Post on 18-Jan-2017
i
VOLUME 1 NOMOR 2, DESEMBER 2015
DAFTAR ISI
1. ETNOBOTANI TUMBUHAN HUTAN BERKHASIAT OBAT DI DESA MANDIANGIN BARAT KECAMATAN KARANG INTAN KABUPATEN BANJAR PROVINSI KALIMANTAN SELATANSyaifuddin, Edi Suryanto, Nur Muchammad Azizi Kurniawan, Siska Fitriyanti............................................................................................. 1-7
2. PERTUMBUHAN TANAMAN GAHARU PADA TEGAKAN JATI DI DESA PULAU KUU KECAMATAN MUARA UYA KABUPATEN TABALONG KALIMANTAN SELATANWawan Halwany, Edy Suryanto, Grafi Marseta............................................. 8-11
3. HAMA UTAMA TANAMAN LAMTORO (Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit) DAN ASPEK PENGENDALIANNYAYeni Nuraeni................................................................................................ 12-16
4. KANDUNGAN HARA TANAH DI BAWAH TEGAKAN TENGKAWANG ALAM DAN TANAMAN DENGAN KARAKTERISTIK TAPAK YANG BERBEDATri Wira Yuwati............................................................................................. 17-22
5. SUMUR BOR DANGKAL: SUMBER AIR UNTUK PEMADAMAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN GAMBUTEko Priyanto, Yusnan.................................................................................... 23-28
6. PERBANDINGAN SIFAT FISIS SEEDBALL AEROSEEDING DARI BEBERAPA FORMULA PEMBENTUK SERTA KETEBALAN SEEDBALLSafi nah S. Hakim, Purwanto B. Santosa, Dewi Alimah.................................. 29-34
7. PERSIAPAN LAHAN DAN POLA PERTUMBUHAN PADA TANAMAN PULAI (Alstonia angustiloba Miq.)Purwanto Budi Santosa, Rusmana, Tri Wira Yuwati........................................ 35-43
ii
1
Etnobotani Tumbuhan Hutan Berkhasiat Obat di Desa Mandiangin Barat ...Syaifuddin, Edi Suryanto, Nur Muchammad Azizi Kurniawan, Siska Fitriyanti
ETNOBOTANI TUMBUHAN HUTAN BERKHASIAT OBAT DI DESA MANDIANGIN BARAT KECAMATAN KARANG INTAN
KABUPATEN BANJAR PROVINSI KALIMANTAN SELATAN
Syaifuddin1), Edi Suryanto1), Nur Muchammad Azizi Kurniawan2), Siska Fitriyanti2)
1)Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Jl. A. Yani Km.28,7 Guntung Payung, Landasan Ulin, Banjarbaru Kalimantan Selatan 70721
Email : syaifuddin.uzad@gmail.com
2)Balai Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan
ABSTRAKDesa Mandiangin Barat Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar adalah salah satu desa yang berada di sekitar Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam Provinsi Kalimantan Selatan. Masyarakat yang tinggal disekitar kawasan hutan ini memiliki kearifan lokal dalam pemanfaatan tumbuhan hutan berkhasiat obat sudah sejak jaman dulu. Kearifan lokal tersebut diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi secara tidak langsung. Agar tetap lestari, perlu dilakukan kajian etnobotani tentang pemanfaatan tumbuhan hutan berkhasiat obat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kegunaan, cara penggunaan, dan mengidentifi kasi tumbuhan hutan berkhasiat obat. Metode yang digunakan adalah survey eksploratif dan metode Participatory Rural Appraisal. Penentuan sampel menggunakan metode Purposive Sampling. Data dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil dari penelitian ini ditemukan 24 species tumbuhan hutan berkhasiat obat yang dimanfaatkan masyarakat Desa Mandiangin Barat.
Kata Kunci: Etnobotani, Tumbuhan hutan berkhasiat obat
I. PENDAHULUAN
Desa Mandiangin Barat Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar adalah salah satu desa yang
berada di sekitar Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam Provinsi Kalimantan Selatan (Wiki,
2015) dan (BPS, 2012). Masyarakat yang tinggal disekitar kawasan hutan ini memiliki kearifan lokal dalam
pemanfaatan tumbuhan hutan. Salah satunya adalah kearifan lokal dalam pemanfaatan tumbuhan hutan
untuk pengobatan secara tradisional. Masyarakat melakukannya sudah sejak jaman dulu, kearifan lokal
tersebut diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi secara tidak langsung (CIFOR, 2007). Tidak ada
suatu wadah khusus dalam proses pewarisan ilmu pengobatan tradisional tersebut. Hal ini mengakibatkan
ilmu pengobatan tradisional dari generasi ke generasi mengalami penyusutan dan pemanfaatan tumbuhan
hutan berkhasiat obat akan terus berkurang (Noorcahyati, 2011). Namun pengkajian etnobotani tentang
tumbuhan hutan berkhasiat obat di Desa Mandiangin Barat belum banyak dilakukan. Oleh karena itu,
perlu dilakukan kajian etnobotani terhadap ilmu pengobatan tradisional masyarakat tentang pemanfaatan
tumbuhan hutan berkhasiat obat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kegunaan, cara
2
Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
penggunaan dan mengidentifi kasi tumbuhan hutan berkhasiat obat yang dimanfaatkan masyarakat Desa
Mandiangin Barat. Manfaat dari penelitian ini adalah ilmu pengobatan tradisional di Desa Mandiangin Barat
tetap lestari, dan bisa dikembangkan untuk masyarakat luas.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan bulan November 2014 di Desa Mandiangin Barat Kecamatan Karang Intan
Kabupaten Banjar, Propinsi Kalimantan Selatan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey
eksploratif dan metode Participatory Rural Appraisal, yaitu proses pengkajian melibatkan masyarakat untuk
berperan aktif dalam penelitian (Kandowangko, 2011). Penentuan informan kunci menggunakan metode
Purposive Sampling. Informan kunci merupakan masyarakat yang mempunyai pengetahuan tentang ilmu
pengobatan tradisional dan mengetahui tumbuhan hutan berkhasiat obat (Setiawan, 2005). Pengumpulan
data menggunakan teknik wawancara. Data yang dikumpulkan berupa informasi jenis-jenis tumbuhan hutan
apa saja yang berkhasiat obat, bagian tumbuhan yang digunakan, cara pengolahan, dan jenis penyakit yang
diobati. Setelah itu, dilakukan pengambilan spesimen tumbuhan hutan berkhasiat obat di tempat tumbuh
alaminya dan dicatat titik koordinat tempat tumbuhan tersebut ditemukan. Proses pengambilan spesimen
didampingi oleh informan kunci. Spesimen tumbuhan yang sudah didapat, dibuat herbarium. Kemudian
dilakukan identifi kasi terhadap koleksi herbarium berdasarkan morfologi dan dengan menggunakan buku
kunci determinasi dan studi literatur untuk mengetahui nama latinnya.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat Desa Mandiangin Barat Kecamatan Karang Intan
Kabupaten Banjar Propinsi Kalimantan Selatan, diperoleh 24 spesies tumbuhan hutan berkhasiat obat yang
digunakan oleh masyarakat. Spesies tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 1. Spesies Tumbuhan hutan berkhasiat obat yang digunakan oleh masyarakat Desa Mandiangin Barat Kecamatan Karang Intan Kabupaten Banjar Propinsi Kalimantan Selatan.
No.Nama Tumbuhan
Famili Habitus KegunaanBagian
yang digunakan
Cara penggunaan dan pemakaianDaerah Botani
1 Akar kuning laki Arcangelisia fl ava Menis. W. Cl. Liver Batang
Batang direndam, air rendaman
diminum
2 Banglai Zingiber cassumunar Zing. H. Gatal kulit
karena alergiRimpang
akarRimpang diparut, parutan dioleskan
3 Bungur Lagerstroemia sp. Lyth. T. Diabetes Kulit batangKulit batang direbus, air
rebusan diminum
4 Carikan habang Derris sp. Faba. W. Cl. Batuk, berak
darah Batang
Batang dipotong, air yang menetes
dari batang diminum
5 Carikan putih Derris sp. Faba. W. Cl. Berak darah Batang
Batang dipotong, air yang menetes
dari batang diminum
3
Etnobotani Tumbuhan Hutan Berkhasiat Obat di Desa Mandiangin Barat ...Syaifuddin, Edi Suryanto, Nur Muchammad Azizi Kurniawan, Siska Fitriyanti
No.Nama Tumbuhan
Famili Habitus KegunaanBagian
yang digunakan
Cara penggunaan dan pemakaianDaerah Botani
6 Cawat hanoman Tetrastigma sp. Vita. W. Cl. Batuk Batang
Batang yang sudah dipotong, kulit batangnya
dibuang, direbus, diminum airnya
7 Girang-girang Leea sp. Leeac. Sh. Obat luka Pucuk daun
Pucuk daun diremas-remas,
dioleskan ke bagian tubuh
yang luka
8 Kilayu Aglaia sp. Mel. T. Diare Buah
Buah masak berwarna merah
tua sampai hitam, ditelan langsung
9 Limpasu walang Baccaurea javanica Phyllant. T. Demam Akar
Akar direndam, air rendaman
diminum
10 Marsihung Brucea javanica Simarou. Sh. Malaria Buah Buah ditumbuk, ditelan langsung
11 Mata bulanang Adenanthera sp. Faba. T. Berak darah,
batuk darah Biji
Biji ditumbuk, direndam dengan
air panas, air rendaman diminum
12 Pacing-pacing Aster. Sh.
Pengobatan untuk ibu yang baru
melahirkan
Seluruh bagian
tumbuhan
Satu tumbuhan direbus, air
rebusan diminum
13 Palas Areca sp. Arec. Palm. Diare Buah Buah dimakan langsung
14 Paler warik T. Diare Buah Buah dimakan langsung
15 Pasak bumi Eurycoma longifolia Simarou. T. Penambah stamina Akar
Akar dibersihkan, dipotong pangkal
akar, direbus, diminum airnya
16 Pelawan Tristaniopsis sp. Myrt. T. Sakit paru-paru (asma), liver Batang
Batang dilukai, tetesan air yang keluar
dikumpulkan, diminum
17 Sembilikan Caesalpinia sp. Caes. W. Cl. Obat mata Batang
Air yang keluar dari batang
Sembilikan yang telah dipotong diteteskan ke
mata
18 Sampai ringan Schizaea digitata Schiz. Fn. Pelancar kencing Akar
Direndam dengan air panas,
air rendaman diminum
19 Serangkai Sh. Dapat diolah menjadi teh Pucuk daun
Pucuk daun (segar atau
kering) direndam dengan air panas,
air rendaman diminum
4
Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
No.Nama Tumbuhan
Famili Habitus KegunaanBagian
yang digunakan
Cara penggunaan dan pemakaianDaerah Botani
20 Sungkai Peronema canescens Verb. T. Malaria Pucuk daun
Pucuk daun ditumbuk, ditelan
langsung
21 Tampar badak Tabernaemontana sp. Apocyn. T.
Keracunan, penangkal rampisan (minyak
racun yang menyerang
tenggorokan)
Getah batang
Batang disadap, tetesan getah dikumpulkan
dalam satu wadah yang
sudah diberi gula pasir (agar getah tidak membeku), kemudian getah
diminum
22 Tatau Derris sp. Faba. W. Cl. Berak darah, luka dalam Batang
Batang dipotong, air yang menetes
dari batang diminum
23 Teja Ziziphus sp. Rham. T.
Pengobatan untuk ibu yang baru
melahirkan
Akar Akar direbus, air rebusan diminum.
campuran membuat
bedak dingin - sebagai
pengharum
Kulit batang
Kulit batang ditumbuk,
dicampurkan bedak dingin
24 Temulawak Curcuma zantorrhiza Zing. H.
Penambah nafsu makan,
hepatitis
Rimpang akar
Rimpang akar ditumbuk, direbus
atau direndam air panas, air
diminum
Sumber: Data primer, diolah 2014.
Keterangan habitus:
Fn. : Paku (Fern)
H. : Herba
Sh. : Semak (Shrub)
T. : Pohon (Tree)
Cl. : Merambat (Climber)
W.Cl. : Berkayu merambat (Woody climber)
Palm. : Palem (Palma)
5
Etnobotani Tumbuhan Hutan Berkhasiat Obat di Desa Mandiangin Barat ...Syaifuddin, Edi Suryanto, Nur Muchammad Azizi Kurniawan, Siska Fitriyanti
Gambar 1. Habitus dari 24 jenis tumbuhan hutan berkhasiat obat
Cara pemakaian tumbuhan hutan berkhasiat obat berbeda-beda. Pemakaian dengan cara ditelan (Oral)
sebesar 84%, dan penggunaan untuk obat luar sebesar 16%.
Gambar 2. Pasak Bumi (Eurycoma longifolia)
Bagian tumbuhan yang paling banyak digunakan untuk obat adalah bagian batang sebanyak 7 jenis
(28%). Bagian akar sebanyak 6 jenis (24%), buah sebanyak 4 jenis (16%), daun sebanyak 3 jenis (12%), kulit
batang sebanyak 2 jenis (8%). Sedangkan bagian tumbuhan yang paling sedikit digunakan masing-masing 1
jenis (4%) adalah bagian getah, biji, dan seluruh bagian tumbuhan. Secara grafi s dapat dilihat pada gambar
3.
6
Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
Gambar 3. Bagian tumbuhan yang digunakan untuk obat
Tumbuhan hutan berkhasiat obat untuk mengobati penyakit dalam sebesar 84%, dan penyakit luar
sebesar 16%. Penyakit dalam yang bisa diobati dengan tumbuhan hutan berkhasiat obat tersebut di atas
adalah liver, diabetes, berak darah, batuk, demam, malaria, sakit setelah melahirkan, diare, stamina
menurun, asma, kencing kurang lancar, keracunan, nafsu makan kurang, dan hepatitis. Sedangkan penyakit
luar yang bisa diobati adalah gatal kulit karena alergi, sakit mata, dan luka pada kulit.
Gambar 4. Teja (Ziziphus jujuba)
7
Etnobotani Tumbuhan Hutan Berkhasiat Obat di Desa Mandiangin Barat ...Syaifuddin, Edi Suryanto, Nur Muchammad Azizi Kurniawan, Siska Fitriyanti
IV. KESIMPULAN
Kesimpulan dari penelitian ini adalah didapatkan 24 spesies tumbuhan hutan berkhasiat obat untuk
pengobatan tradisional yang digunakan oleh masyarakat Desa Mandiangin Barat Kecamatan Karang Intan
Kabupaten Banjar Propinsi Kalimantan Selatan. Selanjutnya perlu dilakukan penelitian lebih mendalam
terhadap tumbuhan hutan berkhasiat obat tersebut mengenai uji fi tokimia, cara pemakaiannya dengan
dosis yang tepat untuk keamanan bagi masyarakat yang menggunakannya.
DAFTAR PUSTAKABPS, 2012. Kecamatan Karang Intan Dalam Angka Tahun 2012. Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjar.
Martapura.CIFOR, 2007. Center of International Forestry Research. Infobrief. Mei 2007, No.11.Kandowangko, N. Y., Solang, M., dan Ahmad, J. (2011). Kajian Etnobotani Tanaman Obat Oleh Masyarakat
Kabupaten Bonebolango Provinsi Gorontalo. Laporan Penelitian. Jurusan Biologi Universitas Negeri Gorontalo.
Noorcahyati, Arifi n, Z., dan Ningsih, M. K., (2011). Potensi Etnobotani Kalimantan Sebagai Sumber Penghasil Tumbuhan Berkhasiat Obat. Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam. Balikpapan.
Setiawan, N. (2005). Diklat Metodologi Penelitian Sosial: Teknik Sampling. Parung Bogor, 25-28 Mei 2005. Universitas Padjadjaran.
Wiki. 2015. Taman Hutan Raya Sultan Adam. <http://id.wikipedia.org/wiki/Taman_ Hutan_Raya_Sultan_Adam>. Maret 2015.
8
Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
PERTUMBUHAN TANAMAN GAHARU PADA TEGAKAN JATI DI DESA PULAU KUU KECAMATAN MUARA UYA KABUPATEN TABALONG KALIMANTAN SELATAN
Wawan Halwany, Edy Suryanto, Grafi Marseta
ABSTRAK
Harga dan permintaan pasar yang tinggi menyebabkan minat masyarakat akan gaharu tinggi.
Seiring dengan semakin sulitnya mencari gaharu di alam maka di kalangan masyarakat
berkembang budidaya gaharu baik yang didukung oleh pemerintah daerah atau hasil swadaya
masyarakat. Tujuan kegiatan ini untuk mengetahui pertumbuhan tanaman gaharu hasil swadaya
masyarakat di desa Kuu Kecamatan Muara Uya. Pengukuran pertumbuhan tanaman dilakukan
pada ketiga posisi tanaman yaitu bagian atas, bagian tengah dan bagian bawah. Pertumbuhan
tanaman gaharu yang dicampur dengan tanaman jati mempunyai riap diameter sebesar 1,66
cm/tahun pada lahan bagian bawah, dan terendah pada lahan bagian atas sebesar 1,22 cm/
tahun. Secara umum kecenderungan tanaman pada bagian bawah pertumbuhannya lebih baik
dibanding pada bagian lahan atas.
PENDAHULUAN
Harga tinggi dan permintaan pasar yang besar akan gaharu telah menarik masyarakat untuk melakukan
eksploitasi yang besar-besaran terhadap gaharu. Harga gaharu kualitas super di Samarinda, Tarakan,
Nunukan dapat mencapai Rp. 40.000.000 s/d Rp. 50.000.000 per kg. Untuk kualitas kemedangan dihargai
sekitar Rp. 1.000.000 s/d Rp. 4.000.000, per kg (Susmianto dan Santoso, 2014). Akibatnya populasi gaharu
dari tahun ke tahun semakin menurun bahkan terancam punah sehingga pada tahun 1994 pada pertemuan
CITES ke IX di Florida, Amerika Serikat, Aquilaria malaccencis dimasukkan ke dalam Appendix II sebagai
tumbuhan yang terancam punah. Bahkan sejak tahun 2004 seluruh jenis Aquilaria telah dimasukkan dalam
Appendix II CiTES (Siran, 2014).
Pemerintah Daerah (khususnya dinas-dinas Kehutanan) melalui progam-program penghijauan
memasukkan tanaman gaharu sebagai salah satu andalan untuk menarik minat masyarakat menanam
gaharu. Selain itu ada juga pihak swasta yang dengan swadaya menanam gaharu. Berdasarkan
pengamatan di lapangan biasanya penanaman yang dilakukan atas keinginan sendiri atau dengan modal
sendiri keberhasilannya lebih tinggi dibanding dengan petani yang mendapat bantuan dari pemerintah.
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Universitas Lambung Mangkurat gaharu merupakan hasil hutan
bukan kayu (HHBK) unggulan untuk kabupaten Banjar, Tapin, Balangan, Tabalong, dan Kotabaru (Fauzi, et
9
Pertumbuhan Tanaman Gaharu pada Tegakan Jati di Desa Pulau Kuu ...Wawan Halwany, Edy Suryanto, Grafi Marseta
al., 2014).
Kegiatan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan tanaman gaharu yang ditanam
dengan campuran tanaman jati pada ketiga ketinggian. Plot yang diamati adalah plot swadaya masyarakat.
METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Desa Pulau Kuu Kecamatan Muara Uya Kabupaten Tabalong Kalimantan
Selatan. Kabupaten Tabalong termasuk salah satu kabupaten pengembangan tanaman gaharu di
Kalimantan Selatan. Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2015.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah hutan tanaman gaharu yang dicampur dengan
tanaman Jati dengan umur yang sama yaitu tujuh (7) tahun. Alat yang digunakan kegiatan ini adalah GPS,
clinometer, phiband, kamera, buku lapangan, dan alat tulis.
C. Metode Pengumpulan Data
Data mengenai informasi tanaman gaharu diperoleh dari Dinas Kehutanan Kabupaten Tabalong.
Berdasarkan hasil wawancara dan tinjauan ke lapangan didapatkan plot tanaman gaharu yang dicampur
dengan tanaman jati. Penananam gaharu dan jati tersebut ditanam pada lahan yang berbeda kelerengannya.
Berdasakan tapak tersebut pengambilan data tanaman dilakukan pada tiga kondisi yaitu plot bagian atas,
tengah dan bawah. Pola tanam yang dilakukan adalah jati dan gaharu di tanam pada jalur berselang seling
artinya setelah tanaman jati diselingi satu jalur gaharu. Jarak tanam jati dan gaharu 4 x 3 m. Masing-masing
plot tersebut diambil 30 tanaman gaharu. Total tanaman gaharu pada ketiga plot sebanyak 90 tanaman.
Pengukuran diameter dilakukan dengan alat phiban pada tinggi batang 1,3 m. Untuk tinggi tanaman
diukur dengan alat clinometer dengan tinggi total.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan Tabel 1. Dapat dilihat pertumbuhan tanaman pada ketiga posisi tanaman.
Tabel 1. Hasil pengukuran pertumbuhan tanaman gaharu pada ketiga posisi tanaman
Posisi/nilai tinggi (m)
diameter (cm)
riap Tinggi (m/tahun)
riap diameter (cm/tahun)
Atas (100% hidup)
rata-rata 8,80 8,51 1,26 1,22
Maksimal 12 13,3 1,71 1,90
Minimal 5 3,70 0,71 0,53
Stdv 1,52 2,54 0,22 0,36
Tengah (96,7% hidup)
rata-rata 7,95 9,93 1,14 1,42
Maksimal 11,5 19,1 1,64 2,73
10
Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
Posisi/nilai tinggi (m)
diameter (cm)
riap Tinggi (m/tahun)
riap diameter (cm/tahun)
Minimal 2,5 1,40 0,36 0,20
Stdv 2,41 4,05 0,34 0,58
bawah (86,7% hidup)
rata-rata 8,71 11,61 1,24 1,66
Maksimal 12 19,8 1,71 2,83
Minimal 6 6,70 0,86 0,96
Stdv 1,23 2,96 0,18 0,42
Pada tabel di atas terlihat daya hidup tertinggi terdapat pada bagian atas lahan tanaman yaitu 100%
tanaman hidup. Persen hidup tanaman menurun seiring dengan posisi tanaman tersebut dimana pada bagian
tengah persen hidup sebesar 96,7% dan terendah pada bagian bawah lahan dengan daya hidup 86,7%. Pada
bagian bawah tanaman gaharu memiliki daya hidup rendah diduga tanaman tersebut kurang dapat cahaya
karena ternaungi oleh tanaman jati. Hal sesuai dengan pernyataan dari milang bahwa intensitas cahaya
yang relatif rendah akan menghambat fotosintesis sehingga suplai makanan terhadap daun berkurang yang
menyebabkan daun rontok (Millang, et al., 2011).
Untuk parameter tinggi tanaman gaharu tertinggi pada bagian atas yaitu rata-rata tinggi tanaman
gaharu sebesar 8,80 m kemudian diikuti pada bagian bawah 8,71 m dan terendah pada bagian tengah
yaitu 7,95 m. Tanaman gaharu tertinggi berada pada posisi tanaman di bagian atas dan bagian bawah
setinggi 12 m. Untuk tinggi tanaman terendah berada pada posisi tanaman bagian tengah yaitu setinggi
2,5 m. Untuk bagian bawah dan atas tanaman terendah berturut-turut sebesar 6 m dan 5 m. Dilihat dari
nilai standar deviasinya memiliki nilai terbesar artinya parameter tinggi pada posisi bagian tengah lebih
besar keragamannya dibanding pada dua posisi lainnya. Nilai standar deviasi terendah pada bagian bawah
menunjukkan keragaman nilai tinggi tanaman gaharu lebih beragam dan selangnya tidak terlalu jauh.
Rata-rata diameter tanaman gaharu tertinggi ditunjukkan pada lahan bagian bawah sebesar 11,61 cm
kemudian diikuti berturut-turut bagian tengah sebesar 9,93 cm, dan bagian atas sebesar 8,51 cm. Diameter
tertinggi pada lahan bagian bawah sebesar 19,8 cm dan terendah sebesar 6,70 cm. Untuk lahan bagian
tengah diameter tertinggi sebesar 19,1 cm dan terendah sebesar 1,40 cm. Pada bagian atas diameter
tertinggi sebesar 13,3 cm dan terendah 3,70 cm. Dilihat dari standar deviasinya terbesar pada lahan bagian
tengah dikarenakan selang nilainya ada yang terlalu jauh selangnya. Standar deviasi terendah pada bagian
lahan atas dimana standar deviasinya sebesar 2,54.
Untuk riap tinggi terbesar pada bagian lahan tanaman bagian atas dimana riap tinggi sebesar 1,26 m/
tahun. Riap tinggi terendah pada lahan bagian tengah sebesar 1,14 m/tahun. Untuk riap tinggi bagian bawah
sebesar 1,24 m/tahun. Riap diameter tertinggi pada lahan bagian bawah sebesar 1,66 cm/tahun dan terendah
pada lahan bagian atas sebesar 1,22 cm/tahun. Untuk lahan bagian tengah riap diameter sebesar 1, 42 cm/
tahun. Riap diameter gaharu di desa Kuu pada bagian bawah lebih tinggi dibanding pada riap diameter
gaharu yang ada di Desa Giri Agung Kalimantan Timur dimana riap diameter gaharu pada bagian puncak
sebesar 1,47 cm/tahun dan bagian lereng riap diameternya sebesar 1,49 cm/tahun. Rata-rata diameter
gaharu pada umur 6 tahun untuk tanaman yang di puncak diameter rata-rata 8,80 cm dan diameter rata-
rata tanaman di lereng sebesar 8,96 (Pramana, et al., 2012). Hal ini sama dengan pertumbuhan diameter
11
Pertumbuhan Tanaman Gaharu pada Tegakan Jati di Desa Pulau Kuu ...Wawan Halwany, Edy Suryanto, Grafi Marseta
di desa kuu dimana pada tanaman yang berada di bawah memiliki diameter yang lebih tinggi dibanding
diameter yang berada di bagian atas/puncak. Berdasarkan data pertumbuhan gaharu di tempat lain maka
pertumbuhan gaharu ini masih berada pada rata-rata pertumbuhan gaharu. Pada plot gaharu yang diukur
kegiatan pemeliharaan tanaman dilakukan rutin sehingga pertumbuhannya baik dan bahkan melebihi riap
diameter di tempat lain. Secara umum pertumbuhan tanaman gaharu di bagian bawah kecenderungannya
lebih baik dibanding pada bagian atas lahan.
KESIMPULAN
Pertumbuhan tanaman gaharu yang dicampur dengan tanaman jati di Desa Kuu Kecamatan Muara
Uya mempunyai riap diameter sebesar 1,66 cm/tahun pada lahan bagian bawah, dan terendah pada lahan
bagian atas sebesar 1,22 cm/tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Fauzi, H., Aryadi, M. Dan Satriadi, T. 2014. Strategi Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK)
Unggulan Provinsi Kalimantan Selatan. Prosiding Seminar Nasional “Peranan Strategi Kebijakan
Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dalam meningkatkan daya guna kawasan (hutan).
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, November 2014.
Millang, S., Bachtiar, B. dan Makmur, A. 2011. Awal Pertumbuhan Pohon Gaharu (Gyrinops sp.) Asal Nusa
Tenggara Barat di Hutan Pendidikan Universitas Hasanudin. Jurnal Hutan dan Masyarakat.,
Volume 6, No. 2 Agustus 2011.
Pramana, D. B., Jumani dan Emawati, H. 2012. Pertumbuhan Tanaman Gaharu (Aquilaria sp.) di Desa Giri
Agung Kecamatan Sebulu Kabupaten Kutai Kartanegara Propinsi Kalimantan Timur. Agrifor Vol
11, No. 2 (2012): Oktober page. 110-114.
Siran, S. S. 2010. Pengembangan Pemanfaatan Gaharu. Buku Pengembangan Teknologi Produksi
Gaharu Berbasis Pemberdayaan Masyarakat.
Susmianto, A. dan Santoso, E. 2014. Ketika Gaharu menjadi Booming. Buku Rekam Jejak: Gaharu Inokulasi,
Teknologi Badan Litbang Kehutanan. Editor Susmianto, Turjaman, M., dan Setio, P. Pusat Litbang
Konservasi dan Rehabilitasi. Forda Press. Bogor.
12
Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
HAMA UTAMA TANAMAN LAMTORO (Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit)
DAN ASPEK PENGENDALIANNYA
Yeni Nuraeni
Pusat Penelitian dan Pengembangan HutanKampus Balitbang Kehutanan, Jl. Gunung Batu no. 5, Bogor 16618
Email: y.nuraeni999@gmail.com
ABSTRAK
Tanaman lamtoro (Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit) termasuk ke dalam famili Fabaceae,
merupakan tanaman yang multi guna sebagai pakan ternak, bahan bangunan, meubel, kayu bakar
dan arang. Penanaman tanaman lamtoro juga tidak luput dari berbagai kendala yang dihadapi
diantaranya adalah serangan hama utamanya yaitu kutu loncat (Heteropsylla cubana Crawford).
H. cubana termasuk ke dalam ordo Hemiptera famili Psyllidae, biasanya menyerang lamtoro pada
bagian tangkai, kuncup daun, tunas dan daun muda sehingga dapat menghambat pertumbuhan
lamtoro. Aspek pengendaliannya dapat dilakukan secara alami dengan menggunakan musuh
alamnya sebagai predator yaitu dengan menggunakan Curinus coeruleus Muslant.
Kata kunci : Lamtoro, Heteropsylla cubana, hama utama, musuh alami
I. PENDAHULUAN
Tanaman lamtoro merupakan tanaman legume yang multiguna, selain daunnya dapat dijadikan sebagai
pakan ternak, kayunya dapat dimanfaatkan sebagai bahan bangunan, meubel, kayu bakar dan arang.
Tanaman lamtoro mempunyai potensi yang sangat besar untuk dikembangkan sebagai hijauan penghasil
ternak sepanjang tahun, hijauan segar yang dapat dihasilkan sebanyak 70 ton atau bahan kering sekitar
20 ton/Ha/Tahun. Bahan kering dari tanaman ini mengandung komposisi zat kimia berupa 25,90% protein
kasar, 20,40% serat kasar dan 11% abu (2,3% Ca dan 0,23% P), karotin 530.000 mg/kg dan tannin 10,15% mg/
kg (NAS, 1984).
Penanaman tanaman lamtoro juga tidak luput dari berbagai kendala yang dihadapi diantaranya yaitu
serangan hama kutu loncat yang merupakan hama utama pada tanaman lamtoro, serangan hama kutu
loncat ini pertama kali terjadi di Indonesia pada akhir tahun 1980’an yang menyebabkan kerugian.
Major pest/main pest key pest atau hama penting/ utama adalah serangga hama yang selalu menyerang
tanaman dengan intensitas serangan yang berat sehingga diperlukan pengendalian. Hama utama itu akan
selalu menimbulkan masalah setiap tahunnya dan selalu menimbulkan kerugian cukup besar. Biasanya
13
Hama Utama Tanaman Lamtoro (Leucaena Leucocephala (Lam.) De Wit) ...Yeni Nuraeni
ada satu atau dua spesies serangga hama di suatu daerah. Hama utama di setiap daerah dapat sama atau
berbeda dengan daerah lain pada tanaman yang sama (Susniahti et al, 2005).
II. DISTRIBUSI DAN KARAKTERISTIK LAMTORO
Klasifi kasi secara umum dari tanaman lamtoro (Leucaena leucophala) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliphyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Fabales
Family : Fabaceae
Genus : Leucaena
Spesies : Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit
Lamtoro (Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit)) dikenal dengan nama kemlandingan, latoro (Jawa),
peteuy selong (Sunda), kalandingan (Madura). Tersebar secara luas di Meksiko dan Amerika Tengah pada
tahun 1520, pada akhir abad ke 20 menyebar luas sampai ke Filipina sebagai peneduh tanaman perkebunan,
kayu bakar dan hijauan pakan ternak.
Lamtoro merupakan tanaman yang mudah tumbuh, akarnya dapat menembus lapisan tanah yang
keras. Tanaman ini tahan terhadap kekeringan dengan curah hujan 200 mm/thn, terutama setelah tinggi
pohonnya mencapai 1m. Dapat tumbuh baik di daerah dengan curah hujan 600 – 1500 mm/th. Mempunyai
akar tunggang yang kuat dan berakar serabut sedikit, biasanya panjang akarnya mencapai 2/3 tinggi
pohonnya, sehingga lamtoro dapat menghisap dan zat-zat makanan jauh ke dalam tanah dimana tanaman
lain tidak dapat mencapainya (Benge, 1982).
Lamtoro masih tumbuh baik pada ketinggian tempat 1500 mdpl, ketinggian tempat lebih dari itu
sudah tidak sesuai untuk pertumbuhan lamtoro karena suhu udara terlalu rendah, kurang sinar matahari
dan tanahnya terlalu asam. Lamtoro tidak tahan terhadap tanah becek, tetapi di Muangthai terdapat jenis
lamtoro yang tumbuh di tepi-tepi sungai (Benge, 1982).
III. SERANGGA HAMA UTAMA PADA TANAMAN LAMTORO
Hama utama tanaman lamtoro adalah hama kutu loncat (Heteropsylla cubana Crawford atau Heteropsylla
incisa Sulc) termasuk kedalam ordo Hemiptera famili Psyllidae. Kutu loncat biasanya menyerang lamtoro
pada bagian tangkai, kuncup daun, tunas dan daun muda sehingga dapat menghambat pertumbuhan
lamtoro (Panjaitan et al, 2012). H. cubana merupakan hama penting bagi tanaman lamtoro di perkebunan
sejak pertengahan tahun1980’an di Cuba (Nair, 2007).
Dari habitat asli di Amerika Latin H. cubana menyebar di seluruh wilayah tropis, serangan terjadi pertama
kali di Meksiko dan di Florida pada tahun 1983. Kemudian muncul di Hawai pada April tahun 1984, sejak saat
itu telah menyebar ke arah barat dan secara progresif menyebar ke seluruh dunia. Pada tahun 1985 tersebar
ke pulau-pulau kecil di Pasifi k dan mencapai Filipina dan Taiwan. Pada tahun 1986 diketahui menyerang di
Indonesia, Malaysia, Thailand, Myanmar Selatan, Selatan Cina dan negara-negara tegangga. Pada tahun
1987 terjadi serangan di Kepulauan Andaman, India dan Sri Lanka. Tahun 1988 menyerang menenajung India
Selatan. Pada tahun 1992 menyebar di benua Afrika meliputi Tanzania, Uganda, Kenya dan Burundi serta
pada tahun1994 menyebar ke Sudan dan Zambia. Dengan demikian dalam waktu kurang dari 10 tahun, H.
14
Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
cubana telah menyebar dari daerah asalnya di daerah Amerika tropis menyebrang ke Pasifi k, Asia dan Afrika
(Nair, 2007).
Di Indonesia di kenal dengan nama kutu loncat lamtoro, hama ini popular di Indonesia sejak sekitar tahun
1986 karena merusak sebagian besar tanaman lamtoro yang ditanam sebagai penaung pada perkebunan kopi
dan cokelat (Sallata, 2003). Tanaman inang H. cubana yaitu Leucaena spp. khususnya Leucaena leucocephala
tetapi juga dapat menyerang L. trichodes, L. pulverulenta, L. diversifolia, L. salvadorensis. Serangga ini dapat
memakan semua 13 spesies Leucaena dan juga pada Samanea saman (Nair, 2007).
H. cubana merupakan serangga kecil dengan panjang sekitar 1,5 – 2 mm, biasanya berwarna hijau
kekuningan (Gambar 1). Nimpa dan dewasa secara berkelompok makan pada terminal tunas menghisap
getah daun dan bunga (Gambar 2). Betina dewasa meletakan rata-rata sekitar 240, telur menetas setalah 3
hari dan nimpa menghisap getah daun dan bunga. H. cubana melewati 5 instar dalam sekitar 8 hari. Dewasa
hidup sekitar 10 – 15 hari. Serangga melewati banyak generasi yang tumpang tindih per tahun dan setiap
tahap kehidupan biasanya dapat ditemukan bersama-sama di terminal tunas (Nair, 2007).
Gambar 1. Heteropsylla cubana (Foto: Yeni Nuraeni)
Gambar 2. H. cubana hidup berkelompok (Foto: Yeni Nuraeni)
15
Hama Utama Tanaman Lamtoro (Leucaena Leucocephala (Lam.) De Wit) ...Yeni Nuraeni
Dewasa dan nimpa menghisap getah daun, tunas dan daun dari tanaman inang yang mengurangi bunga
dan produksi benih dan menyebabkan tunas baru serta daun menjadi kerdil cacat. Selain itu sekrsesi yang
dihaslkan oleh serangga ini dapat menyebabkan tumbuhnya jamur jelaga (Gambar 3) yang mencegah cahaya
mencapai permukaan daun sehingga menyebabkan berkurangnya fotosintesis dan produksi tanaman.
Serangan berulang-ulang menyebabkan layu, defoliasi, cabang dieback atau kematian pohon inang.
Gambar 3. Embun jelaga pada tanaman lamtoro (Foto: Yeni Nuraeni)
IV. ASPEK PENGENDALIAN HAMA UTAMA TANAMAN LAMTORO
Pengendalian hama kutu loncat H. cubana secara alami dapat dilakukan dengan memanfaatkan
keberadaan musuh alaminya sebagai predator, di Indonesia sendiri pemerintah telah membentuk Tim
Kerja Nasional Penanggulangan Hama Kutu Loncat Lamtoro (TKN-PHKLL) yaitu penjabaran sistem
pengendalian hama terpadu. Komponen-komponen pengendalian ini yaitu dengan menggunakan predator
yang dipadukan dengan pestisida. Pengendalian dengan menggunakan predator dilakukan dengan cara
mendatangkan Curinus coeruleus Muslant dan Olla abdominalis Say dari Hawai (TKN-PHKLL, 1987). Curinus
merupakan kumpang pemangsa kutu loncat muda (Sallata, 2003). Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Yasin, 2006. Curinus selama hidupnya mampu memangsa rata-rata sebanyak 1.798,9 ekor H. cubana.
V. PENUTUP
Heteropsylla cubana Crawford merupakan hama utama yang cukup merusak dan dapat menyebabkan
defoliasi serta pada serangan yang hebat dapat menyebabkan kematian pada tanaman lamtoro yang
merupakan salah satu tanaman yang multi guna baik sebagai tanaman peneduh atau sebagai pakan ternak.
Pengendalian dapat dilakukan dengan cara menggunakan musuh alaminya sebagai predator.
16
Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
DAFTAR PUSTAKA
Benge, M.D. 1982. Lamtoro Gung Leucaena leucocephala Tanaman Bahan Makanan Ternak yang Amat Baik.
Technical Series Buletin No. 25. Offi ce of Agricultur. Bureau for Science and Tecnology. Agency for
International Development. Washington, D.C. 20523.
Nair, K.S.S. 2007. Tropical Forest Insect Pests, Ecologi, Impact and Management. Cambridge University
Press.
National Academy of Science. 1984. Leucaena: Promising Forage and Tree for the Tropic. National Academy
of Science, Washington, D.C.
Panjaitan, T.S., Sutarta., M. Fauzan dan Prisdiminggo. 2012. Perbanyakan Lamtoro melalui Persemaian.
www. litbang.pertanian.go.id. Tanggal akses 18 Juni 2015.
Sallata, M.K. 2003. Kutu Loncat Lamtoro.Info Mini Salam No. 4 : Hal. 23. www.agriculturesnetwork.org.
Diakses tanggal 23 Juli 2015.
Susniahti, N., H. Sumeno dan Sudrajat. 2005. Bahan Ajar Ilmu Hama Tumbuhan. Universitas Padjadjaran
Fakulta Pertanian Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan. Bandung.
TKN-PHKLL (Tim Kerja Nasional Penanggulangan Hama Kutu Loncat Lamtoro). 1987. Pedoman Pembiakan
dan Pelepasan Curinus coeruleus Muslant Pemangsa (Predator) Hama Kutu Loncat Lamtoro
Heteropsylla spp. Lembar Informasi Teknis No. 3. Hal: 16.
Yasin, N. 2006. Perkembangan Hidup dan Daya Mangsa Curinus coeruleus Muslant pada Beberapa Kutu
Tanaman. Jurnal HPT Tropika Vol. 6 (2): Hal. 79-86.
17
Kandungan Hara Tanah di Bawah Tegakan Tengkawang Alam ...Tri Wira Yuwati
KANDUNGAN HARA TANAH DI BAWAH TEGAKAN TENGKAWANG ALAM DAN TANAMAN
DENGAN KARAKTERISTIK TAPAK YANG BERBEDA
Tri Wira Yuwati
Balai Penelitian Kehutanan BanjarbaruJl. A. Yani Km 28,7, Landasan Ulin, Banjarbaru, Kalimantan Selatan 70721
E-mail : triwirayuwati@foreibanjarbaru.or.id
I. PENDAHULUAN
Tengkawang (Shorea stenoptera Burck) atau yang biasa disebut Meranti Merah/ Light Red Meranti
merupakan anggota family Dipterocarpaceae yang menghasilkan buah (Illipe Nuts) dan minyak tengkawang
(Borneo Tallow); yang digunakan sebagai bahan dasar kosmetik, pembuatan coklat, industri margarine,
sabun dan lilin (Tantra, 1981 dalam Heriyanto dan Mindawati, 2008). Spesies ini termasuk ke dalam sub
family Dipterocarpoideae yang merupakan jenis yang endemik Borneo (Kalimantan Barat). Jenis ini sangat
dikenal di Kalimantan Barat dengan nama Tengkawang Tungkul (Heyne, 1987). Habitat dari tengkawang
tungkul adalah hutan primer dataran rendah Kalimantan Barat dan Serawak Malaysia.Jenis ini tumbuh subur
di tanah berpasir atau di tanah alluvial. Ditinjau dari segi kayunya, tengkawang tungkul kayunya ringan
dengan berat jenis 0,49 kelas kuat III dan kelas awet IV. Pemanfaatan kayunya biasanya untuk konstruksi
ringan yaitu kayu lapis, perabot rumah tangga, dinding rumah dan bahan kertas.
Saat ini kelestarian dari jenis ini terancam punah karena adanya eksploitasi kayu oleh penduduk terutama
di Kalimantan Barat.Jenis ini biasa dibudidayakan oleh masyarakat Kalimantan Barat di dalam bentuk kebun
campuran.Akan tetapi, karena harga buah tengkawang yang turun drastis membuat masyarakat Kalimantan
Barat mulai menebangi pohon tengkawang mereka. Menurut Ashton (1998), spesies ini masuk ke dalam
kategori Endangered (Genting) IUCN Red List Species yang artinya bahwa kondisi dimana tumbuhan yang
tumbuh di habitat asli jika tidak kritis memiliki kemungkinan kepunahan di alam dalam kurun waktu 10
tahun akan berkurang sebanyak 50%. Di Indonesia, Shorea stenoptera ini termasuk jenis yang dilindungi
dengan SK Menteri Kehutanan No. 261/ Kpts-IV/1990 tanggal 18 Mei 1990.
Dalam rangka peningkatan produktivitas dan pelestarian jenis Shorea stenoptera (Tengkawang),
pengetahuan tentang teknik manipulasi lingkungan perlu diketahui. Lebih lanjut, untuk merumuskan teknik
manipulasi lingkungan yang tepat bagi peningkatan pertumbuhan tengkawang, maka perlu diketahui
informasi status nutrisi tanaman tengkawang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan unsur
hara makro pada tanah di bawah tegakan tengkawang.
18
Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
METODE PENELITIAN
Tegakan alam dan tanaman tengkawangdilihat sebaran kelas peningginya, kemudian dikelompokkan
menjadi 3 jenis tapak yaitu baik, sedang dan jelek. Sesuai dengan pendapat Sturtevant dan Seagle (2004)
yang menyatakan bahwa site index akan berbeda antara satu jenis dengan yang lain karena dipengaruhi oleh
rata-rata pertumbuhan tinggi maksimum. Untuk tiap sampelnya, pengambilan dilakukan dibawah tegakan
alam dan tanaman tengkawang dari 3 titik yang dikomposit dengan total tanah yang diambil sebanyak 1 kg
tanah. Pengambilan sampel tanah dari bawah tegakan tanaman tengkawangdilakukan di Sanggau Kalbar
dan di KHDTK Kintap Kalsel.Setiap tapak diambil tiga sampel tanah, sehingga secara totalterdapat 18
sampel tanah. Analisa yang dilakukan adalah : N total, P total, P-Bray I, K total, Basa tukar (K, Na, Ca,Mg).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Kriteria penilaian tapak tengkawang (baik, sedang dan jelek) dilakukan berdasarkan peninggi tegakan
tengkawang.Karakteristik peninggi tegakan tengkawang di KHDTK Kintap Kalsel dan Sanggau Kalbar
disajikan pada Tabel 1 dan 2.Hasil analisa kimia tanah dibawah tegakan tanaman tengkawang umur 7 tahun
di KHDTK Kintap Kalimantan Selatan disajikan pada Tabel 3.Sedangkan analisa kimia tanah dibawah tegakan
tengkawang di kabupaten Sanggau Kalimantan Barat disajikan pada Tabel 4.Rata-rata tinggi peninggi
tengkawang untuk tapak baik di KHDTK Kintap Kalimantan Selatan adalah 11 m sedangkan diameter rata-
rata adalah 10.61 cm. Sedangkan untuk tapak sedang, rata-rata tinggi peninggi adalah 7.5 m sedangkan
rata-rata diameter adalah 7.42 cm. Pada tapak jelek, rata-rata tinggi peninggi adalah 6 m sedangkan rata-
rata diameter adalah 4.56 cm.
Tabel 1. Karakteristik peninggi tegakan tengkawang di KHDTK Kintap Kalsel
Tapak Tinggi (m) Diameter (cm)
Baik 1 10 10,19
Baik 2 12 13,37
Baik 3 11 8,28
Sedang 1 7,5 7,64
Sedang 2 7 6,68
Sedang 3 8 7,96
Jelek 1 8 5,41
Jelek 2 6 5,73
Jelek 3 4 2,55
Rata-rata tinggi peninggi tanaman tengkawang untuk tapak baik di kabupaten Sanggau Kalimantan
Barat adalah 28,3 m sedangkan rata-rata diameter adalah 39,3 cm. Rata-rata tinggi peninggi untuk tapak
sedang adalah 19 m dan rata-rata diameter adalah 21,67 cm. Rata-rata tinggi peninggi tengkawang untuk
tapak jelek adalah 8,3 m dan rata-rata diameter adalah 12,3 cm.
19
Kandungan Hara Tanah di Bawah Tegakan Tengkawang Alam ...Tri Wira Yuwati
Tabel 2. Karakteristik peninggi tegakan tengkawang di kab.Sanggau Kalbar
Tapak Tinggi (m) Diameter (cm)
Baik 1 30 40
Baik 2 30 42
Baik 3 25 36
Sedang 1 20 25
Sedang 2 17 20
Sedang 3 20 20
Jelek 1 8 10
Jelek 2 10 12
Jelek 3 7 15
Dari hasil analisa kimia tanah dapat dilihat perbedaan status hara di bawah tegakan tengkawang di
Kalsel dan Kalbar.
Tabel 3. Sifat kimia tanah dibawah tegakan tengkawang di KHDTK Kintap Kalimantan Selatan
Sifat tanahTapak Tanaman Tengkawang
Baik Sedang Jelek
pH H2O 4,68 rendah 4,56 Rendah 4,72 rendah
N (%) 0,06 sangat rendah 0,06 sangat rendah 0,09 sangat rendah
K-dd (cmol(+)/kg) 0,07 sangat rendah 0,04 sangat rendah 0,06 sangat rendah
Na-dd (cmol(+)/kg) 0,09 sangat rendah 0,08 sangat rendah 0,11 sangat rendah
Ca-dd (cmol(+)/kg) 0,05 sangat rendah 0,07 sangat rendah 0,03 sangat rendah
Mg-dd(cmol(+)/kg) 0,22 sangat rendah 0,15 sangat rendah 0,14 sangat rendah
KTK (cmol(+)/kg) 16,96 sedang 14,95 Rendah 18,16 sedang
PBray1 (ppm P) 0,32 sangat rendah 0,63 sangat rendah 0,46 sangat rendah
P potensial (mg/100g) 5,23 sangat rendah 5,09 sangat rendah 5,73 sangat rendah
K potensial (mg/100g) 2,1 sangat rendah 1,97 sangat rendah 2,27 sangat rendah
KB (%) 2,6 sangat rendah 2,37 sangat rendah 1,93 sangat rendah
Kriteria penilaian sifat kimia tanah menggunakan Kriteria Pusat Penelitian Tanah (1983)
Berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia tanah menurut Pusat Penelitian Tanah (1983), secara
keseluruhan, tanah pada tegakan tengkawang di KHDTK Kintap Kalsel memiliki pH yang termasuk kategori
rendah (4,5- 5), kandungan N termasuk kategori sangat rendah (0,1 – 0,2), basa tukar (K,Na,Ca dan Mg)
sangat rendah, P tersedia, P total dan K total sangat rendah. Yang membedakan tapak baik dengan tapak
sedang hanya nilai KTKnya yaitu sedang sampai rendah.
20
Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
Tabel 4. Sifat kimia tanah di bawah tegakan tengkawang di kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat
Sifat tanahTapak Tanaman Tengkawang
Baik Sedang Jelek
N(%) 0,14 rendah 0,048 sangat rendah 0,13 rendah
K-dd (cmol(+)/kg) 0,5 sangat rendah 0,056 sangat rendah 0,32 sangat rendah
Na-dd (cmol(+)/kg) 0,21 sangat rendah 0,147 sangat rendah 0,188 sangat rendah
Ca-dd (cmol(+)/kg) 0,31 sangat rendah 0,028 sangat rendah 0,064 sangat rendah
Mg-dd (cmol(+)/kg) 0,93 sangat rendah 0,301 sangat rendah 1,17 sangat rendah
P Bray 1 (ppm P) 40,68 sangat tinggi 1,01 sangat rendah 0,93 sangat rendah
P potensial (mg/100g) 6,07 sangat rendah 0,37 sangat rendah 0,96 sangat rendah
K Potensial (mg/100g) 38,61 sedang 3,56 sangat rendah 17,04 rendah
Kriteria penilaian sifat kimia tanah menggunakan Kriteria Pusat Penelitian Tanah (1983)
Sifat kimia tanah di bawah tegakan tengkawang di kabupaten Sanggau Kalimantan Barat memiliki
kandungan N dari rendah sampai sangat rendah. Secara umum, basa tukar (K, Na,Ca,Mg) dan P total sangat
rendah. Yang membedakan antara tapak baik, sedang dan jelek adalah kandungan P tersedia (PBray1) dan
K total.Pada tapak baik, P tersedia adalah memiliki kriteria sangat tinggi, sedangkan tapak sedang dan jelek
memiliki kriteria sangat rendah.Sedangkan untuk K total, tapak baik memiliki kriteria sedang, sedangkan
tapak sedang dan jelek memiliki kriteria sangat rendah dan rendah.
PEMBAHASAN
Kapasitas Tukar Kation (KTK), P tersedia (P Bray1) dan K-potensial atau K total merupakan pembatas
pertumbuhan tanaman Shorea stenoptera di lapangan. Hal ini sesuai dengan penelitian Juliaty et al (1999)
yang menyatakan bahwa status kesuburan tanah di bawah tegakan dipterokarpa sangat rendah dengan
faktor pembatas rendahnya KTK.Sedangkan menurut Ashton dan Hall (1992)P adalah unsur pembatas
pada penyebaran pohon tropis dan pertumbuhan hutan. Lebih lanjut, telah diketahui bahwa dipterokarpa
memiliki asosiasi obligat dengan ektomikoriza yang berfungsi dalam membantu penyerapan unsur P dari
tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman (Brundrett et al, 1996). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan
unsur P menjadi pembatas bagi pertumbuhan tanaman dipterokarpa di lapangan. Lambers et al (2008) juga
menegaskan bahwa keberadaan hara membatasi produktivitas hutan pada tegakan tua di tanah tropis
dengan tingkat pelindihan yang tinggi. Pada tanaman S. stenoptera yang memiliki pertumbuhan yang baik,
kandungan K potensialnya adalah termasuk kriteria “sedang”. Sesuai dengan pendapat Rosmarkam (2001)
bahwa fungsi utama unsur K adalah memperkuat tegaknya batang tanaman.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian ini adalah:
Tanah di bawah tegakan tengkawang di KHDTK Kintap Kalsel dan Sanggau Kalbar memiliki kandungan
hara makro yang rendah. Sehingga bibit tengkawang yang akan ditanam pada tapak tersebut perlu diberi
tambahan pupuk makro pada periode awal pertumbuhan.
21
Kandungan Hara Tanah di Bawah Tegakan Tengkawang Alam ...Tri Wira Yuwati
DAFTAR PUSTAKA
Arnon, D. I. 1950.Criteria of essentiality of inorganic nutrients for plants with special reference to
molybdenium. Lotsya 3: 31-38.
Ashton, P. 1998. Shorea stenoptera. In: IUCN 2013. IUCN Red List of Threatened Species version 2013:2 (www.
iucnredlist.org).
Ashton, P.S. dan Hall, P. 1992.Comparison of structure among mixed dipterocarps forest of north-western
Borneo. Journal of Ecology 80: 459-481
Brundrett, M. Bougher, N., Dell, B. Grove, T. and Malajczuk, N. 1996. Working with mycorrhiza in forestry
and agriculture. ACIAR.
Campo J, Solis E & Gallardo JF. 2012. Eff ects of fertilization on soil nutrient characteristics and the growth of
tree stand in secondary seasonally dry tropical forests in Mexico. Journal of Tropical Forest Science
24: 408-415
Chapin, F.S. 1980. The mineral nutrition of wild plants. Annual Review of Ecological and Systematic 11:233-
260.
Gunatilleke CVS, Gunatilleke IAUN, Perera GAD, Burslem DFRP, Ashton PMS, Ashton PS. 1997. Responses
to nutrient addition among seedlings of eight closely related species of Shorea in Sri Lanka.Journal
Ecology 85: 301-311
Herdiana N, Lukman AH, Mulyadi K. 2008.Pengaruh dosis dan frekuensi aplikasi pemupukan NPK terhadap
pertumbuhan bibit Shorea ovalis Korth.(Blume) asal anakan alam di persemaian. Jurnal Penelitian
Hutan dan Konservasi Alam vol. V no.3: 289-296
Heriyanto, N.M. dan Mindawati, N. 2008.Konservasi jenis tengkawang (Shorea spp.) pada kelompok hutan
sungai jelai-sungai delang-sungai seruyan hulu di Provinsi Kalimantan Barat. Info Hutan Vol V No.3:
281-287
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia.Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan.
Departemen Kehutanan. Jakarta
Juliaty, N., Mulyadi, D., Arruan dan Ernayati. 1999. Kajian dan Penilaian Kesuburan Tanah Tegakan
Dipterocarpaceae dan Non Dipterocarpaceae di Wanariset Samboja, Kalimantan Timur. Buletin
Penelitian Hutan Balai Penelitian Kehutanan Samarinda. Vol 13.No.2: 27-41.
Junaedi, A. 2012.Pengaruh kompos dan pupuk NPK terhadap peningkatan kualitas bibit cabutan Shorea
leprosula Miq. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 9 : 373-383
Kramer, P.J. dan Kozlowski, T.T. 1979. Physiology of Woody PlantsAcademic Press Inc. London
Lambers, H., Raven, J.A., Shaver, G.R. dan Smith, S.E. 2008.Plant-nutrition acquisition strategic change with
soil age. Trends in Ecology and Evolution 23: 95-103.
Lee, S.S. 1998. Root Symbiosis and Nutrition. In: Appanah, S. and Turnbull, J.M. (eds.).1998. A Review of
Dipterocarps: Taxonomy, ecology and silviculture. CIFOR. Bogor
Mengel, K dan Kirkby, E.A. 1978.Principles of Plant Nutrition. International Potash Institute. Switzerland.
Rosmarkam, A. 2001. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius. Yogyakarta
Santiago LS, Wright J, Harms KE, Yavitt JB, Korine C, Garcia, MN & Turner BL. 2012. Tropical tree seedling
growth responses to nitrogen, phosphorus and potassium addition.Journal of Ecology 100: 309-316.
Sturtevant, B.R. dan Seagle, S.W. 2004. Comparing estimates of forest site quality in old second-growth oak
forests. Forest Ecology and Management 191: 311-328.
22
Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
Sundralingam P, Hotta I, Osumi Y. 1985. Assessment of the nitrogen and phosphorus requirements of Shorea
ovalis using sand culture.Malaysia Forester 48: 314-323
Sundralingam, P. 1983. Responses of potted seedlings of Dryobalanops aromatica and Dryobalanops
oblongifolia to commercial fertilizers. Malaysian Forester 46: 86-92
Susanti, P.D. dan Basiang, H.A. 2012.Evaluasi Kandungan Status Hara Tanah pada Hutan Tanaman Industri
Nyawai. In: Arifi n, Y.F., Savitri, E.S. dan Akbar, A. (eds.) 2012. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Balai
Penelitian Kehutanan Banjarbaru “Dukungan BPK Banjarbaru dalam Pembangunan Kehutanan di
Kalimantan:, 25-26 Oktober 2011. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas
Hutan. Badan Litbang Kehutanan.
Tisdale, S.L. dan Nelson, W.L. 1956.Soil fertility and Fertilizers.The Mac Millan Company. Canada.
Vincent A & Davies SJ. 2003. Eff ects of nutrient addition, mulching and planting-hole size on early performance
of Dryobalanops aromatica and Shorea parvifolia in secondary forest in Sarawak, Malaysia. Forest
Ecology and Management180: 261-271
Vitousek, P.M. 1984. Litterfall, nutrient cycling and nutrient limitation in tropical forests. Ecology 65: 285-
298.
Wan Juliana WA., Burslem, D.F.R.P. dan Swaine, M.D. 2009. Nutrient Limitation of Seedling Growth on
Contrasting Soils from Pasoh Forest Reserve, Peninsular Malaysia. Journal of Tropical Forest Science
21 (4): 316-327.
Widiyatno S, Purnomo B, Soekotjo M , Hardiwinoto S & Kasmujiono B. 2013. The growth of selected Shorea
spp in secondary tropical rainforest: the eff ect of silviculture treatment to improve growth quality
of Shorea spp. Procedia Environmental Sciences 17 ( 2013 ) 160 – 166
Winarni, I., Sumadiwangsa, E.S. dan Setyawan, D. 2004. Pengaruh tempat tumbuh, jenis dan diameter
batang terhadap produktivitas penghasil tengkawang. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 2(1): 23
Yap SW, Moura_costa P. 1996. Eff ects of nitrogen fertilization and soil texture on growth and morphology
of Dryobalanops lanceolata seedlings pp.189-196 in Appanah S, Khoo KC (Eds.) Proceedings of the
Fifth Round-Table Conference on Dipterocarps, Dorest Research Institute of Malaysia, November
7-10, Chiang Mai, Thailand
Yuwati, T.W., Susanti, P.D., Hermawan, B. 2010. Studi Nutrisi Tanaman Meranti Rawa dan Jelutung Rawa.
Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Banjarbaru (tidak dipublikasikan)
23
Sumur Bor Dangkal: Sumber Air untuk Pemadaman Kebakaran Hutan ...Eko Priyanto, Yusnan
SUMUR BOR DANGKAL: SUMBER AIR UNTUK PEMADAMAN KEBAKARAN
HUTAN DAN LAHAN GAMBUT
Eko Priyanto*, Yusnan*
(*Teknisi Litkayasa Pada Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru)
ABSTRAK
Kegiatan pemadaman kebakaran hutan dan lahan gambut memiliki tingkat kesulitan tersendiri,
dimana dalam pelaksanaannya sangat tergantung dengan ketersediaan air, hal ini disebabkan
tipe kebakaran tidak hanya dapat terjadi dipermukaan saja namun juga bisa mencapai
kebakaran api dalam. Ketersediaan sumber air menjadi hal utama yang harus tersedia disamping
ketersediaan peralatan pemadaman seperti mesin pompa pemadam dan kelengkapannya. Saat
kebakaran terjadi seringkali air selalu menjadi kendala, oleh karena itu pemanfaatan sumur bor
dangkal sebagai fungsi hydrant untuk kegiatan pemadaman kebakaran hutan dan lahan gambut
menjadi sangat penting. Sumur bor dangkal ini dapat mensuplay keperluan air untuk kegiatan
pemadaman sehingga kegiatan pemadaman akan menjadi lebih efektif, selain itu sumur bor
dangkal ini dapat dibuat pada lokasi yang dinilai rawan kebakaran sehingga bila sewaktu-waktu
terjadi kebakaran tidak perlu lagi mencari sumber air untuk kegiatan pemadaman.
Kata kunci : pemadaman, kebakaran hutan dan lahan gambut, sumber air, sumur bor dangkal
I. Latar Belakang
Kebakaran hutan dan lahan gambut saat ini masih menjadi suatu permasalahan yang perlu dicari jalan
keluarnya, hal yang terbaik memang perlu dicari formula yang tepat untuk mencegah terjadinya kebakaran
ataupun tindakan awal untuk pemadaman sebelum api kebakaran menjadi tidak terkendali yang dampaknya
akan menyulitkan kegiatan pemadaman, karakteristik api kebakaran di hutan dan lahan gambut memang
agak berbeda dibandingkan kebakaran yang terjadi ditanah mineral, dimana kebakaran dilahan gambut
dapat terjadi sampai kebakaran api dalam sehingga dapat menyebabkan kabut asap yang pekat (Anwar
I., E. Priyanto, 2014). Kegiatan pemadaman kebakaran di hutan dan lahan gambut memerlukan perlakuan
yang sangat khusus dimana ketika melakukan aktifi tas pemadaman tidak cukup memastikan api telah
padam namun juga harus memperhatikan bara-bara yang masih terjadi terutama pada batang-batang
pohon maupun pada serasah-serasah yang menempel pada pangkal pohon/tanaman, karena bila kegiatan
24
Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
pemadaman dilakukan secara tidak tuntas (benar-benar padam) maka bara-bara ini akan terus melakukan
proses pemanasan sehingga bila mencapai titik bakar kembali maka api kebakaran seringkali akan timbul
kembali dilokasi yang sebelumnya telah dilakukan kegiatan pemadaman (Aprianto, et al. 2002).
Hambatan yang sering terjadi pada saat melakukan pemadaman kebakaran di hutan dan lahan gambut
adalah tidak tersedianya sumber air dan akses jalan yang sulit, hal ini menyebabkan seringkali kegiatan
pemadaman hanya dilakukan pada lokasi-lokasi yang dekat dengan sumber air (sungai, kanal, embung
dll), walaupun ketersediaan sumber daya manusia dan peralatan mesin pemadam telah ada namun bila
pemadaman hanya dilakukan pada lokasi yang dekat sumber air maka bisa dikatakan api kebakaran
dihutan dan lahan gambut masih terus terjadi dimana api kebakaran telah masuk kedalam yang jaraknya
jauh dari jalan terdekat, hal ini ditandai kabut asap yang belum berhenti walaupun upaya pemadaman
telah dilakukan, seperti kasus bencana kabut asap yang melanda beberapa daerah di Pulau Sumatera dan
Kalimantan sampai dengan bulan Oktober 2015, dimana kabut asap masih terjadi didaerah yang terdapat
hutan dan lahan gambut seperti Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah
dan Kalimantan Selatan. Sementara itu upaya pemadaman dengan metode water bombing dengan
menggunakan helikopter dan pesawat udara juga megalami kesulitan yang cukup tinggi hal ini disebabkan
lokasi kebakaran yang tertutup kabut asap sehingga cukup menyulitkan kegiatan pemadaman dari udara.
Upaya pembuatan kanal-kanal sebagai sumber air juga dinilai memiliki resiko tinggi terhadap kelestarian
ekosistem lahan gambut, karena dengan adanya kanal-kanal ini dapat memperburuk kondisi hutan dan
lahan gambut karena gambut dapat menjadi kering hal ini disebabkan kehilangan air gambut yang keluar
melalui kanal-kanal ini, padahal disisi lain kita harus tetap mempertahankan kelembaban lahan gambut
untuk mencegah terjadinya kebakaran.
Keperluan akan air yang cukup untuk kegiatan pemadaman dilahan gambut perlu disikapi dengan
penyediaan sumber air yang dapat memenuhi kebutuhan saat kegiatan pemadaman dilaksanakan. Alternatif
yang dapat dikembangkan adalah pembuatan sumur bor dangkal pada hutan dan lahan gambut untuk
dijadikan sumber air saat kegiatan pemadaman kebakaran hutan dan lahan. Tujuan pembuatan sumur-
sumur bor ini sebagai hydrant yaitu sebagai sumber air dan pensuplai air bila kebakaran hutan dan lahan
gambut terjadi. Dengan tersedianya sumur bor dangkal sebagai sumber air dapat mempermudah kegiatan
pemadaman, karena sumber air telah tersedia dilokasi kejadian kebakaran sehingga kegiatan pemadaman
akan lebih maksimal.
II. Mengenal Sumur Bor dangkal di Lahan Gambut
Sumur bor dangkal ini sebenarnya bukanlah inovasi baru namun telah lama juga digunakan khususnya
untuk keperluan air bagi kebutuhan manusia untuk keperluan sehari-hari seperti mandi, cuci dan memasak
didaerah lahan gambut. Namun demikian pemanfaatan sumur bor dangkal sebagai fungsi hydrant untuk
ketersediaan sumber air guna kegiatan pemadaman kebakaran di hutan dan lahan gambut ini yang perlu
disosialisasikan. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru telah melakukan kegiatan dalam rangka penelitian
dan pengembangan teknologi penggendalian kebakaran hutan dan lahan, pada saat tahun 2000an metode
sumur bor dangkal ini belum menjadi prioritas sebagai sumber air, karena pada saat itu pembuatan sumber
air cukup dilakukan dengan cara yang sangat sederhana yaitu pembuatan sumur gali yang berukuran 2 x 2 x
1,5m dan mampu sebagai penyedia sumber air saat kegiatan pemadaman (Faidil, S, et al, 2000).
25
Sumur Bor Dangkal: Sumber Air untuk Pemadaman Kebakaran Hutan ...Eko Priyanto, Yusnan
Gb 1. Sumur gali manual di lahan gambut
Namun saat ini penggunaan sumur gali manual ini sudah tidak efektif karena ketersediaan airnya
sudah sangat minim, hal ini diduga akibat proses pengeringan dilahan gambut yang terus terjadi dimana
air keluar melalui kanal-kanal yang telah dibuat sebelumnya (study kasus kondisi lahan gambut didaerah
Tumbang Nusa Kalimantan tengah). Oleh sebab itu keberadaan sumur bor dangkal dapat menjadi satu
solusi dalam rangka penyedian sumber air untuk kegiatan pemadaman di hutan dan lahan gambut (BPBD
Kab. Kotawaringin Timur yang dikutip dalam www.antarakalteng.com tanggal 3 Oktober 2015) . Sampai
dengan saat ini memang belum ada study yang meneliti tentang dampak keberadaan sumur bor dangkal
terhadap kerusakan lahan gambut, hal ini dinilai menjadi penting karena diharapkan sumur bor dangkal
ini dapat menjadi salah satu kebijakan strategis dalam rangka pencegahan dan pengendalian kebakaran
dihutan dan lahan gambut khususnya pada aspek penyediaan sumber air.
Sumur bor dangkal memiliki kedalaman yang bervariasi antara 20-25m, dalam proses pembuatannya
sumur bor dangkal di lahan gambut ini dapat dibuat sendiri dan walaupun dibuat oleh orang yang ahli biayanya
juga tidak telalu besar berkisar antara 1-1,5 juta rupiah persumur. Didalam sumur bor ini menggunakan
pipa air ukuran 2 inch yang nantinya akan dihubungkan pada selang hisap mesin pompa pemadam saat
proses pemadaman dilakukan. Sumur-sumur bor ini dapat dibuat pada lokasi yang jauh dari sumber air
alam ataupun buatan (sungai, kanal, embung dll), sehingga diharapkan bila kebakaran terjadi permasalahan
sumber air untuk kegiatan pemadaman kebakaran di hutan dan lahan gambut sudah dapat teratasi. Selain
dapat menjadi sumber air keberadaan sumur bor ini juga berfungsi sebagai penyuplay air pada lokasi yang
jauh dari titik keberadaan sumur bor, hal ini dapat dilakukan dengan metode estafet.
Ketersediaan sumber air berupa sumur bor dangkal di hutan dan lahan gambut bukan menjadi patokan
bahwa kebakaran yang terjadi dihutan dan lahan gabut sudah dapat diatasi namun dengan tersedianya
sumur bor dangkal ini yang ditempatkan pada lokasi-lokasi rawan terjadinya kebakaran sebagai upaya
pencegahan sebelum terjadinya kebakaran selain itu akan mempermudah cara kerja pada saat kegiatan
pemadaman dilakukan karena sumber airnya telah tersedia.
26
Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
Gb2. Sumur bor dengan selang 2 inch
III. Penggunaan Sumur Bor Dangkal dalam Rangka Pemadaman
Cara penggunaan sumur bor dangkal sebagai sumber air langsung untuk kegiatan pemadaman bukan
hal yang dirasa sulit, karena metodenya tinggal menghubungkan pipa pada sumur bor tersebut dengan
selang hisap pada mesin pompa pemadam dan kemudian sumur bor ini dapat digunakan. Oleh sebab itu
ketersediaan mesin pompa pemadam menjadi hal utama untuk dapat menggunakan sumur bor dangkal ini.
Mesin pompa pemadam yang digunakan juga tidak harus memiliki spek khusus untuk dapat mengoperasikan
sumur bor ini, karena standar mesin pompa pemadam yang tersedia umum dipasaran saat ini sudah dapat
digunakan untuk penggunaan sumur bor ini dalam kegiatan pemadaman kebakaran.
Gb 3. Mesin pompa yang telah dihubungkan pada pipa sumur bor
Prosedur kerja dan kelengkapan yang harus diperhatikan dalam rangka penggunaan sumur bor ini
untuk kegiatan pemadaman di hutan dan lahan gambut dapat diuraikan sebagai berikut :
27
Sumur Bor Dangkal: Sumber Air untuk Pemadaman Kebakaran Hutan ...Eko Priyanto, Yusnan
1. Pastikan titik keberadaan sumur bor yang akan digunakan sebagai sumber air untuk kegiatan
pemadaman
2. Cek kondisi mesin pompa yang akan digunakan (kondisi selang hisap, bbm, karet klep dll)
3. Lepaskan saringan pada selang hisap mesin pompa, karena dalam penggunaan sumur bor ini tidak
menggunakan saringan yang terdapat pada ujung selang hisap.
4. Sambungkan selang hisap pada ujung pipa sumur bor.
5. Ikat kencang sambungan selang hisap dan pipa sumur bor dengan menggunakan tali karet bekas
ban dalam bekas, pastikan tidak ada rongga udara pada sambungan ini karena dapat mempengaruhi
kualitas hisap mesin pompa pada sumur.
6. Masukan air pancingan pada mesin pompa atau pada mesin yang telah memuliki pompa, maka lakukan
kegiatan memompa air. Hal ini perlu dilakukan agar waktu menyalakan mesin dan keluarnya air menjadi
lebih singkat.
7. Hal yang perlu diperhatikan bila mesin pompa pemadam yang digunakan tidak tersedia alat pompa
untuk memompa air, maka untuk memancing air harus tersedia air telebih dahulu yang dimasukan pada
lubang pancingan yang tersedia pada mesin pompa pemadam.
8. Sambungkan selang pemadam pada mesin pompa pemadam dan pada ujung selang pasangan nozzel
pemadam, bila kurang panjang selang dapat disambungkan pada selang lain yang telah disiapkan
sebelumnya.
9. Nyalakan mesin dengan cara menarik tali starter, sebelumnya pastikan mesin dalam kondisi on dan
chock mesin dibuka.
10. Setelah mesin menyala perlahan-lahan naikan gas, setalah air dirasa sudah naik (terhisap) maka buka
kran pada mesin agar air keluar pada selang pemadam, dan kegiatan pemadaman dapat dilakukan.
Gb4. Pemadaman dengan sumber air dari sumur bor
Berdasarkan hasil pengamatan oleh tim pemadaman kebakaran hutan dan lahan BPK Banjarbaru
pada saat kegiatan pemadaman dengan pemanfaatan sumur bor dangkal ini kegiatan pemadaman dapat
dilakukan terus-menerus ( 6 jam) ketersediaan air pada sumur bor masih terpenuhi. Hal ini dinilai efektif
28
Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
dibandingkan bila menggunakan sumber air dari sumur gali manual ataupun menunggu suplay air. Namun
demikian catatan yang perlu diperhatikan agar kegiatan pemadaman dengan menggunakan sumur bor
dangkal ini menjadi efektif hendaknya saat pembuatan sumur bor ini menggunakan pipa ukuran 2 inch,
hal ini disebabkan mesin pompa yang tersedia dipasaran umumnya berukuran pipa hisap 2 inch dan selang
lemparnya berukuran 1,5 inch.
IV. Penutup
Keberadaan sumur bor dangkal ini dapat menjadi solusi kebutuhan air saat kegiatan pemadaman
kebakaran hutan dan lahan gambut, yang perlu menjadi perhatian bahwa posisi sumur-sumur bor yang
telah dibuat sebelumnya perlu diberi tanda maupun lokasinya perlu dikoordinasikan dengan instansi terkait
sehingga siapapun yang melakukan kegiatan pemadaman dapat menggunakan sumber air melalui sumur
bor ini, selain itu perlu kegiatan kajian yang lebih mendalam agar sumur bor dangkal di hutan dan lahan
gambut dapat menjadi salah satu kebijakan dalam rangka kegiatan pemadaman kebakaran di hutan dan
lahan gambut.
Daftar Pustaka
Aprianto D., et al. 2002. Teknik Pengendalian Kebakaran dilahan Gambut. Prosiding Gelar Teknologi
Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Terpadu. Balai Penelitian dan Pengembangan Hutan
Tanaman Indonesia Bagian Timur.
Adinugroho W.C. et al. 2005. Panduan Pengendalian Kebakaran hutan dan lahan gambut. Wetlands
Intertational. Bogor.
Anwar I., E. Priyanto, 2014. Taktik dan teknik pemadaman kebakaran hutan dan lahan. Bahan pelatihan MPA
(masyarakat peduli api) se Kalimantan Selatan. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru.
Faidil S. et al, 2000. Teknik Pengendalian Kebakaran di Lahan Gambut. Laporan Hasil Penelitian. Balai
Teknologi Reboisasi Banjarbaru.
Faidil S., 2000. Pengenalan Sifat-Sifat Api. Pelatihan Pencegahan dan Kebakaran Hutan Tingkat Pelaksana
Lapangan. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru.
Harun M.K., 2015. Rencana kegiatan pemeliharaan dan penataan KHDTK Tumbang Nusa Tahun 2015
Zaini M.,1998. Panduan Pencegahan dan Pemadaman Kebakaran. Penerbit Abdi Tandur Jakarta.
www.antarakalteng.com tanggal 3 Oktober 2015.
29
Perbandingan Sifat Fisis Seedball Aeroseeding dari Beberapa Formula ...Safi nah S. Hakim, Purwanto B. Santosa, Dewi Alimah
PERBANDINGAN SIFAT FISIS SEEDBALL AEROSEEDING DARI BEBERAPA FORMULA PEMBENTUK SERTA
KETEBALAN SEEDBALL
Safi nah S. Hakim; Purwanto B Santosa; Dewi Alimah
ABSTRAK Aeroseeding merupakan salah satu cara dalam merehabilitasi lahan rawa gambut. Agar hasil aerosseding lebih efektif, digunakan seedball. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sifat fi sis seedball yang dibuat dari tiga kombinasi formula yakni (A) gambut (B) liat, dan (C) talc yang dicampurkan dengan kompos dengan perbandingan 1:1 , serta dibentuk menjadi ketebalan berbeda yakni 2 cm, 3 cm, dan 4 cm. Hasil analisis sifat fi sis menunjukkan formula A (Gambut dan kompos) memiliki keunggulan dibandingkan dengan formula lainnya karena memiliki kadar air (91.1%), bulk density (0.81%) dan porositas (58.47%) yang lebih sesuai untuk perkecambahan benih dibandingkan dengan formula lainnya. Selain itu, formula A juga memiliki berat yang ringan sehingga meningkatkan efi siensi pada saat penaburan benih yang dilakukan pada kegiatan rehabilitasi melalui aeroseeding. Kata kunci : rehabilitasi, seedball, kadar air, lahan gambut
PENDAHULUAN
Lahan rawa gambut merupakan komponen penting dalam ekosisitem dunia. Dari sudut pandang
ekologis, lahan rawa gambut memiliki peran sebagai habitat fl ora fauna, pengatur hidrologis serta sebagai
pool carbon. Namun, adanya kegiatan pembakaran lahan serta alih fungsi lahan rawa gambut menyebabkan
menurunnya luasan lahan rawa gambut di Indonesia. Oleh karena itu, rehabilitasi lahan rawa gambut
merupakan salah satu prioritas yang harus dilakukan dalam mengatasi kerusakan lingkungan. Sayangnya,
praktik rehabilitasi lahan rawa gambut terkadang tidak bisa dilakukan secara konvensional akibat kondisi
lahan yang susah dijangkau. Salah satu cara untuk rehabilitasi lahan dengan kondisi medan yang sulit adalah
dengan metode aeroseeding.
Aeroseeding merupakan satu cara rehabilitasi yang awalnya dikembangkan di daerah Amerika pada
lahan-lahan pasca kebakaran hutan, salah satunya di daerah DAS South Fork Trinity (Miles et al., 1987).
Di Indonesia sendiri, kegiatan aeroseeding sudah dilakukan, antara lain di hutan kota Palangkaraya (Tim
Aerial Seeding Jurusan Kehutanan Universitas Palangkaraya, 2011), Balangpulang dan di Pegunungan Willis
(Millang, 2010). Dalam pelaksanaannya, aeroseeding dilakukan dengan dua cara yakni dengan menebarkan
benih secara langsung dari pesawat, dan dibungkus dengan bahan tertentu.
Pembuatan seedball untuk penanaman pertama dilakukan dengan menggunakan campuran benih,
tanah, air dan lumpur (Fukuoka, 1992). Seedball mengandung komponen-komponen yang dibutuhkan benih
30
Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
untuk berkecambah Pada aeroseeding, seedball dibuat dengan beberapa tujuan. Pertama, menambah
massa benih agar jatuh pada lokasi target rehabilitasi. Kedua, memberikan kondisi yang lebih kondusif bagi
benih untuk berkecambah dan bertahan sehingga mampu bertahan hingga benih berkecambah (Priadi,
2010).
Saat ini, sudah terdapat beberapa penelitian tentang pembuatan seedball aeroseeding. Terdapat
beberapa bahan organik yang sering digunakan antara lain kompos, gambut, dan liat. Terdapat perbedaan
kualitas pertumbuhan dan perkecambahan pada jenis benih dan jenis bahan organik pembawa yang
berbeda. Hasil lain dikemukakan oleh Alimah (2010), bahwa formula pembawa tidak berpengaruh terhadap
tingkat perkecambahan benih. Dari beberapa penelitian yang ada, aspek fi sis dari formula seedball yang
dibuat kurang diperhatikan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana aspek
fi sis seedball yang dibuat dari formula pembentuk serta ketebalan yang berbeda. Hasil akhir dari penelitian
terkait aspek fi sis seedball ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan pada proses rehabilitasi
melalui metode aeroseeding.
BAHAN DAN METODE
Tabel 1. Formula yang digunakan dalam pembuatan seedball aeroseeding
Jenis Formula Media Pembungkus Jumlah Takaran Kompos
A Tanah Gambut 1 1
B Tanah Liat 1 1
C Talk Powder 1 1
Seedball dibuat dengan tujuan untuk memberikan kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan oleh benih
untuk berkecambah serta memberikan kondisi lingkungan yang lebih mendukung dalam perkecambahan.
Oleh karena itu, seedball dibuat dengan bahan-bahan organik. Pada penelitian ini, bahan organik yang
digunakan adalah gambut, kompos, tanah liat, dan talk. Talk sendiri merupakan bahan yang sudah sangat
umum digunakan sebagai coating biji pada tanaman pertanian (Madsen et al., 2012). Terdapat tiga jenis
formula yang digunakan untuk pembuatan seedball (Tabel 1). Prosedur pembuatan seedball dilakukan
dengan mencampurkan bahan penyusun sesuai dengan komposisinya, diaduk perlahan, diambil gumpalan-
gumpalan (Gambar 1). Keseluruhan proses ini dilakukan dengan cara non-mekanis. Seedball dibentuk
menjadi ukuran bulat-bulat dengan kombinasi diameter seedball yakni 2 cm, 3 cm, dan 4 cm. Penentuan
diameter seedball dilakukan dnegna menggunakan jangka sorong (Gambar 2).
Uji sifat fi sis media dilakukan terhadap media yang dibuat dengan formula dan ketebalan yang berbeda.
Uji fi sis yang dilakukan meliputi uji kadar air, berat jenis partikel, bulk density, dan porositas dan massa tanah.
Analisis dilakukan Metode pengujian yang dilakukan pada penelitian ini mengikuti pedoman yang diberikan
oleh Puja (2008). Selain itu ditambahkan pula pengukuran massa seedball dari formula dan ketebalan
seedball yang berbeda. Seluruh pengujian dilakukan di laboratorium tanah Balai Penelitian Kehutanan
Banjarbaru.
31
Perbandingan Sifat Fisis Seedball Aeroseeding dari Beberapa Formula ...Safi nah S. Hakim, Purwanto B. Santosa, Dewi Alimah
Gambar 1. Pencampuran Bahan Pembuat Seedball
Gambar 2. Pengukuran Diameter Seedball
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hardjowigeno (2003) menyebutkan bahwa sifat tanah dibagi menjadi tiga karakter yakni sifat fi sik, sifat
kimia, dan sifat biologis. Sifat fi sis tanah merupakan komponen yang perlu diperhatikan dalam kegiatan
penanaman karena sifat fi sis ini mempengaruhi penetrasi akar, retensi air, drainase, dan aerasi tanaman.
Pentingnya mengetahui sifat fi sis tanah juga berlaku bagi pembuatan seedball karena seedball dibuat
sebagai media tumbuh benih yang digunakan dalam proses rehabilitasi.
Seedball dibuat dengan komposisi yang berbeda yakni kompos dan gambut (formula A), kompos dan
liat (formula B), serta kompos dan talc (Fomula C). Berdasarkan analisis fi sik yang dilakukan terhadap tiga
jenis formula pembungkus (Tabel 2), diketahui bahwa formula A memiliki kadar air paling tinggi. Hal ini
berkaitan dengan kemampuan tanah gambut dalam mengikat air. Tanah gambut memiliki kemampuan
32
Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
menyerap dan menyimpan air sebanyak 13 kali dari bobotnya (Agus dan Subiksa 2008).
Tabel 2. Hasil uji fi sis media seedball pada komposisi media berbeda
No ParameterFormula
Gambut+kompos Tamah Liat + Kompos Talk + Kompos
1 Kadar Air (%) 91,1 46,4 32,58
2 Berat Jenis Partikel (g/cm3) 1,39 2,13 2,56
3 Bulk Density (g/cm3) 0,81 0,86 1,41
4 Porositas (%) 58,47 40,52 55,13
Berat jenis partikel dan bulk density tanah sangat menentukan porositas tanah. Bulk density atau
dikenal juga dengan berat volume tanah merupakan perbandingan berat tanah dengan volume total tanah
(Pandutama et al., 2003). Bulk density sangat berpengaruh pada porositas tanah, pergerakan air, peredaran
udara, serta penetrasi akar tanaman. Penelitian Skinner et al.(2009) menunjukkan bahwa penetrasi akar
ke dalam tanah secara linear berkurang seiring dengan peningkatan bulk density. Jika ketiga formula
pembungkus seedball dibandingkan, diketahui besarnya bulk density media dari yang terkecil hingga
terbesar adalah Formula A, Formula B, dan Formula C. Jika ditinjau dari bulk density masing-masing tipe
seedball, maka pembungkus dengan formula A, merupakan yang paling baik karena nilai bulk density yang
rendah yakni sebesar 0,81 g/cm3. Porositas tanah sangat berpengaruh terhadap ketersediaan oksigen di
dalam formula pembungkus seedball. Porositas paling rendah terdapat pada formula B yang tersusun atas
kompos dan liat. Hal ini dikarenakan tanah liat atau clay memiliki diameter partikel yang sangat kecil yakni
< 0.002 mm (Hardjowigeno, 2003).
Gambar 3. Perbandingan Berat seedball dari formula dan ketebalan yang berbeda
Berat seedball merupakan pertimbangan penting dalam kegiatan penanaman dengan aeroseeding.
Sebagai contoh, kegiatan aerosseding yang dilakukan di Sulawesi utara dengan menggunakan pesawat
33
Perbandingan Sifat Fisis Seedball Aeroseeding dari Beberapa Formula ...Safi nah S. Hakim, Purwanto B. Santosa, Dewi Alimah
CASA 212-200 TNI-AU dengan dengan kemampuan angkut 1500 kg/fl ight (Millang 2010). Dari pengukuran
yang dilakukan, berat seedball dari formula dan diameter berbeda disajikan pada Gambar 3. Diketahui
bahwa berat seedball paling ringan adalah berat seedball yang dibuat dengan formula A yang merupakan
pencampuran kompos dan gambut dengan berat rata-rata pada diameter 2 cm, 3 cm dan 4 cm berturut
turut adalah 6.7 g; 22,51 g; dan 39.13 g. Informasi mengenai berat seedball dapat digunakan sebagai
referensi dalam pengangkutan seedball pada saat proses pelaksanaan aeroseeding. Jika dipandang dari
segi kepraktisan dan pendanaan, seedball dengan berat paling ringan tentu saja lebih efektif dibandingkan
dengan seedball dengan berat yang besar .
Gambar 4. Jumlah seedball/ kilogram dari formula dan ketebalan seedball yang berbeda
Setiap kali terbang, jumlah seedball dengan ukuran ringan akan membawa lebih banyak benih
dibandingkan tipe seedball dengan massa yang labih besar. Pada masing-masing formula, jumlah seedball
setiap kilogram ditampilkan pada Gambar 4. Berdasarkan data tersebut, jenis A merupakan jenis yang paling
ringan sehingga jumlah seedball setiap kilogramnya adalah 149 butir (d=2 cm), 44 (d=3 cm), dan 25 butir (d=
4cm). Hasil ini menandakan bahwa diantara ketiga formula, seedball yang dibuat dari Formula A dengan
diameter seedball ukuran 2 cm merupakan pilihan yang paling efektif. Jika diasumsikan penebaran seedball
dilakukan dengan pesawat CASA 212-200 TNI-AU dengan dengan kemampuan angkut 1500 kg/fl ight maka
jumlah seedball yang diangkut sekali terbang adalah sebanyak 223,500 buah seedball.
Selain efektif dalam pengangkutan, seedball dengan diameter 2 cm juga diasumsikan lebih baik untuk
kegiatan rehabilitasi. Hal ini karena seedball dengan diameter besar akan memberikan tekanan yang lebih
besar pada benih. Semakin tebal seedball, tekanan media terhadap biji semakin besar sehingga energi
yang dibutuhkan oleh benih untuk mematahkan soil penetration resistance semakin tinggi. Hal ini juga
dikemukakan oleh Skinner (2009) yang mengemukakan bahwa pertumbuhan akar terbatas pada tanah
dengan tekanan sebesar 1MPa, serta kemampuan benih berkecambah tidak berhasil jika tanah memiliki
tekanan sebesar 1 hingga 2 MPa (Skinner et al. 2009).
34
Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Seedball merupakan salah satu alternative metode yang digunakan untuk meningkatkan rehabilitasi
dengan eroseeding. Seedball dapat dibuat dengan menggunakan bebrbagai alternative bahan pembentuk.
Berdasarkan hasil analisis fi sik yang dilakukan pada penelitian ini, diketahui bahwa seedball dengan bahan
pembentuk yang berasal dari kompos dan tanah gambut memiliki keunggulan dibandingkan dnegna
seedball lain yang dibuta dari bahan liat dan talk. Seedball dengan bahan pembentuk kompos dan gambut
(Formula A) memiliki kadar air, porositas, bulk density yang lebih sesuai untuk mendukung pertumbuhan
benih dibandingkan dengan seedball yang dibuat dari bahan pembentuk tanah liat dan talc. Selain itu,
berdasarkan beratnya, seedball dengan formula A lebih efektif saat pengangkutan sehingga bisa menekan
biaya operasional dan mendukung keberhasilan kegiatan rehabilitasi.
Saran
Untuk meningkatkan keberhasilan kegiatan rehabilitasi dnegan menggunakan aeroseeding sebaiknya
dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh ketebalan dan formula seedball tehadap perkecambahan
benih.
Daftar Pustaka
Agus F dan Subiksa IGM. 2008. Lahan Gambut : Potensi untuk Pertanian dan Aspek lingkungan. Balai
Penelitian Tanah. Bogor : World Agroforestry Centre.
Alimah D. 2010. Ujicoba Jenis Tanaman dan Formula Pembungkus Benih Untuk Aerialseeding di Hutan
Rawa Gambut Terdegradasi. Laporan Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Tidak
Dipublikasikan.
Fukuoka M. 1992. The One-Straw Revolution. India : Other India Press
Hardjowigeno, S. 2003. Klasifi kasi Tanah dan Pedogenesis Edisi Revisi. . Akademika Presindo. Jakarta.
Madsen MD, Davies KW, William JC, Svejcar TJ. 2012. Agglomerating Seeds to enhance native seedling
emergence and growth. Journal of Applied Ecology. doi:10.1111/j.1365-2664.2012.02118.x
Millang S. 2010. Rehabilitasi Hutan dan Lahan melalui metode air seeding dan ball seeding di Sulawesi Selatan
dalam Prosiding Dies Natalis Universitas Hasanudin ke 54. Diunduh pada 3 Agustus 2015. Tersedia
pada http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/2876
Pandutama MH, Mudjiharjati, Suyono, Wustamidin. 2003. Buku Ajar Dasar-dasar Ilmu Tanah. Jember :
Universitas Jember
Priadi D.2010. Aplikasi Teknik Enkapsulasi pada benih sengon (Paraserienthes falcataria) . Teknologi Indonesia
33(2) : 92-99
Puja IN. 2008. Penuntun Praktikum Fisika Tanah. Denpasar : Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Universitas
Udayana.
Skinner AK, Lunt ID, Spooner P, McIntyre S. 2009. The eff ect of soil compaction on germination and early
growth of Eucalyptus albens and exotic annual grass. Austral Ecology 34: 698-704.
Tim Aerial Seeding Jurusan Kehutanan Univeristas Palangkarya. 2011. Ujicoba Reforestasi Hutan Rawa
Gambut Tropika Dengan Metode Aerial Seeding (Penaburan Udara). (diunduh pada 3 Agustus 2015).
Tersedia pada : https://kehutananunpar.fi les.wordpress.com-pembentukan-tim-aerial-seeding.pdf
35
Persiapan Lahan dan Pola Pertumbuhan pada Tanaman Pulai (Alstonia angustiloba Miq.)Purwanto Budi Santosa, Rusmana, Tri Wira Yuwati
PERSIAPAN LAHAN DAN POLA PERTUMBUHAN PADA TANAMAN PULAI (Alstonia angustiloba Miq.)
Purwanto Budi Santosa1, Rusmana1, Tri Wira Yuwati1
1Balai Penelitian Kehutanan BanjarbaruJl. A.Yani Km 28,7 Landasan Ulin Banjarbaru, Kalsel. Telp. 0511 - 4707872
Email: pur_balitaman@yahoo.com
ABSTRAKPulai (Alstonia angustiloba) merupakan salah satu jenis yang potensial untuk dikembangkan dalam pembuatan hutan tanaman dan berpotensi sebagai obat. Saat ini kayu A. angustiloba telah banyak dimanfaatkan untuk bahan baku komoditas yang bernilai ekonomis seperti pembuatan pensil slate, bahan baku pembuatan kerajinan topeng dan serta beragam kegunaan yang lain. Mengingat jenis ini merupakan jenis yang memberikan harapan untuk dikembangkan pada program hutan tanaman, maka teknik budidaya ini perlu dilakukan. Pada tulisan ini disampaikan penelitian persiapan lahan dan pola pertumbuhan tanaman pulai (Alstonia angustiloba) di KHDTK Riam Kiwa Kalimantan Selatan dan informasi pola pertumbuhannya. Persiapan lahan yang digunakan adalah dengan cara mekanis dan herbisida dengan dosis 7 liter/ha. Penampilan tinggi tanaman, tinggi bebas cabang (tbc), diameter 30 cm dari permukaan tanah dan diameter setinggi dada A angustiloba umur 35 bulan tidak menunjukkan perbedaan nyata antara persiapan lahan mekanis dan herbisida. Pola pertumbuhan tanaman A angustiloba sebagian besar mempunyai model pertumbuhan batang dalam 2 tahap, mempunyai batang tunggal dan terjadi pruning alami
Kata kunci : persiapan lahan, pola pertumbuhan, pulai (A angustiloba).
PENDAHULUAN
Hutan tanaman diharapkan mampu berperan dalam menyediakan 75% kebutuhan bahan baku industri
perkayuan (Anonim, 2009). Namun saat ini realisisasi ini masih rendah yaitu sampai tahun 2009, hutan
tanaman yang ada baru seluas 4,31 juta ha dari 9,16 juta ha, terdiri dari 231 perusahaan (Anonim, 2011).
Program hutan tanaman yang pada awalnya ditujukan untuk merehabilitasi lahan-lahan hutan yang
kritis dan tidak produktif, pada perkembangannya menjadi diharapkan menjadi penyeimbang terhadap
kebutuhan bahan baku kayu untuk industri (Arisman, 2001).
Indonesia sebagai negara yang mempunyai keanekaragaman jenis cukup tinggi menyimpan potensi
yang besar pada jenis-jenis aslinya. Potensi indigenious species yang dapat dikembangkan pada hutan
tanaman masih cukup banyak, salah satunya adalah pulai (Alstonia angustiloba). Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pada bagian kulit dan akar beberapa genus Alstonia mempunyai potensi anti kanker
dan anti malaria (Wong et al., 2011) dan menurut Ku et al., (2011) terdapat potensi kandungan 20 jenis
alkaloid A. angustiloba terkandung yang terdapat pada kulit kayunya yang berpotensi sebagai obat. Jenis
36
Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
ini selain telah lama dikenal masyarakat sebagai bahan pengobatan tradisional, masyarakat juga telah
memanfaatkan kayunya untuk berbagai keperluan seperti furniture, peti kayu, rak, cetakan logam serta
diambil getahnya. Menurut Imam dan Lukman (2007) tanaman A. Angustiloba mempunyai pertumbuhan
riap diameter sebesar 3,43 cm/tahun dan dapat dipanen dalam 10-12 tahun dengan volume berkisar 260 m3
/ha. A. Angustiloba termasuk dalam genus Alstonia family Apocynaceae yang berhabitus berupa semak atau
pohon yang tersebar di Amerika Tengah, Asia dan Afi ka (Sidiyasa, 1998)
Tujuan penanaman A. angustiloba adalah diambil produk kayunya, sehingga diharapkan pada saat
produksi diperoleh batang yang lurus dengan diameter besar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
persiapan lahan yang baik bagi pertumbuhan tanaman dan pola pertumbuhan tanaman A. Angustiloba.
BAHAN DAN METODE
a. Bahan :
Bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah tegakan A.angustiloba. Desain plot penelitian adalah
RCBD dengan perlakuan persipan lahan yaitu persiapan lahan mekanis dan persiapan lahan herbisida.
Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Jarak tanam adalah 3 x 3 meter.
b. Motode :
Persiapan lahan yang digunakan adalah persiapan lahan tanaman yang dilakukan secara mekanis dan
herbisida. Vegetasi awal lokasi adalah alang-alang dengan topografi datar. Persiapan lahan secara
mekanis dilakukan dengan menggunakan traktor dengan tahapan kegiatan yaitu : bajak- dengan
kedalaman olah tanahmencapai kedalaman 25 cm, 1 (3 bulan sebelum tanam), bajak-2 (2 bulan sebelum
tanam dan harrow (1 bulan sebelum tanam). Sedangkan secara herbisida (1 bulan sebelum tanam)
dengan dosis 7 liter / ha. Untuk mengetahui pola pertumbuhan dilakukan pendataan terhadap jumlah
cabang, cabang plagiotrop dan autotroph tanaman A. Angustiloba pada masing-masing persiapan
lahan.
A. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah di KHDTK Riam Kiwa yang terletak di Desa Lubang Baru Kecamatan Pengaron
Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Secara geografi s terletak pada 3o30 LS dan 115o15BT. Vegetasi
awal di lokasi penelitian adalah alang-alang dengan topografi datar. Rataan curah hujan di Kecamatan
Pengaron pada bulan mencapai 1813 mm, dimana 80% curah hujan terjadi pada bulan Oktober – April.
Namun demikian, terjadi variasi curah hujan dan musim hujan dari tahun ke tahun. Suhu rata-rata tahunan
adalah 26,6oC.
Tabel 1. Kandungan hara, tekstur dan struktur tanah di lokasi penelitian
PerlakuanpH % P total KTK BD PD porositas tekstur
H2O KCL C Organik
N total (mg/100gr) (me/100gr) (gr/
cm3)(gr/cm3) (%) %
Pasir%
Debu % Liat
Herbisida 5,45 4,35 0,97 0,15 10,787 14 1,05 2,4 56,25 35,16 36,02 28,82
Mekanis 5,34 4,13 0,23 0,14 10,757 12,5 1,05 2,24 53,13 50,81 30,4 18,79
37
Persiapan Lahan dan Pola Pertumbuhan pada Tanaman Pulai (Alstonia angustiloba Miq.)Purwanto Budi Santosa, Rusmana, Tri Wira Yuwati
B. Analisis Data
Analsis data pertumbuhan tanaman menggunakan uji-t. Sedangkan data model pertumbuhan tanaman
secara diskriptif dibandingkan dengan acuan pertumbuhan tanaman meneurut Halle at al. (1978).
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pertumbuhan Tanaman Pada Persiapan Lahan Mekanis dan Herbisida
Persiapan lahan yang digunakan adalah mekanis dan herbisida. Perlakuan mekanis dengan bajak 1 (T-3),
bajak 2 (T-2) dan harrow (T-1), sedangkan persiapan lahan secara herbisida dilakukan dengan menyemprot
lahan menggunakan herbisida sistemik berbahan aktif glophosat 480 AS dengan dosis 7 liter/ha. Penanaman
dilakukan pada lubang tanam ukuran (20 x20x20 cm) yang dibuat dengan cara dicangkul. Pupuk dasar yang
digunakan adalah NPK 15:15:15 sebanyak 50 gram/tanaman. Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan cara
menebas gulma dan menyemprot herbisida (7 liter/ha). Penampilan tanaman pada umur 35 bulan disajikan
pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1. Penampilan tinggi (cm), tinggi bebas cabang (tbc) (cm), diameter 30 cm dari permukaan
tanah (cm) dan diameter setinggi dada (cm) A. angustiloba umur 35 bulan
Secara statistik (uji-t) penampilan tinggi tanaman, tinggi bebas cabang (tbc) , diameter 30 cm dari
permukaan tanah dan diameter setinggi dada A angustiloba umur 35 bulan tidak menunjukkan perbedaan
nyata. Persiapan lahan mekanis dan herbisida menunjukkan tinggi 3,98 m dan 3,91 m. Tinggi bebas cabang
dan diameter 30 cm dari permukaan tanah masing-masing sama antara perlakuan persiapan lahan yaitu
85cm dan 11 cm. Menurut Imam dan Lukman (2007) pertumbuhan A.angustiloba memiliki riap sebesar
3,43 cm/tahun dan 1,52 m/tahun. Namun menurut Otsamo et al., (1995) persiapan lahan secara mekanis
dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman jenis-jenis pioner yang lebih baik daripada herbisida. Pengaruh
persiapan lahan secara mekanis yang dilakukan secara intensif dapat menekan pertumbuhan gulma alang-
alang (Imperata cylindrica) pada fase awal pertumbuhan tanaman (Otsamo et al, 1995). Pertumbuhan
tanaman tinggi A. angustiloba dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.
38
Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
Gambar 2. Pertumbuhan tinggi tanaman A.angustiloba umur 35 bulan
Pertumbuhan tanaman diameter A. Angustiloba dari umur 0 bulan sampai dengan 35 bulan dapat
dilihat pada Gambar 3 berikut.
Gambar 3. Pertumbuhan diameter tanaman pulai (A.angustiloba) umur 35 bulan
B. Model Pertumbuhan A.angustiloba
Alstonia angustiloba mempunyai pola arsitektur yang khas dimana pada ruas / buku-buku serta
cabangnya tumbuh cabang /ranting plagiotroph yang berjumlah 4 ruas yang masing-masing mempunyai
ukuran yang sama besar dan terletak pada posisi sudut / seimbang antara satu dengan yang lainnya.
A.angustiloba mempunyai arsitektur pohon berbentuk Prevost’s model, dimana pertumbuhannya mengikuti
modul-modul yang khas sejak awal pertumbuhannya. Percabangan terbentuk setelah pertumbuhan
batangnya. Pola pertumbuhan tinggi A. angsutiloba akan terhenti seiring dengan munculnya percabangan
39
Persiapan Lahan dan Pola Pertumbuhan pada Tanaman Pulai (Alstonia angustiloba Miq.)Purwanto Budi Santosa, Rusmana, Tri Wira Yuwati
berkarang, dan kemudian akan mengalami pertumbuhan dan berlanjut seiring dengan munculnya trubusan
(tunas) sebagai bakal batang pokok ke arah vertikal (ortotrophik ) (Sutisna et al, 1998).
Model arsitektur Prevost’s dicirikan mempunyai batang sympodial dan ortotropik. Pada model ini
terlihat adanya batang yang tumbuh proleptik di bagian bawah batang utama. Batang tersebut merupakan
batang kedua dan seperti pada batang pertama, batang kedua inipun terhenti dan kemudian disusul oleh
pertumbuhan cabang. Batang ketiga tumbuh di bawah percabangan dari batang kedua dan seterusnya. Pola
pertumbuhan model Prevost’s dapat dilihat pada Gambar 4.
Sumber : Halle et all (1978)
Gambar 4. Dinamika pertumbuhan tanaman model Prevost’s
Pada kegiatan penelitian ini, tanaman A.angustiloba saat pengamatan ini berumur 35 bulan dengan
persiapan lahan yaitu secara mekanis dan herbisida. Pola pertumbuhan tanaman dilapangan jenis A.
angustiloba pada umur 35 bulan mempunyai 2 model pertumbuhan tanaman seperti Gambar 5.
Model 2Model 1
Gambar 5. Model pertumbuhan pulai (Alstonia angustiloba) umur 35 bulan
40
Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
Model 1 terdapat 2 strata tajuk / percabangan atau terdapat “2 payung” dan telah tumbuh 1 batang
baru (ortotropik), atau dapat juga dikatakan terdiri dari 2 tahapan pertumbuhan percabangan dan 3 tahapan
pertumbuhan batang pokok. Pada model 2 terdapat 2 payung dan belum terdapat batang baru atau terdiri
2 tahapan pertumbuhan percabangan dan 2 tahapan pertumbuhan batang pokok. Berdasarkan hasil
pengamatan di lapangan, pada lahan mekanis dan lahan herbisida pertumbuhan A.angustiloba menunjukkan
bahwa model 2 mempunyai prosentase lebih tinggi dibanding model 1. Secara umum, rata –rata model
pertumbuhan pada umur 35 bulan adalah 74 % model 2 dan 26 % model 1 seperti pada Gambar 6 berikut.
Lahan Herbisida Lahan Mekanis
Gambar 6. Prosentase model tanaman Alstonia angustiloba umur 35 bulan.
C. Percabangan Tanaman A.angustiloba Umur 35 Bulan
A.angustiloba mempunyai pola arsitektur yang khas dimana pada ruas / buku-buku serta cabangnya
tumbuh cabang /ranting plagiotroph yang berjumlah 4 ruas yang masing-masing mempunyai ukuran yang
sama besar dan terletak pada posisi sudut / seimbang antara satu dengan yang lainnya seperti pada Gambar
7 berikut :
Keterangan :
No. 1-4 cabang plagiotroph
No. 5 cabang (calon batang) autrotoph
Gambar 7. Pola percabangan A.angustiloba
Pelaksanaan kegiatan dilakukan pada tanaman A.angustiloba berumur 35 bulan dengan melakukan
survey pohon-pohon yang mempunyai batang lebih dari satu, kemudian dipilih dan diberi tanda / kode
perlakuan yang akan dilakukan. Selanjutnya, dicatat data awal pohon tersebut dengan melakukan
pengukuran tinggi (m), diameter batang pokok (30 cm dari atas tanah) dan diameter setinggi dada (dbh).
Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan tinggi, diameter batang pokok (30 cm) dan diameter setinggi
dada (1,3 m) .
41
Persiapan Lahan dan Pola Pertumbuhan pada Tanaman Pulai (Alstonia angustiloba Miq.)Purwanto Budi Santosa, Rusmana, Tri Wira Yuwati
Alstonia angustiloba mempunyai pola arsitektur yang khas dimana pada ruas / buku-buku serta
cabangnya tumbuh cabang dan ranting plagiotroph yang masing-masing mempunyai ukuran yang sama
besar dan terletak pada posisi sudut / seimbang antara satu dengan yang lainnya. Hasil pendataan yang
dilakukan pada plot tanaman A. angustiloba umur 35 bulan dapat disajikan pada Gambar 8 berikut.
Gambar 8. Jumlah batang pokok A. angustiloba
Pada proses pertumbuhannya batang baru tanaman A.angustiloba muncul setelah percabangan
sympodial. Tunas baru muncul dibawah ruas percabangan yang terus berkembang menjadi batang pokok
(autotroph). Pada beberapa tanaman, munculnya tunas baru tidak hanya 1 buah bahkan 2-3 batang
sehingga batang pokok baru yang terbentuk tidak satu batang saja. Berdasarkan pengamatan di lapangan,
prosentase tanaman berbatang pokok 1 buah adalah 64% sedangkan berjumlah 2 buah dan 3 buah adalah
sebesar 18%. Menurut Imam dan Lukman (2007) pola pertumbuhan percabangan tanaman A. angustiloba
mempunyai korelasi yang sangat erat dengan umur tanaman (r=0,93), yaitu bekas percabangan semakin
banyak sebanding dengan bertambahnya umur tanaman, sehingga umur tanaman A.angustiloba dapat
dilihat dari banyaknya bekas percabangan yang terdapat pada batang pokok tanaman.
Gambar 9. Jumlah percabangan Alstonia angustiloba umur 35 bulan
42
Galam Volume 1 Nomor 2, Desember 2015Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru
Alstonia angustiloba mempunyai sifat khas pertumbuhan cabang sympodial yang sama besar dan
terletak pada posisi sudut / seimbang antara satu dengan yang lainnya. Pada tanaman muda akan terbentuk
4 buah percabangan. Berdasarkan pengukuran, pada umur 35 bulan, A.angustiloba yang mempunyai
percabangan 0 sebesar 39%, cabang 1 sebesar 28%, cabang 2 sebesar 3%, cabang 3 sebesar 8% dan cabang
4 sebesar 22%. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi pruning alami (self pruning) dimana tanaman yang
bercabang kurang dari 4 (cabang 0 sampai 3 buah) sebesar 78%, sedangkan yang bercabang 4 sebesar 22%.
Hal ini sesuai dengan Muslimin dan Lukman (2011) yang melaporkan bahwa abang tanaman A.angustiloba
mempunyai kemampuan untuk meluruhkan diri (self pruning), yang ditandai adanya batang bebas cabang
yang tinggi
KESIMPULAN
1. Tidak ada perbedaan antara penyiapan lahan mekanis dan herbisida terhadap penampilan tinggi,
tinggi bebas cabang, diameter 30 cm dari permukaan tanah dan diameter setinggi dada pada Alstonia
angustiloba umur 35 bulan.
2. Model pertumbuhan Alstonia angustiloba umur 35 bulan yaitu 74 % mempunyai model pertumbuhan
batang 2 tahap dan 26 % mempunyai model pertumbuhan batang 3 tahap dan 2 tahap pertumbuhan
cabang
3. Tanaman Alstonia angustiloba yang mempunyai batang pokok 1 buah adalah 64% sedangkan yang
mempunyai batang pokok 2 buah dan 3 buah masing-masing adalah sebesar 18%.
4. Tanaman Alstonia angustiloba umur 35 bulan terjadi 78% terjadi self pruning sedangkan 22% tidak
terjadi self pruning.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Road Map Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan Jakarta.
Arisman, H. 2001. Pandangan Dunia Usaha Perkayuan Terhadap Penyelenggaraan HTI. Prosiding Diskusi
Teknologi Pemanfaatan Kayu Budidaya untuk Mendukung Industri Perkayuan yang Berkelanjutan.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan, Badan Litbang Kehutanan, Bogor.
Halle,F., R.A.A.A., Oldeman, and P.B. Tomlinson.,1978. Tropical Tres and Forest an Architectural Analysis.
Springer-Verlag Berlin Heidelberg New York
Ku, W.F., Tan, S.J., Low, Y. Y., Komiyama, K, Kam, T.S. 2011. Angustilobine and andranginine type
indole alkaloids and an uleine–secovallesamine bisindole alkaloid from Alstonia angustiloba
Phytochemistry 72:pp 2212–2218
Otsamo, A., Adjers, G., Hadi, T. S., Kuusipalo, J., Tuomelaa,K., and Vuokko, R, 1995. Eff ect of site preparation
and initial fertilization on the establishment and growth of four plantation tree species used
in reforestation of Imperata cylindrica (L.) Beauv. dominated grasslands. Forest Ecology and
Management 3 :271-277
Sidiyasa, K., 1998. Taxonomy, Phylogeny, and Wood Anatomy of Alstonia (Apocynaceae). Blumea
Supplement 11. Rijksherbarium/Hortus Botanius, The Netherlands, pp. 1–230.
Muslimin, I. dan Lukman, A. H,. 2007. Pola pertumbuhan pulai darat (Alstonia angustiloba Miq) di Kabupaten
Musi Rawas Sumatera Selatan. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan
43
Persiapan Lahan dan Pola Pertumbuhan pada Tanaman Pulai (Alstonia angustiloba Miq.)Purwanto Budi Santosa, Rusmana, Tri Wira Yuwati
Palembang.
Wong, S.K, Lim,Y.Y., Abdullah,N.R., Nordin,F.J., 2011., Assessment of antiproliferative and antiplasmodial
activities of fi ve selected Apocynaceae species. Complementary and Alternative Medicine 11:3
Sutisna, Uhaedi, Titi Kalima dan Purnadjaja. 1998. Pedoman Pengenalan Pohon Hutan di Indonesia. Yayasan
PROSEA dan Pusat Diklat Pegawai dan SDM Kehutanan. Bogor
44