FE-Jurnal by Suharto

18

Click here to load reader

Transcript of FE-Jurnal by Suharto

Page 1: FE-Jurnal by Suharto

1

KESEIMBANGAN INTERNAL dan EKSTERNAL PEREKONOMIAN

INDONESIA

Oleh : Suharto

Dosen Tetap FE Univ. Krisnadwipayana

Kesimbangan internal merupakan kondisi di mana terjadinya

perpotongan antara kurva IS dan kurva LM pada tingkat suku bunga

domestik keseimbangan (rde) dan pendapatan nasional keseimbangan pada

tingkat full employment (Ye). Selanjutnya, keseimbangan eksternal adalah

kondisi di mana neraca pembayaran luar negeri (balance of payment /BOP)

berada pada posisi seimbang (Balance BOP atau BOP=0), tingkat suku bunga

luar negeri (rf) sama dengan tingkat suku bunga dalam negeri (rde). Dengan

grafik dapat digambarkan sebagai berikut:

r

IS LM

E

rf=rd BOP=0

LM IS

Ye Y

Keseimbangan internal dan eksternal terjadi pada titik E. Dengan

demikian pergerakan menuju ketidakseimbangan internal dan eksternal

Page 2: FE-Jurnal by Suharto

2

dipengaruhi oleh kebijakan fiskal, yang dicerminkan oleh bergeraknya kurva

IS dan juga kebijakan moneter yang dicerminkan oleh bergeraknya kurva

LM, sekaligus juga dipengaruhi oleh kondisi neraca pembayaran luar negeri

yang dicerminkan oleh bergeraknya kurva BOP. Ketiga komponen yaitu

kebijakan fiskal, moneter dan kondisi BOP saling keterkaitan dan saling

mempengaruhi.

Sebagai salah satu perumpamaan kondisi ekonomi makro negara kita

saat ini. Beban yang begitu berat pada sisi pengeluaran dari APBN,

menyebabkan pemerintah berhati-hati dalam melaksanakan kebijakan fiskal

yang relatip ekspansip. Namun, karena targetnya bagaimana mencapai

pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen, pemerintah dan Bank Indonesia

mendorong bagaimana agar dijaga kebijakan moneter lebih ekspansip atau

berupaya agar tingkat suku bunga cenderung menurun dari periode ke

periode. Kebijakan moneter yang ditetapkan ini adalah setelah

mempertimbangkan kondisi BOP yang ada, yaitu BOP yang selalu surplus

dari periode ke periode.

Data Yang Dipergunakan

Data yang dipergunakan untuk melengkapi pembahasan pada

makalah ini dikumpulkan dari website Bank Indonesia: www. go.id.

Selanjutnya data disusun secara tabulasi sebagai berikut :

Page 3: FE-Jurnal by Suharto

3

Indikator Tahun

2002 2003 2004 2005 2006 2007

Internal

gPDB (%-yoy) 4.38 4.72 5.03 5.68 5.48 6.3

Inflasi(%-yoy) 10.03 5.06 6.40 17.11 6.60 6.59

Eksternal

Ekspor(MilyarUS$) 59.165 64.109 70.767 86.995 103.514 118.937

Impor (MilyarUS$) 35.652 39.546 50.615 69.462 73.868 86.354

RatioHutang ke PDB 65.71 57.01 53.40 45.12 35.28 31.3

Cadangan Devisa

(Milyar US$) 32.039 36.296 36.320 34.724 42.586 56.900

Nilai Tukar 8.950 8.570 8.948 9.713 9.167 9.140

Pembahasan

Kondisi Internal : Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi

Data pertumbuhan ekonomi yang diwakili oleh gPDB dari tahun-ketahun

menunjukkan adanya peningkatan secara terus menerus, sedangkan data

yang menunjukkan perkembangan tingkat inflasi menunjukkan dalam

keadaan yang terus menurun, kecuali pada tahun 2005 yang dikarenakan

adanya kenaikan BBM secara drastis ( naik rata-rata di atas 100 %) oleh

pemerintah pada bulan Oktober 2005.

Dengan faktor-faktor lain konstan, serta selanjutnya mengacu kepada

teori ekonomi yang diuraikan di atas maka kenaikan pertumbuhan ekonomi

yang terus-menerus tersebut dapat dikatakan karena berhasilnya pemerintah

dalam menerapkan kebijakan fiskal dan moneter. Apabila kembali kepada

Page 4: FE-Jurnal by Suharto

4

teori ekonomi makro yang dipaparkan di muka, kebijakan fiskal yang

dicerminkan oleh kurva IS, dan kebijakan moneter yang dicerminkan oleh

kurva LM telah mendorong pendapatan nasional Ye ke kanan.

Seperti diketahui, Indonesia banyak dirundung oleh kejadian bencana

alam di berbagai daerah. Hal ini yang selanjutnya membebankan sisi fiskal,

khususnya anggaran pengeluaran. Akan tetapi pemerintah masih dapat

mewujudkan stimulus budget, yakni anggaran yang dapat mendorong

pertumbuhan ekonomi.

Lain halnya dengan kebijakan moneter. Kebijakan ini lebih signifikan

keberhasilannya di bandingkan dengan kebijakan fiskal dalam mendorong

meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Bank Indonesia sebagai Bank Sentral

dapat menjaga tingkat kestabilan moneter dengan sangat baik. Hal ini

dibuktikan bahwa tingkat suku bunga Bank Sentral yaitu BI-rate dari

tahun ke tahun dalam keadaan yang terus menurun, sekalipun ada resiko

akan terjadi over-heating economy, yaitu meningkatnya pertumbuhan

ekonomi yang disertai oleh meningkatnya tingkat inflasi.

Berdasarkan data di atas, sekalipun terjadi kenaikan laju inflasi yang

sangat tinggi pada tahun 2005 sebesar 17,11 %, akan tetapi Bank Sentral

tidak menaikkan suku bunga BI-rate, sebaliknya dari tahun 2002 sampai

saat ini, Bank Sentral terus berupaya menurunkan suku bunga BI-rate

tersebut. Mengapa demikian ?. Penulis beranggapan bahwa meningkatnya

laju inflasi sejak tahun 2002 adalah lebih di sebabkan oleh faktor-faktor yang

mendorong kenaikan harga-harga bahan pokok, seperti naiknya BBM, tarif

listik, tarif telepon, kerusakan infrastruktur yang menyebabkan biaya

Page 5: FE-Jurnal by Suharto

5

distribusi naik, naiknya bahan baku impor, dan besarnya pungutan liar.

Kondisi ini menyebabkan BI tidak mengambil langkah kebijakan moneter

yang kontraksi atau tight money policy seperti yang pernah dilaksanakan

tahun 2000-2001. Bahkan dapat dirasakan BI

cenderung menjaga agar kebijakan moneter cenderung relatip ekspansip

atau easy money policy. Dengan perkataan lain, mengatasi laju inflasi yang

terjadi selama kurun waktu 2002-2007 dengan cara menaikkan suku bunga

BI-rate agar jumlah uang yang beredar turun, boleh dibilang bukan

kebijakan yang tepat, atau dampaknya kecil sekali dalam menurunkan

tingkat inflasi yang terjadi pada periode tersebut. Malahan akan ada dampak

sebaliknya, yakni dengan kenaikan tingkat suku bunga BI-rate atau

kebijakan moneter kontraksi akan menghambat laju perkembangan

investasi.

Kondisi Eksternal

Data yang diperoleh dan kemudian dianggap mewakili keseimbangan

eksternal adalah data ekspor-impor, ratio hutang kepada PDB, cadangan

devisa dan nilai tukar. Untuk kegiatan perdagangan internasional yang

diwakili oleh data ekspor-impor, memperlihatkan selama periode 2002-2007

selalu terjadi net ekspor yang positip, yaitu ekspor lebih besar daripada

impor (X>M). Bahkan pada kurun waktu 2006 sampai dengan 2007 net

ekspornya (positip) sangat besar sekali. Dengan adanya neraca perdagangan

internasional yang surplus ini, serta dengan diperkirakan adanya aliran

modal masuk (capital inflow) yang lebih besar daripada aliran modal keluar

Page 6: FE-Jurnal by Suharto

6

(capital outflow) maka membuat neraca pembayaran internasional (BOP)

selalu surplus (BOP>0).

Kondisi BOP yang selalu surplus sejak tahun 2002, terlebih-lebih

pada periode tahun 2004 – 2007 di mana surplusnya semakin meninggi, hal

ini menyebabkan cadangan devisa yang berwujud sebagai net international

reserve meningkat secara drastis pada periode tersebut. Kondisi ini

mendorong pemerintah untuk mengurangi hutang luar negerinya terutama

hutang kepada kepada IMF. Keputusan mempergunakan cadangan devisa

yang relatip besar itu, untuk memperkecil hutang luar negeri, telah

memberikan dampak semakin menurunnya rasio hutang kepada PDB, seperti

yang tertera pada tabel indikator ekonomi di muka.

Dampak positip lainnya dengan kondisi BOP yang surplus serta kondisi

cadangan devisa yang relatip besar, mendorong stabilnya perkembangan

nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, seperti yang diperlihatkan pada

data di atas.

Kesimpulan

Dengan mempergunakan teori ekonomi makro yang meliputi analisa

keseimbangan internal dan ekternal, data di atas menunjukkan bahwa data

dari satu variabel ke data variabel lainnya mempunyai sifat saling

mempengaruhi (causal effects). Hal ini sudah barang tentu mencerminkan

bahwa terjadi saling keterkaitan antara kebijakan fiskal. kebijakan moneter

dan BOP.

Hasil pembahasan memperlihatkan bahwa upaya pemerintah dalam

rangka meningkatkan kinerja perekonomian makro sejak tahun 2004-2007

Page 7: FE-Jurnal by Suharto

7

telah memperlihatkan keberhasilannya, hal ini dibuktikan dengan data-data

yang ditampilkan pada makalah ini.

Sebagai catatan kecil, apabila sasarannya meningkatkan kesejahteraan

atau kemakmuran masyarakat, maka keberhasilan perekonomian dalam

bidang makro atau sektor keuangan saja tidak cukup, akan tetapi harus pula

disertai keberhasilan dalam bidang ekonomi mikro atau sektor riil. Semoga

di masa yang akan datang sektor riil dapat ditingkatkan keberhasilannya.

Page 8: FE-Jurnal by Suharto

8

SEKILAS PERKEMBANGAN KEBIJAKAN FISKAL DAN KEBIJAKAN

MONETER DI INDONESIA PERIODE 2002-2006

Oleh : Suharto

Page 9: FE-Jurnal by Suharto

9

Kebijakan Fiskal dan Moneter

Kebijakan fiskal merupakan kebijakan dalam bidang anggaran

penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Sedangkan kebijakan moneter

merupakan kebijakan dalam mengatur pasar uang. Kedua kebijakan ini pada

dasarnya mempunyai target bagaimana pertumbuhan ekonomi dapat

mencapai tingkat yang tinggi, sehingga dapat mengurangi tingkat

pengangguran dan tingkat kemiskinan. Di samping itu, kedua kebijakan ini,

terlebih-lebih khususnya kebijakan moneter, mempunyai target bagaimana

dapat menahan laju inflasi. Kedua kebijakan ini dalam upaya mencapai

kedua target tersebut saling mendukung atau melengkapi dengan tujuan

akhir agar pencapaian pertumbuhan ekonomi yang relatip tinggi tidak

disertai meningkatnya laju inflasi (overheated economy).

Kategori Kebijakan Fiskal dan Moneter

Kebijakan Fiskal Ekspansip: Merupakan Kebijakan Fiskal yang fokusnya menambah sisi pengeluaran/belanja dari anggaran

pemerintah. Kebijakan Fiskal Kontraktip : Adalah Kebijkan Fiskal yang fokusnya

mengurangi/memperketat sisi pengeluaran/belanja dari anggaran pemerintah

Kebijakan Moneter Ekspansip : Adalah Kebijakan Moneter yang fokusnya memperbesar jumlah uang yang beredar, dan tingkat suku

bunga diturunkan

Kebijakan Moneter Kontraktip : Merupakan kebijakan moneter yang fokusnya menurunkan jumlah uang yang beredar, dan tingkat suku bungan dinaikkan.

Page 10: FE-Jurnal by Suharto

10

II. Model Ekonomi Makro Untuk Kebijakan Fiskal dan Moneter

II.1.Model Ekonomi Makro Untuk Kebijakan Fiskal Menurut

John Maynard Keynes :

Y= C+I+G (1)

C= Co +cYd (2)

S= -Co + (1-c) Yd (3)

Yd= Y+Tr-Tx (4)

Tx =t Y (5)

I =Io (6)

G=Go (7)

Tr = Tro (8)

Di mana Y = Pendapatan Nasional ; C =Total Konsumsi I= Total Investasi

G= Pengeluaran Pemerintah ; Co = Konsumsi otonom ; Yd= Pendapatan

Disposible; c = MPC /Marginal Propencity to Consume : (1-c) = MPS/

Marginal Propencity to Save ; Tx= Pajak ; t = tarif (rate) pajak; Tr =Transfer

of payment.

Persamaan (5), (7) dan (8) mencerminkan kebijakan fiskal. Variabel

Tx mewakili penerimaan , sedangkan G dan Tr mewakili pengeluaran.

Selanjunya untuk mengambarkan kondisi fiskal ( di Indonesia diwujudkan

melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara /APBN), ada tiga kondisi fiskal

sebagai berikut :

1. Tx > G+Tr, adalah fiskal surplus atau anggaran surplus

2. Tx = G+Tr, adalah fiskal berimbang atau anggaran berimbang

3. Tx < G+Tr, adalah fiskal gap (defisit) atau anggaran defisit.

Page 11: FE-Jurnal by Suharto

11

II.2 Model Ekonomi Makro Untuk Kebijakan Moneter Menurut Irving

Fischer:

MV=PT. (9)

Di mana M= jumlah uang yang beredar untuk keperluan transaksi, V

=velositas uang, P = harga rata-rata atau indek harga konsumen (IHK), dan

T = jumlah output yang ditransaksikan pada tingkat kesempatan kerja

penuh.

Perkembangan selanjutnya, teori kuantitas uang ini disempurnakan

oleh teori Cambridge yang mengemukakan bahwa permintaan uang tidak

hanya dipengaruhi oleh volume transaksi yang diukur dengan PDB riil, tetapi

juga dipengaruhi oleh tiga faktor lainnya yaitu tingkat kekayaan seseorang,

tingkat suku bunga, dan ekspektasi seseorang tentang masa depan. Teori ini

dicerminkan oleh persamaan sebagai berikut :

L = f ( Y,W, r, e ) (10)

di mana L adalah Permintaan Uang, Y= Pendapatan Nominal, W= tingkat

kekayaan seseorang, r = tingkat suku bunga, dan e = ekspektasi seseoarng.

Dalam model Cambridge ini, nilai aset seperti pendapatan atau kekayaan

dihitung dalam nilai nominal, oleh karenanya permintaan uang karena faktor

kekayaan dinyatakan proporsional dengan pendapatan nasional nominal.

Selanjutnya, kedua teori klasik tersebut di atas disempurnakan oleh J.M

Keynes yang menyatakan bahwa permintaan uang mempunyai 3 (tiga)

Page 12: FE-Jurnal by Suharto

12

motip, yakni motip transaksi (Lt), berjaga –jaga (Lj) dan spekulasi (Lsp/L2).

Teori ini disusun berdasarkan persamaan berikut:

Lt = kt (11)

Lj = kj (12)

L1= Lt+Lj (13)

Lsp atau L2= k2r + L2o (14)

LM = L1 + L2 atau LM = kt +kj + k2r+L2o atau

LM = k1Y + k2r +L2o (15)

Seperti yang telah dikemukakan pada bagian pengantar dalam

makalah ini, kebijakan moneter tujuannya adalah mengatur atau

mengendalikan pasar uang. Persamaan (10), (11),(12),(13),(14),dan (15)

memperlihatkan dari sisi permintaan uang. Sedangkan penawaran uang

bersifat otonom, besarnya ditentukan dari luar model yang disusun, yaitu :

Ms = Mso (16) ,

di mana Ms = penawaran uang dan Mso = penawaran uang otonom. Pasar

uang atau sektor moneter pada keseimbangan adalah

LM = Ms (17a)

LM = Mso (17b),

selanjutnya LM kita substitusikan kepada persamaan (15), dengan demikian

persamaan pasar uang atau keseimbangan sektor moneter sesuai dengan

teori Keynes adalah: k1Y + k2r +L2o = Mso (18)

III. Perkembangan Kebijakan Fiskal Di Indonesia Tahun 2002-2006

Kebijakan fiskal di Indonesia dikendalikan ole lembaga eksekutip, dalam

hal ini Presiden dibantu oleh para menterinya, setelah rancangan undang-

undang fiskal atau budget dalam bentuk APBN yang diajukan disetujui oleh

Page 13: FE-Jurnal by Suharto

13

DPR. Pihak eksekutip terus berupaya agar kebijakan fiskal yang dijalankan

itu mempunyai tingkat efektivitas yang tinggi. Dalam hal ini dapat diartikan

kebijakan fiskal tersebut dapat berfungsi mendorong atau memperbaiki

tingkat perekonomian, yang ditandai antara lain, dengan meningkatnya

indikator PDB (Produk Domestik Bruto) atau pertumbuhan PDB,

meningkatnya lapangan pekerjaan, dan menggerakan sektor riil. Apabila hal

ini dapat terjadi, maka pemerintah dapat dikatakan menciptakan stimulus

fiscal atau stimulus budget.

Berikut ini ditampilkan beberapa data yang yang mencerminkan

kebijakan fiskal dan juga data mengenai pertumbuhan PDB, yaitu :

Tahun

2002 2003 2004 2005 2006

Data Fiskal

Penerimaan (miliar Rp) 298.605 341.396 403.367 495.224 637.796

Belanja (miliarRp) 322.180 376.505 427.177 509.632 670.591

Pertumbuhan PDB (%) 4.38 4.72 5.03 5.68 5.48

Catatan : Pertumbuhan PDB pada tahun 2007 (Desember) adalah 6.2 %

Sumber : diolah dari www. bps. go.id.

Dari data yang ditampilkan di atas, dapat dikatakan bahwa adanya

kecenderungan kebijakan fiskal yang dilaksanakan adalah ekspansip selama

tahun 2002-2006. Hal ini dicerminkan oleh perkembangan data mengenai

Belanja (dalam persamaan notasinya adalah G) yang terus meningkat dari

tahun 2002-2006. Meskipun jika dibandingkan dengan penerimaan (Tx)

Page 14: FE-Jurnal by Suharto

14

kondisi fiskal ini menunjukkan defisit anggaran. Akan tetapi anggaran

belanja atau pengeluaran selama periode 2002-2006 itu berkorelasi positip

dengan perkembangan data pertumbuhan PDB pada periode yang sama.

Dengan demikian kebijakan fiskal yang dilaksanakan selama periode 2002-

2006 dapat mempunyai dampak meningkatkan pertumbuhan ekonomi, hal

dapat dikatakan bahwa kebijakan fiskal merupakan stimulus fiscal atau

stimulus budget.

IV. Perkembangan Kebijakan Moneter Di Indonesia Periode 2002-

2006

Kebijakan moneter di Indonesia sepenuhnya tanggung jawab dari

otoritas moneter, yaitu Bank Indonesia (BI ) sebagai bank sentral. BI adalah

lembaga yang melaksanakan pengendalian jumlah uang yang beredar

dengan instrumen : Rediscount Policy, Open Market Operation, Manipulative

Legal Reserve Ratio, dan Selective Credit Control.

Instrumen-instrumen ini digunakan dalam rangka mencapai target atau

sasaran pertumbuhan ekonomi yang tinggi, mengendalikan laju inflasi dan

menstabilkan nilai tukar rupiah.

Dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi, selama periode

2002-2006, BI cenderung melaksanakan kebijakan moneter yang relatip

ekspansip. Hal ini diperlihatkan oleh indikator Jumlah Uang Beredar (JUB)

yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Sedangkan tingkat suku bunga

SBI, dan tingkat suku bunga pasar untuk Kredit Modal Kerja (SB KMK) ,

Kredit Investasi ( SB KI ) dan Kredit Konsumsi (SB KK) adalah relatip

Page 15: FE-Jurnal by Suharto

15

menurun, kecuali untuk periode 2005-2006, karena adanya kenaikan harga

BBM yang sangat drastis pada bulan Oktober 2005. Dampak selanjutnya

menyebabkan laju inflasi mencapai hingga 17, 1%. Berikut ini tabel

mengenai JUB (Jumlah Uang Beredar) dan tingkat suku bunga :

Indikator 2002 2003 2004 2005 2006

JUB M1 (triliun Rp) 191.9 207.6 253.8 281.9 311.8

JUB M2 (triliun Rp) 883.9 911.2 1,033.5 1,203.2 1,248.2

rSBI satu bulan/pertahun (%) 12.9 8.1 7.4 12.75 11.75

SB KMK (%) 18.3 15.8 13.4 15.92 16.10

SB KI (%) 17.8 16.3 14.1 15.43 15.90

SB KK (%) 20.2 18.7 16.6 16.60 17.30

Sumber : Di olah dari www.Kadin.or.id dan www.bi.go.id.

Selanjutnya dalam rangka mengendalikan tingkat inflasi dan menjaga

kestabilan nilai tukar rupiah, BI telah mencanangkan inisiatip strategis

dengan menerapkan Inflation Targeting Framework (ITF) yang telah

dilaksanakan secara implisit pada tahun 2003, dan secara penuh telah

dilaksanakan pada tahun 2005.

Penerapan ITF secara penuh ditandai dengan digunakannya BI rate

sebagai sasaran operasional kebijakan moneter, menggantikan base money.

Penetapan BI rate yang dilakukan dengan terlebih dahulu membuat antisipasi

melihat kedepan terhadap prospek ekonomi, baik itu berupa perkembangan

harga maupun pertumbuhan ekonomi. Diterapkannya ITF secara penuh sejak

tahun 2005 telah memberikan hasil yang positip. Hal ini ditandai dengan

menurunnya laju inflasi dari 17.11% pada tahun 2005 dan menurun pada

6.60 % tahun 2006. Sementara itu, dengan diterapkannya ITF dapat pula

Page 16: FE-Jurnal by Suharto

16

memberikan dampak positip kepada perkembangan nilai tukar rupiah. Nilai

tukar rupiah cenderung stabil yang mana datanya menunjukkan 9.713 untuk

tahun 2005; 9.167 (2006), dan 9.140 (2007-hasil estimasi).

V. Kesimpulan

Dengan data yang ada sejak tahun 2002 sampai tahun 2006,

perkembangan kebijakan fiskal cenderung ekspansip, ditandai dengan

meningkatnya sektor belanja (G) setiap tahunnya. Perkembangan ini

mendorong naiknya pertumbuhan ekonomi, sehingga dalam konteks ini

kebijakan fiskal dapat dikatakan sebagai stimulus fiscal atau stimulus

budget.

Berdasarkan data pada periode yang sama (2002-2006), perkembangan

kebijakan moneter cenderung juga ekspansip, ditandai dengan meningkatnya

Jumlah Uang Beredar (JUB) dari tahun -ketahun, serta menurunnya tingkat

suku bunga: SBI, Kredit Modal Kerja, Kredit Investasi dan Kredit Konsumsi.

Kecuali pada tahun 2005, tingkat suku bunga meningkat mengingat

perekonomian baru saja dikejutkan oleh naikknya harga BBM secara drastis.

Sejak tahun 2005 Bank Indonesia sebagai bank sentral telah berhasil

menurunkan laju tingkat inflasi dan menstabilkan nilai tukar, dengan

diterapkannya Inflation Targeting Framework (ITF). Penerapan ITF ini,

ditandai dengan digunakannya BI rate sebagai sasaran operasional kebijakan

moneter menggantikan base money.

Page 17: FE-Jurnal by Suharto

17

Daftar Referensi :

1. www.bps.go.id.

2. www.Kadin. Indonesia or.id.

3. www.bi.go.id

Page 18: FE-Jurnal by Suharto

18