Post on 27-Dec-2015
BAB I
PENDAHULUAN
Laporan tahunan WHO: Primary Helath Care : Now More Than Ever,
pada tahun 2008, menyatakan secara lugas bahwa negara dengan layanan
kesehatan primer yang kuat dan mumpuni mampu menciptakan sistem layanan
kesehatan yang tidak hanya bermutu, namun hemat dalam pembiayaannya.
Pemerintah Indonesia, sebagaimana tercermin dalam UU No 40 tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), telah sadar sepenuhnya dengan
peran sistem pelayanan primer yang vital dalam memenuhi hajat sehat masyarakat
luas. Hampir 10 tahun waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan. 1 Januari
2014, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), salah satu bentuk implementasi SJSN,
secara resmi dan bertahap mulai diselenggarakan secara nasional. JKN merupakan
suatu sistem dengan tujuan luhur agar semua masyarakat mendapatkan pelayanan
kesehatan yang merata dan tidak diskriminatif. 1
Berdasarkan peta jalan Jaminan Kesehatan Nasional, 121,6
juta masyarakat Indonesia akan terlayani dan menjadi peserta JKN pada 1 Januari
2014, ketika BPJS (Badan Pelaksana Jaminan Sosial) Kesehatan pertama kali
beroperasi. Untuk melayani semua pesertanya, JKN menguatkan sistem
pelayanan berjenjang, yang terdiri dari pelayanan primer, pelayanan sekunder
pada dokter spesialis, dan pelayanan tersier pada dokter subspesialis. 1
JKN mengedepankan sistem pelayanan primer yang diharapkan mampu
menjadi ujung tombak penyelenggaraan, menyelesaikan 80% permasalahan,
mengupayakan upaya promotif-preventif, dan sekaligus mencegah kebocoran
anggaran.Program JKN mengedepankan sistem pelayanan primer sekaligus
mendayagunakan peran dokter layanan primer sebagai garda utama sistem
pelayanan kesehatan.2 Mengingat pentingnya dokter pelayanan primer pada JKN,
tentu dibutuhkan suatu daftar kompetensi terukur dokter layanan primer yang
dapat digunakan oleh BPJS.3 Implikasinya adalah penyesuaian sistem pendidikan
kedokteran terhadap sistem JKN. Pemerintah lantas berinisiatif untuk merancang
produk perundangan, yang salah satu tujuannya, mengakomodasi proses persiapan
dan pendidikan dokter layanan primer melalui pengesahan UU No 20 Tahun 2013
tentang Pendidikan Kedokteran. UU No 20 tahun 2013 memperkenalkan istilah
Dokter Layanan Primer sebagai strata baru pendidikan kedokteran di Indonesia.
Sebagai tambahan, hanya dokter layanan primer, dokter spesialis, dan dokter
subspesialis yang bisa masuk dan berada di dalam sistem Jaminan Kesehatan
Nasional. Kelak, semua dokter-dokter fresh graduated harus mengikuti
pendidikan dokter layanan primer bila ingin menjadi bagian dari sistem sebagai
penyedia pelayanan kesehatan primer. 1
Demi keberhasilan program BPJS, diperlukan kompetensi dan perilaku
yang komprehensif dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk lembaga
pendidikan kesehatan., yang memiliki peran sangat strategis dalam rangka
mewujudkan Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) yang bermutu untuk
menghadapi pelayanan kesehatan era BPJS.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
2.1.1 Definisi Jaminan Kesehatan Nasional
Beberapa pengertian yang patut diketahui terkait dengan asuransi
tersebut adalah:
1. Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah suatu tatacara penyelenggaraan
program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggara. Sistem
jaminan sosial nasional pada dasarnya merupakan program Negara yang
bertujuan memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.5,6
2. Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk
menjamin agar setiap rakyat dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup
yang layak. Kebutuhan dasar hidup yang layak demi terwujudnya
kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 5
3. Asuransi sosial merupakan mekanisme pengumpulan iuran yang bersifat
wajib dari peserta, guna memberikan perlindungan kepada peserta atas
risiko sosial ekonomi yang menimpa mereka dan atau anggota
keluarganya (UU SJSN No.40 ta hun 2004).5
4. Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah tata cara penyelenggaraan
program Jaminan Sosial oleh Badan Penyeleng gara Jaminan Sosial
(BPJS) Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.5
5. Jaminan Sosial adalah bentuk perlindungan sosial untuk menjamin
seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hi dupnya yang
layak.5
Dengan demikian, Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang
dikembangkan di Indonesia merupakan bagian dari Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN). Sistem Jaminan Sosial Nasional ini diselenggarakan
melalui mekanisme Asuransi Kesehatan Sosial yang bersifat wajib
(mandatory) berdasarkan Undang- Undang No.40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional. Tujuannya adalah agar semua penduduk
Indonesia terlindungi dalam sistem asuransi, sehingga mereka dapat
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak.5
Kelebihan sistem asuransi sosial di banding kan dengan asuransi komersial
antara lain:5
Asuransi Sosial Asuransi Komersial
1. Kepesertaan bersifat wajib (untuk
semua penduduk) **
1. Kepesertaan bersifat sukarela
2. Non Profit 2. Profit
3. Manfaat komprehensif 3. Manfaat sesuai dengan premi
yang dibayarkan.
**berpotensi mencakup 100% penduduk (universal coverage) dan relatif
dapat menekan peningkatan biaya pelayanan kesehatan.
2.1.2 Dasar Hukum Latar Belakang Terbentuknya JKN
Berikut beberapa dasar hukum yang melatarbelakangi terbentuknya
JKN, yaitu: 5
1. Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) atau Universal Independent of
Human Right dicetuskan pada tanggal 10 Desember 1948 yang terdiri
dari 30 pasal. Pasal 25 ayat 1 menyebutkan bahwa Setiap orang berhak
atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan
dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan
dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan
berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat,
menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang
mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar
kekuasaannya.5
2. Resolusi WHA ke 58 Thn 2005 di Jenewa: setiap negara perlu
mengembangkan UHC melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial
untuk menjamin pembiayaan kesehatan yang berkelanjutan. 5
3. Pencapaian Universal Health Coverage (UHC) melalui mekanisme
asuransi sosial agar pembiayaan kesehatan dapat dikendalikan sehingga
keterjaminan pembiayaan kesehatan menjadi pasti dan terus menerus
tersedia yang pada gilirannya Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia (sesuai Sila ke-5 Pancasila) dapat terwujud. 5
4. Pasal 28 H ayat (1) (2) (3) UUD 45 disebutkan:
(1) Setiap orang berhakhidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan mendapatkanlingkungan hidup yang baik dan sehatserta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan.
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan.
(3) Setiap orang berhak atasjaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat.
5. Selanjutnya pada pasal 34 ayat (1),(2),(3) UUD 1945 disebutkan:
(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat
dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu
sesuai dengan martabat kemanusiaan.
(3)Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan
kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
Untuk dapat menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional sesuai
dengan kondisi yang ditetapkan, maka telah diterbitkan berbagai peraturan
sebagai berikut: 5
UUNo40tahun2004tentangSJSN
UUNo.36Tahun2009tentangKesehatan
UUNo.24Tahun2011tentangBPJS
PPNo.101Tahun2012tentangPBI
PerpresNo12/2013tentangJaminanKesehatan
Roadmap JKN, Rencana Aksi Pengembangan Pelayanan Kesehatan,
Permenkes, Peraturan BPJS
Jaminan Kesehatan merupakan bagian dari prioritas reformasi
pembangunan kesehatan
2.1.3 Prinsip-Prinsip
Prinsip -prinsip Jaminan Kesehatan Nasional Jaminan Kesehatan
Nasional mengacu pada prinsip- prinsip Sistem Jaminan Sosial Nasio nal
(SJSN) berikut: 5
1. Prinsip kegotongroyongan
Gotong royong sesungguhnya sudah menjadi salah satu prinsip dalam
hidup bermasyarakat dan juga merupakan salah satu akar dalam
kebudayaan kita. Dalam SJSN, prinsip gotong royong berarti peserta
yang mampu membantu peserta yang kurang mampu, peserta yang sehat
membantu yang sakit atau yang berisiko tinggi, dan peserta yang sehat
membantu yang sakit. Hal ini terwujud karena kepesertaan SJSN bersifat
wajib untuk seluruh penduduk, tanpa pandang bulu. Dengan demikian,
melalui prinsip gotong-royong jaminan sosial dapat menumbuhkan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.5
2. Prinsip nirlaba
Pengelolaan dana amanat oleh Badan Pen yelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) adalah nirlaba bukan untuk mencari laba (for profit oriented).
Sebaliknya, tujuan utama adalah untuk memenuhi sebesar -be sarnya
kepentingan peserta. Dana yang dikumpulkan dari masyarakat adalah
dana amanat, sehingga hasil pengembangannya, akan di manfaatkan
sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta. 5
3. Prinsip keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas. Prinsip prinsip manajemen ini mendasari seluruh kegiatan pengelolaan
dana yang berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangannya. 5
4. Prinsip portabilitas
Prinsip portabilitas jaminan sosial dimak sudkan untuk memberikan
jaminan yang berkelanjutan kepada peserta sekalipun mereka berpindah
pekerjaan atau tempat tinggal dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.5
5. Prinsip kepesertaan bersifat wajib
Kepesertaan wajib dimaksudkan agar selu ruh rakyat menjadi peserta
sehingga dapat terlindungi. Meskipun kepesertaan bersifat wajib bagi
seluruh rakyat, penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan
ekonomi rakyat dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan
program. Tahapan pertama dimulai dari pekerja di sektor formal,
bersamaan dengan itu sektor informal dapat menjadi peserta secara
mandiri, se hingga pada akhirnya Sistem Jaminan So sial Nasional
(SJSN) dapat mencakup se luruh rakyat. 5
6. Prinsip dana amanat Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan
dana titipan kepada badan -badan penyelenggara untuk dikelola sebaik -
baik nya dalam rangka mengoptimalkan dana tersebut untuk
kesejahteraan peserta.5
7. Prinsip hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya
untuk pengembangan program dan untuk sebesar- besar kepentingan
peserta.5
2.1.4 Penanggung Jawab SJSN
Untuk Penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional dibentuk
Dewan Jaminan Sosial Nasional. Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN)
bertanggung jawab langsung kepada Presiden. DJSN berfungsi merumuskan
kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan sistem jaminan sosial
nasional. 5
2.2 Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
2.2.1 Definisi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Berdasarkan UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN, Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah :
1. Badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan
sosial (Pasal 1 angka 1)
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS
adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program
jaminan sosial
Jaminan Sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk
menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar
hidupnya yang layak.2,6,8
2. Badan hukum nirlaba (Pasal 4 dan Penjelasan Umum)
BPJS menyelenggarakan sistem jaminan sosial nasional berdasarkan
prinsip:
a. kegotongroyongan;
b. nirlaba;
c. keterbukaan;
d. kehati-hatian;
e. akuntabilitas;
f. portabilitas;
g. kepesertaan bersifat wajib;
h. dana amanat; dan
i. hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk
pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan Peserta.2,7
3. Pembentukan dengan undang – undang (Pasal 5 ayat 1)
(1) Berdasarkan Undang-Undang ini dibentuk BPJS.
(2) BPJS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. BPJS Kesehatan; dan
b. BPJS Ketenagakerjaan. 2,7
2.2.2 Badan Hukum Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
1. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004
Tentang Sistem Jaminan Sosial Kesehatan;
2. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011
Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun
2012 Tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan;
4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013
Tentang Jaminan Kesehatan.
2.2.3 Kepesertaan
Peserta BPJS Kesehatan adalah setiap orang, termasuk orang asing
yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah
membayar iuran, meliputi :
1. Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI) : fakir miskin dan
orang tidak mampu, dengan penetapan peserta sesuai ketentuan peraturan
perundang- undangan.
2. Bukan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (Non PBI), terdiri
dari:
a. Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya
Pegawai Negeri Sipil;
Anggota TNI;
Anggota Polri;
Pejabat Negara;
Pegawai Pemerintah non Pegawai Negeri;
Pegawai Swasta; dan
Pekerja yang tidak termasuk huruf a sd f yang menerima Upah.
Termasuk WNA yang bekerja di Indonesia paling singkat 6
(enam) bulan.
b. Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya
Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja mandiri; dan
Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan penerima Upah.
Termasuk WNA yang bekerja di Indonesia paling singkat 6
(enam) bulan.
Bukan pekerja dan anggota keluarganya
a. Investor;
b. Pemberi Kerja;
c. Penerima Pensiun, terdiri dari :
Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun;
Anggota TNI dan Anggota Polri yang berhenti dengan hak
pensiun;
Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun;
Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun
yang mendapat hak pensiun;
Penerima pensiun lain; dan
Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun lain
yang mendapat hak pensiun.
d. Veteran;
e. Perintis Kemerdekaan;
f. Janda, duda, atau anak yatim piatu dari Veteran atau Perintis
Kemerdekaan; dan
g. Bukan Pekerja yang tidak termasuk huruf a sd e yang mampu
membayar iuran.
Anggota Keluarga Yang Ditanggung
1. Pekerja Penerima Upah :
a. Keluarga inti meliputi istri/suami dan anak yang sah (anak
kandung, anak tiri dan/atau anak angkat), sebanyak-banyaknya 5
(lima) orang.
b. Anak kandung, anak tiri dari perkawinan yang sah, dan anak
angkat yang sah, dengan kriteria:
Tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai
penghasilan sendiri;
Belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berusia 25
(dua puluh lima) tahun yang masih melanjutkan pendidikan
formal.
2. Pekerja Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja : Peserta dapat
mengikutsertakan anggota keluarga yang diinginkan (tidak terbatas).
3. Peserta dapat mengikutsertakan anggota keluarga tambahan, yang
meliputi anak ke-4 dan seterusnya, ayah, ibu dan mertua.
4. Peserta dapat mengikutsertakan anggota keluarga tambahan, yang
meliputi kerabat lain seperti Saudara kandung/ipar, asisten rumah
tangga, dll.
2.2.4 Hak dan Kewajiban Peserta BPJS
1. Hak Peserta
a. Mendapatkan kartu peserta sebagai bukti sah untuk
memperoleh pelayanan kesehatan;
b. Memperoleh manfaat dan informasi tentang hak dan kewajiban
serta prosedur pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku;
c. Mendapatkan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan yang
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan; dan
d. Menyampaikan keluhan/pengaduan, kritik dan saran secara
lisan atau tertulis ke Kantor BPJS Kesehatan.
2. Kewajiban Peserta
a. Mendaftarkan dirinya sebagai peserta serta membayar iuran
yang besarannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku ;
b. Melaporkan perubahan data peserta, baik karena pernikahan,
perceraian, kematian, kelahiran, pindah alamat atau pindah
fasilitas kesehatan tingkat I;
c. Menjaga Kartu Peserta agar tidak rusak, hilang atau
dimanfaatkan oleh orang yang tidak berhak.
d. Mentaati semua ketentuan dan tata cara pelayanan kesehatan.
2.2.5 Pembiayaan
1. Iuran Jaminan Kesehatan
adalah sejumlah uang yang dibayarkan secara teratur oleh
Peserta, Pemberi Kerja, dan/atau Pemerintah untuk program
Jaminan Kesehatan (pasal 16, Perpres No. 12/2013 tentang
Jaminan Kesehatan).
2. Pembayar Iuran
Bagi peserta pbi, iuran dibayar oleh pemerintah.
Bagi peserta pekerja penerima upah, iurannya dibayar oleh
pemberi kerja dan pekerja.
Bagi peserta pekerja bukan penerima upah dan peserta bukan
pekerja iuran dibayar oleh peserta yang bersangkutan.
Besarnya iuran jaminan kesehatan nasional ditetapkan
melalui peraturan presiden dan di tinjau ulang secara berkala
sesuai dengan per kembangan sosial, ekonomi, dan
kebutuhan dasar hidup yang layak.
3. Pembayaran Iuran
Setiap Peserta wajib membayar iuran yang besarnya
ditetapkan berdasarkan persentase dari upah (untuk pekerja
penerima upah) atau suatu jumlah nominal tertentu (bukan
peneima upah dan PBI). Setiap Pemberi Kerja wajib memungut
iuran dari pekerjanya, menambahkan iuran peserta yang menjadi
tanggung jawabnya, dan membayarkan iuran tersebut setiap
bulan kepada BPJS Kesehatan secara berkala (paling lambat
tanggal 10 setiap bulan). Apabila tanggal 10 (sepuluh) jatuh
pada hari libur, maka iuran dibayarkan pada hari kerja
berikutnya. Keterlambatan pembayaran iuran JKN dikenakan
denda administratif sebesar 2% (dua persen) perbulan dari total
iuran yang tertunggak dan dibayar oleh Pemberi Kerja. Peserta
Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja wajib
membayar iuran JKN pada setiap bulan yang dibayarkan paling
lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan ke pada BPJS
Kesehatan. Pembayaran iuran JKN dapat dilakukan diawal.
BPJS Kesehatan menghitung kelebihan atau kekurangan iuran
JKN sesuai dengan Gaji atau Upah Peserta.
Dalam hal terjadi kelebihan atau kekurangan pembayaran
iuran, BPJS Kesehatan memberitahukan secara tertulis kepada
Pemberi Kerja dan/atau Peserta paling lambat 14 (empat belas)
hari kerja sejak dite rimanya iuran. Kelebihan atau kekurangan
pembayaran iuran diperhitungkan dengan pembayaran Iuran
bulan berikutnya. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pembayaran iuran diatur dengan Peraturan BPJS Kesehatan.
4. Cara Pembayaran Fasilitas Kesehatan
BPJS Kesehatan akan membayar kepada Fasilitas
Kesehatan tingkat pertama dengan Kapitasi. Untuk Fasilitas
Kesehatan rujukan tingkat lanjutan, BPJS Kesehatan membayar
dengan sistem paket INA CBG’s. Mengingat kondisi geografis
Indonesia, tidak semua Fasilitas Kesehatan dapat dijangkau
dengan mudah. Maka, jika di suatu daerah tidak memungkinkan
pembayaran berdasarkan Kapitasi, BPJS Kesehatan diberi wewe
nang untuk melakukan pembayaran dengan mekanisme lain
yang lebih berhasil guna. Semua Fasilitas Kesehatan meskipun
tidak menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan wajib
melayani pasien dalam keadaan gawat darurat, setelah keadaan
gawat daruratnya teratasi dan pasien dapat dipindahkan, maka
fasilitas kesehatan tersebut wajib merujuk ke fasilitas kesehatan
yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. BPJS Kesehatan
akan membayar kepada fasilitas kesehatan yang tidak menjalin
kerjasama setelah memberikan pelayanan gawat darurat setara
dengan tarif yang berlaku di wilayah tersebut.
5. Pertanggungjawaban BPJS Kesehatan
BPJS Kesehatan wajib membayar Fasilitas Kesehatan atas
pelayanan yang diberikan kepada Peserta paling lambat 15 (lima
belas) hari sejak dokumen klaim diterima lengkap. Besaran
pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan diten tukan berdasarkan
kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan asosiasi Fasilitas
Kesehatan di wilayah tersebut dengan mengacu pada standar
tarif yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Dalam hal tidak
ada kesepakatan atas besaran pembayaran, Menteri Kesehatan
memutuskan besaran pembayaran atas pro gram JKN yang
diberikan. Asosiasi Fasilitas Kesehatan ditetapkan oleh Menteri
Kese hatan. Dalam JKN, peserta dapat meminta manf aat
tambahan berupa manfaat yang bersifat non medis berupa
akomodasi. Misalnya: Peserta yang menginginkan kelas
perawatan yang lebih tinggi daripada haknya, dapat
meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan
tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang
dijamin oleh BPJS Kesehatan dan biaya yang harus dibayar
akibat peningkatan kelas perawatan, yang disebut dengan iur
biaya (additional charge). Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi
peserta PBI.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pelaksanaan
tugasnya, BPJS Kesehatan wajib menyampaikan
pertanggungjawaban dalam bentuk laporan pengelolaan program
dan la poran keuangan tahunan (periode 1 Januari sampai
dengan 31 Desember). Laporan yang telah diaudit oleh akuntan
publik dikirimkan kepada Presiden dengan tembusan kepada
DJSN paling lambat tanggal 30 Juni tahun berikutnya. Laporan
tersebut dipublikasikan dalam bentuk ringkasan eksekutif
melalui media massa elektronik dan melalui paling sedikit 2
(dua) media massa cetak yang memiliki per edaran luas secara
nasional, paling lambat tanggal 31 Juli tahun berikutnya.
2.2.6 Pelayanan
1. Jenis Pelayanan
Ada 2 (dua) jenis pelayanan yang akan diperoleh oleh Peserta
JKN, yaitu berupa pelayanan kesehatan (manfaat medis) serta
akomodasi dan ambulans (manfaat non medis). Ambulans hanya
diberikan untuk pasien rujukan dari Fasilitas Kesehatan dengan
kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan.
2. Prosedur Pelayanan
Peserta yang memerlukan pelayanan kesehatan pertama-tama
harus memperoleh pelayanan kesehatan pada Fasilitas Kesehatan
tingkat pertama. Bila Peserta memerlukan pelayanan kesehatan
tingkat lanjutan, maka hal itu harus dilakukan melalui rujukan
oleh Fasilitas Kesehatan tingkat pertama, kecuali dalam keadaan
kegawatdaruratan medis.
3. Kompensasi Pelayanan
Bila di suatu daerah belum tersedia Fasilitas Kesehatan yang
memenuhi syarat guna memenuhi kebutuhan medis sejumlah
Peserta, BPJS Kesehatan wajib memberikan kompensasi, yang
dapat berupa: penggantian uang tunai, pengiriman tenaga
kesehatan atau penyediaan Fasilitas Kesehatan tertentu.
Penggantian uang tunai hanya digunakan untuk biaya pelayanan
kesehatan dan transportasi.
4. Penyelenggara Pelayanan Kesehatan
Penyelenggara pelayanan kesehatan meliputi semua Fasilitas
Kesehatan yang menjalin kerja sama dengan BPJS Kesehatan
baik fasilitas kesehatan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan swasta yang memenuhi persyaratan melalui proses
kredensialing dan rekredensialing.
5. Pelayanan kesehatan yang dijamin meliputi:
a. Pelayanan kesehatan tingkat pertama, yaitu pelayanan
kesehatan non spesialistik mencakup:
1) Administrasi pelayanan
2) Pelayanan promotif dan preventif
3) Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi medis
4) Tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun
non operatif
5) Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai
6) Transfusi darah sesuai dengan kebutuhan medis
7) Pemeriksaan penunjang diagnosis laboratorium tingkat
pertama
8) Rawat inap tingkat pertama sesuai dengan indikasi.
b. Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan, yaitu pelayanan
kesehatan mencakup:
1) Rawat jalan yang meliputi:
a. Administrasi pelayanan
b. Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik
oleh dokter spesialis dan sub- spesialis
c. Tindakan medis spesialistik sesuai dengan indikasi
medis
d. Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai e)
Pelayanan alat kesehatan implant
e. Pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan
indikasi medis
f. Rehabilitasi medis
g. Pelayanan darah
h. Pelayanan kedokteran forensic
i. Pelayanan jenazah di fasilitas kesehatan.
2) Rawat inap yang meliputi:
a. Perawatan indap non intensif
b. Perawatan inap di ruang intensif.
c. Pelayanan kesehatan lain ditetapkan oleh Menteri.
2.2.7 Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan
Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional terdiri atas 2 (dua) jenis, yaitu
manfaat medis berupa pelayanan kesehatan dan manfaat non medis meliputi
akomodasi dan ambulans.
Ambulans hanya diberikan untuk pasien rujukan dari Fasilitas
Kesehatan dengan kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan.
Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional mencakup pelayanan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif termasuk pelayanan obat dan
bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan me dis.
Manfaat pelayanan promotif dan preventif meliputi pemberian
pelayanan:
a. Penyuluhan kesehatan perorangan, meliputi paling sedikit penyuluhan
mengenai pengelolaan faktor risiko penyakit dan perilaku hidup bersih
dan sehat.
b. Imunisasi dasar, meliputi Baccile Calmett Guerin (BCG), Difteri Pertusis
Tetanus dan Hepatitis B (DPTH B), Polio, dan Campak.
c. Keluarga berencana, meliputi konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi,
dan tubektomi bekerja sama dengan lembaga yang membidangi keluarga
berencana. Vaksin untuk imunisasi dasar dan alat kontrasepsi dasar
disediakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
d. Skrining kesehatan, diberikan secara selektif yang ditujukan untuk
mendeteksi risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari risiko
penyakit tertentu.
Meskipun manfaat yang dijamin dalam JKN bersifat komprehensif,
masih ada manfaat yang tidak dijamin meliputi:
a. Tidak sesuai prosedur
b. Pelayanan di luar Fasilitas Kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS
c. Pelayanan bertujuan kosmetik
d. General check up, pengobatan alternatif
e. Pengobatan un tuk mendapatkan keturunan, pengobatan impotensi
f. Pelayanan kesehatan pada saat bencana
g. Pasien Bunuh Diri /Penyakit yang timbul akibat kesengajaan untuk
menyiksa diri sendiri/ Bunuh Diri/Narkoba.
2.3 Dokter Layanan Primer
2.3.1 Definisi Dokter Layanan Primer (DLP)
Istilah Dokter Layanan Primer (DLP) tercantum dalam Undang-
Undang Nomor 20 tahun 2013 tentang pendidikan kedokteran. DLP yang
dulunya terkenal dengan sebutan dokter keluarga merupakan dokter yang
berada di lini terdepan, menghadapai berbagai masalah kesehatan
masyarakat dan menentukan apakah dapat ditangani secara mandiri di
layanan primer atau diperlukan rujukan ke layanan sekunder dan/ atau
tersier.
2.3.2 Tugas Dokter Layanan Primer
1. Menyelenggarakan kesehatan dasar masyarakat melalui pelayanan
kesehatan dasar berdasarkan kompetensi & kewenangannya
2. Mengatur pelayanan kesehatan lanjutan melalui sistem rujukan.
3. Penasehat, konselor, dan pendidik untuk mewujudkan keluarga
sehat
4. Manajer sumber daya
2.3.3 Fungsi Dokter Layanan Primer
1. Kontak pertama pasien
2. Penapis rujukan
3. Kendali mutu dan biaya
2.3.4 Kompetensi Dokter Layanan Primer
DLP dituntut mampu menangani 155 diagnosis penyakit. Ratusan
penyakit itu harus mampu ditangani oleh dokter di faskes pemberi
pelayanan primer.
Gambar 1.
2.3.5 Prinsip Pelayanan Dokter Layanan Primer
1. Pelayanan Tingkat Pertama (primary care)
2. Pelayanan yang mengutamakan promosi dan pencegahan
(promotif dan preventive)
3. Pelayanan bersifat pribadi (personal care)
4. Pelayanan paripurna (comprehensive care)
5. Pelayanan menyeluruh (holistic care)
6. Pelayanan terpadu (integrated care)
7. Pelayanan berkesinambungan (continuum care)
8. Koordinatif dan kerjasama
9. Berorientasi pada keluarga dan komunitas (family and
community oriented)
10. Patient safety
2.4 Sistem Pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP) di Indonesia
2.4.1 Latar Belakang Pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP) di
Indonesia
Pemerintah terus membenahi pelaksanaan BPJS Kesehatan.
Termasuk menyiapkan tenaga dokter yang memberi layanan primer seperti
puskesmas dan klinik. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah
memasukan ketentuan terkait dokter pemberi layanan primer (DLP) dalam
UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran.
Dalam regulasi itu, DLP dibuat agar setara dengan spesialis. Selama,
ini DLP kerap dipandang sebelah mata. Mengingat peran DLP sangat
penting dalam pelaksanaan JKN, UU Pendidikan Kedokteran akhirnya
memuat aturan DLP sebagai penghargaan kepada mereka.
Peningkatan penghargaan kepada DLP sangat penting mengingat hal
utama dalam pelayanan program JKN bukan hanya kuratif, tapi juga
promotif dan preventif. Sehingga kuantitas dan kualitas peserta yang sakit
dapat menurun.
DLP berpengaruh terhadap kelancaran proses rujukan berjenjang
yang diterapkan dalam JKN. Alhasil, tidak semua peserta yang sakit dapat
langsung bertandang ke fasilitas kesehatan (faskes) lanjutan seperti Rumah
Sakit (RS). Mereka harus mengunjungi faskes pemberi pelayanan primer
terlebih dulu. Karena itu, DLP berfungsi sebagai gatekeeper. Kecuali
darurat, tidak semua penyakit harus dilayani di RS.
Harus disadari layanan kesehatan tingkat primer bukan layanan
kesehatan yang sederhana seperti anggapan banyak orang selama ini.
Kenyataannya masalah kesehatan yang dihadapi di layanan primer sangat
kompleks dan luas serta membutuhkan pemahaman dasar ilmu kedokteran
dan ilmu sosial yang luas dan dalam. Karena kekhususan dan kekompleksan
masalah yang dihadapi oleh dokter layanan primer, diperlukan perluasan
dan pendalaman ilmu dan keterampilan “dokter” (layanan primer). Harus
disadari bahwa pendidikan kedokteran dasar tidak memungkinkan – karena
keterbatasan waktu studi – pencetakan “dokter” yang menguasai ilmu dan
keterampilan dokter layanan primer yang lebih luas dan dalam. Oleh karena
itu “dokter” harus mengikuti pendidikan tambahan atau lanjutan khusus agar
mempunyai kemampuan sebagai dokter layanan primer yang memadai
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan layanan primer yang bermutu
tinggi.
2.4.2 Dasar Hukum Pedndidikan Dokter Layanan Primer
Pendidikan Dokter Layanan Primer diatur dalam Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2013 tantang pendidikan kedokteran dalam pasal 8 yang
berisi:
(1) Program dokter layanan primer, dokter spesialis- subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) huruf b hanya dapat diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi yang memiliki akreditasi kategori tertinggi untuk program studi kedokteran dan program studi kedokteran gigi.
(2) Dalam hal mempercepat terpenuhinya kebutuhan dokter layanan primer, Fakultas Kedokteran dengan akreditas kategori tertinggi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran yang akreditasinya setingkat lebih rendah dalam menjalankan program dokter layanan primer.
(3) Program dokter layanan primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kelanjutan dari program profesi dokter dan program internsip yang setara dengan program dokter spesialis.
(4) Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi dalam menyelenggarakan program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan Organisasi Profesi.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Fakultas Kedokteran dan Fakultas Kedokteran Gigi yang menyelenggarakan program dokter layanan primer, dokter spesialis-subspesialis, dan dokter gigi spesialis-subspesialis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Menteri.
2.4.3 Alur Pendidikan Dokter Layanan Primer di Indonesia
Dalam pelaksaaan JKN, dokter layanan primer yang dikembalikan
sesuai fungsinya akan mendapatkan perbaikan standar kompetensi dan
reward. Dalam dua tahun mendatang, standar kompetensi untuk dokter
fasilitas layanan primer sudah tersedia. Usai menempuh pendidikan sesuai
standar kompetensi yang ditetapkan, maka dokter dinyatakan sebagai
Dokter Layanan Primer (DLP) yang setara dengan spesialis.
Pendidikan DLP bisa diambil setelah dokter lulus masa pendidikan.
Lama pendidikan untuk DLP berkisar 2-3 tahun dengan bobot 50-90 sks.
Lulusannya akan bergelar SpFM atau spesialis family medicine (dokter
keluarga). Nantinya pendidikan untuk DLP hanya akan tersedia di fakultas
kedokteran terakreditasi A.
Dengan adanya pendidikan lanjut bagi dokter layanan primer, maka
tingkat kemampuannya akan lebih dari kategori 4b, 3b, dan 3a. Kategori 3a
menandakan kemampuan sebatas diagnosa. Sedangkan 'b' menandakan
kemampuan dalam emergensi, dengan kategori 4b untuk keahlian
mendiagnosis hingga memberi obat yang merupakan standar pelayanan di
fasilitas pelayanan kesehatan primer.
Tahapan dalam pendidikan kedokteran
High school
Medical graduate
MD
Master/magister
PhD/ Doctoral
Family physician
Specialist
3,5 years
Profession 1,5 year + internship 1 year
2-5 years
3-5 years1-2 years
2,5-3 years
Sub Specialist
2-5 years
Family physicianconsultant
2-5 years
Gambar 2.
2.4.4 Program Pendidikan Dokter Layanan Primer
Sesuai UU Pendidikan kedokteran no. 20 tahun 2013 tentang
pendidikan kedokteran, maka sedang disusun rencana pendidikan lanjut
dokter layanan primer. Dalam Undang-Undang tersebut juga diterangkan
bahwa dokter umum (telah menyelesaikan program internship) mempunyai
pendidikan lanjutan setara spesialis yang dikenal dengan Dokter Layanan
Primer (DLP). Pendidikan spesialis Family Medicine (Sp.FM) akan
diselenggaran di universitas yang berakreditasi A (negeri maupun swasta)
sedangkan universitas dengan akreditasi B akan dijadikan jejaring seperti
yang etrcantum dalam UU nomor 23 tahun 2013 pasal 8 ayat (1) dan (2).
Dalam pelaksanaannya program pendidikan Sp.FM antara “dokter
senior” dan dokter junior” berbeda karena zaman dulu semuan dokter umum
yang bahkan bisa mengoperasi pasien, menyelesaikan pendidikan selama 7-
10 tahun ditambah pengalaman praktiknya. Sehingga lulusan lama ini hanya
perlu disegarkan ilmunya jika mau diputihkan mjd Sp.FM karena ilmunya
sudah dianggap baik. Hanya saja bagi dokter yang sudah terlanjur
mengambil spesialisasi lain, tetap harus ikut CME Sp.FM jika mau
berpraktik umum karena belum tentu dia masih ingat detail dan update dari
ilmu kedokteran umum dan tidak fokus dengan spesialisasinya sendiri.
Sehingga dia tetap harus ikut CMEnya Sp.FM terus menerus.
Dokter senior difasilitasi dengan berafiliasi melalui Fakultas
Kedokteran (FK) terdekat untuk kuliah tatap mukanya, dan selebihnya
diadakan pembelajaran jarak jauh dengan tetap melayani kasus medis di
tempatnya bekerja serta mungkin akan berafiliasi dengan puskesmas
kecamatan yang beberapa di antaranya akan diupgrade menjadi RS tipe D.
Pendidikan Sp.FM ini minimal 3 tahun. Tahun pertama adalah fokus
rotasi pengayaan klinik di senter-senter pendidikan. Tahun kedua adalah
tahap magang untuk bisa menjadi dokter dan manajer di fasilitas kesehatan
pelayanan primer sedangkan tahun ketiga sebagai tahap praktik sebagai
pakar dokter di pelayanan primer sekaligus pendidik klinik di wahana
primer. Tetapi untuk dokter senior hanya perlu ikut ujian kompetensi
dengan cara portofolkio yang disesuaikan dengan pengalaman dan
kemampuan masing-masing. Seluruh kegiatan berafiliasi dengan FK yang
dipilih peerta masing-masing. Dan PDKI bekerjasama dengan berbagai
pihak untuk memperoleh program beasiswa bagi anggotanya.
Sedangkan dokter junior yang memakai Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK) plus internship lebih cepat mendapat gelar dokter yaitu
5 tahun plus internship 1 tahun untuk memfasilitasi mereka yang tidak mau
menjadi klinisi. Sedangkan jika tertarik menjadi klinisi dapat melanjutkan
menjadi PPDS termasuk jika ingin berpraktik umum, yaitu PPDS Sp.FM.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dokter senior akan mengikuti
program “recognized prior learning” dan uji kompetensi di tempatnya
berpraktik sehari-hari sedangkan dokter junior mengikuti PPDS Sp.FM
secara penuh dengan “participant oriented education” dan “work placed
based education”. Sehingga spesialisasi family medicine tetap harus diikuti
oleh dokter spesialis yang akan berpraktik umum. Bahkan dia juga harus
memperbaharui SKP Sp.FMnya, sama dengan sejawatnya yang “hanya”
berkompeten sebagai Sp.FM saja.
Dalam masa peralihan ini, dokter umum yang sekarang ettap bebas
melakukan praktik umum karena nantinya akan ada pemutihan bertahap
dengan standar terukur. Kita sudah tertinggal 30 tahun karena negara lain
sudah melakukan pemutihan sejak thn 70-an.
Program pendidikan Sp.FM memiliki program S3 dan subspesialis
berupa homecare and palliative, sleep medicine, addiction medicine, sport
medicine, dll. Program Sp.FM yg di Indonesia sudah diplot utk disesuaikan
dgn situasi dan kondisi Indonesia.
Agar kompetensi dokter layanan primer sebagai pemberi pelayanan
kesehatan tingkat primer maka pemerintah masih membahas peraturan
pelaksana tentang standar kompetensi DLP sebagaimana amanat UU
Pendidikan Kedokteran. Serta standar pendidikan pelayanan primer dan
kurikulumnya. Pada periode 2014-2019 pemerintah menargetkan melatih
9600 dokter menjadi spesialis layanan primer.
2.4.5 Tujuan Pendidikan Dokter Layanan Primer
Berdasarkan UU Nomor 20 tahun 2013 tentang pendidikan dokter
indonesia pasal 8 ayat (2) yang berbunyi “Dalam hal mempercepat
terpenuhinya kebutuhan dokter layanan primer, Fakultas Kedokteran dengan
akreditas kategori tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
bekerja sama dengan Fakultas Kedokteran yang akreditasinya setingkat
lebih rendah dalam menjalankan program dokter layanan primer” maka
dapat disimpulkan bahwa Program dokter layanan primer ditujukan untuk
memenuhi kualifikasi sebagai pelaku awal pada layanan kesehatan tingkat
pertama, melakukan penapisan rujukan tingkat pertama ke tingkat kedua,
dan melakukan kendali mutu serta kendali biaya sesuai dengan standar
kompetensi dokter dalam sistem jaminan kesehatan nasional.
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Peran Ideal BPJS dalam Sistem Pendidikan Dokter Layanan Primer di
Indonesia
Dalam rangka implementasi universal health coverage di Indonesia,
diyakini bahwa kesehatan adalah hak asasi sekaligus investasi dimana
semua warga negara berhak atas pelayanan kesehatan. Sebagai salah satu
amanat dari UU SJSN maka UU No 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) telah disahkan. UU SJSN dan BPJS
ini akan menitikberatkan kebutuhan pelayanan kesehatan pada pelayanan
kesehatan primer. Hal ini akan menyebabkan jumlah dokter layanan primer
perlu ditingkatkan dan didistribusikan secara merata untuk mencapai
peningkatan mutu serta pemerataan akses terhadap pelayanan kesehatan.
Berdasarkan UU. No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan dan UU. No.
44 tahun 2009, sistem pelayanan kesehatan di Indonesia terbagi dalam tiga
strata yaitu pelayanan primer oleh dokter umum atau dokter layanan primer,
pelayanan sekunder oleh dokter spesialis dan pelayanan tersier oleh dokter
subspesialis/konsultan. preventif dan promotif harus terus dikembangkan
dan menjadi suatu prioritas. Berdasarkan sistem tersebut, ada 155 penyakit
yang dapat ditangani di pelayanan primer. Penyakit-penyakit tersebut tidak
boleh dirujuk ke pelayanan sekunder maupun tersier sehingga sistem
rujukan lebih diperketat kecuali jika membutuhkan sarana dan SDM yang
lebih spesialistik.
Peningkatan jumlah dokter layanan primer harus didukung dengan
kompetensi dokter yang komprehensif di bidang pelayanan kesehatan
perseorangan tingkat pertama, dan pelaksanaan program pemerintah dalam
pelayanan kesehatan masyarakat.
Rumah sakit pendidikan sebagai tempat pendidikan profesi dokter
layanan primer ataupun pendidikan spesialis adalah rumah sakit tipe A atau
B yang termasuk pelayanan tersier dalam sistem BPJS. Konsekuensi dari
sistem rujukan bertingkat dalam BPJS membuat penyakit-penyakit di
Rumah Sakit Pendidikan merupakan penyakit spesialistik karena penyakit-
penyakit yang merupakan kompetensi dokter layanan primer sudah
ditangani di pelayanan primer. Hal ini menyebabkan pendidikan dokter
layanan primer di rumah sakit pendidikan menjadi kurang bermanfaat
karena banyaknya kompetensi yang tidak terpenuhi. Banyaknya kompetensi
yang tidak terpenuhi di masa pendidikan dokter layanan primer tentu
berdampak pada tuntutan profesionalitas saat telah berpraktek di layanan
primer.
Selain itu, harus disadari layanan kesehatan tingkat primer bukan
layanan kesehatan yang sederhana seperti anggapan banyak orang selama
ini. Kenyataannya masalah kesehatan yang dihadapi di layanan primer
sangat kompleks dan luas serta membutuhkan pemahaman dasar ilmu
kedokteran dan ilmu sosial yang luas dan dalam. Karena kekhususan dan
kekompleksan masalah yang dihadapi oleh dokter layanan primer,
diperlukan perluasan dan pendalaman ilmu dan keterampilan “dokter”
(layanan primer). Oleh karena itu “dokter” harus mengikuti pendidikan
tambahan atau lanjutan khusus agar mempunyai kemampuan sebagai dokter
layanan primer yang memadai untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan
layanan primer yang bermutu tinggi dalam rangka melakasanakan amanat
Jaminat Kesehatan Nasional.
Dalam hal ini, pemerintah telah mengatur program pendidikan
spesialis dokter layanan primer atau spesialis Family Medicine (Sp.FM)
dalam undang-undang nomor 23 tahun 2013 tentang pendidikan kedokteran.
Dalam UU tersebut dikatakan bahwa “Program dokter layanan primer
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kelanjutan dari program
profesi Dokter dan program internsip yang setara dengan program dokter
spesialis”. Jadi, Dokter layanan Primer berbeda dengan dokter umum karena
harus menjalani studi lebih lanjut selama 2 tahun dan akan setara dengan
spesialis. Salah satu indikator keberhasilan pelayanan kesehatan primer
adalah tercapainya kompetensi dokter layanan primer sehingga pemerintah
perlu membahas peraturan pelaksana tentang standar kompetensi DLP
sebagaimana amanat UU Pendidikan Kedokteran. Serta standar pendidikan
pelayanan primer dan kurikulumnya.