Post on 16-Oct-2021
DISKRESI POLISI
DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK
PIDANA
TESIS
OLEH:
ARI NURHAQI
2012821015
Pembimbing 1:
Dr. Anne Safrina Kurniasari, SH. LL.M.
Pembimbing 2 :
Dr. W.M. Herry Susilowati, SH.MH
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN
BANDUNG
JANUARI 2017
HALAMAN PENGESAHAN
DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP
TINDAK PIDANA
Oleh
ARI NURHAQI
2012821015
Disetujui Untuk Diajukan Sidang Dalam :
Sidang Ujian Hari/Tanggal : Senin, 16 JANUARI 2017
Pembimbing 1
Dr. Anne Safrina Kurniasari, SH. LL.M.
Pembimbing 2
Dr. W.M. Herry Susilowati, SH.MH
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN
BANDUNG
JANUARI 2017
Pernyataan
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya dengan data diri sebagai berikut:
Nama : Ari Nurhaqi
Nomor Pokok Mahasiswa : 2012821015
Program Studi : Ilmu Hukum
Program Pascasarjana
Universitas Katolik Parahyangan
Menyatakan bahwa Tesis dengan Judul :
“ Diskresi Polisi Dalam Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana ”
Adalah benar-benar karya saya sendiri di bawah bimbingan Pembimbing dan saya
tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai
dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan.
Apabila dikemudian hari ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan
dalam karya saya atau jika ada tuntutan formal atau non formal dari pihak lain
berkaitan dengan keaslian karya saya ini, saya siap menanggung resiko, akibat dan
atau sanksi yang dijatuhkan kepada saya, termasuk pembatalan gelar akademik yang
saya peroleh dar Universitas Katolik Parahyangan.
Dinyatakan : Bandung
Tanggal : 1 Januari 2017
Ari Nurhaqi
DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP
TINDAK PIDANA
ARI NURHAQI (NPM: 2012821015)
Pembimbing I : Dr. Anne Safrina Kurniasari, SH.LLM.
Pembimbing 2 : Dr. W.M.Herry Susilowati, SH. Mhum.
Magister Hukum
Bandung
Nopember 2016
ABSTRAK
Diskresi polisi adalah kebebasan bertindak atas wewenang menurut penilaiannya sendiri
sejalan situasi kondisi tertentu. Hal ini menempatkan polisi pada pilihan untuk melakukan tafsir
hukum dalam menjalankan perannya sebagai aparat penegak hukum pada saat ketentuan dalam
perundang-undangan akan dilaksanakan, Namun demikian dalam tataran praktik acapkali acapkali
terjadi kesenjangan pemikiran antara penegak hukum (Polisi) dengan Advokat dan masyarakat
pencari keadilan. Adapun spesifikasi penelitian dalam penelitian ini adalah yuridis sosiologis.
Sedangkan metode pendekatan adalah pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif analitis.
Adapun teknik pengumpulan data digunakan studi dokumen, Wawancara dan pengamatan. Hasil
penelitian menunjukan hakikat diskresi Polisi diperlukan agar polisi dapat menjalankan fungsinya
secara dinamis dalam proses penegakan hukum, sehingga hal yang sifatnya penting dan mendesak,
polisi atas inisiatifnya sendiri dapat langsung bertindak dengan berpijak pada asas kebijaksanaan,
sehingga diperoleh keefektifan tercapainya suatu tujuan demi tercapainya keselarasan antara
kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Implementasi diskresi polisi terhadap tindak pidana
belum sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan hukum, Indikatornya diskresi
dipahami penyelesaian perkara tanpa prosedur hukum, diskresi diterapkan tanpa memperdulikan
sifat melawan hukumnya perbuatan. Terjadinya hal tersebut dipengaruhi kondisi sosial masyarakat
sendiri yang tidak tahu hukum, juga didukung oleh sumber daya manusia petugas kepolisian
sendiri. Pola Mekanisme penerapan diskresi saat ini didahului permohonan dari pihak korban ke
polisi, kemudian atas permohonan korban tersebut polisi mempertimbangkan dan untuk kemudian
mempertemukan antara pihak pelaku dan korban. Apabila kesepakatan antara pelaku dan korban
tercapai, maka kedua belah pihak membuat surat pernyataan yang pada intinya pihak pelaku akan
mengganti semua kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatannya dan pihak korban menyanggupi
untuk tidak lagi mempersoalkan kasus ini secara hukum. Pola Mekanisme diskresi ke depan perlu
dukungan polisi profesional, memiliki pemahaman : a) dasar keberlakuan dan tujuan diskresi; b)
standar, baik dilihat dari aspek yuridis maupun dari aspek sosial. Pola penerapan diskresinya,
secara berjenjang (institusional), individu polisi dilaporkan kepada atasan langsung, Kanit, Kasat,
Kapolres menyertakan dasar-dasar pertimbangan. Kemudian berkoordinasi dengan Jaksa Penuntut
Umum (JPU) untuk persetujuan sehubungan dengan tidak dilakukannya penuntutan atas kasus
tersebut. Kemudian polisi atas wewenang diskresi merumuskan persyaratan tertentu (teguran
keras, kompensasi, minta maaf) dan menyusun proses verbal singkat, baik berbentuk hasil
penyidikan maupun dalam bentuk Surat Penghentian penyidikan (SP3).
THE POLICE DISCRETION IN IMPLEMENTING THE LAW THROUGH
CRIMINAL
ARI NURHAQI (NPM: 2012821015)
Guidance of 1 : Dr. Anne Safrina Kurniasari, SH.LLM.
Guidance of 2 : Dr. W.M.W.Herry Susilowati, SH. Mhum.
Masters Degree of Law
Bandung
November 2016
ABSTRACT
The police discretion is deliberacy of take steps on the authority according to own
assessment in the line of certain condition. It puts the police to the selection to make law
exclamation in performing the role as apparatus while the stipulation will be implemented.
Nevertherless in practical rank often there is thingking gap between apparatus (police) and
Advocate as well as the community as seeker of the justice. As for the research specification ijn
this study is sociological juridical. While used approach method is qualitative approach with
analitical descriptive method. And used collecting data is document study, Interiew and
observation.The study result shows that the police discretion is required in order to implement the
dynamic function in law enactment, so that important and urgently, the police can control directly
based on prudence principle, so that obtained effectively purpose for the sake of the law certain,
justice and benefit. Discretion police implementation through the criminal not yet fully can be
responsible moral and law, it can be comprehended as case without the law procedure, it is
applied regard to conflict with law. Such problem can be influenced by community social
condition which does not know the law and supported by human resources from their apparatus.
Discretion mechanism recent from the victim to police, then based on the report , police considers
and furthermore meet both of them. When the agreement between subject will change all suffer
that emerged because of doer and the victim agrees for not questioning the law case.
Future it might require the police support professional, has comprehension : a) validity base and
discretion purpose; b) standard, both viewed from juridical aspect or social aspect. It is gradually
(institutional), individuality police can be reported to top managing directly, Kanit, Kasat,
Kapolres declares the consideration bases in regard because the case is not demanded. Then the
police based on discretion authority formulates certain requirement (warning, compensation,
apologize) and compiling verbal process shorly both police investigation and Investigation Cassing
Letter.
i
KATA PENGANTAR
Berkat dan Rahmat dan karunianya, penulis dapat menyelesaikan Tesis
berjudul
DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP
TINDAK PIDANA
Tesis ini mengupas peranan Polisi sebagai salah satu komponen penegakan
hukum diantara penegak hukum lainnya, sebagai pemegang posisi terdepan dari
lapisan Sistem peradilan Pidana (Criminal Justice System). Dalam kapasitas yang
demikian Polisi selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan untuk melakukan
penafsiran dalam menentukan ketentuan hukum yang relevan. Pilihan-pilihan atas
hukum dalam menjalankan perannya sebagai penegak hukum berorientasi pada
rentang hasil atau keluaran dilakukannya tindakan berupa keputusan diskresi
terhadap kasus tindak pidana sejalan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.
Penelitian ini terfokus pada praktik penyelesaian tindak pidana yang acapkali
dilakukan tindakan berupa keputusan diskresi oleh Polisi dan sekaligus
menawarkan pola mekanisme penerapannya di masa datang, untuk kemudian
digunakan bagi pengembangan teoritik maupun pelaksanaan praktik penegakan
hukum diskresi Polisi. Namun demikian, disadari bahwa penelitian ini belumlah
sempurna, untuk itu segala kritik dan saran konstruktif sangat diharapkan menuju
kesempurnaannya.
Disamping itu sepenuhnya disadari bahwa dalam penyusunan Tesis ini telah
banyak pihak yang ikut membantu, sehingga dapat diselesaikan. Dan permohonan
ii
maaf tidak dapat diutarakan satu persatu, karena terlalu banyaknya pihak yang
terlibat, semoga Tuhan YME dapat memberikan balasan yang setimpal. Amin.
Oleh karena itu dengan segala hormat dalam kesempatan yang berbahagia ini,
penulis mengucapkan terima kasih yang secara khusus ditujukan kepada :
1. Dr. Anne Safrina Kurniasari, SH. LL.M. selaku Pembimbing 1, dengan segala
gagasan-gagasan cemerlangnya, ketika penulis melakukan bimbingan telah
bermakna motivasi, inspirasi bagi kesempurnaan penulisan Tesis ini;
2. Dr. W.M. Herry Susilowati, SH.MH, selaku pembimbing 2, atas perkenannya
mendiskusikan dan memberikan masukan demi kebaikan dan kesempurnaan
Tesis ini.
3. Prof.Dr. B. Koerniatmanto Soetoprawiro, SH.Dr. MH. Selaku Penguji atas
perkenannya memberikan masukan ketika pelaksanaan ujian berlangsung;
4. Dr. Liona N. Supriatna, SH.MH. Selaku Penguji atas perkenannya
memberikan masukan ketika pelaksanaan ujian berlangsung;
5. Ketua Program Magister ilmu Hukum, Dr. Sentosa Sembiring, SH.MH. atas
kesempatan dan perhatiannya selama mengikuti perkuliahan.
6. Rekan-Rekan Polisi, Bapak Iptu 1 Komar, Bapak Iptu Abdul Majid, Bapak
Gali Wardani, Kanit Reskrim Polres Kota,
7. Rekan– Rekan Advokat, Bapak Novi Baskoro, Egi Gilang Agurtan dan
Hendra Pratama serta masyarakat pencari keadilan, atas kerjasamanya sampai
selesainya penulisan Tesis ini.
8. Semua pihak yang telah memberikan fasilitas dan dorongan sampai
selesainya penulisan Tesis ini.
Bandung, 2 JANUARI 2017
Penulis,
ARI NURHAQI
2012821015
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
ABSTRAK
ABSTRACT
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii
DAFTAR TABEL ........................................................................................ vi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
I.1. Latar Belakang Penelitian .......................................................................... 1
I.2. Perumusan Masalah ................................................................................. 8
I.3. Tujuan dan Kontribusi Penelitian .............................................................. 9
I.4. Kerangka Pemikiran ................................................................................ 10
I.5. Metode Penelitian .................................................................................... 18
I.5.1. Metode Pendekatan ......................................................................... 18
I.5.2. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data .............................................. 21
I.5.2.1. Jenis Data .......................................................................... 21
I.5.2.2. Teknik Pengumpulan Data ................................................ 23
I.5.3. Teknik Analisa Data ....................................................................... 25
I.6. Sistematika Penulisan ................................................................................ 28
BAB II HAKIKAT DISKRESI POLISI DAN HAM ................................ 31
II.1. Hakikat Diskresi Polisi ............................................................................. 31
II.1.1.Makna Diskresi Polisi .................................................................. 35
II.1.2. Tujuan Diskresi .......................................................................... 35
II.1.3. Hakikat Diskresi Polisi ................................................................. 36
II.1.3.1.Sumber Hukum Diskresi ..................................................... 37
iv
II.1.3.2. Asas-Asas Diskresi ........................................................... 42
II.1.4. Faktor-Faktor Penerapan Diskresi Polisi .................................... 48
II.2.. Diskresi Polisi dan Relevansinya Dengan Tugas Kepolisian ................ 63
II.2..1. Tugas Pokok Kepolisian ............................................................ 63
II.2..2. Kewenangan Diskresi Polisi ...................................................... 65
II.2..3. Instruksi Kapolri Terkait Diskresi Polisi Dalam Tindak
Pidana ........................................................................................ 71
II.3. Hak Asasi Manusia dan Diskresi .............................................................. 92
II.4. Perkembangan Penggolongan Tindak Pidana ........................................ 97
II.4.1. Pengertian Tindak Pidana .............................................................. 97
II.4.2. Pengertian Tindak Pidana Ringan ............................................... 99
II.4.3. Penggolongan Tindak Pidana Dalam KUHP .............................. 104
II.4.4. Penggolongan Tindak Pidana Dalam Rancangan KUHP .............. 107
II.4.5. Perbedaan Acara Pemeriksaan Biasa, Singkat dan Cepat ............. 110
BAB III IMPLEMENTASI DISKRESI POLISI DAN PENEGAKAN
HUKUM PIDANA DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
INDONESIA .................................................................................... 113
III.1. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia ................................................... 113
III.1.1. Makna Sistem Peradilan Pidana .................................................. 113
III.1.2. Tujuan Sistem Peradilan Pidana.................................................. 115
III.2. Diskresi Polisi dan Penegakan Hukum Pidana Dalam Sistem
Peradilan Pidana ...................................................................................... 118
III.2.1. Kepolisian dan Komponen Sistem Peradilan Pidana .................. 118
III.2.2. Diskresi dan Relevansinya dengan Tugas Pokok
Kepolisian ................................................................................... 122
III.2.3. Diskresi Polisi dan Penegakan Hukum dalam Kontek Sistem
Peradilan Pidana .......................................................................... 128
III.3. Implementasi Diskresi dan Penegakan Hukum Pidana ........................... 133
III.3.1. Diskresi dan Hak Asasi Manusia .............................................. 133
III.3.2. Diskresi Polisi Dan Realitas Penegakan Hukum Terhadap
v
Tindak Pidana.............................................................................. 143
III.3.3. Implementasi Diskresi Polisi Dalam Penegakan Hukum
Terhadap Tindak Pidana ............................................................. 155
BAB IV DISKRESI POLISI DALAM PENEGAKAN HUKUM
TERHADAP TINDAK PIDANA DI MASA MENDATANG .. ................. 161
IV.1. Pemidanaan Dalam Rancangan KUHP Memungkinkan
Diberikannya Diskresi ............................................................................. 161
IV.2. Pola Mekanisme Penerapan Diskresi Polisi Dalam Penegakan
Hukum Terhadap Tindak Pidana di Masa Mendatang ............................ 167
IV.2.1. Pola Mekanisme Penerapan Diskresi Terhadap Tindak
Pidana dalam Praktik................................................................... 167
IV.2.2. Pola Mekanisme Penerapan Diskresi Terhadap Tindak Pidana
di Masa Datang ........................................................................... 175
IV.2.2.1. Standar Penerapan Diskresi ........................................ 182
IV.2.2.2. Pola Mekanisme Penerapan Diskresi
Institusional ................................................................ 186
IV.2.2.3. Profesionalisme Polisi ................................................ 191
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 195
V.1. Simpulan .................................................................................................. 195
V.2. Saran-saran ............................................................................................. 198
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 201
vi
DAFTAR TABEL
HALAMAN
TABEL 1 : Jenis Perbuatan Pidana Dan Diskresi ......................................... 145
TABEL 2: Rekapitulasi Data Hasil Penindakan Tipiring Bulan Januari S/d
Desember 2015 Sat Reskrim Polresta Cirebon ..............................................146
TABEL3: Rekapitulasi Data Hasil Penindakan Tipiring Bulan Januari S/d
Desember 2015 Sat Reskrim Polres Cirebon .................................................147
vii
LAMPIRAN – LAMPIRAN
HALAMAN
Pedoman Wawancara Penyidik ..................................................................213
Pedoman Wawancara Advokat ................................................................. 215
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Penelitian.
Sebagai negara berdasarkan hukum, menghendaki setiap tindakan
pemerintahan harus berdasarkan atas hukum1, karena dalam negara
terdapat prinsip Wetmatigheid van Bestuur atau asas legalitas2. Asas ini
menentukan tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu
peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka setiap aparat
pemerintahan tidak akan memiliki wewenang yang dapat
mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga
masyarakatnya.
Berdasar atas pemahaman tersebut, bahwa tidak selalu setiap
tindakan pemerintahan tersedia peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya. Dapat terjadi dalam kondisi tertentu, ketika pemerintah
harus bertindak cepat untuk menyelesaikan persoalan konkrit dalam
masyarakat, peraturan perundang-undangannya belum tersedia. Dalam
kondisi yang demikian, kepada pemerintah diberikan diskresi
(discresionare power), yaitu sebagai salah satu sarana yang
memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi
1 Dalam Negara Hukum perlindungan terhadap hak asasi warga negara merupakan prinsip utama
yang harus ada dan ditegakkan. Implementasi dari itu terwujud dengan adanya suatu asas hukum
bahwa semua orang sama di hadapan hukum, dengan perkataan lain bahwa hukum
memberlakukan semua orang tanpa perbedaan yang didasarkan atas ras (keturunan), agama,
kedudukan sosial dan kekayaan. (Equality before the law). 2 Asas legalitas menurut Syahran Basah berarti upaya mewujudkan duet integral secara harmonis
antara paham kedaulatan hukum dan paham kedaulatan rakyat berdasarkan prinsip
monodualistik selaku pilar-pilar yang hakikatnya konstitutif.
2
negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada
undang-undang.
Menurut Bagir Manan, dengan diskresi menimbulkan implikasi
dalam bidang legislasi bagi pemerintah, yaitu lahirnya hak inisiatif
untuk membuat peraturan perundang-undangan yang sederajat dengan
UU tanpa persetujuan DPR, hak delegasi untuk membuat peraturan
dalam negara hukum yang derajatnya di bawah UU. 3
Selanjutnya dikatakan bahwa, kewenangan pemerintah untuk
membentuk peraturan perundang-undangan, karena beberapa alasan
yaitu; pertama, paham pembagian kekuasaan menekankan pada
perbedaan fungsi daripada pemisahan organ, karena itu fungsi
pembentukan peraturan tidak harus terpisah dari fungsi
penyelenggaraan pemerintahan; kedua, dalam negara kesejahteraan
pemerintah membutuhkan instrumen hukum untuk menyelenggarakan
kesejahteraan umum; ketiga, untuk menunjang perubahan masyarakat
yang cepat, mendorong administrasi negara berperan lebih besar dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan. 4
Salah satu komponen administrasi negara dan atau alat
perlengkapan negara yang menjalankan sebagian dari fungsi
pemerintahan adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
3 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung,
1997, halaman 49 4 Ibid, 56
3
diberikan suatu kemerdekaan untuk bertindak atas inisiatif sendiri
(Discretion), guna menyelesaikan pelbagai permasalahan pelik yang
membutuhkan penanganan secara cepat dan sekaligus berperan sebagai
pembaharu hukum.
Dalam realitasnya menunjukkan upaya untuk mewujudkan peran
sebagai pembaharu hukum untuk merespon kebutuhan kehidupan
masyarakat akan nilai-nilai keadilan masyarakat ternyata tidak terwujud
sebagaimana yang diharapkan.
Sebagai gambaran diberlakukannya penegakan hukum pidana
terhadap kasus-kasus tindak pidana ringan, sebagai berikut:
1. Dugaan pencurian kayu yang dilakukan oleh seorang nenek
bernama Asyani yang terjadi di daerah Situbondo. Dalam
kasus tersebut, sang nenek dituduh mencuri kayu jati dari
lahan Perhutani, namun berdasarkan pengakuan Nenek
Asyani dan warga di desa tempatnya tinggal mengatakan
bahwa kayu-kayu tersebut adalah kayu yang sudah lama
disimpan oleh Nenek Asyani. Pada Maret 2015 nenek Asyani
ditahan selama tiga bulan akibat dituduh mencuri tujuh batang
kayu milik Perhutani. Meskipun membantah mencuri kayu
tersebut, kasusnya tetap dilanjutkan hingga ke pengadilan.5
2. Rasminah ditahan selama empat bulan di Lapas Wanita
Tangerang dan menjalani proses persidangan. Gara-gara
dituduh mencuri 6 buah piring dan sop buntut milik majikan
pada November 2010. 6
Penegakan hukum atas kasus tersebut melahirkan pro kontra7,
dimana menurut masyarakat seharusnya tidak perlu diproses secara
Hukum, karena disamping mencederai rasa keadilan masyarakat kecil,
5 Harian Kompas, 3 Oktober 2015 6 Republika on line, Senin 11 Oktober 2010 7 Harian, Kompas, 4 Oktober 2015
4
dalam arti banyak kasus-kasus besar seperti kasus korupsi begitu
sulitnya mereka dijerat tuntutan hukum dan juga terkesan prosesnya
tebang pilih dan memakan jangka waktu lama dan oleh karena itu
terjadinya hal yang demikian bersinggungan dengan hak asasi
manusia.8
Inilah inti persoalannya, dimana perlu tidaknya kasus dapat
dilakukan tindakan berupa keputusan diskresi Polisi pada dasarnya
merupakan kebebasan atas dasar wewenang dalam bertindak menurut
penilaiannya sendiri dalam menyelesaikan suatu persoalan sesuai
dengan syarat-syarat penerapan diskresi, bagaimana seharusnya
diskresi dilaksanakan, namun dalam realitas praktik tidak semudah
yang digambarkan.
Dalam proses penegakan hukum terhadap tindak pidana
berkaitan dengan perlu tidaknya suatu kasus dilakukan tindakan berupa
keputusan diskresi, bisa saja terjadi perbedaan persepsi diantara
penegak hukum dan masyarakat pencari keadilan. Persoalannya
mengapa hal ini bisa terjadi ?
Kepolisian adalah penegak hukum yang langsung berhadapan
dengan masyarakat. Polisi pada hakikatnya adalah hukum yang hidup,
karena ditangan polisi hukum dapat diwujudkan khususnya dalam
bidang hukum pidana. Salah satu tujuan hukum yaitu menciptakan
8 Asas persamaan di hadapan Hukum (Equality before the law principle) merupakan salah satu
asas yang utama dalam Deklarasi Universal HAM dan dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 45
menyatakan bahwa segala warga Negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan
pemerintahan wajib menjunjung tinggi tanpa ada pengecualian
5
ketertiban dalam masyarakat, yang antara lain dilakukan melawan
kejahatan. Polisilah yang akan menentukan secara konkrit penegakan
ketertiban yaitu siapa yang harus ditundukkan dan siapa yang harus
dilindungi. Melalui polisi, hukum yang bersifat abstrak
ditransformasikan menjadi nyata.
Kondisi demikian sudah barang tentu menempatkan polisi pada
pilihan untuk melakukan tafsir hukum dalam menjalankan perannya
sebagai aparat penegak hukum Salah satu institusi untuk mewadahi
perilaku memilih tersebut adalah kekuasaan untuk melakukan diskresi
(discretionary power).9 Untuk itu polisi yang pekerjaan sehari-harinya
melakukan penegakan hukum tidak dapat dilepaskan dari kegiatan
menafsirkan hukum. Menafsirkan hukum menjadi jembatan antara
hukum dengan tujuan-tujuan sosial yang diinginkan. Penafsiran hukum
juga memungkinkan diatasinya konflik antara hukum dan ketertiban.
Seorang polisi, misalnya tidak akan melaksanakan suatu ketentuan
hukum, kalau pelaksanaannya justru akan menimbulkan ketidaktertiban
dalam masyarakat.
Hukum memang tidak terlepas dari apa yang dilakukan
masyarakat terhadapnya. Demikian pula halnya dengan apa yang
dilakukan polisi terhadap hukum. Tidak dapat dipungkiri, bahwa
9 Satjipto Rahardjo, Polisi Sipil Dalam Perubahan Sosial Di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2002,
hal. 32.
6
hukum itu sendiri tidak steril, murni dan bersih dari segala bentuk
penafsiran, ketika diterapkan dalam proses penegakan hukum.10
Sehubungan dengan hal tersebut beberapa pakar hukum
mengatakan bahwa diskresi merupakan suatu kebijakan yang bersifat
kompromis demi terlaksananya ketentuan dalam perundang-undangan11
dan bahkan dengan diskresi demi terlaksananya ketentuan dalam
perundang-undangan tidak jarang dalam pelaksanaannya menyimpang
dari ide dasar yanng terdapat dalam rencana akademis12. Oleh karena
itu persoalannya kemudian, apakah sebenarnya makna diskresi polisi
itu sendiri ?
Namun demikian persoalannya bukan hanya sebatas itu, diakui
menghadapi kenyataan riil penegakan hukum diskresi polisi di
lapangan ternyata lebih sulit dalam kaitannya dengan implementasi
diskresi, persoalannya apakah terletak pada sumber daya manusia polisi
itu sendiri atau karena kurangnya pemahaman polisi terhadap
wewenang diskresi atau tidak jelasnya aturan diskresi Polisi atau
faktor-faktor lain yang menyertai, ketika diskresi diterapkan terhadap
kasus konkrit di masyarakat.
Mempersoalkan penegakan hukum diskresi polisi sejatinya bukan
hanya sekedar pilihan bagi polisi, namun merupakan bagian penting dan
10 Erlyn Indarti, Diskresi Polisi, UNDIP, Semarang, 2000. Hal. 2. 11 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Birokrasi, Makalah pada diskusi Panel Hukum dan Pembangunan
Dalam rangka Catur Windu Fakultas Hukum Undip, 20 Desember 1998, haln 8 12 Loebby Lukman, Peranan Hukum tertulis Dalam Masyarakat Yang Sedang Membangun, dalam
karya Ilmiah Pakar Hukum, Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, Eresco, Bandung,
1995, hal 67.
7
tidak dapat dihindarkan dalam melakukan penegakan hukum. Penegakan
hukum sebagai suatu proses pada hakekatnya merupakan penerapan
diskresi yang menyangkut pembuatan keputusan yang tidak secara ketat
terikat oleh kaidah-kaidah hukum dan melibatkan usaha dan tindakan
manusia.
Sehubungan dengan diskresi sebagai salah satu wujud usaha dan
tindakan manusia dalam proses penegakan hukum, ketika berhadapan
dengan kasus konkrit di masyarakat, selalu dimungkinkan untuk
menyisakan banyak persoalan, seperti: kasus Asyani dan Rasminah
sebagaimana diuraikan sebelumnya, telah mengusik rasa keadilan
masyarakat di Indonesia, walaupun hasil akhir dalam sidang pengadilan
telah memberikan keputusan yang terbaik kepada pelaku.
Namun demikian penegakan hukum yang dilakukan oleh pihak
Kepolisian, kemudian mendapat sorotan tajam dari para ahli. Sosiolog
dari Universitas Indonesia, Imam Prasojo, mengemukakan bahwa
hukuman yang diberikan kepada nenek Minah menggambarkan proses
hukum yang mati dari tujuan hukum itu sendiri, karena hanya mengikuti
aturan formal dan tidak memperhitungkan substansi dan hati nurani.13
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, dimana pelaksanaan
penegakan hukum diskresi Polisi masih menjadi bahan perdebatan,
maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut perihal tersebut, bagaimana
13 Kejamnya Keadilan Sandal Jepit, dalam www.nasional.kompas.com, diakses, 7 Desember 2016
8
seharusnya penerapan diskresi dilaksanakan dan bagaimana
pengaturannya di masa mendatang,, agar diskresi dalam tataran
pelaksanaannya sejalan dengan keberadaannya sebagai teks normatif
dalam UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisaan Negara Republik
Indonesia.
.2 Perumusan Masalah.
Membicarakan persoalan menyangkut wewenang diskresi polisi
masih menjadi perdebatan berkepanjangan, baik di lingkup polisi
sendiri, para pakar hukum maupun masyarakat umum lainnya. Disadari
bahwa kekhawatiran adanya penyimpangan dengan diberikannya
wewenang diskresi polisi memang dapat saja menjadi kenyataan, tetapi
tanpa wewenang diskresi pun polisi dapat saja melakukan tindakan
pelanggaran hukum, karena manusia dengan baju kekuasaannya
cenderung untuk menyalahgunakannya.
Untuk itu persoalan yang harus dicarikan pemecahannya bukan
bagaimana menghilangkan wewenang diskresi, melainkan adalah
bagaimana memelihara dan menggunakan diskresi tersebut dalam
praktik pelaksanaannya, agar tercipta penegakan hukum yang
berkeadilan.
9
Berdasarkan permasalahan di atas, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian “ Diskresi Polisi Dalam Penegakan Hukum
Terhadap Tindak Pidana. Adapun permasalahan yang timbul adalah
sebagai berikut:
1. Apakah hakikat diskresi polisi dalam penegakan hukum terhadap
tindak pidana?
2. Bagaimanakah implementasi diskresi polisi dan penegakan hukum
pidana dalam Sistem peradilan Pidana Indonesia ?;
3. Bagaimanakah diskresi polisi dalam penegakan hukum terhadap
tindak pidana dimasa mendatang ? 14
I.3 Tujuan dan Kontribusi Penelitian.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis hakikat
diskresi polisi dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana dan
implementasi diskresi polisi dalam penegakan hukum pidana menurut
Sistem peradilan Pidana di Indonesia serta konsep ideal diskresi polisi
dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana dimasa mendatang
Apabila tujuan penelitian sebagaimana diharapkan tercapai,
maka akan memberikan arti penting (manfaat) antara lain: 14 Menurut Gustav Radbruch, keberadaan hukum dimaksudkan untuk adanya keadilan , kepastian
dan kegunaan . Lihat Satjipto Rahardjo, Ibid, hal. 15, Lihat pula Utrech, Op. Cit. hal. 25, Theo
Huijbers, Filsafat hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogjakarta, 1982, hal 163.
Menurut Radbruch dalam pengertian hukum dapat dibedakan tiga aspek yang ketiga-tiganya
diperlukan untuk sampai pada pengertian hukum yang memadai. Aspek yang pertama adalah
keadilan dalam arti sempit, keadilan ini berarti kesamaan hak untuk semua orang di depan
pengadilan. Aspek yang kedua adalah tujuan keadilan atau finalitas. Aspek ini menentukan isi
hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Aspek yang
ketiga ialah kepastian hukum atau legalitas. Aspek ini menjamin bahwa hukum dapat berfungsi
sebagai peraturan yang harus ditaati.
10
1. Memberikan masukan yang berguna berupa pemahaman atas hakikat
dan implelmentasi diskresi polisi serta penawaran konsep ideal di
masa mendatang terkait implementasi diskresi polisi dalam
penegakan hukum terhadap tindak pidana. Informasi yang berhasil
ditemukan tersebut akan bermanfaat dalam pembangunan proses
penegakan hukum, khususnya kearah penegakan hukum Polisi yang
profesional.
2. Memberikan masukan, kepada para pengambil kebijakan di bidang
hukum, para penegakan hukum pada umumnya dan pihak Kepolisian
pada khususnya untuk menetapkan kebijakan-kebijakan sesuai
hukum, ketika implementasi diskresi polisi dalam penegakan hukum
terhadap tindak pidana
I.4. Kerangka Pemikiran.
Kepolisian Negara Republik Indonesia berkedudukan sebagai
Lembaga Khusus negara yang langsung dibawah Presiden, 15 sebagai
penguasa eksekutif. 16. Dalam struktur ini sejajar dengan Departemen-
departemen lainnya, namun tidak dipimpin oleh seorang Menteri,
sehingga tidak akan terpengaruh oleh pergantian pimpinan pemerintah.
15 Lihat Pasal 8 (1) Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden sebagai
penguasa eksekutif. 16 Pasal 4 UUD 1945 : Presiden memegang kekuasaan pemerintah.
11
Kepolisian Negara merupakan salah satu komponen administrasi
negara 17 dan atau alat perlengkapan negara yang menjalankan sebagian
dari fungsi pemerintahan 18 sebagai realisasi politik negara yang telah
ditentukan, yakni sebagai penjaga keamanan, ketertiban masyarakat
dan sebagai penegak hukum serta memberikan perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.19. Hal tersebut secara
lebih spesifik direalisasikan yang dalam hal ini oleh pejabat kepolisian
beserta aparaturnya20 dalam bentuk melayani (service) dan menangani
(handling) orang-perorangan (individu) beserta kasus-kasus yang
terjadi di masyarakat.
Dengan demikian Kepolisian sebagai bagian integral fungsi
pemerintahan memiliki fungsi dan tugas yang sangat luas, tidak sekedar
aspek represif dalam kaitannya dengan proses pidana saja, tetapi
mencakup pula aspek preventif berupa tugas-tugas yang melekat pada
17 Kepolisian sebagai komponen administrasi negara, Lihat Penjelasan UU No. 28 tahun 1997
tentang Polri. Administrasi negara dimaksudkan alat perlengkapan negara (tingkat pusat dan
daerah) yang menyelenggarakan seluruh kegiatan bernegara dalam menyelenggarakan
pemerintahan. Sjachran Basah, Perlindungan terhadap sikap tindak administrasi Negara,
Alumni, Bandung, 1986, hal 2 18 Fungsi pemerintahan adalah fungsi politik, dan pemerintahan sama dengan penegakan
(handhaving) dan / atau penggunaan (aanwending) dari wibawa (gezag) dan atau kekuasaan
(macht) negara 19. Lihat Pasal 13 Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia. 20 Keputusan-keputusan pemerintah diselenggarakan, direalisasikan oleh administrasi negara.
Administrasi negara adalah “ semua jabatan kenegaraan yang dijabat oleh pejabat di dalam
fungsinya sebagai eksekutif. Lihat Sjachran Basah, eksistensi Op. Cit. hal. 219. Bandingkan
Administrasi Negara tingkat pusat maupun Daerah, dapat merupakan seorang petugas/ pejabat
(fungsionaris) maupun Badan (lembaga) Pemerintah. Syarat mutlak yang harus dipenuhi, bahwa
mereka diberikan kewenangan tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk
merealisasikan kehendak atau tujuan pemerintah. Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan
Hukum Tata Pemerintahan Dan Peradilan administrasi negara, Alumni bandung, 1978, hal.
42.
12
fungsi utama administrasi negara, mulai dari bimbingan dan pengaturan
sampai tindakan-tindakan kepolisian yang bersifat administratif.
Mengacu pada luasnya cakupan fungsi dan tugas kepolisian
tersebut dan agar mendukung tercapainya hasil maksimal dari tujuan di
atas, maka kepada polisi sebagai komponen administrasi negara,
diberikan suatu kemerdekaan untuk bertindak atas penilaian sendiri 21,
guna menyelesaikan pelbagai permasalahan pelik yang membutuhkan
penanganan secara cepat.
Dengan diberikannya Diskresi kepada polisi baik sebagai
seorang petugas/ pejabat (fungsionaris) maupun Badan (lembaga),
dapat menjalankan fungsinya secara dinamis dalam menyelenggarakan
kepentingan umum, sehingga dalam menghadapi hal-hal yang sifatnya
penting dan mendesak atas inisiatifnya sendiri dapat langsung
mengambil tindakan berdasar asas kebijaksanaannya tanpa menunggu
instruksi dan sifatnya adalah spontan.
Diskresi menurut Walker. S di dalam bukunya The Police in
America, menyatakan Diskresi didefinisikan sebagai “wewenang yang
diberikan hukum untuk bertindak dalam situasi khusus sesuai dengan
penilaian dan kata hati instansi atau petugas itu sendiri “.22
21 Lihat Penjelasan Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia yang
antara lain mengatakan setiap pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia memiliki
kewenangan diskresi, yaitu kewenangan untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan
penilaian sendiri. 22 Walker. S. “The Police in America “, New York : Mc Graw- Hill, 1983, hal. 54.
13
Menurut Stanley de Smith Diskresi diartikan sebagai : “ …..
implies power to choose between alternative courses of action “. 23
Fockema Andreae, 24 Pouvoir discretionnaire atau yang disebut
discretionair adalah menurut kebijaksanaan, menurut wewenang atau
kekuasaan; yang tidak seluruhnya terikat pada Undang-undang.
Mengacu pada batasan diskresi sebagaimana dipaparkan di atas,
maka Diskresi polisi dimaksudkan kemerdekaan atas otoritasnya
(seseorang, sekelompok orang, suatu institusi) yang secara bijaksana
dengan penuh pertimbangan menetapkan pilihan dalam hal membuat
keputusan atau mengambil tindakan ( tertentu) yang dipandang paling
tepat.
Adapun tujuan keberadaan diskresi yang antara lain mewujudkan
terpeliharanya keadilan masyarakat (sebagai publik service terhadap
warga negara) dapat ditingkatkan dan agar keseimbangan antara
kepentingan umum dan kepentingan perseorangan dapat terjalin
sempurna, akan lebih memudahkan dalam mengantisipasi setiap
perubahan dan perkembangan nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Kiranya perwujudan diskresi tersebut tidak bertentangan
dan bahkan menjadi sumber pembaharuan hukum.
23 Stanley de Smith, Constitutional And Administrative Law , Penguins Books, London, 1989,
hal. 571. 24 Fockema Andreae, Kamus Istilah Hukum (Belanda- Indonesia), Bina Cipta, Bandung, 1983.
hal. 98.
14
Meski demikian, tidaklah dapat diartikan, penegak hukum
dengan tindakan diskresi boleh seenaknya melanggar atau menerobos
ketentuan undang-undang, melainkan ada batas-batas toleransi yang
harus diperhatikan. Pembatasan-pembatasan yang dimaksud adalah
sebagai berikut :25
a. Tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku
(kaidah hukum positif)
b. Hanya ditujukan untuk kepentingan umum.
Sementara Sjach ran Basah secara tersirat berpendapat bahwa
pelaksanaan freies Ermessen tersebut harus dapat dipertanggung
jawabkan “secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan
keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan, demi kepentingan
bersama.26
Untuk tercapainya rasa tanggungjawab tersebut Pasal 24
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan menyatakan bahwa Pejabat Pemerintahan yang
menggunakan wewenang diskresi harus memenuhi syarat:27
25Muchsan, Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan
Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm 27-28 26 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm 133 27 Pasal 22 ayat (2) Setiap penggunaan Diskresi Pejabat Pemerintahan bertujuan untuk:
a. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
b. mengisi kekosongan hukum;
c. memberikan kepastian hukum; dan
15
a. sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ayat (2);
b. tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
c. sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Baik
(AUPB);
d. berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
e. tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan
f. dilakukan dengan iktikad baik.
Dengan demikian penerapan diskresi harus dilakukan dengan
prinsip kehati-hatian, dalam arti dalam hal undang-undang sudah
mengatur secara pasti dan dirasa adil, maka hakim tetap perlu
berpegang pada undang-undang. Dengan kata lain, para penegak
hukum (Polisi) didorong untuk menggali rasa keadilan substantif
(substantive justice) di masyarakat dari pada terbelenggu ketentuan
undang-undang (procedural justice). 28
ntuk itu tindakan yang diambil oleh polisi didasarkan kepada
pertimbangan pertimbangan yang didasarkan kepada prinsip moral dan
prinsip kelembagaan sebagai berikut:
a. Prinsip moral, bahwa konsepsi moral akan memberikan
kelonggaran kepada seseorang, sekalipun ia sudah
melakukan kejahatan;
b. Prinsip kelembagaan, bahwa tujuan institusional dari polisi
akan lebih terjamin apabila hukum itu tidak dijalankan
d. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan
kepentingan umum.
28 Satjipto Raharjo, Polisi Sipil Dalam Perubahan Sosial Di Indonesia, Kompas, Jakarta, 2002,
Op. Cit. hal. 34.
16
dengan kaku, sehingga menimbulkan rasa tidak suka
dikalangan warga negara biasa yang patuh pada hukum.29
Dengan demikian, pertimbangan moral dan kelembagaan
menjadi dasar dan sekaligus penting untuk diperhatikan dalam
penerapan diskresi polisi. Disamping itu hal yang tidak kalah
pentingnya untuk diperhatikan bahwa dalam penerapan diskresi harus
sejalan dengan Sistem Peradilan Pidana.
Sistem Peradilan Pidana (criminal justice system) sebenarnya
merupakan suatu keseluruhan yang terangkai yang terdiri dari unsur-
unsur yang saling berhubungan secara fungsional. Unsur-unsur yang
terlibat di dalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling berhubungan
dan saling mempengaruhi satu sama lain. Sistem peradilan pidana
tersebut terdiri dari unsur-unsur yang masing-masing merupakan sub-
sistem dari sistem peradilan tersebut, yang terdiri dari sub-sistem
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan dan
advokat.
Menurut Ali Said penggunaan kata “sistem“ dalam istilah
“Sistem Peradilan Pidana“ berarti, bahwa kita menyetujui pendekatan
sistemik dalam melakukan manajemen administrasi peradilan pidana
29 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1991: 112
17
kita. Ini berarti perlunya ada keterpaduan dalam langkah dan gerak
masing-masing sub-sistem kearah tercapainya tujuan bersama…… “30
Sejalan dengan hal tersebut Muladi juga mengatakan sebagai
berikut :
“ bahwa sebagai suatu sistem, peradilan pidana dengan perangkat
struktur atau sub-sistem, seharusnya bekerja secara koheren,
koordinatif dan integratif agar dapat mencapai efisiensi dan
efektifitasnya yang maksimal. Kombinasi antara efisiensi dan
efektifitas dalam sistem sangat penting, sebab belum tentu
efisien masing-masing sub-sistem, dengan sendirinya
menghasilkan efektifitas. Fragmentasi fungsional pada sub-
sistem akan mengurangi efektifitas sistem tersebut, bahkan
sistem tersebut secara keseluruhan disfungsional.” 31
Untuk itu dalam sistem peradilan pidana terpadu menghendaki
adanya satu tujuan dan keterpaduan dari semua komponen sub-sistem
yang ada dalam proses penanganan perkara, menuju lahirnya suatu
sistem peradilan pidana yang baik. Sehubungan dengan hal tersebut
penerapan diskresi polisi dalam penyidikan harus memperhatikan
pendekatan sistemik dalam melakukan manajemen administrasi
peradilan pidana terpadu32, agar ada keterpaduan dalam langkah dan
30 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, UI, Jakrata, 1994, hal.
145. 31 Muladi, Kapita Sistem Peradilan Pidana, Undip, Semarang, 1995, halaman 4 32 Manajemen administrasi peradilan pidana terpadu yang mencakup penanganan perkara
ditingkat penyidikan menghendaki Penyidik jika telah mulai melakukan penyidikan, maka
penyidik memberitahukan kepada Kejaksaan Pasal 109 ayat (1) KUHAP.. Surat pemberitahuan
ini biasanya disingkat dengan SPDP. Setelah SPDP diterima Kejaksaan Negeri (Kepala
Kejaksaan Tinggi, jika SPDP dari Polda), maka selanjutnya SPDP dikelola oleh Kasi Pidum
atau Pidsus untuk pidana khusus. Kasi Pidum dan atau Pidsus kemudian mempersiapkan
penunjukan Jaksa peneliti.-, yang bertugas untuk mengikuti perkembangan penyidikan
sebagaimana tersebut dalam SPDP. Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana,
Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hal 291.
18
gerak masing-masing sub-sistem kearah tercapainya tujuan bersama.
Oleh karena itu ketika polisi melakukan tindakan diskresi ditingkat
penyidikan, maka penyidik memberitahukan atau berkoordinasi
dengan pihak Kejaksaan.33
Kiranya dengan pola penerapan diskresi yang demikian, maka
akan diperoleh manfaat berupa fungsi kritis perlunya diskresi polisi
dalam proses penegakan hukum terhadap kasus-kasus tindak pidana,
demi terselenggaranya penegakan hukum berkepastian, berkeadilan,
bermanfaat, yang selama ini didambakan oleh setiap komponen bangsa.
I.5. Metode Penelitian.
I.5.1 Metode Pendekatan.
Spesifikasi dalam penelitian ini adalah yuridis sosiologis, artinya
suatu penelitian yang dilakukan terhadap keadaan nyata masyarakat atau
lingkungan masyarakat dengan maksud dan tujuan untuk menemukan
fakta (fact-finding), yang kemudian menuju pada identifikasi (problem-
33 Pasal 109 ayat (1) KUHAP.. Surat pemberitahuan ini biasanya disingkat dengan SPDP. Setelah
SPDP diterima Kejaksaan Negeri (Kepala Kejaksaan Tinggi, jika SPDP dari Polda), maka
selanjutnya SPDP dikelola oleh Kasi Pidum atau Pidsus untuk pidana khusus. Kasi Pidum dan
atau Pidsus kemudian mempersiapkan penunjukan Jaksa peneliti.-, yang bertugas untuk
mengikuti perkembangan penyidikan sebagaimana tersebut dalam SPDP. Leden Marpaung,
Proses Penanganan Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hal 291.
19
identification) dan pada akhirnya menuju kepada penyelesaian masalah
(problem-solution).34
Sedangkan metode pendekatan yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah metode pendekatan kualitatif dengan metode
deskriptif analitis yaitu memberikan gambaran dan menganalisa
bagaimanakah model penegakan hukum Diskresi polisi dalam
penyidikan tindak pidana yang terjadi selama ini, serta memberikan
gambaran dan menganalisa strategi pengembangan mekanisme
penerapan diskresi dalam penyidikan yang sesuai dengan pola pikir
sistem peradilan pidana.
Penelitian kualitatif merupakan prosedur yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis dan lisan serta dokumentasi dari
individu dan komunitas polisi dalam penerapan diskresi polisi sebagai
perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan
individu tersebut secara utuh (holistik).
Adapun sifat deskriptif dari penelitian kualitatif membuat
deskripsi atau gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
fakta, sifat dan hubungan antar fenomena atau gejala yang diteliti
sambil menganalisisnya, yaitu mencari sebab akibat dari suatu hal dan
34 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1982, hlm. 10
20
menguraikannya secara konsisten dan sistematis serta logis35, dimana
data yang diperoleh seperti hasil pengamatan, hasil wawancara, hasil
pemotretan, analisis dokumen, catatan lapangan, disusun peneliti di
lokasi penelitian, tidak dituangkan dalam bentuk dan angka-angka.
Peneliti segera melakukan analisis data dengan memperkaya informasi,
mencari hubungan, membandingkan, menemukan pola atas dasar data
aslinya (tidak ditransformasi dalam bentuk angka). Hasil analisis data
berupa pemaparan mengenai situasi yang diteliti yang disajikan dalam
bentuk uraian naratif. Hakikat pemaparan data pada umumnya
menjawab pertanyaan-pertanyaan mengapa dan bagaimana suatu
penerapan diskresi dilakukan.
Disamping itu Penelitian kualitatif menggunakan analisis data
secara induktif, dimana penelitiannya tidak dimulai dari deduksi teori,
tetapi dimulai dari lapangan yakni fakta empiris, dimana peneliti terjun
ke lapangan, mempelajari suatu proses atau penemuan yang terjadi
secara alami, mencatat, menganalisis, menafsirkan dan melaporkan serta
menarik kesimpulan-kesimpulan dari penerapan diskresi. Oleh karena
itu temuan penelitian dalam bentuk konsep, prinsip, hukum, teori
dibangun dan dikembangkan dari lapangan bukan dari teori yang telah
ada. Prosesnya induktif yaitu dari data yang terpisah namun saling
berkaitan.
35 Moh. Nazir, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hlm. 63, 72, 405, 406 & 427;
Lihat pula Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu
Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1995, hlm. 98.
21
I.5.2. Jenis Dan Teknik Pengumpulan Data.
1.5.2.1. Jenis Data.
Data adalah catatan atas kumpulan fakta, data adalah sesuatu
yang belum mempunyai arti dan masih memerlukan pengolahan.
Data diterima secara apa adanya dan bentuknya dapat berupa angka,
kata-kata, gambar, simulasi, konsep dan lain-lain. Dalam penelitian,
fakta dikumpulkan untuk menjadi data.
Berdasarkan sumbernya, data penelitian dapat dikelompokkan
dalam dua jenis yaitu data primer dan data sekunder.
1. Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh
peneliti secara langsung dari sumber datanya Data primer disebut
juga sebagai data asli atau data baru yang memiliki sifat up to
date. Untuk mendapatkan data primer, peneliti harus
mengumpulkannya secara langsung. Teknik yang dapat
digunakan peneliti untuk mengumpulkan data primer antara lain
pengamatan, wawancara.
Oleh karena itu dalam penelitian ini data primer berupa
pengamatan, wawancara, diskusi dengan para penyidik
(Reskrim) yang menangani secara langsung kasus-kasus kriminal
yang terjadi, Kapolres sebagai pemangku kebijakan terfokus
22
terkait model dan mekanisme penerapan diskresi polisi dalam
penyidikan tindak pidana.
2. Data Sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan
peneliti dari berbagai sumber yang telah ada (peneliti sebagai
tangan kedua). Data sekunder tersebut meliputi bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.36
a). Bahan hukum primer yang dipergunakan dalam penelitian ini
terdiri dari KUHP, KUHAP, dan UU no.2 tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b). Bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam penelitian
ini antara lain terdiri dari buku-buku tentang hukum
Administrasi Negara, hukum Pidana, Jurnal Ilmu Hukum,
catatan ataupun dokumentasi penanganan kasus Diskresi
Kepolisian makalah seminar;
c) Bahan hukum tertier yang terdiri dari Black’s Law Dictionary,
dan kamus hukum lainnya.
Selanjutnya berdasarkan tipe penelitian data37 yang digunakan
adalah data kualitatif, dimana fakta dan fenomena yang diamati
36 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat),
Rajawali Pers, Jakarta, 2001. Hlm 13. 37 Berdasarkan tipe penelitian, data dapat dikelompokan dalam dua jenis yaitu data kualitatif dan
data kuantitatif. Data kualitatif adalah data yang dapat mencakup hampir semua data non-
numerik. Data ini dapat menggunakan kata-kata untuk menggambarkan fakta dan fenomena
23
terkait model dan mekanisme penerapan diskresi dalam penyidikan
tindak pidana oleh pihak kepolisian, Peneliti melakukan wawancara,
analisis dokumen, diskusi terfokus, atau observasi.
Pemahaman terhadap kedua jenis data sebagaimana dipaparkan
di atas, diperlukan sebagai landasan dalam menentukan teknik serta
langkah-langkah pengumpulan data penelitian.
1.5.2.2. Teknik Pengumpulan Data.
Dalam penelitian, teknik pengumpulan data merupakan faktor
penting demi keberhasilan penelitian. Hal ini berkaitan dengan
bagaimana cara mengumpulkan data, siapa sumbernya, dan apa alat
yang digunakan. Oleh karena itu Metode Pengumpulan Data
merupakan teknik atau cara yang dilakukan untuk mengumpulkan
data.
Sumber utama atau subjek yang akan dijadikan fokus
penelitian adalah petugas polisi yang sesuai kewenangan
pekerjaannya memiliki potensi untuk melakukan diskresi. Untuk itu
penelitian akan diarahkan pada polisi yang secara yuridis berperan
selaku penyidik (reserse), yang secara khusus menangani secara
yang diamati yang diperoleh melalui berbagai macam teknik pengumpulan data misalnya
wawancara, analisis dokumen, diskusi terfokus, atau observasi yang telah dituangkan dalam
catatan lapangan (transkrip). Bentuk lain data kualitatif adalah gambar yang diperoleh melalui
pemotretan atau rekaman video. Data Kuantitatif adalah data yang dapat diinput ke dalam skala
pengukuran statistik. Fakta dan fenomena dalam data ini tidak dinyatakan dalam bahasa alami,
melainkan dalam numerik.
24
langsung kasus-kasus kriminal yang terjadi yang kemudian
diselesaikan dengan menggunakan wewenang diskresi.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai
berikut :
a) Studi dokumen, yakni penelitian terhadap berbagai data-data di
Kepolisian, terkait penanganan kasus-kasus yang terjadi,
kemudian diselesaikan dengan menggunakan wewenang
diskresi, di mana data tersebut dinilai akurat dan sekaligus
sebagai cerminan situasi atau kondisi yang sebenarnya. Terhadap
data tersebut kemudian akan dilakukan pemilahan secara
signifikan. agar dapat dipertanggungjawabkan validitasnya atau
kesahihannya.
b) Wawancara, hal ini dilakukan untuk mengumpulkan data atau
informasi langsung kepada para petugas polisi yang secara
yuridis berperan selaku penyidik (reserse), yang secara khusus
menangani secara langsung kasus-kasus kriminal yang terjadi
kemudian diselesaikan dengan menggunakan wewenang diskresi
dan pihak Kapolres sebagai pemangku kepentingan.
c) Pengamatan/Observasi, dilakukan untuk menunjukkan
gambaran apa adanya secara netral dan dilakukan secara
sistematis terkait model dan mekanisme penerapan diskresi polisi
dalam penyidikan tindak pidana, dengan mengidentifikasikan
semua peristiwa penting yang mempengaruhi proses
25
dilakukannya diskresi. Hal ini perlu dilakukan agar peneliti dapat
memahami tindakan diskresi polisi dari dalam, sehingga
menghindari asumsi memasuki pikiran polisi secara misterius.
I.5.3. Teknik Analisa Data.
Menurut Patton, analisis data adalah proses mengatur urutan data,
mengorganisasikanya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian
dasar.38
Pendapat di atas pada intinya menghendaki bahwa analisis data
bermaksud pertama- tama mengorganisasikan data. Data yang terkumpul
banyak sekali dan terdiri dari catatan lapangan dan komentar peneliti,
gambar, foto, dokumen, berupa laporan, biografi, artikel, dan sebagainya.
Pekerjaan analisis data dalam hal ini ialah mengatur, mengurutkan,
mengelompokkan, memberikan kode, dan mengategorikannya.
Selanjutnya setelah dilakukan penelaahan terhadap seluruh data
yang diperoleh dari pelbagai sumber, yaitu dari wawancara dan
pengamatan (observasi) di lapangan, dokumen, untuk kemudian
dilakukan reduksi data39 display data dan berakhir dengan simpulan.
Di dalam praktiknya analisis akan mengikuti prosedur berpikir
analitis dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: (1) data primer maupun
sekunder yang telah terkumpul akan dianalisis dengan menggunakan
analisis kualitatif dan diarahkan kepada informasi seputar realitas
38 J. Lexy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, halaman
103 39 Mattew B Miles dan A Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, Jakarta, UI Press, 1992,
hal 16.
26
terfokus terkait model dan mekanisme penerapan diskresi polisi dalam
penyidikan tindak pidana yang bertolak pada data yang diperoleh dari
pelbagai sumber, baik individu polisi, Kapolres sebagai pemangku
kepentingan (2) realitas yang berhasil dideskripsikan secara padat dan
akurat akan diinterpretasikan, dengan mempertimbangkan pemikiran
yang berkembang saat ini dan pemahaman masyarakat tentang hukum
dan keadilan,.sehingga diharapkan dapat dicarikan/ ditemukan pola-pola
baru terkait dengan realitas penegakan hukum diskresi polisi.
Untuk menetapkan keabsahan.(trustworthiness) data dilakukan
dengan triangulasi.40 Triangulasi data tersebut meliputi : 41
1) Triangulasi sumber, artinya data dikumpulkan dari tahun 2015,
2016, baik yang diperoleh di tingkat Kepolisian, Pengacara dan
masyarakat pencari keadilan, dengan jalan :
a) Membandingkan hasil data pengamatan dengan data hasil
wawancara;
b) Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum
dengan apa yang dikatakannya secara pribadi;
c) Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang dalam situasi
penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu;
40 Triangulasi atau juga dikenal dengan multi-metode adalah suatu upaya untuk mendapatkan
pemahaman yang lebih mendalam mengenai fenomena yang sedang diteliti. Triangulasi
bukanlah alat atau strategi untuk pembuktian, tetapi hanyalah suatu alternatif terhadap
pembuktian. 41. J. Lexy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif , Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, hal.
178.
27
d) Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan
berbagai pendapat dan pandangan seperti rakyat biasa, orang
yang berpendidikan, orang berada dan sebagainya;
2) Triangulasi metode, membandingkan hasil wawancara dengan isi
suatu dokumen yang berkaitan pemeriksaan. Pelaksanaan teknik
pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu meliputi:
derajat kepercayaan (credibility), keteralihan
(transferability), ketergantungan (dependability), dan kepastian
(confirmability). 42
3) Triangulasi teori, artinya fakta-fakta yang diperoleh dari hasil
penelitian akan diperiksa derajat kepercayaan dengan beberapa teori
hukum.
Setelah seluruh data dianggap valid dan dijamin realibilitasnya,
kemudian dilakukan analisis secara kualitatif untuk menjawab
permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini.
Dengan langkah demikian diharapkan dapat memberikan
perspektif yang lebih komprehensif tentang diskresi polisi untuk
kemudian perlunya dicarikan alternatif pemikiran yang lebih baik agar
realitas model penegakan hukum diskresi polisi terhadap tindak pidana
sejalan dengan prinsip-prinsip hukum dan keadilan masyarakat.
42 bid. hal. 178
28
I.6. Sistematika Penulisan.
Judul Penelitian Tesis : Diskresi Polisi Dalam Penegakan Hukum
Terhadap Tindak Pidana
Secara garis besar tesis ini terdiri dari 5 (lima) Bab terbagi dalam
beberapa sub bab. Adapun sistematikanya secara lengkap sebagai
berikut:
Bab 1 Pendahuluan.
Bab ini membahas Latar belakang masalah, Perumusan masalah, Tujuan
dan kontribusi Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode Penelitian dan
Sistematika Penulisan.
Bab II Diskresi Polisi dan Hak Asasi Manusia
Dalam Bab II. A. diuraikan tentang ruang lingkup diskresi yang terdiri
dari pembahasan makna diskresi polisi, tujuan Diskresi, Hakikat diskresi
Polisi, dan faktor-faktor diskresi polisi dan II. B Diskresi dan
relevansinya dengan tugas pokok Kepolisian terdiri dari Tugas pokok
Kepolisian, kewenangan diskresi polisi, Instruksi Kapolri Terkait
Diskresi Polisi Dalam Tindak Pidana. Selanjutnya II. C. dibahas pula
tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Diskresi yang pada intinya
membahas keterkaitan Diskresi dan Hak Asasi Manusia.
29
II. D. perkembangan Penggolongan tindak Pidana yang membahas
Penggolongan tindak Pidana baik dalam KUHP maupun dalam R
KUHP.
Bab III Implementasi Diskresi Polisi Dan Penegakan Hukum
Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia.
Pada Bab ini terdiri dari tiga sub bahasan ,yaitu: Sistem Peradilan
Pidana Indonesia Dan Diskresi Polisi dan Penegakan Hukum Pidana
Dalam Sistem Peradilan Pidana serta Implementasi Diskresi dalam
Penegakan Hukum Pidana.
Bab IV Diskresi Dalam Penegakan Hukum Terhadap Tindak
Pidana dimasa Mendatang.
Dalam bab ini terdiri dari 3 sub bahasan yaitu: Pemidanaan dalam
Rancangan KUHP yang memungkinkan diberikan diskresi dan Pola
mekanisme penerapan diskresi polisi dalam penegakan hukum tindak
pidana di masa mendatang terbagi dalam 2 (dua) sub bahasan pola
mekanisme penerapan diskresi polisi dalam Penegakan Hukum
Terhadap Tindak Pidana di masa mendatang terbagi dalam 3 sub
bahasan :Standar penerapan diskresi dan pola mekanisme penerapan
diskresi Institusional. Terakhir dibahas pula tentang profesionalisme
Polisi.
30
Bab V Simpulan Dan Saran
Dalam bab ini akan diuraikan simpulan-simpulan yang diperoleh dari
hasil penelitian dan kemudian ditindak lanjuti dengan saran-saran
menuju profesionalisme Penyidik Kepolisian dalam penerapan Diskresi
terhadap Tindak Pidana.