Edema Paru - Firda nUlfa L.M
-
Upload
firda-ulfa-lusiana -
Category
Documents
-
view
110 -
download
6
description
Transcript of Edema Paru - Firda nUlfa L.M
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Refarat
Fakultas Kedokteran Oktober 2015
Universitas Halu Oleo
EDEMA PARU
Oleh :
Firda Ulfa Lusiana Maondu, S.Ked
K1 A2 10 004
Pembimbing
dr. La Duwi, Sp.An
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
PADA BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2015
1
EDEMA PARUFirda Ulfa Lusiana Maondu, dr. La Duwi, Sp.An
BAB I
PENDAHULUAN
Paru merupakan organ penting bagi tubuh yang mempunyai fungsi utama
sebagai alat pernafasan (respirasi).1 Tujuan dari pernapasan adalah untuk
menyediakan oksigen bagi jaringan dan membuang karbon dioksida. Untuk
mencapai tujuan ini, pernapasan dapat dibagi menjadi empat fungsi utama yaitu
sebagai ventilasi paru, yang berarti masuk dan keluarnya udara antara atmosfir
dan alveoli paru, difusi oksigen dan karbon dioksida antara alveoli dan darah,
pengangkutan oksigen dan karbon dioksida dalam darah dan cairan tubuh ke dan
dari sel jaringan tubuh dan pengaturan ventilasi dan hal-hal lain dari pernapasan.2
Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba, yang
dapat disebabkan oleh gagal jantung sisi kiri atau penyakit katup mitral, dengan
konsekuensi peningkatan tekanan vena paru dan tekanan kapiler paru, dan ruang
interstisial serta alveoli menjadi banjir. Kerusakan pada membran kapiler paru,
yang disebabkan oleh infeksi seperti pneumonia atau terhirupnya bahan-bahan
yang berbahaya seperti gas klorin atau gas sulfur oksida. Masing-masing
menyebabkan kebocoran protein plasma dan cairan secara cepat keluar dari
kapiler dan masuk ke ruang interstisial paru serta alveoli.2,3
Menurut penelitian pada tahun 1994, secara keseluruhan terdapat 74,4 juta
penderita edema paru di dunia. Di Inggris sekitr 2,1 juta penderita edema paru
yang perlu pengobatan dan pengawasan secara komprehensif. Di Amerika Serikat
diperkirakan 5,5 juta penduduk menderita edema. Di Jerman 6 juta penduduk. Ini
merupakan angka yang cukup besar yang perlu mendapat perhatian dari perawat
2
di dalam merawat klien edema paru secara komprehensif bio psikososial dan
spiritual.4
Penyakit edem paru pertama kali di Indonesia ditemukan pada tahun 1971.
Sejak itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun
1980 seluruh provinsi di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus
menunjukan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah.
Di Indonesia insiden tersebar terjadi pada 1998 dengan incidence rate (IR)=35,19
per 100.000 penduduk dan CFR=2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar
10,17%, namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99
(tahun 2000); 19,24 (tahun 2002) dan 23,87 (tahun 2003).4
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi Pernapasan
a. Anatomi pernapasan
Sistem respirasi dan sirkulasi bekerja sama untuk membawa
oksigen keseluruh jaringan tubuh. Sistem ini dinamakan sebagai
cardiorespiratory system. Dengan meningkatkan kapasitas dari
cardiorespiratory system untuk penyebaran oksigen yang lebih banyak
keseluruh jaringan tubuh memerlukan banyak energi yang diperoleh
dari kontraksi otot-otot.5
Paru-paru
Oksigen masuk dan keluar dari paru-paru melalui saluran napas.
Hal ini diperlukan untuk menyamakan suhu udara atmosfer dengan
suhu tubuh. Udara juga disaring dan dilembabkan saat melewati hidung,
mulut, dan trakea, yang terbagi menjadi bronkus utama kanan dan
bronkus utama kiri yang membagi lebih lanjut ke bronki sekunder
dalam setiap paru. Cabang paru menjadi sempit dan lebih banyak
karena mereka dibagi menjadi bronkus segmental, bronkiolus terminal,
bronkiolus respirasi dan akhirnya saluran alveolar, yang dilapisi dengan
kantung udara kecil yang disebut alveoli.5
Saluran napas memanjang dari trakea ke bronkiolus terminal. Hal
ini terdiri dari 16 generasi tabung bercabang ke dalam tabung kecil
didukung oleh komposisi 15-20 C-berbentuk cincin tulang rawan dan
otot polos untuk membantu memastikan bahwa udara terinspirasi
sampai ke saluran pernapasan. Pembagian parasimpatis dari sistem
saraf otonom menyebabkan otot polos kontraksi, dan simpatik
menyebabkan otot polos untuk dilatasi (atau melebar). Selain untuk
4
pemanasan dan melembabkan udara, zona konduksi dilapisi dengan
membran lendir bersilia yang menyaring udara yang masuk untuk
menjaga lorong-lorong bersih. Selama istirahat, dengan masing-masing
inspirasi, sekitar 500 mL udara memasuki zona konduksi (disebut
volume tidal; VT) untuk mencapai alveoli (saluran pernapasan), di
mana setiap alveolus dikelilingi oleh kapiler untuk mengizinkan
pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida. Karena tidak ada
pertukaran gas berlangsung di zona konduksi, hal itu disebut ruang mati
anatomi.5
Saluran pernapasan memanjang dari bronkiolus terminal ke saluran
alveolar, kantung alveolar, dan alveoli, di mana merupakan tempat
pertukaran gas antara paru-paru dan darah. Pertama, bronkiolus
terminal dibagi menjadi bronkiolus pernapasan, yang membentuk
menjadi bronkiolus yang lebih kecil dengan beberapa kapasitas untuk
pertukaran gas karena dapat menyebabkan timbulnya saluran alveolar
yang berdinding tipis, kantung alveolar terdiri dari alveoli. Makrofag di
alveoli melindungi alveoli dari partikel asing. Setiap alveolus dikelilingi
oleh jaringan padat paru kapiler yang memfasilitasi usion diff oksigen
dan karbon dioksida. Pernapasan pertukaran gas dengan difusi
sederhana terjadi antara alveoli dan kapiler paru. Ada sekitar
300,000,000-500.000.000 alveoli dalam dua paru-paru dengan luas
permukaan internal difusi yang setara dengan 60-80 m2.5
Gambar 1. Sistem respirasi. (a) Jalan napas atas dan bawah (b) Alveoli (dikutip dari : Jones and Bartlett. 2014)
5
Mekanisme Pernapasan
Pernapasan terdiri dari 4 proses yaitu ventilasi merupakan pertukaran
udara keluar masuk paru-paru. Distribusi merupakan pembagian udara ke
cabang-cabang bronchus. Diffusi merupakan peresapan masuknya oksigen
dari alveoli ke darah dan pengeluaran CO2 dari darah ke alveoli. Perfusi :
aliran darah yang membawa O2 ke jaringan.1
Ventilasi
Ventilasi adalah proses pergerakan udara ke dan dari paru. Proses ini
terdiri atas dua tahap, yaitu inspirasi yang merupakan pergerakan udara
dari luar ke dalam paru dan ekspirasi yang merupakan pergerakan udara
dari dalam ke luar paru. Agar proses ventilasi dapat berlangsung sempurna
diperlukan fungsi yang baik dari saluran pernapasan, otot-otot pernapasan
serta elastisitas jaringan paru dan dinding toraks.6
Paru-paru dapat dikembangkempiskan melalui dua cara, yaitu dengan
gerakan naik turunnya diafragma untuk memperbesar atau memperkecil
rongga dada dan dengan depresi dan elevasi tulang iga untuk memperbesar
atau memperkecil rongga diameter anteroposterior rongga dada.
Pernapasan normal dan tenang dapat dicapai dengan hampir sempurna
melalui metode pertama, yaitu melalui gerakan diafragma. Selama
inspirasi, kontraksi diafragma menarik permukaan bawah ke paru ke arah
bawah. Kemudian selama ekspirasi, diafragma mengadakan relaksasi, dan
sifat elastis daya lenting paru (elastic recoil), dinding dada dan struktur
abdomen akan menekan paru-paru dan mengeluarkan udara. Namun,
selama bernapas kuat, daya elastis tidak cukup kuat untuk menghasilkan
ekspirasi cepat yang diperlukan, sehingga diperlukan tenaga ekstra yang
terutama diperoleh dari kontraksi otot-otot abdomen, yang mendorong isi
abdomen, yang mendorong isi abdomen ke atas melawan dasar diafragma,
sehingga mengkompresi paru.2
6
Yang paling penting dari ventilasi paru adalah perbaruan udara secara
terus-menerus dalam area pertukaran gas di paru, tempat udara dan darah
paru saling berdekatan. Yang termasuk area ini adalah alveoli, kantong
alveolus, duktus alveolaris dan bronkiolus respiratorius. Kecepatan udara
baru yang masuk pada area ini disebut ventilasi alveolus. 2
Frekuensi nafas normal 12-15 x/menit. Pada orang dewasa setiap satu
kali nafas (tidal volume/Vt) udara masuk 500 cc atau 10 ml/kg BB.
Sehingga setiap menit udara masuk ke sistem nafas 6-8 liter (minute
volume/MV). Udara yang sampai ke alveoli disebut Ventilasi Alveolair
VA). Ventilasi Alveolair lebih kecil dari minute volume, karena sebagian
udara di jalan nafas tidak ikut pertukaran gas (Dead Space = VD). VA
normal ± 80 ml/kg/menit. VD Normal l 2-3 1m/kg BB.
Inspirasi
Inspirasi terjadi bila tekanan intra pulmonal (intra alveoli) lebih
rendah dari tekanan udara luar. Pada inspirasi biasa tekanan ini berkisar
antara -1 mmHg sampai dengan -3 mmHg. Pada inspirasi dalam tekanan
intra alveoli dapat mencapai -30 mmHg. Menurunnya tekanan
intrapulmonal pada waktu inspirasi disebabkan oleh mengembangnya
rongga toraks akibat kontraksi otot-otot inspirasi.6
Ekspirasi
Ekspirasi berlangsung bila tekanan intra pulmonal lebih tinggi
daripada tekanan udara luar sehingga udara bergerak ke luar paru.
Meningkatnya tekanan di dalam rongga paru terjadi bila volume rongga
paru mengecil akibat proses penguncupan yang disebabkan oleh daya
elastis jaringan paru. Penguncupan paru terjadi bila otot-otot inspirasi
mulai relaksasi. Pada proses ekspirasi biasa tekanan intra alveolar berkisar
antara +1 mmHg- +3mmHg.6
7
Gambar 2. Otot-otot bantu pernapasan (dikutip dari : Jones and Bartlett. 2014)
Distribusi
Gangguan distribusi disebabkan oleh retensi sputum menyebabkan
obstruksi bronchioli, hipoventilasi, alveolair dan atelektasis, aspirasi
masuknya benda asing ke jalan nafas, bronchospasme karena asthma
bronchiale atau alergi.1
Disfusi
Difusi oksigen berjalan lancar bila alveoli mengembang baik dari jarak
disfusi trans-membran pendek. Edema menyebabkan jarak disfusi oksigen
menjauh hingga kadar O2 dalam darah menurun (hipoksemia). Disfusi CO2
tidak pernah terganggu karena kapasitas disfusi CO2 jauh lebih besar daripada
oksigen. Pada edema paru tahap awal terjadi penumpukan cairan dalam
jaringan di sekitar alveoli dan kapiler (interstitial edema). Pada tahap lanjut
cairan masuk ke dalam alveoli menyebabkan edema alveolar.1
Perfusi
Aliran darah di kapiler paru (perfusi) ikut menentukan jumlah O2 yang
dapat diangkut. Masaah timbul jika terjadi ketidakseimbangan antara ventilasi
alveolair (VA) dengan perfusi (Q) yang lazim disebut VA/Q imbalance.
Dapat terjadi : 1
1) Ventilasi normal, perfusi normal → semua O2 diambil darah
2) Ventilasi normal, perfusi kurang → ventilasi berlebihan, tak semua O2
sempat diambil unit ini dinamai “dead space” yang terajadi pada shock
dan emboli paru.
8
3) Ventilasi berkurang → perfusi normal. Darah tidak mendapat cukup
oksigen (desaturasi) unit ini disebut "Shunt". Terjadi pada atelektasis
edema paru, ARDS dan aspirasi cairan.
4) Silent unit: tidak ada ventilasi dan perfusi
B. Definisi Edema Paru
Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru yang terjadi secara
mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang
tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas
membran kapiler (edema paru non kardiak) yang menyebabkan terjadinya
ekstravasasi cairan secara cepat.7 Edema paru terjadi dengan cara yang
sama seperti edema di tempat lain dalam tubuh. Faktor apapun yang
menyebabkan tekanan cairan interstisial paru meningkat dari kisaran
negatif menjadi kisaran positif akan menyebabkan pengisian cepat
sejumlah besar cairan bebas pada ruang interstisial paru dan alveoli.8
Penyebab edema paru yang paling umum adalah :8
1. Gagal jantung sisi kiri atau penyakit katup mitral, dengan konsekuensi
peningkatan tekanan vena paru dan tekanan kapiler paru, dan ruang
interstisial serta alveoli menjadi banjir.
2. Kerusakan pada membran kapiler paru, yang disebabkan oleh infeksi
seperti pneumonia atau terhirupnya bahan-bahan yang berbahaya
seperti gas klorin atau gas sulfur oksida. Masing-masing menyebabkan
kebocoran protein plasma dan cairan secara cepat keluar dari kapiler
dan masuk ke ruang interstisial paru serta alveoli.
C. Klasifikasi
Dua bentuk edema paru yang paling umum adalah yang disebabkan
oleh ketidakseimbangan dari staring forces (Edema paru kardiak) dan
gangguan permeabilitas kapiler alveolus (Edema Paru Non Kardiak).9
a. Edema paru kardiak
9
Penyebab tersering dari edema paru kardiaka adalah systolic and
diastolic left ventricular dysfunction (penyakit arteri coronari,
kardiomyopati, hipertensi, penyakit jantung kongenital, dll) yang
berkembang menjadi edema paru akut. Faktor pencetus tersering biasanya
acute ischemia, infark miokard, hipertensi, penggunaan obat-obatan, diet,
stres fisik dan psikologis. Tekanan kapiler paru normal adalah 8 mmHg.
Dikarenakan oleh efek gravitasi, tekanan hidrostatik lebih besar dari apeks
ke dasar paru dan menyebabkan perfusi darah yang tidak homogen pada
paru.9
Edema paru hanya terjadi jika tekanan kapiler paru melebihi tekanan
osmotik koloid plasma, yang biasanya berkisar antara 28 mmHg.
Meskipun tekanan kapiler paru meningkat secara tidak normal pada
perkembangan edema paru, tetap tekanan kapiler paru tidak berhubungan
dengan beratnya edema paru. Laju peningkatan dari cairan paru pada
ketinggian tertentu tekanan kapiler berhubungan dengan kapasitas
fungsional dari sistem limfatik, dan tekanan dari interstitial dan paru.9
b. Edema paru non kardiak
Edema paru non kardiak merujuk pada Adult Respiratory Distress
Syndrome (RADS), penegakkan diagnosis yang cepat penting untuk
tatalaksana dari sindrom ini. Banyak kondisi yang berhubungan dengan
edema paru yang dapat timbul karena kerusakan difus dan peningkatan
permeabilitas membran kapiler alveolar. Kondisi ini termasuk infeksi
bakteri, virus dan parasit, sepsis, trauma dan koagulasi intravaskular. Syok
paru yang berhubungan dengan trauma non-thorax, acute hemorrhagic
pancreatitis, inhalasi gas beracun, benda asing pada sirkulasi, vasoaktif
endogen, luka bakar, aspirasi pada gaster, acute radiation pneumonitis
dapat menyebabkan edema paru.9
10
Edema paru non kardiaka lainnya yang tidak diketahui atau belum
jelas mekanismenya, sebagai contoh : neurogenik, emboli paru, eklampsia,
pasca anastesi, pasca cardiopulmonary bypass dll.9
D. Patogenesis
Pada paru normal, cairan dan protein keluar dari mikrovaskular terutama
melalui celah kecil antara sel endotel kapiler. Cairan dan solute yang keluar
dari sirkulasi ke ruang alveolar intertisial pada keadaan normal tidak dapat
masuk ke ruang alveolar hal ini disebabkan epitel alveolus terdiri atas ikatan
yang sangat rapat. Selain itu, ketika cairan memasuki ruang intertisial, cairan
tersebut akan dialirkan ke ruang peribronkovaskular, yang kemudian
dikembalikan oleh sistem limfatik ke sirkulasi. Perpindahan protein plasma
dalam jumlah lebih besar tertahan. Tekanan hidrostatik yang diperlukan untuk
filtrasi cairan keluar dari mikrosirkulasi paru sama dengan tekanan hidrostatik
kapiler paru yang dihasilkan sebagian oleh gradient tekanan onkotik protein
Edema paru kardiogenik atau edema volume overload terjadi karena
peningkatan tekanan hidrostatik yang cepat dalam kapiler paru menyebabkan
peningkatan filtrasi cairan transvaskular. Peningkatan tekanan hidrostatik di
kapiler pulmonal biasanya berhubungan dengan peningkatan tekanan vena
pulmonal akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (LVED)
dan tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan ventrikel kiri (18 – 25
mmHg) menyebabkan edema di perimikrovaskuler dan ruang-ruang
intersisial peribronkovaskular. Jika tekanan atrium kiri meningkat lebih tinggi
(>25) maka cairan edema akan menembus epitel paru, membanjiri alveolus.10
Edema paru kardiogenik ini merupakan bagian dari spectrum klinis Acute
Heart Failure Syndrome (AHFS). AHFS didefinisikan sebagai : munculnya
gejala dan tanda secara akut yang merupakan sekunder dari fungsi jantung
yang tidak normal. European Society of Cardiology (ESC) membagi AHFS
menjadi 6 klasifikasi yaitu : ESC 1 : Acute Decompensated Heart Failure,
ESC 2 : Hypertensive Acute Heart Failure, ESC 3 : Pulmonary oedema, ESC
11
4 : Cardiogenic Shock, ESC 5 : High output Failure :AHF pada sepsis, ESC 6
: Right Heart Failure. Bila edema paru kardiogenik disebabkan oleh
peningkatan tekanan hidrostatikmaka sebaliknya, edema paru nonkardiogenik
disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru yang
menyebabkan meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam intersisial
paru dan alveolus. Cairan edema paru nonkardiogenik memiliki kadar protein
tinggi karena membran pembuluh darah lebih permeabel untuk dilewati oleh
protein plasma. Akumulasi cairan edema ditentukan oleh keseimbangan
antara kecepatan filtrasi cairan ke dalam paru dan kecepatan cairan tersebut
dikeluarkan dari alveoli dan intersisial.10,11
Gambar 3. Patofisiologi terjadinya edema paru (dikutip dari : Ware LB and Matthay MA. 2005)
E. Diagnosis Edema Paru
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
Gejala klinik dari edema paru kardiak dan non kardiak mirip. Edema
interstitial menyebabkan dispnea dan takipnea. Alveolar yang banjir
12
menyebabkan hipoksemia arteri dan berkaitan dengan keluhan batuk
berdahak. Keluhan noktural dispnea atau ortopnea meyakinkan edema
paru kardiak.10
Edema paru non kardiak berhubungan dengan gangguan klinik lain,
termasuk pneumonia, sepsis, aspirasi bahan gaster, dan trauma major
terutama berhubungan dengan transfusi multipel produk darah. Keluhan
terfokus pada tanda dan gejala dari infeksi, muntah, trauma dan riwayat
pengobatan dan makanan. Dari keluhan tidak selamanya dapat dibedakan
antara edema paru kardiak dan non kardiak.10
Edema paru kardiak memiliki pemeriksaan fisik jantung yang
abnormal. Pada auskultasi S3 didapatkan bunyi gallop, murmur, JVP
yang meningkat, hepatomegali dan edema perifer, adanya ronkhi basah
dan wheezing. Gejala lain yang dapat timbul pada edema paru kardiak
berupa sering berkeringat dingin dan batuk dengan sputum yang
berwarna kemerahan (pink frothy sputum). Pada edema non kardiak
pemeriksaan abdomen, pelvic dan rektal sangat penting. Pada
pemeriksaan abdomen biasanya terjadi krisis intraabdomen seperti
perforasi, ektremitas hangat.7,10,11
b. Pemeriksaan laboratorium
Kelainan pemeriksaan laboratorium sesuai dengan penyakit dasar.
Uji laboratorium dapat digunakan untuk membedakan dengan penyakit
lain. Pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk mengkaji etiologi dari
edema paru, meliputi pemeriksaan hematologi (complete blood count),
fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein, urinalisa, analisa gas darah,
troponin I dan brain natriuretic peptide (BNP).7 11
Pada edema paru kardiak diperoleh analisis gas darah pO2 rendah,
pCO2 mula-mula rendah dan kemudian hiperkapnia. Enzim kardiospesifik
13
meningkat jika penyebabnya infark miokard.3 Pada edema paru non
kardiak hasil analisis gas darah menunjukkan hipoksemia berat yang
kurang respon terhadap oksigen.11
c. Chest X-Ray
Gambaran paru dapat dipakai untuk membedakan edema paru
kardiogenik dari edema paru non kardiogenik. Walaupun tetap ada
keterbatasan yaitu antara lain bahwa edema tidak akan tampak secara
radiologi sampai jumlah air di paru meningkat 30%. Beberapa masalah
tehnik juga dapat mengurangi sensitivitas dan spesifisitas rontgent paru,
seperti rotasi, inspirasi, ventilator, posisi pasien dan posisi film.10 Pada
foto thorax edema paru non kardiak memperlihatkan gambaran infiltrat
bilateral yang difus.11
d. Elektrokardiografi
Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda
iskemia atau infark miokard dengan edema paru. Bisa didapatkan sinus
takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi atrium, tergantung
penyebab gagal jantung. Gambaran hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia
bisa ditemukan.3,7
e. Echocardiografi
Pemeriksaan ini merupakan baku emas untuk mendeteksi disfungsi
ventrikel kiri. Ekhokardiografi dapat mengevaluasi fungsi miokard dan
fungsi katup sehingga dapat dipakai dalam mendiagnosis penyebab edem
paru kardiak.10
f. Katerisasi pulmonal
Pengukuran tekanan baji pulmonal (pulmonary artery occlusion
pressure/PAOP) dianggap sebagai pemeriksaan baku emas untuk
menentukan penyebab edema paru. PAOP >18 mmHg merupakan
14
indikasi dari adanya edema paru kardiak atau edema paru dengan volume
yang berlebihan.10
Gambar 4. Algoritma perbedaan edema paru kardiak dan edema paru non kardiak (Ware LB and Matthay MA. 2005)
F. Penatalaksanaan Edema Paru
Mengetahui penyebab dari edema paru akut sangat penting untuk
pengobatan. 10,
a. Edema paru kardiak
Pasien dengan edema paru kardiak diterapi dengan menggunakan
diuretik dan afterload reduction bahkan bisa dengan menggunakan
revaskularisasi arteri koronaria.10 Sasaran terapi ini adalah : mencapai
oksigenisasi adekuat, memelihara stabilitas hemodinamik, mengurangi
stress miokard dengan menurunkan preload dan aftterload.11
Penatalaksanaan :3,7,9
- Posisi setengah duduk
15
- Oksigen terapi. Oksigen (40-50%) sampai 8 lpm bila perlu dengan
masker. Jika pasien memburuk : pasien makin sesak, takipnu, ronki
bertambah, PaO2 tidak bisa dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2
konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi atau tidak
mampu mengurangi cairan edema secara adekuat, dilakukakan
intubasi endotrakeal, suction dan ventilator.
- Nitrogliserin sublingual atau intravena
- Morfin sulfat
- Diuretik IV
- Obat untuk menstabilkan hemodinamik
- Obat trombolitik
Penggunaan Ventilasi Noninvasif
Penggunaan ventilasi noninvasif pada edema paru kardiak didukung
oleh banyak penelitian. Keuntungan yang didapatkan adalah peningkatan
kapasiti residu fungsional, terbukanya alveoli yang kolaps, peningkatan
compliance paru dan berkurangnya kerja otot pernapasan. Peningkatan
tekanan intratoraks juga akan memperbaiki kerja jantung karena
berkurangnya beban ventrikel sebelum dan sesudah kontraksi. Penelitian
metaanalisis menemukan bahwa terdapat penurunan tindakan intubasi dan
angka kematian pada penderita dengan menggunakan ventilasi
noninvasif.12
Penelitian yang membandingkan continuous positive airway pressure
(CPAP) dan bilevel noninvasive pressure support ventilation (NIPSV)
menunjukkan bahwa ventilasi noninvasif menurunkan tindakan intubasi
serta mortalliti pasien dengan edema paru kardiogenik akut. Pasien
dengan edema paru kardiogenik akut yang menggunakan ventilasi
noninvasif menunjukkan perbaikan yang cepat pada saat terjadi distres
pernapasan dan gangguan metabolik dibandingkan dengan terapi oksigen
standard, tetapi tidak berpengaruh terhadap mortaliti jangka pendek.13
16
b. Edema paru non kardiaka
Penatalaksanaan Edema Paru Non Kardiogenik (ARDS)14
1) Pengidentifikasian dan terapi penyebab dasar ARDS.
2) Menghindari cedera paru sekunder misalnya aspirasi, barotrauma,
infeksi nosokomial atau toksisitas oksigen.
3) Mempertahankan penghantaran oksigen yang adekuat ke end-organ
dengan cara meminimalkan angka metabolik.
4) Mengoptimalkan fungsi kardiovaskuler serta keseimbangan cairan
tubuh.
5) Dukungan nutrisi.
Penggunaan Ventilasi Pada Edema Paru Non Kardiogenik
Pasien dengan edema paru non kardiak diterapi dengan
menggunakan ventilasi mekanik. Ventilasi protective lung atau
protocol ventilasi ARDS net dapat digunakan.11 Prinsip pengaturan
ventilator pasien ARDS meliputi volume tidal rendah (4-6 mL/kgBB)
dan PEEP yang adekuat, kedua pengaturan ini dimaksudkan untuk
memberikan oksigenasi adekuat (PaO2 > 60 mmHg) dengan tingkat
FiO2 aman, menghindari barotrauma (tekanan saluran napas
<35cmH2O atau di bawah titik refleksi dari kurva pressure-volume)
dan menyesuaikan (I:E) rasio inspirasi : ekspirasi (lebih tinggi atau
kebalikan rasio waktu inspirasi terhadap ekspirasi dan hiperkapnea
yang diperbolehkan). Selain pengaturan ventilasi dengan cara diatas,
masih ada lagi teknik pengaturan ventilasi untuk ARDS (strategi
ventilasi terkini) meliputi high frequency ventilation (HVF), inverse
ratio ventilation (IRV), airway pressure release ventilation (APRV),
prone position, pemberian surfaktan eksogen, ventilasi mekanik cair
dan extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) serta
extracorporeal carbon dioxide removal (ECCO2R).14
High frequency ventilation (HVF)
17
Metode HFV dapat mempertahankan ventilasi yang adekuat serta
mencegah kolaps alveoli melalui frekuensi tinggi (300 x/menit) dan
volume tidal rendah (3-5 ml/kg). Teknik ini berhasil diaplikasikan
pada neonatus dengan penyakit membran hialin, tetapi manfaat HFV
pada ARDS dewasa masih belum dipastikan.14
Inverse ratio ventilation (IRV)
Metode IRV didesain untuk memperpanjang fase siklus ventilasi
inspirasi, yang mengakibatkan peningkatan tekanan saluran
pernapasan, sehingga memperbaiki oksigenasi. Rasio I:E normal
adalah 1:2 dan IRV dapat memperpanjang fase inspirasi menjadi rasio
I:E melebihi 1:1. Manfaat IRV pada ARDS masih kontroversial dan
ketidaknyamanan yang berkaitan dengan cara ini sering kali
memerlukan sedasi dan paralisis otot yang kuat bagi pasien.14
Airway pressure release ventilation (APRV)
Metode APRV didesain untuk menghantarkan volume tidal saat
terjadi penurunan sementara tekanan intratoraks dan mempertahankan
tekanan inspriasi yang konstan dengan peningkatan PEEP sehingga
memperbaiki oksigenasi pasien ARDS. Metode APRV menggunakan
tekanan tinggi secara kontinyu untuk mendorong recruitment alveolar
dan mempertahankan volume paru yang adekuat. Saat fase pelepasan
tekanan akan menurun dalam ventilasi semenit secara spontan
sehingga memungkinkan terjadinya pernapasan spontan tanpa restriksi
selama siklus ventilator sehingga membuat ventilasi yang lebih baik
pada daerah paru dependent, mengurangi atelektasis dan memperbaiki
volume paru akhir ekspirasi pada cedera paru. Hal tersebut dapat
mengakibatkan perbaikan ventilasi-perfusi serta oksigenasi yang lebih
baik.14
Ventilasi mekanik cair
18
Ventilasi mekanis cair dengan perfluorocarbon, paru akan terisi
sebagian oleh cairan yang dapat melarutkan lebih banyak oksigen dan
mengkonsumsi lebih sedikit surfaktan dibandingkan dengan ventilasi
konvensional serta memiliki tekanan permukaan yang lebih rendah
dan mengurangi respons inflamasi. Metode ini digunakan sebagai
terapi alternatif baru yang menjanjikan bagi pasien ARDS.14
Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO)
Metode ECMO didesain dengan menegakkan sirkuit
ekstrakorporal, baik pola vena ke arteri (V-A ECMO) maupun vena ke
vena (V-V ECMO). Pola VAECMO meningkatkan oksigenasi melalui
oksigenator membran ekstrakorporeal dan cardiac output dengan
sistem pompa, tetapi V-V ECMO hanya dapat memperbaiki
oksigenasi jaringan.14
Extracorporeal carbon dioxide removal (ECCO2R)
Metode ECCO2R menggunakan suatu sirkuit venovenosa dan
CO2 darah dapat dihilangkan oleh suatu mesin ekstrakorporeal.
Meskipun beberapa penelitian telah menunjukkan efek
menguntungkan dari ECMO atau ECCO2R, tetapi terapi tersebut
masih belum direkomendasikan untuk penatalaksanaan rutin pasien
ARDS.14
Continous positive airway pressure (CPAP)
Continous positive airway pressure digunakan pada pasien
dengan gagal napas akut untuk mengoreksi hipoksemia. Hal ini yang
mendasari pemberian oksigen inspirasi kandungan tinggi,
meningkatkan rerata saluran napas dan akan memperbaiki ventilasi
untuk mencegah daerah paru menjadi kolaps. Continous positive
19
airway pressure akan menguras kerja otot inspirasi sehingga kerja
inspirasi berkurang walaupun secara konvensional CPAP tidak
dipertimbangkan sebagai support ventilasi dan indikasi utama adalah
untuk mengoreksi hipoksemia. Aliran generator pada CPAP akan
mempertahankan tekanan yang diinginkan melaui siklus pernapasan.
Keunggulan CPAP dapat meningkatkan kapasiti residu fungsional,
membuka alveoli kolaps atau dengan ventilasi alveoli yang menurun,
menurunkan pirau intrapulmoner serta memperbaiki oksigenasi. Efek
pada gangguan jantung adalah menurunkan tekanan transmural
ventrikel kiri, menurunkan beban akhir dan meningkatkan curah
jantung sehingga CPAP dapat digunakan pada penderita edema paru
akut.14
Continous positive airway pressure (CPAP) dapat mencegah
atelektasis alveolar, mengurangi disfungsi ventilasi/perfusi dan
membantu kerja pernapasan. Kebutuhan untuk intubasi dan ventilasi
mekanik mungkin akan semakin besar sehingga pasien harus dirawat
di unit perawatan intensif. Positive end expiratory pressure (PEEP)
25-15 mmH2O dapat digunakan untuk mencegah alveoli menjadi
kolaps. Tekanan jalan napas yang tinggi yang terjadi pada ARDS
dapat menyebabkan penurunan cairan jantung dan peningkatan risiko
barotrauma (misalnya pneumotoraks). Tekanan tinggi yang
dikombinasi dengan konsentrasi O2 yang tinggi sendiri dapat
menyebabkan kerusakan mikrovaskular dan mencetuskan terjadinya
permeabilitas yang meningkat hingga timbul edema paru.15
Terapi Oksigen6,9,15
Pemberian oksigen sehingga oksigen dalam udara inspirasi
(FIO2) mencapai 50-100%.6 Pemberian oksigen sering berguna untuk
meringankan dan menghilangkan rasa nyeri dada dan bila
memungkinkan dapat dicapai paling baik dengan memberikan tekanan
positif terputus-putus. Kebutuhan untuk intubasi dan ventilasi
20
mekanik mungkin akan semakin besar sehingga pasien harus dirawat
di unit perawatan intensif.
- Intubasi endotrakeal pada pasien dengan hipoksia berat.6
- Optimalisasi fungsi hemodinamik dilakukan dengan berbagai
cara. Dengan menurunkan tekanan arteri pulmonal berarti dapat
membantu mengurangi kebocoran kapiler paru. Caranya ialah
dengan restriksi cairan, penggunaan diuretik dan obat vasodilator
pulmonar (nitric oxide/NO). Pada prinsipnya penatalaksanaan
hemodinamik yang penting yaitu mempertahankan keseimbangan
yang optimal antara tekanan pulmoner yang rendah untuk
mengurangi kebocoran ke dalam alveoli, tekanan darah yang
adekuat untuk mempertahankan perfusi jaringan dan transport O2
yang optimaI. Kebanyakan obat vasodilator arteri pulmonal
seperti nitrat dan antagonis kalsium juga dapat menyebabkan
vasodilatasi sistemik sehingga dapat sekaligus menyebabkan
ipotensi dan perfusi organ yang terganggu. Obat-obat inotropik
dan vasopresor seperti dobutamin dan noradrenalin mungkin
diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah sistemik dan
curah jantung yang cukup terutama pada pasien dengan sepsis
(vasodilatasi sistemik). Inhalasi NO telah digunakan sebagai
vasodilator arteri pulmonal yang selektif. Karena diberikan secara
inhalasi sehingga terdistribusi pada daerah di paru-paru yang
menyebabkan vasodilatasi. Vasodilatasi yang terjadi pada alveoli
yang terventilasi akan memperbaiki disfungsi ventilasi/perfusi
sehingga dengan demikian fungsi pertukaran gas membaik. NO
secara cepat diinaktivasi oleh hemoglobin mencegah reaksi
sistemik.15
Strategi terapi terkini yang dalam uji coba:15
1. Perbaikan metode ventilator (beberapa cara terbaru)
2. Lung–protective ventilation dengan higher PEEP masih
inconclusive
21
3. Non invasive positive pressure ventilation
4. High frequency ventilation
5. Tracheal gas insuflation
6. Proportional- assist ventilation
7. Inverse ratio ventilation dan airway pressure-release ventilation
8. Surfactant replacement therapy, dengan memakai aerosol
surfaktan sintetis hasilnya mengecewakan, tetapi dengan memakai
natural mamalia surfactant dan perbaikan alat aerosol terbukti
memperbaiki stabilitas alveolar, mengurangi insidens
atelektasis/intrapulmonary shunting. Meningkatkan efek
antibakterial dan antiinflamasi.
9. Extra corporeal gas exchange
10. Prone positioning, terbukti baik dalam oksigenasi karena terjadi
shift perfusi dan perbaikan gas exchage
11. Fluorocarbon liquid-assisted gas exchange
12. Antiinflamasi
22
BAB III
KESIMPULAN
1. Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru yang terjadi secara
mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi
(edema paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler
(edema paru non kardiak) yang menyebabkan terjadinya ekstravasasi cairan
secara cepat.
2. Baik edema paru kardiak maupun non kardiak dapat menggunakan ventilator
untuk peningkatan oksigen. Pada edema paru kardiak menggunakan ventilasi
noninvasif sedangkan pada edema non kardiak dapat menggunakan protective
lung atau protocol ventilasi ARDS net, high frequency ventilation (HVF),
inverse ratio ventilation (IRV), airway pressure release ventilation (APRV),
prone position, pemberian surfaktan eksogen, ventilasi mekanik cair dan
extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) serta extracorporeal carbon
dioxide removal (ECCO2R).
3.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Umar N. Sistem pernapasan dan suctioning pada jalan nafas. 2004. Bagian Anestesiologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Guyton AC and Hall JE. 2007. Ventilasi Paru. In : Rachman LY, dkk. Editor. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Textbook of Medical Physiology) Edisi 11. Jakarta : EGC. p.495-506
3. Rani, A, dkk. 2008. Edema Paru Akut (Kardiak). In : Rani, dkk. Editor. Panduan Pelayanan Medik. PB PAPDI.
4. Huldani. 2014. Edema Paru. Universitas Lambung Mangkurat, Fakultas Kedokteran.
5. Jones and Bartlett. 2014. Pulmonary Ventilation.
6. Alsagaff H dan Mukty A. 2010. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Cetakan 7 Surabaya : Airlangga University Press.
7. Harun S, Nasution SA. 2010. Edema Paru Akut. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Sudoyo A, dkk. Editor.p. 1636-1638.
8. Guyton AC and Hall JE. 2007. Sirkulasi Paru, Edema Paru, Cairan Pleura. In : Rachman LY, dkk. Editor. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Textbook of Medical Physiology) Edisi 11. Jakarta : EGC. p.513
9. Kakouros NS and Kakouros SN. 2003. Non-Cardiogenic Pulmonary Edema. Hellenic J Cardiol.
10. Ware LB and Matthay MA. 2005. Acute Pulmonary Edema. The New England Journal of Medicine.
11. Irawati, M. 2010. Treatment of Lung Oedema in VSD and VAP Sepsis. Anestesia and critical care volume 28. p.52-58
12. Rogayah R, Fitriyani F, Rasmin M. Ventilasi Noninfasif. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI – SMF Paru RSUP Persahabatan, Jakarta.
13. Prasenohadi. Ventilasi Noninvasif di Ruang Rawat Intensif. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI.
24
14. Susanto YS dan Sari FR. 2012. Penggunaan Ventilasi Mekanis Invasif Pada Acute Respiratory Syndrome (ARDS). Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Rumah Sakit Moewardi, Surakarta.
15. Amin Z dan Ramitya R. 2002. Penatalaksanaan Terkini ARDS. Simposium Penataksanaan Kedaruratan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam II
25