Post on 13-Mar-2019
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN DENGAN INSOMNIA PADA
MAHASISWA PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS
SEBELAS MARET SURAKARTA
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
Novita Dwi Cahyanti
G.0008142
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Surakarta
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
ABSTRAK
Novita Dwi Cahyanti, G0008142, 2011. Hubungan Tingkat Kecemasan dengan Insomnia pada Mahasiswa Pendidikan Dokter, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Surakarta.
Tujuan Penelitian : untuk mengetahui hubungan tingkat kecemasan dengan insomnia pada mahasiswa pendidikan dokter Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Metode Penelitian : Penelitian bersifat deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Subyek penelitian adalah seluruh mahasiswa pendidikan dokter preklinik Universitas Sebelas Maret Surakarta. Sampel yang digunakan sebanyak 361 orang dari 628 mahasiswa preklinik pendidikan dokter angkatan 2008 hingga 2010 Universitas Sebelas Maret Surakarta. Sampel diambil secara total sampling setelah diseleksi dengan kriteria inklusi dan eksklusi tertentu melalui screening test, dan tes L-MMPI. Teknik pengumpulan data menggunakan skala pengukuran TMAS, dan skala IRS yang diberikan langsung pada subyek. Data tingkat kecemasan dan insomnia yang diperoleh dianalisis menggunakan uji koefisien kontingensi dengan program SPSS 16.0 for Windows karena terdapat distribusi data yang tidak normal.
Hasil Penelitian : Hasil analisis data menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat kecemasan dengan insomnia pada mahasiswa program studi pendidikan dokter Universitas Sebelas Maret Surakarta(C = 0,016; p > 0,05).
Simpulan Penelitian : Tidak terdapat hubungan yang bermakna tingkat kecemasan dengan insomnia pada mahasiswa program pendidikan dokter Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Kata kunci : kecemasan, insomnia, mahasiswa pendidikan dokter
1Fakultas Kedokeran Universitas Sebelas Maret Surakarta 2,4SMF Kedokteran Jiwa RSUD. Dr. Moewardi Surakarta 3 SMF THT RSUD. Dr. Moewardi Surakarta 5Departemen Biologi Fakultas Kedokeran Universitas Sebelas Maret Surakarta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRACT
Novita Dwi Cahyanti, G0008142, 2011. Level of Anxiety Differences between Insomnia collegian medical, Sebelas Maret University, Surakarta.
Objective: to determine whether there is any difference in the degrees of anxiety with insomnia medical collegian, Sebelas Maret University Surakarta.
Methods: The study is descriptive analytic with cross sectional approach. The subjects are collegian medical, Medical Faculty Sebelas Maret University Surakarta. 361 people from 628 student faculty preclinical medical student at 2008 until 2010. The sample was taken in total sampling methods after being selected based on specific inclusive and exclusive criterion through screening test, and L-MMPI test. The data collection techniques used was TMAS anxiety scale and Insomnia Rating Scale that was provided directly to the subject. The degrees of anxiety data and insomnia data was analyzed by unpaired test using SPSS 16.0 for Windows with Coefficient Contingency.
Results: The result of data analysis shows that there are no correlation of anxiety with insomnia what the medical faculty Sebelas Maret University Surakarta (C = 0,016; p > 0,05).
Conclusion: There are no correlation in the degrees of anxiety with insomnia medical collegian, medical faculty Sebelas Maret University Surakarta.
Key words : anxiety, insomnia, medical collegian
1Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta, Indonesia 2,4SMF Psychical Medicine, Hospital Dr. Moewardi, Surakarta, Indonesia 3 SMF THT, Hospital. Dr. Moewardi, Surakarta, Indonesia 5Departement of Biology, Faculty of Medicine, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA...................................................................................................... vii
DAFTAR ISI................................................................................................. viii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................... xii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................. 3
C. Tujuan Penelitian .................................................................. 3
D. Manfaat Penelitian ............................................................... 4
BAB II LANDASAN TEORI
A. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................... 5
B. KERANGKA PEMIKIRAN ................................................ 29
C. HIPOTESIS .......................................................................... 30
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ....................................................................... 31
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................. 31
C. Populasi penelitian .................................................................. 31
D. Subjek Penelitian .................................................................... 31
E. Teknik Pengambilan Sampling ............................................... 32
F. Variabel Penelitian ................................................................. 32
G. Definisi Operasional Penelitian ............................................. 32
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
H. Rancangan Penelitian ............................................................. 33
I. Instrumen Penelitian .............................................................. 34
J. Cara Kerja ............................................................................. 34
K. Teknik Analisis Data ............................................................ 36
BAB IV HASIL PENELITIAN ............................................................. 37
BAB V PEMBAHASAN ...................................................................... 45
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan .............................................................................. 51
B. Saran .................................................................................... 51
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Deskripsi Populasi Sumber Responden Penelitian Berdasar Jumlah.. 38
Tabel 2. Deskripsi Responden Penelitian Gugur......................................... 39
Tabel 3. Data Demografi Responden........................................................... 39
Tabel 4. Data Responden Berdasar Klasifikasi Kecemasan......................... 40
Tabel 5. Data Responden Berdasar Klasifikasi Insomnia............................. 40
Tabel 6. Data Demografi dengan Kecemasan............................................... 41
Tabel 7. Hasil Normalitas Data..................................................................... 41
Tabel 8. Data Responden Insomnia dengan Berbagai Derajat Kecemasan... 42
Tabel 9. Uji Normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov................................. 43
Tabel 10. Perhitungan Analisis Statistik.......................................................... 43
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran ................................................... 29
Gambar 2. Skema Rancangan Penelitian .................................................. 34
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Lembar Persetujuan dan Formulir Biodata Responden
Lampiran 2. Kuesioner L-MMPI
Lampiran 3. Kuesioner TMAS
Lampiran 4. Kuesioner IRS
Lampiran 5. Data Hasil Penelitian
Lampiran 6. Hasil Statistik dan Hasil Uji Hipotesis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kecemasan merupakan keadaan psikiatri yang paling sering ditemukan
di seluruh dunia maupun dalam praktek psikiatri. Pengalaman kecemasan
memiliki dua komponen kesadaran sensasi fisiologis dan kesadaran bahwa ia
gugup atau takut. National Comorbidity Study melaporkan bahwa prevalensi
kecemasan 17,7% dalam 12 bulan. Juga diketahui bahwa prevalensi
kecemasan seumur hidup pada perempuan 30,5%, dan laki-laki 19,2%.
Kecemasan bersifat kompleks dan misterius (Sadock, 2010). Kecemasan bisa
berupa perasaan gelisah yang bersifat subjektif, sejumlah perilaku (tampak
khawatir dan gelisah), atau respon fisiologis yang bersumber di otak dan
tercermin dalam bentuk denyut jantung yang meningkat dan otot yang tegang.
Tanda gangguan kecemasan menyeluruh adalah ketegangan otot, agitasi
mental, rawan mengalami keletihan, iritabilitas, dan gangguan tidur (Barlow
dan Durand, 2006).
Salah satu tanda gangguan kecemasan menyeluruh yang disebutkan di
atas, yaitu gangguan tidur. Pemakaian istilah insomnia sangatlah longgar
dipakai dalam menerangkan gangguan tidur. Gejala insomnia baru diketahui
setelah diadakan anamnesis yang lebih rinci. Terjadinya insomnia merupakan
sindrom gangguan tidur pada kecemasan (Nasution, 2007). Insomnia yang
dialami oleh orang yang cemas adalah sulit masuk tidur, mimpi yang
menakutkan, sering terkejut saat bangun, dan tidur tidak nyenyak (Maramis,
2005). Gejala awal sindrom kecemasan dapat dikenali dengan memperhatikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
keluhan somatis pasien kecemasan, yaitu gangguan masuk tidur (Mudjaddid,
2007). Sedangkan, menurut Sadock tahun 2010 menyatakan bahwa suatu
periode singkat insomnia paling sering disebabkan kecemasan yang
merupakan gejala sisa suatu pengalaman yang mencetuskan kecemasan dan
respon asosiatif, seperti ujian yang akan berlangsung (Sadock, 2010).
Pengalaman hidup (life experiences) di lingkungan dengan tingkat stres yang
tinggi menyebabkan individu menjadi mudah cemas (Fricchione, 2004).
Terlepas dari perbedaan pendapat yang menyatakan bahwa insomnia
sebagai gejala awal ataupun gejala sisa dari pengalaman yang mencetuskan
kecemasan, tidur merupakan kebutuhan bagi setiap orang. Tidur memilik
fungsi homeostatik yang bersifat menyegarkan dan penting untuk
termoregulasi normal dan penyimpanan energi. Tidur merupakan suatu
keadaan berulang, teratur, mudah reversible yang ditandai dengan keadaan
relatif tidak bergerak dan tingginya peningkatan ambang respon terhadap
stimulus eksternal dibandingkan keadaan terjaga yang tergantung pada ritme
intrinsik sistem retikular atau siklus bangun tidur-bangun (Sadock, 2010 dan
Ginsberg, 2008). Jadi, tidur merupakan keadaan fisiologis dan dibutuhkan
oleh setiap makluk hidup.
Penulis berminat mengetahui hubungan tingkat kecemasan dan
insomnia pada mahasiswa oleh karena adanya perbedaan pendapat juga
banyaknya misteri tentang terjadinya kecemasan dan insomnia. Pemilihan
populasi penelitiannya adalah program pendidikan dokter Universitas Sebelas
Maret Surakarta dengan alasan tingginya stresor selama masa pendidikan.
Pengalaman hidup (life experiences) di lingkungan dengan tingkat stres yang
tinggi menyebabkan individu menjadi mudah cemas (Fricchione, 2004). Hal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
ini akan meningkatkan kemungkinan terjadinya kecemasan ataupun insomnia
pada mahasiswa pendidikan dokter untuk mencapai target nilai minimal B.
Dan juga, adanya hasil penelitian insiden insomnia pada mahasiswa
pendidikan dokter Universitas Sebelas Maret tahun 1998 sekitar 30 %
(Saraswati, 1998). Penelitian lain diketahui bahwa tidak ada perbedaan
signifikan insiden insomnia pada mahasiswa maupun mahasiswi pendidikan
dokter fakultas kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta (Hatmitasari,
2005). Penelitian tentang hubungan tingkat kecemasan dengan insomnia pada
mahasiswa pendidikan dokter fakultas kedokteran Universitas Sebelas Maret
Surakarta belum pernah diteliti. Oleh karena itu, penulis ingin sekali
membuktikan adanya hubungan tingkat kecemasan dengan insomnia pada
mahasiswa pendidikan dokter.
B. Perumusan Masalah
Adakah hubungan kecemasan dengan insomnia pada mahasiswa
pendidikan dokter Universitas Sebelas Maret Surakarta?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum :
Penelitian ini berusaha untuk mengetahui hubungan tingkat kecemasan
dengan insomnia pada mahasiswa pendidikan dokter Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Tujuan Khusus :
1. Mengetahui tingkat kecemasan mahasiswa pendidikan dokter
Universitas Sebelas Maret
2. Mengetahui banyaknya kejadian insomnia pada mahasiswa pendidikan
dokter Universitas Sebelas Maret
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
3. Mengidentifikasi jenis insomnia yang ditemukan saat penelitian pada
mahasiswa pendidikan dokter Universitas Sebelas Maret
D. Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang
hubungan tingkat kecemasan dengan insomnia pada mahasiswa pendidikan
dokter Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan acuan untuk
penelitian lebih lanjut tentang insomnia, dan kecemasan.
Manfaat Praktis
1. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan deteksi
kecemasan dan insomnia pada mahasiswa di Surakarta
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumber
informasi dalam menyikapi dan menangulangi kecemasan dan insomnia pada
mahasiswa pendidikan dokter fakultas kedokteran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Kecemasan
a. Definisi Kecemasan
1) Keadaan tegang yang berlebihan tidak pada tempatnya yang
ditandai perasaan khawatir, tidak menentu, atau takut (Maramis,
2009).
2) Sinyal adanya bahaya pada ketidaksadaran (Sadock, 2010).
3) Respon terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak diketahui,
internal, samar-samar, dan konfliktual (Kaplan, Sadock, dan
Grebb, 1997).
4) Cemas yang terus-menerus atau suasana hati cemas yang tidak
dapat dikaitkan atau tidak proporsional terhadap rangsang
psikososial, stresor, atau peristiwa (Murtagh, 2003).
5) Suasana perasaan yang ditandai gejala-gejala jasmaniah, seperti
insomnia.
b. Epidemiologi Kecemasan
National Comorbidity Study melaporkan bahwa satu di
antara empat orang yang memenuhi kriteria, sedikitnya satu orang
mengalami anxietas. Angka prevalensi kecemasan yang diteliti
selama 12 bulan sebesar 17,7 %. Perempuan (prevalensi seumur
hidup 30,5 %) lebih cenderung mengalami anxietas daripada laki-
laki(prevalensi seumur hidup 19, 2%). Sebuah meta-analisis
terhadap 46 studi menemukan bahwa sekitar 17% orang suatu saat
5
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
pernah mengalami kecemasan (Pinel, 2009). Prevalensi ansietas
cenderung menurun dengan meningkatnya status sosial ekonomi
(Sadock, 2010). Sekitar dua pertiga individu penderita kecemasan
menyeluruh adalah perempuan, baik dalam sampel klinis maupun
dalam studi-studi epidemiologi (Barlow dan Durand, 2006).
Prevalensi kecemasan di pelayanan kesehatan primer adalah
ansietas menyeluruh adalah 7,9 %, dan panik atau agorofobia 2,6
%. Perkiraan prevalensi kecemasan di masyarakat (per1000 orang)
adalah ansietas menyeluruh 30, panik atau agorofobia 20, fobia
sosial 30, fobia sederhana 45, dan obsesif compulsif (yang tidak
terkomorbid dengan anxietas lain) 10 (Maramis, 2009). Pengertian
dari istilah kecemasan di atas, yaitu :
1) Ansietas menyeluruh adalah kecemasan berlebihan dialami
hampir sepanjang hari yang berlangsung selama sedikitnya
enam bulan (Sadock, 2010)
2) Panik adalah serangan panik tidak terduga dan spontan
yang terdiri atas periode rasa takut intens sampai sedikit
serangan selama satu tahun (Sadock, 2010)
3) Agorofobia adalah rasa takut sendirian di tempat umum
atau tempat sulit untuk keluar (Sadock, 2010)
4) Fobia sosial adalah rasa takut yang kuat dan menetap akan
situasi yang menimbulkan rasa malu (Sadock, 2010).
5) Obsesif kompulsif adalah pikiran atau sensasi berulang
untuk melakukan perilaku yang disadari, dan standar secara
berulang (Sadock, 2010).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
c. Etiologi Kecemasan
Kontribusi ilmu psikologis, ilmu biologis, studi pencitraan
otak, studi genetik, pertimbangan neuroanatomis menyumbang
teori tentang penyebab anxiety. Teori tersebut memiliki kegunaan
dalam terapi anxiety. Teori tersebut, yaitu :
1) Teori ilmi psikologis: Teori psikoanalitik, teori perilaku-
kognitif, dan teori eksistensial.
2) Teori ilmu biologi: Sistem saraf otonom, neurotransmitter,
norepinefrin, serotonin, GABA, dan aplysia.
3) Pertimbangan Neuroanatomis: System limbic, dan korteks
serebri (Sadock,2010).
Terjadinya kecemasan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor, yaitu :
1) Faktor biologis: kerentanan yang diturunkan untuk mengalami
kecemasan dan aktivitas sirkuit–sirkuit otak, neurotransmitter,
dan sistem neurohormonal tertentu (Barlow dan Durand, 2006).
Faktor keturunan: orang tua yang menderita gangguan neurotik
cenderung mewariskan sifat tersebut yang nantinya
menghambat perkembangan kepribadian anak (Maramis, 2005
dan Fricchione, 2004).
2) Faktor perilaku: perilaku menghindar terhadap berbagai situasi.
3) Faktor emosional kognitif : sensitivitas meningkat terhadap
situasi atau orang-orang yang dipersepsikan sebagai ancaman
(Barlow dan Durand, 2006).
4) Pengalaman hidup (life experiences) di lingkungan dengan
tingkat stres yang tinggi menyebabkan individu menjadi mudah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
cemas, misal kekerasan, kejahatan, kemiskinan, hinaan, dan
stres (Fricchione, 2004).
5) Obat-obatan: obat simpatomimetik, seperti amfetamin, kokain,
dan kafein juga obat serotonergik (LSD, MDMA),
kortikosteroid, gingseng, rokok, dan alkohol dapat
menyebabkan sindrom kecemasan akut maupun kronis
(Sadock, 1997).
6) Keadaan medis: gangguan kecemasan yang disebabkan oleh
keadaan medis biasanya dialami pada usia 35 tahun (Frechione,
2004). Gangguan yang sering disertai kecemasan adalah
gangguan neurologis, gangguan endokrin, gangguan
kardiovaskuler, defisiensi vitamin B12, hipoglikemi, dan
depresi (Sadock, 1997).
7) Pasca kejadian trauma: perpisahan selama masa anak-anak
dapat mempengaruhi sistem saraf yang sedang berkambang
sehingga anak rentan terhadap kecemasan pada masa
dewasanya, misal kejadian kematian, maupun riwayat
perpisahan orang tua. Kejadian traumatik lain, seperti bencana
alam, peperangan, dan kecelakaan dapat menyebabkan stres
dan gejala kecemasan (Sadock, 1997 dan Yehuda, 2002)
8) Faktor sosial: dukungan sosial mengurangi reaksi fisik dan
emosional terhadap pemicu kecemasan atau stres. Kurangnya
dukungan sosial mengintensifkan gejala (Barlow dan Durand,
2006).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
9) Faktor-faktor psikologis: kegelisahan, ketakutan, perasaan
bersalah, dan perasaan cemas atau stres sebagai antisipasi
terhadap peristiwa-peristiwa yang akan datang (Semiun,
2010a).
d. Jenis-jenis Kecemasan
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi
4 teks revisi yang biasa disebut DSM-IV-TR (Sadock, 2010).
Klasifikasi gangguan kecemasan menurut DSM-IV-TR, yaitu
kecemasan umum, kecemasan berhubungan dengan kondisi medis,
serangan panik, panik dengan atau tanpa agoraphobia (rasa takut
sendirian di tempat umum atau tempat sulit untuk keluar),
agoraphobia dengan atau tanpa riwayat panik, spesifik phobia,
phobia sosial, obsesi kompulsif, post-traumatic stress disorder, dan
stres akut (Sadock, 2010 dan Murtagh, 2003).
Berikut respon fisik, kognitif, dan emosional berdasar tingkat
kecemasan, yaitu :
Tingkat
Anxietas
Respon Fisik Respon
Kognitif
Respon Emosional
Ringan 1. Tegang otot ringan
2. Rileks dan sedikit
gelisah
3. Penuh perhatian
4. Rajin
a. Tenang, percaya diri
b. Sedikit rasa gatal
c. Waspada banyak hal
d. Tingkat belajar
optimal
1) Perilaku otomatis
2) Sedikit tidak sabar
3) Terstimulasi
4) Tenang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Sedang 1. Tegang otot sedang
2. Tanda vital
meningkat
3. Pupil dilatasi dan
mulai berkeringat
4. Suara bergetar, nada
suara tinggi
5. Tegang
6. Sering berkemih, pola
tidur berubah
a. Tidak perhatian
secara selektif
b. Fokus stimulus
meningkat
c. Perhatian turun
d. Penyelesaian
masalah menurun
1) Tidak nyaman
2) Mudah tersinggung
3) Tidak sabar
Berat 1. Tegang otot yang
berat
2. Hiperventilasi
3. Kontak mata buruk
4. Keringat banyak
5. Bicara cepat, nada
tinggi
a. Sulit berpikir
b. Penyelesaian
masalah buruk
c. Egosentris
d. Tidak mampu
mempertimbangkan
informasi
e. Preokupasi dengan
pikiran sendiri
1) Sangat cemas
2) Agitasi
3) Takut
4) Bingung
5) Merasa tidak
adekuat
6) Menarik diri
7) Penyalahan
8) Ingin bebas
Panik 1. Flight, fight, atau
freeze
2. Ketegangan otot
sangat berat
3. Agitasi motorik kasar
a. Pikiran tidak logis,
terganggu
b. Pribadi kacau
c. Tidak dapat
menyelesai
1) Merasa terbebani
2) Merasa tidak mampu atau
tidak berdaya
3) Lepas kendali
4) Mengamuk, putus asa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
4. Pupil dilatasi, tanda
vital meningkat
kemudian menurun
5. Tidak dapat tidur
6. Hormon stres
neurotransmitter turun
7. Mulut menganga
kan
masalah
d. Fokus pada pikiran
sendiri
e. Tidak rasional
f. Sulit memahami
stimulus eksternal
g. Halusinasi, ilusi, dan
waham dapat terjadi
5) Marah, sangat takut
6) Kaget
7) Lelah
(Videbeck, 2008)
e. Patofisiologi
Kecemasan adalah respon dari persepsi terancam yang
diterima oleh sistem saraf pusat akibat adanya rangsangan berupa
pengalaman masa lalu dan faktor genetik. Rangsang tersebut
dipersepsikan oleh panca indra, diteruskan dan direspon oleh
sistem saraf pusat melibatkan, yaitu Cortex cerebri diteruskan ke
Limbic system lalu ke Reticular Activating system kemudian ke
Hypothalamus yang memberikan impuls kepada kelenjar adrenal,
selanjutnya memacu sistem saraf otonom melalui mediator yang
lain. Kecemasan menyeluruh menunjukkan adanya gangguan
reseptor serotonin, yaitu 5 HT-1A. Sistem limbic terletak
diensefalon, terdiri atas hipokampus, girus singuli, dan nukleus
amigdala yang merupakan sentrum integrasi emosi (Mudjadid,
2007).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
f. Gejala Kecemasan
Ciri-ciri fisik kecemasan Ciri-ciri behavioural
kecemasan
Ciri-ciri kognitif kecemasan
Gelisah, gugup, gemetar,
sensasi pita ketat di dahi,
banyak berkeringat,
pening, mulut atau
kerongkongan kering,
sulit bicara, sulit nafas,
nafas pendek, jantung
berdebar kencang, suara
bergetar, jari atau anggota
badan menjadi dingin,
pusing, merasa cemas
atau mati rasa, panas
dingin, diare, wajah terasa
merah, dan mudah marah
Perilaku menghindar,
perilaku melekat atau
dependent, dan perilaku
terguncang
Khawatir, perasaan
terganggu, keyakinan
suatu yang mengerikan
akan terjadi, terpaku atau
lebih sensitif terhadap
sensasi tubuh, takut hilang
kontrol, pikiran yang
aneh-aneh, dan sulit
konsentrasi
(Nevid, 2005)
g. Kriteria Diagnosis
Kecemasan umum memiliki kriteria, yaitu memiliki tiga
atau lebih dari sifat lekas marah, gelisah, tegang, mudah lelah,
kesulitan konsentrasi atau pikiran kosong, ketegangan, dan
insomnia. Diagnosis berdasar riwayat pasien penting dengan
saksama mendengar yang dikatakan pasien, kecuali pasien dengan
gangguan organik distimulasi dengan sejarah (Murtagh, 2003).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Fitur-fitur kecemasan menyeluruh berdasar kriteria DSM-IV-TR
meliputi, yaitu :
1) Kecemasan dan kekhawatiran eksesif selama enam bulan
atau lebih, tentang sejumlah kejadian atau aktivitas
2) Kesulitan dalam mengontrol kekhawatiran
3) Menunjukkan minimal tiga di antara gejala-gejala, yaitu :
a) Kegelisahan atau perasaan tegang
b) Menjadi mudah lelah
c) Sulit berkonsentrasi
d) Iritabilitas
e) Ketegangan otot, juga insomnia
4) Distres atau hendaya yang signifikan
5) Kecemasan tidak terbatas pada sebuah isu tertentu (Barlow
dan Durand, 2006).
h. Penatalaksanaan
Persamaan semua penatalaksanaan dengan pendekatan
psikologis adalah mendorong pasien untuk menghadapi sumber
kecemasan. Di bawah ini contoh penatalaksaan berdasar beberapa
teori, yaitu :
1) Perspektif biologis terfokus pada penggunaan obat-obatan
untuk meredam simptom kecemasan.
2) Teori psikodinamis lebih menjajaki sumber kecemasan yang
berasal dari keadaan sekarang, dan mendorong pasien
mengembangkan tingkah yang adaptif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
3) Pendekatan humanistik bertujuan untuk memahami orang, dan
mengekspresikan bakat serta perasaannya yang
sesungguhnya.
4) Penggunaan obat dapat menyebabkan ketergantungan,
sindrom putus obat, dan masalah potensial oleh karena itu
dikombinasikan dengan terapi kognitif-behavioural (Nevid,
2005).
2. Insomnia
a. Definisi Insomnia
1) Kesulitan memulai dan mempertahankan tidur. Keluhan insomnia
paling lazim ditemui bersifat sementara atau menetap. Insomnia
melibatkan dua masalah yang kadang dapat dipisahkan, tetapi sering
berkaitan, yaitu tegangan somatisasi serta ansietas, dan respon
asosiatif yang dipelajari (Sadock, 2010).
2) Keadaan sulit tidur, sulit mempertahankan tidur, sering bangun
ketika tidur, dan bangun tidur terlalu dini (Lumbantobing, 2004).
3) Seseorang secara terus-menerus mengalami kesulitan tidur atau
bangun lebih cepat. Ini mungkin muncul sporadic sebagai akibat
reaksi terhadap perasaan yang meluap-luap atau gangguan
emosional, atau mungkin sebagai ciri khas tidur seseorang yang
menetap (Semiun, 2010b).
4) Kesulitan tertidur, kesulitan tetap tidur, kesulitan memulai tidur,
atau bangun lebih awal. Pada banyak kasus, hal ini terjadi oleh
karena masalah pribadi masa lalu, namun kadang ter jadi tanpa
alasan (Murtagh, 2001).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
5) Gangguan tidur atau perubahan tidur nyata dapat dilihat pada pola
tidur (Ibrahim, 2004).
b. Epidemiologi (Prevalensi dan Insiden Insomnia)
Prevalensi perkiraan menunjukkan bahwa sekitar sepertiga dari
populasi (Morin,Bootzin, & Buysse dkk., 2006). Mereka yang tidur
secara inadekuat ternyata 10 % hingga 20 % menderita insomnia kronik
(Dracup dan Bryan, 2000). Insomnia biasanya terjadi pada perempuan,
setengah baya dan orang yang lebih tua, dewasa, pekerja shift,dan
pasien dengan gangguan medis atau kejiwaan (Morin,Bootzin,Buysse
dkk., 2006). Menurut penelitian insiden insomnia pada mahasiswa
pendidikan dokter Universitas Sebelas Maret sekitar 30 % (Saraswati,
1998). Insiden insomnia pada mahasiswa dan mahasiswi pendidikan
dokter Universitas Sebelas Maret tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan (Hatmitasari, 2005).
Studi menunjukkan insomnia meningkatkan morbiditas, hendaya
fungsional, dan penggunaan pelayanan kesehatan. Studi tahun 2002
pada lebih dari satu juta laki-laki dan perempuan menunjukkan bahwa
orang yang tidur lebih dari 8,5 jam atau kurang dari 3,5 jam setiap
malam memiliki angka mortalitas 15 % lebih besar daripada orang yang
tidur selama 7 jam setiap malam (Sadock, 2010).
c. Etiologi
Berbagai penyebab insomnia yang jika ditangani dengan baik
dapat mengatasi insomnia tanpa perawatan medis menggunakan obat-
obatan hipnotik. Penyebab insomnia, yaitu :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
1) Faktor lingkungan: kebisingan, suhu yang ekstrem, dan ventilasi
yang buruk.
2) Lifestyle factor, seperti shift kerja dan stres yang dialami seseorang
3) Penyakit: asma tidak terkontrol, penyakit paru ostruksi kronis, gagal
jantung, hipertiroidisme, demensia, skizofrenia, kecemasan, dan
depresi atau gejala menopause.
4) Obat-obatan, termasuk symphatomimetics inhibitor reuptake
serotonin selective, beta blocker, hormon tiroid, kortikosteroid,
kafein, teofilin, dan alkohol.
5) Obat yang secara tidak langsung menyebabkan insomnia adalah
pemberian diuretik pada malam hari, dan terjadinya hipoglikemia
atau insulin setelah batuk terus-menerus karena efek angitension-
converting enzyme inhibitor.
6) Efek putus obat yaitu nikotin, alkohol, antidepresan, hipnotik,
opioid, ganja, ekstasi, amfetamin, dan MDMA (3,4
methylenedioxymethamfetamine) atau ekstasi (Randall dan Karen,
2003). Selain itu, faktor lain yang erat kaitannya dengan insomnia
adalah depresi, kecemasan, stres, lingkungan yang menyulitkan
tidur, perokok berat, dan tidur siang hari (Lumbantobing, 2004).
d. Pengaturan Tidur
Sebenarnya pusat pengendalian tidur tidak sederhana, melainkan
terdapat sejumlah sistem kecil terutama pada batang otak akan saling
mengaktifkan dan menghambat satu sama lain. Pencegahan sintesis
serotonin atau penghancuran nukleus rafe dorsalis batang otak
mengurangi waktu tidur yang cukup lama. Sintesis dan pelapasan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
serotonin dipengaruhi oleh tersedianya L-triptofan. Ingesti sejumlah
besar L-triptofan sebesar satu gram hingga lima belas gram dapat
menimbulkan pengurangan waktu tidur pada tahap tidur REM atau
Rapid Eye Movement (Sadock, 2010).
Norepinefrin yang badan selnya terdapat pada lokus serelous
memainkan peranan penting mengendalikan pola tidur yang normal.
Obat yang memanipulasi peningkatan noradrenergik menimbulkan
pengurangan nyata tahap tidur REM dan peningkatan keadaan terjaga.
Asetilkolin otak terlibat dalam produksi REM. Pasien depresi memiliki
gangguan nyata pada tahap tidur REM. Sekresi melatonin dihambat oleh
cahaya terang dengan kadar terendah melatonin pada siang hari.
Nukleus suprachiasmaticus sebagai tempat memacu pola sirkardian
dengan mengatur sekresi melatonin serta kerja otak pada siklus bangun
dan tidur selama 24 jam. Dopamin memiliki efek menyiagakan. Obat
yang cenderung meningkatkan dopamin otak akan meningkatkan waktu
tidur orang tersebut (Sadock, 2010).
e. Psikofisiologi Tidur
Tidur merupakan keadaan normal yang ditandai oleh perubahan
kesadaran. Lamanya tidur tergantung pada ritme intrinsik sistem
retikular atau siklus bangun tidur (Ginsberg, 2008). EEG
(electroencephalogram), EOG (electrooculogram), EMG
(electromiogram) merupakan alat standar mengukur psikofiologis tidur
(Pinel, 2009). Tidur terdiri atas tahap nonrapid eye movement dan rapid
eye movement. Tahap tidur nonrapid eye movement merupakan tahap
tentram dibandingkan keadaan terjaga. Dan, tidur rapid eye movement
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
merupakan tahap yang relatif lebih aktif dibandingkan tahap terjaga.
Tahap tidur rapid eye movement disebut sebagai tahap tidur yang
bersifat paradoks, dan desinkronisasi. Tahap tidur REM disebut sebagai
tahap tidur paradoks karena aktivitas otaknya meningkat namun orang
tersebut dalam keadaan tertidur. Hal ini terjadi karena aktivitas otak
tidak disalurkan ke tempat yang membuat orang tersebut terjaga. Dan,
tahap tidur REM juga disebut sebagai tahap desinkronisasi karena pada
tahap ini terdapat pola gelombang dan frekuensi seperti pada keadaan
terjaga atau aktif namun tidak ada letupan neuron meskipun aktivitas
otak jelas (Guyton, 2007).
Pola tidur berubah selama rentang hidup seseorang. Distribusi
tahap tidur non rapid eye movement pada dewasa muda sebesar 75 %.
Distribusi tahap tidur non rapid eye movement relatif konstan walaupun
pengurangan terjadi pada tidur gelombang pendek dan tahap tidur REM
pada orang yang lebih tua. Gelombang alfa sebesar 8 hingga 12 Hz
terjadi ketika seseorang mulai menutup mata dan ketika orang bersiap
tidur (Sadock, 2010).
Tahap tidur dipantau dengan EEG, yaitu :
1) Tahap tidur NREM terdiri dari atas tahap satu hingga empat. Tahap
tidur NREM merupakan keadaan tentram dibandingkan keadaan
terjaga. Denyut jantung melambat lima sampai sepuluh menit
dibandingkan keadaan terjaga dan sangat teratur. Tekanan darah
cenderung rendah dengan variasi dari menit ke menit. Aliran darah
berkurang ke sebagian besar jaringan termasuk aliran darah ke otak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
sedikit berkurang. Terdapat gerakan involunter dan episodik
(Sadock, 2010).
2) Tidur NREM tahap satu: sinyal tinggi, frekuensi rendah yang mirip
tetapi lebih lamban dibanding keadaan bangun.
3) Tidur NREM tahap dua: amplitudo sedikit tinggi, dan frekuensi
yang lebih rendah. Gambaran K complexe dan sleep spindles khas
pada tahap dua.
4) Tidur NREM tahap tiga: gelombang delta merupakan gelombang
paling besar dan lamban dengan frekuensi 1-12 Hz.
5) Tidur NREM tahap empat: predominasi gelombang delta dan
bertahan dalam waktu tertentu dan kembali ke tahap satu dengan
ditandai dengan emergency stage I pada EEG. Emergency stage I
merupakan nama lain dari REM sleep, sedang tahap tidur satu
hingga empat disebut tahap tidur NREM (Pinel, 2009).
6) Tahap tidur REM: menunjukkan keadaan tidak teratur. Pada tahap
tidur REM semuanya lebih tinggi daripada tahap tidur NREM dan
saat terjaga, yaitu denyut jantung, pernafasan, dan tekanan darah.
Penggunakan oksigen otak meningkat, dan meningkatnya respon
ventilasi karena meningkatnya kadar karbon dioksida pada tahap
tidur REM. Ciri khas tidur REM mengalami mimpi yang abstrak
dan aneh (Sadock, 2010).
f. Jenis-jenis Insomnia
Kategori insomnia menurut DSM-TR-IV adalah gangguan tidur
primer, gangguan tidur yang berkaitan dengan gangguan jiwa lain, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
gangguan tidur lainnya berkaitan dengan keadaan medis umum atau
dicetuskan oleh zat, seperti obat-obatan (Sadock, 2010).
Penggolongan insomnia berdasar waktu terjadinya, yaitu :
1) Initial Insomnia: kesulitan memulai tidur
2) Middle Insomnia: keadaan seringnya terbangun di tengah malam
dan kesulitan untuk tidur kembali
3) Late Insomnia: keadaan seringnya bangun terlalu pagi dan tidak
dapat tidur kembali (Ibrahim, 2004).
Penggolongan insomnia berdasar berat-ringannya insomnia, yaitu :
a) Mild Insomnia: kesulitan memulai dan mempertahankan tidur,
tanpa atau sedikit mengalami penurunan kualitas hidup.
b) Moderate Insomnia: kesulitan memulai dan mempertahankan
tidur hampir sepanjang malam.
c) Severe Insomnia: kesulitan memulai dan mempertahankan tidur
di sepanjang malam dan setiap hari (Dohrmaji, 2006).
Berikut kategori insomnia menurut DSM-TR-IV, yaitu :
a) Insomnia primer: insomnia, narkolepsi, hipersomnia kronik,
mimpi buruk, pickwickia, dan kleine-levin.
b) Insomnia sekunder: insomnia pada pasien skizofrenia, depresi,
alkoholisme, sindrom uremia, gravida, sindrom postpartum.
c) Parasomnia: berjalan waktu tidur, enuresis nokturnal, bicara
waktu tidur, bruksisme, dan juktasio kapitis nocturnal.
d) Insomnia bermodifikasi: hal yang dapat menyebabkan insomnia,
yaitu perubahan fisiologis, gangguan kardiovaskuler, gangguan
respirasi, kondisi neuromuskuler, serta kondisi medis lain, seperti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
mikrofilasis brancofti, fluktuasi konsentrasi gula darah pasien
diabetes melitus, ulkus duodeni, hipnalgia, proktalgia nocturnal,
dan sebagainya (Nasution, 2007).
g. Gejala Insomnia
Gejala utama yang menandai sebagian besar insomnia: insomnia,
parasomnia, hipersomnia, dan gangguan jadwal tidur-bangun. Gejala ini
sering tumpang tindih (Sadock, 2010). Gejala klinis insomnia, yaitu tidak
mampu untuk tertidur atau sukar untuk tidur terus, termasuk bangun
pagi-pagi buta. Gejala EEG pada insomnia, yaitu butuh waktu yang lama
untuk terbangun dari tidur, perlu waktu tidur yang singkat, dan tahap
tidur REM yang bertambah lama (Maramis, 2009). Insomnia lebih lazim
terjadi pada perempuan daripada laki-laki. Setelah jelas penyebab
insomnia adalah anxietas sebagai akar psikologis maka terapi psikiatrik
anxietas, seperti psikoterapi individual, psikoterapi kelompok, atau
psikoterapi keluarga sering meredakan insomnia (Sadock, 2010).
h. Kriteria Diagnosis
Sesuai petunjuk buku saku diagnosis gangguan jiwa rujukan
ringkas PPDGI-III, kriteria insomnia adalah
a) untuk mendiagnosis pasti insomnia, yaitu :
1) Keluhan adanya kesulitan masuk tidur, mempertahankan tidur, atau
kualitas tidur yang buruk.
2) Gangguan tidur terjadi minimal tiga kali dalam seminggu selama
minimal satu bulan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
3) Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur (sleeplessness) dan
peduli berlebihan oleh karena tidak bisa tidur di malam hari, dan
efek tidak bisa tidur di malam hari terasa di sepangjang hari.
4) Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan kualitas tidur menyebabkan
penderitaan yang cukup berat, dan mempengaruhi fungsi sosial
serta pekerjaaan.
b) Adanya gejala gangguan jiwa lain, seperti depresi, anxietas, atau obsesi
kompulsif tidak menyebabkan diagnosis insomnia diabaikan.
c) Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak digunakan untuk menentukan
adanya gangguan, oleh karena variasi individual. Lama gangguan yang
tidak memenuhi kriteria di atas, seperti transient insomnia tidak
didiagnosis di sini, tetapi dimasukkan reaksi stres akut (F43.0) atau
gangguan penyesuaian dan termasuk dalam jenis gangguan F43.2
(Maslim, 2003).
i. Penatalaksanaan
Perlakuan terhadap pasien insomnia sebagai perawatan psikologis
yang didukung oleh bukti empiris, yaitu terapi kontrol stimulus (stimulus
control therapy), pembatasan tidur (sleep restriction), dan terapi kognitif-
perilaku (cognitif-behavioural therapy), niat paradoksal, dan relaksasi
(Morin,Bootzin, & Buysse dkk., 2006).
3. Sistem Belajar Berdasar Masalah (Problem Based Learning)
Problem Based Learning (PBL) adalah lingkungan belajar yang
menggunakan masalah sebagai media pembelajaran. Sebelum belajar
mempelajari suatu hal, seseorang diharuskan mengidentifikasi masalah,
baik yang dihadapi secara nyata maupun kasus. Masalah diajukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
sedemikian rupa sehingga menemukan kebutuhan belajar yang diperlukan
agar dapat memecahkan masalah tersebut. Bahan pembelajaran ini akan
memandu mahasiswa mulai dari memahami konsep sampai menerapkan
metode Problem Based Learning dalam team work. Penerapan metode ini
merupakan bentuk implementasi team learning dan personal mastery
menuju teroganisisasinya proses pembelajaran (Pusdiklat, 2004).
4. L-MMPI (Lie Minnesota Multiphasic Personality Inventory)
L-MMPI adalah skala validitas yang berfungsi mengidentifikasi
hasil yang mungkin invalid karena kesalahan atau ketidakjujuran subjek
penelitian (Azwar, 2009). Tujuan tes ini adalah memberikan gambaran
secara akurat tentang dimensi kepribadian dan psikopatologi yang penting
dalam klinik psikiatri. Tes ini mulai berkembang di Indonesia mulai 1972.
Terdapat 2 jenis skala, yaitu skala validitas dan skala klinis. Skala validitas,
seperti skala ? atau skala “tidak tahu”, skala L, skala F, dan skala K. Skala
klinis, seperti skala 1 sampai dengan skala O. Skala L (Lie scale) berisi 15
butir pertanyaan yang berisi kekurangan-kekurangan kecil yang terdpat
pada setiap orang, dan setiap orang tersebut rela mengakuinya (Semiun,
2010b). Skala L dibuat untuk mengidentifikasi seseorang tersebut jujur atau
berpura-pura dalam menjawab sehingga ia berusaha untuk menampakkan
hal yang terlihat lebih baik daripada yang sebenarnya (Wortman, 2004).
Skala L-MMPI berisi 15 butir pertanyaan untuk dijawab responden
dengan “ya” atau “tidak”. Jawaban “ya” bila sesuai dengan perasaan dan
keadaan responden, dan jawaban “tidak” bila tidak sesuai dengan dengan
perasaan atau keadaan responden (Azwar, 2009). Skor tinggi ≥ 10
menandakan subjek berusaha menampakkan diri sebaik mungkin dihadapan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
orang lain, dan berusaha menyembunyikan kekurangan tentang dirinya. Hal
ini menjadikan responden mengisi L-MMPI dengan tidak jujur atau banyak
berbohong. Orang yang mendapat skor rendah termasuk orang yang tegang,
kurang mawas diri. Dan berpendirian agak kaku (Semiun, 2010b). Nilai
batas skala adalah 10, artinya responden menjawab “tidak” sebanyak ≥ 10.
Data responden dinyatakan invalid bila memiliki skor ≥ 10.
5. Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS)
Tingkat kecemasan adalah cemas ringan, sedang, berat. TMAS
mengukur tingkat kecemasan subjek penelitian. Tes ini berisi 50 pernyataan
dan jawabannya harus memperhatikan hal berikut ini, yaitu :
a. Butir-butir pernyataan yang sesuai untuk kecemasan atau favorable,
b. Butir-butir penyataan yang tidak sesuai untuk kecemasan atau
unfavorable.
Pasien dapat mengerjakan sendiri secara praktis dalam waktu
relatif singkat (Sudiyanto, 2003). Kuesioner TMAS adalah instrumen
pengukur kecemasan. Kuesioner TMAS berisi 50 butir pertanyaan yang
dapat dijawab responden dengan jawaban “ya” atau “tidak” sesuai keadaan
dirinya dengan memberi tanda (V) pada kolom jawaban ya atau tidak.
Pernyataan favourable yang dijawab dengan jawaban “ya” diberi nilai 1 dan
jawaban “tidak” diberi nilai 0. Sedangkan, pertanyaan unfavourable berlaku
nilai 1 untuk jawaban “tidak” dan bernilai 0 untuk jawaban “tidak”. Jumlah
skor TMAS ≤ 21dinyatakan tidak cemas, dan > 21 dinyatakan tidak cemas
(Azwar, 2009).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
TMAS berisi 50 pertanyaan dan interpretasi jawaban ya atau tidak
terhadap jawaban terhadap pertanyaan unfavourable maupun favourable,
yaitu :
1) Butir-butir pertanyaan yang sesuai pada keadaan kecemasan atau
pertanyaan favourable, yaitu nomor 2, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 13, 14, 16, 17,
19, 21, 22, 23, 24, 26, 27, 28, 30, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 39, 40, 41, 42,
45, 46, 47, 48, dan 49 (35 butir).
2) Butir-butir pernyataan yang tidak sesuai untuk kecemasan atau
unfavourable, yaitu nomor 1, 3, 4, 9, 12, 15, 18, 20, 25, 29, 35, 38, 43,
44, dan 50 total pertanyaan unfavourable (Sudiyanto, 2003).
Suatu skala atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai
validitas yang tinggi bila instrumen tersebut dijalankan sesuai fungsi
ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud
pengukuran. Kuesioner TMAS memilki derajat validitas yang cukup tinggi
bila dijawab dengan jujur dan teliti oleh responden (Azwar, 2009). Kriteria
tingkat cemas berdasar score TMAS sebagai berikut, yaitu :
a) Score TMAS ≤ 21(0-< 50 % nilai TMAS) tidak cemas
b) Score TMAS 22-25(50 % nilai TMAS) cemas ringan
c) Score TMAS 26-.38(51 %-75 % nilai TMAS) cemas sedang
d) Score TMAS 39-50(> 75 %-100 % nilai TMAS) cemas berat (Stuart,
dan Sunden, 1998).
6. Insomnia Rating Scale
Alat ukur untuk insomnia adalah Insomnia Rating Scale yang telah
dibakukan oleh KSBJ(Kelompok Studi Psikiatri Biologi Jakarta). Insomnia
Rating Scale terdiri atas 8 keluhan insomnia yang dianggap cukup untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
mewakili semua keluhan insomnia(Yul Iskandar,1985). Derajat insomnia
menurut KSPBJ adalah
a) No Insomnia < 8
b) Mild Insomnia 8-12
c) Moderate Insomnia 13-18
d) Severe Insomnia >18 (Yul Iskandar, 1985)
7. Hubungan Kecemasan dengan Insomnia pada Mahasiswa Pendidikan
Dokter Universitas Sebelas Maret
Salah satu keluhan yang sering didengar adalah insomnia
(Maramis, 2009) dan hasil meta-analisis menemukan bahwa sekitar 17 %
orang pernah mengalami kecemasan (Sadock, 2010). Suatu periode singkat
insomnia paling sering disebabkan oleh kecemasan. Insomnia terjadi karena
gejala sisa suatu pengalaman yang mencetuskan kecemasan (Sadock, 2010),
sedangkan ada juga yang menyebutkan bahwa gejala awal sindrom
kecemasan dapat dikenali dengan memperhatikan keluhan psikis dan
somatis. Gejala somatis kecemasan adalah initial insomnia atau gangguan
masuk tidur (Mudjadid, 2007). Sekitar dua pertiga individu penderita
kecemasan menyeluruh adalah perempuan, baik dalam sampel klinis
maupun dalam epidemiologi (Barlow dan Durand, 2006).
Perilaku coping adaptif yang efektif akan mencegah timbulnya
kecemasan. Semua kecemasan dikaitkan dengan perasaan cemas, dan
berbagai reaksi stres psikologis, misalnya takikardi, hipertensi, mual, sulit
nafas, dan insomnia (Pinel, 2009). Penelitian tahun 1998 pada mahasiswa
pendidikan dokter didapatkan angka kejadian insomnia sekitar 30 %. Dan,
penelitian tahun 2005 diketahui tidak ada perbedaan signifikan angka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
kejadian insomnia pada mahasiswa dan mahasiswi pendidikan dokter
Universitas Sebelas Maret (Hatmitasari, 2005).
Orang yang mengalami stresor psikososial tidak semua mengalami
kecemasan. Orang dengan kepribadian pencemas (vulnerable) lebih rentan
atau lebih berisiko untuk mengalami kecemasan. Perkembangan
kepribadian dimulai sejak bayi hingga usia 18 tahun dan tergantung dari
psiko-edukatif dari orang tua di rumah, pendidikan di sekolah, pengaruh
pergaulan sosial, serta pengalaman hidup. Seorang menjadi pencemas lebih
dipengaruhi oleh proses imitasi dan identifikasi dirinya terhadap orang
tuanya, daripada pengaruh keturunan. Seseorang dapat mengalami
kecemasan ketika mendapat stresor psikososial ataupun bahkan tanpa
stresor psikososial juga dapat menunjukkan manifestasi kecemasan
(Hawari, 2008).
Tipe kepribadian pencemas adalah
a. Cemas, khawatir, bimbang, ragu, dan tidak tenang
b. Memandang masa depan dengan rasa khawatir
c. Kurang percaya diri, atau gugup apabila tampil di muka umum
d. Tidak mudah mengalah, atau suka “ngotot”
e. Gerakan sering serba salah, tidak tenang bila duduk, dan gelisah
f. Sering mengeluh ini, itu dan khawatir berlebihan tentang
penyakit
g. Mudah tersinggung, membesar-besarkan masalah yang kecil
(mendramatisasi)
h. Sering diliputi rasa bimbang atau ragu dalam mengambil
keputusan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
i. Mengemukakan sesusatu atau pendapat sering diulang-ulang
j. Jika emosi sering bertindak histeris (Hawari, 2008)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
B. Kerangka Pemikiran
Tidak ada inhibisi nuclei pengaktivasi retikular
Inaktivasi pusat tidur “formasio retikularis:
Umpan balik +
Umpan balik +
siaga
menghilang
aktivasi pusat tidur
*REM beta -paradoksikal1 -desinkronisasi2
* Tahap NREM 1, 2 ,3, dan 4
Gelombang delta interaksi
retikulotalamus dan sumber
piramidokortikal
Internal eksternal
Insomnia
Lingkungan Lifestyle
Obat-obatan Efek Putus
Muramil peptida3 Nonapeptida4
*Standar nilai B untuk BLOK, field lab, dan skill lab *Waktu kuliah singkat
Psikologis: *Perilaku –Kognitif: Kesalahan pemrosesan informasi tanda bahaya *Psikoanalitik Gejala konflik yang tidak disadari dan tidak terselesaikan System
saraf perifer
Rangsang korteks serebri
Abnormalitas agonis reseptor serotonin 5HT-1A
Hambat pembentukan serotonin
Kecemasan
Respon ansietas sistem saraf pusat
Manifestasi perifer
Saraf otonom
Varian polimorfik:lebih sedikit transporter serotonin
neuroanatomis
Meningkat jaras aktivitas septohipokampus
?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Keterangan
---- Tidak diteliti
___ Diteliti
1. bersifat paradoks, seseorang dapat tertidur walaupun aktivitas
otaknya meningkat. Hal ini terjadi karena aktivitas otak tidak
disalurkan ke tempat yang membuat orang tersebut terjaga
2. pola gelombang yang tidak teratur dengan frekuensi tinggi
menunjukkan adanya desinkronisasi seperti pada keadaan aktif dan
terbangun. Tidur REM sering disebut tidur desinkonisasi karena
tidak ada letupan neuron meskipun aktivitas otak jelas.
3. subtansi yang menumpik di cairan cerebrospinal dan urin dari
hewan uji yang terjaga. Bila substansi pencetus tidur ini
disuntikkan akn menyebabkan tidur dalam beberapa jam
4. substansi yang diisolasi dari darah hewan uji yang tidur berefek
serupa dengan muramil peptida
C. Hipotesis
Ada hubungan positif antara tingkat kecemasan dengan
insomnia pada mahasiswa pendidikan dokter Universitas Sebelas Maret
Surakarta.xb
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini akan menggunakan cara penelitian deskriptif analitik
dengan pendekatan cross sectional (Nursalam, 2008).
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret Surakarta (FK UNS) pada bulan Maret hingga April 2011.
C. Populasi Penelitian
Populasi target penelitian adalah Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret Surakarta angkatan 2008 (208 mahasiswa), angkatan 2009
(213 mahasiswa), dan angkatan 2010 (207 mahasiswa). Jumlah total
populasi penelitian adalah 628 mahasiswa.
D. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret Surakarta angkatan 2008, 2009, dan 2010 dengan
kriteria, yaitu :
1. Kriteria Inklusi
a. Mahasiswa bersedia menjadi responden penelitian
b. Aktif dalam perkuliahan minimal 3 bulan berturut-turut (Januari-
Maret 2011)
c. Jenis kelamin laki-laki dan perempuan
d. Score L-MMPI < 10
31
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
32
2. Kriteria Eksklusi
a. Menderita penyakit berat atau gangguan jiwa berat
b. Mengalami kecelakaan atau kematian anggota keluarga ≤ 3 bulan
Penentuan besar sampel menurut rumus Slovin sebagai berikut :
N
1+Nε2
= 628
1+628(0,05)2
= 244,36(244 pembulatan)
n = ukuran sampel N = Ukuran populasi
ε = Tingkat kekeliruan pengambilan sampel yang dapat ditoleransi
E. Teknik Pengambilan Sampel
Total sampling, yaitu seluruh mahasiswa preklinik Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta preklinik.
F. Identifikasi Variabel
1. Variabel Bebas
Tingkat kecemasan (cemas dan tidak cemas)
2. Variabel Terikat
Kecenderungan insomnia (insomnia dan tidak insomnia)
3. Variabel luar
a. Faktor intrinsik:
Penyakit medis, gangguan psikologis, genetik (kecenderungan genetik),
dan irama biologis
b. Faktor ekstrinsik.
Kondisi kamar, penerangan, suhu lingkungan, rutinitas harian, dan
kebiasaan
n =
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
33
G. Definisi Operasional Variabel
1. Variabel bebas adalah tingkat kecemasan dari skor TMAS responden.
Alat ukur adalah TMAS. Cut-off-point score TMAS adalah > 21 berarti
cemas, dan score T-MAS ≤ 21 dinyatakan tidak cemas (Azwar, 2009).
Klasifikasi tidak cemas (tidak cemas dan cemas ringan, yaitu skor TMAS
0-25) dan cemas (cemas sedang dan berat, yaitu skor TMAS 26-50). Pada
kasus cemas ringan tidak diperlukan penanganan dan pada cemas sedang
dan berat perlu penanganan. Cemas ringan masih merupakan keadaan
wajar dan situasional. Skala ukur variabel nominal
2. Variabel terikat atau variabel dependen adalah kecenderungan insomnia.
Alat ukur adalah IRS. Kecenderungan insomnia diklasifikasikan
sebagai berikut, yaitu insomnia (insomnia moderate dan severe, yaitu skor
IRS 13-24) dan tidak insomnia (tidak insomnia dan insomnia mild, yaitu
skor IRS 0-12) diukur dengan kuesioner Insomnia Rating Scale, dan skala
ukur variabel nominal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
34
H. Rancangan Penelitian
I. Instrumen Penelitian
1. Data mahasiswa pendidikan dokter berisi Nomor Induk Mahasiswa dan
nama mahasiswa pada tiap angkatan 2008, 2009, dan 2010.
2. Kuesioner L-MMPI
3. Kuesioner TMAS
4. Kuesioner Insomnia Rating Scale
J. Cara Kerja
1. Meminta izin penelitian
2. Mendatangi dan mencari mahasiswa pendidikan dokter Universitas
Sebelas Maret yang bersedia menjadi responden dan memenuhi kriteria,
baik kriteria inklusi maupun kriteria eklusi, angkatan 2008 hingga 2010.
Mahasiswa Pendidikan Dokter Universitas Sebelas Maret Angkatan Tahun 2008 hingga 2010
Kuesioner L-MMPI
Score L-MMPI ≥10 Score L-MMPI < 10
Gugur Biodata, dan Informed Consent
Analisis Data
Kuesioner TMAS, dan Kuesioner Insomnia Rating Scale
Gugur
Tidak menjawab soal essay 1a atau 2a
Menjawab “ya” soal essay 1b atau 2b
Biodata Mahasiswa FK UNS preklinik
Hitung skor dan klasifikasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
35
3. Responden mengisi kuesioner L-MMPI untuk mengetahui angka
kebohongan sampel. Responden yang menjawab “tidak” maka diberi nilai
1. Responden yang memiliki score L-MMPI ≥ 10, maka responden
dinyatakan invalid dan dikeluarkan dari sampel penelitian. Kemudian,
responden yang memiliki score L-MMPI < 10 dinyatakan valid dan berhak
menjadi sampel penelitian.
4. Kemudian responden mengisi formulir biodata dan informed consent.
Responden yang menjawab “ya” untuk soal isian 1a, 1b, 2a, dan 2b
dinyatakan gugur. Juga, bila responden tidak mengisi soal isian 1 dan 2,
maka responden dinyatakan gugur. Dan, bila jawaban “ya” hanya untuk
normor 1a atau 2a namun jawaban 1b atau 2b “tidak”, maka sampel
diperbolehkan mengisi kuesioner TMAS dan kuesiner IRS.
5. Dilakukan total sampling pada semua jawaban responden yang lulus uji
screening (skor L-MMPI< 10, dan kriteria inklusi juga ekslusi dalam soal
formulir biodata)
6. Kuesioner TMAS dan Insomnia Rating Scale. TMAS digunakan untuk
mengetahui score kecemasan, dan berisi 50 pertanyaan dengan format
yang dibentuk berupa pernyataan “Ya” atau “Tidak”. Kuesioner Insomnia
Rating Scale sebagai alat ukur untuk mengetahui score insomnia pada
mahasiswa.
7. Klasifikasi tidak cemas, yaitu skor TMAS 0-25 (tidak cemas dan cemas
ringan); cemas, yaitu skor TMAS 26-50 (cemas sedang dan cemas berat).
Klasifikasi tidak insomnia, yaitu skor IRS 0-12 (tidak insomnia dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
36
insomnia mild) dan insomnia, yaitu skor IRS 13-24 (insomnia moderate
dan insomnia severe)
8. Uji normalitas distribusi data skor TMAS dan IRS. Bila distribusi data
normal analisis data dengan product moment pearson coefficient
correlation karena memenuhi syarat uji korelasi parametrik. Bila
distrisbusi data tidak normal bahkan setelah transformasi maka digunakan
uji korelasi nonparametrik. Data yang diuji diubah dalam bentuk kualitatif
atau kategorik (cemas, tidak cemas, insomnia, dan tidak insomnia) lalu
diuji dengan uji korelatif nonparametrik koefisien kontingensi.
9. Analisis hasil statistik penelitian dan bandingkan dengan hasil penelitian
lain.
K. Teknik Analisis Data
Analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui hubungan antara dua
variabel (bivariate correlation). Menentukan seberapa besar hubungan
antarvariabel dengan koefisien korelasi atau indeks korelasi antarvariabel
(Dahlan,2009). Langkah untuk menentukan uji hipotesis, yaitu menentukan
variabel yang akan dihubungkan, menentukan jenis hipotesis (komparatif
atau korelatif), dan menentukan masalah skala variabel (numerik atau
kategorik). Uji korelatif kategorik (nominal) terdapat dua pilihan uji, yaitu uji
korelasi koefisiensi kontingensi dan lambda. Pemilihan uji korelasi Lambda
karena kedudukan variabel tidak setara, di mana ada variabel bebas dan
variabel terikat. Penelitian ini tidak mengklasifikasikan dua variabel tingkat
kecemasan dan kecenderungan insomnia sebagai variabel terikat ataupun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
37
variabel bebas. Oleh karena itu, teknik korelasi koefisien kontingensi yang
dipilih sebagai uji korelatif (Dahlan, 2009).
Teknik korelasi koefisien kontingensi digunakan pada dua variabel
yang dikorelasikan berbentuk kategori (dua atau lebih) atau merupakan
gejala ordinal. Besarnya koefisien kontingensi dapat dilihat di kolom value
dan besarnya probabilitas lebih kecil 0,05 berarti Ho ditolak dengan
simpulan ada hubungan antar variabel. Besarnya probabilitas lebih besar dari
0,05 berarti Ho diterima dan H1 ditolak, berarti tidak ada hubungan
antarvariabel (Hartono,2009). Nilai koefisien kontingensi (C) berkisar antara
0 hingga 1. Jika nilai C = 0, tidak ada keterkaitan antara variabel bebas dan
terikat. Jika nilai C = 1, terdapat keterkaitan yang sangat kuat antardua
variabel. Dan, jika C > 0,5 terdapat keterkaitan cukup kuat antara keduanya.
Serta, jika C < 0,5 terdapat keterkaitan antara keduanya namun keterkaitan
tersebut lemah (Dahlan, 2005). Koefisien kontingensi C dapat diperoleh
dengan rumus :
C = √ X2 (Riwidikdo, 2008) X2+N C = koefisien kontingensi X2 = Chi Square
N = total banyak sampel
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Penelitian
Penelitian berjudul hubungan tingkat kecemasan dan insomnia
pada mahasiswa pendidikan dokter Universitas Sebelas Maret Surakarta
dengan pendekatan cross sectional melalui uji kuesioner diberikan
langsung kepada mahasiswa preklinik angkatan 2008 hingga 2010.
Teknik pengambilan sampel, yaitu dengan total sampling terhadap 628
mahasiswa preklinik pendidikan dokter. Gambaran mahasiswa
pendidikan dokter Universitas Sebelas Maret tahun 2011 sebagai berikut,
yaitu :
Tabel 1. Deskripsi Populasi Sumber Responden Penelitian Berdasar Jumlah
Variabel N(orang) Persentase (%)
Jumlah populasi awal 644 100
Mahasiswa pindah 16 2,48
Jumlah mahasiswa aktif 628 97,52
Sumber: Data Primer Bulan Maret-April 2011
Berdasar tabel 1, diketahui jumlah mahasiswa yang aktif kuliah
tahun 2011 ada 628 mahasiswa. Mahasiswa yang pindah memiliki
beberapa alasan, yaitu masuk STAN, AKMIL, atau tanpa alasan yang
jelas. Jumlah mahasiswa angkatan 2008 yang pindah ada 13 orang, dan 1
mahasiswa yang pindah angkatan 2010, dan 2 mahasiswa yang pindah
pada angkatan 2009. Jumlah subjek yang gugur ada 267 orang sekitar
42,52% dari populasi sampel dapat dilihat pada tabel 2.
38
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
39
Tabel 2. Deskripsi Populasi Sumber Responden Penelitian yang Gugur
Variabel I(2008) II(2009) III(2010) Jumlah
Sampel 115 130 116 361(57,48%)
Gugur 93 83 91 267(42,52%)
Populasi awal 208 213 207 628(100%)
B. Hasil Penelitian
Penulis memperoleh 361 sampel. Dan, ada 267 orang tidak
memenuhi kriteria inklusi-eksklusi, yaitu screening tes (tidak mengisi atau
menjawab “ya” lembar soal essay berisi pernyataan menderita penyakit
berat atau menahun, mengalami kejadian trauma, seperti kecelakaan atau
kematian anggota keluarga ≤ 3 bulan), dan skor L-MMPI > 10.
1. Deskripsi karakteristik subjek penelitian
Berdasar hasil penelitian, deskripsi subjek penelitian menurut jenis kelamin,
umur, skor TMAS, skor IRS, klasifikasi cemas, dan klasifikasi insomnia :
Tabel 3.Data Demografi Subyek Penelitian
No Uraian I(2008) II(2009) III(2010)
1 Jumlah Laki-laki 38 42 48
Jumlah Perempuan 77 88 68
2 Rata-rata Umur (Th) 20,56±1,04 19,36±0,77 18,29±0,78
3 Rata-rata Skor TMAS 20,99± 6.16 20,69±7,48 23,46±8,29
4 Rata-rata Skor IRS 7,79±3,07 8,84±2,86 8,07±3,26
5 Rata-rata klasifikasi cemas 1,81±0,39 1,28±0,45 1,36±0,48
6 Rata-rata klasifikasi insomnia 1,05±0,22 1,09±0,29 1,08±0,27
Sumber Output SPSS 16.0 for Windows (Lampiran 6)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
40
Rerata skor TMAS tertinggi pada angkatan 2010, dan rerata skor IRS
tertinggi pada angkatan 2009. Rerata klasifikasi cemas tertinggi pada
angkatan 2008, dan rerata klasifikasi insomnia hampir sama pada tiap
angkatan.
2. Hasil skor kecemasan dan insomnia pada subjek penelitian
Data hasil olah data dapat diketahui distribusi subjek penelitian
berdasar klasifikasi cemas dalam tabel berikut :
Tabel 4.Distribusi Subjek Penelitian Menurut Klasifikasi Kecemasan
Uraian I(2008) II(2009) III(2010) Total(%)
Cemas 33 36 42 111(52,63%)
Tidak cemas 82 94 74 250(47,37%)
Jumlah 115 130 116 361(100%)
Hasil penelitian menunjukkan bahawa terdapat 190 subjek yang
mengalami kecemasan atau sekitar 52,63 % dari total sampel. Dari tabel
juga dapat dilihat bahwa jumlah subjek yang mengalami kecemasan pada
kelompok II lebih banyak daripada kelompok I dan III. Perbandingan
jumlah kecemasan kelompok I, II, III, yaitu 1:5:4.
Tabel 5.Distribusi Subjek Penelitian Menurut Klasifikasi Insomnia
Uraian I(2008) II(2009) III(2010) Total(%)
Insomnia 6 12 9 27(7,48%)
Tidak insomnia 109 118 107 334(92,52%)
Jumlah 115 130 116 361(100%)
Berdasar hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa 346 subjek tidak
mengalami insomnia (skor IRS 0-12). Subjek yang mengalami insomnia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
41
(skor IRS 13-24) berjumlah 9 orang (4,15 %). Jika dilihat dari perbandingan
jumlah subjek insomnia, maka subjek kelompok I dan III saja yang
mengalami insomnia.
C. Analisis data
1. Distribusi mahasiswa preklinik berdasar klasifikasi kecemasan
Tabel 6. Distribusi Data Demografi dengan Kecemasan
Uraian Nominal Presentase(%)
Tidak cemas 250 69,25
Cemas 111 30,75
Jumlah 361 100
Sumber : Output SPSS 16.0 for Windows (Lampiran)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 111 subjek yang
mengalami kecemasan (skor TMAS > 25) atau sekitar 30,75 % dari total
sampel. Dari tabel dapat dilihat bahwa subjek yang mengalami
kecemasan lebih sedkit daripada yang tidak mengalami kecdmasan.
2. Distribusi mahasiswa preklinik berdasar klasifikasi insomnia
Tabel 7. Distribusi Data Insomnia pada Mahasiswa Preklinik
Uraian Nominal Presentase(%)
Tidak Insomnia 334 92,52
Insomnia 27 7,48
Jumlah 361 100
Sumber : Output SPSS 16.0 for Windows (Lampiran)
Berdasar hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa 92,52 %
subjek tidak mengalami insomnia (skor IRS 0-12). Subjek yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
42
mengalami insomnia hanya sedikit 27 orang atau sekitar 7,48 % dari total
sampel.
3. Distribusi kecemasan dan insomnia berdasar tingkatannya
Tabel 8. Data Responden Insomnia dengan Berbagai Derajat Kecemasan
Uraian Tidak cemas Cemas ringan Sedang Berat Total
Tidak Insomnia 121 42 47 4 214
Insomnia Mild 50 19 47 4 120
Moderate 11 6 8 1 26
Severe 0 1 0 0 1
Total 182 68 102 9 361
Sumber: Data Primer Bulan Maret-April 2011
Berdasar tabel diketahui bahwa ada 86 orang yang mengalami
cemas dan insomnia (skor TMAS ≥ 22 dan IRS ≥ 8) atau sekitar 23,83 %,
sedangkan yang tidak cemas juga tidak insomnia (skor TMAS < 22 dan IRS
< 8) ada 121 orang atau sekitar 33,52 %. Tabel tersebut juga menunjukkan
bahwa mahasiswa yang tidak cemas (skor TMAS < 22) dengan berbagai
tingkat insomnia ada 182 orang atau sekitar 55,41 %. Tabel tersebut
sekaligus menunjukkan hanya ada 1 orang yang mengalami insomnia severe
dan ada 9 orang yang mengalami kecemasan berat. Jenis insomnia yang
banyak ditemukan dalam penelitian adalah insomnia mild 120 orang atau
sekitar 33,24 %. Dan juga, di antara mahasiswa yang cemas tingkat
kecemasan yang terbanyak ditemukan adalah kecemasan sedang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
43
4. Uji hipotesis tes koefisen kontigensi dan uji Chi Square kecemasan dan insomnia mahasiswa FK UNS preklinik
Tabel 9. Perhitungan Analisis Statistik Klasifikasi Insomnia Jumlah
Cemas +(insomnia) -(tidak insomnia)
+(cemas) 9(A) 102(B) 111
-(tidak cemas) 18(C) 232(D) 250
Jumlah 27 334 361
A=Cemas(+)Insomnia(+) B=Cemas(+)Insomnia(-)
C=Cemas(-)Insomnia(+) D=Cemas(-)Insomnia(-)
Hasil di atas menunjukkan jumlah orang yang tidak cemas lebih
banyak daripada yang cemas, begitu juga dengan jumlah orang yang
insomnia lebih sedikit daripada orang yang tidak insomnia.
Uji Chi Square N(AD-BC)2
(A+B)(C+D)(A+C)(B+D)
= 361(9X232-102X18)2
(9+102)(18+232)(9+18)(102+232)
= 0,0916
Uji Coefficient Contingency √ X2
X2 +N
= √0.0916
0,0916+361
= 0.0016
X2 =
C =
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
44
N = Total banyaknya sampel C = koefisien kontingensi
X2 = Chi Square hasil perhitungan
Berdasar taraf signifikansi 5% maupun 1% dengan derajat
kebebasan(df) 1, maka nilai X2 hitung < X2 tabel, maka Ho diterima dan
H1 ditolak berarti tidak ada perbedaan yang signfikan kecenderungan
insomnia dengan tingkat kecemasan. Dan, nilai koefisien kontingensi (C)
yang sangat kecil 0,016 menunjukkan tidak adanya keeratan antara
kecenderungan insomnia dengan kecemasan.
Nilai Oods Rasio, yaitu :
OR = aXd = 9X232 = 1,07 bXc 102X18 a: cemas dan insomnia(A) b: tidak cemas dan insomnia(C) c: cemas dan tidak insomnia(B) d: tidak cemas dan tidak insomnia(D)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB V
PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 361 orang yang terdiri atas
mahasiswa preklinik pendidikan dokter UNS dari angkatan tahun 2008 hingga
2010. Sampel diambil dengan menggunakan teknik total sampling setelah
diseleksi berdasar kriteria inklusi dan kriteria ekslusi tertentu melalui screening
test, dan tes L-MMPI. Berdasar penelitian terhadap sampel tersebut didapatkan
data subjek menurut jenis kelamin, umur, klasifikasi cemas, dan klasifikasi
insomnia.
A. Deskripsi Data Subjek Penelitian
1. Jenis kelamin
Subjek penelitian berdasar jenis kelamin yang jumlahnya tidak
disamakan antara ketiga kelompok, terdiri atas 234 sampel perempuan dan
127 sampel laki-laki. Dari tabel diketahui bahwa jumlah sampel
perempuan selalu lebih banyak dibanding jumlah sampel laki-laki pada
tiap angkatan, hal ini terjadi karena jumlah perempuan di program studi
pendidikan dokter UNS didominasi oleh perempuan.
2. Umur
Mahasiswa pendidikan dokter UNS angkatan tahun 2008 memiliki
rata-rata usia 20 tahun, angkatan tahun 2009 rata-rata usianya 19 tahun,
dan angkatan tahun 2010 rata-rata usianya 18 tahun. Usia rata-rata
mahasiswa termasuk dalam kriteria dewasa muda.
45
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
B. Analisis Hubungan Tingkat Kecemasan dengan Insomnia pada
Mahasiswa Pendidikan Dokter Universitas Sebelas Maret Surakarta
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara
kecemasan dengan insomnia pada mahasiswa pendidikan dokter UNS
Surakarta. Nilai Odds Rasio yang sama dengan satu menunjukkan bahwa bila
seseorang tersebut cemas maka risiko terjadi insomnia sama dengan pada
orang yang tidak cemas. Pengalaman hidup (life experiences) di lingkungan
dengan tingkat stres yang tinggi menyebabkan individu menjadi mudah cemas
(Fricchione, 2004). Kecemasan bisa berupa perasaan gelisah yang bersifat
subjektif, sejumlah perilaku (tampak khawatir dan gelisah), atau respon
fisiologis yang bersumber di otak dan tercermin dalam bentuk denyut jantung
yang meningkat dan otot yang tegang (Barlow dan Durand, 2006).
Secara teoritis, diketahui bahwa suatu periode singkat insomnia paling
sering disebabkan oleh kecemasan yang merupakan gejala sisa suatu
pengalaman yang mencetuskan kecemasan dan respon asosiatif, seperti ujian
yang akan berlangsung (Sadock, 2010). Namun secara empiris yang
ditemukan dalam penelitian ini, diketahui bahwa jumlah mahasiswa yang
cemas tidak selalu disertai dengan insomnia, bahkan mahasiswa yang tidak
cemas bisa saja mengalami insomnia tersebut secara tunggal dan jumlahnya
lebih banyak daripada mahasiswa yang mengalami cemas dan insomnia secara
bersamaan. Padahal menurut teori, insomnia yang dialami oleh orang yang
cemas adalah sulit masuk tidur, mimpi yang menakutkan, sering terkejut saat
bangun, dan tidur tidak nyenyak (Maramis, 2005). Dalam penelitian ini, teori
ini tidak terbukti.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Dalam penelitian, diketahui bahwa orang yang cemas tidak menjadikan
ia mengalami peningkatan risiko untuk menderita insomnia juga. Mungkin
saja, responden tidak jujur dalam menjawab kuesioner dan adanya ambigu
tentang pemakaian istilah insomnia. Pemakaian istilah insomnia sangatlah
longgar dipakai dalam menerangkan gangguan tidur. Gejala insomnia baru
diketahui setelah diadakan anamnesis yang lebih rinci. Terjadinya insomnia
merupakan sindrom gangguan tidur pada kecemasan (Nasution, 2007). Gejala
awal sindrom kecemasan dapat dikenali dengan memerhatikan keluhan
somatis pasien kecemasan, yaitu gangguan masuk tidur (Mudjaddid, 2007).
Sedangkan, menurut Sadock tahun 2010 menyatakan bahwa suatu periode
singkat insomnia paling sering disebabkan kecemasan yang merupakan gejala
sisa suatu pengalaman yang mencetuskan kecemasan dan respon asosiatif,
seperti ujian yang akan berlangsung (Sadock, 2010).
Teori di atas menunjukkan adanya hubungan antara kecemasan dan
insomnia secara umum namun dalam penelitian ini, penulis menemukan nilai
Odds Rasio sama dengan satu menunjukkan tidak adanya risiko relatif. Nilai
Odds Rasio ini menunjukkan bila seseorang mengalami kecemasan maka
angka kejadian atau risiko terjadi insomnia sama saja pada semua keadaan. Di
samping itu, subjek penelitian ini tidak mengalami gangguan kecemasan
walaupun skor TMAS-nya cukup tinggi. Hal ini terjadi karena adanya faktor
lain ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya kecemasan, ataupun
insomnia pada remaja ataupun responden kurang jeli membaca kuesioner atau
tidak jujur dalam menjawab kuesioner. Pengisian kuesioner diisi langsung
oleh responden dengan self inventory, sehingga bisa saja responden berbohong
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
atau kurang teliti membaca kuesioner. Jumlah sampel yang tidak disamakan
jumlahnya pada masing-masing angkatan juga bisa menjadi kendala dalam
membandingkan faktor risiko terjadinya insomnia pada orang yang cemas.
Penulis menggunakan perbandingan jumlah dari masing-masing angkatan
untuk menentukan jumlah sampel minimal. Selain itu, terjadinya kecemasan
juga dipengaruhi oleh faktor-faktor, yaitu :
1) Faktor biologis: kerentanan yang diturunkan untuk mengalami
kecemasan dan aktivitas sirkuit–sirkuit otak, neurotransmitter, dan
sistem neurohormonal tertentu (Barlow dan Durand, 2006). Faktor
keturunan: orang tua yang menderita gangguan neurotik cenderung
mewariskan sifat tersebut yang nantinya menghambat perkembangan
kepribadian anak (Maramis, 2005 dan Fricchione, 2004).
2) Faktor perilaku: perilaku menghindar terhadap berbagai situasi.
3) Faktor emosional kognitif : sensitivitas meningkat terhadap situasi atau
orang-orang yang dipersepsikan sebagai ancaman (Barlow dan Durand,
2006).
4) Pengalaman hidup (life experiences) di lingkungan dengan tingkat stres
yang tinggi menyebabkan individu menjadi mudah cemas, misal
kekerasan, kejahatan, kemiskinan, hinaan, dan stres (Fricchione, 2004).
5) Obat-obatan: obat simpatomimetik, seperti amfetamin, kokain, dan
kafein juga obat serotonergik (LSD, MDMA), kortikosteroid, gingseng,
rokok, dan alkohol dapat menyebabkan sindrom kecemasan akut
maupun kronis (Sadock, 1997).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
6) Keadaan medis: Gangguan kecemasan yang disebabkan oleh keadaan
medis biasanya dialami pada usia 35 tahun (Frechione, 2004).
Gangguan yang sering disertai kecemasan adalah gangguan neurologis,
gangguan endokrin, gangguan kardiovaskuler, defisiensi vitamin B12,
hipoglikemi, dan depresi (Sadock, 1997).
7) Pasca kejadian trauma: perpisahan selama masa anak-anak dapat
mempengaruhi sistem saraf yang sedang berkambang sehingga anak
rentan terhadap kecemasan pada masa dewasanya, misal kejadian
kematian, maupun riwayat perpisahan orang tua. Kejadian traumatik
lain, seperti bencana alam, peperangan, dan kecelakaan dapat
menyebabkan stres dan gejala kecemasan (Sadock, 1997 dan Yehuda,
2002).
8) Faktor sosial: dukungan sosial mengurangi reaksi fisik dan emosional
terhadap pemicu kecemasan atau stres. Kurangnya dukungan sosial
mengintensifkan gejala (Barlow dan Durand, 2006).
9) Faktor-faktor psikologis: kegelisahan, ketakutan, perasaan bersalah, dan
perasaan cemas atau stres sebagai antisipasi terhadap peristiwa-
peristiwa yang akan datang .(Semiun, 2010a).
Mungkin faktor-faktor tersebut memengaruhi lebih banyak untuk
mencetuskan adanya kecemasan, baik secara bersama-sama ataupun tidak
bersamaan dengan munculnya insomnia. Oleh karena itu, hasil penelitian
menunjukkan tidak adanya keeratan insomnia dan kecemasan pada mahasiswa
pendidikan dokter UNS Surakarta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
C. Keterbatasan Penelitian
1. Tidak dapat menggambarkan perjalanan penyakit, insiden, maupun
prognosis (Sastroasmoro, 2008). Hal ini dikarenakan penilaian cemas dan
insomnia dilakukan dalam satu waktu. Juga, data penelitian hanya
diperoleh melalui self inventory yang bisa saja responden tidak menjawab
dengan jujur. Baiknya, juga ada data penelitian berupa hasil anamnesis dan
rekam medis yang mneguatkan data penelitian.
2. Beberapa faktor lain yang juga memengaruhi terjadinya insomnia yang
tidak dikendalikan oleh penulis, yaitu tingkat IQ, EQ, dan SQ, faktor
genetik atau kecenderungan genetik, faktor lingkungan, obat-obatan yang
dikonsumsi, tipe kepribadian, gaya hidup (konsumsi makanan, olah raga,
dan kebiasaan hidup), dan tingkat sosial ekonomi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat kecemasan dengan
insomnia pada mahasiswa pendidikan dokter Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
B. SARAN
1. Penelitian lebih lanjut dilakukan dengan pemeriksaan gangguan
kecemasan bukan tingkat kecemasan sehingga diperoleh gambaran
perjalanan gangguan kecemasan ataupun status mental orang tersebut.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan teknik anamnesis melalui
wawancara yang mendalam terhadap pasien gangguan cemas atau
insomnia. Juga, penilaian terhadap status kesehatan pasien dengan buku
catatan harian jadwal bangun tidur.
3. Melakukan pemeriksaan dan pendataan lengkap responden atau pasien
secara holistik dan komprehensif.