Post on 08-Dec-2015
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hospitalisasi Anak Pra Sekolah
1. Pengertian
Hospitalisasi merupakan suatu proses yang karena suatu alasan
yang berencana atau darurat, mengharuskan anak untuk tinggal di rumah
sakit, menjalani terapi dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke
rumah (Supartini, 2004). Sedangkan Dirokx (2004) mengemukakan bahwa
hospitalisasi adalah penempatan pasien di rumah sakit untuk penelitian,
diagnosis dan pengobatan. Selain itu hospitalisasi juga diartikan sebagai
pemasukan seorang penderita ke dalam rumah sakit atau masa selama di
rumah sakit (Dorland’s, 1996).
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
hospitalisasi merupakan suatu proses karena alasan yang berencana atau
darurat yang mengharuskan pasien untuk tinggal di rumah sakit baik untuk
diagnosis, pengobatan dan perawatan sampai pemulangannya kembali ke
rumah.
Anak usia pra sekolah adalah anak yang berusia antara 3 sampai 6
tahun. Bagi anak usia pra sekolah, sakit adalah sesuatu yang menakutkan.
Selain itu, perawatan di rumah sakit dapat menimbulkan cemas karena
anak merasa kehilangan lingkungan yang dirasakanya aman, penuh kasih
sayang dan menyenangkan. Anak juga harus meninggalkan lingkungan
rumah yang dikenalnya, permainan, dan teman sepermainannya (Supartini,
2004).
2. Penyebab
Supartini (2004) menjelaskan bahwa penyebab hospitalisasi
adalah karena pasien sakit dan harus menjalani terapi serta perawatan.
3. Reaksi Anak terhadap Hospitalisasi
Suparto (2003) menjelaskan bahwa reaksi anak dan keluarganya
terhadap sakit dan ke rumah sakit baik untuk rawat inap maupun rawat
8
jalan adalah dalam bentuk kecemasan, stres, dan perubahan perilaku.
Perilaku anak untuk beradaptasi terhadap sakit dan dirawat di rumah sakit
dengan cara : 1) Penolakan (Advoidance); perilaku dimana anak berusaha
menghindar dari situasi yang membuat anak tertekan, anak berusaha
menolak treatment yang diberikan seperti : disuntik, tidak mau dipasang
infus, menolak minum obat, bersikap tidak kooperatif kepada petugas
medis. 2) mengalihkan perhatian (Distraction); anak berusaha
mengalihkan perhatian dari pikiran atau sumber yang membuatnya
tertekan. Perilaku yang dilakukan anak misalnya meminta cerita saat
dirumah sakit, menonton tv saat dipasang infus atau bermain mainan yang
disukai. 3) berupaya aktif (active); anak berusaha mencari jalan keluar
dengan melakukan sesuatu secara aktif. Perilaku yang sering dilakukan
misalnya menanyakan kondisi kepada tenaga medis atau orang tuanya,
bersikap kooperatif pada tenaga medis, minum obat secara teratur dan
beristirahat sesuai dengan peraturan yang diberikan. 4) mencari dukungan
(Support Seeking); anak mencari dukungan dari orang lain untuk
melepaskan tekanan atas penyakit yang dideritanya. Anak biasanya akan
meminta dukungan pada orang yang dekat dengannya, misalnya orang tua
atau saudaranya. Biasanya anak minta di temani selama di rumah sakit,
didampingi saat dilakukan treatment padanya, minta dielus saat merasa
kesakitan (Wahyunin, 2001).
Potter (2005) juga mengemukakan bahwa selama waktu sakit,
anak usia prasekolah mungkin kembali ngompol, atau menghisap ibu jari
dan menginginkan orang tua mereka untuk menyuapi, memakaikan
pakaian dan memeluk mereka. Selain itu juga anak takut pada bagian
tubuh yang disakiti dan nyeri.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Reaksi Anak Usia Prasekolah
terhadap Hospitalisasi
Reaksi anak terhadap sakit dan rawat inap di rumah sakit
berbeda-beda pada masing-masing individu. Hal tersebut dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Perkembangan usia anak merupakan salah satu faktor
9
utama yang dapat mempengaruhi reaksi anak terhadap sakit dan proses
perawatan. Reaksi anak terhadap sakit berbeda-beda sesuai tingkat
perkembangan anak (Supartini, 2004). Menurut Sacharin (1996), semakin
muda anak semakin sukar baginya untuk menyesuaikan diri dengan
pengalaman dirawat di rumah sakit. Hal ini tidak berlaku sepenuhnya bagi
bayi yang masih sangat muda, walaupun tetap dapat merasakan adanya
pemisahan.
Selain itu, pengalaman anak sebelumnya terhadap proses sakit
dan dirawat juga sangat berpengaruh. Apabila anak pernah mengalami
pengalaman tidak menyenangkan dirawat di rumah sakit sebelumnya akan
menyebabkan anak takut dan trauma. Sebaliknya apabila anak dirawat di
rumah sakit mendapatkan perawatan yang baik dan menyenangkan anak
akan lebih kooperatif pada perawat dan dokter (Supartini, 2004). Sistem
pendukung (support system) yang tersedia akan membantu anak
beradaptasi dengan lingkungan rumah sakit dimana ia dirawat. Anak akan
mencari dukungan yang ada dari orang lain untuk melepaskan tekanan
akibat penyakit yang dideritanya. Anak biasanya akan minta dukungan
kepada orang terdekat dengannya misalnya orang tua atau saudaranya.
Perilaku ini biasanya ditandai dengan permintaan anak untuk ditunggui
selama dirawat di rumah sakit, didampingi saat dilakukan treatment
padanya, minta dipeluk saat merasa takut dan cemas bahkan saat merasa
kesakitan.
Sistem pendukung yang mempengaruhi reaksi anak selama masa
perawatan termasuk di dalamnya adalah keluarga dan pola asuh yang
didapat anak dalam di dalam keluarganya. Keluarga yang kurang
mendapat informasi tentang kondisi kesehatan anak saat dirawat di rumah
sakit menjadi terlalu khawatir atau stres akan menyebabkan anak menjadi
semakin stres dan takut. Selain itu, pola asuh keluarga yang terlalu
protektif dan selalu memanjakan anak juga dapat mempengaruhi reaksi
takut dan cemas anak dirawat di rumah sakit. Berbeda dengan keluarga
10
yang suka memandirikan anak untuk aktivitas sehari-hari anak akan lebih
kooperatif bila dirumah sakit.
Selain itu, keterampilan koping dalam menangani stress sangat
penting bagi proses adaptasi anak selama masa perawatan. Apabila
mekanisme koping anak baik dalam menerima kondisinya yang
mengharuskan dia dirawat di rumah sakit, anak akan lebih kooperatif
selama menjalani perawatan di rumah sakit.
B. Kecemasan
1. Pengertian
Kecemasan menurut freud dalam Semiun 2006 adalah suatu
keadaan perasaan afektif yang tidak menyenangkan yang disertai dengan
sensasi fisik yang memperingatkan orang terhadap bahaya yang akan
datang. Sedangkan menurut Stuart, 2001 dalam morningcamp.com
kecemasan dapat didefininisikan suatu keadaan perasaan keprihatinan, rasa
gelisah, ketidak tentuan, atau takut dari kenyataan atau persepsi ancaman
sumber aktual yang tidak diketahui atau dikenal.
Kaplan & Sadock (1997) mengemukakan bahwa kecemasan adalah suatu
sinyal yang menyadarkan dan memperingatkan adanya bahaya yang
mengancam dan memungkinkan seseorang mengambil tindakan untuk
mengatasi ancaman. Cemas juga diartikan sebagai perasaan tidak nyaman
atau ketakutan yang tidak jelas dan gelisah disertai respon otonom
(Sumber terkadang tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu),
perasaan yang was-was untuk mengatasi bahaya (Nanda, 2005).
2. Manifestasi Klinik
Menurut Carpenito (2001), dalam www.mitrariset.com ada beberapa tanda
dan gejala cemas antara lain :
a. Fisiologis
Peningkatan frekuensi nadi, peningkatan tekanan darah,
peningkatan frekuensi nafas, diaforesis, suara bergetar/perubahan
tinggi nada, gemetar, palpitasi, mual/muntah, sering berkemih,
11
diare, ketakutan insomnia, kelelahan dan kelemahan,
kemarahan/pucat pada wajah, mulut kering, sakit badan dan nyeri,
Gelisah, pingsan/pusing, rasa panas dan dingin.
b. Emosional
Individu merasakan :
Ketakutan, tidak berdaya, gugup, kehilangan percaya diri,
kehilangan kontrol, tegang, tidak dapat rileks, antisipasi ketegangan
individu memperlihatkan:
Peka rangsang/tidak sabar, marah meledak, menangis, cenderung,
menyalahkan orang lain, reaksi terkejut, mengkritik diri
sendiri/orang lain, menarik diri, dan kurang inisiatif mengutuk diri
sendiri.
c. Kognitif
Tidak mampu berkonsentrasi, kurangnya orientasi lingkungan,
pelupa, termenung, orientasi pada masa lalu dari pada saat ini dan
akan datang, memblok pikiran, dan perhatian yang berlebihan.
3. Faktor Predisposisi dan Presipitasi
Berbagai teori telah dikembangkan untuk menjelaskan asal dari ansietas:
a. Dalam pandangan psikoanalitis, ansietas adalah konflik emosional
yang terjadi dalam dua elemen kepribadian : ide dan super ego.
b. Menurut pandangan interpersonal, ansietas timbul dari perasaan
takut terhadap ketidaksetujuan dan penolakan interpersonal.
c. Menurut pandangan perilaku, ansietas merupakan produk frustasi
yaitu segala sesuatu yang mengganggu individu untuk mencapai
tujuan yang diinginkan.
d. Kajian keluarga menunjukkan bahwa gangguan ansietas biasanya
terjadi dalam keluarga.
e. Kajian biologis menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor
khusus berperan penting dalam mekanisme biologis yang
berhubungan dengan ansietas, seperti : benzodiazepin, obat-obat
yang meningkatkan neuroregulator inhibisi asam aminobutirat
12
(GABA). Kesehatan umum individu dan riwayat ansietas keluarga
juga memiliki efek sebagai predisposisi ansietas.
Stressor Pencetus dapat berasal dari sumber internal dan eksternal, yang
dapat dikelompokkan dalam dua kategori:
a. Ancaman terhadap integritas fisik, meliputi diasabilitas fisiologis
yang akan terjadi atau penurunan kemampuan untuk melakukan
aktivitas hidup sehari-hari.
b. Ancaman terhadap sistem diri dapat membahayakan identitas,
harga diri dan fungsi sosial yang terintegrasi pada individu (Stuart,
1998)
4. Tingkat Kecemasan
Beberapa tingkat kecemasan (Carpenito, 1999) :
a. Cemas Ringan
Ansietas atau cemas ringan diperlukan untuk seseorang dapat
berfungsi berespon secara efektif terhadap lingkungan dan
kejadian. Seseorang dengan cemas ringan dapat dijumpai hal-hal
sebagai berikut:
1) Persepsi dan perhatian meningkat.
2) Mampu mengatasi masalah.
3) Dapat mengintegrasikan pengalaman masa lalu, saat ini dan
masa mendatang, menggunakan belajar, dapat memvalidasi
secara konseptual, merumuskan makna.
4) Ingin tahu, mengulang pertanyaan.
5) Kecenderungan untuk tidur
b. Cemas Sedang
Seseorang masih memungkinkan untuk memusatkan pada suatu hal
yang penting dan mengesampingkan yang lainnya, sehingga
seseorang mengalami perhatian yang selektif namun masih dapat
melakukan sesuatu yang terarah. Seseorang dengan kecemasan
sedang biasanya menunjukkan keadaan seperti:
1) Persepsi agak menyempit.
13
2) Sedikit lebih sulit untuk berkonsentrasi, belajar menurut
upaya yang lebih.
3) Memandang pengalaman saat ini dengan masa lalu.
4) Dapat gagal dan dapat mengenali apa yang telah terjadi
pada situasi sekarang, akan mengalami beberapa kesulitan
dalam beradaptasi dan menganalisa.
5) Perubahan suara.
6) Peningkatan frekuensi pernafasan dan jantung
7) Tremor, gemetar.
8) Respon yang muncul adalah :
Respon fisiologis : sering buang air kecil.
Respon tingkah laku : posisi tubuh selalu berubah-ubah
Respon emosional : mudah tersinggung, tidak sabar,
mudah lupa, menangis, marah,
banyak pertimbangan
c. Cemas Berat
Kecemasan ini menyebabkan persepsi terkurangi sehingga
cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terperinci,
spesifik dan tidak dapat berpikir tentang hal lain.
Hal-hal yang sering dijumpai pada seseorang dengan cemas berat
adalah:
1) Persepsi sangat kurang, berfokus pada hal-hal detail, tidak
dapat berkonsentrasi lebih, ketika diinstruksikan untuk
melakukannya.
2) Belajar sangat terganggu, sangat mudah mengalihkan
perhatian tidak mampu berkonsentrasi.
3) Memandang pengalaman saat ini dengan arti masa lalu,
hampir tidak mampu memahami situasi saat ini.
4) Berfungsi secara buruk, berkomunikasi sulit dipahami.
5) Hiperventilasi, takikardi, sakit kepala, pusing dan mual.
d. Cemas Panik
14
Kecemasan yang berhubungan dengan terperangah dan ketakutan,
serta teror individu akan mengalami panik dan tidak mampu
mengontrol persepsi walaupun dengan pengarahan. Panik
merupakan disorganisasi kepribadian, terjadi peningkatan aktivitas
motorik menurunkan kemampuan untuk berhubungan dengan
orang lain, persepsi penyimpangan pemikiran rasional.
Hal-hal yang dapat dijumpai dengan cemas panik adalah:
1) Persepsi menyimpang: fokus pada hal yang tidak jelas,
penyebaran dapat meningkat.
2) Belajar tidak dapat terjadi.
3) Tidak mampu mengintegrasikan pengalaman, dapat
berfokus hanya pada hal saat ini, tidak dapat melihat atau
memahami situasi, hilang kemampuan mengingat.
4) Tidak mampu berfungsi, biasanya aktivitas motorik
mengingat atau respon yang tidak dapat diperkirakan pada
stimuli minor, komunikasi tidak dapat di pahami.
5) Perasaan mau pingsan.
5. Rentang Respon Kecemasan
Alat ukur yang dipakai untuk mengetahui tingkat kecemasan
menggunakan Hamilton Rate Scale for Anxiety (HRSA). Alat ukur ini
terdiri dari 14 kelompok gejala yang masing-masing dirinci lagi dengan
gejala yang spesifik. Masing-masing kelompok gejala diberi penilaian
angka (score) antara 0-4 yang artinya :
- Skor 0 : tidak ada gejala
- Skor 1 : satu dari gejala yang ada
- Skor 2 : separuh dari gejala yang ada
- Skor 3 : lebih dari separuh gejala yang ada
- Skor 4 : Semua gejala ada
Masing-masing nilai angka (score) dari ke 14 kelompok gajala tersebut
dijumlahkan sehingga dari penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat
kecemasan seseorang yaitu :
15
- Skor 0 sampai dengan 13 = tidak ada kecemasan
- Skor 14 sampai dengan 20 = kecemasan ringan
- Skor 21 sampai dengan 27 = kecemasan sedang
- Skor 28 sampai dengan 41 = kecemasan berat
- Skor 42 sampai dengan 56 = kecemasan berat sekali
Adapun hal-hal yang dinilai dalam alat ukur HRSA ini adalah sebagai
berikut:
a. Perasaan cemas, ditandai dengan rasa cemas, firasat buruk, takut
akan pikiran sendiri, mudah tersinggung.
b. Ketegangan yang ditandai oleh: perasaan tegang, lesu, tidak dapat
istirahat tenang, mudah terkejut, mudah menangis, gemetar,
gelisah, mudah terkejut.
c. Ketakutan ditandai oleh ketakutan pada gelap, ketakutan ditinggal
sendiri, ketakutan pada orang asing, ketakutan pada binatang besar,
ketakutan pada keramaian lalu lintas, ketakutan pada kerumunan
orang banyak.
d. Gangguan tidur ditandai oleh : sukar masuk tidur, terbangun
malam hari, tidur tidak nyenyak, bangun dengan lesu, mimpi
buruk, mimpi yang menakutkan.
e. Gangguan kecerdasan ditandai oleh: sukar konsentrasi, daya ingat
buruk, daya ingat menurun.
f. Perasaan depresi ditandai oleh: kehilangan minat, sedih, bangun
dini hari, kurangnya kesenangan pada hobi, perasaan berubah
sepanjang hari.
g. Gejala somatik ditandai oleh nyeri pada otot, kaku, kedutan otot,
gigi gemeretak, suara tidak stabil.
h. Gejala sensorik ditandai oleh: tinitus, penglihatan kabur, muka
merah dan pucat, merasa lemah, perasaan ditusuk-tusuk.
i. Gejala kardiovaskuler ditandai oleh: takikardia, berdebar-debar,
nyeri dada, denyut nadi mengeras, rasa lemas seperti mau pingsan,
detak jantung hilang sekejap.
16
j. Gejala pernafasan ditandai oleh: rasa tertekan atau sempit di dada,
perasaan tercekik, merasa nafas pendek/sesak, sering menarik nafas
panjang.
k. Gejala gastrointestinal ditandai oleh: sulit menelan, mual, perut
melilit, gangguan pencernaan, nyeri lambung sebelum atau sesudah
makan, rasa panas di perut, perut terasa kembung atau penuh,
muntah, defekasi lembek, berat badan menurun, konstipasi (sukar
buang air besar).
l. Gejala urogenital ditandai oleh: sering kencing, tidak dapat
menahan kencing.
m. Gejala otonom ditandai oleh: mulut kering, muka merah kering,
mudah berkeringat, pusing, sakit kepala, kepala terasa berat, bulu-
bulu berdiri.
n. Perilaku sewaktu wawancara, ditandai oleh: gelisah, tidak tenang,
jari gemetar, mengerutkan dahi atau kening, muka tegang, tonus
otot meningkat, nafas pendek dan cepat, muka merah
6. Upaya mengatasi kecemasan pada anak yang mengalami hospitalisasi
Upaya meminimalkan kecemasan dapat dilakukan dengan cara
mencegah atau mengurangi dampak perpisahan, mencegah perasaan
kehilangan control dan mengurangi atau meminimalkan rasa takut
terhadap perlukaan tubuh dan rasa nyeri.
Untuk mencegah atau meminimalkan dampak perpisahan dapat dilakukan
dengan cara :
a. Melibatkan orang tua berperan aktif dalam perawatan anak
b. Modifikasi ruang perawatan
c. Mempertahankan kontak dengan kegiatan sekolah, surat menyurat,
bertemu teman sekolah
Untuk mencegah perasaan kehilangan kontrol dapat dilakukan dengan
cara:
a. Hindarkan pembatasan fisik jika anak dapat kooperatif.
b. Bila anak diisolasi lakukan modifikasi lingkungan
17
c. Buat jadwal untuk prosedur terapi,latihan,bermain
d. Memberi kesempatan anak mengambil keputusan dan melibatkan
orang tua dalam perencanaan kegiatan
Meminimalkan rasa takut terhadap cedera tubuh dan rasa nyeri
a. Mempersiapkan psikologis anak dan orang tua untuk tindakan
prosedur yang menimbulkan rasa nyeri
b. Lakukan permainan sebelum melakukan persiapan fisik anak
c. Menghadirkan orang tua bila memungkinkan
d. Tunjukkan sikap empati
e. Pada tindakan elektif bila memungkinkan menceritakan tindakan
yang dilakukan melalui cerita, gambar. Perlu dilakukan pengkajian
tentang kemampuan psikologis anak menerima informasi ini
dengan terbuka
Memaksimalkan manfaat hospitalisasi anak
a. Membantu perkembangan anak dengan memberi kesempatan orang
tua untuk belajar
b. Memberi kesempatan pada orang tua untuk belajar tentang
penyakit anak.
c. Meningkatkan kemampuan kontrol diri.
d. Memberi kesempatan untuk sosialisasi.
e. Memberi support kepada anggota keluarga.
Mempersiapkan anak untuk mendapat perawatan di rumah sakit
a. Siapkan ruang rawat sesuai dengan tahapan usia anak.
b. Mengorientasikan situasi rumah sakit.
c. Pada hari pertama lakukan tindakan :
d. Kenalkan perawat dan dokter yang merawatnya
e. Kenalkan pada pasien yang lain.
f. Berikan identitas pada anak.
g. Jelaskan aturan rumah sakit.
h. Laksanakan pengkajian
i. Lakukan pemeriksaan fisik.
18
Proses-proses yang mendasari gangguan kecemasan adalah sama
dengan yang terdapat pada orang dewasa, tetapi pendekatan terapi yang
digunakan untuk anak-anak adalah berbeda atau juga pendekatan-
pendekatan perawatan yang digunakan untuk orang dewasa dimodifikasi
karena ada perbedaan mengenai abilitas kognitif atau verbal antara anak-
anak dan orang dewasa. Misalnya, terapis tidak duduk dan bicara dengan
anak untuk membicarakan masalah-masalah yang dihadapi anak,
melainkan terapis mungkin lebih baik menggunakan terapi bermain
dimana anak memerankan beberapa masalah atau hal-hal yang belum
mampu diungkapkannya secara verbal (Yustinus Semiun, 2006).
C. Bermain
1. Pengertian
Bermain merupakan suatu kegiatan yang dilakukan seseorang
untuk memperoleh kesenangan, tanpa mempertimbangkan hasil akhir
(Iqeq, 2003). Supartini (2004) menjelaskan bahwa bermain sebagai
aktivitas yang dapat dilakukan anak sebagai upaya stimulasi pertumbuhan
dan perkembangannya dan bermain pada anak di rumah sakit menjadi
media bagi anak untuk mengekspresikan perasaan, relaksasi dan distraksi
perasaan yang tidak nyaman.
Kegiatan bermain dilakukan secara sukarela untuk memperoleh
kesenangan atau kepuasan. Bermain merupakan cerminan kemampuan
fisik, intelektual, emosional dan sosial dan bermain merupakan media
yang baik untuk belajar kerena dengan bermain, anak-anak akan berkata-
kata (berkomunikasi), belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan,
melakukan apa yang dapat dilakukannya dan mengenal waktu, jarak, serta
suara (Wong, 2000 dalam Supartini, 2004).
Bermain merupakan kesibukan anak, layaknya seperti bekerja
bagi orang dewasa, dilakukan secara suka rela untuk memperoleh
kesenangan (Depkes RI, 1992).
19
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
bermain merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara sukarela untuk
memperoleh kesenangan tanpa mempertimbangkan hasil akhir sebagai
cara untuk mengekspresikan perasaan, relaksasi, distraksi perasaan tidak
nyaman dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan anak karena bermain
sama dengan bekerja pada orang dewasa yang dapat menurunkan stres
anak, media bagi anak untuk berkomunikasi dan beradaptasi dengan
lingkungannya.
2. Fungsi Bermain
Wong (2003) mengemukakan bahwa fungsi bermain antara lain
Perkembangan Sensori Motorik; memperbaiki keterampilan motorik kasar
dan halus serta koordinasi, meningkatkan perkembangan semua indera,
mendorong eksplorasi pada sifat fisik dunia, memberikan pelampiasan
kelebihan energi; Perkembangan Intelektual; memberikan sumber-sumber
yang beranekaragam untuk pembelajaran, eksplorasi dan manipulasi
bentuk, ukuran, tekstur dan warna, pengalaman dengan angka, hubungan
yang renggang, konsep abstrak, kesempatan untuk mempraktekkan dan
memperluas ketrampilan berbahasa, memberikan kesempatan untuk
melatih pengalaman masa lalu dalam upaya mengasimilasinya ke dalam
persepsi dan hubungan baru, membantu anak memahami dunia dimana
mereka hidup dan membedakan antara fantasi dan realita. Perkembangan
Sosialisasi dan Moral; mengajarkan peran orang dewasa, termasuk
perilaku peran seks, memberikan kesempatan untuk menguji hubungan,
mengembangkan ketrampilan sosial, mendorong interaksi dan
perkembangan sikap yang positif tehadap orang lain, menguatkan pola
perilaku yang telah disetujui oleh standar moral.
Fungsi bermain yang lain antara lain : Kreativitas; memberikan
saluran ekspresif untuk ide dan minat yang kreatif, memungkinkan fantasi
dan imajinasi, meningkatkan perkembangan bakat dan minat khusus.
Kesadaran Diri; memudahkan perkembangan identitas diri, mendorong
pengaturan perilaku sendiri, memungkinkan pengujian pada kemampuan
20
sendiri (keahlian sendiri), memberikan perbandingan antara kemampuan
sendiri dan kemampuan orang lain, memungkinkan kesempatan untuk
belajar bagaimana perilaku sendiri dapat mempengaruhi orang lain. Nilai
Terapeutik; memberikan pelepasan stress dan ketegangan, mendorong
percobaan dan pengujian situasi yang menakutkan dengan cara yang aman,
memudahkan komunikasi verbal tidak langsung dan non verbal tentang
kebutuhan rasa takut dan keinginan.
3. Tujuan Bermain
Supartini (2004) mengemukakan beberapa tujuan dari terapi
bermain antara lain : 1) Untuk melanjutkan pertumbuhan dan
perkembangan yang normal pada saat sakit anak mengalami gangguan
pertumbuhan dan perkembangannya, walaupun demikian selama anak
dirawat di rumah sakit, kegiatan stimulasi pertumbuhan dan perkembangan
masih harus tetap di lanjutkan untuk menjaga kesinambungannya. 2)
Mengespresikan perasaan, keinginan dan fantasi, serta ide-idenya pada
saat anak sakit dan dirawat di rumah sakit anak mengalami berbagai
perasaan yang sangat tidak menyenangkan. Pada anak yang belum dapat
mengespresikannya secara verbal, permainan adalah media yang sangat
efektif untuk mengeskpresikannya. 3) Mengembangkan kreativitas dan
kemampuan memecahkan masalah, permainan akan menstimulasi daya
pikir, imajinasi dan fantasinya untuk menciptakan sesuatu seperti yang ada
dalam pikirannya. 4) Dapat beradaptasi secara efektif terhadap sters karena
sakit dan dirawat di rumah sakit.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi permainan
Menurut (Iqeq, 2003) faktor-faktor yang mempengaruhi
permainan anak antara lain :
a. Kesehatan
Anak-anak yang sehat mempunyai banyak energi untuk
bermain dibandingkan dengan anak-anak yang kurang sehat, sehingga
anak-anak yang sehat menghabiskan banyak waktu untuk bermain
yang membutuhkan banyak energi.
21
b. Intelegensi
Anak-anak yang cerdas lebih aktif dibandingkan dengan anak-
anak yang kurang cerdas. Anak-anak yang cerdas lebih menyenangi
permainan yang bersifat intelektual atau permainan yang banyak
merangsang daya berpikir mereka, misalnya permainan drama,
menonton film, atau membaca bacaan-bacaan yang bersifat intelektual.
c. Jenis Kelamin Anak
Semua alat permainan dapat digunakan oleh anak laki-laki atau
perempuan untuk mengembangkan daya pikir, imajinasi, kreativitas
dan kemampuan sosial anak. Akan tetapi ada pendapat lain yang
menyakini bahwa permainan adalah salah satu alat untuk membantu
anak mengenal identitas diri sehingga sebagian alat permainan anak
perempuan tidak dianjurkan untuk digunakan oleh anak laki-laki. Hal
ini dilatar belakangi oleh alasan adanya tuntutan perilaku yang berbeda
antara laki-laki dan perempuan dan hal ini dipelajari melalui media
permainan
d. Lingkungan yang Mendukung
Fasilitas bermain tidak selalu harus yang dibeli di toko atau
mainan jadi, tetapi lebih diutamakan yang dapat menstimulus imajinasi
dan kreativitas anak, bahkan seringkali mainan tradisional yang dibuat
sendiri dari atau berasal dari benda-benda disekitar kehidupan anak
akan lebih merangsang anak untuk kreatif. Keyakinan keluarga tentang
moral dan budaya juga mempengaruhi bagaimana anak dididik melalui
permainan. Sementara lingkungan fisik sekitar rumah lebih banyak
mempengaruhi ruang gerak anak untuk melakukan aktivitas fisik dan
motorik.
e. Status sosial ekonomi
Anak yang dibesarkan di lingkungan keluarga yang status
sosial ekonominya tinggi, lebih banyak tersedia alat permainan yang
lengkap dibandingkan dengan anak yang dibesarkan di keluarga yang
status sosial ekonominya rendah.
22
5. Klasifikasi Bermain
Bermain dapat diklasifikasikan berdasarkan isi permainan dan
karakteristik sosial (Supartini, 2004)
a. Berdasarkan Isi Permainan
1) Social Affective Play
Inti dari permainan ini adalah adanya hubungan interpersonal yang
menyenangkan antara anak dan orang tua. Permainan ini juga dapat
membuat anak belajar berhubungan sosial dengan orang lain,
misalnya pada bayi dengan bermain cilukba.
2) Sense Of Pleasure Play
Ciri khas permainan ini adalah anak semakin lama akan semakin
asyik bersentuhan dengan alat permainan ini dan dengan
permainan yang dilakukannya sehingga susah dihentikan, misalnya
memindahkan air ke botol atau bermain pasir.
3) Skill Play
Permainan ini akan meningkatkan ketrampilan anak, khususnya
motorik kasar dan halus. Ketrampilan tersebut diperoleh melalui
pengulangan kegiatan permainan yang dilakukan, semakin sering
melakukan latihan anak akan semakin terampil, misalnya bermain
naik sepeda.
4) Games atau Permainan
Adalah jenis permainan yang menggunakan alat tertentu yang
menggunakan perhitungan dan atau skor. Permainan ini bisa
dilakukan oleh anak sendiri dan atau dengan temannya, misalnya :
ular tangga, congklak dan puzzle.
5) Unoccupied Behaviour
Pada saat tertentu anak sering terlihat mondar mandir, tersenyum,
tertawa, jinjit-jinjit, bungkung-bungkuk, memainkan kursi, meja
atau apa saja yang ada disekelilingnya. Jadi sebenarnya anak tidak
memainkan alat permainan tertentu tapi situasi atau objek yang ada
disekelilingnya yang digunakannya sebagai alat permainan. Anak
23
tampak senang, gembira dan asyik dengan situasi serta
lingkungannya tersebut.
6) Dramatic Play
Sesuai dengan sebutannya, pada permainan ini anak memainkan
peran sebagai orang lain melalui permainannya. Apabila anak
bermain dengan temannya akan terjadi percakapan diantara mereka
tentang peran orang yang mereka tiru. Permainan ini penting untuk
proses identifikasi anak terhadap peran tertentu.
b. Berdasarkan Karakteristik Sosial
1) On Looker Play
Pada permainan ini, anak hanya mengamati temannya yang sedang
bermain, tanpa ada inisiatif untuk ikut berpartisipasi dalam
permainan. Jadi anak tersebut bersifat pasif, tetapi ada proses
pengamatan terhadap permainan yang sedang dilakukan temannya.
2) Solitary Play
Pada permainan ini anak tampak berada dalam kelompok
permainan, tetapi anak bermain sendiri dengan alat permainan yang
dimilikinya dan alat permainannya itu berbeda dengan alat
permainan yang digunakan temannya. Tidak ada kerjasama,
ataupun komunikasi dengan teman sepermainannya.
3) Pararel Play
Pada permainan ini anak dapat menggunakan alat permainan yang
sama tapi antara satu anak dengan yang lain tidak terjadi kontak
satu sama lain sehingga tidak ada sosialisasi sama lain.
4) Associative Play
Pada permainan ini sudah terjadi komunikasi satu sama lain tetapi
tidak terorganisasi tidak ada yang memimpin permainan dan tujuan
permainan tidak jelas, misalnya : bermain boneka, bermain masak-
masakan dan lain-lain.
5) Cooperative Play
24
Aturan permainan dalam kelompok tampak lebih jelas pada
permainan jenis ini, juga tujuan dan pemimpin permainan, anak
yang memimpin permainan mengatur dan mengarahkan
anggotanya untuk bertindak dalam permainan sesuai dengan tujuan
yang diharapkan dalam permainan tersebut, misalnya : permainan
sepak bola.
Suherman, (2000) mengemukakan jenis permainan yang sesuai
dengan anak usia pra sekolah berdasarkan karakteristik permainannya
adalah Associative Play, Dramatic Play, dan Skill Play. Sedangkan
berdasarkan jenis mainannya adalah sepeda roda tiga, truk, alat-alat
masak, olah raga, berenang dan ski, balok besar dengan macam-macam
ukuran, menghitung, krayon, cat air, buku gambar, boneka tangan,
mobil, kapal terbang dan lain-lain
D. Menggambar/mewarnai gambar
Menggambar adalah membuat gambar, sedangkan gambar adalah
tiruan barang (orang, binatang, tumbuhan dan sebagainya) yang dibuat dengan
coretan pencil pada kertas (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2002).
Menggambar juga dapat diartikan sebagai kegiatan membuat gambar, melukis
(Kamisa, 1997). Mewarnai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti
memberi berwarna dari kata dasar warna yang berarti corak atau rupa.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa mewarnai gambar merupakan kegiatan
memberikan warna pada gambar atau tiruan barang yang dibuat dengan
coretan pensil/pewarna pada kertas.
Perkembangan menggambar maju setapak demi setapak seperti
perkembangan kemampuan-kemampuan yang lain. Hal ini berhubungan erat
dengan perkembangan motorik, pengamatan, fantasi, pikiran dan kemauan.
Bagi anak-anak menggambar adalah suatu penjelmaan jiwa dan ekspresi jiwa
yang sangat besar artinya bagi pembentukan pribadi. Menggambar juga
merupakan persiapan untuk ikut serta memelihara dan mengembangkan
kebudayaan yang diwariskan oleh nenek moyang kita.
25
Menurut Kerschensteiner dalam Ahmadi & Ardiani (1989)
perkembangan menggambar seorang anak melalui beberapa fase :
1. Masa Mencoreng (2 – 3 tahun)
Anak senang menggores sesuatu, alat yang dipergunakan mula-
mula tidak tertentu gerakannya belum khas dan maksud tertentu juga
belum ada. Apa yang dibuatnya baru corengan-corengan belaka,
karenanya disebut masa mencoreng.
2. Masa Bagan (3 – 7 tahun)
Pada periode ini, anak mulai menggambarkan dengan sesuatu
bentuk bagan (skema), ia mulai dapat membayangkan atau menyatakan
apa yang akan digambar. Dalam masa bagan ini ada dua tingkatan : Masa
bagan tanpa persamaan (3–4 tahun) ; Anak mengerti maksud menggambar
dan dia sudah dapat menyatakan lebih dulu apa yang akan digambar, apa
yang akan dibayangkan belum terdapat persamaan dengan barang yang
dimaksud. Masa bagan simbolis (4–7 tahun) ; Anak sudah dapat
melukiskan apa-apa yang dikenal orang dalam bentuk bagan. Bagan yang
dibuatnya boleh dikatakan agak ada persamaan dengan benda-benda yang
digambar. Kesesuaian antara bagan dan barang yang digambar bertingkat-
tingkat, gambar yang dibuat merupakan simbol-simbol.
3. Masa Bentuk dan Garis (7 – 9 tahun)
Pada masa ini anak sudah dapat membuat gambar sesuai bentuk
dan garis tertentu. Gambar-gambar yang dibuatnya sudah lebih bersifat
realistis dan bagian-bagiannya makin lama makin tampak.
4. Masa Silhuet (9 – 10 tahun)
Pada masa ini anak-anak tidak lagi menggambar dengan batas
garis dan bentuk saja, tetapi anak telah dapat memberikan bayang-bayang
pada gambar yang dibuatnya.
5. Masa Perspektif (10 – 14 tahun)
Anak menggambar dengan syarat-syarat proyeksi, pada akhir ini
anak akan memperoleh hasil gambar yang realistis.
26
E. Kerangka Teori
Skema 2.1
Kerangka teori penelitian
Sumber : Nursalam, 2003
F. Kerangka Konsep
Skema 2.2
Kerangka konsep penelitian
G. Variabel Penelitian
1. Variabel bebas
Terapi bermain mewarnai gambar.
2. Variabel terikat
Tingkat kecemasan anak usia pra sekolah yang mengalami
hospitalisasi.
Terapi bermain
mewarnai gambar
Tingkat kecemasan anak usia
pra sekolah yang mengalami
hospitalisasi
Terapi bermain
mewarnai gambar
Sakit Hospitalisasi
Perpisahan dengan keluarga
Kehilangan kendali
Perlukaan tubuh
Rasa nyeri
Penolakan
Tingkat kecemasan
27
H. Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara atas pertanyaan penelitian yang
telah dirumuskan dalam rencana penelitian (Notoatmodjo, 2002).
Hipotesis dalam penelitian ini adalah : Ada pengaruh antara terapi
bermain mewarnai gambar terhadap tingkat kecemasan anak usia pra sekolah
yang mengalami hospitalisasi di RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan.