Post on 06-Dec-2014
description
EDEMA PARU (ALO)
PENDAHULUAN
Edema paru terjadi oleh karena adanya aliran cairan dari darah ke ruang intersisial paru yang
selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke darah atau melalui saluran limfatik.
Edema paru dibedakan oleh karena sebab Kardiogenik dan NonKardiogenik. Hal ini penting diketahui
oleh karena pengobatannya sangat berbeda. Edema Paru Kardiogenik disebabkan oleh adanya Payah
Jantung Kiri apapun sebabnya. Edema Paru Kardiogenik yang akut disebabkan oleh adanya Payah
Jantung Kiri Akut. Tetapi dengan adanya faktor presipitasi, dapat terjadi pula pada penderita Payah
Jantung Kiri Khronik.
DEFINSI
Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba akibat peningkatan tekanan
intravaskular.
PATOFISIOLOGI
Edema, pada umumnya, berarti pembengkakan. Ini secara khas terjadi ketika cairan dari bagian dalam
pembuluh-pembuluh darah merembes keluar pembuluh darah kedalam jaringan-jaringan sekelilingnya,
menyebabkan pembengkakan. Ini dapat terjadi karena terlalu banyak tekanan dalam pembuluh-
pembuluh darah atau tidak ada cukup protein-protein dalam aliran darah untuk menahan cairan dalam
plasma (bagian dari darah yang tidak megandung segala sel-sel darah).
Edema paru adalah istilah yang digunakan ketika edema terjadi di paru-paru. Area yang langsung diluar
pembuluh-pembuluh darah kecil pada paru-paru ditempati oleh kantong-kantong udara yang sangat
kecil yang disebut alveoli. Ini adalah dimana oksigen dari udara diambil oleh darah yang melaluinya, dan
karbon dioksida dalam darah dikeluarkan kedalam alveoli untuk dihembuskan keluar. Alveoli normalnya
mempunyai dinding yang sangat tipis yang mengizinkan pertukaran udara ini, dan cairan biasanya
dijauhkan dari alveoli kecuali dinding-dindig ini kehilangan integritasnya. Edema Paru terjadi
ketika alveoli dipenuhi dengan kelebihan cairan yang merembes keluar dari pembuluh-pembuluh darah
dalam paru sebagai gantinya udara. Ini dapat menyebabkan persoalan-persoalan dengan pertukaran gas
(oksigen dan karbon dioksida), berakibat pada kesulitan bernapas dan pengoksigenan darah yang buruk.
Adakalanya, ini dapat dirujuk sebagai “air dalam paru-paru” ketika menggambarkan kondisi ini pada
pasien-pasien. Pulmonary edema dapat disebabkan oleh banyak faktor-faktor yang berbeda. Ia dapat
dihubungkan pada gagal jantung, disebut cardiogenic pulmonary edema, atau dihubungkan pada sebab-
sebab lain, dirujuk sebagai non-cardiogenic pulmonary edema.
ETIOLOGI
I. Ketidak-seimbangan Starling Forces :
A. Peningkatan tekanan kapiler paru :
1. Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis mitral).
2. Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel kiri.
3. Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan arteria pulmonalis
(over perfusion pulmonary edema).
B. Penurunan tekanan onkotik plasma.
1. Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, protein-losing enteropaday, penyakit
dermatologi atau penyakit nutrisi.
C. Peningkatan tekanan negatif intersisial :
1. Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura (unilateral).
2. Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut bersamaan dengan
peningkatan end-expiratory volume (asma).
D. Peningkatan tekanan onkotik intersisial.
1. Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.
II. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory Distress Syndrome)
A. Pneumonia (bakteri, virus, parasit).
B. Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, asap Teflon®, NO2, dsb).
C. Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-naphthyl thiourea).
D. Aspirasi asam lambung.
E. Pneumonitis radiasi akut.
F. Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
G. Disseminated Intravascular Coagulation.
H. Imunologi : pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin.
I. Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.
J. Pankreatitis Perdarahan Akut.
III. Insufisiensi Limfatik :
A. Post Lung Transplant.
B. Lymphangitic Carcinomatosis.
C. Fibrosing Lymphangitis (silicosis).
IV. Tak diketahui/tak jelas
A. High Altitude Pulmonary Edema.
B. Neurogenic Pulmonary Edema.
C. Narcotic overdose.
D. Pulmonary embolism.
E. Eclampsia
F. Post Cardioversion.
G. Post Anesthesia.
H. Post Cardiopulmonary Bypass.
MANIFESTASI KLINIK
Gejala yang paling umum dari pulmonary edema adalah sesak napas. Ini mungkin adalah penimbulan
yang berangsur-angsur jika prosesnya berkembang secara perlahan, atau ia dapat mempunyai
penimbulan yang tiba-tiba pada kasus dari pulmonary edema akut. Gejala-gejala umum lain mungkin
termasuk mudah lelah, lebih cepat mengembangkan sesak napas daripada normal dengan aktivitas yang
biasa (dyspnea on exertion), napas yang cepat (tachypnea), kepeningan, atau kelemahan.
Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada pasien-pasien dengan pulmonary
edema. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-paru dengan stethoscope, dokter mungkin mendengar suara-
suara paru yang abnormal, sepeti rales atau crackles (suara-suara mendidih pendek yang terputus-putus
yang berkoresponden pada muncratan cairan dalam alveoli selama bernapas).
DIAGNOSIS
Untuk mengidentifikasi penyebab dari pulmonary edema, penilaian keseluruhan dari gambar klinis
pasien adalah penting. Sejarah medis dan pemeriksaan fisik yang saksama seringkali menyediakan
informasi yang tidak ternilai mengenai penyebab.
Pemeriksaan Fisik
Sianosis sentral. Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih.
Ronchi basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh lapangan paru, kadang disertai
ronchi kering dan ekspirasi yang memanjang akibat bronkospasme sehingga disebut sebagai asma
kardiale. Takikardia dengan S3 gallop. Murmur bila ada kelainan katup.
Elektrokardiografi Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium, tergantung
penyebab gagal jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia bisa ditemukan
Laboratorium
Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian hiperkapnia.
Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
Darah rutin, ureum, kreatinin, , elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG, enzim jantung (CK-MB, Troponin
T), angiografi koroner.
Foto thoraks Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada. Radiograph (X-ray) dada
yang normal terdiri dari area putih terpusat yang menyinggung jantung dan pembuluh-pembuluh darah
utamanya plus tulang-tulang dari vertebral column, dengan bidang-bidang paru yang menunjukan
sebagai bidang-bidang yang lebih gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh struktur-struktur tulang
dari dinding dada.
X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan lebih banyak tampakan putih
pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasus-kasus yang lebih parah dari pulmonary edema
dapat menunjukan opacification (pemutihan) yang signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang
minimal dari bidang-bidang paru yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli sebagai
akibat dari pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan informasi yang minimal tentang
penyebab yang mungkin mendasarinya.
Gambaran Radiologi yang ditemukan :
Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vaskular di hilus)
Corakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral)
Kranialisasi vaskuler
Hilus suram (batas tidak jelas)
Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil atau nodul milier)
Gambar 1 : Edema Intesrtitial
Gambaran underlying disease (kardiomegali, efusi pleura, diafragma kanan letak tinggi).
Gambar 2 : Kardiomegali dan edema paru
Infiltrat di daerah basal (edema basal paru)
Edema “ butterfly” atau Bat’s Wing (edema sentral)
Gambar 3 : Bat’s Wing
Edema localized (terjadi pada area vaskularisasi normal, pada paru yang mempunyai kelainan
sebelumnya, contoh : emfisema).
Ekokardiografi Gambaran penyebab gagal jantung : kelainan katup, hipertrofi ventrikel (hipertensi),
Segmental wall motion abnormally (Penyakit Jantung Koroner), dan umumnya ditemukan dilatasi
ventrikel kiri dan atrium kiri.
Alat-alat diagnostik lain yang digunakan dalam menilai penyebab yang mendasari dari pulmonary edema
termasuk pengukuran dari plasma B-type natriuretic peptide (BNP) atau N-terminal pro-BNP. Ini adalah
penanda protein (hormon) yang akan timbul dalam darah yang disebabkan oleh peregangan dari kamar-
kamar jantung. Peningkatan dari BNP nanogram (sepermilyar gram) per liter lebih besar dari beberapa
ratus (300 atau lebih) adalah sangat tinggi menyarankan cardiac pulmonary edema. Pada sisi lain, nilai-
nilai yang kurang dari 100 pada dasarnya menyampingkan gagal jantung sebagai penyebabnya.
Metode-metode yang lebih invasif adakalanya diperlukan untuk membedakan antara cardiac dan
noncardiac pulmonary edema pada situasi-situasi yang lebih rumit dan kritis. Pulmonary artery catheter
(Swan-Ganz) adalah tabung yang panjang dan tipis (kateter) yang disisipkan kedalam vena-vena besar
dari dada atau leher dan dimajukan melalui kamar-kamar sisi kanan dari jantung dan diletakkan kedalam
kapiler-kapiler paru atau pulmonary capillaries (cabang-cabang yang kecil dari pembuluh-pembuluh
darah dari paru-paru). Alat ini mempunyai kemampuan secara langsung mengukur tekanan dalam
pembuluh-pembuluh paru, disebut pulmonary artery wedge pressure.
Wedge pressure dari 18 mmHg atau lebih tinggi adalah konsisten dengan cardiogenic pulmonary edema,
sementara wedge pressure yang kurang dari 18 mmHg biasanya menyokong non-cardiogenic cause of
pulmonary edema.
Penempatan kateter Swan-Ganz dan interpretasi data dilakukan hanya pada intensive care unit (ICU)
setting.
DIAGNOSIS BANDING
Emboli paru, asma bronkiale.
PENATALAKSANAAN
Posisi ½ duduk.
Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika memburuk (pasien makin sesak,
takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan
aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat),
maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.
Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg tiap 5 – 10 menit. Jika tekanan
darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin intravena mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB. Jika tidak
memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila
tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai
tekanan darah sistolik 85 – 90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau
selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital.
Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya dihindari).
Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4 jam atau
dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5 ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 –
10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau
keduanya.
Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan oksigen.
10. Atasi aritmia atau gangguan konduksi.
11. Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan ruptur dinding ventrikel /
corda tendinae.
KOMPLIKASI
Kebanyakan komplikasi-komplikasi dari pulmonary edema mungkin timbul dari komplikasi-komplikasi
yang berhubungan dengan penyebab yang mendasarinya. Lebih spesifik, pulmonary edema dapat
menyebabkan pengoksigenan darah yang dikompromikan secara parah oleh paru-paru. Pengoksigenan
yang buruk (hypoxia) dapat secara potensial menjurus pada pengantaran oksigen yang berkurang ke
organ-organ tubuh yang berbeda, seperti otak.
PENCEGAHAN
Dalam hal tindakan-tindakan pencegahan, tergantung pada penyebab dari pulmonary edema, beberapa
langkah-langkah dapat diambil. Pencegahan jangka panjang dari penyakit jantung dan serangan-
serangan jantung, kenaikan yang perlahan ke ketinggian-ketinggian yang tinggi, atau penghindaran dari
overdosis obat dapat dipertimbangkan sebagai pencegahan. Pada sisi lain, beberapa sebab-sebab
mungkin tidak sepenuhnya dapat dihindari atau dicegah, seperti ARDS yang disebabkan oleh infeksi atau
trauma yang berlimpahan.
BAB I
PENDAHULUAN
Gagal jantung merupakan diagnosa utama pada pasien rawat inap di rumah sakit sebesar 1 juta orang
per tahun di Amerika Serikat dan Eropa, dan angka kematiannya di rumah sakit meningkat dari 4%
menjadi 36% pada kasus berat yang membutuhkan ventilasi mekanik (Gheorghiade et al. 2012; Ursella
et al, 2007). Pasien dengan gagal jantung akut dapat hadir berupa edema paru akut kardiogenik yang
merupakan bentuk hipoksemia dari kegagalan pernafasan akut (Gray et al, 2009).
Edema paru akut kardiogenik merupakan keadaan darurat medis yang menyumbang hingga 15.000-
20.000 orang masuk rumah sakit per tahun di Inggris. Angka kematiannyapun cukup tinggi sebesar 10-
20% terutama pada pasien berkaitan dengan infark miokard akut (Alasdair et al, 2008).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gagal Jantung Akut
2.1.1 Definisi dan Klasifikasi
'
Gagal jantung dapat didefinisikan sebagai suatu kelainan struktur atau fungsi jantung yang
menyebabkan kegagalan jantung untuk menghantarkan oksigen yang diperlukan dalam memenuhi
kebutuhan metabolisme jaringan meskipun tekanan pengisian normal (atau hanya terjadi peningkatan
tekanan pengisian). Gagal jantung secara klinis didefinisikan sebagai sindrom dengan gejala (misalnya
sesak napas, pembengkakan kaki, dan kelelahan) dan tanda-tanda yang khas (misalnya tekanan vena
jugularis meningkat, ronkhi pada paru, dan pelebaran iktus jantung) akibat kelainan struktur atau fungsi
jantung (Dickstein et al, 2008; ESC, 2012).
Gagal jantung akut adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan serangan cepat dari gejala-
gejala atau tanda tanda dari gagal jantung yang memerlukan penanganan medis segera dan biasanya
menyebabkan pasien harus masuk rumah sakit secepatnya. Kondisi ini mengancam jiwa pasien dan
gagal jantung akut dapat berupa acute de novo (serangan baru dari gagal jantung akut, tanpa ada
kelainan jantung
•
sebelumnya) atau dekompensasi akut dari gagal jantung kronik (Gheorghiade et al, 2012). Pada
pasien yang telah menderita gagal jantung, sebelumnya apabila terjadi gagal jantung akut biasanya
terdapat faktor pencetus (misalnya aritmia atau penghentian terapi diuretik pada pasien gagal jantung
dengan ejection fraction yang rendah, overload cairan atau hipertensi berat (ESC, 2012)
2.1.2 Patofisiologi dan Patogenesis
Gagal jantung merupakan manifestasi akhir dari kebanyakan penyakit jantung. Pada disfungsi
sistolik, kapasitas ventrikel untuk memompa darah terganggu karena gangguan kontraktilitas otot
jantung yang dapat disebabkan oleh rusaknya miosit, abnormalitas fungsi miosit atau fibrosis, serta
akibat pressure overload yang menyebabkan resistensi atau tahanan aliran sehingga stroke volume
menjadi berkurang. Sementara itu, disfungsi diastolik terjadi akibat gangguan relaksasi miokard,
dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan
gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering disfungi diastolik adalah penyakit
jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofi.
Disfungsi sistolik lebih sering terjadi yaitu pada 2/3 pasien gagal jantung. Namun ada juga yang
menunjukkan keduanya, baik disfungsi sistolik maupun diastolik (Gheorghiade et al, 2005).
Beberapa mekanisme kompensasi alami akan terjadi pada pasien gagal jantung sebagai respon
terhadap menurunnya curah jantung serta untuk membantu mempertahankan tekanan darah yang
cukup untuk memastikan perfusi organ yang cukup. Mekanisme tersebut antara lain (Gheorghiade et al,
2005; McCance, 2006):
a. Mekanisme Frank Starling
Menurut hukum Frank-Starling, penambahan panjang serat menyebabkan kontraksi menjadi lebih kuat
sehingga curah jantung meningkat.
b. Perubahan neurohormonal
Salah satu respon neurohumoral yang terjadi paling awal untuk mempertahankan curah jantung
adalah peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis. Katekolamin menyebabkan kontraksi otot
jantung yang lebih kuat (efek inotropik positif) dan peningkatan denyut jantung. Sistem saraf simpatis
juga turut berperan dalam aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron (RAA) yang bersifat
mempertahankan volume darah yang bersirkulasi dan mempertahankan tekanan darah. Selain itu
dilepaskan juga counter-regulator peptides dari jantung seperti natriuretic peptides yang
mengakibatkan terjadinya vasodilatasi perifer, natriuresis dan diuresis serta turut mengaktivasi sistem
saraf simpatis dan sistem RAA.
c. Remodeling dan hipertrofi ventrikel
Dengan bertambahnya beban kerja jantung akibat respon terhadap peningkatan kebutuhan
maka terjadi berbagai macam remodeling termasuk hipertrofi dan dilatasi. Bila hanya terjadi
peningkatan muatan tekanan ruang jantung atau pressure overload (misalnya pada hipertensi,
stenosis katup), hipertrofi ditandai dengan peningkatan diameter setiap serat otot. Pembesaran ini
memberikan pola hipertrofi konsentrik yang klasik, dimana ketebalan dinding ventrikel bertambah
tanpa penambahan ukuran ruang jantung. Namun, bila pengisian volume jantung terganggu (misalnya
pada regurgitasi katup atau ada pirau) maka panjang serat jantung juga bertambah yang disebut
hipertrofi eksentrik, dengan penambahan ukuran ruang jantung dan ketebalan dinding.
Mekanisme adaptif tersebut dapat mempertahankan kemampuan jantung memompa darah pada
tingkat yang relatif normal, tetapi hanya untuk sementara. Perubahan patologik lebih lanjut, seperti
apoptosis, perubahan sitoskeletal, sintesis, dan remodelling matriks ekstraselular (terutama
kolagen) juga dapat timbul dan menyebabkan gangguan fungsional dan struktural yang semakin
•
mengganggu fungsi ventrikel kiri.
2.1.3 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis gagal jantung akut sangat banyak, dan kadang tumpang tindih dengan manifestasi
klinis yang lain, dan penanganannya pun bisa sangat berbeda sehingga klasifikasi apapun akan memiliki
keterbatasan (ESC, 2008).
1. Gagal jantung dekompensasi akut (de novo atau sebagai dekompensasi gagal jantung kronik)
dengan tanda-tanda dan gejala ringan dari gagal jantung akut dan tidak memenuhi kriteria untuk syok
kardiogenik, edema paru atau krisis hipertensi. Tekanan darah yang rendah pada awal masuk rumah
sakit berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk.
2. Gagal jantung akut hipertensi yaitu gagal jantung yang disertai tekanan darah tinggi dan
gangguan fungsi jantung relatif dan pada foto toraks terdapat tanda-tanda edema paru akut. Terdapat
bukti terjadinya peningkatan simpatis dengan takikardi dan vasokonstriksi. Pasien mungkin euvolumik
atau sedikit hipervolumik. Apabila pada pasien ini mendapat terapi yang tepat secepatnya maka angka
kejadian mortalitas di rumah sakit rendah.
3. Edema paru yang diperjelas dengan foto toraks. Dimana pasien datang dengan gangguan
pernafasan berat, takipneu, ortopnea dan terdapat ronki yang luas. Saturasi oksigen biasanya kurang
dari 90% pada udara ruangan sebelum mendapatkan terapi oksigen.
4. Syok kardiogenik ditandai dengan penurunan tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau
berkurangnya tekanan arteri rata-rata lebih dari 30 mmHg dan atau penurunan pengeluaran urin kurang
dari 0,5 ml/kgBB/jam, frekuensi nadi lebih dari 60 kali per menit dengan atau tanpa adanya kongesti
organ.
5. Gagal jantung kanan yang ditandai dengan sindrom low output, peninggian tekanan vena
jugularis, pembesaran hati dan hipotensi.
6. Sindroma koroner akut dan gagal jantung. Banyak pasien dengan gagal jantung akut datang dengan
gambaran klinis dan bukti laboratorium yang mengarah ke sindrom koroner akut. Sekitar 15% dari
pasien sindroma koroner akut memiliki tanda dan gejala gagal jantung. Episode gagal jantung akut
sering berhubungan atau dipicu oleh aritmia (bradikardia, fibrilasi atrium dan ventrikel takikardia)
Gambar 2.1 Klasifikasi Klinis Gagal Jantung Akut (dikutip dari ESC, 2008)
Ada beberapa klasifikasi lain gagal jantung akut yang bisanya dipakai diperawatan intensif untuk menilai
beratnya gagal jantung akut yaitu klasifikasi Killip yang berdasarkan tanda-tanda klinis dan foto toraks,
klasifikasi Forrester yang berdasarkan tanda-tanda klinis dan karakteristik hemodinamik. Klasifikasi ini
cocok pada infark jantung akut. Klasifikasi yang ketiga yang merupakan modifikasi dari klasifikasi
Forrester (gambar 2.2) yang berdasarkan sirkulasi perifer (perfusion) dan auskultasi paru (congestion)
(Daulat, 2009; ESC, 2008).
Gambar 2.2 Klasifikasi Klinis Berdasarkan Modifikasi Klasifikasi Forrester (dikutip dari ESC, 2008)
2.2 Edema Paru Akut
2.2.1 Definisi
Edema paru akut adalah akumulasi cairan di intersisial dan alveolus paru yang terjadi secara mendadak.
Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena
peningkatan permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang mengakibatkan terjadinya
ekstravasasi cairan secara cepat sehingga terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif
dan mengakibatkan hipoksia (Harun dan Saly, 2009; Soemantri 2011).
2.2.2 Mekanisme
Pada paru normal (gambar 2.3), cairan dan protein keluar dari mikrovaskular terutama melalui celah
kecil antara sel endotel kapiler ke ruang interstitial sesuai dengan selisih antara tekanan hidrostatik dan
osmotik protein, serta permeabilitas membran kapiler. Cairan dan solute yang keluar dari sirkulasi ke
ruang alveolar intertisial pada keadaan normal tidak dapat masuk ke ruang alveolar hal ini disebabkan
epitel alveolus terdiri atas ikatan yang sangat rapat. Selain itu, ketika cairan memasuki ruang intertisial,
cairan tersebut akan dialirkan ke ruang peribronkovaskular, yang kemudian dikembalikan oleh sistem
limfatik ke sirkulasi. Perpindahan protein plasma dalam jumlah lebih besar tertahan. Tekanan hidrostatik
yang diperlukan untuk filtrasi cairan keluar dari mikrosirkulasi paru sama dengan tekanan hidrostatik
kapiler paru yang dihasilkan sebagian oleh gradien tekanan onkotik protein (Maria, 2010).
Gambar 2.3 Paru Normal (dikutip dari Lorraine et al, 2005)
Terdapat dua mekanisme terjadinya edema paru:
1. Membran kapiler alveoli
Edema paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan dari darah ke ruang interstitial atau ke alveoli yang
melebihi jumlah pengembalian cairan ke dalam pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh
limfe. Dalam kedaan normal terjadi pertukaran dari cairan, koloid dan solute dari pembuluh darah ke
ruang interstitial. Studi eksperimental membuktikan bahwa hukum Starling dapat diterapkan pada
sirkulasi paru sama dengan sirkulasi sistemik (Harun dan Sally, 2009).
Q(iv-int) = Kf [(Piv - Pint) – df (IIiv – IIint)]
Keterangan:
Q = Kecepatan transudasi dari pembuluh darah ke ruang interstitial
Piv = Tekanan hidrostatik intravaskular
Pint = Tekanan hidrostatik interstitial
IIiv = Tekanan osmotik koloid intravaskular
IIint = Tekanan osmotik koloid interstitial
df = Kefisien refleksi protein
Kf = Kondukstan hidraulik
2. Sistem limfatik
Sistem limfatik ini dipersiapkan untuk menerima larutan koloid dan cairan balik dari pembuluh darah.
Akibat tekanan yang lebih negatif di daerah interstitial peribronkhial dan perivaskular. Dengan
peningkatan kemampuan dari interstitium alveolar ini, cairan lebih sering meningkat jumlahnya di
tempat ini ketika kemampuan memompa dari saluran limfatik tersebut berlebihan. Bila kapasitas dari
saluran limfe terlampaui dalam hal jumlah cairan maka akan terjadi edema. Diperkirakan pada pasien
dengan berat 70 kg dalam keadaan istirahat kapasitas sistem limfe kira-kira 20ml/jam. Pada percobaan
didapatkan kapasitas sistem limfe bisa mencapai 200ml/jam pada orang dewasa dengan ukuran rata-
rata. Jika terjadi peningkatan tekanan atrium kiri yang kronik, sistem limfe akan mengalami hipertrofi
dan mempunyai kemampuan untuk mentransportasi filtrat kapiler dalam jumlah yang lebih besar yang
dapat mencegah terjadinya edema. Sehingga sebagai konsekuensi terjadinya edema interstitial, saluran
nafas yang kecil dan pembuluh darah akan terkompresi (Harun dan Sally, 2009).
2.2.3 Klasifikasi
Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetus (Harun dan Sally, 2009):
1. Ketidakseimbangan “Starling Force”
a. Peningkatan tekanan vena pulmonalis
Edema paru akan terjadi hanya apabila tekanan kapiler pulmonal meningkat sampai melebihi tekanan
osmotik koloid plasma, yang biasanya berkisar 28 mmHg pada manusia. Sedangkan nilai normal dari
tekanan vena pulmonalis adalah antara 8-12 mmHg, yang merupakan batas aman dari mulai terjadinya
edema paru tersebut. Etiologi dari keadaan ini antara lain: (1) tanpa gagal ventrikel kiri (mis: stenosis
mitral), (2) sekunder akibat gagal ventrikel kiri, (3) peningkatan tekanan kapiler paru sekunder akibat
peningkatan tekanan arterial paru (sehingga disebut edema paru overperfusi).
b. Penurunan tekanan onkotik plasma
Hipoalbuminemia saja tidak menimbulkan edema paru, diperlukan juga peningkatan tekanan kapiler
paru. Peningkatan tekanan yang sedikit saja pada hipoalbuminemia akan menimbulkan edema paru.
Hipoalbuminemia dapat menyebabkan perubahan konduktivitas cairan rongga interstitial sehingga
cairan dapat berpindah lebih mudah diantara sistem kapiler dan limfatik.
c. Peningkatan negativitas dari tekanan interstitial
Edema paru dapat terjadi akibat perpindahan yang cepat dari udara pleural. Kedaaan yang sering
menjadi etiologi adalah: (1) perpindahan yang cepat pada pengobatan pneumothoraks dengan tekanan
negatif yang besar. Keadaan ini disebut ‘edema paru re-ekspansi’. Edema biasanya terjadi unilateral dan
seringkali ditemukan dari gambaran radiologis dengan penemuan klinis yang minimal. Jarang sekali
kasus yang menjadikan ‘edema paru re-ekspansi’ ini berat dan membutuhkan tatalaksana yang cepat
dan ekstensif, (2) tekanan negatif pleura yang besar akibat obstruksi jalan nafas akut dan peningkatan
volume ekspirasi akhir (misalnya pada asma bronkhial).
2. Gangguan permeabilitas membran kapiler alveoli: (ARDS = Adult Respiratory Distress Syndrome).
Kedaan ini merupakan akibat langsung dari kerusakan pembatas antara kapiler dan alveolar. Cukup
banyak kondisi medis maupun surgikal tertentu yang berhubungan dengan edema paru akibat
kerusakan pembatas ini daripada akibat ketidakseimbangan ‘Straling Force’
· Pneumonia (bakteri, virus, parasit)
· Terisap toksin (NO, asap)
· Bisa ular, endotoksin dalam sirkulasi
· Aspirasi asam lambung
· Pneumonitis akut akibat radiasi
· Zat vasoaktif endogen (histamin, kinin)
· Dissemiated Intravascular Coagulation
· Immunologi: pneumonitis hipersensitif
· Shock-lung pada trauma non thoraks
· Pankreatitis hemoragik akut
3. Insuffisiensi sistem limfe
· Pasca transplantasi paru
· Karsinomatosis, limfangitis
· Limfangitis fibrotik (siilikosis)
4. Tidak diketahui atau belum jelas mekanismenya
· “High altitude pulmonary edema”
· Edema paru neurogenik
· Overdosis obat narkotik
· Emboli paru
· Eklamsia
· Pasca anastesi
· Post cardiopulmonary bypass
2.3 Edema Paru Kardiogenik
2.3.1 Etiologi dan Patofisiologi
Edema paru kardiogenik atau edema volume overload terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatik
dalam kapiler paru yang menyebabkan peningkatan filtrasi cairan transvaskular. Ketika tekanan
interstitial paru lebih besar daripada tekanan pleural maka cairan bergerak menuju pleura visceralis
yang menyebabkan efusi pleura. Sejak permeabilitas kapiler endothel tetap normal, maka cairan edema
yang meninggalkan sirkulasi memiliki kandungan protein yang rendah. Peningkatan tekanan hidrostatik
di kapiler pulmonal biasanya berhubungan dengan peningkatan tekanan vena pulmonal akibat
peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan
atrium kiri (18 – 25 mmHg) menyebabkan edema di perimikrovaskuler dan ruang intersisial
peribronkovaskular. Jika tekanan atrium kiri meningkat lebih tinggi (>25) maka cairan edema akan
menembus epitel paru, membanjiri alveolus (gambar 2.4B). Kejadian tersebut akan menimbulkan
lingkaran setan yang terus memburuk oleh proses sebagai berikut (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010) :
· Meningkatnya kongesti paru akan menyebabkan desaturasi, menurunnya pasokan oksigen miokard
dan akhirnya semakin memburuknya fungsi jantung.
· Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan vasokonstriksi pulmonal sehingga
meningkatkan tekanan ventrikel kanan. Peningkatan tekanan ventrikel kanan melalui mekanime
interdependensi ventrikel akan semakin menurunkan fungsi ventrikel kiri.
· Insufisiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga memperburuk fungsi jantung.
Penghapusan cairan edema dari ruang udara paru tergantung pada transpor aktif natrium dan klorida
melintasi barier epitel alveolar. Bagian utama reabsorbsi natrium dan klorida adalah ion channels epitel
yang terdapat pada membran apikal sel epitel alveolar tipe I dan II serta epitel saluran nafas distal.
Natrium secara aktif ditranspor keluar ke ruang interstitial dengan cara Na/ K-ATPase yang terletak pada
membran basolateral sel tipe II. Air secara pasif mengikuti, kemungkinan melalui aquaporins yang
merupakan saluran air yang ditemukan terutama pada epitel alveolar sel tipe I (Lorraine et al, 2005).
Gambar 2.4 Patofisiologi Edema Paru (dikutip dari Lorraine et al, 2005)
Edema paru akut kardiogenik ini merupakan bagian dari spektrum klinis Acute Heart Failure Syndrome
(AHFS). AHFS didefinisikan sebagai munculnya gejala dan tanda secara akut yang merupakan sekunder
dari fungsi jantung yang tidak normal (Maria, 2010).
Secara patofisilogi edema paru kardiogenik ditandai dengan transudasi cairan dengan kandungan
protein yang rendah ke paru akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler
paru. Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada permiabilitas atau integritas dari membran alveoli-
kapiler dan hasil akhir yang terjadi adalah penurunan kemampuan difusi, hiposemia dan sesak nafas
(Harun dan Sally, 2009).
Seringkali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-beda. Dikatakan pada stage 1 distensi
dan keterlibatan pembuluh darah kecil di paru akibat peningkatan tekanan di atrium kiri, dapat
memperbaiki pertukaran udara diparu dan meningkatkan kemampuan difusi dari gas karbon monoksida.
Pada keadaan ini akan terjadi sesak nafas saat melakukan aktivitas fisik dan disertai ronkhi inspirasi
akibat terbukanya saluran nafas yang tertutup (Harun dan Sally, 2009).
Apabila keadaan berlanjut hingga derajat berikutnya atau stage 2, edema interstitial diakibatkan
peningkatan cairan pada daerah interstitial yang longgar dengan jaringan perivaskular dari pembuluh
darah besar, hal ini akan mengakibatkan hilangnya gambaran paru yang normal secara radiografik dan
petanda septum interlobuler (garis Kerley B). Pada derajat ini akan terjadi kompetisi untuk
memperebutkan tempat antara pembuluh darah, saluran nafas dan peningkatan jumlah cairan didaerah
di interstitium yang longgar tersebut, dan akan terjadi pengisian di lumen saluran nafas yang kecil yang
menimbulkan refleks bronkokonstriksi. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi akan
mengakibatkan terjadinya hipoksemia yang berhubungan dengan ventilasi yang semakin memburuk.
Pada keadaan infark miokard akut misalnya, beratnya hipoksemia berhubungan dengan tingkat
peningkatan tekanan baji kapiler paru. Sehingga seringkali ditemukan manifestasi klinis takipnea (Harun
dan Sally, 2009).
Pada proses yang terus berlanjut atau meningkat menjadi stage 3 dari edema paru tesebut, proses
pertukaran gas sudah menjadi abnormal, dengan hipoksemia yang berat dan seringkali hipokapnea.
Alveolar yang sudah terisi cairan ini terjadi akibat sebagian besar saluran nafas yang besar terisi cairan
berbusa dan mengandung darah, yang seringkali dibatukkan keluar oleh si pasien. Secara keseluruhan
kapasitas vital dan volume paru semakin berkurang di bawah normal. Terjadi pirai dari kanan ke kiri
pada intrapulmonal akibat perfusi dari alveoli yang telah terisi cairan. Walaupun hipokapnea yang
terjadi pada awalnya, tetapi apabila keadaan semakin memburuk maka dapat terjadi hiperkapnea
dengan asidosis respiratorik akut apalagi bila pasien sebelumnya telah menderita penyakit paru
obstruktif kronik. Dalam hal ini terapi morfin yang telah diketahui memiliki efek depresi pada
pernafasan, apabila akan dipergunakan harus dengan pemantau yang ketat (Harun dan Sally, 2009).
Edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan hidrostatik maka sebaliknya edema paru
nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan
meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam intersisial paru dan alveolus (Gambar 2.4C). Cairan
edema paru nonkardiogenik memiliki kadar protein tinggi karena membran pembuluh darah lebih
permeabel untuk dilewati oleh molekul besar seperti protein plasma. Banyaknya cairan edema
tergantung pada luasnya edema interstitial, ada atau tidak adanya cidera pada epitel alveolar dan
kemampuan dari epitel alveolar untuk secara aktif mengeluarkan cairan edema alveolar. Edema paru
akibat acute lung injury dimana terjadi cedera epitel alveolar yang menyebabkan penurunan
kemampuan untuk menghilangkan cairan alveolar (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).
2.3.2 Diagnosis
Tampilan klinis edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik mempunyai beberapa kemiripan.
· Anamnesis
Anamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah kausa edema paru, misalnya adanya riwayat sakit jantung,
riwayat adanya gejala yang sesuai dengan gagal jantung kronis. Edema paru akut kardiak, kejadiannya
sangat cepat dan terjadi hipertensi pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini merupakan
pengalaman yang menakutkan bagi pasien karena mereka batuk-batuk dan seperti seseorang yang akan
tenggelam (Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010).
· Pemeriksaan fisik
Terdapat takipnea, ortopnea (manifestasi lanjutan). Takikardia, hipotensi atau tekanan darah bisa
meningkat. Pasien biasanya dalam posisi duduk agar dapat mempergunakan otot-otot bantu nafas
dengan lebih baik saat respirasi atau sedikit membungkuk ke depan, akan terlihat retraksi inspirasi pada
sela interkostal dan fossa supraklavikula yang menunjukkan tekanan negatif intrapleural yang besar
dibutuhkan pada saat inspirasi, batuk dengan sputum yang berwarna kemerahan (pink frothy sputum)
serta JVP meningkat. Pada pemeriksaan paru akan terdengar ronki basah setengah lapangan paru atau
lebih dan terdapat wheezing. Pemeriksaan jantung dapat ditemukan gallop, bunyi jantung 3 dan 4.
Terdapat juga edema perifer, akral dingin dengan sianosis (Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010).
· Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang relevan diperlukan untuk mengkaji etiologi edema paru. Pemeriksaan
tersebut diantaranya pemeriksaan hematologi / darah rutin, fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein,
urinalisa, analisa gas darah, enzim jantung (CK-MB, troponin I) dan Brain Natriuretic Peptide (BNP). BNP
dan prekursornya Pro BNP dapat digunakan sebagai rapid test untuk menilai edema paru kardiogenik
pada kondisi gawat darurat. Kadar BNP plasma berhubungan dengan pulmonary artery occlusion
pressure, left ventricular end-diastolic pressure dan left ventricular ejection fraction. Khususnya pada
pasien gagal jantung, kadar pro BNP sebesar 100pg/ml akurat sebagai prediktor gagal jantung pada
pasien dengan efusi pleura dengan sensitifitas 91% dan spesifisitas 93% (Lorraine et al, 2005; Maria,
2010). Richard dkk melaporkan bahwa nilai BNP dan Pro BNP berkorelasi dengan LV filling Pressure
(Pasquate et al, 2004). Pemeriksaan BNP ini menjadi salah satu test diagnosis rutin untuk menegakkan
gagal jantung kronis berdasarkan pedoman diagnosis dan terapi gagal jantung kronik Eropa dan
Amerika. Bukti penelitian menunjukkan bahwa Pro BNP/BNP memiliki nilai prediksi negatif dalam
menyingkirkan gagal jantung dari penyakit lainnya (AHA, 2009).
· Radiologis
Pada foto thorax menunjukkan jantung membesar, hilus yang melebar, pedikel vaskuler dan vena azygos
yang melebar serta sebagai tambahan adanya garis kerley A, B dan C akibat edema interstisial atau
alveolar seperti pada gambaran ilustrasi 2.5 (Cremers et al, 2010; Harun dan Sally, 2009). Lebar pedikel
vaskuler < 60 mm pada foto thorax Postero-Anterior terlihat pada 90% foto thorax normal dan lebar
pedikel vaskuler > 85 mm ditemukan 80% pada kasus edema paru. Sedangkan vena azygos dengan
diameter > 7 mm dicurigai adanya kelainan dan dengan diameter > 10mm sudah pasti terdapat kelainan,
namun pada posisi foto thorax terlentang dikatakan abnormal jika diameternya > 15 mm. Peningkatan
diameter vena azygos > 3 mm jika dibandingkan dengan foto thorax sebelumnya terkesan
menggambarkan adanya overload cairan (Koga dan Fujimoto, 2009).
Garis kerley A (gambar 2.6) merupakan garis linear panjang yang membentang dari perifer menuju hilus
yang disebabkan oleh distensi saluran anastomose antara limfatik perifer dengan sentral. Garis kerley B
terlihat sebagai garis pendek dengan arah horizontal 1-2 cm yang terletak dekat sudut kostofrenikus
yang menggambarkan adanya edema septum interlobular. Garis kerley C berupa garis pendek,
bercabang pada lobus inferior namun perlu pengalaman untuk melihatnya karena terlihat hampir sama
dengan pembuluh darah (Koga dan Fujimoto, 2009).
Gambaran foto thorax dapat dipakai untuk membedakan edema paru kardiogenik dan edema paru non
kardiogenik. Walaupun tetap ada keterbatasan yaitu antara lain bahwa edema tidak akan tampak secara
radiologi sampai jumlah air di paru meningkat 30%. Beberapa masalah tehnik juga dapat mengurangi
sensitivitas dan spesifisitas rontgent paru, seperti rotasi, inspirasi, ventilator, posisi pasien dan posisi film
(Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).
Tabel 2.1 Beda Gambaran Radiologi Edema Paru Kardiogenik dan Non Kardiogenik (dikutip dari Lorraine
et al, 2005)
NO. Gambaran Radiologi Edema Kardiogenik Edema Non Kardiogenik
1 Ukuran Jantung Normal atau membesar Biasanya Normal
2 Lebar pedikel Vaskuler Normal atau melebar Biasanya normal
3 Distribusi Vaskuler Seimbang Normal/seimbang
4 Distribusi Edema rata / Sentral Patchy atau perifer
5 Efusi pleura Ada Biasanya tidak ada
6 Penebalan Peribronkial Ada Biasanya tidak ada
7 Garis septal Ada Biasanya tidak ada
8 Air bronchogram Tidak selalu adaSelalu ada
Gambar 2.5. Ilustrasi Radiologi Edema Paru Akut Kardiogenik
(dikutip dari Cremers et al, 2010)
Gambar 2.6 Gambaran Radiologi Edema Paru Akut Kardiogenik (dikutip dari Koga dan Fujimoto, 2009)
· Ekokardiografi
Pemeriksaan ini merupakan gold standard untuk mendeteksi disfungsi ventrikel kiri. Ekokardiografi
dapat mengevalusi fungsi miokard dan fungsi katup sehingga dapat dipakai dalam mendiagnosis
penyebab edema paru (Maria, 2010).
· EKG
Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda iskemia atau infark miokard akut
dengan edema paru. Pasien dengan krisis hipertensi gambaran ekg biasanya menunjukkan gambaran
hipertrofi ventrikel kiri. Pasien dengan edema paru kardiogenik tetapi yang non iskemik biasanya
menunjukkan gambaran gelombang T negatif yang lebar dengan QT memanjang yang khas, dimana akan
membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam 1 minggu. Penyebab dari non iskemik
ini belum diketahui tetapi beberapa keadaan yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain:
iskemia sub-endokardial yang berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan
akut dari tonus simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal akibat perubahan metabolik atau
ketokolamin (Harun dan Sally, 2009).
· Kateterisasi pulmonal
Pengukuran tekanan baji pulmonal (Pulmonary artery occlusion pressure / PAOP) dianggap sebagai
pemeriksaan gold standard untuk menentukan penyebab edema paru akut. Lorraine dkk mengusulkan
suatu algoritma pendekatan klinis untuk membedakan kedua jenis edema tersebut (Gambar 2.7).
Disamping itu, ada sekitar 10% pasien dengan edema paru akut dengan penyebab multipel. Sebagai
contoh, pasien syok sepsis dengan ALI, dapat mengalami kelebihan cairan karena resusitasi yang
berlebihan. Begitu juga sebaliknya, pasien dengan gagal jantung kongesti dapat mengalami ALI karena
pneumonia (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).
Gambar 2.7 Algoritma untuk Differensiasi Klinis Antara Edema Paru Kardiogenik dan Non Kardiogenik
(dikutip dari Lorraine et al, 2005)
2.3.3 Penatalaksanaan
Gambar 2.8 Algoritma Penatalaksanaan Edema Paru Akut Kardiogenik (dikutip dari ESC, 2012)
Keterangan:
1. Pada pasien yang telah mendapatkan pengobatan diuretik, dosis yang direkomendasikan sebesar
2,5x dari dosis oral yang biasanya diberikan. Dapat dulang jika diperlukan.
2. O2 saturasi dengan pulse oximeter <90 font="font" nbsp="nbsp">atau PaO2 <60 dapat="dapat"
diberikan="diberikan" hipoksemia="hipoksemia" kpa="kpa" mengobati="mengobati" mmhg="mmhg"
oksigen="oksigen" po="po" span="span" untuk="untuk">2 < 90%), yang terkait dengan peningkatan
risiko mortalitas jangka pendek. Oksigen tidak boleh digunakan secara rutin pada pasien non-hipoksemia
karena menyebabkan vasokonstriksi dan penurunan curah jantung
3. Biasanya dimulai dengan O2 40–60%, dititrasi sampai SpO2 >90%; hati-hati pada pasien yang
mempunyai resiko retensi CO2.
4. Contoh, pemberian morfin 4–8 mg ditambah metocloperamide 10 mg; obeservasi adanya depresi
pernafasan, dapat diulang jika diperlukan.
5. Akral dingin, tekanan darah rendah, produksi urine yang sedikit, bingung/kesadaran menurun,
iskemia miokardial.
6. Contoh, mulai pemberian infus dobutamine 2.5 μg/kg/menit, dosis dinaikkan 2x lipat tiap 15 menit
tergantung respon (titrasi dosis dibatasi jika terdapat takikardia, aritmia atau iskemia). Dosis >20
μg/kg/menit jarang sekali diperlukan. Bahkan dobutamine mungkin memiliki aktivitas vasodilator ringan
sebagai akibat dari stimulasi beta-2 adrenoseptor.
7. Pasien harus diobservasi ketat secara reguler (gejala, denyut dan ritme jantung, SpO2, tekanan
darah sistolik, produksi urine) sampai stabil dan pulih.
8. Contoh, mulai pemberian infus NGT 10 μg/menit dan dosis dinaikkan 2x lipat tiap 10 menit
tergantung respon (biasanya titrasi naiknya dosis dibatasi oleh hipotensi). Dosis >100 μg/min jarang
sekali dipelukan.
9. Respon yang adekuat ditandai dengan berkurangnya dypsnea, diuresis yang adekuat (produksi
urine >100 mL/jam dalam 2 jam pertama), peningkatan saturasi O2 (jika hipoksemia) dan biasanya
terjadi penurunan denyut jantung dan frekuensi pernafasan yang seharusnya terjadi dalam 1-2 jam
pertama. Aliran darah perifer juga dapat meningkatkan seperti yang ditandai oleh penurunan
vasokonstriksi kulit, peningkatan suhu kulit, dan perbaikan dalam warna kulit. Serta adanya penurunan
ronkhi.
10. Setelah pasien nyaman dan diuresis yang stabil telah dicapai, ganti terapi iv dengan pengobatan
diuretik oral.
11. Menilai gejala yang relevan dengan HF (dyspnea, ortopnea, paroxysmal nocturnal dyspnoea),
komorbiditas (misalnya nyeri dada akibat iskemia miokard), dan efek samping pengobatan (misalnya
simptomatik hipotensi). Menilai tanda-tanda kongesti/edema perifer dan paru, denyut dan irama
jantung, tekanan darah, perfusi perifer, frekuensi pernapasan, serta usaha pernapasan. EKG (ritme /
iskemia dan infark) dan kimia darah / hematologi (anemia, gangguan elektrolit, gagal ginjal) juga harus
diperiksa. Pulse oximetry (atau pengukuran gas darah arteri) harus diperiksa dan diperiksakan
ekokardiografi jika belum dilakukan.
12. Produksi urine < 100 mL/jam dalam 1–2 jam pertama adalah respon awal pemberian diuretik iv
yang tidak adekuat (dikonfirmasi melalui kateter urine).
13. Pada pasien dengan tekanan darah masih rendah / shock, dipertimbangkan diagnosis alternatif
(emboli paru misalnya), masalah mekanis akut, dan penyakit katup yang berat (terutama stenosis aorta).
Kateterisasi arteri paru dapat mengidentifikasi pasien dengan tekanan pengisian ventrikel kiri yang tidak
adekuat ( lebih tepat dalam menyesuaikan terapi vasoaktif).
14. Balon pompa intra aorta atau dukungan sirkulasi mekanik lainnya harus dipertimbangkan pada
pasien yang tidak terdapat kontraindikasi.
15. CPAP or NIPPV harus dipertimbangkan pada pasien yang tidak terdapat kontraindikasi.
Ventilasi non-invasif continuous positive airway pressure (CPAP) dan non-invasive intermittent positive
pressure ventilation (NIPPV) mengurangi dyspnea dan meningkatkan nilai fisiologis tertentu (misalnya
saturasi oksigen) pada pasien dengan edema paru akut. Namun, penelitian RCT(Randomized controled
trial) besar yang terbaru menunjukkan bahwa ventilsasi non-invasif atau invasif tidak ada perbedaan
yang signifikan terhadap penurunan angka kematian bila dibandingkan dengan terapi standar, termasuk
nitrat (dalam 90% dari pasien) dan opiat (di 51% dari pasien). Hasil ini berbeda dengan penelitian dari
metaanalisis sebelumnya dengan studi yang lebih kecil. Ventilasi Non-invasif dapat digunakan sebagai
terapi tambahan untuk meringankan gejala pada pasien dengan edema paru dan gangguan pernapasan
parah atau pada pasien yang kondisinya gagal membaik dengan terapi farmakologis. Kontraindikasi
untuk penggunaan ventilasi non invasif meliputi hipotensi, muntah, kemungkinan pneumotoraks, dan
depressed consciousness.
16. Dipertimbangkan untuk dilakukan pemasangan intubasi endotrakeal dan ventilasi invasif jika
hipoksemia memburuk, gagal upaya pernapasan, meningkatnya kebingungan / penurunan tingkat
kesadaran , dll
17. Meningkatkan dosis loop diuretik hingga setara dengan furosemide 500 mg (≥ dosis 250 mg harus
diberikan melalui infus lebih dari 4 jam).
18. Jika tidak ada respon terhadap penggandaan dosis diuretik meskipun tekanan pengisian ventrikel
kiri adekuat (baik disimpulkan atau diukur secara langsung) maka mulai infus dopamin 2,5 μg / kg /
menit. Dosis yang lebih tinggi tidak dianjurkan untuk meningkatkan diuresis.
19. Jika langkah 17 dan 18 tidak menghasilkan diuresis yang adekuat dan pasien tetap terjadi edema
paru maka ultrafiltrasi terisolasi venovenous harus dipertimbangkan.
Tabel 2.2 Rekomendasi Penatalaksanaan Edema Paru Akut Kardiogenik (dikutip dari ESC, 2012)
DAFTAR PUSTAKA
1. AHA. 2009 Focused Update: ACCF/AHA Guidelines for the Diagnosis and Management of Heart
Failure in Adults. Circulation 2009, 119:1977-2016:
2. Alasdair et al. Noninvasive Ventilation In Acute Cardiogenic Pulmonary Edema. N Engl J Med
2008;359:142-51.
3. Cremers et al. 2010. Chest X-Ray Heart Failure. The Radiology Assistant. (Online). Tersedia:
Http://www.radiologyassistant.nl/en/p4c132f36513d4/ chest-x-ray-heart-failure.html. (24 November
2012)
4. Daulat. Tatalaksana Gagal Jantung Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1515-1519
5. Dickstein et al. The Task Force for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure
2008 of the European Society of Cardiology. Developed in Collaboration with the Heart Failure
Association of the ESC (HFA) and Endorsed by the European Society of Intensive Care Medicine (ESICM).
Eur J Heart Fail 2008;10:933–989.
6. ESC. 2008. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2008.
European Heart Journal (2008) 29, 2388–2442 doi:10.1093/eurheartj/ehn309
7. ESC. 2012. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure 2012.
European Heart Journal (2012) 33, 1787–1847 doi:10.1093/eurheartj/ehs104
8. Gheorghiade Metal. Acute Heart Failure Syndromes: Current State and Framework for Future
Research. AHA 2005; 112; 3958-3968.
9. Gray et al. Multicentre Randomised Controlled Trial of The Use of Continuous Positive Airway
Pressure and Non-Invasive Positive Pressure Ventilation in The Early Treatment of Patients Presenting to
the Emergency Department with Severe Acute Cardiogenic Pulmonary Oedema: the 3CPO trial.Leeds.
Health Technology Assessment 2009; Vol. 13: No. 33
10. Harun S dan Sally N. Edema Paru Akut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1651-1653
11. Koga dan Fujimoto. Kerley’s A, B and C Lines. NEJM. 360;15 nejm.org april 9, 2009
12. Lorraine et al. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med. 2005;353:2788-96.
13. Maria I. 2010. Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP.Anestesia & Critical
Care.Vol 28 No.2 Mei 2010.52
14. McCance KL. 2006. Structure and Function of The Cardiovascular and Lymphatic Systems. In:
McCance KL, Huether SE. Pathophysiology: The Biologic Basis for Disease in Adults and Children. USA:
Elsevier Mosby; p. 1075.
15. Pasquate et al. Plasma surfactant B : A novel Biomarker in Chronic Heart Failure. Circulation 2004 :
110 : 1091-1096
16. Soemantri. 2011. Cardiogenic Pulmonary Edema. Naskah Lengkap PKB XXVI Ilmu Penyakit Dalam
2011. FKUNAIR-RSUD. DR Soetomo Surabaya, hal 113-19
17. Ursella et al. The Use of Non-Invasive Ventilation in The Treatment of Acute Cardiogenic Pulmonary
Edema. European Review for Medical and Pharmacological Sciences. 2007; 11: 193-205