Makalah HUKUM DISKRESI

37
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia sebagai negara hukum modern dalam arti materiil menganut paham negara kesejahteraan (welfare state). Negara kesejahteraan dalam pengertian yang luas adalah negara yang bukan hanya menjaga keamanan semata- mata namun juga aktif dalam mencampuri urusan kemasyarakatan lainnya demi kesejahteraan rakyat. Negara kesejahteraan (walfare state) itu negara hukum yang dinamis. Negara Indonesia menggunakan konsep negara kesejahteraan. Suatu konsekuensi logis dari adanya negara yang bertipe welfare state ini ada campur tangan yang cukup besar dari pihak pemerintah terhadap aspek-aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat. Aspek kehidupan masyarakat seperti aspek sosial, ekonomi, politik, hukum dan budaya tidak terlepas dari campur tangan pemerintah. Di Indonesia hal ini jelas tercantum di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI) Tahun 1945 alinea keempat tentang tujuan negara Indonesia yang menyatakan : “… untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…” Di dalam pembukan alinea keempat itu jelas dinyatakan tujuan Negara Indonesia ialah salah satunya kesejahteraan umum atau kesejahteraan sosial dimana ini sesuai dengan tipe Negara hukum yang bertujuan untuk kesejahteraan. Tentunya dalam mencapai itu merupakan tugas pemerintah Negara Indonesia yang menyelenggarakan

description

Menganai Hukum Diskresi

Transcript of Makalah HUKUM DISKRESI

24

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia sebagai negara hukum modern dalam arti materiil menganut paham negara kesejahteraan (welfare state). Negara kesejahteraan dalam pengertian yang luas adalah negara yang bukan hanya menjaga keamanan semata-mata namun juga aktif dalam mencampuri urusan kemasyarakatan lainnya demi kesejahteraan rakyat. Negara kesejahteraan (walfare state) itu negara hukum yang dinamis. Negara Indonesia menggunakan konsep negara kesejahteraan. Suatu konsekuensi logis dari adanya negara yang bertipe welfare state ini ada campur tangan yang cukup besar dari pihak pemerintah terhadap aspek-aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat.Aspek kehidupan masyarakat seperti aspek sosial, ekonomi, politik, hukum dan budaya tidak terlepas dari campur tangan pemerintah. Di Indonesia hal ini jelas tercantum di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI) Tahun 1945 alinea keempat tentang tujuan negara Indonesia yang menyatakan : untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaaan, perdamaian abadi dan keadilan sosialDi dalam pembukan alinea keempat itu jelas dinyatakan tujuan Negara Indonesia ialah salah satunya kesejahteraan umum atau kesejahteraan sosial dimana ini sesuai dengan tipe Negara hukum yang bertujuan untuk kesejahteraan. Tentunya dalam mencapai itu merupakan tugas pemerintah Negara Indonesia yang menyelenggarakan negara yang akan mewujudkan kemakmuran bagi bangsa dan rakyat Indonesia. Sehingga pemerintah diberi kekuasaan didalam UUDNRI untuk menguasai kekayaan dan segala hal yang bermanfaat bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.Kemudian hal itu dituangkan di dalam pasal-pasal UUDNRI yang salah satunya terdapat didalam pasal 33 dan 34 tentang perekonomian dan kesejahteran sosial yang berbunyi :Pasal 33 ayat (1) : Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Ayat (2) : Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara. Ayat (3) : Bumi dan air dan kekayaan alam serta yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.Pasal 34 ayat (1) : Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Ayat (2) : Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan. Ayat (3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.Di atas sudah jelas bahwa pemerintah negara Indonesia memiliki tugas yang cukup berat dan luas. Pemerintah dituntut untuk melindungi dan menguasai kekuasaan negara demi kesejahteraan dan kemakmuran bangsa Indonesia ,mencerdaskan kehidupan bangsa, melindungi rakyat dan memberikan pelayanan pada rakyat. Maka dari itu pemerintah mendapat freies ermessen/diskresi, atau kewenangan untuk turut campur dalam berbagai bidang kegiatan hukum tata perintahan.Pemilihan Indonesia sebagai Negara kesejahteraan, negara hukum yang dinamis dengan freies ermessen/diskresi, menurut E.Utrecht mengundang konsekuensi sendiri dalam bidang perundang-undangan, yakni diberikannya kewenangan bagi pemerintahan membuat peraturan perundangan baik atas inisiatif sendiri maupun atas delegasi yang diterima dari UUDNRI serta menafsirkannya sendiri.Dalam hukum tata pemerintahan penggunaan asas diskresi atau freies ermessen sering dilakukan oleh aparat pemerintah karena beberapa faktor-faktor yang mendukung dilakukannya diskresi. Contohnya ialah peraturan gubernur Jawa Timur (Pak de Karwo) yang melarang kerapan sapi di Madura dengan kekerasan atau alat yang membahayakan sapi tersebut. Kemudian keputusan walikota solo (Pak Jokowi) yang menolak dibangunnya pasar modern dikawasan budaya. Contoh contoh lainnya banyak sekali. Penggunaan asas diskresi dalam praktet-praktek tata pemerintahan juga tidak sembarangan karena juga harus berpedoman pada asas-asas umum pemerintahan yang baik.Dalam hal ini, penulis tertarik mengkaji mengenai peranan penggunaan asas diskresi dalam hukum tata pemerintahan negera hukum.

B. Rumusan MasalahDari latar belakang di atas penulis menarik rumusan masalah sebagai berikut:1. Apa yang di maksud dengan diskreri?2. Bagaimana Praktek Diskresi di Indonesia?3. Apa yang menjadi tolak ukur diskresi?

BAB IIPEMBAHASAN

A. Pengertian Diskresi

Asas diskresi dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah discretion atau discretion power, di Indonesia lebih populer dikenal dengan istilah diskresi yang diterjemahkan kebebasan bertindak atau keputusan yang diambil atas dasar penilaian sendiri. Secara etimologis, istilah freies Ermerssen berasal dari bahasa Jerman, frei artinya bebas, lepas, tidak terikat, merdeka. Freies artinya orang yang bebas, tidak terikat, dan merdeka. Sedangkan Ermessen berarti mempertimbangkan, menilai, menduga, memperkirakan. Freies Ermessen berarti orang yang memiliki kebebasan untuk menilai, menduga, dan mempertimbangkan sesuatuMenurut Kamus Hukum, Diskresi berarti kebebasan mengambil keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri. Sedangkan menurut Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan draft bulan Juli 2008 didalam pasal 6 mengartikan diskresi sebagai wewenang badan atau pejabat pemerintahan dan atau badan hukum lainnya yang memungkinkan untuk melakukan pilihan dalam mengambil tindakan hukum dan atau tindakan faktual dalam administrasi pemerintahan.Kemudian beberapa ahli hukum banyak merumuskaan mengenai asas diskresi, menurut Prof. Benyamin, diskresi didefinisikan sebagai kebebasan pejabat mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri. Menurut Saut P. Panjaitan, diskresi (pouvoir discretionnaire, Perancis) ataupun Freies Ermessen (Jerman) merupakan suatu bentuk penyimpangan terhadap asas legalitas dalam pengertian wet matigheid van bestuur, jadi merupakan kekecualian dari asas legalitas. Menurut Laica Marzuki, diskresi adalah suatu kebebasan yang diberikan kepada badan atau pejabat administrasi dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, diemban dalam kaitan menjalankan bestuurzorg.Menurut Prajudi Admosudirjo, diskresi adalah suatu kebebasan bertindak atau mengambil keputusan menurut pendapat sendiri, dan Nata Saputra memaknai freies Ermessen, adalah suatu kebebasan yang diberikan kepada alat administrasi Negara mengutamakan keefektifan tercapainya suatu tujuan (doelmatigheid) daripada berpegang teguh kepada ketentuan hukum. Gayus T. Lumbuun mendefinisikan diskresi sebagai berikut: Diskresi adalah kebijakan dari pejabat negara dari pusat sampai daerah yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan yang melanggar dengan undang-undang, dengan tiga syarat. Yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar Azas-azas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).Dari pengertian pengertian diatas secara sederhana yang dimaksud asas diskresi/freies Ermessen (Jerman)/pouvoir discretionnaire (Perancis)/discretion power (inggris) ialah asas kebebasan bertindak yang dilakukan oleh aparat pemerintahan dalam menjalankan kewenangan dan perbuatan hukumnya yang berpedoman pada asas-asas umum pemerintahan yang baik.

B. Pembentukan Produk Hukum melalui Asas DiskresiDi dalam membuat keputusan tata usaha negara, menurut Muchsan landasan yang dapat digunakan oleh aparat pemerintahan ada dua yaitu :1. Wet matig (menggunakan landasan peraturan perundang-undangan/Yuridis)Dalam landasan wet matig ini yang menjadi dasar atau batu pijakan ialah peraturan undang-undang baik dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUDNRI), Ketetapan MPR yang masih berlaku, Undang-Undang/Perpu, Peraturam pemerintah, peraturan daerah provinsi dan kota. Wet matig ini merupakan landasan yang ideal.2. Doel matig (menggunakan landasan kebijakan)Dalam landasan Doel matig ini yang menjadi dasar atau batu pijakan ialah kebijakan. Dalam hal ini Produk hukum sudah ada, tetapi dikesampingkan. Hal ini diperbolehkan, dikarenakan di dalam hukum tata pemerintahan dikenal adanya azas diskresi/freies ermessen (asas kebebasan bertindak). Hal ini bukan berarti dikesampingkannya sama sekali asas legalitas, karena sikap tindak adminsitrasi negara harus dapat diuji berdasarkan peraturan perundang-undangan lainnya yang lebih tinggi ataupun berdasarkan ketentuan hukum yang tidak tertulis seperi asas-asas umum pemerintahan yang baik.Dalam hal ini tetap dipergunakan asas legalitas, hanya saja dalam pengertian yang lebih luas dan fleksibel yang tidak saja berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang tertulis, tetapi juga berdasarkan pada ketentuan hukum yang tidak tertulis, seperti algemene beginselen van behoorlijk bestuur. Jika kita melihat azas diskresi, jika dilaksanakan administrasi negara terkesan bertindak sewenang-wenang, tetapi jika tidak dilaksanakan maka tujuan pembangunan nasional akan terhambat. Untuk menghindari kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan pemerintah (eksekutif) dalam menggunakan asas diskresi/freies ermessen maka perlu diatur pembatasan penggunaan asas diskresi.Kebijakan diperbolehkan sebab dalam hukum tata pemerintahan terdapat teori diskresi. Namun menurut Muchsan asas diskresi ini menimbulkan dilema :a. Di satu pihak apabila diskresi selalu digunakan, akan terjadi perbuatan pemrintah yang sewenang-wenang.b. Tetapi sebaliknya jika pemerintah takut melakukan diskresi, maka tujuan pembangunan nasional yang mulia, adil dan makmur sulit terwujud.c. Kalau dilakukan dengan negatif oleh pemerintah maka timbul semena-mena atau sembarangan atau penyalahgunaan wewenang.d. Kalau tidak dilakukan atau digunakan tidak berwujud seuatu yang bermanfaat.

C. Praktik Diskresi Di Indonesia1. HakimDiskresi dalam Masalah Hukum Pemikiran (mind-set) positif-tekstual kurang lebih hanya akan "mengeja" suatu peraturan, menerapkan undang-undang dan prosedur. Cara berpikir hukum seperti itu disebut "linier". Memang itu mudah, tetapi dangkal, menggunakan kecerdasan rasional semata. Kita bisa diingatkan kembali pada pendapat Paul Scholten, seorang pemikir hukum Belanda, yang mengatakan "hukum itu ada dalam UU, tetapi masih harus ditemukan". Maka menjadi salah sekaligus dangkal bila orang hanya "mengeja" peraturan.Perlu untuk melakukan perenungan (contemplation) dan mencari makna lebih dalam dari suatu peraturan. Ini sesuai gagasan Paul Scholten. Apabila "pintu perenungan makna" dibuka, terbentanglah panorama baru di hadapan hakim. Perenungan tidak akan berhenti pada dimensi subyektif, tetapi juga sosial. Hakim tidak hanya mendengarkan dengan telinga subyektif, tetapi juga dengan "telinga sosial dan menggunakan kecerdasan spritual sehingga dapat menyelami kaedah yang merupakan roh yang menjadi landasan suatu hokum.Jika pendefinisian diskresi dikaitkan dengan masalah penetapan hukum tentu saja muaranya kebijaksanaan yang diambil oleh hakim dalam memutuskan perkara di antara para pihak yang bersengketa. Berikut ini berapa contoh perkara hukum yang terkait dengan kewenangan diskresi: a. Keputusan kontroversial Bismar, hukuman pidana bagi pengedar ganja ketika dia menjabat Ketua Pengadilan Tinggi di Medan. Seorang terdakwa yang dituntut jaksa 10 bulan penjara, Bismar melipatgandakannya menjadi 10 tahun. Yang 15 bulan menjadi 15 tahun. Karena itu, dia sangat prihatin dengan keputusan hakim yang menjatuhkan hukuman hanya 4 tahun penjara kepada ratu ekstasi Zarima. Padahal, Zarima tertangkap membawa 29 ribu pil setan. Apakah hakim itu tidak mengetahui dan merasakan akibat dari perbuatan Zarima. Jika Bismar yang jadi hakimnya, Zarima layak dihukum mati. Mestinya bikin shock therapy buat pengedar narkoba.b. Kasus Cut Mariana dan Bachtiar Tahir yang oleh Pengadilan Negeri Medan dihukum 10 bulan penjara karena dituduh memperdagangkan 161 kg ganja. Vonis ini kemudian diubah Bismar yang waktu itu menjabat Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, menjadi 15 dan 10 tahun penjara [23]. c. Putusan hakim Agung Adi Andojo Soetjipto adalah salah satu contoh, yaitu saat mengadili kasasi Muchtar Pakpahan di masa pemerintahan Soeharto. Oleh pengadilan di bawah, Pakpahan dijatuhi pidana atas tuduhan berbuat makar, yaitu kejahatan terhadap negara. Dalam tingkat kasasi MA mengatakan, Pakpahan tidak melakukan perbuatan makar. Menurut MA, para hakim di bawah telah melakukan penerapan hukum yang salah dengan menggunakan yurisprudensi yang sudah ada sejak zaman kolonial. Itu secara sosiologis tidak benar karena Indonesia sudah menjadi negara merdeka dan sudah mulai menjalankan demokrasi dan memperhatikan hak asasi manusia.Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto boleh dimasukkan kategori hakim yang "meletakkan telinganya ke jantung masyarakat". Putusan itu juga bisa disebut progresif, bila mengingat Indonesia saat itu masih dalam pemerintahan Soeharto yang kita tahu wataknya. Seorang hakim agung berani melawan arus dominan kekuasaan otoriter di zamannya. Inilah yang ingin dimaknai sebagai hakim independen dan progresif. Mungkin hakim seperti ini amat sulit dibengkokkan dan dibeli. Ia hanya bisa dibeli oleh rakyatnya.Penerapan kewenangan diskresi dalam instansi Kepala Kepolisian RI dapat kita contohkan dengan memberikan diskresi kepada anak-anak yang mengonsumsi narkoba. Penyebutan anak pengguna narkoba sebagai tersangka tidak/ kurang tepat, dan lebih baik diganti dengan istilah korban. Anak-anak korban narkoba ini dikembalikan kepada orang tuanya untuk selajutnya direhabilitasi. Orang tua mengambil peran penting dalam membentengi anak dari pengaruh buruk perkembangan zaman khususnya dari narkoba sangat penting. Orang tua harus lebih komunikatif dengan anak bisa memahami dan mengikuti setiap perkembangan anak.Contoh penerapan kewenangan diskresi dalam bidang administrasi pemerintahan adalah surat edaran, juklak dan juknis yang dikeluarkan oleh lembaga administrasi Negara.

2. PolisiRoescoe Pound, sebagaimana dikutip oleh R. Abdussalam, (1997, 25-26) mengartikan diskresi kepolisian yaitu: an authority conferred by law to act in certain condition or situation; in accordance with officials or an official agencys own considered judgement and conscience. It is an idea of morals, belonging to the twilight zone between law and morals. (diskresi kepolisian adalah suatu tindakan pihak yang berwenang berdasarkan hukum untuk bertindak pasti atas dasar situasi dan kondisi, menurut pertimbangan dan keputusan nuraninya sendiri) Jadi, diskresi merupakan kewenangan polisi untuk mengambil keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah pelanggaran hukum atau perkara pidana yang ditanganinya. Sekalipun diskresi kepolisian bukan tindakan menyimpang, namun dalam praktik penyelenggaraan tugas-tugas kepolisian, masih banyak aparat kepolisian yang ragu untuk menggunakan wewenang ini, terutama dalam penanganan kasus pidana. Padahal, Pasal 18 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan peluang pada aparat kepolisian untuk menerapkan diskresi. Selengkapnya Pasal 18 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik menyebutkan:a. Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. b. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.Selanjutnya, Penjelasan Pasal 18 ayat (1) menyebutkan: Yang dimaksud dengan bertindak menurut penilaiannya sendiri adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum.Apabila diperhatikan lebih mendalam, banyak faktor yang menjadi pemicu keengganan aparat kepolisian untuk menerapkan diskresi, khususnya dalam pemeriksaan kasus pidana, di antaranya rendahnya pemahaman aparat kepolisian tentang kewenangan melakukan diskresi, sehingga diskresi dipandang sebagai tindakan manipulasi (illegal), ketakutan akan munculnya penilaian negatif dari masyarakat bahwa penerapan diskresi kepolisian dianggap sebagai akal-akalan pihak kepolisian untuk memperoleh keuntungan materi dari pihak-pihak berperkara. Padahal, dalam praktik pemeriksaan kasus pidana, ide awal munculnya diskresi lebih banyak berasal dari pihak berperkara, khususnya pihak korban.Menurut Chryshmanda (2008), tindakan diskresi yang dilakukan aparat kepolisian dapat dibedakan dalam 2 (dua) kategori yaitu:1) Tindakan diskresi yang dilakukan oleh petugas kepolisian secara individu dalam mengambil keputusan, yaitu tindakan diskresi yang diputuskan oleh petugas operasional di lapangan secara langsung pada saat itu juga tanpa meminta petunjuk atau keputusan dari atasannya, seperti petugas kepolisian memberi isyarat untuk terus berjalan kepada pengemudi kendaraan meskipun saat itu lampu pengatur lalu lintas berwarna merah. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya penumpukan arus lalu lintas di suatu ruas jalan,2) Tindakan diskresi berdasarkan petunjuk atau keputusan atasan atau pimpinannya. Tindakan untuk mengesampingkan perkara, untuk menahan atau tidak melakukan penahanan terhadap tersangka/pelaku pelanggaran hukum atau menghentikan proses penyidikan, bukanlah tindakan diskresi individual karena pengambilan keputusan diskresi didasarkan atau berpedoman pada kebijakankebijakan pimpinan dalam organisasi dan hal tersebut telah menjadi kesepakatan diantara mereka.Dalam pemaparannya tentang diskresi, James Q Wilson mengemukakan ada 4 (empat) tipe situasi tindakan diskresi yang mungkin dilaksanakan, yaitu:1) Police-invoked law enforcement, dimana petugas cukup luas alasannya untuk melakukan tindakan diskresi, tetapi kemungkinannya dimodifikasi oleh kebijaksanaan pimpinannya;2) Citizen-invoked law enforcement, diskresi sangat kecil kemungkinan dilaksanakan, karena inisiatornya adalah masyarakat;3) Police-invoked order maintenance, diskresi dan pengendalian pimpinan seimbang (intermidiate), apakah pimpinannya akan memerintahkan take it easy atau more vigorous; dan4) Citizen-invoked order maintenance, pelaksanaan diskresi perlu dilakukan walau umumnya kurang disetujui oleh atasannya.Agar penerapan diskresi kepolisian tidak dipandang sebagai alat rekayasa dari aparat kepolisian untuk memperoleh keuntungan pribadi, maka penerapannya harus dilandasi dasar hukum yang kuat. Beberapa perundang-undangan yang dapat dijadikan dasar hukum penerapan diskresi, khususnya dalam proses penegakan hukum pidana, antara lain:1. Pasal 15 ayat (2) huruf k Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menyebutkan: Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang: melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian;2. Pasal 16 ayat (1) huruf l Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyebutkan: Dalam rangka menyelenggarakan tugas dibidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk: mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.Ayat (2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut:1. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;2. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;3. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;4. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan5. menghormati hak asasi manusia.3. Pasal 18 ayat (1) Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan: untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Ayat (2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.4. Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menyebutkan Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 karena kewajibannya mempunyai wewenang mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 KUHAP menyebutkan: yang dimaksud dengan tindakan lain adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat:Terkait penerapan diskresi kepolisian dalam menyelesaikan kasus pidana, ada beberapa pertimbangan yang umum dijadikan pegangan, antara lain:1. Mempercepat proses penyelesaian perkara. Hal ini dilakukan mengingat melalui jalur formal, perkara yang sedang diperiksa akan selesai dalam jangka waktu lama.2. Menghindarkan terjadinya penumpukan perkara. Tugas dan tanggung jawab yang diemban oleh aparat kepolisian dari hari ke hari semakin bertambah, sehingga tindakan diskresi dapat digunakan sebagai sarana yang efektif untuk mengurangi beban pekerjaan.3. Adanya keinginan agar perkara selesai secara win-win solution, mengingat melalui cara-cara formal dapat dipastikan akan ada pihak yang kalah dan ada yang menang;4. Adanya perasaan iba (belas kasihan) dari pihak korban, sehingga korban tidak menghendaki kasusnya diperpanjang.3. PenghuluPernikahan adalah sesuatu yang sakral, suci dan bernilai ibadah. Oleh sebab itu, menjalankan pernikahan haruslah mengetahui tata cara serta syarat rukunnya terlebih dahulu, tanpanya maka pernikahan tersebut tidak sah,jika ternyata dalam prakteknya sesuai dengan ajaran Nabi ( syarat dan rukunnya terpenuhi ) maka pelaksanaan pernikahan tersebut hukumnya Haram yang dalam bahasa KH Ahmad Rifai disebut Haram Syuru.Anehnya sang penghulu yang nota benenya adalah para Sarjana Syariahpun terkesan asal-asalan dalam menikahkannya terutama yang menyangkut masalah penetapan saksi yang disyaratkan Adil sebagaimana sabda Nabi : La Nikaha Illa Bi waliyyin wa Syahidaiyil aadil ( tidak sah nikahnya kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil ). Dengan alasan harus menikahkan di banyak tempat, maka sang petugas inipun kadang tidak mengindahkan lagi aturan-aturan Hukum Islam. Padahal seorang ulama kharismatik Abad XIX KH Ahmad Rifai telah menyampaikan kritiknya yang cukup tajam kepada para Qadhi atapun penghulu dalam Kitab Tabyiinal Ishlah, beliau berkata dengan sangat lantang. Di Negara Indonesia, praktek pernikahan menjadi ajang untuk memperkaya diri bagi sebagian orang, baik itu RT, RW maupun Penghulunya. Pungutan-pungutan liar yang terjadi membuat biaya pernikahan menjadi sangat mahal dan mencekik leher bagi golongan ekonomi lemah. Tarif yang dikenakan berkisar antara 500.000 hingga 1.000.000, dan itu harus dibayarkan di muka, kalau tidak maka sang penghulu tidak akan mau datang untuk menikahkannya. hal ini mendapat kecaman dengan sangat pedas dari Guru besar warga Rifaiyyah tersebut. bahkan beliau dengan sangat tegas mengatakan Haram mengambil upah aqad nikah yang dilakukan oleh para penghulu. Beliau berkata . Wa yahrumu alal haakimi tholabul ujroti ala aqdinnikaahi, wa yajuzu qobuluhu min ghairi tholabin.( haram hukumnyaatas hakim, mengambil upah atas pelaksanaan aqad nikah, dan boleh menerimanya apabila tanpa meminta ).Pernyataan beliau ini sangat jelas, bahwa HARAM meminta upah atau menentukan biaya pernikahan atau pasang tarif untuk pelaksanaan akad nikah, namun boleh menerimanya seandainya diberi tanpa harus memintanya. Sementara itu, jika sang hakim atau qadhi atau penghulu menetapkan biaya nikah yang telah jelas keharamannya maka ia telah jatuh ke dalam lubang kefasikan.

D. TOLOK UKUR DISKRESIDikatakan bahwa untuk mengatur hal-hal yang lebih rinci dari pelaksanaan suatu ketentuan undang-undang, hakim, pelaksana administrasi negara, juga kepolisian diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan berdasarkan pendapat sendiri, namun ini tidak berarti tidak ada rambu-rambu atau koridor-koridor hukum yang membatasinya. Menurut Muchsan pembatasan penggunaan diskresi adalah :1. Tidak boleh bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku (kaedah hukum positif)2. Ditujukan untuk kepentingan umum

Sjachran Basah mengemukakan unsur-unsur diskresi adalah:1. Tindakan itu untuk kepentingan public2. Tindakan itu dimungkinkan oleh hokum3. Tindakan itu diambil untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dianggap krusial.4. Tindakan ini dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan maupun secara hokumLebih lanjut Prajudi Atmosudirdjo mengemukakan bahwa pembuatan keputusan pemerintah yang dibuat oleh pejabat publik terikat kepada 3 (tiga) asas hukum, yaitu:1) Asas yuridikitas (rechtsmatigheid), artinya keputusan pemerintah tidak boleh melanggar hukum;2) Asas legalitas (wetmatigheid), artinya keputusan pemerintah harus diambil berdasarkan suatu ketentuan perundang-undangan;3) Asas diskresi (freies ermessen), artinya pejabat publik tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan tidak ada peraturannya, dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapatnya sendiri asalkan tidak melanggar asas yuridikitas dan asas legalitas tersebut di atas.Pemerintah atau dalam hal ini pejabat publik diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan berdasarkan pendapat sendiri, namun ini tidak berarti tidak ada rambu-rambu atau koridor-koridor hukum yang membatasinya. Pendapat pribadinya tersebut tetap harus merupakan pengejawantahan undang-undang yang melandasinya tersebut, kemudian asas moralitas dan rasa keadilan masyarakat seharusnya tetap menjiwai kewenangan diskresinya.Penerapan kewenangan diskresi ini berdasarkan : demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar Asas hukum yang belaku (caplang.wordpress.com). Mungkin secara hukum mungkin ia melanggar, tetapi secara asas ia tidak melanggar kepentingan umum dan hal ini merupakan instant decision (tanpa rencana) dan itu bukan pelanggaran tindak pidana.Satjipto Rahardjo menyatakan seorang pejabat publik tidak melaksanakan peraturan tertulis secara hitam putih, melainkan selalu bertanya, apakah yang dilakukannya sudah baik untuk masyarakat. Penegak hukum bukan mesin otomat undang-undang dan prosedur. Tetapi selalu dihantui keinginan untuk memberikan keadilan kepada masyarakat (bringing justice to the people) sehingga pengadilan menjadi pengadilan yang murni, memiliki nurani (court with conscience). Dengan kata lain ketika memutuskan suatu perkara selain menggunakan logika peraturan, hakim juga mempertimbangkan logika kepautan sosial (social reasonableness) dan logika keadilan. Dalam bahasa yang senada dinyatakan pendapat pribadi dalam penerapan kewenangan diskresi tersebut tetap harus merupakan pengejawantahan atau sekurang-kurangnya sejiwa dengan undang-undang yang melandasinya tersebut, kemudian asas moralitas dan rasa keadilan masyarakat.Dari uraian-uraian di atas dapat digarisbawahi pemberlakuan diskresi bahwa tolok ukur kewenangan tersebut:1) Tidak bertentangan dengan sistem hukum yang berlaku (kaedah hukum positif). 2) Ditujukan untuk kepentingan umum.3) Tindakan itu diambil untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dianggap krusial.4) Tindakan ini dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan maupun secara hokum.5) Asas moralitas6) Rasa keadilan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat

E. Pembatasan Penggunaaan Asas DiskresiDi Indonesia penggunaan asas diskresi harus dibatasi, yakni pemerintah boleh menggunakan tapi ada batasannya supaya tidak berlebihan dan sewenang-wenang. Menurut Muchsan ada 4 (empat) pembatasan terhadap penggunaan asas diskresi yaitu :1. Apabila terjadi kekosongan hukum (recht vacum)Dimana realitas yang terjadi gerak kehidupan masyarakat ternyata lebih cepat, daripada peraturan yang ada, sehingga membutuhkan hukum yang cepat pula. Contohnya kasus seorang wanita yang hamil duluan sebelum pernikahan resmi, hal itu membutuhkan hukum yang mengatur mengingat dimana hukum positif kita tidak mengatur hal tersebut.2. Apabila ada kebebasan penafsiran (interpretasi)Hal ini dikarenakan didalam produk hukum atau peraturan perundang-undangan yang ada menimbulkan makna yang ambiguitas dan multitafsir, sehingga adanya diskresi dikarenakan kebebasan penafsiran (interpretasi) yang dilakukan aparat pemerintah. Contohnya ialah keputusan Bang Ali Sadikin (mantan Gubernur Jakarta) mengenai Penghasilan asli daerah, retribusi atau pajak daerah sehingga terjadi pelegalan judi dan tempat prostitusi di Jakarta untuk menunjung pembangunan DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Indonesia.3. Apabila ada delegasi undang-undangDengan adanya pendelegasian undang-undang para aparat pemerintah dapat melakukan diskresi contohnya : (HO) hinder ordonantie di dalam HO disebutkan pemberian ijin oleh kepala daerah asal tidak berbahaya. Di dalam HO tidak disebutkan unsur-unsur bahaya. Ini artinya, undang-undang (HO) memberikan delegasi kepada masing-masing daerah untuk membuat sendiri unsur-unsur bahaya.4. Demi pemenuhan kepentingan umum (public interest)Machiavelli mengatakan: demi kepentingan umum halalkan segala cara. Kepentingan umum yang ideal seharusnya (sollen) dibuat dalam bentuk undang-undang, karena kepentingan umum menyangkut kehendak rakyat yang dalam hal ini di wakili oleh DPR, dimana produk hukum yang dihasilkan oleh DPR adalah undang-undang. Selama ini, peraturan mengenai kepentingan umum dibuat dalam bentuk: Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri yang merupakan kewenangan pemerintah (eksekutif), dikhawatirkan hal tersebut akan disalahgunakan oleh pemerintah (eksekutif) dengan alasan demi kepentingan umum.Menurut Muchsan, seandainya ada pengaturan mengenai kepentingan umum maka unsur-unsur kepentingan umum secara teoritis, yaitu:1. Berbentuk proyek pembangunan yang dilaksanakan oleh Negara2. Penggunaannya atau pelaksanaannya oleh negara3. Dalam penggunaannya harus bersifat non profit oriented atau tidak berorientasi mencari keuntungan melainkan pelayanan yang prima terhadap kepentingan masyarakat.Sementara menurut Sjachran Basah, secara tersirat berpendapat bahwa pelaksanaan freies ermessen atau asas diskresi tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.Penggunaaa asas diskresi diatas merupakan sarana bagi aparat pemerintah untuk melakukan terobosan-terobosan serta pemecahan-pemecahan masalah yang membutuhkan penyelesaian yang cepat dan belum ada aturan yang mengatur tentang hal tersebut. Namun dalam melakukan diskresi aparat pemerintah juga harus memeliki kewenangan yang didelegasikan undang-undang dan dilakukan semata-mata demi kepentingan umum.Peranan penggunaan asas diskresi dalam hukum tata pemerintahan Indonesia sangat signifikan karena asas diskresi yang diberikan pada aparat pemerintahan di Indonesia tidak sembarangan melainkan ada batasan-batasan yang harus diketahui serta asas-asas umum pemerintahan yang baik yang menjadi pedoman untuk melakukan diskresi. Dengan adanya asas diskresi yang bertanggung jawab aparat pemerintah dapat melaksanakan dan mewujudkan tujuan negara yang mensejahterakan bangsa Indonesia dan diskresi yang digunakan tidak asal-asal melainkan dilakukan semata-matas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang ada dengan tetap berpedoman pada asas-asas umum pemerintahan yang baik.Apabila aparat pemerintahan dalam melakukan diskresi ternyata menyalahgunakan wewenangnya maka dapat di gugat di pengadilan tata usaha negara dan pastinya Hakim menggunakan asas-asas umum pemerintahan yang baik sebagai batu uji atau landasan terhadap diskresi yang dilakuan. Menurut muchsan asas-asas umum pmerintahan yang baik yang cocok di Indonesia hanya terdiri dari 5 saja yakni :1. Astaas kepastian hukum2. Asas permainan yang layak3. Asas kecermatan4. Asas keseimbangan5. Asas ketetapan dalam mengambil sasaranKelima asas tersebut sudah dipakai oleh hakim menjadi yurisprudensi, sehingga aparat pemerintah seharusnya memahami betul ketika mengambil kebijakan diskresi tidak melanggar asas-asas umum pemerintahn yang baik. Dapat dikatakan hukum tata pemerintahan memberikan ruang yang bebas terhadap aparat pemerintahan untuk melakukan tugas pemerintahan dengan diberikan asas diskresi namun juga memberi peringatan yang tegas mengenai tidak disalahgunakannya asas diskresi tersebut.Peranan asas diskresi dalam penggunaanya oleh aparat pemerintah harus dilakukan dengan cermat karena aktivitas-aktivitas dalam penyelenggaran negara sangatlah padat, dinamis dan bergerak terus mengikuti tantangan dan perkembangan jaman. Aparat pemerintahan yang menggunakan tentunya sudah mengerti bahwa apa yang dilakukannya harus dipertanggungjawabkan pada masyarakat dan Tuhan Yang Maha esa, ini sesuai dengan pendapat Sjachran Basah di atas.Dengan adaya asas diskresi ini banyak sekali kepala daerah yang ada diprovinsi-provinsi di Indonesia dalam melaksanakan tugas pemerintahan dapat menjadi bantuan yang signifikan dalam menghadapi permasalahan-permasalahan di daerahnya yang pastinya setiap daerah memiliki tingkat perbedaan antara satu dengan yang lain. Sehingga dapat dikatakan peranan asas diskresi dalam hukum tata pemerintahan meringankan tugas para aparat pemerintahan untuk mewujudkan tujuan negara Indonesia yakni melindungi segenap tumpah darah Indonesia, kesejahteraan bangsa, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut berpartisipasi pada perdamian dunia serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.F. Diskresi Sebagai Salah Satu Upaya Mewujudkan Pemerintahan yang BaikDalam melakukan aktivitasnya, pemerintah melakukan dua macam tindakan, tindakan biasa (feitelijkehandelingen) dan tindakan hukum (rechtshandeli-ngen). Dalam kajian hukum, yang terpenting untuk dikemukakan adalah tindakan dalam kategori kedua, rechtshandelingen. Tindakan hukum pemerintahan adalah tindakan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan.Tindakan pemerintahan memiliki beberapa unsur yaitu sebagai berikut : Perbuatan itu dilakukan oleh aparat Pemerintah dalam kedudukannya sebagai Penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan (bestuurs-organen) dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri; Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan; Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum di bidang hukum administrasi; Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan negara dan rakyat. Dalam negara hukum, setiap tindakan pemerintahan harus berdasarkan atas hukum, karena dalam negara negara terdapat prinsip wetmatigheid van bestuur atau asas legalitas. Asas ini menentukan bahwa tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka segala macam aparat pemerintah tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya. Meskipun demikian, tidak selalu setiap tindakan pemerintahan tersedia peraturan peraundang-undangan yang mengaturnya. Dapat terjadi, dalam kondisi tertentu terutama ketika pemerintah harus bertindak cepat untuk menyelesaikan persoalan konkret dalam masyarakat, peraturan perundang-undangannya belum tersedia. Dalam kondisi seperti ini, kepada pemerintah diberikan kebebasan bertindak (discresionare power) yaitu melalui Freies Ermessen, yang diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pejabat atau badan-badan administrasi negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang.Freies Ermessen ini menimbulkan implikasi dalam bidang legislasi bagi pemerintah, yaitu lahirnya hak inisiatif untuk membuat peraturan perundang-undangan yang sederajat dengan UU tanpa persetujuan DPR, hak delegasi untuk membuat peraturan yang derajatnya di bawah UU, dan droit function atau kewenangan menafsirkan sendiri aturan-aturan yang masih bersifat enunsiatif. Menurut Bagir Manan, kewenangan pemerintah untuk membentuk peraturan perundang-undangan karena beberapa alasan yaitu; Pertama, paham pembagian kekuasaan menekankan pada perbedaan fungsi daripada pemisahan organ, karena itu fungsi pembentukan peraturan tidak harus terpisah dari fungsi penyelenggaraan pemerintahan; Kedua, dalam negara kesejahteraan pemerintah membutuhkan instrumen hukum untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum; Ketiga, untuk menunjang perubahan masyarakat yang cepat, mendorong administrasi negara berperan lebih besar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Bila ditelusuri lebih lanjut, maka ada beberapa manfaat atau aspek kelebihan dalam penggunaan prinsip Freies Ermessen atau kebebasan bertindak oleh pejabat pemerintah yaitu diantaranya; a. kebijakan pemerintah yang bersifat emergency terkait hajat hidup orang banyak dapat segera diputuskan atau diberlakukan oleh pemerintah meskipun masih debatable secara yuridis atau bahkan terjadi kekosongan hukum sama sekali;b. badan atau pejabat pemerintah tidak terjebak pada formalisme hukum dengan asumsi bahwa tidak ada kekosongan hukum bagi setiap kebijakan publik (policy) sepanjang berkaitan dengan kepentingan umum atau masyarakat luas; c. sifat dan roda pemerintahan menjadi makin fleksibel, sehingga sektor pelayanan publik makin hidup dan pembangunan bagi peningkatan kesejahtraan rakyat menjadi tidak statis alias tetap dinamis.Dengan berbagai manfaat inilah, maka kemudian sangat diyakini bahwa bila pembuat diskresi benar-benar mengeluarkan diskresi sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang ada, maka sangat diyakini bahwa penerapan diskresi akan dapat berdampak pada terciptanya pemerintahan yang baik. Masyarakat akan benar-benar terlayani dengan pembentukan diskresi, dan aparatur pemerintah juga akan mendapat apresiasi yang luar biasa dari masyarakat karena mampu melakukan terobosan hukum dalam rangka meningkatkan pelayanan demi menuju kesejahteraan rakyat.

G. Ijhtihad Nabi Muhammad Saw. Dan Para SahabatnyaDalam wacana hukum Islam dikenal adanya istilah ijtihad [45] (proses penggalian hukum Islam). Ijtihad ini dilakukan oleh seorang yang dikategorikan sebagai mujtahid (ahli hukum Islam) dalam menjawab problematika hukum Islam yang terjadi di tengah- tengah masyarakat. Proses kreatif ini dapat dianalogikan dengan proses seorang hakim dalam tugasnya dalam memutuskan perkara hukum. Ada beberapa metode ijtihad yang dapat ditempuh oleh para mujtahid dalam proses penggalian hukum Islam. Terkait dengan bahasan kita tentang diskresi hukum, maka yang akan disinggung berikut ini dibatasi pada metode ijtihad yang memungkinkan terjadinya diskresi hukum.Menurut penelusuran yang penulis lakukan, dalam beberapa metode ijtihad dimungkinkan terdapat kasus-kasus yang diputuskan dengan diskresi. Ini adalah sebuah indikasi awal bahwa para mujtahid itu tidak terpaku begitu saja terhadap ayat al-Quran dan hadis nabi secara literalis. Tetapi mereka juga mempertimbangkan azas-azas, maksud dan tujuan dibalik teks nash tersebut. Sehingga ketika menetapkan suatu hukum, boleh jadi mereka keluar dari ketentuan yang secara eksplisit terdapat dalam al-Quran dan Sunah. Pada dasarnya ijtihad itu dilakukan oleh para ulama mujtahid berlandaskan maqshid asy-syariah; yaitu memelihara agama, jiwa, harta, kehormatan, dan keturunan pada tataran dharuri, haji dan tahsini. Diskresi dalam wacana hukum Islam menurut penilaian penulis bukan saja dipraktekkan oleh para mujtahid di era keemasan ilmu-ilmu keislaman; di masa imam mazhab yang empat dan kemudian diteruskan oleh para pengikut mereka. Tapi jauh sebelumnya pada masa tabiin dan sahabat. Bahkan nabi pun selaku seorang yang bertugas menyampaikan wahyu Allah berupa al-Quran kepada umatnya pernah memaknai suatu hukum berbeda dengan yang dijelaskan dalam al-Quran.Berikut akan diuraikan metode - metode ijtihad yang memungkinkan terjadinya diskresi hukum. Dalam penjelasannya penulis mencoba menyajikan contoh contohnya. 1. Istihsan Istihsan adalah beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas lain dari padanya (qiyas pertama). Dalam hal ini mujtahid tidak menggunakan qiyas zhahir dalam memutuskan permasalahan hukum yang dihadapinya tapi beralih menggunakan qiyas khafi. Karena menurut pertimbangannya cara itulah yang paling tepat.Dalam Istihsan ini seorang mujtahid tidak menggunakan ketentuan yang telah secara jelas yang terdapat dalam al-Quran dan atau hadis. Tapi ia beralih menggunakan ketentuan lain yang dianggap lebih kuat.Berikut ini beberapa contoh kasus penetapan hukum dengan menggunakan Istihsan: a. Sanksi hukum terhadap pencuri.Menurut ketentuan umum berdasarkan ketentuan dalam al-Quran, sanksi bagi orang yang mencuri adalah potong tangan sebagaimana firman Allah: Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan-tangan keduanya QS al-Maidah/5: 37. Berdasarkan ayat di atas, bila seseorang itu mencuri dan jika telah memenuhi ketentuan pemberlakuan hukuman potong tangan, maka diberlakukanlah hukuman potong tangan.Namun bila pencurian tersebut dilakukan pada masa pacelik; kelaparan dan dilakukan dalam keadaan terpaksa untuk mempertahankan hidup, maka hukum potong tangan yang bersifat umum itu tidak diberlakukan. Hal ini karena dalam kasus ini berlaku hukum khusus. Peralihan dari hukum umum kepada hukum khusus ini dalam ilmu Ushul Fiqh disebut dengan Istihsan. Praktek ini pernah dicontohkan oleh Umar ibn Khattab di masa pemerintahannya.b. Orang yang makan dan minum karena lupa ketika ia sedang berpuasaPada hakikatnya ibadah puasa adalah menahan makan, minum dan segala hal yang membatalkannya mulai terbit fajar hingga terbenam Matahari. Maka ibadah puasa seseorang itu batal ketika ia makan minum sedang berpuasa. Namun hukum itu dikecualikan oleh hadis nabi yang menyatakan: Siapa yang makan dan minum karena lupa tidak batal puasanya. Karena hal itu merupakan rizki yang diturunkan Allah kepadanya (HR. at-Tirmidzi)c. Dokter melihat aurat pasien wanita pada saat pemeriksaan kesehatanSecara umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tetapi dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka pakaiannya untuk dilakukan pemeriksaan dan pendiagnosaan penyakitnya. Berdasarkan pertimbangan kemashlahatan orang tersebut, maka menurut kaedah Istihsan seorang dokter laki-laki diperbolehkan melihat aurat pasiennya yang perempuan.

2. Mashlahah Mursalah Mashlahah Mursalah adalah apa yang dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara dalam menetapkan hukum; namun tidak ada petunjuk syara yang memperhitungkannya dan tidak ada pula petunjuk syara yang menolaknya.Berdasarkan metode mashlahah mursalah ini dimungkinkan terjadinya suatu hukum yang telah digariskan secara jelas oleh al-Quran dan atau hadis kemudian diabaikan dan beralih mengambil ketentuan hukum lain yang sebenarnya lebih sesuai dengan kemaslahat umum.Berikut ini diuraikan beberapa kasus diskresi hukum yang terjadi pada metode mashlahah mursalah:a. Memerangi mani az-zakah pada masa pemerintahan Abu Bakar Shiddiq. Kewajiban membayar zakat merupakan salah satu kewajiban yang harus ditunaikan oleh setiap muslim yang mampu dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Kewajiban ini merupakan salah satu ajaran dasar dalam Islam, sebagai rukun Islam yang ketiga. Setelah Rasulullah wafat; pada masa pemerintahan Abu Bakar Shiddiq sebagian masyarakat muslim enggan mengeluarkan kewajiban ini. Mungkin mereka menyangka zakat semacam upeti kepada Rasulullah. Dan setelah beliau wafat, maka gugurlah kewajiban tersebut. Abu Bakar dengan pertimbangan untuk kemashlahat umat, kemudian memerintahkan untuk memerangi mereka. b. Tidak memberikan hak zakat untuk para muallaf pada masa Umar ibn Khattab. Dalam QS at-Taubah/9: 60 ditegaskan bahwa salah satu ashnaf (kelompok) yang berhak atas harta zakat adalah para muallaf (mereka yang baru masuk Islam). Pada masa pemerintahannya Umar tidak mengeluarkan bagian para muallaf ini. Menurut Umar kondisi umat Islam telah kuat sehingga tidak perlu lagi memberikan reward kepada orang yang baru masuk Islam melalui harta zakat. Hal ini merupakan ujian kepada para muallaf atas keyakinannya untuk masuk Islammasuk Islam bukan karena iming-iming materi.

3. Sad adz-Dzariah Sad adz-dzariah menutup jalan terjadinya kerusakan. Dasar pegangan para Ulama dalam penggunaan sa adz-dzariah adalah kehati-hatian dalam beramal ketika menghadapi benturan antara mashlahat dan mafsadat. Jika faktor mashlahatnya yang dominan maka perbuatan itu boleh dilakukan. Namun jika sebaliknya; mafsadatnya yang dominan maka perbuatan itu harus ditinggalkan. Dan jika sama kuat antara keduanya maka untuk ihtiyath diambil prinsip yang berlaku, dar-u al-mafasid muqaddam ala jalb al-mashalih.Dalam metode ijtihad ini akan kita lihat permasalahan yang pada dasarnya dibolehkan dalam syariat Islam. Namun kemudian dipalingkan dari ketentuan dasar yang memperbolehkan permasalahan tersebut karena ternyata terdapat kemafsadatan besar yang akan terjadi dibaliknya. Di sini letak diskresi dalam metode ijtihad ini. Berikut ini dipaparkan beberapa contoh: a. Pernikahan TahlilPada dasarnya syariat Islam menganjurkan seseorang untuk menikah. Banyak sekali ayat al-Quran dan Hadis Nabi yang menegaskan hal tersebut. Ditinjau dari segi motivasi melakukan suatu pekerjaan, suatu pekerjaan yang awalnya dianjurkan oleh syara menjadi terlarang ketika dilakukan berdasarkan motivasi yang tidak benar seperti kasus nikah Tahlil. Nikah Tahlil adalah pernikahan bohong-bohongan seorang laki-laki dengan seorang janda yang telah bercerai talak tiga dengan suami sebelumnya. Ini adalah sebagai syarat bagi sang janda untuk menikah kembali dengan mantan suaminya yang telah menjatuhkan talak tiga tersebut b. Larangan laki-laki muslim menikahi wanita ahl al-kitabDi dalam al-Quran dinyatakan tentang kebolehan seorang laki-laki muslim menikah dengan perempuan ahl al-kitab. Namun para ulama termasuk di dalamnya Majlis Ulama Indonesia (MUI) lalu melarang (mengharamkan) bentuk pernikahan tersebut. Pertimbangan pengharaman ini adalah sad adz-dzariah; dalam kondisi masyarakat sekarang ini dikhawatirkan sang pria muslim dengan rayuan dan pengaruh istrinya dapat saja melakukan konversi agama. Tentu saja hal ini kontra produktif dengan alasan pembolehan awal bentuk pernikahan ini yakni; dalam rangka dakwah islamiyah untuk mengajak istri yang ahl kitab untuk memeluk agama Islam.

BAB IIIPENUTUP

A. KESIMPULAN

Secara sederhana yang dimaksud asas diskresi/freies Ermessen (Jerman)/pouvoir discretionnaire (Perancis)/discretion power (inggris) ialah asas kebebasan bertindak yang dilakukan oleh aparat pemerintahan dalam menjalankan kewenangan dan perbuatan hukumnya yang berpedoman pada asas-asas umum pemerintahan yang baik. Asas diskresi/freies ermessen dalam hukum administrasi negara adalah kebebasan atau keleluasaan bertindak administrasi negara yang dimungkinkan oleh hukum untuk bertindak atas inisiatif sendiri guna menyelesaikan persoalan-persoalan penting yang mendesak yang aturannya belum ada, dan tindakan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan.Penggunaaa asas diskresi diatas merupakan sarana bagi aparat pemerintah untuk melakukan terobosan-terobosan serta pemecahan-pemecahan masalah yang membutuhkan penyelesaian yang cepat dan belum ada aturan yang mengatur tentang hal tersebut.

B. SARANDalam perspektif ini, perlu ditekankan bahwa seorang pejabat adminisatrasi pemerintahan dituntut harus dapat mempertanggungjawabkan tindakan diskresi yang dibuat olehnya kepada masyarakat tanpa perlu menunggu adanya gugatan secara legalisitik. Mengingat hal tersebut merupakan suatu kewajiban yang sifatnya melekat pada kewenangan yang menjadi dasar akan adanya tindakan diskresi itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

http://boeyberusahasabar.wordpress.com/2012/10/30/peranan-penggunaan-asas-diskresi-dalam-hukum-tata-pemerintahan-di-indonesia/http://justkazz.blogspot.com/2010/02/penggunaan-asas-diskresi-dalam.htmlhttp://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=110&Itemid=110http://ferli1982.wordpress.com/2013/01/15/diskresi-kepolisian-2/http://marginal86kopin.blogspot.com/2013/01/diskresi-antara-kebijakan-dan.html

iKATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam. Salawat dan salam semoga selalu tercurah atas Rasululah SAW, keluarganya dan para sahabat serta semua umatnya.Apabila krisis masyarakat membawa pada kritik pemikiran dan kebudayaan maka krisis kebudayaan itu sendiri membawa pada kritik nalar, atau paling tidak membawa pada kritik terhadap dirinya sendiri, yakni mengkritisi kaidah-kaidah nalar dan mekanisme pikiran serta logika pembahasan dan metode pentahkikan (pengabsahan). Pada saat itu, langkah penanganannya tidak terbatas pada hasil pemikiran sebagai sebuah pendapat dan konsep-konsep, atau sebagai mazhab dan sekte-sekte, tetapi lebih pada pengkajian dasar-dasar pengetahuan dan sistem-sitemnya, serta pendalamannya terhadap dasar-dasar pengetahuan dan sistem-sistemnya serta pendalaman terhadap dasar-dasar kebudayaan dan bangunannya yang kokoh.Untuk itu penulis membuat makalah ini Sebagai sumber pengetahuan bagi pembaca. Makala ini masih memerlukan banyak masukan, oleh sebab itu penulis mengharapkan masukan-masukan membangun dari pembaca.Semoga pembasan yang sederhana ini bermanfaat bagi para pembaca.

Ternate 9 Mei 2014Penulis

iiDAFTAR ISI

KATA PENGANTARiDAFTAR ISIiiBAB I PENDAHULUANA. Latar belakang1B. Rumusan Masalah2

BAB II PEMBAHASANA. Pengertian Diskresi3B. Pembentukan Produk Hukum melalui Asas Diskresi4C. Praktik Diskresi Di Indonesia4D. Tolok Ukur Diskresi12E. Diskresi Sebagai Salah Satu Upaya Mewujudkan Pemerintahan yang Baik14F. Ijhtihad Nabi Muhammad Saw. Dan Para Sahabatnya16

BAB III PENUTUPA. KESIMPULAN20B. SARAN20

DAFTAR PUSTAKA

Tugas Mandiri: Hukum Administrasi Negara

Oleh

NAMAnpm

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALUKU UTARA2014/2015