Lapsus Radang Pada Patah Tulang Femur Bab I-III

44
BAB I PENDAHULUAN Kemajuan kehidupan masyarakat sekarang ini telah mengalami perubahan dalam bidang ilmu dan teknologi secara tidak langsung banyak memberikan perubahan terhadap pola hidup tersebut, dari sebagian besar masyarakat ingin sesuatu serba praktis dan ekonomis dalam mengacu pada hal telekomunikasi dan transportasi. Dengan perilaku manusia tersebut akan dapat menimbulkan suatu masalah, dapat diambil contoh lalu lintas dimana mobilitas manusia yang ingin serba cepat dapat menimbulkan masalah yang cukup serius. Karena jumlah kepadatan lalu lintas akan bertambah sehingga akan berakibat meningkatnya kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan dapat mengakibatkan cidera, baik cidera ringan maupun berat dapat juga menimbulkan suatu kecacatan atau kematian. Cidera ringan dapat berupa sprain atau strain, sedangkan cidera berat dapat berupa fraktur. 1 Fraktur adalah kondisi diskontinuitas susunan tulang yang disebabkan oleh trauma langsung maupun tidak langsung yang diakibatkan benturan langsung terjadi bila trauma langsung mengenai tulang juga dapat diakibatkan oleh adanya kompresi berulang dan fraktur karena benturan tidak langsung biasanya terjadi akibat rotasional. Fraktur dapat dibagi menjadi 2, yaitu fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur terbuka yaitu fraktur yang disertai adanya kerusakan jaringan dan terkontaminasi dengan dunia luar sehingga memungkinkan adanya 1

description

lapsus

Transcript of Lapsus Radang Pada Patah Tulang Femur Bab I-III

BAB IPENDAHULUAN

Kemajuan kehidupan masyarakat sekarang ini telah mengalami perubahan dalam bidang ilmu dan teknologi secara tidak langsung banyak memberikan perubahan terhadap pola hidup tersebut, dari sebagian besar masyarakat ingin sesuatu serba praktis dan ekonomis dalam mengacu pada hal telekomunikasi dan transportasi. Dengan perilaku manusia tersebut akan dapat menimbulkan suatu masalah, dapat diambil contoh lalu lintas dimana mobilitas manusia yang ingin serba cepat dapat menimbulkan masalah yang cukup serius. Karena jumlah kepadatan lalu lintas akan bertambah sehingga akan berakibat meningkatnya kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan dapat mengakibatkan cidera, baik cidera ringan maupun berat dapat juga menimbulkan suatu kecacatan atau kematian. Cidera ringan dapat berupa sprain atau strain, sedangkan cidera berat dapat berupa fraktur.1 Fraktur adalah kondisi diskontinuitas susunan tulang yang disebabkan oleh trauma langsung maupun tidak langsung yang diakibatkan benturan langsung terjadi bila trauma langsung mengenai tulang juga dapat diakibatkan oleh adanya kompresi berulang dan fraktur karena benturan tidak langsung biasanya terjadi akibat rotasional. Fraktur dapat dibagi menjadi 2, yaitu fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Fraktur terbuka yaitu fraktur yang disertai adanya kerusakan jaringan dan terkontaminasi dengan dunia luar sehingga memungkinkan adanya infeksi. Sedangkan fraktur tertutup yaitu fraktur yang tidak disertai atau tidak ditemukan adanya kerusakan jaringan.Bentuk perpatahan antara lain: tranversal, oblique, spiral, hariline, kominutiva.1Problematik yang muncul pada cedera fraktur femur adalah adanya nyeri saat diam, nyeri saat gerak dan nyeri tekan, timbulnya odema (pembengkakan), keterbatasan lingkup gerak sendi (LGS), serta deformitas pada tungkai adalah dugaan adanya fraktur setelah timbul. Penanganan fraktur dibagi melalui 2 metode, yang pertama menggunakan metode konservatif, yaitu menggunakan immobilitas dan metode operasi menggunakan internal fiksasi dan eksternal fiksasi. Immobilisasi digunakan apabila terdapat fraktur yang stabil internal fiksasi digunakan apabila terdapat fraktur yang komunutid dan berkontaminasi.1,2Pada fraktur femur akan terjadi beberapa perubahan pada tungkai segera setelah cedera, terutama peradangan. Mengingat peradangan adalah suatu respon tubuh untuk membatasi kerusakan jaringan ataupun respon tubuh terhadap infeksi yang masuk. Selain proses fisiologis tersebut peradangan juga dapat mejadi proses patologis.1 Mengingat seringnya peradangan menjadi masalah segera setelah terjadinya cedera pada jaringan dalam hal ini pada fraktur femur, karena itu pada penulisan ini akan dibahas tentang mekanisme peradangang, faktor-faktor yang berperan didalamnya, akibat yang akan ditimbulkan serta penatalaksanaan peradangan tersebut.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 DefinisiFraktur adalah kondisi diskontinuitas susunan tulang yang disebabkan oleh trauma langsung maupun tidak langsung, yang diakibatkan benturan langsung terjadi bila trauma langsung mengenai tulang juga dapat diakibatkan oleh adanya kompresi berulang dan fraktur karena benturan tidak langsung biasanya terjadi akibat rotasional. Patah tuang femur dapat terjadi pada leher, trokanter, batang/diaphisis, diaphisis, metaphisis, suprakondiler dan infrakondiler. Fraktur pada batang femur sering terjadi setelah adanya trauma dalam hal ini pada kasus kecelakaan lalu-lintas.2

2.2 EtiologiMekanisme terjadinya fraktur dapat terjadi akibat: 1) peristiwa trauma tunggal,2) tekanan yang berulang-ulang3) kelemahan abnormal pada tulang. Dalam kasus fraktur batang femur kemungkinan mekanisme terjadinya fraktur melalui dua cara yaitu: 1) trauma langsung2) tekanan berulang yang dapat mengakibatkan fraktur fatique pada permukaan bagian medial dan sepertiga proximal.2

2.3 Perubahan Patologi dan PatofisiologiTulang bersifat terlalu rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan daya pegas untuk menahan tekanan. Tulang yang mengalami fraktur, biasanya diikuti kerusakan jaringan di sekitarnya. Fraktur itu terjadi akibat kekerasan langsung terjadi bila tenaga traumatik diberikan langsung pada tulang tempat fraktur, baik transfersal atau komunitif, karena kekerasan tidak langsung biasanya setelah rotasional dan fraktur berbentuk oblique. (spiral).1Secara fisiologis tulang mempunyai kemampuan menyambung setelah terjadi perpatahan, proses penyambungan tulang dibagi menjadi 5 tahap; 1) haematoma (infamasi/peradangan), 2) poliferasi, 3) calsifikasi, 4) konsolidasi, 5) remodeling. Tahap-tahap pada proses penyambungan tulang antara lain:(1) Tahap haematoma (inflamasi)Pada saat tulang mengenai perpatahan, darah menembus luar melalui pembuluh darah yang robek membentuk haematoma diantara atau disekitarnya permukaan perpatahan. Dan itu bisa terjadi selama 7 sampai dengan 24 jam pendarahan. Haematoma antara lain dibentuk oleh jaringan lunak disekitarnya. Periosteum dan otot mungkin terpisah dari tulang dengan luas yang bermacam-macam. Fraktur secara langsung memisahkan sebagian besar kapiler yang berjalan longitudinal akan tulang keras dan segera fragment fraktur akan terjadi ischemia dengan patah beragam biasanya beberapa milimeter dengan aliran darahnya. Osteocyt dekat permukaan fraktur akan mati.1(2) Tahap ProliferasiPada tahap ini terjadi proliferasi dari sel-sel periosteum dan endoesteum yang paling menonjol pada tahap ini adaiah poliferasi dari sel-sel dari permukaan dalam periosteum yang menutupi fraktur. Sel-sel ini merupakan pelopor tumbuhnya osteoglas yang kemudian akan melepaskan unsur-unsur intraseluler kemudian jaringan aktif yang mengelilingi masing-masing fragmen dan tumbuh menjadi fragmen yang lain. Sebagai catatan bahwa sel jaringan bukan terbentuk oleh kumpulan haematoma fraktur yang membeku. Tahap ini terjadi selama 12 - 24 minggu.1(3) Tahap CalsifikasiSeperti jaringan seluler yang tumbuh keluar masing-masing fragmen yang sudah matang sel-sel dasar memberikan perlengketan untuk osteoblast dan cendroblast, membentuk callus yang belum masak dan membentuk jendalan. Hal ini menunjukkan rigiditas pada fraktur. Callus yang sudah terbentuk terasa sebagaian masa keras diraba pada daerah sekitar fraktur. Masa callus dapat dilihat dalam radiologi memberikan indikasi-indikasi adalah penyembuhan tulang. Tahap ini bisa terjadi 6-12 minggu.1(4) Tahap ConsolidasiCallus yang belum masak akan membentuk callus utama secara bertahap, serta berubah dan adanya aktivitas osteoblast menjadinya tulang yang lebih kuat dan masa strukturalnya berlapis. Tahap ini bisa terjadi 12 -24 minggu.1(5) Tahap RemodelingPada waktu tulang membentuk sambung dengan baik biasanya tulang dibentuk berlebihan mengelilingi daerah fraktur di luar maupun di dalam canalis medularis. Disini peran osteoblast sangat penting untuk mengabsorbsi pembentukan tulang yang berlebihan. Callus biasanya timbul banyak pada anak-anak karena ekstravisi darah memungkinkan untuk sembuh. Dalam beberapa bulan setelah sambung, tulang secara bertahap menjdi sepanjang garis perpatahan oleh adanya suplai darah yang demikian baik tidak ada penyakit penyerta yang dialami pada penderita (Diabetes Mellitus, TBC). Penyambungan ini bisa terjadi setelah 24 minggu sampai 1 tahun.1

2.4 Diagnosis patah tulangSeringkali pasien datang sudah dengan keluhan bahwa tulangnya patah karena jelasnya keadaan patah tulang tersebut bagi pasien. Sebaliknya juga mungkin, patah tulang tidak disadari oleh penderita dan meraka datang dengan keluhan keseleo, terutama patah yang disertai dengan dislokasi fragmen yang minimal. Diagnosis patah tulang juga dimulai dengan anamnesis: adanya trauma tertentu, seperti jatuh, terputar, tertumbuk, dan berapa kuatnya trauma tersebut. Dalam persepsi penderita trauma tersebut bisa dirasa berat meskipun sebenarnya ringan, sebaliknya bisa dirasa ringan meskipun sebenarnya berat. Selain riwayat trauma, biasanya didapati keluhan nyeri meskipun patah tulang yang fragmen patahannya stabil, kadang tidak menimbulkan keluhan nyeri. Banyak patah tulang mempunyai cedera yang khas.2Pemeriksaan untuk menentukan ada atau tidaknya patah tulang terdiri atas empat langkah: tanyakan, lihat, raba dan gerakkanPada pemeriksaan fisik mula-mula dilakukan inspeksi dan terlihat pasien kesakitan, mencoba melindungi anggota badannya yang patah, terdapat pembengkakan, perubahan bentuk berupa bengkok, terputar, pemendekan dan juga terdapat gerakan yang tidak normal. Nyeri yang secara subjektif dinyatakan dalam anamnesis, didapat juga secara objektif pada palpasi. Nyeri itu berupa nyeri tekan yang sifatnya sirkuler dan nyeri tekan sumbu pada waktu menekan atau menarik dengan hati-hati anggota badan yang patah searah dengan sumbunya. Keempat sifat nyeri ini didapatkan pada lokalisasi yang tepat sama. Gerakan antarfragmen harus dihindari pada pemeriksaan karena menimbulkan nyeri dan mengakibatkan cedera jaringan. Pemeriksaan gerak persendian secara aktif termasuk dalam pemeriksaan rutin patah tulang.2Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah pemeriksaan klinis untuk mencari akibat trauma, seperti pneumothoraks atau cedera otak, serta komplikasi vaskuler dan neurologis dari patah tulang yang bersangkutan. Hal ini penting karena komplikasi tersebut perlu penanganan yang segera.2 Pada pemeriksaan radiologis dengan pembuatan foto Rontgen dua arah 900 didapatkan gambaran garis patah. Pada patah yang fragmennya mengalami dislokasi, gambaran garis patah biasanya jelas. Dalam banyak hal, pemeriksaan radiologis tidak dimaksudkan untuk diagnostik karena pemeriksaan klinisnya sudah jelas, tetapi untuk menentukan pengelolaan yang tepat dan optimal.2Foto Rontgen harus memenuhi beberapa syarat, yaitu letak patah tulang harus di pertengahan foto dan sinar harus menembus tempat ini secara tegak lurus karena foto rontgen merupakan foto gambar bayangan. Bila sinar menembus secara miring, gambar menjadi samar, kurang jelas dan lain dari kenyataan.2Harus selalu dibuat dua lembar foto dengan arah yang saling tegak lurus. Pada tulang, panjang persendian proksimal maupun yang distal harus turut difoto. Bila ada kesangsian atas adanya patah tulang atau tidak, sebaiknya dibuat foto yang sama dari anggota gerak yang sehat untuk perbandingan. Bila tidak diperoleh kepastian adanya kelainan, seperti fisura, sebaiknya foto diulang setelah satu minggu: retak akan menjadi nyata karena heperemia setempat sekitar tulang yang retak itu akan tampak sebagai dekalsifikasi.2 Pemeriksaan khusus seperti CT scan kadang diperlukan, misalnya dalam hal patah tulang vertebra dengan gejala neurologis.

2.5 Mekanisme Dasar Inflamasi pada Cedera Jaringan (Fraktur Femur)Dari sejarah perkembangannya inflamasi merupakan reaksi kompleks yang mulai terjadi pada pembuluh darah sebagai respons terhadap cedera, diikuti oleh akumulasi cairan dan leukosit di jaringan ekstravaskuler. Respons inflamasi ini berlangsung bersamaan dengan proses perbaikan. Inflamasi bertujuan merusak, melarutkan, atau membatasi penyebab cedera, dan proses ini pada gilirannya dapat berubah menjadi suatu rangkaian proses yang sebisa mungkin memperbaiki jaringan yang rusak dan menyembuhkannya. Perbaikan dimulai pada fase awal inflamasi dan biasanya selesai pada saat efek cedera berhasil dinetralisasi. Selama proses perbaikan, pada jaringan yang mengalami cedera, terjadi regenerasi sel parenkim dan pengisian daerah yang rusak oleh jaringan fibroblastik.3,4Secara mendasar, inflamasi sebenarnya merupakan respons perlindungan dengan tujuan utama membersihkan atau membuang penyebab cedera (seperti toksin atau mikroba) maupun kerusakan yang ditimbulkannya (seperti sel atau jaringan nekrotik). Tanpa inflamasi, infeksi dapat berlangsung tanpa kendali, luka tidak akan sembuh, organ yang mengalami cedera akan tetap sakit. Meskipun demikian, inflamasi dan proses perbaikan tetap berpotensi membahayakan, misalnya menimbulkan reaksi hipersensitif yang dapat mengancam jiwa, seperti pada gigitan serangga, akibat obat-obatan atau toksin. Reaksi inflamasi juga mendasari perkembangan berbagai penyakit kronis, seperti aterosklerosis, artritis reumatoid, dan fibrosis paru. Dengan dasar ini dikembangkanlah beerbagai anti inflamasi yang bertujuan meningkatkan efek positif dari inflamasi dan mengendalikan dampak buruknya.3,4Respons inflamasi pada jaringan ikat bervaskularisasi akan melibatkan komponen plasma, sel darah yang bersirkulasi (seperti neutrofil, monosit, eosinofil, limfosit, basofil, dan trombosit), pembuluh darah, dan komponen seluler (seperti sel mast, fibroblast, makrofag, limfosit) dan ekstraseluler (seoerti kolagen, elastin, fibronektin, laminin, dll).3Berbagai komponen itu membentuk jaringan komunikasi seluler yang kuat yang berakhir dengan meningkatnya respon inflamasi. Pada gambar 1, menunjukkan rangkaian reaksi komunikasi seluler dalam respons inflamasi dan pengaruhnya terhadap penguatan respons inflamasi. Pada tabel 1, menujukkan mediator radang yang ikut berperan dalam proses ini serta efek yang ditimbulkannya.3Respon vaskuler dan seluler pada inflamasi akut dan kronis diperantai oleh mediator kimiawi yang berasal dari plasma atau sel yang diinduksi oleh rangsang inflamasi. Mediator tersebut dapat bekerja sendiri atau secara bersama, atau dalam rangkaian reaksi, selanjutnya meningkatkan respons inflamasi. Sel dan jaringan nekrosis itu sendiri, apapun penyebab kematiannya dapat juga mendorong dilepaskannya mediator inflamasi. Inflamasi akan dihentikan jika rangsang penyebab cedera dihentikan dan mediator inflamasinya dihambat atau dihilangkan.3Inflamasi dapat berlangsung akut maupu kronis. Inflamasi akut berlangsung relatif singkat, berakhir dalam beberapa menit, jam atau hari dengan gambaran utama adanya eksudasi cairan dan protein plasma (oedema) dan emigrasi dari leukosit, terutama nuetrofil. Inflamasi kronis berlangsung lebih lama disertai gambaran histologis berupa adanya limfosit, makrofag, penambahan pembuluh darah, fibrosis, dan jaringan nekrosis. Banyak faktor mempengaruhi perjalanan dan gambaran histologis inflamasi akut dan kronis, yang akan dibahas di bawah ini.3

Rangsang inflamasi(trauma atau infeksi)(Komplemen(Koagulasi intravaskuler(Aktivasi & adhesi neutrofil(Iskemia mikrosirkulasi Kerusakan sel endotel Mediator inflamasi Kerusakan organAktivasi monosit(TNF-)Mediator inflamasi(oksigen radikal, protease, metabolit as arakidonat)(LPS(

Gambar 1. Rangsang inflamasi dapat berupa trauma, pembedahan, atau infeksi. Rangsang inflamasi menyebabkan koagulasi intravaskuler, aktivasi sistem komplemen, atau pelepsan endotoksin (liposakarida/LPS). Ketiga respons tersebut menyebabkan aktivasi dan adhesi neutrofil. LPS juga langsung mengaktifkan monosit yang akan menghasilkan TNF-. Koagulasi intravaskuler dalam kaitannya dengan aktivasi neutrofil dan produk inflamasinya menyebakan iskemia, kerusakan dan aktivasi endotel, serta kerusakan organ. Produk neutrofil dapat memperkuat aktivasi leukosit lainnya. Panah dua arah menunjukkan potensi interaksi umpan balik.3

PeristiwaMediator Radang

VasodilatasiHistamin, Prostaglandin, Bradikinin

Permeabilitas ningkatHistamin, Bradykinin, C3a, C5a, Leukotrin

KemotaksisLeukotrin (LTB2), C5a, Produk bakteri (LPS), Protein kationik, Lymphokin

DemamPyrogen endogenik, Prostaglandin

Rasa nyeriProstaglandin, Bradykinin

Tabel 1. Mediator kimia yang terlibat dalam proses radang serta efek yang ditimbulkan.3

2.6 Inflamasi AkutInflamasi akut merupakan respons awal dan segera terhadap penyebab cedera. Mengingat dua komponen pertahanan terhadap mikroba, antibodi dan leukosit, secara normal dibawa melalui aliran darah, tidaklah mengherankan jika fenomena vaskuler berperan besar dalam inflamasi akut. Oleh karena itu, ada tiga komponen utama pada inflamasi akut, yaitu perubahan vaskuler yang menyebabkan peningkatan aliran darah, perubahan struktur mikrovaskuler yang memungkinkan leukosit dan protein plasma meninggalkan sirkulasi, dan migrasi leukosit dari mikrosirkulasi dsan akumulasinya di daerah yang mengalami cedera. Ada beberapa perubahan pada inflamasi akut:

2.6.1 Perubahan vaskulerPerubahan ukuran dan aliran vaskuler terjadi segera setelah cedera dan berkembang pada berbagai tingkat bergantung pada berat cedera. Perubahan tersebut terjadi dengan urutan sebagai berikut.Vasodilatsi arteriol terjadi setelah adanya vasokonstriksi berulang yang tidak menetap dalam beberapa detik. Vasodilatasi awalnya melibatkan arteriol yang selanjutnya diikuti dengan pembukaan dinding kapiler baru di daerah cedera sehingga terjadi peningkatan aliran darah yang menyebabkan peningktan suhu dan kemerahan di daerah inflamasi. Lama vasodilatasi bergantung pada stimulus cedera, tetapi biasanya langsung diikuti perlambatan sirkulasi.Perlambatan sirkulasi diikuti oleh adanya peningkatan permeabilitas mikrovaskuler yang menyebabkan keluarnya cairan yang kaya akan protein ke jaringan ekstravaskuler. Kehilangan cairan ini menyebabkan terkonsentrasinya sel darah merah dalam pembuluh darh kecil dan meningkatkan kekentalan darah, yang ditandai dengan adanya pelebaran pembuluh darah kecil yang penuh berisi sel darah merah. Keadaan ini dikenal sebagai stasis.Dengan berkembangnya keadaan stasis, mulailah terlihat pengumpulan leukosit di daerah perifer, khususnya neutrofil, di sepanjang endotel pembuluh darah. Keadaan ini dikenal sebagai marginalisasi leukosit. Leukosit kemudian melekat pada endotel, awalnya bersifat sementara, kemudian semakin erat, dan selanjutnya bermigrasi ke jaringan interstisial.Skala waktu perubahan ukuran vaskuler ini bervariasi. Dengan stimulus yang ringan, stasis tidak akan telihat sebelum 15 sampai 30 menit, tetapi pada cedera yang hebat, stasis dapat terjadi setelah beberapa menit saja.3

2.6.2 Peningkatan permeabilitas vaskulerPeningkatan permeabilitas vaskuler (kebocoran vaskuler) yang menyebabkan keluarnya cairan kaya protein dari pembuluh darah ke jaringan interstisial (eksudasi) merupakan gambaran khas inflamasi akut. Hilangnya protein plasma menrunkan tekanan osmotik intravaskuler dan meningkatkan tekanan osmotik cairan interstisial. Peningkatan tekanan hidrostatik akibat vasodilatasi akan memperkuat pengaliran keluar cairan dari intravaskuler untuk berakumulasi di jaringan interstisial. Hal ini menyebabkan peningkatan cairan ekstravaskuler yang dikenal sebagai oedema.Pertukaran cairan secara normal dan permeabilitas mikrovaskuler sangat bergantung pada keutuhan sel endotel. Dalam inflamasi akut, sel endotel menjadi terganggu keutuhannya atau mengalami kebocoran.3

2.6.3 Aktivitas seluler: ekstravasasi leukosit dan fagositosisFungsi penting inflamasi adalah pengiriman leukosit ke darah yang mengalami cedera. Leukosit akan mencerna atau menghancurkan penyebab cedera, membunuh bakteri atau mikroba lainnya, dan mendegradasi jaringan nekrotik dan antigen asing. Leukosit dapat juga memperpanjang proses inflamasi dan menginduksi kerusakan jaringan dengan melepaskan enzim, mediator kimiawi, dan radikal oksigen yang toksik.Rangkaian proses keluarnya leukosit dari lumen vaskuler ke jaringan interstisial disebut sebagai ekstravasasi, dan dapat juga dibagi menjadi beberapa langkah berikut: leukosit akan bergerak dan berkumpul menuju dinding endotel atau dikenal sebagai marginalisasi, kemudian bergulir sepanjang dinding endotel atau dikenal sebagai rolling, dan melekat pada dinding endotel atau disebut adhesi; selanjutnya, leukosit akan bergerak menenbus endotel untuk kemudian berada pada jaringan interstitial; ini dikenal sebagai gerakan diapedesis; pada jaringan interstisial, leukosit kemudian akan bermigrasi ke arah rangsang kemotaktik.Agresi dan transmigrasi leukosit ditentukan terutama oleh bentuk ikatan molekul antara permukaan leukosit dan endotel dan mediator kimiawi, seperti kemoatraktan atau sitokin tertentu. Keduanya mempengaruhi proses ini dengan memodulasi ekspresi dan afinitas molekul adhesi tersebut pada permukaan sel.Fagositosis dan pengeluran berbagai enzim oleh neutrofil dan makrofag merupakan dua keuntungan penting yang didapat dari terakumulasinya leukosit di daerah inflamasi. Fagositosis melibatkan tiga langkah yang berbeda, tetapi saling berhubungna, yaitu pengenalan dan penempelan dari partikel yang akan dimakan oleh leukosit; penelanan partikel tersebut melalui rangakaian pembentukan vakuola fagistik; dan pembunuhan atau penghancuran materi yang difagosit.Untuk melakukan degradasi dan pembunuhan intraseluler, neutrofil menggunakan berbagai enzim hidrolitik, mekanisme bakterisidal dengan atau tanpa oksigen. Mekanisme bakterisidal yang bergantung pada oksigen berkaitan erat dengan ledakan penggunaan oksigen dan produksi spesies oksigen reaktif atau oksigen radikal akibat aktivasi cepat dari NADPH oksidase dengan mereduksi oksigen menjadi anion superoksid O2-. Anion tersebut dapat secara spontan berubah atau mengalami dismutasi menjadi H2O2. Mieloperoksidase dari neutrofil akan mengubah H2O2 dengan adanya ion halida, seperti Cl- menjadi HOCl yang radikal, suatu oksidator yang kuat dan berfungsi sebagai antimikroba. Spesies radikal bebas ini merupakan mekanisme bakterisidal utama yang dimiliki neutrofil melalui jalur yang bergantung pada oksigen. Mekanisme bakterisidal yang tidak bergantung pada oksigen yang dimiliki oleh sel fagosit berjalan melalui aktivitas molekul yang terkandung dalam granula sel fagosit, seperti protein peningkat permeabilitas, yang akan mengubah permeablitas membran luar bakteri; atau aktivitas lisosim yang akan menghidrolisis ikatan muramik asam N-asetil-glikosamin pada dinding glikopeptida bakteri.Sitokin merupakan kelompok besar dari sinyal komunikasi seluler yang dapat mempengaruhi aktivitas seluler pada proses inflamasi melalui jalur autokrin, parakrin, maupun endokrin. Sitokin adalah polipeptida yang dapat disintesis baik oleh sel sistem imun maupun sistem nonimun. Sitokin berperan mengatur perkembangan respons imun dan inflamasi. Secara umum sitokin dapat dikelompokkan kedalam empat kategori sesuai dengan fase aktivitas inflamasi, yaitu pengenalan, pengikatan, penyingkiran, dan perbaikan (lihat tabel 1 dibawah).3

Tabel 2. Sitokin pada respons inflamasi.3PengenalanPengikatanPenyingkiranPerbaikan

IL-1TNF-IL-8MCP-1IFN-IL-2IL-6bFGFTGF-IGF

2.6.4 Akhir proses inflamasi akutPerubahan hemodinamik, permeabilitas dan aktivitas leukosit yang terjadi pada proses inflamasi, meskipun dipaparkan secara runtut, sebenarnya merupakan fenomena respons cedera yang berlangsung bersamaan dan terkesan kacau namun terorganisasi. Banyak variabel dapat memodifikasi proses mendasar yang telah dibahas sebelumnya, seperti asal dan intensitas penyebab cedera, daerah dan jaringan yang terkena cedera, serta respons tubuh. Secara umum, inflamasi akut dapat menghasilkan empat hal.Pertama, resolusi atau kesembuhan yang sempurna dari inflamasi akut akan diperoleh jika terjadi netralisasi stimulus yang diikuti dengan restorasi daerah inflamasi sampai normal. Keadaan ini biasanya ditemukan jika stimulus berlangsung singkat dengan kerusakan jaringan yang sedikit serta sel parenkim yang mampu beregenerasi. Resolusi ditandai dengan netralisasi dari berbagai mediator kimiawi, kembalinya permeabilitas vaskuler yang normal, berhentinya infiltrasi leukosit, kematian neotrofil secara apoptosis, dan diakhiri dengan hilangya cairan dan protein di daerah oedema, leukosit, partikel asing, dan jaringan nekrosis di daerah inflamasi.Kedua, pembentukan abses bisa mengikuti suatu inflamasi khususnya akibat infeksi organisme piogenik.Ketiga, penyembuhan dengan penggantian jaringan ikat (fibrosis), dapat terjadi setelah adanya kerusakan jaringan yang berarti, biasanya pada jaringan yang tidak beregenerasi, atau jika didapat banyak eksudat. Jika eksudat yang banyak tidak mampu diresorpsi secara sempurna, akan tumbuh jaringan ikat di daerah eksudat untuk melingkupi daerah yang cedera sehingga terbentuk massa jaringan fibrotik. Proses ini dikenal sebagai organisasi daerah inflamasi.

Inflamasi akutPenyebab cederaInflamasi kronisInfeksi menetapToksin menetapPenyakit autoimunPembentukan absesResolusiPenyembuhanRegenerasiJaringan parutmediatormediator1234

Gambar 2. Akhir proses inflamasi akut.3

Keempat, inflamasi kronis dapat mengikuti inflamasi akut jika respons inflamasi tidak mampu meresolusi daerah inflamasi. Hal ini bisa disebabkan oleh adanya stimulus cedera yang menetap atau adanya gangguan menetap terhadap proses penyembuhan.3

2.7 Efek Sistemik Inflamasi Demam merupakan manifestasi utama inflamasi, terutama jika inflamasi disebabkan oleh infeksi, yang bergantung pula pada sinyal humoral tubuh. Sinyal ini dikoordinasi oleh hipotalamus dan melibatkan pengaturan respons endokrin dan sistem saraf autonom, dan respons fisik. Komponen seperti ini yang dikenal sebagai reaksi fase akut, meliputi pertama, sistem endokrin dan metabolisme: sekresi protein fase akut oleh hati (termasuk C-reactive protein/CRP, serum amyloid A SAA, serum amyloid P/SAP, komplemen, dan protein koagulasi); peningkatan produksi glukokortikoid yang mengaktifkan respons stres; dan penurunan sekresi vasopresin yang mengurangi volume cairan ubuh yang harus dihangatkan. Kedua, sistem saraf autonom: pengaturan kembali aliran darah dari kutaneus ke sistem vaskuler yang lebih dalam guna meminimalkan kehilangan kalori atau panas melalui kulit; peningkatan denyut nadi dan tekana darah; dan megurangi keringat. Ketiga, respons fisik: menggigil, anoreksia, somnolen, dan malaise.Sitokin berperan penting sebagi sistem sinyal pada demam. IL-1, IL-6 dan TNF- dihasilkan oleh leukosit (dan jenis sel lainnya) sebagai respons terhadap stimulus infeksi atau imunologis dan reaksi toksin, dan dilepaskan ke sirkulasi. IL-1 bereaksi langsung maupun melalui induksi IL-6, yang sebenarnya memiliki efek serupa menghasilkan reaksi fase akut. Diantara berbagai sitokin, IL-1, IL-6, TNF- dan interferon dapat menyebabkan demam sehingga dikenal sebagai pirogen endogen primer. Sitokin perifer memberi sinyal kepada otak untuk menyebabkan demam melalui tiga mekanisme. Pertama, sitokin memasuki otak melalui daerah yang tidak dihalangi sawar darah-otak, yaitu daerah khusus sepanjang permukaan ventrikel otak, maupun dengan menembus sawar darah-otak melalui mekanisme transport spesifik. Kedua, sitokin bisa meneruskan sinyal ke otak melalui saraf vagus. Ketiga, sitokin bisa mengaktifkan vaskularisasi otak yang merangsang pengeluaran beberapa mediator, seperti prostaglandin/PGE, NO, atau sitokin IL-1, yang memiliki aktivitas pada sel parenkim otak.Mekanisme spesifik mana yang digunakan bergantung pada kondisinya. Misalnya, pada respons inflamasi ringan dengan kadar sitokin perifer rendah, sinyal sitokin bisa ditransmisikan melalui saraf vagus. Sebaliknya, pada saat sepsis, ketika sitokin yang beredar tinggi, jalur aktivasi otak melalui sistem vaskuler akan lebih menonjol. Sekali dilepaskan, sinyal ditransmisikan dari bagian anterior sampai ke posterior hipotalamus menuju pusat vasomotor untuk menginduksi respons.Gambaran efek sistemik inflamasi lainnya yang umum didapat adalah luekositosis, khususnya bila diinduksi oleh infeksi bakteri. Jumlah leukosit biasanya meningkat hingga 15.000 atau 20.000 sel per mililliter, bahkan kadang-kadang dapat mencapai jumlah luar biasa sebanyak 40.000 atau 100.000 sel per mililiter. Kenaikan yang ekstrem ini dikenal sebagai reaksi leukemoid karena mirip keadaan yang ditemukan pada leukemia. Leukositosis terjadi pada awalnya disebabkan oleh percepatan pengeluaran sel dari timbunan cadangan pascamitosis di sumsum tulang yang diinduksi oleh IL-1 dan TNF, serta berhubungna dengan kenaikan jumlah neutrofil yang belum matang pada aliran darah. Infeksi yang berkepanjangan juga menginduksi proliferasi prekusor leukosit di sumsum tulang yang disebabkan oleh peningkatan produksi CSF (colony stimulating factor). Rangsangan produksi CSF juga diperantai oleh IL-1 dan TNF.Kendati sudah banyak dibahas, proses inflamsi akut dan kronis bahkan sampai tingkat seluler dan molekuler, tetap harus dipertimbangkan perubahan yang diinduksi oleh tubuh sebagai upaya perbaikan kerusakan, yang dikenal sebagai proses repair. Repair atau perbaikan dimulai hampir bersamaan dengan mulai terjadinya perubahan pada proses inflamsi, dan melibatkan berbagai proses, seperti proliferasi, diferensiasi, dan deposisi matriks ekstraseluler.32.8 Peran reaksi inflamasi yang terjadi pada kasus patah tulangTulang memiliki kapasitas yang cukup besar untuk perbaikan dan respon regenerasi terhadap cedera atau perawatan bedah. Kedua proses ini melibatkan integrasi yang kompleks dari sel, faktor pertumbuhan, dan matrik ekstraselular. Perbaikan hanya mengembalikan kelangsungan jaringan yang terluka, tanpa perlu meningkatkan volume tulang. Regenerasi, Sebaliknya, melibatkan diferensiasi sel-sel baru dan formasi jaringan tulang baru yang menyebabkan peningkatan volume keseluruhan baru kerangka jaringan. Penyembuhan patah tulang adalah proses perbaikan multistage yang melibatkan tahapan kompleks yang dimulai sebagai tanggapan terhadap cedera, sehingga akhirnya terjadi perbaikan dan pemulihan fungsi tulang.5 Kedua proses biologis tersebut dikendalikan oleh molekul kompleks mekanisme yang melibatkan faktor lokal dan sistemik yang berinteraksi dengan banyak tipe sel yang direkrut pada saat luka luka atau pembedahan dari jaringan di sekitarnya dan sirkulasi. penelitian yang sedang berlangsung telah meningkatkan pemahaman kita tentang mekanisme molekular yang terlibat dengan penyembuhan fraktur dan gangguan osteogenesis.5 Pada kasus patah tulang, tulang mengulangi jalur perbaikan normal pada masa embrionik pembangunan tulang dengan partisipasi yang terkoordinasi beberapa jenis sel yang berasal dari korteks, jaringan periosteum, jaringan lunak sekitarnya, dan sumsum tulang ruang. Sebagian besar patah tulang sembuh dengan kombinasi keduanya, intramembranous dan endochondral osifikasi. Pembentukan tulang endochondral biasanya terjadi di luar periosteum di daerah mekanis yang kurang stabil dan langsung berbatasan dengan fraktur situs, sedangkan internal terjadi osifikasi intramembranous untuk periosteum di tepi proksimal dan distal kalus dan membentuk kalus keras. Ini adalah yang menjembatani daerah kalus keras di celah rekahan pusat yang menyediakan awal stabilisasi dan mengembalikan fungsi biomekanis.5 Proses perbaikan itu sendiri terdiri dari tumpang tindih empat tahap, dimulai dengan segera dengan respon peradangan yang mengarah pada perekrutan sel mesenchymal yang berikutnya berferensiasi menjadi chondrocytes yang menghasilkan tulang rawan dan osteoblast. Setelah tulang rawan matriks dihasilkan diikuti mineralizes, dan transisi dari mineralisasi tulang rawan ke tulang padat, yang diprakarsai oleh resorpsi mineralisasi tulang rawan. Pembentukan tulang Primer diikuti oleh renovasi, di mana kalus tulang awal dibentuk kembali oleh pembentukan tulang dan resorpsi sekunder untuk mengembalikan anatomi struktur yang mendukung beban mekanis. Secara biologis proses mengambil tempat masing-masing selama tahap yang diatur secara ketat oleh signaling molekul yang dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok: (1) sitokin pro-inflamasi(2) Transforming Growt Factor Beta (TGF-)(3) angiogenic faktor. Masing-masing kelompok sitokin dan morphogens memiliki fungsi biologis yang tumpang tindih dalam mengatur proses dan interaksi antara sel yang berbeda populasi. Sebagai contoh, sel mesenchymal berdiferensiasi menjadi sel-sel yang lebih khusus, yang membentuk dampak dari kegiatan masing-masing.5Sitokin pro-inflamasi terlibat dalam perbaikan patah tulang, dipercayai memainkan peran dalam memulai kaskade perbaikan tulang berikut cedera jaringan yang ditimbulkan. Sitokin ini diproduksi dan berfungsi segera setelah cedera untuk jangka waktu yang terbatas. Pada tahap pertengahan dalam penyembuhan, beberapa sitokin inflamasi yang ditingkatkan produksinya, sehingga terjadi peningkatan osteoclastogenesis untuk menghapus mineralisasi tulang rawan, dan diinduksi pada tahap berikutnya pada saat remodeling tulang.5 Interleukin-1 dan -6 (IL-1 dan IL-6) dan TNF- telah terbukti berperan dalam memulai kaskade perbaikan pada patah tulang. Mereka memberikan respons sebagai akibat dari cedera dengan merekrut sel inflamasi lainnya, meningkatkan sintesis matriks ekstraseluler, dan merangsang angiogenesis. Mereka disekresi didaerah cedera oleh makrofag, sel-sel inflamasi, dan sel-sel yang berasal dari sel mesenchymal. Puncak ekspresi mereka dalam waktu 24 jam pertama cedera, kemudian menurun dengan cepat ke tingkat hampir tidak terdeteksi pada hari ketiga. ekspresi IL-1 dan IL-6 meningkat lagi berkaitan dengan remodeling tulang sekunder selama pembentukan tulang, sedangkan ekspresi TNF- meningkat dalam asosiasi dengan resorpsi mineral tulang rawan oleh fase akhir endochondral perbaikan fraktur.5 Selain merangsang osteoclast, TNF- juga mempromosikan perekrutan mesenchymal stem sel dan menginduksi apoptosis hipertropik chondrocytes selama formasi tulang endochondral . Dimana osteoclast tersebut apabila tidak terjadi apoptosis dapat menunda resorpsi dari mineralisasi tulang rawan dan, akibatnya, mencegah pembentukan tulang baru. Dalam situasi di mana TNF- diproduksi berlebihan, seperti proses penyembuhan patah tulang pada kasus diabetes, terjadi reapsorsi ada tulang rawan yang prematur berakibat pada pembentukan tulang dan penyembuhan yang tidak sempurna.5 Ekspresi RANKL dan OPG (dua anggota TNF- superfamili), serta macrophage colony-stimulating faktor (MCSF), yang merupakan factor kunci pengaturan pada osteoclastogenesis, meningkat setelah awal cedera serta selama periode reapsorsi mineralisasi tulang rawan. Selama fase pembentukan tulang sekunder dan remodeling tulang, RANKL, OPG, dan MCSF menunjukkan berkurang dari tingkat ekspresi yang terlihat pada reapsorsi tulang rawan. Sebaliknya,ekspresi IL-1 dan IL-6 meningkat selama fase akhir remodeling.5Dapat disimpulkan bahwa reaksi radang yang terjadi beberapa saat setelah patah tulang, yang disebabkan oleh dibebaskannya sitokin proinflamasi sangat penting dalam proses perbaikan tulang. Tampa didahului proses imflamasi maka pembentukan tulang rawan sampai pembentukan tulang tidak akan terjadi.5Tabel 3. Ringkasan dari Tahapan Multiple Penyembuhan pada patah tulang dan Ekspresi sinyal molekul yang berperan didalamnya.5Tahapan Penyembuhan Patah TulangProses Biologis yang ter jadiMolekul sinyal yang diekspresikan dan tujuannya

PeradanganHematomeIL-1, IL-6, TNF-, berperan dalam mengawali tahap-tahap perbaikan.

PeradanganTGF-, PDGF, dan BMP-2 derperan dalam pembentukan kalus

Perekrutan sel-sel mesenkimalGDF-8, hanya terjadi pada hari pertama, dipercayai berperan dalam pengaturan pembelahan sel.

Pembentukan Kartilage dan Respon PeriosteumDimulainya Chondrogenesis dan endochondral osifikasi TGF- 2, - 3, and GDF-5, berperan agar dapat tercapai puncak dari chondrogenesis dan endochondral bone formation.

Terjadi ploriferasi sel pada intrsamembran osifikasiBMP-5 and -6 meningkat.

Pertumbuhan Vaskular dan NeoangiogenesisAngiopoietins dan VEGFs berfungsi untuk merangsang pertumbuhan vascular dari periosteum

Penyerapan Tulang Rawan dan Formasi Tulang PrimerPase dari kebabyakan osteogesis aktifTNF- naik dalam hubungan dengan reapsorsi tulang rawan. Ini mempromosikan perekrutan sel mesenchymal stem sel dan menginduksi apoptosis dari chondrocytes hipertrofik.

Perekrutan sel-sel tulang dan pembentukan anyaman tulang (woven bone)Peningkatan RANKL dan MCSF dikaitkan dengan Penyerapan Tulang Rawan dan Formasi Tulang Primer

Kondrosit Apoptosis dan proteolisis matriks tulang rawan

Perekrutan Osteoclast dan resorsi tulang rawan

Peningkatan BMP-3,-4,-7 dan -8 dihubungkan dengan reapsorsi tulang rawan yang terkalsifikasi. Menginisiasi perekrukan keturuna sel-sel osteoblast.

NeoangiogenesisBMP-5 dan-6 masih tetap tinggi pada fase ini, dipercayai berfungsi sebagai pengatur pada osifikasi yang terjadi intramembran ataupun endochondral.Peningkatan VEGFs untukl menstimulasi neoangiogenesis.

Formasi tulang sekunder dan remodelingRemodeking tulang bersamaan dengan osteoblast aktifitiIL-1 dan IL-6 akan kembali meningkat dikaitkan denga remodeling tulang, sedangkan RANKL dan MCSF menunjukkan penurunan.

Pembentukan sum-sum tulangBerkurangnya anggota TGF- superfamili

2.9 Akibat Peradangan Akut Pada Cedera ( Patah Tulang Femur )1. Rubor (Kemerahan)Rubor adalah proses pertama yang terlihat didaerah yang mengalami peradangan. Seiring dengan dimulainya reaksi peradangan, arteriole yang memasuki daerah tersebut berdilatasi sehingga memungkinkan lebih banyak darah lebih banyak darah mengalir kedalam mikrosirkulasi local. Kapiler-kapiler yang sebelumnya kosong, atau mungkin hanya sebagian meregang, secara cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini, disebut hiperemis/ kongesti, menyebabkan kemerahan loka pada peradangan akut. Tubuh mengontrol produksi hiperemi pada awal reaksi peradangan, baik secara neurologis maupun kimiawi melalui pelepasan zat-zat seperti histamin.62. Kalor (Panas)Kalor/panas terjadi bersamaan dengan kemerahan pada reaksi peradangan akut. Sebenarnya panas secara kas hanya merupakan reaksi peradangan yang terjadi pada permukaan tubuh, yang secara normal lebih dingin dari 370 C, yang merupakan suhi inti tubuh. Daerah peradangan dikulit menjadi lebih hangat dari sekelilingnya, karena lebih banyak dialiri darah, dialirkan dari dalam tubuh kepermukaan daerah yang terkena dibandingkan dengan daerah yang normal. Fenomena hangat local ini tidak terlihat didaerah meradang yang terletak jauh didalam tubuh. Karena jaringan tersebut sudah memiliki suhu inti 370C dan hiperemi local tidak menimbulkan perbedaan.63. Dolor (Nyeri)Dolor atau nyeri, pada suatu reaksi peradangan tampaknya ditimbulkan dalam berbagai cara. Perubahan PH local atau konsentrasi local ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-ujung saraf nyeri, hal yang sama pelepasan zat-zat kimia tertentu seperti prostaglandin, atau zat-zat kimia bioactive lain dapat merangsang ujung saraf nyeri. Selain itu, pembengkakan jaringan yang meradang menyebabkan peningkatan tekan local yang tidak diragukan lagi dapat menimbukan nyeri.64. Tomor (Pembengkakan)Aspek paling mencolok pada peradangan akut mungkin adalah tumor, atau pembengkakan local yang dihasilkan oleh cairan dan sel-sel yang berpindah dari aliran darah ke jaringan interstisial. Campuran cairan dan sel-sel ini yang tertimbun didaerah peradangan disebut eksudat. Pada awal perjalan reaksi peradangan, sebangan besar eksudat adalah cairan, seperti yang terlihat secara cepat didalam lepuhan setelah lika bakar ringan pada kulit. Kemudian, leukosit meninggalkan aliaran darah dan terimbun sebagai bagian eksudat.65. Fungsio Laesa (Perubahan Fungsi)Fungsio Laesa, merupakan bagian yang lazim pada reaksi peradangan. Sepintas mudah dimengerti, bagian yang bengkak, nyeri disertai sirkulasi abnormal dan lingkungan kimiawi local yang abnormal seharusnya berfungsi secara abnormal. Akan tetapi, cara bagaimana fungsi jaringan yang meradang itu terganggu tidak dipahami secara terperinci.6

2.10 Penatalaksanaan patah tulangPengelolaan patah tulang secara umum mengikuti prinsip kedokteran pada umumnya, yaitu yang pertama dan utama adalah jangan cederai pasien. Cedera iatrogen tambahan pada pasien terjadi akibat tindakan yang salah dan /atau tindakan yang berlebihan. Yang kedua, pengobatan didasari atas diagnosis yang tepat dan prognosisnya. Ketiga, bekerja sama dengan hukum alam, dan keempat, memilih pengobatan dengan memperhatikan setiap pasien secara individu.4Untuk patah tulangnya sendiri, prinsipnya adalah mengembalikan posisi patahan tulang ke posisi semula (reposisi) dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan patah tulang (imobilisasi). Reposisi yang dilakukan tidak harus mencapai keadaan sepenuhnya seperti semula karena tulang mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan bentuknya kembali seperti bentuk semula (rosthesis/ proses swapugar). Kelayakan reposisi suatu dislokasi fragmen ditentukan oleh adanya dan besarnya dislokasi ad aksim, ad peripheriam, rosthe kontraktione, yang berupa rotasi, atau pemendekan. Secara umum, angulasi dalam bidang gerak sendi sampai kurang lebih 20-30 derajat akan dapat mengalami swapugar, sedangkan angulasi yang tidak dalam bidang gerak sendi tidak akan mengalaminya. Akan tetapi, rotasi antara dua fragmen tidak pernah terkoreksi sendiri oleh proses swapugar. Ada tidaknya rotasi fragmen tidak dapat diketahui dari foto rontgen, melainkan harus diketahui dari pemeriksaan klinis. Cara yang termudah untuk memeriksa rotasi ini adalah dengan membandingkan rotasi anggota yang patah dengan rotasi anggota yang sehat. Pemendekan anggota yang patah disebabkan oleh tarikan tonus otot sehingga fragmen patahan tulang berada sebelah-menyebelah. Pemendekan anggota atas pada orang dewasa dan pemendekan pada anggota atas maupun bawah pada anak, umumnya tidak menimbulkan masalah.4Cara pertama untuk penanganan patah tulang dengan dislokasi fragmen patahn yang minimal atau dengan dislokasi yang tidak akan menyebabkan cacat di keemudian hari, cukup dengan proteksi tanpa reposisi dan imobilisasi. Contoh cara ini adalah patah tulang rusuk, patah tulang clavicula pada anak, dan patah tulang vertebra dengan kompresi minimal.4Cara kedua ialah imobilisasi dengan fiksasi atau imobilisasi luar tanpa reposisi, tetapi tetap memerlukan imobilisasi agar tidak terjadi dislokasi fragmen. Contoh cara ini adalah pengelolaan patah tulang tungkai bawah tanpa dislokasi yang penting.4Cara ketiga berupa reposisi dengan cara manipulasi diikuti dengan imobilisasi. Ini dilakukan pada patah tulang dengan dislokasi fragmen yang berarti seperti pada patah tulang radius distal.4Cara keempat berupa reposisi dengan traksi terus-menerus selama masa tertentu, misalnya beberapa minggu dan kemudian diikuti dengan imobilisasi. Ini dilakukan pada patah tulang yang bila direposisi secara manipulasi akan terdislokasi kembali ke dalam gips. Cara ini dilakukan pada patah tulang dengan otot yang kuat, misalnya pada patah tulang femur.4Cara kelima berupa reposisi diikuti dengan imobilisasi dengan fiksasi luar. Untuk fiksasi fragmen patahan tulang, digunakan pin baja yang ditusukkan pada fragmen tulang, kemudian pin baja tadi disatukan secara kokoh dengan batangan logam di luar kulit. Alat ini dinamakan fiksator ekstern.4Cara keenam berupa reposisi secara non-operatif diikuti dengan pemasangan fiksasi dalam pada tulang secara operatif, misalnya reposisi patah tulang kolum femur. Fragmen direposisi secara non-operatif dengan meja traksi; setelah tereposisi, dilakukan pemasangan pen ke dalam kolum femur secara operatif.4Cara ketujuh berupa reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi patahan tulang dengan pemasangan fiksasi interna. Ini dilakukan misalnya, pada patah tulang femur, tibia, humerus, lengan bawah. Fiksasi interna yang dipakai bisa berupa pendi dalam sumsusm tulang panjang, bisa juga berupa plat dengan sekrup di permukaan tulang. Keuntungan reposisi secara operatif adalah bisa dicapai reposisi sempurna dan bila dipasang fiksasi interna yang kokoh, sesudah operasi tidak perlu lagi dipasang gips dan segera bisa dilakukan mobilisasi. Kerugiannya adalah reposisi secara operatif ini mengundang resiko infeksi tulang.4Cara yang terakhir berupa eksisi fragmen patahan tulang dan menggantinya dengan rosthesis, yang dilakukan pada patah tulang kolum femur. Kaput femur dibuang secara operatif dan diganti dengan rosthesis. Ini dilakukan pada orang tua yang patahan pada kolum femur tidak dapat menyambung kembali.4 2.11 Penatalaksanaan Peradangan Pada Fraktur Tulang FemurKerusakan atau perubahan yang terjadi pada sel dan jaringan akibat adanya noksi akan membebaskan berbagai mediator dan substansi radang. Asam arakidonat mulanya merupakan komponen normal yang disimpan pada sel dalam bentuk fosfolipida, dibebaskan dari sel penyimpan lipid oleh asil hidrolase sebagai respons adanya noksi. Asam arakidonat ini kemudian mengalami ystemfla menjadi dua alur. Alur siklooksigenase yang membebaskan prostaglandin, prostasiklin, tromboksan; alur lipoksigenase yang membebaskan leukotrien dan berbagai substansi seperti 5-HPETE, 5-HETE dan sebagainya. Kemudian semua mediator tersebut akirnya menyebabakan peradangan berupa rubor, kalor, dolor, tumor dan fungsio leasa (kemerahan, panas, nyeri, bengkak dan kelainan fungsi) melalui mekanisme yang spesifik dari masing-masing mediator radang tersebut.1,3Saat ini utuk obat anti radang dibagi menjadi dua, golongan anti radang non-steroid dan golongan steroid. Kerja utama kebanyakan nonsteroidal ystemflammatory drugs (NSAID) adalah sebagai penghambat sintesis prostaglandin dengan menghambat enzim siklooksigenase. Pemberian NSAID dalam jangka lama cenderung menimbul-kan efek samping terutama pada sistem gastrointestinal terutama golongan COX-1 inhibitor. Antagonis H2 (misal ranitidin) yang diberikan bersama NSAID untuk melindungi lambung dari efek samping tersebut. Penghambat spesifik dari siklo-oksigenase 2 (COX-2) seperti meloxicam mungkin lebih aman karena efeknya minimal terhadap sistem COX pada gastrointestinal dan ginjal. 1,3Sedangkan kerja utama obat anti radang glukokortikoid menghambat pembebasan asam arakidonat pada tingkat enzim fosfolipase A2. Mengingat efek samping obat anti radang glokokortikoid yang dapat mengganggu proses osteogenesis dan menekan system pertahan tubuh, maka untuk peradangan pada patah tulang femur lebih dipih obat golongan NSAID.1,3

Ganbar 3. Skema kerja NSAID dan Glukokortikoid sebagai anti radang.1,3

2.12 Penyembuhan patah tulangProses penyembuhan patah tulang adalah proses biologis alami yang akan terjadi pada setiap patah tulang, tidak peduli apa yang telah dikerjakan dokter pada patahan tulang tersebut. Pada permulaan akan terjadi perdarahan di sekitar patahan tulang, yang disebabkan oleh terputusnya pembuluh darah pada tulang dan periost. Fase ini disebut fase hematoma. Hematoma ini kemudian akan menjadi medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis dan vaskuler hingga hematom berubah menjadi jaringan fibrosis dengan kapiler di dalamnya. Jaringan ini yang menyebabkan fragmen tulang saling menempel. Fase ini disebut fase jaringan fibrosis, dan jaringan yang menempelkan fragmen patahan tulang tersebut dinamakan kalus fibrosa. Ke dalam hematom dan jaringan fibrosis ini kemudian juga tumbuh sel jaringan mesenkim yang besifat osteogenik. Sel ini akan berubah menjadi sel kondroblast yang membentuk kondroid yang merupakan bahan dsar tulang rawan, sedangkan di tempat yang jauh dari patahan tulang yang vaskularisasinya relatif banyak, sel ini berubah menjadi osteoblast dan membentuk osteoid yang merupakan bahan dasar tulang. Kondroid dan osteoid ini mula-mula tidak mengandung kalsium sehingga tidak terlihat pada foto rontgen. Pada tahap selanjutnya terjadi penulangan atau osifikasi. Kesemuanya ini menyebabkan kalus fibrosa berubah menjadi kalus tulang. Pada foto rontgen, proses ini terlihat sebagai bayangan radio-opak, tetapi bayangan garis patah tulang masih terlihat. Fase ini disebut fase penyatuan klinis. Selanjutnya, terjadi penggantian sel tulang secara berangsur-angsur oleh sel tulang yang mengatur diri sesuai dengan garis tekanan dan tarikan yang bekerja pada tulang. Akhirnya sel tulang ini mengatur diri secara lamelar seperti sel tulang normal. Kekuatan kalus ini sama dengan kekuatan tulang biasa dan fase ini disebut fase konsolidasi.4

Hematom fibrosis osteoid kalus fibrous jaringan kondroid jaringan osteoid kalus tulang (pertautan klinis) tulang lamelar (pertautan tulang) konsolidasi dan proses swapugarGambar 4. Skema Penyembuhan Patah Tulang.4

BAB IIILAPORAN KASUS

3.1 Evaluasi Pra-Anestesi1. IdentitasNama: IWSUmur: 19 tahunJenis Kelamin: Laki-lakiSuku: BaliAgama: HinduBangsa: IndonesiaStatus: Belum MenikahPekerjaan: MahasiswaNo. CM: 01.40.77.99Diagnosis Bedah: Close Fractur Femur 1/3 Proximal DextraTindakan: IODW IOI DIMWTanggal Operasi: 10 Agustus 20102. AnamnesisAnamnesis KhususPasien datang dalam keadaan sadar ke RS dengan keluhan nyeri pada paha kanan setelah mengalami kecelakaan lalu lintas jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien merupakan rujukan dari rumah sakit kapal.MOI : Pasien sedang mengendarai sepeda motor kemudian menyeberang jalan, dari arah berlawanan datang sepeda motor lain lalu menabrak pasien. Anamnesis UmumRiwayat penyakit sistemik: Tidak adaRiwayat operasi/anestesi sebelumnya: Tidak adaRiwayat alergi obat : Tidak adaRiwayat merokok/minum alkohol : Tidak adaMakan dan minum terakir tanggal 9/8/10 pukul 17.00 dan minum terakir tanggal 10/8/10 pukul 13.303. Pemeriksaan fisikStatus PresentKesadaran: Compos Mentis (E4V5M6)Tekanan Darah: 120/70 mmHgNadi: 80 kali/menitRespirasi: 16 kali/menitSuhu Aksilla: 36,5 CBerat Badan: 55 kgTinggi Badan: 170 cmBMI: 19,30 kg/cm2Pemeriksaan Fisik UmumSistem saraf pusat: Compos MentisRespirasi: Ves +/+, Wh-/-, Rh -/-, RR: 16x/menitSirkulasi: TD 120/70 mmHg, nadi : 80x/menit, S1S2 tgl reg murmur (-)Hematologi: normalUrogenital: Terpasang DCGastrointestinal: normalHepatobilier: normalMetabolik: normalMuskuloskeletal: Regio Femur Proximal Dextra: I : Tampak oedema, Hiperemi (+), deformitas disertai angulasi F : Nyeri Tekan (+), Hangat (+), Krepitasi(+), Ateri dorsalis pedis masih teraba. M : ROM distal (+) terbatasPemeriksaan Fisik KhususKeadaan gigi geligi: normal, gigi palsu (-)Kemampuan membuka mulut: mallampati IFleksi dan Defleksi leher: normal4. Pemeriksaan penunjangPemeriksaan RutinDarah Lengkap (10 Agustus 2010 pukul 10.23 wita) WBC: 16,3 x 103/L(4,5-11,0.103/L) Ne: 14,6 x 103/L(2,5-7,5.103/L) HGB: 16,1 g/dL (12,0-16,0 g/dL) HCT: 45,51 % (38,0-48,0%) PLT: 268 x 103/ L(150-440. 103/L) BT: 130 (1-3) CT: 700 (5-15)Foto Femur Ap - Tampak fraktur femur dextra 1/3 proksimal- Angulasi ke lateral- Trabekulasi tulang dalam batas normal- Soft tissue swelling (+) Kesan : Fraktur fumur dextra1/3 proksimal dengan angulasi ke lateral Soft tissue swelling Kesimpulan : Status fisik ASA 2

3.2 Persiapan Pra-Anestesi1. Persiapan Rutin Sebelum Operasi 1. Persiapan psikis: memberi penjelasan kepada pasien dan keluarganya mengenai tindakan anestesia dan pembedahan yang akan dilakukan2. Persiapan fisik : melepaskan aksesoris yang dipakai, penderita dibersihkan kemudian menggunakan pakaian khusus untuk operasi.3. Membuat surat persetujuan tindakan medis.2. Persiapan di Kamar Operasi1. Persiapan mesin anestesi dan sistem aliran gas dan cadangan volatile agent.2. Persiapan obat dan alat anestesi yang digunakan.3. Persiapan alat-alat dan obat resusitasi.4. Mempersiapkan pasien di meja operasi, memasang alat pantau tekanan darah, EKG, tiang infus, pulse oxymetri.5. Evaluasi ulang status present pasien :Tekanan darah: 120/70 mmHgNadi: 80 kali/menitRespirasi: 16 kali/menit3.3Pengelolaan Anestesi1. Jenis Anestesi : Anestesi Umum dengan Pemasangan Pipa Endotrakheal 2. Teknik Anestesi : Pasien tidur terlentang, pasang monitor Preoksigenasi dengan O2 100 % 8 lpm selama 5 menit Induksi dengan propofol 200 mg, relaksasi dengan vecuronium 7 mg Laringoskopi, intubasi dengan PET no 7,5 kinking, cuff (+) Maintenance dengan O2 : N2O : sevofluran 3. Respirasi : Kendali4. Posisi : Supine5. Infus : Cairan kristaloid (Ringer Laktat 1000 cc dan NaCl O,9 % 500 cc) 6. Komplikasi selama pembedahan dan anestesia : tidak ada7. Lama Operasi : 1 jam 50 menit8. Lama anestesi : 2 jam 30 menit9. Keadaan Akhir Pembedahan : Tekanan Darah : 122/91mmHg Nadi : 95 kali/menit Laju respirasi : 18 kali/menit SaO2 : 100 %10. Rekapitulasi: Jumlah cairan masuk: kristaloid 1500 cc Jumlah pendarahan : 50 ml Jumlah medikasi : Propofol 200 mg, Pethidine 25 mg, Ketorolac 30 mg, Vecuronium 7 mg, Sulfas atropine 0,5 mg, Prostigmine 1mg.3.4 Pengelolaan Pasca Bedah1. Pasca bedah pasien kemudian dipindahkan ke ruang pemulihan pada pukul 17.25 witaa. Tekanan darah: 120/80 mmHgb. Nadi: 82 kali/.menitc. Respirasi: 18 kali/ menit2.Di ruang pemulihan, pasien diobservasi :a. Suhu tubuh normalb. Mual dan muntah tidak adac. Nyeri tidak adad. Aldrete score dari OK ke ruang pemulihan = 10Aldrete score dari ruang pemulihan ke ruangan pukul 20.45 wita = 103. Instruksi di Ruangan :a. Bila kesakitan berikan Pethidine 175 mg + Ketorolac 60 mg dalam NaCl 0,9% 500 cc (20 tetes mikro / menit), sebagai analgetik.b. diberikan ondansetron 4 mg iv untuk mengatasi mual muntah pasca operasic. Antibiotik dan obat-obat lainnya mengikuti TS bedahd. Diet Bebase. IVFD RL 24 tetes/menitf. Kontrol kesadaran tekanan darah, nadi dan respirasi setiap saat selama masih dalam pengaruh obat anestesi.

29