Esai Vindy

Post on 04-Nov-2015

216 views 0 download

description

esai

Transcript of Esai Vindy

Terapi Gangguan SomatoformDibuat Oleh: Vindy / 11.2013.213Gangguan somatoform merupakan kelompok besar dari berbagai gangguan yang komponen utama dari tanda dan gejalanya adalah tubuh. Gangguan ini mencakup interaksi tubuh dan pikiran (Body-mind). Pada pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak didapatkan penemuan bermakna dari keluhan pasien. Pasien cenderung melakukan berbagai pemeriksaan yang berhubungan dengan keluhan/ keyakinan penyakit pasien secara berulang kali meskipun hasil pemeriksaan tidak menunjukkan kelainan. Gangguan somatoform ini dibagi menjadi: (1) Gangguan somatisasi; (2) Gangguan konversi; (3) Hipokondriasis; (4) Body dysmorphic disorder; (5) Gangguan nyeri. Pasien dengan gangguan somatoform cenderung datang ke dokter umum ataupun dokter klinisi lainnya karena mengalami gejala gejala somatik (somatisasi) atau mengganggap dirinya terkena suatu penyakit (hipokondriasis). Pasien dengan gangguan body dysmorphic disorder umumnya akan datang ke dokter bedah kecantikan karena adanya preokupasi cacat/kurang baiknya bagian tubuh tertentu pada pasien. Umumnya pasien akan ke psikiater bila sudah terdapat gangguan depresi atau cemas.Penanganan pasien sebaiknya dengan satu orang dokter, sebab bila dengan beberapa dokter, pasien akan mendapat kesempatan lebih banyak mengungkapkan keluhan somatik/ keyakinan penyakitnya. Pemeriksaan fisik harus tetap dilakukan untuk keluhan somatik yang baru, dokter atau terapis harus mendengarkan keluhan somatik sebagai ekspresi emosional selain juga sebagai keluhan medik. Terapi pada gangguan somatoform harus terintegrasi. Sebaiknya jangan memberi terapi simtomatik untuk keluhan pasien. Selain itu pengawasan terhadap pemberian obat harus dilakukan karena pasien cenderung menggunakan obat - obatan berganti ganti dan tidak rasional.Psikoterapi individual maupun kelompok akan menurunkan pengeluaran dana perawatan kesehatan. Psikoterapi membantu pasien untuk mengatasi gejala gejalanya, mengekspresikan emosi yang mendasari dan mengembangkan strategi alternatif untuk mengungkapkan perasaannya. Psikoterapi yang diberikan dapat berupa: (1) Psikoterapi suportif (ventilasi, persuasi, sugesti, reassurance, bimbingan, konseling); (2) terapi kognitif dan perilaku untuk menghilangkan skema negatif; (3) terapi relaksasi; (4) terapi keluarga/ kelompok.Umumnya terapi farmakologi diberikan bila terdapat gangguan lain (komorbid) misalnya dengan gangguan cemas atau depresi. Obat antidepresan yang digunakan apabila pasien mengalami depresi dapat berupa antidepresan trisiklik, penghambat MAO, SSRI. SSRI juga terbukti dapat mengurangi gejala yang dikeluhkan pasien sebesar 50%. Contoh obat golongan SSRI yang dapat dipakai yaitu: (1) fluoxetin dengan dosis awal 20 mg diberikan sekali sehari; (2) Setralin dengan dosis awal 50mg diberikan sekali sehari. Efek samping golongan SSRI adalah mual, penurunan libido dan fungsi seksual lainnya. Selain SSRI, golongan antidepresan trisiklik juga dapat diberikan yaitu amtriptilin dengan dosis awal 25 mg diberikan tiga kali sehari. Efek samping antidepresan trisiklik adalah pusing, hipotensi, gangguan saraf otonom, gangguan SSP. Untuk pengobatan cemas dapat diberikan golongan benzodiazepin sebagai lini pertama. Obat yang diberikan dapat berupa: (1) Lorazepam dengan dosis awal 1 mg, diberikan 2 kali sehari; (2) Clobazam dosis awal 10mg, diberikan 2 kali sehari; (3) diazepam dosis awal 2 mg, diberikan 2 kali sehari. Efek samping obat golongan benzodiazepin yang utama adalah mengantuk, sakit kepala, nafsu makan meningkat, mudah terjadi toleransi. Selain golongan benzodiazepin, obat antiansietas lain yang dapat digunakan yaitu derivat Gliserol seperti meprobamat dan golongan barbiturat seperti fenobarbital. Penghentian obat harus secara bertahap/ tappering off dengan memperhatikan dosis kesetaraan zat yang digunakan.Daftar Pustaka1. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku ajar psikiatri. Edisi 2. 2013. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.h.287-303, 382-385.2. Saddock BJ, Saddock VA. Kaplan & Sadocks synopsis of psychiatry. 10th ed. 2007. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins.h.634-649.3. Gunawan SG, Nafrialdi RS, Elysabeth, Syarif A, Estunningtyas A, Setiawati A, et al. Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;2000.h.169-173.4. Siregar M. Gangguan somatoform. Dalam: Bahan kuliah blok 22 Neurology & Behaviour Science. Jakarta: UKRIDA; 2012.5. Asnawi E. Psikoterapi. Dalam: Bahan kuliah blok 22 Neurology & Behaviour Science. Jakarta: UKRIDA; 2012.6. Kallivayalil RA, Punnoose VP. Understanding and managing somatoform disorders: Making sense of non-sense. Indian Journal of Psychiatry [serial online]. Januari 2010; 52 (1).p.240-245. Diunnduh dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3146190/ , 20 Juni 2014.7. Kroenke K. Efficacy of treatment for somatoform disorders: A review of randomized controlled trials. Focus [serial online]. Juni 2009; 7 (3).p.414-423. Diunduh dari: http://focus.psychiatryonline.org/article.aspx?articleID=52976#DISCUSSION , 20 juni 2014.