cedera kepala.CKS.#, HNP

Post on 29-Jun-2015

661 views 0 download

Transcript of cedera kepala.CKS.#, HNP

CEDERA KEPALA

A. PENGERTIAN

Cedera kepala adalah serangkainan kejadian patofisiologik

yang terjadi setelah trauma kepala ,yang dapat melibatkan kulit

kepala ,tulang dan jaringan otak atau kombinasinya (Standar

Pelayanan Mendis ,RS DR Sardjito)

Cendera kepala merupakan salah satu penyebab kematian

dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian

besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas .(Mansjoer Arif ,dkk ,2000)

B. ETIOLOGI

1. Kecelakaan lalu lintas

2 Kecelakaan kerja

3. Trauma pada olah raga

4. Kejatuhan benda

5. Luka tembak

C. KLASIFIKASI

Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringannya

gejala yang muncul setelah cedera kepala. Ada beberapa klasifikasi

yang dipakai dalam menentukan derajat cedera kepaka. Cedera

kepala diklasifikasikan dalam berbagi aspek ,secara praktis dikenal 3

deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan

1. Mekanisme Cedera kepala

Berdasarkan mekanisme, cedera kepala dibagi atas cedera kepala

tumpul dan cedera kepala tembus. Cedera kepala tumpul biasanya

berkaitan dengan kecelakaan mobil-motor, jatuh atau pukulan

benda tumpul. Cedera kepala tembus disebabkan oleh peluru atau

tusukan. Adanya penetrasi selaput durameter menentukan apakah

suatu cedera termasuk cedera tembus atau cedera tumpul.

2. Beratnya Cedera

Glascow coma scale ( GCS) digunakan untuk menilai secara

kuantitatif kelainan neurologis dan dipakai secara umum dalam

deskripsi beratnya penderita cedera kepala

a. Cedera Kepala Ringan (CKR).

GCS 13– 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran ( pingsan )

kurang dari 30 menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak

ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusio cerebral maupun

hematoma

b. Cedera Kepala Sedang ( CKS)

GCS 9 –12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd

lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.

Dapat mengalami fraktur tengkorak.

c. Cedera Kepala Berat (CKB)

GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran

dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami

kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intracranial.

Skala Koma Glasgow

No RESPON NILAI

1 Membuka Mata :

Spontan

Terhadap rangsangan suara

Terhadap nyeri

Tidak ada

4

3

2

1

2 Verbal :

Orientasi baik

Orientasi terganggu

Kata-kata tidak jelas

Suara tidak jelas

Tidak ada respon

5

4

3

2

1

3 Motorik :

Mampu bergerak

Melokalisasi nyeri

Fleksi menarik

Fleksi abnormal

Ekstensi

Tidak ada respon

6

5

4

3

2

1

Total 3-15

3. Morfologi Cedera

Secara Morfologi cedera kepala dibagi atas :

a. Fraktur kranium

Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak,

dan dapat terbentuk garis atau bintang dan dapat pula terbuka

atau tertutup. Fraktur dasar tengkorak biasanya merupakan

pemeriksaan CT Scan untuk memperjelas garis frakturnya.

Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar tengkorak menjadikan

petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.

Tanda-tanda tersebut antara lain :

* Ekimosis periorbital ( Raccoon eye sign)

* Ekimosis retro aurikuler (Battle`sign )

* Kebocoran CSS ( rhonorrea, ottorhea) dan

* Parese nervus facialis ( N VII )

Sebagai patokan umum bila terdapat fraktur tulang yang

menekan ke dalam, lebih tebal dari tulang kalvaria, biasanya

memeerlukan tindakan pembedahan.

b. Lesi Intrakranial

Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi local dan lesi difus, walaupun

kedua jenis lesi sering terjadi bersamaan.

Termasuk lesi lesi local ;

Perdarahan Epidural

Perdarahan Subdural

Kontusio (perdarahan intra cerebral)

Cedera otak difus umumnya menunjukkan gambaran CT Scan

yang normal, namun keadaan klinis neurologis penderita sangat

buruk bahkan dapat dalam keadaan koma. Berdasarkan pada

dalamnya koma dan lamanya koma, maka cedera otak difus

dikelompokkan menurut kontusio ringan, kontusio klasik, dan

Cedera Aksona Difus ( CAD).

1) Perdarahan Epidural

Hematoma epidural terletak diantara dura dan

calvaria. Umumnya terjadi pada regon temporal atau

temporopariental akibat pecahnya arteri meningea media (

Sudiharto 1998). Manifestasi klinik berupa gangguan

kesadaran sebentar dan dengan bekas gejala (interval

lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan

kesadaran progresif disertai kelainan neurologist

unilateral. Kemudian gejala neurology timbul secara

progresif berupa pupil anisokor, hemiparese, papil edema

dan gejala herniasi transcentorial.

Perdarahan epidural difossa posterior dengan

perdarahan berasal dari sinus lateral, jika terjadi dioksiput

akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri kepala,

muntah ataksia serebral dan paresis nervi kranialis. Cirri

perdarahan epidural berbentuk bikonveks atau

menyerupai lensa cembung

2) Perdarahan subdural

Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada

perdarahan epidural( kira-kira 30 % dari cedera kepala

berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat robeknya vena-

vena jembatan yang terletak antara kortek cerebri dan

sinus venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat

terjadi juga akibat laserasi pembuluh arteri pada

permukaan otak. Perdarahan subdural biasanya menutupi

seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak

dibawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk

daripada perdarahan epidural.

3) Kontusio dan perdarahan intracerebral

Kontusio cerebral sangat sering terjadi di frontal dan lobus

temporal, walau terjadi juga pada setiap bagian otak,

termasuk batang otak dan cerebellum. Kontusio cerebri

dapat saja terjadi dalam waktu beberapa hari atau jam

mengalami evolusi membentuk perdarahan intracerebral.

Apabila lesi meluas dan terjadi penyimpangan neurologist

lebih lanjut

4) Cedera Difus

Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak

akibat akselerasi dan deselerasi, dan ini merupakan

bentuk yang lebih sering terjadi pada cedera kepala.

Komosio Cerebro ringan akibat cedera dimana kesadaran

tetap tidak terganggu, namun terjadi disfungsi neurologist

yang bersifat sementara dalam berbagai derajat. Cedera

ini sering terjadi, namun karena ringan sering kali tidak

diperhatikan, bentuk yang paling ringan dari kontusio ini

adalah keadaan bingung dan disorientasi tanpa amnesia

retrograd, amnesia integrad ( keadaan amnesia pada

peristiwa sebelum dan sesudah cedera) Komusio cedera

klasik adalah cedera yang mengakibatkan menurunya

atau hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai

dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia ini

merupakan ukuran beratnya cedera. Hilangnya kesadaran

biasanya berlangsung beberapa waktu lamanya dan

reversible. Dalam definisi klasik penderita ini akan sadar

kembali dalam waktu kurang dari 6 jam. Banyak penderita

dengan komosio cerebri klasik pulih kembali tanpa cacat

neurologist, namun pada beberapa penderita dapat timbul

deficit neurogis untuk beberapa waktu. Defisit neurologist

itu misalnya : kesulitan mengingat, pusing ,mual, amnesia

dan depresi serta gejala lainnya. Gejala-gejala ini dikenal

sebagai sindroma pasca komosio yang dapat cukup berat.

Cedera Aksonal difus ( Diffuse Axonal Injuri,DAI) adalah

dimana penderita mengalami coma pasca cedera yang

berlangsung lama dan tidak diakibatkan oleh suatu lesi

masa atau serangan iskemi. Biasanya penderita dalam

keadaan koma yang dalam dan tetap koma selama

beberapa waktu, penderita sering menunjukkan gejala

dekortikasi atau deserebasi dan bila pulih sering tetap

dalam keadaan cacat berat, itupun bila bertahan hidup.

Penderita sering menunjukkan gejala disfungsi otonom

seperti hipotensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan dulu

diduga akibat cedera batang otak primer.

D. PATOFISIOLOGI CEDERA KEPALA

Akibat dari trauma/ cedera kepala akan mengakibatkan fragmentasi

jaringan dan kontusio atau akan mengakibatkan cedera jaringan otak

sehingga menyebabkan sawar darah otak (SDO) rusak yang dapat

menyebabkan vasodilatasi dan eksudasi cairan sehingga timbul

edema. Edema menyebabkan peningkatan TIK ( Tekanan Intra Kranial

), yang pada gilirannya akan menurunkan aliran darah otak (ADO),

iskemia, hipoksia, asidosis ( penurunan PH dan peningkatan PCO2)

dan kerusakan sawar darah otak lebih lanjut. Siklus ini akan berlanjut

hingga terjadi kematian sel dan edema. Bila digambarkan adalah

sebagai berikut :

Trauma Kepala, Benturan, akselerasi, deselerasi

Cedera primer / langsung cedera skunder / tidak

langsung

------------------------------------------

Kerusakan saraf otak

Laserasi

ADO

Suplai nutrisi keotak

As. Laktat Perubahan metabolisme anaerob

produk ATP

Vasodilatasi cerebri

Hipoxia

Energi <

ADO

Edema jaringan otak

Fatig

Penekanan pembuluh darah

Dan jaringan cerebral Pe TIK Nyeri akut

-mual Gg. Persepsi sensori

Perfusi jaringan tidak efektif - muntah

Kerusakan memori

Gg. Pertukaran gas                 Nutrisi kurang

E. MANIFESTASI KLINIK

Manifestasi klinik dari cedera kepala tergantung dari berat ringannya

cedera kepala. Perubahan kesadaran adalah merupakan indicator

yang paling sensitive yang dapat dilihat

dengan penggunaan GCS ( Glascow Coma Scale) dan adanya

peningkatan tekanan TIK yang mempunyai trias Klasik seperti : nyeri

kepala karena regangan dura dan pembuluh darah; papil edema yang

disebabkan oleh tekanan dan pembengkakan diskus optikus; muntah

seringkali proyektil.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan laboratorium

2. X-Ray, foto tengkorak 3 posisi

3. CT scan

4. Foto cervical bila ada tanda-tanda fraktur cervical

5. Aeteriografi

G. KOMPLIKASI

a. Perdarahan intra cranial

- Epidural

- Subdural

- Sub arachnoid

- Intraventrikuler

Malformasi faskuler

- Fstula karotiko-kavernosa

- Fistula cairan cerebrospinal

- Epilepsi

- Parese saraf cranial

- Meningitis atau abses otak

- Sinrom pasca trauma

b. Tindakan :

- infeksi

- Perdarahan ulang

- Edema cerebri

- Pembengkakan otak

H. PENATALAKSANAAN

1. Tindakan terhadap peningkatan TIK

a. Pemantauan TIK dengan ketat.

b. Oksigenasi adekuat

c. Pemberian manitol

d. Penggunaan steroid

e. Peninggatan tempat tidur pada bagian kepala

f. Bedah neuro

2. Tindakan pendukung lain

a. Dukung ventilasi

b. Pencegahan kejang

c. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi.

d. Terapi antikonvulsan

e. CPZ untuk menenangkan pasien

f. NGT

I. PENATALAKSANAAN TRAUMA KEPALA YANG MEMERLUKAN

TINDAKAN BEDAH SARAF :

Penatalaksanaan trauma kepala yang memerlukan tindakan bedah

saraf, merupakan proses yang terdiri dari serangkaian tahapan yang

saling berkaitan satu sama lain dalam mengambil keputusan dalam

melakukan tindakan pembedahan antara lain adalah sebagai berkut :

1. Tahap I :

a. Penilaian awal pertolongan pertama, dengan memprioritaskan

penilaian yaitu :

Airway : Jalan Nafas

- Membebaskan jalan dari sumbatan lendir, muntahan,

benda asing

- Bila perlu dipasang endotrakeal

Breathing : Pernafasan

- Bila pola pernafasan terganggu dilakukan nafas buatan

atau ventilasi dengan respirator.

Cirkulation : Peredaran darah

- Mengalami hipovolemik syok

- Infus dengan cairan kristaloid

- Ringer lactat, Nacl 0,9%, D5% ,),45 salin

Periksa adanya kemungkinan adanya perdarahan

Tentukan hal berikut : lamanya tak sadar, lamanya amnesia

post trauma, sebab cedera, nyeri kepala, muntah.

Pemeriksaan fisik umum dan neurologist.

Monitor EKG.

b. Diagnosis dari pemeriksaan laborat dan foto penunjang telah

dijelaskan didepan.

c. Indikasi konsul bedah saraf :

Coma berlangsung > 6 jam.

Penurunan kesadaran ( gg neurologos progresif)

Adanya tanda-tanda neurologist fokal, sudah ada sejak terjadi

cedera kepala.

Kejang lokal atau umum post trauma.

Perdarahan intra cranial.

2. Tahap II : Observasi perjalanan klinis dan perawatan suportif.

3. Tahap III :

a. Indikasi pembedahan

Perlukaan pada kulit kepala.

Fraktur tulang kepala

Hematoma intracranial.

Kontusio jaringan otak yang mempunyai diameter > 1 cm dan

atau laserasi otak

Subdural higroma

Kebocoran cairan serebrospinal.

b. Kontra indikasi

Adanya tanda renjatan / shock, bukan karena trauma tapi

karena sebab lain missal : rupture alat viscera ( rupture

hepar, lien, ginjal), fraktur berat pada ekstremitas.

Trauma kepala dengan pupil sudah dilatasi maksimal dan

reaksi cahaya negative, denyut nadi dan respirasi irregular.

c. Tujuan pembedahan

Mengeluarkan bekuan darah dan jaringan otak yang

nekrose

Mengangkat tulang yang menekan jaringan otak

Mengurangi tekanan intracranial

Mengontrol perdarahan

Menutup / memperbaiki durameter yang rusak

Menutup defek pada kulit kepala untuk mencegah infeksi

atau kepentingan kosmetik.

d. Pesiapan pembedahan

Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas

Pasang infuse

Observasi tanda-tanda vital

Pemeriksaan laboratorium

Pemberian antibiotic profilaksi

Pasang NGT, DC

Therapy untuk menurunkan TIK, dan anti konvulsa

4. Tahap IV :

a. Pembedahan spesifik

Debridemen

Kraniotomi yang cukup luas

- EDH bila CT Scan menunjukkan lesi

yang jelas, bila < 1,5 – 1 cm belum perlu operasi

- SDH akut diperlukan craniotomy luas.

- Hematom intra serebral dan kontusio

serebri dengan efek massa yang jelas.

- Intra ventrikuler hematoma 9 kraniotomi

– aspirasi hematoma, bila timbul tanda-tanda hidrosepalus

dilakukan vpshunt)

- Pada laserasi otak

- Pada fraktur kepala terbuka dan fraktur

yang menekan tertutup

b. Evaluasi komplikasi yang perlu diperhatikan

Perdarahan ulang

Kebocoran cairan otak

Infekso pada luka atau sepsis

Timbulnya edea cerebri

Timbulnya edema pulmonum

neurogenik, akibat peningkatan TIK

Nyeri kepala setelah penderita

sadar

Konvulsi

J. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL :

1. Nyeri akut b. d agen

injuri fisik

2. Resiko infeksi b.d

trauma, tindakan invasife, immunosupresif, kerusakan jaringan

3. Ketidak

seimbangan nutrisi kurang kebutuhan tubuh b. d ketidakmampuan

pemasukan makanan atau mencerna makanan dan atau

mengabsorbsi zat-zat gizi karena faktor biologis.

4. PK : Peningkatan

TIK

5. Kurang

pengetahuan keluarga tentang penyakit dan perawatannya b/d

kurang paparan terhadap informasi, keterbatasan kognitif

6. Sindrom defisit self

care b/d kelemahan, penyakitnya

RENPRA TRAUMA KEPALA

No Diagnosa Tujuan Intervensi

1 Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen nyeri :

b/d agen

injuri fisik

Asuhan

keperawatan ….

jam tingkat

kenyamanan klien

meningkat dg KH:

Klien

melaporkan nyeri

berkurang dg

scala 2-3

Ekspresi

wajah tenang

klien dapat

istirahat dan tidur

v/s dbn

Kaji nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,

karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor

presipitasi.

Observasi reaksi nonverbal dari ketidak

nyamanan.

Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk

mengetahui pengalaman nyeri klien sebelumnya.

Kontrol faktor lingkungan yang mempengaruhi

nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan,

kebisingan.

Kurangi faktor presipitasi nyeri.

Pilih dan lakukan penanganan nyeri

(farmakologis/non farmakologis).

Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi,

distraksi dll) untuk mengetasi nyeri..

Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.

Evaluasi tindakan pengurang nyeri/kontrol nyeri.

Kolaborasi dengan dokter bila ada komplain

tentang pemberian analgetik tidak berhasil.

Administrasi analgetik :.

Cek program pemberian analgetik; jenis, dosis,

dan frekuensi.

Cek riwayat alergi.

Tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan

dosis optimal.

Monitor TV

Berikan analgetik tepat waktu terutama saat nyeri

muncul.

Evaluasi efektifitas analgetik, tanda gejala dan

efek samping.

2 Risiko

infeksi b/d

imunitas

tubuh

primer

menurun,

prosedur

invasive,

adanya

luka

Setelah dilakukan

asuhan

keperawatan …

jam tidak terdapat

faktor risiko

infeksi dg KH:

Tdk ada tanda-

tanda infeksi

AL normal

V/S dbn

Konrol infeksi :

Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain.

Batasi pengunjung bila perlu.

Intruksikan kepada pengunjung untuk mencuci

tangan saat berkunjung dan sesudahnya.

Gunakan sabun anti miroba untuk mencuci

tangan.

Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah

tindakan keperawatan.

Gunakan baju dan sarung tangan sebagai alat

pelindung.

Pertahankan lingkungan yang aseptik selama

pemasangan alat.

Lakukan perawatan luka, dainage, dresing infus

dan dan kateter setiap hari.

Tingkatkan intake nutrisi dan cairan

berikan antibiotik sesuai program.

Proteksi terhadap infeksi

Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan

lokal.

Monitor hitung granulosit dan WBC.

Monitor kerentanan terhadap infeksi.

Pertahankan teknik aseptik untuk setiap tindakan.

Inspeksi kulit dan mebran mukosa terhadap

kemerahan, panas, drainase.

Inspeksi kondisi luka, insisi bedah.

Ambil kultur, dan laporkan bila hasil positip jika

perlu

Dorong masukan nutrisi dan cairan yang adekuat.

Anjurkan istirahat yang cukup.

Anjurkan dan ajarkan mobilitas dan latihan.

Instruksikan klien untuk minum antibiotik sesuai

program.

Ajarkan keluarga/klien tentang tanda dan gejala

infeksi.

Laporkan kecurigaan infeksi.

3 Ketidakse

imbangan

nutrisi

kurang

dari

kebutuha

n tubuh

b/d intake

nutrisi

inadekuat

k/ faktor

biologis

Setelah dilakukan

asuhan

keperawatan …

jam klien

menunjukan

status nutrisi

adekuat dengan

KH:

BB stabil,

nilai

laboratorium

terkait normal,

tingkat energi

adekuat,

masukan nutrisi

adekuat

Manajemen Nutrisi

Kaji adanya alergi makanan.

Kaji makanan yang disukai oleh klien.

Kolaborasi team gizi untuk penyediaan nutrisi

terpilih sesuai dengan kebutuhan klien.

Anjurkan klien untuk meningkatkan asupan

nutrisinya.

Yakinkan diet yang dikonsumsi mengandung

cukup serat untuk mencegah konstipasi.

Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori.

Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi.

Monitor Nutrisi

Monitor BB jika memungkinkan

Monitor respon klien terhadap situasi yang

mengharuskan klien makan.

Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak

bersamaan dengan waktu klien makan.

Monitor adanya mual muntah.

Monitor adanya gangguan dalam input makanan

misalnya perdarahan, bengkak dsb.

Monitor intake nutrisi dan kalori.

Monitor kadar energi, kelemahan dan kelelahan.

4 PK:

Peningkat

anTIK

Setelah dilakukan

asuhan

keperawatan …

jam perawat akan

mengatasi dan

mengurangi

episode dari

peningkatan TIK

Pantau tanda gejala peningkatan TIK ( kaji GCS,

TV, respon pupil,, muntah, sakit kepala, letargi,

gelisah, nafas keras, gerakan tak bertujuan,

perubahan mental)

Atur posisi tidur klien dengan tempat tidur bagian

kepala lebuh tinggi (30-40 derajat) kecuali

dikontraindikasikan.

Hindari massage, fleksi / rotasi leher berlebihan,

stimulasi anal dengan jari, mengejan, perubahan

posisi yang cepat

Ajarkan klien untuk ekspirasi selama perubahan

posisi.

berika lingkungan yang tenang dan tingkatkan

istirahat

Pantau V/S

Pantau AGD

Kolaborasi dengan dokter untuk terapinya

pantau status hidrasi

5 Kurang

pengetah

uan

tentang

penyakit

dan

perawata

nnya b/d

kurang

paparan

terhadap

informasi,

Setelah dilakukan

askep …. Jam

pengetahuan klien

meningkat dg KH:

Klien dapat

mengungkapka

n kembali yg

dijelaskan.

Klien kooperatif

saat dilakukan

tindakan

Pendidikan kesehatan : proses penyakit

Kaji pengetahuan klien.

Jelaskan proses terjadinya penyakit, tanda gejala

serta komplikasi yang mungkin terjadi

Berikan informasi pada keluarga tentang

perkembangan klien.

Berikan informasi pada klien dan keluarga

tentang tindakan yang akan dilakukan.

diskusikan pilihan terapi

Berikan penjelasan tentang pentingnya tirah

baring

keterbata

n kognitif

jelaskan komplikasi kronik yang mungkin akan

muncul bila klien tidak patuh

6 Sindrom

defisit self

care b/d

kelemaha

n,

penyakitn

ya

Setelah dilakukan

askep … jam klien

dan keluarga

dapat merawat

diri : dengan

kritria :

kebutuhan klien

sehari-hari

terpenuhi

(makan,

berpakaian,

toileting, berhias,

hygiene, oral

higiene)

klien bersih dan

tidak bau.

Bantuan perawatan diri

Monitor kemampuan pasien terhadap

perawatan diri yang mandiri

Monitor kebutuhan akan personal hygiene,

berpakaian, toileting dan makan, berhias

Beri bantuan sampai klien mempunyai

kemapuan untuk merawat diri

Bantu klien dalam memenuhi kebutuhannya

sehari-hari.

Anjurkan klien untuk melakukan aktivitas

sehari-hari sesuai kemampuannya

Pertahankan aktivitas perawatan diri secara

rutin

dorong untuk melakukan secara mandiri tapi

beri bantuan ketika klien tidak mampu

melakukannya.

Berikan reinforcement positif atas usaha

yang dilakukan.

FRAKTUR

A. Pengertian:

Fraktur adalah terputusnya keutuhan tulang, umumnya akibat

trauma. Fraktur digolongkan sesuai jenis dan arah garis fraktur.

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan

sesuai jenis dan luasnya. Fraktur dapat terjadi jika tulang dikenai

stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsi .

B. Klasifikasi fraktur :

Menurut Hardiyani (1998), fraktur dapat diklasifikasikan sebagai

berikut :

1. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, dan cruris

dst).

2. Berdasarkan luas dan garis fraktur terdiri dari :

a. Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang

atau melalui kedua korteks tulang).

b. Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis

penampang tulang).

3. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :

a. Fraktur kominit (garis patah lebih dari satu dan saling

berhubungan).

b. Fraktur segmental (garis patah lebih dari satu tapi tidak

berhubungan).

c. Fraktur Multipel ( garis patah lebih dari satu tapi pada tulang

yang berlainan tempatnya, misalnya fraktur humerus, fraktur

femur dan sebagainya).

4. Berdasarkan posisi fragmen :

a. Undisplaced (tidak bergeser) / garis patah komplit tetapi kedua

fragmen tidak bergeser.

b. Displaced (bergeser) / terjadi pergeseran fragmen fraktur

5. Berdasarkan hubungan fraktur dengan dunia luar :

a. Tertutup

b. Terbuka (adanya perlukaan dikulit).

6. Berdasar bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme

trauma :

a. Garis patah melintang.

b. Oblik / miring.

c. Spiral / melingkari tulang.

d. Kompresi

e. Avulsi / trauma tarikan atau insersi otot pada insersinya. Missal

pada patela.

7. Berdasarkan kedudukan tulangnya :

a. Tidak adanya dislokasi.

b. Adanya dislokasi

At axim : membentuk sudut.

At lotus : fragmen tulang berjauhan.

At longitudinal : berjauhan memanjang.

At lotus cum contractiosnum : berjauhan dan memendek.

C. Etiologi:

Menurut Apley dan Salomon (1995), tulang bersifat relative rapuh

namun cukup mempunyai kekuatan gaya pegas untuk menahan

tekanan.

Fraktur dapat disebabkan oleh

- Cedera dan benturan seperti pukulan langsung, gaya meremuk,

gerakan puntir mendadak, kontraksi otot ekstrim.

- Letih karena otot tidak dapat mengabsorbsi energi seperti berjalan

kaki terlalu jauh.

- Kelemahan tulang akibat penyakit kanker atau osteoporosis pada

fraktur patologis.

D. Patofisiologis :

Jenis fraktur :

Fraktur komplit adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan

biasanya mengalami pergeseran

Fraktur inkomplit, patah hanya terjadi pada sebagian dari garis

tengah tulang.

Fraktur tertutup (fraktur simple), tidak menyebabkan robekan kulit.

Fraktur terbuka (fraktur komplikata/kompleks), merupakan fraktur

dengan luka pada kulit atau membrana mukosa sampai ke patahan

tulang. Fraktur terbuka digradasi menjadi : Grade I dengan luka

bersih kurang dari 1 cm panjangnya dan sakit jelas, Grade II luka

lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif dan Grade

III, yang sangat terkontaminasi dan mengalami kerusakan jaringan

lunak ekstensi, merupakan yang paling berat.

Penyembuhan/perbaikan fraktur :

Bila sebuah tulang patah, maka jaringan lunak sekitarnya juga rusak,

periosteum terpisah dari tulang dan terjadi perdarahan yang cukup

berat. Bekuan darah terbentuk pada daerah tersebut. Bekuan akan

membentuk jaringan granulasi, dimana sel-sel pembentuk tulang

premitif (osteogenik) berdeferensiasi menjadi kondroblas dan

osteoblas. Kondroblas akan mensekresi fosfat yang akan merangsang

deposisi kalsium. Terbentuk lapisan tebal (kalus disekitar lokasi fraktur.

Lapisan ini terus menebal dan meluas, bertemu dengan lapian kalus

dari fragmen yang satunya dan menyatu. Fusi dari kedua fragmen

terus berlanjut dengan terbentuknya trabekula oleh osteoblas, yang

melekat pada tulang dan meluas menyebrangi lokasi fraktur.Persatuan

(union) tulang provisional ini akan menjalani

transformasi metaplastikuntuk menjadi lebih kuat dan lebih

terorganisasi. Kalus tulang akan mengalami re-modelling dimana

osteoblas akan membentuk tulang baru sementara osteoklas akan

menyingkirkan bagian yanng rusak sehingga akhirnya akan terbentuk

tulang yang menyerupai keadaan tulang aslinya

E. Manifestasi klinis:

1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya

sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai

fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk

meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.

2. Deformitas dapat disebabkan pergeseran fragmen pada fraktur

lengan dan eksremitas. Deformitas dapat di ketahui dengan

membandingkan dengan ekstremitas normal. Ekstremitas tidak

dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung

pada integritas tulang tempat melengketnya obat.

3. Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan

dibawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu

sama lain sampai 2,5 sampai 5,5 cm

4. Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan,

teraba adanya derik tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan

antar fragmen satu dengan lainnya.

5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat

trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru

terjadi setelah beberapa jam atau beberapa hari setelah cedera.

F. Komplikasi fraktur

- Malunion, adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah

sembuh dalam posisi yang tidak pada seharusnya, membentuk

sudut atau miring

- Delayed union adalah proses penyembuhan yang berjalan terus

tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.

- Nonunion, patah tulang yang tidak menyambung kembali.

- Compartment syndroma adalah suatu keadaan peningkatan

takanan yang berlebihan di dalam satu ruangan yang disebabkan

perdarahan masif pada suatu tempat.

- Shock,

- Fat embalism syndroma, tetesan lemak masuk ke dalam pembuluh

darah. Faktor resiko terjadinya emboli lemakada fraktur meningkat

pada laki-laki usia 20-40 tahun, usia 70 sam pai 80 fraktur tahun.

- Tromboembolic complicastion, trombo vena dalam sering terjadi

pada individu yang imobiil dalm waktu yang lama karena trauma

atau ketidak mampuan lazimnya komplikasi pada perbedaan

ekstremitas bawah atau trauma komplikasi paling fatal bila terjadi

pada bedah ortopedil

- Infeksi

- Avascular necrosis, pada umumnya berkaitan dengan aseptika

atau necrosis iskemia.

- Refleks symphathethic dysthropy, hal ini disebabkan oleh hiperaktif

sistem saraf simpatik abnormal syndroma ini belum banyak

dimengerti. Mungkin karena nyeri, perubahan tropik dan vasomotor

instability.

G. Pemeriksaan penunjang

Laboratorium :

Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui : Hb, hematokrit

sering rendah akibat perdarahan, laju endap darah (LED) meningkat

bila kerusakan jaringan lunak sangat luas. Pada masa penyembuhan

Ca dan P meengikat di dalam darah.

Radiologi :

X-Ray dapat dilihat gambaran fraktur, deformitas dan metalikment.

Venogram/anterogram menggambarkan arus vascularisasi. CT scan

untuk mendeteksi struktur fraktur yang kompleks.

H. Penanganan fraktur

Pada prinsipnya penangganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi dan

pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.

- Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulangpada

kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode dalam reduksi adalah

reduksi tertutup, traksi dan reduksi terbuka, yang masing-masing di

pilih bergantung sifat fraktur

Reduksi tertutup dilakukan untuk mengembalikan fragmen tulang

ke posisinya (ujung-ujung saling behubungan) dengan manipulasi

dan traksi manual.

Traksi, dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan

imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang

terjadi.

Reduksi terbuka , dengan pendekatan pembedahan, fragmen

tulang direduksi. Alat fiksasi internal dalam bentuk pin, kawat,

sekrup, plat, paku atau batangan logam dapat digunakan untuk

mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai

penyembuhan tulang yang solid terjadi.

- Imobilisai fraktur, setelah fraktur di reduksi fragmen tulang harus di

imobilisasi atau di pertahankan dalam posisi dan kesejajaranyang

benar sampai terjadi penyatuan. Immobilisasi dapat dilakukan

dengan fiksasi eksternal atau inernal. Fiksasi eksternal meliputi

pembalutan, gips, bidai, traksi kontinui, pin dan teknik gips atau

fiksator eksternal. Fiksasi internal dapat dilakukan implan logam

yang berperan sebagai bidai inerna untuk mengimobilisasi fraktur.

Pada fraktur femur imobilisasi di butuhkan sesuai lokasi fraktur

yaitu intrakapsuler 24 minggu, intra trohanterik 10-12 minggu,

batang 18 minggu dan supra kondiler 12-15 minggu.

- Mempertahankan dan mengembalikan fungsi, segala upaya

diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak, yaitu ;

Mempertahankan reduksi dan imobilisasi

Meninggikan untuk meminimalkan pembengkakan

Memantau status neurologi.

Mengontrol kecemasan dan nyeri

Latihan isometrik dan setting otot

Berpartisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari

Kembali keaktivitas secara bertahap.

Faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur :

- Imobilisasi fragmen tulang.

- Kontak frgmen tulang minimal.

- Asupan darah yang memadai.

- Nutrisi yang baik.

- Latihan pembebanan berat badan untuk tulang panjang.

- Hormon-hormon pertumbuhan tiroid, kalsitonin, vitamin D, steroid

anabolik.

- Potensial listrik pada patahan tulang.

FRAKTUR FEMUR

A. Pengertian

Fraktur femur dapat terjadi pada beberapa tempat : bagian kaput,

kolum atau trochanter, batang femur dan daerah lutut

/suprakondiler.

B. Klasifikasi

Ada 2 tipe utama fraktur pinggul :

1. fraktur kolum femur : intra kapsuler

2. fraktur trokhenter : ekstrakapsuler.

Fraktur kolum femur : penyembuhan akan lebih sulit disbandingkan

dengan fraktur trokhenter, karena system pembuluh darah yang

memasok darah kekaput dan kolum femur mengalami kerusakan

karena fraktur.

C. Manifestasi Klinik

1. tungkai mengalami pemendekan

2. adduksi dan rotasi eksterna

3. nyeri ringan selangkangan atau sisi medial lutut

D. Penanganan Fraktur

1. Traksi kulit sementara untuk mereduksi spasme otot, untuk

mengimobilisasi ekstremitas dan mengurangi nyeri.

2. ORIF

E. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul:

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik (fraktur)

2. Resiko terhadap cidera berhubungan dengan kerusakan

neuromuskuler, tekanan dan disuse

3. Sindrom kurang perawatan diri berhubungan dengan hilangnya

kemampuan menjalankan aktivitas.

4. Resiko infeksi berhubungan dengan trauma, imunitas tubuh

primer menurun, prosedur invasive

5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan patah tulang

6. Kurang pengetahuan tentang penyakit dan perawatannya b/d

kurang paparan terhadap informasi, terbatasnya kognitif

RENPRA FRAKTUR

No Diagnosa Tujuan Intervensi

1 Nyeri akut

b/d agen

injuri fisik,

fraktur

Setelah dilakukan

Asuhan

keperawatan ….

jam tingkat

kenyamanan klien

meningkat, tingkat

nyeri terkontrol dg

KH:

Klien

melaporkan nyeri

Manajemen nyeri :

Kaji nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,

karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan

faktor presipitasi.

Observasi reaksi nonverbal dari ketidak

nyamanan.

Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk

mengetahui pengalaman nyeri klien

sebelumnya.

Kontrol faktor lingkungan yang mempengaruhi

berkurang dg

scala 2-3

Ekspresi

wajah tenang

klien dapat

istirahat dan tidur

v/s dbn

nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan,

kebisingan.

Kurangi faktor presipitasi nyeri.

Pilih dan lakukan penanganan nyeri

(farmakologis/non farmakologis).

Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi,

distraksi dll) untuk mengetasi nyeri..

Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.

Evaluasi tindakan pengurang nyeri/kontrol nyeri.

Kolaborasi dengan dokter bila ada komplain

tentang pemberian analgetik tidak berhasil.

Administrasi analgetik :.

Cek program pemberian analgetik; jenis, dosis,

dan frekuensi.

Cek riwayat alergi.

Tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan

dosis optimal.

Monitor TV

Berikan analgetik tepat waktu terutama saat

nyeri muncul.

Evaluasi efektifitas analgetik, tanda dan gejala

efek samping.

2 Resiko

terhadap

cidera b/d

kerusaka

n

neuromus

kuler,

Setelah dilakukan

askep … jam

terjadi

peningkatan

Status

keselamatan

Injuri fisik Dg KH :

Memberikan posisi yang nyaman untuk Klien:

Berikan posisi yang aman untuk pasien dengan

meningkatkan obsevasi pasien, beri pengaman

tempat tidur

Periksa sirkulasi periper dan status neurologi

Menilai ROM pasien

tekanan

dan

disuse

Bebas dari

cidera

Pencegahan

Cidera

Menilai integritas kulit pasien.

Libatkan banyak orang dalam memidahkan

pasien, atur posisi

3 Sindrom

defisit self

care b/d

kelemaha

n, fraktur

Setelah dilakukan

akep … jam

kebutuhan ADLs

terpenuhi dg KH:

Pasien dapat

melakukan

aktivitas sehari-

hari.

Kebersihan diri

pasien terpenuhi

Bantuan perawatan diri

Monitor kemampuan pasien terhadap

perawatan diri

Monitor kebutuhan akan personal hygiene,

berpakaian, toileting dan makan

Beri bantuan sampai pasien mempunyai

kemapuan untuk merawat diri

Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhannya.

Anjurkan pasien untuk melakukan aktivitas

sehari-hari sesuai kemampuannya

Pertahankan aktivitas perawatan diri secara

rutin

4 Risiko

infeksi b/d

imunitas

tubuh

primer

menurun,

prosedur

invasive,

fraktur

Setelah dilakukan

asuhan

keperawatan …

jam tidak terdapat

faktor risiko

infeksi dan

infeksi terdeteksi

dg KH:

Tdk ada tanda-

tanda infeksi

AL normal

Konrol infeksi :

Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien

lain.

Batasi pengunjung bila perlu.

Intruksikan kepada pengunjung untuk mencuci

tangan saat berkunjung dan sesudahnya.

Gunakan sabun anti miroba untuk mencuci

tangan.

Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah

tindakan keperawatan.

Gunakan baju dan sarung tangan sebagai alat

V/S dbn pelindung.

Pertahankan lingkungan yang aseptik selama

pemasangan alat.

Lakukan perawatan luka, dainage, dresing infus

dan dan kateter setiap hari.

Tingkatkan intake nutrisi dan cairan

berikan antibiotik sesuai program.

Jelaskan tanda gejala infeksi dan anjurkan u/

segera lapor petugas

Monitor V/S

Proteksi terhadap infeksi

Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan

lokal.

Monitor hitung granulosit dan WBC.

Monitor kerentanan terhadap infeksi..

Pertahankan teknik aseptik untuk setiap

tindakan.

Inspeksi kulit dan mebran mukosa terhadap

kemerahan, panas, drainase.

Inspeksi kondisi luka, insisi bedah.

Ambil kultur, dan laporkan bila hasil positip jika

perlu

Dorong istirahat yang cukup.

Dorong peningkatan mobilitas dan latihan

sesuai indikasi

5 Kerusaka

n

mobilitas

fisik

berhubun

Setelah dilakukan

askep … jam

terjadi

peningkatan

Ambulasi :Tingka

Terapi ambulasi

Kaji kemampuan pasien dalam melakukan

ambulasi

Kolaborasi dg fisioterapi untuk perencanaan

gan

dengan

patah

tulang

t mobilisasi,

Perawtan diri Dg

KH :

Peningkata

n aktivitas fisik

ambulasi

Latih pasien ROM pasif-aktif sesuai

kemampuan

Ajarkan pasien berpindah tempat secara

bertahap

Evaluasi pasien dalam kemampuan ambulasi

Pendidikan kesehatan

Edukasi pada pasien dan keluarga pentingnya

ambulasi dini

Edukasi pada pasien dan keluarga tahap

ambulasi

Berikan reinforcement positip atas usaha yang

dilakukan pasien.

6 Kurang

pengetah

uan

tentang

penyakit

dan

perawata

nnya b/d

kurang

paparan

terhadap

informasi,

keterbata

n kognitif

Setelah dilakukan

askep …. Jam

pengetahuan klien

meningkat dg KH:

Klien dapat

mengungkapka

n kembali yg

dijelaskan.

Klien kooperatif

saat dilakukan

tindakan

Pendidikan kesehatan : proses penyakit

Kaji pengetahuan klien.

Jelaskan proses terjadinya penyakit, tanda

gejala serta komplikasi yang mungkin terjadi

Berikan informasi pada keluarga tentang

perkembangan klien.

Berikan informasi pada klien dan keluarga

tentang tindakan yang akan dilakukan.

Diskusikan pilihan terapi

Berikan penjelasan tentang pentingnya

ambulasi dini

jelaskan komplikasi kronik yang mungkin akan

muncul

HERNIA NUKLEUS PULPOSUS (HNP)

I. PENGERTIAN

Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah penonjolan diskus inter

vertabralis dengan piotusi dan nukleus kedalam kanalis spinalis

pumbalis mengakibatkan penekanan pada radiks atau cauda equina.

HNP adalah suatu penekanan pada suatu serabut saraf spinal

akibat dari herniasi dan nucleus hingga annulus, salah satu bagian

posterior atau lateral (Barbara C.Long, 1996).

II. ANATOMI FISIOLOGI

Medula spinalis merupakan jaringan saraf berbentuk kolum

vertical tang terbenteng dari dasar otak, keluar dari rongga kranium

melalui foramen occipital magnum, masuk kekanalis sampai setinggi

segmen lumbal-2. medulla spinalis terdiri dari 31 pasang saraf spinalis

(kiri dan kanan) yang terdiri atas :

1. 8 pasang saraf cervical.

2. 15 pasang saraf thorakal.

3. 5 pasang saraf lumbal

4. 5 pasang saraf sacral

5. 1 pasang saraf cogsigeal.

Penampang melintang medulla spinalis memperlihatkan bagian

bagian yaitu substansia grisea (badan kelabu) dan substansia alba.

Substansia grisea mengelilingi kanalis centralis sehingga membentuk

kolumna dorsalis, kolumna lateralis dan kolumna ventralis. Kolumna ini

menyerupai tanduk yang disebut conv. Substansia alba mengandung

saraf myelin (akson).

Kolumna vertebralis tersusun atas seperangkat sendi antar

korpus vertebra yang berdekatan, sendi antar arkus vertebra, sendi

kortovertebralis, dan sendi sakroiliaka. Ligamentum longitudinal dan

discus intervertebralis menghubungkan korpus vertebra yang

berdekatan

Diantara korpus vertebra mulai dari cervikalis kedua sampai

vertebra sakralis terdapat discus intervertebralis. Discus discus ini

membentuk sendi fobrokartilago yang lentur antara dua vertebra.

Discus intervertebralis terdiri dari dua bagian pokok : nucleus pulposus

di tengah dan annulus fibrosus disekelilingnya. Discus dipisahkan dari

tulang yang diatas dan dibawanya oleh lempengan tulang rawan yang

tipis.

Nucleus pulposus adalah bagian tengah discus yang bersifat

semigetalin, nucleus ini mengandung berkas-berkas kolagen, sel

jaringan penyambung dan sel-sel tulang rawan. Juga berperan penting

dalam pertukaran cairan antar discus dan pembuluh-pembuluh kapiler.

III. ETIOLOGI

1. Trauma, hiperfleksia, injuri pada vertebra.

2. Spinal stenosis.

3. Ketidakstabilan vertebra karena salah posisi, mengangkat, dll.

4. Pembentukan osteophyte.

5. Degenerasi dan degidrasi dari kandungan tulang rawan annulus

dan nucleus mengakibatkan berkurangnya elastisitas sehingga

mengakibatkan herniasi dari nucleus hingga annulus.

IV. TANDA DAN GEJALA

Tanda dan gejala :

1. Mati rasa, gatal dan penurunan pergerakan satu atau dua

ekstremitas.

2. Nyeri tulang belakang

3. Kelemahan satu atau lebih ekstremitas

4. Kehilangan control dari anus dan atau kandung kemih sebagian

atau lengkap.

Gejala Hernia Nukleus Pulposus (HNP) adalah adanya nyeri di

daerah diskus yang mengalami herniasasi didikuti dengan gejala pada

daerah yang diinorvasi oleh radika spinalis yang terkena oleh diskus

yang mengalami herniasasi yang berupa pengobatan nyeri kedaerah

tersebut, matu rasa, kelayuan, maupun tindakan-tindakan yang bersifat

protektif. Hal lain yang perlu diketahui adalah nyeri pada hernia

nukleus pulposus ini diperberat dengan meningkatkan tekanan cairan

intraspinal (membungkuk, mengangkat, mengejan, batuk, bersin, juga

ketegangan atau spasme otot), akan berkurang jika tirah baring.

V. PATOFISIOLOGI

Daerah lumbal adalah daerah yang paling sering mengalami

hernisasi pulposus, kandungan air diskus berkurang bersamaan

dengan bertambahnya usia. Selain itu serabut menjadi kotor dan

mengalami hialisasi yang membantu perubahan yang mengakibatkan

herniasi nukleus purpolus melalui anulus dengan menekan akar – akar

syaraf spinal. Pada umumnya harniassi paling besar kemungkinan

terjadi di bagian koluma yang lebih mobil ke yang kurang mobil

(Perbatasan Lumbo Sakralis dan Servikotoralis) (Sylvia,1991, hal.249).

Sebagian besar dari HNP terjadi pada lumbal antara VL 4 sampai

L 5, atau L5 sampai S1. arah herniasi yang paling sering adalah

posterolateral. Karena radiks saraf pada daerah lumbal miring

kebawah sewaktu berjalan keluar melalui foramena neuralis, maka

herniasi discus antara L 5 dan S 1.

Perubahan degeneratif pada nukleus pulpolus disebabkan oleh

pengurangan kadar protein yang berdampak pada peningkatan kadar

cairan sehingga tekanan intra distal meningkat, menyebabkan ruptur

pada anulus dengan stres yang relatif kecil.

Sedang M. Istiadi (1986) mengatakan adanya trauma baik secara

langsung atau tidak langsung pada diskus inter vertebralis akan

menyebabkan komprensi hebat dan transaksi nukleus pulposus (HNP).

Nukleus yang tertekan hebat akan mencari jalan keluar, dan melalui

robekan anulus tebrosus mendorong ligamentum longitudinal terjadilah

herniasi.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboraturium

1) Daerah rutin

2) Cairan cerebrospimal

2. Foto polos lumbosakral dapat memperlihatkan penyempitan pada

keeping sendi

3. CT scan lumbosakral : dapat memperlihatkan letak disk protusion.

4. MRI ; dapat memperlihatkan perubahan tulang dan jaringan lunak

divertebra serta herniasi.

5. Myelogram : dapat menunjukkan lokasi lesi untuk menegaska

pemeriksaan fisik sebelum pembedahan

6. Elektromyografi : dapat menunjukkan lokasi lesi meliputi bagian

akar saraf spinal.

7. Epidural venogram : menunjukkan lokasi herniasi.

8. Lumbal functur : untuk mengetahui kondisi infeksi dan kondisi

cairan serebro spinal.

V. KOMPLIKASI

1. RU

2. Infeksi luka

3. Kerusakan penanaman tulang setelah fusi spinal.

VI. PENATALAKSANAAN MDIK

1. Konservatif bila tidak dijumpai defisit neurologik :

a. Tidur selama 1 – 2 mg diatas kasur yang keras

b. Exercise digunakan untuk mengurangi tekanan atau

kompresi saraf.

c. Terapi obat-obatan : muscle relaxant, nonsteroid, anti

inflamasi drug dan analgetik.

d. Terapi panas dingin.

e. Imobilisasi atau brancing, dengan menggunakan

lumbosacral brace atau korset

f. Terapi diet untuk mengurangi BB.

g. Traksi lumbal, mungkin menolong, tetapi biasanya residis

h. Transcutaneus Elektrical Nerve Stimulation (TENS).

2. Pembedahan

1. Laminectomy hanya dilakukan pada penderita yang

mengalami nyeri menetap dan tidak dapat diatasi, terjadi

gejala pada kedua sisi tubuh dan adanya gangguan

neurology utama seperti inkontinensia usus dan kandung

kemih serta foot droop.

2. Laminectomy adalah suatu tindakan pembedahan atau

pengeluaran atau pemotongan lamina tulang belakang dan

biasanya dilakukan untuk memperbaiki luka pada spinal.

3. Laminectomy adalah pengangkaan sebagian dari discus

lamina (Barbara C. Long, 1996).

4. Laminectomy adalah memperbaiki satu atau lebih lamina

vertebra, osteophytis, dan herniated nucleus pulposus.

VII. DIAGNOSA KEPERAWATAN :

1. Nyeri akut b/d agen injuri fisik

2. Kerusakan mobilitas fisik b/d kerusakan neuromuskulair,

ketidaknyamanan.

3. Kurang pengetahuan penyakit dan perawatannya b/d kurang

paparan terhadap informasi, terbatasnya kognitif

4. Sindrom defisit self care b/d kelemahan, nyeri, gangguan

musculoskeletal

5. Cemas b/d krisis situasional

RENPRA HNP

No Diagnosa Tujuan Intervensi

1 Nyeri akut

b/d agen

injuri fisik

Setelah dilakukan askep

…. jam tingkat

kenyamanan klien

meningkat, tingkat

nyeri terkontrol dg KH:

Klien

Manajemen nyeri :

Kaji nyeri secara komprehensif termasuk

lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,

kualitas dan faktor presipitasi.

Observasi reaksi nonverbal dari ketidak

nyamanan.

melaporkan nyeri

berkurang dg scala 2-3

Ekspresi wajah

tenang

klien dapat

istirahat dan tidur

v/s dbn

Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk

mengetahui pengalaman nyeri klien

sebelumnya.

Kontrol faktor lingkungan yang

mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,

pencahayaan, kebisingan.

Kurangi faktor presipitasi nyeri.

Pilih dan lakukan penanganan nyeri

(farmakologis/non farmakologis).

Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi,

distraksi dll) untuk mengetasi nyeri..

Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.

Evaluasi tindakan pengurang nyeri/kontrol

nyeri.

Kolaborasi dengan dokter bila ada komplain

tentang pemberian analgetik tidak berhasil.

Administrasi analgetik :.

Cek program pemberian analgetik; jenis,

dosis, dan frekuensi.

Cek riwayat alergi.

Tentukan analgetik pilihan, rute pemberian

dan dosis optimal.

Monitor TV

Berikan analgetik tepat waktu terutama saat

nyeri muncul.

Evaluasi efektifitas analgetik, tanda dan

gejala efek samping.

2 Kerusaka

n

Setelah dilakukan

askep … jam terjadi

Terapi ambulasi

Kaji kemampuan pasien dalam melakukan

mobilitas

fisik b/d

kerusaka

n

neuromus

kulair,

ketidakny

amanan

peningkatan Ambulasi

:Tingkat mobilisasi,

Perawtan diri Dg KH :

Peningkatan

aktivitas fisik

ambulasi

Kolaborasi dg fisioterapi untuk perencanaan

ambulasi

Latih pasien ROM pasif-aktif sesuai

kemampuan

Ajarkan pasien berpindah tempat secara

bertahap

Evaluasi pasien dalam kemampuan

ambulasi

Pendidikan kesehatan

Edukasi pada pasien dan keluarga

pentingnya ambulasi dini

Edukasi pada pasien dan keluarga tahap

ambulasi

Berikan reinforcement positip atas usaha

yang dilakukan pasien.

3 Kurang

pengetah

uan

tentang

penyakit,

perawata

n dan

pengobat

annya b/d

kurang

paparan

Setelah dilakukan

askep …. jam

pengetahuan klien

dan keluarga

meningkat dg KH:

Mengetahui

penyakitnya

Mampu mejelaskan

kembali penyebab,

tanda dan gejala,

komplikasi dan cara

Pendidikan kesehatan : proses penyakit

Kaji pengetahuan klien.

Jelaskan proses terjadinya penyakit, tanda

gejala serta komplikasi yang mungkin terjadi

Berikan informasi pada keluarga tentang

perkembangan klien.

Berikan informasi pada klien dan keluarga

tentang tindakan yang akan dilakukan.

Diskusikan pilihan terapi

Berikan penjelasan tentang pentingnya

informasi,

terbatasn

ya kognitif

pencegahannya

Klien dan keluarga

kooperatif saat

dilakukan tindakan

ambulasi dini

Jelaskan komplikasi kronik yang mungkin

akan muncul

4 Sindrom

defisit self

care b/d

kelemaha

n, nyeri,

gg

neuromus

kulair

Setelah dilakukan akep

… jam kebutuhan ADLs

terpenuhi dg KH:

Pasien dapat

melakukan aktivitas

sehari-hari.

Kebersihan diri pasien

terpenuhi

Bantuan perawatan diri

Monitor kemampuan pasien terhadap

perawatan diri

Monitor kebutuhan akan personal hygiene,

berpakaian, toileting dan makan

Beri bantuan sampai pasien mempunyai

kemapuan untuk merawat diri

Bantu pasien dalam memenuhi

kebutuhannya.

Anjurkan pasien untuk melakukan aktivitas

sehari-hari sesuai kemampuannya

Pertahankan aktivitas perawatan diri secara

rutin

5 Cemas

b/d krisis

situasiona

l :

tindakan

operasiny

a

Setelah dilakukan

askep …. jam klien

dapat mengontrol

cemas dengan KH:

secara verbal dapat

mendemonstrasikan

teknik menurunkan

cemas.

Mencari informasi

yang dapat

menurunkan cemas

Menggunakan teknik

relaksasi untuk

menurunkan cemas

Penurunan kecemasan :

Bina hubungan saling percaya dengan

klien / keluarga

Kaji tingka kecemasan klien.

Tenangkan klien dan dengarkan keluhan

klien dengan atensi

Jelaskan semua prosedur tindakan kepada

klien setiap akan melakukan tindakan

Dampongi klien dan ajak berkomunikasi

terapeutik

Berikan kesempatan pada klien untuk

mengungkapkan perasaannya.

Ajarkan teknik relaksasi

Menerima status

kesehatan.

Bantu klien untuk mengungkapkan hal-hal

yang membuat cemas.