Post on 19-Jan-2016
description
Modul Organ Forensik
Bayi dengan Patah Tulang Klavikula
KELOMPOK 6
Nilam Permata (030.10.206) Pandu Satya W (030.10.218)
Nur Triastuti (030.10.211) Pangeran Putra (030.10.219)
Nurul Hamzah (030.10.212) Prita Rosdiana (030.10.222)
Okky Nafiriana (030.10.214) Putri Maulia (030.10.224)
Olivia Ayu Yuandita (030.10.215) Putri Sarah (030.10.225)
Oryza Ajani (030.10.216) R. Ifan Arief F (030.10.226)
Otty Mitha Octriza (030.10.217)
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
Jakarta
Sabtu, 20 Oktober 2012
BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu kedokteran adalah ilmu empiris sehingga ketidakpastian merupakan salah satu ciri
khasnya. Iptekdok masih menyisakan kemungkinan adanya bias dan ketidaktahuan
meskipun perkembangan telah sangat cepat sehingga sukar diikuti oleh standart
operasional yang baku dan kaku. Kedokteran tidak menjajikan hasil pelayananya tetapi
menjajikan upayanya. Layanan kedokteran dikenal sebagai suatu system yang kompleks
dengan sifat hubungan antar komponen yang ketat khususnya di ruang gawat darurat,
ruang bedah dan ruang intensif. Sistem yang kompleks umumnya ditandai dengan
spesialisasi dan intrepedensi. Dalam suatu system yang kompleks, satu komponen dapat
berinteraksi dengan banyak komponen lain, kadang dengan cara yang tidak terduga dan
tidak terlihat. Semakin kompleks dan ketat suatu system akan semakin mudah terjadi
kecelakaan. Oleh karena itu prajtek kedokteran haruslah dilakukan dengan tingkat kehati-
hatian yang tinggi.
BAB II
LAPORAN KASUS
Seorang pasien bayi dibawa orangtuanya datang ke tempat praktek dokter A,
seorang dokter anak. Ibu pasien bercerita bahwa ia adalah pasien seorang dokter
obsgyn B sewaktu melahirkan dan anaknya dirawat oleh dokter anak C. Baik dokter
B maupun C tidak pernah mengatakan bahwa anaknya menderita penyakit atau
cedera sewaktu lahir dan dirawat disana. Sepuluh hari pasca lahir orangtua bayi
menemukan benjolan di pundak kanan bayi.
Setelah diperiksa oleh dokter anak A dan pemeriksaan radiologi sebagai
penunjangnya, pasien dinyatakan menderita fraktur klavikula kanan yang sudah
berbentuk khalus. Kepada dokter A mereka meminta kepastian apakah benar terjadi
patah tulang klavikula dan kapan kira-kira terjadinya. Bila benar bahwa patah tulang
terssebut terjadi sewaktu kelahiran, mereka akan menuntut dokter B karena telah
mengakibatkan patah tulang dan dokter C karena lalai tidak dapat mendiagnosisnya.
Mereka juga menduga bahwa dokter C kurang kompoten sehingga sebaiknya ia
merawat anaknya ke dokter A saja. Dokter A berpikir apa yang sebaiknya ia katakan.
BAB III
PEMBAHASAN
I. MASALAH DALAM KASUS
1. Seorang pasien bayi dibawa orang tuanya ke tempat praktek dokter anak A
oleh karena 10 pasca melahirkan didapatkan benjolan di pundak kanan bayi
dan setelah dilakukan pemeriksaan pasien di nyatakan menderita fraktur
klavikula kanan yang sudah membentuk kalus
Interpretasi : Kemungkinan telah terjadi fraktur pada klavikula kanan bayi
dalam proses persalinan bayi
2. Dokter B maupun C tidak pernah mengatakan bahwa anaknya menderita
penyakit atau cedera sewaktu lahir dan dirawat disana
Interpretasi : Adanya suatu kelalaian dan kurangnya komunikasi anatara
dokter B dan C terhadap orangtua pasien
3.Apabila benar patah tulang terjadi sewaktu kelahiran, orang tua pasien akan
menuntut dokter B karena telah mengakibatkan patah tulang dan dokter C
karena lalai tidak dapat mendiagnosisnya
Interpretasi : Orangtua pasien menginginkan adanya suatu kejelasan dan
pertanggung jawaban dari Dokter B dan C apabila telah terjadi suatu
kelalaian medis
4.Orangtua pasien ingin merawat anaknya ke dokter A saja
Interpretasi : Merupakan hak dari orangtua pasien (karena pasien disini masih
bayi sehingga butuh bantuan dari orangtua) untuk memilih dokter mana yang
dipercayakan untuk merawat anaknya
Dari masalah diatas dapat disimpulkan bahwa orang tua dari pasien mencurigai akan
adanya kelalaian medis yang dilakukan oleh dokter B dan C yang mengakibatkan
kerugian dari pasien . Dalam hal ini Dokter A harus tetap melaksanakan apa yang
menjadi kewajibannya dalam memenuhi hak pasien tanpa melanggar kode etik dan
hubungan dengan sejawatnya.
II. PRINSIP ETIKA KEDOKTERAN
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya
suatu sikap dan atau perbuatan seseotang individu atau institusi dilihat dari moralitas.
Penilaian baik buruk dan benar salah dari sisi moral tersebut menggunakan
pendekatan teori etika yang cukup banyak jumlahnya. Terdapat dua teori etika yang
paling banyak dianut oleh orang yaitu teori deontology dan teologi. Secara ringkas
dapat dikatakan bahwa deontology mengajarkan bahwa baik-buruknya suatu
perbuatan harus dilihat dari perbuatan itu sendiri, sedangkan teologi mengajarkan
untuk melihat baik-buruknya sesuatu dengan melihat hasil atau akibatnya.
Deontologi lebih mendasar kepada ajaran agama, tradisi dan budaya, sedangkn
teologi lebih berdasar pada arah penalaran dan pembenaran kepada azas manfaat
Beuchamp dan Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai ke
suatu keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral dan beberapa aturan
dibawahnya. Keempat kaidah dasar moral tersebut adalah:
1. Prinsip Otonomi
Prinsip otonomi adalah prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien,
terutama hak otonomi pasien. Prinsip moral inilah yang kemudian melahirkan
doktrin informed consent.
2. Prinsip Beneficence
Prinsip Beneficence adalah prinsip moral yng mengutamakan tindakan yang
ditujukan demi kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal
perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya
(manfaat) lebih besar dari sisi buruknya.
3. Prinsip Non-malificence
Prinsip Non-malificence adalah prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini juga dikenal dengan “primum non
nocere” atau “above all, do no harm”.
4. Prinsip Justice
Prinsip Justice adalah prinsip moral yang mementingkan fairness dan
keadilan dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya.
Sedangkan aturan turunannya adalah veracity (berbicara jujur, benar dan terbuka),
privacy (menghormat hak pribadi pasien), confidentiality (menjaga kerahasian
pasien) dan fidelity (loyalitas dan promise keeping).
Selain prinsip atau kaidah dasar moral diatas, yang harus dijadikan pedoman
dalam mengambil keputusan klinis, profesionalitas kedokteran juga mengenal etika
profesi sebagai panduan dalam bersikap dan berperilaku. Nilai-nilai dalam etika
profesi tercermin dalam sumpah dokter dan kode etik kedokteran. Sumpah berisi
“kontrak moral” antara dokter dengan Tuhan sang penciptanya, sedangkan kode etik
kedokteran berisikan “kontrak kewajiban moral” antara dokter dengan peer-
groupnya yaitu masyarakat profesinya.
Pembuatan keputusan etik, terutama dalam situasi klinik, dapat juga
dilakukan dengan pendekatan yang berbeda dengan pendekatan kaidah dasar moral
diatas. Jonsen, Siegler dan Winslade (2002) mengembangkan teori etik yang
menggunakan 4 topik yang essential dalam pelayanan klinik, yaitu:
1. Medical indication
Kedalam topic medical indication dimasukkan semua prosedur diagnostic
dan terapi yang sesuai untuk mengevaluasi keadaan pasien dan
mengobatinya. Penilaian aspek indikasi medis ini ditinjau dari sisi etiknya,
terutama menggunakan kaidah beneficence dan non-malificence. Pertanyaan
etika pada topic ini adalah serupa dengan seluruh informasi yang selayaknya
disampaikan kepada pasien pada doktrin informed consent.
2. Patient preferences
Pada topic ini, kita memperhatikan nilai dan penilaian pasien tentang manfaat
dan beban yang akan diterimanya, yang berarti cerminan kaidah autonomy.
Pertanyaan etika meliputi pertanyaan tentang kompetensi pasien, sifat
volunteer sikap dan keputusannya, pemahaman atas informasi, siapa pembuat
keputusan bila pasien dalam keadaan tidak sadar dan kompeten serta nilai dan
keyakinan yang dianut oleh pasien.
3. Quality of life
Topik quality of life merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran yaitu
memperbaiki, menjaga atau meningkatkan kualitas hidup insane. Apa, siapa
dan bagaimana melakukan penilaian kualitas hidup merupakan pertanyaan
etik sekitar prognosis yang berkaitan dengan beneficence, non-malificence
dan autonomy.
4. Contextual features
Dalam topic ini dibahas pertanyaan etik seputar aspek non medis yang
mendahului keputusan seperti factor keluarga, ekonomi, agama, budaya,
kerahasiaan, alokasi sumber daya dan factor hukum.
III. HUBUNGAN DOKTER PASIEN
Hubungan dokter-pasien pada awalnya merupakan hubungan paternalistic
dengan memegang prinsip beneficence sebagai prinsip utama. Namun cara ini
dikatakan mengabaikan hak autonomy pasien sehingga sekarang lebih
merujuk kepada teori social contract dari Veatch (1972) dengan dokter dan
pasien sebagai pihak bebas yang saling menghargai dalam membuat
keputusan. Dokter bertanggungjawab atas segala keputusan teknis sedangkan
pasien memegang kendali keputusan penting terutama yang terkait dengan
nilai moral dan gaya hidup pasien. Smith dan Newton (1984) lebih memilih
hubungan yang berdasarkan atas virtue sebagai hubungan yang paling cocok
bagi hubungan dokter-pasien. Pada hubungan dokter – pasien yang virtue
based(etika berdasar nilai kebajikan-keutamaan) baik dokter maupun pasien
harus tetap berdialog untuk menjaga berjalannya komunikasi dalam rangka
mencapai tujuan bersama yaitu kesejahteraan pasien.
HAK PASIEN DAN KEWAJIBAN DOKTER
UU Praktik Kedokteran menyatakan hak pasien sebagai berikut:
1. Hak untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
(Pasal 45 ayat (3)). Penjelasan sekurang-kurangnya meliputi diagnosis,
tatacara tindakan, tujuan tindakan medis yang bakal dilakukan, alternative
tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan
prognosis terhadap tindakan yang akan dilakukan.
2. Hak untuk memeinta pendapat dokter lain
3. Hak mendapatkan pelayanan sesuai kebutuhan medis
4. Hak untuk menolak tindakan medis
5. Hak untuk mendapatkan isi rekam medis
Dokter dan dokter gigi berkewajiban:
1. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien
2. merujuk pasien apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan
3. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien bahkan
setelah pasien meninggal dunia
4. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan , kecuali bila ia
yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya
5. menambah ilmu pengetahuan dam mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran/kedokteran gigi
IV. HUBUNGAN KESEJAWATAN
Kewajiban dokter terhadap teman sejawat menurut KODEKI tercantum
dalam pasal :
Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki
kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau
penggelapan, dalam menangani pasien
Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak
tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien
Pasal 14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan.
Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman sejawat, kecuali dengan
persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.
V. INFORMED CONSENT
Informed Consent adalah suatu persetujuan mengenai tindakan kedokteran
yang akan dilakukan oleh dokter terhadap pasien. Persetujuan boleh dalam bentuk
lisan maupun tertulis. Informed consent ini juga merupakan sebagian dari prosese
komunikasi antara dokter-pasien tentang kesepakatan tindakan medis yang akan
dilakukan. Formulir informed consent merupakan tanda bukti yang disimpan dalam
arsip rekam medis pasien7.
Dalam Undang-Undang Republika Indonesia Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran, telah diatur tentang Informed Consent ini pada Pasal 45
tentang “Persetujuan Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi” yang isinya antara
lain:
1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan
oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan secara lengkap.
3. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya
mencakup:
diagnosis dan tata cara tindakan medis.
tujuan tindakan medis yang dilakukan.
alternative tindakan lain dan resikonya.
risikonya dan komplikasi yang mungkin terjadi.
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik
secara tertulis maupun lisan.
5. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko
tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani
oleh yang berhak memberikan persetujuan.
GUNA INFORMED CONSENT DALAM KASUS INI
Seperti yang terjadi dalam kasus ini pula, telah terjadinya informed consent
antara dokter A kepada keluarga si bayi mengenai keadaan anaknya. Bagi dokter B
dan C pula, kurang komunikasi kepada keluarga bayi mengenai apa yang terjadi pada
bayi tersebut sehinggakan dicurigai telah melakukan kesalahan dalam merawat bayi
tersebut dan bisa dituntut ke pengadilan oleh keluarga si bayi.
Kurangnya komunikasi yang terjalin antara dokter dan keluarga pasien
merupakan salah satu sebab ketidak puasan pasien. Komunikasi merupakan kunci
penting hubungan dokter dengan pasien atau keluarga selain dari memeriksa dan
member obat. Pasien atau keluarga juga perlu sama menanyakan ke dokter dan minta
dijelaskan kemungkinan penyakitnya.
Dokter harus bertanggungjawat terhadap perbuatannya jika terdapat kasus
yang berunsur kelalaian dari pihak dokter. Dari pihak pasien pula, perlu adanya bukti
yang kukuh terhadap kelalaian tersebut jika mahu menuntut. Jika hal tersebut adalah
resiko dari tindakan yang telah dinyatakan dalam informed consent, maka
penuntutan tidak boleh dilakukan7.
VI. KELALAIAN MEDIK
Kelalaian medik adalah salah satu bentuk dari malpraktek medis, sekaligus
merupakan bentuk malpraktek medis yang paling sering terjadi. Pada dasarnya kelalaian
terjadi bila seseorang melakukan sesuatu yang seharusnta tidak dilakukan atau tidak
melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh orang lain yang mempunyanyai
kualifikasi yang sama pada keadaan yang sama. Perlu diingat bahwa pada umumnya
kelalaian yang dilakukan orange r orang bukanlah merupakan perbuatan yang dapat
dihukum kecuali apabila dilakukan oleh orang yang seharusnya (berdasarkan sifat
profesinya) bertindak hati-hati dan telah mengakibatkan kerugian atau cedera bagi orang
lain. 1,4
Pengertian istilah kelalaian medik tersirat dari pengertian malpraktek medis menurut World Medical Association (1992), yaitu: “medical malpractice involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient”. WMA mengingatkan pula bahwa tidak semua kegagalan medis adalah akibat malpraktek medis. Suatu peristiwa buruk yang tidak dapat diduga sebelumnya (unforeseeable) yang terjadi saat dilakukan tindakan medis yang sesuai standar tetapi mengakibatkan cedera pada pasien tidak termasuk ke dalam pengertian malpraktek. “An injury occurring in the course of medical treatment which could not be foreseen and was not the result of the lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is untoward result, for which the physician should not bear any liability”.
Suatu hasil yang tidak diharapkan di bidang medic sebenarnya dapat diakibatkan
oleh beberapa kemungkinan yaitu :
1. Hasil dari suatu perjalanan penyakitnya sendiri , tidak berhubungan dengan
tindakan medis yang dilakukan dokter
2. Hasil dari suatu resiko yang tidak dapat dihindari, yaitu risiko yang tak dapat
diketahui sebelumnya (unforeseeable) atau resiko yang meskipun telah diketahui
sebelumnya tetapi dianggap acceptable, sebagaimana telah diuraikan diatas
3. Hasil dari suatu kelalaian medic
4. Hasil dari suatu kesengajaan
. Suatu perbuatan atau tindakan medis disebut sebagai kelalaian apabila
memenuhi empat unsur di bawah ini:
1) Duty atau kewajiban tenaga medis untuk melakukan sesuatu tindakan medis
atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu
pada situasi dan kondisi yang tertentu.
2) Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban tersebut
3) Damage atau kerugian. Yang dimaksud dengan kerugian adalah segala
sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai kerugian akibat dari layanan
kesehatan / kedokteran yang diberikan oleh pemberi layanan
4) Direct causal relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata. Dalam hal
ini harus terdapat hubungan sebab-akibat antara penyimpangan kewajiban
dengan kerugian yang setidaknya merupakan “proximate cause”
Gugatan ganti rugi akibat suatu kelalaian medik harus membuktikan adanya ke-
empat unsur di atas, dan apabila salah satu saja diantaranya tidak dapat
dibuktikan maka gugatan tersebut dapat dinilai tidak cukup bukti.
VII. DAMPAK HUKUM
Perlidungan hukum terhadap dokter yang diduga melakukan tindakan
malpraktek medik
Perlindungan hukum terhadap dokter yang diduga melakukan tindakan
malpraktek medik menggunakan Pasal 48, Pasal 50, Pasal 51 Ayat 1 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 50 Undang-Undang Nomor
29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, Pasal 53 Ayat 1 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan Pasal 24 Ayat 1 Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Seorang
dokter dapat memperoleh perlindungan hukum sepanjang ia melaksanakan
tugas sesuai dengan standar profesi dan Standar Operating Procedure (SOP),
serta dikarenakan adanya dua dasar peniadaan kesalahan dokter, yaitu alasan
pembenar dan alasan pemaaf yang ditetapkan di dalam KUHP.
Hubungan dokter dengan pasien haruslah berupa mitra. Dokter tidak dapat
disalahkan bila pasien tidak bersikap jujur. Sehingga rekam medik (medical
record) dan informed consent (persetujuan) yang baik dan benar harus
terpenuhi. Cara dan tahapan mekanisme perlindungan hukum terhadap dokter
yang diduga melakukan tindakan malpraktek medis adalah dengan
dibentuknya Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)
yang bekerja sama dengan pihak Kepolisian Republik Indonesia (POLRI)
atas dasar hubungan lintas sektoral dan saling menghargai komunitas profesi.
Dalam tahapan mekanisme penanganan pelanggaran disiplin kedokteran,
MKDKI menentukan tiga jenis pelanggarannya yaitu pelanggaran etik,
disiplin dan pidana. Untuk pelanggaran etik dilimpahkan kepada Majelis
Kode Etik Kedokteran (MKEK), pelanggaran disiplin dilimpahkan kepada
Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), dan pelanggaran pidana dilimpahkan
kepada pihak pasien untuk dapat kemudian dilimpahkan kepada pihak
kepolisian atau ke pengadilan negeri. Apabila kasus dilimpahkan kepada
pihak kepolisian maka pada tingkat penyelidikannya dokter yang diduga telah
melakukan tindakan malpraktek medik tetap mendapatkan haknya dalam
hukum yang ditetapkan dalam Pasal 52, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 57 Ayat 1,
Pasal 65, Pasal 68, dan Pasal 70 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Dan apabila kasus dilimpahkan kepada tingkat pengadilan
maka pembuktian dugaan malpraktek dapat menggunakan rekam medik
(medical record) sebagai alat bukti berupa surat yang sah (Pasal 184 Ayat 1
KUHAP).9
Hukum kedokteran akibat kelalaian
Akhir-akhir ini tuntutan hukum yang diajukan oleh pasien atau keluarganya
kepada pihak rumah sakit dan atau dokternya semakin meningkat
kekerapannya. Tuntutan hukum tersebut dapat berupa tuntutan pidana
maupun perdata, dengan hampir selalu mendasarkan kepada teori hukum
kelalaian. Dalam bahasa sehari-hari, perilaku yang dituntut adalah malpraktik
medis, yang merupakan sebutan “genus” (kumpulan) dari kelompok perilaku
profesional medis yang “menyimpang” dan mengakibatkan cedera, kematian
atau kerugian bagi pasiennya.
Gugatan perdata dalam bentuk permintaan ganti rugi dapat diajukan dengan
mendasarkan kepada salah satu dari 3 teori di bawah ini, yaitu :
Kelalaian sebagaimana pengertian di atas dan akan diuraikan kemudian
Perbuatan melanggar hukum, yaitu misalnya melakukan tindakan medis
tanpa memperoleh persetujuan, membuka rahasia kedokteran tentang orang
tertentu, penyerangan privacy seseorang, dan lain-lain.
Wanprestasi, yaitu pelanggaran atas janji atau jaminan. Gugatan ini sukar
dilakukan karena umumnya dokter tidak menjanjikan hasil dan perjanjian
tersebut, seandainya ada, umumnya sukar dibuktikan karena tidak tertulis.
VIII. JALAN KELUAR DALAM KASUS INI
Sering dalam praktek sehari-hari, akan timbul perbedaan pendapat antara dokter
tentang penanganan yang tepat untuk seorang pasien2. Dengan menganggap isu yang
timbul hanya untuk kebaikan pasien dan tidak ada penyimpangan dari etika
kedokteran, hal ini dapat diselesaikan dengan cara:
1. Dilakukan secara informal yaitu melalui rundingan dan perbincangan antara
pihak yang terlibat. Perbincangan hanya akan dilakukan secara formal
apabila cara informal tidak member hasil.
2. Opini semua pihak yang terlibat perlu didengarkan dan dipertimbangkan.
3. Pasien berhak menentukan tindakan medis untuk dirinya dan pilihan pasien
ini akan menjadi penunjang utama dalam pengambilan keputusan isu terkait.
4. Apabila semua rundingan tidak disepakati, maka penyelesaian isu dapat
melibatkan pihak wewenang dan hukum.
Dalam kasus ini, langkah yang harus ditempuh oleh dokter A adalah harus
sesuai dan berdasar pada Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), dimana selain
menghargai dan melayani pasien dengan sebaiknya, juga menjaga hubungan yang
baik dengan rekan sejawatnya. Dokter A dalam menghadapi pasien dan sejawatnya
dilandaskan pada etika kedokteran sbb:
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan
sumpah dokter.
Setiap dokter harus, dalam setiap praktek medisnya, memberikan pelayanan
medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya
disertai rasa kasih saying dan penghormatan atas martabat manusia
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui
memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi atau yang melakukan
penipuan atau penggelapan dalam menangani pasien.
Seorang dokter harus menghargai hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya dan hak
tenaga kesehatan lainnya dan harus menjaga kepercayaan pasien.
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
I. FRAKTUR
Fraktur terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma tersebut
kekuantanya melebihi kekuatan tulang. 2 faktor mempengaruhi terjadinya fraktur.
- Ekstrinsik meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang, arah
dan kakuatan trauma.
- Intrinsik meliputi kepasitas tulang mengabsorbsi trauma, kelenturan,
kukuatan dan densitas tulang.
RIWAYAT
Anamnesis dilakukan utk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi kejadian) dan
kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. Riwayat cedera atau
fraktur sebelumnya, riwayat social ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang dia
konsumsi, merokok, riwayat alergi serta penyakit lain harus ditanyakan kepada yang
terkait8.
PEMERIKSAAN LUAR
a. Inspeksi – deformitas : angulasi, pemendekan, pemanjangan, bengkak
b. Palpasi – status neurologis dan vaskuler dibagian distalnya perlu
diperiksa. Lakukan palpitasi pada daerah ekstremitas tempat fraktur
tersebut, meliputi persendian diatas dan dibawah cedera, daerah yang
mengalami nyeri, efusi dan krepitasi. Neurovaskularisasi bagian distal
fraktur meliputi : pulsasi asteri, warna kulit, pengembalian cairan kapiler
sensasi
c. Gerakan
d. Pemeriksaan trauma tempat lain : kepala, toraksm abdomen, pelvis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium : darah rutin, faktor pembekuan darah, golongan darah, cross-
test dan urinalisa
2. Radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut rule of two terdiri dari :
a. 2 gambaran, anterioposterior (AP) dan lateral
b. Memuatkan dua sendi di proksimal dan distal fraktur
c. Memuat gambaran foto dua ekstrimitas, yaitu ekstrimitas yang cedera dan
yang tidak terkena cedera ( pada anak); dan du kali yaitu sebelum dan
sesudah tindakan.
KOMPLIKASI FRAKTUR
1. Komplikasi umum
Syok karena perdarahan atau oleh kerana nyeri, koagulopati diffus dan
gangguan fungsi pernapasan. Komplikasi ini dapat terjadi dalam 24jam
pertama pasca trauma dan setelah beberapa hari atau minggu akan terjadi
gangguan metabolisme, berupa peningkatan katabolisme. Komlikasi umum
lain dapat berupa emboli lemak, trombosis vena dalam(DVT), tatanus, atau
gas gangren.
2. Komplikasi lokal
a. Komplikasi dini : adalah kejadian koplikasi dalam satu minggu pasca
trauma, sedangkan apabila sesudah satu minggu komplikasi lanjut
Pada tulang
(i) Infeksi, terutama pada fraktur terbuka
(ii) Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tindakan
operasi pada fraktur terbuka atau pasca operasi yang melibatkan sendi
sehingga terjadi kerusakan kartilago sendi dan berakhir dengan
degenarasi
Pada jaringan lunak
(i) Lepuh, kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit superfisial
karena edema. Terapinya adala menutupnya dengan kasa kering steril
dan melakukan pemasangan elastik verban.
(ii) Dekubitus, terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips.
Oleh kerana iti perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-
daerah yang menonjol8
Pada otot
Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot tersebut
terganggu. Hal ini terjadi kerana serabut otot yang robek melekat pada
serabut yang utuh, kapsul sendi dan tulang. Kehancuran otot akibat
trauma dan terjepit dalam waktu cukup lama akan menimbulkan sindroma
crush atau trombus
Pada pembuluh darah
Pada robekan arteri inkompliy akan terjadi perdarahan terus menerus.
Sedangkan pada robekan yang komplit ujung pembuluh darah mengalami
retraksi dan perdarahan berhenti spontan.
Pada saraf
Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus),
aksonometsis(kerusakan akson). Setiap trauma terbuka dilakukan
eksplorasi dan identifikasi nervus.
b. Komplikasi lanjut : pada tulang dapat berupa malunion, delayed union
atau non union. Pada pemeriksaan terlihat deformitas berupa angulasi,
rotasi, perpendekan atau perpanjangan.
Delayed union
Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara normal.
Pada pemeriksaan radiografi, tidak akan terlihat bayangan sklerosis pada
ujung-ujung fraktur
Non union
Dimana secara klinin dan radiologis tidak terjadi penyambungan.
Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi periosteum
yang luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur, waktu
imobilisasi yang tidak memadai, implant atau gips yang tidak memadai,
distraksi interposisi, infeksi dan penyakit tulang.
Mal union
Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menumbulkan deformitas.
Tidakan refraktur atau osteotomi koreksi.
Kekakuan sendi
Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan
imobilisasi lama, sehingga terjadi perlengketan peri artikuler,
perlengketan intraartikuler, perlengketan antara otot dan tendon.
Pencegahannya berupa memperpendek waktu imobilisasi dan melakukan
latihan aktif dan pasif pada sendi. Pembebasan perlengketkan secara
pembedahan hanya dilakukan [ada penderita dengan kekauan sendi
menetap8.
PENATALAKSAAN
Prinsip 4R
- Recognition
- Reduction
- Retention
- Rehabilitation
Penatalaksaan awal fraktur meliputi reposisi dan imobilisasi fraktur dengan splint.
Status neurologis dan vaskuler di bagian distal harus diperiksa baik sebelum maupun
sesudah reposisi dan imobilisasi. Pada pasien dengan multiple trauma, sebaiknya
dilakukan stabilisasi awal fraktur tulang panjang setelah hemodinamis pasien stabil.
Sedangkan penatalaksanaan definitive fraktur adalah dengan menggunakan gips atau
dilakukan operasi dengan ORIF maupun OREF8.
Tujuan pengobatan fraktur :
1. REPOSISI dengan tujuan mengembalikan fragmen keposisi anatomi.
Tertutup : fiksasi eksterna, traksi
Terbuka : indikasi
o Reposisi tertutup gagal
o Fragmen bergeser dari apa yang diharapkan
o Memobilisasi dini
o Fraktur multiple
o Fraktur patologis
2. IMOBILISASI / FIKSASI
Tujuan mempertahankan posisi fragmen post reposisi sampai Union.
Jenis fiksasi :
a) Eksternal / OREF
- Gips (plester cast)
- Traksi
Indikasi :
o Pemendekan
o Fraktur unstabel : oblique, spiral
o Kerusakan hebat pada kulit dan jaringan sekitar
- Traksi gravitasi : U-slab pada fraktur humerus
- Skin traksi : untuk menarik otot dari jaringan sekitar fraktur sehingga
fragmen akan kembali ke posisi semua. Beban maksimal 4-5kg karena bila
kelebihan kulit akan lepas.
- Skeletal traksi : K-wire, Steinmann pin, atau Denham pin
- Komplikasi traksi
o Gangguan sirkulasi darah akibat beban >12kg
o Trauma saraf peroneus (kruris) akibat droop foot
o Sindroma kompartemen
o Infeksi akibat tempat masuknya pin
b) Internal / ORIF : k-wire, plating, screw, k-nail
3.UNION
4.REHABILITASI
PROSES PENYEMBUHAN FRAKTUR ADA 5 STADIUM
A. Pembentukan Hematom : kerusakan jaringan lunak dan penimbunan darah
B. Organisasi Hematom / inflamasi : dalam beberapa jam post fraktur terbentuk
fibroblast ke hematom dalam beberapa hari terbentuk kapiler kemudia terjadi
jaringan granulasi
C. Pembentukan KALLUS : Fibroblast pada jaringan granulasi menjadi
kolagenoblast kondroblast kemudian dengan partisipasi osteoblast sehat
terbentuk kallus setelah 7-10 hari pasca trauma.
D. Konsolidasi : Woven bone berubah menjadi lamellar bone
E. Remodelling : Kalus berlebihan menjadi tulang normal
Prinsip terjasinya UNION :
- Dewasa : kortikal 3 bulan,
kanselus 6 minggu
- Anak-anak : separuh dari orang dewasa8
Gambar 1
KESIMPULAN
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA