Post on 03-Jul-2015
1
KESEIMBANGAN INTERNAL dan EKSTERNAL PEREKONOMIAN
INDONESIA
Oleh : Suharto
Dosen Tetap FE Univ. Krisnadwipayana
Kesimbangan internal merupakan kondisi di mana terjadinya
perpotongan antara kurva IS dan kurva LM pada tingkat suku bunga
domestik keseimbangan (rde) dan pendapatan nasional keseimbangan pada
tingkat full employment (Ye). Selanjutnya, keseimbangan eksternal adalah
kondisi di mana neraca pembayaran luar negeri (balance of payment /BOP)
berada pada posisi seimbang (Balance BOP atau BOP=0), tingkat suku bunga
luar negeri (rf) sama dengan tingkat suku bunga dalam negeri (rde). Dengan
grafik dapat digambarkan sebagai berikut:
r
IS LM
E
rf=rd BOP=0
LM IS
Ye Y
Keseimbangan internal dan eksternal terjadi pada titik E. Dengan
demikian pergerakan menuju ketidakseimbangan internal dan eksternal
2
dipengaruhi oleh kebijakan fiskal, yang dicerminkan oleh bergeraknya kurva
IS dan juga kebijakan moneter yang dicerminkan oleh bergeraknya kurva
LM, sekaligus juga dipengaruhi oleh kondisi neraca pembayaran luar negeri
yang dicerminkan oleh bergeraknya kurva BOP. Ketiga komponen yaitu
kebijakan fiskal, moneter dan kondisi BOP saling keterkaitan dan saling
mempengaruhi.
Sebagai salah satu perumpamaan kondisi ekonomi makro negara kita
saat ini. Beban yang begitu berat pada sisi pengeluaran dari APBN,
menyebabkan pemerintah berhati-hati dalam melaksanakan kebijakan fiskal
yang relatip ekspansip. Namun, karena targetnya bagaimana mencapai
pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen, pemerintah dan Bank Indonesia
mendorong bagaimana agar dijaga kebijakan moneter lebih ekspansip atau
berupaya agar tingkat suku bunga cenderung menurun dari periode ke
periode. Kebijakan moneter yang ditetapkan ini adalah setelah
mempertimbangkan kondisi BOP yang ada, yaitu BOP yang selalu surplus
dari periode ke periode.
Data Yang Dipergunakan
Data yang dipergunakan untuk melengkapi pembahasan pada
makalah ini dikumpulkan dari website Bank Indonesia: www. go.id.
Selanjutnya data disusun secara tabulasi sebagai berikut :
3
Indikator Tahun
2002 2003 2004 2005 2006 2007
Internal
gPDB (%-yoy) 4.38 4.72 5.03 5.68 5.48 6.3
Inflasi(%-yoy) 10.03 5.06 6.40 17.11 6.60 6.59
Eksternal
Ekspor(MilyarUS$) 59.165 64.109 70.767 86.995 103.514 118.937
Impor (MilyarUS$) 35.652 39.546 50.615 69.462 73.868 86.354
RatioHutang ke PDB 65.71 57.01 53.40 45.12 35.28 31.3
Cadangan Devisa
(Milyar US$) 32.039 36.296 36.320 34.724 42.586 56.900
Nilai Tukar 8.950 8.570 8.948 9.713 9.167 9.140
Pembahasan
Kondisi Internal : Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi
Data pertumbuhan ekonomi yang diwakili oleh gPDB dari tahun-ketahun
menunjukkan adanya peningkatan secara terus menerus, sedangkan data
yang menunjukkan perkembangan tingkat inflasi menunjukkan dalam
keadaan yang terus menurun, kecuali pada tahun 2005 yang dikarenakan
adanya kenaikan BBM secara drastis ( naik rata-rata di atas 100 %) oleh
pemerintah pada bulan Oktober 2005.
Dengan faktor-faktor lain konstan, serta selanjutnya mengacu kepada
teori ekonomi yang diuraikan di atas maka kenaikan pertumbuhan ekonomi
yang terus-menerus tersebut dapat dikatakan karena berhasilnya pemerintah
dalam menerapkan kebijakan fiskal dan moneter. Apabila kembali kepada
4
teori ekonomi makro yang dipaparkan di muka, kebijakan fiskal yang
dicerminkan oleh kurva IS, dan kebijakan moneter yang dicerminkan oleh
kurva LM telah mendorong pendapatan nasional Ye ke kanan.
Seperti diketahui, Indonesia banyak dirundung oleh kejadian bencana
alam di berbagai daerah. Hal ini yang selanjutnya membebankan sisi fiskal,
khususnya anggaran pengeluaran. Akan tetapi pemerintah masih dapat
mewujudkan stimulus budget, yakni anggaran yang dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi.
Lain halnya dengan kebijakan moneter. Kebijakan ini lebih signifikan
keberhasilannya di bandingkan dengan kebijakan fiskal dalam mendorong
meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Bank Indonesia sebagai Bank Sentral
dapat menjaga tingkat kestabilan moneter dengan sangat baik. Hal ini
dibuktikan bahwa tingkat suku bunga Bank Sentral yaitu BI-rate dari
tahun ke tahun dalam keadaan yang terus menurun, sekalipun ada resiko
akan terjadi over-heating economy, yaitu meningkatnya pertumbuhan
ekonomi yang disertai oleh meningkatnya tingkat inflasi.
Berdasarkan data di atas, sekalipun terjadi kenaikan laju inflasi yang
sangat tinggi pada tahun 2005 sebesar 17,11 %, akan tetapi Bank Sentral
tidak menaikkan suku bunga BI-rate, sebaliknya dari tahun 2002 sampai
saat ini, Bank Sentral terus berupaya menurunkan suku bunga BI-rate
tersebut. Mengapa demikian ?. Penulis beranggapan bahwa meningkatnya
laju inflasi sejak tahun 2002 adalah lebih di sebabkan oleh faktor-faktor yang
mendorong kenaikan harga-harga bahan pokok, seperti naiknya BBM, tarif
listik, tarif telepon, kerusakan infrastruktur yang menyebabkan biaya
5
distribusi naik, naiknya bahan baku impor, dan besarnya pungutan liar.
Kondisi ini menyebabkan BI tidak mengambil langkah kebijakan moneter
yang kontraksi atau tight money policy seperti yang pernah dilaksanakan
tahun 2000-2001. Bahkan dapat dirasakan BI
cenderung menjaga agar kebijakan moneter cenderung relatip ekspansip
atau easy money policy. Dengan perkataan lain, mengatasi laju inflasi yang
terjadi selama kurun waktu 2002-2007 dengan cara menaikkan suku bunga
BI-rate agar jumlah uang yang beredar turun, boleh dibilang bukan
kebijakan yang tepat, atau dampaknya kecil sekali dalam menurunkan
tingkat inflasi yang terjadi pada periode tersebut. Malahan akan ada dampak
sebaliknya, yakni dengan kenaikan tingkat suku bunga BI-rate atau
kebijakan moneter kontraksi akan menghambat laju perkembangan
investasi.
Kondisi Eksternal
Data yang diperoleh dan kemudian dianggap mewakili keseimbangan
eksternal adalah data ekspor-impor, ratio hutang kepada PDB, cadangan
devisa dan nilai tukar. Untuk kegiatan perdagangan internasional yang
diwakili oleh data ekspor-impor, memperlihatkan selama periode 2002-2007
selalu terjadi net ekspor yang positip, yaitu ekspor lebih besar daripada
impor (X>M). Bahkan pada kurun waktu 2006 sampai dengan 2007 net
ekspornya (positip) sangat besar sekali. Dengan adanya neraca perdagangan
internasional yang surplus ini, serta dengan diperkirakan adanya aliran
modal masuk (capital inflow) yang lebih besar daripada aliran modal keluar
6
(capital outflow) maka membuat neraca pembayaran internasional (BOP)
selalu surplus (BOP>0).
Kondisi BOP yang selalu surplus sejak tahun 2002, terlebih-lebih
pada periode tahun 2004 – 2007 di mana surplusnya semakin meninggi, hal
ini menyebabkan cadangan devisa yang berwujud sebagai net international
reserve meningkat secara drastis pada periode tersebut. Kondisi ini
mendorong pemerintah untuk mengurangi hutang luar negerinya terutama
hutang kepada kepada IMF. Keputusan mempergunakan cadangan devisa
yang relatip besar itu, untuk memperkecil hutang luar negeri, telah
memberikan dampak semakin menurunnya rasio hutang kepada PDB, seperti
yang tertera pada tabel indikator ekonomi di muka.
Dampak positip lainnya dengan kondisi BOP yang surplus serta kondisi
cadangan devisa yang relatip besar, mendorong stabilnya perkembangan
nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, seperti yang diperlihatkan pada
data di atas.
Kesimpulan
Dengan mempergunakan teori ekonomi makro yang meliputi analisa
keseimbangan internal dan ekternal, data di atas menunjukkan bahwa data
dari satu variabel ke data variabel lainnya mempunyai sifat saling
mempengaruhi (causal effects). Hal ini sudah barang tentu mencerminkan
bahwa terjadi saling keterkaitan antara kebijakan fiskal. kebijakan moneter
dan BOP.
Hasil pembahasan memperlihatkan bahwa upaya pemerintah dalam
rangka meningkatkan kinerja perekonomian makro sejak tahun 2004-2007
7
telah memperlihatkan keberhasilannya, hal ini dibuktikan dengan data-data
yang ditampilkan pada makalah ini.
Sebagai catatan kecil, apabila sasarannya meningkatkan kesejahteraan
atau kemakmuran masyarakat, maka keberhasilan perekonomian dalam
bidang makro atau sektor keuangan saja tidak cukup, akan tetapi harus pula
disertai keberhasilan dalam bidang ekonomi mikro atau sektor riil. Semoga
di masa yang akan datang sektor riil dapat ditingkatkan keberhasilannya.
8
SEKILAS PERKEMBANGAN KEBIJAKAN FISKAL DAN KEBIJAKAN
MONETER DI INDONESIA PERIODE 2002-2006
Oleh : Suharto
9
Kebijakan Fiskal dan Moneter
Kebijakan fiskal merupakan kebijakan dalam bidang anggaran
penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Sedangkan kebijakan moneter
merupakan kebijakan dalam mengatur pasar uang. Kedua kebijakan ini pada
dasarnya mempunyai target bagaimana pertumbuhan ekonomi dapat
mencapai tingkat yang tinggi, sehingga dapat mengurangi tingkat
pengangguran dan tingkat kemiskinan. Di samping itu, kedua kebijakan ini,
terlebih-lebih khususnya kebijakan moneter, mempunyai target bagaimana
dapat menahan laju inflasi. Kedua kebijakan ini dalam upaya mencapai
kedua target tersebut saling mendukung atau melengkapi dengan tujuan
akhir agar pencapaian pertumbuhan ekonomi yang relatip tinggi tidak
disertai meningkatnya laju inflasi (overheated economy).
Kategori Kebijakan Fiskal dan Moneter
Kebijakan Fiskal Ekspansip: Merupakan Kebijakan Fiskal yang fokusnya menambah sisi pengeluaran/belanja dari anggaran
pemerintah. Kebijakan Fiskal Kontraktip : Adalah Kebijkan Fiskal yang fokusnya
mengurangi/memperketat sisi pengeluaran/belanja dari anggaran pemerintah
Kebijakan Moneter Ekspansip : Adalah Kebijakan Moneter yang fokusnya memperbesar jumlah uang yang beredar, dan tingkat suku
bunga diturunkan
Kebijakan Moneter Kontraktip : Merupakan kebijakan moneter yang fokusnya menurunkan jumlah uang yang beredar, dan tingkat suku bungan dinaikkan.
10
II. Model Ekonomi Makro Untuk Kebijakan Fiskal dan Moneter
II.1.Model Ekonomi Makro Untuk Kebijakan Fiskal Menurut
John Maynard Keynes :
Y= C+I+G (1)
C= Co +cYd (2)
S= -Co + (1-c) Yd (3)
Yd= Y+Tr-Tx (4)
Tx =t Y (5)
I =Io (6)
G=Go (7)
Tr = Tro (8)
Di mana Y = Pendapatan Nasional ; C =Total Konsumsi I= Total Investasi
G= Pengeluaran Pemerintah ; Co = Konsumsi otonom ; Yd= Pendapatan
Disposible; c = MPC /Marginal Propencity to Consume : (1-c) = MPS/
Marginal Propencity to Save ; Tx= Pajak ; t = tarif (rate) pajak; Tr =Transfer
of payment.
Persamaan (5), (7) dan (8) mencerminkan kebijakan fiskal. Variabel
Tx mewakili penerimaan , sedangkan G dan Tr mewakili pengeluaran.
Selanjunya untuk mengambarkan kondisi fiskal ( di Indonesia diwujudkan
melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara /APBN), ada tiga kondisi fiskal
sebagai berikut :
1. Tx > G+Tr, adalah fiskal surplus atau anggaran surplus
2. Tx = G+Tr, adalah fiskal berimbang atau anggaran berimbang
3. Tx < G+Tr, adalah fiskal gap (defisit) atau anggaran defisit.
11
II.2 Model Ekonomi Makro Untuk Kebijakan Moneter Menurut Irving
Fischer:
MV=PT. (9)
Di mana M= jumlah uang yang beredar untuk keperluan transaksi, V
=velositas uang, P = harga rata-rata atau indek harga konsumen (IHK), dan
T = jumlah output yang ditransaksikan pada tingkat kesempatan kerja
penuh.
Perkembangan selanjutnya, teori kuantitas uang ini disempurnakan
oleh teori Cambridge yang mengemukakan bahwa permintaan uang tidak
hanya dipengaruhi oleh volume transaksi yang diukur dengan PDB riil, tetapi
juga dipengaruhi oleh tiga faktor lainnya yaitu tingkat kekayaan seseorang,
tingkat suku bunga, dan ekspektasi seseorang tentang masa depan. Teori ini
dicerminkan oleh persamaan sebagai berikut :
L = f ( Y,W, r, e ) (10)
di mana L adalah Permintaan Uang, Y= Pendapatan Nominal, W= tingkat
kekayaan seseorang, r = tingkat suku bunga, dan e = ekspektasi seseoarng.
Dalam model Cambridge ini, nilai aset seperti pendapatan atau kekayaan
dihitung dalam nilai nominal, oleh karenanya permintaan uang karena faktor
kekayaan dinyatakan proporsional dengan pendapatan nasional nominal.
Selanjutnya, kedua teori klasik tersebut di atas disempurnakan oleh J.M
Keynes yang menyatakan bahwa permintaan uang mempunyai 3 (tiga)
12
motip, yakni motip transaksi (Lt), berjaga –jaga (Lj) dan spekulasi (Lsp/L2).
Teori ini disusun berdasarkan persamaan berikut:
Lt = kt (11)
Lj = kj (12)
L1= Lt+Lj (13)
Lsp atau L2= k2r + L2o (14)
LM = L1 + L2 atau LM = kt +kj + k2r+L2o atau
LM = k1Y + k2r +L2o (15)
Seperti yang telah dikemukakan pada bagian pengantar dalam
makalah ini, kebijakan moneter tujuannya adalah mengatur atau
mengendalikan pasar uang. Persamaan (10), (11),(12),(13),(14),dan (15)
memperlihatkan dari sisi permintaan uang. Sedangkan penawaran uang
bersifat otonom, besarnya ditentukan dari luar model yang disusun, yaitu :
Ms = Mso (16) ,
di mana Ms = penawaran uang dan Mso = penawaran uang otonom. Pasar
uang atau sektor moneter pada keseimbangan adalah
LM = Ms (17a)
LM = Mso (17b),
selanjutnya LM kita substitusikan kepada persamaan (15), dengan demikian
persamaan pasar uang atau keseimbangan sektor moneter sesuai dengan
teori Keynes adalah: k1Y + k2r +L2o = Mso (18)
III. Perkembangan Kebijakan Fiskal Di Indonesia Tahun 2002-2006
Kebijakan fiskal di Indonesia dikendalikan ole lembaga eksekutip, dalam
hal ini Presiden dibantu oleh para menterinya, setelah rancangan undang-
undang fiskal atau budget dalam bentuk APBN yang diajukan disetujui oleh
13
DPR. Pihak eksekutip terus berupaya agar kebijakan fiskal yang dijalankan
itu mempunyai tingkat efektivitas yang tinggi. Dalam hal ini dapat diartikan
kebijakan fiskal tersebut dapat berfungsi mendorong atau memperbaiki
tingkat perekonomian, yang ditandai antara lain, dengan meningkatnya
indikator PDB (Produk Domestik Bruto) atau pertumbuhan PDB,
meningkatnya lapangan pekerjaan, dan menggerakan sektor riil. Apabila hal
ini dapat terjadi, maka pemerintah dapat dikatakan menciptakan stimulus
fiscal atau stimulus budget.
Berikut ini ditampilkan beberapa data yang yang mencerminkan
kebijakan fiskal dan juga data mengenai pertumbuhan PDB, yaitu :
Tahun
2002 2003 2004 2005 2006
Data Fiskal
Penerimaan (miliar Rp) 298.605 341.396 403.367 495.224 637.796
Belanja (miliarRp) 322.180 376.505 427.177 509.632 670.591
Pertumbuhan PDB (%) 4.38 4.72 5.03 5.68 5.48
Catatan : Pertumbuhan PDB pada tahun 2007 (Desember) adalah 6.2 %
Sumber : diolah dari www. bps. go.id.
Dari data yang ditampilkan di atas, dapat dikatakan bahwa adanya
kecenderungan kebijakan fiskal yang dilaksanakan adalah ekspansip selama
tahun 2002-2006. Hal ini dicerminkan oleh perkembangan data mengenai
Belanja (dalam persamaan notasinya adalah G) yang terus meningkat dari
tahun 2002-2006. Meskipun jika dibandingkan dengan penerimaan (Tx)
14
kondisi fiskal ini menunjukkan defisit anggaran. Akan tetapi anggaran
belanja atau pengeluaran selama periode 2002-2006 itu berkorelasi positip
dengan perkembangan data pertumbuhan PDB pada periode yang sama.
Dengan demikian kebijakan fiskal yang dilaksanakan selama periode 2002-
2006 dapat mempunyai dampak meningkatkan pertumbuhan ekonomi, hal
dapat dikatakan bahwa kebijakan fiskal merupakan stimulus fiscal atau
stimulus budget.
IV. Perkembangan Kebijakan Moneter Di Indonesia Periode 2002-
2006
Kebijakan moneter di Indonesia sepenuhnya tanggung jawab dari
otoritas moneter, yaitu Bank Indonesia (BI ) sebagai bank sentral. BI adalah
lembaga yang melaksanakan pengendalian jumlah uang yang beredar
dengan instrumen : Rediscount Policy, Open Market Operation, Manipulative
Legal Reserve Ratio, dan Selective Credit Control.
Instrumen-instrumen ini digunakan dalam rangka mencapai target atau
sasaran pertumbuhan ekonomi yang tinggi, mengendalikan laju inflasi dan
menstabilkan nilai tukar rupiah.
Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, selama periode
2002-2006, BI cenderung melaksanakan kebijakan moneter yang relatip
ekspansip. Hal ini diperlihatkan oleh indikator Jumlah Uang Beredar (JUB)
yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Sedangkan tingkat suku bunga
SBI, dan tingkat suku bunga pasar untuk Kredit Modal Kerja (SB KMK) ,
Kredit Investasi ( SB KI ) dan Kredit Konsumsi (SB KK) adalah relatip
15
menurun, kecuali untuk periode 2005-2006, karena adanya kenaikan harga
BBM yang sangat drastis pada bulan Oktober 2005. Dampak selanjutnya
menyebabkan laju inflasi mencapai hingga 17, 1%. Berikut ini tabel
mengenai JUB (Jumlah Uang Beredar) dan tingkat suku bunga :
Indikator 2002 2003 2004 2005 2006
JUB M1 (triliun Rp) 191.9 207.6 253.8 281.9 311.8
JUB M2 (triliun Rp) 883.9 911.2 1,033.5 1,203.2 1,248.2
rSBI satu bulan/pertahun (%) 12.9 8.1 7.4 12.75 11.75
SB KMK (%) 18.3 15.8 13.4 15.92 16.10
SB KI (%) 17.8 16.3 14.1 15.43 15.90
SB KK (%) 20.2 18.7 16.6 16.60 17.30
Sumber : Di olah dari www.Kadin.or.id dan www.bi.go.id.
Selanjutnya dalam rangka mengendalikan tingkat inflasi dan menjaga
kestabilan nilai tukar rupiah, BI telah mencanangkan inisiatip strategis
dengan menerapkan Inflation Targeting Framework (ITF) yang telah
dilaksanakan secara implisit pada tahun 2003, dan secara penuh telah
dilaksanakan pada tahun 2005.
Penerapan ITF secara penuh ditandai dengan digunakannya BI rate
sebagai sasaran operasional kebijakan moneter, menggantikan base money.
Penetapan BI rate yang dilakukan dengan terlebih dahulu membuat antisipasi
melihat kedepan terhadap prospek ekonomi, baik itu berupa perkembangan
harga maupun pertumbuhan ekonomi. Diterapkannya ITF secara penuh sejak
tahun 2005 telah memberikan hasil yang positip. Hal ini ditandai dengan
menurunnya laju inflasi dari 17.11% pada tahun 2005 dan menurun pada
6.60 % tahun 2006. Sementara itu, dengan diterapkannya ITF dapat pula
16
memberikan dampak positip kepada perkembangan nilai tukar rupiah. Nilai
tukar rupiah cenderung stabil yang mana datanya menunjukkan 9.713 untuk
tahun 2005; 9.167 (2006), dan 9.140 (2007-hasil estimasi).
V. Kesimpulan
Dengan data yang ada sejak tahun 2002 sampai tahun 2006,
perkembangan kebijakan fiskal cenderung ekspansip, ditandai dengan
meningkatnya sektor belanja (G) setiap tahunnya. Perkembangan ini
mendorong naiknya pertumbuhan ekonomi, sehingga dalam konteks ini
kebijakan fiskal dapat dikatakan sebagai stimulus fiscal atau stimulus
budget.
Berdasarkan data pada periode yang sama (2002-2006), perkembangan
kebijakan moneter cenderung juga ekspansip, ditandai dengan meningkatnya
Jumlah Uang Beredar (JUB) dari tahun -ketahun, serta menurunnya tingkat
suku bunga: SBI, Kredit Modal Kerja, Kredit Investasi dan Kredit Konsumsi.
Kecuali pada tahun 2005, tingkat suku bunga meningkat mengingat
perekonomian baru saja dikejutkan oleh naikknya harga BBM secara drastis.
Sejak tahun 2005 Bank Indonesia sebagai bank sentral telah berhasil
menurunkan laju tingkat inflasi dan menstabilkan nilai tukar, dengan
diterapkannya Inflation Targeting Framework (ITF). Penerapan ITF ini,
ditandai dengan digunakannya BI rate sebagai sasaran operasional kebijakan
moneter menggantikan base money.
17
Daftar Referensi :
1. www.bps.go.id.
2. www.Kadin. Indonesia or.id.
3. www.bi.go.id
18