Post on 05-Jul-2015
HUKUM PAJAK INTERNASIONAL
PELAKSANAAN DAN HAMBATAN DALAM PENEGAKAN PAJAK INTERNASIONAL
MAKALAH
Disusun dalam memenuhi nilai Tugas dalam Mata Kuliah Hukum Pajak
Semester Genap - Tahun Akademik 2009-2010
Oleh:
DYAH AYU PARAMITA
1101 1006 0071
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2010
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkembangan teknologi yang diciptakan manusia,
mempersingkat jarak, waktu, dan dimensi yang ada di dalam dunia nyata.
Hal ini juga mempersingkat waktu tempuh dengan semakin canggihnya
moda transportasi yang ada di seluruh dunia. Dengan demikian, mobilitas
manusia di dunia ini menjadi hampir tidak terbatas, terutama bagi mereka
yang memiliki keinginan dan terfasilitasi secara finansial.
Kemudahan perpindahan ini pun merambah ke bidang investasi
dan bisnis, di mana seseorang dari negara A, dapat menanamkan
modalnya dan membuat usaha di negara B, sementara berbelanja di
negara C, dan seterusnya. Terhadap apa yang dilakukan oleh orang ini,
terdapat berbagai objek yang dikenakan pajak oleh masing-masing
negara yang bersangkutan, oleh sebab itu, negara-negara di dunia perlu
menyusun suatu kesepakatan di dalam kebijakan Hukum Pajak
Internasional.
Dunia perdagangan berkembang dan terus berjalan dengan
adanya permintaan dan pasokan yang tersebar dari berbagai penjuru
dunia. Dan perkembangan teknologi, khususnya di bidang transportasi
dan komunikasi, mempermudah sekaligus meningkatkan konsentrasi
pertumbuhan kebutuhan masyarakat tersebut, oleh sebab itu, muncullah
berbagai peluang usaha di yang melintas batas negara, di mana kegiatan
usaha tersebut pun memiliki potensi terkena pajak yang melintas batas
negara.
Setiap negara memiliki kebijakannya masing-masing mengenai
pengenaan pajak terhadap wajib pajak dan objek pajak yang berada di
wilayah kekuasaannya. Perbedaan pendekatan, yakni azas nasional aktif
dan azas nasional pasif, memberikan dua keadaan yang berbeda yang
mungkin terjadi dalam praktek pemungutan pajak.
Pajak, sebagaimana kita ketahui, secara ekonomis memiliki
konsekuensi yakni mengurangi daya beli wajib pajak yang
membayarkannya. Oleh sebab itu pajak harus diatur sedemikian rupa,
sehingga tidak membebani wajib pajak secara berlebihan, sehingga roda
perekonomian dapat terus berjalan, baik secara mikro maupun secara
makro.
Hal-hal tersebut di atas merupakan alasan yang melandasi
perlunya diatur suatu Hukum Pajak Internasional oleh negara-negara di
dunia, bagi subjek dan objek pajak yang melintas batas negara.
Beberapa ahli telah mencoba memberikan pengertian dari Hukum
Pajak Internasional, di antaranya:
1. Rosendorff Hukum Pajak Internasional adalah keseluruhan dari hukum pajak nasional dari semua negara – yang maksudnya adalah, sepanjang tidak khusus diatur mengenai suatu negara (misalnya Indonesia), maka hukum tersebut dianggap sebagai Hukum Pajak Internasional.
2. Dr. P. Verloren van ThemaatHukum Pajak Internasional adalah keseluruhan norma-norma (kebiasaan dan traktat) internasional, yang membatasi kedaulatan suatu negara dalam soal pajak.
3. R. Santoso Brotodihardjo, S.H.Hukum Pajak Internasional adalah Tata tertib dan norma-norma hukum pajak dipandang dari segi internasional – contohnya adalah sebagaimana yang diatur di Indonesia melalui Staatblaad 1934 No. 291 jo. 1946 No. 62 jo. 1948 No. 22 jo. 1949 No. 174 mengenai penghindaran pajak berganda bagi wajib pajak.1
Hukum Pajak Internasional adalah Hukum Pajak nasional yang di
dalamnya mengandung unsure-unsur asing.2 Unsur asing yang dimaksud
1 R. Santoso Brotodihardjo, S.H., Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: Eresco, 1986, hlm. 219.2 Rochmat Soemitro, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Bandung: Eresco, 1992, hlm.57.
di sini dapat mengenai subjeknya, objeknya, dan mungkin juga
pemungutnya.3
Permasalahan yang kerap timbul di dalam lapangan Hukum Pajak
Internasional ini adalah resiko atas pajak berganda. Terutama mengenai
pembagian bagi objek pajak dan subjek pajak mana yang termasuk ke
dalam yurisdiksi dari suatu negara untuk memungutnya.
Pajak berganda di dalam prakteknya, dapat menurunkan daya
saing subjek pajak, dan pada suatu titik yang tidak seimbang, dapat
menimbulkan kerugian bagi subjek pajak. Yang kemudian membuatnya
rentan akan kebangkrutan, yang mana akan memberikan dampak cukup
besar bagi ekonomi mikro di lingkungan di mana subjek pajak tersebut
berada. Misalnya apabila subjek pajak tersebut adalah seorang
pengusaha pabrik garmen yang merugi akibat pajak berganda, maka
seluruh karyawannya terancam kehilangan pekerjaan dan penghasilan,
yang juga akan menimbulkan pengangguran dan hilangnya kemampuan
ekonomis berpuluh-puluh keluarga.
Pajak berganda ini dapat diatur melalui berbagai cara, salah satu
di antaranya yakni dengan mengadakan perjanjian bilateral untuk
mengatur pembagian pemungutan pajak di antara kedua negara yang
bersangkutan. Perjanjian bilateral ini disebut dengan Traktat Pajak, dan
dapat berlaku di negara-negara yang menandatanganinya setelah
diratifikasi oleh lembaga perwakilan rakyat negara yang bersangkutan
sebagai lembaga legislatif.
Permasalahan kembali muncul apabila terjadi sengketa pajak
karena ada wajib pajak yang merasa dirugikan dengan dibebankannya
pajak berganda atas dirinya, wajib pajak ini dapat mengajukan tuntutan
kepada negara, untuk meluruskan apa yang merupakan hak dan
kewajibannya. Namun kepada negara mana tuntutan dapat diajukan pun
akan menjadi masalah tersendiri.
3 Ibid.
Hukum Pajak Internasional, sebagaimana Hukum Perdata
Internasional, memiliki karakteristik perselisihan hukum yang cukup
kental. Namun tidak seperti Hukum Perdata Internasional yang telah
memiliki azas-azas dan patokan-patokan yang tercipta dari adanya
customary law (hukum kebiasaan), Hukum Pajak Internasional tidak
memiliki patokan yang demikian.
Dari pemikiran tersebut, maka penyusun menyusun makalah ini
yang akan membahas mengenai penyelesaian sengketa Hukum Pajak
Internasional di dalam teori dan prakteknya.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Untuk memberikan batasan di dalam pembahasan mengenai
Hukum Pajak Internasional ini, maka masalah yang akan diidentifikasi
melalui makalah ini, yakni:
1. Bagaimanakah cara penghindaran pajak berganda yang
dilaksanakan oleh negara Republik Indonesia?
2. Apakah traktat pajak bilateral yang dimiliki Indonesia mengikat
umum secara hukum dan telah memenuhi syarat-syarat
hukum?
3. Apakah Arbitrase Internasional memiliki yurisdiksi untuk
memutus perkara pajak Internasional?
BAB II
HUKUM PAJAK INTERNASIONAL
A. LINGKUP HUKUM PAJAK INTERNASIONAL
Di dalam etika hukum antar-negara terdapat suatu azas yang
disebut kedaulatan negara, di mana tidak ada suatu negara pun yang
memiliki kedudukan lebih tinggi dari negara lainnya, dan masing-masing
negara dapat memberlakukan hukumnya masing-masing di wilayahnya,
tanpa dapat diintervensi oleh negara lain.
Hukum sebagaimana disebut di atas, termasuk di antaranya yakni
pengenaan pajak. Kekuasaan pemerintah dari suatu negara atas pajak ini
adalah:
1. Kekuasaan untuk membentuk suatu peraturan perundang-
undangan, dan
2. Kekuasaan untuk menarik pajak.4
Namun kekuasaan ini pun terbatas dengan azas-azas dan norma-
norma hukum internasional, di mana di antaranya yakni:
1. Norma yang menetapkan, bahwa pemerintah suatu negara
hanya dapat mengatur sesuatu di luar wilayahnya apabila
sekurang-kurangnya ada satu titik hubungannya dengan
negaranya.
Titik hubungan ini dapat bersifat perorangan atau
kebendaan yang haruslah merupakan hubungan ekonomi
dan dapat dimasukkan ke dalam 4 (empat) golongan yang
berbeda sifatnya, yakni hubungan ekonomi:
a. Karena dalam wilayah suatu negara terdapat
sumber pendapatan seseorang yang berdomisili di
negara lain;
4 R. Santoso Brotodihardjo, S.H., op.cit, hlm. 218.
b. Karena dalam wilayah suatu negara terdapat suatu
bagian dari kekayaan seseorang yang berdomisili di
negara lain;
c. Karena hak-hak atas suatu bagian dari kekayaan di
suatu negara miliki seseorang yang berdomisili di
negara lain hanya dapay dipergunakan di negara
letak kekayaannya itu saja; dan
d. Karena kekayaan dikonsumsi atau dipergunakan
dalam suatu negara domisili.
2. Norma worldwide income yang dapat diterapkan oleh
negara domisili, yang dikenal sebagai norma hukum
umum.
Di dalam Hukum Pajak Internasional, kita mengenal istilah negara
sumber, yakni negara di mana kekayaan dan pendapatan seorang subjek
pajak internasional berada; negara domisili, yakni negara di mana
seorang subjek pajak internasional tinggal dan menggunakan
kekayaannya; dan negara kewarganegaraan, yakni negara di mana
seorang subjek pajak internasional merupakan warga negaranya.
B. SUMBER HUKUM PAJAK INTERNASIONAL
Yang menjadi sumber Hukum Pajak Internasional yakni:
1. Asas-asas yang terdapat dalam hukum antarnegara, baik secara
tertulis maupun tidak tertulis;
2. Peraturan-peraturan unilateral (sepihak) dari setiap negara yang
maksudnya tidak ditujukan kepada negara lain, dan diteapkan
secara nasional oleh suatu negara;
3. Perjanjian / Traktat yang disepakati oleh 2 (dua) negara atau lebih,
yakni:
a. untuk meniadakan / menghindarkan pajak berganda
b. untuk mengatur perlakuan fiscal terhadap orang-orang
asing
c. untuk mengatur mengenai pemecahan laba (winstspliting),
di dalam hal perusahaan multinasional
d. untuk saling memberi bantuan dalam pengenaan pajak
lengkap dengan pemungutannya, termasuk juga usaha
untuk memberantas evasion fiscal, yang dapat terjelma
dalam saling memberi informasi
e. untuk menetapkan tariff-tariff douane
C. PENYELESAIAN SENGKETA HUKUM PAJAK INTERNASIONAL
Mengingat adanya pajak berganda dapat menyebabkan ketidak
adilan, beban pajak yang tidak seharusnya, mengganggu iklim kompetisi,
dan sebagainya, maka diperlukan upaya untuk meniadakan pajak ganda
itu melalui berbagai cara dan dengan menggubnakan berbagai metode
yang dianggap paling sesuai dengan tuntutan kebutuhan negara yang
bersangkutan.
Penghindaran pajak berganda tersebut dapat dilakukan melalui
cara-cara sebagai berikut:
1. SECARA UNILATERAL / NASIONAL
Penyelesaian pajak berganda dapat diselesaikan dengan cara
unilateral, atau secara sepihak oleh suatu negara. Caranya adalah
memasukkan ketentuan yang dapat menghindarkan pajak
berganda ke dalam peraturan perundang-undangan perpajakan
nasional suatu negara. Cara unilateral ini dapat dilakukan melalui
berbagai metode, yakni:
a. Tax Exemption
Metode ini adalah metode yang biasanya digunakan untuk
menghindari pajak berganda oleh negara domisili di mana
subjek pajak berganda tinggal. Negara domisili memiliki
kewenangan pemungutan pajak secara tak terbatas
(worldwide income) terhadap subjek pajak, namun dengan
menggunakan metode ini, maka negara domisili tersebut
melepaskan hak worldwide income-nya tersebut dalam hal
pajak yang sumber atau asalnya berasal dari luar negara
domisili, dan diserahkan kepada negara sumber di mana
objek pajak tersebut berada. Metode Tax Exemption ini
memiliki 2 (dua) varian, yakni:
(1) Pure Territorial Principle
Suatu negara domisili yang menerapkan pure
territorial principle, akan melepaskan segala haknya
atas objek pajak yang dimiliki oleh subjek pajak
yang berasal dari luar wilayah negara domisili
tersebut. Negara domisili dalam hal ini melepaskan
secara penuh haknya yang berdasarkan atas asas
worldwide income dan hanya memungut pajak dari
objek pajak yang berasal dari dalam negaranya.
(2) Restricted Territorial Principle
Apabila suatu negara menggunakan metode
restricted territorial principle, maka negara domisili
akan menghitung pendapatan subjek pajak yang
berasal dari luar negeri untuk kemudian menjadi
bahan perhitungan dari tariff pajak yang akan
dikenakan.
Misalnya, seorang pebisnis memiliki usaha di
negara A dan negara B, dan yang bersangkutan
tinggal di negara B, yang menggunakan restricted
territorial principle. Dia memiliki pendapatan
sebesar $100,000 dari negara A dan $65,000 dari
negara B, berdasarkan mata uang negara B. Di
negara B, untuk pendapatan di atas $100,000 akan
dikenakan tariff pajak sebesar 20%. Dalam hal ini,
pendapatan yang bersangkutan dihitung sebesar
$165,000, tetapi yang dikalikan dengan tariff pajak
hanya sejumlah pendapatan yang didapatkannya
dari negara B, sehingga $65,000 x 20%.
Kasus ini hanya berlaku untuk pajak pendapatan,
dan bukan pajak atas kepemilikan yang lainnya.
b. Tax Credit
Tax Credit merupakan metode untuk memberikan
pengurangan pajak apabila penghasilan yang diperoleh
subjek pajak dari luar negeri dikenakan pajak baik di dalam
negeri maupun di luar negeri (negara sumber). Pemberian
tax credit ini dilakukan apabila jumlah pajak yang
dikenakan oleh negara sumber tidak melebihi jumlah pajak
yang dikenakan oleh negara domisili. Atau, dengan kata
lain, tax credit hanya diberikan maksimum sebesar pajak
yang dikenakan oleh negara domisili. Metode tax credit
yakni:
(1) Direct Tax Credit
Metode ini merupakan cara penghindaran pajak
berganda yang banyak diterapkan di negara-negara
yang menggunakan sistem hukum anglo saxon.
Subjek pajak dikenakan pajak di negara domisili
dengan menggunakan asas worldwide income, di
mana terhadap jumlah pajak itu dapat dikurangkan
seluruhnya jumlah pajak yang dikenakan oleh
negara sumber atas penghasilan yang berasal dari
negara sumber.
(2) Indirect Tax Credit
Metode ini dimaksudkan untuk memberikan tax
credit kepada perushaan induk di negara domisili
terhadap pajak yang dibayar oleh subsidiary-nya di
negara sumber.
(3) Fictitious Tax Credit / Tax Sparing
Dalam hubungan negara berkembang dengan
negara maju, seringkali negara berkembang
memiliki kepentingan untuk mengundang investor
dari negara maju dengan memberikan berbagai tax
incentive. Salah satunya dengan memberikan
pengenaan pajak dengan tariff yang lebih rendak
dan tidak sama dengan tariff yang berlaku pada
umumnya di negara berkembang itu sendiri, atau
bahkan tidak mengenakan pajak sepanjang
keuntungan itu ditanam kembali di negara
berkembang yang bersangkutan. Sementara itu,
negara maju tempat investor berdomisili
mengenakan pajak dengan menerapkan tax credit
terhadap penghasilan yang diperoleh oleh subjek
pajak dari negara asing, di mana pengenaan tax
credit itu didasarkan pada tariff umum yang
dikenakan pada negara sumber. Dari kenyataan ini,
maka subjek pajak akan memperoleh keuntungan
ganda, dengan ada peniadaan pajak dari kedua
negara.
c. Reduced rate for foreign income
Metode ini adalah metode penghindaran pajak berganda
yang dilakukan oleh negara domisili terhadap penghasilan
yang diperoleh subjek pajak yang berdomisili di negara
tersebut yang bersumber dari luar negeri, di mana
penghasilan yang berasal dari luar negeri itu dikenakan
pajak dengan menggunakan tariff yang diperingan dan
tidak sama dengan taif umum yang berlaku di negara
domisili tersebut.
d. Tax deduction for foreign income
Metode ini, adalah dengan menghitung pajak yang
dibayarkan oleh subjek pajak dari hasil pendapatannya di
luar negeri sebagai komponen biaya. Sehingga
pendapatannya setelah dikurangi biaya (termasuk pajak di
negara sumber dan lain sebagainya) akan dikenakan lagi
pajak berdasarkan peraturan nasional.
2. SECARA BILATERAL
Secara Bilateral, penghindaran atas terjadinya pajak berganda
dilaksanakan melalui perjanjian bilateral. Menurut Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor 67 Tahun 2009, Pasal 1 (1),
Persetujuan Penghindaran Pajak Berdanda (Tax Treaty) yang
selanjutnya disebut P3B adalah perjanjian anatara Pemerintah
Indonesia dengan Pemerintah negara mitra P3B dalam rangka
penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.
Secara umum, dikenal dua model Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda. Model pertama adalah model yang disusun oleh Komite
Fiskal Organisasi Kerja Ekonomi dan Pembangunan (Organization
for Economic Cooperation and Development / OECD). Sedangkan
model yang kedua adalah model P3B yang disusun berdasarkan
Konvensi PBB.
3. SECARA MULTILATERAL
Secara multilateral yakni dengan adanya suatu perjanjian
internasional yang dibentuk secara umum untuk mengatur negara-
negara anggotanya, yang secara hukum internasional dikenal
dengan sebutan contracting parties atau contracting states.
Contohnya yakni Vienna Convention on Diplomatic Relation 1961
dan Vienna Convention on Consular Relation 1963, yang mana di
dalamnya disepakati mengenai objek-objek apa saja yang
dibebaskan oleh pajak, yang berhubungan dengan misi diplomatik
negara maupun organisasi internasional. Seperti diplomatic
premises, penghasilan pejabat diplomatik, harta kekayaan misi
diplomatik, dan lain sebagainya.
4. SECARA KEBIASAAN INTERNASIONAL
Cara penyelesaian pajak berganda internasional yang dilakukan
melalui kebiasaan internasional, adalah apabila terjadi sengketa
sehubungan dengan pemungutan pajak berganda, dan tidak ada
pengaturannya baik secara nasional, bilateral, maupun
multilateral.
Untuk menerapkan kebiasaan internasional untuk menyelesaikan
sengketa pajak berganda, perlu ditekankan bahwa harus telah
dicapainya segala upaya yang diperlukan dan tercapainya
exhaustion of local remedies, sebagai salah satu prinsip dapat
diterapkannya hukum internasional.
BAB III
KESIMPULAN
Hukum Pajak adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi
wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan dari seseorang dan
menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan melalui kas negara,
sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur hubungan-
hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan hukum yang
berkewajiban membayar pajak (subjek pajak).5
Sedangkan Hukum Pajak Internasional adalah keseluruhan peraturan
yang mengatur tata tertib hukum dan yang mengatur tentang hak pengenaan
pajak di masing-masing negara.6
Berdasarkan prinsip ubi societas ibi ius, yakni di mana ada masyarakat di
sana ada hukum, maka Hukum Pajak Internasional memiliki suatu tujuan untuk
menyelesaikan permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat, khususnya
anggota masyarakat yang memiliki asset dan penghasilan di dan dari beberapa
negara sekaligus, masalah ini yakni pajak berganda.
Masalah di dalam pajak berganda yang paling esensial adalah dalam hal
pajak penghasilan. Sebagaimana Hukum Perdata Internasional, Hukum Pajak
Internasional pun sebenarnya adalah hukum nasional dari suatu negara untuk
mengatur mengenai pelaksanaan dan pemungutan pajak. Oleh sebab itu,
penanggulangan permasalahan pajak berganda hanya dapat diselesaikan
dengan diaturnya di dalam hukum nasional suatu negara.
Di Indonesia sendiri, pajak berganda secara umum diatur berdasarkan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, yang
kemudian menunjuk kepada pembuatan Perjanjian Penghindaran Pajak
Berganda (P3B) yang telah dijalin oleh Republik Indonesia dengan beberapa
negara lainnya.
5 R. Santoso Brotodihardjo, S.H., op. cit., hlm. 16 Agus Setiawan, Ak., Pajak Internasional, Jakarta: Pusdiklat Pajak, 2006, hlm. 11
Namun, Tax Treaty yang dijalin oleh Republik Indonesia dan negara mitra
lainnya, sehubungan dengan penghindaran pajak berganda, memiliki
kekurangan secara hukum, karena sebagai suatu perjanjian internasional yang
seharusnya diratifikasi oleh lembaga legislatif, yakni Dewan Perwakilan Rakyat,
melalui undang-undang dan diumumkan di dalam Lembaran Negara secara
resmi, Tax Treaty yang dilaksanakan di Indonesia bersama dengan negara-
negara mitra lainnya, hanya dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden.
Perselisihan pajak, apabila ada salah satu pihak yang merasa dirugikan di
dalam penarikan pajak yang mengandung unsur pajak berganda, diselesaikan
sesuai dengan cara yang disepakati, baik itu di dalam perjanjian bilateral,
regional, maupun multilateral. Sehingga, tidak tertutup kemungkinan untuk
diselesaikan di dalam Permanent Court of Arbitration (PCA). Namun, beberapa
ahli menyatakan bahwa pajak itu adalah salah satu objek dari kedaulatan, yang
bukan merupakan objek perjanjian, sehingga harus diselesaikan melalui hukum
nasional. Hal ini adalah wajar, mengingat adanya perbedaan mazhab hukum dan
pandangan umum.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Setiawan, Ak., Pajak Internasional, Jakarta: Pusdiklat Pajak, 2006.
R. Santoso Brotodihardjo, S.H., Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: Eresco, 1986.
Rochmat Soemitro, Prof., Dr., H., S.H., Pengantar Singkat Hukum Pajak, Bandung: Eresco, 1992.
Y. Sri Pudyatmoko, S.H., M.Hum., Pengantar Hukum Pajak, Yogyakarta: ANDI, 2008.
http://www.pajak.go.id
Lampiran
Perjanjian Pajak Berganda
Republik Indonesia - Kanada