melawan hokum (selanjutnya disebut PMH).

Apabila seseorang dirugikan karena perbuatan orang lain, sedang diantara mereka itu tidak terdapat suatu perjanjian (hubunganhukum perjanjian), maka berdasarkan undang-undang dapat juga timbul atau terjadi hubungan hokum antara orang tersebut dan orang yang menimbulkan kerugian itu.

Pasal 1365 KUH Perdata berbunyi :Setiap perbuatan melanggar hokum yang membawa kerugian pada orang

lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

Unsur-unsur Perbuatan Melawan Hukum:1) Unsur pelanggaran atas hak-hak orang lain.

Yang dimaksudkan adalah hak-hak subjektif orang lain. Kedalamnya termasuk hak-hak kebendaan dan lain-lain hak yang bersifat mutlak (seperti hak milik, oktroi, dan hak merk), hak-hak pribadi perseorangan (persoonlijk-rechten) seperti hak-hak atas integritas (harga diri), kehormatan dan nama baik seseorang.

2) Unsur bertentangan dengan kewajiban hukum pelakuYang dimaksudkan adalah kewajiban hokum yang diletakkan perundang-undangan dalam arti materiil, ditetapkan oleh lembaga yang berwenang, baik bersifat perdata maupun public (misalnya perbuatan pelanggaran atau kejahatan seperti termuat dalm KUHP).

Page 62: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

3) Unsur bertentangan dengan kehati-hatian yang hidup atau harus diindahkan dalam kehidupan masyarakat.Sejak tahun 1919, unsur ini tampaknya merupakan unsur yang terpenting dalam penenruan tolok ukur perbuatan melawan hukum. Ia menunjuk pada kebiasaan tidak tertulis, yang dapat digunakan dengan berdiri sendiri, baik secara terlepas dari atau bersama-sama unsure-unsur lainnya. Pada pokoknya orang haruslah memperhatikan perilaku yang dianggap patut (behoorlijk) dalam masyarakat dikaitkan dengan kepentingan perorangan satu sama lain. Mengenai penerapannya harus dilihat kasus per kasus.

2.Aspek hukum publik

Dengan hukum publik dimaksudkan hukum yang mengatur hubungan antara Negara dan alat-alatnya perlengkapannya atau hubungan Negara dengan peroranagan. Termasuk hokum publik dalam rangka hokum konsumen dan hokum perlindungan konsumen, adalah hokum administrasi Negara, hokum pidana, hokum acara perdata, dan hokum acara pidana dan hokum internasional khususnya hokum perdata internasional.

1. Hukum Pidana

Pengaturan hokum positif dalam lapangan hokum pidana secara umum terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Di Indonesia, penerapan kitab di atas diunifikasikan sejak 1918, yakni sejak pertama kali diberlakukan wetboek van strfrecht voor Nederlandsch-indie. Jadi, berbeda dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang masih bersifat pluralistis, kodifikasi hokum pidana teersebut jauh-jauh hari berlaku untuk semua golongan penduduk. Setelah Indonesia merdeka, melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1946, Kitab Undang-Undang itu lalu diadopsi secara total. Karena perkembangan poliik, adopsi undang-undang yang semula bertujuan untuk unifikasi itu, tidak mencapai tujuannya. Dualisme hokum tetap terjaddi karena perbedaan penafsiran terhadap perubahan-perubahan yang di buat pada masa penjajahan belanda dan Jepang. Baru kemudian dengan Undang-Undang No. 73 Tahun 1958, tujuan unifikasi yang diinginkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 itu dapat dicapai. Kitab ini diberlakukan diseluruh Indonesia dengan nama resmi Wetboek van Strafrecht atau dapat disebut juga Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jadi, berarti secara resmi sebenarnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia itu masih berbahasa Belanda. Adapun terjemahan yang dipakai saat ini masih merupakan karya individual atau institusi tertentu, antara lain (yang paling luas dipakai) adalah karya Alm. Prof. Moeljanto,S.H., Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Belum ada satu pun terjemahan yang dinyatakan resmi.

Hokum pidana sendiri termasuk dalam kategori hokum publik.dalam kategori ini termasuk pula hokum administrasi Negara,hokum acara, dan hokum internasional. Di antara semua aspek hokum public itu, yang paling banyak menyangkut perlindungan konsumen adalah hokum pidana dan hokum administrasi Negara.

Page 63: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak disebut kata “konsumen”. Kendati demikian, secara implicit dapat ditarik beberapa pasal yang memberikan perlindungan hokum bagi konsumen, antara lain :

1. Pasal 204: Barang siapa menjual,menawarkan,menyerahkan atau membagi-bagikan barang, yang diketahui bahwa membahayakan nyawa atau kesehatan orang, padahal sifat berbahaya itu tidak diberitahukan, diancam, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.Jika perbuatan mengakibatkan matinya orang, yang bersalah dikenakan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lam dua puluh tahun.

2. Pasal 205: Barang siapa karena kealpaannya bahwa barang-barang yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang dijual, diserahkan atau dibagi-bagikan, tanpa diketahui sifat berbahayanya oleh yang membeli atau yang memperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.Jika perbuatan mengakibatkan matinya orang,yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama stau tahun empat bulan atau kurungan paling lama satu tahun. Barang-barang itu dapat disita.

3. Pasal 359: Barang siapa karenakealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun (LN 1906 No. 1).

4. Pasal 360: Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun. Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratuus rupiah (LN 1960 No. 1)

5. Pasal 382: Barang siapa mejual, menawarkan,menyerahkan atau menyerahkan makanan,minuman atau obat-obatan yang diketahui bahwa itu palsu, dan menyembunyikan hal itu, diancam dengan pidnaan penjara paling lama empat tahun.Bahan makanan,minuman atau obat-obatan itu dipalsu,jika nilainya atau faedahnya menjadi kurang karena dicampur dengan sesuatu bahan lain.

6. Pasal 382 bis: barang siapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas debit perdagangan atau perusahaan kepunyaan sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau seorang tertentu diancam, jika karenanya dapat timbul kerugian bagi konkuren-konkurrennya atau orang lain itu, karena persaingan curang, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak Sembilan ratus rupiah.

7. Pasal 383: Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, seorang penjual yang berbuat curang teerhadap pembeli: (1) karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli, (2) mengenai jenis keadaan atau banyaknya barang yang diserahkan, dengan menggunakan tipu muslihat.

8. Pasal 390: Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hokum, dengan menyiarkan kabar bohong

Page 64: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

yang menyebabkan harga barang-barang dagangan, dana-dana atau surat-surat berharga menjadi turun atau naik, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.

Di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat banyak sekali ketentuan pidana yang beraspekkan perlindungan konsumen. Lapangan pengaturan yang paling luas kaitannya dengan hokum perlindungan konsumen terdapat pada bidang kesehatan. Termasuk dalam kelompok ini adalah Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan,yang berlaku sejak 4 November 1996. Ketentuan-ketentuan dilapangan hokum kesehatan dapat dikatakan merupakan instrumen hokum yang paling luas namun tidak berarti memadai dalam mengatur hak-hak konsumen dibandingkan dengan lapangan huukum lainnya.

Selain itu juga dalam pengaturan hak-hak atas kekayaan intelekual, seperti hak cipta, paten, dan hak atas merk, dewasa ini diberi perhatian yang cukup besar, khususnya dari sudut penerapan sanksi pidananya. Tindak pidana berupa pembajakan hak cipta, misalnya sekarang diubah dari deliik aduan menjadi delik biasa. Sayangnya, peraturan-peraturan di bidang hak aras kekayaan intelektual yang sebenarnya bersinggungan erat dengan kepentingan konsumen, ternyata belum secara intens mengarahkan perhatiannya kepada kepentingan tersebut. Perlindungan yang diberikan porsi terbanyak justru kepada individual atau badan yang menjadi pemegang hak-hak di atas, bukan pada konsumen sebagai bagian terbesar masyarakat Indonesia.

Kecenderungan seperti yang terjadi dalam hukum bidang hak atas kekayaan intelektual ini seharusnya mulai di antisipasi. Seandainya tidak tertampung dalam undang-undang yang bersifat khusus dan sektoral seperti diatas, dapat diakomodasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang menurut rencana akkan segera diperbaharui.

Pengakomodasian ini penting, karena berbeda dengan lapangan hokum perdata, dalam hokum pidana dikenal larangan melakukan analogi-analogi berbeda pengertiannya dengan penafsiran ekstensi. Dalam penafsiran ekstensi, makna suatu rumusan diberi pengertian menurut kebutuhan masyarakat saat itu, yang berbeda dengan makna tatkala rumusan ittu di buat oleh pembentuk undang-undang. Jadi,tetap ada sandaran peraturannya, Cuma dibari penafsiran yang lebih luas. Sebaliknya, pada analogi sudah tidak lagi bersandar pada suatu rumusan peraturan. Hanya inti (rasio) dari aturan itu yang masih dipertahankan. Pada hakikatnya penafsiran ekstensi dan analogi itu sama, hanya ada perbedaan gradual.

Akibatnya, aparat penegek hokum (dalam hal ini khususnya hakim) tidak dapat dengan leluasa menetapkan tindak pidana yang baru diluar rumusan undang-undang. Jika dilakukan, ini berarti bertentangan dengan asas legalitas.

Tentu saja konsekuensi lain adalah dalam mengartikan perbuatan melawan hokum (wederrechtelijke daad) dilapangan hokum pidana tidak seleluasa dilapangan hokum perdata. Putusan-putusan pengadilan berkaitan dengan perluasan penafsiran tentang perbuatan melawan hokum memang juga mempengaruhi pemikiran para ahli hukum pidana. Vost misalnya, menganut pemikiran agar dalam hokum pidana pun

Page 65: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

unsur perbuatan melawan hokum ini dapat ditafsirkan secara luas, sehinggga menjadi perbuatan yang oleh masyarakat tidak diperbolehkan, tidak sekadar yang oleh undang-undang dilarang. Cara berpikir Vost ini disebut dengan pendirian material, sebagai lawan dari pendirian yang formal. Rupanya para ahli hokum lain seperti Simmons, Jonkers, dan Langemeyers, masih memepertahankan cara berpikir formal. Suatu rumusan tindak pidana dapat kehilangan sifat melawan hukumnya hanya jika ada peraturan (minimal) setingkat dengan itu (misalnya sama-sama undang-undang) yang mengecualikan.

2. Hukum Administrasi Negara

Seperti halnya hokum pidana, hokum administrasi Negara adalah instrumen hokum publik yang penting dalam perlindungan konsumen. Sanksi-sanksi hokum secara perdata dan pidana seringkali kurang efektif jika tidak disertai sanksi administratif.

Sanksi administratif tidak ditujukan pada konsumen pada umumnya, tetapi justru kepada pengusaha, baik itu produsen maupun para penyalur hasil-hasil produknya. Sanksi administratif berkaitan dengan perizinan yang diberikan. Pemerintah RI kepada pengusaha/penyalur tersebut. Jika terjadi pelanggaran, izin-izin itu dapat dicabut secara sepihak oleh pemerintah.

Pencabutan izin hanya bertujuan menghentikan proses produksi dai produsen/penyalur. Produksi disini harus diartikan secara luas, dapat berua barang atau jasa. Dengan demikian, dampaknya secara tidak langsung berarti melindungi konsumen pula, yakni mencegah jatuhnya lebih banyak korban. Adapun pemulihan hak-hak korban (konsumen) yang dirugikan bukan lagi tugas instrument hokum administrasi Negara. Hak-hak konsumen yang dirugikan dapat dituntut dengan bantuan hokum perdata atau pidana.

Campur tangan administrator Negara idealnya harus dilatarbelakangi iktikad melindungi masyarakat luas dari bahaya. Pengertian bahaya disini terutama berkenaan dengan kesehatan daan jiwa. Itulah sebabnya, sejak prakemerdekaan, peraturan-peraturan tentang produk makanan,obat-obatan dan zat-zat kimia, diawasi secara ketat. Syarat-syarat pendirian perusahaan yang bergerak dibidang tersebut dan pengawasan terhadap proses produksinya dilakukan ekstra hati-hati. Peraturan-peraturan masa kolonial itu bahkan cukup banyak yang masih berlaku sampai seekarang.

Sanksi administratif ini sering lebih efektif dibandingkan dengan sanksi perdata atau pidana. Ada beberapa alasan untuk mendukung pernyataan ini.

Pertama,sanksi administratif dapat diterapkan secara langsung dan sepihak. Dikatakan demikian karena penguasa sebagai pihak pemberi izin tidak perlu meminta persetujuan terlebih dahulu dari pihak manapun. Persetujuan, kalaupun ini dibutuhkan, mungkin dari instansi-instansi Pemerintah terkait.sanksi administrati jug tidak perlu melaui proses pengadilan. Memang, bagi pihak yang terkena sanksi ini dibuka kesempatan untuk “membela diri”, antara lain mengajukan kasus tersebut ke

Page 66: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

pengadilan tata usaha Negara, tetapi sanksi itu sendiri dijatuhkan terlebih dulu, sehingga berlaku efektif.

Kedua, sanksi perdata atau pidana acapkali tidak membawa efek “jera” bagi pelakunya. Nilai ganti rugi dan pidana yang dijatuhkan mungkin tidak seberapa dibandingkan dengan keuntungan yang diraih dari perbuatan negative produsen. Belum lagi mekanisme penjatuhan putusan itu yang biasanya berbelit-belit dan membutuhkan proses yang lama, sehingga konsumen sering menjadi tidak sabar. Untuk gugatan secara perdata, konsumen juga dihadapkan pada posisi tawar-menawar yang tidak selalu menguntungkan disbanding dengan produsen.

Walaupun secara teoretis instrument hokum administrasi negara ini cukup efektif, tetap ada kendala dalam penerapannya. Contohnya adalah ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Snksi administratif terhadap perusahaan-perusahaan yang mencemari lingkungan masih teramat jarang dilkukan. Bahkan, untuk kasus-kasus teertentu, seperti pencemaran oleh PT Inti Indorayon di Sumatera Utara, Pemerintah masih mengandalkan inisiatif konsumen untuk mempersalahkannnya. Pemerintah tampaknya menjadikan sanksi administratif ini sebagai ultimum remedium, karena dikaitkan dengan pertimbangan tenaga kerja dan perpajakan. Tentuu saja, kedua pertimbangan tersebut seharusnya tidak menjadi alasan pemaaf bagi pengusaha yang merugikan konsumen tersebut, sepanjang memang didukung oleh bukti-bukti yang cukup.

Ketentuan hokum administrasi, misalnya menentukan bahwa: Pemerintah melakukan pengaturan dan pembinaan rumah susun dan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang (termuat dalam Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 20 Ayat (1) Undang-Undang tentang Rumah Susun, Undang-Undang No. 16 Tahun 1985 LN Tahun 1985 No. 75)

Selanjutnya dalam Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, Pasal 73 ditentukan:

Pemerntah melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan penyelenggaraan upaya kesehatan.

Dalam Pasal 76 undang-undang itu dijelaskan pula peran pengawasan yang dijalankan oleh pemerintah, sedang Pasal 77 menegaskan wewenang pemerntah untuk mengambil berbagai tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan atau sarana kesehatan yang melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini.

Dari peraturan perundang-undanagan diatas terlihat beberapa departemen atau lembaga pemerintah tertentu yang menjalankan tindakan administratif berupa pengawasan dan pembinaan terhadap pelaku usaha dengan perilaku tertentu dalam melaksanakan perundang-undangan tesebut. Misalnya tindakan administratif terhadap tenag kesehatan atau sarana kesehatan yang melanggar undang-undang (Pasal 77 UU No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan).

Pasal 77 itu berbunyi :

Page 67: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

Pemerintah berwenang mengambil tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan atau sarana kesehatan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan ini.

Penjelasan pasal ini menentukan tindakan administratif dalam pasal ini dapat berupa pencabutan izin usaha, izin prakti atau izin lain yang diberikan, serta penjatuhan hokum disiplin berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tindakan administratif terhadap tenaga kesehatan dilakukan setelah mendengar pertimbangan Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.

Begitu pula dengan tindakan administratif Menteri Kehakiman dalam mengeshkan Anggaran Dasar suatu Perseroan Terbatas atau Perubahannya sebagaimana termuat dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Juga berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 29 menegaskan tugas pembinaan dan pengawasan bank-bank di Indonesia dilakukan oleh Bank Indonesia. Ayat (2) pasal ini menentukan bahwa Bank Indonesia menetapkan ketentuan tentang kesehatan bank dengan memperhatikan aspek permodalan, kualitas aset, kualitas manajemen,rentabilitas, likuiditas,solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank. Selanjutnya, Pasal 52 dan 53 (Ketentuan Pidana dan sanksi administratif), ditetapkan bahwa Bank Inndonesia dapat menetapkan sanksi administrative kepada bank yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini atau menyampaikan peritmbangan kepada Menteri Keuangan untuk mencabut izin usaha bank bersangkutan.

3. Hukum Transnasional

Sebutan “hukum transnasional” mempunyai dua konotasi. Pertama, hukum transnasional yang berdimensi perdata, yang lazim disebut hukkum perdata Internasional. Kedua, hukum internasional yang berdimensi public, yang biasanya dikenal sebagai hukum internasional publik. Hukum perdata internasional sesungguhnya bukan hukum yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari hukum perdata nasional. Hukum perdata internasional hanya berisi petunjuk tentang hukum nasional mana yang akan diberlakukan jika tedapat kaitan lebih dari satu kepentingan hukkum nasional. Melalui petunjuk inilah lalu ditentukan hukum atau pengadilan mana yang akan menyelesaikan perselisihan hukum tersebut.

Hukum internasonal sering dinilai sebagai instrument yang “mandul” daalm menangani banyak kasus hukum yang berdimensi lintas Negara. Kepentingan nasional masing-masing Negara kerapkali membuatnya harus menjadi “macan kertas” yang dengan sendirinya tidak bergigi dan tidak mempunyai kekuatan memaksa.

Masalh perlindungan konsumen merupakan salah satu bukti diantaranya. Gerakan ini memang berkembang pesat diberbagai penjuru dunia, namun intensitas

Page 68: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

gerakan tersebut tidak selalu sama pada tiap-tiap Negara. Kondisi suatu Negara sangat dominan menentukan seberapa jauh gerakan ini mendapat tempat di masyarakat.

Sumber terpenting dari hukum internasional adalah perjanjian antarnegara dan konvensi-konvensi internasional. Walaupun begitu, keberadaan sumber-sumber hukum internasional iu tetap tidak banyak artinya jika belum diartifikasi oleh Negara yang bersangkutan. Demikian pula halnya dengan resolusi-resolusi yang di buat oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang notabene tanpa ratifikasi pun harrusnya berlaku secara serta-merta terhadap semua Negara anggota badan dunia itu.

C. PERANAN HUKUM DALAM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Pada era perdagangan bebas dimana arus barang dan jasa dapat masuk ke semua Negara dengan bebas, maka yang seharusnya terjadi adalah persaingan jujur. Persaingan jujur adalah suatu persaingan dimana konsumen dapat memiliki barang atau jasa karena jaminan kualitas dengan harga yang wajar. Oleh karena itu, pola perlindungan konsumen perlu diiarahkan pada pola kerja sama antarnegara, antarsemua pihak yang berkepentingan agar terciptanya suatu model perlindungan yang harmonis berdasarkan atas persaingan jujur.

Sampai saat ini secara universal diakui adanya hak-hak konsumen yang harus dilindungi dan dihormati, yaitu:

1. Hak keamanan dan keselamatan 2. Hak atas informasi 3. Hak untuk memilih 4. Hak untuk didengar dan 5. Hak atas lingkungn hidup

Aspek-aspek hukum terhadap perlindungan konsumen didalam era pasar bebas, pada dasarnya dapat dikaji dari dua pendekatan, yakni dari sisi pasar domestic dan dari sisi pasar globlal.

Keduanya harus diawali dan sejak barang dan jasa diproduksi, didistribusikan/dipasarkan dan diedarkan sampai barang dan jasa tersebut dikonsumsi oleh konsumen.

Bertolak dari pemikiran diatas, pada dasarnya negara dapat diketahui bahwa aspek hukum public dan aspek hukum perdata mempunyai peran dan kesempatan yang sama untuk melindungi kepentingan konsumen.

Aspek hukum public berperan dan dapat dimanfaatkan oleh Negara, pemerintahan instansi yang mempunyai peran dan kemenangan untuk melindungi konsumen. Kemenangan dan peran tersebut dapat diwujudkan mulai dari :

Politic will/ kemauan politik untuk melindungi kepentingan konsumen domestic didalam persaingan globlal dan atas persaingan tidak sehat local.

Page 69: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

Birokrasi dengan sadar dan senang hati menciptakan kondisi dengan berbisnis jujur dalam mewujudkan persaingan sehat.

Di dalam hukum positif, yang sudah mengandung unsure melindungi kepentingan konsumen antara lain :

Undang-undang kesehatan Undang-undang barang Undang-undang hygiene untuk usaha Undang-undang pengawasan atau edar barang Peraturan tentang wajib daftar obat Peratutan tentang produksi dan peredaran produk tertentu Peraturan tentang perizinan, diharapkan diikuti dengan pengawasan,

pembinaan dan pemberian sanksi yang pasti dan tegas apabila terjadi pelanggaran mengenai syarat dan operasional dari perusahaan produsen.

Dari aspek hkum public, termasuk didalamnya hukum administrasi Negara, mempunyai sumbangan terbesar dalam rangka melindungi kepentingan konsumen. Sumbangan yang terbesar pada hukum public disini adalah kemampuan untuk mengawasi, membina dan mencabut izin sesuai dengan ketentuan apabila terbukti :

Melanggar ketentuan undang-undang Merugikan kepentingan umum/konsumen

Aspek hukum perdata secara umum hanya dapat dimanfaatkan oleh pihak untuk kepentingan-kepentingan subjektif. Meskipun demikian mengingat hubungan hukum para pihak terjadi karena berbagai alasan dan factor kebutuhan. Fakta selalu menunjukkan bahwa posisi calon konsumen dalam keadaan lebih karena factor ekonomi dan kebutuhan.

Keadaan yang demikian mendorong para pihak produsen, distributor, dan sebagainya, memperkuat posisinya dengan menyiapkan dokumen yang ditentukan secara sepihak. Hal inilah yang menyebabkan tidak seimbangnya hubungan hukum para pihak.

Untuk mengurangi ketidakseimbangan tersebut, maka sudah waktunya apabila disiapkan adanya syarat-syarat bahkan yang harus dipenuhi apabila ada pihak berniat menyiapkan perjanjian baku bagi calon konsumennya.\

Syarat-syarat baku minimal antara lain mengenai :

Waktu atau batas waktu untuk mengajukan keberatan Syarat atas pemenuhan janji Syarat kesanggupan untuk memenuhi kewajiban sesuai dengan promosi.

BAB 5

Page 70: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

PRINSIP-PRINSIP HUKU PERLINDUNGAN KONSUMEN

A.PRINSIP-PRINSIP TANGGUnG JAWAB

Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. Dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diberlakukan keberhati-hatian daalm menganalisis siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh tanggung jawab dapat dibebankan kepada pihak-pihak terkait.

Beberapa sumber formal hukum, seperti peraturan perundang-undangan dan perjanjian standar di lapangan hukum keperdataan kerap memberikan pembatasan-pembatasan terhadap tanggungjawab yang dipikul oleh sipelanggar hak konsumen.

Secara umum, prinsip-prinsip tanggungjawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Kesalahan 2. Praduga selalu bertanggung jawab3. Praduga selalu tidak bertanggung jawab4. Tanggung jawab mutlak5. Pembatasan tanggung jawab

1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan

Prinsip tanggungjawab berdasarkan unsure kesalahan adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata.dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini di pegang secara teguh.

Prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsure kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUH Perdata, yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsure pokok, yaitu :

1. Adanya perbuatan 2. Adanya unsure kesalahan3. Adanya kerugian yang diderita4. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kealpaan

Yang dimaksud kesalahan adalah unsure yang bertentangan dengan hukum. Pengertian “hukum” tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.

Page 71: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adalah adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain.

Mengenai pembagian beban pembuktiannya, asas ini mengikuti ketentuan Pasal 163 (HIR) atau Pasal 283 (Rbg) dan Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Di situ dikatakan, barangsiapa yang mengakui mempunyai suatu hak, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.

Ketentuan diatas juga sejalan dengan teori umum dalam hukum acara, yakni asas kedudukan yang sama antara semua pihak yang berperkara. Di sini hakim harus memberi para pihak beban yang seimbang dan patut sehingga masing-masing memiliki kesempatan yang sama untuk memenangkan perkara tersebut.

Perkara yang perlu diperjelas dalam prinsip ini, yang sebenarnya juga berlaku umum untuk prinsip-prinsip lainnya adalah definisi tentang subjek pelaku kesalahan (lihay Pasal 1367 KUP Perdata). Dalam doktrin hukum dikenal asas vicarious liability dan corporate liability.

Vicarious liability atau disebut juga respondeat superior, let the master answer, mengandung pengertian majikan bertanggung jawab atas kerugian pihak lain yang ditimbulkan oleh orang-orang atau karyawan yang berada dibawah pengawasannya. Jika karyawan itu dipinjamkan kepihak lain,maka tanggung jawabnya beralih pada si pemakai karyawan tadi.

Corporate liability pada prinsipnya memiliki pengertian yang sama dengan vicarious liability. Menurut doktrin ini, lembaga yang menaungi suatu kelompok pekerja mempunyai tanggung jawab terhadap tenaga-tenaga yang dipekerjakannya. Sebagai contoh, dalam hubungsn hukum antara rumah sakit dan pasien, semua tanggung jawab atas pekerjaan tenaga medic dan paramedic dokter adalah menjadi beban tanggung jawab rumah sakit tempat mereka bekerja. Prinsip ini diterapkan tidak saja untuk karyawan organiknya (digaji oleh runah sakit), tetapi untuk karyawan nonorganic (misalnay dokter yang dikontrak kerja dengan pembagian hasil).

Latar belakang penerapan prinsip ini adalah konsumen hanya melihat semua dibalik dinding suatu korporasi itu sebagai sati kesatuan. Ia tidak dapat membedakan mana yang berhubungan secara organic dengan korporasi dan mana yang tidak. Doktrin yang terakhir ini disebut ostensible agency. Maksudnya, jika suatu korporasi (misalnya rumah sakit) memberi kesan kepada masyarakat (pasien), orang yang bekerja disitu (dokter,perawat,dan lain-lain) adalah karyawan yang tunduk dibawah perintah korporasi tersebut, maka sudah cukup syarat bagi korporasi itu untuk wajib bertanggung jawab secara vicarious terhadap konsumen.

2. Prinsip Praduga untuk Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini menyatakan, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab, sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktian ada pada si tergugat.

Dalam hukum pengangkutan, khususnya pengangkutan udara, prinsip tanggung jawab ini pernah diakui, sebagaimana dapat dilihat dalam Pasal 17,18 Ayat

Page 72: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

(1), Pasal 19 jo, Pasal 20 Konvensi Warsawa 1929 atau Pasal 24,25,28 jo, Pasal 29 Ordonansi Pengangkutan udara No. 100 Tahun 1939, kemudian dalam perkembangannya dihapuskan dengan Protokol Guatemala 1971.

Berkaitan dengan prinsip tanggung jawab ini, dalam doktrin hukum pengangkutan khususnya, dikenal empat variasi:

a) Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab kalau ia dapat membuktikan, kerugian ditimbulkan oleh hal-hal diluar kekuasannya.

b) Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapat membuktikan, ia mengambil suatu tindakan yang diperlukan untuk menghindari timbulnya kerugian.

c) Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggng jawab jika ia dapat membuktikan, kerugian yang timbul bukan karena kesalahannya

d) Pengangkut tidak bertanggung jawab jika kerugian itu ditimbulkan oleh kesalahan/kelalaian penumpang atau karena kualitas/mutu barang yang diangkut tidak baik

Tampak beban pembuktian terbalik (omkering van bewijslast) diterima dalam prinsip tersebut. Dalam konteks hukum pidana di Indonesia, omkering van bewijslast juga diperkenalkan dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi, tepatnya pada Pasal 17 dan 18. Namun, dalam praktiknya pihak kejaksaan RI sampai saat ini masih keberatan untuk menggunakan kesempatan yang diberikan prinsip beban pembuktian terbalik. UUPK pun mengadopsi system pembuktian terbalik ini, ssebagaimana ditegaskan dalam pasal 19,22, dan 23 (lihat ketentuan Pasal 28 UUPK).

Dasar pemikiran dari teori Pembalikan Beban Pembuktian adalah seseorang dianggpa bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah yang lazim dikenal dalam hukum. Namun, jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak, asas demikian cukup relevan. Jika digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat ini yang haus menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak lalu berarti dapat sekehendak hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan si tergugat.

3. Prinsip Praduga untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip kedua. Prinsip Praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalamlingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan.

Contoh dalam penerapan prinsip ini adalah dalam hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin/bagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh sipenumpang (konsumen) adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini, pelaku usaha tidak dapat diminta pertanggungjawaban

Page 73: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

Sekalipun demikian, dalam Pasal 44 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara, ada penegasan, “prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab” ini tidak lagi diterapkan secara mutlak, dan mengarah kepada prinsip tanggung jawab dengan pembatasan uang ganti rugi (setinggi-tingginya satu juta rupiah). Artinya, bagasi kabin/bagasi tangan tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban sepanjang bukti kesalahan pihak pengangkut (pelaku usaha) dapat ditunjukkan. Pihak yang dibebankan untuk membuktikan kesalahan itu ada pada si penumpang.

4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak

Prinsip tanggung jawab mutlak sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut. Kendati demikian ada pula para ahli yang membedakan kedua terminology di atas.

Ada pendapat yang mengatakan, tanggung jawab mutlak adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai factor yang menentukan. Namun, ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeur. Sebaliknya, tanggung jawab absolute adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Selain itu, ada pandangan yang agak mirip, yang mengaitkan perbedaaan keduanya pada ada atau tidak adanya hubungan kausalitas antara subjek yang bertanggungjawab dan kesalahannya. Pada tanggung jawab mutlak ,hubungan itu harus ada. Sementara pada tanggung jawab absolute hubungan itu tidak selalu ada.

Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha, khususnya produsen barang, yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggungjawab itu dikenal dengan nama product liability. Menurut asas ini, produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang dipasarkannya. Gugatan product liability dapat dilakukan berdasarkan tiga hal :

A. Melanggar jaminan, misalnya khasiat yang timbul tidak sesuai dengan janji yang tertera dalam kemasan produk

B. Ada unsure kelalaaiaan, yaitu produsen lalai memenuhi standar pembuatan oba yang baik

C. Menerapkan tanggung jawab mutlak

Variasi yang sedikit berbeda dalam penerapan tanggung jawab mutlak terletak pada risk liability. Dalam risk liability, kewajiban mengganti rugi dibebankan kepada pihak yang menimbulkan resikoadanya kerugian itu. Namun, konsumen tetap diberikan beban pembuktian, walaupun tidak sebesar si tergugat. Dalam hal ini, ia hanna perlu membuktikan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan pelaku usaha (produsen) dan kerugian yang dideritanya. Selebihnya dapat digunakan prinsip strict liability.

Page 74: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

5. Prinsip Tanggung Jawab denagn Pembatasan

Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian cuci cetak film misalnya, ditentukan bila film yang ingin dicetak itu hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka konsumen hanya dibatasi ganti kerugiannya sebesar sepuluh kali harga saru rol film baru.

\ Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh pelaku usaha. Dalam UU No. 8 Tahun 1999 seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas.

b. product liability

Kebutuhan-kebutuhan akan reformasi hukum, khususnya hukum ekonomi dalam perkembangan dewasa ini sangatlah mendesak. Apalagi dalam era globlalisasi seperti sekarang ini, yang ditandai dengan saling ketergantungan antara Negara satu dengan Negara lainny, pembentukan hukum nasional yang baru perlu memperhatikan dimensi internasional, Indonesia dituntut memebentuk hukum nasional yang harus mampu berperan dalam memperlancar lalu lintas hukum ditingkat international.

Adalah fakta bahwa terdapat ketentuan-ketentuan yang baik yang berasal dari legal culture bangsa lain ataupun konvensi-konvensi internasional yang dapat dimanfaatkan dalam rangka modernisasi hukum nasional. Salah satu lembaga hukum yang berdimensi internasional yang perlu diperhatikan dalam revisi maupun pembentukan hukum ekonomi nasional adalah tanggung jawab produk ( product liability).

Secara historis, prodct liability lahir karena ketidakseimbangan tanggung jawab antara produsen dan konsumen. Dengan lembaga ini produsen yang pada awalnya menerapkan strategi prosuct oriented dalam pemasaran produknya harus mengubah strateginya menjaddi consumer oriented. Produsen harus berhai-hati denagn produknya, karena tanggung jawab dalam product.

Menurut Johannes Gunawan, tujuan utama dari dunia memperkenalkan product liability adalah :

a. Memberi perlindungan kepada konsumenb. Agar terdapat pembebanan resiko yang adil antara produsen dan konsumen

1. Pengertian Product Liability

Istilah product liability diterjemahkan secara bervariasi kedalam bahasa Indonesia seperti “tanggung gugat produk” atau juga “tanggung jawab produk”.dengan memperbesar saving, sementara capital output ratio ditekan

Page 75: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

serendah-rendahnya. Orientasi kegiatan terarah kepada mekanisme pasar, dan optimalisasi penumpukan dan pemanfaatan capital.

Pengertian product liability dapat ditemukan pada beberapa sumber berikut, Henry Campbell dalam Black’s Law Dictionary mendefinisikan prouct liability sebaagi berikut :

Refers to the legal liability of manufacturers and sellers to compensate buyers, users, and even bystanders, for damages or injuries suffered because of defect in good purchase.

Pengertian lain dikemukakan oleh zigurds L. Zile:

Product liability denotes the civil liability of developers, makers and distributors of products for harm the products have caused to other.

Adapun Agnes M.Toar memberikan pengertian product liability sebagai :

Tanggung jawab para produsen untuk produk yang telah dibawanya kedalam peredaran yang menimbulkan/menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut.

Product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk atau dari badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk atau badan yang menjual produk tersebut. Bahkan dilihat dari konvensi tentang product liability diperluas terhadap orang/badan yang terlibat dalam rangkaian komersial tentang persiapan atau penyebaran dari produk, termasuk para pengusaha bengkel dan pergudangan.

Adapun cirri-ciri dari product liability dengan mengambil pengalaman dari masyarakat eropa dan terutama Negeri Belanda, dapat dikrmukakan secara singkat sebagai berikut:

1. Yang dapat dikualifikasikan sebagai produsen adalah Pembuat produk jadi Penghasil bahan baku Pembuat suku cadang Setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen dengan

jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli, pada produk tertentu

Importer suatu produk dengan maksud untuk diperjualbelikan, disewakan, disewagunakan, atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan

Pemasok, dalam hal identitas dari produsen atau importer tidak dapat ditentukan

2. Yang dapat dikualifikasikan sebagai konsumen adalah konsumen akhir.

3. Yang dapat dikualifikasikan sebagai produk adalah benda bergerak, sekalipun benda bergerak tersebut telah menjadi komponen/bagian dari benda bergerak

Page 76: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

atau benda tetap lain, listrik, dengan pengecualian produk-produk pertanian dan perburuan.

4. Yang dapat dikualifikasikan sebagai kerugian adalah kerugian pada manusia dan keugian pada harta benda, selain dari produk yang bersangkutan

5. Produk dikualifikasi sebagai menganduung kerusakan apabila produk itu tidak memenuhi keamanan yang dapat diharapkan oleh seseorang dengan mempertimbangkan semua aspek, antara lain:

a. Penampilan produkb. Maksud penggunaan produkc. Saat ketika produk ditempatkan dipasaran

Tangggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat/rusak sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi pihak lain (konsumen), baik kerugian badaniah, kematian atau harta benda.

Apakah yang dimaksud dengan produk cacat di Indonesia?. Definisi produk cacat menurut Emma Suratman, adalah:

Setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pemuatannya baik karena kesengajaan atau kealpaan dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal lainyang terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta benda dalam penggunaannya, sebagaimana diharpkan orang.

Dari batasan ini terlihat bahwa pihak yang bertanggung jawab adalah pelaku usaha pembuat produk tersebut (produsen), tanpa kesalah dari pihaknya. Perkembangan ini sebenarnya dipicu juga oleh tujuan yang ingin dicapai doktrin ini, yaitu:

a. Menekan lebih rendah tingkat kecelakaan karena produk cacat tersebut.b. Menyediakan sarana hukum ganti rugi bagi (korban) produk cacat yang tidak

dapat dihindari.

Suatu produk dapat disebut cacat (tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya) karena:

1. Cacat produk atau manufaktur2. Cacat desain 3. Cacat peringatan atau cacat

1). Cacat produk

Cacat produk adalah keadaan produk yang umumnya berada dibawah tingkat harapan konsumen. Atau dapat pula cacat itu demikian rupa sehingga dapat membahayakan harta bendanya, kesehatan tubuh atau jiwa konsumen. Misalnya, setiap orang mengharapkan air minum dalam botol tidak berisi butir-butir pasir, seperti juga tepung gandum tidak berisi potongan-potongan kecil besi, saus tomat tidak terbuat dari labu siam sitambah dengan zat pewarna. Cacat-cacat demikian dapat pula termasuk cacat desain, sebab kalau desain produk itu dipenuhi sebagaimana mestinya, tidaklah kejadian merugikan konsumen tersebut dapat terjadi.

Page 77: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

2). Cacat peringatan atau intruksi

Cacat peringatan ini adalah cacat produk karena tidak dilengkapi dengan peringatan-peringatan tertentu atau intruksi penggunaan tertentu. Misalnya peringatan produk harus disimpan pada suhu kamar atau suhu lemari pendingin (makanan dalam kemasan). Atau dapat pula peringatan agar dalam penggunaannya harus menggunakan voltase listrik tertentu, larangan memakai kendaraan, bermotor selama menggunakannya, atau pengguna yang biasa meminum minuman keras melebihi ukuran tertentu harus meminta nasehat dokter, dan sebagainya.

Produk yang tidak memuat peringatan tertentu sebagaimana diutarakan diatas, termasuk produk cacat, yang tanggung jawabnya secara tegas dibebankan pada produsen dari produk yang bersangkutan. Akan tetapi disamping produsen, dengan syarat-syarat tertentu, beban tanggung jawab itu dapat pula diletakkan diatas pundak pelaku usaha lainnya, seperti importir produk, distributor, atau pedagang pengecernya.

Jadi, tanggung jawab produk cacat ini berbeda dari tanggung jawab pelaku usaha produk pada umumnya. Tanggung jawab produk cacat terletak pada tanggung jawab cacatnya produk berakibat pada orang, orang lain atau barang lain. Sedang tanggung jawab pelaku usaha karena perbuatan melawan hukum adalah tanggung jawab atas rusaknya atau tidak berfungsinya produk itu sendiri.

Dari perkembangan product liability di berbagai Negara, dapat dikemukakan bahwa product liability merupakan lembaga hukum yang tetap menggunakan kontruksi hukum tort (perbuatan melawan hukum). Dengan beberapa modifikasi. Modifikasi tersebuut adalah :

1. Produsen langsung dianggap bersalah jika terjadi kasus product liability,sehingga didalamnya dianut prinsip praduga bersalah (presumption of fault) berbeda dengan praduga tidak bersalah (presumption of no fault)yang dianut oleh tort.

2. Karena produsen dianggap bersalah,konsenkuensinya ia harus bertanggung jawab (liable) untuk memberi ganti rugi secara langsung kepada pihak konsumen yang menderita kerugian.jenis tanggung jawab (liability) semacam ini disebut no fault liability atau strict liability.

3. Karena produsen sudah dianngap bersalah,maka konsumen yang menjadi korban tidak perlu lagi membuktikan unsure kesalahan produsen.Dilihat dari segi ini,konsumen jelas sangat diringankan dari beban untuk membuktikan kesalahan produsen,yang relative sangat sukar,seperti yang dianut didalam tort.Dalam hal ini beban pembuktian justru dialihkan (shifting the burden of proof) kepada pihak produsen ,untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan kesalahan yang menimbulkan kerugian kepada konsumen.

Namun demikian,karena karakter dasar dari product liability adalah tort,konsumen menjadi korban masih harus membuktikan ketiga unsure lainnya,yaitu perbuatan produsen adalah perbuatan melawan hukum dengan kerugian dan hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang timbul.

Page 78: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

Meskipun system tanggung jawab dalam product liability berlaku prinsip strict liability,pihak produsen dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya,baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian.Hal-hal yang dapat membebaskan tanggung jawab produsen tersebut adalah

a. Jika produsen tidak mengedarkan produknya (put into circulation);b. Cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat produk

diedarkan oleh produsen,atau terjadinya cacat tersebut baru timbul kemudian.

c. Bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh produsen baik untuk dijual atau diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau diedarkan dalam rangka bisnis;

d. Bahwa terjadinya cacat pada produk tersebut akibat keharusan yang dikeluarkan oleh pemerintah;

e. Bahwa secara ilmiah dan teknis (state of scientic and technical knowledge,state of art defense) pada saat produk tersebut diedarkan tidak mungkin terjadi cacat.

Dari cakupan product liability tesebut,menunjukkan luuasnya kepentingan konsumen yang dapat dijangkau oleh lembaga hukum ini.Dari pengertian produk dan produsen yang begitu luas,dapat terlindungan karena dapat diketahui apa yang dapat dituntut dan kepada siapa tuntutan itu harus ditunjukkan.

2.Produk Liability di Indonesia

Seperti telah dikemukakan pada pendahuluan,Indonesia sedang menuju era industrialisasi.Produuk-produk yang dihasilkan industry itu ditunjukkan baik untuk memenuhi keperluan dalam negeri maupun untuk keperluan ekspor.Devisa yang dihasilkan sangat diperlukan bagi keperluan impor produk-produk yang tidak dapat dihasilkan didalam negeri.

Dalam memasuki era industrialisasi tersebut berbagai hal perlu mendapat perhatian sungguh-sungguh,mulai dari penyediaan sumber daya manusia yang berkualitas,penguasaan ilmu dan teknologi,mengatisipasi tuntutan akan barang dan jasa yang lebih berkualitas, persaingan yang lebih berkualitas,persaingan yang lebih ketat baik didalam maupun diluar negeri dari sebagai akibat globasasi dan perdagangan bebas dan sebagainya.Hal penting lain yang perlu mendapat perhatian serius dalam era industrialisasi adalah bidang hukum,khususnya tentang produk liability atau tanggung jawab produsen.Masalah produk liability ini erat kaitannya dengan masalah persaingan dalam era perdagangan bebas maupun dengan makin meningkatnya perhatian terhadap perlindungan konsumen.Inti masalahnya terletak pada kulitas produk yang dihasilkan.

Undang-undang No.8 Tahun 1999 telah menggunakan prinsip semi-strict liability sebagaimana yang diatur dalam pasal 19 Bab IV tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha,dijelaskan sebagai berikut :

1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,pencemaran ,dan atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

Page 79: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan jasa yang sejenis atau setara nilainya atau perawatan kesehatan dan atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud ada ayat pada ayat (1) dan ayat (2) tidak mengharuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih jelas mengenai adanya unsure kesalahan.

5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Dalam juga,pasal 20 yang berbunyi bahwa pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.Disamping itu,tanggung gugat juga diberlakukan bagi importir barang atau jasa sebagai pembuat barang yang diimpor atau sebagia penyedia jasa asing jika importasi barang tersebut atau penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri atau perwakilan produsen luar negeri atau perwakilan penyedia jasa asing.

Selain itu,dalam pasal 28 dinyatakan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam gugatan ganti rugi merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.Hal ini berarti berlaku system pembuktian terbalik,baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata,sesuatu yang menyimpang dari hukum acara biasa.Didalam hukum acara pidana,beban pembuktian terletak pada jaksa (penuntut umum),sedangkan didalam hukum acara perdata baik berdasarkan pasal 163 Herziene Inlands Reglement (HIR),pasal 383 Reglement buitengewesten (RBg),maupun pasal 1865 BW,beban pembuktian diletakkan pada penguggat.

Berdasarkan system hukum yang ada kedudukan konsumen sangat lemah dibanding produsen.Salah satu usaha untuk melindungi dan menibgkatkan kedududkan konsumen adalah dengan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability ) dalam hukum tentang tanggung jawab produsen.Dengan diberlakukannya prinsip tanggung jawab mutlak diharpkan pula para produsen/industrawan Indonesia menyadari betapa pentingnya menjaga kwlaitas produk – produk yangt telah dihasilkannya,sebab bil tidak selain akan merugikan konsumen juga akan sangat besar resiko yang harus ditanngungnya.Para produsen akan llebih berhati-hati dalam memproduksi sebelum dilempar ke pasaran sehinnga para konsumen,baik dalam maupun luar negeri tidak akan ragu-ragu membeli barang produksi Indonesia.Demlian juga bila kesadaran oara produsen /industriawan terhadap hukum tentang tanggung jawab produsen tidak ada,dikhawatirkan akan berakibat tidak baik terhadap perkembangan/eksitensi dunia industry nasional maupun ada daya saing produk nasional terutama diluar negeri.

Penerapan prinsip tanggung jawab mutlak di Indonesia meliputi 3 bagian penting.Pertama factor-faktor eksternal hukum yang mempengaruhi perkenbangan dan pembaharuan hukum perlindungan konsumen teramsuk penerapan prinsip tanggung jawab mutlak.Kedua,factor internal system hukum yaitu elemen struktur dan budaya hukum ddalam rangka penerapan prinsip tanggung jawab mutlak di

Page 80: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

Indonesia.Ketiga,adalah ruang lingkup materi atau substansi dari prinsip tanggung jawab mutlak yang perlu diatur dalam undang-undang.

Namun demikian,dengan memberlakukan prinsip strict liability dalam hukum tentang product liability tidak berarti pihak produsen tidak mendapat perlindungan.Pihak produsen masih diberi kesempatan untuk membebaskan diri dari tanggung jawabnya dalam hal – hal tertentu yang dinyatakan dalam undng- undang.Disamping itu,pihak produsen juga dapat mengasuransikan tanggung jawabnya sehingga secara ekonomis dia tida mengalami kerugian yang berarti.

Konsekuensinya dari pembalikan beban pembuktian adalah tergugat wajib membuktikan ketidaksalahannya.Apabila tergugat tidak dapat membuktikan ketidaksalahanya,maka tergugat harus dikalahkan karena apa yang didalihkan oleh penggugat terbukti.Dalam perkara pidana,juga berlaku hal sama,bahwa apabila tersangka tidak dapat membuktikan ketidaksalahannya,ia harus dintakan terbukti melakukan tindak pidana yang disangkakan kepadanya.Akan tetapi,Undang-undang No.8 Tahun 1999 tentangg perlindungan Konsumen juga membebaskan pelaku usaha untuk memberikan ganti rugi apabila pelaku usaha dapat membuktikan kalau kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen(pasal 19 ayat (5)).Selain itu,pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen apabila :

a. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;

b. Cacat barang timbul pada kemudian hari;c. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kulifikasi barang;d. Kelalaianyang diperjanjikan yang diakibatkan oleh konsumen;e. Lewatnya waktu pennututan 4 tahun sejak barang dibeli\ atau lewatnya

jangka waktu (pasal 27).

Adapun system beban pembuktian terbalik juga digunakan jika kasus perlindungan konsumen diangkat sebagai kasus pidana.Hali ini berarti meskipun ganti rugi telah diberikan namun tidak menghapus kemungkinan adanya tuntutan piadana berdasrkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsure kesalahan ini digunakan system beban pembutian terbalik.Pasal 22,menegaskan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.

c. PENYALAHGUNAAN KEADAAN (MISBRUIK VAN OMSTANDIGHEDEN)

“penyalahgunaan keadaan” menguraikan penerapan lembaga ini dalam sengketa transaksi konsumen yang akan direkomendsikan untuk diterima menjadi salah satu prinsip penting dalam hukum Indonesia.

Perkjanjian merupakan salah satu sumber perkitan yang dapat dikatakan sebagai sumber formal hukum yang utama dalam transaksi konsumen.Salah satu isu pokok dalam transakssi konsumen misalnya terkait dengan keberadaan perjanjian

Page 81: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

standar (baku) yang oleh banyak pihak dinilai menggerototi hak kebebasan berkontrak dari pihak konsumen.

Secara klasik sebagiamana dimuat dalam kitab undang-undang Hukum Perdata,salah satu asas penting dalam perjanjian adalah prinsip kebebasan berkonrak.Asas ini pertama kali dapat disimpulkan dari pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,yang menetapkan empat syarat sah suatu perjanjian, yakni :

1. Kesepakatan kedua belah pihak2. Kecakapan3. Suatu pokok persoalan tertentu4. Suatu sebab yang halal

Dua syarat yang pertama berkaitan dengan syarat subjektif, sedangkan dua syarat terakhir berhubungan dengan syarat objektif. Menurut Subekti, pelanggaran syarat subjektif menyebabkan perjanjian itu terancam untuk dapat dimintakan pembatalannya. Di sisi lain, bila syarat objektif tidak dipenuhi, perjanjian itu terancam batal demi hukum.

Pasal 1321 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menebutkan tiga alas an untuk melakukan pembatalan perjanjian, yakni :

1. Kekhilafan atau kesesatan2. Paksaaan3. Penipuan

Tiga alasan warisan hukum colonial belanda itu tetap berlaku sampai sekarang, sekalipun di negeri Belanda terjadi satu perkembangan yang sangant berarti, khususnya dipandang dari sudut hukum perlindungan konsumen. Kemajuan dimaksud adalah dimasukkannya alasan keempat, yaitu penyalahgunaan keadaan. Keempat alasan itu dicantumkan dalam Buku III Pasal 44 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata belanda yang baru.

Penyalahgunaan keadaan berkaitan dengan kondisi yang ada pada saat kesepakatan terjadi. Kondisi itu membuat ada salah satu pihak berada dalam keadaan tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya. Itu sebabnya, ada ahli yang berpendapat penyalahgunaan keadaan ini sebagai salah satu bentuk dari cacat kehendak juga.

Satu hal yang harus diingat, penyalahgunaan keadaan sejak semula tidak dapat dianggap sebagai hal yang dapat dibenarkan oleh hukum. Sebenarnya, penyalahgunaan keadaan sejak dulu dimasukkan sebagai keadaan yang bertentangan dengan ketertiban umum atau kebiasaan yang baik. atas dasar itu, suatu perjanjian dapat dinyatakan tidak berlaku, baik seluruhnya maupun bagian tertentu saja. Dengan demikian, ada anggapan “sebab” yang terlarang sama dengan “isi” perjanjian yang tidak di benarkan. Padahal, penyalahgunaan tidak semata-mata berkaitan dengan “isi” perjanjian. Isinya mungkin tidak terlarang, tetapi ada sesuatu yang lain, yang terjadi pada saat lahirnya perjanjian, yang menimbulkan kerugian pada salah satu pihak. Inilah yang dinamakan “penyalahgunaan keadaan”.

Menurut Van Dunne, penyalahgunaan keadaan terjadi karena ada dua unsur, yaiitu kerugian bagi salah satu pihak dan penyalahgunaan kesempatan oleh pihak lain.

Page 82: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

Dari unsure yang kedua itu,timbul sifat perbuatan, yaitu ada keunggulan pada salah satu pihak, yang bersifat ekonomis/psikologis. Keunggulan ekonomis terjadi bila posisi kemampuan ekonomi kedua belah pihak tidak seimbang sehingga salah satu tergantung pada yang lain. Pada keunggulan psikologis, boleh jadi ketergantungan ekonomis itu tidak ada, tetapi salah satu pihak mendominasi secara kejiwaan. Kondisi ini tercipta karena :

1. Adanya ketergantungan relatif (misalnya antara orang tua dan anak, suami dan istri, dokter dan pasien, pendeta dan jemaatnya), dan

2. Salah satu pihak menyalahgunakan keadaan pihak lain untuk kepentingannya. Keadaan yang dimaksud disebabkan, misalnya yang bersangkutan belum berpengalaman, gegabah, kurang jelas, dan kurang informasi.

Melengkapi pandangan Dunne,J.Satrio menambahkan lagi enam factor yang dapat dianggap sebagai cirri dari penyalahgunaan keadaan, sebagai berikut :

1. Pada waktu menutup perjanjian, salah satu pihak ada dalam keadaan terjepit2. Karena keadaan ekonomis, kesulitan keuangan yang mendesak3. Karena hubungan atasan-bawahan, keunggulan ekonomis pada salah satu

pihak, hubungan majikan-buruh, orang tua/wali-anak belum dewasa4. Karena keadaan, seperti pasien membutuhkan pertolongan dokter ahli5. Perjanjian itu mengandung hubungan yang timpang dalam kewajiban timbale

balik antara para pihak (prestasi yang tak seimbang), pembebasan majikan dari resiko dan menggesernya menjadi tanggungan si buruh

6. Kerugian yang sangat besar dari salah satu pihak.

Factor kerugian disini tidak harus berwujud kerugian materiil, tetapi dapat meliputi kerugian”subjektif”, seperti segala sesuatu yang menyebabkan orang pada posisi tidak menguntungkan.

Jelas sekali,”penyalahgunaan keadaan” ini sanagat relevan untuk disinggung dalam kaitannay dengan persengketaan transaksi konsumen. Keunggulan ekonomis dan psikologis dari si pelaku usaha sering sangat dominan sehingga mempengaruhi konsumen untuk memutuskan kehendaknya secara rasional. Sebagai contoh, konsumen perumahan sering terdesak nutuk menyetujui suatu perjanjian kredit dengan bank berdasarkan system bunga fluktuatif yang sangat tidak menguntungkan, karena ia sudah sangat membutuhkan rumah tinggal yang layak dan pemerintah tidak menyediakan fasilitas perbankan yang lebih ringan daripada itu. Di lain pihak, sering pelaku usaha secara sistematis memasang iklan di media massa untuk menggiring psikologi konsumen agar berperilaku konsumtif.

Persoalannya “ penyalahgunaan keadaan”, memang belum diadopsi ke dalam Kitab undang-Undang Hukum Perdata (eks Kolonial Belanda) yang tetap berlaku di Indonesia. Walaupun demikian, ketiadaan pengaturan itu tidak berarti,”penyalahgunaan keadaan” tidak dapat diterapkan dalam penyelesaian kasus-kasus perdata di Indonesia. Henry P. Pangabean, misalnya menyebutkan ada putusan hakim yang dapat dianggap sebagai yuris-prudensi, yang dalam konsiderannya memuat pertimbangan “penyalahgunaan keadaan” oleh salah satu pihak. Putusan itu termuat dalam putusan MA No. 3431K/Pdt/1985, 4 Maret 1987 dan Putusan No. 1904K/Sip 1982, 28 Januari 1984.

Page 83: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

UUPK sendiri secara umum membuka kemungkinan pengajuan gugatan oleh konsumen kepada pelaku usaha berdasarkan factor penyalahgunaan keadaan ini. Penjelasan Pasal 2 UUPK menyebutkan adanya lima asas perlindungan konsumen, yaitu asas :

1. Manfaat2. Keadilan3. Keseimbangan4. Keamanan dan keselamatan 5. Kepastian hukum

Pada asas keadilan, dijelaskan, seluruh rakyat diupayakan agar dapat berpartisipasi semaksimal mungkin dan agar diberi kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannnya secara adil. Kemudian, dalam asas keseimbangan disebutkan, perlu diberi keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.

Pasal 4 huruf g UUPK menyebutkan pula, salah satu hak konsumen adalah hak untuk diperlakukan atatu dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. Penjelasan dari ketentuan tersebut secara jelas dapat ditafsirkan sebagai keterkaitan dengan larangan “penyalahgunaan keadaan”. Dalam ketentuan itu dikatakan, setiap konsumen memiliki hak untuk dilakukan atau di layani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin, dan status social lainnya.

Pasal 15 UUPK bahkan secara tegas mengatakan, pelaku usaha dalam menawarkan barang atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen. Selanjutnya dalam hubungannya dengan perjanjian standar, Pasal 18 UUPK meletakkan hak-hak yang setara antara konsumen dan pelaku usaha bedasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Pelanggaran terhadap kedua paasl di atas merupakan tindak pidana menurut ketentuan Pasal 62 UUPK, dengan ancaman pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak dua miliar rupiah.

Van Dunne melihat, dalam kaitannya dengan perjanjian standar yang banyak sekali dibuat oleh para pelaku usaha dewasa ini, sebaiknya penerapan ajaran “penyalahgunaan keadaan” ini tidak sepenuhnya diserahkan pada hakim. Artinya, perlu “campur tangan” pembentuk undang-undang untuk melindungi kepentingan konsumen. Pesan ini tampaknya perlu juga diperhatikan oleh lembaga legislatif kita.

d. Norma-norma perlindungan konsumen

Era perdagangan bebas menghendaki bahwa semua barang dan jasa yang berasal dari Negara lain harus dapat masuk ke Indonesia, bila tidak distigma anti-world trade organization (WTO). Masuk nya barang dan jasa impor ke Indonesia bukannya tanpa permasalahan. Permasalahan muncul jika ada pengaduan konsumen atas barang dan jasa impor tersebut, bagaimana mekanisme penyelesaiannya yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Masih banyak makanan impor yang diketahui

Page 84: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

dengan jelas siapa distributornya di Indonesia. Ketidakjelasan ini menyulitkan konsumen bila ia mengalami kerugian akibat produk barang atau jasa tersebut.

Secara yuridis muncul pula masalah benturan system hukum antara Indonesia dengan Negara-negara lain. Yaitu, bila perundang-undangan Indonesia bertentangan dengan ketentuan (WTO). Secara teoritis itu dapat saja diselesaikan, tetapi pada tataran paktik dan kenyataannya tidak mudah dilakukan karena berbagai sebab yang bersifat yuris-politis-sosiologis. Paling tidak ada 3 penyebab yang dapat dikategorikan sabagai hambatan-hambatan dalam perdagangan bebas.

Pertama, karena tidak konsistennya badan peradilan kita atas putusan-putusannya. Sering terjadi perbedaan-perbedaan putusan pengadilan dalam kasus serupa. Dalam kasu berskala nasional saja pengadilan belum mampu bessikap konsisten. Bagaimana dengan kasus-kasus konsumen pada era perdagangan bebas yang bersuasana internasional.

Kedua, sebagian besar konsumen Indonesia enggan berperkara ke pengadilan, padahal telah sangat dirugikan oleh pengusaha. “keengganan” ini akan sangat berbeda jka dibandingkan dengan konsumen-konsumen di Negara-negara peserta perdagangan bebas lainnya, seperti Amerika Serikat, Inggris, dan lain-lain. Mereka telah terbiasa mempertanyakan produk-produk yang dikonsumsinya, kalau perlu penyelesaian melalui jalur hukum. Keengganan konsumen Indonesia ini disamping disebabkan oleh ketidak kritisan mereka, juga lebih banyak didasarkan pada :

a. Belum dapat diterapkannya norma-norma perlindungan di Indonesia, dalam hal ini Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang relative masih baru, sehingga diperlukan waktu sosialisasi pemberlakuannya selama 1 tahun

b. Praktik peradilan kita yang tidak sederhana, cepat, dan biaya ringanc. Sikap menghindari konflik meskipun hak-haknya sebagai konsumen dilanggar

pengusaha.

Ketiga, tarik-menarik berbagai kepentingan diantara para pelaku ekonomi yang memiliki akses kuat diberbagai bidang, termasuk akses kepada pengambil keputusan.secara sosiologis, hal ini berada diluar jangkauan hukum. Kalaupun hukum digunakan untuk menjangkaunya itu pum hanya sebatas kepada mereka yang menjadi tumbal space-goal tarik-menarik kepentingan tersebut.

Terlampau dini bagi kita untuk memberikan penilaian efektif tidaknya norma-norma perlindungan konsumen yang integral (Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen) dalam tata hukum kita, karena norma-norma ini masih dalam taraf sosialisasi selama setahun sejak diundangkan pada tanggal 20 April 1999 yang lalu. Sementara itu, dalam perspektif perlindungan konsumen, hukum positif yang ada tidak jelas arah dan tujuannya bila digunakan sebagai instrument hukum dalam melindungi kepentingan (hukum) konsumen.

Dari pada itu, hakikat perlindungan konsumen menyiratkan keberpihakan kepada kepentingan-kepentingan (hukum) konsumen. Adapun kepentingan konsumen menurut Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa No. 39/248 tentang Guidelines for Consumer Protection, sebagai berikut :

Page 85: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

a. Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya.

b. Promosi dan perlindungan kepentingan social ekonomi konsumenc. Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan

kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi

d. Pendidikan konsumene. Tersedianya upaya ganti rugi yang efektiff. Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya

yang relevan dan memberikan kesempatan kepada organisasi tersebut untuk menyuarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.

Butir (a) kepentingan konsumen tersebut dapat direalisasi melalui penerapan doktrin product liability kedalam doktrin perbuatan melawan hukum (tort). Idealnya doktrin product liability sebagai salah satu norma perlindungan konsumen, dituangkan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan dampak ekonomi yang positif bagi dunia usaha. Yakni, dunia usaha dipacu untuk meningkatkan kualitas produk barang dan jasa sehingga produknya memilki keunggulan kompetitif di dalam dan diluar negeri. Kekhawatiran adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen bias menghancurkan perkembangan industry, perdagangan, dan pengusaha kecil tidak masuk akal. Pengusaha kecil yang sudah ada pada awal munculnya isu perlindungan konsumen di Indonesia hamper ¼ abad yang lalu, sampai saat ini tidak bangkit, bahkan tergilas sepak terjang konglomerat yang menggurita.

Indonesia sebagai salah satu Negara terkemuka di ASEAN, meskipun pembangunan hukum dan ekonominya masih tertinggal jika dibandingkan dengan Negara-negara ASEAN lainnya, hendaknya dapat memprakarsai harmonisasi hukum di kawasan ASEAN, khususnya menyangkut product liability. Apa yang telah dilakukan EEC (Masyarakat Ekonomi Eropa/MEE) pada \bulan juli 1985 dengan memberlakukan Directive Nomor 85/374/EEC on strict Product Liability di seluruh kawasan Eropa dapat dianggap sebagai salah satu tindakan harmonisasi hukum yang dilakukan Dewan Menteri Eropa.

Dalam perspektif kebijakan pemerintah pada awalnya Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II) yang menekankan pada pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, maka Pemerintah harus menangani kesenjangan ekonomi antarpelaku ekonomi, dalam hal ini antara pengusaha dan konsumen. Kesenjangan tersebut tercipta dalam bentuk berbagai kenaikan harga barang dan jasa konsumen tanpa diikuti dengan daya beli dan kualitas produk yang memadai, sementara itu Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen masih dalam taraf sosialisasi. Sebagai bahan perbandingan pada era perdagangan bebas Negara-negara peratifikasi keputusann-keputusan (WTO) sudah cukup lama memiliki perangkat Undang-Undaang Perlindungan Konsumen. Mereka siap menghadapi produk-produk impor terutama dari Negara-negara berrkembang. Sebaliknya, kita baru memulai sosialisasi norma-norma perlindungan konsumen itu.

Page 86: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

BAB 6LEMBAGA/INSTANSI DAN PERANNYA DALAM PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONALDalam undang – undang No.8 tahun 1999 tentang Hukum Perlindungan Konsumen disebutkan

adanya Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Badan ini terdiri atas 15 orang sampai dengan 25 orang anggota yang mewakili unsure : (1.)Pemerintah, (2.) pelaku usaha, (3.) lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, (4.) akademisi dan (5.) tenaga ahli. Masa jabatan mereka adalah 3 tahun, dan dapat di amanat kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya.Keanggotaan badan perlindungan konsumen nasional / BPKN ini di angkat oleh presiden atas usulan menteri (bidang perdagangan) setelah dikonsultasikan kepada dewan perwakilan rakyat. Syarat – syarat keanggotaannya menurut pasal 37 UUPK adalah :

1. Warga Negara Indonesia2. Berbadan sehat3. Berkelakuan baik4. Tidak pernah dihukum karena kejahatan5. Memiliki pengetahuan dan pengalaman dibidang perlindungan konsumen6. Berusia sekurang – kurangnya 30 tahun.

Syarat diatas persis seperti yang juga berlaku untuk menjadi anggota badan penyelesaian

Konsumen (pasal 49 UUPK). Bedanya adalah dalam UUPK, keanggotaan BPKN dicantumkan secara tegas batas masa jabatannya dan kapan yang bersangkutan dapat berhenti sebagai anggota. Anturan demikian tidak disebutkan untuk keanggotaan badan penyelesaian sengketa konsumen.Menurut pasal 38 UUPK, keanggotaan BPKN berhenti karena :

1. Meninggal dunia;2. Mengundurkan diri atas permintaan sendiri;3. Bertempat tinggal diluar wilayah Negara Republik Indonesia;4. Sakit secara terus – menerus;5. Berakhir masa jabatan sebagai anggota; atau6. Diberhentikan;

Untuk melaksanakan tugas – tugasnya, BPKN dibantu oleh suatu secretariat yang dipimpin oleh seorang secretariat yang diangkat oleh Ketua BPKN, Sekretariat ini paling tidak terdiri atas lima bidang, yaitu (1) administrasi dan keuangan, (2) penelitian, pengkajian dan pengembangan, (3) pengaduan, (4) pelayanan informasi, dan (5) kerja sama internasional.BPKN berkedudukan di Jakarta dan bertanggung jawab langsung kepada presiden/ jika diperlukan, BPKN dapat membentuk perwakilan di Ibukota provonsi. Fungsi BPKN ini hanya memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.Untuk menjalankan fungsi tersebut, badan ini mempunyai tugas (pasal 34 UUPK) :

Page 87: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

1. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen

2. Melakukan penelitiaan dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dibidang perlindungan konsumen

3. Melakukan penelitian terhadap barang dan jasa yang menyangkut keselamatan konsumen

4. Mendorong berkembang nya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat

5. Menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen

6. Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha

7. Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen

Diluar BPKN yang independen, dalam pasal 29 dan 30 UUPK diamanatkan, pemerintah c.q. menteri yang membidangi perdagangan ditugasi juga untuk mengkoordinasikan pembinaan dan pengawasan perlindungan konsumen secara nasional. Pembinaan dan pengawasan yang lebih khusus dilakukan oleh menteri-menteri teknis sesuai bidang tugas mereka. Menteri yang membidangi perdagangan iu berwenang membenuk tim koordinasi pengawasan barang dan jasa yang beredar di pasar. Tim ini terdiri atas wakil instansi terkait, masyarakat, dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat (LPKSM). Fungsi tim pun hanya sebatas memberikan rekomendasi kepada menteri untuk melakukan tindakan konkret, seperti penghentian produksi atau peredaran barang/jasa yang dinilai melanggar peraturan yang berlaku.

Dengan demikian, ada perbedaan antara BPKN dan tim di atas. BPKN berfungsi memberikan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen, sementara tim koordinasi yang di bentuk oleh menteri itu berfungsi memberikan rekomendasi berupa tindakan konkret atas setiap permasalahan yang timbul di lapangan.

B. PENGERTIAN DAN PERAN LPKSM (LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN SWADAYA MASYARAKAT)Kian ketatnya persaingan dalam merebut pangsa pasar melalui bermacam –

macam produk barang, maka perlu keseriusan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) perlu memantau secara serius pelaku usaha/penjual yang hanya mengejar profit semata dengan mengabaikan kualitas produk barang.

Problematika yang muncul dengan kehadiran LPKSM adalah dari fungsi serupa yang selama ini telah dijalankan oleh lembaga – lembaga konsumen sebelum berlakunya UUPK. Ada pandangan kehadiran LPKSM bentuk intervensi Negara terhadap kebebasan berserikat dan berkumpul dari kelompok masyarakat, namun di sisi lain, ia diperlukan untuk memberikan jaminan accountability lembaga – lembaga konsumen tersebut, sehingga kehadiran LPKSM ini betul – betul dirasakan manfaatnya pleh masyarakat.

Hal ini disebabkan oleh masih banyaknya produk tidak bermutu yang palsu yang beredar bebas dimasyarakat, apalagi, masyarakat pedesaan yang belum

Page 88: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

memahami efek atau indikasi dari produk barang yang digunakan, misalkan makanan kaleng, minuman botol, obat – obatan, dan masih banyak lagi. Ketidaktahuan masyarakat dapat memberi peluang pelaku usaha atau penjual untuk membodohi masyarakat dengan produk yang tidak memenuhi standar.

Oleh karena itu, LPKSM dan cabangnya di daerah harus mengontrol dengan sungguh – sungguh kelayakan produk barang yang dipasarkan melalui penyuluhan kepada masyarakat tentang tertib niaga dan hokum perlindungan konsumen agar mereka tidak terjebak tindakan pelaku usaha yang hanya memproriotaskan keuntungan dan mengorbakan masyarakat.

LPKSM diharapkan sering melakukan advokasi melalui media masa agar masyarakat selektif serta hati – hati dalam membeli produk barang yang muncul deras dipasaran. Selain itu, unit pengaduan masyarakat perlu dibentuk sebagai sarana pengaduan masyarakat yang dirugikan dari produk barang yang digunakan. Hasil temuan LPKSM yang disampaikan masyarakat juga harus mendapat tindak lanjut dan penyelesaian secara tuntas. Diharapkan pula kehadiran PLKSM bukan justru berpihak kepada pelaku usaha atau penjual dengan mengorbankan konsumen.

Berkaitan dengan implementasi perlindungan konsumen, Undang – Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur tugas dan wewenang LPKSM sebagaimana tertuang dalam Pasal 44, yakni sebagai berikut :(1). Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat.(2). Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan

untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.(3). Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi kegiatan :

a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati – hatian konsumen dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa;

b. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya ;c. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan

konsumen;d. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima

keluhan atau pengaduan konsumen;e. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap

pelaksanaan perlindungan konsumen.C. PERAN SERTA YLKI (YAYASAN LEMBAGA KONSUMEN

INDONESIA) DALAM PERLINDUNGAN KONSUMEN.Munculnya gerakan “konsumerisme” dalam segala permasalahnnya

kepermukaan masih relative baru. Kepopuleran dan paham konsumerisme ini baru mulai mendapat perhatian dunia bisnis maupun birokrasi sejak Presiden Amerika Serikat, Kennedy pada tahun 1962 mengukuhkan adanya hak – hak konsumen. Pengukuhan ini timbul atas desakan konsumen di Amerika pada tahun 1930-an yang sudah mulai mempertanyakan adanya ketidakadilan dalam memperoleh pelayanan, baik jasa pelayanan yang disediakan oleh industry maupun pelayanan umum yang disediakan oleh pemerintah. Konsumen mulai mempermaslahkan adanya

Page 89: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

ketidaksesuaian harga dengan mutu barang atau jasa serta keselamatan penggunaanya. Pemasaran barang dan jasa serta keselamatan penggunaannya. Pemasaran barang dan jasa secara bebas dan canggih di Negara liberal itu telah menimbulakan mekanisme defensive di kalangan konsumen dan mulai terdapat ketidak percayaan akan informasi sepihak yang disampaikan para produsen.

Di sisi lain Pemerintah dengan inisiatifnya sendiri memang sudah menyediakan pelayanan umum kepada masyarakat atau konsumen, jauh sebelum upaya perlindungan konsumen ini ada. Misalnya fasilitas kereta api, pelayanan rumah sakit umum, jalan raya, dan angkutan transportasi.

Semua ini dilakukan untuk memberikan pelayanan kepada konsumen dan memastikan konsumen dapat menggunakan fasilitas umum tersebut dengan biaya yang murah dan bahkan tanpa bayar, tetapi sebenarnya konsumen dalam menggunakan pelayanan tersebut, tidaklah gratis. Mereka sudah membayarnya melalui pajak. Hanya saja, sampai saat ini kenyataannya masih banyak konsumen yang belum memperoleh kepuasan dalam menggunakan pelayanan public meskipun pemerintah telah berubah status menjadi penyedia jasa monopoli.

Dengan bangkitnya kesadaran konsumen ini tampaknya aparat pemerintah belum siap menerima tuntutan dan masyarakat baik dalam segi dana maupun SDM-nya. Keadaan ini mungkin akan diperburuk lagi dengan adanya pernyataan pemerintah sehingga siapa yang punya uang dialah yang mendapatkan pelayanan.

Berhubungan dengan hamper segala bentuk pelayanan yang disediakan oleh birokrasi pemerintah dalam kehidupan sehari – hari seperti PAM, listrik, telepon, KTP, IMB, dan lain – lain sering berakhir dengan kekecewaan. Segala kemudahan akan segala diperoleh masyarakat jika uang pelicin tersedia. Pada dasarnya para aparatlah yang tahu apakah suatu pengurusan KTP misalnya, cepat atau lambat. Merekalah satu system bekerjanya. Masyarakat hanya bisa pasrah. Sebagai anggota masyarakat yang telah membayar pajak yang mencoba untuk melawan dengan pelayanan yang diberikan, malah akan merugikan dirinya sendiri baik dari segi waktu dan tenaga.

Ada berbagai jenis layanan yang disediakan oleh Pemerintah, pelayanan yang bersifat profit misanya jasa telekomunikasi, air minum, angkutan, pelayanan yang bersifat monopoli,misalnya PLN dan pelayanan yang bersifat nonprofit seperti KTP, catatan sipil, IMBm imigrasi, dan lain – lain.

The UN Guidelines for Consumer Protection yang diterima dengan suara bulat oleh Majelis Umum Perserikatan – Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) melalui Resolusi PBB No. A/RES/39/248 tanggal 16 April 1985 tentang Perlindungan Konsumen, mengandung pemahaman umum dan luas mengenai perangkat perlindungan konsumen yang asasi dan adil. Satu hal yang diperjuangkan guidelines itu adalah struktur kelompok – kelompok konsumen yang independen, dimana dinyatakan dalam paragraph pertama bahwa pemerintah – pemerintah berbagai Negara sepakat untuk memfasilitasi/mendukung pengembangan kelompok – kelompok konsumen (guidelines 1e). hal ini merupakan kemajuan yang sangat berarti di bidang perlindungan konsumen.

Page 90: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

Keberadaan kelompok konsumen tentu saja berbeda dengan organisasi konsumen. Pada hakikatnya kelompok konsumen lebih merupakan pengelompokan konsumen pada berbagai sector, misalkan kelompok konsumen pemengang kartu kredit, kelompok komsumen barang – barang elektronik, dan sebagainya. Apabila dikatakan bahwa kelompok konsumen bertindak dalam kapasitasnya selaku konsumen. Adapun organisasi – organisasi konsumen merupakan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang perlindungan konsumen. Didalam segala aktivitasnya tentu saja organisasi konsumen seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia(YLKI) bertindak dalam kapasitasnya selaku perwakilan konsumen (consumer representation). Walaupun demikian, keduanya memiliki tujuan yang sama, yaitu melayani dan meningkatkan martabat dan kepentingan konsumen.

Prinsip kebebasan (idependence) merupaskan karateristik penting, baik bagi organisasi konsumen maupun kelompok konsumen, mengenai karateristik ini terdapat 6 (enam) kualifikasi kebebasan yang harus memiliki organisasi konsumen dan kelompok konsumen.

1. Mereka harus secara ekskusif mewakili kepentingan – kepentingan konsumen.

2. Kemajuan perdagangan akan tidak adanya artinya jika diperoleh dengan cara – cara yang merugikan konsumen.

3. Mereka harus nonprofit making dalam profil aktivitasnya.4. Mereka tidak boleh menerima iklan – iklan untuk alasan – alasan

komersial apa pun dalam publikasi – publikasi mereka,5. Mereka tidak boleh mengizinkan eksploitasi atas informasi dan advis yang

mereka tidak mereka berikan kepada konsumen untuk kepentingan perdagangan.

6. Mereka tidak boleh mengizinkan kebebasan tindakan dan komentar mereka dipengaruhi atau dibatasi pesan – pesan sponsor/pesan – pesan tambahan.

Pada tataran kebijakan (policy) ketika menangani pengaduan – pengaduan konsumen, organisasi konsumen sering dihadapkan pada konstruksi perwakilan. Artinya, organisasi konsumen seperti YKLI bertindak mewakili kepetingan – kepentingan dan pandangan – pandangan konsumen dalam suatu kelembagaan yang dibentuk, baik atas prakasa produsen dan asosiasinya maupun prakasa pemerintah.

Indah sukmaningsih berpendapat bahwa bertahun – tahun Yayan Lembaga Konsumen Indonesia berusaha bekerja untuk membuat keadaan sedikit lebih menguntungkan kondisi konsumen, dengan hasil – hasil survey dan penelitian yang dilakukan, mencoba untuk mengubah keadaan melalui dialog dengan para pengambil keputusan dan juga membantu konsumen untuk memecahkan masalhnya dalam berhadapan dengan birokrasi pemerintah. Hasilnya.? Sebagian dapat tercapai, tapi lebih banyak yang tak terselesaikan. Pada beberapa tulisan yang ada di media massa disebutkan bahwa jika pelayanan birokrasi masih seperti sekarang, sulit rasanya bagi Indonesia untuk dapat bersaing di Abad XXI.

Ada beberapa indicator pelayanan umum yang baik, yakni sebagai berikut :1. Keterbukaan

Page 91: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

Artinya, adanya informasi pelayanan, yang dapat berupa loket informasi yang dimiliki dan terpampang jelas, kotak saran, dan layanan pengaduan. Dilengkapi juga dengan petunjuk pelayanan. Dalam keterbukaan, mencakup upaya publikasi, artinya penyebaran informasi yang dilakukan melalui media atau benruk penyuluhan tentang adanya pelayanan yang dimaksud.

2. KesedehanaanArtinya, mencakup proses pelayanan dan persyaratan pelayanan. Prosedur pelayanan meliputi pengaturan yang jelas terhadap prosedur yang harus dilalui oleh masyarakat yang akan menggunakan pelayanan, yang dilengkapi dengan alur proses. Adapun persyaratan pelayanan adalah administrasi yang jelas.

3. KepastianArtinya, ada terpampang dengan jelas waktu pelayanan, biaya pelayanan, dan petugas pelayanan. Kantor pelayanan hendaknya mencantumkan jam kerja kantor untuk pelayanan masyarakat., jadwal pelayanan dan pelaksanaannya. Untuk biaya pelayanan, pengaturan tarif dan penerapannya harus sesuai dengan ketentuas yang berlaku. Adanya pegaturan tugas dan penunjukkan petugas haruslah pasti dan sesuai dengan keahlian.

4. KeadilanArtinya, tidak membedakan si kaya dan si miskin, laki atau perempuan, merata dalam memberikan subjek pelayanan tidak diskriminatif.

5. Keamanan dan KenyamananHasil produksi pelayanan memenuhi kualitas tekhnis (aman) dan dilengkapi dengan jaminan purna pelayanan secara administrasi (pencatat/dokumentasi,tagihan) maupun jaminan purna pelayanan secara teknis. Selain itu dilengkapi dengan sarana/prasarana pelayanan ( misalnya peralatannya ada) dan digunakan secara optimal. Penataan ruangan dan lingkungan kantor terasa fungsional, rapi, bersih, dan nyaman.

6. Perilaku petugas pelayananPengabdian, keterampilan dan etika petugas. Artinya, seorang petugas haruslah tanggap dan peduli dalam memberikan pelayanan, termasuk disiplin dan kemampuan melaksanakan tugas. Dari segi etika keramahan dan sopan santun juga perlu diperhatikan.Yayasan sejak semula tidak ingin berkonfrontasi dengan produsen (pelaku usaha), apalagi dengan pemerintah karena YLKI bertujuan melindungi konsumen, menjaga martabat produsen dan membantu pemerintah.

D. PENGERTIAN DAN PERAN BPSK (BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN).

Hubungan hokum antara pelaku usaha/pejualan dengan konsumen tidak tertutup kemungkinan timbulnya perselisihan/sengketa konsumen. Selama ini sengketa konsumen diselesaikan melalui gugatan dipengadilan, namun pada kenyataannya yang tidak dapat dipungkiri bahwa lembaga pengadilan pun tidak akomodatif untuk menampung sengketa konsumen karena proses perkara yang berlaku lama dan sangat birokratis. Berdasarkan Pasal 45 UUPK setiap konsumen

Page 92: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.

Dilingkungan peradilan umum UUPK membuat trobosan dengan menfasilitasi para konsumen yang merasa dirugikan dengan mengajukan gugatan kepada pelaku usaha di luar pengadilan, yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Mekanisme gugatan dilakukan secara suka rela dari kedua belah pihak yang bersengketa. Hal ini berlaku untuk gugatan secara perorangan, sedangkan gugatan secara kelompok (class action) dilakukan melalui peradilan umum.

BPSK adalah pengadilan khusus konsumen (small claim court) yang sangat diharapkan dapat menjawab tuntutan masyarakat agar proses bepekara berjalan cepat, sederhana dan murah. Dengan demikian, BPSK hanya menerima perkara yang nilai kerugiannya kecil. Pemeriksaan dilakukan oleh hakim tunggal dan kehadiran penuh pihak ketiga (pengacara) sebagai wakil pihak yang bersengketa tidak diperkenankan. Putusan dari BPSK tidak dapat disbanding kecuali bertentangan dengan hokum yang berlaku.

Badan ini penuh di setiap daerah tingkat II (Pasal 49) BPSK di bentuk untuk penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan (Pasal 49 ayat 1), dan badan ini mempunyai anggota – anggota dari unsure pemerintah, konsumen dan pelaku usaha. Setiap unsure tersebut berjumlah 3 (tiga)orang atau sebanyak – banyaknya 5 (lima) orang, yang semuanya diangkat dan diberhentikan oleh Menteri (Perindustrian dan Perdagangan). Kenggotaan Badan terditi atas ketua merangkap anggota, wakil ketua meranggkap anggota, dan anggota dengan dibantu oleh sebuah sekertariat (Pasal 50 jo. 51).Tugas dan wewenang BPSK (Pasal 52) meliputi:

a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi, arbitrasi atau konsliasi;

b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;c. Pengawasan klausul baku;d. Melapor kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran undang – undang

ini;e. Menerima pengaduan dari konsumen, lisan atau tertulis,tentang dilanggarnya

perlindungan konsumen;f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa konsumen;g. Memanggil pelaku usaha pelanggar;h. Menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap

melakukan pelanggaran itu;i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan mereka tersebut huruf g

apabila tidak mau memenuhi panggilan;j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen atau alat – alat bukti

lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;k. Memutuskan dan menetapkan ada tidaknya kerugian konsumen;l. Memberitahukan keputusan kepada pelaku usaha pelanggaran undang –

undang;m. Menjatuhkan sangsi administrasi kepada pelaku usaha pelanggar undang –

undang.

Page 93: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

Dalam menyelesaikan sengketa konsumen dibentuk majelis yang tediri atas sedikitnya 3 (tiga) anggota dibantu oleh seorang panitera (Pasal 54 ayat (1) dan (2)). Putusan yang dijatuhkan Majelis BPSK bersifat final dan mengikat (Pasal 54 ayat (3)). BPSK wajib menjatuhkan putusan selama – lamanya 21 (dua puluh satu) hari sejak dijatuhkan gugatan diterima (Pasal 55). Keputusan BPSK itu wajib dilaksanakan pelaku usaha dalam jangka 7 (tujuh) hari setelah diterimanya, atau apabila ia keberatan dapat mengajukannya kepada Pengadilan Negeri dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari. Pengadilan Negeri yang menerima keberatan pelaku usaha memutuskan perkara tersebut dalam jangka waktu 21 hari sejak diterimanya keberatan tersebut (Pasal 58). Selanjutnya kasasi pada putusan pengadilan negeri ini diberi luang waktu 14 hari untuk mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Keputusan Mahkamah Agung wajib dikeluarkan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan kasasi (Pasal 58).Dari keseluruhan proses persidangan berdasarkan ketentuan Undang – Undang No.8 Tahun 1999 terlihat setidak – tidaknya dari sudut biaya dan waktu penyelenggaraan keadilan itu pihak konsumen dan pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab dimudahkan dan dipercepat (putusan yang mempunyai kekuatan hokum pasti dapat dijatuhkan dalam jangka waktu relative pendek, maksimum 100 (seratus) hari (total dari proses pertama sampai terakhir).Dari uraian di atas dapat dibuat skema proses penyelesaian sengketa melalui BPSK sebagai berikut,

Badan Penyelesaian SengketaKonsumen Dati II (Pasal 49 ayat 1)

Pemerintah/Pelaku Usaha/Konsumen

3-5 per Unsur Nonmasa Kerja

Tugas dan Wewenang

Pasal 52Bentuk Keputusan

21 Hari;Pasal 55

a. Penyelesaian:Mediasi, arbitrasi, konsiliasi

b. Konsultasi P.Kc. Pengawasan klau- sul bakud. Melapor penyidike. Menerima penga- duanf. Penelitian dan pe- meriksaang. Memanggil pihak, sanksi dan

seba- gainnyah. Meneliti surat, do-kumen alat

buktii. Memutus dan me- netapkan

adanya kerugianj. Memberitahu putusank. Menjatuhkan hukuman

administratif

Sanksi administrasi

Pelanggaran atasPasal 19 ayat (2)Pasal 20.25Maksimum 200 juta

Page 94: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

Dalam menghadapi Abad XXI, konsumen mengharapkan pelayanan birokrasi menjadi lebih baik, paling tidak berperan indicator atau criteria yang ditawarkan diatas semaksimal mungkin dipenuhi. Abdi Negara sudah harusnya melayani kepentingan masyarakat dan bukan dilayani oleh masyarakat. Mengigat salah satu tolok ukur dari majunya suatu Negara adalah nilai dari pelayanan terhadap masyarakat oleh aparatur Negara.

BAB 7ISU – ISU HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

A. PENGANTAR

Sebagian besar predikat konsumen diperoleh sebagai konsekuensi mengonsumsi barang dan jasa melalui suatu transaksii konsumen. Transaksi konsumen adalah peralihan barang atau jasa termasuk didalamnya peralihan kenikmatan dalam menggunakannya.

Diluar transaksi konsumen dikenal juga transaksi komersial, yang biasanya dilakukan oleh produsen sebagai principal dengan sipedagang antara. Pihak yang disebutkan terakhir inilah yang menjebatani antara produsen dan konsumen akhir. Itulah sebabnya, para perantara ini disebut juga dengan intermediate consumer.

Final dan Mengikat

14 Hari; KeberatanPasal 56 ayat (2)

Pengadila Negeri

Putusan 21 HariPasal 52 ayat (2)Esekusi PN di tempat

KonsumenPasal 57 Makamah Agung

putusan 30 Hari Pasal 58 ayat (3)

Page 95: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

UUPK tidak menkatagorikan “konsumen antara” ini sebagai konsumen yang dilindungi oleh UUPK.

Konsumen antara dapat berupa distributor atau agen. Kedua istilah ini memiliki sejumlah perbedaan. Distributor bertindak atas namanya, sementara melakukan transaksi atas nama prinsipalnya. Dengan demikian, dalam pelunasan harga barang atau jasa, pembeli dapat saja tidak membayar melalui perantaraan si agen, tetapi langsung kepada pihak principal. Hal ini tidak terjadi pada distributor karena produk yang diperjual belikan menjadi miliknya. Kareteristik yang berbeda ini tentu mempengaruhi konstruksi hokum dalam transaksi konsumen di antara para pihak terkait.

Transaksi konsumen merupakan suatu perikatan, yang terutama bersangkut paut dengan perikatan keperdataan. Dalam kacamata hokum perdata, perikatan transaksi konsumen itu tidak serta merta terjadi begitu saja. Ada prolog yang mendahuluinya. Perikatan konsumen merupakan pelaksanaan dari perikatan sebelumnnya, yang dapat disebut pratransaksi konsumen. Setelah transaksi konsumen dilaksanakan, masih ada perikatan lain yang harus dipenuhi kedua belah pihak, yang dapat disebut pska transaksi konsumen. Berikut ini dikemukakan 3 isu pokok dari sekuen – sekuen transaksi konsumen.

Tahapan pratransaksi konsumen biasanya ditandai oleh penawaran dari penjual kepada calon pembelinya. Pada saat ini penawaran lazimnya dilakukan melalui media masa yang dikemas secara menarik. Kemasan penawaran demikian disebut dengan iklan. Proses untuk menghasilkan iklan itu disebut dengan periklanan, yang melibatkan 3 unsur utama masyarakat periklanan, yaitu pengiklan, perusahaan periklanan, dan media masa. Ketiga unsure ini, baik sendiri – sendiri maupun bersama – sama memiliki potensi untuk melanggar hak – hak konsumen.

Tahapan berikutnya adalah pelaksanaan dari transkasi konsumen itu. Isu yang banyak dipermasalahkan pada tahap ini adalah existensi dari perjanjian standar atau perjanjian baku. Disini selalu dipertanyakan apakah dalam perjanjian baku itu masih tedapat kebebasan kontrak? Hal ini terjadi karena perjanjian standar itu di tentukan secara sepihak oleh produsen atau penyalur produknya (penjual), sedangakan konsumen tinggal memutuskan : menerima atau menolaknya. Biasanya konsumen tidak punya pilihan lain, kecuali menerima alternative yang pertama, sebab dimanapun ia pergi, ia akan disodorkan perjanjian baku dengan subtansi yang hampir sama oleh produsen atau penyalur produk (penjual)lainnya.

Tahapan ketiga dari proses transaksi konsumen ini adalah perikatan setelah peralihan barang atau jasa yang pokok dilakukan. Sering terjadi, untuk pembelian barang – barang tertentu produsen atau penyalur produk memberikan garansi dalam jangka waktu terbatas, misalnya tiga tahun. Selama jangka waktu itu, setiap keluhan konsumen atas barang tersebut, sepanjang bukan disebabkan kesalah pemakaian, dapat diajukan kepada produsen atau penyalur produk. Inilah yang biasanya disebut layanan purna jual, disini terkait pada perlindungan hokum bagi konsumen.

B. PERIKLANAN DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN (IKLAN OBAT)

Diantara sekian banyak sector, bidang kesehatan merupakan sector yang relative lebih lengkap pengaturannya dalam melindungi konsumen dibandingkan bidang – bidang lain- lainnya. Sekalipun demikian, khusus mengenai periklanan, pada akhir 1992, Menteri Kesehatan RI pernah melontarkan kritikan yang sangat tajam terhadap iklan obat – obatan yang beredar dimasyarakat, khususnya yang ditayangkan ditelevisi. Menurutnya, semua iklan itu menyesatkan.

Page 96: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

Dapat dibayangkan jika sinyalemen Menteri Kesehatan itu benar, berarti dari iklan obat – obatan yang disiarkan ditelevisi, tidak satupun yang memberikan informasi yang jujur. Itu baru disatu media, belum di media lainnya, seperti media audio dan media cetak yang tersebar di seluruh Indonesia.

Sesungguhnya apa yang di ungkapkan Menteri Kesehatan sejak lama menjadi keluhan pengamat dan aktivis perlindungan konsumen. Frekuensi keluhan itu terus meningkat, terutama sejak diperolehnya kembali siaran iklan ditelevisi. Namun keluhan – keluhan demikian biasanya tidak mendapat publikasi yang luas karena berbagai pertimbangan komersial.Dibandingkan dengan instansi – instansi lainnya, Departemen Kesehatan sebenarnya memiliki rambu – rambu pengaman yang relative lebih lengkap dalam melindungi konsumen. Departemen ini mempunyai lembaga tersendiri yang mengawasi peredaran dan penggunaan obat (termasuk obat tradisional), makanan, kosmetika, dan alat kesehatan. Tugas demikian dibebankan kepada Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan (Ditjen POM).

Untuk melakukan pengawasan demikian, khususnya yang berkaitan dengan periklanan diterbitkan Surat Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Penerangan (NO.252/Menkes/SKB/VIII/80 dan NO.122/Kep/Menpen/1980) tentang Pengendalian dan Pengawasan Iklan Obat, Makanan, Minuman, Kosmetika, dan Alat Kesehatan (OMKA). Menurut Surat Keputusan Bersama itu, Menteri Kesehatan berkewajiban mengawasi menteri periklanan sesuai dengan criteria teknis medis dan etis, sedangkan Menteri Penerangan melakukan pengawasan materi secara umum. untuk itu selanjutnya dibentuk panitia khusus/ bersama, yang keanggotaannya berasal dari dua departemen serta kalangan periklanan dan anggota masyarakat lainnya. Namun, ide yang di amanatkan SuratKeputusan Bersama tersebut tidak ditindaklanjuti. Panitia yang dimaksud tidak pernah dibentuk dan kosekuensinya, surat keputusan itu tidak dapat dijadikan dasar peganganpenerbit periklanan OMKA. Dengan dihapusnya instansi Departemen Penerangan dalam struktur pemerintah saat ini, tampaknya amanat tersebut tinggal menjadi kenangan.

Selain mengacu kepada ketentuan Undang – Undang No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan, dalam melakukan pengawasan Direktorat Jenderal POM samapai sekarang masih mendasarkan diri pada Ordonansi Pemeriksaan Bahan – Bahan Farmasi (Staatsblad 1936 No.660). Sesuai namanya, ordonansi tersebut tidak secara khusus mengatur masalah periklanan. Ordonansi itu memerlukan penjabaran itu lebih lanjut dalam peraturan perundang – undangan yang lebih rendah tingkaatannya. Masalah iklan obat, misalnya antara lain diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 0282 – 3/A/SK/XI/90 tentang Kriteria Terperinci, Kelengkapan Permohonan dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Jadi.

Dalam ketentuan yang disebutkan terakhiran disyaratkan bahwa setiap iklan obat harus memuat informasi sesuai dengan persetujuan yang diberikan Departemen Kesehatan pada saat obat itu didaftarkan. Jenis obat yang boleh diiklankan hanya jenis obat bebas dan terbatas, bukan obat keras. Selain itu sejak 1989 naskah iklan obat – obatan harus diserahkan pula kepada Direktorat Jenderal POM untuk mendapatkan persetujuan.

Untuk obat – obatan tradisional, tidak diperkenankan untuk diiklankan selama belum didaftarkan di Departemen Kesehatan (Pasal 3 Peraturan Menteri Kesehatan No.246/Menkes/Per/V/1990). Dalam peraturan itu juga ditegaskan bahwa iklan yang diberikan tidak boleh menyimpang dari apa yang disetujui dalam pendaftaran. Dalam praktiknnya, ternyata banyak sekali iklan yang sitayangkan diberbagai media yang melenceng jauh dari naskah yang diserahkan ked an disetujui oleh Direktorat Jederal

Page 97: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

POM. Ironisnya, ancaman sangsi yang diberikan Departemen Kesehatan mulai dari teguran. Pembatalan pendaftaran, sampai dengan pencabutan izin usaha industry obat yang bersangkutan, sama sekali tidak membuat “kecut” pelakunya.

Tidak adil rasanya bila segala beban penyimpangan harus dipersalahkan sepenuhnya ke pihak produsen obat – obatan. Saat ini dapat dipastikan semua iklan obat di televise yang pernah dipersoalkan oleh Menteri Kesehatan diserahkan pembuatannya kepada perusahaan periklanan (production house). Ditempat inilah iklan itu diproduksi, sebelum akhirnya disebarluaskan ke media yang diingini.

Dalam memproduksi iklan, pihak perusahaan periklanan dikawal ketat oleh kode etik yang ditanda tangani oleh lima asosiasi (termasuk Perusahaan Periklanan Indonesia) pada 17 September 1981. Tata Cara dan Tata Periklanan Indonesia ini selalu disempurnakan, dengan penandatangan oleh tujuh instansi pada 19 Agustus 1996. Ketujuh instansi tersebut adalah:\

1. Asosiasi Perusahaan Media Luar Ruang Indonesia (AMLI)2. Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia (Aspindo)3. Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI)4. Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI)5. Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI).6. Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), dan7. Yayasan Televisi Republik Indonesia.

Untuk obat – obatan, kode etik periklanan juga mensyaratkan iklan harus sesuai dengan indikasi jenis produk yang disetujui oleh Departemen Kesehatan. Selain itu, iklan tidak boleh memuat kata – kata yang berisi janji penyembuhan penyakit, tapi hanya boleh menyatakan membantu menghilangkan gejala penyakit. Juga tidak boleh mencantumkan kata – kata “aman”, “tidak berbahaya”, atau “bebas resiko” tanpa keterangan lengkap yang menyertainya. Pemakaian tenaga professional kesehatan sebagai model iklan, seperti dokter, perawat, ahli farmasi, rumah sakit, atau atribut – atribut profesi medis lainnya juga dilarang.

Dari sebagian kecil rumus kode etik itu saja tampak banyak iklan obat yang tidak memnuhi persyaratan. Iklan obat yang “tidak sehat” seperti itu tentu saja merugikan perusahaan obat sejenis, tapi (lebih – lebih) merugikan konsumen yang tidak berhati – hati.

Mayoritas konsumen di Indonesia masih terlalu rentan dalam menyerap informasi iklan yang “tidak sehat”. Oleh karena itu, sangat riskan kiranya bilatidak diadakan pengawasan yang memadai dan konsumen dibiarkan menimbang – nimbang serta memutuskan sendiri iklan apa yang pantas untuk dipercaya. Cara berfikir yang dalam hokum dikenal sebagai caveat emtor (let the buyer beware) demikian hanya cocok untuk Negara kapasitas abad ke – 19, yang dinegara asalnya (Inggris dan Amerika Serikat) sudah pula ditinggalkan.

Posisi yang tidak berimbang antara produsen dan konsumen akan mudah disalahgunakan (machtpositie) oleh pihak yang lebih kuat. Apalagi jika pihak produsen yang lebih kuat itu didukung oleh fasilitas yang memungkinkannya bertindak secara monopolitis.

Lolosnya penayangan iklan yang menyesatkan (dalam hal ini, iklan obat – obat ) membuktikan, mekanisme pengawasannya masih berjalan dengan baik. Sebagai mana diuraikan diatas surat keputusan bersama dari dua menteri (1980) menyatakan pengawasan periklanandi bidang OMKA dilakukan oleh panitia tersendiri. Keberadaan panitia itu kiranya cukup urgen untk di wujudkan karena memudahkan dalam melakukan koordinasi. Kendati demikian, terlebih dahulu

Page 98: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

perlu dijabarkan secara jelas batas kewenangan panitia tersebut., agar tidak tumpang tindih dengan mikanisme pengwasan serupa yang dimiliki instansi dijajar departemen lain.

Dalam hokum pembentukan panitia bersama di atas tentu akan lebih baik jika tidak berbentuk surat keputusan bersama. Bentuk peraturan demikian tidak dikenal dalam tata urutan peraturan perundang – undangan di Indonesia, dan keputusan setingkat menteri seperti itu tidak berwenang mencantumkan sanksi. Sebagai perbandingan di Amerika Serikat badan yang mengawasi masalah makan dan obat (The Food and Drug Administration) dibentuk atas produk hokum setingakt undang – undang. Demikina juga badan yang kewenangannya antara lain yang mengawasi masalah periklanan. (The Federal Trade Commission), juga dibentuk berdasarkan undang – undang.

Dalam Bab Undang – Undang VII No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, sesungguhnya ditegaskan bahwa Pemerintah berwenang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan upaya penyelenggaraan kesehatan. Selanjutnya dinyatakan bahwa pembinaan dan pengwasan tersebut akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Ini berarti dibuka kesempatan untuk membentuk suatu badan pengawasan yang lebih bergigi. Khusunya hal periklanan di bidang OMKA dengan dasar hokum yang lebih sesuai.

Dalam Undang – Undang No.7 Tahun 1996 tentang Pangan disebut secara jelas mengenai iklan pangan. Pasal 33 dari undang – undang ini menyatakan, setiap label dan/atau iklan tentang pangan yang diperdagangkan harus memuat keterangan mengenai pangan dengan benar dan tidak menyesatkan. Untuk itu pemerintah mengatur, mengawasi dan melakukan tindakan yang diperlukan agar iklan tentang pangan yang diperdagangkan tidak memuat keterangan yang dapat menyesatkan.

Dan ketetuan Undang – Undang Pangan ini sebenarnya tidak mempunyai aspek konstitutif yang berarti banyak karena masih harus menunggu peraturan pelaksanaannya. Juga masih samar – samar tentang pengertian “pangan yang diperdagangkan”. Hal ini menimbulakan pertanyaan : bagaimana untuk “pangan yag tidak diperdagangkan”? dalam kenyataannya dapat dilihat, produk pangan dengan merek baru yang masih dalam masa perkeenalan kepada konsumen, biasanya diiklankan terlebih dahulu oleh si produsen. Sementara itu, sampel – sampel produk itu di bagikan secara ngratis kepada masyarakat, tepatnya ke sasaran konsumen yang dinilai paling potensial. Sampel – sampel tersebut tentu tidak untuk diperdagangkan, dan rasa tidak adil jika dikecualikan dari ketentuan Pasal 33 UU Pangan.

Pasal 34 dari Undang – Undang Pangan juga membawa polemic yang tidak kalah menariknya. Di situ dinyatakan, bahwa setiap orang yang menyatakan dalam table atau iklan bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama tau kepercayaan tertentu bertangguang jawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan agama atau kepercayaan tersebut. Rumusan pasal ini mengacu kepada pencantuman label “halal” yang sesuai dengan syariah Islam. Departemen Kesehatan dan Agama menginginkan agar label ini dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan setelah mendapat rekomendari dari Majelis Ulama Indonesia. Sebaliknya, Kantor Menteri Urusan Pangan dulu ingin menyerahkan kepada masing – masing produsen. Konsekuensinya, jika produsen melanggar, ia akan dikenakan sangsi hokum. Polemic ini sesungguhnya tidak akan dapat dituntaskan jika akar permasalahan. Yakni “memberi rasa nyaman pada

Page 99: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

konsumen” tidak ditempatkan pada proritas utama. Artinya, jika label (dan iklan) itu diserahkan sepenuhnya kepada produsen, tentu akan dipertanyakan, sejauh mana konsumen akan merasa aman dan yakin kebenaran isinya, dan sejauh mana pula Pemerintah mampu mencegah dan menindakk tindakan produsen yang tidak bertangguang jawab.

Selain sarana pengawasan di tingkat aparatur Negara, peranan yang tidak kalah pentingnya juga harus darang dari masyarakat seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YKLI). Peranan YLKI antara lain secara berkala melakukan pengujian suatu produk tertentu dan mempublikasikannya.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 71 dan 72 Undang – Undang Kesehatan, apa yang dilakukan YLKI ini seyogyanya disambut dengan positif. Informasi yang diberikannya paling tidak dapat dijadikan bahan perbandingan bagi masyarakat, disamping informasi yang sehari – hari mereka dapatkan dari iklan. Iklan adalah produk kreativitas dan komersial. Dengan demikian, pengawasannya tidak boleh sampai mematikan dua ciri di atas.C. PERJANJIAN STANDAR DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

Perjanjian standar (baku), sebenarnya dikenalkan sejak zaman Yunani Kuno. Plato (423 – 347 SM), misalnya pernah memaparkan praktik penjualan makanan yang harganya ditentukan secara sepihak oleh penjual, tanpa memperhatikan perbedaan mutu makanan tersebut. Dalam perkembangannya, tentu saja penentuan secara sepihak oleh produsen/penyalur produk (penjual), tidak lagi sekadar masalah harga, tetapi mencakup syarat – syarat yang lebih detail. Selain itu, bidang – bidang yang diatur dengan perjanjian standar pun makin bertambah luas. Menurut sebuah laporan dalam Harvard Law Review pada 1971,99 persen perjanjian yang dibuat di Amerika Serikat berbentuk perjanjian standar. Di Indonesia, perjanjian standar bahkan merambah ke sector property dengan cara – cara yang secara yuridis masih kontrovesial. Misalnya, diperbolehkan system pembelian satuan rumah susun (strata title) secara inden dalam bentuk perjanjian standar.

Tentu saja fenomena demikian tidak selamanya berkonotasi negative. Tujuan dibuatnya perjanjian standar untuk memberikan kemudahan (kepraktisan) bagi para pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu, bertolak dari tujuan itu, Mariam Darus Badrulzaman lalu mendefenisikan perjanjian standar sebagai perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.

Sutan Remi Sjahdeini mengartikan perjanjian standar sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausul – klausulnya dibakukan oleh pemakaiannya dan pihak lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang belum dibakukan ada beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Sjahdeini menekankan, yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut, melainkan klausal – klausalnya.

Di satu sisi, bentuk perjanjian seperti ini sangat menguntungkan, jika dilihat dari beberapa banyak waktu, tenaga dan biaya yang dapat dihemat. Akan tetapi, di sisi yang lain bentuk perjanjian seperti ini tentu saja menempatkan pihak yang tidak ikut membuat klausul – klausul di dalam perjanjian itu sebagai pihak yang baik yang langsung maupun tidak sebagai pihak dalam perjanjian itu memiliki hak memiliki kedudukan seimbang dalam menjalakan perjanjian tersebut, disisi yang lain ia harus menurut terhadap isi perjanjian yang disodorkan kepadanya.

Page 100: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

Sebenarnya. Perjanjian standar tidak perlu selalu dituangkan dalam bentuk formulir walaupun memang lazim dibuat tertulis. Contohnya dapat dibuat dalam bentuk pengumuman yang ditempelkan tempat penjual menjalankan usahanya. Jadi, perjanjian standar adalah perjanjian yang ditetapkan secara sepihak, yakni oleh produsen/penyalur produk (penjual), dan mengandung ketentuan yang berlaku umum (massal), sehingga pihak yang lain (konsumen) hanya memiliki dua pilihan : menyetujui atau menolaknya.

Adanya unsure pilihan ini oleh sementara pihak dikatakan perjanjian standar tidaklah melanggar atas kebebasan berkontak (Pasal 1320 jo. 1338 KUH Perdata). Artinya, bagaimana pihak konsumen masih diberi hak untuk menyetujui (take it) atau menolak perjanjian yang diajukan kepadanya (leave it). Itu sebabnya, perjanjian standar ini kemudian dikenal dengan nama take it or leave it contract.

Karena lahir dari kebutuhan akan kebutuhan efisiensi serta efektivitas kerja, maka bentuk perjanjian baku ini pun memiliki karateristik yang khas yang tidak dimiliki oleh perjanjian yang lain pada umumnya, antara lain perjanjian baku dibuat oleh salah satu pihak saja dan tidak melalui suatu bentuk perundingan, isi perjanjian yang telah distandarisasi, klausul yang ada di dalamnya biasanya merupakan klausul yang telah menjadi kebiasaan secara luas dan berlaku secara terus menerus dalam waktu yang lama.

Perjanjian baku banyak memberikan keuntungan dalam penggunaannya, tetapi dari berbagai keuntungan yang ada tersebut terdapat sisi lain dari pengunaan serta perkembangan perjanjian baku yang banyak mendapat sorotan kritis dari para ahli hokum, yaitu sisi kelemahannya dalam mengakomodasikan posisi yang seimbang bagi para pihaknya. Kelemahan – kelemahan perjanjian baku ini bersumber dari karateristik perjanjian baku yang dalam wujudnya merupakan suatu perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak dan suatu perjanjian terstandarisasi yang menyisakan sedikit atau bahkan tidak sama sekali ruang bagi pihak lain untuk menegosiasikan isi perjanjian itu. Sorotan para ahli hokum dari berlakunya perjanjian baku selain dari segi keabsahannya adalah adanya klausul – klausul yang tidak adil dan sangat memberatkan salah satu pihak.

Jika ada yang perlu dikuatirkan dengan kehadiran perjanjian standar, tidak lain karena dicantumkannya klausul eksonerasi (exemption clause) dalam perjanjian tersebut. Klausul eksonerasi adalah klausul yang mengandung kondisi membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen/penyalur produk (penjual).

Mariam Darus Badrulzaman, dengan istilahnya klausul eksonerasi, memberikan defenisi terhadap klausul tersebut

sebagai klausul yang berisi pembatasan pertanggung jawaban dari kreditor, terhadap resiko dan kelalaian yang semestinya ditanggungnya.

Demikian juga David Yates, yang lebih memilih mengunakan istilah exclusion clause, memberikan defenisi any term in a contract restricting, exluding and modifying aremedy or a ability arising out of breech of a contractual obligation yang diterjemahkan secara bebassebagai setiap bagian dari suatu perjanjian yang membatasi, membebaskan atau merekayasa ganti rugi atau tanggung jawab yang timbul dari pelanggaran terhadap suatu perjanjian.

Dalam pengertiannya yang lebih luas David Yates menunjuk pada yurisprudensi pada kasus Bensten v. Taylor, Sons & Co (1893) dab Bahama International Trust Co.V Threadgold (1974) yang mengemukakan bahwa exemption clause di artikan sebagai …. A clause in a contract or a term in a notice which appears to exclude or restrict a liability or legal duty that would otherwise

Page 101: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

arise, yang diterjemahkan secara bebas adalh klausul yang kehadirannya untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab yang mungkin saja muncul.

Menurut Engels menyebut adannya tiga bentuk yuridis dari perjanjian dengan syarat – syarat eksonerasi. Ketiga bentuyk yuridis tersebut terdiri atas:

a. Tanggung jawab untuk akibat – akibat hokum, karena kurang baik dalam melaksanakan kewajiban – kewajiban perjanjian;

b. Kewajiban – kewajiban sendiri yang biasanya dibebankan kepada pihak untuk mana syarat dibuat, dibatasi atau dihapuskan (misalnya, perjanjian keadaan darurat).

c. Kewajiban – kewajiban diciptakan (syarat – syarat pembebasan oleh salah satu pihak dibebankan dengan memikulkan tanggung jawab pihak yang lain yang mungkin ada untuk kerugian yang diderita pihak ketiga.

Perjanjian eksonerasi yang membebaskan tanggung jawab seseorang pada akibat – akibat hokum yang terjadi karena kuraang pelaksanaan kewajiban - kewajiban yang diharuskan oleh perundang – undangan, antara lain tentang maslah ganti rugi dalam hal perbuatan ingkar – janji. Ganti rugi tidak dijalankan apabila dala persyaratan eksonerasi tercantum hal ini.

Dari berbagai defenisi yang ada tersebut maka dapat disimpulkan bahwa klausul pembebasan adalah klausul yang memberikan pembatasan atau pembebasan tanggung jawab hokum salah satu pihak atas segala bentuk ketidak terpenuhinya kewajiban atas perjanjian tersebut.

Contoh dari klausul tersebut adalah :- Adanya pembebasan tanggung jawab pihak pengembangan dalam perjanjian

pembelian rumah, dalam hal pengembangan tidak dapat memenuhi janjinya untuk melaksanakan penyelesaian pembangunan atas rumah yang dibeli, tepat pada waktunya.

- Adanya pembatasan tanggung jawab ganti rugi bagi perusahaan pengangkutan berkaitan dengan kehilangan barang bawaan penumpang.

- Adanya pembatasan terhadap tanggung jawab terhadap kecelakaan jasmani yang diderita oleh penumpang.

Disini dilihat betapa tidak adanya keseimbangan posisi tawar menawar antara produsen/penyalur produk (penjual) yang lazim tersebut kreditor dan konsumen (debitur) di lain pihak. Sehubungan dengan pertanyaan : apakah ada kebebasan berkontrak dalam perjanjian standar ini.? Ada beberapa pendapat yang menegaskan kontroversi di dalamnya.

Pendapat pertama dating dari Sluijter, yang menyatakan perjanjian standar bukan perjanjian. Alasannya, kedudukan pengusaha dalam perjanjian ini adalah seperti pembentuk undang – undang swasta (legio particuliere wetgever). Syarat – syarat yang ditentukan pengusaha didalam perjanjian itu adalah undang – undang, bukan perjanjian! Pitlo mengatakannya sebagai perjanjian paksa (dwang contract), walaupun secara teoritis yuridis, perjanjian ini tidak memnuhi ketentuan undang – undang dan ditolak oleh beberapa ahli hokum. Namun dalam kenyataanya, kebutuhan masyarakat berjalan dalam arah yang berlawanan dengan keinginan hokum. Pendapat Pitlo ini mengingatkan kita pada pendapat Hondius, yang dalam disertasinya menyatakan bahwa perjanjian standar itu mengikat berdasarkan kebiasaan (gebruik) yang berlaku dilingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan. Kemudian Stein mencoba memecahkan masalah ini dengan mengemukakan pendapat, bahwa perjanjian standar dapat diterima sebagai perjanjian berdasarkab fiksi adanya

Page 102: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

kemauan dan kepercayaan yang mengakibatkan keyakian, para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Jika debitur menerima perjanjian itu, berarti ia secara sukarela setuju pada isi perjanjian tersebut. Akhirnya, dapat disebutkan pedapat yang lebih tegas dari Asser Rutten, yang mengatakan perjanjian standar itu mengikuti karena setiap orang yang menandatangani suatu perjanjian harus dianggap mengetahui dan menyetujui sepenuhnya isi kontrak tersebut.

Ahli Hukum Indonesia, Mariam Darus Badrulzaman menyimpulkan bahawa perjanjian standar itu bertentang dengan asas kiebebasan kontrak yang bertanggung jawab, terlebih – lebih lagi ditinjau dari asas – asas hokum nasional, di mana kepentingan masyarkatlah yang didahulukan. Dalam perjanjian standar, kedudukan pelaku usaha dan konsumen tidak seiumbang, posisi yang didominasi oleh pihak pelaku usaha, membuka peluang luas baginya untuk menyalah gunakan kedudukannya. Pelaku usaha hanya mengatur hak – haknya dan tidak kewajibannya. Menurutnya, perjanjian standar ini tidak boleh dibiarkan tumbuh secara liar dab karena itu perlu ditertibkan.

Sutan Remy Sjahdeini berpendapat dalam kenyataanya KUH Perdata sendiri memberikan pembatasan – pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak itu. Misanya, terdapat ketetuan yang mengatakan, suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kata sepakat kedua belah pihak atau karena alasan lain yang dinyatakan dengan undang – undang. KUHP Perdata juga meyebutkan tiga alasan yang dapat menyebabkan suatu perjanjian, yakni paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), dan penipuan (bedrog). Ketiga alas an ini dimaksudkan oleh undang – undang sebagai pembatasan terhadap belakunya asas kebebasan berkontrak.

Menurut Remy Sjahdeini, agar tidak terjadi penyalahgunaan terhadap asas kebebasan berkontrak ini oleh pihak yang berkedudukan lebih kuat, maka diperlukan campur tangan melalui undang – undang dan pengadilan. Dalam hokum perburuhan , misalnya, ada pembatasan – pembatasan dalam kontrak kerja. Campur tangan pengadilan dapat dijumpai dalam penyebab putusnya perjanjian yang dikenal dengan penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstanddigheden). Dalam KUHP Perdata Baru Negeri Belanda, penyalahgunaan keadaan ini dikukuhkan sebagai alasan keempat dari cacat kehendak.

Dengan demikian, jika asas kebebasan berkontrak ingin ditegakkan, dan kepentingan dunia perdagangan tidak pula dirugikan, satu – satunya cara adalah dengan membatasi pihak pelaku usaha dalam klausul eksenorasi. Tentu Darus Barulzaman, harus ada campur tangan pemerintah, kiranya tidak semua perjanjian standar dapat diperlakukan demikian. Materi perjanjian yang terjadi di masyarakat sedemikian luasnya dan heterogennya.

Dalam kenyataannya, campur tangan yang disarankan ini dapat dilakukan oleh pemerintah. Misalnya saja dalam lapangan perburuhan agrarian, sangat banyak dilakukan standarisasi perjanjian. Akan tetapi, untuk perjanjian – perjanjian keperdataan yang dibuat oleh notaries, tentu tidak harus distandarisasi. Perjanjian – perjanjian yang disebutkan berakhir ini tumbuh melalui kebiasaan dan permintaan masyarakat sendiri. Campur tangan pemerintah lebih diharapkan pada perjanjian – perjanjian yang berskala luas, walaupun tidak sepenuhnya bersifat public seperti dibidang perburuhan dan agrarian. Perjanjian berskala luas yang dimaksud berkaitan dengan keputusan berkaitan dengan kepentingan missal, dank arena itu jika diserahkan sepenuhnya pembuatannya secara sepihak kepada pelaku usaha, dikhawatirkan akan dibuat banyak klausul eksonerasi yang merugikan masyarakat.

Dalam UUPK, istilah klausul eksonerasi sendiri tidak ditemukan, yang ada adalah “klausul baku”. Pasal 1 angka 10 mendefinisikan klausul baku sebagai setiap

Page 103: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

aturan atau ketentuan dan syarat – syarat yang dipersiapkan dan ditetapkan terih dahulu secara sepihakoleh pelaku usaha yang dituangkan dalam usaha dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Jadi yang ditekankan oleh prosedur pembuatannya yang berifat sepihak, bukan mengenai isinya. Padahal, pengertian “klausul eksonerasi” tidak sekedar mempersoalkan prosedur pembuatannya, melainkan juga isisnya yang bersifat pengalihan kewajiban atau tanggung jawab pelaku usaha.

Pasal 18 ayat (1) huruf (a) UUPK menyatakan pelaku usaha dalam menawwarka barang dan/atau jasa yang ditunjukkan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausul baku pada setiap dokumen dan/ atau perjanjian jika menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha. Ketentuan huruf (b) dan seterusnya sebenarnya memberikan contoh bentuk – bentuk pengalihan tanggung jawab itu, seperti pelaku usaha dapat menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen, atau menolak penyerahan kembali uang yang dibayar, dan sebagainya.

Apakah dengan demikian, klausul baku sama dengan klausul eksonerasi? Jika melihat kepada ketentuan pasal 18 ayat (1) UUPK, dapat diperoleh jawaban sementara bahwa kedua istilah itu berbeda. Artinya, klausul baku adalah klausul yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha, tetapi isinya tidak boleh mengarah kepada klausul eksonerasi. Pasal 18 ayat (2) mempertegas pengertian tersebut, dengan mengatakan bahwa klausul baku harus diletakkan pada tempat yang mudah terlihat dan dapat jelas dibaca dan mudah dimengerti. Jika hal – hal yang disebutkan dalam ayat (1) dan (2) itu tidak dipenuhi, maka klausul baku itu menjadi batal hokum.

Tidak disitu saja pengaturan tentang klausul baku ini berhenti karena terhadap pelanggaran yang dilakukan berkaitan dengan tidak dipenuhinya ketentuan pada Pasal 18 ini juga diberikan ancaman sanksi pidana sebagaimana diatur pada Pasal 62 UUPK ayat (1) :

Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimasudkan dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, dan ayat (2), dan pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp2,000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Di Amerika Serikat, misalnya pembatasan kewenangan pelaku usaha untuk membuat klausul eksenorasi lebih banyak diserahkan kepada inisiatif konsumen. Jika ada konsumen yang meeras dirugikan, berdasarkan Uniform Commercial Code 1978, ia dapat mengajukan gugatan kepengadilan. Putusan – putusan pengadilan inilah yang kemudian dijadikan masukan perbaikan legislasi yang telah ada, termasuk sejauh mana Pemerintah dapat campur tangan dalam penyusunan kontrak.

Di belanda, perjanjian standar dimasukkan pengaturannya dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata yang baru. Di situ dinyatakan bahwa bidang – bidang usaha yang boleh meberapkan perjanjian standar harus ditentukan dengan peraturan dan perjanjian itu baru dapat ditetapkan, diubah, atau di cabut setelah mendapat persetujuan Menteri Kehakiman. Kemudian penetapan, perubahan, atau pencabutan itu baru memperoleh kekuatan hokum setelah mendapat persetujuan Raja/Ratu yang dituangkan dalam Berita Negara, ketentuan lainnya menyatakan bahwa perjanjian standar ini dapat pula dibatalkan, jika pihak produsen/penyalur produk (penjual) atau kreditor mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa pihak konsumen tidak akan menerima perjanjian tersebut jika ia mengetahuinya isinya.

Page 104: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

Bagi kita di Indonesia, ketentuan yang membatasi kewenangan pembuatan klausul eksonerasi ini belum diatur secara tegas di dalam undang – undang. Ketentuan satu – satunya beru ditemukan dalam UUPK, walaupun di situ digunakan istilah “klausul baku” yang ternyata berbeda pengertiannya dengan “klausul eksonerasi”. Secara umum, memang dapat ditunjukkan beberapa pasal yang ada dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata. Salah satunya adalah pasal 1337, yang menyatakan suatu perjanjian tidak boleh dibuat bertentangan dengan undang – undang, kesusilaan, atau ketertiban umum. sekalipun demikian, untuk menguji sejauh mana perjanjian itu bertentangan, perlu diperoses melalui gugatan pengadilan. Padahal, kekuatan yurisprudensi dalam sisitem hokum Indonesia tidak berlaku seperti di Negara – Negara Anglo saxon/Anglo Amerika. Dengan demikian. Loangkah yang ditempuh oleh Belanda, yakni dengan membuat ketentuan khususus mengenai tata cara pembuatan perjanjian standar, kiranya dapat di pertimbangkan untuk ditiru. Selain dengan mencantumkannya dalam Kitab Undang – Undang – Undang Hukum Perdata, juga dapat dimuat dalam undang – undang yang mengatur mengenai perlindungan konsumen.

Dengan adanya pengaturan terhadap Perlindungan Konsumen terutama pada peraturan yang berkaitan dengan klausul baku sedikit menyadarkan masyarakat bahwa mereka sebagai pihak dalam perjanjian memiliki hak yang (semestinya) sejajar dengan pihak lainnya dalam perjanjian baku.

Selain paling tidak memberikan gambaran bahwa perlu adanya suatu sarana bagi peningkatan perlindungan terhadap penggunaan perjanjian baku dan segala atributnya, yang tentu saja merugikan salah satu pihak pada perjanjian. Di mana pengaturan ini merupakan tonggak awal baginya keseimbangan dalam penempatan pihak pada suatu perjanjian.

Meski demikian penggunaan perjanjian baku atau jika dapat dikatakan lebih luas ketidakseimbangan daya tawar para pihak merupakan suatu hal yang sangat sulit untuk diawasi atau dikendalikan, karena hal ini berkaitan dengan adanya unsure perlindungan dan kepentingan sepihak yang lebih besar daya tawarnya untuk melindungi kepentingannya, serta adanya kebutuhan dari pihak yang berdaya tawar lebih rendah untuk menerima isi dari perjanjian itu.

Secara sederhana dapat kita katakana bahwa yang kuat adalah yang menang masih berlaku, yang bisa kita hindari, dengan adanya pengaturan terhadap pemakaian perjanjian baku ini adalah adanya eksploitasi atau keadaan yang sedemikian merugikan bagi puhak yang lemah akibat adanya pengunaan paksaan maupun penyalahgunaan keadaan oleh pihak yang lebih kuat.

D. LAYANAN PURNAJUAL DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

Layanan purnajual (after sales service) merupakan kepentingan konsumen yang sangat vital dewasa ini. Perkembangan teknologi yang sangat cepat misalnya pada tegnologi perangkat computer, sering membuat produsen harus mengubah tipe – tipe produknya mengikuti selera dan kebutuhan konsumen harus mengubah tipe – tipe produknya mengikuti selera dan kebutuhan konsumen yang terus berganti dalam waktu singkat. Akibatnya, jika ada kerusakan dari suatu tipe produk, sering konsumen tentu menghadapi kendala memperbaiki barangnya karena ketiadaan suku cadang.

Page 105: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

Masalah lainnya yang menyangkut layanan purnajual adalah soal garansi dalam jangka waktu tertentu yang memberikan produsen/penyalur produk (penjual) atau kreditor pada konsumennya. Demikian pula dengan tanggung jawab produsen/penyalur produk (penjual) atau kreditor dalam memenuhi hak konsumen, terutama hak untuk memiliki barang/jasa yang sesuai dengan nilai tukar yang diberikan. Konsumen tidak boleh ditipu memperoleh barang dengan kualitas tertentu, padahal kenyamanannya tidak demikian. Misalnya, dikatakan jus yang dijual adalah sari jeruk asli, padahal hanya essence dari bahan – bahan kimia. Kertas tisu yang dikemas dalam kotak yang dinyatakan beratnya 10 ons, ternyata hanya 9 ons, dan sebagainya.

Tampak masalah layanan purnajual adalah masalah perlindungan konsumen yang tidak dapat dipisahkan dengan tahapan – tahapan transaksi konsumen lainnya, yang berlaku bukan lagi prinsip caveat emptor, tetapi caveat venditor (produsen/penyalur produk (penjual) atau kreditorlah yang bertanggung jawab, yang lazim disebut tanggung jawab produk. Tanggung jawab dari si produsen dan pihak – pihak yang menyalurkan produknya secara tanggungan renteng seluruhnya bersifat tanggung jawab mutlak (strict liability) atau tanggung jawab tanpa kesalahan (liability without fault).

Perluasan subjek yang dapat dimintai tanggung jawabnya telah pula diterapkan diberbagai Negara. Di lingkungan Uni Eropa, misalnya dinyatakan dalam Pasal 3 Pedoman Masyarakat Eropa, tanggung jawab produk adalah tanggung jawab dari pembuatan produk cacat yang bersangkutan, yakni:

1. Produsen dari bahan – bahan mentah atau komponen dari produk itu;2. Setiap orang yang memasang nama, merek perusahaan, atau memberikan tanda

khusus untuk membedakan produknya dengan produk orang lain;3. Setiap orang yang mengimpor produk untuk dijual, disewakan, atau dipasarkan (tanpa

mengurangi tanggung jawab si pemilik produk);4. Setiap pemasok produk, jika pembuatnya tidak diketahui atau pembuat produknya

diketahui, tetapi mengimpornya tidak diketahui.

Pengaturan tentang tanggung jawab produk ini belum ada pengaturannya di Indonesia. Tim Kerja Naskah Akademis Badan Pembinaan Hukum Nasional pernah menyarakan agar dikembangkan system baru pertanggung jawaban hokum atau produk, namun baru untuk bidang farmasi. Tujuannya dari pengembangan itu adalah untuk : 1.

1. Memberikan perlindungan kepada masyaraka terhadap penggunaan produk farmasi yang cacat;

2. Mengembalikan kesimbangan masyarakat akibat penggunaan dan beredarnya proguk cacat;

3. Memudahkan proses pembuktian akibat penggunaan produk farmasi yang cacat;4. Meningkatkan mutu produk farmasi yang beredar, sehingga dapat mencapai tujuan

peruntukan dan penggunaanny.

Seharusnya tanggung jawab produk ini jangan dibatasi hanya pertanggung jawaban atas produk yang cacat. Tanggung jawab produk adalah bagian dari transaksi konsumen, yaitu tahapan ketiga ( pasca transaksi konsumen). Membatasi tanggung

Page 106: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

jawab produk hanya pada pergantian atas produk yang cacat berarti tidak member banyak kemajuan bagi perlindungan konsumen.

Sejak dahulu, menjadi kewajiban produsen untuk menjamin barang yang dijualnya bebas dari cacat tersembunyi. Jaminan ini merupakan perikatan yang otomatis dibebankan kepada produsen/penyalur produk (penjual) atau kreditor. Jaminan dalam undang – undang ini pun dalam praktik dicoba untuk diminimalisasi dengan menyatakan sepihak ( klausul eksenorasi), seperti “barang yang telah dibeli tidak dapat dikembalikan).

Dalam UUPK tampaknya klausull eksenorasi demikian akan dihilangkan, walaupun besar kemungkinan secara sosiologis masih digunakan secara luas oleh produsen. Di sinilah diperlukan sosialisasi UUPK dan upaya gencar pendidikan konsumen.

Dalam Pasal 19 UUPK secara jelas diatur, pelaku usaha wajib mengganti kerugian atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian yang diderita konsumen akibat mengonsumsi barang dan/atau jasa. Ganti rugi ini bersifat serta merta, dan diberi jangka waktu & hari setelah tanggal transaksi. Namun, ketentuan ini agak berbeda dengan ketentuan tentang masa garansi dalam Pasal 27 UUPK. Ketentuan dalam pasal yang disebutkan terakhir ini memberikan tenggang waktu pelayanan kepada konsumen sampai pada akhir masa garansi.

Layanan purnajual sebenarnya meliputi permasalahan yang lebih luas, dan terutama mencakup masalah kepastian atas :

1. Ganti rugi jika barang/jasa yang diberikan tidak sesuai dengan perjanjian semula;2. Barang yang digunakan, jika mengalami kerusakan tertentu, dapat diperbaiki

secara Cuma – Cuma selama jangka waktu garansi;3. Suku cadang selalu tersedia dalam jumlah cukup dan tersebar luas dalam jangka

waktu yang relative lama setelah transaksi konsumen dilakukan.

Dalam UUPK, layanan purnajual diakomodasikan pula, walaupun hanya dalam beberapa rumusan yang umum.

Pasal 25 UUPK menyatakan, bahwa pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang – kurangnya satu tahun, wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas penjualan dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan. Pelaku usaha tersebut wajib bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen jika pelaku usaha itu tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan, juga jika ia tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.

Jelaslah, penyelesaian kasus purnajual seperti dinyatakan dalam Pasal 25 UUPK itu masih memerlukan upaya penuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen. Pasal 27 huruf e UUPK bahkan memberi batas waktu kadaluarsa untuk melakukan penuntutan atau gugatan ini selama empat tahun sejak barang dibeli atau setelah lewat masa garansi.

Page 107: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

Persoalannya adalah pelaku usaha sering secara sepihak mencantumkan masa garansi secara tidak proposional. Misalnya, untuk garansi perbaikan alat – alat elektronika ditetapkan lamanya selam satu tahun sejak barang diserahkan kembali. Waktu yang demikian pendek sangat mungkin tidak mencukupi bagi konsumen utnuk meneliti kembali hasil perbaikkan itu secara keseluruhan. Untuk itu, masa garansi itu perlu ditetapkan batas minimalnya oleh pembentuk undang – undang, bergantung pada klasifikasi (jenis) barang atau jasa yang diberikan oleh pelaku usaha itu.

Khusus untuk produk elektronika, pengaturan tentang layanan purnajual dicantumkan dalam keputusan menteri perindustrian dan perdagangan no.608/MPP/Kep/10/1991 tentang petun juk penggunaan (manual) dan kartu jaminan/garansi dalam bahasa Indonesia bagi produk elektronika. dalam keputusan itu disebutkan bahwa manual dan kartu jaminan/garansi produk elektronika tertentu perlu dilakukan pendaftaran. Tata cara pendaftaran diatur dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Pedagangan No.7/MPP/Kep/1/2000. Permohonan tanda pendaftaran diajukan ke Direktorat Jenderal Industri Logam Mesin Elektronika dan Aneka u.p. Direktur Industri Elektronika (untuk produk dalam negeri) atau ke Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negara u.p Direktur Bina Pasar (untuk produk asal impor).

Dalam peraturan yang disebutkan di atas, hanya sebelas jenis produk elektronika yang wajibkan pendaftaran, yaitu (1) radio cassette/mini compo, (2) alat perekam atau reproduksi, (3) pesawat televise, (4) printer, (5) monitor computer, (6) lemari es (refrigerator), (7) mesin pengatur suhu udara (AC), (8) mesin cuci, (9) kompor gas, (10) pompa air listrik untuk rumah tangga, dan (11) microwave oven. Dalam keputusan ini tidak jelas alasannya mengapa produk elektronika yang diwajibkan hanya dibatasi pada sebelas jenis tersebut.

Sebelum jenis produk yang beredar di Indonesia juga wajib dilengkapi kartu jaminan/garansi dalam bahasa Indonesia. Kartu jaminan/garansi itu berlaku sekurang – kurangnya 1 tahun, yang antara lain wajib memuat informasi mengenai ongkos perbaikkan gratis selama garansi dan jaminan ketersediaan suku cadang.

Dalam peredarannya, produk elektronika yang mendapatkan tanda pendaftaran itu wajib mencantumkan nomor surat tanda pendaftaran tersebut secara manual dan kartu jaminan/garansi yang dikeluarkan oleh produsen atau inportir tadi. Kewajiban ini berlaku selama yang bersangkutan menjalankan kegiatan usahanya di Indonesia. Jika ada perubahan terhadap isi manual dan/atau kartu jaminan/garansinya sebagai akibat pergantian atau penambahan model (tipe) produk, maka yang bersangkutan harus mengajukan pendaftaran atas perubahan itu ke instansi yang sama.

Pelaku usaha dapat melakukan permohonan tanda pendaftaran manual dan kartu jaminan/garansi ini baik secara individual maupun melalui asosiasi usaha atas perubahan itu ke instansi yang sama.

Pelaku usaha dapat melakukan permohonan tanda pendaftaran manual dan kartu jaminan/garansi baik secara individual maupun melalui asosiasi usaha terkait. Permohonan juga dapat dilakukan memalui jasa pos.

Untuk kepentingan perlindungan konsumen, pemerintah pembentuk tim pemerintah yang terdiri ats unsure kepolisian, kejaksaan, Ditjen Bea dan cukai,Ditjen Pajak, Ditjen Industri Logam Mesin Elektronika dan Aneka, dab Ditjen Perdagangan Dalam Negeri. Tim ini akan bekerja sam dengan asosiasi pelaku usaha terkait dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, serta masyarakat konsumen pada umumnya. Pelaku usaha yang menurut tim pemeriksa melakukan pelanggaran, dapat dikenakan sanksi administrative, yakni pencabutan izin usaha industry (IUI) atau tanda daftar industry (TDI). Bagi importer yang melanggar, sanksinya berupa

Page 108: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

pencabutan angka mengenal omportir (API) atau angka pengenal importer terbatas (APIT).

E. HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL

Hak atas kekayaan intelektual (intellectual property rights) dalam garis besarnya mencakup hak cipta, merek, paten, dan desai produk industry. Tiga jenis hak yang terakhr dikenal juga sebagai hak milik industry (industrial property rights). Di luar itu, sering juga disebutkan jenis lain dari hak atas kekayaan intelektual, seperti layout design, undisclosed information (trade secret), dan sebagainya.

Hak atas kekayaan intelektual adalah hak – hak yang diberikan kepada pelaku usaha untuk monopoli. oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam Pasal 50 Undang – Undang No.5 Tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, dinyatakan bahwa larangan monopoli itu tidak berlaku untuk perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual, seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk indutri, rangkaiaan elektronika terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba.

UUPK tidak mengatur lagi bidang hak atas kekayaan intelektual (HAKI) ini. Maksudnya, UUPK secara khusus mengecualikan pengaturan hak – hak konsumen yang muncul dalam bidang HAKI. Ini berarti, untuk mengetahui hak – hak konsumen bidang tersebut, kita perlu melihat pengaturannya dalam undang – undang yang lain, yakni:

1. Undang – Undang No.14 Tahun 2001 tentang Paten2. Undang – Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek3. Undang – Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Ketiga undang-undang tersebut dilengkapi pula dengan peraturan pelaksanaannya. Sementara untuk desain produk industri sampai sekarang belum diatur secara khusus dalam suatu undang-undang.

Dilihat dari kacamata konsumen, sebenarnya konsumen hanya berkepentingan agar ciptaan,merek, dan paten yang diterapkan untuk suatu barang atau jasa adalah benar-benar seperti apa yang ditampilkan. Konsumen akan dirugikan jika ciptaan, merek, dan paten itu ternyata tidak seperti yang dibayangkan karena dipalsukan oleh pelaku usaha.

Hokum dibidang HAKI ini termasuk subtansi hokum yang sangat pesat perkembangannya. Ironisnya, perkembangan ini bukan karena pertimbangan untuk melindungi konsumen, tetapi terlebih—lebih untuk melindungi produsen, kkhususnya yang ada di luar negeri. Hal ini secara jelas tampak dari dimasukkannya perjanjian mengenai Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) sebagai salah satu perjanjian utama yang dihasilkan oleh perundingan Putaran Uruguay itu setelah diadakan ratifikasi, Oktober 1994 (Undang-Undang No. 7 Tahun 1994).

Karena perjanjian putaran Uruguay ini diadakan dalam kerangka pembentukan Badan Perdagangan Dunia (Word Trade Organization) yang menjadi pengganti GATT, maka prinsip-prinsip GATT dalam bidang HAKI ini juga diterapkan. Prinsip-prinsip itu antara lain adalah prinsip.

1. National treatment, yakni pemilik hak atas kekayaan intelektual (HAKI) asing harus diberi perlindungan yang sama dengan warga Negara dari Negara yang bersangkutan.

2. Most favoured-nation atau nondiskriminasi antara pemilik HAKI asing dari suatu Negara dibandingkan dengan pemilik HAKI asing dari Negara lain

Page 109: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

3. Transparancy, yang memaksa Negara anggota untuk lebih terbuka dalam ketentuan perundang-undangan dan pelaksanaan anturan nasional dalam bidang perlindungan HAKI.

Salah satu ketentuan yang barangkali termasuk baru dalam masalah HAKI ini, dan sangat erat kaitannya dengan perlindungan konsumen adalah tentang indikasi geografi dan indikasi asal. Mengenai hal ini UUPK mencantumkannya dalam Pasal 9 ayat (1) huruf h.

Undang-undang No. 15 Tahun 2001 memberikan pengertian tentang indikasi geografis sebagai : “tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang yang karena factor lingkungan geografis termasuk alam, factor manusia, atau kombinasi dari kedua factor tersebut memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Indikasi geografis ini bukan termasuk merek, melainkan tanda, misalnya berupa eitket atau label yang dilekatkan pada barang yang dihasilkan. Tanda teresbut dapat berupa nama, tempat, daerah atau wilayah, kata, gambar, huruf atau kombinasi dari unsure-unsur tersebut.

Contoh dari barang yang berindikasi geografis adalah anggur Champaigne, yang artinya diproduksi oleh produsen anggur dari daerah Champaigne, Prancis. Produsen dan pelaku usaha anggur manapun diluar daerah itu tidak diperkenalkan memakai label “anggur Champaigne” dalam produk mereka. Untuk kondisi di Indonesia, mungkin kita juga dapat menggunakan prinsip yang sama untuk produk seperti “dodol Garut” atau “ martabak Bangka”, walaupun boleh jadi penerapannya tidak sesederhana yang dibayangkan.

Sangat menarik, bahwa dalam indifikasi geografis menurut pasal 56 ayat (2) Undang – Undang No. 15 Tahun 2001 juga di ajukan oleh kelompok konsumen dari barang – barang tersebut. Di Indonesia memang belum lazim terbentuk asosiasi atau kelompok konsumen dari barang – barang tertentu. Dimasa mendatang aka nada kelompok konsumen yang menyebut dirinya sebagai “pencinta dodol Garut” atau “ konsumen tembakau Deli” yang secara sepihak bersedia mengajukan permintaan perlindungan indikasi geografis atas produk yang mereka konsumsi.

Istilah lain yang diatur dalam Undang – Undang No. 15 Tahun 2001 adalah tentang Indikasi asal. Dari Pasal 59, dapat disimpulkan ada dua factor pembedaanya dengan indikasi geogarfis, yaitu:

1. Indikasi asal tidak didaftarkan, sekalipun memenuhi semua unsure untuk disebutkan sebagai indikasi geografis, dan

2. Indikasi asal itu meliputi produk baik berupa barang maupun jasa.

Factor pertama memberikan petunjuk, indikasi asal tidak perlu didaftarkan karena secara otomatis akan dilindungi. Oleh karena itu, seharusnya istilah “pemegang hak” tidak digunakan karena memang hak atas indikasi asal itu. Akan lebih tepat jika digunakan istilah “pemakai hak”.

Pemakai hak atas indikasi asal dapat saja meningkatkan haknya menjadi pemegang hak, tetapi harus melalui putusannya pengadilan. Berbekal putusan itu, ia dapat mengehentikan kegiatan usaha dari pelaku usaha lainnya.

Catatan lain tehadap indikasi asal ini adalah penggunaan kata barang dan jasa. Padahal dalam indikasi geografis, Undang – Undang No.15 Tahun 2001 menyebutkan indikasi itu hanya untuk produk barang. Kesalahan ini tentu cukup fundamental dan sangat berpengaruh terhadap upaya perlindungan hak – hak konsumen.

F. ASURANSI

Page 110: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

Yusuf Shofie mengutamakan bahwa bisnis perasuransian di Indonesia hampir sama tuanya dengan bisnis perbankan. Nama – nama perusahaan asuransi jiwa seperti, Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 tergolong perusahaan asuransi yang cukup dikenal masyarakat. Nama – nama terkenal lain seperti Dharmala Manulife, Lippo Life, New Hamshire Agung, Asuransi Cigna Indonesia, Ansuransi Astra Buana, Ansuransi Jiwa Buana Putra, Sewu New York Life, dan sebagainya, tak mau kalah dalam persaingan bisnis ini. Dibandingkan industry perbankan, industry perasuransian kurang banyak dapat perhatian konsumen. Sebagian konsumen cenderung memisahkan sebagian penghasilannya untuk disimpan dibank dari pada digunakan untuk asuransi. Konsumen masih sering merasakan bahwa asuransi tak melindungi aktivitasnya, bahkan cenderung merugikannya, meskipun kesan itu tak semuanya benar.

Untuk mendorong kegiatan perarsuransian di Indonesia, tak tanggung – tanggung pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan 20 Desember 1988. Setelah dikeluarkannya paket ketentuan itu, terdapat sekitar 130 perusahaan asuransi, meliputi asuransi kerugian, reasuransi, asuransi jiwa, dan asuransi social. Dalam pada itu, tradisi berasuransi masih dianggap hal baru oleh sebagian masyarakat konsumen, padahal sejalan dengan semakin konpleksnya aktifitas pelaku ekonomi (pemerintah, perusahaan swasta, BUMN, Koprasi, dan konsumen), berbagai resiko senantiasa mengincar konsumen setiap saat.

H.M.Purwo sudjibto memberikan pengertian resiko tidak lain adalah beban kerugian yang diakibatkan karena suatu peristiwa diluar kesalahannya, misalnya rumah seseorang tebakar sehingga pemiliknya mengalami kerugian. Inilah resiko yang harus ditanggung pemiliknya. Resiko diartikan pula sebagai kerugianyang tidak pasti, didalamnya terdapat dua unsure, yaitu ketidak pastian dan kerugian. Karena besarnya resiko ini dapat diukur dengan nilai barang yang mengalami peristiwa diluar kesalahan pemiliknya, maka resiko ini dapat di alihkan kepada perusahaan asuransi kerugian dalam bentuk pembayaran klaim asuransi. Pengalihan resiko ini di imbangi dalam bentuk pembayaran premi kepada perusahaan asuransi kerugian setiap bualan atau tahun bergantung pada perjanjian yang tetuang dalam polis, manfaat peralihan resiko inilah yang diperoleh konsumen.

Ditinjau dari sudut sifat dan berlakunya, asuransi dibedakan menjadi dua jenis. Pertama, asuransi yang bersifat suka rela, misalnya asuransi kerbakaran, asuransi kendaraan bermotor, asuransi jiwa, dan lain – lain. Kedua, asuransi yang bersifat wajib berdasarkan ketentuan undang – undang misalnya pertanggungan wajib kecelakaan penumpang ( Undang - undang No. 33 tahun 1964), petanggungan jawab kecelakaan lalulintas jalan (Undang – Undang No.33 tahun 1964), jaminan social tenaga kerja (diselenggarakan astek berdasarkan Undang – Undang No.33 tahun 1964), asuransi social pegawai negeri (dikelola PT.taspen berdasarkan peraturan pemerintah No.25 tahun 1981), asuransi abri ( dikelola berdasarkan peraturan pemerintah No.67 tahun 1991).

Keikut sertaan konsumen dalam berbagai program dan jenis asuransi sangat pergantung pada pemahaman konsumen terhadap produk yang ditawarkan. Tidak mudah mencari tahu seberapa jauh pemahaman konsumen pada umumnya tehadap produk – produk asuransi. Menurut sementara pejabat departemen keuangan RI, produk – produk asuransi tergolong rumit dan sukar dipahami, sehingga produk itu tidak marketable. Persaingan mendapatkan konsumen memang terjadi dikalangan perusahaan asuransi, apalagi dalam era perdagangan. Pada tahun 1991 pernah terjadi persaingan premi perusahaan asuransi telah membuat suatu pilihan untuk mendapatkan konsumen sebanyak – banyaknya tanpa memperhitungkan apakah

Page 111: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

penetapan besarnya premi yang tidak proporsional tersebut dapat dipertanggung jawabkan dari sisi underwriting, yaitu kemampuan untuk membayar polis kelak akibatnya klaim asuransi konsumen ditolak tanpa alas an yang benar dan patut. Dalam keadaan seperti ini, taka ada perlindungan resiko yang dialami konsumen sebaliknya perusahaan asuransi sudah mendapatkan premi yang dibayarkan konsumen.

Terbitnya undang – undang No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen memberi jaminan supaya hak – hak tertanggung lebih diperhatikan. Keluhan – keluhan konsumen sekarang sudah terjawab dengan hadirnya undang – undang perlindungan konsumen, yang dibuat dalam semangat reformasi selain memberi perlindungan kepada konsumen, juga menatapkan mereka dalam posisi tawar yang lebih kuat.

Bedasarkan undang – undang ini konsumen berhak meminta keterangan segala sesuatu yang akan diperjanjikan dalam asuransi dan selaku pihak penjual produk, perusahaan asuransi harus bersedia menjelaskan isi dan makna kontrak dalam polis hingga konsumen benar –benar memahaminya terhadap konsumen apakah pemakai produk atau pengguna jasa yang merasa dirugikan karena diperjanjikan atau sebagaiman mestinya undang – undang ini menjamin agar meraka mendapat konpensasi atau ganti rugi.

Dalam undang – undang ini ditegaskan juga hak konsumen untuk memperoleh informasi yang benar jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa yang dibelinya serta hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau jasa yang digunakan. Masih banyak hak – hak yang diatur dalam UU sehingga posisi konsumen semakin kuat. Sebagai pihak yang berjanji tertangguang dan penanggung memiliki posisi yang setara dan tidak ada yang dibawah dan di atas. Hak – hak lainnya yang ditegaskan dalam Undang – undang No.8 tahun1999 antara lain :

1. Hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang atau jasa;2. Hak untuk memilih barang atau jasa serta mendapatkan barang atau jasa tersebut

sesuai dengan nilai tukar dan kodis serta jaminan yang dijanjikan.3. Hak untuk mendapatkan advokasi, pelindungan dan upaya penyelesaian sengketa

secara patuh;4. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;5. Hak untuk diberlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminasi;6. Hak – hak yang diatur dalam ketentuan – ketentuan peraturan perundang – undangan

lain.

Asuransi termasuk jasa yang bisa dinikmati konsumen dengan terlebih dahulu menandatangani polis sebagai bentuk persetujuan keikut sertaan dengan memenuhi kewajiab membayar premi setiap bulan atau tahunnya. Permasalahan asuransi adalah permalahan jamak yang penyelesaian akhirnya seringkali membuat konsumen diposisi yang lemah. Hubungan antara perusahaan asuransi dan nasabahnya diatur dalam perjanjian yang mengikat dan disepakati oleh kedua belah pihak. Namun, dalam pelaksaannya posisi antara nasabah dan perusahan asuransi eringkali timpang, dimana isi perjanjian dibuat dengan kata-kata yang sulit dipahami dan dibuat dalam tulisan kecil-kecil(klausul baku) sehingga kesepakatan tersebut terjadi pada saat nasabah hanya memahami sebagaian kecil dari perjanjian tersebut. Artinya, nasabah hanya membaca sekilas perjanjian tersebut, tanpa dipahami secara mendalam konsekuensi yuridisnya, yang membuat para asuransi sering tidak tahu apa yang menjadi haknya. Padahal konsumen asuransi sebagaimana tertuang daam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi,

Page 112: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

ganti rugi / penggantian, apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Keluhan dari konsumen berkaitan dengan klaim asuransi dapat kita lihat dari contoh kasus yang ditujukan pada YLKI yakni sebagai berikut :

Bapak Imron saat ini sedang mengajukan klaim asuransi kepada PT ASKES atas perawat di salah satu RS Swasta. Karena masuk RS melalui Gawat Darurat, klaim dapat diterima. Akan tetapi, dari klaim Rp7,6 juta hanya dikabulkan sebesar Rp 590 ribuan saja dengan alas an obat-obatan yang dipakai bukan yang termasuk dalam daftar PT ASKES. Dalam hal ini harusbagaimana bersikap, diterima atau ada jalan lain. masalahnya adalah obat-obatan tersebut yang memilihkan dokter yang merawat.

Saran dari YLKI adalah melihat kembali perjanjian antara PT Askes dengan Bapak Imron selaku konsumen dari perusahaan asuransi, apabila setelah dicermati tidak ada aturan tentang pembatasan obat yang harus digunakan maka Bapak Imron dapat meminta kompensasi sesuai apa yang menjadi kewajiban dari PT ASKES. Bahwa pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan atau garansi yang disepakati / yang diperjanjikan.

Apabila ada klausul yang mengatur tentang pembatasan obat yang harus diterima, perlu dilihat apakah dibuat dalam bentuknya yang sulit terlihat, atau pengungkapannya sulit dimengerti, sehingga PT ASKES dapat dituntut seperti apa yang tertuang dalam Pasal 18 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengenai klausal baku.

Pelaku usaha dilarang mencantukan klausul baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atatu yang pengungkapannya sulit dimengerti.

Dalam hal ini pelaku usaha dapat diminta tanggung jawab atas kewajibannya sesuai Pasal 7 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa kewajiban pelaku usaha adalah beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai jaminan barang/jasa serta member penjelasan penggunaan perbaikan dan pemeliharaan.

Kasus lain seperti yang diuraikan Yusuf Shofie dimana terkadang konsumen pemegang polis asuransi jiwa yang belum waktunya mengajukan klaim asuransi, dalam hal ini klaim uang pertanggungan setelah masa pertanggungan berakhir (dalam praktik disebut pula “klaim habis kontrak”) diminta untuk memperbarui polis asuransinya dengan alas an petugas penagih premi belum menyerahkan premi asuransi si konsumem kepada perusahaan. Padahal konsumen sudah membayar preminya. Pembaruan polis itu membawa akibat jumlah premi yang harus dibayarkan meningkat.

Apabila konsumen menurut saja, konsekuensinya pengeluaran konsumen akan bertambah perbulan atau pertahunnya, dan ia akan berada pada posisi yang sangat dirugikan. Sebab kelalaian petugas penagih premi ( agen asuransi) dalam bentuk tidak disetorkannya premi kepada perusahaan asuransi, dibebankan kepada konsumen. Padahal menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian, petugas penagih premi, baik secara perorangan ataupun badan hokum, bertindak untuk dan atas nama perusahaan asuransi. Konsekuensinya sepanjang petugas tersebut telah diberi kuasa untuk itu, segala tindakannya menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi.

Petugas penagih premi memberikan bukti pembayaran premi asuransi yang sah bersamaan atau pada saat konsumen menyerahkan pembayaran uang premi. Ini membuktikan bahwa perusahaan asuransi tidak dibenarkan mengelak dari tanggung jawabnya. Dalam hal petugas premi tidak menyerahkan uang premi konsumen kepada

Page 113: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

perusahaan asuransi sekalipun telah diperingatkan atau bahkan malah menghilang, petugas itu patut diduga melakukan penggelapan asuransi yang dapat diancam hukkuman maksimal 15 tahun dan denda maksimal Rp 2,5 niliar berdasarka Undang-Undang Usaha Perasuransian.

Karenanya bila konsumen didatangi petugas sales promotion perusahaan asuransi jiwa, konsumen diharapkan tidak mudah tergiur terhadap berbagai manfaat mengikuti asuransi tersebut. Tak jarang petugas itu ternyata masih relasi konsumen sehingga mudah bagi konsumen untuk mengiyakannya. Padahal kedekatan petugas dengan konsumen tidak akan berpengaruh terhadap berbagai konsekuensi hokum keikutsertaan konsumen dalam asuransi. Apabila sudah menjumpai masalah, di mata hokum tidak ada lagi kawan dan bukan kawan atau relasi dan bukan relasi.

Apabila tidak diminta atas desakan konsumen, sebagian perusahaan asuransi enggan menjelaskan system perhitungan besarnya premi yang harus dibayarkan, nilai tunai selama masa pertanggungan, serta syarat-syarat umum polis. Dianjurkan agar konsumen tidak mudah tertarik dengan besarnya uang pertanggungan. baik dengan menggunakan mata uang dalam negeri maupun luar negeri. Semakin besar uang pertanggungan, semakin besar pula premi yang harus dibayarkan. Demikian pula, semakin muda usia konsumen, semakin kecil besarnya premi.

Kecermatan menghitung besar nya premi dan membandingkannya dengan penghasilan perbulan, menghindarkan konsumen dari tertunggaknya pembayaran premi. Apabila besarnya premi yang ditawarkan sangat mempengaruhi pengeluaran konsumen dalam sebulan atau setahun, lebih baik konsumen tunda dulu kebutuhan berasuransi. Dalam hal pembayaran premi menunggak, asuransi menjadi lapse atau perlindungan tak lagi dijamin. Selaanjutnya perusahaan asuransi akan membayarkan nilai tunainya sesuai masa pertanggungan yang telah dijalani konsumen. Besarnya nilai tunai itu tercantum dalam daftar atau table yang dilampirkan atau merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari polis asuransi. daftar atau table nilai tunai ini pada prinsipnya wajib diinformasikan kepada konsumen, ketika petugas sales promotion menawarkan produk asuransi.

Keterikatan hubungan konsumen dengan pihak perusahaan asuransi muncul sejak adanya kata sepakat dari pihak konsumen kepada perusahaan asuransi. Secara umum inilah yang disebut sebagai perjanjian konsensual. Keterikatan itu dibuktikan dengn diterbitkan polis. Subtansi polis tunduk pada ketentuan-ketentuan tentang pertanggungan yang diatutr dalam KItab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), dalam hal ini Pasal 302-308 KUHD, serta ketentuan-ketentuan instansi Pembina perasuransian, dalam hal ini Menteri Keuangan Republik Indonesia. Sedangkan kegiatan perusahaan asuransi tunduk pada Undang-Undang No. 2 Tahun 1992. Seringkali dengan terbitnya polis itu berarti secara serta merta konsumen tunduk pada syarat-syarat umum polis yang dibuat secara sepihak oleh perusahaan asuransi.

Semestinya ketentuan yang tertuang, baik dalam polis maupun syarat-syarat umum polis dibuat secara berimbang dan tidak merugikan konsumen dan perusahaan asuransi. Terutama dalam penetapan besarnya premi, tidak boleh merugikan konsumen serta tidak mengancam kelangsungan perusahaan asuransi. Disamping itu terdapat keharusan menyelesaikan klaim asuransi denagn sebaik-baiknya. Alasan yang dicari-cari untuk menolak klaim konsumen seharusnya dihindarkan asas iktikad baik harus diutamakan dalam pelaksanaan perjanjian asuransi.

Secara umum prinsip-prinsip yang berlaku dalam perjanjian asuransi, yaitu:1. Prinsip Indemnity, yaitu perjanjian asuransi bertujuan memberikan ganti rugi

terhadap kerugian yang diderita oleh tertanggung yang disebabkan oleh bahaya sebagaimana ditentuka dalam polis.

Page 114: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

2. Prinsip kepentingan, yaitu pihak yang bermaksud akan mengasuransikan sesuatu harus mempunyai kepentingan dengan objek yang diasuransikan, kepentingan mana dinilai dengan uang.

3. Prinsip kejujuran sempurna yaitu kewajiban tertanggung menginformasikan segala sesuattu yang diketahuinya mengenai objek yang dipertanggungkan secara benar.

4. Prinsip subrogasi, yaitu bila tertanggung telah menerima ganti rugi ternyata mempunyai tagihan kepada pihak lain, maka tertanggung tidak berhak menerimanya, dan hak itu beralih kepada penanggung

Agar is polis tidak merugikan tertanggung, pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Indonesia No. 225/KMK.017/1993 tentang Penyelenggaraan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan reasuransi. Dalam polis dilarang pencantuman klausul yang dapat ditafsirkan bahwa tertanggung tidak dapat melakukan upaya hokum, sehingga harus menolak pembayaran klaim. Dalam hal dicantumkan klausul pengecualian tentang resiko yang ditutup, klausul itu harus dicetak sedemikian rupa supaya mudah diketahui.

Sebagai contoh mengenai isi perjanjian asuransi, menguraikan mengenai hal-hal yang biasanya dituangkan dalam polis asuransi jiwa dan ketentuan umum polis dan harus diperhatikan adalah sebagai berikut:

1. Pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian, meliputi: penanggung, pemegang polis, pihak yang ditunjuk untuk menerima uang pertanggungan.

2. Jenis asuransi.pertanggungan jiwa yang diikuti konsumen. Untuk ini diperlukan pemahaman konsumen terhadap produk-produk asuransi jiwa yang ditawarkan. Janagn heran, terdapat pula produk asuransi jiwa yang dikemas dengan program beasiswa berencana. Jenis asuransi ini memberikan beasiswa untuk anak konsumen

pada waktu yang telah ditentukan selama masa pertanggungan. apabila konsumen meninggal dunia dalam masa pertanggungan, disamping menerima uang pertanggungan, anak konsumen akan tetap menerima beasiswa pada waktu yang telah ditentukan dalam polis

3. Jumlah uang pertanggungan sesuai kesepakatan kedua belah pihak. Besarnya jumlah uang pertanggungan ini akan berpengaruh pula terhadap besarnya premi yang dibayarkan

4. Besarnya premi yang dibayarkan hendaknya dihitung dan dipahami secara teliti oleh konsumen sesuai dengan kemampuan keuangan konsumen. Terlalu mudah menurut besarnya premi yang ditawarkan petugas asuransi akan membuat kesulitan bagi konsumen dikemudian hari, misalnya akan terjadi penunggakan pembayaran premi asuransi

5. Masa berlakunya polis berkisar 10,15 atau 20 tahun. Penetapan lamanya masa pertanggungan atas dasar kesepakatan kedua belah pihak, dengn sendirinya sama dengan masa pembayaran premi asuransi jiwa yang diikuti konsumen

6. Manfaat asuransi, yakni sejumlah pembayaran dan kompensasi yang menjadi hak konsumen atau pihak yang ditunjuk untuk menerima pembayaran, baik Karena terjadinya resiko kematian pada tertanggung atau berakhirnya masa pertanggungan. Besarnya manfaat yang diperoleh tertanggung / pihak yang ditunjuk bergantung pada jenis asuransi jiwa yang diikuti. Pemahaman konsumen terhadap produk asuransi jiwa mutlak sangat diperlukan.

7. Tata cara pembayaran manfaat asuransi. Dalam hal tertanggungmeninggal dunia, maka pihak yang ditunjuk untuk menerima manfaat asuransi segera mengajukan klaim pembayaran manfaat asuransi. pengajuan klaim dilengkapi persyaratan :

Page 115: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

a. polis asuransi jiwab. bukti pembayaran premi terakhirc. bukti identitas yang bersangkutand. surat keterangan dokter/ pejabat yang berwenang menerangkan sebab-sebab

meninggalnya tertanggung

berakhirnya masa pertanggungan dengan sendirinya mewajibkan perusahaan asuransi membayarkan manfaat asuransi, meskipun tertanggung masih hidup. Sebelum menerima pembayaran itu, tertanggung menyerahkan polis asuransi jiwa, bukti pembayaran premi terakhir,dan bukti identitas yang bersangkutan kepada perusahaan asuransi. Untuk kepentingan hokum konsumen, hendaknya konsumen membiasakan tertib adminisdtrasi dengan meminta bahkan mendesak perusahaan asuransi untuk memberikan bukti pengajuan pembayaran pancairan klaim manfaat asuransi.

8. Tata cara penagihan/pembayaran premi asuransi, sebaiknya konsumen tetap mewaspadai, atas berbagai bentuk pelayanan pembayaran premi yang ditawarkan perusahaan asuransi. Kemudahan pelayanan pembayaran premi, seperti penagihan premi ke alamat rumah/kantor konsumen, penagian premi lewat kartu kredit, dan sebagainya, pada hakikatnya salah satu bentuk pemasaran asuransi. persoalan muncul bila petugas penagih premi membawa lari uang premi tertanggung. Polis konsumen dapat saja terancam batal dengan alas an pembayaran premi tertunggak. Bila argumentasi konsumen merujuk pada kelalaian petugas, konsumen sering disudutkan solah –olah menunggak pembayaran premi. Dalam syarat – syarat umum polis yang tertuang dalam rumusan kalimat yang kecil – kecil (sering kali sulit dibaca saking kecilnya). Perusahaan asuransi mematahkan argumentasi konsumen dengan rumusan pasal :” penagihan premi asuransi di alamat penagihan atau melalui cara penagihan lainnya yang diselenggarakan perusahaan asuransi, tidak membebaskan pemengang polis dari kewajibannya untuk selalu melunasi premi asuransi”.

9. Pembatalan polis sering dilakukan secara sepihak oleh perusahaan asuransi dalam hal terpenuhinya satu atau lebih syarat, sebagai berikut:

a. pemengang polis memeberikan keterangan atau persyaratan tidak jujur atau sengaja dipalsukan pada waktu mengisi formulir – formulir yang disi0-terlebih dahulu oleh perusahaan asuransi. [pemberian keterangan/ pernyataan tersebut diberikan sebelum diterbitkannya polis (perjanjian) asuransi.

b. Selambat – lambatnya dalam masa leluasa (biasanya kurang lebih 3 bulan) sejak tertunggaknya pembayaran premi tertanggung belum juga melunasi pembayarannya.

Konsekuensi pembatalan polis berdasarkan alas an butir a, tidak memberikan hak apa pun kepada konsumen untuk menuntut pembayaran, kecuali consumen dapat membuktikan keterangan atau pernyataannya deiberikan secara jujur dan benar. Sebaliknya pembatalan polis pada butir b, memberi hak kepada konsumenatas pembayaran nilai tunai bila polisnya telah mempunyai nilai tunai. perincian besarnya nilai tunai itu sesuai dengan daftar yang dilampirkan pada polis. Sangat dianjurkan kepada konsumen untuk meminta penjelasan secara terperinci mengenai peritungan nilai tunai itu sebelum konsumen menyutujui mengikuti asuransi jiwa. Pastikan pula informasi nilai tunai yang diinformasikan itu tidak berbeda dengan yang dilampirkan pada polis asuransi.

10. Penolakan pembayaran klaim manfaat asuransi terjadi dalam hal :

Page 116: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

a. tertanggung meninggal dunia karena bunuh dirib. tertanggung meninggal dunia karena kejahatan yang dilakukannyac. tertanggung meninggal dunia karena perkelahian, kecuali sebagai pihak yang

membela diri.

Walaupun perusahaan asuransi menolak pembayarannya berdasarkan salah satu alas an itu, perusahaan asuransi tetap berkewajiban membayar nilai tunainya atas polis yang telah memiliki nilai tunai. Sebaliknya, bila tertanggung terbukti meninggal dunia akibat kejahatan yang dilakukan pihak ketiga, yaitu pihak yang ditunjuk untuk menerima uang pertanggung, maka pihak perusahaan asuransi dibebaskan untuk tidak membayar apapun kepada pihak ketiga itu.

Dalamperaktik peransuransian, terdapat phenomena untuk mempersulit pengajuan klaim manfaat asuransi jiwa. Berkas pengajuan klaim sudah dipenuhi pihak yang ditunujuk untuk menerima manfaat asuransi, ternyata klaimnya ditunda sampai memakan waktu 3 minggu atau bahkan lebih dengan alas an berkasnya tidak lengkap. Tidak hanya itu, alas an – alas an sebagai mana disebut pada butir 9 a dan b diatas digunakan perusahaan asuransi dengan iktikad baik, yaitu menolak klaim yyang seharusnya dibayarkan. Apabila ini sering terjadi, masyarakat konsumen akan semakin jauh dari asuransi jiwa. Lebih baik menyimpan dibank yang sewaktu – waktu bisa diambil kembali ketika diperlukan.

Pada tahun 1996 – 1998 YLKI menerima beberapa pengaduan asuransi yang dapat diringkas sebagai berikut :

1. penyelewengan uang pembayaran premi konsumen oleh petugas asuransi yang berakibat dilakukannya “pemutihan” polis asuransi konsumen dengan kondisi yang baru. Premi yang akan dibayarkan menjadi lebih tinggi dari sebelm dilakukan pemutihan.

2. Ketidak adilan subtansi syarat – syarat umum polis, yaitu bila tertanggung mengalami kecelakaan yang berakibat cacat tetap sebagian diberikan santunan sesuai persentase dalam table polis sebaliknya bila berakibat cacat total tetap tidak diberikan santunan apapun.

3. Penetapan atau pematokan curve secara sepihak terhadap klaim nilai tunai dan jatuh tempo pada polis asuransi jiwa yang dippertanggungkan dengan mata uang asing, terutama dolar amerika serikat padahal polis dan ketentuan umum, polis menentukan bahwa pembayaran premi asuransi atau klaim asuransi diperhitungkan menurut kurs Bank Indonesia atau kurs yang berlaku sesuai pengumuman otoritas moneter pada saat jatuh tempo.

Perusahaan asuransi seharunya melayani dan melindungi sebaik –baiknya konsumen yang mengalami kejadian ini, bukan dengan melakukan pembatalan polisnya untuk kemudian diikuti dengan pembaruan polis. Pembatalan polis seperti ini tentunya sangat merugikan konsumen dengan melakukan pembaruan polis, uang premi yang dibayarkan oleh konsumen menjadi semakin tinggi: apalagi semakin tua usia konsumen, semakin besar premi yang harus dibayarkannya, tindakan pembatalan polis ini sama saja dengan sikap mengelakn dari tanggung jawab yang dibebakan hokum kepada perusahaan asuransi.bukan kah petugas premi, baik perorangan atau pun badan hokum, bertindak untuk dan atas nama perusahaan asuransi..? konsekuensinya, tindakkan petugas itu menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi.

Menyikapi hak konsumen atas informasi produk asuransi, seharusnya pihak asuransi tidak hanya membekali petugas pemsarannya dengan berbagai keunggulan

Page 117: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

produk asuransinya tetapi mengenai juga ketentuan umum polis, tata cara perhitungan premi dan nilai tunai. Yang terakhir ini wajib pula diinformasikan kepada calon konsumen secara jujur da proposional. Hendaknya petugas asuransi tidak mendesak konsumen untuk segera mengikuti perjanjian asuransi sebelum calon konsumen mempelajari dasn mengalami betul seluk beluk produk asuransi yang ditawarkan informasi yang disampaiikan secara tidak jujur dan proposioanal kepada calon konsumen sebenarnya menunujukan adanya dugaan kejahatan penipuan terhadap konsumen. Iklim deregulasi hokum, bahkan Undang – undang No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen belum cukup untuk melindungi konsumen. Ibarat berjalan di atas buih air, konsumen harus tetap was pada.

Semartono selaku kepala disperindag sekaligus ketua BPSK kota malang memberikan masukan agar konsumen lebih berhati – hati serta teliti dalam membeli produk asuransi, karena terkadang informasi awal dari suatu produk asuransi belum belum tentu sesuai dengan yang dijanjikan dalam pelksanaannya sebaliknya meminta bukti otentik sebagai dokumen tertulis pasda waktu pembayaran premi.

Mengenai perjanjian asuransi terkadang terjadi karena rotasi petugas asuransi maka polis tersebut hilang dalam kerangka hokum perusahaan asuransi harus melakukan pengawasan terhadap petugasnya yang ada dilapangan sebagai bentuk tanggung jawab dan perlindungan hokum bagi konsumen dengan memberikan informasi yang benar dalam polis perusahaan asuransi dikelola lebih proposional, melakukan praktik dengan benar, tidak ada perebutan nasabah di lapangan, efesiensi birokrasi dalam pencairan klaim, serta ada pelayanan optimal bagi konsumen.

Menurut Laily Zuriah selaku sekretaris BPSK Kota malang untuk kasus asuransi, dari isi perjanjian memang menjanjikan bagi konsumen karena masing – masing perusahaan asuransi mempunyai aturan – aturan sendiri, namun konsumen harus hati – hati, lebih teliti dan menyerap informasi produk dari perusahaan asuransi tersebut. Apabila konsumen ragu – ragu supaya tidak memberi harapan pada pihak pemasaran. Laily memperjelaskan dengan memberikan contoh mengenai perusahaan asuransi swasta, premi dari tertanggung (konsumen) berupa emas. Namun domisili perusahaan asuransi tersebut tidak tetap, tempat kedudukan tidak jelas, kurang kompeten, modal tidak jelas akhirnya waktu jatuh tempo premi yang berupa emas tersebut dilarikan. dalam kasus ini konsumen jelas dirugikan karena terikat dengan perjanjian yang tidak jelas dan dalam pelaksanaannya tidak ada iktikad baik dari pelaku usaha.

Menurut Aloysius R. Entah salah satu pakar hokum perjanjian dan akademisi di malang menjelaskan bahwa dengan pelaksanaan “asas kebebasan berkontrak” yang melahirkan perjanjian baku termasuk asuransi polis asuransi secara umum terbatasi atau dikendalikan oleh ketentuan – ketentuan sebagi berikut:

1. Pasal 1337 BW menentukan: suatu kausa adalah terlarang, apabila kausa itu dilarang oleh undang – undang atau bertentangan dengan modal atau dengan ketertiban umum. pasal ini ditafsirkan bahwa isi atau klausul – klausul suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang – undang, modal, dan/atau ketertiban umum.

2. Pasal 1338 ayat (3) BW menentukan semua perjanjian yang dibuat pihak – pihak harus dilaksanakan dengan iktikad baik.

3. Pasal 1339 BW menentukan : perjanjian – perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal – hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat dari persetujuan itu diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang – undang. Pasal ini haruslah ditafsirkan bahwa bukan hanya ketentuan kebiasaan dan undang – undang yang membolehkan atau berisi

Page 118: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

suruhan saja yang mengikat atau berlaku bagi suatu perjanjian tetapi juga ketentuan yang melarang mengikat atau berlaku bagi perjanjian itu. Dengan kata lain, larangan yang ditentukan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang – undang merupakan juga syarat – syarat dari satu perjanjian.

Terhadap syarat – syarat baku terhadap masyarakat kita belum memperhatikan kecuali mereka yang pernah mengajukan klaim ganti rugi. Oleh karena itu perjanjian baku dalam hal ini termasuk polis asuransi mengandung aspek positif dan asfek negative. Aspek positifnya ialah perjanjian baku yang dibuat sepihak oleh penangguh mengurangi biaya pembuatan dan waktu berunding di antara para pihak. Aspek negatifnya pihak yang berminat, memakai jasa konsumen, pelanggan dan lain – lain tidak dapat berbuat sesuatu kecuali terpaksa menerima persyaratan yang disodorkan embel – embel take it or leave it baru menyadari kalau dia berada dalam posisi yang lemah kalau mengalami kerugian.

BAB 8PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

A. PENYELESAIAN SENGEKETA DIPERADILAN UMUM

Sengketa konsumen dibatasi pada sengketa perdata. Masuknya suatu sengketa kedepan pengadilan bukanlah karena kegiatan sang hakim, melainkan karena inisiatif dari pihak yang sengketa dalam hal ini pengugat baik itu produsen atau pun konsumen pengadilan yang memberikan pemecahan atas hokum perdata yang tidak dapat bekerja di antara para pihak secara suka rela. Istilah produsen berperkara didahului dengan pendaftaran surat gugatan dikepanitraan perkara perdata dipengadilan negeri. Sebelumnya itu berarti surat gugatan harus sudah dipersiapkan terlebih dahulu secara teliti dan cermat. Pasal 45 ayat 1 UUPK menyatakan :

1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat mengugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui pradilan yang berada di lingkungan umum.

2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan suka rela para pihak yang bersengketa.

3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagai mana diatur dalam undang – undang.

4. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh pihak yang bersengketa.

Dari pernyataan pasal 45 ayat 3 jelas seharusnya bukan hanya tanggung jawab pidana yang tetap dibuka kesempatannya untuk diperkarakan melainkan juga tanggung jawab lainnya, misalnya dibidang administrasi Negara, konsumen yang dirugikan haknya, tidak hanya diwakilkan oleh jaksa dalam penuntutan peradilan umum untuk kasus pidana tetapi ia sendiri dapat juga mengugat pihak lain lingkungan peradilan tata usaha Negara jika terdapat sengeketa administrasi didalamnya. Hal yang dikemukan terakhir ini dapat terjadi, misalnya dalam kaitannya dengan kebijakan aparat pemerintah yang ternyata dipandang merugikan konsumen secara individual bahkan, mengingat makin banyaknya perusahaan multinasional yang

Page 119: Hukum Perdata (Hukum an Konsumen)

beroprasi di Indonesia juga tidak menutup kemungkinan ada konsumen yang menggugat pelaku usaha diperadilan Negara lain, sehingga sengketa konsumen ini pun dapat bersifat trans nasional.

Dalam kasus perdata diperadilan negeri . pihak konsumen yang diberikan hak konsumen mengajukan gugatan menurut pasal 46 UUPK adalah :

1. Seorang konsumen yang dirugikan yang bersangkutan2. Sekelompok konsumen yang mempunyai yang sama3. Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu

berbentuk badan hokum atau yayasan yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan yang didirikannya organisasi itu ialah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggran dasar.

4. Pemerintah terkait jika barang dan jasa yang konsumsi mengakibatkan kerugian materi yang besar dan korban yang tidak sedikit.