Anemia Def. Fe

51
ANEMIA DEFISIENSI BESI ANEMIA Definisi Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count). Etiologi Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena: 1. Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang 2. Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan) 3. Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis) Kriteria Anemia Kriteria Anemia menurut WHO Laki-laki dewasa Hb < 13 gr/dL Wanita dewasa tidak hamil Hb < 12 gr/dL Wanita hamil Hb < 11 gr/dL Klasifikasi Anemia Klasifikasi Anemia menurut etiopatogenesis : A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang 1

description

anemia

Transcript of Anemia Def. Fe

ANEMIA DEFISIENSI BESIANEMIA Definisi Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atau hitung eritrosit (red cell count). Etiologi Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena: 1. Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang 2. Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan) 3. Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis) Kriteria Anemia Kriteria Anemia menurut WHO Laki-laki dewasa Hb < 13 gr/dL Wanita dewasa tidak hamil Hb < 12 gr/dL Wanita hamil Hb < 11 gr/dL Klasifikasi Anemia Klasifikasi Anemia menurut etiopatogenesis : A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang 1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit a. Anemia defisiensi besib. Anemia defisiensi asam folatc. Anemia defisiensi vitamin B12 2. Gangguan penggunaan besi a. Anemia akibat penyakit kronik b. Anemia sideroblastik 3. Kerusakan sumsum tulang a. Anemia aplastik b. Anemia mieloptisik c. Anemia pada keganasan hematologi d. Anemia diseritropoietik e. Anemia pada sindrom mielodisplastik B. Anemia akibat perdarahan 1. Anemia pasca perdarahan akut 2. Anemia akibat perdarahan kronik C. Anemia hemolitik 1. Anemia hemolitik intrakorpuskular a. Gangguan membran eritrosit (membranopati) b. Gangguan enzim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD c. Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati) - Thalasemia - Hemoglobinopati struktural : HbS, HbE, dll 2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler a. Anemia hemolitik autoimun b. Anemia hemolitik mikroangiopatik c. Lain-lain D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi: I. Anemia hipokromik mikrositer a. Anemia defisiensi besib. Thalasemia major c. Anemia akibat penyakit kronik d. Anemia sideroblastik II. Anemia normokromik normositer a. Anemia pasca perdarahan akut b. Anemia aplastik c. Anemia hemolitik didapat d. Anemia akibat penyakit kronik e. Anemia pada gagal ginjal kronik f. Anemia pada sindrom mielodisplastik g. Anemia pada keganasan hematologik III. Anemia makrositer a. Bentuk megaloblastik 1. Anemia defisiensi asam folat 2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa b. Bentuk non-megaloblastik 1. Anemia pada penyakit hati kronik 2. Anemia pada hipotiroidisme 3. Anemia pada sindrom mielodisplastik Gejala Anemia 1. Gejala umum anemia adalah gejala yang timbul pada setiap kasus anemia, apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin turun dibawah harga tertentu.Gejala umum anemia ini timbul karena : a. Anoksia organ b.Mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut oksigen Affinitas oksigen yang berkurang Untuk peningkatan pengangkutan oksigen ke jaringan yang efisien, dilakukan dengan cara mengurangi affinitas hemoglobin untuk oksigen. Aksi ini meningkatkan ekstraksi oksigen dengan jumlah hemoglobin yang sama. (meningkatkan pelepasan O2 oleh hemoglobin) Peningkatan perfusi jaringan Efek dari kapasitas pengangkutan oksigen yang berkurang pada jaringan dapat dikompensasi dengan meningkatkan perfusi jaringan dengan mengubah aktivitas vasomotor dan angiogenesis. (redistribusi aliran darah ke organ organ vital) Peningkatan cardiac output Dilakukan dengan mengurangi fraksi oksigen yang harus diekstraksi selama setiap sirkulasi, untuk menjaga tekanan oksigen yang lebih tinggi. Karena viskositas darah pada anemia berkurang dan dilatasi vaskular selektif mengurangi resistensi perifer, cardiac output yang tinggi bisa dijaga tanpa peningkatan tekanan darah. (peningkatan curah jantung dan pernapasan) Peningkatan fungsi paru Anemia yang signifikan menyebabkan peningkatan frekuensi pernafasan yang mengurangi gradien oksigen dari udara di lingkungan ke udara di alveolar, dan meningkatkan jumlah oksigen yang tersedia lebih banyak daripada cardiac output yang normal. Peningkatan produksi sel darah merah Produksi sel darah merah meningkat 2-3 kali lipat pada kondisi yang akut, 4-6 kali lipat pada kondisi yang kronis, dan kadang-kadang sebanyak 10 kali lipat pada kasus tahap akhir. Peningkatan produksi ini dimediasi oleh peningkatan produksi eritropoietin. Produksi eritropoietin dihubungkan dengan konsentrasi hemoglobin. Konsentrasi eritropoietin dapat meningkat dari 10 mU/mL pada konsentrasi hemoglobin yang normal sampai 10.000 mU/mL pada anemia yang berat. Perubahan kadar eritropoietin menyebabkan produksi dan penghancuran sel darah merah seimbang. Gejala umum anemia menjadi jelas apabila kadar hemoglobin telah turun dibawah 7 gr/dL. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada : a. Derajat penurunan hemoglobin b. Kecepatan penurun hemoglobin c. Usia d. Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya

AnemiaAnemia merupakan keadaan di mana masa eritrosit dan atau masa hemoglobin yang beredar tidak memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi jaringan tubuh. Anemia dapat didefinisikan sebagai nilai hemoglobin, hematokrit, atau jumlah eritrosit per milimeter kubik lebih rendah dari normal. Anemia adalah suatu penyakit di mana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari normal. Diperkirakan lebih dari 30% penduduk dunia atau 1500 juta orang menderita anemia dengan sebagian besar tinggal di daerah tropik. Kriteria anemia berdasarkan WHO yang digunakan di Indonesia adalah: Hemoglobin < 10 g/dl Hematokrit < 30% Eritrosit < 2,8 juta/mm3

Tanda-tanda Anemia 1. Lesu, Lemah, Letih, Lelah, Lalai (5L) 2. Sering mengeluh pusing dan mata berkunang-kunang 3. Gejala lebih lanjut adalah kelopak mata, bibir, lidah, kulit, dan telapak tangan menjadi pucat.Penyebab AnemiaAnemia terjadi disebabkan oleh kekurangnya zat besi dalam darah, yang dibutuhkan untuk pembentukan hemoglobin. Kekurangan besi dalam tubuh akan berakibat yaitu:a. Kurangnya konsumsi makanan kaya besi, terutama berasal dari sumber hewani.b. Kekurangan besi karena kebutuhan yang meningkat seperti pada kehamilan, masa tumbuh kembang serta pada penyakit infeksi ( malaria dan penyakit kronis lainnya misalnya TBC).c. Kehilangan besi yang berlebihan pada perdarahan termasuk haid yang berlebihan , sering melahirkan dan infeksi cacing.d. Ketidakseimbangan antara kebutuhan tubuh akan besi dibandingkan dengan penyerapan dari makanan.

ANEMIA DEFISIENSI BESIAnemia defisiensi besi merupakan anemia yang terbanyak baik di Negara maju maupun Negara yang sedang berkembang. Hal ini disebabkan tubuh manusia mempunyai kemampuan terbatas untuk menyerap besi dan seringkali tubuh mengalami kehilangan besi yang berlebihan yang diakibatkan perdarahan. Anemia defisiensi besi adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kosong (depleted iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. Besi merupakan bagian dari molekul Hemoglobin, dengan berkurangnya besi maka sintesa hemoglobin akan berkurang dan mengakibatkan kadar hemoglobin akan turun. Hemoglobin merupakan unsur yang sangat vital bagi tubuh manusia, karena kadar hemoglobin yang rendah mempengaruhi kemampuan menghantarkan O2 yang sangat dibutuhkan oleh seluruh jaringan tubuh.Dampak dari anemia defisiensi besi ini sangat luas, antara lain terjadi perubahan epitel, gangguan pertumbuhan jika terjadi pada anak anak, kurangnya konsentrasi pada anak yang mengakibatkan prestasi disekolahnya menurun, penurunan kemampuan kerja bagi para pekerja sehingga produktivitasnya menurun. Kebutuhan besi yang dibutuhkan setiap harinya untuk menggantikan zat besi yang hilang dari tubuh dan untuk pertumbuhan ini bervariasi,tergantung dari umur, jenis kelamin. Kebutuhan meningkat pada bayi, remaja, wanita hamil, menyusui serta wanita menstruasi. Oleh karena itu kelompok tersebut sangat mungkin menderita defisiensi besi jika terdapat kehilangan besi yang disebabkan hal lain maupun kurangnya intake besi dalam jangka panjang.Anemia defisiensi besi merupakan tahap defisiensi besi yang paling parah, yang ditandai oleh penurunan cadangan besi, konsentrasi besi serum, dan saturasi transferin yang rendah, dan konsentrasi hemoglobin atau nilai hematokrit yang menurun.Anemia defisiensi besi adalah anemia yang terjadi akibat rendahnya kadar zat besi dalam tubuh sehingga terjadi kekosongan persediaan cadangan besi tubuh dan menyebabkan penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang, sehingga pembentukan hemoglobin berkurang. Dilihat dari derajat beratnya kekurangan besi dalam tubuh maka defisiensi besi dapat dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu: deplesi besi (iron depleted state) dimana cadangan besi menurun, dicerminkan dengan penurunan feritin serum, tetapi penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu dan pasien belum menderita anemia; eritropoesis defisiensi besi (iron deficient erythropoiesis) yaitu cadangan besi kosong, penyediaan besi untuk eritropoesis terganggu, tetapi belum timbul anemia secara laboratorik. Ditandai dengan konsentrasi besi serum dan saturasi transferin yang rendah, kadar reseptor transferin serum meningkat; anemia defisiensi besi yaitu cadangan besi kosong disertai dengan anemia defisiensi besi yang ditandai dengan anemia hipokromik mikrositik, besi serum menurun, TIBC (total iron-binding capacity) meningkat, saturasi transferin menurun, feritin serum menurun, pengecatan besi sumsum tulang negatif, dan adanya respon terhadap pengobatan dengan preparat besi.

EpidemiologiSecara global, prevalensi anemia dari tahun 1993 2005 yang dilakukan oleh WHO mengenai 1,62 milyar orang. Prevalensi tertinggi pada anak anak sebelum sekolah (47,4%), dan terendah pada pria (12,7%). Di Indonesia sendiri, pada tahun 2005, dilaporkan angka anemia terjadi pada 9.608 orang. Prevalensi anemia defisiensi besi di Indonesia pada laki laki dewasa (16 50%), pada wanita tak hamil (25 48%) dan pada wanita hamil (46 92%).

Etiologi Anemia defisiensi besi dapat disebabkan baik oleh akibat pendarahan yang terjadi menahun, rendahnya masukan besi ke dalam tubuh, terjadi gangguan absorpsi dalam tubuh, dan akibat kebutuhan besi yang meningkat. Anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh kehilangan besi sebagai akibat pendarahan menahun, dapat berasal dari: saluran cerna (gastrointestinal) yaitu akibat dari tukak peptik, kanker lambung, kanker kolon, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang; pendarahan yang terjadi dari saluran genital wanita seperti menorrhagia atau metrorhagia; dari saluran kemih seperti hematuria (jarang ditemukan); dan dari saluran napas seperti hemoptoe. Anemia defisiensi besi oleh karena faktor nutrisi dapat berupa akibat kurangnya jumlah kandungan besi total dalam makanan atau kualitas besi (bioavaibilitas) yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah daging). Anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh gangguan absorpsi besi dapat diakibatkan oleh gastrektomi dan tropical sprue atau kolitis kronik. Anemia defisiensi besi dapat juga disebabkan oleh karena kebutuhan besi dalam tubuh yang meningkat yaitu prematuritas, anak dalam masa pertumbuhan, kehamilan, dan terapi eritropoietin. Pada kebanyakan kasus anemia defisiensi besi yang terjadi pada orang dewasa, penyebab utama terjadinya anemia defisiensi besi adalah pendarahan kronik, khususnya dari uterus atau saluran cerna. Faktor nutrisi atau defisiensi dari makanan jarang sekali menjadi penyebab tunggal anemia defisiensi besi. Pada bayi dan anak anemia defisiensi besi disebabkan oleh faktor nutrisi, dimana intake makanan yang mengandung besi heme kurang, seperti daging sapi, ayam, ikan, telur sebagai protein hewani yang mudah diserap. Serta kurangnya intake besi non heme seperti sereal, gandum, jagung, kentang, ubi jalar, talas, beras, tahu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan (kurma, apel, alpukat, nangka, salak). Selain itu anak terkadang sering mengkonsumsi makanan yang menghambat absorpsi besi seperti polifenol, kalsium dan protein kedelai.Penyebab utama anemia defisiensi pada anak di negara berkembang adalah infeksi cacing. Setiap cacing dapat mengakibatkan perdarahan kronis dan dapat menyebabkan anemia defisiensi besi. Infestasi cacing tambang dapat mengisap darah sebanyak 0,03 ml/hari/ekor (Necator Americanus) dan 0,15 ml/hari /ekor (Ancilostonum duodenaltinale). Jumlah kehilangan darah pada gangguan ringan diperkirakan kurang lebih 2-3 ml/hari, sedangkan pada gangguan berat dapat sampai 100ml/hari.

Klasifikasi Defisiensi BesiDefisiensi besi dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu:1. Deplesi besi (Iron depleted state).: keadaan dimana cadangan besinya menurun, tetapi penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu.2. Eritropoesis Defisiensi Besi (Iron Deficient Erytropoesis) : keadaan dimana cadangan besinya kosong dan penyediaan besi untuk eritropoesis sudah terganggu, tetapi belum tampak anemia secara laboratorik.3. Anemia defisiensi besi : keadaan dimana cadangan besinya kosong dan sudah tampak gejala anemia defisiensi besi.

Hematopoiesis Hematopoiesis merupakan proses produksi (mengganti sel yang mati) dan perkembangan sel darah dari sel induk / asal / stem sel, dimana terjadi proliferasi, maturasi dan diferensiasi sel yang terjadi secara serentak. Proliferasi sel menyebabkan peningkatan atau pelipat gandaan jumlah sel, dari satu sel hematopoietik pluripotent menghasilkan sejumlah sel darah. Maturasi merupakan proses pematangan sel darah, sedangkan diferensiasi menyebabkan beberapa sel darah yang terbentuk memiliki sifat khusus yang berbeda-beda.Tempat terjadinya hematopoiesis pada manusia :1. Embrio dan Fetus Stadium Mesoblastik, Minggu ke 3-6 s/d 3-4 bulan kehamilan : Sel-sel mesenchym di yolk sac. Minggu ke 6 kehamilan produksi menurun diganti organ-organ lain. Stadium Hepatik, Minggu ke 6 s/d 5-10 bulan kehamilan : Menurun dalam waktu relatif singkat. Terjadi di Limpa, hati, kelenjar limfe Stadium Mieloid, Bulan ke 6 kehamilan sampai dengan lahir, pembentukan di sumsum tulang : Eritrosit, leukosit, megakariosit.2. Bayi sampai dengan dewasaHematopoiesis terjadi pada sumsum tulang, normal tidak diproduksi di hepar dan limpa, keadaan abnormal dibantu organ lain. Hematopoiesis Meduler (N)Lahir sampai dengan 20 tahun : sel sel darah sumsum tulang. Lebih dari 20 tahun : corpus tulang panjang berangsur angsur diganti oleh jaringan lemak karena produksi menurun. Hematopoiesis Ekstrameduler (AbN)Dapat terjadi pada keadaan tertentu, misal: Eritroblastosis foetalis, An.Peniciosa, Thallasemia, An.Sickle sel, Spherositosis herediter, Leukemia. Organ organ Ekstrameduler : Limpa, hati, kelenjar adrenal, tulang rawan, ginjal, dll.Untuk kelangsungan hematopoesis diperlukan : 1. Sel induk hemopoetik (hematopoietic stem cell) Sel induk hemopoetik ialah sel-sel yang akan berkembang menjadi sel-sel darah, termasuk eritrosit, lekosit, trombosit, dan juga beberapa sel dalam sumsum tulang seperti fibroblast. Sel induk yang paling primitif sebagai pluripotent (totipotent) stem cell. Sel induk pluripotent mempunyai sifat : a. Self renewal : kemampuan memperbarui diri sendiri sehingga tidak akan pernah habis meskipun terus membelah; b. Proliferative : kemampuan membelah atau memperbanyak diri; c. Diferensiatif : kemampuan untuk mematangkan diri menjadi sel-sel dengan fungsi-fungsi tertentu.

Menurut sifat kemampuan diferensiasinya maka sel induk hemopoetik dapat dibagi menjadi : a. Pluripotent (totipotent)stem cell : sel induk yang mempunyai yang mempunyai kemampuan untuk menurunkan seluruh jenis sel-sel darah. b. Committeed stem cell : sel induk yang mempunyai komitmet untuk berdiferensiasi melalui salah satu garis turunan sel (cell line). Sel induk yang termasuk golongan ini ialah sel induk myeloid dan sel induk limfoid. c. Oligopotent stem cell : sel induk yang dapat berdiferensiasi menjadi hanya beberapa jenis sel. Misalnya CFU-GM (colony forming unit-granulocytelmonocyte) yang dapat berkembang hanya menjadi sel-sel granulosit dan sel-sel monosit. d. Unipotent stem cell : sel induk yang hanya mampu berkembang menjadi satu jenis sel saja. Contoh CFU-E (colony forming unit-erythrocyte) hanya dapat menjadi eritrosit, CFU-G (colony forming unit-granulocyte) hanya mampu berkembang menjadi granulosit.

2. Lingkungan mikro (microenvirontment) sumsum tulang Lingkungan mikro sumsum tulang adalah substansi yang memungkinkan sel induk tumbuh secara kondusif. Komponen lingkungan mikro ini meliputi:

a) Mikrosirkulasi dalam sumsum tulang b) Sel-sel stroma : Sel endotel Sel lemak Fibroblast Makrofag Sel reticulum c) Matriks ekstraseluler : fibronektin, haemonektin, laminin, kolagen, dan proteoglikan.

3. Bahan-bahan pembentuk darah Bahan-bahan yang diperlukan untuk pembentukan darah adalah : Asam folat dan vitamin B12 : merupakan bahan pokok pembentuk inti sel. Besi : sangat diperlukan dalam pembentukan hemoglobin. Cobalt, magnesium, Cu, Zn. Asam amino. Vitamin lain : vitamin C. vitamin B kompleks dan lain-lain 4. Mekanisme regulasi Mekanisme regulasi sangat penting untuk mengatur arah dan kuantitas pertumbuhan sel dan pelepasan sel darah yang matang dari sumsum tulang ke darah tepi sehingga sumsum tulang dapat merespon kebutuhan tubuh dengan tepat. Produksi komponen darah yang berlebihan ataupun kekurangan (defisiensi) sama-sama menimbulkan penyakit. Zat-zat yang berpengaruh dalam mekanisme regulasi ini adalah : a. Faktor pertumbuhan hemopoesis (hematopoietic growth factor) : Granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) Granulocyte colony stimulating factor (G-CSF) Macrophage-colony stimulating factor (M-CSF) Thrombopoietin Burst promoting activity (BPA) Stem cell factor (kit ligand) b. Sitokin (Cytokine) seperti misalnya IL-3 (interleukin-3), IL-4, IL-5, IL-7, IL-8, IL-9, IL-9, IL-10. Growth factor dan sitokin sebagian besar dibentuk oleh sel-sel darah sendiri, seperti limfosit, monosit, atau makrofag, serta sebagian oleh sel-sel penunjang, seperti fibroblast dan endotil. Sitokin ada yang merangsang pertumbuhan sel induk (stimulatory cytokine), sebagian lagi menekan pertumbuhan sel induk (inhibitory cytokine). Keseimbangan kedua jenis sitokin ini sangat menentukan proses hemopoesis normal. c. Hormon hemopoetik spesifik yaitu Erythrpoietin : merupakan hormon yang dibentuk diginjal khusus merangsang precursor eritroid. d. Hormon nonspesifik Beberapa jenis hormone diperlukan dalam jumlah kecil untuk hemopoesis, seperti : Androgen : berfungsi menstimulasi eritropoesis. Estrogen : menimbulkan inhibisi eritropoesis. Glukokortikoid. Growth hormon Hormone tiroid

Macam macam hematopoiesis1. Seri Eritrosit (Eritropoesis)Perkembangan eritrosit ditandai dengan penyusutan ukuran (makin tua makin kecil), perubahan sitoplasma (dari basofilik makin tua acidofilik), perubahan inti yaitu nukleoli makin hilang, ukuran sel makin kecil, kromatin makin padat dan tebal, warna inti gelap.Tahapan perkembangan eritrosit yaitu sebagai berikut :a. ProeritroblasProeritroblas merupakan sel yang paling awal dikenal dari seri eritrosit. Proeritroblas adalah sel yang terbesar, dengan diameter sekitar 15-20m. Inti mempunyai pola kromatin yang seragam, yang lebih nyata dari pada pola kromatin hemositoblas, serta satu atau dua anak inti yang mencolok dan sitoplasma bersifat basofil sedang. Setelah mengalami sejumlah pembelahan mitosis, proeritroblas menjadi basofilik eritroblas.b. Basofilik EritroblasBasofilik Eritroblas agak lebih kecil daripada proeritroblas, dan diameternya rata-rata 10m. Intinya mempunyai heterokromatin padat dalam jala-jala kasar, dan anak inti biasanya tidak jelas. Sitoplasmanya yang jarang nampak basofil sekali.c. Polikromatik Eritroblas (Rubrisit)Polikromatik Eritoblas adalah Basofilik eritroblas yang membelah berkali-kali secara mitotris, dan menghasilkan sel-sel yang memerlukan hemoglobin yang cukup untuk dapat diperlihatkan di dalam sediaan yang diwarnai. Setelah pewarnaan Leishman atau Giemsa, sitoplasma warnanya berbeda-beda, dari biru ungu sampai lila atau abu-abu karena adanya hemoglobin terwarna merah muda yang berbeda-beda di dalam sitoplasma yang basofil dari eritroblas. Inti Polikromatik Eritroblas mempunyai jala kromatin lebih padat dari basofilik eritroblas, dan selnya lebih kecil.d. Ortokromatik Eritroblas (Normoblas)Polikromatik Eritroblas membelah beberapa kali secara mitosis. Normoblas lebih kecil daripada Polikromatik Eritroblas dan mengandung inti yang lebih kecil yang terwarnai basofil padat. Intinya secara bertahap menjadi piknotik. Tidak ada lagi aktivitas mitosis. Akhirnya inti dikeluarkan dari sel bersama-sama dengan pinggiran tipis sitoplasma. Inti yang sudah dikeluarkan dimakan oleh makrofagmakrofag yang ada di dalam stroma sumsum tulange. RetikulositRetikulosit adalah sel-sel eritrosit muda yang kehilangan inti selnya, dan mengandung sisa-sisa asam ribonukleat di dalam sitoplasmanya, serta masih dapat mensintesis hemoglobin. Retikulosit dianggap kehilangan sumsum retikularnya sebelum meninggalkan sumsum tulang, karena jumlah retikulosit dalam darah perifer normal kurang dari satu persen dari jumlah eritrosit. Dalam keadaan normal keempat tahap pertama sebelum menjadi retikulosit terdapat pada sumsung tulang. Retikulosit terdapat baik pada sumsum tulang maupun darah tepi. Di dalam sumsum tulang memerlukan waktu kurang lebih 2 3 hari untuk menjadi matang, sesudah itu lepas ke dalam darah.f. EritrositEritrosit merupakan produk akhir dari perkembangan eritropoesis. Sel ini berbentuk lempengan bikonkaf dan dibentuk di sumsum tulang. Pada manusia, sel ini berada di dalam sirkulasi selama kurang lebih 120 hari. Jumlah normal pada tubuh laki laki 5,4 juta/l dan pada perempuan 4,8 juta/l. setiap eritrosit memiliki diameter sekitar 7,5 m dan tebal 2 m. Perkembangan normal eritrosit tergantung pada banyak macam macam faktor, termasuk adanya substansi asal (terutama globin, hem dan besi). Faktor-faktor lain, seperti asam askorbat, vitamin B12, dan faktor intrinsic (normal ada dalam getah lamung), yang berfungsi sebagai koenzim pada proses sintesis, juga penting untuk pendewasaan normal eritrosit.Pada sistem Eritropoesis dikenal juga istilah Eritropoiesis inefektif, yang dimaksud Eritropoiesis inefektif adalah suatu proses penghancuran sel induk eritroid yang prematur disumsum tulang. Choi, dkk, dalam studinya bahwa pengukuran radio antara retikulosit di sumsum tulang terhadap retikulosit di darah tepi merupakan ukuran yang pentng untukbisa memperkirakan beratnya gangguan produksi SDM. 2. Seri Leukosita. Leukosit Granulosit / myelositMyelosit terdiri dari 3 jenis yaitu neutrofil, eosinofil dan basofil yang mengandung granula spesifik yang khas. Tahapan perkembangan myelosit yaitu :1) MieloblasMieloblas adalah sel yang paling muda yang dapat dikenali dari seri granulosit. Diameter berkisar antara 10-15m. Intinya yang bulat dan besar memperlihatkan kromatin halus serta satu atau dua anak inti.2) PromielositSel ini agak lebih besar dari mielobas. Intinya bulat atau lonjong, serta anak inti yang tak jelas.3) MielositPromielosit berpoliferasi dan berdiferensiasi menjadi mielosit. Pada proses diferensiasi timbul grnula spesifik, dengan ukuran, bentuk, dan sifat terhadap pewarnaan yang memungkinkan seseorang mengenalnya sebagai neutrofil, eosinofil, atau basofil. Diameter berkisar 10m, inti mengadakan cekungan dan mulai berbentuk seperti tapal kuda.4) MetamielositSetelah mielosit membelah berulang-ulang, sel menjadi lebih kecil kemudian berhenti membelah. Sel-sel akhir pembelahan adalah metamielosit. Metamielosit mengandung granula khas, intinya berbentuk cekungan. Pada akhir tahap ini, metamielosit dikenal sebagai sel batang. Karena sel-sel bertambah tua, inti berubah, membentuk lobus khusus dan jumlah lobi bervariasi dari 3 sampai 5. Sel dewasa (granulosit bersegmen) masuk sinusoid-sinusoid dan mencapai peredaran darah. Pada masing-masing tahap mielosit yang tersebut di atas jumlah neutrofil jauh lebih banyak daripada eosinofil dan basofil.b. Leukosit non granuler1) LimfositSel-sel precursor limfosit adalah limfoblas, yang merupakan sel berukuran relatif besar, berbentuk bulat. Intinya besar dan mengandung kromatin yang relatif dengan anak inti mencolok. Sitoplasmanya homogen dan basofil. Ketika limfoblas mengalami diferensiasi, kromatin intinya menjadi lebih tebal dan padat dan granula azurofil terlihat dalam sitoplasma. Ukuran selnya berkurang dan diberi nama prolimfosit. Sel-sel tersebut langsung menjadi limfosit yang beredar.2) MonositMonosit awalnya adalah monoblas berkembang menjadi promonosit. Sel ini berkembang menjadi monosit. Monosit meninggalkan darah lalu masuk ke jaringan, disitu jangka hidupnya sebagai makrofag mungkin 70 hari.

3. Seri Trombosit (Trombopoesis)Pembentukan Megakariosit dan Keping-keping darahMegakariosit adalah sel raksasa (diameter 30-100m atau lebih). Inti berlobi secara kompleks dan dihubungkan dengan benang-benang halus dari bahan kromatin. Sitoplasma mengandung banyak granula azurofil dan memperlihatkan sifat basofil setempat. Megakariosit membentuk tonjolantonjolan sitoplasma yang akan dilepas sebagai keping-keping darah. Setelah sitoplasma perifer lepas sebagai keping-keping darah, megakariosit mengeriput dan intinya hancur.

Sintesis Heme

Porfirin merupakan senyawa siklik yang dibentuk melalui pengikatan 4 cincin pirol lewat jembatan metenil ( H =). Porfirin bersifat membentuk berbagai kompleks dengan iol logam yang terikat pada atom nitrogen cincin pirol. Contohnya, senyawa porfirin besi seperti heme pada hemoglobin.

Pemecahan eritrosit

Besi Fungsi utama zat besi adalah dalam produksi komponen pembawa oksigen yaitu hemoglobin dan mioglobin. Hemoglobin terdapat di dalam sel darah merah dan merupakan protein yang berfungsi untuk untuk mengangkut oksigen ke berbagai jaringan-jaringan tubuh sedangkan mioglobin terdapat di dalam sel otot dan berfungsi untuk menyimpan dan mendistribusikan oksigen ke dalam sel-sel otot. Selain berfungsi untuk memproduksi hemoglobin dan mioglobin, zat besi juga dapat tersimpan di dalam protein feritin, hemosidirin di dalam hati, serta di dalam sumsum tulang belakang.

Absorbsi Besi Untuk Pembentukan Hemoglobin 1. Fase Luminal Besi dalam makanan terdapat dalam dua bentuk, yaitu besi heme dan besi non-heme. Besi heme terdapat dalam daging dan ikan, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya tinggi. Besi non-heme berasal dari sumber nabati, tingkat absorbsi dan bioavailabilitasnya rendah. Besi dalam makanan diolah di lambung (dilepaskan dari ikatannya dengan senyawa lain) karena pengaruh asam lambung. Kemudian terjadi reduksi dari besi bentuk feri (Fe3+) ke fero (Fe2+) yang dapat diserap di duodenum.2. Fase Mukosal Penyerapan besi terjadi terutama melalui mukosa duodenum dan jejunum proksimal. Penyerapan terjadi secara aktif melalui proses yang sangat kompleks dan terkendali. Besi heme dipertahankan dalam keadaan terlarut oleh pengaruh asam lambung. Pada brush border dari sel absorptif (teletak pada puncak vili usus, disebut sebagai apical cell), besi feri direduksi menjadi besi fero oleh enzim feri reduktase (Gambar 2.2), mungkin dimediasi oleh protein duodenal cytochrome b-like (DCYTB). Transpor melalui membran difasilitasi oleh divalent metal transporter (DMT 1). Setelah besi masuk dalam sitoplasma, sebagian disimpan dalam bentuk feritin, sebagian diloloskan melalui basolateral transporter ke dalam kapiler usus. Pada proses ini terjadi konversi dari feri ke fero oleh enzim ferooksidase (antara lain oleh hephaestin). Kemudian besi bentuk feri diikat oleh apotransferin dalam kapiler usus. Sementara besi non-heme di lumen usus akan berikatan dengan apotransferin membentuk kompleks transferin besi yang kemudian akan masuk ke dalam sel mukosa dibantu oleh DMT 1. Besi non-heme akan dilepaskan dan apotransferin akan kembali ke dalam lumen usus.

Besar kecilnya besi yang ditahan dalam enterosit atau diloloskan ke basolateral diatur oleh set point yang sudah diatur saat enterosit berada pada dasar kripta. Kemudian pada saat pematangan, enterosit bermigrasi ke arah puncak vili dan siap menjadi sel absorptif. Adapun mekanisme regulasi set-point dari absorbsi besi ada tiga yaitu, regulator dietetik, regulator simpanan, dan regulator eritropoetik.

3. Fase Korporeal Besi setelah diserap melewati bagian basal epitel usus, memasuki kapiler usus. Kemudian dalam darah diikat oleh apotransferin menjadi transferin. Satu molekul transferin dapat mengikat maksimal dua molekul besi. Besi yang terikat pada transferin (Fe2-Tf) akan berikatan dengan reseptor transferin (transferin receptor = Tfr) yang terdapat pada permukaan sel, terutama sel normoblas. Kompleks Fe2-Tf-Tfr akan terlokalisir pada suatu cekungan yang dilapisi oleh klatrin (clathrin-coated pit). Cekungan ini mengalami invaginasi sehingga membentuk endosom. Suatu pompa proton menurunkan pH dalam endosom sehingga terjadi pelepasan besi dengan transferin. Besi dalam endosom akan dikeluarkan ke sitoplasma dengan bantuan DMT 1, sedangkan ikatan apotransferin dan reseptor transferin mengalami siklus kembali ke permukaan sel dan dapat dipergunakan kembali.

Besi yang berada dalam sitoplasma sebagian disimpan dalam bentuk feritin dan sebagian masuk ke mitokondria dan bersama-sama dengan protoporfirin untuk pembentukan heme. Protoporfirin adalah suatu tetrapirol dimana keempat cincin pirol ini diikat oleh 4 gugusan metan hingga terbentuk suatu rantai protoporfirin. Empat dari enam posisi ordinal fero menjadi chelating kepada protoporfirin oleh enzim heme sintetase ferrocelatase. Sehingga terbentuk heme, yaitu suatu kompleks persenyawaan protoporfirin yang mengandung satu atom besi fero ditengahnya.

Hubungan Vitamin C dan Zat BesiDalam absorbsi dan metabolisme zat besi, vitamin C mereduksi ferri menjadi ferro (reduktor) dalam usus halus sehingga mudah di absorbsi. Vitamin C menghambat pembentukan hemosiderin (kompleks protein besi yang tidak larut dalam air) yang sukar di mobilisasi untuk membebaskan besi jika diperlukan. Absprbsi besi dalam bentuk non heme meningkatkan empat kali lipat jika ada vitamin C berperan dalam memindahkan besi dari transferin didalam plasma ke feritin hati. Vitamin C diperlukan dalam penyerapan zat besi, dengan demikian vitamin C berperan dalam pembentukan hemoglobin, sehingga mempercepat penyembuhan Anemia.

PatogenesisPerdarahan menahun yang menyebabkan kehilangan besi atau kebutuhan besi yang meningkat akan dikompensasi tubuh sehingga cadangan besi makin menurun.

Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut keseimbangan zat besi yang negatif, yaitu tahap deplesi besi (iron depleted state). Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi dalam sumsum tulang negatif. Apabila kekurangan besi berlanjut terus maka cadangan besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis belum terjadi. Keadaan ini disebut sebagai iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini kelainan pertama yang dijumpai adalah peningkatan kadar free protophorphyrin atau zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferin menurun dan kapasitas ikat besi total (total iron binding capacity = TIBC) meningkat, serta peningkatan reseptor transferin dalam serum. Apabila penurunan jumlah besi terus terjadi maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin mulai menurun. Akibatnya timbul anemia hipokromik mikrositik, disebut sebagai anemia defisiensi besi (iron deficiency anemia).Distribusi besi normal pada pria dan wanita (mg/kg)

Perbandingan tahap keseimbangan besi yang negatif

Manifestasi Klinis 1. Gejala Umum Anemia Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin kurang dari 7-8 g/dl. Gejala ini berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga mendenging. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat, terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah kuku. Pada umumnya sudah disepakati bahwa bila kadar hemoglobin < 7 gr/dl maka gejala-gejala dan tanda-tanda anemia akan jelas. 2. Gejala Khas Defisiensi Besi Gejala yang khas dijumpai pada defisiensi besi, tetapi tidak dijumpai pada anemia jenis lain adalah: a. Koilonychia, yaitu kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertikal dan menjadi cekung sehingga mirip sendok. Diduga karena pertumbuhan lambat dari lapisan kuku b. Atrofi papil lidah, yaitu permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang. c. Stomatitis angularis (cheilosis), yaitu adanya keradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat keputihan. d. Disfagia, yaitu nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring. e. Glositis, yaitu peradangan lidah dimana lidah membengkak dan berubah warna.f. Pica/ keinginan makan yang tidak biasa seperti makan lem, tanah liat, dll.g. Atrofi mukosa gaster.h. Sindroma Plummer Vinson/ Paterson kelly ini merupakan kumpulan gejala dari anemia hipokromik mikrositik, atrofi papil lidah dan disfagia.

Pemeriksaan Laboratorium 1. Hemoglobin (Hb) Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah anemia berkembang. Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan alat sederhana seperti Hb sachli, yang dilakukan minimal 2 kali selama kehamilan, yaitu trimester I dan III. Anemia mikrositik hipokromik jika Hb < 12 g/dl (laki-laki), Hb < 10 g/dl (perempuan tidak hamil). Normal wanita 12 16 g/dl, Normal pria 13 18 g/dl, Normal anak 11 16 g/dl, Normal batita 9-15 gram/dL, Normal bayi 10-17 gram/dL, Normal neonatus 14-27 gram/dL. Pada wanita hamil dikatakan anemia bila Trimester 1 Hb < 11, trimester 2 < 10,5 gr/dL, trimester 3 < 10 g/dL.2. Penentuan Indeks Eritrosit Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan flowcytometri atau menggunakan rumus: a. Mean Corpusculer Volume (MCV)MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun apabila kekurangan zat besi semakin parah, dan pada saat anemia mulai berkembang. MCV merupakan indikator kekurangan zat besi yang spesiflk setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis disingkirkan. Dihitung dengan membagi hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai normal 82 92 fl, mikrositik < 82 fl dan makrositik > 92 fl. b. Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH) MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah merah. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan angka sel darah merah. Nilai normal 27-31 pg, mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik > 31 pg. c. Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC) MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30-35% dan hipokrom < 30%. HematokritNilai normal dewasa pria 40-54%, wanita 37-47%, wanita hamil 30-46%Nilai normal anak 31-45%, batita 35-44%, bayi 29-54%, neonatus 40-68%- See more at: http://www.rhesusnegatif.com/article_detail.php?id=128#sthash.hryFwsUp.dpuf

3. Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual. Pemeriksaan menggunakan pembesaran 100 kali dengan memperhatikan ukuran, bentuk inti, sitoplasma sel darah merah. Dengan menggunakan flowcytometry hapusan darah dapat dilihat pada kolom morfology flag. Hapusan darah menunjukkan anemia hipokromik mikrositik, anisositosis (banyak variasi ukuran eritrosit), poikilositosis (banyak kelainan bentuk eritrosit), sel pensil, kadang- kadang adanya sel target.

4. Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW) Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merah yang masih relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk membuat klasifikasi anemia. RDW merupakan variasi dalam ukuran sel merah untuk mendeteksi tingkat anisositosis yang tidak kentara. Kenaikan nilai RDW merupakan manifestasi hematologi paling awal dari kekurangan zat besi, serta lebih peka dari besi serum, jenuh transferin, ataupun serum feritin. MCV rendah bersama dengan naiknya RDW adalah pertanda meyakinkan dari kekurangan zat besi, dan apabila disertai dengan eritrosit protoporphirin dianggap menjadi diagnostik. Nilai normal 15 %. 5. Eritrosit Protoporfirin (EP) EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya membutuhkan beberapa tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak terlalu dibutuhkan. EP naik pada tahap lanjut kekurangan besi eritropoesis, naik secara perlahan setelah serangan kekurangan besi terjadi. Keuntungan EP adalah stabilitasnya dalam individu, sedangkan besi serum dan jenuh transferin rentan terhadap variasi individu yang luas. EP secara luas dipakai dalam survei populasi walaupun dalam praktik klinis masih jarang.6. Besi Serum (Serum Iron = SI) Pemeriksaan besi atau serum iron (SI) merupakan pengukuran konsentrasi besi yang terikat pada transferin dan bersikulasi di dalam darah. Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun setelah cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi serum karena variasi diurnal yang luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi serum yang rendah ditemukan setelah kehilangan darah maupun donor, pada kehamilan, infeksi kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Besi serum dipakai kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran mutlak status besi yang spesifik.7. Serum Transferin (Tf) Pemeriksaan transferrin dilakukan untuk mengetahui kadar beta globulin serum yang berfungsi untuk mengikat dan mengangkut besi. Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama -sama dengan besi serum. Serum transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat menurun secara keliru pada peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan keganasan. 8. Transferrin Saturation (Jenuh Transferin) Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi, merupakan indikator yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum tulang. Penurunan jenuh transferin dibawah 10% merupakan indeks kekurangan suplai besi yang meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh transferin dapat menurun pada penyakit peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai pada studi populasi yang disertai dengan indikator status besi lainnya. Tingkat jenuh transferin yang menurun dan serum feritin sering dipakai untuk mengartikan kekurangan zat besi. Jenuh transferin dapat diukur dengan perhitungan rasio besi serum dengan kemampuan mengikat besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang bisa diikat secara khusus oleh plasma. Didapatkan besi serum turun < 50 mg/dl dan daya ikat besi total (total iron-binding capacity, TIBC) meningkat > 350 mg/dl sehingga jenuh transferin kurang dari 10% tersaturasi. Pemeriksaan TIBC dilakukan untuk mengetahui jumlah transferin yang berada dalam sirkulasi darah. TIBC setara dengan total transferin dalam tubuh. Pada anemia defisiensi besi dengan pemeriksaan status besi (Fe) didapatkan kadar Fe menurun dan TIBC meningkat. Perbandingan antara Fe serum dan TIBC yang dapat diperoleh dengan cara [Fe serum/TIBC] x 100% merupakan nilai yang menggambarkan suplai Fe ke eritroid sumsum tulang, dan sebagai penilaian terbaik untuk mengetahui pertukaran Fe antara plasma dan cadangan Fe dalam tubuh. Bila saturasi transferin < 16% menunjukkan suplai besi yang tidak adekuat untuk mendukung eritropoiesis, < 7% diagnosis anemia defisiensi besi dapat ditegakkan, sedangkan 7-16% dapat digunakan untuk mendiagnosis anemia defisiensi besi bila didukung oleh nilai MCV yang rendah atau pemeriksaan lainnya.9. Serum Feritin Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam praktek klinik dan pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik untuk kekurangan zat besi, yang berarti kehabisan semua cadangan besi, sehingga dapat dianggap sebagai diagnostik untuk kekurangan zat besi. Rendahnya serum feritin menunjukan serangan awal kekurangan zat besi, tetapi tidak menunjukkan beratnya kekurangan zat besi karena variabilitasnya sangat tinggi. Penafsiran yang benar dari serum feritin terletak pada pemakaian range referensi yang tepat dan spesifik untuk usia dan jenis kelamin. Konsentrasi serum feritin cenderung lebih rendah pada wanita dari pria, yang menunjukan cadangan besi lebih rendah pada wanita. Serum feritin pria meningkat pada dekade kedua, dan tetap stabil atau naik secara lambat sampai usia 65 tahun. Pada wanita tetap saja rendah sampai usia 45 tahun, dan mulai meningkat sampai sama seperti pria yang berusia 60-70 tahun, keadaan ini mencerminkan penghentian mensturasi dan melahirkan anak. Pada wanita hamil serum feritin jatuh secara dramatis dibawah 20 ug/l selama trimester II dan III bahkan pada wanita yang mendapatkan suplemen zat besi. Serum feritin adalah reaktan fase akut, dapat juga meningkat pada inflamasi kronis, infeksi, keganasan, penyakit hati, alkohol. Serum feritin diukur dengan mudah memakai Essay immunoradiometris (IRMA), Radioimmunoassay (RIA), atau Essay immunoabsorben (Elisa).

Pemeriksaan Sumsum Tulang Masih dianggap sebagai standar emas untuk penilaian cadangan besi, walaupun mempunyai beberapa keterbatasan. Pemeriksaan histologis sumsum tulang dilakukan untuk menilai jumlah hemosiderin dalam sel-sel retikulum. Tanda karakteristik dari kekurangan zat besi adalah tidak ada besi retikuler. Keterbatasan metode ini seperti sifat subjektifnya sehingga tergantung keahlian pemeriksa, jumlah struma sumsum yang memadai dan teknik yang dipergunakan. Pengujian sumsum tulang adalah suatu teknik invasif, sehingga sedikit dipakai untuk mengevaluasi cadangan besi dalam populasi umum.

Diagnosis LaboratorikUntuk menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi, dapat dilakukan tiga tahap. Tahap pertama menentukan ada tidaknya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin atau hematokrit. Tahap kedua memastikan ada tidaknya defisiensi besi. Tahap tiga menentukan penyebab terjadinya defisiensi besi. Pada tahap pertama dan kedua, anemia deifisiensi besi dapat ditegakkan diagnosisnya dengan menggunakan kriteria: Anemia hipokromik mikrositik pada hapusan darah tepi, atau MCV < 80 fl dan MCHC 31% dengan salah satu a, b, c, atau d. a. Dua dari tiga parameter: besi serum < 50 mg/dl; TIBC > 350 mg/dl; dan saturasi transferin < 15%, atau b. Feritin serum < 20 mg/l, atau c. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perls stain) menunjukkan cadangan besi (butir-butir hemosiderin) negatif, atau d. Dengan pemberian sulfat ferosus 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi lain yang setara) selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dl. Kemudian pada tahap ketiga ditentukan penyebab dasar defisiensi besi. Tahap ini adalah tahap yang paling rumit tapi sangat penting. Pada pasien dewasa difokuskan mencari sumber pendarahan dengan dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti.

Diagnosis BandingAnemia Defisiensi Besi Anemia Akibat Penyakit Kronik Thalassemia Anemia Sideroblastik

Derajat anemia Ringan sampai berat Ringan Ringan Ringan

MCV Menurun Menurun / Normal Menurun Menurun / Normal

MCH Menurun Menurun / Normal Menurun Menurun / Normal

Besi serum Menurun < 30 Menurun < 50 Normal / Normal /

TIBC Meningkat > 360 Menurun < 300 Normal / Normal /

Saturasi transferin Menurun < 15% Menurun / Normal 10-20% Meningkat > 20% Meningkat > 20%

Besi sumsum tulang Negatif Positif Positif kuat Positif dengan ring sideroblast

Protoporfirin eritrosit Meningkat (N < 30 mg/dl)Meningkat Normal Normal

Feritin serum Menurun < 20 g/l Normal 20-200 g/dl Meningkat > 50 g/l Meningkat > 50 g/l

Elektrofoesis Hb Normal Normal Hb. A2 meningkat Normal

Terapi Pemberian terapi haruslah tepat setelah diagnosis ditegakkan supaya terapi pada anemia ini berhasil. Dalam hal ini kausa yang mendasari terjadinya anemia defisiensi besi ini harus juga diterapi.Pemberian terapi ini dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:a. Terapi kausal: terapi ini diberikan berdasarkan penyebab yang mendasari terjadinya anemia defisiensi besi. Terapi kausal ini harus dilakukan segera kalau tidak, anemia ini dengan mudah akan kambuh lagi atau bahkan pemberian preparat besi tidak akan memberikan hasil yang diinginkan.b. Terapi dengan preparat besi: pemberiannya dapat secara:1. Oral : preparat besi yang diberikan peroral merupakan terapi yang banyak disukai oleh kebanyakan pasien, hal ini karena lebih efektif, lebih aman, dan dari segi ekonomi preparat ini lebih murah. Preparat yang ter sedia berupa: Ferro Sulfat : merupakan preparat yang terbaik, dengan dosis 3 x 200 mg, diberikan saat perut kosong [sebelum makan]. Jika hal ini memberikan efek samping misalkan terjadi mual, nyeri perut, konstipasi maupun diare maka sebaiknya diberikan setelah makan/ bersamaan dengan makan atau menggantikannya dengan preparat besi lain. Ferro Glukonat: merupakan preparat dengan kandungan besi lebih rendah daripada ferro sulfat. Harga lebih mahal tetapi efektifitasnya hampir sama. Ferro Fumarat, Ferro Laktat. Waktu pemberian besi peroral ini harus cukup lama yaitu untuk memulihkan cadangan besi tubuh kalau tidak, maka anemia sering kambuh lagi. Berhasilnya terapi besi peroral ini menyebabkan retikulositosis yang cepat dalam waktu kira-kira satu minggu dan perbaikan kadar hemoglobin yang berarti dalam waktu 2-4 minggu, dimana akan terjadi perbaikan anemia yang sempurna dalam waktu 1-3 bulan. Hal ini bukan berarti terapi dihentikan tetapi terapi harus dilanjutkan sampai 6 bulan untuk mengisi cadangan besi tubuh. Jika pemberian terapi besi peroral ini responnya kurang baik, perlu dipikirkan kemungkinan kemungkinannya sebelum diganti dengan preparat besi parenteral.Beberapa hal yang menyebabkan kegagalan respon terhadap pemberian preparat besi peroral antara lain perdarahan yang masih berkelanjutan (kausanya belum teratasi), ketidak patuhan pasien dalam minum obat (tidak teratur) dosis yang kurang, malabsorbsi, salah diagnosis atau anemia multifaktorial.2. ParenteralPemberian preparat besi secara parenteral yaitu pada pasien dengan malabsorbsi berat, penderita Crohn aktif, penderita yang tidak memberi respon yang baik dengan terapi besiperoral, penderita yang tidak patuh dalam minum preparat besi atau memang dianggap untukmemulihkan besi tubuh secara cepat yaitu pada kehamilan tua, pasien hemodialisis.Ada beberapa contoh preparat besi parenteral: Besi Sorbitol Sitrat (Jectofer) Pemberian dilakukan secara intramuscular dalam dan dilakukan berulang. Ferri hidroksida-sucrosa (Venofer) Pemberian secara intravena lambat atau infus.Harga preparat besi parenteral ini jelas lebih mahal dibandingkan dengan preparat besi yang peroral. Selain itu efek samping preparat besi parental lebih berbahaya. Beberapa efek samping yang dapat ditimbulkan dari pemberian besi parenteral meliputi nyeri setempat dan warna coklat pada tempat suntikan, flebitis, sakit kepala, demam, artralgia, nausea, vomitus, nyeri punggung, flushing, urtikaria, bronkospasme, dan jarang terjadi anafilaksis dan kematian. Mengingat banyaknya efek samping maka pemberian parenteral perlu dipertimbangkan benar benar. Pemberian secara infus harus diberikan secara hati-hati. Terlebih dulu dilakukan tes hipersensitivitas, dan pasien hendaknya diobservasi selama pemberian secara infus agar kemungkinan terjadinya anafilaksis dapat lebih diantisipasi.Dosis besi parenteral harus diperhitungkan dengan tepat supaya tidak kurang atau berlebihan, karena jika kelebihan dosis akan membahayakan si pasien. Menurut Bakta IM,perhitungannya memakai rumus sebagai berikut: Kebutuhan besi [ng]= (15-Hb sekarang) x BB x 33. Terapi lainnya berupa: a) Diet: perbaikan diet sehari-hari yaitu diberikan makanan yang bergizi dengan tinggi protein dalam hal ini diutamakan protein hewani.b) Vitamin C: pemberian vitamin C ini sangat diperlukan mengingat vitamin C ini akan membantu penyerapan besi. Diberikan dengan dosis 3 x 100mg.c) Transfusi darah: pada anemia defisiensi besi ini jarang memerlukan transfusi kecuali dengan indikasi tertentu.

Pencegahan Tindakan pencegahan yang terpadu sangat diperlukan mengingat tingginya prevalensidefisiensi besi di masyarakat. Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhankesehatan masyarakat tentang kebersihan lingkungan tempat tinggal dan higiene sanitasi masyarakat yang tingkat pendidikan dan faktor sosial ekonominya yang rendah yaitu denganmemberikan penyuluhan tentang pemakaian jamban terutama di daerah pedesaan, atau daerahyang terpencil.Menganjurkan supaya memakai alas kaki terutama ketika keluar rumah, membiasakan cuci tangan pakai sabun sebelum makan. Juga dilakukan penyuluhan gizi yaitu penyuluhan yang ditujukan kepada masyarakat pedesaan mengenai gizi keluarga, yaitu dengan mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung zat besi terutama yang berasal dari protein hewani,yaitu daging dan penjelasan tentang bahan bahan makanan apa saja yang dapat membantu penyerapan zat besi dan yang dapat menghambat penyerapan besi. Untuk anak sekolah dilakukan melalui UKS (Usaha Kesehatan Sekolah) yang melibatkan murid, guru dan orang tua dengan cara mensosialisasikan tentang cara hidup sehat yaitu cuci tangan sebelum makan , makan makanan yang mengandung zat besi. Pemberian suplementasi besi pada ibu hamil dan anak balita. Pada ibu hamil diberikan suplementasi besi oral sejak pertama kali pemeriksaan kehamilannya sampai post partum, sedangkan untuk bayi diberikan ASI dan pemberian sayur, buah/ jus buah saat usia 6 bulan. Selain itu dilakukan upaya pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan kronik, yang paling sering terjadi didaerah tropik.37